ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SEJAK ERA REFORMASI (1998)
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Operation Research pada Fakultas Ekonomi, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 3 Februari 2007
Oleh: ROBINSON TARIGAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
1
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
Yang terhormat, Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Senat Akademik Universitas Sumatera Utara, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak/Ibu Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, Para Dekan, Ketua Lembaga dan Unit Kerja, Dosen dan Karyawan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, Bapak/Ibu/Sdr/i para undangan, keluarga, teman sejawat, mahasiswa, serta hadirin yang saya muliakan.
Selamat pagi, Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua sehingga berada dalam keadaan sehat dan dapat hadir pada acara pengukuhan Guru Besar Senat Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor: 42213/A2.7/KP/2006 tanggal 31 Mei 2006, maka terhitung tanggal 1 Juni 2006 saya telah diangkat sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu/Mata Kuliah Operation Research pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Hadirin yang saya hormati, Selanjutnya perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih kepada bapak Rektor yang telah mengizinkan saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “ANALISIS PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SEJAK ERA REFORMASI (1998)”. Saya juga ingin berterima kasih kepada seluruh guru/dosen yang telah mendidik saya sejak dari SD, SMP, SMA, Fakultas Ekonomi USU, dan Department of Regional Planning – UNC, di Amerika Serikat.
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
1
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Pada kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada istri saya Rosbinayaty br. Barus yang dengan caranya yang khas mendorong saya agar bisa menjadi seorang Guru Besar. Namun dorongan yang lebih besar datang dari anak saya Bode Haryanto, ST, MT, beserta istrinya Rina br. Bukit, SE, MSi yang selain memberi dorongan juga turut membantu dalam survei dan pengolahan data agar menghasilkan tulisan yang dapat diterima sebuah majalah internasional yang bergengsi.
Hadirin yang saya hormati, Sebagai akibat krisis moneter pertengahan tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun drastis pada tahun 1998 tetapi tumbuh kembali secara perlahan mulai tahun 1999. Namun sejak saat itu hingga kini (2006) ekonomi kita bergerak lambat dengan pertumbuhan yang rendah. Timbul keingintahuan mengapa ekonomi kita bergerak lambat dan apakah ini tanda-tanda bahwa perekonomian kita telah terperangkap pada pertumbuhan rendah. Apabila benar perekonomian kita telah terperangkap pada pertumbuhan rendah, apakah masih ada kemungkinan untuk bisa keluar dari perangkap tersebut dan apa langkah-langkah yang dapat ditempuh agar secara bertahap dapat keluar dari perangkap tersebut. A. KONDISI PERTUMBUHAN REFORMASI (1999)
EKONOMI
INDONESIA
SEJAK
ERA
Hadirin yang saya hormati, Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju pertumbuhan ekonomi Indonesia turun (-13,16%) pada 1998, bertumbuh sedikit (0,62%) pada tahun 1999 dan setelah itu makin membaik. Laju pertumbuhan tahunan 1999 – 2005 berturut-turut sbb.: 0,62%, 4,6%, 3,83%, 4,38%, 4,88%, 5,13% dan 5,69%. Ekonomi kita bertumbuh dari hanya 0,62% berangsur membaik pada kisaran 4% antara tahun 2000 s.d. 2003 dan mulai tahun 2004 sudah masuk pada kisaran 5%. Pemerintah pada mulanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 2006 adalah 6,2% tetapi kemudian dalam APBN-P 2006 merubah targetnya menjadi 5,8%; namun BI memperkirakan laju pertumbuhan 2006 adalah 5,5% lebih rendah dari laju pertumbuhan 2005. Patut diduga bahwa laju pertumbuhan tahun 2007 akan lebih rendah lagi karena investasi riil tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005.
2
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
Laju pertumbuhan ekonomi kita dari tahun 1999 s.d. 2005 mencapai ratarata 4,15%. Dari data di atas kelihatannya ekonomi kita memiliki prospek membaik yaitu terus meningkatnya laju pertumbuhan di masa depan. Namun apabila diteliti lebih mendalam akan terlihat adanya permasalahan dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Sektor ekonomi dapat dikelompokkan atas dua kategori yaitu sektor riil dan sektor non-riil. Sektor riil adalah sektor penghasil barang seperti: pertanian, pertambangan, dan industri ditambah kegiatan yang terkait dengan pelayanan wisatawan internasional. Sektor non-riil adalah sektor lainnya seperti: listrik, bangunan, perdagangan, pengangkutan, keuangan, dan jasa-jasa (pemerintahan, sosial, perorangan). Kegiatan yang melayani wisatawan internasional masuk pada beberapa sektor non-riil sehingga tidak dapat dipisahkan. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor riil bertumbuh 3,33% sedangkan sektor non-riil bertumbuh 5,1%. Pertumbuhan ini adalah pincang karena semestinya sektor non-riil bertumbuh untuk melayani sektor riil yang bertumbuh. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor pertanian bertumbuh 3,11%, pertambangan -0,8%, dan sektor industri bertumbuh 5,12%. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah dari tahun 2002 s.d. 2005 laju pertumbuhan sektor riil cenderung melambat. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi keseluruhan sejak 2002 adalah karena pertumbuhan sektor non-riil yang melaju 2 kali lipat dari sektor riil. Pada 2 tahun terakhir sektor yang tinggi pertumbuhannya adalah: pengangkutan, keuangan, bangunan, dan perdagangan. Pada saat yang sama tingkat pengangguran terbuka pada mulanya turun tetapi sejak tahun 2002 cenderung naik. Menurut perhitungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 10,3 juta meningkat menjadi 11,2 juta pada tahun 2005 dan diperkirakan sebesar 12,2 juta pada tahun 2006 (Harian Kompas, tgl. 7 Agustus 2006, hal. 15). Hal ini sangat ironis karena pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu yang sama berada di atas 5%. Persentase orang miskin pada mulanya juga terus menurun, tetapi sejak tahun 2005 sudah mulai bertambah. Hal ini disebabkan oleh sektor yang bertumbuh itu adalah sektor non-riil. Ini adalah kondisi serius dan perlu dikaji lebih mendalam. B. PERTUMBUHAN BERKUALITAS DAN TIDAK BERKUALITAS Hadirin yang saya hormati, Pertumbuhan ekonomi memiliki dua sisi: kuantitas dan kualitas. Kuantitas diukur dalam bentuk % pertumbuhan per tahun, misalnya 5%, 7%, dan sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi juga memiliki unsur kualitas yaitu sektor atau komoditas dominan yang menciptakan pertumbuhan itu.
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
3
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Pertumbuhan ekonomi dapat diibaratkan dengan pertambahan berat badan bayi. Pertambahan berat badan bayi yang sehat adalah apabila seluruh organ tubuh bayi itu bertambah secara seimbang. Apabila berat badan bayi itu bertambah tidak seimbang, misalnya yang banyak bertambah hanya bagian perutnya sedangkan organ yang lain tidak bertambah ataupun hanya bertambah sedikit, maka patut diduga bayi itu tidak sehat. Apabila pertambahan seperti itu berlanjut maka besar kemungkinan bayi itu akan jatuh sakit atau collapse. Hal demikian juga berlaku untuk pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan berkualitas apabila pertumbuhan itu memfasilitasi pertumbuhan berikutnya serta menyediakan lapangan kerja secara riil dan permanen. Agar pertumbuhan itu berkualitas maka sektor yang bertumbuh itu dipicu oleh sektor riil terutama yang memiliki forward lingkage dan backward lingkage yang tinggi. Sektor riil adalah sektor penghasil barang (pertanian, industri, dan pertambangan) serta kegiatan yang terkait dengan melayani wisatawan internasional. Yang terbaik adalah apabila sektor yang berkembang itu adalah sektor basis (produknya dijual ke luar negeri atau mendatangkan uang dari luar negeri). Namun apabila sektor yang berkembang itu adalah sektor riil maka hal itupun sudah memadai karena sebagian dari produk sektor riil itu akan bersifat basis. Sektor riil lebih mungkin menjadi basis ketimbang sektor non-riil. Sektor riil yang memiliki forward lingkage dan backward lingkage yang tinggi mendorong bertumbuhnya kegiatan lain sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi pada putaran berikutnya. Pertumbuhan tidak berkualitas apabila sektor dominan pencipta pertumbuhan itu adalah bukan sektor riil dan bukan sektor basis. Misalnya yang bertumbuh itu adalah sektor listrik, bangunan, perdagangan, pengangkutan, keuangan, dan jasa-jasa (pemerintahan, sosial, perorangan); di mana kegiatan itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lokal/dalam negeri. Sektor non-riil ini semestinya berkembang untuk memfasilitasi sektor riil yang berkembang. Apabila sektor riil tidak berkembang maka pasar sektor non-riil akan cepat jenuh, akan terjadi persaingan yang ketat antara sesama usaha sejenis, pemunculan sebuah usaha baru akan mengurangi porsi usaha yang telah duluan ada atau bahkan mematikan perusahaan lain yang tidak efisien. Bertambahnya lapangan kerja pada satu unit usaha baru, bisa berakibat berkurangnya lapangan kerja pada unit usaha lain ataupun akan tercipta kondisi pengangguran terselubung. Daya serap sektor non-riil terhadap tenaga kerja adalah rendah karena sering bersifat saling meniadakan. Hal ini terlihat dari terus merosotnya penciptaan lapangan kerja untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi. Menurut perhitungan Dradjad Wibowo (Kompas 8 September 2006, hal. 6), maka selama Agustus 2002 – Agustus 2003, satu
4
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
persen pertumbuhan menciptakan 250.000 lapangan kerja. Setahun berikutnya merosot menjadi 180.000 lapangan kerja. Februari 2005 – 2006 rasio itu turun menjadi 40.000 lapangan kerja. Apabila kegiatan non-riil terus bertambah melebihi pertumbuhan sektor riil, maka banyak unit usaha akan bersifat subsistence artinya bisa bertahan hidup tetapi tidak mampu melakukan akumulasi modal sehingga tidak mampu memperluas usaha. Tanpa perluasan usaha berarti tidak ada pertumbuhan ekonomi dan tidak ada tambahan lapangan kerja baru. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila yang berkembang adalah sektor riil maka akan meningkatkan laju pertumbuhan pada periode berikutnya sebaliknya apabila yang berkembang adalah hanya sektor non-riil maka laju pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja akan cenderung menurun pada periode berikutnya. C. PERANGKAP PERTUMBUHAN RENDAH Hadirin yang saya hormati, Pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah era reformasi (sejak 1998) mengarah pada pertumbuhan yang tidak berkualitas. Karena banyaknya gangguan untuk berusaha di sektor riil maka banyak pemilik modal yang menanamkan modalnya di sektor non-riil atau menanamkan modalnya di luar negeri. Banyak pemilik modal yang menanamkan modalnya pada kegiatan pusat perdagangan, gedung perkantoran, apartemen, pertokoan dan kompleks perumahan, walaupun terkadang permintaan akan bangunan/tempat perdagangan tersebut semakin lesu dan banyak yang tetap kosong atau tidak dipakai. Hal ini karena mereka tidak tahu lagi apa yang bisa dikerjakan dengan uang yang mereka miliki. Menyimpan uang di bank dalam jangka panjang, nilai riilnya akan tergerus inflasi. Menanamkannya pada fisik bangunan setidaknya akan terhindar dari gerusan inflasi. Setelah era reformasi kegiatan usaha berskala besar di sektor riil banyak mengalami gangguan. Rakyat banyak mengajukan tuntutan terhadap usaha skala besar yang berlokasi di wilayahnya. Rakyat ada yang menggugat kembali keabsahan kepemilikan tanah oleh perusahaan padahal perusahaan telah menguasai lahan tersebut lebih dari puluhan tahun yang lalu dan memiliki alas hak yang sah (HGU). Dalam sengketa seperti itu pemerintah (saat ini wewenang pemerintah daerah) sering tidak memiliki sikap yang tegas atas tuntutan masyarakat tersebut sehingga permasalahannya menjadi berlarut-larut. Terlepas dari benar tidaknya tuntutan masyarakat, hal itu memberi sinyal kepada investor bahwa di Indonesia tidak terdapat kepastian hukum/kepastian berusaha. Tuntutan atas polusi yang diciptakan perusahaan pun makin sering
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
5
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
dilakukan masyarakat dan terkadang berlanjut dengan tindakan anarkis. Lagi-lagi pemerintah tidak memiliki sikap yang tegas menghadapi tuntutan masyarakat tersebut. Usaha perkebunan sangat rawan akan pencurian oleh masyarakat sekitarnya. Pencurian sudah ada yang dilakukan secara berkelompok dan terang-terangan. Mungkin mereka berpikir mereka pantas mendapat imbalan dari perusahaan yang beroperasi di wilayahnya. Perusahaan pun seringkali terpaksa mengalah dengan pura-pura tidak tahu sepanjang yang dicuri tidak melebihi porsi tertentu. Usaha peternakan pun sangat rawan akan tindakan pencurian, bahkan ternak yang dipelihara rakyat kecil pun tidak luput dari pencurian. Usaha penangkapan ikan berskala besar mendapat gangguan dari nelayan kecil karena mereka menganggap tindakan nelayan besar itu telah mengurangi hasil tangkapan mereka. Usaha pertambangan besar mendapat gangguan dari masyarakat karena dianggap usaha itu menguras kekayaan alam mereka, merusak lingkungan, dan menciptakan polusi tanpa memberi manfaat yang berarti bagi masyarakat sekitarnya. Lahan pemegang HPH dikerubuti pencuri. Lahan non-HPH digarap illegal logging. Hutan kita telah dikuras melebihi kapasitasnya, sehingga tidak bisa lagi dikuras lebih lanjut kalau kita tidak ingin menghadapi bencana alam (longsor dan banjir) yang fatal. Usaha industri berskala besar sering mendapat gangguan karena alasan polusi walaupun perusahaan telah menjalankan Amdal. Mereka juga tidak lepas dari tindakan pungli, baik oleh masyarakat maupun oleh aparat pemerintah. Industri yang berlokasi di kawasan khusus (kawasan industri) sedikit lebih aman dari gangguan masyarakat, namun Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 terutama yang terkait dengan besarnya pesangon, menurunkan daya tarik sektor ini bagi investor. Hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) terhadap 8.727 pelaku usaha (Kompas, 13 Juni 2006, hal. 21) menyimpulkan bahwa “Ekonomi biaya tinggi tidak hanya datang dari pungutan ilegal dari kelompok birokrasi dan perizinan Pemda tetapi juga dari DPRD, Organisasi Kemasyarakatan, preman, dan aparat keamanan”. Survei yang sama juga menyebutkan bahwa kinerja perusahaan terganggu sebagai akibat pencurian, gangguan akibat demonstrasi serta konflik antar elite daerah. Wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia menurun drastis setelah adanya beberapa kali pemboman yang intinya ditujukan untuk orang asing. Padahal sektor ini mendorong pertumbuhan ekonomi karena bersifat basis. Di beberapa daerah tingkat pencurian pada level desa pun sudah sangat mengkhawatirkan. Hal ini mengurangi kemampuan/minat masyarakat desa memperluas usahanya. Walaupun investasi keluarga ini bersifat kecilkecilan namun jumlah pelakunya cukup besar sehingga dapat memberikan dampak yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi. Sayang investasi seperti inipun sudah terganggu karena pencurian dan kurangnya keamanan
6
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
berusaha. Kondisi seperti disebutkan di atas, apabila dibiarkan akan membuat kelompok rakyat miskin Indonesia akan tetap terperangkap di dalam jurang kemiskinan. Tarigan (Ekonomi Regional 2005, hal. 69) mengutip peringatan dari Tuhan bahwa “Setan adalah sumber kemiskinan”.
Hadirin yang saya hormati, Usaha sektor riil yang berskala besar umumnya membutuhkan lahan yang luas. Saat ini usaha pembebasan lahan menjadi sangat sulit dan rumit. Walaupun lahan itu kosong, masyarakat seringkali mengklaim bahwa lahan tersebut adalah hak ulayat mereka. Berunding dengan kelompok masyarakat menjadi rumit karena seringkali di dalam kelompok mereka sendiri ada perbedaan pendapat, misalnya tentang boleh tidaknya lahan dilepas dan berapa ganti-ruginya. Sulitnya pembebasan lahan saat ini bukan hanya terimbas pada sektor riil bahkan juga pada sektor prasarana. Investor asing tidak tertarik pada proyek prasarana (misal: jalan tol) karena mereka khawatir akan terjadi permasalahan dalam pembebasan lahan sehingga investasi mereka akan terkatung-katung. Dalam kondisi perusahaan besar tidak lagi tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor riil, maka satu-satunya yang bisa diandalkan adalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pada satu sisi UKM memiliki faktor positif yaitu usaha dimiliki oleh orang Indonesia sendiri dan kegiatan itu menyediakan lapangan kerja. Namun dilihat dari sumbangsihnya terhadap pertumbuhan ekonomi, UKM memiliki kelemahan dibanding dengan perusahaan berskala besar. Mereka seringkali tidak efisien dan tidak mampu menembus pasar ekspor. Sebagian besar hanya mengandalkan pasar lokal sehingga pasarnya mudah jenuh. Kemampuan mereka untuk mengakumulasi modal sangat rendah sehingga sedikit sekali terjadi pengembangan usaha. Tanpa pengembangan usaha berarti tidak ada pertumbuhan ekonomi dan tidak tercipta lapangan kerja baru. Hal yang paling memprihatinkan adalah UKM hanya sedikit menyediakan lapangan kerja untuk para sarjana, sehingga tingkat pengangguran di kalangan lulusan sarjana menjadi sangat tinggi. Banyak di antara mereka terpaksa menerima pekerjaan yang sebetulnya tidak ditujukan untuk para sarjana. Bagi lulusan sarjana ini yang orang tuanya memiliki modal dan setelah mereka berusaha tetapi tidak mendapat pekerjaan yang layak, maka mereka membuka usaha sendiri dengan bantuan modal dari orang tuanya. Sepertinya tercipta lapangan kerja baru tetapi lapangan kerja ini bersifat eksklusif artinya tidak terbuka buat orang luar. Seringkali usaha baru ini adalah berskala UKM dan bergerak di sektor non-riil sehingga pendapatan per unit usaha (dari usaha yang sebelumnya sudah ada) menurun. Tambahan lapangan kerja baru itu, manfaatnya bagi perekonomian adalah bersifat semu. Perlu dicatat hasil pengamatan Rostow
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
7
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
(tahap-tahap pertumbuhan) seperti yang dikutip dari Jhingan (2000, terjemahan hal. 145) dan pandangan Samuelson seperti dikutip dari Tarigan (2005, hal. 54), bahwa untuk mampu tinggal landas, diperlukan ada sektor yang bertumbuh cepat dan hal ini biasanya didukung oleh adanya perusahaan berskala besar. Selain kondisi internal seperti disebutkan di atas maka kondisi global pun sangat mempengaruhi minat investor asing untuk mau menanamkan modalnya di Indonesia. Adanya terorisme global dan telah terjadinya beberapa kali pemboman oleh teroris di Indonesia membuat investor asing ragu-ragu menanamkan modalnya pada sektor riil di Indonesia. Mereka khawatir tindakan terorisme akan tetap ada di Indonesia apabila pemerintah sedikit lengah. Jumlah orang Indonesia yang menjadi teroris sangat kecil (kelompoknya mungkin hanya beberapa ratus orang), namun tindakan mereka mempengaruhi nasib seluruh bangsa. Indonesia pun sudah tidak lagi memiliki keunggulan mutlak yang membuat investor asing tertarik menanamkan modalnya di sektor riil. Dahulu harga bahan bakar lokal cukup murah karena disubsidi pemerintah (hal ini tidak berarti penulis setuju dengan subsidi, karena dampak jeleknya akan lebih besar). Sekarang harga bahan bakar di Indonesia (harga untuk industri) tidak lagi jauh berbeda dengan di negara tetangga pesaing Indonesia. Upah buruh di Indonesia memang sedikit lebih rendah dari di Cina, namun disiplin dan produktivitas buruh Cina jauh lebih tinggi sehingga upah yang rendah itu tidak lagi menjadi daya-tarik. Mereka pun lebih adem terhadap pengusaha dan hampir tidak pernah melakukan demo anarkis dalam mengajukan tuntutan. Ditinjau dari sudut komoditas pun tidak banyak lagi produk pertanian (yang potensinya besar) yang dapat dikategorikan sebagai produk unggulan. Produk pertanian yang masih dapat dikategorikan unggul hanya tinggal: kelapa sawit, karet, dan hasil perikanan. Produk industri kita sudah banyak yang kalah bersaing dengan produk Cina. Kondisi prasarana pun saat ini sudah tidak lagi mendukung. Prasarana jalan sudah banyak yang rusak, di kota besar arus lalulintas sering macet, pasokan listrik sudah terbatas dan di beberapa daerah sudah tersendat. Pemerintah pun kelihatannya tidak memiliki dana yang cukup untuk memperbaiki hal tersebut. Semua ini mengurangi minat investor menanamkan modalnya. Setelah selesainya perang dingin antara Blok Barat dengan Blok Komunis, maka pesaing Indonesia dalam menarik investor asing semakin banyak. Pesaing baru bagi Indonesia antara lain: Cina, Vietnam, Kamboja, Laos, dll. Indonesia juga harus tetap bersaing dengan pesaing lama seperti: India, Malaysia, Thailand, Philipina, Papua New Guinea, Taiwan, Korea, dll. Budaya/tatanan kehidupan pesaing kita pun jauh lebih kondusif bagi investor asing ketimbang budaya kita. Hal ini membuat posisi kita menjadi tidak menarik lagi bagi investor asing terutama dari negara-negara Barat.
8
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
Menurut survei International Institute for Management Development, yang dipublikasikan setiap tahun dalam World Competitiveness Yearbook, maka peringkat daya saing Indonesia tahun 2005 adalah ke-59 dari 60 negara dan pada tahun 2006 ke-60 dari 61 negara. Menurut hasil penelitian International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia serta ADB (2005 – 2006), daya saing Indonesia (untuk menarik investor baru) berada pada posisi 135 dari 175 negara yang diteliti (Kompas tanggal 7 September 2006, hal. 1). Hal ini merosot dari posisi 131 pada tahun sebelumnya. Artinya daya tarik kita masuk kelompok paling rendah dan cenderung merosot. Ada survei internasional yang menyatakan posisi daya saing Indonesia naik tajam pada tahun 2006 tetapi hal ini diragukan oleh banyak pihak.
Hadirin yang saya hormati, Tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dibagi atas beberapa kategori. Penulis akan menggunakan kategori sebagai berikut: No. 1 2 3 4 5
Laju pertumbuhan dalam persen per tahun 0 s/d 1% 2 s/d 3% 4 s/d 5% 6 s/d 7% ≥ 8%
Kategori Pertumbuhan Stagnan Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
Seperti dikutip dari M. L. Jhingan (1975), beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa ekonomi negara terbelakang mudah terperangkap pada pertumbuhan rendah (antara lain: Prof. Harvey Leibenstein dan tesis R. R. Nelson). Jhingan sendiri menjelaskan perangkap pertumbuhan rendah itu sebagai berikut (hal. 34): Produktivitas Rendah
Kurang Modal
Investasi Rendah
Pendapatan Rendah
Tabungan Rendah
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
9
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Namun ada juga ahli ekonomi (antara lain Prof. Bauer) yang berpendapat bahwa tesis lingkaran setan itu tidak benar karena secara empiris ada negara yang memenuhi kriteria terkena lingkaran setan, akhirnya bisa bangkit (misal: India, Cina, dll.). Pada saat ini ada variabel yang tercantum dalam lingkaran itu tidak lagi relevan. Setelah era globalisasi maka alasan kurang modal tidak lagi relevan. Modal sekarang bebas bergerak ke negara di mana investasi dalam keadaan kondusif dan menguntungkan. Analisis ekonomi tidak lagi bisa hanya mengandalkan variabel yang lazim dipakai dalam Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Teori ekonomi harus memperhatikan kondisi lingkungan (kondisi global, mentalitas masyarakat, dan keamanan berusaha) di mana teori itu akan diterapkan. Fakta empiris menunjukkan bahwa negara-negara yang miskin saat ini, umumnya tercipta karena keamanan berusaha bagi perusahaan besar yang bergerak di sektor riil, tidak lagi terjamin. Hal ini jugalah yang melanda ekonomi Indonesia.
Hadirin yang saya hormati, Dari berbagai fakta yang telah disebutkan terdahulu: laju pertumbuhan ekonomi yang terus menerus rendah sejak era reformasi, pertumbuhan yang tidak berkualitas, kondisi prasarana yang tidak memadai, rendahnya minat investor menanamkan modalnya di sektor riil, serta faktor kondisi global, maka dapat disimpulkan bahwa “Ekonomi Indonesia telah terperangkap pada pertumbuhan rendah – (Low Growth Trap)”. Artinya setelah ada peningkatan hingga 4 – 5% maka peningkatan menjadi tersendat. Hal ini berarti ke depan, laju pertumbuhan ekonomi akan tetap rendah, tingkat pengangguran terbuka tetap tinggi, jumlah orang miskin akan tetap besar dan cenderung makin besar, mayoritas lulusan perguruan tinggi akan menjadi pengangguran atau terpaksa bekerja pada pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian sarjana, serta akan sulit untuk dapat keluar dari perangkap tersebut. Hal ini berarti cita-cita proklamasi yang tertuang dalam UUD 1945 untuk menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, hanya tinggal sebatas impian. Perangkap pertumbuhan rendah dimulai dari rendahnya investasi di sektor riil, mengakibatkan rendahnya pertumbuhan sektor lain, mengakibatkan rendahnya penyerapan tenaga kerja, mengakibatkan tingginya pengangguran, dan banyaknya kelompok masyarakat miskin, mengakibatkan keresahan dan meningkatnya kejahatan, tercipta perilaku yang mengganggu/merugikan perusahaan, mengakibatkan investor makin takut menanamkan modalnya terutama pada sektor yang mudah diganggu (sektor riil). Kalaupun ada investasi maka investasi itu diarahkan ke sektor non-riil. Pertumbuhan menjadi tidak berkualitas. Pertumbuhan pada periode berikutnya menjadi rendah.
10
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
Hadirin yang saya hormati, Sejak era reformasi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah lagi mencapai 6%. Dalam kondisi normal pertumbuhan itu berkisar 4 – 5%. Dalam kondisi bagus sesekali mungkin bisa mencapai 6% tetapi sebaliknya dalam kondisi tidak bagus pertumbuhan bisa turun menjadi 3%. Kondisi bagus misalnya: kondisi perekonomian global yang tumbuh dengan baik, kondisi makro yang baik, musim yang normal, panen yang bagus, tidak terjadi bencana alam yang fatal, keamanan yang kondusif, tidak terjadi huru-hara dan pemberontakan, tidak terlalu sering terjadi demo yang anarkis, dan faktor kondusif lainnya. Pertumbuhan bisa anjlok ke level 3% apabila beberapa faktor yang disebutkan di atas berubah menjadi tidak kondusif. Sebetulnya pertumbuhan 4 – 5% tidak berdampak negatif seandainya sektor yang dominan bertumbuh adalah sektor riil. Pertumbuhan itu mampu menyerap tambahan angkatan kerja baru dan mengurangi sedikit buffer stock pengangguran. Dengan demikian angka pengangguran terbuka tidak naik malah bisa turun sedikit. Namun karena sektor yang dominan bertumbuh adalah sektor non-riil maka kemampuannya menyerap tenaga kerja sangat rendah sehingga angka pengangguran terbuka malah bertambah demikian pula dengan jumlah kelompok masyarakat miskin. D. DIKOTOMI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT Hadirin yang saya hormati, Risiko dari pertumbuhan ekonomi rendah adalah terciptanya dikotomi dalam mendapatkan peluang ekonomi/pendapatan. Akan ada dua dikotomi yaitu dikotomi dalam kehidupan masyarakat dan dikotomi antara daerah yang banyak/masih memiliki potensi ekonomi dan daerah yang tidak lagi memiliki banyak potensi ekonomi. Dikotomi dalam kehidupan masyarakat dapat diuraikan sebagai sebagai berikut. Dalam kondisi investor asing dan investor besar dalam negeri tidak ingin menanamkan modalnya di sektor riil di Indonesia sehingga investasi tidak meningkat secara tajam dan lapangan kerja formal tidak banyak bertambah, maka cepat atau lambat akan terjadi dikotomi dalam kehidupan/perekonomian masyarakat. Masyarakat akan terbagi atas dua kelompok yaitu masyarakat yang memiliki sumber daya/keahlian dan yang tidak memiliki sumber daya/keahlian sehingga yang diandalkan hanyalah tenaga dan modal kecil. Masyarakat yang memiliki sumber daya adalah pemilik modal termasuk pemilik lahan yang memadai atau yang memiliki keahlian/keterampilan yang keahliannya dibutuhkan pasar. Masyarakat seperti ini akan tetap terus dapat
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
11
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
berkembang karena mereka mampu menabung/mengakumulasi modal sehingga akan terus dapat memperluas kegiatannya/sumber pendapatannya. Masyarakat yang tidak memiliki sumber daya adalah bukan pemilik modal atau lahan yang memadai serta tidak memiliki keahlian/keterampilan kecuali hanya tenaga dan kalaupun ada modal nilainya kecil. Yang dapat diandalkannya sebagai sumber pendapatan/mata pencaharian hanyalah tenaga yaitu menjadi buruh atau dagang kecilkecilan. Karena investasi tidak bertumbuh cepat dan lapangan kerja formal tidak bertambah secara memadai, maka upah riil akan tetap rendah dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari sehingga tidak pernah punya kesempatan untuk menyimpan/melakukan akumulasi modal. Kalaupun bergerak di bidang dagang, keuntungan yang diperoleh hanya mampu menutupi kebutuhan sehari-hari dan tidak dapat menabung. Mereka akan terus tergantung kepada lapangan kerja yang disediakan pemilik modal dan akan tetap sulit untuk mandiri atau bagi yang berusaha secara kecil-kecilan di sektor informal pendapatannya hanya sebatas menutupi kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak bisa menabung dan rawan terhadap goncangan/pasang surut usahanya. Kegiatan informal ini tidak mampu memberikan pendapatan yang memadai karena dalam kondisi lapangan kerja formal adalah sulit, maka banyak yang beralih ke kegiatan informal sehingga pendapatan masing-masing usaha adalah kecil, biasanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang minimum. Bahkan banyak juga yang akhirnya gulung tikar. Perekonomian Indonesia setelah era Presiden Soeharto mengarah kepada kondisi di atas. Perekonomian bertumbuh 4 – 5% per tahun, tetapi lapangan kerja formal tidak bertambah secara memadai, pengangguran tetap tinggi dan kelompok yang berada di bawah garis kemiskinan tidak menurun secara nyata bahkan cenderung bertambah. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati masyarakat pemilik sumber daya dan lapangan kerja yang terbuka pun umumnya tersedia untuk mereka baik karena mereka menciptakan lapangan kerja mereka sendiri maupun mereka lebih punya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Dikotomi dalam kehidupan ini bila makin parah, bisa mengarah pada kerusuhan massal. Pada saat yang bersamaan juga akan terjadi dikotomi antara daerah yang memiliki potensi alam/ekonomi yang tinggi dengan daerah yang potensi ekonominya sebagian besar telah tergarap. Daerah yang memiliki sumber alam yang melimpah (terutama pertambangan dan kehutanan), maka Pemda-nya akan mendapat DAK yang cukup besar dan oleh karena itu tetap mampu mengembangkan wilayahnya sehingga lapangan kerja akan selalu tersedia. Bagi daerah yang tidak memiliki pertambangan/kehutanan tetapi masih banyak lahannya yang belum terolah maka tambahan
12
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
angkatan kerja baru masih bisa memanfaatkan lahan yang masih kosong tersebut sehingga tekanan pengangguran tidak terlalu terasa. Namun bagi daerah yang tidak mendapat DAK yang besar dan lahannya sebagian besar telah terolah/sudah ada pemiliknya, maka tambahan angkatan kerja baru akan kesulitan mendapatkan pekerjaan atau menciptakan lapangan kerja sendiri. Mereka akan banyak terjun ke kegiatan informal dengan risiko hanya bisa hidup subsistence. Dikotomi antar-daerah ini bila makin pincang, bisa mengarah pada perpecahan bangsa. Satu-satunya cara untuk menghindari kondisi di atas adalah diciptakannya suasana yang mendorong investor asing dan pemilik modal di dalam negeri mau menanamkan modalnya di Indonesia. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi penanam modal asing tidak cukup hanya dengan tersedianya lapangan usaha, kondisi keamanan yang mantap, adanya kepastian hukum tetapi juga tersedianya kondisi kehidupan yang toleran terhadap kebudayaan pendatang. Apabila pemodal asing menanamkan modalnya di Indonesia maka besar kemungkinan mereka juga akan membawa keluarganya ke Indonesia. Keluarga ini harus bisa tinggal di Indonesia dengan rasa aman dan nyaman walaupun mereka hidup dengan gaya hidup yang sama seperti di negara asal mereka. Tanpa rasa yang aman dan nyaman ini mereka tidak akan betah tinggal lama di Indonesia dan hal ini bisa mempengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modalnya di negara kita. Prof. Michael E. Porter dari Harvard Business School yang pemikirannya banyak digunakan oleh banyak negara berkembang seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, China, Brasil, Kosta Rika, dll., dalam sebuah seminar “How to make Indonesia more competitive” pada tanggal 29 November 2006 di Jakarta menyatakan bahwa agar bangsa Indonesia bisa keluar dari krisis saat ini hanyalah dengan mengubah pola pikir (Kompas tanggal 30 November 2006, hal. 1). Menurut penulis perubahan pola pikir dan mentalitas itu tidak cukup hanya pada lembaga pemerintahan saja tetapi juga perubahan pola pikir dan mentalitas seluruh bangsa. Hal ini menjadi sangat penting karena Indonesia harus bersaing dengan negara lain terutama di Asia Tenggara untuk memancing investor asing tersebut. Hanya dengan masuknya investor asing dan investor besar dalam negeri maka dapat diciptakan lapangan kerja yang cukup besar dan pada saatnya akan membuat upah riil meningkat karena permintaan tenaga kerja melebihi pertambahan angkatan kerja. Apabila upah riil pekerja adalah cukup tinggi maka walaupun hanya mengandalkan tenaga, tetap dapat menikmati tingkat kehidupan yang layak misalnya dapat memiliki rumah sendiri, memiliki mobil pribadi, dapat melakukan perjalanan wisata bahkan ke luar negeri, menyekolahkan anak hingga ke Perguruan Tinggi, dll. Dalam
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
13
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
kondisi seperti ini tidak terlihat perbedaan kehidupan yang mencolok antara pemilik sumber daya dan pihak yang hanya mengandalkan tenaga. Hal ini bukan khayalan karena telah terjadi di berbagai negara maju di dunia. E. LANGKAH-LANGKAH PENANGGULANGAN Hadirin yang saya hormati, Apa langkah-langkah yang perlu ditempuh agar suatu masa kelak ekonomi Indonesia dapat keluar dari pertumbuhan rendah tersebut. Sebetulnya langkah untuk terbebas dari perangkap itu hampir mustahil. Investor tidak lagi tertarik menanamkan modalnya di sektor riil karena terutama masalah mentalitas masyarakat yang membuat kondisi berusaha tidak lagi kondusif. Sebetulnya yang dimaksud dengan masyarakat di sini hanyalah sekelompok kecil masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lokasi perusahaan dan atau terkait langsung menciptakan gangguan terhadap keamanan dan kenyamanan berusaha perusahaan. Mereka hanya sekelompok kecil tetapi tindakan mereka mempengaruhi nasib seluruh bangsa. Masyarakat pengganggu itu sepertinya memiliki paradigma bahwa perusahaan besar apalagi perusahaan asing bertujuan untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, menguras kekayaan alam Indonesia, mengeksploitasi tenaga kerja Indonesia dengan upah yang rendah, memaksakan budayanya, merusak lingkungan hidup, menciptakan polusi, menimbulkan kemacetan di jalan, menyaingi usaha kecil sehingga terpuruk, mengambil lahan yang semestinya dapat mereka olah, dan pandangan negatif lainnya serta tidak ada manfaatnya bagi masyarakat sekitarnya. Paradigma ini membuat masyarakat berpendapat bahwa mereka harus mendapat imbalan langsung dari perusahaan dan kalau tidak ada imbalan atau imbalan itu tidak memadai maka perusahaan pantas untuk diganggu/dicuri dan kalau bandel disuruh tutup. Paradigma/cara pandang masyarakat terhadap pengusaha/perusahaan besar seperti yang disebutkan di atas harus bisa dibuat berbalik arah secara 180o. Masyarakat harus dibuat yakin bahwa pengusaha/perusahaan besar yang bergerak di sektor riil adalah “Pahlawan” karena menciptakan lapangan kerja, membayar pajak kepada pemerintah (pusat dan daerah), mendorong pertumbuhan sektor lain, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi pada putaran berikutnya dan secara bertahap sebagai penyelamat kita dari kondisi kemiskinan massal. Dengan keyakinan seperti itu maka pengusaha pantas dihormati, dihargai, serta didukung agar usahanya berjalan lancar dan mereka merasa nyaman tinggal di Indonesia. Rakyat harus merasa bahwa perusahaan yang ada di daerahnya adalah bagian dari hidupnya dan akan berusaha mencegah atau menghalangi apabila ada kelompok massa lain yang akan mengganggu perusahaan
14
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
tersebut. Pembalikan arah tidak bisa hanya setengah-setengah, karena tidak akan membawa hasil. Hal ini biasanya tidak mudah dan butuh waktu panjang. Sikap masyarakat saat ini adalah tercipta dari pengaruh lingkungan yang beragam dan melalui proses yang panjang. Pembalikan arah akan membutuhkan waktu yang panjang juga, dan hanya dengan kondisi lingkungan yang mendukung pembalikan arah tersebut.
Hadirin yang saya hormati, Langkah pemerintah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi investor saat ini menghadapi banyak kendala. Salah satu cara adalah apabila pemerintah dapat bertindak secara tegas, keras, dan mengatur dengan tangan besi. Berbeda dengan di masa orde baru, pemerintahan saat ini tidak lagi bisa berbuat demikian. Pemerintahan kita bukan lagi presidensial murni. Setelah revisi UUD 1945 maka presiden telah berbagi kekuasaan dengan DPR. DPR harus menyetujui tindakan-tindakan besar yang akan dilakukan presiden. DPR terdiri dari berbagai fraksi yang biasanya berbeda pandangan terhadap hal-hal yang mengatur kehidupan bangsa. Di lain sisi setelah berlakunya UU Otonomi Daerah maka Pemerintah Pusat pun telah berbagi kekuasaan dengan Pemerintah Daerah. Hal pembebasan tanah bagi kebutuhan investor sudah menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah bisa saja lebih mengutamakan ganti rugi yang tinggi (di atas harga pasar) bagi rakyatnya, karena hal itu adalah kebijakan populis walaupun hal itu membuat investor enggan menanamkan modalnya. Di luar tubuh pemerintahan masih ada Lembaga HAM, LSM, serikat pekerja, dan berbagai lembaga non-pemerintah lainnya, yang bisa saja menganggap tindakan pemerintah yang keras adalah melanggar HAM. Mereka bisa menuding bahwa pemerintah lebih membela pengusaha ketimbang membela rakyatnya. Dibutuhkan suatu paradigma yang sama dari berbagai perangkat pemerintahan dan non-pemerintahan agar dapat mengubah paradigma yang dianut masyarakat. Menyatukan paradigma di antara berbagai perangkat pemerintahan saja, rasanya sudah sulit apalagi dengan kelompok non-pemerintah. Salah satu contoh adalah rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 pada tahun 2006, mendapat tantangan yang keras dari serikat buruh dengan cara demo yang anarkis. Pemerintah pun terpaksa mencari jalan kompromistis yang hasilnya belum tentu meningkatkan minat investor. Pemerintah Pusat pun kelihatannya enggan untuk membuat kebijakan yang tidak populis karena terkait dengan perolehan suara pada Pemilu berikutnya. Kebijakan populis seringkali menguntungkan dalam jangka pendek tetapi merugikan dalam jangka panjang atau menguntungkan
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
15
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
kelompok tertentu tetapi merugikan kepentingan seluruh bangsa. Keterpurukan saat ini tidak bisa dibebankan sebagai kesalahan salah satu pihak saja, hal ini tercipta dari keterpurukan mentalitas bangsa. Mengingat pembalikan arah itu hampir mustahil atau kalaupun mungkin akan membutuhkan waktu yang panjang, menambah keyakinan kita bahwa ekonomi kita telah terperangkap pada pertumbuhan rendah.
Hadirin yang saya hormati, Walaupun hampir mustahil, namun tetap harus ada usaha agar suatu saat kelak kita dapat keluar dari perangkap tersebut. Selain usaha besar memperbaiki mentalitas bangsa maka pemerintah secara bersamaan dapat melakukan berbagai tindakan lain, walaupun hasilnya akan maksimal apabila usaha perbaikan mentalitas itu menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah antara lain: 1. Usaha penegakan hukum dan penciptaan kepastian hukum terus ditingkatkan secara konsisten. Pemerintah harus tegas dan cepat mengambil keputusan apabila terjadi sengketa antara perusahaan dan masyarakat sekitarnya. Dalam kondisi perusahaan telah memenuhi segala ketentuan yang berlaku, maka pemerintah harus membela kepentingan perusahaan. Membuat persoalan terkatung-katung, sangat membebani pengusaha dan membuat investor baru enggan menanamkan modalnya karena takut mengalami hal yang sama. Walaupun kelihatannya memihak perusahaan tetapi dengan cara itu pemerintah membela kepentingan rakyat banyak, yaitu investor tidak takut berusaha dan siap memperluas usahanya sehingga tercipta lapangan kerja yang mencukupi. 2. Perlu segera diciptakan undang-undang investasi yang menjamin kepastian berusaha dan perlindungan terhadap pengusaha. Apabila perusahaan telah memenuhi segala ketentuan yang berlaku, maka bagi investor besar di sektor riil diberi jaminan bahwa apabila perusahaannya mengalami kerugian sebagai akibat gangguan massa maka kerugiannya akan diganti oleh pemerintah. 3. Pemerintah harus melakukan sosialisasi secara luas kepada masyarakat tentang pentingnya peran investor dan pengusaha terutama yang bergerak di sektor riil dan pariwisata. Investor sektor riil adalah pencipta lapangan kerja, pembayar pajak sehingga pemerintah mendapat dana yang cukup untuk mampu memberi bantuan kepada masyarakat miskin. Kegiatannya mendorong tumbuhnya kegiatan lain termasuk bisa hidupnya kegiatan sektor informal dan bagi yang melakukan ekspor
16
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
akan menambah devisa negara. Tugas pengusaha adalah mencari laba (dengan cara yang wajar) dan membayar pajak secara benar, tetapi bukan sebagai lembaga sosial. Dengan laba yang mereka peroleh, mereka memperluas usaha dan terciptalah lapangan kerja baru. Tugas membantu masyarakat miskin adalah tugas pemerintah dan pemerintah makin mampu melakukan tugas ini apabila investor makin banyak/usahanya makin besar dan mereka membayar pajak secara benar. Sosialisasi ini dilakukan terus menerus dan dengan dialog terbuka dengan masyarakat. Masyarakat jangan sampai terpengaruh oleh provokasi sekelompok orang/golongan yang memandang negatif terhadap kehadiran perusahaan asing dan pengusaha besar, karena sikap seperti ini tidak menolong dan pasti merugikan dalam jangka panjang. 4. Pemerintah harus segera merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 terutama yang menyangkut besarnya pesangon. Ketentuan pesangon dalam UU itu membuat perusahaan sakit langsung mati. Misalnya bila ada sebuah perusahaan yang memiliki karyawan sebanyak 5.000 orang. Perusahaan itu mengalami kesulitan pemasaran misalnya permintaan turun 50%. Dalam kondisi normal perusahaan dapat mem-PHK separoh dari karyawannya dan meneruskan usahanya dengan 2.500 karyawan. Akan tetapi dengan ketentuan pesangon dalam UU tersebut, maka perusahaan harus membayar pesangon yang cukup besar untuk karyawan yang di PHK dan itu akan membuat perusahaan langsung bangkrut. Semestinya kita hanya kehilangan 2.500 lapangan kerja tetapi dalam hal ini kita langsung kehilangan 5.000 lapangan kerja. 5. Membangun Zona Ekonomi Khusus (ZEK) seperti yang direncanakan pemerintah. Namun tanggapan investor asing mungkin tidak terlalu menggembirakan. Singapura telah menyatakan minatnya, namun diduga Singapura hanya akan tertarik pada ZEK yang berlokasi di pulaupulau dekat Singapura (Batam dan Bintan). Selain dekat mungkin mereka merasa lokasi itu lebih dapat mereka jaga/amankan seandainya terjadi kerusuhan di dalam negeri Indonesia. Penulis tidak yakin Singapura tertarik untuk menanamkan modalnya pada ZEK yang ada di daratan Pulau Sumatera atau Pulau Jawa. 6. Mengutamakan membangun ZEK pada pulau-pulau kecil yang letaknya strategis. ZEK di pulau-pulau kecil diperkirakan akan lebih menarik bagi investor asing ketimbang yang ada di daratan. Pembangunan kawasannya ditawarkan pada investor asing dan mereka diwajibkan mencari investor yang akan melakukan aktivitasnya di kawasan tersebut. Investor pembangun kawasan diberi kewenangan sebagai pengelola bersama dengan instansi yang ditunjuk pemerintah.
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
17
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
7. Membuat kesepakatan dengan Pemerintah Daerah bahwa Pemerintah Daerah akan membantu pembebasan tanah bagi investor apabila investor itu akan bergerak di sektor riil atau di bidang prasarana. 8. Menjadikan BUMN sebagai motor pertumbuhan. BUMN yang ada dibenahi agar sehat sehingga sahamnya laku dijual di pasar modal. Hasil penjualan sahamnya digunakan untuk membangun BUMN baru yang setelah memenuhi kriteria maka sahamnya kembali dijual di pasar modal. Hal ini dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Bagi BUMD yang memungkinkan juga melakukan hal yang sama. Hanya dikhawatirkan akan dibutuhkan waktu yang lama bagi BUMN/BUMD yang baru tersebut agar sahamnya laku terjual di pasar modal. 9. Mencari daerah-daerah yang masyarakatnya masih menjunjung tinggi kearifan lama (adat dan budaya nenek moyang kita) yaitu “Mencuri atau mengganggu harta orang lain adalah tabu”. Memberi insentif kepada investor besar sektor riil untuk menanamkan modalnya ke daerah tersebut. Sayang sekali daerah seperti itu seringkali kondisi prasarananya masih jelek. Apabila ada investor besar yang berminat, maka pemerintah harus membantu menyiapkan prasarananya. 10. Menyiapkan lulusan agar mampu bekerja di luar negeri. Hal ini selain mengurangi tekanan pengangguran di dalam negeri, membantu ekonomi keluarga dan mendatangkan devisa. Anggaran pendidikan perlu ditambah tetapi ditujukan untuk menyiapkan lulusan lokal untuk mau dan mampu bekerja di luar negeri. Menyediakan anggaran pendidikan hingga 20% dari total anggaran, pada saat ini adalah tidak tepat. Hal ini akan mengurangi kemampuan pemerintah untuk menyediakan prasarana untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Menyediakan anggaran pendidikan dengan tujuan meningkatkan jumlah lulusan dan perbaikan kualitas secara tanggung, akan tidak berguna. Hanya menambah sarjana pengangguran. Kecuali lembaga pendidikan kita bisa menghasilkan kualitas lulusan yang siap diterima pasar kerja internasional sesuai dengan keahliannya. Walaupun anggaran pendidikan ditambah hingga mencapai 20%, kecil kemungkinan lembaga pendidikan kita mampu menghasilkan kualitas seperti dimaksud. 11. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus mengusahakan mendapat pinjaman baru dari luar negeri tetapi pinjaman itu dikhususkan untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat cost-recovery. Artinya pinjaman itu diubah menjadi SLA (Subsidiary Loan Agreement). Penggunaan pinjaman, misalnya untuk bidang prasarana: proyek jalan tol, pelabuhan laut, pelabuhan udara, kawasan industri, zona ekonomi khusus, dll. Pinjaman juga diberikan kepada BUMN untuk memperluas usaha/bergerak di sektor riil. Hal ini juga
18
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
dapat diberikan kepada BUMD apabila terlihat ada kemampuannya mengelola proyek secara efisien. Pinjaman hanya ditujukan untuk proyek yang bersifat cost-recovery melalui studi kelayakan yang komprehensif. Penerima pinjaman (SLA) diwajibkan untuk mencicil dan melunasi pinjaman tersebut tanpa membebani APBN/APBD. Dengan demikian tercipta kegiatan baru, terjadi efek pengganda, tercipta lapangan kerja baru, kelak menambah objek pajak bagi pemerintah, tanpa membebani APBN dan APBD.
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
19
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Lincolin.1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE – Yogyakarta. Biro Pusat Statistik, Jakarta. Indikator Ekonomi: (Beberapa Terbitan). Boediono. 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE. Harian Kompas, Jakarta. 2006. (Beberapa terbitan). Harian Analisa, Medan. 2006. (Beberapa terbitan). Jhingan, M. L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan (terjemahan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Samuelson, Paul A. 1955. Company, Inc.
Perencanaan
Economics, New York: McGraw-Hill Book
Tarigan, Robinson. 1998. Analisa Kondisi Perekonomian Daerah Sumatera Utara Sejak Krisis Ekonomi Juli 1997 (monograf). Jakarta: CPIS (ISSN). Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
20
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
RIWAYAT HIDUP A. DATA PRIBADI Nama NIP Jabatan Pangkat dan Golongan Tempat/Tgl. Lahir
: : : : :
Alamat E-mail Nama Ayah Nama Ibu Nama Istri Nama Anak/Menantu
: : : : : :
Nama Cucu
:
Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP 130 251 882 Guru Besar Pembina Utama Muda/IVc 8 September 1942, Sibiru-biru, Deli Serdang, Sumatera Utara Jl. Bajak II No. 48 H Medan
[email protected] Ngayami Tarigan (alm.) Tjunggi br. Barus Rosbinayaty br. Barus 1. Coky Darwinto, SSi/Florensi br. Sitepu, AMd 2. Bode Haryanto, ST, MT/Rina br. Bukit, SE, MSi 3. Hendra Mora, ST/dr. Frinda br. Barus 1. Cornella Tarigan 2. Avenia Tarigan 3. Jeremmy Tarigan 4. Juan Lovel Tarigan
B. PENDIDIKAN Stratum SR-SMP/ English
Tempat
Tahun Tamat
Ijazah/ Keterangan
Bidang Studi
Anglo Indonesian English School Medan
1958
Rapor Naik Kelas
Umum/Bhs. Inggris
SMP
Perg. Widyasana Medan (extranie)
1959
Ijazah Negeri
Umum
SMA
Perg. Widyasana Medan
1961
Ijazah Negeri
Ilmu Sosial (c)
S-0
Fak. Ekonomi USU
1965
Ijazah/BA
Ek. Perusahaan
S-1
Fak. Ekonomi USU
1967
Ijazah/Drs
Ek. Perusahaan
S-2
University of North Carolina, USA
1981
Ijazah/MRP
Regional Planner
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
21
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
C. JABATAN DAN PEKERJAAN 1. Jabatan Akademik Periode Tahun 1965 - 1967 1967 - 1972 1972 - 1974 1974 - 1976 1976 - 1978 1978 - 1983 1983 - 1994 1994 - 2006 2006 - Sekarang
Jurusan Jurusan Jurusan Jurusan Jurusan Jurusan Jurusan Jurusan Jurusan
Institusi dan Tempat Perusahaan Fak. Ekonomi Perusahaan Fak. Ekonomi Perusahaan Fak. Ekonomi Perusahaan Fak. Ekonomi Perusahaan Fak. Ekonomi Perusahaan Fak. Ekonomi Manajemen Fak. Ekonomi Manajemen Fak. Ekonomi Manajemen Fak. Ekonomi
USU USU USU USU USU USU USU USU USU
Jabatan Asisten Perg. Tinggi Asisten Ahli Madya Asisten Ahli Lektor Muda Lektor Madya Lektor Lektor Kepala Madya Lektor Kepala Guru Besar
2. Pekerjaan Periode Tahun 1965 - Sekarang 1989 - Sekarang 2000 - Sekarang 1983 - 1984 1995 - 2003 1999 - 2006
Institusi dan Tempat Jurusan Manajemen Fak. Ekonomi USU Program PWD/PWK Pascasarjana USU Program Studi Pembangunan Pascasarjana USU Lembaga Penelitian Fak. Ekonomi USU CPIS Jakarta, Perwakilan Sumatera Utara PPMU/ Proyek MMUDP
Jabatan Staf Pengajar Staf Pengajar Staf Pengajar Direktur Analis/Peneliti Ahli Keuangan
D. PUBLIKASI ILMIAH (2 TAHUN TERAKHIR) 1. Ekonomi Regional, Teori, dan Aplikasi, Buku-ajar diterbitkan PT. Bumi Aksara, Jakarta, edisi revisi 2005, pp 187. 2. Perencanaan Pembangunan Wilayah, Buku-ajar diterbitkan oleh PT. Bumi Aksara, Jakarta, edisi revisi 2005, pp. 274. 3. “An Evaluation of the Relationship between Alignment of Strategic Priorities and Manufacturing Performance”, pp.12 International Journal of Management, England, Vol. 22 No. 4 Tahun 2005. 4. “The Relationship between Alignment of Strategic Priorities (Between Functional Level and Business Level) and the impact on Manufacturing Performance (Data from Indonesia)”, pp. 8, Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 6. No. 4, Oktober 2005, ISSN 1411-5247. 5. “Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Tingkat Pendapatan– Perbandingan antara Empat Hasil Penelitian”, pp. 8, Jurnal Wawasan Volume 11 No. 3 Tahun 2005, ISSN 0852-9256.
22
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sejak Era Reformasi (1998)
E. PENELITIAN Telah melakukan penelitian lebih dari 30 judul di mana 7 di antaranya diterbitkan oleh CPIS Jakarta dalam bentuk monograf (ISSN).
F. PENGABDIAN PADA MASYARAKAT Telah melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat lebih dari 10 kegiatan, di antaranya membantu Pemkab/Pemkot dalam menyusun Propeda, Renstra, RTRW, RUTRK, Strategi Pembangunan, membantu PDAM Tirtanadi menyusun studi kelayakan, dan memberikan ceramah di berbagai kelembagaan dengan berbagai judul, dll.
Robinson Tarigan: Analisis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Era Reformasi (1998), 2007. USU e-Repository © 2008
23