PENDAHULUAN Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl) digunakan secara tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penelitian mengenai efek farmakologi mahkota dewa menunjukkan bahwa mahkota dewa memiliki aktivitas antihistamin, antioksidan, antidiabetes dan antiradang (Harmanto, 2003). Beberapa senyawa dari mahkota dewa yang telah berhasil diisolasi antara lain 4,4’dihidroksi-2-metoksibenzofenon-6-O-β-D-glukopiranosida, mangiferin, kaempferol-3-O-βD-glukosida (Zhang, 2005), 4’,6-dihidroksi-4-metoksibenzofenon-2-O-glukosida dan falerin. Falerin merupakan senyawa hidroksi benzofenon glukosida yang salah satu cincin aromatiknya tersubtitusi metoksi (Rahmi, 2004). Falerin terbukti menghambat radang 36,7% pada jam kedua dan 23,4% pada jam kelima pada tikus betina galur wistar yang diinduksi radang dengan λ-karagenan dengan dosis 22,5 mg/kg bb (Mariani, 2005). Penelitian lebih lanjut mengenai falerin perlu dilakukan untuk mengetahui potensinya sebagai antiradang. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah penandaan senyawa dengan menggunakan isotop radioaktif sebagai perunut radioaktif untuk mengetahui biodistribusinya dalam tubuh. Falerin dapat ditandai dengan menggunakan 131I. Isotop 131I dipilih karena memiliki waktu paruh yang cukup lama yaitu 8 hari 57,6 menit dan memiliki energi yang tinggi sebesar 364 keV untuk radiasi gamma dan 606 keV untuk radiasi beta.
131
I dengan energi yang
tinggi ini cocok digunakan untuk pengamatan biodistribusi karena dengan energinya yang tinggi memiliki kemampuan untuk menembus jaringan hidup sehingga biodistribusi dalam tubuh makhluk hidup mudah diamati. Selain itu penandaan
131
I diduga tidak banyak
merubah kestabilan dan struktur senyawa falerin. Penelitian ini bertujuan untuk menandai falerin dan mengamati dampak penandaan senyawa falerin dengan
131
I terhadap biodistribusinya dalam berbagai jaringan hewan
normal dan hewan radang.
1
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab tinjauan pustaka ini diuraikan beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian penandaan falerin dengan 131I dan penggunaannya sebagai perunut lokasi radang.
1.1 Falerin sebagai Senyawa Antiradang Falerin merupakan senyawa yang telah diisolasi dari daun dan buah mahkota dewa. Falerin secara fisik berupa kristal putih kekuningan, larut baik dalam air suling dan memiliki Rf 0,42 pada KLT pelat silika gel GF254 pra salut dengan sistem pengembang kloroform metanol (7:3) dan penampak bercak asam sulfat 10% dalam metanol. Falerin memiliki titik leleh 201 - 203 ºC. Spektrum ultraviolet dari falerin menunjukkan adanya serapan pada 210 dan 294 nm. Spektrum infamerah menunjukkan adanya gugus hidroksil pada puncak 3368 cm-1, karbon alifatik pada 2931 cm-1, gugus aromatik pada 685, 1651, 1506 cm
-1
serta gugus karbonil
yang ditunjukkan puncak tajam pada 1651 cm -1. Spektrum resonansi magnetik inti proton menunjukkan 6 proton aromatik pada δ 6,18; 6,34; 6,75; 6,86; 7,58; dan 7,71 ppm (cincin aromatik), proton anomerik pada δ 4,87 ppm (gugus glukosida) dan tiga proton metoksi pada δ 3,19; 3,57; dan 3,75 ppm. Falerin memiliki efek penghambatan terhadap radang pada tikus betina galur wistar yang diinduksi radang dengan λ-karagenan dengan dosis 22,5 mg/kg bb. Kemampuan menghambat radang pada dosis tersebut berbeda bermakna terhadap kontrol pada p<0,05 pada jam ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 dengan besar nilai penghambatan berturut-turut adalah 36,7%; 22,1%; 16,5%; dan 23,4%. O HO
HO
OCH3 O O OH
HO
HO
OH
Gambar 1.1 Struktur kimia falerin 2
3 1.2 Penggunaan Radioisotop dalam Bidang Farmasi Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos dengan menggunakan radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada kulit. George C de Havessy, tokoh yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir pertama kali meletakkan prinsip perunut dengan menggunakan zat radioaktif. Di bidang farmasi, isotop radioaktif dapat digunakan untuk keperluan diagnosa dan terapi dalam bentuk radiofarmaka. Radiofarmaka adalah senyawa kimia atau obat yang mengandung nuklida radioaktif dalam strukturnya dan dapat diberikan secara oral, parenteral, dan inhalasi untuk keperluan diagnosa atau terapi penyakit. Radiofarmaka untuk keperluan diagnosa memanfaatkan sifat radioisotop yang memiliki sifat kimia sama dengan isotop stabilnya. Dalam hal ini radioisotop digunakan untuk menandai senyawa tertentu sehingga perubahan atau perpindahan senyawa tersebut dapat dipantau. Selain untuk keperluan diagnosa, radioisotop dapat digunakan untuk keperluan terapi. Radiasi yang dihasilkan oleh radioisotop dapat merusak sel baik normal maupun sel kanker. Radioisotop untuk terapi mengarahkan radiasi yang dipancarkan untuk merusak sel-sel tumor atau kanker yang lebih sensitif daripada sel normal. Berbagai jenis radioisotop yang digunakan sebagai perunut untuk diagnosa penyakit antara lain: teknesium (99Tc), talium-201 (201Ti), iodin-131(131I), natrium-24 (24Na), xenon-133 (133Xe) dan besi (59Fe).
99
Tc yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah akan diserap
terutama oleh jaringan yang rusak pada organ tertentu, seperti jantung, hati dan paru-paru Sebaliknya Ti-201 terutama akan diserap oleh jaringan yang sehat pada organ jantung. Oleh karena itu, kedua isotop itu digunakan secara bersama-sama untuk mendeteksi kerusakan jantung. I-131 akan diserap oleh kelenjar gondok, hati dan bagian-bagian tertentu dari otak. Oleh karena itu,
131
I dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada
kelenjar gondok, hati dan untuk mendeteksi tumor otak. Larutan garam yang mengandung Na-24 disuntikkan ke dalam pembuluh darah untuk mendeteksi adanya gangguan peredaran darah. Xe-133 digunakan untuk mendeteksi penyakit paru-paru. P-32 untuk penyakit mata, tumor dan hati. Fe-59 untuk mempelajari pembentukan sel darah merah.
1.3 Jenis Radiasi yang Dipancarkan Inti Radiasi yang dipancarkan oleh zat radioaktif dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan muatannya ,yaitu radiasi sinar alfa, sinar beta dan sinar gamma.
4 1.3.1 Sinar Alfa Sinar alfa merupakan radiasi partikel yang bermuatan positif. Partikel sinar alfa sama dengan inti helium bermuatan +2 dan bermassa 4 sma. Partikel alfa adalah partikel terberat yang dihasilkan oleh zat radioaktif. Sinar alfa dipancarkan dari inti dengan kecepatan sekitar 1/10 kecepatan cahaya. Daya tembus sinar alfa paling lemah diantara diantara sinarsinar radioaktif karena memiliki massa yang besar. Sinar alfa dapat dihentikan oleh selembar kertas biasa. Sinar alfa segera kehilangan energinya ketika bertabrakan dengan molekul media yang dilaluinya. Tabrakan tersebut mengakibatkan media yang dilaluinya mengalami ionisasi.
1.3.2 Sinar Beta Sinar beta merupakan radiasi partikel bermuatan negatif. Sinar beta merupakan berkas elektron yang berasal dari inti atom. Partikel beta yang bemuatan -l dan bermassa 1/836 sma. Karena sangat kecil, partikel beta dianggap tidak bermassa sehingga dinyatakan dengan notasi 0-1e. Energi sinar beta sangat bervariasi, mempunyai daya tembus lebih besar dari sinar alfa tetapi daya pengionnya lebih lemah. Sinar beta paling energetik dapat menempuh jarak sampai dengan 300 cm dalam udara kering dan dapat menembus kulit.
1.3.3 Sinar Gamma Sinar gamma adalah radiasi elektromagnetik berenergi tinggi, tidak bermuatan dan tidak bermassa, dinyatakan dengan notasi
0
0y.
Sinar gamma mempunyai daya tembus sehingga
banyak digunakan untuk radiofarmasi diagnosa dengan mengamati pancaran radiasi dengan alat ”Gamma Counter”.
1.4 Penandaan Senyawa dengan Radioisotop Penandaan senyawa dengan radioisotop dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan struktur senyawa yang akan ditandai dan atom radioaktif yang akan digunakan untuk menandai.
1.4.1
Jenis Penandaan
Penandaan senyawa dengan atom radioaktif berdasarkan jenis atom radioaktif yang digunakan dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu penandaan seisotop dan penandaan tidak seisotop ( Palmer, 1999).
5 a.
Penandaan seisotop Penandaan seisotop dapat dilakukan dengan menandai senyawa dengan suatu isotop dari unsur yang sudah ada dalam senyawa sehingga keberadaan isotop tersebut identik dengan senyawa sebelum ditandai. Contohnya: penandaan triiodotironin,T3 dengan 125
I. Pada proses tersebut
127
I yang tidak radioaktif digantikan dengan
125
I yang
radioaktif. b.
Penandaan tidak seisotop Penandaan Tidak seisotop dilakukan dilakukan dengan menandai senyawa dengan isotop dari unsur lain yang tidak ada dalam senyawa yang ditandai. Contohnya adalah pada penandaan heksametilpropilen amin oksim dengan 99mTc (99mTc- HMPAO).
1.4.2
Metode Penandaan
Penyiapan senyawa bertanda dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: reaksi pertukaran isotop, sintesis kimia, sintesis biokimia, penandaan dengan nuklida asing, penandaan eksitasi (Ramli, 1994). a.
Penandaan dengan reaksi pertukaran isotop Penandaan dengan metode ini dilakukan dengan menggantikan satu atau lebih atom dalam suatu molekul dengan isotop dari unsur atom yang sama tetapi punya nomor massa berbeda seperti ditunjukkan oleh persamaan berikut ini: Ax** + Bx
→
Bx* + Ax
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa senyawa Bx pada kondisi reaksi tertentu akan terjadi pertukaran atom x yang dimilikinya dengan atom x* dari senyawa Ax* dimana x* merupakan isotop dari atom x. Penggunaan reaksi pertukaran isotop menjadi sangat penting jika cara kimia tidak dapat dilakukan. Akan tetapi metode ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu reaksi ini merupakan reaksi yang bersifat reversibel sehingga atom yang telah ditandai dapat terlepas kembali. Selain itu adanya pengotor dalam pereaksi awal yang terlibat dalam reaksi pertukaran akan lebih menyulitkan pemurnian produk utama hasil reaksi. Contoh senyawa bertanda yang disiapkan dengan metode ini adalah senyawa bertanda 125I-triiodotironin (125I-T3) dan 125
I-tetraiodotironin (125 I-T4) (Palmer, 1999).
6 b.
Metode sintesis kimia Metode ini banyak digunakan untuk penyiapan senyawa bertanda yang lebih kompleks. Sintesis biasanya dimulai dengan pereaksi senyawa bertanda antara yang sederhana. Penyiapan senyawa bertanda dengan metode ini memungkinkan pengaturan posisi penandaan isotop seperti yang diinginkan (Palmer, 1999). Sintesis yang dapat dilakukan sangat bervariasi berdasarkan kompleksnya struktur molekul yang disintesis. Oleh karena itu, hasil penandaan dengan metode ini dapat mencapai kisaran 1-90%. Rendemen reaksi biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase rendemen radiokimia. Rendemen radiokimia dari hasil penandaan dapat dihitung dengan formula berikut: Rendemen radiokimia : radioaktivitas total produk (mCi) x 100% radioaktivitas total substrat (mCi)
c.
Metode sintesis biokimia Metode sintesis biokimia menggunakan enzim sebagai katalis kimia dalam merubah suatu substrat radioaktif menjadi senyawa bertanda yang diinginkan. Perubahan substrat radioaktif dengan sintesis enzimatik ini sangat mirip dengan perubahan substrat yang terjadi melalui sintesis kimia untuk penyediaan senyawa bertanda.
d. Metode penandaan dengan nuklida asing Metode ini paling umum digunakan dalam penyiapan senyawa bertanda. Jenis penandaan ini melibatkan molekul yang memiliki peranan biologis yang telah dikenal, kemudian suatu radionuklida dari unsur yang bukan merupakan bagian dari molekul tersebut direaksikan melalui ikatan kovalen atau ikatan kovalen koordinasi. Keterikatan radionuklida dari dalam molekul bukan dari hasil pertukaran dengan salah satu dari isotop yang berada di dalam molekul tersebut. Oleh karena itu hampir semua senyawa bertanda kategori ini mempunyai ikatan kimia yang terbentuk dari ikatan kelat, yaitu lebih dari satu atom yang berada dalam senyawa yang ditandai menyumbang pasangan elektron yang akan digunakan. e.
Metode penandaan eksitasi Metode penandaan ini melibatkan ion radionuklida anak yang sangat reaktif hasil dari peluruhan inti selama peluruhan beta atau tangkapan elektron. Dalam reaksi ini dihasilkan ion berenergi tinggi yang mampu menandai berbagai senyawa yang berada
7 di sekitarnya. Misalnya senyawa dipaparkan pada 77Kr yang meluruh menjadi
77
Br,
maka ion 77Br berenergi tinggi hasil peluruhan selanjutnya akan membentuk senyawa bertanda brom. Hal yang sama terjadi juga dengan berbagai protein yang dipaparkan pada 123Xe yang menghasilkan protein teriodinasi hasil peluruhan 123Xe. Penandaan Senyawa dengan 131I
1.4.3 131
I adalah radiosiotop pemancar sinar beta dan sinar gamma. Radiasi sinar beta yang
dipancarkan oleh
131
I adalah sebesar 606 keV dan radiasi sinar gamma yang dipancarkan
sebesar 364 keV. 131I memiliki sifat mudah menguap dan waktu paruh 8 hari 57,6 menit. Penandaan senyawa menggunakan radionuklida iodium dapat dilakukan dengan beberapa metode penandaan dengan pereaksi Bolton-Hunter, triiodida, kloramin T, enzimatik, dan pereaksi ”Iodogen”. a.
Metode penandaan dengan pereaksi Bolton-Hunter Metode ini banyak digunakan untuk menandai peptida dan campuran yang tidak mengandung gugus tirosil dan histidil. Metode ini digunakan untuk menandai peptida dan senyawa yang tidak mengandung gugus tirosil dan residu histidil. Pembentukan konjugat terjadi melalui gugus amino bebas dari senyawa yang akan ditandai. Manfaat dari penggunaaan metode ini adalah protein tidak bereaksi langsung dengan
zat pengoksidasi karena pada penandaan dengan pereaksi Bolton-Hunter
awalnya dilakukan juga penandaan dengan kloramin T atau sama dengan metode sebelum pembentukan suatu konjugat dengan peptida atau senyawa yang akan ditandai. b.
Metode triiodida Metode triiodida menggunakan reaksi adisi radioiodium terhadap senyawa yang akan ditandai dengan adanya campuran iodium dan kalium iodida. Reaksi yang terjadi ditunjukkan sebagai berikut : I2 + KI +
131
I2 + R → R 131I + K131I + RI
Hasil penandaan senyawa dengan menggunakan metode ini hanya dapat mencapai 10 sampai dengan 30%.
8 c.
Metode kloramin T Metode penandaan dengan kloramin T masih merupakan metode yang banyak digunakan untuk menandai senyawa dengan menggunakan iodium. Reaksi terjadi adalah perubahan atau oksidasi iodida menjadi ion iodin (I-) dan iodinium (I+). Oksidasi terjadi dalam larutan encer dimana kloramin T meningkatkan jumlah asam hipoklorit dan ion klorin positif yang mengoksidasi iodida menjadi I- dan I+. Oksidasi iodida dihentikan dengan penambahan zat pereduksi. Zat pereduksi yang biasa digunakan adalah sodium metabisulfit. Kloramin T merupakan oksidator kuat sehingga dapat menyebabkan kerusakan struktur pada gugus sulfidril atau sulfur. Contohnya pada sistein atau gugus S-CH3 pada metionin.
d.
Metode enzimatik Penandaan senyawa dengan radioiodium dapat dilakukan dengan menambahkan enzim dalam jumlah nanomolar ke dalam campuran yang mengandung radioiodium dan senyawa yang akan diodinasi. Hasil dari proses iodinasi dengan metoda ini dapat mencapai 60% sampai dengan 85%. Iodinasi dengan menggunakan enzim laktoperoksidase berdasarkan reaksi kimia yang sama dengan iodinasi kimia pada metode kloramin T. Enzim laktoperoksidase memiliki potensi mengoksidasi Na
131
I
yang lebih lemah daripada kloramin T
sehingga efek yang tidak diinginkan dari proses oksidasi dapat dikurangi. Variasi dari metode ini dapat digunakan dengan menggunakan enzin glukosa oksidase bersamasama dengan substratnya, yaitu β-D-Glukosa. Hal ini memiliki keuntungan karena akan dihasilkan H2O2 secara terus-menerus yang akan digunakan pada reaksi dengan laktoperoksidase sebagai substrat. Pada saat yang bersamaan dengan ketika terjadinya reaksi tersebut H2O2 diubah menjadi H2O dan iodida pada saat bersamaan dioksidasi menjadi I- dan I+. Penggunaan variasi metode penandaan dengan laktoperoksidase dengan menggunakan glukosa oksidase ini bermanfaat karena hidrogen peroksida yang diproduksi secara terus-menerus langsung digunakan oleh laktoperoksidase untuk mengurangi efek samping dari reaksi oksidasi yang tidak diinginkan. Radioiodinasi dengan metode ini cocok digunakan untuk penandaan senyawa biologis aktif yang dibutuhkan secara khusus untuk penentuan kadar radioreseptor.
9 Metode penandaan dengan iodogen (1,3,4,6 – tetrakloro-3 α, 6 α – difenilglikouril) ”Iodogen” merupakan pereaksi yang dapat digunakan untuk mengoksidasi iodida dari Na131I menjadi ion iodin (I-) dan iodinium (I+) yang akan masuk ke dalam struktur senyawa yang akan ditandai. Iodogen tidak larut dalam air tetapi memiliki kelarutan yang baik dalam pelarut organik seperti kloroform atau diklorometana. Mekanisme oksidasi iodida menjadi ion iodin dan iodinium oleh ”Iodogen” belum diketahui secara pasti, namun diduga dua gugus karbonil yang ada dalam struktur iodogen memiliki peran yang penting dalam proses oksidasi tersebut. ”Iodogen” merupakan oksidator yang lebih lemah daripada kloramin T sehingga tidak diperlukan zat yang berfungsi untuk menghentikan reaksi seperti natrium metabisulfit pada reaksi penandaan metode kloramin T. Pada penggunaannya sebagai pereaksi ”Iodogen” dilarutkan dalam pelarut organik seperti kloroform atau diklorometana kemudian disimpan hingga semua pelarutnya menguap dan ”Iodogen” tertinggal di dinding tabung reaksi. Metode iodogen ini banyak digunakan untuk menandai protein dan membran sel atau senyawa lain yang memiliki gugus aromatik pada strukturnya. Cl
N |
C
Cl __
C
||
__
N | Cl
C O
__
__
__
O ||
N | __ C N |
e.
Cl
Gambar 1.2 Struktur kimia ”Iodogen” Penggunaan dari metode ini dalam proses penandaan memiliki keunggulan,yaitu tidak dibutuhkan zat pereduksi kuat untuk menghentikan reaksi karena reaksi akan berhenti setelah campuran reaksi dipindahkan dari tabung yang berisi ”Iodogen” dan waktu penandaan yang diperlukan lebih singkat daripada waktu yang dibutuhkan pada penandaan metode kloramin T. Penandaan dengan metode iodogen ini dapat memberikan hasil sampai dengan 90%.
10 f.
Metode elektrolitik Metode ini menggunakan prinsip pelepasan iodin yang reaktif hasil elektrolisis campuran radioiodin dan senyawa yang akan ditandai. Iodin reaktif ini selanjutnya dapat bereaksi dengan senyawa yang akan ditandai. Hasil dari proses penandaan dapat mencapai 80%. Metode ini apat digunakan untuk menandai protein atau asam amino.
1.5
Metode Analisis dan Pemurnian Hasil Penandaan
Hasil penandaan dianalisis dengan metode untuk mengetahui keberhasilan reaksi penandaan. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui keberhasilan penandaan sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui efektivitas penandaan. Setelah dianalisis hasil penandaan dimurnikan terlebih dahulu agar dapat digunakan sebagai perunut radioaktif atau sebagai radiofarmaka terapi.
1.5.1
Analisis Hasil Penandaan
Analisis atau pengujian efektivitas hasil penandaaan suatu senyawa dengan radioisotop dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode kromatografi, seperti kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi. a.
Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis adalah metode kromatografi cair yang sederhana. Kromatografi lapis tipis ini dapat digunakan untuk keperluan kualitatif dan kuantitatif. Pada dasarnya kromatografi lapis tipis melibatkan dua bagian yaitu fasa gerak dan fasa diam. Fasa diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai penjerap. Empat jenis bahan penjerap yang sering digunakan dalam kromatogafi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kiselgur (tanah diatomae) dan selulosa. Fase gerak dapat berupa semua jenis pelarut atau campuran pelarut yang dipilih berdasarkan kepolarannya. Dalam penggunaannya untuk menganalisis hasil penandaan pelat tipis yang telah ditotol dengan sampel dan telah dikembangkan dengan fasa gerak yang dipilih dikeringkan kemudian dihitung radioaktivitasnya dengan alat penghitung cacahan radiasi ”Single Channel Analyzer” yang dilengkapi detektor NaI(TI). Dengan demikian dapat diketahui efektivitas hasil penandaan dan Rf dari senyawa bertanda yang dianalisis.
11 b.
Kromatografi cair kinerja tinggi Kromatografi cair kinerja tinggi merupakan metode pemisahan komponen campuran senyawa kimia terlarut dengan sistem adsorpsi pada fase diam padat atau sistem partisi di antara fasa diam cair yang terikat pada penyangga padat dan fasa gerak cair yang mengalir dengan laju terkendali karena adanya tekanan tinggi. Sistem kromatografi cair kinerja tinggi terdiri dari dua subsistem, yaitu pemisahan dan pendeteksian. Subsistem pemisahan terdiri dari sistem pemasok pelarut dengan bagian utamanya berupa pompa yang mengalirkan pelarut dan sampel ke dalam kolom. Sedangkan subsistem pendeteksian terdiri dari detektor yang dihubungkan pada ujung akhir kolom. Agar dapat menganalisis hasil penandaan, alat kromatografi cair kinerja tinggi yang digunakan harus dilengkapi dengan detektor ultraviolet dan detektor radioaktif yang dapat mendeteksi munculnya puncak radioaktivitas dari senyawa bertanda yang dianalisis.
1.5.2
Pemurnian Hasil Penandaan
Produk hasil penandaan harus dimurnikan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai perunut radioaktif maupun sebagai radiofarmaka yang akan digunakan untuk terapi. Berbagai macam metode pemisahan dapat digunakan untuk pemurnian senyawa hasil penandaan. Pertimbangan untuk memilih metode yang tepat untuk pemurnian disesuaikan dengan sifat senyawa hasil penandaan seperti polaritas dan berat molekul senyawa. Metode pemurnian yang banyak digunakan untuk memurnikan senyawa bertanda antara lain kromatografi eksklusi ukuran, kromatografi penukar ion, kromatografi cair kinerja tinggi semi preparatif, kromatografi lapis tipis preparatif dan kromatografi kertas preparatif.