BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Penurunan Kualitas Minyak
Perubahan yang terjadi pada minyak umumnya dikarenakan proses oksidasi. Proses oksidasi yang menyeluruh pada minyak akan diikuti oleh proses hidrolisa sampai terbentuk keton. Perubahan kualitas minyak dapat juga dikarenakan oleh aktifitas enzim dan mikroorganisme (Djatmiko, 1973). Idealnya rasa minyak kelapa murni itu lembut dan memiliki aroma khas kelapa yang unik. Ketengikan pada minyak umumnya dikenali melalui rasa dan bau yang tidak enak, rasa asam, lengket dan berminyak dan dari segi warna apabila berwarna coklat gelap (Uchiyama, 1981). Ketengikan dapat terjadi melalui hidrolisis ikatan ester oleh lipase dan kelembaban (ketengikan hidrolisis), autooksidasi gliserida asam lemak tak jenuh dengan oksigen atmosfer (ketengikan oksidatif), oksidasi enzimatik gliserida asam lemak tak jenuh (ketengikan lipoxidase), atau melalui oksidasi enzimatik gliserida asam lemak jenuh tertentu (ketengikan ketonic) (Aurand, 1987). Dari kerusakan minyak terbentuk campuran aldehid, keton dan asam lemak bebas dengan berat molekul rendah. Campuran ini menyebabkan timbulnya bau tengik dan rasa tidak enak yang tidak dikehendaki pada minyak. Minyak tengik menimbulkan sensasi tidak nyaman di lidah.
1.2
Proses Oksidasi Minyak
Perubahan komponen minyak menjadi senyawa toksik kebanyakan terjadi melalui reaksi oksidasi. Pembentukan hidroperoksida secara spontan dari asam lemak tak jenuh dengan menangkap oksigen menandai terjadinya autooksidasi (Uchiyama, 1981). Autooksidasi merupakan reaksi rantai radikal. Reaksi ini terjadi akibat pembentukan radikal yang hanya mudah terjadi pada trigliserida dengan ester asam lemak yang tidak jenuh. Melalui pemecahan homolitik radikal hidrogen, identik dengan atom hidrogen, akan terjadi radikal karbon yang dengan oksigen udara akan membentuk radikal peroksida. Atom hidrogen yang teraktivasi yang mudah pecah secara homolitik terdapat pada posisi α
3
4 terhadap gugus karbonil atau suatu ikatan rangkap oleifin (= susunan alil), pada eter di atom karbon yang mempunyai oksigen eter. Radikal peroksida terstabilisasi melalui reaksi dengan ikatan -OH atau dalam susunan yang tidak beraturan melalui penggabungan dengan radikal karbon yang terbentuk. Dalam satu hal akan terjadi suatu hidroperoksida organik dan satu radikal karbon, dalam lain hal akan terbentuk peroksida organik. Karena radikal karbon yang baru terbentuk akan bereaksi dengan molekul oksigen lainnya menjadi radikal peroksida yang lainnya lagi, maka reaksi rantai akan berlanjut (HJ, Roth, 1988).
INITIATION
CHAIN REACTION
Lipohydroperoxide Intact Lipid 1)
Irradiation Trace metal
3)
Free Radical Free Radical 2)
2)
O2
Peroxy Radical
O2
Gambar 1.1 Ilustrasi autooksidasi pada asam lemak (ROOH) 1) Autooksidasi diinisiasi oleh terbentuknya radikal lemak (R
.
) yang diinduksi oleh
cahaya, panas, radiasi atau katalis logam. Mekanisme lengkap inisiasi ini masih belum jelas. 2) Kemudian, radikal lemak mengabsorbsi oksigen untuk menghasilkan radikal hidroperoksida (ROO . ) 3) Radikal hidroperoksida mendeprotonasi asam-asam lemak utuh lain sehingga berubah menjadi hidroperoksida dan menghasilkan radikal-radikal lemak baru. 4) Kemudian tahap 2) - 3) terus terjadi tanpa 1). Pada reaksi secara keseluruhan tampak bahwa asam lemak mengabsorbsi oksigen dan menghasilkan hidroperoksida. Karakteristik seperti ini dimiliki oleh reaksi rantai. Tahap ini disebut ”propagasi” yang terjadi setelah beberapa ”periode induksi”.
5
Gambar 1.2 Perkembangan hidroperoksida pada lemak Gambar tersebut menunjukkan perkembangan produksi hidroperoksida. Pengambilan oksigen dilakukan terus sepanjang reaksi, tetapi jumlah hidroperoksida yang ditunjukkan dengan nilai peroksida, mencapai maksimum sekitar 2000, dan mengalami penurunan setelah mencapai nilai tersebut. Ini menunjukkan bahwa peningkatan peroksida menghasilkan akumulasi radikal seperti hidroperoksida dan kemudian interaksi dari radikal atau penurunan dan perpecahan peroksida menjadi reaksi yang utama. Tahap ini disebut ”terminasi”. Pada reaksi terminasi ini, dihasilkan polimer, epoksida, hidroksida, karbonil dan molekul rantai pendek lainnya. Beberapa diantaranya dapat menyebabkan ketengikan, meningkatnya bilangan asam, kenaikan viskositas dan perubahan warna menjadi gelap (Uchiyama, 1981). Hidroperoksida merupakan produk utama hasil autooksidasi asam lemak tak jenuh. Hidroperoksida relatif tidak stabil pada suhu diatas 80˚C, sementara pada suhu kamar relatif stabil. Oleh karena itu, perbedaan produk akhir oksidasi dapat terjadi pada suhu reaksi yang berbeda. Hidroperoksida mengalami dekomposisi membentuk asam-asam lemak rantai pendek, alkohol, aldehid, dan keton. Produk-produk akhir ini (hasil oksidasi sekunder) bertanggungjawab pada perubahan bau dan rasa dari minyak yang teroksidasi.
6 Pada proses penuaan minyak akan terjadi peningkatan komponen struktur diena terkonjugasi disebabkan terjadinya pemutusan ikatan dan reaksi penataan ulang asam-asam lemak. Akibatnya dari struktur asam lemak yang hanya memiliki ikatan rangkap terisolasi akan terbentuk ikatan rangkap diena terkonjugasi. Pada proses pemurnian dengan bleaching akan terjadi reaksi penguraian autooksidatif yang menyebabkan terbentuknya hidroperoksida asam lemak yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi, triena, dan tetraena. Sistem ikatan rangkap tersebut tidak terdapat pada minyak yang tidak mengalami bleaching ( Matissek, 1992). Faktor-faktor yang mempengaruhi autooksidasi minyak diantaranya adalah jumlah ikatan rangkap yang ada pada sampel minyak. Minyak yang banyak mengandung asam linoleat (dua ikatan rangkap) akan lebih mudah teroksidasi dibanding minyak lain yang mengandung asam oleat (satu ikatan rangkap) dalam jumlah yang sama. Oksigen diperlukan untuk autooksidasi minyak. Pada tekanan oksigen yang sangat rendah, kecepatan oksidasi kira-kira sebanding dengan tekanan. Semua bentuk radiasi cahaya dari daerah ultraviolet sampai inframerah dapat mengakibatkan oksidasi minyak. Cahaya ultraviolet memiliki efek yang lebih besar karena energinya lebih tinggi. Suhu juga berpengaruh terhadap kecepatan autooksidasi. Penyimpanan pada suhu rendah membantu meminimalkan induksi oksidasi oleh suhu. Kelembaban tampaknya mencegah atau menghambat autooksidasi minyak, mungkin dengan menghambat absorpsi oksigen. Adanya logam-logam, terutama tembaga dan besi, dapat menjadi katalis oksidasi minyak (Aurand, 1987).
1.2.1
Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi di dalam bahan. Penggunaannya antara lain pada bahan yang terbuat dari lemak hewani, minyak nabati, produk pangan dengan kadar lemak tinggi, produk pangan berkadar lemak rendah, produk daging, produk ikan, dan produk lain - lain. Persyaratan antioksidan sebagai bahan tambahan pangan batas maksimum penggunaannya telah diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 722/Menkes/Per/IX/88. Antioksidan yang diizinkan penggunaannya antara lain asam askorbat, asam eritrobat, askorbil palmitat, askorbil stearat, butilhidroksianisol
7 (BHA), butilhidrokinon tersier, butilhidroksitoluen (BHT), dilauril tiodipropionat, propil gallat, alpha tokoferol, tokoferol campuran pekat. Antioksidan terdiri dari dua yaitu antioksidan alam dan antioksidan sintetik. Yang termasuk antioksidan alam antara lain turunan fenol, koumarin, hidroksi sinamat, tokoferol, difenol (asam klorogenat, kurkumin), flavonoid (luteolin, quersetin, rhamnetin, metilquersetin), kathekin, nonfenol, asam askorbat. Antioksidan sintetik antara lain butilhidroksianisol, butilhidroksitoluen, propil galat, etoksiquin. Mekanisme kerja antioksidan dalam mencegah ketengikan bahan diantaranya sebagai inhibitor dan pemecah peroksida. Antioksidan efektif dalam mengurangi ketengikan oksidatif dan polimerisasi tetapi tidak mempengaruhi hidrolisis atau reversi (Cahyadi, 2006).
1.3
Pengolahan minyak
Pada pengolahan minyak, pengerjaan yang spesifik dilakukan tergantung pada sifat alami minyak tersebut dan juga tergantung dari hasil akhir yang dikehendaki.
Pemurnian
Pemurnian minyak bertujuan untuk memisahkan pengotor dan komponen-komponen yang tidak diinginkan dari minyak. Pengotor yang terdapat pada minyak dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu : a. Komponen yang tidak dapat larut dalam minyak. Dapat dipisahkan dengan cara mekanik seperti penyaringan, pengendapan, dan sentrifugasi. Bagian ini terutama terdiri dari biji, jaringan-jaringan, serat, abu, mineral, dan air. b. Komponen dalam bentuk suspensi koloid pada minyak yaitu phospatida, karbohidrat dan komponen yang mengandung nitrogen. Komponen-komponen ini dapat dipisahkan dengan cara penguapan, elektrolit, yang diikuti dengan proses mekanik seperti pengendapan, sentrifugasi, penyaringan ataupun menggunakan penyerap. c. Komponen yang dapat larut dalam minyak. Terutama terdiri dari asam lemak bebas yang terdapat bersama-sama dengan monogliserida dan digliserida yang dihasilkan dari proses hidrolisa trigliserida. Zat warna seperti karotenoid, klorofil merupakan komponen yang larut dalam minyak.
8 Asam lemak bebas yang dihasilkan karena terjadinya proses oksidasi, serta hasil penguraian seperti keton, aldehid, seringkali menyebabkan rasa dan bau yang tidak enak yang tidak diinginkan dari minyak tersebut. Asam-asam lemak bebas dipisahkan dari minyak melalui reaksi dengan alkali, sehingga terbentuk sabun. Proses ini dikenal sebagai proses penyabunan atau ”saponification”. Alkali yang biasanya dipergunakan dalam reaksi penyabunan adalah natrium hidroksida atau kalium hidroksida. Setelah mengalami reaksi penyabunan, minyak tersebut akan mempunyai kualitas yang lebih baik. Proses pengerjaan ”alkali refining” mempunyai tingkat-tingkat pengerjaan sebagai berikut : a. Pencampuran yang merata dari minyak yang dingin dengan larutan natrium hidroksida, agar terbentuk suatu emulsi. b. Pemanasan yang bertujuan untuk memecahkan emulsi. c. Pemisahan minyak dari fase air dengan cara pengendapan atau cara lainnya. Proses ini tidak dapat memisahkan seluruh asam lemak bebas yang terdapat pada minyak, tetapi hanya mengurangi sampai batas 0,01 - 0,05%, tergantung dari jenis minyak dan cara pemurnian yang dipergunakan.
Bleaching
Bleaching adalah pengolahan minyak yang bertujuan untuk memisahkan zat warna dalam minyak. Proses ini prinsipnya yaitu penggunaan adsorben yang akan menyerap zat warna dari minyak. Penyerap yang biasanya dipergunakan adalah karbon aktif. Proses bleaching biasanya dilakukan dalam tangki yang hampa udara. Temperatur diatur sekitar 121˚C. Minyak didinginkan pada suhu sekitar 71˚C - 81˚C, kemudian dipompakan melalui saringan untuk memisahkan penyerap. Teknik bleaching yang tidak baik dapat mengakibatkan kerugian yang besar, yaitu berkurangnya kestabilan dari minyak tersebut.
Deodorisasi
Deodorisasi merupakan suatu proses untuk memisahkan bau dan rasa dari minyak. Prinsip dari deodorisasi yaitu destilasi minyak oleh uap dalam keadaan hampa udara. Pada temperatur tinggi, komponen-komponen yang menimbulkan bau dari minyak mudah diuapkan, kemudian melalui aliran uap komponen tersebut dikeluarkan dari minyak. Pengurangan tekanan selama proses deodorisasi akan mengurangi jumlah uap yang dipergunakan dan mencegah terjadinya hidrolisa yang tidak diinginkan pada minyak oleh
9 uap. Selain itu juga melindungi minyak yang panas dari proses kerusakan oksidatif. Untuk deodorisasi yang efektif dan cepat, temperatur yang dipergunakan harus lebih rendah dari 240˚C, tetapi lebih disukai pemakaian temperatur sekitar 232˚C - 246˚C. Setelah proses deodorisasi sempurna, minyak harus didinginkan pada temperatur sekitar 84˚C sebelum dibiarkan terbuka pada atmosfer. Bila terjadi kontak antara minyak dengan udara pada temperatur proses, hal itu akan merugikan sekali, terutama berpengaruh terhadap rasa dan kestabilan dari minyak tersebut (Djatmiko, 1973).
1.4
Metode Analisis
Beberapa metode uji telah dikembangkan untuk menunjukkan ketengikan oksidatif pada minyak. Ada yang memberikan hasil secara kualitatif dan ada juga yang memberikan hasil kuantitatif yang dapat menunjukkan tingkat ketengikan. Tahap awal ketengikan dapat dideteksi dengan metode uji ini sebelum kerusakan dapat dideteksi secara organoleptik. Metode-metode tersebut adalah Kreis Test, Thiobarbituric Acid test, dan Bilangan Peroksida (Aurand, 1987). Metode
lain
yang
digunakan
untuk
menunjukkan
terjadinya
oksidasi
adalah
spektrofotometri UV. Oksidasi asam lemak tak jenuh ditunjukkan dengan peningkatan absorpsi di daerah UV (Pomeranz, 1994). Minyak yang mengandung diena atau poliena menunjukkan pergeseran pada posisi ikatan rangkap selama oksidasi dengan pembentukan isomer dan konjugasi (Vieira, 1998).
1.5
Penentuan Bilangan Peroksida
Angka peroksida menyatakan jumlah peroksida dalam miliekuivalen oksigen aktif yang dikandung dalam 1000 gram senyawa. Angka peroksida merupakan ukuran kesegaran atau keadaan terjadinya autooksidasi lemak atau minyak. Oleh karena itu angka ini dapat digunakan untuk bilangan pengenal penilaian kualitas atau kerusakan minyak. Makin lama minyak berhubungan dengan udara pada waktu penyimpanan, makin besar jumlah oksigen yang terikat sebagai peroksida (HJ, Roth, 1988). Peroksida dapat ditentukan dengan titrasi iodometri. Metode iodometri termasuk salah satu metode yang paling akurat dalam analisis titrimetri karena dalam kondisi yang sesuai, keberadaan satu bpj iodium dapat dideteksi dengan menggunakan larutan indikator kanji (Jenkins, 1957). Selain itu, titrasi iodometri lebih banyak diterapkan dibandingkan metode
10 oksidimetri lainnya karena perbandingan stoikiometri yang sederhana, pelaksanaan praktis tanpa masalah, juga mudah jika dibandingkan serimetri (HJ, Roth, 1988). Ada hubungan antara bilangan peroksida dengan ketengikan. Minyak yang bilangan peroksidanya tinggi berarti telah tengik, dan minyak yang bilangan peroksidanya rendah berarti pada saat mulai tengik (Djatmiko, 1974). Kegunaan banyak dari iodometri didasarkan pada kerja oksidasi iod dan sebaliknya kerja reduksi iodida. Jika suatu senyawa dioksidasi oleh iod, maka iod sendiri tereduksi menjadi iodida : I2 + 2e → 2 IDalam larutan asam iodida bekerja mereduksi oksidator kuat, dan iodidanya sendiri dioksidasi menjadi iod : 2 I- → I2 + 2e Oleh karena itu reaksi iodometri adalah suatu proses redoks, yang dapat dinyatakan dengan menyatukan kedua persamaan : I2 + 2e- ↔ 2 IArah dari reaksi redoks ini tergantung dari potensial redoks pasangan reaksinya dan harga pH larutan titrasi (HJ, Roth, 1988). Cara yang sering digunakan pada penentuan bilangan peroksida berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan oksigen sebagai peroksida. Peroksida akan mengoksidasi iodida menjadi iod. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititer dengan natrium thiosulfat. Titik akhir titrasi dapat diketahui dengan menggunakan larutan amilum sebagai indikator, yang dalam hal ini baru ditambahkan pada dekat akhir titrasi, jika hanya terlihat suatu pewarnaan iod lemah (HJ, Roth, 1988). Reaksi yang terjadi adalah : ROOH + 2 I- + 2 H+ → I2 + ROH + H2O 2 Na2S2O3 + I2 → 2 NaI + Na2S4O6 (Jenkins, 1957) Perhitungan bilangan peroksida (dalam miliekuivalen / kg sampel) dilakukan dengan rumus : SxNx
1000 gr
S = volume Na2S2O3 yang dibutuhkan dalam ml (telah dikoreksi blanko)
11 N = normalitas Na2S2O3 gr = jumlah sampel yang digunakan dalam gram (AOAC, 1995)
1.6
Spektrofotometri Ultraviolet (UV)
Spektrofotometri serapan (meliputi spektro ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, serapan atom) merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia (Ditjen POM Depkes RI, 1995). Meskipun spektrum pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190 nm - 380 nm) dan daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380 nm - 780 nm) dari suatu zat tidak khas, tetapi sangat cocok untuk penetapan kuantitatif dan untuk beberapa zat berguna untuk membantu identifikasi (Ditjen POM Depkes RI, 1979). Bagian molekul yang mengabsorpsi dalam daerah ultraviolet dan daerah sinar tampak dinyatakan sebagai kromofor (HJ, Roth, 1988). Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi dan/atau atom yang mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorban radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, 2004). Panjang gelombang cahaya ultraviolet atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya transisi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk transisi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak (yakni senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan ke tingkat energi yang lebih tinggi daripada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV yang lebih pendek (Fessenden, 1986). Parameter yang menentukan panjang gelombang absorpsi maksimum yang tepat pada suatu transisi elektron bukan hanya kromofornya saja, tetapi juga pelarut, gugus substituen pada kromofor, dan geometri kromofor. Efek pelarut disebabkan karena solvatasi molekul dapat mengubah tingkat energi elektron kromofor dan derajat solvatasi molekul pada tingkat dasar dan tereksitasi yang sering kali berbeda. Jika molekul tingkat dasar tersolvatasi lebih kuat daripada molekul tereksitasi, perbedaan energi diantara kedua tingkat itu bertambah yang dapat diamati dengan adanya pergeseran panjang gelombang yang diabsorpsi ke panjang gelombang yang lebih pendek disebut efek hipsokrom atau
12 geseran biru. Tetapi sebaliknya jika tingkat tereksitasi tersolvatasi lebih kuat, perbedaan energi dari kedua tingkat jadi lebih kecil dan terjadi pergeseran panjang gelombang yang diabsorpsi ke panjang gelombang lebih besar disebut efek batokrom atau geseran merah. Pelarut yang dapat digunakan untuk spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak, dengan panjang gelombang transparan terendahnya adalah air (190 nm), etanol (210 nm), n-heksan (195 nm), sikloheksan (210 nm), benzen (280 nm), dietileter (210 nm), aseton (330 nm), dan 1,4-dioksan (220 nm) (Satiadarma, 2004).