PENDAHULUAN
Pengembangan sediaan bentuk mikroemulsi bagi penggunaan topikal dalam bidang farmasi dan kosmetik terus dilakukan. Sediaan mikroemulsi lebih disukai karena bersifat transparan dan stabilitasnya lebih baik. Vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan dibuat dalam sediaan mikroemulsi karena penetrasinya melalui kulit akan lebih baik dibandingkan pada sediaan krim atau losion, sehingga akan meningkatkan khasiatnya sebagai antioksidan.
Tujuan dari penelititian ini adalah menghasilkan sediaan bentuk mikroemulsi dl-alfa tokoferol asetat dengan basis minyak kelapa murni. Penggunaan zat aktif dl-alfa tokoferol asetat didasarkan pada kemampuan alfa tokoferol asetat sebagai antioksidan (Thiele,2001). Minyak kelapa murni digunakan sebagai fasa minyak karena diduga memiliki aktivitas antioksidan. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan mikroemulsi kombinasi dl-alfa tokoferol asetat dan minyak kelapa murni. Uji Aktivitas Antioksidan dilakukan dengan metode peredaman radikal bebas. Aktivitas antioksidan diharapkan akan meningkat pada sediaan mikroemulsi dl-alfa tokoferol asetat dengan basis minyak kelapa murni.
Pada penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan sediaan mikroemulsi kombinasi dl-alfa tokoferol asetat dan minyak kelapa murni sebagai sediaan topikal yang mampu memberikan penampilan fisik transparan, stabilitas fisika dan kimia yang baik, serta peningkatan aktivitas antioksidan.
1
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Kulit
Fungsi kulit yang utama antara lain adalah memberikan perlindungan dari paparan fisik dan kimia. Kulit merupakan penyangga fisik yang melindungi jaringan dibawahnya dari gesekan fisik, serangan bakteri, dan radiasi ultraviolet. Kulit juga banyak mengandung syaraf-syaraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang berhubungan dengan suhu, sentuhan, tekanan, dan nyeri. Proteksi regulasi kulit diantaranya adalah menjaga suhu tubuh tetap normal. Kulit juga berfungsi untuk mensekresikan garam, air, dan limbah organik melalui kelenjar-kelenjar integumen. Selain itu, kulit berfungsi dalam sintesis vitamin D yang penting untuk metabolisme kalsium, seta sebagai tempat penyimpanan nutrien (Martini, 2001).
Gambar 1.1 Struktur kulit (Martini, 2001).
Kulit terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu epidermis, dermis, dan jaringan subkutan. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsi tertentu.
2
1.1.1 Epidermis Epidermis merupakan lapisan kulit yang terluar. Epidermis terdiri dari lapisan basal, lapisan spinosum, lapisan granulosum, dan lapisan korneum.
Gambar 1.2 Lapisan pada epidermis kulit (Baumann, 2002). a.
Lapisan Basal
Lapisan basal merupakan bagian yang paling dasar dari epidemis, terdiri dari 10 % sel-sel pembelahan (stem cells), 50 % sel-sel penggandaan (amplifying cells), dan 40 % sel-sel postmitotic. Sel-sel basal bertanggung jawab untuk memelihara pembaharuan sel pada epidermis. Pada lapisan basal terjadi mitosis untuk mengganti sel epidermis yang rusak. Pada lapisan basal diproduksi keratonosit yang merupakan sel utama pembentuk epidermis.
b.
Lapisan Spinosum
Lapisan spinosum terdiri dari 8 s.d. 10 lapisan sel, serta keratin yang terikat pada desmosom. Pada lapisan spinosum terdapat sel-sel langerhans untuk menstimulasi sistem pertahanan tubuh. c.
Lapisan Granulosit
Lapisan granulosit terdiri dari 3-5 lapisan keratonosit. Lapisannya tebal, kurang permeabel, dan mengandung protein keratohialin yang berfungsi untuk menyeleksi zat-zat yang akan lewat. d.
Stratum Korneum
Statum korneum merupakan lapisan terluar dari epidermis dan berfungsi sebagai lapisan pelindung. Stratum korneum terdiri dari brick dan mortar. Bricks terdiri dari keratonosit, sedangkan mortar berupa granul lamelar, terdiri dari lipida dan protein. Stratum korneum
4 disebut sebagai lapisan mati karena sel-selnya tidak menunjukkan sintesis protein dan tidak menanggapi respon selular (Baumann, 2002). Korneosit (Brick ) Lipid interselular (Mortar )
Brick Hidrofil
Mortar
Hidrofob Hidrofil
Brick
Gambar 1.3 Stratum korneum (Baumann, 2002).
1.1.2 Dermis Dermis merupakan bagian kulit yang terdapat di bawah epidermis. Pada lapisan ini banyak terdapat pembuluh darah, pembuluh limfa dan saraf. Lapisan dermis mengandung serat retikular yang elastis dan kolagen. Selain itu, pada lapisan dermis terdapat kelenjarkelenjar dan organ-organ sensorik (Baumann, 2002).
1.1.3 Lapisan Subkutan Lapisan subkutan merupakan lapisan yang terletak dibawah dermis dan banyak mengandung jaringan adiposa, membentuk ikatan yang lentur antara struktur kulit di dalam dengan struktur kulit pada permukaan kulit (Baumann, 2002).
1.1.4 Penetrasi Zat Aktif Melalui Kulit Permeasi zat aktif melalui kulit dapat melalui rute transepidermal dan rute tranapendagel. Rute transepidermal yaitu melalui jaringan epidermis, merupakan jalur utama absorpsi obat. Rute transepidermal terdiri dari jalur transelluler dan jalur antar sel (interseluller). Jalur transselluler yaitu jalur absorpsi dengan cara menembus sel-sel epidermis, sedangkan pada jalur antarsel obat diabsorpsi melalui ruangan antar sel. Rute transapendagel merupakan absorpsi obat melalui kelenjar dan folikel rambut. Absorpsi dapat terjadi karena adanya pori-pori yang menyebabkan obat dapat berpenetrasi ke dalam kulit (Kogan, 2006)
5 1.2
Mikroemulsi
1.2.1 Definisi Mikroemulsi Mikroemulsi adalah dispersi dari fasa minyak dan fasa air yang transparan dan stabil secara termodinamik oleh adanya molekul surfaktan . Fase terdispersi berupa globul kecil dengan ukuran partikel berkisar antara 10-100 nm (Swarbrick, 1995).
1.2.2 Keuntungan Mikroemulsi Sediaan mikroemulsi lebih disukai karena stabilitasnya lebih baik. Keuntungan sediaan mikroemulsi antara lain meningkatkan ketersediaan hayati, meningkatkan absorpsi zat aktif dalam aplikasi topikal, dan meningkatkan penetrasi melalui kulit. Formulasi mikroemulsi dalam sediaan topikal bertujuan untuk meningkatkan permeabilitas zat aktif (Kogan, 2006).
1.2.3 Sifat Fisika Mikroemulsi Mikroemulsi mempunyai ukuran yang sangat kecil, menghasilkan larutan yang transparan. Selain itu juga memberikan efek Tyndall. Mikroemulsi merupakan dispersi transparan yang terdiri dari mikroglobul yang sferik (bulat) dari minyak dalam air (M/A) atau air dalam minyak (A/M). Globul tersebut dilapisi oleh lapisan pada batas antarmuka yang berasal dari surfaktan dan kosurfaktan. Makroemulsi menghasilkan sediaan berwarna putih susu, sementara mikroemulsi berupa sediaan transparan yang dapat dilihat secara kasat mata (Prince, 1977).
1.2.4 Teori Pembentukan Mikroemulsi Teori Mixed Film menyatakan bahwa lapisan interfasial dan tegangan permukaan yang sangat rendah penting dalam pembentukan mikroemulsi. Pembentukan spontan mikroemulsi disebabkan oleh pembentukan kompleks lapisan pada permukaan globul minyak dalam air karena adanya surfaktan dan kosurfaktan. Hal ini menyebabkan penurunan tegangan permukaan antara minyak dan air, sehingga tegangan permukaannya menjadi sangat kecil (mendekati nol sampai negatif). Pernyataan terbentuknya lapisan interfasial pada mikroemulsi, dijelaskan dengan persamaan sebagai berikut : γi = γm/a – πi . γi menunjukkan tegangan antar permukaan, γm/a menunjukkan tegangan antar permukaan antara minyak dan air tanpa adanya lapisan film, dan πi menunjukkan tekanan yang menyebar pada sistem dua dimensi. Ketika surfaktan
6 dan kosurfaktan ditambahkan dan teradsorpsi pada lapisan antar permukaan, maka tekanan yang menyebar (πi) akan menjadi lebih besar daripada γm/a, sehingga dihasilkan nilai tegangan antar permukaan yang negatif. Partisi kosurfaktan (alkohol) diantara fasa minyak dan lapisan antar muka, meyebabkan penurunan γm/a yang signifikan. Hukum dinamik dari peran kosurfaktan dalam pembentukan mikroemulsi yang dinyatakan oleh Gerbacia dan Rosano, bahwa tegangan antarmuka dapat berkurang karena difusi kosurfaktan melalui antar muka. Mekanisme pembentukan mikroemulsi berbeda dengan pembentukan makroemulsi. Perbedaan yang paling signifikan terletak pada usaha makroemulsi atau peningkatan jumlah emulgator yang biasanya memperbaiki stabilitasnya, tidak terjadi pada mikroemulsi. Sistem dalam mikroemulsi dipengaruhi dari pembentukannya yang spesifik yang melibatkan interaksinya antara molekul minyak, emulgator, dan air. Jika interaksi spesifik tidak terbentuk, kerja yang diberikan dan jumlah emulgator yang melebihi batas tidak akan menghasilakan produk yang diinginkan.
Mikroemulsi stabil secara termodinamika sedangkan emulsi biasa tidak stabil. Emulsi biasa tidak stabil karena adanya energi bebas permukaan yang besar. Sistem tersebut akan selalu berusaha memantapkan diri agar energi bebas permukaan menjadi nol yaitu dengan penggabungan globul. Ketidakstabilan suatu emulsi disebabkan karena daya kohesi lebih besar daripada daya adhesinya. Mikroemulsi stabil secara termodinamika karena adanya gerakan Brown dalam sistem yang mencegah globul-globul dari mikroemulsi bersatu. (Swarbrick, 1995).
1.2.4 Formulasi Mikroemulsi Mikroemulsi umunya dibentuk dari tiga komponen atau lebih, terdiri dari fase internal, fase eksternal, dan fase interfasial (Prince, 1977).
a.
Fase internal/fase terdispersi
Fase terdispersi terdiri dari partikel-partikel cairan yang terdispersi dalam bentuk tetesan kecil dalam fasa luar. Ukuran partikel mikroemulsi berkisar 10-100 nm.
7 b.
Fase Eksternal/ fase pendispersi
Fase pendispersi merupakan bagian cairan dengan jumlah lebih banyak. c.
Fase Interfasial
Fase interfasial terdiri dari surfaktan primer, dan surfaktan sekunder (kosurfaktan). Surfaktan dan kosurfaktan ditambahkan dan teradsorpsi, sehingga terbentuk lapisan antar permukaan. Surfaktan nonionik akan menurunkan tegangan antar permukaan. Partisi kosurfaktan (alkohol) diantara fasa minyak dan lapisan antar muka, menyebabkan penurunan tegangan antar permukaan.
Sistem mikroemulsi ini umumnya lebih sulit untuk diformulasi dibandingkan emulsi biasa, karena pembentukan sisitem ini merupakan proses yang sangat spesifik yang melibatkan interaksi spontan diantara molekul-molekul penyusun. Tahap yang paling menentukan dalam pembuatan mikroemulsi adalah pemilihan dan jumlah surfaktan dan kosurfaktan yang digunakan. Surfaktan yang dipilih harus dapat menurunkan tegangan antarmuka antara kedua fase sampai nilai yang sangat rendah, sehingga memudahkan proses dispersi pada pembuatan mikroemulsi. Lapisan tipis emulgator harus memiliki nilai hidrofiliklipofilik yang sesuai pada daerah antarmuka supaya dihasilkan mikroemulsi (Swarbick, 1995).
1.2.5 Proses Pembuatan mikroemulsi Mikroemulsi terbentuk secara spontan. Tetapi menurut Rosano, menunjukkan meskipun mikroemulsi terbentuk secara spontan, tetapi driving force (daya dorong) kecil dan waktu untuk mencapai keseimbangan tegangan interfasial yang lama. Fluktuasi tegangan antar permukaan dapat terjadi dalam proses pembuatan mikroemulsi karena energi bebas komponen-komponen minimum, sehingga waktu untuk mencapai keseimbangan dipengaruhi oleh urutan pencampuran dari komponen mikroemulsi (Swarbick, 1995).
Urutan pencampuran dalam sistem minyak dalam air terdapat banyak rentang pilihan. Beberapa cara lebih baik dalam suatu sistem daripada cara lainnya, tetapi tidak sama sekali dapat membentuk mikroemulsi jika tidak ada kesesuaian antara minyak dan emulsifier yang digunakan. Cara untuk membuat mikroemulsi minyak dalam air yaitu dengan
8 mencampurkan minyak dam emulsifier dan kemudian dituangkan campuran cairan ini kedalam air dengan pengadukan yang perlahan (Prince, 1977).
1.3
Radikal Bebas
Radikal bebas didefinisikan sebagai atom atau molekul yang memiliki elekton yang tidak berpasangan, dapat berupa anion, kation atau netral. Jenis-jenis radikal bebas diantaranya radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2-●), radikal hidroksiksil (HO●), radikal peroksil (LOO●), nitro oksida (NO●). Radikal bebas dikenal juga sebagai spesi oksigen reaktif. Molekul oksigen stabil dengan pasangan elektron (Punchard, 1996).
Molekul oksigen stabil dengan pasangan elektron. Sedangkan molekul oksigen dengan elektron yang tidak berpasangan bersifat reaktif karena elektron tersebut dapat bereaksi dengan elektron dari komponen vital. Hal ini tentunya membahayakan karena oksigen reaktif ini dapat berpengaruh negatif pada DNA, protein sellular, dan membran selular. Oksigen reaktif ini turut terlibat dalam proses
penuaan. Radikal bebas ini dipercaya
sebagai karsinogenik, dapat menyebabkan inflamasi, dan menyebabkan penuaan pada kulit (Baumann, 2002).
Ultraviolet (UV) dapat menginduksi kerusakan pada kulit dan
merupakan perantara
terbentuknya radikal bebas. Pemaparan UV meningkatkan terbentuknya radikal bebas. Selain spesi oksigen reaktif, radikal bebas dapat berupa peroksida lipid. Peroksida lipida ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel dan dapat memicu penuaan kulit. Radikal bebas juga dipercaya berkontribusi dalam menyebabkan kanker kulit (Baumann, 2002).
Radikal bebas dibentuk secara alami melalui metabolisme tubuh, tetapi dapat pula terbentuk oleh karena polusi udara, rokok, radiasi, alkohol, latihan fisik, inflamasi, dan logam berat. Fakta yang terjadi adalah UV, asap rokok, dan polusi merupakan sumber terbentuknya radikal spesi oksigen reaktif, seperti superoksida, anion hidroksil, hidrogen peroksida, dan oksigen tunggal (Baumann, 2002).
9 Mekanisme reaksi radikal bebas merupakan suatu deret reaksi-reaksi bertahap yang terdiri dari tahap inisiasi, propagasi,dan terminasi. Tahap inisiasi adalah pembentukan awal radikal-radikal bebas. Tahap propagasi merupakan tahap terjadinya reaksi radikal bebas. Setelah terbentuk radikal, akan terjadi sederetan reaksi pembentukan radikal bebas baru yang disebut sebagai reaksi rantai. Tahap yang dapat menghentikan reksi berantai dari radikal bebas tertentu.
1.4
Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat bereaksi dengan radikal bebas sehingga menghentikan tahap propagasi pada reaksi rantai oksidasi. Antioksidan topikal dapat digunakan untuk mencegah penuaan dan mencegah mediasi kerusakan kulit oleh UV. Selain itu antioksidan dapat digunakan untuk mencegah kerutan pada kulit dan eritema.
Antioksidan topikal harus dapat diabsorpsi ke dalam kulit dan disampaikan ke jaringan target dalam bentuk aktif. Absorpsi ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bentuk molekul dalam komponen sediaan, pH, kelarutannya dalam air atau lemak, dan pembawa yang digunakan dalam sediaan (Baumann, 2002).
Vitamin E merupakan suatu antioksidan yang bekerja pada metabolisme antara pada proses oksidasi-reduksi dan sebagai penangkap radikal bebas, menghambat pembentukan peroksida yang dibentuk oleh asam lemak tak jenuh pada membran lipida, serta menghambat oksidasi zat tubuh lainnya (Mutschler, 1991).
Vitamin E dapat memperangkap radikal bebas secara langsung maupun tidak langsung dengan cara menginisiasi (radikal hidroksil dan radikal oksigen) atau mempropagasi radikal peroksil lipida. Vitamin E merupakan antioksidan utama larut lipid yang dapat melindungi sel-sel kulit dari stress oksidatif (Baumann, 2002).
1.5
Tinjauan Preformulasi
Tinjauan preformulasi merupakan suatu proses optimasi suatu sediaan melalui pendefinisian sifat-sifat fisika dan kimia dari bahan aktif dan eksipien yang penting dalam menyusun formulasi sediaan.
10 1.5.1 dl-Alfa Tokoferol Asetat Alfa tokoferol asetat mengandung tidak kurang dari 96,0% dan tidak lebih dari 102,0% (2RS)-2,5,7,8-tetrametil-2-[(4RS,8RS)-4,8,12-trimetiltridesil]-3,4-dihidro-2H-1 benzopiran -6-ol asetat. Alfa tokoferol asetat memiliki rumus molekul C31H52O3 dan berat molekul 472,7.
Gambar 1.4 Struktur kimia dl-alfa tokoferol asetat (BP 2002). Alfa tokoferol asetat merupakan cairan kental, jernih, berwarna kekuningan, praktis tidak larut dalam air, larut dalam aseton, etanol, eter, dan minyak lemak. Alfa tokoferol asetat lebih stabil terhadap cahaya dan udara dibandingkan dengan alfa tokoferol. Penyimpanannya dalam wadah tertutup rapat serta terlindung dari cahaya. Alfa tokoferol asetat tidak tahan terhadap alkali (British Pharmacopoeia, 2002).
Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan larut lemak yang mencegah proses peroksidasi lipida. Vitamin E merupakan pereduksi yang mencegah reaksi rantai oksidatif atau menangkap radikal peroksil. Penggunaan vitamin E dalam produk perawatan topikal terbatas karena kesensitifannya. Oleh karena itu, produk topikal sering menggunakan vitamin E ester yang stabil, contohnya adalah alfa tokoferol asetat. Vitamin E asetat dapat mengalami biokonversi menjadi vitamin E pada kulit yang dimediasi oleh esterase (Thiele, 2001).
1.5.2 Minyak Kelapa murni Minyak kelapa murni merupakan minyak diperoleh dari pengepresan bagian padat kering dari endosperma Cocos nucifera L. (Fam. Palmae), tanpa melalui proses kimia refining (penjernihan), deodorizing (penghilangan bau), dan bleaching (pemutihan). Secara fisik, minyak kelapa murni harus berwarna jernih. Hal ini menandakan tidak tercampur oleh bahan dan kotoran lain (Setiaji, 2006).
11 Minyak kelapa murni tidak mudah tengik karena kandungan asam lemak jenuhnya tinggi sehingga proses oksidasi tidak mudah terjadi. Kandungan antioksidan di dalam minyak kelapa murni pun sangat tinggi. Kandungan asam lemak yang tertinggi dalam minyak kelapa adalah asam laurat (C12). Asam laurat di dalam tubuh akan diubah menjadi monolaurin, yaitu suatu senyawa monogliserida yang baik untuk kesehatan tubuh dan kulit. (Setiaji, 2006) Tabel 1.1 Komposisi Minyak Kelapa Murni (APCC) Kandungan Kimia Air Asam Lemak Jenuh Asam kaproat Asam kaprilat Asam kaprat Asam laurat Asam miristat Asam palmitat Asam stearat Asam Lemak Tidak Jenuh Asam oleat Asam linoleat - : tidak ditemukan di pustaka
Jumlah (%) 0,4-0,6 5,0-10,0 4,5-8 43,0-53,0 16,0-21,0 7,5-10,5 5-10,0 1,0-2,5 -
1.5.3 Polyoxyl 35 Castrol Oil Polyoxyl 35 castrol oil dikenal juga dengan nama Cremophor EL dan Cremophor ELP, adalah surfaktan nonionik yang banyak digunakan untuk formulasi sediaan oral, topikal, dan parenteral. Cremophor ELP merupakan Cremophor EL (polyoxyl 35 castrol oil) yang dimurnikan, dengan kadar air, kalium, serta asam lemak bebas yang lebih rendah sehingga dapat meningkatkan stabilitasnya. Cremophor ELP berupa cairan kental, jernih, berwarna kuning pucat, serta berbau khas. Cremophor ELP dapat larut dalam etanol, asam-asam lemak, lemak alkohol, air, kloroform, dan minyak tumbuhan.
Polyoxyl 35 castrol oil (Cremophor ELP) terdiri dari konstituen hidrofobik sekitar 83% dari total campuran. Komponen utama termasuk polietilenglikol ricinoleat. Konstituen hidrofobik lainnya antara lain asam lemak ester dari polietilenglikol dan minyak jarak. Bagian hidrofilik (17%) terdiri dari polietilenglikol dan gliserol etoksilat. Cremophor ELP
12 stabil dalam larutan organik seperti kloroform, etanol, dan propan-2-ol, membentuk larutan jernih, dan stabil. Cremophor ELP stabil terhadap elektrolit konsentrasi rendah. Inkompatibilitas Cremophor ELP yaitu terhadap merkuri klorida (Rowe, 2006).
Gambar 1.5 Struktur kimia polyoxyl 35 castrol oil. Keterangan : x + y +z = 35.
1.5.4 Etanol. Etanol merupakan cairan jernih, tidak berwarna, mudah menguap. Titik didih etanol sebesar 78,15oC. Etanol larut dalam kloloroform, eter, gliserin, dan air (Wade, 1994).
http://www.kfki.hu/chemonet/hun/eloado/szerves2/16gifs/16a.gif Gambar 1.6 Struktur kimia etanol.
1.5.5 DPPH (2,2-difenil 1-pikrilhidrazil) DPPH merupakan senyawa radikal bebas berbentuk prisma, berwarna ungu tua. DPPH mempunyai berat molekul 394,3. Titik leleh DPPH yaitu 132-133 oC. DPPH dapat larut dalam air, etanol, dan metanol (Martha Windhoir, 1976).
Gambar 1.7 Struktur kimia DPPH.
13 1.5.6 Gliserin Gliserin merupakan cairan kental jernih, tidak berwarna, higroskopis. Dalam sediaan topikal, gliserin digunakan sebagai humektan. Larut dalam etanol dan air, praktis tidak larut dalam minyak. Konsentrasi sebagai pelembab (humektan) yaitu sampai 30 %, berfungsi pula sebagai pengawet antimikroba pada konsentrasi lebih dari 20 % (Wade, 1994).
_
_
OH
OH
_ CH3
_
_
CH3 CH2
OH
Gambar 1.8 Struktur kimia gliserin.
1.5.7 Metil Paraben Metil paraben memiliki rumus empiris C8H8O3 dengan berat molekul 152,15. Metil paraben merupakan serbuk kristal berwarna putih, tidak berbau. Metil paraben berfungsi sebagai pengawet, dengan konsentrasi dalam sediaan topikal 0,02-0,3% b/v. Efektifitas pengawet akan meningkat jika dikombinasikan dengan propil paraben. Kelarutan metil paraben yaitu 1 : 3 dalam etanol 95 %, 1 : 60 dalam gliserin, 1 : 5 dalam propilen glikol, dan 1 : 400 dalam air (Wade, 1994).
1.5.8 Propil Paraben Propil paraben memiliki rumus empiris C10H12O3 dengan berat molekul 180,2. Propil paraben merupakan serbuk kristal berwarna putih, tidak berasa dan tidak berbau. Metil paraben berfungsi sebagai pengawet, dengan konsentrasi dalam sediaan topikal 0,01-0,6% b/v. Propil paraben (0,02%) yang dikombinasikan dengan metil paraben (0,18%) akan meningkatkan efektifitas pengawet. Kelarutan propil paraben yaitu 1 : 1,1 dalam etanol; 1 : 250 dalam gliserin; 1 : 3,9 dalam propilenglikol; 1 : 2500 dalam air (Wade, 1994).