PENDAHULUAN Nyamuk merupakan serangga yang dapat mengancam kesehatan manusia, karena dapat menjadi vektor berbagai penyakit, antara lain malaria dan demam berdarah. Saat ini, wilayah penyebaran nyamuk yang berpotensi terhadap transmisi penyakit semakin luas diantaranya disebabkan oleh pemanasan global. Telah dikembangkan berbagai jenis produk perlindungan terhadap nyamuk. Produk antinyamuk dikembangkan dan diedarkan di pasaran antara lain dalam bentuk antinyamuk bakar, mat antinyamuk, dan antinyamuk cair (antinyamuk semprot). Antinyamuk dalam bentuk mat elektrik semakin luas digunakan karena kepraktisannya. Produk mat elektrik pada tiap merk dapat mengandung senyawa aktif insektisida yang berbeda-beda. Senyawa aktif yang terkandung pada salah satu produk mat antinyamuk yang beredar di pasaran adalah metoflutrin. Metoflutrin memiliki banyak keunggulan, diantaranya memiliki aktivitas tinggi dalam melumpuhkan nyamuk, relatif mudah menguap dan memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia ( 1 ). Kandungan insektisida termasuk metoflutrin yang terdapat dalam produk antinyamuk perlu diketahui kadarnya untuk keperluan pengawasan kualitas. Hal ini penting terkait dengan keamanan konsumen dalam menggunakan antinyamuk tersebut. Meskipun metoflutrin secara luas telah digunakan dalam produk antinyamuk, hingga saat ini belum ditetapkan suatu metode analisis untuk penentuan kadar metoflutrin dalam mat antinyamuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu metode analisis untuk penetapan kadar metoflutrin dalam mat antinyamuk. Penetapan kadar metoflutrin dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas. Pengembangan metode analisis terhadap metoflutrin diperlukan agar produk mat antinyamuk yang beredar di pasaran dapat terjamin mutunya dan aman bagi konsumen yang menggunakan produk tersebut.
1
http://www.sumitomo-chem.co.jp, 12 Februari 2007
1
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Metoflutrin Metoflutrin adalah senyawa yang memiliki aktivitas insektisida sintetis dengan rumus molekul C18H20F4O3 dan bobot molekul 360,34. Metoflutrin diklasifikasikan ke dalam golongan piretroid. Senyawa tergolong piretroid, adalah senyawa yang menyerupai piretrin. Piretrin merupakan senyawa alami yang memiliki aktivitas insektisida yang terdapat pada bunga tumbuhan genus Chrysanthemum. Keunggulan senyawa yang tergolong piretroid adalah aktivitas yang tinggi dan cepat melumpuhkan serangga terutama nyamuk serta toksisitasnya yang rendah terhadap mamalia. Dibandingkan senyawa piretroid lain, metoflutrin relatif lebih mudah menguap dan memiliki aktivitas yang lebih tinggi ( 2 ).
Gambar 1.1 Struktur metoflutrin
1.1.1
Sifat Fisiko Kimia
Metoflutrin merupakan cairan kental berwarna kuning pucat pada suhu kamar dan sedikit berbau khas. Metoflutrin memiliki titik didih 91,8oC dengan tekanan uap 1,96.10-3 Pa pada suhu 25oC. Metoflutrin tidak larut dalam air, tetapi larut pada hampir semua pelarut organik antara lain aseton, asetonitril, metanol, etanol, dan heksan.
2
Ibid.
2
3 1.1.2
Kestabilan
Metoflutrin stabil selama tiga tahun apabila disimpan pada suhu kamar. Apabila disimpan pada suhu 50oC, metoflutrin stabil selama enam bulan. Kestabilannya sangat dipengaruhi oleh kelembaban, suhu, dan paparan cahaya. Metoflutrin terhidrolisis dalam larutan basa. Metoflutrin harus disimpan pada wadah tertutup rapat, tidak terpapar cahaya secara langsung, dan dihindarkan dari temperatur tinggi. 1.1.3
Aktivitas dan Toksisitas Metoflutrin
Metoflutrin memiliki keunggulan berupa aktivitas yang tinggi dan cepat dalam melumpuhkan serangga terutama nyamuk. Aktivitas metoflutrin telah diuji terhadap berbagai spesies nyamuk. Salah satu nya Culex quinquefasciatus, merupakan nyamuk yang biasa ada di rumah tinggal dan merupakan galur dari Indonesia. Aktivitas metoflutrin lebih dari empat puluh kali lebih tinggi dari d-aletrin. Metoflutrin memiliki LD50 terhadap Culex pipiens yaitu nyamuk yang umum ada di rumah tinggal sebesar 0,0015 µg/nyamuk betina dewasa, menunjukkan aktivitas dua puluh lima kali lebih tinggi dari d-aletrin dan empat kali lebih tinggi dari praletrin ( 3 ). Metoflutrin menunjukkan aktivitas yang tinggi terhadap serangga dalam melumpuhkan sistem saraf. Namun memiliki toksisitas yang rendah terhadap mamalia. Metoflutrin menunjukkan nilai LD50 sebesar 2000 mg/kg terhadap tikus jantan dan betina pada pemberian dermal maupun pemberian oral. 1.2 Kromatografi Gas Kromatografi gas digunakan untuk analisis sampel yang mudah menguap. Analisis secara kromatografi gas didasarkan pada pemisahan sampel di antara dua fasa, fasa diam dan gas yang mengelusi fasa diam. Senyawa yang diuapkan dielusi oleh gas pembawa melalui fasa diam. Komponen sampel terpisah secara selektif berdasarkan koefisien distribusi dan adsorpsi, kemudian hasil pemisahan dideteksi sebagai fungsi waktu oleh detektor. Klasifikasi berdasarkan fasa diam, kromatografi gas padat apabila fasa diam berupa zat padat, apabila fasa diam zat cair disebut kromatografi gas cair. Kromatografi gas cair lebih banyak digunakan dalam penelitian, dan dikenal sebagai kromatografi gas (Skoog, dkk., 1998).
3
Ibid.
4
Gambar 1.2 Bagan sistem kromatografi gas Sistem elusi kromatogafi gas memiliki beberapa keunggulan, antara lain bahwa kolom terus-menerus dipulihkan oleh aliran gas yang inert, sehingga sampel dapat terpisah sempurna (McNair dan Bonelli, 1988). Gas pembawa harus tidak berinteraksi dengan analit, tetapi hanya berfungsi membawa analit melewati kolom. Waktu analisis dengan kromatografi gas cukup singkat. Komponen-komponen yang tertahan kuat pada fasa diam dan memiliki waktu analisis yang lama, dapat diatur dengan sistem pemrograman suhu kolom. Sehingga waktu analisis dapat diatur menjadi lebih cepat. Selain itu, kromatografi gas memiliki resolusi (daya pisah) yang sangat baik untuk pemisahan senyawa-senyawa yang berbeda titik didih kecil sekali. Analisis kualitatif suatu senyawa dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa pembanding. Waktu retensi merupakan parameter khas untuk tiap senyawa pada sistem kromatografi gas tertentu dan tidak terpengaruh oleh keberadaan komponen lain. Sedangkan analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan melihat luas puncak kromatogram yang berbanding lurus dengan konsentrasi sampel. Ketelitian dan kepekaan dipengaruhi oleh detektor yang digunakan. Kromatografi gas dapat mendeteksi komponen hingga ukuran pikogram per mili liter.
1.2.1
Gas Pembawa
Pada pengaturan suhu dan laju alir tertentu,gas pembawa mengelusi komponen dalam sampel menghasilkan puncak kromatogram dengan waktu retensi tertentu yang khas untuk tiap komponen. Gas pembawa yang biasa digunakan adalah hidrogen, helium, dan nitrogen. Gas pembawa harus lembam untuk mencegah antaraksi dengan sampel atau fasa
5 diam, mudah didapat, murni, cocok untuk detektor yang digunakan (Mc Nair dan Bonelli, 1988).
1.2.2
Sistem Injeksi Sampel
Sampel yang dianalisis disuntikkan dengan syringe kedap gas. Jarum suntik dimasukkan melalui septum pada gerbang suntik sejumlah volume terukur.
1.2.3
Kolom
Pemilihan kolom sangat menentukan keberhasilan pemisahan. Kolom yang lebih panjang menghasilkan jumlah pelat teori dan daya pisah yang lebih tinggi. Namun, kolom yang sangat panjang tidak dapat menjamin laju alir gas pembawa yang tetap, sehingga dapat menurunkan kembali daya pisahnya. Pada kromatografi gas cair, terdapat dua macam kolom, yaitu kolom kemas dan kolom kapiler. Kolom kemas berupa bahan padat lembam yang menyangga lapisan tipis fasa cair. Sedangkan kolom kapiler berupa tabung terbuka dengan lapisan tipis fasa cair yang memiliki garis tengah sangat kecil. Biasanya kolom dibuat dari baja nirkarat yang tidak menyerap atau bereaksi dengan sampel.
1.2.4
Fasa Diam
Fasa diam merupakan cairan tipis yang berada pada penyangga padat yang lembam. Sampel harus menunjukkan koefisien distribusi yang berbeda pada fasa diam untuk memungkinkan proses pemisahan. Kromatografi gas cair digunakan secara luas dan merupakan metode yang selektif disebabkan banyaknya jenis fasa diam yang dapat digunakan. Fasa cair yang digunakan memiliki syarat antara lain merupakan pelarut yang baik untuk komponen dalam sampel. Apabila kelarutan komponen pada fasa cair rendah, komponen cepat terelusi dan tidak terjadi pemisahan yang baik. Fasa cair juga merupakan pelarut pembeda yang baik untuk pemisahan komponen dalam sampel. Pada suhu kolom, fasa cair tahan panas dan tidak menguap. Fasa cair juga harus lembam secara kimia terhadap senyawa yang dianalisis. Cairan tipis fasa diam disalut pada penyangga padat. Penyangga padat harus bersifat lembam, memiliki permukaan luas, dan tidak mudah remuk.
1.2.5
Pengaturan Suhu
Selain oleh laju alir fasa gerak, waktu retensi senyawa ditentukan pula oleh pengaturan suhu. Suhu gerbang suntik diatur agar cukup panas untuk dapat langsung menguapkan
6 sampel. Namun, suhu nya tidak boleh terlalu tinggi yang dapat mengakibatkan penguraian. Pengaturan suhu kolom menentukan waktu retensi senyawa. Suhu kolom dapat dinaikkan untuk mendapatkan waktu analisis yang cukup singkat, tetapi tetap memberikan daya pisah yang dikehendaki. Jenis detektor dapat mempengaruhi pengaturan suhu detektor. Namun, pada dasarnya, suhu detektor diatur agar tidak terjadi pengembunan sampel, air, atau hasil samping yang terbentuk, dengan memilih suhu detektor yang lebih tinggi dari suhu gerbang suntik dan suhu kolom.
1.2.6
Sistem Deteksi
Sistem deteksi terdiri atas detektor. Ciri detektor yang dikehendaki ialah kepekaan tinggi, tingkat derau rendah, kelinieran tanggapannya lebar, tanggap terhadap semua jenis senyawa, kuat, tidak peka terhadap perubahan aliran dan suhu, serta harganya murah (McNair dan Bonelli, 1988). Beberapa detektor yang dikenal antara lain: detektor pengionan nyala, detektor konduktivitas thermal, detektor emisi termionik, detektor penangkap elektron, detektor fotometri nyala, dan detektor fotoionisasi (Skoog, dkk., 1998). Tiap jenis detektor memiliki keunggulan masing-masing. Salah satu detektor yang umum digunakan adalah detektor pengionan nyala. Detektor pengionan nyala menggunakan gas hidrogen dan udara untuk menghasilkan nyala. Saat senyawa organik dibakar, hantaran akan naik, arus yang mengalir ditangkap oleh perekam dan tampak sebagai puncak.
1.2.7
Perekam
Alat perekam berfungsi menangkap sinyal yang berasal dari detektor dan mengubahnya menjadi kromatogram. Perekam berupa integrator dapat diatur untuk dapat memperoleh data analisis yang jelas.
1.2.8
Penggunaan Baku Internal
Peningkatkan kecermatan dan keseksamaan pada metode analisis metoflutrin dapat dilakukan dengan penggunaan teknik analisis dengan baku internal. Baku internal yang direkomendasikan digunakan untuk analisis meroflutrin adalah etil stearat. Etil stearat mempunyai rumus molekul C20H40O2 dengan berat molekul 312,53. Senyawa ini berupa cairan bening, tetapi pada suhu kamar berbentuk lilin, untuk etil stearat 97-100% titik leleh nya 35-38oC, dan titik didih 213-215oC. Struktur etil stearat dapat dilihat pada Gambar 1.3
7
Gambar 1.3 Struktur etil stearat
1.3 Pengembangan Metode Pengembangan metode analisis diawali dengan menentukan hal yang menjadi masalah analisis. Hal ini akan berkaitan dengan metode yang akan dipilih. Salah satu hal yang mendorong pengembangan metode analisis adalah belum adanya metode analisis yang sesuai untuk analit tertentu dalam suatu matriks yang khusus atau merupakan sediaan baru. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode yang mampu memberikan informasi analitik yang baik dan memadai sesuai persyaratan yang ada, bebas galat atau galat yang ada dapat dikenali sehingga dapat dikoreksi, mudah dilakukan, cepat, dan murah. Studi pustaka perlu dilakukan untuk mengetahui metode yang telah ada. Pengembangan metode tetap didasari oleh literatur yang telah ada misalnya teori dan penelitian yang menggunakan instrumen yang sama atau mirip. Pengumpulan informasi difokuskan terkait sampel yang akan dianalisis, metode analisis yang telah ada, instrumen yang tersedia, perlakuan awal yang perlu dilakukan, dan persyaratan yang ditentukan. Sehingga kemudian dapat dipilih metode yang sesuai. Dalam hal ini menggunakan metode instrumen secara kromatografi gas. Metode kromatografi dioptimisasi untuk mendapatkan suatu kondisi optimal pengukuran. Optimisasi sistem kromatografi gas meliputi pemilihan kolom, pemilihan detektor, pengaturan suhu gerbang suntik, suhu kolom, dan suhu detektor. Optimisasi metode didasari oleh kriteria yang ada. Kriteria merupakan level yang baik yang harus dicapai sesuai tujuan analisis yang dilakukan. Penentuan suatu metode kromatografi memenuhi kriteria yang ditetapkan, diketahui dengan melakukan uji kesesuaian sistem, untuk memastikan efektivitas sistem operasional kromatografi sebelum digunakan untuk menganalisis. Uji kesesuaian sistem meliputi parameter-parameter kualitas pemisahan, seperti waktu retensi, resolusi, faktor kapasitas, faktor selektivitas, dan efisiensi kolom.
8 1.3.1
Waktu Retensi
Pada Gambar 1.3 dapat dilihat bahwa waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan senyawa setelah disuntikkan ke dalam kolom hingga terdeteksi pada detektor. Waktu retensi diberi simbol tR. Sedangkan simbol tM adalah waktu mati yaitu waktu yang dibutuhkan oleh spesi yang tidak tertahan oleh kolom.
Gambar 1.4 Kromatogram yang menunjukkan waktu retensi
1.3.2
Resolusi
Resolusi menunjukkan keterpisahan antar komponen-komponen yang terelusi berdekatan, juga diuji apabila analisis menggunakan metode baku internal. Kriteria resolusi yang baik bernilai ≥ 1,5. Resolusi ditentukan dengan menggunakan rumus:
2 ⎡t R (2) − t R (1) ⎤⎦ ......................................................................................(1) Rs = ⎣ W1 − W2 dengan tR adalah waktu retensi senyawa dan W menunjukkan lebar dasar puncak senyawa. 1.3.3
Faktor Selektivitas
Waktu retensi relatif antara dua puncak senyawa ditunjukkan dengan faktor selektivitas. Faktor selektivitas yang disebut juga retensi relatif diuji untuk menunjukkan identitas senyawa berupa waktu retensi dibandingkan dengan baku yang diketahui. Faktor selektivitas dapat ditentukan menggunakan rumus:
α=
tR 2 − tM .................................................................................................(2) t R1 − tM
9 dengan tR adalah waktu retensi senyawa. Senyawa 2 adalah senyawa yang lebih kuat diretensi pada kolom. Sedangkan tM adalah waktu mati. Kriteria faktor selektivitas yang baik adalah lebih besar sama dengan satu.
1.3.4
Faktor Kapasitas
Nilai faktor kapasitas menunjukkan migrasi analit. Nilai faktor kapasitas yang kecil menggambarkan analit diretensi oleh fasa diam dan terelusi dekat dengan puncak yang tidak diretensi. Sedangkan harga faktor kapasitas yang lebih besar menunjukkan pemisahan yang lebih baik. Semakin tinggi faktor pemisah, semakin lama waktu retensi yang dibutuhkan. Faktor pemisah dapat ditentukan dengan rumus:
k, =
tR − tM ....................................................................................................(3) tM
dengan tR adalah waktu retensi analit dan tM adalah waktu retensi untuk puncak yang tidak diretensi. Nilai faktor pemisah yang baik adalah 1≤ k’ ≤ 10.
1.3.5
Efisiensi Kolom
Efisiensi kolom adalah parameter yang menggambarkan jumlah lempeng teoritik kolom. Efisiensi sistem dapat ditunjukkan dari nilai efisiensi kolom, yang dihitung dengan rumus:
N = 16 ( t R W ) .............................................................................................(4) 2
dengan tR adalah waktu retensi analit dan W adalah lebar alas puncak kromatogram. 1.4 Validasi Metode
Validasi metode perlu dilakukan untuk menunjukkan bahwa metode dapat digunakan untuk analisis senyawa yang terkandung dalam sampel pada konsentrasi tertentu dengan akurasi (kecermatan) dan presisi (keseksamaan) yang tinggi. Sehingga validasi metode dapat dinyatakan sebagai proses penilaian terhadap parameter analitik tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi syarat untuk tujuan penggunaannya. Proses validasi dapat memastikan hasil analisis valid atau absah, dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Validasi metode menurut USP dilakukan dengan pengujian kecermatan, keseksamaan, spesifisitas, batas deteksi (limit of
10 detection), batas kuantisasi (limit of quantitation), rentang linieritas, ruggedness, dan robustness.
1.4.1
Kecermatan
Kecermatan menyatakan ukuran kedekatan hasil uji terhadap nilai sebenarnya yang dapat diterima. Kecermatan dinyatakan dengan persen perolehan kembali dari analit yang ditambahkan ke dalam sampel atau matriks. Terdapat dua metode penentuan kecermatan yaitu dengan metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standard addition method). Metode simulasi dilakukan dengan menambahkan analit pembanding ke dalam campuran bahan pembawa sediaan atau plasebo, kemudian dianalisis. Hasil percobaan dibandingkan dengan kadar analit sebenarnya yang ditambahkan. Sedangkan pada metode penambahan baku, sejumlah tertentu analit ditambahkan ke dalam sampel, kemudian dianalisis. Sampel juga dianalisis. Selisih kedua hasil dibandingkan dengan kadar analit sebenarnya yang ditambahkan ke dalam sampel. Metode ini dapat dilakukan apabila bahan pembawa sediaan atau matriks tidak diketahui. Penentuan kecermatan yang direkomendasikan oleh International Conference on Harmonization (ICH) adalah dengan menggunakan sembilan data pengukuran yang terdiri atas tiga konsentrasi analit yang diukur nilai persen perolehan kembalinya. Nilai perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus: Perolehan kembali =
C x 100 %.................................................................(5) Cr
dengan C menyatakan kadar yang diperoleh dari percobaan dan Cr adalah kadar sebenarnya yang ditambahkan.
1.4.2
Keseksamaan
Keseksamaan menunjukkan derajat kesesuaian dari sekelompok hasil pengujian secara individual jika suatu metode analisis digunakan berulang terhadap beberapa sampel yang homogen. Keseksamaan ditentukan dengan penghitungan simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Menurut ICH, keseksamaan sebaiknya dilakukan pada tiga tingkat yang berbeda, yaitu: keterulangan (repeatability), keseksamaan antara, dan ketertiruan (reproducibility). Keterulangan dilakukan pada interval waktu yang pendek
11 pada kondisi yang sama, pengujian keterulangan minimum sembilan pengukuran dengan minimum tiga konsentrasi yang berbeda atau minimum enam kali pengukuran untuk konsentrasi analit 100 %. Keseksamaan antara dilakukan dengan kondisi berbeda pada laboratorium yang sama, misal: waktu analisis, analis, peralatan yang berbeda. Ketertiruan mengacu pada hasil studi kolaborasi antarlaboratorium. Penetapan keseksamaan juga terbagi atas presisi sistem dan presisi metode. Presisi sistem menunjukkan kinerja alat pada kondisi dan hari pengujian. Sedangkan presisi metode menunjukkan kinerja keseluruhan metode mulai dari perlakuan sampel awal hingga pengukuran menggunakan alat tertentu. Simpangan baku dan koefisien variasi dihitung dengan rumus:
S=
KV =
(
)
2 ⎡ xi − x ⎤ ∑ ⎢⎣ ⎥⎦ ......................................................................................(6) n −1
S .100% ...............................................................................................(7) x
dengan S adalah simpangan baku, x adalah rata-rata konsentrasi, xi adalah konsentrasi yang diukur, dan n adalah jumlah data.
1.4.3
Spesifisitas
Spesifisitas adalah kemampuan metode analisis mengukur secara akurat dan spesifik suatu analit dengan adanya komponen lain dalam matriks sampel. Sedangkan selektifitas menyatakan kemampuan metode analisis memberikan hasil pengukuran analit pada campuran analit dalam sampel tanpa adanya gangguan antar analit. Resolusi dapat digunakan untuk menunjukkan selektivitas. Metode selektif dapat dinyatakan sebagai suatu seri metode spesifik.
1.4.4
Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi
Batas deteksi adalah konsentrasi analit terkecil yang memberi sinyal instrumen yang berbeda secara nyata dari sinyal blangko dan sinyal latar belakang. Batas kuantisasi adalah konsentrasi analit terkecil yang dapat dikuantisasi secara cermat dan seksama. WHO dan USP menyatakan batas deteksi merupakan kadar analit terkecil dalam sampel yang dapat dideteksi tetapi tidak perlu ditetapkan sebagai kadar yang tetap, sedangkan batas kuantisasi
12 sebagai kadar analit terkecil yang dapat diukur secara kuantitatif dengan kecermatan dan keseksamaan yang dapat diterima. Pengukuran batas deteksi dan batas kuantisasi dari kurva baku yang diajukan oleh Miller dan Miller merupakan pendekatan yang paling praktis dan ekonomis. Dengan cara tersebut, batas deteksi dan batas kuantisasi dapat dihitung dengan rumus (Ibrahim, 2005):
Batas deteksi
=
Batas kuantisasi =
1.4.5
3,3SY
X
..........................................................................(8)
X
..........................................................................(9)
b 10S Y b
Linieritas
Linieritas adalah kemampuan metode analisis menunjukkan respon atau hasil uji secara langsung atau matematis berbanding lurus terhadap konsentrasi analit dalam sampel pada rentang tertentu. Linieritas ditentukan dengan pembuatan kurva baku atau kurva kalibrasi yang menggambarkan hubungan fungsional antara respon instrumen dengan konsentrasi analit. Pengujian kelinieran menggunakan beberapa kriteria, yaitu: koefisien korelasi, titik potong garis, kemiringan garis, koefisien variasi fungsi regresi, jumlah kuadrat sisa, dan kepekaan analisis metode (Ibrahim, 2005). Koefisien korelasi menunjukkan derajat saling kebergantungan dua variabel acak yang dapat mencapai nilai +1 sampai -1. Nilai koefisien korelasi (r) diperoleh dari persamaan garis regresi linier antara konsentrasi terhadap respon instrumen: y = bx + a ....................................................................................................(10) Koefisien korelasi r ≥ 0,999 sudah cukup dan dapat digunakan untuk membuktikan kelinieran kurva baku. Koefisien variasi fungsi regresi (Vxo) diperoleh dengan menggunakan rumus: Vxo =
SY bx
X
x 100 % ..................................................................................(11)
13 dengan SY/X adalah simpangan baku garis regresi, b adalah kemiringan garis, dan x adalah nilai rata-rata konsentrasi. Simpangan baku garis regresi dapat diperoleh dari rumus berikut:
SY
X
=
∑( y −Y ) i
n−2
i
2
..................................................................................(12)
dengan Yi adalah nilai respon yang dihitung dari persamaan garis regresi y = bx + a. Nilai Vxo yang kecil menunjukkan kelinieran yang cukup baik, pada umumnya Vx0 ≤ 2,0 % digunakan untuk kurva baku penetapan kadar obat dalam sediaan atau bahan baku, sedangkan Vx0 ≤ 5,0 % untuk analisis obat dalam kajian metabolit dan bahan biologis. 1.4.6
Ruggedness
Ruggedness menyatakan derajat reprodusibilitas hasil uji sampel yang sama di bawah kondisi normal dengan parameter penetapan berbeda, seperti laboratorium, analis, alat, pereaksi, hari, waktu, dan suhu penetapan yang berbeda. Ruggedness metode analisis menggambarkan ketertiruan hasil analisis antar lab atau antar analis yang berbeda pada kondisi normal tetapi masih dalam spesifikasi yang dipersyaratkan.
1.4.7
Robustness
Robustness menyatakan ukuran kemampuan metode analisis untuk tidak terpengaruh oleh perubahan atau variasi kecil dari parameter metode analisis yang sengaja dibuat dan memberikan indikasi kehandalan dalam penggunaan normal. Robustness ditentukan selama dilakukan pengembangan metode analisis. Harus ditetapkan parameter kesesuaian sistem misalnya resolusi untuk menjamin validitas metode analisis selama digunakan. Pengukuran yang peka terhadap perubahan kondisi tertentu harus lebih memperhatikan kondisi tersebut dan mengendalikannya.