BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai sendi, penyakit artritis reumatoid, Collagen Induced Arthritis (CIA), interleukin1-β, dan karakterisasi tumbuhan mahkota dewa yang meliputi tinjauan botani, tinjauan farmakologi, dan tinjauan kimia. 1.1 Sendi 1.1.1 Definisi Sendi adalah pertemuan dua atau lebih tulang. Tulang-tulang ini dipadukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot (Martini, 2001). 1.1.2 Tipe Sendi Ada tiga tipe sendi, yaitu : 1. Sendi fibrosa (sinarthroidal), merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. 2. Sendi kartilaginosa (amphiarthroidal), merupakan sendi yang sedikit bergerak. 3. Sendi sinovial (diarthroidal), merupakan sendi yang dapat bergerak dengan bebas.
Gambar 1.1 Sendi normal
2
a. Sendi fibrosa ( Sinarthroidal ) Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung fibrosa. Contohnya terdapat pada sutura tulangtulang tengkorak. Yang kedua disebut sindesmosis, dan terdiri dari suatu membrane interosseus atau suatu ligament antara tulang. Hubungan ini memungkinkan sedikit gerakan, tetapi bukan gerakan sejati. Contohnya ialah perlekatan tulang tibia dan fibula bagian distal. b. Sendi kartilaginosa ( amphiarthroidal ) Sendi kartilaginosa adalah sendi dimana ujung – ujung tulangnya dibungkus oleh rawan hialin dan disokong oleh
ligamen, sehingga hanya memungkinkan suatu gerakan yang
terbatas. Sinkondrosis adalah sendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh tulang rawan hialin Sendi-sendi kostokondral adalah contoh dari sinkondrosis. Simfisis adalah sendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan fibrokartilago, dan selapis tipis tulang rawan hialin yang menyelimuti permukaan sendi. Simfisis pubis dan sendi-sendi pada tulang punggung adalah contoh-contohnya. c. Sendi sinovial ( diarthroidal ) Sendi sinovial adalah sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan. Sendi-sendi ini memiliki rongga sendi dan permukaan rongga sendi dilapisi tulang rawan hialin.
1.1.3 Struktur Sendi Kapsul sendi terdiri dari suatu selaput penutup fibrosa padat, suatu lapisan dalam yang terbentuk dari jaringan penyambung berpembuluh darah banyak dan sinovium yang membentuk suatu kantung yang melapisi seluruh sendi, dan membungkus tendon-tendon yang melintasi sendi. Sinovium tidak meluas melampaui permukaan sendi, tetapi terlipat sehingga memungkinkan gerakan sendi secara penuh. Lapisan-lapisan bursa diseluruh persendian membentuk sinovium. Periosteum tidak melewati kapsul. Sinovium menghasilkan cairan yang sangat kental yang membasahi permukaan sendi. Cairan sinovial normalnya bening, tidak membeku dan tidak berwarna. Jumlah yang ditemukan pada tiap-tiap sendi relatif kecil (1 sampai 3 ml). Hitung sel darah putih pada cairan ini normalnya kurang dari 200 sel/ml dan terutama adalah sel-sel mononuklear. Asam hialuronidase adalah senyawa yang bertanggung jawab atas viskositas cairan
3
sinovial dan disintesis oleh sel-sel pembungkus sinovial. Bagian cair dari cairan sinovial diperkirakan berasal dari transudat plasma. Cairan sinovial juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan sendi. Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban tubuh pada sendi sinovial. Tulang rawan ini memegang peranan penting dalam membagi beban tubuh. Rawan sendi tersusun dari sedikit sel dan sebagian besar substansi dasar. Substansi dasar ini terdiri dari kolagen tipe II dan proteoglikan yang berasal dari sel-sel tulang rawan. Proteoglikan yang ditemukan pada tulang rawan sendi sangat hidrofilik sehingga memungkinkan tulang rawan tersebut menerima beban yang berat (Martini, 2001). Tulang rawan sendi pada orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe, atau persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan sendi yang membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau usia yang bertambah. Beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen tipe I yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan hidrofiliknya. Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan kemampuannya untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat. Sendi dilumasi oleh cairan sinovial dan oleh perubahan-perubahan hidrostatik yang terjadi pada cairan interstitial tulang rawan. Tekanan yang terjadi pada tulang rawan akan mengakibatkan pergeseran cairan kebagian yang kurang mendapat tekanan. Sejalan dengan pergeseran sendi ke depan, cairan yang bergerak ini juga bergeser ke depan mendahului beban. Cairan kemudian akan bergerak kebelakang ke bagian tulang rawan ketika tekanan berkurang. Tulang rawan sendi dan tulang-tulang yang membentuk sendi biasanya terpisah selama gerakan selaput cairan ini. Selama terdapat cukup selaput atau cairan, tulang rawan tidak dapat aus meskipun dipakai terlalu banyak. Aliran darah ke sendi banyak yang menuju ke sinovium. Pembuluh darah mulai masuk melalui tulang subkondral pada tingkat tepi kapsul. Jaringan kapiler sangat tebal di bagian sinovium yang menempel langsung pada ruang sendi. Hal ini memungkinkan bahan-bahan di dalam plasma berdifusi dengan mudah ke dalam ruang sendi. Proses peradangan dapat sangat menonjol di sinovium karena di dalam daerah tersebut banyak mengandung aliran
4
darah, dan disamping itu juga terdapat banyak sel mast dan sel lain dan zat kimia yang secara dinamis berinteraksi untuk merangsang dan memperkuat respons peradangan. Saraf-saraf otonom dan sensorik tersebar luas pada ligamen, kapsul sendi, dan sinovium. Saraf-saraf ini berfungsi untuk memberikan sensitivitas pada struktur-struktur ini terhadap posisi dan pergerakan. Ujung-ujung saraf pada kapsul, ligamen, dan adventisia pembuluh darah sangat sensitif terhadap peregangan dan perputaran. Nyeri yang timbul dari kapsul sendi atau sinovium cenderung difus dan tidak terlokalisasi. Sendi dipersarafi oleh sarafsaraf perifer yang menyeberangi sendi. Ini berarti nyeri yang berasal dari satu sendi mungkin dapat dirasakan pada sendi yang lainnya, misalnya nyeri pada sendi panggul dapat dirasakan sebagai nyeri lutut. 1.2 Penyakit Artritis Reumatoid 1.2.1 Definisi Rheumatoid artritis (RA) adalah suatu keadaan kronis dan biasanya merupakan kelainan inflamasi progresif dengan etiologi yang belum diketahui yang dikarakterisasi dengan sendi simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik (Dipiro, 2001).
1.2.2
Patofisiologi RA merupakan akibat dari disregrulasi komponen humoral dan dimediasi sel sistem
imun. Immunoglobulin dapat mengaktivasi sistem komplemen, yang melipatgandakan respon imun dengan meningkatkan kemotaksis, fagositosis, dan pelepasan limfokin oleh sel mononuclear yang kemudian disajikan kepada limfosit T. Antigen yang diproses dikenali oleh protein major histocompatibility complex (MHC) pada permukaan limfosit, yang berakibat pada aktivasi sel T dan B. Sel T yang teraktivasi menghasilkan sitotoksin, yang secara langsung toksis terhadap jaringan, dan sitokin, yang menstimulasi aktivasi lebih lanjut proses inflamasi dan menarik sel-sel ke daerah inflamasi. Makrofag terstimulasi untuk melepaskan prostaglandin dan sitotoksin. Sel B yang teraktivasi menghasilkan sel plasma, yang membentuk antibodi yang dengan kombinasi dengan komplemen, mengakibatkan akumulasi polymorphonuclear leukocyte (PMN). PMN melepaskan sitotoksin, radikal bebas oksigen, dan radikal hidroksil yang mendukung kerusakan selular pada sinovium dan tulang. Tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1), dan interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin proinflamasi yang penting dalam inisiasi dan kelanjutan inflamasi. 5
Substansi vasoaktif (histamin, kinin, prostaglandin) dilepaskan pada daerah inflamasi, meningkatkan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema, rasa hangat, erythema, dan rasa sakit dan membuat granulosit lebih mudah untuk keluar dari pembuluh darah menuju daerah inflamasi. Inflamasi kronik pada jaringan lapisan sinovial kapsul sendi menghasilkan proliferasi jaringan (bentuk pannus). Pannus menyerang kartilago dan permukaan tulang, menghasilkan erosi tulang dan kartilago dan meyebabkan destruksi sendi. Hasil akhir mungkin kehilangan ruang sendi, kehilangan pergerakan sendi, fusi tulang (ankylosis), penyusutan tendon dan kelainan bentuk yang kronik.
1.2.3
Manifestasi Klinik Gejala prodromal klinik yang berkembang selama beberapa minggu hingga bulan
dapat meliputi kelelahan, capek, demam ringan, hilang selera makan, dan rasa sakit pada persendian. Kekakuan dan myalgias dapat mengawali peningkatan sinovitis. Pergerakan sendi cenderung menjadi simetrik dan mempengaruhi sendi-sendi kecil pada tangan, pergelangan tangan, dan kaki; siku, bahu, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Kekakuan persendian umumnya memburuk pada pagi hari, biasanya melebihi 30 menit dan dapat berlangsung sepanjang hari.
1.2.4
Obat-obat Terapi Disease-modifying antirheumatic drug (DMARD) secara umum mulai digunakan
dalam 3 bulan pertama onset gejala. DMARD seharusnya digunakan pada semua pasien kecuali pasien dengan penyakit terbatas atau pasien dengan penyakit kelas IV dimana reversibilitasnya kecil. Penggunaan awal DMARD menghasilkan hasil yang lebih baik dan dapat
mengurangi
kematian.
DMARD
meliputi
metoreksat,
hidroksiklorokuin,
sulfasalazin, dan leflunomid. Urutan pemilihan obat tidak dapat didefinisikan dengan jelas. Hidroksiklorokuin atau sulfasalazin dapat digunakan pada awal penyakit yang ringan,tetapi metotreksat biasa dipilih sebagai awal pada penyakit yang lebih parah sebab data jangka panjang menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan DMARD lainnya dan biaya yang lebih rendah daripada agen biologis. Leflunomid memiliki efikasi jangka panjang yang sama dengan metotreksat. Agen biologi dengan disease-modifying activity meliputi agen anti-TNF (etanercept, infliximab, adalimumab) dan antagonis reseptor interleukin-1 anakinra. Agen biologi efektif untuk pasien yang pengobatannya gagal dengan DMARD lain. DMARD yang masih jarang penggunaannya meliputi azathioprin, penisilamin, gold 6
salts (termasuk auranofin), minosiklin, siklosporin, dan siklofosfamid. Agen ini mempunyai efikasi yang kecil atau toksisitas yang tinggi atau keduanya. Kombinasi terapi dengan dua atau lebih DMARD mungkin efektif ketika pengobatan dengan DMARD tunggal tidak berhasil. Kombinasi yang efektif antara lain metotreksat dengan siklosporin dan metotreksat dengan sulfasalazin dan hidroksikloroquin. Obat Anti Inflamasi NonSteroid (AINS) dan/atau kortikosteroid bisa digunakan untuk keringanan gejala bila diperlukan. Obat-obatan ini dapat menyembuhkan dengan lebih cepat bila dibandingkan dengan DMARD, bisa memerlukan waktu bermingguminggu sampai berbulan-bulan sebelum penyembuhan terlihat. AINS tidak berpengaruh terhadap peningkatan penyakit dan kortikosteroid mempunyai potensial untuk komplikasi jangka panjang. 1.3 Collagen Induced Arthritis (CIA) Kolagen tipe II dapat digunakan untuk menginduksi penyakit artritis. Model penginduksian ini dikenal dengan istilah collagen-induced artritis (CIA). Mekanisme kerja kolagen tipe II dalam menginduksi artritis diduga melibatkan respon imun selular dan humoral yang berperan dalam patogenesis CIA sehingga model hewan memiliki kemiripan dengan rematoid artritis (RA). Kerentanan terhadap CIA dihubungkan dengan molekul MHC kelas II dan juga bergantung pada spesies kolagen tipe II yang digunakan. Pada kebanyakan hewan, kolagen tipe II yang heterolog lebih imunogenik dan aritrogenik dibandingkan kolagen tipe II yang homolog. Respon imun terhadap kolagen tipe II dan pengembangan artritis pada tikus dikaitkan dengan lokus MHC RT1 dan bervariasi tergantung spesies kolagen tipe II yang digunakan untuk imunisasi. Secara umum, kolagen tipe II porcine adalah yang paling artritogenik, kemudian diikuti oleh kolagen sapi, dan yang terakhir adalah kolagen ayam (Bendele, 2001). 1.4 Interleukin 1-β Interleukin ialah sekumpulan sitokin yang disintesis oleh limfosit, monosit dan beberapa jenis sel lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan sel T, sel B, sel pokok hematopoietik serta mempunyai beberapa fungsi biologi lain. Interleukin-1 dihasilkan oleh fagosit mononukleus teraktifasi yang distimulasi oleh lipopolisakarida atau interaksi dengan sel T CD4+. Interleukin adalah sejenis monokin dan perantara radang serta memiliki banyak kemiripan dengan faktor nekrosis tumor (TNF). Terdiri dari 2 rantai polipeptida (masingmasing 17 kD ) yaitu IL-1α dan IL-1β, kedua-duanya mempunyai aktivitas yang serupa 7
dan bergabung dengan reseptor yang sama. IL-1α menempel pada membran sedangkan IL-1β terdapat bebas dalam peredaran. Reseptor IL-1 terdapat pada banyak jenis sel. Interleukin-1β (IL-1 β) merupakan sitokin proinflamasi yang penting dalam inisiasi dan kelanjutan inflamasi pada penyakit artritis sehingga dapat dijadikan biomarker dan terdapat bebas dalam peredaran darah (Benjamini, 1991). 1.5 Tumbuhan Mahkota Dewa [Phaleria Macrocarpa (Scheff.) Boerl.] Tinjauan pustaka terhadap tumbuhan Mahkota Dewa [Phaleria Macrocarpa (Scheff.) Boerl.] meliputi tinjauan botani, farmakologi, dan kimia.
(a) (b) Gambar 1.2 (a) Tumbuhan mahkota dewa (b) buah mahkota dewa 1.5.1 Tinjauan Botani a. Klasifikasi Tumbuhan mahkota dewa termasuk divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Thymelaeales, suku Thymelaelaceae, marga Phaleria, dan jenis Phaleria
macrocarpa
(Scheff.)
Boerl.
Dengan
sinonim
Phaleria
papuana
Warb.Var.Wichmanii (Val.).Back (Depkes RI, 1999). b. Nama Daerah Sebutan atau nama lain untuk mahkota dewa cukup banyak. Masing-masing daerah memberi nama yang berbeda-beda pula antara lain Makuto mewo, Makuto rojo, atau Makuto ratu (Jawa Tengah), Buah simalakama (Jawa Barat), Raja obat (Banten), Pau (Cina) dan nama asing : The Crown of God (Harmanto, 2002) c. Deskripsi Morfologi Tanaman mahkota dewa berupa perdu, menahun, tegak dan tinggi 1 – 2,5 m. Batang bulat, percabangan simpodial, permukaan kasar dan berwarna coklat. Daun Mahkota dewa
8
berupa daun tunggal, berhadapan. Tangkai daun bulat, panjang 3 - 5 mm, dan berwarna hijau. Helaian daun berbentuk lanset atau lonjong, ujung dan pangkal runcing, tepi daun rata, panjang 7 – 10 cm, lebar 2 – 5 cm, pertulangan daun menyirip, permukaan licin, dan berwarna hijau. Bunganya berupa bunga majemuk yang tersebar di batang atau pada ketiak daun, tersusun dalam kelompok 2 – 4 bunga, tidak memiliki kelopak bunga, berkelamin ganda. Benang sari melekat pada mahkota, putik keluar dari tabung mahkota dengan panjang 2 – 2,5 cm dan berwarna putih. Dasar mahkota berbentuk tabung, ujung lepas, berjumlah empat helai, dengan panjang 1,5 – 2 cm, dan berwarna putih. Buahnya berupa buah tunggal, berbentuk bulat atau bulat telur dengan panjang 4 – 6 cm, diameter 3 – 5 cm. Permukaan buah licin, beralur dan berwarna merah. Bijinya bulat, keras dan berwarna coklat. Akarnya berjenis akar tunggang, berwarna kuning kecoklatan (Depkes RI, 1999). d. Ekologi Penyebaran Tanaman mahkota dewa berasal dari New Guinea (Backer, 1963). Mahkota Dewa umumnya dibudidayakan sebagai tanaman hias atau tanaman peneduh. Tanaman ini tumbuh baik di tanah yang gembur dengan kandungan bahan organik yang tinggi, pada ketinggian 10 – 1200 m di atas permukaan laut. Berbunga pada bulan April sampai Agustus. Panen sebaiknya dilakukan pada bulan Juli sampai September (Depkes RI, 1999 dan Backer, 1963). e. Budidaya Budidaya mahkota dewa secara intensif hingga saat ini belum ada. Hal ini disebabkan keberadaannya belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Namun, secara umum mahkota dewa dapat dibudidayakan dengan mudah. Perbanyakan dilakukan dengan cangkok dan dengan bijinya. Lokasi pembudidayaan mahkota dewa sebaiknya di daerah yang jauh dari polusi. Hal ini dilakukan agar tanaman tidak tercemar oleh unsur-unsur polutan berupa logam berat seperti timbal (Pb), air raksa (Hg), arsen (As), tembaga (Cu), dan seng (Zn). Unsur polutan tersebut dapat membahayakan tubuh manusia karena nantinya tanaman ini akan digunakan dalam ramuan pengobatan alternatif (Winarto,2003).
1.5.2
Tinjauan Farmakologi
Bagian tanaman mahkota dewa yang biasa digunakan adalah daun atau kulit buah dalam keadaan segar atau setelah dikeringkan. Kulit buah mahkota dewa digunakan sebagai obat disentri sedangkan daunnya sebagai obat sakit kulit (Depkes RI, 1989).
9
Bagian tanaman yang biasanya digunakan yaitu daun dan buah (Harmanto, 2002). Efek farmakologi tanaman mahkota dewa yang telah dilaporkan adalah sebagai antihistamin (Yulianna, 2003), antioksidan (Hakim, 2004), antiradang (Mariani, 2005), dan antipirai (Melori, 2006).
1.5.3 Tinjauan kimia Daun dan kulit buah mahkota dewa mengandung alkaloid dan saponin, selain itu daunnya mengandung senyawa polifenol sedangkan kulit buahnya mengandung flavonoid (Depkes RI,1999). Adapun hasil penelitian mengenai aktivitas antiradang telah diisolasi salah satu isolat buah mahkota dewa yaitu 2,4’,6-trihidroksi-4-metoksi benzofenon-2-O-glukosida yang mempunyai struktur dengan kerangka benzofenon (Mariani, 2005).
Gambar 1.3 Struktur kimia 2,4’,6-trihidroksi-4-metoksi benzofenon-2-O-glukosida
10