ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN 30 PROPINSI DI INDONESIA TAHUN 1998 DAN 2003
OLEH SETIO RINI H14102030
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
SETIO RINI. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003 (dibimbing oleh SAHARA). Berkembangnya isu Otonomi Daerah di era reformasi sejalan dengan perubahan politik di Indonesia. Kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah saat ini difokuskan pada pertumbuhan ekonomi tiap-tiap propinsi. Hasil dari Otonomi Daerah sejak dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah menyebabkan dimekarkannya beberapa propinsi sehingga pada tahun 2000 Indonesia mempunyai 30 propinsi. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia yang pada akhirnya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi 30 propinsi di Indonesia tahun 1998-2003 jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, akan dianalisis juga pertumbuhan sektor-sektor ekonomi 30 propinsi di Indonesia pada tahun 1998 dan 2003. Penelitian ini menggunakan model analisis Shift Share. Berdasarkan analisis Shift Share maka akan diketahui propinsi-propinsi yang memberikan sumbangan terbesar pada perekonomian nasional, propinsi-propinsi yang pertumbuhannya cepat atau lambat dan propinsi-propinsi yang mampu berdaya saing dengan propinsi lainnya. Perangkat lunak yang digunakan dalam proses pengolahan data Shift Share ini adalah Microsoft Excell. Data yang digunakan merupakan data sekunder berupa data PDB Indonesia dan PDRB 30 propinsi di Indonesia yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Pusat berdasarkan atas harga konstan tahun 1993. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pergeseran petumbuhan pada tahun 1998 dan 2003 pada beberapa propinsi terkait dengan pemekaran propinsi yang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebagai proses pemulihan ekonomi masa ini menunjukkan pertumbuhan yang positif. Kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional pada masa itu meningkat sebesar 21 persen. Propinsi dengan kontribusi pertumbuhan ekonomi terbesar adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat sedangkan kontribusi pertumbuhan terkecil adalah Propinsi Maluku. Berdasarkan nilai pertumbuhan wilayah yang digambarkan pada pertumbuhan nasional menunjukkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat memberikan pengaruh terhadap kebijakan pemerintah daerah. Pemerintah daerah DKI Jakarta merupakan daerah yang kebijakannya mampu mempengaruhi pertumbuhan sektoralnya, sedangkan Propinsi Maluku Utara merupakan propinsi yang kebijakannya kurang mampu mempengaruhi pertumbuhan sektoralnya. Secara sektoral, sektor yang mengalami pertumbuhan kontribusi terbesar adalah sektor Listrik, gas dan air bersih, sedangkan sektor bangunan merupakan sektor yang mempunyai kontribusi pertumbuhan terkecil. Propinsi Banten merupakan propinsi dengan pertumbuhan yang cepat dan
Propinsi Papua merupakan Propinsi dengan pertumbuhan yang lamban. Daya saing propinsi didominasi oleh Propinsi Jawa Barat, sedangkan Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi yang tidak mampu berdaya saing dengan baik. Pertumbuhan wilayah yang terjadi di 30 propinsi menunjukkan bahwa secara sektoral, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terbesar sehingga mampu mempengaruhi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah khususnya di Propinsi Jawa Timur, sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih pada Propinsi Maluku Utara merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terkecil. Sektor Listrik, gas dan air bersih pada Propinsi Jawa Timur merupakan merupakan sektor dengan pertumbuhan yang cepat sdangkan sektor bangunan di Propinsi DKI Jakarta merupakan sektor dengan pertumbuhan ekonomi yang lamban. Sektor pertanian di Propinsi Riau merupakan sektor yang paling mampu berdaya saing sedangkan sektor industri pengolahan di Propinsi Jawa Timur merupakan sektor yang mempunyai daya saing kurang baik. Berdasarkan nilai pergeseran bersih terdapat 16 propinsi yang termasuk dalam kelompok propinsi yang pertumbuhannya progressif dan 14 propinsi lainnya termasuk dalam propinsi dengan pertumbuhan yang lamban. Profil pertumbuhan perekonomian menunjukkan bahwa propinsi yang mempunyai daya saing paling baik dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi paling cepat adalah Propinsi Jawa Barat, sedangkan Propinsi Maluku merupakan propinsi yang mempunyai pertumbuhan paling lamban dengan daya saing sektor yang kurang baik.
ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR - SEKTOR PEREKONOMIAN 30 PROPINSI DI INDONESIA TAHUN 1998 DAN 2003
Oleh SETIO RINI H14102030
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Setio Rini
Nomor Registrasi Pokok : H14102030 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Petumbuhan Sektor-sektor Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Sahara, SP, M.Si NIP. 132 232 456
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2006
Setio Rini H14102030
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Setio Rini lahir pada tanggal 17 Juni 1984 di Aekanopan, sebuah kota kecil yang berada pada salah satu kecamatan di Propinsi Sumatera Utara. Penulis adalah anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Subagio dan Sulasih. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis diawali dari Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar di Yayasan Perguruan Swasta Sultan Hasanuddin. Jenjang pendidikan selanjutnya dilanjutkan ke SLTP Negeri 1 Kualuh Hulu dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMU Negeri 1 Kualuh Hulu pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswi IPB, penulis aktif di beberapa organisasi internal, organisasi eksternal, dan kepanitiaan kegiatan di kampus. Organisasi yang pernah digeluti penulis adalah Hipotesa (Himpunan profesi di Departemen Ilmu Ekonomi) sebagai Bendahara Umum II pada tahun 2003-2004, Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) HIMLAB (Himpunan Mahasiswa Labuhan Batu) sebagai Bendahara Umum pada tahun 2003-2004, BEM FEM sebagai Ketua Mading ”Cicak” dibawah koordinasi Departemen Humas pada tahun 2003-2004, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai Wakil Sekretaris Umum Bidang Pembinaan Anggota Komisariat FEM pada tahun 2005 dan Sekretaris Umum Komisariat FEM pada tahun 2006. Saat ini penulis masih aktif di HMI Cabang Bogor sebagai Ketua Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi pada periode 2006-2007.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Cahaya-Nya memancar dalam kalbu para wali-Nya, yang menghilangkan segala sesuatu selain-Nya dari bathin para kekasih-Nya, yang membuat mereka merasakan manisnya keakraban dan cintaNya sehingga menerangi pemikiran sang pemuja-Nya yang dengan setia menemani eksistensi-Nya. Lembaran demi lembaran dalam proses penyelesaian skripsi ini adalah berkat Rahmat Mu ya Rabb. Salawat beserta salam penulis sampaikan kepada seseorang yang sangat mulia yang membawakan nilai-nilai kebenaran kepada pengikut dan penerusnya yakni Nabi Muhammad Saw. Skripsi
ini
berjudul
”Analisis
Pertumbuhan
Sektor-Sektor
Perekonomian Propinsi-Propinsi Di Indonesia Tahun 1998 dan Tahun 2003”. Tema yang diangkat dalam skripsi ini adalah terkait dengan proses pemulihan ekonomi yang terjadi pada tahun 1998-2003 terhadap pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di 30 propinsi di Indonesia pasca reformasi. Topik ini sangat menarik bagi penulis karena skripsi ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi semua pihak terutama para pengambil kebijakan agar lebih memperhatikan kebutuhan dan potensi wilayah. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua dan seluruh keluarga besar penulis atas semua pengorbanan yang tidak terhingga, Sahara, SP, MSi selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan semangat dan kesabaran dalam membimbing baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik, Ir. Sri Mulatsih, MSc, Agr, dan Alla Asmara, SPt, MSi karena telah menguji hasil karya dan membantu tata cara penulisan skripsi ini, serta semua pihak yang telah sangat membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman satu pembimbing skripsi yaitu Tuti, Hafzil, Jefri, Herlyn, Hasni, Thamrin dan Kak Rezi atas dukungannya yang membuat penulis
mampu segera menyelesaikan skripsi ini. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam se-Cabang Bogor atas ilmu sabar dan ikhlasnya dalam menghadapi episode kehidupan. Terima kasih juga kepada keluarga Cikuray dan Az-Zukhruf atas kasih sayang dan kebersamaannya yang membuat penulis lebih mengetahui seluk beluk kahidupan bersama serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas semua semangat, do’a dan hari-hari bahagia yang diberikan sehingga penulis selalu merasa berarti. Ibarat gading yang tak retak, maka segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Semoga hasil penelitian ini memberikan manfaat baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang.
Bogor,
Juni 2006
Setio Rini H14102030
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................
v
I. PENDAHULUAN.......................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang....................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah............................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian................................................................................
8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian.....................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN......................... 10 2.1. Tinjauan Teori Pertumbuhan dan Pembangunan................................... 10 2.1.1.Teori Pertumbuhan WW. Rostow................................................. 11 2.1.2.Teori Pertumbuhan Malthus......................................................... 13 2.2. Konsep Perencanaan Wilayah............................................................... 15 2.3. Penelitian-penelitian Terdahulu............................................................ 17 2.4. Kerangka Pemikiran.............................................................................. 21 2.4.1.Kerangka Pemikiran Teoritis........................................................ 21 2.4.2.Kerangka Pemikiran Konseptual.................................................. 29 III. METODE PENELITIAN............................................................................... 32 3.1. Jenis dan Sumber Data.......................................................................... 32 3.2. Metode Analisis Shift Share.................................................................. 32 3.2.1. Analisis Laju Pertumbuhan PDB dan PDRB.............................. 33 3.2.2. Analisis Rasio PDB Nasional dan PDRB Propinsi..................... 34 3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah................................ 35 3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih........................................................... 36 3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan........................................................ 37 3.3. Defenisi Operasional Data..................................................................... 38
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 41 4.1. Analisis PDB Nasional dan PDRB 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003............................................................................. 41 4.2. Analisis Laju Pertumbuhan Sektor Ekonomi 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003............................................................ 44 4.3. Analisis Rasio PDB Nasional dan PDRB 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003............................................................................. 48 4.4. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah di 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003............................................................ 49 4.5. Analisis Pergeseran Bersih 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003............................................................................. 56 4.6. Profil Pertumbuhan Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003............................................................................. 58 V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 62 5.1. Kesimpulan............................................................................................ 62 5.2. Saran...................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 65 LAMPIRAN......................................................................................................... 67
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1.
Halaman Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 19992003..................................................................................................
3
4.1.
PDB Nasional Tahun 1998 dan 2003 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993.................................................... 41
4.2.
Persentase Laju Pertumbuhan Ekonomi 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003.......................................................................
42
Persentase Pertumbuhan Sektor Ekonomi 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003......................................................
45
Kontribusi Pertumbuhan Proporsional Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1998 dan 2003............................................................
52
Nilai Pertumbuhan Pangsa Wilayah Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1998 dan 2003................. ..........................................
53
Pergeseran Bersih 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003..................................................................................................
57
4.3. 4.4. 4.5. 4.6.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Model Analisis Shift Share............................................................... 22
2.2.
Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian........................................ 28
2.3.
Kerangka Pemikiran Konseptual....................................................... 31
4.1.
Profil Pertumbuhan Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003........................................................................ 61
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. PDRB 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993................................................ 68 2. PDRB 30 Propinsi di Indonesia Tahun 2003 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993................................................ 70 3. Nilai Ra dan Ri........................................................................................ 72 4. Nilai ri...................................................................................................... 74 5. Nilai Pertumbuhan Nasional.................................................................... 76 6. Nilai Pertumbuhan Proporsional.............................................................. 78
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada pertengahan tahun 1997 perekonomian Indonesia mengalami krisis.
Pada masa itu, aktivitas perekonomian mengalami kemunduran seiring dengan semakin terdepresiasinya rupiah terhadap dollar hingga pernah mencapai nilai sekitar Rp 17.000. Harga barang dan jasa meningkat pesat akibat terjadinya kelangkaan pasokan sehingga menyebabkan inflasi sekitar 12,67%. Tidak adanya jaminan keamanan kepada investor menyebabkan banyak investor memutuskan untuk memindahkan investasinya dari Indonesia. Penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi sebesar 17,9% yaitu dari 4,2% pada tahun 1997 menjadi -13,7% pada tahun 1998. Perekonomian nasional mengalami kemunduran dan menghadapi kondisi stagflasi (BPS, 1998 dan Wijaya, 2001). Proses pemulihan ekonomi Indonesia diawali dengan adanya tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi terhadap pemerintah pada tahun 1998. Perubahan di segala bidang dilakukan sebagai upaya pembenahan. Konsep dasarnya adalah pembangunan, maka pada masa transisi itu ditumpukan muatan nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat. Reformasi secara sederhana berarti perubahan pada struktur maupun aturan-aturan baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Perubahan tersebut diupayakan agar tatanan negara dan masyarakat baru akan menjadi lebih demokratik secara politik dan lebih rasional secara ekonomi. Struktur
2
pemerintahan mengalami perubahan seiring dengan diturunkannya Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Agenda reformasi selanjutnya adalah pemulihan ekonomi agar mampu keluar dari krisis. Hal ini tidak terlepas dari besarnya kerusakan yang diderita Indonesia yang tercermin oleh lebih buruknya indikator-indikator makro ekonomi selama krisis berlangsung jika dibandingkan dengan negara lain yang juga mengalami krisis ekonomi. Namun diperkirakan Indonesia membutuhkan waktu yang lama untuk dapat kembali pulih ke masa sebelum krisis. Proses pemulihan ekonomi pada era reformasi ini disusun berdasarkan empat prioritas kebijakan yang dibagi atas sektor ekonomi, hukum, politik serta moral dan etika. Kebijakan-kebijakan yang diambil pada sektor ekonomi terfokus pada penguatan nilai rupiah terhadap dollar, perbaikan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi. Agenda reformasi terpenting lainnya adalah adanya penegakan supremasi hukum. Hal ini berkaitan dengan rezim pemerintahan Suharto yang dirasa tidak transparan dan bersifat KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Perlahan namun pasti, pertumbuhan ekonomi sebagai proses pemulihan ekonomi pasca reformasi cukup menggembirakan. Kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan telah mendorong terjadinya peningkatan pendapatan nasional dari tahun ke tahun. Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi nasional adalah dengan Produk Domestik Bruto (PDB) dan kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu tahun tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas
3
dasar harga konstan. Tabel 1.1. memaparkan laju pertumbuhan ekonomi nasional tahun 1999-2003. Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 Menurut Lapangan Usaha Tahun 1999-2003 di Indonesia (persen). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa Total PDB
1999 2,16 -1,62 3,92 8,27 -1,91
2000 1,88 5,51 5,98 7,56 5,64
2001 1,68 1,30 3,13 8,17 4,42
2002 2,01 2,25 3,43 6,00 4,86
2003 2,48 0,46 3,50 6,82 6,70
Rata-rata 2,04 1,58 3,99 7,36 3,94
-0,06
5,67
3,66
3,81
3,74
3,36
-0,75
8,59
7,80
8,03
10,69
6,87
-7,19 1,94 0,79
4,59 2,33 4,92
5,40 3,14 3,45
5,73 2,13 3,69
6,28 3,44 4,10
2,96 2,60 3,39
Sumber: BPS, PDB Indonesia, Tahun 1999 s/d 2003 (diolah).
Tabel 1.1. menunjukkan bahwa pasca reformasi di tahun 1998, semua sektor ekonomi di Indonesia mengalami pertumbuhan. Laju pertumbuhan rata-rata pada tahun 1999-2003 adalah sebesar 3,39 persen. Laju pertumbuhan terkecil terjadi pada tahun 1999 yaitu sekitar 1 persen, sedangkan laju pertumbuhan terbesar adalah pada tahun 2000 yang hampir mencapai 5 persen. Laju pertumbuhan persektor terbesar adalah sektor listrik, gas dan air bersih yaitu sekitar 7 persen. Sektor ekonomi dengan laju pertumbuhan terkecil adalah sektor pertambangan dan galian yaitu sekitar 2 persen. Sektor yang mengalami pertumbuhan paling cepat adalah sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini diperlihatkan oleh tingginya laju pertumbuhan sektor ini dari tahun ke tahun.
4
Laju pertumbuhan yang terjadi di tiap-tiap sektor ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah dengan disahkannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Undang-undang ini telah memberikan kebebasan kepada tiap-tiap daerah untuk menggali potensi daerahnya lebih baik lagi di berbagai sektor ekonomi. Oleh sebab itu, jumlah propinsi Indonesia sejak tahun 2002 mengalami pemekaran menjadi 30 propinsi dari Sabang sampai Merauke. Pemekaran 26 propinsi menjadi 30 propinsi dengan penambahan propinsi Bangka Belitung, Banten, Gorontalo dan Maluku Utara ini diharapkan
mampu
memberikan
kontribusi
dalam
upaya
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional pasca reformasi 1998. Konsep pemekaran wilayah ini diperkuat oleh adanya Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang pemekaran daerah. Peran pemerintah daerah dalam menganalisis potensi ekonomi wilayahnya sangat dibutuhkan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini terkait dengan kewajibannya menentukan sektor-sektor ekonomi yang perlu dikembangkan agar perekonomian daerah dapat tumbuh dengan cepat. Pemerintah daerah juga harus mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan potensi sektor tertentu rendah dan menentukan prioritas untuk menanggulangi kelemahan tersebut. Sektor yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.
5
1.2.
Perumusan Masalah Berkembangnya isu Otonomi Daerah di era reformasi ini sejalan dengan
perubahan politik di Indonesia. Kebijakan pembangunan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah saat ini difokuskan pada pertumbuhan ekonomi tiap-tiap propinsi. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia yang pada akhirnya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau seperti Indonesia, perbedaan karakteristik wilayah adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga pola pembangunan ekonomi wilayah di Indonesia tidak seragam. Ketidakseragaman ini akan berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh yang pada kenyataannya akan ada wilayah yang maju dan beberapa wilayah lainnya pertumbuhannya lamban. Walaupun negara yang bersangkutan telah berusaha untuk menerapkan kebijakan pembangunan wilayahnya agar tidak terjadi kesenjangan antar wilayah. Diduga, penyebab pokok terjadinya hal tersebut adalah adanya perbedaan dalam struktur industri atau sektor ekonominya (Thomas, dalam Budiharsono, 2001). Pemberlakuan Otonomi Daerah menyebabkan perekonomian nasional mulai membaik. Peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional ini merupakan sumbangan
dari
pertumbuhan
ekonomi
propinsi-propinsi
di
Indonesia.
Pertumbuhan sektor-sektor ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia secara garis besar menunjukkan pertumbuhan yang positif pada tiap tahunnya. Data PDRB
6
2003 menunjukkan bahwa pendapatan sektor pertanian terbesar terdapat pada Propinsi Jawa timur, yaitu sekitar Rp 10,65 triliyun. Sektor pertambangan dan galian terbesar berada pada propinsi Riau dengan nilai sekitar Rp 12,33 triliyun. Sektor industri pengolahan serta listrik, gas dan air bersih terbesar adalah pada propinsi Jawa Barat, masing-masing sekitar Rp 24,53 triliyun dan Rp 2,12 triliyun. Sektor bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan persewaan dan jasa keuangan serta jasa-jasa didominasi oleh propinsi DKI Jakarta dengan nilai masing-masing sebesar Rp 7,07 triliyun, Rp 16,33 triliyun, Rp 6,76 triliyun, Rp 14,92 triliyun dan Rp 6,35 triliyun (BPS, 2003). Perbandingan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi nasional memperlihatkan percepatan pertumbuhan ekonomi tiap-tiap propinsi dan nasional. Percepatan pertumbuhan ini akan memperlihatkan propinsi-propinsi yang maju dengan cepat atau lamban. Perbedaan pertumbuhan wilayah ini selanjutnya akan menjadi alat ukur timbulnya daya saing antar sektor di tiap-tiap propinsi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Indonesia, melalui analisis laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di propinsi-propinsi di Indonesia. Pertumbuhan PDB nasional merupakan refleksi dari peningkatan pertumbuhan PDRB masing-masing Propinsi di Indonesia. Pertumbuhan PDRB sendiri yang terjadi pada setiap propinsi didukung oleh pertumbuhan setiap sektor ekonomi yang terdapat pada tiap-tiap propinsi. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
7
keterkaitan yang erat antara pemerintah daerah dan pusat. Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah apakah terjadi pergeseran pertumbuhan ekonomi pada propinsi-propinsi yang mengalami pemekaran setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi melalui Otonomi Daerah, kemudian propinsi mana dari 30 Propinsi yang ada di Indonesia yang mengalami pertumbuhan cepat atau lamban? Propinsipropinsi yang mempunyai daya saing yang baik dan propinsi yang tidak mampu berdaya saing juga menjadi perhatian pada penelitian ini. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada maka, lebih rinci masalah yang menjadi objek dari penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana pertumbuhan ekonomi 30 propinsi di Indonesia tahun 1998 dan 2003 jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional?
2.
Bagaimana pertumbuhan sektor-sektor ekonomi 30 propinsi di Indonesia pada tahun 1998 dan 2003?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka penelitian
ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis pertumbuhan ekonomi 30 propinsi di Indonesia tahun 1998 dan 2003 jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
2.
Menganalisis pertumbuhan sektor-sektor ekonomi 30 propinsi di Indonesia pada tahun 1998 dan 2003.
8
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada semua pihak
mengenai pola pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mengenai perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi di Propinsi-propinsi di Indonesia. Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah pusat dan daerah agar mampu mengelola dan mengembangkan wilayahnya berdasarkan potensi yang ada dan sektor unggulan dari hasil analisis. Selain itu, pemerintah propinsi juga mampu mengambil kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan propinsinya masing-masing. Bagi masyarakat, semoga penelitian ini mampu meningkatkan partisipasinya dalam proses pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya dan masing-masing propinsi pada khususnya.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terbatas pada 30 propinsi yang ada di Indonesia pada tahun
1998 dan 2003. Alasannya adalah karena pada tahun tersebut Indonesia berada pada proses pemulihan ekonomi akibat krisis multidimensional di tahun 1997 dan sejak tahun 2000 akibat dari mulai diberlakukannya Otonomi Daerah Indonesia mempunyai 32 propinsi. Namun tidak dianalisisnya pertumbuhan 2 propinsi baru adalah karena baru dimekarkan pada tahun 2004 serta tidak tersedianya data pada tahun sebelum dimekarkan. Adanya perubahan laju pertumbuhan antar sektorsektor perekonomian pada propinsi-propinsi di Indonesia telah mengakibatkan kontribusi masing-masing sektor-sektor perekonomian mengalami pergeseran
9
pada struktur perekonomian nasional. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk menemukan sektor-sektor ekonomi pendukung pertumbuhan pada propinsipropinsi di Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah Shift Share yang menganalisis data pada dua titik waktu tertentu di suatu wilayah dengan bantuan Software Microsoft Excell. Berdasarkan analisis Shift Share dapat diketahui pertumbuhan sektorsektor perekonomian disuatu wilayah, baik dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya maupun wilayah diatasnya. Selain itu, analisis Shift Share juga dapat membandingkan pertumbuhan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Analisis pada penelitian ini menggunakan data PDB dan PDRB propinsi-propinsi yang ada di Indonesia atas dasar harga konstan tahun 1993. Perubahan tahun dasar analisis berdasarkan harga konstan tahun 2000 tidak tersedia untuk tahun 1998 dan 1999 sehingga tidak dapat digunakan pada analisis ini.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
pertambahan
pendapatan
masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi. Pertumbuhan ekonomi wilayah ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer payment, yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Tarigan, 2005). Menurut Djojohadikusumo, S (1993), pertumbuhan terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Hal ini
dapat dikatakan bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang
berdimensi tunggal dan di ukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan. Istilah pertumbuhan (growth) berkenaan dengan teori dinamika dalam pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dikembangkan oleh pemikir NeoKeynes. Istilah perkembangan dikaitkan dengan paham evolusi, bukan dalam hubungan langsung dengan pertumbuhan ataupun dengan pembangunan. Irawan dan Suparmoko (1999) menyatakan bahwa pada umumnya perkembangan atau pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan atau perkembangan. Tetapi pada tingkat-tingkat permulaan, mungkin pembangunan ekonomi selalu disertai dengan pertumbuhan dan sebaliknya.
11
2.1.1. Teori Pertumbuhan W.W. Rostow Menurut Irawan dan Suparmoko (1999), Rostow menyatakan bahwa sejarah pertumbuhan ekonomi melalui beberapa tingkatan yaitu: 1. Masyarakat Tradisional Tingkatan ini dikenal sebagai fase permulaan yang ditandai dengan adanya fungsi produksi yang terbatas. Perkembangan ini dibatasi oleh teknologi. Masyarakat pada fase ini tidak kekurangan akan penemuan-penemuan dan inovasi, tetapi belum ada pengertian sistematis terhadap alam sekitarnya yang dapat mendorong perkembangan lebih lanjut. Pengertian terhadap perkembangan masa depan masih kurang. Keadaan masyarakat tidak selalu statis, kadang-kadang memiliki produktivitas yang tinggi. Tetapi tingkat produksi yang dapat dicapai masih terbatas, karena ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum digunakan secara sistematis. Sebagian besar sumber tenaga kerja berada di sektor pertanian, sehingga menyebabkan terbatasnya produktivitas. Hubungan keluarga masih erat dan berpengaruh besar dalam organisasi-organisasi sosial. Kekuasaan dipegang oleh mereka yang mempunyai tanah yang luas. 2. Masyarakat Prasyarat untuk Lepas Landas Fase prasyarat lepas landas pada dasarnya dipengaruhi oleh: a. Pertumbuhan perlahan-lahan dalam ilmu pengetahuan modern. b. Inovasi-inovasi yang bersamaan dengan penemuan daerah-daerah baru, dan adanya keinginan untuk menciptakan teknologi baru dalam sektor-sektor yang cukup penting dalam usaha perluasan pasar.
12
Masyarakat pada fase ini membutuhkan adanya perubahan yang didukung oleh pemerintah yang terdiri dari tiga sektor non industri, yaitu: a. Membangun fasilitas prasarana umum terutama di bidang transportasi. b. Revolusi teknik dibidang pertaian dalam rangka peningkatan produksi dengan teknik baru. c. Perluasan impor yang dibiayai oleh perdagangan komoditi sumber-sumber alam yang ada. 3. Masyarakat Lepas Landas Fase ini menunjukkan tercapainya perkembangan pesat pada sektor-sektor tertentu yang telah menggunakan teknik produksi modern. Hasil dari fase lepas landas adalah berupa kemampuan masyarakat untuk mempertahankan tingkat investasinya setiap tahun. Dalam arti non-ekonomis, fase lepas landas ini biasanya menunjukkan keberadaan sosial, politik, dan kebudayaan dari orang-orang yang hendak memodernisir perekonomiannya atas masyarakat tradisional yang kuat. 4. Masyarakat Menuju Kematangan Fase keempat dari pertumbuhan ekonomi menurut Rostow adalah menuju kematangan. Kematangan ekonomi yang diartikan Rostow adalah sebagai suatu tahun ketika masyarakat secara efektif menerapkan teknologi modern terhadap sumber-sumber ekonomi. Pada fase ini, manajer-manajer profesional mempunyai kedudukan yang semakin penting. Hal ini karena kedudukannya yang telah kuat dalam memimpin industri-industri besar dan kemudian mencari objek-objek termasuk penerapan teknologi modern untuk mengusahakan sumber-sumber alam. Perubahan-perubahan dalam angkatan kerja ini disertai dengan perubahan-
13
perubahan kehendak dari masyarakat melalui para cendikiawan dan politisi yang secara terang-terangan mengecam keadaan sosial. Perluasan industrialisasi tidak menjadi tujuan utama. Hal ini karena telah berlaku hukum kegunaan batas yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Marginal Utility). 5. Masyarakat Konsumsi yang Berlebih Ada dua cara yang digunakan dalam fase ekonomi yang matang ini, yaitu: a. Menyediakan/menawarkan jaminan yang lebih baik, kemakmuran dan leisure kepada angkatan kerja. b. Menyediakan konsumsi individu yang lebih banyak termasuk barang konsumsi awet dan jasa-jasa secara masal.
2.1.2. Teori Pembangunan Malthus Menurut Rusli (1996), Robert Thomas Malthus (1766-1834) menyatakan bahwa, jika tidak ada pembatasan, kecenderungan pertambahan jumlah penduduk akan lebih cepat dari pertambahan pangan. Perkembangan penduduk akan mengikuti deret ukur sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung. Maltus juga menyatakan bahwa pembatasan pertumbuhan penduduk dapat berupa pembatasan segera dan pembatasan hakiki. Faktor pembatasan hakiki adalah pangan, sedangkan faktor pembatasan dapat berbentuk pembatasan preventif dan positif. Pembatasan preventif adalah faktor-faktor yang bekerja mengurangi angka kelahiran yang dianjurkan dengan pengendalian diri dalam hal nafsu seksual seperti penundaan perkawinan. Pembatasan positif merupakan
14
faktor-faktor yang mempengaruhi angka-angka kematian seperti epidemi, penyakit-penyakit dan kemiskinan. Menurut Malthus, proses pembangunan adalah suatu proses naik-turunnya aktivitas ekonomi lebih daripada sekedar lancar-tidaknya aktivitas ekonomi. Malthus lebih realistis dalam menganalisa pertumbuhan penduduk dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi saja dianggap tidak cukup untuk berlangsungnya pembangunan ekonomi. Pertumbuhan penduduk adalah proses pembangunan karena pertambahan penduduk tidak bisa terjadi tanpa peningkatan kesejahteraan yang sebanding. Akan tetapi pertumbuhan penduduk saja tidak mampu meningkatkan kesejahteraan. Pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kesejahteraan hanya bila pertumbuhan tersebut meningkatkan permintaan efektif dengan cara menaikkan tingkat pekerjaan, pendapatan dan tabungan untuk mendorong pembangunan. Besarnya PDB potensial tergantung pada tanah, tenaga kerja, modal dan organisasi. Bila keempat faktor ini dipakai dalam proporsi yang benar, maka akan memaksimalkan produksi pada dua sektor utama perekonomian yaitu sektor pertanian dan sektor industri. Akumulasi modal, kesuburan tanah, dan kemajuan teknologi adalah penyebab utama peningkatan produksi pertanian maupun produksi industri. Malthus juga menekankan pada pentingnya sektor non-ekonomi dalam pembangunan ekonomi yang termasuk dalam politik dan moral untuk pembangunan sumber daya manusia yang seimbang. Faktor tersebut adalah keamanan atas kekayaan, konstitusi dan hukum yang baik dan dilaksanakan sebagaimana mestinya serta sifat jujur (Deliarnov,2003).
15
2.2.
Konsep Perencanaan Wilayah
Menurut Budiharsono (2001), wilayah adalah suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: 1.
Wilayah Homogen Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria
yang mempunyai sifat-sifat atau ciri yang relatif sama. Sifat-sifat dan ciri-ciri kehomogenan itu misalnya dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku dan lain sebagainya.
Setiap
perubahan
yang
terjadi
di
wilayah
tersebut
akan
mempengaruhi seluruh bagian wilayah tersebut dengan proses yang sama. Dengan demikian apa yang berlaku disuatu bagian wilayah akan berlaku pula pada bagian wilayah lainnya. 2.
Wilayah Nodal Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional
mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Ketergantungan dilihat daari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Batas wilayah nodal ditentukan sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi lainnya. 3.
Wilayah Administratif Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan
berdasarkan kepentingan administrasi pemerintah atau politik, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan kelurahan, serta RT dan RW. Pengelolaan lingkungan pada wilayah ini memerlukan kerjasama dari satuan wilayah administrasi lain yang terkait.
16
4.
Wilayah Perencanaan Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun ada
juga aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan aliran sungai harus direncanakan dari hulu sampai hilirnya. Konsep perencanaan wilayah merupakan tindak lanjut dari kegiatan perencanaan
yang
dilakukan
karena
adanya
perbedaan
kepentingan,
permasalahan, ciri dan karakteristik dari masing-masing daerah/wilayah yang menuntut adanya campur tangan pihak pemerintah pada tingkat wilayah. Perencanaan wilayah dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi permasalahan di masing-masing wilayah dan mengupayakan keseimbangan pembangunan antar wilayah. Peran utamanya adalah mengatasi secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan pembangunan di tingkat wilayah. Glasson (1990) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah suatu perluasan dari perencanaan lokal, yang terutama menangani masalah-masalah lokal seperti perpindahan dan persebaran penduduk serta kesempatan kerja, interaksi yang kompleks antara kebutuhan-kebutuhan sosial dan ekonomi, penyediaan fasilitas-fasilitaas rekreasi penting dan jaringan komunikasi utama yang hanya diputuskan bagi daerah-daerah yang jauh lebih besar daripada daerahdaerah wewenang dari penguasa-penguasa perencanaan lokal yang ada. Lebih lanjut Glasson (1990) mengungkapkan bahwa perencanaan wilayah adalah berkenaan
dengan
arus
penduduk
dan
kesempatan
kerja interregional
17
(interwilayah), berkenaan dengan ketersediaan dan penggunaan sumber daya dan dengan prospek-prospek ekonomi jangka panjang dalam pengkajiannya.
2.3.
Penelitian-penelitian Terdahulu Hasil penelitian Putra, A (2004) terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota
Jambi pada tahun sebelum dan pada masa otonomi daerah dengan analisis shift share, menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1994-1996, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat, sedangkan sektor yang paling lambat pertumbuhannya adalah sektor jasa-jasa. Dilihat dari daya saing, sektor pertambangan merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik jika dibandingkan dengan sektor lain, sedangkan sektor yang tidak mampu bersaing adalah sektor industri pengolahan. Pada tahun 19971999, sekor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat adalah sektor pertambangan, sedangkan sektor yang yang memiliki laju pertumbuhan paling lambat adalah sektor bangunan. Akan tetapi sektor pertambangan justru menjadi sektor yang tidak mampu bersaing, sedangkan sektor yang memiliki daya saing paling baik adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Pada masa otonomi daerah, sektor pertambangan masih menjadi sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, sedangkan yang memiliki pertumbuhan paling lambat adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor pertambangan merupakan sektor yang tidak mampu bersaing, sedangkan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan adalah sektor yang memiliki daya saing paling baik.
18
Bahri, S (2005) dalam penelitiannya terhadap sektor-sektor sumber pertumbuhan perekonomian Kota Bekasi yang mengunakan metode analisis basis wilayah (LQ), menyatakan bahwa ada beberapa sektor yang mampu menjadi sektor basis secara kontinu pada tahun 2000-2002 berdasarkan indikator pendapatan. Sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor pertanian, sektor pertambangan dan panggalian, dan sektor jasa-jasa tidak mampu menjadi sektor basis tahun 2000-2002. Analisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Propinsi Sumatera Utara yang dilakukan oleh Setiawan, D (2004) dengan alat analisis shift share memperlihatkan adanya peningkatan perekonomian propinsi Sumatera Utara yang tumbuh sebesar 38 persen. Analisis komponen pertumbuhan memperlihatkan bahwa pada kurun waktu 1993-1997 untuk komponen pertumbuhan nasional Kota Medan merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan nasional yang paling besar, sedangkan yang paling kecil adalah Kota Sibolga. Hal ini berarti pada tahun 1993-1997 Kota Medan merupakan daerah yang memberikan kontribusi paling besar dalam pembentukan PDRB Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi yang paling lambat adalah Kabupaten langkat. Daerah yang mempunyai daya saing yang paling baik adalah Kota Sibolga dan yang paling buruk adalah Kabupaten Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, maka wilayah yang paling maju adalah Kota Sibolga dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat.
19
Hasil analisis memperlihatkan bahwa Kota Medan merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan nasional terbesar, sedangkan yang paling kecil adalah Kota Sibolga. Berdasarkan laju pertumbuhan proporsional daerah yang cepat adalah Kota Medan dan yang paling lambat adalah Kabupaten Asahan. Daerah yang mempunyai daya saing paling baik adalah Kabupaten Asahan, sedangkan yang paling buruk daya saingnya adalah Kabupaten Langkat. Dilihat dari peertumbuhan wilayah, maka wilayah yang paling maju adalah
Kabupaten
Asahan dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat. Restuningsih (2004) dalam penelitiannya yang berjudul, “Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Propinsi DKI Jakarta Pada Masa Krisis Ekonomi Tahun 1997-2002” menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mengalami penurunan. Jika ditinjau secara sektoral, sektor bangunan merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terbesar dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terkecil. Pada masa krisis ekonomi, pengaruh pertumbuhan nasional menyebabkan PDRB DKI Jakarta mengalami penurunan nilai. Pertumbuhan proporsional juga turut mengalami penurunan pada PDRB DKI Jakarta. Akan tetapi, masa krisis ekonomi mengakibatkan peningkatan PDRB DKI Jakarta terhadap pengaruh pertumbuhan pangsa pasar wilayah. Pada masa krisis ekonomi ini, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor bangunan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor perekonomian yang memiliki pertumbuhan yang lamban di DKI Jakarta.
20
Sektor perekonomian yang memiliki pertumbuhan cepat di DKI Jakarta adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertanian serta sektor jasa-jasa. Sektor ekonomi yang tidak dapat bersaing dengan baik adalah sektor pertanian, sektor industri pegolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, dan sektor jasa-jasa. Sektor yang dapat bersaing dengan baik adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, dijelaskan bahwa metode analisis Shift Share dapat digunakan untuk menganalisis sektor-sektor perekonomian dari bagian terkecil wilayah sampai tingkat nasional dengan melakukan perbandingan laju pertumbuhan. Perhitungan laju pertumbuhan ini dilakukan dengan menggunakan data PDB nasional dan PDRB 30 propinsi yang ada di Indonesia. Penelitian lainnya juga dapat dilakukan dengan alat analisis lain dan data pertumbuhan lainnya seperti data propuksi dan kesempatan kerja. Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini berbeda dalam hal sasaran penelitian dan tahun waktu penelitian. Penelitian ini dilakukan terhadap pendapatan nasional dan pendapatan wilayah pada 30 Propinsi di Indonesia pada tahun waktu 1998 dan 2003 yang dianggap sebagai masa transisi proses pemulihan ekonomi dari krisis tahun 1997.
21
2.4.
Kerangka Pemikiran
2.4.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis ini mencakup model analisis Shift Share, kelebihan dan kelemahan analisis Shift Share, analisis komponen pertumbuhan wilayah, analisis PDB dan PDRB serta profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian. Masing-masing kerangka pemikiran ini akan dijelaskan sebagai berikut: 1.
Model analisis Shift Share Model analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et al
pada tahun 1960. Menurut Budiharsono (2001) analisis Shift Share ini menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu di suatu wilayah. Analisis Shift Share memiliki kemampuan untuk menunjukkan: 1.
Perkembangan
sektor
perekonomian
disuatu
wilayah
terhadap
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas. 2.
Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya.
3.
Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.
4.
Perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya.
22
Komponen Pertumbuhan Nasional Maju PP+PPW ≥ 0 Wilayah ke j
Wilayah ke j
Komponen
Komponen
Pertumbuhan
Pertumbuhan Pangsa
Lamban PP+PPW < 0
Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share Sumber : Budiharsono, 2001
Pada Gambar 2.1. analisis Shift Share menunjukkan bahwa perubahan sektor i pada wilayah j dipengaruhi oleh tiga komponen pertumbuhan wilayah. Ketiga komponen pertumbuhan wilayah yang dimaksud adalah komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah
melalui
pergeseran
bersih.
Pergeseran
besih
merupakan
hasil
penjumlahan dari simulasi persentase pertumbuhan proporsional dengan pertumbuhan pangsa wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor i pada wilayah ke j tergolong pada wilayah yang pertumbuhannya lamban.
23
2.
Kelebihan-kelebihan Analisis Shift Share Analisis Shift Share
memiliki kelebihan-kelebihan dalam proses
pengumpulan data. Data yang dipergunakan dalam menganalisis pertumbuhan dengan metode analisis Shift Share dapat berupa data produksi, kesempatan kerja, Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan atas dasar harga konstan. Penelitian ini menggunakan nilai PDB nasional dan PDRB daerah yang menunjukkan struktur perekonomian nasional dan daerah. Penggunaan data PDB dan PDRB seyogianya dapat dengan mudah diperoleh dan relatif tersedia setiap tahunnya dan tersedia mulai dari tingkat kabupaten hingga nasional. Hal ini juga berlaku pada data kesempatan kerja dan produksi. 3.
Kegunaan-kegunaan Analisis Shift Share Teknik perhitungan Shift Share memiliki kegunaan-kegunaan tertentu pada
proses analisisnya. Menurut Soepono (1993), kegunaan-kegunaan dari analisis Shift Share adalah : 1.
Analisis Shift Share dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya pada dua titik tertentu, yang mana satu titik waktu dijadikan sebagai dasar analisis, sedangkan satu titik waktu lainnya dijadikan sebagai tahun akhir analisis.
2.
Perubahan PDRB di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dapat dilihat melalui tiga komponen pertumbuhan wilayah, yakni komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).
24
3.
Berdasarkan komponen PN, dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dibandingkan laju pertumbuhan nasional.
4.
Komponen PP dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan sektorsektor perekonomian di suatu wilayah. Hal ini berarti bahwa suatu wilayah dapat mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor-sektor itu.
5.
Komponen PPW dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor ekonomi dibandingkan dengan sektor ekonomi pada wilayah lainnya.
6.
Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan, maka dapat ditunjukkan adanya Shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah.
4.
Kelemahan-kelemahan Analisis Shift Share Kemampuan teknik analisa Shift Share untuk memberikan dua indikator
positif yang berarti bahwa suatu wilayah mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional, dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektorsektor itu, tidaklah lepas dari kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan analisis Shift Share menurut Soepono (1993) adalah: 1.
Analisis Shift Share tidak lebih daripada suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan suatu variabel wilayah menjadi komponen-komponen. Persamaan Shift Share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keprilakuan. Metode Shift Share tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya pengaruh
25
keunggulan kompetitif adalah positif dibeberapa wilayah, tetapi negatif di daerah-daerah lain. Metode Shift Share juga merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak analitik. 2.
Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju nasional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan wilayah.
3.
Arti ekonomi dari kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) tidak dikembangkan dengan baik. Kedua komponen pertumbuhan wilayah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.
4.
Teknik analisis Shift Share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu wilayah bersifat lokal, maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayah-wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.
5.
Analisis Shift Share tidak mampu menganalisis keterkaitan kedepan dan kebelakang antar sektor yang disebabkan oleh adanya pergeseran pertumbuhan seperti yang dilakukan pada analisis Input Output.
5.
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Analisis Shift Share menurut Budiharsono (2001) didasarkan pada asumsi
bahwa perubahan PDRB di suatu wilayah antara tahun dasar dengan tahun akhir analisis dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan, yaitu:
26
1.
Komponen Pertumbuhan nasional (National Growth Component) Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) adalah perubahan produksi suatu
wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. 2.
Komponen Pertumbuhan Proporsional (Proportional or Industrial Mix Growth Component) Komponen pertumbuhan proporsional (PP) tumbuh karena perbedaan sektor
dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support), dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. 3.
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Regional Share Growth Component) Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena peningkatan
atau penurunan produksi/kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komperatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. 6.
Analisis PDRB dan PDB (nilai ri, Ra dan Ri) Konsep analisis PDRB digunakan untuk mengetahui perubahan PDRB
pada suatu sektor di suatu wilayah tertentu. Konsep perubahan PDRB didasarkan pada perhitungan PDRB suatu sektor pada tahun akhir analisis dibandingkan
27
dengan PDRB suatu sektor tersebut pada tahun dasar analisis. Analisis PDRB terbagi atas ri, Ra dan Ri. Konsep analisis PDB digunakan untuk mengetahui PDB sektor ekonomi secara nasional. Adapun konsep analisis PDB menggunakan perhitungan dengan cara menjumlahkan PDRB sektor tertentu yang ada pada seluruh wilayah berdasarkan atas harha konstan. Nilai ri menunjukkan selisih antara PDRB dari sektor i pada wilayah tertentu pada tahun akhir analisis dengan PDRB dari sektor i pada wilayah yang sama pada tahun dasar analisis dibagi PDRB dari sektor i pada wilayah yang sama pada tahun dasar analisis. Nilai Ra menunjukkan selisih antara PDRB Propinsi tertentu pada tahun akhir analisis dengan PDRB pada Propinsi yang sama pada tahun dasar analisis dibagi PDRB Propinsi pada tahun dasar analisis. Nilai Ri menunjukkan selisih antara PDRB tahun akhir analisis dari sektor i di Propinsi dengan PDRB tahun dasar analisis dari sektor i yang sama dibagi PDRB tahun dasar analisis dari sektor i di Propinsi yang sama. 7.
Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Profil pertumbuhan sektor perekonomian digunakan untuk mengevaluasi
pertumbuhan sektor perekonomian di wilayah yang bersangkutan pada kurun waktu yang telah ditentukan, dengan cara mengekspresikan persen perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Pada sumbu horizontal, terdapat PP sebagai absis, sedangkan pada sumbu vertikal terdapat PPW sebagai ordinat.
28
Kuadran IV
Kuadran I
PP 45
Kuadran III
o
Kuadran II PPW
Gambar 2.2. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Sumber: Budiharsono (2001).
Berdasarkan Gambar 2.2 maka sistematika pengklasifikasian analisis Shift Share dibagi atas: 1.
Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut, baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah progresif (maju).
2.
Kuadran II menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor terssebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik.
3.
Kuadran III menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah tersebut pertumbuhannya lamban dan daya saingnya kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang paling lamban pertumbuhannya.
29
4.
Kuadran IV menunjukkan bahwa sektor-ssektor ekonomi pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing sektorsektor pada wilayah tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
5.
Garis 450 yang memotong pada kuadran II dan kuadran IV merupakan garis pemisah yang membatasi wilayah bagian atas dan wilayah bagian bawah. Garis miring tersebut nantinya akan menunjukkan wilayah yang berada di bagian atas garis tersebut merupakan wilayah yang progresif (maju), sedangkan wilayah di bagian bawah garis tersebut merupakan daerah yang lambat tingkat pertumbuhannya.
2.4.2. Kerangka Pemikiran Konseptual Secara konseptual, pemikiran mengenai penelitian ini diawali oleh krisis ekonomi pertengahan 1997 lalu yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan drastis sehingga menimbulkan fluktuasi dalam investasi. Proses pemulihan perekonomian Indonesia diawali dengan adanya gerakan reformasi oleh seluruh lapisan masyarakat yang di gerakkan oleh mahasiswa. Proses pemulihan ekonomi ini diperkirakan berada pada tahun 1998 dan 2003. Sepanjang tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi yang diperlihatkan oleh pendapatan nasional dan propinsi di Indonesia (PDB dan PDRB) atas dasar harga konstan 1993 mengalami perubahan yang positif dari tahun ke tahun. Penggunaan data PDRB atas dasar harga konstan adalah karena PDRB harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara
30
keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun. Sedangkan data PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Untuk mengetahui potensi sektorsektor 30 propinsi di Indonesia pada tahun waktu tersebut maka dilakukanlah penelitian dengan menggunakan metode analisis Shift Share berdasarkan sektorsektor perekonomian. Analisis Shift Share yang dilakukan adalah dengan menganalisis pertumbuhan dan kontribusi dari masing-masing sektor dalam wilayah melalui analisis PDRB dan PDB. Shitf Share juga mampu
menganalisis komponen
pertumbuhan wilayah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi. Selain itu, daya saing masing-masing sektor ekonomi yang dibandingkan dengan sektor lainnya dapat dilakukan dengan menganalisis profil pertumbuhan sektor perekonomian pada wilayah objek penelitian. Perbedaan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Indonesia dari hasil analisis ini nantinya akan mengklasifikasikan propinsi dan sektor-sektor ekonomi berdasarkan propinsi yang paling maju/lamban, sektor yang paling maju/lamban dan sektor-sektor yang paling berdaya saing maupun yang tidak berdaya saing. Hasil analisis ini selanjutnya akan di rekomendasikan sebagai alat ukur atas perencanaan dan kebijakan bagi propinsi-propinsi di Indonesia dan secara nasional bagi para pengambil keputusan. Secara sistematis kerangka pemikiran konseptual dapat dijelaskan pada Gambar 2.3.
31
Orde reformasi Indonesia tahun 1998
Kebijakan pemulihan ekonomi
Pertumbuhan PDB dan PDRB atas dasar harga konstan 1993
Potensi sektor-sektor 30 propinsi di Indonesia Microsof Excell Analisis Shift Share tahun 1998 dan 2003
Pertumbuhan Maju
Daya Saing
Pertumbuhan Lamban
Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi Propinsi di Indonesia
Propinsi yang paling maju
Propinsi yang Berdaya Saing
Propinsi yang tidak maju
Rekomendasi atas Perencanaan dan Kebijakan Propinsi dan Nasional
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
32
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan sebagai bahan analisis penelitian ini adalah data
sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Jakarta. Data yang dibutuhkan yaitu data PDB Nasional dan PDRB 30 propinsi di Indonesia tahun 1998 dan 2003 pasca reformasi yang disajikan berdasarkan harga konstan tahun 1993 menurut lapangan usaha. Tebatasnya penelitian pada 30 propinsi dikarenakan pada tahun 1998 dan 2003 pemekaran wilayah yang terjadi hanya sebanyak 4 propinsi dengan jumlah total 30 propinsi. Data-data pendukung lainnya seperti buku, artikel, jurnal dan lain-lain diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan-perpustakaan di lingkungan IPB maupun perpustakaan di luar lingkungan IPB seperti perpustakaan Departemen Kehutanan Bogor, dan perpustakaan Bank Indonesia.
3.2.
Metode Analisis Shift Share Analisis Shift Share menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan
ekonomi seperti produksi, pendapatan, nilai tambah, kesempatan kerja dan sebagainya dengan menentukan kurun waktu yang akan dianalisis sehingga dapat diketahui tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis. Analisis Shift Share ini juga mampu menentukan sektor ekonomi yang akan dianalisis misalnya hanya berdasarkan sektor ekonomi tertentu saja, kelompok sektor ekonomi, ataupun berdasarkan semua sektor ekonomi dan sebagainya. Selain itu, analisis Shift Share
33
mampu menghitung perubahan indikator kegiatan ekonomi dari sektor i pada wilayah j kemudian dibandingkan dan ditentukan sektor dan wilayah unggulan.
3.2.1. Analisis Laju Pertumbuhan PDB dan PDRB Menurut Budiharsono (2001), apabila dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/propinsi (j = 1, 2, 3…, m) dan n sektor ekonomi (i = 1, 2, 3…, n), maka Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut: a.
PDB (nasional) dari sektor i pada tahun dasar analisis.
Yi . =
m
∑
Yij
j =1
dimana : Yi. = PDB (nasional) dari sektor i pada tahun dasar analisis Yij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis. b.
PDB (nasional) dari sektor i pada tahun akhir analisis. m
Y ' i. = ∑ Y ' ij j =1
dimana: Y’i. = PDB (nasional) dari sektor i pada tahun akhir analisis Y’ij = PDRB dari sektor i pada tahun dasar analisis. c.
Total PDB (nasional) pada tahun dasar analisis.
Y .. =
n
m
i =1
j =1
∑∑
Yij
34
dimana: Y.. = PDB (nasional) pada tahun dasar analisis Yij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis. d.
Total PDB (nasional) pada tahun akhir analisis
Y '.. =
n
m
i =1
j =1
∑ ∑ Y ' ij
dimana: Y’.. = PDB (nasional) pada tahun akhir analisis Y’ij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis. Perubahan PDRB sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut : ∆ Yij = Y’ij - Yij
3.2.2. Analisis Rasio PDB Nasional dan PDRB Propinsi Rasio PDB nasional dan PDRB propinsi digunakan untuk melihat perbandingan PDB/PDRB sektor-sektor indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah tertentu. Rasio PDB/PDRB tersebut dibagi atas ri, Ri dan Ra. a.
ri ri =
Y ' ij − Yij Yij
dimana: Yij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis Y’ij =PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis.
35
b.
Ri Y ' i . − Yi . Yi .
Ri =
dimana: Y’i. = PDB (nasional) dari sektor i pada tahun akhir analisis Y i. = PDB (nasional) dari sektor i pada tahun dasar analisis. c.
Ra Ra =
Y '.. − Y .. Y ..
dimana: Y’.. = PDB (nasional) pada tahun akhir analisis Y.. = PDB (nasional) pada tahun dasar analisis.
3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Komponen pertumbuhan wilayah terdiri atas pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). a.
PN PNij = (Ra)Yij dimana: PNij = komponen pertumbuhan nasional sektor i untuk wilayah j Yij
b.
= PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis.
PP PPij = (Ri – Ra)Yij
36
dimana: PPij = komponen pertumbuhan proporsional sektor i untuk wilayah j Yij = PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis Ri = rasio PDB (nasional) dari sektor i pada wilayah ke-j Ra = rasio PDB (nasional). Apabila: PPij < 0, menunjukkan sektor i, wilayah j pertumbuhannya lambat. PPij > 0, menunjukkan sektor i, wilayah j pertumbuhannya cepat. c.
PPW PPWij = (ri – Ri)Yij dimana: PPWij = komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i, wilayah j Yij
= PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis
ri
= rasio PDRB sektor i pada wilayah j
Apabila: PPWij < 0, berarti sektor/wilayah j tidak mempunyai daya saing yang baik dibandingkan dengan sektor/wilayah lainnya pada sektor i PPWij > 0, berarti sektor i pada wilayah j dapat bersaing dengan baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya.
3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih Analisis profil pertumbuhan PDB/PDRB suatu wilayah dapat dilihat berdasarkan penjumlahan komponen pertumbuhan proporsional dan pangsa
37
wilayah. Pergeseran bersih yang diperoleh dari penjumlahan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut: PBij = PPij + PPWij dimana: PBij = pergeseran bersih sektor i pada wilayah j PPij = komponen pertumbuhan proporsional sektor i pada wilayah j PPWij = komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j. Apabila: PBij > 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju) PBij < 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk lamban.
3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan Perekonomian Analisis profil pertumbuhan perekonomian merupakan tahapan terakhir dalam proses analisis Shift Share. Analisis ini dilakukan untuk menunjukkan secara jelas keberadaan 30 propinsi di Indonesia berdasarkan pertumbuhannya yang cepat atau lamban serta daya saing antar propinsi yang terjadi. Perangkat lunak yang digunakan untuk membantu mempermudah dalam pengolahan data analisis ini adalah Microsoft Excel. Kemudian hasil-hasil analisis dengan model analisis Shift Share tersebut digunakan sebagai dasar untuk merumuskan secara deskripsi pertumbuhan sektor-sektor pada 30 propinsi di Indonesia tahun 1998 dan 2003.
38
3.3. Definisi Operasional Data Operasional data merupakan variabel-variabel pendukung yang digunakan dalam analisis. Variabel-variabel operasional data tersebut akan didefinisikan seperti berikut ini:
1. PDB dan PDRB PDB atau Produk Domestik Bruto merupakan pendapatan yang diperoleh oleh suatu negara berdasarkan pendapatan total dan pengeluaran total nasional pada output barang dan jasa. PDB dipengaruhi oleh perubahan-perubahan konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor bersih (Mankiw, 2000). Budiharsono (2001), mendefinisikan PDB (secara nasional) dalam pengertian analisis Shift Share adalah jumlah keseluruhan PDRB semua sektor di seluruh propinsi yang ada di Indonesia. PDRB atau Produk Domestik Regional Bruto mempunyai lingkup lebih kecil dibandingkan dengan PDB. PDRB merupakan salah satu indikator untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian di suatu wilayah dalam suatu tahun tertentu. Pada dasarnya PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha di suatu wilayah tertentu atau merupakan nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Dalam perhitungan PDRB, digunakan dua macam harga, yakni PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan (BPS, 2002). a)
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku setiap tahun dan dapat digunakan untuk melihat struktur ekonomi.
39
b)
PDRB atas dasar harga konstan dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar dan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun.
2. Tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis Tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis digunakan dalam analisis sebagai patokan dan dasar untuk menganalisis dan melakukan pengolahan data. Tahun dasar analisis merupakan patokan yang digunakan sebagai titik awal dalam menganalisis data untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Tahun akhir analisis digunakan sebagai titik akhir tahun data yang akan dianalisis (Budiharsono, 2001)
3. Sektor-sektor indikator kegiatan ekonomi Pertumbuhan ekonomi wilayah dapat dipicu melalui pertumbuhan pada sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut. Adapun sektor-sektor indikator kegiatan ekonomi tersebut meliputi: (1) sektor pertanian yang terdiri dari sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. (2) sektor pertambangan dan galian, terdiri dari sub sektor minyak dan gas bumi, pertambangan tanpa migas, penggalian. (3) sektor industri pengolahan meliputi industri tanpa migas dan industri migas yang termasuk didalamnya pengilangan minyak bumi dan gas alam cair. (4) sektor listrik, gas dan air bersih, (5) sektor bangunan, (6) sektor perdagangan, hotel dan restoran meliputi sub sektor perdagangan besar dan eceran, hotel dan restoran. (7) sektor pengangkutan dan komunikasi yang terdiri dari sub sektor angkutan rel, angkutan jalan raya, angkutan laut, angkutan sungai, danau dan penyeberangan, angkutan udara, jasa penumpang angkutan, pos dan telekomunikasi serta jasa penunjang komunikasi.
40
(8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan meliputi sub sektor bank, lembaga keuangan tanpa bank, jasa penunjang keuangan, sewa bangunan dan jasa perusahaan. (9) dan sektor jasa-jasa yang terdiri dari sub sektor pemerintahan umum dan pertahanan serta sub sektor swasta yang didalamnya meliputi sub sektor administrasi pemerintahan dan pertahanan, jasa pemerintahan lainnya, sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi serta perorangan dan rumah tangga (BPS, 2003).
41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis PDB Nasional dan PDRB 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003. Persentase pertumbuhan sektor-sektor ekonomi berdasarkan perbandingan
PDB nasional pada tahun 1998 dan 2003 menunjukkan peningkatan kontribusi sebesar 21.00 persen (Tabel 4.1.), dengan pertumbuhan sekitar Rp 80 triliyun. Pertumbuhan ini didukung oleh pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Indonesia. Sektor ekonomi dengan persentase pertumbuhan terbesar adalah sektor listik, gas dan air bersih sebesar 49,56 persen, sedangkan persentase pertumbuhan terkecil terjadi pada sektor bangunan yaitu sebesar 12,68 persen. Selengkapnya pada lampiran 1. Tabel 4.1. Perubahan Pertumbuhan PDB Nasional Tahun 1998 dan 2003 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993.
Sektor Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa TOTAL
1998 (trilitun rupiah) 63,41 33,94 90,49 5,96 20,99
2003 (triliyun rupiah) 74,16 40,57 112,34 8,91 23,66
∆ PDB (triliyun rupiah) 10,75 6,63 21,85 2,95 2,67
Pertumbuhan Tahun 1998 dan 2003 (%) 16,96 19,52 24,15 49,56 12,68
68,93
85,19
16,26
23,58
28,75
38,08
9,33
32,43
28,35
32,35
4,00
16,24
35,85 376,67
41,55 456,81
5,70 80,14
15,89 21,00
Sumber: BPS, PDB Indonesia Berdasarkan Lapangan Usaha, Tahun 1998 dan 2003, diolah.
42
Pertumbuhan perekonomian di Indonesia yang terlihat pada peningkatan PDB nasional pada Tabel 4.1. tidak terlepas dari pertumbuhan PDRB propinsipropinsi di Indonesia. Pertumbuhan PDRB 30 propinsi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Pertumbuhan Ekonomi 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003. PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua
Total PDRB 1998 (triliyun rupiah) 10,38 22,33 7,46 19,64 3,09 11,51 1,73 1,63 6,70 57,38 42,31 16,54 38,07 4,78 54,40 6,88 3,99 5,89 20,51 2,81 0,89 2,23 9,37 1,55 7,25 3,26 2,76 2,05 0,85 8,46
Total PDRB 2003 (trilitun rupiah) 9,59 27,07 8,89 24,65 3,87 13,35 2,17 1,99 8,26 67,16 63,18 18,69 45,61 5,62 62,25 7,78 4,55 7,26 25,21 3,67 1,10 2,81 11,69 2,02 8,31 5,10 3,48 1,36 0,92 9,18
Pertumbuhan (%) -7,69 21,22 19,15 25,49 25,26 15,99 25,59 21,98 23,32 17,05 49,33 13,01 19,81 17,55 14,44 13,12 14,00 23,18 22,90 30,71 24,16 26,22 24,82 30,16 14,67 56,58 26,17 -33,66 8,03 8,56
Sumber: BPS, PDRB Propinsi-Propinsi di Indonesia, Tahun 1998 dan 2003, diolah.
43
Persentase pertumbuhan propinsi-propinsi di Indonesia yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 tidak merata pada seluruh propinsi. Propinsi-propinsi yang persentase pertumbuhan PDRB-nya melebihi pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 1998 dan 2003 adalah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Persentase pertumbuhan terbesar terjadi pada Propinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 56,58 persen. Propinsi-propinsi yang persentase pertumbuhan PDRBnya lebih kecil daripada pertumbuhan PDB nasional pada tahun 1998 dan 2003 adalah Propinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bali, Maluku Utara dan Papua. Persentase pertumbuhan ekonomi terkecil terjadi di Propinsi Maluku Utara yaitu sekitar 8 persen. Propinsi yang pertumbuhan ekonominya negatif adalah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Propinsi Maluku dengan perubahan masing-masing sekitar -8 dan -34 persen. Propinsi-propinsi di Indonesia sejak tahun 2000 dan diberlakukannya Otonomi Daerah telah mengalami pemekaran menjadi 30 propinsi. Propinsipropinsi hasil dari pemekaran Propinsi tersebut adalah Propinsi Bangka Belitung yang dimekarkan dari propinsi Sumatera Selatan, Propinsi Banten yang dimekarkan dari Propinsi Jawa Barat, Propinsi Gorontalo yang dimekarkan dari Propinsi Sulawesi Utara dan Propinsi Maluku Utara yang dimekarkan dari
44
Propinsi Maluku. Berdasarkan hasil persentase perubahan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi berdasarkan PDRBnya, maka dua dari empat propinsi yang dimekarkan termasuk dalam propinsi yang pertumbuhannya lebih besar dari pertumbuhan PDB nasional. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa propinsipropinsi tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pendapatan bagi propinsinya masing-masing sebagai upaya mensukseskan Otonomi Daerah.
4.2.
Analisis Laju Pertumbuhan Sektor Ekonomi 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 dan 2003. Analisis laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dilakukan dengan
membandingkan nilai perubahan PDRB pada sektor tertentu di suatu wilayah terhadap nilai PDRB wilayah yang sama pada tahun dasar analisis. Masingmasing jenis lapangan usaha atau sektor-sektor ekonomi pokok yang menjadi alat ukur analisis dinyatakan dengan angka 1 sampai 9. Secara berturut-turut sektorsektor ekonomi tersebut adalah: (1) sektor pertanian, (2) sektor pertambangan dan galian, (3) sektor industri pengolahan, (4) sektor listrik, gas dan air bersih, (5) sektor bangunan, (6) sektor perdagangan, hotel dan restoran, (7) sektor pengangkutan dan komunikasi, (8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, (9) dan sektor jasa-jasa. Pertumbuhan terjadi di semua sektor ekonomi pada tiap-tiap propinsi. Pertumbuhan yang terjadi tidak hanya pertumbuhan positif, tapi juga terdapat pertumbuhan yang negatif. Perubahan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi 30 propinsi ditunjukkan pada Tabel 4.3.
45
Tabel 4.3. Persentase Pertumbuhan Sektor Ekonomi 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 dan 2003. PROPINSI
1
NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah
8,84 19,07 28,18 40,86 31,49 14,78 45,38 28,65 21,12 1,52 21,31 10,35
Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua
Persentase Pertumbuhan Tiap Sektor Ekonomi (%) 3 4 5 6 7 -21,29 35,63 9,09 -6,76 7,86 25,88 18,25 18,33 34,79 24,53 20,02 37,53 -7,99 17,60 82,77 8,59 19,87 21,85 18,72 43,32 32,33 43,66 30,70 41,76 59,57 12,02 50,75 24,25 19,14 23,83 3,42 22,80 10,53 28,51 22,02 25,50 21,65 8,97 42,42 33,08 29,68 33,09 33,55 27,21 47,42 18,73 24,34 12,59 194,42 -0,80 58,71 17,94 16,79 48,25 0,00 17,39 31,53 7,27 21,29 27,87 3,84 95,04 89,90 17,05 24,87 60,03 20,67 13,86 22,05 11,55 21,75 18,90 2
8
9
680,10 17,05 9,93 -24,00 28,57 -0,56 15,20 23,79 68,63 10,40 72,93 49,54
8,27 23,55 15,31 24,67 14,22 10,42 18,02 12,67 13,58 21,13 28,47 15,72
12,89
28,85
19,63
40,92
26,50
25,42
40,92
14,67
8,56
4,90 8,23 12,36 28,60
2,22 139,70 13,57 -77,20
36,40 58,07 40,37 58,84
35,18 -7,24 21,12 -2,27
24,01 30,91 10,47 16,57
33,61 36,55 11,43 -3,17
20,19 10,96 14,69 10,56
12,73 -2,46 15,23 28,22
32,91 32,16
54,15 29,66
9,30 4,39 11,99 -1,59 11,78 15,00
40,53 62,50
29,66 42,72
18,44 16,90
36,32 24,52
7,15 5,48
23,37 24,77
25,83 48,32 41,30 8,35
7,68 2,98 7,44 51,35
35,26 8,97 14,95 24,28
23,52 53,89 35,15 29,08
30,85 25,11 17,32 19,80
55,45 9,50 19,31 37,70
32,53 18,76 14,45 46,64
147,73 77,16 12,54 54,59
16,52 18,82 15,25 25,48
18,68 10,95 8,30 13,75
77,37 10,05 1463,22 10,89
72,97 49,84 30,54 27,27
34,22 16,32 24,24 8,69
35,98 10,41 22,83 29,57
65,58 17,58 30,30 28,22
57,16 21,70 9,10 8,22
17,48 17,53 5,37 57,07
-28,37
-80,73
10,34 18,74 31,64 18,86 81,09
-45,79
-91,18
-12,04
-9,00
-28,03
16,20
9,19 34,26
3,41 -1,65
2,85 13,31
27,96 57,18
16,71 19,05
7,86 46,16
13,85 76,38
10,80 -64,54
10,40 36,32
Sumber: BPS, PDRB Propinsi-Propinsi di Indonesia, Tahun 1998 dan 2003, diolah.
Laju pertumbuhan sektor pertanian didominasi oleh Propinsi Gorontalo sekitar 48 persen dengan nilai PDRB terbesar adalah dari sub sektor tanaman bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan sektor pertanian terkecil terdapat
46
pada Propinsi Maluku sekitar 28 persen yang disebabkan adanya penurunan PDRB pada sub sektor perikanan. Sektor pertambangan dan Galian dengan laju pertumbuhan terbesar terdapat pada Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan nilai sebesar 1463 persen. Hal ini dikarenakan pada tahun 1998 tidak ada kontribusi dari sub sektor pertambangan tanpa migas, sedangkan pada tahun 2003, terjadi peningkatan PDRB yang berasal dari sub sektor pertambangan tanpa migas sebesar Rp 1.33 triliyun (BPS, 1998 dan 2003). Laju pertumbuhan terkecil terdapat pada Propinsi Maluku sebesar -81 persen akibat penurunan PDRB pada sub sektor pertambangan tanpa migas. Hal ini disebabkan akibat adanya pemekaran Propinsi Maluku terhadap Propinsi Maluku Utara maka pendapatan yang berasal dari pertambangan tanpa migas beralih ke Propinsi Maluku Utara. Propinsi DKI Jakarta merupakan propinsi yang tidak pernah mengalami pertumbuhan di sektor pertambangan dan galian. Hal ini dikarenakan pada Propinsi DKI Jakarta tidak terdapat sumber-sumber ekonomi dari sektor pertambangan dan galian sehingga selalu bernilai nol persen. Sektor industri pengolahan dengan laju pertumbuhan terbesar sekitar 95 persen terdapat di Propinsi Jawa Barat pada sub sektor pengilangan minyak bumi dan industri tanpa migas, persentase yang terkecil adalah Propinsi Maluku sekitar -81 persen karena PDRB-nya hanya dihasilkan oleh industri tanpa migas. Sektor listrik, gas dan air bersih dengan laju pertumbuhan terbesar berada di Propinsi Jawa Barat sekitar 90 persen dan terkecil sekitar -46 persen terdapat pada Propinsi Maluku. Sektor bangunan dengan laju pertumbuhan terbesar berada pada Propinsi Riau sekitar 44 persen dan terkecil sebesar -91 persen di Propinsi Maluku.
47
Persentase sektor perdagangan, hotel dan restoran terbesar berada pada Propinsi Sulawesi Utara sekitar 55 persen yang perolehan paling besar berada pada sub sektor perdagangan besar dan eceran, dan persentase terkecil sekitar -12 persen berada pada Propinsi Maluku. Laju pertumbuhan sektor Pengangkutan dan Komunikasi terbesar terdapat pada Propinsi Papua sekitar 76 persen dan terkecil pada Propinsi Maluku sekitar 9 persen. Sektor yang banyak mengalami perubahan adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Laju pertumbuhan terbesar terdapat pada Propinsi Sulawesi Utara sekitar 148 persen. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan sub sektor keuangan bank sekitar Rp 30,75 milyar pada tahun 2003 (BPS, 2003). Laju pertumbuhan terkecil pada sektor ini berada pada Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sekitar -680 persen. Penurunan terbesar ini terjadi karena disebabkan oleh penurunan sektor keuangan yang berasal dari Bank sebesar Rp -172,59 milyar pada tahun 1998 (BPS,1998). Sektor jasa yang paling besar laju pertumbuhannya berada pada Propinsi Nusa Tenggara Timur sekitar 57 persen, sedangkan laju pertumbuhan terkecil berada pada Propinsi Jawa Timur dengan nilai sekitar -2,4 persen. Berdasarkan persentase PDRB tersebut maka sangat jelas terlihat bahwa Propinsi Maluku merupakan Propinsi yang memiliki persentase pertumbuhan paling kecil. Sektor-sektor pada Propinsi Maluku banyak yang mengalami penurunan PDRB. Penurunan ini terjadi akibat adanya pergeseran jumlah PDRB pada Propinsi Maluku ke Propinsi Maluku Utara karena adanya pemekaran wilayah.
48
4.3.
Analisis Rasio PDB Nasional dan PDRB 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 dan 2003. Perekonomian Indonesia pada umumnya mengalami pertumbuhan.
Kontribusi sektor-sektor perekonomian di 30 propinsi di Indonesia mengalami fluktuasi yang pada akhirnya memberikan pengaruh peningkatn PDB nasional pada tahun 1998 dan 2003. Jika setiap PDRB 30 propinsi di Indonesia dan PDB nasional diperbandingkan antara tahun 1998 dengan tahun 2003, maka tiap sektor ekonomi akan memiliki rasio yang berbeda-beda. Rasio sektor perekonomian di 30 Propinsi dan nasional disajikan dalam bentuk Ra, Ri dan ri. Nilai Ra didasarkan pada perhitungan selisih antara total PDB nasional tahun 2003 dengan PDB nasional tahun 1998 dibagi dengan PDB nasional tahun 1998. Hasilnya, nilai Ra yang di dapat tiap sektor di seluruh propinsi di Indonesia memiliki nilai yang sama besar. Pada tahun 1998 dan 2003 sebagai tahun dasar dan tahun akhir analisis, nilai Ra adalah sebesar 0.21 (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa pada masa reformasi atau proses pemulihan ekonomi, pertumbuhan ekonomi nasional meningkat sebesar 0.21 juta rupiah. Nilai Ri dihitung berdasarkan selisih antar total PDB nasional sektor i pada tahun 2003 dengan total PDB nasional sektor i pada tahun 1998 dibagi dengan PDB nasional sektor i pada tahun 1998. Akibatnya, nilai Ri pada sektor i di seluruh propinsi di Indonesia memiliki nilai yang sama besar. Nilai Ri di seluruh sektor perekonomian di seluruh propinsi di Indonesia mempunyai nilai yang positif. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan kontribusi masingmasing sektor perekonomian secara nasional. Nilai Ri terbesar terdapat pada
49
sektor listrik, gas dan air bersih, yaitu sebesar 0.50 juta rupiah, sedangkan nilai Ri terkecil adalah pada sektor bangunan, yaitu sebesar 0.13 juta rupiah (Lampiran 3). Perhitungan nilai ri berbeda dengan perhitungan dalam mencari nilai Ra atau Ri. Adapun perhitungan nilai ri didasarkan pada selisih antara PDRB sektor i di masing-masing propinsi tahun 2003 dengan PDRB sektor i di masing-masing propinsi tahun 1998 dibagi dengan PDRB sektor i di masing-masing propinsi tahun 1998. Pada proses pemulihan ekonomi ini, kontribusi sektor yang mangalami penurunan lebih banyak terjadi pada sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Masing-masing nilai ri pada 30 propinsi yang dianalisis dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.4.
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah di 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 dan 2003. Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dipengaruhi oleh tiga komponen
pertumbuhan wilayah. Ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut adalah pertumbuhan nasional (PN), pertumbuhan proporsional (PP) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Tiap-tiap komponen wilayah ini memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap hasil akhir analisis. Pengaruh pertumbuhan nasional (PN) menjelaskan seberapa besar PDRB propinsi di Indonesia meningkat bila jumlah PDRB propinsi per sektor dan jumlah PDB nasional persektor bertambah dengan laju yang sama dengan laju pertumbuhan nasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase komponen
50
PN sama dengan persentase laju pertumbuhan nasional, yaitu sebesar 21.00 persen (Tabel 4.1). Tahun 1998-2003 merupakan masa-masa transisi pemerintah untuk melakukan proses pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi pada pertengahan 1997. Proses pemulihan ini dimulai dengan adanya reformasi dan menghasilkan hasil yang memuaskan karena mampu meningkatkan PDB nasional secara keseluruhan. Pertumbuhan nasional jika ditinjau secara keseluruhan, maka pertumbuhan nasional pada tahun 1998-2003 telah mempengaruhi peningkatan laju pertumbuhan PDB nasional sekitar Rp 80 triliyun yang sama dengan 21.00 persen (lampiran 5). Jika dilihat secara sektoral, peningkatan kontribusi terbesar adalah pada sektor industri pengolahan yaitu sekitar Rp 19 triliyun (lampiran 5). Hal ini mengindikasikan bahwa sektor industri pengolahan sangat berpengaruh terhadap perubahan kebijakan nasional, yang berarti bahwa apabila terjadi perubahan kebijakan nasional, maka kontribusi sektor industri pengolahan beserta sub sektornya akan mengalami perubahan juga. Sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang mengalami peningkatan kontribusi terkecil yaitu sekitar Rp 1,25 triliyun (lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa sektor listrik, gas dan air bersih tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan kebijakan nasional. Pengaruh ini juga menunjukkan bahwa sektor listrik, gas dan air bersih tidak berpengaruh signifikan terhadap proses pemulihan ekonomi di Indonesia pasca krisis ekonomi. Jika terjadi perubahan kebijakan nasional, maka kontribusi sektor listrik, gas dan air bersih tidak berpengaruh secara signifikan.
51
Pengaruh kedua pada komponen pertumbuhan dilihat dari pertumbuhan proporsional (PP). Komponen pertumbuhan proporsional ini menjelaskan mengenai perbedaan kenaikan PDB nasional dan kenaikan PDB sektor perekonomian secara nasional. Secara nasional, sektor listrik, gas dan air bersih memiliki persentase PP yang terbesar, yaitu sekitar 29 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor listrik, gas dan air bersih mempunyai keunggulan produk akhir seperti layanan listrik (PLN), pelayanan gas (ELPIJI) dan pelayanan air bersih (PAM). Sektor yang mempunyai persentase terkecil PPnya adalah sektor bangunan yaitu sebesar -8 persen. Hal ini dapat terjadi akibat banyaknya proyek konstruksi pemerintah maupun swasta yang tertunda sehingga menurunkan daya beli masyarakat (lampiran 6). Berdasarkan
kontribusi
tiap
sektor
pada
pengaruh
pertumbuhan
proporsional, maka sektor industri pengolahan (3 persen), sektor listrik, gas dan air bersih (29 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (3 persen) dan sektor pengangkutan dan komunikasi (11 persen) mengalami peningkatan kontribusi terhadap PDRB 30 propinsi di Indonesia. Keempat sektor tersebut dapat dikatakan memiliki pertumbuhan yang cepat di Indonesia karena memiliki nilai PP > 0. Sektor ekonomi lainnya yang mempunyai kontribusi yang kecil adalah sektor bangunan (-8 persen), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (-7 persen), sektor jasa (-5 persen), sektor pertanian (-4 persen) dan sektor pertambangan dan galian (-1 persen). Berdasarkan hal tersebut, maka kelima
52
sektor tersebut dapat dikatakan mempunyai pertumbuhan yang lamban karena memiliki nilai PP < 0. Tabel 4.4. berikut ini akan memaparkan kontribusi nilai pertumbuhan proporsional secara nasional. Tabel 4.4. Kontribusi Pertumbuhan Proporsional Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1998 dan 2003. Sektor Pertanian Pertambangan dan Galian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Jasa-jasa
PP (triliyun rupiah) -253,63 -33,944 271,457 172,768 -146,99 206,8 316,28 -198,44 -179,26
PP (Persen) -4,00 -1,00 3,00 29,00 -7,00 3,00 11,00 -7,00 -5,00
Sumber: BPS, PDRB Propinsi-Propinsi di Indonesia, Tahun 1998 dan Tahun 2003, diolah.
Pengaruh daya saing sebagai komponen ketiga dari perubahan PDRB 30 propinsi di Indonesia menyebabkan secara keseluruhan PDRB 30 propinsi di Indonesia tidak sama. Daya saing tiap propinsi dan sektor dipengaruhi oleh pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) yang diperoleh dari selisih rasio sektorsektor ekonomi propinsi dengan rasio ekonomi tiap sektor secara nasional dikali dengan PDRB masing-masing propinsi per sektor pada tahun dasar. Pertumbuhan komponen PPW akan disajikan pada Tabel 4.5.
531
Tabel 4.5. Nilai Pertumbuhan Pangsa Wilayah Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 1998-2003. PPW1 PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogya Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulut Gorontalo Sul. Tengah
PPW2
PPW3
PPW4
PPW5 PPW6 (triliyun rupiah) -0,09 -0,11 0,11 -0,15 -0,01 -0,05 0,14 0,10 0,01 -0,03 0,10 -0,04 0,02 0,01 0,00 0,00 0,02 -0,08
-0,20 0,14 0,18 0,36 0,12 -0,05 0,11 0,06 0,10
-0,99 -0,01 -0,14 -0,13 0,10 -0,33 0,00 0,01 0,17
-1,75 -0,28 -0,08 0,68 -0,07 -0,03 -0,06 0,00 -0,27
-0,01 -0,05 0,05 -0,02 0,00 -0,04 0,00 0,00 0,00
-0,02 0,28 -0,10
0,00 -0,47 0,00
-0,80 8,93 -0,85
-0,20 0,45 -0,20
-0,38 0,08 -0,01
-0,33 -0,10 -0,86 -0,08
0,05 -0,01 0,60 -0,01
-0,51 -0,10 -2,96 -0,16
-0,04 0,00 0,10 -0,01
0,18
-0,14
-0,09
0,20 0,23 0,07 0,07 0,22
0,29 0,62 -0,02 -0,01 -0,01
-0,43 -0,60 0,03 -0,01 -0,02
PPW7
PPW8
PPW9
PPWTotal
-0,05 0,10 -0,09 0,06 -0,03 -0,04 0,00 -0,05 0,09
0,25 0,05 -0,02 -0,33 0,02 -0,08 0,00 0,01 0,18
-0,05 0,12 -0,01 0,05 -0,01 -0,05 0,00 -0,01 -0,02
-3,00 0,03 -0,17 0,93 0,13 -0,56 0,09 0,02 0,21
-0,36 0,08 -0,06
-0,22 0,61 -0,17
-0,49 1,03 -0,44
0,27 0,60 0,00
-2,20 11,58 -1,83
0,20 0,08 -0,59 0,03
0,12 0,00 0,79 -0,18
0,16 0,01 0,18 -0,15
0,01 0,03 -0,10 0,00
-0,30 -0,03 -1,13 -0,01
-0,64 -0,12 -3,98 -0,54
0,00
-0,03
-0,05
-0,17
0,00
0,05
-0,26
-0,01 0,01 -0,01 0,00 0,00
0,04 0,17 0,05 0,01 0,01
-0,05 -0,13 0,10 -0,02 -0,01
0,03 -0,16 0,00 -0,01 -0,04
-0,02 -0,06 0,06 0,03 0,00
0,04 0,04 0,00 0,00 0,00
0,09 0,11 0,28 0,06 0,15
542
Sul. Selatan Su Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua
-0,30 0,01 -0,09 -0,10 -0,03 -0,28
0,11 0,03 -0,01 1,34 0,00 -0,06
0,00 -0,02 -0,03 0,01 0,00 -0,36
-0,03 0,00 0,00 0,00 -0,01 -0,01
0,03 0,03 0,01 0,03 -0,01 -0,15
0,22 0,02 -0,31 -0,01 0,02 -0,13
0,10 0,05 -0,13 -0,01 -0,01 -0,06
0,18 0,03 0,04 0,00 -0,01 -0,06
0,10 0,00 0,02 -0,06 0,24 0,00
0,42 0,16 -0,50 1,19 0,18 -1,10
-0,02 0,22
-0,01 -1,13
-0,04 -0,03
0,00 0,00
0,00 0,02
-0,03 0,07
-0,01 0,12
0,00 -0,28
0,00 0,08
-0,11 -0,93
Sumber: BPS, PDRB Propinsi-Propinsi di Indonesia, Tahun 1998 dan Tahun 2003, diolah.
Keterangan: 1 = sektor pertanian 2 = sektor pertambangan dan galian 3 = sektor industri pengolahan 4 = sektor lisgasir 5 = sektor bangunan 6 = sektor perdagangan, hotel dan restoran 7 = sektor pengangkutan dan komunikasi 8 = sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 = sektor jasa-jasa
55
Berdasarkan Tabel 4.5. maka propinsi dengan nilai terbesar dan mampu berdaya saing pada sektor pertanian adalah Propinsi Riau, sedangkan propinsi dengan nilai terkecil dan tidak mampu berdaya saing dengan baik pada sektor pertanian adalah Propinsi Jawa Timur. Sektor pertambangan dan galian dengan daya saing yang baik terbesar terdapat pada Propinsi Nusa Tenggara Barat dan propinsi yang tidak mampu bersaing dengan baik terbesar pada sektor ini adalah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Sektor industri pengolahan mampu berdaya saing dengan baik terbesar di Propinsi Jawa Barat, sedangkan propinsi yang paling tidak mampu berdaya saing dengan baik pada sektor ini adalah Propinsi Jawa Timur. Propinsi yang mampu berdaya saing terbesar pada sektor listrik, gas dan air bersih adalah Propinsi Jawa Barat dan propinsi yang paling tidak mampu berdaya saing pada sektor ini adalah Propinsi DKI Jakarta. Sektor yang mengalami pertumbuhan paling kecil adalah sektor bangunan. Namun sektor ini mempunyai daya saing yang baik karena hanya terdapat 8 propinsi yang tidak mampu berdaya saing pada sektor ini yaitu Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Propinsi dengan daya saing paling baik adalah Propinsi Jawa Tengah dan propinsi yang paling tidak mampu berdaya saing pada sektor bangunan ini adalah Propinsi Jawa Timur. Propinsi yang mempunyai daya saing paling baik pada sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah Propinsi Jawa Timur, sedangkan propinsi yang paling tidak mampu untuk berdaya saing pada sektor ini adalah Propinsi
56
DKI Jakarta. Sektor pengangkutan dan komunikasi paling mampu berdaya saing pada Propinsi Jawa Barat, sedangkan propinsi yang paling tidak mampu bersaing pada sektor ini adalah Propinsi DKI Jakarta. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling banyak mengalami perubahan akibat krisis. Propinsi yang palin mampu untuk bersaing pada sektor ini adalah Propinsi Jawa Barat, sedangkan propinsi yang paling tidak mampu berdaya saing pada sektor ini adalah Propinsi DKI Jakarta. Sektor jasa mampu berdaya saing paling baik pada Propinsi Jawa Barat dan Propinsi yang paling tidak mampu bersaing pada sektor ini adalah Propinsi Jawa Timur. Secara keseluruhan terdapat 16 Propinsi yang mampu berdaya saing dengan baik (PPW > 0), yaitu Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kep. Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB dan NTT. Propinsi yang tidak mempunyai daya saing dengan baik (PPW < 0) adalah Propinsi NAD, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarya, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bali, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
4.5.
Analisis Pergeseran Bersih 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 dan 2003. Pergeseran bersih diperoleh dari penjumlahan pertumbuhan proporsional
(PP) dengan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Pada tahun 1998 dan 2003
57
terdapat propinsi dengan nilai pergeseran bersih yang positif dan negatif. Nilai pergeseran bersih 30 propinsi ditunjukkan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Pergeseran Bersih 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 dan 2003. Propinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
PB -2.98 0.05 -0.14 0.88 0.13 -0.58 0.08 0.02 0.16 -2.27 11.99 -1.32 -0.45 -0.16 -3.57
Propinsi Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua
PB -0.54 -0.28 0.13 0.39 0.27 0.05 0.12 0.36 0.14 -0.46 1.16 0.14 -1.12 -0.11 -1.05
Sumber: BPS, PDRB 30 Propinsi di Indonesia, Tahun 1998 dan 2003, diolah.
Berdasarkan Tabel 4.6 maka dapat dilihat bahwa terdapat 14 propinsi yang memiliki nilai pergeseran bersih yang negatif. Propinsi-propinsi tersebut adalah Propinsi NAD, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bali, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa propinsipropinsi tersebut mempunyai pertumbuhan yang lamban. Propinsi-propinsi yang memiliki nilai Pergeseran Bersih positif atau sama dengan propinsi yang mempunyai nilai PB > 0 adalah propinsi-propinsi yang tidak disebutkan diatas. Propinsi-propinsi tersebut adalah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kep. Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat,
58
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB dan NTT. Pergeseran bersih yang bernilai positif pada propinsi-propinsi tersebut mengklasifikasikan bahwa propinsi-propinsi tersebut termasuk dalam kelompok propinsi yang cepat.
4.6.
Profil Pertumbuhan Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 dan 2003. Profil pertumbuhan perekonomian 30 propinsi di Indonesia digunakan
untuk mengevaluasi pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi yang ada di Indonesia. Profil pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi ini diperoleh dengan cara mengekspresikan persen perubahan PP.j dan PPW.j. persentase PP diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis dan persentase PPW diletakkan pada sumbu vertikal sebagai ordinat. Kuadran I menunjukkan bahwa propinsi-propinsi yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saingnya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan propinsi-propinsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa propinsi yang bersangkutan merupakan propinsi progresif (maju). Propinsi-propinsi yang berada pada kuadran ini adalah Propinsi Kalimantan Timur, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Jambi dan Sumatera Utara dimana Propinsi Jawa Barat sebagai propinsi yang paling progresif (maju). Kuadran II menunjukkan bahwa propinsi-propinsi yang ada di wilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing propinsi pada kuadran ini dibandingkan dengan propinsi lainnya tidak baik. Propinsi-propinsi yang berada pada kuadran II adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa
59
Tenggara Timur, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Riau, Lampung dan Kepulauan Bangka Belitung. Kuadran III menunjukkan bahwa propinsi-propinsi yang ada di wilayah tersebut pertumbuhannya lamban dan daya saingnya kurang baik jika dibandingkan dengan propinsi lain. Hal ini menunjukkan bahwa propinsi tersebut merupakan propinsi yang paling lamban pertumbuhannya. Propinsi yang menempati posisi pada kuadran ini adalah Propinsi Papua, Maluku, Kalimantan Tengah, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan DI Yogyakarta. Kuadran IV menunjukkan bahwa propinsi-propinsi pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing propinsipropinsi pada wilayah tersebut baik jika dibandingkan dengan propinsi lainnya. Propinsi yang berada pada kuadran ini adalah Propinsi Banten, Nangroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Barat dan Maluku Utara. Garis 450 yang memotong pada kuadran II dan kuadran IV merupakan garis pemisah yang membatasi wilayah bagian atas dan wilayah bagian bawah. Garis miring ini menunjukkan bahwa propinsi yang berada di bagian atas garis tersebut merupakan propinsi yang progresif (maju), sedangkan propinsi di bagian bawah garis tersebut merupakan propinsi yang lambat tingkat pertumbuhannya. Propinsi-propinsi yang termasuk dalam kelompok propinsi yang progresif karena berada di atas garis miring adalah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Banten, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
60
Jambi, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara. Propinsi-propinsi yang tidak termasuk dalam kelompok propinsi yang progresif atau mempunyai pertumbuhan yang lamban karena berada di bawah garis miring adalah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Papua, Lampung, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo. Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui profil pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa propinsi-propinsi baru hasil dari pemekaran propinsi asalnya mengalami pergeseran pertumbuhan. Propinsi-propinsi hasil pemekaran berada pada kuadran II dan IV. Propinsi yang berada di kuadran II adalah Propinsi Banten dan Propinsi Maluku Utara yang meskipun mempunyai pertumbuhan yang cepat namun daya saing propinsinya masih kurang baik. Propinsi Gorontalo dan Kepulauan Bangka Belitung berada pada kuadran IV dengan pertumbuhan lamban namun mempunyai daya saing yang baik. Berdasarkan penjelasan profil diatas, maka dapat diketahui Propinsipropinsi mana saja yang termasuk dalam propinsi maju dan lamban pertumbuhannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan propinsi ini berbeda-beda sehingga keberadaannya sebagai propinsi yang maju atau tidak berdasarkan Gambar 4.1 di bawah ini salah satunya adalah berdasarkan tingkat PDRB pada masing-masing propinsi pasca reformasi.
61
Gambar 4.1. Profil Pertumbuhan Perekonomian 30 propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003 Profil Pertumbuhan Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003 50.00
40.00
NTB
30.00
Jabar
20.00
Sultra
Sulut 10.00 Gorontalo Sulsel Lampung
NTTSulteng
PP
Kep. Babel Riau
Jambi Bengkulu
0.00
-2.00
-1.00
DIY
Kalsel
Sumut
Kalteng
Kaltim
Jateng Sumbar
0.00 DKI Jakarta Sumsel
Bali
Kalbar
1.00
2.00
Jatim
Maluku Utara
-20.00
-30.00
-40.00
-50.00
Maluku
-60.00
PPW
4.00 Banten
-10.00
Papua
3.00
NAD
450
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan analisis Shift Share yang telah dilakukan, maka analisis
pertumbuhan sector-sektor perekonomian Propinsi-propinsi di Indonesia tahun 1998-2003 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1998 dan 2003 mengalami pertumbuhan positif. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi 30 propinsi di Indonesia maka terdapat 16 propinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sedikitnya 14 propinsi mengalami pertumbuhan yang lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi nasional dimana 2 propinsi diantaranya mempunyai pertumbuhan yang negatif. 2. Sektor-sektor ekonomi 30 propinsi di Indonesia pada tahun 1998 dan 2003 dengan kontribusi pertumbuhan terbesar adalah sektor Lisgasir dan kontribusi pertumbuhan terkecil adalah sektor bangunan. Kontribusi sektor lisgasir terbesar berada pada Propinsi Jawa Barat dan kontribusi terkecil berada pada Propinsi Maluku. Kontribusi sektor bangunan terbesar berada pada Propinsi Riau dan kontribusi terkecil terdapat pada Propinsi Maluku. Nilai PN menunjukkan bahwa propinsi DKI Jakarta adalah propinsi yang mampu mempengaruhi kebijakan pertumbuhan sektoral, sedangkan Propinsi Maluku Utara merupakan propinsi yang kurang mampu mempengaruhi kebijakan pertumbuhan sektoral.
63
Nilai PP menunjukkan bahwa Propinsi Banten merupakan propinsi yang mempunyai pertumbuhan ekonomi sektoral tercepat dan propinsi Papua merupakan propinsi dengan pertumbuhan ekonomi sektoral terlamban. Nilai PPW menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi yang mampu berdaya saing dengan baik, sedangkan Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi yang tidak mampu berdaya saing dengan baik. Nilai Pergeseran Bersih menunjukkan bahwa terdapat 16 propinsi yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang progresif dan 14 propinsi lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lamban. Pertumbuhan wilayah yang terjadi di 30 propinsi menunjukkan bahwa secara sektoral, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terbesar sehingga mampu mempengaruhi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah khususnya di Propinsi Jawa Timur, sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih pada Propinsi Maluku Utara merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terkecil. Sektor Listrik, gas dan air bersih pada Propinsi Jawa Timur merupakan merupakan sektor dengan pertumbuhan yang cepat sdangkan sektor bangunan di Propinsi DKI Jakarta merupakan sektor dengan pertumbuhan ekonomi yang lamban. Sektor pertanian di Propinsi Riau merupakan sektor yang paling mampu berdaya saing sedangkan sektor industri pengolahan di Propinsi Jawa Timur merupakan sektor yang mempunyai daya saing kurang baik. Profil pertumbuhan perekonomian menunjukkan bahwa propinsi yang mempunyai daya saing paling baik dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi
64
paling cepat adalah Propinsi Jawa Barat, sedangkan Propinsi Maluku merupakan propinsi yang mempunyai pertumbuhan paling lamban dengan daya saing sektor yang kurang baik.
5.2.
Saran
1. Propinsi-propinsi sebagai penyumbang terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional baik yang mempunyai pertumbuhan sektor-sektor ekonomi cepat maupun lamban harus mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Adapun yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain adalah dengan memperbaiki infrastruktur, melengkapi kebutuhan sarana dan prasarana, memanfaatkan sumber daya alam secara optimal, menggunakan asset daerah secara efektif dan efisien, memanfaatkan teknologi dan lain-lain dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia dan pertumbuhan ekonomi. 2. Hasil analisis menunjukkan bahwa propinsi-propinsi yang berada pada kuadran I dimana masing-masing propinsi berarti mempunyai pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing dengan baik didominasi oleh propinsipropinsi yang ada di luar Pulau Jawa. Propinsi DKI Jakarta yang merupakan pusat perekonomian Indonesia berada pada kuadran III yang berarti pertumbuhannya lambat dan tidak mampu berdaya saing dengan baik. Oleh sebab itu, diharapkan pelaksanaan pembangunan yang terjadi harus mengalami pemerataan terutama dalam bentuk fasilitas infrastruktur sehingga tidak hanya terpusat di DKI Jakarta.
65
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 1998. ”Indonesia Dalam Angka”. BPS. Jakarta _________________. 2001. ”Produk Domestik Regional Bruto Propinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 1997-2000”. BPS. Jakarta. _________________. 2005. ” Produk Domestik Regional Bruto Propinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2000-2003”. BPS. Jakarta. Bahri, S. 2005. Identifikasi Sektor-sektor Sumber Pertumbuhan Perekonomian Kota Bekasi. [skripsi]. FEM IPB. Bogor. Budiharsono, S. 2001. ”Teknik Analisis: Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan”. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Djojohadikusumo, S. 1993. ”Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan”. LP3ES. Jakarta. Deliarnov. 2003. ”Pengembangan Pemikiran Ekonomi”. Edisi Revisi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Glasson, J. 1977. ”Pengantar Perencanaan Regional”. Paul Sihotang (Penerjemah). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Irawan dan Suparmoko. 1999. ”Ekonomika Pembangunan”. Edisi ke-5. BPFE. Yogyakarta. Mankiw, N. 2000. ”Teori Makroekonomi”. Imam Nurmawan (penerjemah). Penerbit Erlangga. Jakarta. Putra, A. 2004. Analisis pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Jambi Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah. [skripsi]. FEM IPB. Bogor. Restuningsih. 2004. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Propinsi DKI Jakarta Pada Masa Krisis Ekonomi Tahun 1997-2002. [skripsi]. FEM IPB. Bogor. Rusli, S. 1996. ”Pengantar Ilmu Kependudukan”. LP3ES. Jakarta. Setiawan, D. 2004. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1993-2002. [skripsi]. FEM IPB. Bogor.
66
Soepono, P. 1993. ”Analisis Shift Share: Perkembangan dan Penerapannya”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol 14: 23-30. BPFE. Yogyakarta. Tarigan, R. 2005. ”Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi”. Edisi Revisi. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Wijaya, A. 2001. ”Kajian Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Indonesia”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (PEP-LIPI). Jakarta.
67
LAMPIRAN
68
Lampiran 1. PDRB 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 1998 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993. PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua TOTAL
1 2,47 6,90 1,59 1,53 0,83 2,41 0,37 0,51 2,40 0,10 6,44 1,57 7,94 0,87 9,84 1,65 1,52 1,24 1,53 0,78 0,23 0,91 3,44 0,52 1,45 1,18 1,06 0,62 0,24 1,26 63,41
1998 (triliyun rupiah) 3 2,39 2,93 0,31 4,99 0,50 1,18 10,38 3,53 0,25 0,56 2,01 2,28 0,25 0,42 0,05 0,08 0,10 1,09 0,00 12,07 2,89 12,58 0,02 8,34 0,55 11,71 0,06 0,66 0,50 15,10 0,10 1,29 0,15 0,35 0,84 1,19 6,41 6,68 0,19 0,25 0,04 0,10 0,06 0,17 0,35 1,17 0,05 0,13 0,05 0,61 0,09 0,16 0,04 0,07 0,06 0,34 0,05 0,17 5,21 0,28 33,94 90,49
2
4
5 0,03 0,34 0,15 0,09 0,03 0,10 0,02 0,02 0,06 1,10 1,12 0,70 0,41 0,03 1,18 0,06 0,01 0,08 0,07 0,02 0,01 0,02 0,13 0,01 0,09 0,02 0,03 0,01 0,01 0,02 5,96
0,45 0,95 0,31 0,46 0,12 0,63 0,12 0,05 0,51 6,59 1,86 0,40 1,45 0,37 2,92 0,43 0,22 0,26 0,56 0,30 0,07 0,15 0,45 0,13 0,33 0,25 0,18 0,14 0,01 0,34 21,00
69
Lanjutan Lampiran 1.
PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua TOTAL
6 0,69 3,86 1,24 1,56 0,54 2,15 0,25 0,27 1,05 13,47 8,69 2,87 8,75
1998 (triliyun rupiah) 7 8 0,83 -0,04 1,81 1,54 0,89 0,39 0,61 0,86 0,32 0,13 0,59 0,52 0,07 0,10 0,27 0,09 0,54 0,33 5,29 13,52 2,18 1,75 1,31 0,44 1,77 1,50
9 0,64 1,64 1,22 0,62 0,32 0,82 0,13 0,31 0,62 5,24 4,78 0,90 4,00
TOTAL 10,38 22,33 7,46 19,64 3,09 11,51 1,73 1,63 6,70 57,38 42,31 16,54 38,07
0,74 11,37 1,35 0,74 0,91 1,90
0,54 4,05 0,73 0,48 0,62 2,18
0,53 3,30 0,48 0,09 0,22 0,67
0,98 6,14 0,79 0,43 0,52 0,50
4,78 54,40 6,88 3,99 5,89 20,51
0,31 0,15 0,26 1,58 0,21 2,28 0,53 0,38 0,36 0,20 0,31 68,93
0,46 0,08 0,21 0,71 0,16 0,90 0,38 0,30 0,13 0,06 0,27 28,75
0,04 0,04 0,10 0,44 0,07 0,48 0,09 0,13 0,13 0,04 0,36 28,35
0,45 0,16 0,35 1,10 0,27 1,06 0,56 0,58 0,25 0,08 0,41 35,85
2,81 0,89 2,23 9,37 1,55 7,25 3,26 2,76 2,05 0,85 8,46 376,70
Keterangan: 1 = sektor pertanian 2 = sektor pertambangan dan galian 3 = sektor industri pengolahan 4 = sektor lisgasir 5 = sektor bangunan 6 = sektor perdagangan, hotel dan restoran 7 = sektor pengangkutan dan komunikasi 8 = sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 = sektor jasa-jasa
70
Lampiran 2. PDRB 30 Propinsi di Indonesia Pada Tahun 2003 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 1993.
Propinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua TOTAL
1
2 2,69 8,21 2,03 2,15 1,10 2,76 0,54 0,65 2,91
2003 (triliyun rupiah) 3 1,88 1,89 0,36 5,90 0,46 1,39 12,33 5,05 0,40 0,63 2,08 2,80 0,31 0,46 0,06 0,10 0,29 1,08
4
5 0,03 0,46 0,27 0,12 0,04 0,11 0,02 0,02 0,09
0,42 1,18 0,34 0,67 0,14 0,81 0,16 0,06 0,60
0,11 7,82 1,73
0,00 3,01 0,02
14,17 24,53 9,49
1,45 2,12 0,85
7,07 2,18 0,44
8,96
0,70
14,01
0,57
1,84
0,91
0,06
0,72
0,04
0,50
10,65 1,85
1,20 0,11
15,77 1,45
1,86 0,08
2,71 0,52
1,96
0,03
0,35
0,02
0,21
1,65 2,03
1,30 8,31
1,05 7,69
0,12 0,11
0,34 0,80
0,98 0,34
0,21 0,04
0,34 0,11
0,03 0,01
0,39 0,08
1,28
0,07
0,20
0,02
0,18
3,73
0,53
1,46
0,17
0,54
0,62 1,61 1,27 1,21 0,44
0,08 0,06 1,45 0,04 0,01
0,14 0,72 0,21 0,08 0,06
0,03 0,14 0,02 0,03 0,01
0,17 0,38 0,31 0,20 0,01
0,26 1,69 74,16
0,05 5,12 40,57
0,17 0,31 112,34
0,01 0,03 8,91
0,01 0,40 23,66
71
Lanjutan Lampiran 2. Propinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua TOTAL
6
7 0,74 4,63 1,48 2,04 0,64 2,62 0,32 0,34 1,22
2003 (triliyun rupiah) 8 1,05 0,21 2,49 1,80 1,09 0,42 0,86 0,66 0,40 0,17 0,74 0,52 0,09 0,11 0,30 0,12 0,80 0,56
9 0,69 2,02 1,40 0,78 0,37 0,91 0,16 0,35 0,71
TOTAL 9,59 27,07 8,89 24,65 3,87 13,35 2,17 1,99 8,26
16,33 10,86 3,50
6,76 3,50 1,56
14,92 3,03 0,05
6,35 6,14 1,04
67,16 63,18 18,69
10,97
2,49
1,72
4,34
45,61
0,92 14,88 1,49
0,72 5,53 0,81
0,63 3,66 0,56
1,10 5,99 0,91
5,62 62,25 7,78
0,86
0,47
0,10
0,55
4,55
1,08 2,22
0,84 2,72
0,24 0,71
0,64 0,63
7,26 25,21
0,48 0,17
0,61 0,10
0,11 0,08
0,53 0,18
3,67 1,10
0,31 2,17
0,24 1,04
0,11 0,68
0,40 1,37
2,81 11,69
0,28 2,52 0,65 0,50 0,31
0,26 1,06 0,50 0,38 0,12
0,11 0,58 0,10 0,14 0,10
0,32 1,25 0,59 0,90 0,29
2,02 8,31 5,10 3,48 1,36
0,21 0,46 85,19
0,07 0,48 38,08
0,04 0,13 32,35
0,09 0,56 41,55
0,92 9,18 456,80
72
Lanjutan Lampiran 2. Keterangan: 1 = sektor pertanian 2 = sektor pertambangan dan galian 3 = sektor industri pengolahan 4 = sektor lisgasir 5 = sektor bangunan 6 = sektor perdagangan, hotel dan restoran 7 = sektor pengangkutan dan komunikasi 8 = sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 = sektor jasa-jasa
73
Lampiran 3. Nilai Ra dan Ri. PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara
Ra 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21
R1 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
R2 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
R3 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24
R4 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
R5 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13
R6 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24
R7 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32
R8 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14
R9 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16
74
Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua
0,21 0,21 0,21 0,21 0,21 0,21
0,17 0,17 0,17 0,17 0,17 0,17
0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20
0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24
Keterangan: 1 = sektor pertanian 2 = sektor pertambangan dan galian 3 = sektor industri pengolahan 4 = sektor lisgasir 5 = sektor bangunan 6 = sektor perdagangan, hotel dan restoran 7 = sektor pengangkutan dan komunikasi 8 = sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 = sektor jasa-jasa
0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50
0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13
0,24 0,24 0,24 0,24 0,24 0,24
0,32 0,32 0,32 0,32 0,32 0,32
0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14
0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16
75
Lampiran 4 Nilai ri Propinsi NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan
r1 0,09 0,19 0,28 0,41 0,31 0,15 0,45 0,29 0,21 0,02 0,21 0,10 0,13
r2 -0,21 0,18 -0,08 0,19 0,60 0,03 0,22 0,34 1,94 0,00 0,04 0,21 0,29
0,05 0,08 0,12 0,29 0,33 0,32 0,26 0,48 0,41 0,08
r3 -0,36 0,18 0,18 0,43 0,12 0,23 0,09 0,27 -0,01 0,17 0,95 0,14 0,20
r4 0,09 0,35 0,83 0,32 0,51 0,11 0,42 0,47 0,59 0,32 0,90 0,22 0,41
r5 -0,07 0,25 0,09 0,44 0,24 0,29 0,33 0,19 0,18 0,07 0,17 0,12 0,26
0,02 1,40 0,14 -0,77 0,54 0,30
0,09 0,04 0,12 -0,02 -0,12 0,15
0,36 0,58 0,40 0,59 0,41 0,63
0,08 0,03 0,07 0,51
0,35 0,09 0,15 0,24
0,24 0,54 0,35 0,29
r6 0,08 0,20 0,20 0,31 0,19 0,22 0,30 0,24 0,17 0,21 0,25 0,22 0,25
r7 0,26 0,38 0,22 0,42 0,24 0,25 0,33 0,13 0,48 0,28 0,60 0,19 0,41
r8 -6,80 0,17 0,10 -0,24 0,29 -0,01 0,15 0,24 0,69 0,10 0,73 -0,88 0,15
r9
0,35 -0,07 0,21 -0,02 0,30 0,43
0,24 0,31 0,10 0,17 0,18 0,17
0,34 0,37 0,11 -0,03 0,36 0,25
0,20 0,11 0,15 0,11 0,07 0,05
0,13 -0,02 0,15 0,28 0,23 0,25
0,31 0,25 0,17 0,20
0,55 0,10 0,19 0,38
0,33 0,19 0,14 0,47
1,48 0,77 0,13 0,55
0,17 0,19 0,15 0,25
0,08 0,24 0,15 0,25 0,14 0,10 0,18 0,13 0,14 0,21 0,28 0,16 0,09
76
Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua
0,19 0,11 0,08 0,14 -0,28
0,77 0,10 14,63 0,11 -0,81
0,10 0,19 0,32 0,19 -0,81
0,73 0,50 0,31 0,27 -0,46
0,34 0,16 0,24 0,09 -0,91
0,36 0,10 0,23 0,30 -0,12
0,66 0,18 0,30 0,28 -0,09
0,57 0,22 0,09 0,08 -0,28
0,17 0,18 0,05 0,57 0,16
0,09 0,34
0,03 -0,02
0,03 0,13
0,28 0,57
0,17 0,19
0,08 0,46
0,14 0,76
0,11 -0,65
0,10 0,36
Keterangan: 1 = sektor pertanian 2 = sektor pertambangan dan galian 3 = sektor industri pengolahan 4 = sektor lisgasir 5 = sektor bangunan 6 = sektor perdagangan, hotel dan restoran 7 = sektor pengangkutan dan komunikasi 8 = sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 = sektor jasa-jasa
77
Lampiran 5 Nilai PN PN1 PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan
PN2
0,52 1,45 0,33 0,32 0,17 0,51 0,08 0,11 0,50
PN3 (triliyun rupiah) 0,50 0,62 0,06 1,05 0,10 0,25 2,18 0,74 0,05 0,12 0,42 0,48 0,05 0,09 0,01 0,02 0,02 0,23
0,02 1,35 0,33
0,00 0,61 0,00
1,67
PN4
PN5
PN6
PN7
0,01 0,07 0,03 0,02 0,01 0,02 0,00 0,00 0,01
0,09 0,20 0,07 0,10 0,02 0,13 0,03 0,01 0,11
0,14 0,81 0,26 0,33 0,11 0,45 0,05 0,06 0,22
PN8 (triliyun rupiah) 0,17 -0,01 0,38 0,32 0,19 0,08 0,13 0,18 0,07 0,03 0,12 0,11 0,01 0,02 0,06 0,02 0,11 0,07
2,54 2,64 1,75
0,23 0,23 0,15
1,38 0,39 0,08
2,83 1,83 0,60
1,11 0,46 0,28
0,11
2,46
0,09
0,31
1,84
0,18
0,01
0,14
0,01
0,08
2,07 0,35
0,11 0,02
3,17 0,27
0,25 0,01
0,32
0,03
0,07
0,26
0,18
0,25
PN9
PN Total
0,13 0,34 0,26 0,13 0,07 0,17 0,03 0,06 0,13
2,18 4,69 1,57 4,13 0,65 2,42 0,36 0,34 1,41
2,84 0,37 0,09
1,10 1,00 0,19
12,05 8,88 3,47
0,37
0,32
0,84
7,99
0,16
0,11
0,11
0,21
1,00
0,61 0,09
2,39 0,28
0,85 0,15
0,69 0,10
1,29 0,17
11,42 1,44
0,00
0,05
0,15
0,10
0,02
0,09
0,84
0,02
0,06
0,19
0,13
0,05
0,11
1,24
78
Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua
0,32
1,35
1,40
0,01
0,12
0,40
0,46
0,14
0,11
4,31
0,16 0,05
0,04 0,01
0,05 0,02
0,00 0,00
0,06 0,01
0,06 0,03
0,10 0,02
0,01 0,01
0,10 0,03
0,59 0,18
0,19
0,01
0,04
0,00
0,03
0,05
0,04
0,02
0,07
0,47
0,72
0,07
0,25
0,03
0,09
0,33
0,15
0,09
0,23
1,97
0,11 0,30 0,25 0,22 0,13
0,01 0,01 0,02 0,01 0,01
0,03 0,13 0,03 0,01 0,07
0,00 0,02 0,00 0,01 0,00
0,03 0,07 0,05 0,04 0,03
0,04 0,48 0,11 0,08 0,08
0,03 0,19 0,08 0,06 0,03
0,02 0,10 0,02 0,03 0,03
0,06 0,22 0,12 0,12 0,05
0,33 1,52 0,68 0,58 0,43
0,05 0,26
0,01 1,09
0,03 0,06
0,00 0,00
0,00 0,07
0,04 0,07
0,01 0,06
0,01 0,08
0,02 0,09
0,18 1,78
Keterangan: 1 = sektor pertanian 2 = sektor pertambangan dan galian 3 = sektor industri pengolahan 4 = sektor lisgasir 5 = sektor bangunan 6 = sektor perdagangan, hotel dan restoran 7 = sektor pengangkutan dan komunikasi 8 = sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 = sektor jasa-jasa
79
Lampiran 6. Nilai PP PP1 PROPINSI NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Kep. Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kal. Barat Kal. Tengah Kal. Selatan Kal. Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sul. Tengah
PP2
-0,10 -0,28 -0,06 -0,06 -0,03 -0,10 -0,01 -0,02 -0,10 0,00 -0,26 -0,06 -0,32
-0,02 0,00 0,00 -0,10 0,00 -0,02 0,00 0,00 0,00 0,00 -0,03 0,00 -0,01
-0,03 -0,39 -0,07 -0,06 -0,05 -0,06
0,00 -0,01 0,00 0,00 -0,01 -0,06
-0,03 -0,01 -0,04
0,00 0,00 0,00
PP3 (triliyun rupiah) 0,09 0,15 0,04 0,11 0,02 0,07 0,01 0,00 0,03 0,36 0,38 0,25 0,35
PP4
PP5
PP6
PP7
0,01 0,10 0,04 0,03 0,01 0,03 0,00 0,00 0,02 0,32 0,32 0,20 0,12
-0,04 -0,08 -0,03 -0,04 -0,01 -0,05 -0,01 0,00 -0,04 -0,53 -0,15 -0,03 -0,12
0,02 0,12 0,04 0,05 0,02 0,06 0,01 0,01 0,03 0,40 0,26 0,09 0,26
PP8 (triliyun rupiah) 0,09 0,00 0,20 -0,11 0,10 -0,03 0,07 -0,06 0,04 -0,01 0,07 -0,04 0,01 -0,01 0,03 -0,01 0,06 -0,02 0,58 -0,95 0,24 -0,12 0,14 -0,03 0,19 -0,11
0,02 0,45 0,04 0,01 0,04 0,20
0,01 0,34 0,02 0,00 0,02 0,02
-0,03 -0,23 -0,03 -0,02 -0,02 -0,04
0,02 0,34 0,04 0,02 0,03 0,06
0,06 0,45 0,08 0,05 0,07 0,24
0,01 0,00 0,01
0,01 0,00 0,01
-0,02 -0,01 -0,01
0,01 0,00 0,01
0,05 0,01 0,02
PP9
PPTotal
-0,03 -0,08 -0,06 -0,03 -0,02 -0,04 -0,01 -0,02 -0,03 -0,26 -0,24 -0,04 -0,20
0,02 0,02 0,03 -0,05 0,01 -0,02 -0,01 0,00 -0,05 -0,07 0,41 0,51 0,18
-0,04 -0,23 -0,03 -0,01 -0,02 -0,05
-0,05 -0,31 -0,04 -0,02 -0,03 -0,03
-0,04 0,41 0,00 -0,02 0,03 0,28
0,00 0,00 -0,01
-0,02 -0,01 -0,02
-0,01 -0,01 -0,03
80
Sul. Selatan Sul. Tenggara Bali NTB NTT Maluku Maluku Utara Papua Total
-0,14
0,00
0,04
0,04
-0,04
0,05
0,08
-0,03
-0,05
-0,06
-0,02 -0,06 -0,05 -0,04 -0,02
0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,02 0,00 0,00 0,01
0,00 0,03 0,00 0,01 0,00
-0,01 -0,03 -0,02 -0,01 -0,01
0,01 0,07 0,02 0,01 0,01
0,02 0,10 0,04 0,03 0,01
-0,01 -0,03 -0,01 -0,01 -0,01
-0,01 -0,05 -0,03 -0,03 -0,01
-0,02 0,04 -0,03 -0,04 -0,02
-0,01 -0,05 -2,54
0,00 -0,05 -0,34
0,00 0,01 2,71
0,00 0,01 1,73
0,00 -0,03 -1,68
0,01 0,01 2,07
0,01 0,03 3,16
0,00 -0,03 -1,98
0,00 -0,02 -1,79
0,00 -0,12 1,34
Keterangan: 1 = sektor pertanian 2 = sektor pertambangan dan galian 3 = sektor industri pengolahan 4 = sektor lisgasir 5 = sektor bangunan 6 = sektor perdagangan, hotel dan restoran 7 = sektor pengangkutan dan komunikasi 8 = sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9 = sektor jasa-jasa