BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Sejak era reformasi di Indonesia dimulai pasca 1998, sistem pemilu di
Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Pada Pemilu masa Orde Baru, masyarakat Indonesia hanya mengenal 3 (tiga) partai politik besar peserta Pemilu, yaitu Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Bahkan pada setiap Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia masa Orde Baru tersebut selalu dimenangkan partai politik pro-pemerintah, atau dapat dikatakan tanpa mengadakan Pemilupun sudah diketahui pemenangnya. Tetapi Indonesia merupakan negara demokrasi dimana Pemilihan Umum adalah ciri khas yang menandakan bahwa negara tersebut adalah negara demokrasi. Setelah era baru tersebut dimulai, Pemilu 1999 pun digelar dengan tujuan menandakan bahwa rakyat Indonesia membutuhkan suasana politik yang baru setelah Orde Baru, yaitu bukti dari reformasi tersebut. Pada Pemilu 1999 masih memiliki kemiripan dengan Pemilu sebelumnya, hanya saja dimodifikasi sedikit dengan mengikutsertakan 48 Partai Politik peserta Pemilu pada saat itu. Presiden terpilih pada Pemilu 1999 adalah Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur. Masa kepresidenan Gus Dur tidak bertahan lama dikarenakan tekanan dari berbagai pihak, dan digantikan oleh Wakil Presiden pada saat itu Megawati Soekarno Putri. Setelah masa kepemimpinan Megawati tersebut, kembali diselenggarakan Pemilu 2004 yang menghasilkan sejarah baru, yaitu terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono atau akrab dipanggil SBY sebagai Presiden Republik Indonesia periode
Universitas Sumatera Utara
2004-2009. Pada Pemilu 2004 sistem pemilu kembali dimodernisasi dan dimodifikasi demi menutupi kekurangan-kekurangan sistem pemilu sebelumnya. Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi dimana rakyat memiliki peranan penting didalam urusan negara, atau demokrasi merupakan kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Oleh karena itu, kekuasaan para pemimpin dan pejabat formal itu bukan muncul dari pribadinya, akan tetapi merupakan titipan rakyat atau merupakan kekuasaan yang dilimpahkan rakyat kepada pemimpin dan pribadi-pribadi penguasa. Rakyat membuat kontrak sosial lewat perwakilannya untuk mendelegasikan kekuasaannya kepada pemerintah yang dipilih. Maka akan ada aturan main yang berupa Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Hukum dan sebagainya. Kemudian dibuat dan ditetapkan dengan maksud agar dengan saranasarana kekuasaan titipan yang dilaksanakan oleh pejabat atau penguasa itu benarbenar mulus lurus, benar dan jujur, demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dan tidak dimanipulasikan demi kepentingan pribadi para pemimpin dan pejabat untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri. 1 Pembuatan kontrak sosial tersebut dilakukan melalui pemilu (pemilihan umum) yakni sarana demokrasi yang daripadanya dapat ditentukan siapa yang berhak menduduki kursi di lembaga politik negara, legislatif dan eksekutif. Melalui pemilu rakyat memilih figur yang dapat dipercaya yang akan mengisi jabatan legislatif dan jabatan eksekutif. Dalam pemilu, rakyat yang telah memenuhi persyaratan untuk memilih, secara bebas dan rahasia, menjatuhkan pilihannya pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. 2
1 2
Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung: Mandar Maju, 1996, h.156-158 Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, 2007, h.173-174
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka pembagian kekuasaan negara (secara vertikal) dibentuk daerahdaerah yang bersifat otonom dengan bentuk dan susunan pemerintahannya yang diatur dalam undang-undang. Sehingga pemerintah pusat menyelenggarakan pemerintahan nasional dan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembagian kekuasaan daerah itu disebut dengan desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang politik dan perundang-undangan untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan manajemen pemerintah (pusat) kepada unit-unit sub nasional (daerah/ wilayah) administrasi negara atau kepada kelompok-kelompok fungsional atau organisasi non-pemerintahan swasta. 3 Dan otonomi daerah merupakan bagian sistem politik yang diharapkan memberikan peluang bagi warga negara untuk lebih mampu menyumbangkan daya kreativitasnya. 4 Gagasan otonomi daerah melekat pada pelaksanaan UU No.32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah yang sangat berkaitan dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan baik tingkat lokal maupun ditingkat nasional. Agar demokrasi bisa terwujud maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. 5 Sehingga muncul konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna sebagai tidak lagi bekerja dengan skema dan watak yang lama, melainkan telah bekerja dengan skema dan watak yang baru. Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan berubah menjadi lebih baik lagi. Pembaruan kabupaten juga berarti “perombakan” menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan
3
Bambang Yudhoyono, Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, h. 20 M.Arif Nasution, Nasionalisme dan Isu-Isu Lokal, Medan:USU Press, 2005, h. 63 5 Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten, Yogyakarta: Pembaruan, 2004, h. ix-x 4
Universitas Sumatera Utara
masyarakat.6 Didalam merealisasikan demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 ini diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran Kabupaten Batubara. Dari konsep otonomi daerah inilah kemudian digagas kembali tentang sistem pemilu yang mulai mengenalkan sistem pemilihan Kepala Daerah Langsung. Perubahan ini kemudian akan diatur sedemikian rupa sehingga Undang-Undang No.32 Tahun 2004 disempurnakan menjadi Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Sebelum keluarnya UU No.12 Tahun 2008 sistem pemilu di Indonesia belum mengenal adanya calon Kepala Daerah diluar partai politik. Artinya Partai Politik masih menjadi kunci utama dalam penetu siapa Kepala Daerah dan menjadi satu-satunya preferensi politik masyarakat. Dengan keluarnya Undang-Undang No.12 Tahun 2008, maka opsi preferensi politik masyarakat manjadi lebih luas dan beragam. Ini ditandai banyaknya calon perseorangan yang maju mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah. Batu Bara menjadi salah satu kabupaten yang dalam pemilu kepala daerahnya mengikut sertakan calon perseorangan.
6
Ibid.,h. 13
Universitas Sumatera Utara
Tabel I.1 Daftar Nama Calon Pasangan Bupati dan Wakil Bupati No Nama Pasangan Calon
Bakal Calon
Partai Pengusung
1.
Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati Bupati Wakil Bupati
PKS, Demokrat, PDK Perseorangan
2. 3. 4. 5. 6. 7.
H. Ok. Saidin, SH, M.Hum Bagus Joko Triono, SE Parlindungan Sinaga, SH Muhammad Nur Ali, S.Ag Ir. Yahdi Khoir Harahap, MBA H. Surya, BSc H. Janmat Sembiring, SE H.M. Syahiri. A.karim, S.Ag OK. Arya Zulkarnain, SH, MM Drs. H. Gong Matua Siregar H. Abdul Wahid, Dr, SpPd Drs. Jalaluddin Dr. Januari Siregar, SH. M.Hum Sri Kumala, SE
8.
Drs. Ibrahim Usman H. Ahmad Yusro, SH Sumber : KPU Kabupaten Batu Bara
Bupati Wakil Bupati
GOLKAR, PAN PPP Perseorangan PBR, PBB, Patriot PDIP, PDS, PNBK, PBSD, PPIB, PPD, PNI Marhaen Peseorangan
Dukungan untuk mencalonkan sebagai bakal calon itu menjadi atensi kita dalam melihat gejala perubahan arah preferensi politik masyarakat. Preferensi politik masyarakat mulai mengarah kepada kepekaan terhadap diri sendiri dalam memandang siapa-siapa dan bagaimana figur calon pemimpin yang ada. Fenomena ini bisa diambil contoh di Kabupaten Batubara yang menjadi satu-satunya daerah pemekaran yang baru pertama kali melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan calon perseorangan sebagai pemenangnya. Pasangan OK. Arya Zulkarnaen-Gong Matua Siregar jauh mengungguli calon-calon yang merupakan representasi dari partai politik. Ini dapat dilihat dari :
Universitas Sumatera Utara
Tabel I.2 Perolehan Hasil Suara Kabupaten dan Kecamatan Lima Puluh No
Nama Pasangan Calon
1.
H. Ok. Saidin, SH, M.Hum Bagus Joko Triono, SE 2. Parlindungan Sinaga, SH Muhammad Nur Ali, S.Ag 3. Ir. Yahdi Khoir Harahap, MBA H. Surya, BSc 4. H. Janmat Sembiring, SE H.M. Syahiri. A.karim, S.Ag 5. OK. Arya Zulkarnain, SH, MM Drs. H. Gong Matua Siregar 6. H. Abdul Wahid, Dr, SpPd Drs. Jalaluddin 7. Dr. Januari Siregar, SH. M.Hum Sri Kumala, SE 8. Drs. Ibrahim Usman H. Ahmad Yusro, SH JUMLAH Sumber : KPU Kabupaten Batu Bara
Jumlah Suara Kecamatan Lima Puluh 4.183
Jumlah Suara Kabupaten
5.486
26.224
6.937
38.072
809
5.433
14.749
53.456
190
1.672
960
5.779
4.291
15.483
13.958
160.077
Jika dikerucutkan melihat fenomena preferensi politik masyarakat dalam menentukan pilihan calon dari partai politik ke calon perseorangan maka akan dilihat hasil yang lebih signifikan berdasarkan : Tabel I.3 Perolehan hasil suara kabupaten dan kecamatan bagi Calon Perseorangan No 1 2
3
Nama pasangan Calon Perseorangan
Jumlah Suara Kecamatan Lima Puluh
Jumlah Suara Kabupaten
Parlindungan Sinaga, SH Muhammad Nur Ali, S.Ag OK. Arya Zulkarnain, SH, MM Drs. H. Gong Matua Siregar Drs. Ibrahim Usman H. Ahmad Yusro, SH JUMLAH
5.486
26.224
14.749
53.456
4.291
15.483
24.526
95.163
Universitas Sumatera Utara
Dari jumlah diatas dapat dilihat persentase jumlah pemilih yang memilih pasangan calon perseorangan berjumlah 59,44%. Melihat kondisi yang telah dipaparkan diatas maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian di Kabupaten Batu Bara tepatnya di Kecamatan Lima Puluh mengenai : Preferensi Politik Pemilih Terhadap Kemenangan Calon Perseorangan Dalam Pemilukada Di Kabupaten Batubara Periode 2008 – 2013 di Kecamatan Lima Puluh.
I.2
Perumusan Masalah Dalam rancangan penelitian ini, penulis perlu menegaskan dan merumuskan
masalah yang akan diteliti dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan yang menjadi perumusan masalah adalah: “Faktor yang menyebabkan Perubahan Preferensi Politik Pemilih Dalam Pemilukada Di Kabupaten Batubara Periode 2008-2013 (Studi Kasus : Perilaku Politik Pemilih di Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara) I.2.1
Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, peneliti perlu untuk memberi batasan masalah dalam
meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah sehingga dapat memilih calon perseorangan. Batasan masalah diperlukan untuk lebih menspesifikkan lagi ruang lingkup permasalahan penelitian. Adapun pun yang menjadi batasan masalah adala sebagai berikut : 1. Yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan Lima Puluh yang meliputi 27 desa/ kelurahan.
Universitas Sumatera Utara
2. Yang menjadi sampel adalah para pemilih yang menggunakan hak suaranya dan yang memilih pasangan calon perseorangan O.K.Arya Zulkarnaen, SH-Drs, H.Gong Matua Siregar.
I.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Untuk melihat perilaku pemilih masyarakat di Kecamatan Lima Puluh pada Pemilihan Kepala Daerah (Bupati). 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya di dalam Pemilihan Kepala Daerah (Bupati).
I.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian ilmu politik. 2. Bagi penulis, penelitian ini merupakan media untuk mengasah kemampuan membuat karya ilmiah dan juga menambah pengetahuan dalam menganalisis bagaimana proses undang-undang dapat dilahirkan. 3. Bagi FISIP USU, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi yang dapat memperkaya bahan penelitian dalam bidang ilmu politik.
Universitas Sumatera Utara
I.5
Landasan Teori
1.5.1 Perilaku Politik Perilaku Politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.7 Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi, perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya. Perilaku politik merupakan perilaku yang menyangkut persoalan politik. 8 Dalam melakukan kajian terhadap perilaku politik, dapat dipilih tiga kemungkinan unit analisis, yakni aktor politik, agregasi politik dan tipologi kepribadian politik. Adapun tipologi dalam kategori individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. 9 Yang dimaksud dengan agregasi ialah individu aktor politik secara kolektif, seperti
kelompok
kepentingan,
birokrasi,
partai
politik,
lembaga-lembaga
pemerintahan dan bangsa, sedangakan yang dipelajari dalam tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelis, demokrat. Kajian terhadap perilaku politik sering kali dijelaskan dari sudut pandang psikologi disamping pendekatan struktural fungsional dan struktural konflik. Berikut ini 7
Ramlan Surbakti.Op. Cit. Hal 167 Sudijono Sastroatmodjo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995. Hal 2- 3 9 Ramlan Surbakti. Op. Cit. hal 169 8
Universitas Sumatera Utara
diuraikan sebuah model tentang faktor-faktor yang memperngaruhi perilaku politik individu aktor politik yang merupakan kombinasi ketiga pendekatan tersebut yang dikemukakan oleh M. Brester Smith (1968). I.5.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik Dalam masyarakat yang pluralis budayanya tinggi, seringkali terdapat kegiatan
yang bervariasi dan tidak mustahil terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Untuk memahami perilaku politik diperlukan tinjauan dari sudut pandang yang multidimensi. Hal itu berarti bahwa latar belakang dan faktor yang mendorong perilaku politik tidak bersifat determinan, tetapi bersifat memberikan pengaruh. 10 Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat, pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang historis. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkan bahwa budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis dan tidak berkembang, tetapi justru sebaliknya merupakan sesuatu yang berubah dan berkembang sepanjang masa. 11 Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat sebagai kawasan geostrategis, Indonesia memiliki kemungkinan sebagai pusat perhatian dunia internasional. Wilayah geografis yang strategis merupakan pertimbangan strategis bagi dunia internasional untuk mengadakan kerja sama dan hubungan dalam berbagai kepentingan. Di pihak lain, faktor kemajemukan budaya dan etnis merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi. Oleh karena itulah kondisi geografis merupakan pertimbangan yang penting dan mempengaruhi perilaku politik seperti pembuatan peraturan, perencanaan kebijakan, pengambilan keputusan dan sebagainya. Kondisi ini juga mempengaruhi 10 11
Sudijono Sastroatmodjo, Op.Cit., h. 12 Ibid., h. 17
Universitas Sumatera Utara
perbedaan
tingkat
partisipasi
politik
masyarakat
kesenjangan
pemerataan
pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi dan teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik, pendidikan politik dan komunikasi politik masyarakat. Berdasarkan inilah aktor politik dituntut untuk mempertimbangkan kondisi dan pengambilan keputusan. Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat. Budaya politik suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu, mencapai serta memelihara stabilitas sistem politik. Berfungsinya budaya politik itu pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik. Sehingga dapat diketahui bagaimana dan mengapa mereka melakukan sesuatu, apa motivasi dan bagaimana pola tingkah laku tersebut menyelaraskan diri dengan sistem politik yang berlaku. 12 Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan dan agama merupakan pedoman dan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang. 13
12 13
Ibid., h. 20-21 Ibid., h. 25
Universitas Sumatera Utara
Kepercayaan, ideologi dan mitos merupakan citra-citra kolektif dan ide yang bersifat elemen spiritual dan psikologis. 14 Keyakinan mengacu kepada ideologi yaitu keyakinan yang lebih rasional dan ada yang bersifat irasional atau mitos. 15 Ideologi merupakan keyakinan yang dirasionalisir dan disistematisir, yang mencerminkan situasi masyarakat.16 Mitos merupakan keyakinan yang kurang jelas, kurang rasional dan yang kurang teliti yang bersifat fabel tentang alam, dunia, manusia dan masyarakat yang sudah diterima secara kuat. Pada abad 20, jurnalis perancis George Sorel mengembangkan suatu paham bahwa salah satu cara yang efektif untuk mempengaruhi suatu komunitas adalah memberikan citra-citra yang singkat dan tidak rumit tentang suatu masa depan yang fiktif yang mempolaisir emosi-emosinya dan bergerak menuju aksi. 17 Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik seseorang. Sistem politik yang cenderung sentralistis akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam mengatasi dan mengakomodasi berbagai kepentingan. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya, dan sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin rendah pula
tingkat
kesadaran
politiknya.
Komunikasi politik
yang
intens
akan
mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya. Keenam, faktor kepribadian seseorang juga mempengaruhi perilaku politik. Perilaku politik itu bergantung pada sifat struktur kepribadian yang dimilikinya, apakah tergolong dalam fungsi penyesuaian diri atau dalam basis fungsional eksternalisasi dan pertahanan diri.
14
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Jakarta: Rajawali Press, 1982, h.147 Ibid., h. 148 16 Ibid., h.150 17 Ibid., h.154 15
Universitas Sumatera Utara
Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik. Faktor ini dapat mempengaruhi aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, keadaan ruang, ancaman, suasana kelompok dan kehadiran orang lain. Lingkungan sosial politik tersebut saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai faktor yang berdiri sendiri. Melalui proses, pengalaman, sosialisasi dan sebgainya terbentuklah sikap dan perilaku politik seseorang. Selain faktor-faktor tersebut, pendapat umum masyarakat di Prancis menyatakan bahwa kesadaran politik memusatkan kepada ideologi dan bukan mitos rakyat dan ada lima faktor yang memainkan peranan penting untuk menentukan pilihan rakyat dan sikap rakyat, yaitu: 1). Standar hidup, kondisi gaji atau tidak didigaji, sense of social belonging, 2). Kelompok umur dan seks, 3). Tingkat pendidikan, 4). Agama, dan 5). Simpati terhadap partai politik. Tiga faktor terakhir bersifat ideologis, partai-partai didasarkan pada ideologi politik, kurang atau lebih terikat kepada doktrin-doktrin politik dan tingkat pendidikan mempengaruhi kemungkinan saling pengertian. Konsep kesadaran politik ini menunjukkan peranan ideologi. Setiap sikap politik yang khusus adalah jawaban serentak kepada situasi kongkrit yang bangkit di dalam masyarakat dan manifestasi dari visi keseluruhan tentang kekuasaan, hubungannya dengan warga secara individual dan konflik dimana kekuasaan merupakan kesadaran politik. Semakin tinggi kesadaran politik maka semakin besar pengaruhnya dan semakin kurang setiap sikap didiktekan oleh keadaan dari suatu situasi khusus. Kesadaran politik adalah produk dari sejumlah faktor pendidikan, lingkungan, pengalaman dan semacamnya. 18
18
Ibid., h.160
Universitas Sumatera Utara
1.5.3 Perilaku Pemilih Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep perilaku pemilih (Voting Behavior). Menurut Harold F. Gosnell, Pemungutan suara adalah proses dimana seorang anggota masyarakat dari suatu kelompok menyatakan pendapatnya dan dengan demikian ikut serta dalam menentukan konsensus diantara anggotaanggota kelompok itu dalam pemilihan seorang pejabat maupun keputusan yang diusulkan. 19 Dengan demikian, konsep voting berkaitan dengan pemberian suara dari seorang individu dalam rangka ikut berpartisipasi politik. Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan. 20 Secara sederhana perilaku pemilih didefinisikan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu. 21 Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbanganpertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu, Mahzab Columbia yang
19
Harol. F. Gosnell, dalam Edwin R. A Salignan dan Alvin Johnson. Encyclopedia of Social Science. Vol. 15. New York. The Macmillan Co. 1934. Hal 287 20 Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka Cipta. 1990. Hal 16 21 Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. Kamus Analisa Politik. Jakarta. C.V. Rajawali Press. 1985. Hal 280
Universitas Sumatera Utara
menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan pendekatan Psikologis.
22
Selain itu terdapat juga pendekatan rational choice yang
melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu tersebut. 23 I.5.3.1 Pendekatan Sosiologis Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial ini misalnya berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), agama dan semacamnya, dianggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam pentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal seperti keangggotaan seseorang
didalam organisasi
keagamaan,
organisasi profesi,
kelompok-kelompok okupasi dan sebagainya, maupun kelompok informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya. Ini merupakan sesuatu vital dalam memahami perilaku politik, karena kelompok-kelompok ini mempunyai peranan besar dalam bentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior kedalam 2 variabel yaitu predisposisi (kecendrungan) sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Apakah preferensi politik ayah atau ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. 24
22
Afan Gaffar. Javanese Voters: a Case Study of Election under a Hegemonic Party System. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 1992. Hal 4- 9 23 Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187 24 A.Rahman Zainuddin, h.47-48
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir didalam kehidupan privat dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Dikalangan partai politik, agama dapat melahirkan dukungan politik dari pemilih atas dasar kesamaan teologis, ideologis, solidaritas dan emosional. Fenomena partai yang berbasis agama dianggap menjadi daya tarik kuat dalam preferensi politik. Dalam literatur perilaku pemilih, aspek agama menjadi pengamatan yang penting. Pemilih cenderung untuk memilih partai agama tertentu yang sesuaidengan agama yang dianut. Di Indonesia faktor agama masih dianggap penting untuk sebahagian besar masyarakat. Misalnya seorang muslim cenderung untuk memilih partai yang berbasis islam dan sebaliknya seorang non-muslim cenderung untuk memilih partai non-muslim. 25 Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Adanya rasa kedaerahan mempunyai dukungan seseorang terhadap partai. Dibeberapa negara, wilayah tertentu mempunyai loyalitas terhadap partai tertentu. Hal ini biasanya berkaitan dengan status ekonomi seseorang (faktor kelas) terutama dihampir semua negara industri. Namun penelitian yang dilakukan oleh Afan Gaffar menunjukkan bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan. Tidak ada perbedaan kecenderungan perilaku politik antara mereka yang termasuk kategori orang kaya/ orang miskin; antara yang memiliki tanah yang luas yang sedikit; antara yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang dengan buruh tani, dan sebagainya. 26
25
Dikutip dari Sulhardi, Political Psycology Socialization, and culture, http://pangerankatak.blogspot.com/ 2008/04/governing-intoduction-to-political, 28 April 2008. 26 A.Rahman Zainuddin, Op.Cit., h.48-49
Universitas Sumatera Utara
I.5.3.2 Pendekatan Psikologis Psikologi adalah ilmu sifat, dimana fungsi-fungsi dan fenomena pikiran manusia dipelajari. Setiap tingkah laku dan aktivitas masyarakat dipengaruhi oleh akal individu. Sedangkan ilmu politik mempelajari aspek tingkah laku masyarakat umum sehingga ilmu politik berhubungan sangat dekat dengan psikologi. 27 Pendekatan ini muncul merupakan reaksi atas ketidakpuasan mereka terhadap pendekatan sosiologis. Secara metodologis, pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk memperjelaskan perilaku pemilih. Disini para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai variabel utama dalam menjelaskan perilaku politik. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, menurut Greenstein ada 3 yakni: 1. Sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. 2. Sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang diseganinya atau kelompok panutan.
27
Suhardi, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
3. Sikap merupakan fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan dan eksternalisasi diri. Namun, sikap bukanlah sesuatu hal yang cepat terjadi, tetapi terbentuk melalui proses yang panjang, yakni mulai dari lahir sampai dewasa. Pada tahap pertama, informasi pembentukan sikap berkembang dari masa anak-anak. Pada fase ini, keluarga merupakan tempat proses belajar. Anak-anak belajar dari orang tua menganggap isu politik dan sebagainya. Pada tahap kedua, adalah bagaimana sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi diluar keluarga. Tahap ketiga, bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan seperti pekerjaan, gereja, partai politik dan asosiasi lain. Melalui proses sosialisasi ini individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik di dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Sosialisasi bertujuan menungkatkan kualitas pemilih. Maka pendidikan politik disini berperan yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. 1.5.3.3 Pendekatan Rasional Menurut Elster (1998:22), intisari pilihan rasional (Rational Choice Theory) adalah tindakan apa yang dilakukan seseorang yang diyakininya berkemungkinan dapat memberikan hasil terbaik. Pilihan rasional muncul sebagai revolusi pendekatan perilaku (behavioral approach) dalam ilmu politik pada tahun 1950-an dan 1960-an yang sebenarnya berusaha meneliti bagaimana individu berperilaku dan menggunakan metode empris. Pendekatan perilaku telah menjadi pendekatan dominan terhadap ilmu politik, setidaknya di Amerika Serikat. Namun pilihan rasional bersumber dari
Universitas Sumatera Utara
metodologi ilmu ekonomi, kebalikan dengan para behavioralis yang bersumber dari sosiologi dan psikologi Barry (1970). 28 Kemudian, seiring perkembangannya, muncul pendekatan pilihan rasional dalam menganalisa perilaku pemilih. Berdasarkan pendekatan ini, manusia diasumsikan adalah seorang pemilih yang rasional. Kegiatan memilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi. 29 Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan-pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya. Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan: apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Sementara orientasi kandidat mengacu kepada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meski demikian, ketertarikan para pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai atau pun kandidat bersifat situasional. 30 Pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, perinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan ataupun kebiasaan dan tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangan logis. 31
28
David Mars dan Gaerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung. Nusa Media. 2002. Hal 76- 77 29 Ramlan Surbakti. Op. Cit. Hal 187 30 Asep Ridwan. Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004 di Indonesia. Jurnal Demokrasi dan Ham. Vol 4. No. 1. Jakarta. 2004. Hal 38- 39 31 Asep Ridwan. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1.5.4 Konfigurasi Pemilih Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan empat konfigurasi pemilih: 32 1.
Pemilih Rasional Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional, dimana pemilih
memiliki orientasi tinggi pada policy-problem-solving dan beorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai dimasa lampau dan tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program kerja partai yang berorientasi ke masa depan tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut dimasa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanisfestasikan pada reputasi dan citra (image) yang berkembang dimasyarakat. Pemilih rasional memiliki ciri khas yaitu tidak begitu mementingkan ikatan ideologi suatu partai politik atau calon yang diusungnya. Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa dan telah dilakukan oleh suatu partai maupun calon yang diusungnya. 2.
Pemilih Kritis Untuk menjadi pemilih kritis, seseorang melalui dua hal yaitu, pertama, jenis
pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai mana mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan. Kedua, bisa terjadi sebaliknya dimana pemilih tertarik dahulu dengan program kerja yang 32
Firmanzah. Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007. Hal 134- 138
Universitas Sumatera Utara
ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu, baru kemudian mencoba memahami nilai- nilai dan paham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini adalah pemilih kritis artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara idiologi partai dengan kebijakan yang akan dibuat. 3.
Pemilih Tradisional Jenis pemilih ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai suatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih jenis ini sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik maupun seorang kontestan. Pemilih jenis ini sangat mudah untuk dimobilisasi selama masa kampanye dan mereka memiliki loyalitas sangat tinggi. 4.
Pemilih Skeptis Pemilih ini tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi terhadap
sebuah partai politik, pemilih ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang, hasilnya akan sama saja dan tidak ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi daerah, masyarakat maupun negara. I.5.5
Preferensi Politik Preferensi politik seringkali dikaitkan dengan perubahan perilaku pemilih
dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilihan umum (pemilu), baik pemilu legislatif/ presiden maupun pemilukada. Preferensi politik masyarakat/ pemilih adalah bagaimana pemilih menentukan pilihannya dengan berbagai pertimbangan sesuai dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan standard penilaian terhadap
Universitas Sumatera Utara
seorang calon maupun partai politik. Seiring berjalannya waktu, dimana dinamika perubahan baik ekonomi, politik dan social budaya, akan berpengaruh terhadap kondisi psikologi seseorang. Bergesernya kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap cara pandang dan persepsi masyarakat akan sesuatu. Apa yang dikatakan “bagus” menurut masyarakat saat ini, belum tentu bagus untuk masa yang akan datang. Namun, hasil survey diatas setidaknya bisa dijadikan hipotesis yang perlu diuji kebenaranya. Hipotesis ini menunjukan bahwa masyarakat tengah mengalami perubahan politik dimana preferensi politik mereka semakin independen. Hal ini tidak terlepas dari hasil proses pembelajaran selama satu decade selama reformasi bergulir. Terbukanya saluran komunikasi lewat banyaknya media yang tersedia, pada akhirnya memberikan imbas kepada masyarakat untuk lebih terbuka dengan linngkunganya dan tidak mudah untuk ditarik-tarik oleh beberapa kelompok untuk kepentingan tertentu33.
Kondisi tersebut mengisyaratkan bahwa mansyarakat mulai mempunyai kepekaan terhadap diri sendiri dan lingkunganya sebagai hasil interaksi inderawi dengan lingkungan yang ada. Masyarakat Indonesia saat ini seperti yang dikatakan oleh teori behaviourismenya Ivan Pavlou. Dalam teori tersebut, Pavlou membuat rumusan dengan apa yang dia sebut sebagai Classical Conditioning. Teori ini mengatakan bahwa terjadinya perubahan perilaku dapat diakibatkan oleh rangsangan (stimulus) yang tidak berkondisi atau bersyarat yang disebut dengan unconditioned stimulus atau dapat juga dikatakan dengan rangsangan alamiah. Disisi lain, teori ini juga mengatakan perubahan perilaku dapat pula diakibatkan oleh rangsangan terkondisi atau bersyarat (conditioned stimulus). Kedua proses tersebut (alamiah dan terkondisi) merupakan fenomena yang ada
33
Fatkhuri, MA, Pergeseran preferensi politik masyarakat, http://bungfatur.multiply.com/journal/item/10/Perubahan_preferensi_politik
Universitas Sumatera Utara
dalam setiap kehidupan. Dalam kontek masyarakat Indonesia saat ini, adanya berbagai macam program tayangan di beberapa media seperti televisi, koran, majalah dan lain sebagainya merupakan bentuk proses belajar secara alamiah yang dilakukan masyarakat. Dengan menggunakan indra penglihatan dan pendengaran, masyarakat banyak mencerna stimulus dari luar yang tanpa sadar dari proses tersebut telah menghasilkan tambahan pengetahuan bagi mereka. Hal yang sama terjadi pada proses pembelajaran secara non alamiah. Menjamurnya berbagai macam program pemberdayaan masyarakat baik yang dilakukan pemerintah, LSM, dan partai politik merupakan contoh nyata proses pembelajaran secara terkondisi dan bersyarat. Dari sini masyarakat akan banyak mendapatkan input sehingga berpengaruh terhadap cara berfikir mereka. Disadari ataupun tidak, hasil proses pembelajaran tersebut pada akhirnya memperkokoh tiang independensi masyarakat. Dan tentu ini merupakan dampak positif dari transisi demokrasi di Indonesia. Ekses dari pendidikan baik secara alamiah maupun tidak, bisa kita lihat dari realitas bahwa, saat ini masyarakat kita tidak gampang di ombang-ambingkan oleh berbagai macam bentuk proses pencitraan yang dilakukan oleh berbagai elemen terutama partai politik, yang pada saat sekarang sedang gencar-gencarnya membangun citra positif dimata rakyat menjelang pemilihan legislatif dan presiden 2009. Dengan kata lain, masyarakat sudah mulai cerdas dan mandiri dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya. Masyarakat tidak mudah untuk dipengaruhi apalagi dengan jargon-jargon yang tidak jelas jeluntrungnya. Apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah bukan narasi besar, melainkan aksi-aksi nyata elit-elit politik dalam rangka mendorong perubahan hidup masyarakat kearah yang lebih baik. Masyarakat sudah capai dan jenuh dengan permainan elit. Mereka tidak lagi mau
Universitas Sumatera Utara
dibodohi dengan janji-janji semu, yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Inilah kenyataan yang harus di waspadai oleh partai-partai politik saat ini. Partai-partai harus lebih berhati-hati dan cerdas dalam mempengaruhi masyarakat. Karya nyata yang ditunjukkan oleh individu yang langsung berkarya dalam kehidupan masyarakat lewat kerja-kerja yang populis seperti peningkatan/ usaha pertanian, dll ternyata memberikan dampak nyata terhadap perubahan preferensi politik masyarakat. Masyarakat tidak lagi melihat individu itu sebagai orang yang mempunyai catatan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Akan tetapi masyarakat melihatnya bahwa individu itu adalah seorang figur yang telah mencurahkan hidupnya bagi nasib kaum kecil di Indonesia. Begitupun sebaliknya, partai politik yang selama ini dengan tegas mengklaim partainya orang kecil, pada kenyataanya dengan mudah di geser oleh partai yang mengusung calon yang berdedikasi tadi. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat tidak lagi doyan dengan dagangan janji, slogan dan semacamnya, akan tetapi dedikasi elit terhadap keberpihakan orang kecillah yang menjadi tonggak keberhasilan dalam mempengaruhi preferensi masyarakat. Kenyataan ini juga mengindikasikan bahwa preferensi politik masyarakat saat ini tidak lagi jatuh pada mainstream ideologi dan kharisma. Perubahan pola pikir masyarakat dalam menilai parpol atau individu/ calon tersebut semakin memperkuat argumen bahwa ideologi dan kharisma tidak lagi sebagai faktor yang paling fundamental dalam proses mempengaruhi pilihan pemilih.
1.5.6 Pemilihan Umum Kepala Daerah I.5.6.1 Perspektif Teoritis David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem dalam politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurangnya
Universitas Sumatera Utara
tiga sifat, yakni terdiri dari banyak bagian, bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung dan mempunyai perbatasan yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem pemilihan kepala daerah mempunyai bagianbagian yang merupakan sistem sekunder atau sub-sub sistem. Bagian tersebut adalah Electoral Regulation, Electoral Process, dan Electoral Law Enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai pemilihan kepala daerah yang berlaku bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process adalah seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan pemilihan kepala daerah yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement adalah penegakan hukum terhadap aturan-aturan pemilihan kepala daerah baik politisi, administrasi atau pidana. Ketiga bagian ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan proses pemilihan kepala daerah. Sebagai suatu sistem, pemilihan kepala daerah memiliki ciri-ciri yakni bertujuan memilih kepala daerah, setiap komponen yang terlibat dan kegiatan mempunyai batas, terbuka, tersusun dari berbagai kegiatan yang merupakan subsistem, masing-masing kegiatan saling terkait dan tergantung dalam suatu rangkaian utuh, memiliki mekanisme kontrol, dan mempunyai kemampuan mengatur dan meyesuaikan diri.
I.5.6.2 Perspektif Praktis Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan yang berfungsi sebagai perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan. Istilah jabatan publik
Universitas Sumatera Utara
mengandung arti bahwa kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, berdampak kepada rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh karena itu, kepala daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat. Jabatan politik bermakna bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan mekanisme politik yaitu, melalui pemilihan yang melibatkan elemen politik, yaitu rakyat dan partai politik. Pemilihan kepala daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati, ataupun Walikota/ Wakil Walikota. Aktor utama sistem pemilihan kepala daerah adalah rakyat, partai politik dan calon kepala daerah. 34 I.5.6.3 Sejarah Pemilihan Umum Kepala Daerah Di Indonesia Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada keluarnya Undang-Undang No.18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. dalam Undang-Undang No.18/1965, bertolak belakang dengan Undang-Undang No.1/1957 karena perubahan format pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem kesatuan. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara, yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah. 35 Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD, pemberhentian kepala daerah 34 35
Joko J. Priatmoko, Op.Cit., h. 200-203 Ibid, hal 61.
Universitas Sumatera Utara
merupakan kewenangan penuh presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau walikota. Pemerintahan Orde Baru menerbitkan UU No.5 Tahun 1974 tentang pokokpokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerja sama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat. Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih sebagai bupati. 36 Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang-Undang ini menimbulkan perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah UU ini diberlakukan, hubungannya bersifat desentralistis. 36
Ibid, hal 65.
Universitas Sumatera Utara
Menurut UU No.22 Tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. 37 Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa-masa sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. UU No.22 Tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berbeda dengan di masa-masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya mengusulkan nama-nama calon kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon-calon tersebut. Dalam sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang-undang ini, sistem rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa calon kepala daerah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok-kelompok sosial dalam rangka menciptakan opini publik. UU No.22 Tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila UU No. 22 Tahun 1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi. 38 Untuk menggantikan UU No.2 Tahun 1999, ditetapkanlah UU No.32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya UU No.32 Tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung, namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas undang-undang tersebut, kemudian 37
Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75. 38 Ibid., hal 97 – 98.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.3/2005, yang pada akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam UU No.32 Tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia. Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) UU No.32 Tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang-undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Revisi UU No.32 Tahun 2004 melahirkan UU No.12 Tahun 2008. UU No.12 Tahun 2008 ini tentang perubahan terhadap UU No.32 Tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-Undang ini mengenai pemilihan kepala daerah. Dimana didalam undang-undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam undang-undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala daerah langsung, yaitu yang tertulis di dalam UU No.12 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
I.5.6.4 Landasan Hukum Pemilukada Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, Pasal 1 ayat 1 berbunyi : “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan atau Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah”. Menurut UU Pilkada No.32 Tahun 2004, setiap calon yang diusung oleh sebuah Partai ataupun gabungan Partai harus memiliki jumlah kursi sebanyak 15% di DPRD Kabupaten/ Kota. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 2008 Pasal 59 (sebagai revisi UU No.32 Tahun 2004), maka proses pencalonan pasangan calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur independen (perseorangan). Oleh sebab itu, berdasarkan Undang-undang itu maka calon perseorangan harus mengumpulkan dukungan sebanyak 5% dari jumlah penduduk dengan bukti KTP. Dengan dibukanya jalur perseorangan ini, maka suasana politik di kabupaten ini akan semakin memanas karena ada lebih delapan pasangan calon (5 calon yang diusung partai politik dan 3 calon perseorangan) yang akan bertarung dalam Pemilukada Batubara 2008 ini.
1.6
Definisi Konsep Definisi konsep adalah kata- kata yang merupakan unsur- unsur umum abstrak
yang ditarik dari berbagai fenomena berbeda. 39 Dalam kaitannya dengan judul yang diangkat yaitu perilaku pemilih di Kecamatan Lima Puluh pada pemilukada Batubara 2008, maka yang menjadi konsep penelitian ialah:
39
Mary Grisez Kweit dan Robert W. Kwiet. Op.Cit. Hal 243
Universitas Sumatera Utara
1. Perilaku Pemilih Perilaku pemilih ialah tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada kegiatan pemilu. Tingkah laku individu ini kemudian secara umum dipengaruhi oleh tiga pendekatan yaitu: a. Pendekatan sosiologis, pendekatan sosiologis dalam menganalisis perilaku pemilih menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferensi pemberian suara di kotak pemilihan merupakan produk dari karakteristik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya. b. Pendekatan psikologis, pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu
merupakan
persoalan
respons
psikologis.
Pendekatan
psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan lebih pada individu itu sendiri. c. Pendekatan pilihan rasional, pendekatan pilihan rasional dalam menganalisa perilaku pemilih merupakan produk dari kalkulasi untung rugi. Individu mengantisipasi setiap konsekuensi yang mungin muncul dari pilihan- pilihan yang ada. Kemudian, dari pilihan-pilihan tersebut, individu akan memilih pilihan yang memberi keuntungan paling besar bagi dirinya. 2. Calon Perseorangan Calon perseorangan adalah individu yang berasal dari suatu kelompok masyarakat yang mencalonkan diri dalam pemilukada atau dengan kata lain individu ini tidak diusung oleh partai pemilu. Calon perseorangan harus
Universitas Sumatera Utara
terlebih dahulu memenuhi syarat untuk mencalonkan diri yaitu harus mengumpulkan dukungan sebanyak 5% dari jumlah penduduk dengan bukti KTP. Syarat ini berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 2008 Pasal 59 (sebagai revisi UU No.32 Tahun 2004), maka proses pencalonan pasangan calon tidak hanya dari jalur Partai Politik melainkan dapat juga melalui jalur independen (perseorangan). 3. Pemilukada Pemilukada adalah Pemilihan umum langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah, dilakukan secara langsung oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut dan didasarkan pada UU No.12 Tahun 2008 dan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan agar mampu melahirkan kepemimpinan daerah yang efektif dengan memperhatikan prinsip-demokrasi, persamaan, keadilan, dan kepastian hukum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.7
Definisi Operasional Definisi operasional adalah penjelasan bagaimana variabel-variabel akan
diukur secara empiris. 40 Adapun yang menjadi definisi operasional pada penelitian ini adalah: 1. Perilaku Pemilih a. Pendekatan sosiologis dengan indikator; pendidikan, ras, agama, pekerjaan, b. Pendekatan psikologis dengan indikator; kedekatan emosional dengan kandidat, keterlibatan dengan partai pendukung kandidat, c. Pendekatan pilihan rasional dengan indikator; kepercayaan terhadap visi dan misi yang ditawarkan kandidat, adanya unsur materi/ jabatan yang diperoleh jika memilih kandidat, rekam jejak dari kandidat. 40
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Calon Perseorangan Calon perseorangan yang mengikuti Pemilukada Batubara 2008 adalah : 1. Parlindungan Sinaga, SH Muhammad Nur Ali, S.A.g
(Bupati) (Wakil bupati)
2. OK. Arya Zulkarnaen, SH, MM (Bupati) Drs. H. Gong Matua Siregar 3. Drs. Ibrahim Usman H. Ahmad Yusro, SH
I.8
(Wakil Bupati)
(Bupati) (Wakil Bupati)
Metodologi Penelitian Metodologi penelitian adalah semua asas, peraturan, teknik-teknik yang perlu
diterapkan dan diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan analisis data. 41 Pembahasan langkah prosedural yang dapat digunakan untuk mencapai sarana dan tujuan penelitian harus memasukkan pembenaran atas metode yang dipilih dan harus memperlihatkan kesesuaian antara tujuan, metode, dan sumber daya yang tersedia. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
I.8.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Dengan tujuan
untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul didalam masyarakat yang menjadi objek penelitian. 42 Penelitian deskriptif memiliki dua tujuan, antara lain: Pertama, mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena tertentu. Kedua, untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu. 43
41
Dolet Unaradjan, Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial, PT. Grafindo, Jakarta, 2000., hal 1. Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Formula – Formula Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya, Airlangga University Press, 2001., hal 48. 43 Drs. Mardalis, Metode Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, 1995., hal 26. 42
Universitas Sumatera Utara
I.8.2
Lokasi Penelitian Adapun yang menjadi lokasi pada penelitian ini adalah seluruh daerah
Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batubara. I.8.3
Populasi Dan Sampel
I.8.3.1 Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditetapkan kesimpulannya. Populasi mempunyai lambang (N). 44 Dalam hal ini populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang telah memiliki hak suara (pemilih) didalam pemilihan kepala daerah pada Kecamatan Lima Puluh yaitu berjumlah 85.052 orang. Jika diperkecil kembali menjadi lebih spesifik berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) jumlah total pemilih yang menggunakan hak suaranya adalah 35.749 dari 27 Desa/ Kelurahan. I.8.3.2 Sampel Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Dalam penelitian ini penulis menetapkan sampel dari 35.749 pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya menjadi 14.749 pemilih yang memilih pasangan OK. Arya Zulkarnain, SH, MM-Drs. H. Gong Matua Siregar. Bila populasi besar, maka peneliti tidak mungkin untuk meneliti semua yang ada dipopulasi sehingga dalam hal ini dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Untuk itu sampel diambil dari populasi harus betul-betul representatif (mewakili). 45 Karena populasi yang bersifat heterogen atau tidak homogen, maka pada teknik penarikan sampel menggunakan Teknik Proportionate Stratified Random
44 45
Husein Umar, Metode Riset Bisnis, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 65 Sugiyono, Statistika Untuk Penelitian, Bandung: CV Alfabeta, 2006, h. 56
Universitas Sumatera Utara
Sampling yakni populasi yang mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10%,46 disebabkan jumlah populasi cukup besar yaitu 14.749 orang maka adapun rumus yang digunakan untuk menentukan dan pengambilan sampel adalah rumus yang dikemukakan oleh Taro Yamane,
N n= N (d2) + 1
Dimana ; n = Jumlah besarnya sampel N = Jumlah Populasi d = Presisi Maka, 14.749 n= 14.749 (0,1)2 + 1 14.749 n= 147,49 + 1 14.749 n= 148,49 n=
99,32 digenapkan menjadi 99 Sampel
Maka jumlah sampel penelitian ini adalah 99 orang. Sedangkan untuk menentukan responden yang akan dijadikan sampel penelitian adalah 99 orang dari
46
Masri Singarimbun,Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, h.106
Universitas Sumatera Utara
desa, Penulis menggunakan teknik sampling acak proporsional dan sampelnya dinamakan sampel acak proporsional. Dengan rumus sebagai berikut:
n1 x n n= N dimana: n1 = jumlah populasi tiap Desa / Kelurahan n = jumlah sampel pada populasi awal N = jumlah populasi keseluruhan Contoh penentuan sampel Desa / Kelurahan adalah sebagai berikut: Populasi No
Penarikan
Desa
Sampel Desa / Kelurahan
1.
Mangkai Baru
412
2.
Mangkai Lama
458
3.
Lima Puluh Kota
807
4.
Perkebunan Dolok
128
5.
Sumber Padi
521
6.
Perkebunan Limau Manis
7.
Antara
8.
Perkebunan Kwala Gunung
9.
Kwala Gunung
329
10. Cahaya Pardomuan
57
76 373 64
11. Simpang Dolok
421
12. Empat Negeri
565
13. Perkebunan Lima Puluh
341
Sampel 412 x 99 14.749 458 x 99 14.749 807 x 99 14.749 128 x 99 14.749 521 x 99 14.749 76 x 99 14.749 373 x 99 14.749 64 x 99 14.749 392 x 99 14.749 57 x 99 14.749 421 x 99 14.749 565 x 99 14.749 341 x 99 14.749
3 3 5 1 3 1 3 0 3 0 3 4 2
Universitas Sumatera Utara
14. Sumber Makmur
217
15. Perkebunan Tanah Gambus
747
16. Perkebunan Itam Ulu
364
17. Lubuk Besar
420
18. Pulau Sejuk
460
19. Air Hitam
735
20. Guntung
786
21. Pematang Panjang
847
22. Bulan – Bulan
1415
23. Perupuk
1447
24. Gambus Laut
865
25. Lubuk Cuik
505
26. Tanah Itam Ilir
257
27. Simpang Gambus Total
1132 14.749
217 x 99 14.749 747 x 99 14.749 364 x 99 14.749 420 x 99 14.749 460x 99 14.749 735x 99 14.749 786x 99 14.749 847 x 99 14.749 1415 x 99 14.749 1447x 99 14.749 865 x 99 14.749 505 x 99 14.749 257 x 99 14.749 1.132 x 99 14.749 Jumlah
1 5 2 3 3 5 5 6 9 10 6 3 2 8 99
Universitas Sumatera Utara
I.8.4
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, data yang diperlukan oleh peneliti adalah: 1. Dengan menggunakan data primer yakni melalui penyebaran angket atau kuesioner dan wawancara dengan pedoman daftar pertanyaan terstruktur yang ditujukan kepada masing-masing responden. 2. Dengan menggunakan data sekunder yakni melakukan studi pustaka atau dokumen dari Kantor KPU Batu Bara dan Kantor Kecamatan Lima Puluh.
I.8.5 Teknik Analisis Data Penelitian ini bersifat kuantitatif format deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi dengan menggunakan analisa kualitatif. Data-data yang telah dikumpul, baik data sekunder maupun data yang diperoleh dari lapangan yang akan diekspolasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.
I.9
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini menggambarkan susunan dan dijabarkan tetapi
rencana penulisan atau
bentuk
fisik
hasil
penelitian.
Sehingga dapat
mempermudah isi dan skripsi ini, maka penulis membagi ke dalam 4 (empat) bab. Untuk itu disusun sistematika sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
BAB I : PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini membahas mengenai gambaran secara umum Kecamatan Lima Puluh seperti sejarah, letak geografis, batas wilayah, dan mengenai demografis penduduk. BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA Bab ini memuat penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari kuesioner yang telah diberikan kepada responden. Data tersebut disajikan dan dianalisa sesuai dengan karakteristik responden dan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi politik pemilih. BAB IV : PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang terkait dengan penelitian.
Universitas Sumatera Utara