B AB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Prestasi Belajar Matematika
a. Belajar Arti kata belajar di Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Sedangkan dalam kamus Bahasa Inggris, belajar atau to learn memiliki arti to gain knowledge, comprehension, or mastery of through experience (Prawira, 2012:224). Berusaha diwujudkan dalam bentuk kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Kepandaian merujuk pada penguasaan ilmu pengetahuan. Untuk menguasai pengetahuan diperlukan adanya pengalaman, dan informasi. Jadi, unsur pokok dalam belajar yaitu kegiatan dan penguasaan. Menurut Piaget dalam Wardoyo (2013: 35), belajar merupakan penyesuaian dari pengaruh penyesuaian terhadap lingkungan. Piaget mendeskripsikan tiga proses dalam penyesuaian yaitu proses asimilasi, akomodasi,
dan
equilibrasi.
Asimilasi
yaitu
pengumpulan
dan
pengelompokan informasi baru. Akomodasi yaitu memodifikasi informasiinformasi yang telah terkumpul untuk membentuk pengetahuan baru. Sedangkan equilibrasi yaitu dorongan secara terus menerus ke arah keseimbangan (suatu kondisi di mana tidak ada kontradiksi pada representasi mental siswa). Sedangkan, Bruner dalam Wardoyo (2013: 37) menyatakan bahwa belajar merupakan sebuah proses aktif di mana pembelajar mengkonstruksi ide atau konsep baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya dan yang sekarang. Berdasarkan pengertian belajar yang telah dikemukakan para ahli tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang bersifat sadar
dari individu guna mendapatkan ilmu pengetahuan 8
9
dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman atau pengetahuan sebelumnya. b. Prestasi Belajar Prestasi dalam bahasa Inggris berarti achievement, kata tersebut berasal dari kata to achieve yang berarti „mencapai‟. Jadi dalam bahasa Indonesia, prestasi (achievement) seringkali diartikan sebagai „pencapaian‟ atau „apa yang dicapai‟. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 788), “Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru”. Menurut Saifuddin Azwar (2012: 9), “prestasi belajar merupakan performansi maksimal subjek dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan”. Selain itu, prestasi belajar juga merupakan hasil belajar yang telah dibatasi secara jelas sesuai dengan tujuan instruksional yang diajarkan (Azwar, 2012:19). Merujuk pada pemikiran Gagne (1985), prestasi belajar berupa: 1) Informasi verbal 2) Keterampilan intelektual 3) Strategi Kognitif 4) Keterampilan motorik 5) Sikap, berupa kemampuan menginternalisasi dan mengeksternalisasi nilai-nilai Dari pengertian di atas, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai selama proses belajar yang dapat berupa keterampilan kognitif, motorik, dan sikap sebagai ukuran tingkat penguasaan bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam penelitian ini prestasi belajar berupa keterampilan kognitif yang diukur melalui tes dan dinyatakan dalam bentuk angka. c. Matematika Istilah matematika berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil perkataan Yunani, mathematike, yang berarti “relating to
10
learning”. Perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan (knowledge). Menurut Ruseffendi E.T dalam Suherman (2001:18), matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Matematika tumbuh dan berkembang karena pikiran-pikiran manusia yang berkaitan dengan ide, proses, dan penalaran sehingga logika adalah dasar terbentuknya matematika. James and James dalam Suherman, et al (2001:18) mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu sama lainnya . Ellen D.Gagne (1985:230) mengemukakan bahwa, “Mathematics competence comprises two broad areas-computational skill and conceptual understanding”. Kompetensi dalam matematika secara umum dibagi menjadi dua, yaitu keterampilan berhitung dan pemahaman konsep. Berdasarkan beberapa pengertian matematika yang telah diuraikan sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan bahwa matematika adalah ilmu yang terbentuk berdasarkan hasil pemikiran manusia. Matematika berupa ilmu tentang struktur yang terorganisasi dimulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan ke unsur-unsur yang didefinisikan, kemudian ke aksioma atau postulat dan akhirnya sampai ke dalil. d. Prestasi Belajar Matematika Belajar matematika berarti belajar menghubungkan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya kemudian mengkaitkan dengan materi yang sedang dipelajari untuk mendapatkan konsep baru. Berdasarkan pengertian prestasi belajar dan pengertian matematika yang telah diuraikan sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika adalah hasil yang dicapai siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika sebagai ukuran tingkat penguasaan bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Prestasi belajar matematika ditunjukkan dengan hasil yang berupa angka.
11
2. Model Pembelajaran a. Pembelajaran Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suatu proses belajar. Definisi pembelajaran menurut para ahli, dalam Subini (2012: 6) diantaranya, 1) Mazur menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan perubahan individu yang disebabkan karena pengalaman 2) Stalling menjelaskan bahwa pembelajaran berdasarkan tiga perilaku penting, yaitu: a) Menampakkan perubahan dalam tingkah laku b) Melibatkan sesuatu pemikiran c) Menghasilkan perubahan melalui pengalaman dan latihan 3) Sudjana menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan semua upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik (guru/dosen) kepada peserta didik (siswa/mahasiswa) untuk melakukan kegiatan belajar. Adapun ciri-ciri pembelajaran menurut Subini (2012: 8), yaitu: 1) Pembelajaran terjadi apabila ada perubahan tingkah laku yang kekal. 2) Pembelajaran terjadi secara sadar 3) Proses pembelajaran berlaku sepanjang hidup 4) Pembelajaran merupakan suatu proses yang sejalan
dengan
perkembangan kognitif. Berdasarkan pengertian pembelajaran yang telah diuraikan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan upaya sadar, yang disengaja dan melibatkan pemikiran untuk melakukan suatu kegiatan belajar yang ditandai dengan adanya perubahan perkembangan kognitif ke arah yang lebih baik. b. Model Pembelajaran Joice & Well dalam Siswono (2008: 57) menjelaskan bahwa model pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai desain dalam pembelajaran di kelas atau pembelajaran tutorial dan
12
untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, tape recorder, media program komputer, dan kurikulum. Menurut Arends dalam Suprijono (2013: 46), model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Berdasarkan beberapa pengertian model matematika yang telah diuraikan, penulis mengambil kesimpulan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang memuat prosedur sistematis yang digunakan sebagai acuan dalam merencanakan proses pembelajaran. 3. Model pembelajaran berbasis pengajuan dan pemecahan masalah (JUCAMA) a. Hakikat pembelajaran JUCAMA Model pembelajaran pengajuan dan pemecahan masalah atau disingkat JUCAMA merupakan suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan dan pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya dan menekankan belajar aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif (Siswono, 2008: 60). Model ini didasarkan pada lima teori belajar, yaitu (1) Teori Piaget, (2) Teori Vygotski, (3) Teori Bruner, (4) Teori tentang Pemecahan dan Pengajuan Masalah, (5) Teori tentang Berpikir Kreatif. Teori Piaget menjelaskan bahwa pengetahuan berasal dari adaptasi individu pada lingkungannya. Perkembangan intelektual terjadi melalui konstruksi aktif dari pengetahuan yang dimiliki individu. Berdasarkan pandangan ini, maka pembelajaran seharusnya memberi kesempatan siswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri berdasar pengetahuan yang berasal dari adaptasinya dengan lingkungan. Pengajuan masalah memberi kesempatan pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengetahuan yang dimiliki (Siswono, 2008: 61). Teori Vygotski secara garis besar menjelaskan bahwa perkembangan pengetahuan memerlukan intervensi orang dewasa dalam pemikiran anak. Tanpa mediasi secara simbolik,
13
pemikiran siswa akan berada pada level yang rendah. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan Zone of proximal development (ZPD) yaitu sebuah kawasan antara tingkat perkembangan aktual sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah yang independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melaui pemecahan masalah di bawah petunjuk orang dewasa. Berdasarkan pendangan tersebut, berarti bahwa tugas pemecahan masalah maupun pengajuan masalah dapat menjadi bentuk intervensi terhadap pemikiran anak sehingga anak mencapai tingkat perkembangan potensial (Siswono, 2008: 64). Garis besar Teori Bruner dijelaskan pula dalam Siswono (2008: 64) bahwa perkembangan intelektual ditandai dengan peningkatan kemampuan seorang individu memisahkan respon-respon dari stimuli yang dekat dan yang khusus. Berdasarkan pandangan tersebut, berarti bahwa pemecahan dan pengajuan masalah dapat dikatakan sebagai stimuli yang akan memicu perkembangan intelektual individu. Kemampuan memecahkan masalah dan pengajuan masalah ini dipengaruhi oleh lingkungan. Garis besar teori pengajuan masalah dan pemecahan masalah serta teori berpikir kreatif dijelaskan dalam Siswono (2008: 69) bahwa pemecahan dan pengajuan masalah dapat menjadi pendekatan untuk mengembangkan kemamapuan berpikir kreatif. Dimana kemampuan berpikir kreatif diindikasikan dengan kemampuan kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan. Menurut Siswono (2008: 35), “Pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas”. Dalam memecahkan masalah, siswa diharuskan memiliki ketrampilanketrampilan sebagai berikut, 1) Ketrampilan empiris (perhitungan, pengukuran) 2) Ketrampilan aplikatif untuk menghadapi situasi yang umum (sering terjadi) 3) Ketrampilan berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa (unfamiliar)
14
Pehkonen dalam Siswono (2008: 39), mengkategorikan alasan untuk mengajarkan pemecahan masalah menjadi 4 kategori, yaitu: 1) Pemecahan masalah mengembangkan ketrampilan kognitif secara umum. 2) Pemecahan masalah mendorong kreativitas. 3) Pemecahan masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika. 4) Pemecahan masalah memotivasi siswa untuk belajar matematika Dalam pembelajaran
matematika, proses pemecahan masalah
(problem solving) saja masih kurang cukup. English (1997) menjelaskan pendekatan
pengajuan
masalah
dapat
membantu
siswa
dalam
mengembangkan keyakinan dan kesukaan terhadap matematika (Siswono, 2008: 40). Oleh karena itu, pengajuan masalah (problem posing) menduduki peran penting dalam proses pembelajaran matematika. Silver dan Cai dalam Siswono (2008: 73) menjelaskan langkah pengajuan masalah dalam tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda, yaitu: (1) pengajuan presolusi (presolution posing), yaitu seorang siswa membuat soal dari situasi yang diadakan, (2) pengajuan di dalam solusi (within solution posing), yaitu siswa merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan, (3) pengajuan setelah solusi (post solution posing), yaitu siswa memodifikasi kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal baru. b. Sintaks pembelajaran JUCAMA Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran JUCAMA Fase 1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik.
2. Mengorientasikan peserta didik pada masalah dan mengorganisasikannya untuk belajar.
Aktivitas/Kegiatan Pendidik Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi peserta didik, dan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari. Memberikan masalah yang sesuai tingkat perkembangan anak untuk diselesaikan atau meminta peserta didik mengajukan masalah berdasar informasi ataupun masalah awal. Meminta peserta didik
15
3. Membimbing penyelesaian secara individual maupun kelompok. 4. Menyajikan hasil penyelesaian pemecahan dan pengajuan masalah.
5. Memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai evaluasi.
bekerja dalam kelompok atau individual dan mengarahkan peserta didik membantu dan berbagi dengan anggota kelompok atau teman lainnya. Pendidik membimbing dan mengarahkan belajar secara efektif dan efisien. Pendidik membantu peserta didik dalam merencanakan dan menetapkan suatu kelompok atau seorang peserta didik dalam menyajikan hasil tugasnya. Memeriksa kemampuan peserta didik dan memberikan umpan balik untuk menerapkan masalah yang dipelajari pada suatu materi lebih lanjut dan pada konteks nyata masalah sehari-hari. (Siswono, 2008:74)
c. Tujuan Pembelajaran JUCAMA Tujuan instruksional: 1) Meningkatkan hasil belajar peserta didik terutama dalam memecahkan masalah, yang berkaitan dengan materi yang dibahas. 2) Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berpikir kreatif yang diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, maupun kebaruan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah matematika. Tujuan tidak langsung: 1) Mengaitkan konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari dengan konsep lain dan pengalaman peserta didik sehari-hari. 2) Memusatkan perhatian dan melakukan pengulangan terhadap materi yang sudah dipelajari atau dengan kata lain mendorong untuk belajar mandiri.
16
3) Melatih mengkomunikasikan ide secara rasional atau bernalar, karena dituntut untuk menjawab masalah secara divergen (Siswono, 2008:70) d. Keunggulan model JUCAMA 1) Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis melalui pemecahan masalah. 2) Mengembangkan kemampuan kognitif dan kreativitas peserta didik melalui pengajuan masalah. 3) Meningkatkan prestasi dan keaktifan siswa dalam pembelajaran melalui pemecahan masalah dan pengajuan masalah. 4) Memotivasi peserta didik untuk belajar dan menyukai matematika. 5) Melatih peserta didik untuk mengkomunikasikan ide-ide pemecahan masalah dan pengajuan masalah. e. Kelemahan model JUCAMA 1) Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model JUCAMA membutuhkan waktu yang lebih lama. 2) Apabila siswa tidak mempunyai minat tinggi, maka siswa akan kesulitan dalam mengajukan masalah Berdasarkan kajian teori diatas, penulis menyusun langkah-langkah pembelajaran menggunakan model JUCAMA sebagai berikut, 1) Kegiatan Pendahuluan a) Guru menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi siswa
untuk
belajar b) Guru mengaitkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari (Fase 1: menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik) 2) Kegiatan Inti a) Guru meminta siswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang. b) Guru memberikan masalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa yang mengarahkan pada pemahaman materi bangun datar segiempat. Masalah yang diberikan berupa pemecahan masalah dan
17
pengajuan soal. Pengajuan soal bisa berupa pre solution posing (guru meminta siswa untuk membuat soal dari kondisi yang diadakan), within solution posing (guru meminta siswa untuk membuat soal seperti yang telah diselesaikan) atau post solution posing (guru meminta siswa untuk memodifikasi kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal baru). c) Guru mengarahkan siswa untuk saling bekerja sama untuk menyelesaikan masalah. (Fase
2:
mengorientasi
peserta
didik
pada
masalah
dan
mengorganisasikannya) d) Guru membimbing siswa menyelesaikan tugas kelompok. e) Guru meminta siswa untuk menyelesaikan masalah yang diberikan pada lembar kerja kelompok, berupa pemecahan masalah dan pengajuan soal terkait materi segiempat. (Fase 3: Membimbing penyelesaian secara individual maupun kelompok) f) Guru membimbing siswa untuk menyajikan secara tertulis atau lisan hasil pembelajaran, apa yang telah dipelajari, keterampilan atau materi yang masih perlu ditingkatkan, atau strategi atau konsep baru yang ditemukan. (Fase 4: Menyajikan hasil penyelesaian pemecahan dan pengajuan masalah) g) Guru memberikan soal-soal latihan untuk mengecek pemahaman siswa. (Fase 5: Memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai evaluasi) 3) Kegiatan Penutup a) Guru
membimbing
siswa
melakukan
resume
secara
lengkap,
komprehensif dari konsep yang dipahami, keterampilan yang diperoleh maupun sikap lainnya. (fase 5) b) Guru memberikan tugas rumah kepada siswa. (fase 5)
18
4. Model Problem Based Learning a. Hakikat Problem Based Learning Menurut Hmelo (2004), Serafino & Ciccheli (2005) dalam Egen (2012: 307), Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah seperangkat model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan diri. Sedangkan menurut Beetlestone (2012), “kegiatan problem solving atau penyelesaian masalah adalah kegiatan yang memberi kesempatan bagi anak-anak untuk menggunakan imajinasi mereka, mencoba mewujudkan ide-ide mereka, dan berpikir tentang berbagai macam kemungkinan” . Polya dalam Suherman (2001: 84), menyatakan bahwa solusi pemecahan masalah (problem solving) memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan . Menurut Duch et al. Dalam Wardoyo (2013: 73), “Problem Based Learning is one of educational strategy that helps students build the reasoning and communication for success today”. Ini berarti, pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) membantu siswa dalam membangun kemampuan memberi alasan (reasoning). Karakteristik-karakteristik pembelajaran berbasis masalah dikemukakan oleh Egen (2012:307), antara lain pelajaran berfokus pada memecahkan masalah, tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa, guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah. Model Problem Based Learning didasarkan pada teori belajar: (1) Teori Konstruktivisme, (2) Teori Piget (2) Teori Bruner. Teori konstruktivisme dijelaskan oleh Richardson dalam Wardoyo (2013: 23) bahwa konstruktivisme merupakan suatu keadaan di mana individu menciptakan pemahaman mereka sendiri berdasarkan pada apa yang mereka ketahui dan percayai, serta ide dan fenomena di mana mereka berhubungan. Teori Piaget dijelaskan dalam Wardoyo (2013: 35) bahwa
19
pembelajaran merupakan penyesuaian dari pengaruh penyesuaian terhadap lingkungan. Piaget menjelaskan tiga proses dalam penyesuaian yaitu asimiliasi, akomodasi, equilibrasi. Asimilasi adalah pengumpulan dan pengelompokan
informasi
baru.
Akomodasi
adalah
memodifikasi
pengetahuan-pengetahuan yang telah dikelompokkan sebelumnya sehingga terbentuk pengetahuan baru. Equilibrasi adalah dorongan yang terus menerus ke arah keseimbangan atau ekuilibrium. Keseimbangan yang dimaksud adalah keadaan di mana tidak ada kontradiksi yang terjadi pada representasi mental anak. b. Sintaks Problem Based Learning Langkah-langkah pembelajaran
Problem
Based
Learning
dikemukakan oleh Nur (2012) dalam Kemdikbud (2013: 13) sebagai berikut: Tabel 2.2 Sintaks Problem Based Learning Tahap Tahap 1 Mengorientasikan peserta didik terhadap masalah
Tahap 2 Mengorganisasi peserta didik untuk belajar
Aktivitas Guru dan Peserta Didik Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan sarana atau logistik yang dibutuhkan. Guru memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah nyata yang dipilih atau ditentukan. Guru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang sudah diorientasikan pada tahap sebelumnya.
Tahap 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dan melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan kejelasan untuk menyelesaikan masalah
Tahap 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu peserta didik untuk berbagi tugas dan merencanakan atau menyiapkan karya yang sesuai sebagai hasil pemecahan masalah dalam bentuk laporan, video, atau model.
Tahap 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses pemecahan masalah yang dilakukan.
20
c. Tujuan Problem Based Learning Tujuan dari pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah: 1) Meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan satu masalah spesifik dan memahami materi yang terkait dengan itu. 2) Mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah dan menjadi murid mandiri. (Egen, 2012:310). d. Keunggulan Problem Based Learning 1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. 2) Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik, sehingga memberikan keleluasaan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik. 3) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan mengambangkan kemampuan mereka guna beradaptasi dengan pengetahuan baru. (Suyadi, 2013: 142) e. Kelemahan Problem Based Learning 1) Ketika peserta didik tidak memiliki minat tinggi, atau tidak mempunyai kepercayaan diri bahawa dirinya mampu menyelesaikan masalah yang dipelajari, maka mereka cenderung enggan untuk mencoba. 2) Tanpa pemahaman “mengapa mereka berusaha” untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari. 3) Proses pelaksanan memerlukan waktu yang lebih lama. Karena sering kali peserta didik masih memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan. Padahal waktu pelaksanaan
21
Problem Based Learning harus disesuaikan dnegan beban kurikulum yang ada. (Suyadi, 2013: 143) Berdasarkan kajian teori diatas, penulis menyusun langkah-langkah pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning sebagai berikut, 1) Kegiatan Pendahuluan a) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan sarana yang dibutuhkan. b) Guru memberikan masalah dalam kehidupan nyata mengenai materi segi empat. c) Guru memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah
nyata
yang
dipilih
atau
ditentukan.
(Tahap
1:
Mengorientasikan peserta didik terhadap masalah) 2) Kegiatan Inti a) Guru meminta siswa memberi dugaan mengenai solusi atau strategi terbaik untuk menyelesaikan masalah. b) Guru mengelompokkan siswa ke dalam kelompok beranggotakan 4-5 orang. (Tahap 2: Mengorganisasi peserta didik untuk belajar) c) Guru membimbing siswa mengumpulkan informasi yang sesuai untuk menyelesaikan masalah. (Tahap 3: Membimbing penyeledikan individual maupun kelompok) d) Guru meminta setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok mereka. e) Guru membimbing
diskusi
kelas untuk
mengklarifikasi
dan
memperkuat pemahaman siswa. (Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya) f) Guru memberikan soal latihan untuk mengecek pemahaman siswa. (Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah)
22
3) Kegiatan Penutup a) Guru membimbing siswa melakukan resume secara lengkap, komprehensif dari konsep yang dipahami, keterampilan yang diperoleh maupun sikap lainnya. (Tahap 5) b) Guru memberikan tugas rumah kepada siswa. (Tahap 5) 5. Kreativitas Belajar Istilah Kreativitas merujuk pada proses mental yang menghasilkan solusi, ide, konsep, ekspresi artistik, teori, atau produk yang unik dan baru (Carter, 2009:180). Menurut Dresdahi, dalam Suyatinah dalam Purwa Atmaja Prawira (2012: 119) kreativitas adalah kemampuan mencerminkan kelancaran, keluwesan,
fleksibilitas,
orisinalitas
berpikir,
mengembangkan,
dan
memerinci gagasan. Woods dalam Beetlestone (2012: 131). menghubungkan imajinasi dengan kreativitas dan inovasi, yang mengidentifikasikan kreativitas sebagai memiliki empat komponen utama, yakni: inovasi, kepemilikan, kontrol dan relevansi Fleksibilitas atau keluwesan dalam berpikir menekankan pada banyaknya
ide-ide
berbeda
yang
digunakan
dalam
menyelesaikan
permasalahan. Orisinalitas berpikir menekankan pada keaslian dalam berpikir. Inovasi menekankan pada kemampuan seseorang dalam mengubah, memodifikasi sesuatu yang ada menjadi sesuatu yang baru. Kelayakan dan kebaruan menekankan pada kemampuan seseorang dalam memunculkan ideide baru serta layak dan diterima secara logis. Kefasihan menekankan pada banyaknya ide-ide yang dapat dibuat untuk merespon sebuah perintah. Kreativitas sebagai „three facet model of creativity’sangat dipengaruhi oleh kepribadian serta mempengaruhi kepribadian. Siswa kreatif cenderung memiliki
kepribadian
yang
mandiri
serta
percaya
diri.
Sehingga,
pengembangan kreativitas juga sangat berpengaruh terhadap mental atau kepribadian siswa. Menurut Seto Mulyadi dalam Prawira (2012: 119), upaya pengembangan kreativitas pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan
23
strategi P-4, yaitu dengan memandang kreativitas sebagai produk, pribadi, proses, dan pendorong. Kreativitas mempunyai hubungan yang erat dengan kepribadian-kepribadian seseorang. Pengembangan kemampuan kreatif akan berpengaruh pada sikap mental atau kepribadian seseorang. Siswa yang kreatif akan memiliki kepribadian yang lebih integratif, mandiri, luwes dan percaya diri Menurut Utami Munandar (2009: 103), ciri-ciri pribadi yang kreatif adalah sebagai berikut : 1) Mempunyai daya imajinasi yang kuat 2) Mempunyai inisiatif 3) Mempunyai minat yang luas 4) Bebas dalam berfikir (tidak kaku atau terhambat) bersifat ingin tahu 5) Selalu ingin mendapat pengalaman-pengalaman baru 6) Percaya pada diri sendiri 7) Penuh semangat (banyak membaca dan menulis) 8) Berani mengambil resiko (tidak takut membuat kesalahan)
9) Berani dalam pendapat dan keyakinan (tidak ragu-ragu dalam menyatakan
pendapat
meskipun
mendapat
kritik
dan
berani
mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya. Dalam penelitian ini, ciri-ciri kreativitas yang digunakan dalam pembuatan angket, yaitu: 1) Imajinatif, dengan deskriptor siswa dapat
membayangkan
cara
penyelesaian persoalan matematika. 2) Mempunyai inisiatif, dengan deskriptor siswa berani mengungkapkan gagasan-gagasannya, jawaban, pertanyaan yang berbeda-beda. 3) Mempunyai minat luas, dengan deskriptor siswa suka matematika, siswa suka permainan yang mengasah otak. 4) Mandiri dalam berfikir, dengan deskriptor siswa memiliki kesadaran diri untuk belajar matematika.
24
5) Mempunyai rasa ingin tahu, dengan deskriptor siswa berusaha mencari penyelesaian dari persoalan yang diberikan guru maupun persoalan yang belum pernah dibahas di kelas, siswa aktif bertanya. 6) Senang berpetualang, dengan deskriptor siswa suka mencoba cara-cara baru yang memudahkan belajar matematika. 7) Penuh semangat, dengan deskriptor siswa selalu mengupayakan usaha terbaik dan tidak putus asa, dan suka mendiskusikan permasalahanpermasalahan matematika. 8) Percaya diri, dengan deskriptor siswa berani mengambil keputusan, bangga dengan hasil kerjanya dan percaya diri saat pelajaran matematika berlangsung. 9) Bersedia
mengambil
resiko,
dengan
deskriptor
siswa
berani
mengutarakan pendapatnya meski pendapatnya berbeda. 10) Berani dalam pendirian dan keyakinan, dengan deskriptor siswa tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, siswa berani mengakui kesalahan dan tidak takut kegagalan. B. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian pustaka di atas, dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut: 1. Kaitan model pembelajaran dengan prestasi belajar matematika Masalah pendidikan yang sering muncul yaitu bagaimana mencapai tujuan pembelajaran sehingga siswa dapat paham konsepkonsep yang ada serta mampu menyelesaikan berbagai persoalan terkait materi
pembelajaran.
pembelajaran
dari
Selain
itu,
teacher-centered
untuk
mengarahkan
menjadi
proses
student-centered,
diperlukan model pembelajaran yang menekankan pada keaktifan dan pemahaman konsep siswa. Model pembelajaran Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan diri. Model Problem Based Learning lebih menekankan pada proses pemecahan masalah (problem solving). Sehingga siswa
25
aktif terlibat dalam proses pemecahan masalah. Dengan kata lain, siswa diajak untuk belajar dengan pemberian suatu masalah. Sedangkan Model pembelajaran JUCAMA merupakan model pembelajaran yang bertujuan meningkatkan hasil belajar peserta didik terutama dalam memecahkan masalah, yang berkaitan dengan materi yang dibahas serta meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kreatif dalam memecahkan maupun mengajukan masalah matematika. Model pembelajaran JUCAMA tidak hanya menekankan pada pemecahan masalah (problem solving) saja, namun juga menekankan pada pengajuan masalah (problem posing), yang berupa pengajuan soal seperti soal yang diberikan guru atau memodifikasi soal yang diberikan guru untuk membuat soal baru. Sehingga siswa terlatih untuk aktif dan berpikir kreatif. Pada materi bangun datar segi empat, seringkali siswa hanya menghafal rumus keliling dan luas bangun datar segi empat. Sehingga, siswa dapat menyelesaikan soal yang berkaitan langsung dengan rumus, namun apabila soal dimodifikasi siswa seringkali tidak mengetahui cara menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan soal yang dimodifikasi tersebut butuh beberapa langkah penyelesaian dan tidak terkait langsung dengan rumus. Salah satu penyebab siswa kurang mampu menyelesaikan soal yang tidak terkait langsung dengan rumus, yaitu karena tingkat pemahaman siswa yang masih kurang. Melalui model pembelajaran Problem Based Learning dan JUCAMA siswa diajak aktif memahami masalah, dan merencanakan penyelesaiannya melalui adanya proses pemecahan masalah (problem solving). Di sisi lain, dengan model pembelajaran JUCAMA siswa diajak untuk mengajukan masalah atau soal melalui tahap pengajuan masalah (problem posing). Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam memecahkan suatu masalah. Semakin sering siswa berlatih membuat soal kemudian diselesaikan sendiri, maka tingkat pemahaman siswa diharapkan akan
26
meningkat sehingga siswa dapat menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik. Hal ini yang tidak diberikan dalam model pembelajaran Problem Based Learning. Oleh karena itu penggunaan model pembelajaran JUCAMA pada materi bangun datar segi empat diduga menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan penggunaan model Problem Based Learning. 2. Kaitan masing-masing kategori kreativitas belajar dengan prestasi belajar matematika Proses belajar dipengaruhi oleh faktor intern, salah satunya kreativitas belajar siswa. Dalam menyelesaikan persoalan matematika dibutuhkan adanya kreativitas untuk mencari ide-ide penyelesaian. Siswa dengan kreativitas belajar tinggi cenderung imaginatif, mempunyai gagasan-gagasan baru, berani mencoba suatu hal yang baru. Sehingga pada saat proses pembelajaran matematika, siswa dengan kreativitas tinggi mampu mengkaitkan konsep-konsep yang sudah diperoleh untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik. Sehingga apabila dihadapkan pada suatu persoalan matematika, siswa dengan kreativitas tinggi diduga dapat menyelesaikan persoalan matematika dengan lebih baik dibandingkan siswa dengan kreativitas sedang maupun rendah. Dalam hal ini, kreativitas belajar siswa diduga menjadi faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika. 3. Kaitan model pembelajaran dengan prestasi belajar matematika ditinjau dari masing-masing kategori kreativitas belajar Siswa dengan kreativitas belajar tinggi mempunyai sifat yang imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam berfikir, mempunyai rasa ingin tahu, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil resiko, Berani dalam pendirian dan keyakinan. Sehingga, siswa dengan kreativitas belajar tinggi cenderung tertantang untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang diberikan guru, tidak mudah putus asa, serta memiliki keyakinan dan merasa percaya diri dalam mengajukan masalah. Siswa dengan kreativitas belajar tinggi
27
biasanya dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang digunakan oleh guru, serta dapat memahami pelajaran lebih baik dibandingkan siswa dengan kreativitas belajar sedang dan siswa dengan kreativitas belajar rendah. Melalui adanya proses pengajuan masalah, siswa dengan kreativitas belajar tinggi yang mengikuti model JUCAMA lebih termotivasi untuk belajar dibandingkan dengan siswa dengan kreativitas belajar tinggi yang mengikuti model Problem Based Learning. Sehingga, pada siswa dengan kreativitas belajar tinggi, model pembelajaran JUCAMA akan menghasilkan prestasi belajar yang lebih baiknya dengan model pembelajaran Problem Based Learning. Siswa dengan kreativitas belajar sedang cenderung kurang percaya diri dalam mengungkapkan ide-ide penyelesaian maupun dalam mengajukan masalah. Sehingga pada siswa dengan kreativitas belajar sedang, yang dikenai model pembelajaran JUCAMA, siswa akan lebih termotivasi untuk memecahkan masalah dan mengajukan masalah, karena model ini mengharuskan siswa untuk mengajukan masalah. Hal ini yang tidak ada pada model pembelajaran Problem Based Learning. Sehingga, pada siswa dengan kreativitas belajar sedang, model pembelajaran JUCAMA akan menghasilkan prestasi belajar siswa yang lebih baik dibandingkan model pembelajaran Problem Based Learning. Siswa dengan kreativitas belajar rendah cenderung tidak punya minat yang tinggi dalam pembelajaran, sehingga tidak tertantang sama sekali untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan oleh guru. Karena model pembelajaran JUCAMA mengharuskan siswa untuk mengajukan masalah, maka siswa dengan kreativitas belajar rendah akan kesulitan dalam mengajukan masalah. Hal ini disebabkan karena siswa tidak hanya mengajukan masalah saja tetapi siswa juga harus mengetahui jawaban dari permasalahan yang mereka buat. Sedangkan siswa dengan kreativitas belajar rendah yang mengikuti model Problem Based Learning tidak diharuskan untuk mengajukan masalah. Oleh karena itu prestasi belajar siswa dengan kreativitas belajar rendah yang mengikuti
28
model Problem Based Learning lebih baik dibandingkan siswa dengan kreativitas belajar rendah yang mengikuti model JUCAMA. C. Penelitian yang Relevan Penelitian yang telah dilakukan dan relevan dengan penelitian yang dilakukan, adalah sebagai berikut: 1. Dwi Supri Haryanti (2008). Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu pembelajaran
dengan
metode
Problem
Based
Learning
(PBL)
menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik jika dibandingkan dengan metode konvensional (dalam hal ini metode ekspositori) pada pokok bahasan aritmetika sosial. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan model Problem Based Learning dalam proses pembelajaran. Perbedaannya yaitu tidak dibandingkan dengan metode konvemsional tetapi dibandingkan dengan model pembelajaran lain yaitu pembelajaran berbasis pengajuan dan pemecahan masalah (JUCAMA), serta ditinjau dari kreativitas belajar siswa. 2. Sulistyawati dan Susanah (2013). Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu respon siswa terhadap model pembelajaran JUCAMA tergolong baik, siswa aktif pada waktu proses pembelajaran, dan prestasi belajar siswa meningkat. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan
model
JUCAMA
dalam
proses
pembelajaran.
Perbedaannya yaitu model JUCAMA dibandingkan dengan model Problem Based Learning, serta ditinjau dari kreativitas belajar siswa. 3. Fita Wijayanti (2007). Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu siswa dengan kreativitas yang lebih tinggi mempunyai prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa dengan kreativitas yang lebih rendah. Jadi terlihat bahwa tingkat kreativitas seseorang juga mempengaruhi prestasi yang dimiliki orang tersebut. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama ditinjau dari kreativitas belajar siswa. Perbedaannya adalah model pembelajaran yang digunakan serta materi pelajaran yang disampaikan.
29
4. Ahmad Samsudin (2014). Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu melalui kegiatan pengajuan masalah (problem posing) siswa dapat memahami masalah lebih baik dan melalui latihan pembentukan soal, siswa
terangsang
untuk
memunculkan
ide-ide
kreatif
dalam
menyelesaikan masalah matematika. Dari penelitian tersebut, baik penerapan model Problem Based Learning maupun penerapan model JUCAMA dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Respon siswa terhadap kedua model tersebut juga tergolong baik, serta merangsang siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti ingin mencobakan model JUCAMA dan Problem Based Learning dalam pembelajaran pada materi yang sama, yaitu bangun datar segi empat, untuk melihat model manakah yang lebih baik ditinjau dari kreativitas belajar siswa pada masing-masing kategori, tinggi, sedang dan rendah. D. Perumusan Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Model
pembelajaran
JUCAMA
menghasilkan
prestasi
belajar
matematika yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran Problem Based Learning pada materi bangun datar segi empat. 2. Siswa dengan kreativitas belajar tinggi menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa dengan kreativitas belajar sedang maupun rendah, dan siswa dengan kreativitas belajar sedang menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa dengan kreativitas belajar rendah. 3. Pada siswa dengan kreativitas belajar tinggi, model pembelajaran JUCAMA menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik jika dibandingkan dengan model pembelajaran Problem Based Learning. 4. Pada siswa dengan kreativitas belajar sedang, model pembelajaran JUCAMA menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik
30
jika dibandingkan dengan model pembelajaran Problem Based Learning. 5. Pada siswa dengan kreativitas belajar rendah, model pembelajaran JUCAMA menghasilkan prestasi belajar matematika yang tidak lebih baik jika dibandingkan dengan model pembelajaran Problem Based Learning.