ANALISIS LEADING INDICATOR PERTUMBUHAN UNTUK SEKTOR PERTANIAN INDONESIA
OLEH NOVI SULISTIYANI PRATIWI H14104130
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN NOVI SULISTIYANI PRATIWI. Analisis Leading Indicator Pertumbuhan untuk Sektor Pertanian Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR) Sektor pertanian menjadi salah satu andalan untuk mencapai pertumbuhan di Indonesia. Selain sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar, pertanian juga menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Untuk tahun 2007 saja pertanian mampu menyumbangkan 0,5 persen menyamai sektor konstruksi dari total pertumbuhan nasional yaitu 6,3 persen dengan laju pertumbuhan untuk sektor itu sendiri sebesar 3,5 persen. Akan tetapi angka tersebut relatif masih sangat kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang terjadi pada sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran yang menyumbangkan 1,3 persen dan 1,4 persen dari total pertumbuhan yang terjadi. Sama halnya dengan perekonomian secara agregat, sektor pertanian juga memiliki periode resesi dimana terjadi penurunan pada sektor pertanian, dan periode ekspansi yaitu sektor pertanian mengalami pertumbuhan. Kedua periode ini dipastikan akan muncul silih berganti membentuk suatu siklus. Hal ini dalam ilmu ekonomi, dikenal sebagai business cycle (siklus bisnis), ada juga yang menyebutnya sebagai siklus perekonomian atau siklus perdagangan. Karena sektor pertanian merupakan bagian dari perekonomian yang mengalami fenomena business cycle, maka sudah tentu fenomena ini juga akan terjadi pada setiap sektor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara seperti Indonesia. Menurut Wira Kusuma, et. al, (2004) Hingga saat ini paling tidak terdapat tiga alasan utama mengapa leading indicator semakin luas digunakan oleh banyak negara. Pertama, deteksi dini terhadap kapan titik balik suatu business cycles sangat penting karena membantu para pelaku ekonomi untuk mengambil langkahlangkah penting, seperti para pengambil kebijakan, dunia usaha, dan investor. Kedua, penggunaan model makroekonometri dianggap tidak dapat memprediksi kapan titik balik akan terjadi, terutama jika terjadi perubahan struktural dalam perekonomian. Ketiga, leading indicator memiliki track record yang cukup baik sehingga diyakini mempunyai kemampuan sebagai alat forecasting. Untuk memperoleh variabel yang dapat menjadi CLI terlebih dahulu harus dilakukan pembersihan dari faktor musiman, irregular dan trend sehingga didapat data siklikal. Dari data siklikal yang didapat kemudian dibandingkan dengan seri acuan PDBP dengan cross correlation, didapat 13 variabel yang termasuk ke dalam leading, satu variabel yang termasuk lagging, dan satu variabel yang menjadi coincident. Yang menjadi variabel lagging untuk sektor pertanian pada penalitian ini adalah kredit investasi dengan lag sebesar +5 dan koefisien 0.4192. sedangkan yang menjadi coincident adalah M2 dengan koefisien sebesar 0.6591. Dari 16 variabel yang digunakan sebagai calon komposit, terdapat 13 variabel yang menjadi leading indicator pertumbuhan sektor pertanian Indonesia yaitu indeks harga konsumen Indonesia , indeks harga konsumen US, indeks harga perdagangan besar sektor pertanian, kredit modal kerja, expor produk pertanian, impor produk pertanian, suku bunga kredit modal kerja, suku bunga kredit investasi, real exchange rate, indeks harga beras dunia, indeks harga sawit dunia, indeks harga teh dunia dan PDB nasional.
Implikasi kebijakan yang dapat dirumuskan berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan-kesimpulan adalah. Pertanian sangat memerlukan pembiayaan untuk dapat meningkatkan produksinya, maka sangat dibutuhkan lembaga baik perbankan maupun non perbankan untuk masuk ke dalam sektor pertanian dengan skema yang menguntungkan petani. Pengawasan dalam pelaksanaannya sangat diperlukan agar modal yang diturunkan pemerintah dapat sampai dengan tepat ke petani. Selain itu penguatan modal kolektif petani juga dapat menjadi alternatif pembiayaan di sektor pertanian. Harga output bagi petani sangat penting, untuk itu pemerintah harus mampu menstabilkan harga dengan cara membeli kelebihan supply dengan harga yang berlaku di pasaran. Selain itu pencipataan pasar alternatif dengan rantai tata niaga yang pendek (direct marketing) dapat menjadi solusi pemasaran hasil produk pertanian. Pengendalian inflasi wajib dilakukan mengingat IHK menjadi salah satu leading indicator. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan subsidi untuk input pertanian seperti pupuk, bibit dan bahan bakar. Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar untuk dapat memenuhi semua hal tersebut, maka seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi yang penting bagi rakyat khususnya petani yang sebagian besar masih kurang mampu.
ANALISIS LEADING INDICATOR PERTUMBUHAN UNTUK SEKTOR PERTANIAN INDONESIA
OLEH NOVI SULISTIYANI PRATIWI H14104130
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama mahasiswa
:
Novi Sulistiyani Pratiwi
Nomor Registrasi Pokok
:
H14104130
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
:
Analisis Leading Indicator Pertumbuhan untuk Sektor Pertanian Indonesia
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec NIP. 131 803 656 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Rina Oktaviani, Ph.D NIP. 131 846 872 Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Bogor, Agustus 2008
Novi Sulistiyani Pratiwi H14104130
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Novi Sulistiyani Pratiwi lahir pada tanggal 5 November 1986 di Grobogan, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Sumarno dan Tri Lestari. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Depok Jaya 1 pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 2 Depok pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2001. pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Depok dan lulus pada tahun 2004. Sampai saat ini penulis masih berdomisili di Depok Jawa Barat. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar memperoleh ilmu dan mampu mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis sempat mengikuti organisasi Syariah Ekonomi Student Club, dan ikut serta dalam kepanitiaan acara yang diselenggaran program studi dan fakultas.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, pujian yang memenuhi seluruh nikmya-Nya bagi kemuliaan wajah-Nya dan keagungan kekuasaan-Nya. Atas anugrah, berkat dan kasih sayang-Nya. Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi junjungan sampai akhir zaman, yang membawa kegelapan munuju terang benderang sehingga penulis dapat menyelesaikan pnelitian yang berjudul ”Analisis Leading Indicator Pertumbuhan untuk Sektor Pertanian Indonesia”. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departeman Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk melihat siklus ekonomi yang terjadi pada sektor pertanian dan melihat variabel apa saja yang mampu menjadi leading bagi sektor pertanian Indonesia. Variabel yang terpilih menjadi leading tersebut digabungkan menjadi CLI (Composite Leading Index) untuk agar hasilnya dapat lebih baik. Akhirnya penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, agar penelitian ini dapat bermanfaat meskipun masih banyak kekurangan di dalamnya.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam atas kasih dan sayang-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW dan para sahabatnya. Pada kesempatan ini, dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Sumarno dan Ibu Tri Lestari orang tua tercinta yang telah ikhlas membesarkan, memberikan kasih sayang dan dorongan serta mendoakan dalam setiap langkah adinda.
2.
Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan banyak membantu dengan penuh keikhlasan dan sabar mulai dari penyusunan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.
3.
Bapak Bambang Juanda, Ph.D dan Bapak Toni Irawan, M.App.Ec yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan skripsi saya.
4.
Ibu Fifi D Thamrin selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingannya selama ini.
5.
Ayu, Abi dan Ley atas semangat dan kasih sayangnya. Mas Tyo atas segala bantuan moril, dorongan, dan perhatian yang telah diberikan selalu .
6.
Ka Irfan guru les sejak semester tiga, yang membantu mendalami mata kuliah yang sulit dipelajari sendiri.
7.
Sinta, Nana dan Islam teman seperjuangan yang banyak membantu untuk bertukar pikiran. Uunk, Puspa, Prime, Iyo, Imeh, Meda, Putroz, Chabe yang membuat hari-hari lebih berwarna. Ika dan Mie yang telah menjadi sahabat terbaik dan banyak memberikan perubahan positif dalam diri saya sejak bertemu di KKP. Nene (Tami) sahabat sejak SD sampai di IPB sekarang yang selalu ada dalam suka dan duka. Akbar yang kamarnya tempat menghilangkan suntuk karena ada tvnya, Ka Yogi dan Dodol yang membantu pada awal pembuatan skripsi ini dan teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas semangat, bantuan, dan persahabatannya. Terimakasih.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................xii DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xiv I. PENDAHULUAN........................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah................................................................................. 5 1.3. Tujuan Penelitian..................................................................................... 8 1.4. Manfaat Penelitian................................................................................... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 10 2.1. Peranan Sektor Pertanian Pada Perekonomian Indonesia........................ 10 2.1.1. Posisi Pertanian Dalam Masyarakat Indonesia.............................. 11 2.1.1. Pentingnya Kredit Bagi Pertanian Indonesia................................. 13 2.1.2. Pentingnya Harga Bagi Petani Untuk Meningkatkan Produktivitas.................................................................................. 15 2.2. Teori Real Business Cycle....................................................................... 16 2.3. Business Cycle Indicators........................................................................ 17 2.3.1. Leading Indicator (Indikator Pendahulu)...................................... 18 2.3.2. Lagging Indicator (Indikator Pengikut)......................................... 18 2.3.3. Coincident Indicator (Indikator Pengiring)................................... 19 2.4. Karakteristik Hubungan Indikator dalam Business Cycle....................... 19 2.5. Leading Indicator dan Penggunaannya................................................... 20 2.6. Leading Indicator Berdasarkan Metode OECD...................................... 21 2.7. Metode Penelitian Empirik Business Cycle............................................. 23 2.7.1. Hodrick Prescott Filter.................................................................. 23 2.7.2. Cross Correlation.......................................................................... 23 2.7.3. Indikator Business Cycle................................................................ 23 2.8. Penelitian-penelitian Terdahulu............................................................... 24 2.9. Kerangka Pemikiran.................................................................................26 III. METODE PENELITIAN.................................................................................28 3.1. Jenis dan Sumber Data............................................................................. 28 3.2. Metode Analisis Data............................................................................... 29 3.2.1. Penentuan Seri Acuan.................................................................... 30
3.2.2. Penentuan Titik Balik Seri Acuan..................................................31 3.2.3. Cross Correlation.......................................................................... 34 3.2.4. Pemilihan Komponen Pembentuk CLI.......................................... 35 3.2.5. Pembentukan Komposit Leading Indicator................................... 36 3.3. Menentukan Volatilitas Data................................................................... 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................................... 40 4.1. Gambaran Sektor Pertanian Indonesia
40
4.2. Pembentukan Data Siklikal...................................................................... 47 4.3. Karakteristik dan Titik Balik Produk Domestik Bruto untuk Sektor Pertanian (PDBP)............................................................... 50 4.4. Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen.................................. 54 4.4.1. Perbandingan Data Siklikal Variabel Calon Komposit Terhadap Seri Acuan PDBP...........................................................55 4.4.2. Keterkaitan Kandidat Komposit dengan seri acuan....................... 59 4.5. Pembentukan Composite Leading Index Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia.................................................................................. 60 4.6. Evaluasi Indeks Komposit....................................................................... 64 4.7. Sintesis Terhadap Hasi-hasil Analisis...................................................... 66 V. KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 69 5.1. Kesimpulan.............................................................................................. 69 5.2. Saran........................................................................................................ 70 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 72 LAMPIRAN........................................................................................................... 74
DAFTAR TABEL Tabel
Hal.
1. Nilai PDB Tahun 2006-2007 menurut Lapangan Usaha............................. 1 2. Data yang Digunakan dalam Penelitian Berdasarkan Jenis dan Sumber.................................................................... 29 3. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2007.................... 40 4. Laju Pertumbuhan Sektor dan Sub Sektor Pertanian serta Sharenya terhadap PDB ............................................................................................................ 44 5. Distribusi Sektor Pertanian Beberapa Propinsi terhadap PDB sektor Pertanian Nasional dan PDB Nasional serta Laju Pertumbuhannya ......... 45 6. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level Sebelum Detrending................................................................................................... 48 7. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level Setelah Detrending................................................................................................... 49 8. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan PDBP......................................... 53 9. Perhitungan CV Variabel-variabel Calon Komposit dan Seri Acuan......... 57 10. Pola Fluktuasi Siklikal Varibel-variabel Calon CLI Terhadap PDBP........ 58 11. Perbandingan Titik Balik CLI dengan Seri Acuan PDBP........................... 62 12. Pola Fluktuasi CLI 2 dan CLI 3................................................................... 64 13. Karakteristik CLI......................................................................................... 65
DAFTAR GAMBAR Gambar
Hal.
1. Perbandingan Pergerakan PDB Sektor Pertanian Dengan PDB Indonesia...................................................................................................... 7 2. Pembentukan Composite Leading Index......................................................27 3. Grafik log PDBP.......................................................................................... 50 4. Grafik Trend PDBP......................................................................................52 5. Grafik Siklikal dan Titik Balik PDBP......................................................... 54 6. Perbandingan CLI dengan PDBP.................................................................61 7. Titik Balik CLI untuk PDBP....................................................................... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Hal.
1. Data Mentah................................................................................................. 75 2. Analisis Grafis..............................................................................................77 3. Cross Correlation.........................................................................................87 4. Karakteristik Titik Balik CLI....................................................................... 94
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sektor pertanian menjadi salah satu andalan untuk mencapai pertumbuhan
di Indonesia. Selain sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar, pertanian juga menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS, untuk tahun 2007 saja pertanian mampu menyumbangkan 0.5 persen menyamai sektor konstruksi dari total pertumbuhan nasional yaitu 6.3 persen dengan laju pertumbuhan untuk sektor itu sendiri sebesar 3.5 persen. Akan tetapi angka tersebut relatif masih sangat kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang terjadi pada sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran yang menyumbangkan 1.3 persen dan 1.4 persen dari total pertumbuhan yang terjadi. Tabel 1. Nilai PDB Indonesia Tahun 2006-2007 menurut Lapangan Usaha Lapangan Usaha Atas Dasar Hrg Atas Dasar Hrga Laju Sumber (Pers (persen) (1) Berlaku (Triliun Konstan 2000 (Triliun Rupiah) en) Rupiah) 2006 2007 2006 2007 2007 2007 (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. Pertanian 433.2 547.2 262.4 271.6 3.5 0.5 2. Pertambangan dan 366.5 440.8 168.0 171.4 2.0 0.2 Penggalian 3. Industri Pengolahan 919.5 1068.8 514.1 538.1 4.7 1.3 4. Listrik, Gas dan air 30.4 34.8 12.3 13.5 10.4 0.1 bersih 5. Konstruksi 251.1 305.2 112.2 121.9 8.6 0.5 6. Perdagangan 501.6 590.8 312.5 338.9 8.5 1.4 7. Pengangkutan dan 231.8 265.3 125.0 142.9 14.4 1.0 Komunikasi 8. Keuangan, real 269.1 305.2 170.1 183.7 8.0 0.7 estate 9. Jasa-jasa 336.3 399.3 170.7 182.0 6.6 0.6 PDB 3339.5 3957.4 1847.3 1964.0 6.3 6.3 PDB Tanpa Migas 2967.3 3541.0 1703.6 1821.4 6.9 Sumber : BPS, 2008
Sebagai salah satu penyumbang pertumbuhan yang cukup besar, maka PDB sektor pertanian harus lebih ditingkatkan lagi agar mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap PDB Indonesia. Pada tahun 2000 sampai dengan 2003 sektor pertanian berkontribusi sebesar 16 persen terhadap total PDB nasional, hal ini memperlihatkan bahwa sektor pertanian memiliki peranan yang cukup besar karena menyumbang lebih dari 10 persen dari total PDB. Akan tetapi terjadi penurunan pada tahun 2004 menjadi 15 persen, bahkan 2005 dan 2006 hanya menyumbangkan 13 persen dari total PDB nasional. Di tahun 2007 mulai terjadi peningkatan kembali menjadi 14 persen terhadap PDB nasional (diolah berdasarkan data BPS). Untuk itulah diperlukan penanganan yang lebih evisien dan efektif terhadap sektor pertanian Indonesia. Sama halnya dengan perekonomian secara agregat, sektor pertanian juga memiliki periode resesi dimana terjadi penurunan pada sektor pertanian, dan periode ekspansi yaitu sektor pertanian mengalami pertumbuhan. Kedua periode ini dipastikan akan muncul silih berganti membentuk suatu siklus. Hal ini dalam ilmu ekonomi, dikenal sebagai business cycle (siklus bisnis), ada juga yang menyebutnya sebagai siklus perekonomian atau siklus perdagangan. Karena sektor pertanian merupakan bagian dari perekonomian yang mengalami fenomena business cycle, maka sudah tentu fenomena ini juga akan terjadi pada setiap sektor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di suatu negara seperti Indonesia. Karena itulah keberadaan posisi sektor pertanian dalam business cycle di suatu negara sangat penting untuk diketahui guna menghindari terjadinya penurunan di sektor tersebut yang berkepanjangan. Jika terjadi ancaman akan timbul suatu penurunan maka pemerintah baik otoritas fiskal maupun moneter
mampu mengeluarkan kebijakan agar penurunan dapat dihindari atau setidaknya dapat meminimalisasi dampak negatif yang ditimbulkan terhadap perekonomian secara agregat. Sebaliknya, jika sektor pertanian mengalami masa pertumbuhan atau periode ekspansi, maka pemerintah perlu menghindari kebijakan yang dapat mengganggu kondisi tersebut. Pertumbuhan pada sektor pertanian dapat digambarkan melalui perubahan indikator ekonomi setiap tahunnya, antara lain seperti harga produk pertanian di pasaran dan PDB sektor pertanian. Selain itu juga dapat dilihat melalui balance of trade produk pertanian yaitu selisih ekspor dengan impor produk pertanian. Dengan ekspor produk pertanian yang lebih besar dibangding impornya berarti sektor
pertanian
Indonesia
mengalami
masa
pertumbuhan
yang
akan
meningkatkan PDB nasional. Pada masa krisis perekonomian kita mengalami kontraksi luar biasa (tumbuh negatif 13,13 persen) pada tahun 1998. Pada masa itu karena desakan IMF, subsidi pertanian (pupuk, benih, dll) juga dicabut dan tarif impor komoditi khususnya pangan dipatok maksimum 5%. Infrastruktur pertanian pedesaan khususnya irigasi banyak yang rusak karena biaya pemeliharaan tidak ada. Penyuluh pertanian juga kacau balau karena terlalu mendadak di daerahkan. Tidak hanya itu, akibat kerusuhan, jaringan distribusi bahan pangan dan sarana produksi pertanian lumpuh, antrian beras dan minyak goreng terjadi dimana-mana. Akibat perubahan mendadak tersebut pelaku agribisnis khususnya para petani mengalami kegamangan dan kekacauan. Kredit untuk petani tidak ada, hanya pupuk melambung baik karena depresiasi rupiah maupun karena pencabutan subsidi. Perubahan mendadak waktu itu, tidak memberi waktu bagi para petani untuk menyesuaikan diri. Sehingga PDB
pertanian mengalami pertumbuhan terendah sepanjang sejarah yaitu sebesar 0,88 persen. Masa krisis yang cukup panjang dan sangat merugikan harus dihindari atau paling tidak diminimalisasi agar kerugian yang terjadi tidak terlalu parah. Oleh karena itu dibuat suatu alat peramalan yang dapat memprediksi kondisi perekonomian suatu negara beberapa waktu ke depan melalui analisis siklikal indikator yang didukung oleh teknologi komputer. Peramalan ekonomi yang ada pada umumnya hanya melihat perubahan ekonomi secara makro, hal ini memang sangat penting akan tetapi akan lebih baik jika dilakukan juga peramalan per sektor ekonomi khususnya pertanian. Mengapa harus sektor pertanian? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan secara agregat. Salah satu perangkat yang dapat digunakan dalam memprediksi perubahan pada pertanian dalam waktu cepat dan akurat adalah dengan menganalisis indikator-indikator ekonomi. Pengidentifikasian indikator-indikator ekonomi ini bisa dimasukkan ke dalam tiga jenis indikator, yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Penggunaan leading indicator untuk memperkirakan arah pergerakan sektor pertanian ke depan. Lagging indictor berguna untuk mengkonfirmasi prediksi yang dibuat oleh leading indicator, sementara coincident indicator digunakan untuk menentukan kondisi pertanian pada saat ini. Melalui perangkat leading indicator yang dapat diandalkan (reliable), maka dapat diketahui pergerakan siklikal dan titik balik dari business cycle, sehingga arah kebijakan dapat diukur oleh pemerintah untuk memikirkan timing yang tepat dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Dalam membuat suatu proyeksi
peramalan perubahan pada sektor pertanian menggunakan leading indicator, tentunya perlu diketahui terlebih dahulu variabel-variabel ekonomi yang mana yang dapat dijadikan acuan untuk indikator-indikator dini melalui analisis siklikal. Setelah variabel acuan ditemukan maka dapat diketahui variabel-variabel mana yang akan digunakan untuk melakukan metode peramalan pada sektor pertanian Indonesia atau yang tergolong sebagai leading indicator. Penggunaan leading indicator untuk memprediksi perubahan pada sektor pertanian memiliki beberapa alasan. Pertama, Composite Leading Index (CLI) bisa digunakan untuk mengindikasikan pendeteksian dini terhadap kapan titik balik (turning points) dari siklus yang terjadi, sehingga pemerintah dapat menyesuaikan strategi kebijakan yang akan dilakukan. Selain itu leading indicator memiliki track record yang cukup baik sehingga diyakini mempunyai kemampuan sebagai alat forecasting.
1.2.
Perumusan Masalah Indonesia merupakan negara agraris, kekayaan alamnya baik di darat
maupun di laut merupakan suatu kelebihan yang dapat dijadikan daya tarik pariwisata bagi bangsa asing . Selain menjadi daya tarik bagi bangsa asing yang ingin berwisata di Indonesia kekayaan alam tersebut menjadi salah satu sumber devisa negara dan sebagai pemasok kebutuhan domestik khususnya kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Begitu pentingnya sektor ini bagi perekonomian Indonesia mengharuskan sektor ini berada dalam kondisi yang baik dan stabil. Apabila sektor pertanian mengalami guncangan maka perekonomian secara agregat akan ikut mengalami guncangan pula. Seperti jika sektor pertanian tidak mengalami pertumbuhan yang
positif maka pertumbuhan Indonesia akan turun karena telah berkurang sumbangan pertumbuhan dari sektor pertanian yang pada tahun 2007 menyumbangkan 12.6 persen dari total pertumbuhan yang dicapai Indonesia. Dukungan dari pemilik modal terhadap kemajuan sektor pertanian di Indonesia sangatlah penting. Akan tetapi dengan keterbatasan informasi serta kepedulian dari pemerintah yang kurang terhadap sektor pertanian di Indonesia membuat sektor pertanian kurang dapat memaksimalkan produktifitasnya. Selama ini para pemilik modal lebih memilih menanamkan modalnya di sektor non riil seperti melalui obligasi atau surat berharga lainnya yang hasilnya lebih pasti dan terjamin keamanannya. Sektor-sektor tersebut lebih diminati investor khususnya asing karena modal yang ditanamkan dapat lebih mudah ditarik kembali sewaktuwaktu apabila dirasa sudah tidak menguntungkan lagi. Hal tersebut tidak akan terjadi jika sektor pertanian memiliki kepastian usaha yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Selama ini belum ada peramalan ekonomi yang secara khusus mengkaji pertumbuhan sektor pertanian di masa yang akan datang, para pelaku ekonomi cenderung mementingkan peramalan secara agregat. Untuk itu agar sektor pertanian lebih diminati oleh para investor khususnya asing, maka harus dibuat peramalan tersendiri untuk sektor tersebut agar siklusnya dapat lebih terlihat dan pemerintah dapat dengan mudah membuat kebijakan yang mampu meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian Indonesia. Salah satu metode peramalan yang telah ada dan teruji adalah dengan menggunakan
leading
indicator.
Penggunaan
CLI
untuk
meramalkan
pertumbuhan sektor pertanian membutuhkan indikator dengan frekuensi data yang tinggi, dan untuk setiap datanya membutuhkan time series yang panjang. Oleh
karena itu, CLI lebih banyak diaplikasikan untuk meramalkan perekonomian secara agregat dan lebih sering pada negara maju. Hal ini umumnya disebabkan ketersediaan data di negara berkembang tidak dalam frekuensi yang tinggi dan hanya tersedia di tahun-tahun terakhir saja, biasanya data tersdia dalam bentuk triwulan, bahkan ada yang hanya tersedia dalam bentuk tahunan. 800000 750000 700000 650000 600000 550000 500000 450000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 PDBP
5200000
4800000
4400000
4000000
3600000
3200000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 PDB
Gambar 1. Perbandingan Pergerakan PDB Sektor Pertanian Dengan PDB Indonesia
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah sektor pertanian memiliki leading, lagging, dan coincident indicator? 2. Variabel apa saja yang termasuk ke dalam leading indicator untuk sektor pertanian Indonesia? 3. Seperti apakah siklus ekonomi dari sektor pertanian Indonesia? 4. Bagaimana kinerja CLI untuk sektor pertanian Indonesia yang telah dibuat?
1.3.
Tujuan Penelitian Untuk menjawab permasalahan di atas maka dibuat beberapa lingkup
tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut : 1).
Menganalisis leading, coincident, dan lagging indicator
untuk sektor
pertanian Indonesia. 2).
Menganalisis leading indicator pertumbuhan untuk sektor pertanian Indonesia.
3).
Mengkaji siklus ekonomi pada sektor pertanian yang terjadi di Indonesia.
4).
Mengevaluasi kinerja CLI sektor pertanian Indonesia yang telah dibuat terhadap pergerakan seri acuan.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk beberapa pihak, di
antaranya :
1).
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukkan dan pertimbangan terutama untuk antisipasi dan penetuan waktu yan tepat dalam mengeluarkan dan menetapkan kebijakan-kebijakan ekonomi.
2).
Bagi penulis, penelitian ini sangat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang perkembangan teori business cycle baik secara agregat maupun sektoral. Serta menerapkannya secara khusus untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian.
3).
Bagi para pelaku ekonomi, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang volatilitas business cycle sektor pertanian Indonesia.
4).
Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini juga dapat dijadikan acuan dan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya yang masih berhubungan dengan business cycle.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Sektor Pertanian Pada Perekonomian Indonesia Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting dalam
perekonomian. Peranan pertanian antara lain adalah menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan, menyediakan bahan baku bagi industri, sebagai pasar potensial bagi produkproduk yang dihasilkan oleh industri, sumber tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi pembangunan sektor lain, dan sebagai sumber perolehan devisa (Kuznets, 1964 dalam Harianto, 2007). Di samping itu, pertanian memiliki peranan penting untuk mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan, dan menyumbang secara nyata bagi pembangunan Indonesia dan lingkungan hidup. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB memang cenderung turun, sesuai dengan semakin meningkat dan terdiversifikasinya perekonomian Indonesia. Namun yang perlu diamati juga adalah peranan pertanian dalam menyerap angkatan kerja. Pangsa sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja ternyata masih yang paling besar. Dari kenyataan itu dapat dilihat bahwa ada ketimpangan dalam struktur ekonomi Indonesia, di mana sektor yang sudah mulai menyusut perananya dalam menyumbang PDB ternyata harus tetap menampung jumlah tenaga kerja yang jauh lebih banyak daripada sewajarnya terjadi. Pertanian di Indonesia kondisinya tidak homogen, baik antara tempat maupun antar komoditas. Pertanian di Jawa memiliki karakteristik yang berbeda dengan pertanian di Luar Jawa. Demikian juga sub sektor pertanian tanaman
pangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sub sektor perkebunan ataupun peternakan. Dalam sub sektor yang sama pun belum tentu memiliki ciriciri yang juga sama. Kondisi yang beragam ini tentunya memiliki implikasi penting bagi perumusan strategi, kebijakan, dan program pembangunan pertanian ke depan. Para pemikir ekonomi pembangunan telah lama menyadari bahwa sektor pertanian memiliki peranan yang besar dalam perekonomian, terutama di tahaptahap awal pembangunan (Lewis, 1954 dalam Harianto, 2007). Sektor pertanian yang tumbuh dan menghasilkan surplus yang besar merupakan prasyarat untuk memulai proses transformasi ekonomi. Penawaran pangan yang relatif inelastis akan menyebabkan harga pangan meningkat yang pada gilirannya akan mendorong upah di sektor non-pertanian. Impor pangan merupakan salah satu alternatif yang mahal (Mellor, 1984 dalam Harianto, 2007). Oleh sebab itu sektor pertanian yang dinamis dan tumbuh dengan cepat merupakan kondisi yang diinginkan untuk mendorong transformasi ekonomi.
2.1.1. Posisi Pertanian Dalam Masyarakat Indonesia Posisi pertanian akan sangat strategis apabila kita mampu mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung memandang pertanian hanya sebagai penghasil (output) menjadi pola pikir yang melihat multi-fungsi dari pertanian (Suyanto, 2002). a. Penghasil pangan dan bahan baku industri. Sektor pertanian sangat menentukan dalam ketahanan pangan nasional sekaligus menentukan ketahanan bangsa. Penduduk Indonesia yang mencapai
200 juta lebih, ketahanan nasional akan terancam bila pasokan pangan kita sangat tergantung dari impor. Dalam proses industrialisasi pertanian juga memproduksi bahan baku industri pertanian seperti sawit, karet, gula, serat, dan lainnya. b. Pembangunan daerah dan perdesaan. Pembangunan
nasional
akan
timpang
kalau
daerah/perdesaan
tidak
dibangun, urbanisasi tidak akan bisa ditekan, dan pada akhirnya senjang desa dan kota semakin melebar. Lebih dari 83 persen kabupaten/kota di Indonesia ekonominya berbasis kepada pertanian. Agroindustri perdesaan akan sangat berperan
dalam
pertumbuhan
ekonomi
perdesaan
terutama
dalam
penyerapan tenaga kerja. c. Penyangga dalam masa krisis. Sektor pertanian yang berbasis sumberdaya lokal terbukti sangat handal dalam masa krisis ekonomi, bahkan mampu menampung 5 juta tenaga kerja limpahan dari sektor industri dan jasa yang terkena krisis; kasus bom Bali yang melumpuhkan parawisata di Bali, terselamatkan oleh sektor pertanian. d. Penghubung sosial ekonomi antar masyarakat dari berbagai pulau dan
daerah
sebagai perekat persatuan bangsa. Masing-masing pulau/daerah memiliki keunggulan komparatif yang dapat
dikembangkan untuk meningkatkan
keunggulan masing-masing. Perdagangan (trade)
antar
pulau
ini
akan
meningkatkan efisiensi ekonomi dengan melakukan spesialasisasi masingmasing daerah. Saling ketergantungan antara daerah menjadi jaminan pengembangan ekonomi daerah dan mempererat persatuan antar daerah.
e. Kelestarian sumberdaya lingkungan Kegiatan pertanian berperan dalam penyagga, penyedia air, udara bersih, dan keindahan. Pada haketnya pertanian selalu menyatu dengan alam. Membangun pertanian yang berkelanjutan (sustainable) berarti juga memelihara sumberdaya lingkungan. Agrowisata merupakan contoh yang ideal dalam multi-fungsi pertanian. f. Sosial budaya masyarakat Usaha pertanian berkaitan erat dengan sosial-budaya dan adat istiadat masyarakat. Sistem sosial yang terbangun dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan dan lainnya. g. Kesempatan kerja, PDB, dan devisa. Lebih dari 25,5 juta keluarga atau 100 juta lebih penduduk Indonesia hidupnya tergantung pertanian. Sektor pertanian menyerap 46,3% tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6,9% dari total ekspor non migas, dan memberikan kontribusi sebesar 15 persen PDB nasional. Jika dilihat berdasarkan uraian di atas, sektor pertanian adalah sektor yang menjadi harapan untuk perekonomian masyarakat Indonesia. Akan tetapi tanpa kontribusi yang besar dari pemerintah terhadap sektor ini, maka harapan yang besar tersebut tidak akan pernah terealisasi dengan baik.
2.1.1. Pentingnya Kredit Bagi Pertanian Indonesia Badan-badan efisien, yang memberikan kredit produksi kepada petani dapat merupakan faktor pelancar penting bagi pembangunan pertanian. untuk
memproduksi lebih banyak, petani harus lebih banyak mengeluarkan uang untuk bibit unggul, pestisida, pupuk dan alat-alat. Pengeluaran-pengeluaran seperti itu harus dibiayai dari tabungan atau dengan meminjam selama jangka waktu antara saat pembelian sarana produksi itu dan saat penjualan hasil panen (Mosher, 1966). Suku bunga sering menjadi permasalahan dalam pemberian kredit ini, penetapan suku bunga yang terlalu tinggi untuk sektor ini sering memberatkan para petani. Pada kenyataannya suku bunga yang ditetapkan memang lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga yang lainnya. Sebagian dari alasan mengapa bunga itu lebih tinggi untuk kredit produksi pertanian, dalam tahap pemulaan pembangunan pertanian, mungkin terletak pada sukarnya memperoleh modal di masyarakat yang ekonominya sedang berkembang. Di dalam masyarakat demikian bahkan pinjaman untuk industri di kota meminta bunga 10 sampai 15 persen setahun, bahkan seringkali lebih. Alasan lain lagi ialah lebih tingginya biaya administrasi untuk pinjaman kecil kepada sejumlah besar petani yang tersebar di daerah yang luas. Dengan demikian layak atau tidak layaknya suatu suku bunga, untuk sebagian orang tergantung kepada nilai ekonomis dari sarana produksi dan alat yang tersedia setempat. Kredit untuk sektor pertanian yang efektif memerlukan dihapuskannya hambatan dalam perolehannya. Ini bergantung pada pandangan dalam penyelenggaraan usaha tani yang efisien. Juga bergantung pada suku bunga yang diselaraskan dengan biaya-biaya yang selayaknya untuk menyediakan kredit produksi itu. Pelunasan kredit biasanya terjamin oleh kenaikan pendapatan petani yang dimungkinkan oleh pengunaan kredit itu. Adalah suatu langkah besar bagi petani untuk beralih dari keengganan meminjam untuk keperluan konsumsi ke
kesadaran
bahwa
meminjam
untuk
membeli
input
tambahan
dapat
menguntungkan. Guna membantu petani mengambil langkah ini, perlu dipermudah cara mendapatkan kredit, baik kredit investasi maupun kredit modal kerja, dan perlu adanya bimbingan cara menggunakannya.
2.1.2. Pentingnya Harga Bagi Petani Untuk Meningkatkan Produktivitas Sejauh petani memproduksi untuk dijual, maka perangsang baginya untuk menaikkan produksi tergantung kepada perbandingan antara harga yang akan diterimanya untuk hasil-hasilnya dan biaya untuk memproduksikan hasil-hasil itu. Biaya produksi ini dipengaruhi oleh harga barang-barang input yang harus dibelinya. Baik tingkat maupun stabilitas harga hasil usahatani mempengaruhi sampai di mana harga-harga itu dapat merangsang petani untuk menaikkan produksinya. Apabila syarat-syarat pokok lain bagi pembangunan pertanian sudah tersedia, maka semakin tinggi harga yang ditawarkan kepada petani untuk suatu hasil usahatani tertentu, semakin banyak pula hasil ini akan diproduksi oleh petani dan dijual ke pasar. Banyak orang tidak percaya akan pendapat ini, dan seringkali kebijakan pemerintah didasarkan pada bahwa memang tidak demikian kenyataannya. Harga yang menguntungkan bagi petani bukanlah satu-satunya syarat pokok untuk pembangunan pertanian, tapi harga ini merupakan syarat pokok yang penting. Menurut Mosher (1966) seringkali penelitian di negara bagian Punjab di India mengungkapkan bahwa petani di sana beralih dari jenis tanaman satu ke jenis tanaman lainnya sebagai respon terhadap perubahan harga, sama halnya dengan petani-petani yang sangat komersil di Amerika Serikat. Semakin banyak
bukti yang menunjukkan bahwa petani berusaha meningkatkan produksi pertaniannya apabila harga hasil panen tersebut naik. Di Indonesia, dimana harga hasil pertaniannya sebelumnya ditekan rendah, saat pengendalian harga tersebut ditiadakan dan harga-harga dibiarkan mencapai tingkatnya sendiri secara bebas hasilnya output dari pertanian meningkat tajam. Petani menjadi lebih tertarik kepada pupuk dan bibit unggul.
2.2.
Teori Real Business Cycle Leading indicator sendiri berkaitan dengan teori real business cycle yang
mengasumsikan harga adalah fleksibel bahkan pada jangka pendek. Karena asumsi complete price flexibility, teori ini juga menganut classical dichotomy dimana pergerakan uang tidak mempengaruhi pergerakan variabel di sektor riil seperti output dan pengangguran. Untuk menjelaskan pergerakan di sektor riil termasuk pertanian, teori ini menyatakan pergerakan tersebut disebabkan oleh faktor alami di sektor itu sendiri seperti terjadinya technological shock yang membuat produktivitas meningkat sehingga output dari perekonomian juga meningkat. Dengan kata lain semua fluktuasi di sektor riil seperti pertumbuhan output, tingkat pengangguran, tingkat konsumsi dan investasi merupakan hasil reaksi dari individu-individu terhadap perubahan dalam perekonomian. Dengan mengasumsikan bahwa uang adalah netral dan ekonomi, teori ini mendapat kritik, karena data menunjukkan bahwa penurunan money supply selalu disertai dengan perubahan di sektor riil seperti tingginya pengangguran dan rengahnya output. Penganut teori ini memberikan argumentasi bahwa perubahan dalam perekonomian seperti tingginya output akibat “faktor alami” akan
mempengaruhi permintaan akan uang. Meningkatkan permintaan akan uang ini akan direspon oleh bank sentral dengan menambah money supply. Perubahan dalam perekonomian karena faktor-faktor alami ini akan menyebabkan terjadinya siklus dalam pergerakan variabel-variabel di sektor riil. Siklus ini dipercaya terjadi dalam setiap variabel di sektor riil dan dapat dilihat dengan menghilangkan faktor-faktor musiman, trend dan irregular dari data.
2.3.
Business Cycle Indicators Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator
yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Contohnya, statistik sosial dan ekonomi yang dipublikasikan berbagai sumber seperti departemen pemerintahan. Indikator ekonomi mempunyai dampak
yang
besar
terhadap
pasar,
mengetahui
bagaimana
harus
menginterpretasikanya dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaku usaha termasuk investor. Setiap indikator memenuhi beberapa aturan kriteria, di mana ada tiga kategori timing indikator, yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu leading, lagging dan coincident indicator. Variabel-variabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan perbedaan sistem ekonomi yang dianut suatu negara., kondisi perekonomian, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan, dan lain sebagainya.
2.3.1. Leading Indicator (Indikator Pendahulu) Dalam kamus ekonomi, pengertian dari laeding indicator (indikator periode mendatang) adalah suatu rangkaian data statistik periode lalu yang menunjukkan kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada waktu mendatang dalam beberapa sektor ekonomi terkait atau sebagai sinyal kejadian di masa depan. Singkatnya, leading indicaor merupakan beberapa variabel ekonomi yang bergerak mendahului pergerakan variabel utama ekonomi. Berdasarkan informasi ini, maka dapat dibuat suatu peramalan tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun-tahun yang akan datang atau dengan kata lain dapat memprediksi siklus ekonomi yaitu kapan perekonomian akan mencapai puncak (peak), masih berlanjut (stedy), mulai menurun (contaction), sampai titik terendah (trough), dan kembali naik (expansion). Sedangkan untuk mengeahui lama periode naik atau turun dapat diprediksi dengan lagging dan coincident indicator.
2.3.2. Lagging Indicator (Indikator Pengikut) Pengertian lagging indicator merupakan kebalikan dari leading indicator. Lagging indicator atau yang disebut juga sebagai indicator periode lalu adalah suatu rangkaian data statistik yang pada periode lalu telah menunjukkan kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada waktu lalu dalam beberapa sektor ekonomi yang saling berkaitan, atau singkatnya adalah perubahan indikator yang bergerak naik/turun setelah pergerakan siklikal utama. Pentingnya untuk mengetahui lagging indicator adalah karena lagging indicator dapat mengkonfirmasi sebuah pola ekonomi yang sedang terjadi atau
akan terjadi. Ramalan tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun berjalan dapat dibuat, karena perubahan-perubahan tersubut mengikuti pola yang tidak berubah pada kurun waktu yang relatif sama.
2.3.3. Coincident Indicator (Indikator Pengiring) Coincident indicator merupakan indikator yang bergerak naik/turun bersamaan dengan naik/turunnya variabel utama atau kondisi yang terjadi dalam perekonomian. Indikator ini tidak meramalkan peristiwa-peristiwa ekonomi yang akan terjadi di masa depan, tapi jenis indikator ini berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam perekonomian.
2.3.4. Karakteristik Hubungan Indikator dalam Business Cycle Setiap variable ekonomi yang termasuk ke dalam salah satu dari indikator dini yang telah dijelaskan di atas, memiliki hubungan yang bermacam-macam terhadap business cycle. Berikut ini akan dijabarkan mengenai hubungan antara indikator-indikator ekonomi dengan business cycle, yang terbagi menjadi tiga, yaitu : •
Procyclical, hubungan dimana arah pergerakan dari indikator-indikator ekonomi sama dengan perubahan yang terjadi pada seri acuan. Ketika seri acuan membaik, maka dapat dipastikan bahwa indikatornya akan mengalami peningkatan.
•
Contercyclical, hubungan dimana indikator-indikator ekonomi memiliki arah gerak yang berlawanan dengan yang terjadi pada seri acuan yang digunakan .
•
Acyclical, indikator-indikator ekonomi tidak memiliki hubungan dengan seri acuan . Apapnu yang terjadi dengan seri acuan tersebut, baik dalam kondisi yang cukup bagus ataupun buruk, perubahan yang terjadi dalam indkator tersebut tetap tidak terpengaruh dan berada pada trend-nya sendiri.
2.4.
Leading Indicator dan penggunaannya Penggunaan leading indicator, yang dimotori oleh the National Bureau of
Economic Research (NBER), telah digunakan oleh banyak negara dalam memprediksi titik balik (turning points) dari business cycles. Ide dasar dari penggunaan leading indicator didasarkan pada fakta bahwa secara statistik data time series terdiri dari empat komponen, yaitu seasonal factor, cyclical factor, trend, dan irregular component. Dalam metode ini, komponen siklikal dipisahkan dari ketiga komponen lainnya. Setelah itu, komponen siklikal tersebut dianalisis perilakunya dan dibandingkan dengan series acuannya (reference series). Apabila titik balik suatu series selau mendahului titik balik series acuan, maka series tersebut dikategorikan sebagai leading indicator. Sementara itu, suatu series dikelompokkan sebagai lagging indicator apabila titik baliknya terjadi setelah titik balik series acuan. Apabila titik balik suatu series terjadi relatif bersamaan dengan series acuan, maka series tersebut merupakan coincident indicator. Penentuan apakah suatu series disebut sebagai leading,lagging atau coincident indicator sangat penting. Jika suatu series bertindak
sebagai
leading
indicator,
maka
dapat
digunakan
untuk
memproyeksikan arah series acuan ke depan. Untuk menentukan kondisi saat ini
dari series acuan, penggunaan coincident indicator akan sangat membantu. Sementara itu, lagging indicator dapat digunakan untuk mengkonfirmasikan prediksi yang dibuat oleh leading indicator (Setiana, 2006). Menurut Wira Kusuma, et. al, (2004) Hingga saat ini paling tidak terdapat tiga alasan utama mengapa leading indicator semakin luas digunakan oleh banyak negara. Pertama, deteksi dini terhadap kapan titik balik suatu business cycles sangat penting karena membantu para pelaku ekonomi untuk mengambil langkahlangkah penting, seperti para pengambil kebijakan, dunia usaha, dan investor. Kedua, penggunaan model makroekonometri dianggap tidak dapat memprediksi kapan titik balik akan terjadi, terutama jika terjadi perubahan struktural dalam perekonomian. Ketiga, leading indicator memiliki track record yang cukup baik sehingga diyakini mempunyai kemampuan sebagai alat forecasting. Dalam perkembangannya, leading indicator lebih banyak diaplikasikan di negara maju, sementara penerapan di negara berkembang masih relatif jarang. Kendala utama yang dihadapi negara berkembang adalah masalah ketersediaan data yang kurang memadai, sementara pembentukan
leading indicator
memerlukan data yang frekuensinya cukup tinggi, dalam hal ini data bulanan, serta diperlukan pula periode pengamatan yang panjang.
2.5.
Leading Indicator Berdasarkan Metode OECD Dalam studi ini, pembentukan leading indicator menggunakan metode
yang dikembangkan oleh the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Pada dasarnya, metode ini mengacu pada metode dasar dari business cycle yang dikembangkan oleh NBER. Metode OECD
menggunakan pendekatan growth cycles yang dalam hal ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan classical/traditional cycles. Penggunaan growth cycles mengemuka setelah leading indicator yang berdasarkan pendekatan classical cycles tidak mampu menjelaskan masa ekspansif perekonomian, khususnya di Amerika Serikat dan Jerman, pada sekitar tahun 1960-an. Perbedaan utama antara growth dan classical cycles terletak pada perhitungan masa ekspansi dan masa kontraksi (Wira Kusuma, et. al, 2004). Pasca classical cycles, perhitungan masa ekspansi dan kontraksi tersebut menggunakan level absolutnya. Sebagai contoh, suatu ekonomi belum dikatakan mencapai titik lembah apabila nilai absolutnya tidak menunjukkan kontraksi. Sementara itu, penentuan titik balik pada growth cycles berdasarkan pada perhitungan trend jangka panjangnya atau dengan kata lain growth cycles ditunjukkan oleh pembalikan arah dari suatu cycles di sepanjang tren jangka panjangnya. Beberapa kelebihan analisis menggunakan growth cycles, yaitu : i.
Lebih sensitif untuk menunjukkan adanya perubahan yang tidak terlalu drastic (mild), sehingga dalam kurun waktu yang sama, jumlah cycles yang dihasilkan oleh growth cycles lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh classical cycles;
ii.
Panjang dan amplitudo growth cycles lebih simetris dibandingkan dengan classical cycles;
iii.
Penggunaan growth cycles dalam memprediksikan cycles lebih akurat dibandingkan dengan classical cycles, sebagaimana dibuktikan oleh the US Commerce Department.
2.6.
Metode Penelitian Empirik Business Cycle
2.6.1. Hodrick Prescott Filter Hodrick-Prescott flter (HPF) merupakan pendekatan statistik yang secara khusus mengestimasi trend dan komponen siklikal atau untuk menghilangkan komponen trend dan siklikal dalam suatu data deret waktu (time series). Fakta secara empiris (stylized fact) menunjukkan bahwa business cycle Indonesia dianalisis dengan memisahkan komponen trend dan komponen siklikal dari data time series makroekonomi. Dalam analisis Hodrick Prescott filter, komponen siklikal variabel makroekonomi dapat dilihat pola dan karakteristiknya dengan melihat korelasinya dengan variabel referensi.
2.6.2. Cross Correlation Analisis cross correlation merupakan suatu pendekatan untuk melihat detrended berdasarkan lag (periode ke belakang) dan lead (periode ke depan). Detrended merupakan cara untuk memisahkan komponen trend, sehinggga sebelum cross correlation maka ditentukan terlebih dahulu variabel trend dan siklikal berdasarkan hasil analisis HPF. Cross correlation dapat memperlihatkan lag detrended dan lead detrended pada suatu variabel. Cross correlation menunjukkan detrended dengan komponen siklikal mempunyai korelasi atau tidak.
2.6.3. Indikator Business Cycle Indikator business cycle dibagi ke dalam tiga kelompok indikator : laeding, co-incident dan lagging. Falsafahnya adalah, leading indicator akan
mencapai titik balik sebelum the rest of economy sehinggga indikator ini dikatakan memiliki daya prediksi (predictive power). Informasi tentang leading indicator dapat membantu investasi dan keputusan perencanaan lainnya. Coincident indicator
bergerak pada waktu bersamaan dengan ekonomi dan
lagging indicator menunjukkan bahwa ekonomi telah melampaui titik balik.
2.7.
Penelitian Terdahulu Sepanjang dilakukannya penelitian tentang “Analisis Leading Indicator
Pertumbuhan Sektor Pertanian untuk Indonesia” ini peneliti belum menemukan hasil penelitian yang secara spesifik membahas tentang indikator dini untuk sektor pertanian. Olek karena itu peneliti lebih banyak mengambil rujukan penelitianpenelitian yang mendekati secara metode dan berhubungan dengan indikator dini. IGP Wira Kusuma, et.al (2004) meneliti tentang leading indicator investasi di Indonesia dengan metode OECD leading indicator investasi yang dengan menggunakan metode OECD. Dari hasil penelitian tersebut dapat memprediksi gerakan investasi dengan kisaran 1,4 sampai dengan 4,6 bulan ke depan. Dengan diketahuinya turning point,baik titik puncak atau titik lembah, dari leading indikator investasi dapat dilihat bagaimana kondisi investasi sampai dengan 4,6 bulan ke depan apakah dalam kondisi kontraksi ataupun ekspansi. Berdasarkan penelitian Mela Setiana (2006) yang berjudul ”Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle Indonesia” yang juga menggunakan metode OECD, dari 18 variabel kandidat komposit yang diteliti, terdapat 9 variabel yang menjadi leading terhadap seri acuan PDB yang merupakan single series yaitu M1, nilai tukar, IHSG, impor non migas, impor barang konsumsi,
impor, produksi nikel, impor bahan baku, ekspor kayu lapis. Selain itu terdapat dua variabel yang menjadi leading terhadap seri acuan IPI yang merupakan multiple series yaitu impor barang konsumsi dan produksi nikel. Pada ”Studi Pengembangan Indikator Ekonomi Makro” Bank Indonesia (2001), terdapat beberpa penelitian tentang leading indicator yaitu : (1) ”Pergerakan Kurs dan Uang Beredar sebagai Leading Indicator Inflasi” menggunakan OLS yang hasilnya pengaruh nilai tukar rupiah dan uang primer terhadap inflasi cukup baik dan signifikan dalam memprediksi inflasi yang akan terjadi. (2) ”Suku Bunga Nominal sebagai Leading Indicator Ekspektasi Inflasi” metode yang digunakan adalah OLS dengan selisih suku bunga deposito sebagai varibel eksogen yang bernilai positif untuk inflasi namun kurang dapat diandalkan untuk memprediksi karena R2 yang kecil. (3) ”Konsumsi Semen sebagai Leading Indicator Sektor Konstruksi” yang hasil regresinya kurang terandal karena R2 yang kecil. (4) ”IHK sebagai Leading Indicator PDB Deflator” menggunakan regresi double log yang hasilnya ternyata terdapat heteroskedastisitas yang kemudian dilakukan pengkoreksian menggunakan weight least square dan diperoleh elastisitas sebesar 0.9642. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya adalah, dengan menggunakan PDB sektor pertanian sebagai seri acuan tunggal dan 16 variabel calon komposit. Variabel calon komposit tersebut diambil berdasarkan hubungan terhadap seri acuan seperti suku bunga kredit modal kerja, ekspor pertanian, nilai tukar petani dan lain sebagainya. Untuk menentukan Leading, Lagging, dan Coincident pertumbuhan sektor pertanian tersebut peneliti menggunakan metode OECD.
2.8.
Kerangka Pemikiran Pada kerangka pemikiran ini dijabarkan mulai dari penentuan seri acuan
yaitu PDB pertanian yang datanya merupakan data triwulan, pada calon komposit dilakukan agregasi atau penjumlahan sesuai dengan jenis datanya, hal ini dilakukan untuk menyamakan seri acuan dengan data-data yang menjadi kandidat komposit. Setelah itu data-data baik seri acuan maupun kandidat yang akan menjadi komposit dibersihkan dari unsur musiman dan irregular dengan menggunakan seasonal adjusted dan membuat estimasi trend dengan metode HP filter. Data yang telah dibersihkan unsur musiman tersebut kemudian didetrending yaitu dikurangi dengan hasil estimasi trend yang didapat dari HP filter. Penentuan komposit data yang telah dibersihkan dari unsur musiman dan trendnya dilakukan dengan prosedur Bry Boschan sehingga terkumpul data-data yang memiliki relevansi terhadap pertumbuhan pertanian, ketersediaan serta kriteria statistik dan barulah dapat terbentuk komposit Leading indicator pertumbuhan untuk sektor pertanian Indonesia. Pembuatan CLI dilakukan dengan beberapa proses seperti penyeragaman periode, normalisasi dan agrerasi.
Variabel-variabel Ekonomi
Calon CLI
Seri Acuan
Pembersihan Data : • Adjusting for seasonality • Estimasi trend-HP filter • Detrending • Prosedur Bry-Boschan
Pergerakan Siklikal Calon CLI
Pergerakan Siklikal Seri Acuan
Cross Correlation
Pemisahan Variabel Leading, Lagging dan coincident
Data Siklikal Seri Acuan
• • •
Penyeragaman periode Normalisasi Agregasi
Composite Leading Index yang Di bandingkan dengan Seri Acuan yang Telah Dinormalisasi
Gambar 2. Pembentukan Composite Leading Index
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Pada penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data-
data tersebut diperoleh dengan cara mendatangi langsung instansi yang terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI) dan Departemen Pertanian serta melalui situs-situs pemerintah yang menyediakan data yang dibutuhkan. Pengambilan data mencakup indikator-indikator ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan pada sektor pertanian dan mengacu kepada beberapa penelitian sebelumnya. Data yang akan dianalisis menjadi seri acuan pada penelitian ini adalah data PDB sektor pertanian yang didapat dari Bank Indonesia berupa data triwulan dibagi dengan indeks harga konsumen yang juga didapat dari Bank Indonesia sehingga menjadi PDB riil sektor pertanian. Data-data lain yang akan dianalisis sebagai komponen pembentuk komposit, antara lain Produk Domestik Bruto nasional, indeks harga konsumen, indeks harga perdagangan besar sektor pertanian, ekspor pertanian, kredit modal kerja untuk sektor pertanian, kredit investasi untuk sektor pertanian, suku bunga kredit modal kerja, suku bunga investasi, impor produk pertanian yang diperoleh dari seri Statistik Keuangan Indonesia (SEKI) terbitan Bank Indonesia dan Buletin Statistik bulanan BPS. Pada awalnya data yang dibutuhkan dalam penelitian ini lebih banyak dari yang disebutkan pada Tabel 2, tetapi tidak semuanya data tersebut tersedia. Terdapat beberapa kendala seperti jumlah observasi yang tidak sesuai ataupun jenisnya yang tahunan yang jika dipaksakan hasilnya tidak akurat. Beberapa
variabel yang diperoleh masih memiliki nilai dengan angka sementara dan tidak direvisi pada terbitan berikutnya. Tabel 2. Data yang Digunakan dalam Penelitian Berdasarkan Jenis dan Sumber Data Triwulanan Nama Variabel PDB Sektor Pertanian PDB Nasional
Simbol Sumber PDBP BPS PDB BPS
Data Bulanan yang Dijumlahkan Menjadi Data Triwulan Nama Variabel Simbol 1. Kredit Investasi untuk Sektor Pertanian KI 2. Kredit Modal Kerja Untuk Sektor Pertanian KM 3. M2 M2 4. Ekspor Pertanian (penjumlahan) dari : Xp • Ekspor kayu, barang dari kayu dan anyaman • Ekspor kulit dan barang dari kulit • Ekspor lemak, minyak dan malam • Ekspor makanan, minuman, minuman keras dan tembakau • Ekspor produk nabati • Ekspor binatang hidup dan produk hewani 5. Impor Produk Pertanian Mp Data Bulanan yang Diagregasi Menjadi Data Triwulan Nama Variabel 1. Indeks Harga Konsumen 2. Indeks Harga Perdaganga Besar Sektor Pertanian 3. Indeks Harga Konsumen US 4. Indeks Harga Beras Dunia 5. Indeks Harga Sawit Dunia 6. Indeks Harga Teh Dunia 7. Suku Bunga Kredit Investasi 8. Suku Bunga Kredit Modal Kerja 9. Exchange Rate 10. Nilai Tukar Petani
3.2.
Simbol IHK IHPP IHK_US PBRS PSWT PTEH RKI RKM RER NTP
Sumber SEKI BI SEKI BI SEKI BI BPS
BPS
Sumber SEKI BI SEKI BI SEKI BI SEKI BI SEKI BI SEKI BI SEKI BI SEKI BI SEKI BI BPS
Metode Analisis Data Secara statistik data time series terdiri dari empat komponen, yaitu
seasonal factor, cyclical factor, irregular component dan trend. Metode pembentukan CLI ini memisahkan komponen siklikal dari ketiga lainnya.
Kemudian, komponen siklikal tersebut dianalisis gerakannya dan dibandingkan dengan gerakan siklikal dari indikator yang dijadikan seri acuan. Proses penghilangan faktor musiman dan irregular dilakukan dengan menggunakan program X-12 dalam Eviews dan proses estimasi trendnya menggunakan Hodrick-Prescott filter yang juga terdapat pada program Eviews. Untuk menganalisis perbandingan gerakan siklikal antara kandidat komponen dari seri acuan menggunakan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang. Berikut ini merupakan penjabaran secara rinci prosedur pembentukan CLI, yang sebelumnya telah digambarkan kerangka prsedurnya dalam bab tinjauan pustaka. Prosedur pembentukan CLI ini terbagi atas empat tahap, seperti yang terdapat dalam penelitian Wuryandari et al (2002).
3.2.1. Penentuan Seri Acuan Pemilihan dan penetapan seri acuan merupakan langkah awal dalam proses pembentukan CLI, dan merupakan tahapan yang paling penting. Hal ini dikarenakan seri acuan tersebut akan digunakan sebagai rujukan dalam pemilihan kandidat komponen laeding indicator, sehingga banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam tahapan ini. Penelitian ini mengamati volatilitas dari business cycle sektor pertanian di Indonesia, oleh karena itu diperlukan suatu seri acuan yang mampu mencerminkan pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia. Jika penelitian yang dilakukan mengenai perekonomian Indonesia secara agregat maka perlu diperhatikan apakah suatu seri acuan cukup menggunakan single series atau harus menggunakan multiple series. Perbedaan ini disebabkan karena ada sebagian
pendapat yang merasa penggunaan data PDB sebagai seri acuan sudah cukup menangkap kegiatan ekonomi suatu negara, meskipun semuanya tergantung pada ketersediaan data dan derajat keyakinan terhadap seri acuan tersebut. Sementara itu, sebagian pendapat lain yang merasa penggunaan single series sebagai acuan kurang dapat menggambarkan kegiatan perekonomian negara secara keseluruhan. Selain itu jika data yang digunakan adalah data sementara, akan ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam pengukuran (measurement errors). Karena penelitian ini tentang sektor pertanian hanya mengacu pada tingkat output yang dihasilkan maka hanya menggunakan single series yaitu PDB riil sektor pertanian.
3.2.2. Penentuan Titik Balik Seri Acuan Langkah selanjutnya adalah proses pembersihan data dari unsur musiman, trend dan irregular sebelum dilakukan penentuan titik balik dari seri acuan yang sudah ditentukan di awal. Berikut ini merupakan tahapan dari prosedur pembersihan data : a.
Adjusting for Seasonality Untuk membersihkan data time series dari fluktuasi musiman dan
irregular dapat dilakukan dengan menggunakan program X-12 dari Eviews. Hal ini tidak perlu dilakukan apabila data yang digunakan adalah data pertumbuhan tahunan karena data tersebut diasumsikan sudah tidak mengandung unsur musiman lagi. b.
Estimasi Trend Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Hodrick-
Presscot filter. Alternatif metode penghilangan unsur trend yang lain seperti
metode PAT (Phase Average Trend) tidak dilakukan karena kendala software yang dimiliki, yaitu program CIND dan Javelin 3 plus.
Metode HP (Hodrick-Prescott) filter Metode HP filter berfungsi untuk mengestimasi trend dan kemudian menghilangkannya. Metode HP filter merupakan alat analisis ekonomi yang sederhana dan sangat fleksibel dan merupakan pilihan inti dari trend. Komponen trend bersifat stokastik tapi bergerak mulus sepanjang waktu dan tidak berhubungan dengan komponen siklikal. Metode HP filter membutuhkan penghitungan dari komponen trend yaitu Y* untuk t = 1, 2, 3, .... dari data seri yang telah dihilangkan unsur musiman dan irregularnya, yaitu Y, t dapat diestimasi dengan meminimalisasi fungsi kerugiannya, dimana λ merupakan parameter yang merefleksikan varian dari komponen trend relatif terhadap komponen siklikal. Bisa juga diartikan sebagai faktor pembobot yang mengontrol seberapa mulus hasil trend tersebut. Nilai λ yang rendah akan menghasilkan trend yang mengikuti seri yang telah dihilangkan unsur musimannya secara dekat, sedangkan nilai λ yang tinggi tidak akan menghasilkan fluktuasi jangka pendek dari seri yang telah dihilangkan unsur musiamnnya. Nilai λ untuk data tahunan adalah 100, dan untuk data triwulanan yang diberikan oleh Hodrick dan Prescott adalah 1600, sedangkan untuk data bulanan, nilai λ yang diberikan adalah 14400 (Setiana, 2006). c.
Detrending Tahapan ini bertujuan untuk memisahkan unsur siklikal dari unsur trend
setelah seri acuan bersih dari fluktuasi musiman dan irregular. Tahapan ini
dilakukan dengan cara mengurangkan seri data yang telah dihilangkan unsur musiman dan irregularnya menggunakan program seasonally adjusted dengan seri data yang telah dihilangkan unsur trendnya. Hasil akhirnya berupa pergerakan siklikal seri acuan, yang kemudian dapat dilihat bentuk business cyclenya. Setelah seri data bersih dari unsur musiman, irregular, dan trend maka selanjutnya dapat dilakukan dengan proses identifikasi titik balik (turning point) berdasarkan metode Bry-Boschan routine. Adapun kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam proses penentuan titik balik menggunakan metode Bry-Boschan, yaitu : (a)
Periode dengan nilai yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari nilai lainnya dalam rentang 5 bulan sebelum dan sesudahnya diidentifikasi sebagai titik balik potensial.
(b)
Suatu fase (puncak ke lembah atau lembah ke puncak) memliki minimum durasi 5 bulan.
(c)
Suatu siklus (puncak ke puncak atau lembah ke lembah) memiliki minimum durasi 15 bulan.
(d)
Apabila terdapat dua atau lebih titik balik yang sejenis (puncak ke puncak atau lembah ke lembah) dan berurutan, maka dipilih puncak yang tertinggi atau lembah yang terendah.
(e)
Apabila terdapat dua atau lebih titik balik dengan nilai sama, maka titik terakhirlah yang dipilih sebagai titik balik.
(f)
Titik balik yang terdapat dalam kurun waktu enam bulan atau kurang dari awal dan akhir periode suatu seri data, maka titik tersebut tidak diperhitungkan sebagai titik balik.
Kriteria lain yang bisa dijadikan acuan kriteria yang disarankan oleh Artis et al. seperti yang terdapat dalam working paper Zhang dan Zhuang (2002), kriteria-kriteria tersebut, antara lain : (a)
Titik puncak dan titik lembah mengikuti satu sama lain.
(b)
Jarak minimum yang diperlukan antara dua titik balik (sebuah fase) adalah sembilan bulan.
(c)
Jarak minimum yang diperlukan untuk dua alternatif titik balik (siklus dari puncak ke puncak atau dari lembah ke lembah) adalah 24 bulan.
(d)
Titik balik dilokasikan pada nilai ekstrim dalam sebuah fase. Jika ada lebih dari satu nilai ekstirm dalam satu fase, maka observasi yang terakhir yang dipilih sebagai titik balik.
(e)
Observasi yang terjadi bersamaan dengan kejadian nonekonomi (seperti guncangan, bencana alam, dll) akan dihiraukan untuk tujuan menganilisis titik balik kecuali titik balik yang didefinisikan dilokasikan bersebelahan dengan observasi tersebut. Dalam penelitian ini, penentuan titik balik mengacu pada ktiteria yang
disarankan Bry-Boschan karena jika durasi antartitik balik terlalu jauh, seperti yang disarankan Bry-Boschan dalam Wuryandari, et. al, (2002) banyak kemungkinan terjadi selama durasi tersebut.
3.2.3
Cross Correlation Analisis cross correlation merupakan suatu pendekatan untuk melihat
detrended berdasarkan lag (periode ke belakang) dan lead (periode ke depan). Detrended merupakan cara untuk memisahkan komponen trend, sehinggga
sebelum cross correlation maka ditentukan terlebih dahulu variabel trend dan siklikal berdasarkan hasil analisis HPF. Cross correlation dapat memperlihatkan lag detrended dan lead detrended pada suatu variabel. Cross correlation menunjukkan detrended dengan komponen siklikal mempunyai korelasi atau tidak.
3.2.4. Pemilihan Komponen Pembentuk CLI Tahapan selanjutnya adalah pemilihan kandidat komposit, tetapi sebelumnya, perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu apakah data yang akan dipilih memiliki pergerakan co-movement terhadap seri acuan yang bersifat leading, lagging, atau coincident. Hal ini dilakukan karena komponen pembentuk CLI hanya terdiri dari variabel-variabel ekonomi yang tergolong sebagai leading indicator. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan seleksi terhadap data variabel sebelum ditetapkan sebagai kandidat (Wuryandari, et. al) : 1.
Relevansi Ekonomi Dalam hal ini, data variabel harus memiliki makna ekonomi yang sangat berkaitan dengan seri acuan, antara lain seperti : (a)
mengandung unsur yang dapat menyebabkan fluktuasi output pertanian (prime movers), maksudnya fluktuasi output pertanian dipengaruhi terutama oleh sejumlah kekuatan yang dapat
diukur
seperti kebijakan fiskal dan moneter, contohnya adalah kredit modal kerja dan investasi serta tingkat harga input untuk pertanian.
(b)
mengandung unsur ekspektasi pelaku ekonomi (expectation sensitive indicator), contoh : tingkat harga komoditi tertentu pada pasar dunia.
(c)
mengukur kegiatan ekonomi pada awal proses produksi (early stage indicator), contoh : harga benih dan bibit.
(d) 3.
menyesuaikan dengan cepat terhadap perubahan kegiatan ekonomi
Stasioneritas Data yang digunakan sebagai variabel dalam komposit harus merupakan data stasioner yang telah bersih dari unsur musiman (seosanal) dan trend.
4.
Prilaku Siklikal (a)
Panjang serta konsistensi periode leading dari titik balik indikator terhadap titik balik seri referensi
(b)
Cyclikal conformity antara kandidat indikator dengan seri referensi. Indikator dengan pergerakan siklikal yang memiliki korelasi tinggi dengan seri referensi akan menjadi pemandu yang baik untuk mempekirakan titik balik seri referensi
(c)
Tidak terdapat siklus ekstra ataupun siklus yang hilang (missing cycles) dibandingkan dengan pergerakan siklus seri referensi
(d)
Data mulus, yaitu pergerakan siklikal dapat dengan mudah dibedakan dari pesgerakan data yang acak (irregular)
3.2.5. Pembentukan Komposit Leading Indicator Setelah melakukan pemilihan dan penyaringan atas variabel-variabel yang akan menjadi kandidat atas komposit indikator, tahap selanjutnya adalah
menyusun komposit indikator. Tahapan pembentukan leading indikator adalah sebagai berikut (Wira Kusuma, et. al 2004) : 1.
Penyeragaman periode Seri data kandidat yang telah terpilih diseragamkan periodisasinya menjadi data triwulanan. Dalam hal ini terdapat data dalam bentuk bulanan sehingga dilakukan agregasi dan penjumlahan.
2.
Pemulusan Indikator yang akan digabung ke dalam komposit harus mempunyai tingkat kemulusan yang sama. Hal tersebut perlu dilakukan agar pergerakan komposit indikator terhindar dari pengaruh pergerakan irregular salah satu komponen indikator.
3.
Normalisasi Tahap selanjutnya adalah melakukan normalisasi data series. Prosedur ini dilakukan agar seluruh pergerakan siklikal memiliki amplitudo yang sama. Tanpa proses normalisasi ini maka pergerakan siklikal komposit indikator dapat didominasi oleah pergerakan indikator dengan amplitudo siklikal yang besar. Metode normalisasi yang digunakan adalah dengan mengurangi data seri dengan nilai rata-rata, sehingga diperoleh angka selisih. Selanjutnya, membagi angka selisih dengan rata-rata dari nlai absolut selisih tersebut. Terakhir, data yang telah dinormalisasi tersebut diubah ke dalam bentuk indeks dengan cara menambahkan nilai 100.
4.
Lagging Tahap ini hanya dilakukan apabila kandidat indikator yang dipilih terbagi dalam dua kelompok yaitu “longer leading”dan “shorter leading”.
Pembentukan komposit yang terdiri dari kedua kelompok indikator tersebut dapat memberikan hasil yang kurang baik. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dari hasil adalah dengan memajukan periode lead dari longer leading indikator. 5.
Pembobotan Penggabungan beberapa indikator ini ke dalam suatu komposit dapat dilakukan dengan memberikan bobot yang berbeda kepada setiap indikator misalkan berdasarkan kemampuan secara historis untuk memprediksi siklus. Hal ini dilakukan apabila hasil dari penggabungan seluruh varibel leading yang didapat kurang memiliki hubungan terhadap seri acuan yaitu nilai lead yang besar dan koefisien korelasi yang kecil.
6.
Agregasi Tahap selanjutnya adalah pembentukan indeks komposit, yaitu dengan menghitung nilai rata-rata dari seluruh indikator yang dipilih.
3.3.
Menentukan Volatilitas Data Penentuan volatitas bertujuan untuk melihat apakah suatu aribel memiliki
volatilitas yang rendah atau tinggi. Hal ini dapat memudahkan untuk menentukan variabel mana yang dapat menjadi komposit, karena biasanya variabel yang bagus untuk menjadi komposit memiliki volatilitas yang sama. Akan tetapi variabel yang memiliki voltilitas berbeda dapat menjadi komposit jika digabungkan dengan variabel yang memiliki volatilitas yang sama. Proses untuk menentukan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal suatu indikator dilakukan dengan cara mencari nilai standar deviasi dari seri data
terlebih dahulu kemudian dibagi dengan nilai rata-rata dari seri data yang telah menjadi data siklikal. Hasil pembagian tersebut diubah menjadi bentuk persentase. Kriteria yang harus diperhatikan adalah untk indikator yang Coefficient Variation (CV) lebih dari 100 persen berarti volatilitasnya tergolong tinggi. Sedangkan indikator yang memiliki CV lebih dari 50 persen tapi kurang dari 100 persen termasuk kategori volatilitasnya medium, dan untuk indikator yang CV-nya kurang dari 50 persen termasuk dalam kategori volatilitas rendah (Setiana, 2006). Untuk menentukan volatilitas ini digunakan program excel yang di dalamnya secara otomatis dapat menghitung nilai rata-rata, standar deviasi dan pembagiannya.
IV.
4.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Sektor Pertanian Indonesia Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian dapat
menjadi andalan baik dalam munyumbang terhadap PDB nasional, maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan data BPS 2007 sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia yaitu lebih dari 40 persen. Sebagai penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, ternyata sektor pertanian hanya mampu menyumbangkan kurang lebih 14 persen dari total PDB sebesar RP. 3957.4 triliun pada tahun 2007. Tabel 3. Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 - 2007 (Persen) Lapangan Usaha 2006 2007 (1) (2) (3) 1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan 13.0 13.8 Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian 11.0 11.2 3. Industri Pengolahan 27.5 27.0 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0.9 0.9 5. Konstruksi 7.5 7.7 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 15.0 14.9 7. Pengangkutan dan Komunikasi 6.9 6.7 8. Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan 8.1 7.7 9. Jasa-jasa 10.1 10.1 PDB 100.0 100.0 PDB Tanpa Migas 88.9 89.5 Sumber : BPS, 2008 Jika berdasarkan teori yang ada, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB memang cenderung turun, sesuai dengan semakin meningkat dan terdiversifikasinya perekonomian Indonesia. Namun yang perlu diamati juga adalah peranan pertanian dalam menyerap angkatan kerja. Pangsa sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja ternyata masih yang paling besar. Dari kenyataan
itu dapat dilihat bahwa ada ketimpangan dalam struktur ekonomi Indonesia, di mana sektor yang sudah mulai menyusut peranannya dalam menyumbang PDB ternyata harus tetap menampung jumlah tenaga kerja yang jauh lebih banyak daripada yang sewajarnya terjadi. Sektor Pertanian di Indonesia yang terdiri dari sub sektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan merupakan sumber perolehan devisa yang sangat menjanjikan di masa yang akan datang karena merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui. Krisis energi yang terjadi di dunia saat ini menyebabkan setiap negara berlomba untuk menciptakan energi alternatif agar dapat memenuhi pasokan energi yang dibutuhkan. Indonesia yang tanahnya dapat menjadi tempat tumbuh subur tanaman dan hewan merupakan nilai tambah tersendiri untuk menghasilkan energi alternatif. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian yang besar tetapi tidak membuat sektor pertanian menjadi sektor paling unggul di antara sektor lain karena sektor pertanian Indonesia yang sebagian besar masih subsisten. Teknologi yang masih sangat rendah serta modal yang terbatas membuat sulit untuk menjadikan pertanian Indonesia dari hanya subsisten menjadi agribisnis bahkan agriindustri. Meskipun kemajuan suatu negara terlihat dari share laju pertumbuhan sektor pertanian yang semakin rendah dan semakin meningkatnya bidang manufacture, akan tetapi sektor industripun tidak akan dapat berjalan jika tidak ada sektor pertanian yang baik dan terandal. Dengan kata lain, jika Indonesia ingin menjadi negara industri yang maju maka terlebih dahulu harus memperbaiki sektor hulunya yaitu sektor pertanian. Selain sektor pertanian dapat menjadi input bagi semua sektor hilir, dengan sektor pertanian yang maju akan dapat
meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia dan meningkatkan taraf hidup petani di Indonesia. Pertumbuhan
PDB
pertanian
menunjukkan
kecenderungan
yang
meningkat sejak tahun 2005. Pada tahun 2007, sektor pertanian memiliki laju pertumbuhan
26.32
persen
dibandingkan
tahun
2006.
Dengan
laju
pertumbuhannya tersebut, sektor pertanian mamapu menyumbangkan 13.83 persen dari total PDB nasional. Mungkin share PDB sektor pertanian tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan industri pengolahan mengingat sektor pertanian menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, akan tetapi apabila perhatian pemerintah terhadap sektor ini terus ditingkatkan maka sektor pertanian akan menjadi sektor yang dapat menjanjikan di masa yang akan datang mengingat pertanian merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable). Sektor pertanian yang dibahas pada penelitian ini adalah pertanian dalam arti luas yang terdiri dari sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Pada tahun 2007 sendiri sub sektor yang menjadi penyumbang terbesar PDB sektor pertanian adalah sub sektor tanaman pangan yaitu sebesar 48.99 persen. Dari segi laju pertumbuhan sub sektor pertanian maningakat 25.09 persen dibanding tahun 2006. Hal ini terjadi karena pada tahun 2007 terjadi surplus beras pada daerah-daerah penghasil beras. Selain itu tingkat pengembalian yang tinggi dari sub sektor ini menjadi salah satu motivasi tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksinya, dan dapat dilihat dari NTP yang meningkat yang dapat memperlihatkan peaningkatan kesejahteraan petani yaitu sebesar 102 pada 2006 menjadi kisaran 106 pada tahun 2007.
Sub sektor lain yang juga berperan dalam peningkatan output sektor pertanian adalah sub sektor perikanan yang menyumbang 17.69 persen terhadap PDB sektor pertanian dan 2.45 persen untuk PDB nasional Indonesia. Hasil perikanan Indonesia yang melimpah baik di darat maupun laut seharusnya mampu menyumbangkan lebih besar dari saat ini. Keterbatasan dalam teknologi menyebabkan Indonesia kurang mampu mengeksploitasi hasil lautnya, padahal memilki nilai jual yang sangat tinggi baik di pasar domestik maupun internasional. Perkebunan kelapa sawit yang sedang booming saat ini membuat laju pertumbuhannya sangat tinggi yaitu 33.21 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan
laju
pertumbuhnnya
tersebut,
sub
sektor
perkebunan
mampu
menyumbangkan 15.43 persen terhadap PDBsektor pertanian dan 2.13 persen terhadap PDB nasional. Trend booming perkebunan kelapa sawit saat ini harus sangat diperhatikan oleh pemerintah agar hasil yang diberikan dapat maksimal. Saat ini Indonesia hanya mampu menjual hasil perkebunan kelapa sawit dalam bentuk setengah jadi, dengan pengembangan IPTEK diharapakan akan mampu meningkatkan hasil dari perkebunan yang ada agar memiliki daya jual yang lebih tinggi. Selain memberikan banyak keuntungan ternyata sektor kelapa sawit juga memiliki kerugian. Pembukaan lahan dengan cara membakar, menyebabkan terjadi kebakaran hutan di daerah-daerah seperti Sumatera dan Kalimantan. Jika dibandingkan dengan keuntungan riil yang didapat dari hasil kelapa sawit tentu lebih besar dari hasil hutan yang belum tentu bisa menghasilkan uang, akan tetapi manfaat yang diberikan hutan untuk kelangsungan hidup umat manusia karena menjadi paru-paru dunia tentu tidak dapat dibeli dengan apapun.
Tabel 4. Laju Pertumbuhan Sektor dan Sub Sektor Pertanian Indonesia Serta Sharenya Terhadap PDB Nasional Tahun 2007 Share Share 2007 Terhadap Terhadap Laju Lapangan Usaha (Miliar PDB PDB Pertumbuhan Rupiah) Pertanian Nasional (Persen) (Persen) (Persen) Pertanian 547235.60 100 13.83 26.32 Tanaman bahan 268124.40 48.99 6.77 25.09 makanan Tanaman 84459.20 15.43 2.13 33.21 perkebunan Peternakan dan 62095.80 1.13 1.57 21.58 hasil-hasilnya Kehutanan 35734.10 6.53 0.90 18.85 Perikanan 96822.10 17.69 2.45 30.25 PRODUK DOMESTIK 3957403.90 100 18.50 BRUTO Sumber : BPS, 2007 Indonesia yang merupakan negara kepulauan ternyata menjadi suatu hambatan bagi kemerataan perekonomiannya. Tidak hanya pada sektor Industri tetapi juga sektor pertanian, hal ini dapat dilihat dari share PDB sektor pertanian tiap provinsi terhadap total PDB sektor pertanian Indonesia. Pulau Jawa masih menjadi penyumbang terbesar khususnya Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat yang sharenya terhadap PDB sektor pertanian nasional lebih dari 10 persen. Daerah Sumatera yang menjadi pusat perkebunan kelapa sawit Indonesia hanya mampu
memberikan kontribusi kurang dari 10 persen pada masing-masing
provinsinya.
Dengan
kontribusi
terbesar
adalah
Provinsi
Riau
yang
menyubangkan 8.38 persen dari total PDB sektor pertanian. Pada provinsi daerah timur, kontribusi untuk sektor pertanian relatif lebih kecil jika dibandingkan pulau Jawa dan Sumatera. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata-rata kontribusi daerah timur terhadap sektor pertanian Indonesia kurang dari 1 persen.
Tabel 5. Distribusi Sektor Pertanian Beberapa Provinsi di Indonesia Terhadap PDB Sektor Pertanian Nasional dan PDB Nasional serta Laju Pertumbuhannya Tahun 2006 Share Share Terhadap Terhadap Laju 2006 PDB Nama Provinsi PDB Pertumbuhan (Juta Rupiah) Pertanian Nasional (Persen) Nas (Persen) (Persen) NAD 18196887.67 4.20 0.54 19.70 Sumatera Utara 35491961.01 8.19 1.06 5.99 Sumatera Barat 13396523.71 3.09 0.40 17.17 Riau 36294175.88 8.38 1.09 20.29 Jambi 6917959.52 1.60 0.21 14.28 Sumatera Selatan 17300120.00 3.99 0.52 20.48 Bengkulu 4566247.21 1.05 0.14 11.98 Lampung 18131758.86 4.19 0.54 19.76 Kep. Bangka Belitung 2963054.44 0.68 0.09 14.44 Kep. Riau 2369108.44 0.55 0.07 8.56 DKI Jakarta 490491.74 0.11 0.01 11.63 Jawa Barat 52653017.31 12.15 1.58 13.40 Jawa Tengah 57364981.87 13.24 1.72 28.03 DI Yogyakarta 4574164.48 1.06 0.14 14.61 Jawa Timur 80746147.55 18.64 2.42 16.12 Banten 7604853.80 1.76 0.23 5.34 Bali 7463262.78 1.72 0.22 8.36 Nusa Tenggara Barat 6524916.08 1.51 0.20 12.22 Nusa Tenggara Timur 6895959.56 1.59 0.21 13.71 Kalimantan Barat 10229571.87 2.36 0.31 11.73 Kalimantan Tengah 8637176.99 1.99 0.26 19.10 Kalimantan Selatan 7849541.92 1.81 0.24 8.46 Kalimantan Timur 10563338.24 2.44 0.32 10.77 Sulawesi Utara 4168564.99 0.96 0.12 15.29 Sulawesi Tengah 8659798.77 2.00 0.26 11.25 Sulawesi Selatan 18513257.00 4.27 0.55 14.36 Sulawesi Tenggara 6219547.93 1.44 0.19 13.06 Gorontalo 1242054.65 0.29 0.04 27.25 Sulawesi Barat 2746165.92 0.63 0.08 11.06 Maluku 1802960.97 0.42 0.05 10.33 Maluku Utara 1068160.05 0.25 0.03 8.21 Papua Barat 2428810.57 0.56 0.07 12.85 Papua 5144704.90 1.19 0.15 13.33 Diolah Berdasarkan Data BPS, 2007
Diantara provinsi yang ada di timur Indonesia hanya Provinsi Papua yang sharenya terhada PDB sektor pertanian Indonesia lebih dari 1 persen, hal ini lebih dikarenakan Provinsi Papua memiliki wilaya yang paling besar dinatara provinsi didaerah timur lainnya. Dengan kata lain pada sektor pertanian ini luas wilayah yang dimiliki suatu dareah akan mempengaruhi kontribusinya terhadap sektor pertanian nasional. Jika dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing provinsi, pada tahun 2006 yang memiliki laju pertumbuhan paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah sebesar 28.03 persen yang disusul oleh Provinsi Gorontalo sebesar 27.25 persen. Pada Provinsi Jawa Tengah, peningkatan laju pertumbuhannya lebih dikarenakan daerah penghasil beras di provinsi tersebut mampu meningkatkan produksinya, selain itu perhatian yang lebih dari pemerintah daerah setempat juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan produksi di suatu daerah. Sedangakan pada kasus daerah Gorontalo, laju pertumbuhan yang besar dikarenakan provinsi ini mampu meningkatkan teknologi yang ada untuk peningkatan hasil pertanian. Pengiriman tenaga ahli di bidangnya ke Provinsi Gorontalo serta kerjasama yang baik dari warga setempat terhadap kebijakan pemerintah setempat membuat sistem pertanian daerah tersebut lebih terarah sehingga hasil yang diperoleh dapat maksimal. Dari seluruh provinsi yang ada di Indonesi yang pada tahun 2006 pertumbuhan sektor pertaniannya paling kecil adalah Provinsi Banten. Provinsi yang sebelum adanya otonomi daerah merupakan bagian dari Jawa Barat ini ternyata belum mampu memaksimalkan potensi pertanian yang ada. Sebagai daerah yang memiliki potensi pada tanaman padi dan melinjo, pertumbuhan
sektor pertaniannya harus lebih dari yang dicapai pada tahun 2006 karena Provinsi Banten telah memiliki keunggulan tersendiri yaitu tanaman melinjo. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa provinsi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap sektor pertanian Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur. Denga share 18 persen provinsi ini juga tetap memliki pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 16. 12
persen. Kekonsistenan provinsi ini dalam menangani sektor
pertaniannya dapat menjadi contoh provinsi lain yang ada di Indonesia. Peningkatan sektor seperti industri, jasa dan pariwisata memang sangat penting dilakukan, akan tetapi lebih penting lagi jika membangun terlebih dahulu sektor hulu yaitu pertanian agar Indonesia tidak perlu mengimpor dalam memenuhi kebutuhan untuk berproduksi.
4.2.
Pembentukan Data Siklikal Setelah pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai metodologi dari
pembentukan leading indicator berdasarkan metode growth cycle OECD, maka pada bagian ini akan dijelaskan mengenai aplikasi metode tersebut dalam menentukan titik balik dari seri acuan dan pembentukan composite leading index pertumbuhan sektor pertanian Indonesia. Seri acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk domestik bruto sektor pertanian (PDBP). Hal ini dikarenakan saat ini PDBP merupakan seri acuan yang paling memungkinkan untuk melihat siklus pada sektor pertanian. Pada bagian ini, hasil analisis stylized facts akan disajikan dalam gambaran
evolusi
trend
dan
fluktuasi
siklikal
seri
acuan,
kemudian
menggambarkan hubungan keterkaitan siklikal indikator kandidat komposit
dengan siklikal seri acuan. Metode yang digunakan untuk menghilangkan unsur musiman dan irregular dari variabel-variabel yang telah didapat adalah program seasonally adjusted dari X-12 dalam software Eviews 4.1, dan metode yang diguakan untuk mengestimasi trend adalah metode Hodrick Prescott filter yang juga menggunakan software Eviews 4.1. Setelah didapat estimasi trend maka dilakukan detrending (pemisahan unsur siklikal dari unsur trend-nya) yaitu data yang telah dihilangkan unsur musiman dan irregularnya dikurangi dengan estimasi trend yang juga menggunakan Eviews 4.1. Tabel 6. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level Sebelum Detrending Variabel
Nilai Kritis MacKinnon
Keterangan
0.801053
1% 5% 10% -2.669359 -1.956406 -1.608495
Tidak Stasioner
L_IHK
6.930128
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_IHKUS
6.395202
-2.650145 -1.953381 -1.609798
Tidak Stasioner
L_IHPP
-0.611776
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_KI
-0.301868
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_KM
0.001946
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_M2
7.267855
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_MP
0.942429
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_PBRS L_PDB
0.844489
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_PSWT
1.335578 1.782998
-2.656915 -1.954414 -1.609329 -2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner Tidak Stasioner
L_PTEH
-0.818866
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_RER
-1.367296
-2.653401 -1.953858 -1.609571
Tidak Stasioner
L_RKI
-1.630694
-2.647120 -1.952910 -1.610011
Stasioner
L_RKM
-2.021361
-2.647120 -1.952910 -1.610011
Stasioner
L_XP
0.798256
-2.644302 -1.952473 -1.610211
Tidak Stasioner
L_NTP
-2.193915
-3.670170 -2.963972 -2.621007
Tidak Stasioner
L_PDBP
Nilai ADF t-statistic
Dari hasil pemisahan data menjadi data siklikal, terlihat dari grafik bahwa data-data menjadi lebih stasioner di bandingkan sebelum dilakukan pemisahan
terhadap unsur musiman, irregular, dan trend. Hal ini juga dapat dilihat dari uji non-stasioneritas pada taraf nyata 10 persen. Pada tabel di atas terlihat bahwa semua variabel kecuali suku bunga kredit investasi dan suku bunga kredit modal kerja tidak stasioner. Karena data stasioner merupakan salah satu syarat dari pembentukan CLI maka syarat tersebut harus dipenuhi.. Tabel 7. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada Level Setelah Detrending Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon Keterangan t-statistic 1% 5% 10% -1.694630
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_IHK
-1.886968
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_IHKUS
-2.265444
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_IHPP
-2.213094
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_KI
-3.315675
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_KM
-3.510287
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_M2
-2.679930
-2.653401 -1.953858
-1.609571
Stasioner
D_MP
-3.124826
-2.647120 -1.952910
-1.610011
Stasioner
D_PBRS D_PDB
-2.962934
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_PSWT
-3.181141 -2.795702
-2.674290 -1.957204 -2.644302 -1.952473
-1.608175 -1.610211
Stasioner Stasioner
D_PTEH
-3.062740
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_RER
-2.411488
-2.647120 -1.952910
-1.610011
Stasioner
D_RKI
-2.475769
-2.647120 -1.952910
-1.610011
Stasioner
D_RKM
-4.106322
-2.647120 -1.952910
-1.610011
Stasioner
D_XP
-2.564600
-2.644302 -1.952473
-1.610211
Stasioner
D_NTP
-3.011806
-3.679322 -2.967767
-2.622989
Stasioner
D_PDBP
Pada Tabel 7, setelah dilakukan pembersihan dari faktor musiman, irregular, dan trend maka pada taraf nyata 10 persen seluruh varibel baik calon komposit maupun seri acuan menjadi stasioner. Dengan demikian salah satu syarat pembentukan CLI telah terpenuhi
4.3.
Karakteristik dan Titik Balik Produk Domestik Bruto untuk Sektor Pertanian (PDBP) Alasan pemilihan PDBP sebagai seri acuan yang digunkan dalam
pembentukan leading indicator ini adalah karena PDBP merupakan salah satu alat ukur pertumbuhan sektor pertanian yang paling dapat diandalkan saat ini. Berikut ini merupakan grafik PDB sektor pertanian yang telah dilog-kan, hal ini dilakukan agar data menjadi lebih mudah dibandingkan dengan data yang nilainya relatif lebih kecil seperti suku bunga. Pada grafik terllihat bahwa PDBP sangat fluktuatif yaitu naik turun yang sangat besar. Hal ini mungkin disebabkan karena sektor pertanian bergantung pada masa panen dan tanam.
PDB Sektor Pertanian 13.6 13.5
Log PDBP
13.4 13.3 13.2 13.1 13.0 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 L_PDBP
Gambar 3. Grafik log PDBP Pada gambar di atas terlihat bahwa tiap tahun terjadi fluktuasi yang sangat besar dalam satu tahun, namun ada kecenderungan naik sampai sekitar tahun
2002/2003. Hal ini bisa terjadi karena perekonomian baru pulih setelah terjadi krisis multi dimensi tahun 1997/1998. Setelah tahun 2003 PDBP terlihat kembali terjadi penurunan yang disebabkan kebijakan pemerintah banyak yang tidak berpihak kepada rakyat khususnya petani, seperti harga pupuk yang sangat mahal tetapi harga jual gabah sangat rendah dan baru meningkat kembali pada pertengahan 2006. Grafik PDB dalam bentuk logaritma ini menunjukkan adanya fluktuasi musiman (seasonal oscillations). Fluktuasi musiman ini berarti umumnya dalam kegiatan ekonomi ada kecenderungan untuk menguat pada triwulan keempat dan terkompensasi dengan penurunan selama triwulan pertama dalam satu tahun kalender. Sebelum menganalisis pergerakan siklikal dari seri acuan, maka komponen musiman ini harus dihilangkan dahulu. Proses penghilangan unsur musiman dapat dilakukan langsung oleh program X-12 yang dikembangkan oleh Cencus Burean di Amerika Serikat dan telah dimasukkan ke dalam beberapa software, termasuk Eviews. Gambar 3 dan 4 masing-masing merupakan Trend PDBP dan plot dari pergerakan siklikal PDBP. Plot ini didapat dari regresi menggunakan metode HP filter yang mengestimasi trendnya dan kemudian dipisahkan dari unsur siklikalnya. Pergerakan siklikal PDBP menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dalam kurun tujuh tahun terakhir mengalami empat kecenderungan setiap tahunnya, yaitu kecenderungan meningkatan yang sangat besar mulai dari bulan desember dan puncaknya pada bulan maret, kemudian terjadi sedikit perlambatan pada maret sampai juni, setelah itu terjadi sedikit peningkatan dengan puncak antara agustus samapai september, dan penurunan yang signifikan
mulai september sampai desember. Hal tersebut seharusnya dapat dicermati oleh pemerintah, maka sebenarnya dapat dilakukan evaluasi atas kebijakan yang sudah dilakukan dan membuat perencanaan kebijakan selanjutnya untuk menghindari kondisi yang memburuk pada sektor pertanian yang terjadi setiap tahunnya. Sedangkan trend PDBP pada gambar memperlihatkan bahwa dala kurun waktu tujuh tahun secara keseluruhan pertanian Indonesia mengalami peningkatan, meskipun pada akhir 2003 sampai sekitar awal 2006 mengalami sedikit pelambatan yang mungkin disebabkan terjadi beberapa kali kenaikan BBM, namun dalam jangka panjang PDBP dapat kembali mengalami peningkatan.
Trend PDB Sektor Pertanian 13.40
Log PDBP
13.36
13.32
13.28
13.24
13.20 2000:1 2001:2 2002:3 2003:4 2005:1 2006:2 2007:3 HP_PDBP
Gambar 4.Grafik Trend PDBP Hasil growth cycle dalam plot estimasi siklikal PDB sebagai seri acuan selama periode penelitian, yaitu untuk rentang waktu 31 triwulan (2000:Q1 – 2007:Q3) memiliki dua siklus yang dengan durasi siklus trebesar 12 triwulan,
seperti yang dirangkumkan pada Tabel 8. Terdapat 6 titik balik yang dapat ditangkap oleh pergerakan siklikal PDBP, yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak. Selanjutnya kontraksi terjadi pada P1-L2 (2001:Q3 – 2002:Q4), hal ini lebih disebabkan karena inflasi yang setiap bulannya pada dasarnya meningkat. Tabel 8. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan PDBP Fase/Siklus Titik Balik Durasi (Triwulan)
Ekspansi
Lembah 2000:Q2
Kontraksi Siklus No. 1
2000:Q2
Ekspansi
2002:Q4
Kontraksi
Puncak 2001:Q3
Lembah
Fase 5
2001:Q3
2002:Q4
4
2002:Q4 2003:Q4 2003:Q4
Ekspansi
2005:Q4
Siklus No. 2
2002:Q4
Siklus
9 4
2005:Q4
2006:Q4
8 4
2005:Q4
12
Inflasi yang lebih mudah berubah tiap bulannya tidak seperti upah atau pendapatan yang diperoleh petani yang mengakibatkan PDBP secara riil ikut turun meskipun tidak signifikan namun berlangsung lama sampai terdapat kebijakan dari pemerintah yang dapat meningkatkan pendapatan atau upah petani. Dengan demikian siklus pertama terjadi dalam rentang waktu sembilan triwulan pada L1-L2 (2000:Q2-2002:Q4). Siklus kedua terjadi pada L2-L3 (2002:Q4 - 2005:Q4) dengan rentang waktu 12 triwulan. Pada siklus kedua ini kontraksi yang terjadi cukup berkepanjangan selama delapan triwulan atau kurang lebih dua tahun (2003:Q42005:Q4). Kontraksi yang berkepanjangan (PDBP riil terus menurun) ini
disebabkan oleh pengaruh variabel seperti inflasi (IHK), jumlah uang beredar (M2) dan pertumbuhan ekonomi nasional.
D_PDBP
0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 2003:Q4
2001:Q3 0.04
2006:Q4
0.02 2002:Q4 0 -0.02 -0.04 -0.06
2005:Q4 2000:Q2
-0.08 Ta hun D_PDBP
Gambar 5. Grafik Siklikal dan Titik Balik PDBP 4.4.
Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen Secara ideal, pemilihan kandidat komponen komposit leading sebaiknya
memenuhi beberapa kriteria, seperti memiliki relevansi ekonomi, ketersediaan data, dan pemenuhan kriteria statistik. Relevansi ekonomi antara kandidat komponen komposit dengan pertumbuhan sektor pertanian diperlukan untuk dapat menjelaskan secara teori bagaimana hubungan suatu variabel dengan PDBP itu sendiri. Pada umumnya, suatu variabel yang mempunyai hubungan yang dapat dijelaskan secara teori, juga tercermin dari besaran-besaran statistiknya, seperti nilai korelasi silang yang cukup tinggi. Dalam penelitian ini, kriteria-kriteria tersebut diusahakan untuk dapat dipenuhi. Namun demikian, masalah ketersediaan
data dan kemudahan dalam perolehannya merupakan penghambat utama dalam penelitian ini mengingat dalam metode yang digunakan untuk membentuk CLI memerlukan variabel yang cukup banyak. Dengan keterlibatan variabel yang terbatas akan mengurangi akurasi dari leading indicator yang terbentuk. Namun di lain pihak, apabila sebagian besar variabel dilibatkan meskipun banyak yang tidak mencukupi datanya, akan membuat metode yang digunakan tiadak dapat melakukan perhitungan dengan baik. Pada penelitian ini akan dibuat kombinasi dari variabel leading yang didapatkan. Selain membuat CLI dari semua variabel yang didapatakan, peneliti juga berusaha mencari CLI dari variabel yang memiliki pengarus sama terhadap PDBP. Setelah meyeleksi 13 variabel yang masuk ke dalam leading, maka peneliti menyeleksi sehingga terbentuk tiga CLI yang terdiri gabungan semua leading yang didapat, gabungan dari indeks harga perdagangan besar dan gabungan dari suku bunga kredit.
4.4.1. Perbandingan Data Siklikal Variabel Calon Komposit Terhadap Seri Acuan PDBP Dalam penelitian ini jumlah variabel yang dianalisis masih sangat sedikit, tetapi diharapkan hasilnya dapat dipercaya. Setelah penetuan titik balik seri acuan, maka dapat dilihat dari pola siklikal variabel yang ada dari waktunya dibandingkan dari pola siklikal seri acuan, apakah akan menjadi leading, lagging, atau coincident indicator. Setelah diketahui jenisnya, maka selanjutnya untuk variabel yang tergabung dalam leading indicator berarti menjadi kandidat indeks komposit. Perbandingan pergerakan siklikal dari variabel calon komposit dengan seri acuan dilakukan dengan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang.
Grafik perbandingan fluktuasi siklikal setiap calon komposit dengan seri acuan dapat dilihat pada lampiran. Penetuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal variabel-varabel dalam penelitian ini didapat dari hasil pembagian standar deviasi dengan nilai rata-rata setiap variabel, baik variabel acuan maupun variabel calon komposit, yang kemudian dibuat dalam bentuk persen. Variabel yang tergolong memiliki volatilitas yang tinggi hasil pembagiannya lebih dari 100 persen. Sementara variabel-variabel yang tergolong memiliki volatilitas rendah berarti hasil pembagiannya kurang dari 50 persen. Hasil pembagian korelasi silang untuk penentuan jenis indikator setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel. Pada tabel di bawah ini terlihat bahwa terdapat 10 variabel yang memiliki volatilitas rendah termasuk seri acuan yaitu PDBP. Dengan mengetahui volatilitas masing-masing variabel yang ada diharapkan akan lebih mudah dalam membuat data komposit, karena variabel yang memiliki volatiltas yang berbeda akan menyebabkan hubungan antara keduanya semakin kecil. Untuk membuat agar variabel yang memiliki volatilitas berbeda dapat menjadi komposit maka harus digabungkan dengan variabel yang memiliki volatilitas yang sama dengan seri acuan yang telah ditentukan. Berikut merupakan hasil perhitungan untuk kriteria volatilitas variabel-variabel baik seri acuan maupun calon komposit yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 9. Perhitungan CV Variabel-variabel Calon Komposit dan Seri Acuan Variabel
Standar Deviasi
Rata-rata
CV (%)
D_PDBP
0.041307642
-3.2258E-08
-1280537
D_IHK
0.022078776
-3.2258E-08
-684442
D_IHKUS
0.004746118
6.45161E-08
73564.84
D_IHPP
0.280892682
3.22581E-08
8707673
D_KI
0.040337058
-9.6774E-08
-416816
D_KM
0.12803337
-6.4516E-08
-1984517
D_M2
0.024967818
3.22581E-08
774002.4
D_MP
0.117053816
-6.4516E-08
-1814334
D_PBRS
0.174534198
-6.4516E-08
-2705280
D_PDB
0.030862459
0.000819032
37.68162
D_PSWT
0.19472326
-1.7907E-18
-1.1E+17
D_PTEH
0.112762052
-2.1264E-18
-5.3E+16
D_RER
0.076674806
6.45161E-08
1188459
D_RKI
0.010120274
-5.4839E-08
-184546
D_RKM
0.004211199
3.22581E-08
130547.2
D_XP
0.093457327
-1.2903E-08
-7242943
D_NTP
0.033407587
6.45161E-08 517817.5942
Salah satu syarat agar variabel tersebut dapat menjadi CLI adalah koefisien terbesar pada uji cross correlation harus terdapat pada bagian lead. Variabel yang baik biasanya memiliki koefien terbesar pada lead yang kecil. Di bawah ini merupakan tabel untuk memperlihatkan hasil cross correlation terbesar pada masing-masing variabel calon komposit. Pada uji ini didapatkan 13 variabel yang menjadi leading, dan masing-masing satu variabel yang menjadi lagging dan coincident. Untuk memperoleh CLI yang baik maka hasil uji cross correlation terhadap seri acuan harus memilki koefisien yang lebih besar dari rata-rata yang diperoleh pada tabel di bawah ini.
Tabel 10. Pola Fluktuasi Siklikal Varibel-variabel Calon CLI Terhadap PDBP Fase Pergerakan
Cross Correlation Volatilitas Lead/Lag Coefficient
Leading Indicators : 1. Indeks Harga Perdagangan Besar Pertanian
Tinggi
-4
0.5296
2. Kredit Modal Kerja
Rendah
-1
0.6365
3. Indeks Harga Beras Dunia
Rendah
-1
0.6701
4. Indeks Harga Sawit Dunia
Rendah
-2
0.4331
5. Suku Bunga Kredit Investasi
Rendah
-1
0.4544
6. Indeks Harga Konsumen
Rendah
-2
0.5363
7. Impor Sektor Pertanian
Rendah
-8
0.3431
8. Real Exchange Rate
Tinggi
-8
0.4806
9. Suku Bunga Kredit Modal Kerja
Tinggi
-1
0.6105
10. PDB
Tinggi
-8
0.5042
11. Indeks Harga Teh Dunia
Rendah
-3
0.3039
12. Ekspor Produk Pertanian
Rendah
-8
0.5287
13. Indeks Harga Konsumen USA
Tinggi
-7
0.5329
3.7
0.5049
0
0.6591
0
0.6591
Rata-rata Coincident Indicators : 1. M2
Tinggi Rata-rata
Lagging Indicators : 1. Kredit Investasi
Rendah
+5
0.4192
2. Nilai Tukar Petani
Tinggi
+1
0.5347
+3
0.47695
Rata-rata
Dapat dilihat dari tabel bahwa yang termasuk ke dalam leading indicators adalah variabel indeks harga perdagangan besar, kredit modal kerja, indeks harga sawit dunia, suku bunga kredit investasi, indeks harga beras dunia, suku bunga kredit modal kerja, ekspor produk pertanian, PDB, dan impor produk pertanian. Rata-rata dari ke-13 variabel tersebut menunjukkan lead time 3.7 triwulan dari acuan PDBP dengan koefisien korelasi 0.5049. Untuk coincident indicators, rata-
rata koefisien korelasinya 0.6591, dan untuk rata-rata koefisien korelasi silang lagging indicators adalah 0.477, dengan waktu lag rata-rata 3 triwulan.
4.4.2. Keterkaitan Kandidat Komposit dengan Seri Acuan Keterkaitan masing-masing kandidat komposit dengan seri acuan dapat dijelaskan sebagai berkut. Meningkatnya indeks harga perdagangan besar untuk sektor pertanian menunjukkan hasil pertanian Indonesia lebih dihargai terlepas dari kenaikan harga akibat penurunan supply. Jika hasil pertanian Indonesia semakin dihargai maka kesejahteraan petani akan meningkat dan pastinya akan meningkatkan hasil produksi pertanian pada akhirnya. Untuk sektor moneter, kebijakan pemberian jumlah kerdit modal kerja yaitu kredit bagi mereka yang sudah memiliki usaha meningkatkan hasil pertanian. dengan meningkatnya pemberian kredit, maka modal untuk berproduksi para petani akan lebih mudah diperoleh. Dengan modal yang baik maka produksi akan berjalan lancar dan petani dapat memperoleh hasil yang maksimal. Selain jumlah kredit yang diberikan, suku bunga kredit juga sangat mempengaruhi pertumbuhan sektor pertanian, karena semakin rendah tingkat bunga yang ditawarkan maka minat para petani untuk menambah modal untuk meningkatkan hasil pertaniannya semakin tinggi. Pada penelitian ini suku bunga yang berpengaruh sebagai leading adalah suku bunga kredit investasi dan suku bunga kredit modal kerja yang berarti suku bunga kredit bagi produsen yang baru ingin membuka lapangan usahanya dan yang sedang menjalankan usahanya mempengaruhi pertumbuhan pada sektor pertanian.
akan
Pada penelitian sektor pertanian juga dipengaruhi oleh pasar luar negeri dimana harga di luar negeri akan memberikan motivasi tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksinya. Seperti yang terjadi dengan hubungan indeks harga beras dunia dan sawit dunia dengan pertumbuhan sektor pertanian yang memiliki pengaruh meskipun koefisiennya relatif kecil. Indeks harga konsumen luar negeri yang dalam kasus ini adalah konsumen US juga menjadi leading indicator, tapi pada kasus ini koefisien terbesar pada uji cross correlation yaitu 0.5329 terdapat pada lead -7 dan terdapat koefisien yang mendekati yaitu 0.5318 pada daerah lag +3. Tanpa perlu melakkan uji satatitik dapat disimpulkan pada jangka panjang variabel inidapat berubah menjadi lagging.
4.5. Pembentukan Composite Leading Index Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia Composite leading index dibentuk oleh kumpulan leading indicator yang diharapkan mampu menjadi acuan bagi pertumbuhan sektor pertanian dimasa yang akan datang. Seperti yang telah dibahas pada bab pendahuluan bahwa sektor pertanian memiliki peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi secara makro. Dalam hal ini seri acuan yang digunakan adalah produk domestik bruto untuk sektor pertanian yang telah dilog-kan dan dihilangkan unsur musiman, irregular dan trendnya dengan kurun waktu mulai januari 2000 sampai dengan september 2007. Pembentukan CLI dari seri acuan PDBP terdiri dari seluruh variabel yang memenuhi syarat menjadi leading indicator seperti, koefisien korelasi yang paling tinggi berada di kolom lead serta grafis yang polanya mendahului pola dari grafik PDBP. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba membuat lebih dari satu CLI yang
mempengaruhi PDBP, hal ini bertujuan agar dapat diperoleh CLI yang memiliki hubungan yang paling medekati dengan seri acuan yaitu PDBP.
105 104 103 102 101 100 99 98 2000/2 2001/3 2002/4 2004/1 2005/2 2006/3 CLI
PDBP
Gambar 6. Perbandingan CLI dengan PDBP Pada gambar di atas terlihat bahwa CLI yang didapat dari penggabungan 13 variabel leading yang didapat memiliki pergerakan mendahului seri acuan pada saat- saat tertentu. Seperti pada awal observasi dapat dilihat bahwa CLI memiliki kecenderungan meningkat yang diikuti peningkatan PDBP pada periode berikutnya. Hasil yang diperoleh masih sangat jauh untuk menjadi CLI yang baik, hal ini disebabkan koefisien korelasi yang di dapat masih sangat kecil yaitu 0.5168 dengan lead sebesar -8 yang terdapat pada lampiran. Jika dibandingkan dengan koefisien rata-rata yang diperoleh memang koefisien CLI masih lebih baik, namun jika melihat besarnya lead
maka CLI tersebut belum mampu
menjadi CLI yang baik untuk analisis leading indicator pertumbuhan sektor pertanian Indonesia. CLI
101 2001:Q2 100.5 2003:Q1 100 2005:Q3 2002:Q2
99.5
2003:Q3
99
98.5
98
CLI
Gambar 7. Titik Balik CLI untuk PDBP Agar lebih mudah diperbandingkan, maka perbandingan titik balik seri acuan PDBP dan CLI disajikan dalam bentuk tabel. Pada kasus ini CLI mampu menangkap hampir semua titik balik yang terdapat pada seri acuan PDBP, dan yang terpenting adalah lead yang dihasilkan dari rata-rata titik balik tersebut adalah sebesar 3.75. Tabel 11. Perbandingan Titik Balik CLI dengan Seri Acuan PDBP Seri Titik Balik Acuan Lembah Puncak Lembah Puncak Lembah CLI 2001:Q2 2002:Q2 2003:Q1 2003:Q3 PDBP 2000:Q2 2001:Q3 2002:Q4 2003:Q4 2005:Q4 CLI (triwulan) -1 -2 -3 -9 Lead (-)
Average
-3.75
Dari hasil tersebut kita dapat melihat bahwa CLI yang merupakan gabungan dari 13 variabel yang termasuk ke dalam leading telah mempu menjadi leading meskipun tidak seperti yang diharapkan. Hasil yang didapat dari komposit pertama tersebut dapat dilihat bahwa CLI telah mampu menangkap hampir semua turning point dari PDBP. Tapi hal ini belum mampu memberikan gambaran CLI untuk sektor pertanian karena koefisien korelasi silang seperti yang terdapat pada lampiran masih sangat kecil yaitu sebesar 0.5168 dan pada lead 7. Oleh karena hasil cross correlation dari CLI yang pertama ini relatif kecil, maka berdasarkan kesamaan pengaruh dan jenis variabel maka peneliti menambahkan beberapa CLI dengan menggabungkan beberapa variabel yang sejenis, seperti pada CLI 2 data yang dijadikan komposit adalah Indeks harga perdagangan besar sektor pertanian, indeks harga beras dunia, indeks harga teh dunia dan indeks harga sawit dunia. Selain itu pada CLI 3 variabel yang dijadikan komposit adalah suku bunga kredit modal kerja dan investasi. Di bawah ini adalah uraian dari CLI 2 dan CLI 3 yang dijadikan alternatif karena CLI yang didapat dari 13 variabel yang digabungkan secara bersamaan hasilnya belum mampu mewakili leading indicator sektor pertanian yang sebenarnya. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa rata-rata koefisien pada CLI 2 lebih rendah dibandingkan dengan CLI tetapi pada lead yang lebih kecil yaitu sebesar (-2). Sedangkan pada CLI 3 hasil rata-rata koefisien dan lead yang didapat terlihat lebih baik dibandingkan CLI. Komposit-komposit yang dibentuk berdasarkan kesamaan historis siklikal atau pertimbangan lainnya, ternyata dapat membentuk CLI yang lebih baik dari
komposit dengan seluruh variabel leading yang didapat. Hal ini terlihat pada nilai koefisien cross correlation yang didapat dan analisis grafis yang terdapat pada lampiran. Pada hasil korelasi silang antara CLI 2 dengan PDBP hasil lead berada pada -2 dengan koefisein korelasi sebesar 0.7002 yang nilainya lebih baik dari nilai rata-ratanya. Dan Pada CLI 3, nilai koefisien cross correlation terbesar yaitu 0.7372 berada pada lead -1 yang berarti dapat disimpulkan hubungan terdekat antara CLI 3 dengan PDBP adalah satu triwulan dengan CLI 3 sebagai faktor pendahulu. Tabel 12. Pola Fluktuasi CLI 2 dan CLI 3 Fase Pergerakan Volatilitas Cross Correlation Lead/lag Coefficient CLI 2 : 1. Indeks Harga Perdagangan Tinggi -4 0.5296 Besar Pertanian 2. Indeks Harga Beras Dunia 3. Indeks Harga Sawit Dunia 4. Indeks Harga Teh Dunia Rata-rata CLI 3 : 1. Suku Bunga Kredit Investasi 2. Suku Bunga Kredit Modal Kerja Rata-rata
4.6.
Rendah Rendah Rendah
-1 -2 -3 -2
0.6701 0.4331 0.3039 0.4842
Rendah Tinggi
-1 -1
0.4544 0.6105
-1
0.5325
Evaluasi Indeks Komposit Dengan 15 variabel calon komposit yang digunakan, terdapat 13 varibel
yang mampu menjadi leading bagi pertumbuhan sektor pertanian. Dari 13 variabel yang dapat menjadi CLI tersebut peneliti membentuk tiga kombinasi yang terdiri dari satu CLI dengan seluruh varibel yang termasuk ke dalam leading, dan dua CLI yang merupakan gabungan variabel yang memiliki kesamaan
tertentu. Berikut karakteristik dari masing-masing CLI yang ditunjukkan dari nilai statistiknya :
Seri Acuan CLI CLI 2 CLI 3
Mean 4.2 2.25 3.75
Tabel 13. Karakteristik CLI Median Standard Deviation 3 1.643168 2.5 0.5 2.5 3.593976
Cross Correlatin Lead Koef. 8 0.5168 2 0.7002 1 0.7372
Berdasarkan nilai statistiknya dapat dievaluasi masing-masing komposit di atas sebagai berikut : •
Pada CLI dilihat dari jarak antara turning point komposit dengan seri acuannya, nilai rata-ratanya 4.2 triwulan sedangkan nilai tengahnya 3 triwulan dengan deviasi sebesar 1.6 triwulan, dapat disimpulkan antara turning point komposit dengan PDBP mempunyai kisaran jarak 2.6 sampai 5.8 triwulan. Sedangkan dari nilai cross correlationnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri acuannya mempunyai hubungan paling dekat pada lead 8 triwulan yaitu 0.5168.
•
Pada CLI 2 dilihat dari jarak antara turning point komposit dengan seri acuannya, nilai rata-ratanya 2.25 triwulan sedangkan nilai tengahnya 2.5 triwulan dengan deviasi sebesar 0.5 triwulan, dapat disimpulkan antara turning point komposit dengan PDBP mempunyai kisaran jarak 1.75 sampai 2.75 triwulan. Sedangkan dari nilai cross correlationnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri acuannya mempunyai hubungan paling dekat pada lead 2 triwulan yaitu 0.7002.
•
Pada CLI 3 dilihat dari jarak antara turning point komposit dengan seri acuannya, nilai rata-ratanya 3.7 triwulan sedangkan nilai tengahnya 2.5
triwulan dengan deviasi sangat besar yaitu 3.6 triwulan, dapat disimpulkan antara turning point komposit dengan PDBP mempunyai kisaran jarak 0.1 sampai 7.3 triwulan. Sedangkan dari nilai cross correlationnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri acuannya mempunyai hubungan paling dekat pada lead 1 triwulan yaitu 0.7372.
Dari ketiga CLI di atas dapat dilihat bahwa CLI yang memiliki pengaruh signifikan terhadap seri acuan adalah CLI 3 yang terdiri dari suku bunga kredit investasi dan modal kerja. Dengan lead waktu 1 triwulan dapat mempengaruhi PDBP sebesar 0.7372. Dapat dilihat pada saat CLI mencapai puncak pada (2003:Q2) diikuti oleh pencapaian puncak seri acuan yaitu PDBP di dua triwulan berikutnya dan semakin dekat saat CLI mencapai lembah yaitu (2005:Q2) yang segera diikuti oleh PDBP dalam waktu 1 triwulan yaitu (2005:Q4). Pengaruh yang cukup signifikan dari CLI 3 disebabkan karena saat ini memang sangat dibutuhkan kemudahan dalam memperoleh kredit, baik untuk memulai usaha pertanian maupun untuk meneruskan usaha yang sudah ada. Dengan penurunan suku bunga kredit menimbulkan minat pengusaha di sektor pertanian dapat meningkatkan usahanya sehingga pertanian secara agregat meningkat. Sebaliknya suku bunga kredit yang tinggi menimbulkan beban bagi para petani sehingga menurunkan produk domestik bruto sektor pertanian.
4.7.
Sintesis Terhadap Hasil-hasil Analisis Pada penelitian ini dari 16 variabel calon komposit, 13 variabel merupakan
leading indicator. Variabel-variabel tersebut adalah indeks harga perdagangan
besar pertanian, kredit modal kerja, indeks harga beras dunia, indeks harga sawit dunia, suku bunga kredit investasi, indeks harga konsumen, impor sektor pertanian, real exchange rate, suku bunga kredir modal kerja, PDB, indeks harga teh dunia, ekspor produk pertanian, dan indeks harga konsumen USA. Jika dilihat berdasarkan penelitian Wirakusuma (2004) terdapat kesamaan variabel yang menjadi leading indicator yaitu indeks harga konsumen, suku bunga kredit investasi, real exchange rate. Hal ini membuktikan bahwa variabel-variabel tersebut bersifat luas dalam mempengaruhi perekonomian Indonesia, tidak hanya pada investasi tetapi juga pada sektor pertanian Indonesia. Sedangkan variabel yang berbeda lebih dikarenakan pada masing-masing penelitian memiliki spesifikasi hubungan antara calon komposit dengan masing-masing seri acuan yaitu investasi dan PDB sektor pertanian. Untuk dapat memperoleh hasil komposit yang baik maka pada penelitian ini juga dibentuk lebih dari satu komposit. Pembentukan komposit ini didasarkan pada hasil lead, historis dan hubungan terhadap seri acuan itu sendiri. Dari hasil komposit yang lebih dari satu tersebut dapat memperlihatkan hubungan yang lebih dekat dengan seri acuan baik nilai koefisien korelasi maupun nilai lead yang dihasilkan. Persamaan variabel leading pada penelitian ini dengan hasil Setiana (2006) hanya pada variabel real exchange rate untuk seri acuan tunggal dan tidak ada pada seri acuan multiple series. Hal ini mungkin dikarenakan variabel yang digunakan pada penelitian ini tidak sama dengan variabel pada penelitian tentang ”Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle Indonesia”. Dari hasil analisis terhadap penelitian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa yang mempengaruhi seri acuan baik itu investasi, siklus ekonomi (PDB
Nasional), dan PDB sektor pertanian adalah nilai tukar (real exchange rate). Oleh karena itu nilai tukar yang stabil sangat dibutuhkan untuk kemajuan perekonomian Indonesia baik persektor maupun secara agregat.
V.
5.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Untuk memperoleh variabel yang dapat menjadi CLI terlebih dahulu harus
dilakukan pembersihan dari faktor musiman, irregular dan trend sehingga didapat data siklikal. Dari data siklikal yang didapat kemudian dibandingkan dengan seri acuan PDBP dengan cross correlation, didapat 13 variabel yang termasuk ke dalam leading, satu variabel yang termasuk lagging, dan satu variabel yang menjadi coincident. Yang menjadi variabel lagging untuk sektor pertanian pada penalitian ini adalah kredit investasi dan nilai tukar petani dengan rata-rata lag sebesar +3 dan koefisien 0.477, sedangkan yang menjadi coincident adalah M2 dengan koefisien sebesar 0.6591. Dari 16 variabel yang digunakan sebagai calon komposit, terdapat 13 variabel yang menjadi leading indicator pertumbuhan sektor pertanian Indonesia yaitu indeks harga konsumen Indonesia , indeks harga konsumen US, indeks harga perdagangan besar sektor pertanian, kredit modal kerja, expor produk pertanian, impor produk pertanian, suku bunga kredit modal kerja, suku bunga kredit investasi, real exchange rate, indeks harga beras dunia, indeks harga sawit dunia, indeks harga teh dunia dan PDB nasional. Diantara variabel tersebut yang memiliki lead terdekat dengan koefisien terbesar adalah kredit modal kerja yaitu pada lead (-1) dengan koefisien sebesar 0.6365. Setelah pembersihan dari faktor musiman dan trend, maka data siklikal yang didapat akan menunjukkan fase dan siklusnya. Pada seri acuan yaitu PDB sektor pertanian terdapat dua siklus (lembah-puncak-lembah). Adapun ekspansi
pada siklus pertama yang terjadi pada seri acuan adalah pada 2000 kuartal II sampai 2001 kuartal III dengan durasi 5 triwulan dan dimulai pada 2002 kuartal IV sampai 2003 kuartal IV pada siklus ke dua. Sedangkan masa kontraksi pada siklus pertama terjadi selama 4 triwulan dimulai pada 2001 kuartal III sampai dengan 2002 kuartal IV dan pada siklus kedua kontraksi dimulai pada 2003 kuartal IV sampai 2005 kuartal IV selama 8 triwulan. Berdasarkan variabel leading yang didapat peneliti membuat tiga komposit dimana komposit yang pertama merupakan penggabungan dari semua variabel leading, pada komposit dua digunakan empat variabel, sedangkan pada komposit tiga hanya dua variabel. Penggabungan variabel tersebut didasarkan pada kesamaan-kesamaan seperti bentuk data awal, volatilitas, dan persamaan historis siklikal lainnya. Dari ketiga CLI yang diperoleh, yang mempu menjadi acuan paling baik adalah CLI 3 yang merupakan gabungan dari variabel suku bunga kredit investasi dan suku bunga kredit modal kerja. Pada CLI 3 rata-rata turning points terhadap seri acuan adalah (-1.5) triwulan dengan koefisien 0.5325. Dengan pengujian menggunakan cross correlation hasilnya semakin baik yaitu pada lead (-1) dengan koefisien 0.7372. Hal ini menunjukkan bahwa CLI 3 akan berpengaruh terhadap seri acuan dalam waktu 1 triwulan dengan koefisien 0.7372.
5.2.
Saran Implikasi kebijakan yang dapat dirumuskan berdasarkan hasil pembahasan
dan kesimpulan-kesimpulan di atas adalah sebagai berikut : 1. Pertanian sangat memerlukan pembiayaan untuk dapat meningkatkan produksinya, maka sangat dibutuhkan lembaga baik perbankan maupun
non perbankan untuk masuk ke dalam sektor pertanian dengan skema yang menguntungkan petani. Pengawasan dalam pelaksanaannya sangat diperlukan agar modal yang diturunkan pemerintah dapat sampai dengan tepat ke petani. Selain itu penguatan modal kolektif petani juga dapat menjadi alternatif pembiayaan di sektor pertanian. 2. Harga output bagi petani sangat penting, untuk itu pemerintah harus mampu menstabilkan harga dengan cara membeli kelebihan supply dengan harga yang berlaku di pasaran. Selain itu pencipataan pasar alternatif dengan rantai tata niaga yang pendek (direct marketing) dapat menjadi solusi pemasaran hasil produk pertanian. 3. Pengendalian inflasi wajib dilakukan mengingat IHK menjadi salah satu leading indicator. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan subsidi untuk input pertanian seperti pupuk, bibit dan bahan bakar. Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar untuk dapat memenuhi semua hal tersebut, maka seharusnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengurangi subsidi yang penting bagi rakyat khususnya petani yang sebagian besar masih kurang mampu. Pada penelitian ini observasi yang dilakukan masih terlalu sedikit sehingga koefisien korelasi silang yang didapat belum sempurna. Dengan menggunakan variabel yang lebih banyak akan memungkinkan hasil CLI yang didapat menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adeliana, S. Analisis Dampak Kenaikan Ekspor Sektor Pertanian Terhadap Pendapatan Faktor Produksi, Institusi, dan sektor-sektor Perekonomian di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2001. Studi Pengembangan Indikator Ekonomi Makro. http://www.bappenas.go.id_index.php_module Badan Pusat Statistik. 2000-2007. Indikator Makro Ekonomi. Jakarta Bank
Indonesia. 2007. http://www.bi.go.id
Statistik
Ekonomi
dan
Keuangan
Indonesia
Buchori, A. 1998. Penyempurnaan Leading Economic Indicators for Indonesia. Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta. Dermoredjo, S. K., dan Khairina Noekman. Analisis Penentuan Indikator Utama Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia : Pendekatan Analisis Komponen Utama. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Endah. 2005. Kajian Model Pertumbuhan Sektor Pertanian untuk Penyusunan Strategi Pembangunan Pertanian. Direktorat Pangan dan Pertanian, Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrik Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah]. Penerbit Erlangga, Jakarta. Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Pedesaan. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hossain, A and A. Chowdhury. 1998. Open Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, UK. Irawan, A. 2005. Analisis Perilaku Instabilitas, Pergerakan Harga, Employment dan Investasi di Dalam Sektor Pertanian Indonesia : Aplikasi Vector Error Correction Model. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia. Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press. Bogor.
Mankiw, N. G. 2003. Macroeconomics 5th Edition. Worth Publisher, New York and Basingtoke. Masyitho, S. 2006. Analisis Pengaruh Uang terhadap Business Cycle Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mosher, A. T. 1966. Getting Agriculture Moving. Franklin Book Programs, Inc, New York. Ricardo, R. 2007. Analisis Keterkaitan Besaran Moneter Bebas Bunga dan Mengandung Bunga dengan Business Cycle dan Inflasi di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiana, M. 2006. Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. IPB & Brighten Institute. Bogor. Siregar, H. 2000. Does the Relative Importance of Agriculture Increase After the Asian Financial Crisis. United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR). Jakarta. Indonesia. Siregar, H and Bert D. Ward. 2000. Can Monetary Policy/Shocks Stabilise Indonesian Macro-Economic Fluctuations?. Lincoln University. New Zealand. Suyanto, S. 2002. Pertanian Sehat : Pandangan dari Aspek Ekonomi. ICRAF-SE Asia. Bogor. Winarno, W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. UPP STIM YKPN Wira, K. Ndari S, Benny S . 2004. Leading Indicator Investasi Indonesia dengan Menggunakan Metode OECD. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Bank Indonesia. Wuryandari, G. Clarita L, Rendra Z, Mohamad A, Diah E. 2002. Penyempurnaan Leading Indikator Ekonomi dan Leading Indikator Inflasi. Bagian Studi Sektor Riil Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Bank Indonesia.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Mentah Obs 2000:Q1 2000:Q2 2000:Q3 2000:Q4 2001:Q1 2001:Q2 2001:Q3 2001:Q4 2002:Q1 2002:Q2 2002:Q3 2002:Q4 2003:Q1 2003:Q2 2003:Q3 2003:Q4 2004:Q1 2004:Q2 2004:Q3 2004:Q4 2005:Q1 2005:Q2 2005:Q3 2005:Q4 2006:Q1 2006:Q2 2006:Q3 2006:Q4 2007:Q1 2007:Q2 2007:Q3
IHK 97.45 98.43 100.62 103.49 106.55 109.41 113.47 116.58 122.05 123.15 125.24 128.38 131.51 131.77 132.89 135.69 137.93 140.50 142.15 144.35 148.59 151.40 154.10 170.04 173.73 174.88 177.02 183.66 194.80 195.43 198.53
PDBP 595347.2 537938.6 573030.1 465815.1 611952.7 603774 640709.8 509245.1 615332.7 620501.7 641765.3 509648.7 653385.5 620443.6 640544.5 536884 610616.6 612062.4 630992.2 496355.8 604993.6 604833.6 635723.2 496923 611281.3 603417.7 669180 546200.1 644746.4 687707.1 790564
IHPP 440.3333 454.3333 463 479.3333 520 565 594 596.6667 629.6667 610.3333 600 617.6667 625 611 608 611 628.6667 641.3333 635.3333 631.6667 663.3333 661.3333 673.6667 722.6667 555 165 174.3333 186.3333 199.3333 204.6667 217.6667
KI 353.8489 364.7038 360.3416 333.6866 327.3268 350.3424 344.8991 328.9566 297.0808 305.4918 314.7682 290.9744 290.9004 289.0531 279.4541 276.6978 289.6892 264.883 287.4331 275.3509 278.104 288.2521 295.7757 267.2194 269.6936 290.2169 296.5669 305.1876 290.9933 292.7479 326.4291
KM 393.8399 357.9282 291.6531 255.4109 249.9221 257.268 224.2842 218.9557 221.0007 229.5556 242.5951 231.925 229.6636 250.9588 266.6048 258.7226 291.3087 284.274 306.853 383.2121 379.8988 374.8291 374.0524 359.3545 354.8204 352.0583 370.2129 398.2185 375.6917 376.229 400.6665
XP 16436.69 22573.40 24281.29 20729.18 19163.76 22042.49 19589.99 19331.87 16348.59 18352.63 20757.55 18230.57 17820.97 17215.77 15997.20 16256.22 15718.03 20817.09 22335.38 21951.31 20485.38 24720.33 25200.87 24111.13 21657.80 22224.40 24974.84 24400.12 22443.89 27832.05 28916.74
MP 5415.56 8418.25 8665.08 8050.09 8144.63 8979.42 6070.71 7011.82 5977.58 7055.18 7906.98 7200.65 7837.40 6831.94 6672.85 6955.03 8790.06 8089.76 9008.21 8080.63 9033.90 10085.90 10619.60 8856.34 8428.74 9824.30 11070.63 9031.22 11749.15 13408.61 13160.48
P_brs 88.87 63.77 57.77 57.67 56.80 51.33 53.13 54.07 59.73 61.30 60.30 58.00 61.90 61.97 61.97 62.63 108.17 122.60 121.90 130.00 140.30 144.27 139.03 138.60 143.80 148.13 153.63 150.47 156.40 158.60 162.67
p_swt 54.67 53.37 47.87 41.07 40.13 39.07 52.80 50.30 53.23 59.90 65.07 69.87 70.87 66.63 64.90 79.37 169.97 159.60 139.93 145.30 136.43 142.37 140.40 143.97 147.07 149.00 161.27 182.20 213.30 272.47 285.83
p_teh 145.27 150.67 156.53 152.13 140.30 121.63 118.77 102.10 109.23 105.23 111.83 110.43 115.10 115.23 120.17 122.97 79.60 74.03 85.70 80.07 98.90 82.53 85.70 81.73 102.60 96.57 99.50 90.97 89.40 78.47 87.80
IHK_US 98.68 99.73 100.52 101.06 102.03 103.10 103.23 102.94 103.31 104.43 104.88 105.21 106.27 106.66 107.18 107.20 108.17 109.72 110.10 110.76 111.46 112.95 114.32 114.91 115.52 117.48 118.14 117.13 118.33 120.60 121.03
RER 7602.57 8543.61 8683.00 9284.45 9473.77 10735.52 8510.97 9204.95 8511.07 7597.77 7533.94 7418.87 7189.35 6809.91 6836.47 6715.24 6659.74 7102.56 7143.22 7007.55 6977.26 7156.51 7510.02 6748.65 6139.82 6111.93 6096.47 5809.46 5959.75 6145.74 5903.36
PDB 3327279 3416784 3585482 3560153 3734809 3876157 3824076 3674333 3722944 3791616 3920702 3781468 3856435 3831437 3922508 3777485 3850813 3983978 4151104 4102712 4274177 4450514 4650101 4466489 4507229 4647753 4909313 4755154 4717040 4904985 5156776
r_km 0.2091 0.1973 0.2022 0.2106 0.2082 0.2076 0.2090 0.2067 0.2046 0.2034 0.2025 0.2003 0.1995 0.1994 0.1955 0.1917 0.1883 0.1838 0.1814 0.1773 0.1740 0.1708 0.1685 0.1683 0.1691 0.1683 0.1676 0.1665 0.1628 0.1589 0.1567
r_ki 0.1168 0.1664 0.1821 0.1744 0.1802 0.1804 0.1791 0.1778 0.1772 0.1775 0.1778 0.1779 0.1796 0.1784 0.1774 0.1752 0.1718 0.1684 0.1657 0.1633 0.1611 0.1588 0.1570 0.1559 0.1563 0.1557 0.1553 0.1546 0.1518 0.1510 0.1491
M2 1870878 1917716 1936149 1975436 2057747 2079502 2206020 2314937 2355895 2365655 2503766 2496849 2524437 2579551 2627637 2641799 2688631 2743047 2847616 2801823 2903218 2962964 3049739 3077090 3208314 3432066 3562316 3586944 3739497 3887432 4084536
NTP 104.9357 103.1667 103.7619 103.0881 104.74 107.35 111.29 112.37 112.44 111.12 105.30 110.17 111.33 108.60 105.52 109.04 116.05 117.58 106.71 104.1357 102.15 102.97 102.43 99.43 101.29 103.00 102.77 103.8929 108.58 106.92 106.49
Lampiran 2. Analisis Grafis
Pergerakan Siklikal M2 dengan PDBP .12
Deviasi dari Trend
.08
.04
.00
-.04
-.08 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_M2
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Kredit Investasi dengan PDBP .16
Deviasi dari Trend
.12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_KI
D_PDBP
Pergerakan Siklikal NTP dengan PDBP .12
Deviasi dari Trend
.08
.04
.00
-.04
-.08 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_NTP
D_PDBP
Pergerakan Siklikal IHK dengan PDBP .12
Deviasi dari Trend
.08
.04
.00
-.04
-.08 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_IHK
D_PDBP
Pergerakan Siklikal IHK_US dengan PDBP .12
Deviasi dari Trend
.08
.04
.00
-.04
-.08 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_IHKUS
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Kredit Modal Kerja dengan PDBP .4
Deviasi dari Trend
.3 .2 .1 .0 -.1 -.2 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_KM
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Indeks Harga Perdagangan Besar Sektor Pertanian dengan PDBP .6
Deviasi dari Trend
.4 .2 .0 -.2 -.4 -.6 -.8 2000Q1
2001Q3
2003Q1 D_IHPP
2004Q3
2006Q1
2007Q3
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Impor Pertanian dengan PDBP .2
Deviasi dari Trend
.1
.0
-.1
-.2
-.3 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_MP
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Indeks Harga Beras Dunia dengan PDBP .5 .4 Deviasi dari Trend
.3 .2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_PBRS
D_PDBP
Pergerakan Siklikal PDB dengan PDBP .12
Deviasi dari Trend
.08
.04
.00
-.04
-.08 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_PDB
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Indeks Harga Sawit Dunia dengan PDBP .6 .5
Deviasi dari Trend
.4 .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_PSWT
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Indeks Harga Teh Dunia dengan PDBP .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_PTEH
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Real Exchange Rate dengan PDBP .3
Deviasi dari Trend
.2
.1
.0
-.1
-.2 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_RER
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Suku Bunga Kredit Investasi dengan PDBP .12
Deviasi dari Trend
.08
.04
.00
-.04
-.08 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_RKI
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Suku Bunga Kredit Modal Kerja dengan PDBP .12
Deviasi dari Trend
.08
.04
.00
-.04
-.08 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_RKM
D_PDBP
Pergerakan Siklikal Expor Pertanian dengan PDBP .2
Deviasi dari Trend
.1
.0
-.1
-.2
-.3 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 D_XP
D_PDBP
Pergerakan Siklikal CLI dengan PDBP 105
Deviasi dari Trend
104 103 102 101 100 99 98 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 CLI
PDBP
Pergerakan Siklikal CLI 2 dengan PDBP 105
Deviasi dai Trend
104 103 102 101 100 99 98 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 CLI2
PDBP
Pergerakan Siklikal CLI 3 dengan PDBP 106
Deviasi dari Trend
104 102 100 98 96 94 2000/1 2001/2 2002/3 2003/4 2005/1 2006/2 2007/3 CLI3
PDBP
Lampiran 3. Cross Correlation Date: 07/01/08 Time: 17:07 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_IHK,D_PDBP(-i) . |**** . |***. . |** . . |* . . **| . .***| . ****| . *****| . ****| .
| | | | | | | | |
D_IHK,D_PDBP(+i) . |**** | . |***** | . |***** | . |***** | . |***** | . |***. | . |***. | . |** . | .***| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4299 0.3207 0.2322 0.0586 -0.1641 -0.3113 -0.3510 -0.4853 -0.3507
0.4299 0.5334 0.5363 0.4927 0.4622 0.3489 0.3486 0.1731 -0.2503
Date: 07/01/08 Time: 17:07 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_IHKUS,D_PDBP(-i) . *| ****| ****| *****| *****| ****| .***| . **| . **|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_IHKUS,D_PDBP(+i) . . . . . . . . .
*| . | |** . | |* . | |***. | |***** | |***** | |***** | |***** | |**** |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0791 -0.3511 -0.4350 -0.5318 -0.4829 -0.3594 -0.3420 -0.1866 -0.1511
-0.0791 0.1695 0.1085 0.2598 0.4918 0.5053 0.4859 0.5329 0.4266
Date: 07/01/08 Time: 17:07 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_IHPP,D_PDBP(-i) . . . . . . . . .
*| . | . |* . |** . |** . |** . |***. |***. |***.
| | | | | | | | |
D_IHPP,D_PDBP(+i) . *| .***| *****| *****| *****| ****| . | . |* . |*
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1088 0.0157 0.1410 0.1838 0.1814 0.2472 0.3096 0.3435 0.3416
-0.1088 -0.3200 -0.5025 -0.5027 -0.5296 -0.4092 0.0029 0.0952 0.1152
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_KM,D_PDBP(-i)
D_KM,D_PDBP(+i)
i
lag
lead
*****| . ****| . .***| . . **| . . | . . |* . . |* . . |** . . |* .
*****| . ******| . *****| . ****| . . **| . . *| . . | . . |** . . |***.
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.5159 0.3471 -0.2959 -0.2112 -0.0121 0.0627 0.1037 0.1761 0.1544
-0.5159 0.6365 -0.5113 -0.3708 -0.2002 -0.0430 0.0416 0.1825 0.2842
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_MP,D_PDBP(-i) . **| . **| .***| . **| . *| . | . | . | . *|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_MP,D_PDBP(+i)
i
lag
lead
. **| . . |* . . |* . . | . . | . . | . . *| . . |* . . |***.
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1489 -0.2268 -0.3225 -0.1950 -0.1006 0.0327 0.0034 0.0290 -0.0893
-0.1489 0.0951 0.1412 0.0022 0.0168 0.0391 -0.0583 0.1004 0.3431
| | | | | | | | |
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_PBRS,D_PDBP(-i) ******| ****| .***| . **| . | . |* . |* . |* . |*
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_PBRS,D_PDBP(+i)
i
lag
lead
******| . *******| . ******| . ****| . . **| . . *| . . |* . . |* . . |** .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.5985 -0.3768 -0.2583 -0.1558 0.0129 0.0687 0.0941 0.1460 0.1359
-0.5985 -0.6701 -0.5696 -0.3756 -0.1817 -0.0578 0.0527 0.1461 0.2391
| | | | | | | | |
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_PDB,D_PDBP(-i) . |* . **| ****| ****| ****| .***| . **| . **| . **|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_PDB,D_PDBP(+i) . . . . . . . . .
|* . |** . |* . |***. |**** |***. |** . |**** |*****
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1176 -0.1744 -0.3700 -0.3826 -0.4051 -0.2580 -0.2325 -0.2058 -0.2174
0.1176 0.1888 0.0951 0.2657 0.3768 0.3524 0.2396 0.4048 0.5042
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_PSWT,D_PDBP(-i) . . . . . . . . .
*| . |* . |* . |** . |** . |* . |* . |* . | .
| | | | | | | | |
D_PSWT,D_PDBP(+i) . *| .***| ****| ****| .***| .***| . **| . **| . *|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1225 0.0945 0.1478 0.1888 0.2431 0.1482 0.1536 0.1366 0.0118
-0.1225 -0.3138 -0.4331 -0.3541 -0.2958 -0.2475 -0.2260 -0.2281 -0.1005
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_PTEH,D_PDBP(-i) . | . **| . **| . *| . *| . | . | . *| . |
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_PTEH,D_PDBP(+i) . . . . . . . . .
| . |* . |** . |***. |***. |** . |** . | . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0416 -0.2250 -0.2243 -0.0771 -0.1281 -0.0398 -0.0235 -0.1281 -0.0295
0.0416 0.0608 0.2468 0.3039 0.2670 0.1902 0.1723 0.0243 -0.0729
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_RER,D_PDBP(-i) . *| . **| .***| .***| .***| . *| . *| . | . |*
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_RER,D_PDBP(+i) . . . . . . . . .
*| . |* . |* . *| . | . |* . |* . |**** |*****
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0805 -0.1543 -0.2511 -0.3390 -0.3354 -0.1381 -0.1361 0.0198 0.0811
-0.0805 0.1334 0.0945 -0.0658 0.0044 0.0646 0.1104 0.3903 0.4806
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_RKI,D_PDBP(-i) . . . . . . . . .
*| *| *| *| *| | | | |
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_RKI,D_PDBP(+i)
i
lag
lead
. *| . *****| . ****| . . ***| . . *| . . |* . . |** . . |** . . |* .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1547 -0.1038 -0.1035 -0.0621 -0.0603 -0.0484 -0.0196 0.0027 0.0257
-0.1547 -0.4544 -0.4124 -0.3033 -0.0684 0.0459 0.1668 0.1764 0.0778
| | | | | | | | |
Date: 07/01/08 Time: 17:05 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_RKM,D_PDBP(-i) ******| . ****| . . **| . . **| . . *| . . | . . |* . . |* . . |** .
| | | | | | | | |
D_RKM,D_PDBP(+i)
i
lag
lead
******| . ******| . *****| . ****| . . *| . . | . . |* . . |*** . . |****
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.5987 -0.4022 -0.2149 -0.1659 -0.0660 0.0266 0.0515 0.1180 0.1697
-0.5987 -0.6105 -0.5376 -0.3571 -0.1548 0.0219 0.1096 0.2539 0.3989
| | | | | | | | |
Date: 07/01/08 Time: 17:05 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_XP,D_PDBP(-i) .***| ****| ****| .***| .***| . *| . *| . *| . *|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
D_XP,D_PDBP(+i)
i
lag
lead
.***| . . **| . . *| . . |* . . |* . . |** . . |** . . |**** . |*****
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.2680 -0.4064 -0.3931 -0.3244 -0.3027 -0.1424 -0.0769 -0.0739 -0.0842
-0.2680 -0.2139 -0.0715 0.0862 0.0557 0.1855 0.2498 0.3971 0.5287
| | | | | | | | |
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_KI,D_PDBP(-i) . |** . . |* . ****| . .***| . ****| . ****| . .***| . . **| . ****| .
| | | | | | | | |
D_KI,D_PDBP(+i) . . . . . . . . .
|** . | . |***. |***. |** . |**** |** . |** . |****
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2516 0.1481 -0.3479 -0.2685 -0.3829 -0.4192 -0.2871 -0.2410 -0.3491
0.2516 0.0396 0.3056 0.3140 0.1963 0.3750 0.2213 0.1866 0.3682
Date: 07/28/08 Time: 13:46 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_NTP,D_PDBP(-i) . . . . . . . . .
|***** |***** |***** |***. |* . | . *| . *| . *| .
| | | | | | | | |
D_NTP,D_PDBP(+i)
i
lag
lead
. |***** . |**** . |** . . |* . . *| . . **| . .***| . ****| . ****| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5261 0.5347 0.5114 0.2777 0.1463 -0.0001 -0.0522 -0.0424 -0.1211
0.5261 0.3734 0.2342 0.0797 -0.0572 -0.2155 -0.3132 -0.3875 -0.3770
| | | | | | | | |
Date: 07/01/08 Time: 17:06 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations D_M2,D_PDBP(-i) . |******* | . |***** | . |***. | . |** . | . | . | . **| . | .***| . | ****| . | ****| . |
D_M2,D_PDBP(+i) . |******* | . |****** | . |****** | . |**** | . |***. | . |***. | . | . | . **| . | .***| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.6591 0.5471 0.3197 0.2277 0.0044 -0.2116 -0.3275 -0.4181 -0.4118
0.6591 0.6042 0.5720 0.4150 0.3484 0.2618 -0.0327 -0.1972 -0.2648
Date: 07/02/08 Time: 00:21 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations CLI,PDBP(-i) . *| .***| ****| ****| ****| . **| . *| . *| . *|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
CLI,PDBP(+i) . . . . . . . . .
*| . | . | . |* . |* . |* . |***. |**** |*****
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1461 -0.3386 -0.4189 -0.3926 -0.3461 -0.1556 -0.1099 -0.0413 -0.0611
-0.1461 0.0375 -0.0010 0.0846 0.1468 0.1521 0.2642 0.4047 0.5168
Date: 07/08/08 Time: 21:22 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 31 Correlations are asymptotically consistent approximations CLI2,PDBP(-i) *****| . . **| . . *| . . |* . . |** . . |***. . |***. . |**** . |***.
| | | | | | | | |
CLI2,PDBP(+i) *****| *******| *******| ******| *****| ****| . *| . | . |*
. | . | . | . | . | . | . | . | . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.4770 -0.2198 -0.0762 0.0742 0.1816 0.2625 0.3467 0.3531 0.3190
-0.4770 -0.6647 -0.7002 -0.5904 -0.4939 -0.3851 -0.0539 -0.0235 0.0614
Date: 07/08/08 Time: 21:22 Sample: 2000:1 2007:3 Included observations: 30 Correlations are asymptotically consistent approximations CLI3,PDBP(-i) . . . . . . . . .
|***** |***. |***. |** . |* . | . | . *| . *| .
| | | | | | | | |
CLI3,PDBP(+i) . . . . . . . . .
|***** | |******* | |******* | |**** | |** . | | . | *| . | *| . | *| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5286 0.3406 0.2607 0.2082 0.1322 0.0266 -0.0203 -0.0948 -0.1261
0.5286 0.7372 0.6984 0.4480 0.2113 -0.0175 -0.0892 -0.1291 -0.1293
Lampiran 4. Karakteristik Titik Balik CLI
CLI Fase/Siklus
Kontraksi
Titik Balik Puncak
Lembah
2001:Q2
2002:Q2
Ekspansi
2002:Q2
Siklus No. 1
2001:Q2
Ekspansi
2003:Q1
Kontraksi Siklus No. 2
Puncak
2001:Q4
2002:Q4 2002:Q4
2003:Q3
Kontraksi 2002:Q4
CLI3 Fase/Siklus
2005:Q3
10
Lembah 2003:Q3 2003:Q3
Fase
Lembah
Kontraksi Ekspansi Siklus No. 1
2001:Q1
2002:Q1 2002:Q1
Ekspansi
2003:Q2
2001:Q1
7 6
2006:Q2
2 8
Durasi (Triwulan) Puncak 2003:Q2 2003:Q2
2005:Q2 2005:Q2
Siklus
4 3
2005:Q4
Puncak
2003:Q2
8
Durasi (Triwulan)
Titik Balik
Kontraksi
6 2
2005:Q1 2005:Q1
Siklus
2
2005:Q3
Lembah
Ekspansi
Siklus No. 2
2003:Q1
Titik Balik
2001:Q4
Fase 4
2003:Q3
2003:Q1
Ekspansi Kontraksi Siklus No. 1
Siklus No. 2
Puncak
2003:Q1 2003:Q3
CLI2 Fase/Siklus
Durasi (Triwulan)
Fase
Siklus
4 5 9 8
2006:Q4 2006:Q4
6 14