ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK BUSINESS CYCLE INDONESIA
OLEH MELA SETIANA H14102115
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
MELA SETIANA. H14102115. Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Perekonomian suatu negara yang naik turun (business cycle) sepanjang waktu membuat para pelaku usaha seperti investor dan pemerintah membutuhkan kepastian akan kestabilan kondisi perekonomian negara di masa depan agar para investor dapat merencanakan kegiatan usahanya dan menghindari kebangkrutan, sedangkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) dapat membuat kebijakan yang lebih terarah. Salah satu solusinya dengan menggunakan Composite Leading Index (CLI) yang diyakini kemampuannya sebagai alat peramalan yang dapat dipercaya. Pembentukan CLI Indonesia selama ini terhambat karena beberapa sebab, antara lain : tidak dimilikinya software untuk mengolah data, keterbatasan dalam penyediaan data, serta masih terbatasnya pemilihan seri acuan menggunakan single series daripada multiple series. Saat ini, Indonesia melalui Bank Indonesia bekerjasama dengan lembaga internasional OECD, dan melakukan pelatihan dengan Cabinett-office Jepang dalam mengembangkan konsep pembentukan CLI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung CLI Indonesia dengan menggunakan dua seri acuan, yaitu PDB dan IPI, membandingkan hasil analisis keduanya, dimana proses pembentukan CLInya menggunakan konsep yang dikembangkan OECD. Selain itu, mengidentifikasi variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan dalam penelitian ini ke dalam tiga jenis business cycle indicator (BCI), yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Setelah CLI dibentuk, maka kinerjanya dievaluasi terhadap pergerakan siklikal seri acuan. Metode yang digunakan untuk membentuk CLI dalam penelitian ini adalah metode OECD. Proses penghilangan unsur musiman dan irregular menggunakan program seasonally adjusted, dan estimasi trend dilakukan menggunakan metode Hodrick-Prescott filter. Kedua program ini terdapat dalam software Eviews. Penentuan titik balik mengacu pada prosedur Bry-Boschan, sedangkan penentuan kriteria BCI dilakukan melalui analisis visual grafik dan hasil analisis korelasi silang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada lima titik balik dalam PDB, yang terdiri dari tiga titik lembah dan dua titik puncak, sehingga untuk PDB terdapat dua siklus panjang dengan masing-masing durasi siklus adalah 16 dan 23 triwulan. Sementara untuk IPI, terdapat enam titik balik, yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak, sehingga untuk IPI juga terdapat dua siklus panjang dengan masing-masing durasi siklus 18 dan 13 triwulan. Dilihat dari pergerakan siklikalnya, titik balik IPI terjadi lebih dulu daripada titik balik PDB, berarti dapat disimpulkan bahwa IPI merupakan leading bagi PDB. Dari 18 variabel yang dianalisis, hanya ada sembilan yang tergolong sebagai leading indicator untuk PDB, yaitu: M1, nilai tukar, indeks harga saham
gabungan, impor non migas, total impor, impor barang konsumsi, produksi nikel, impor bahan baku, dan ekspor kayu lapis. Hanya ada dua variabel yang termasuk sebagai leading indicator IPI, yaitu: impor barang konsumsi dan produksi nikel. CLI yang dibentuk dari kumpulan leading indicators baik untuk PDB maupun IPI terlihat mampu mengikuti pergerakan siklikal dari masing-masing seri acuannya. Kemampuan prediksi CLI untuk PDB mempunyai kisaran jarak 1.2 triwulan s/d 7.4 triwulan. CLI IPI memiliki kemampuan prediksi antara 2.4 triwulan s/d 5.8 triwulan. Berdasarkan hasil penelitian, meskipun CLI yang dibentuk mampu mengikuti pergerakan siklikal dari seri acuan, tetapi nilai koefisien korelasi untuk kedua CLI masih rendah, hanya sekitar 0.50 yang berarti masih membutuhkan penelitian lanjutan. Kinerja dari komposit ini perlu terus diuji dengan data terbaru untuk dinilai tingkat kerelevanannya dengan kondisi perekonomian yang terus berubah Sangat diharapkan bagi lembaga pemerintah maupun swasta dapat terus bekerja sama dengan lembaga atau universitas untuk mengembangkan metodologi pembentukan CLI yang lebih balik dan hasilnya yang dapat lebih dipercaya keakuratannya dengan software yang mudah diperoleh dan diaplikasikan untuk perekonomian Indonesia. Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dapat bekerja sama membuat kebijakan yang memperhatikan leading indicators. Seperti jika BI menjaga agar nilai tukar rupiah tidak terlalu berfluktuasi, maka kegiatan perdagangan luar negeri bisa berjalan baik, didukung oleh kebijakan dari pemerintah agar kegiatan ekspor bisa meningkat, seperti memudahkan perizinan dan pemberian kredit kepada pengusaha ekspor.
ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK BUSINESS CYCLE INDONESIA
Oleh MELA SETIANA H14102115
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan judul “Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Topik mengenai business cyle sangat menarik untuk dikaji, dan leading indicator sebagai bagian dari jenis business cycle indicator (BCI) diyakini memiliki kemampuan sebagai alat peramalan yang dapat dipercaya, sehingga dapat memprediksi arah pergerakan perekonomian negara untuk beberapa waktu ke depan. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi para pelaku bisnis, pemerintah, dan juga bagi masyarakat umum. Karena alasan itulah, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik tersebut, dan juga dikarenakan penelitian mengenai topik business cycle ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, yang telah memberikan bimbingan dan arahan baik secara teknik maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MSc yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE, MSi, atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.
4. Kedua orang tua penulis, yang selalu ada saat penulis membutuhkan, kesabaran dan dorongan mereka sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Mas Ipung, yang tanpa lelah dan selalu bersedia memberi bantuan, masukan, dan motivasi kepada penulis. 5. Yati Nuryati, Spi, MSi, atas kebaikannya untuk mengajarkan penulis dalam proses pengolahan data. 6. Siti Masyitho, yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar hasil penelitian skripsi penulis dan banyak memberikan masukan yang sangat bermanfaat. 7. Teman-teman seperjuangan, Ulan dan Diana, terima kasih atas kebersamaan, diskusi, saran, kritik, dan segala bentuk bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas. 8. Peserta seminar hasil penelitian skripsi penulis, atas masukan, saran dan kritik yang sangat membantu penulis dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. 9. Sahabat dan teman-teman penulis, atas segala dukungan dan bantuan bahkan tanpa diminta saat penulis membutuhkan, serta pihak-pihak lain yang telah sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan tulisan ini.
Bogor, Juli 2006
Mela Setiana H14102115
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2006
Mela Setiana H14102115
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. vi I.
PENDAHULUAN ............................................................................. 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 Perumusan Masalah ................................................................................. 5 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8 Manfaat Penelitian ................................................................................... 8
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 10 Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................... 10 Definisi Business Cycle .......................................................................... 11 Fluktuasi Ekonomi ................................................................................. 13 2.3.1. Real Business Cycle ................................................... 13 2.3.2. Teori Ekonomi New Keynessian ............................... 15 Business Cycle Indicator ........................................................................ 16 2.4.1. Leading Indicator ....................................................... 17 2.4.2. Lagging Indicator ...................................................... 17 2.4.3. Coincident Indicator .................................................. 18 Karakteristik Hubungan Indikator dalam Business Cycle .......................................................... 18 Teknik Analisis Siklikal ......................................................................... 19 2.6.1. Classical Cycle Analysis ............................................ 20 2.6.2. Growth Cycle Analysis ............................................... 20 2.6.3. Growth Rate Cycle Analysis ...................................... 22 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 22 Kerangka Pemikiran ............................................................................... 25
III.
METODE PENELITIAN ................................................................. 28 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 28 Metode Analisis Data ............................................................................. 30 3.2.1. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD ........ 30 3.2.2. Kategori Volatilitas ................................................... 42 3.2.3. Penentuan Kategori Jenis Indikator .......................... 43
IV.
TINJAUAN SINGKAT PEMBENTUKAN CLI ............................. 46 Pembentukan CLI di Luar Negeri .......................................................... 46 Pembentukan CLI di Indonesia .............................................................. 47
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 53 Pola dan Karakteristik Indikator Business Cycle ................................... 53 5.1.1. Karakteristik dan Titik Balik PDB ............................. 54 5.1.2. Karakteristik dan Titik Balik IPI ................................ 59 5.1.3. Perbandingan Seri Acuan PDB dan IPI ..................... 64 Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen ................................ 65 5.2.1. Perbandingan Terhadap PDB ..................................... 66 5.2.2. Perbandingan Terhadap IPI ........................................ 69 5.2.3. Keterkaitan Kandidat dengan Seri Acuan .................. 72 5.3.
Pembentukan CLI Indonesia ................................................ 74 5.3.1. CLI untuk PDB .......................................................... 74 5.3.2. CLI untuk IPI ............................................................. 77
VI.
5.4.
Evaluasi Indeks Komposit.................................................... 79
5.5.
Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle ...................... 81
5.5.
Perbandingan dengan Hasil Penelitian Sebelumnya ............ 83
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 88 Kesimpulan ............................................................................................ 88 Saran....................................................................................................... 89 Saran Penelitian Selanjutnya ................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 92 LAMPIRAN ................................................................................................. 94
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Indikator Dasar Makroekonomi Indonesia 1992-2004 ............................ 2 2. Perbandingan Metodologi Pembentuk CLI............................................ 50 3. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan PDB...................................... 57 4. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan IPI ........................................ 62 5. Perbandingan Titik Balik PDB dan IPI .................................................. 65 6. Perhitungan CV Variabel-variabel Ekonomimakro ............................... 67 7. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap PDB .................. 68 8. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap IPI ..................... 71 9. Perbandingan Titik Balik CLI dan PDB ................................................ 77 10. Perbandingan Titik Balik CLI dan IPI ................................................... 79 11. Karakteristik CLI ................................................................................... 80 12. Perbandingan Titik Balik Beberapa Negara ........................................... 86 13. Komponen Indikator Pembentuk CLI .................................................... 87
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Tahapan Business Cycle ......................................................................... 12 2. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD .................................... 27 3. Grafik log PDB ..................................................................................... 54 4. Grafik Trend PDB ................................................................................. 56 5. Grafik Siklikal dan Titik Balik PDB ...................................................... 58 6. Grafik log IPI ........................................................................................ 60 7. Grafik Trend IPI .................................................................................... 61 8. Grafik Siklikal dan Titik Balik IPI ......................................................... 62 9. Grafik Siklikal PDB dan IPI .................................................................. 64 10. Seri Acuan PDB dan CLI ...................................................................... 75 11. Titik Balik CLI untuk PDB .................................................................... 76 12. Seri Acuan IPI dan CLI .......................................................................... 77 13. Titik Balik CLI untuk IPI ....................................................................... 78
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Ekonomimakro yang Digunakan dalam Analisis .......................... 94 2. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel dan PDB.......................................... 98 3. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel dan IPI .......................................... 107 4. Hasil Cross Corelation Variabel dan PDB ......................................... 116 5. Hasil Cross Corelation Variabel dan IPI ............................................ 122 6. Hasil Cross Corelation PDB dan IPI .................................................. 128 7. Hasil Cross Corelation CLI dan Seri Acuan ....................................... 128
DAFTAR SINGKATAN
BCD
: Business Cycle Development
BCI
: Business Cycle Indicator
BPS
: Badan Pusat Statistik
CIND
: Conjungtuur Indonesia
CLI
: Composite Leading Index
CSIS
: Centre for Strategic and International Studies
CV
: Coefficient Variation
DSM
: Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter
ECRI
: Economic Cycle Research Institute
HPF
: Hodrick Prescott Filter
IHSG
: Indeks Harga Saham Gabungan
IPI
: Industrial Production Index
MODBI
: Macroeconometric Model of Bank Indonesia
MPI
: Manufacturing Production Index
NBER
: National Bureau of Economic Research
OECD
: Organization for Economic Co-operation and Development
PAT
: Phase Average Trend
PDB
: Produk Domestik Bruto
QPS
: Quadratic Probability Score
REER
: Real Effective Exchange Rate
SBI
: Sertifikat Bank Indonesia
SEKI
: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia
SOFIE
: Short Term Forecast Model of Indonesian Economy
SMGR
: Smooth Growth Rate
TSP
: Time Series Program
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak selalu berjalan maju, ada
kalanya dimana pertumbuhan ekonomi terganggu oleh berbagai macam faktor, baik faktor ekonomi maupun faktor nonekonomi. Faktor-faktor pengganggu ini dapat membuat negara berada dalam periode resesi, yaitu periode di mana terjadi penurunan tingkat produksi, pendapatan, dan belanja yang diikuti naiknya tingkat pengangguran. Periode resesi ini dapat berlangsung dalam jangka waktu singkat, tetapi dapat juga dalam jangka waktu cukup panjang, tergantung dari respon yang diberikan oleh para pembuat kebijakan dalam proses penanggulangannya. Periode resesi tersebut tidak akan berlaku untuk selamanya, tetapi selalu diikuti oleh kembalinya masa pertumbuhan ekonomi negara (periode ekspansi). Kedua periode ini dipastikan akan muncul silih berganti membentuk suatu siklus. Hal ini dalam ilmu ekonomi, dikenal sebagai business cycle (siklus bisnis), ada juga yang menyebutnya sebagai siklus perekonomian atau siklus perdagangan. Fenomena business cycle ini tidak hanya terjadi di negara maju saja, tetapi di seluruh negara di dunia. Perekonomian Indonesia pun tidak terlepas dari keadaan ini, dimana selama lebih dari dua dasawarsa terakhir telah mengalami perkembangan yang sangat cepat dan kondisi perekonomian yang naik turun. Oleh karena itu, keberadaan posisi perekonomian suatu negara dalam business cycle sangat penting untuk diketahui guna menghindari terjadinya resesi yang berkepanjangan. Jika terjadi ancaman akan timbulnya resesi maka
pemerintah atau otoritas moneter seperti Bank Indonesia akan mengeluarkan kebijakan agar resesi dapat dihindari atau setidaknya dapat meminimalisasi dampak negatif yang ditimbulkannya. Sebaliknya, jika perekonomian berada pada periode ekspansi, maka pemerintah dan Bank Indonesia perlu menghindari kebijakan yang dapat mengganggu kondisi tersebut. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat digambarkan melalui perubahan indikator-indikator ekonomimakro setiap tahunnya, antara lain seperti tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), dan inflasi. Tabel berikut ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia periode sebelum krisis dinilai cukup stabil dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, yang mana banyak dipengaruhi oleh pertumbuhan sektor swasta yang relatif pesat. Tingkat inflasi pun masih berada pada posisi satu digit (kurang dari 10 persen) dinilai masih cukup stabil. Tabel 1. Indikator Dasar Makroekonomi Indonesia 1992-2004 Waktu 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tingkat Pertumbuhan PDB (%) 6.5 6.5 7.5 8.2 7.9 4.6 -13.2 0.8 4.8 4.2 3.7 4.1 5.0
Inflasi (%) 7.5 9.6 9.2 7.3 6.5 11.1 77.6 2.2 9.0 12.6 10.0 5.0 6.4
Sumber: Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, berbagai edisi.
Kondisi sebaliknya dapat dilihat saat terjadi krisis moneter di beberapa negara di Asia, Amerika Latin, maupun Eropa Timur sekitar tahun 1997-1998 yang ditandai dengan jatuhnya nilai mata uang Baht kemudian merambat ke negara-negara di Asia, melalui efek menular (contagion effect) karena semakin terintegrasi dan terbukanya perekonomian internasional, termasuk ke Indonesia. Untuk kasus krisis di Indonesia, diperburuk dengan kondisi situasi politik yang rumit, dimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepemimpinan pada masa tersebut mulai menurun yang membuat kondisi pertumbuhan perekonomian negara melemah dan terkontraksi dari rata-rata sekitar tujuh persen sebelum krisis menjadi minus 13.2 persen. Tingkat inflasi naik sangat tinggi menjadi dua digit, dari 11.1 persen tahun 1997 sampai 77.6 persen ditahun 1998, yang merupakan kondisi terparah dari dampak krisis. Indonesia termasuk negara yang sangat lambat dalam usaha pemulihan ekonomi negara dikarenakan banyak peristiwa tak terduga yang merugikan citra negara dimata internasional. Banyak perusahaan yang terpaksa tutup, terjadi disintermediasi perbankan dimana fungsi bank dalam menyalurkan dana ke masyarakat melalui kredit semakin dibatasi karena tingginya resiko yang harus ditanggung. Hal ini membuat para pelaku usaha seperti investor dan pemerintah membutuhkan kepastian akan kestabilan kondisi perekonomian negara di masa depan agar para investor dapat merencanakan kegiatan usahanya dan menghindari kebangkrutan, sedangkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan (policy maker) dapat membuat kebijakan yang lebih terarah untuk mencegah terjadinya kondisi resesi yang buruk sehingga
pertumbuhan ekonomi bisa lebih berkesinambungan dengan tingkat inflasi yang moderat. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu alat peramalan yang dapat memprediksi kondisi perekonomian suatu negara beberapa waktu ke depan melalui analisis siklikal indikator yang didukung oleh teknologi komputer. Salah satu perangkat yang dapat digunakan dalam memprediksi kondisi perekonomian dalam waktu cepat dan akurat adalah dengan menganalisis indikator-indikator ekonomi. Pengidentifikasian indikator-indikator ekonomi ini bisa dimasukkan ke dalam tiga jenis indikator, yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Penggunaan leading indicator untuk memperkirakan arah pergerakan perekonomian negara ke depan. Lagging indicator berguna untuk mengkonfirmasi prediksi yang dibuat oleh leading indicator, sementara coincident indicator digunakan untuk menentukan kondisi perekonomian negara saat ini Menurut Zhang dan Zhuang (2002), hingga saat ini paling tidak terdapat tiga alasan utama mengapa leading indicator semakin luas digunakan oleh banyak negara. Pertama, Composite Leading Index (CLI) bisa digunakan untuk mengindikasikan pendeteksian dini terhadap kapan titik balik (turning points) dari business cycle itu terjadi, sehingga para pelaku bisnis bisa menyesuaikan strategi penjualan atau investasinya, dan para investor bisa merealokasikan asetnya diantara alternatif investasi lain untuk meningkatkan pendapatannya. Kedua, penggunaan model makroekonometrik, seperti Macroeconometric Model of Bank Indonesia (MODBI) dan Short Term Forecast Model of Indonesian Economy (SOFIE) dianggap tidak dapat memprediksi kapan titik balik akan terjadi,
terutama jika terjadi perubahan struktural dalam perekonomian, karena sifat parameter-parameternya yang tidak stabil. Ketiga, leading indicator memiliki track record yang cukup baik sehingga diyakini mempunyai kemampuan sebagai alat forecasting. Sifat dari leading indicator yang mengarah ke depan (forward looking) sesuai untuk diterapkan di Indonesia karena saat ini Bank Indonesia sudah merubah kerangka kebijakan moneternya dari base money targetting menjadi inflation targetting yang juga bersifat forward looking, artinya kebijakan moneter pada saat ini ditujukan untuk merespon tekanan inflasi ke depan. Hal ini dikarenakan single objective Bank Indonesia yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari tingkat inflasi. Melalui perangkat leading indicator yang dapat diandalkan (reliable), maka dapat diketahui pergerakan siklikal dan titik balik dari business cycle, sehingga arah kebijakan moneter dapat diukur oleh pemerintah untuk memikirkan timing yang tepat dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Dalam membuat proyeksi peramalan perekonomian menggunakan leading indicator, tentunya perlu diketahui terlebih dahulu variabel-variabel ekonomi yang mana yang dapat dijadikan acuan untuk indikator-indikator dini melalui analisis siklikal. Setelah variabel acuan ditentukan maka dapat diketahui variabel-variabel ekonomimakro mana yang akan digunakan untuk melakukan metode peramalan perekonomian Indonesia atau yang tergolong sebagai leading indicator.
1.2.
Perumusan Masalah Meskipun konsep penggunaan CLI nampaknya sangat jelas dan straight
forward, tetapi untuk mengaplikasikannya banyak menghadapi kendala. Untuk membentuk suatu CLI yang dapat dipercaya, diperlukan sejumlah indikator dengan frekuensi data yang tinggi, dan untuk setiap indikatornya membutuhkan time series yang panjang. Oleh karena itu, CLI lebih banyak diaplikasikan di negara maju daripada di negara berkembang. Hal ini umumnya disebabkan oleh ketersediaan data di negara berkembang tidak dalam frekuensi yang tinggi dan hanya tersedia di tahun-tahun terakhir saja, biasanya data tersedia dalam bentuk triwulan, bahkan ada yang hanya tersedia dalam bentuk tahunan. Setelah terjadi krisis moneter di Asia sekitar tahun 1997-1998 lalu, banyak negara berkembang yang mulai menyadari pentingnya pembentukan CLI untuk membuat peramalan ekonomi sehingga berusaha memperbaiki sistem statistikal nasionalnya yang dimulai oleh negara Rusia pada pertengahan tahun 1990an. Hal ini akan sangat berguna di masa depan agar selanjutnya data dapat tersedia dalam frekuensi tinggi, tidak terputus dan dengan periode time series yang panjang. Kendala lain adalah tidak dimilikinya perangkat lunak (software) untuk mengolah data, seperti pada tahun 1997, pembentukan CLI Indonesia dilakukan oleh lembaga Economic Cycle Research Institute (ECRI) di New York yang bekerja sama dengan Bank Indonesia. Perbaikan dan pengembangan teknologi pembentukan CLI memang terus dilakukan tetapi software yang digunakan untuk mengolah data sulit untuk diaplikasikan karena tidak bersifat user friendly dan
membutuhkan seseorang yang memiliki dasar-dasar pemrogaman untuk mengoperasikannya (Wuryandari et. al, 2002). Keterbatasan pengetahuan dan teknologi para peneliti Indonesia membuat Indonesia melalui Bank Indonesia melakukan kerjasama dan pelatihan dengan lembaga-lembaga internasional. Saat ini Bank Indonesia bekerjasama dengan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan melakukan pelatihan dengan Cabinet-Office Jepang untuk menyempurnakan pembentukan CLI agar dapat lebih diandalkan. Dari sisi metodologi, permasalahan terdapat pada penentuan indikator sebagai seri acuan yang merupakan dasar dari pembentukan CLI, karena kandidat komponen akan merujuk pada seri acuan tersebut. Perbedaan pendapat para peneliti business cycle menekankan apakah siklus acuan diturunkan dari data time series ekonomi tunggal (single series) atau kumpulan beberapa data time series menjadi indeks komposit (multiple series). Penggunaan pendekatan indeks komposit banyak dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Spanyol, dan Inggris. Sementara penggunaan pendekatan single series dilakukan oleh institusi OECD dan Statistics Canada. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang dapat mengevaluasi perbedaan antara hasil analisis dari kedua seri acuan tersebut. Berdasarkan
penjelasan
di
atas
maka
dapat
dirumuskan
suatu
permasalahan yang berhubungan dengan proses pembentukan CLI untuk meramalkan kondisi perekonomian Indonesia sekarang dan di masa depan. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana
perhitungan CLI Indonesia dengan menggunakan konsep OECD yang dijadikan referensi oleh Bank Indonesia saat ini? Adakah perbedaan dari analisis kedua seri acuan (single series dan multiple series) yang digunakan untuk membentuk CLI? Selain itu, variabel-variabel apa sajakah yang memenuhi kriteria untuk dapat dijadikan sebagai leading, lagging, dan coincident indicator? Setelah didapat kandidat komposit berupa leading indicators, maka dapat dibuat CLI Indonesia yang kembali menimbulkan pertanyaan: Apakah CLI yang telah dibuat mampu mengikuti pergerakan dari seri acuan? Untuk selanjutnya, penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1).
menghitung CLI Indonesia menggunakan konsep yang dikembangkan oleh OECD;
(2).
menganalisis perbedaan dari hasil analisis single series dan multiple series sebagai seri acuan dalam pembentukan CLI Indonesia;
(3).
menganalisis leading, coincident, dan lagging indicator untuk business cycle Indonesia;
(4).
menghasilkan dan mengevaluasi kinerja CLI Indonesia yang telah dibuat terhadap pergerakan seri acuan.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk beberapa pihak,
diantaranya : (1).
Bagi pemerintah dan Bank Indonesia selaku otoritas fiskal dan moneter, penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan terutama untuk antisipasi dan penentuan timing yang tepat dalam mengeluarkan dan menetapkan kebijakan-kebijakan ekonomi. Selain itu, penelitian ini bisa menjadi bahan evaluasi dari aplikasi metode pembentukan CLI Indonesia yang dikembangkan OECD bekerja yang pernah dilakukan oleh Bank Indonesia sebelumnya.
(2).
Bagi penulis, penelitian ini sangat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang perkembangan teori business cycle, jenis-jenis business cycle dan manfaatnya serta penerapannya dalam kajian pertumbuhan ekonomi negara.
(3).
Bagi para pelaku ekonomi dan forecaster, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang volatilitas business cycle di Indonesia selama kurun waktu tiga belas tahun terakhir dengan menggunakan dua seri acuan.
(4).
Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini juga dapat dijadikan acuan dan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya yang masih berhubungan dengan business cycle.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi negara merupakan cerminan dari proses kenaikan
output perkapita dalam jangka panjang. Sasaran utama dari pertumbuhan ekonomi berupa kenaikan tingkat produktivitas riil (pendapatan nasional) dan taraf hidup masyarakat (pendapatan riil perkapita). Banyak ekonom yang berpendapat bahwa proses pertumbuhan ekonomi ini bersifat self generating yang berarti pertumbuhan
terjadi
bila
kecenderungan
output
perkapita
naik,
dan
kecenderungan itu berasal dari perekonomian itu sendiri bukan berasal dari luar dan yang bersifat sementara. Setiap negara pasti memiliki tujuan mencapai kondisi perekonomian yang terus tumbuh. Oleh karenanya pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan output nasionalnya. Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi yang positif berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam teori pertumbuhan ekonomi, dikenal model pertumbuhan Solow, dimana model tersebut menunjukkan tingkat output perekonomian dan pertumbuhannya sepanjang waktu dipengaruhi oleh tabungan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi (teknik, proses, metode produksi yang baru, dan produk-produk baru) memainkan suatu peranan penting dalam menyeimbangkan pengembalian yang menurun pada saat jumlah modal meningkat (Mankiw, 2000).
Pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia sekarang dinilai lebih stabil daripada beberapa tahun sebelumnya, dilihat dari PDB riilnya yang kurang volatil. Terutama karena banyak negara di dunia saat ini mulai mengeluarkan kebijakan yang arahnya demi kemajuan negara, menganut kerangka inflation targetting serta meningkatkan kemandirian bank sentral dalam menjalankan fungsinya. Volatilitas berhubungan negatif dengan bank lending dan berhubungan positif dengan trade flow (Ceccheti, Lagunes, dan Krause, 2006).
2.2.
Definisi Business Cycle Definisi business cycle atau trade cycle (siklus perekonomian atau siklus
perdagangan) menurut Wesley C. Mitchell dan Arthur F. Burns dalam Niemira dan Klein (1994) adalah: “Business cycles are a type of fluctuation found in the aggregate economic activity of nations that organize their work mainly in business enterprises: a cycle consist of expansion occuring at about the same time in many economic activities, followed by similarly general recessions, contractions, and revival which merge into the expansion phase of the next cycle; this sequence of changes is recurrent but not periodic; in duration business cycle vary from more than one year to ten or twelve years; they are not divisible into shoerter cycles of similar character with amplitudes approximating their own” Sedangkan definisi business cycle yang tercantum dalam kamus ekonomi adalah sebagai fluktuasi dari tingkat kegiatan perekonomian (PDB riil) yang saling bergantian antara masa depresi dan masa kemakmuran (boom). Ada empat tahapan dalam siklus perekonomian: tahap pertama adalah masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat yang cepat yang dibarengi dengan rendahnya tingkat output dan tingkat
pengangguran yang tinggi yang secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah; tahap yang kedua adalah tahap pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan agregat yang dibarengi dengan peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran; tahap yang ketiga adalah masa kemakmuran (prosperity), yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati taraf output yang terus-menerus (PDB potensial) pada saat puncak siklus telah dicapai, dimana tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat harga-harga umum (inflasi); tahap keempat adalah masa
resesi
(recession),
dimana
permintaan
agregat
menurun,
yang
mengakibatkan penurunan yang kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal, seiring dengan hal ini maka akan muncul masa depresi. Tahapan-tahapan ini dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut ini :
Gambar 1. Tahapan Business Cycle Sumber: Pass dan Lowes (1994)
Setiap siklus memiliki 2 jenis titik balik (turning points), yaitu titik puncak (peak) dan titik lembah (trough). Kedua titik balik ini menandakan sinyal apabila arah dari pergerakan siklikal suatu indikator berubah dari periode ekspansi ke periode kontraksi atau jika terjadi sebaliknya. Kedua titik balik ini hanya dapat ditentukan menggunakan data time series yang merupakan deviasi dari trendnya, yaitu merupakan definisi dari business cycle yang digunakan dalam penelitian ini. Dapat disimpulkan bahwa tahapan ini akan datang silih berganti sepanjang waktu dalam perkonomian suatu negara.
2.3.
Fluktuasi Ekonomi Dalam perkembangan teori tentang fluktuasi ekonomi, dunia ekonomi
dihadapkan pada dua pandangan yang berbeda dalam menjelaskan terjadinya fluktuasi output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Perbedaan pandangan ini terletak pada perbedaan penyebab fluktuasi ekonomi yang merupakan deviasi dari tingkat alami atau sebagai perubahan dalam tingkat output alami. Dua teori tentang fluktuasi ekonomi yang paling umum saat ini adalah teori Real Business Cycle dan teori New Keynessian.
2.3.1. Teori Real Business Cycle Teori Real Business Cycle memberi kontribusi penting dalam ilmu ekonomi dengan memberi sudut pandang baru yang berbeda dalam mengkaji fluktuasi jangka pendek dari output dan kesempatan kerja (employment) yang dijelaskan dengan menggunakan substitusi tenaga kerja antar-waktu, dimana
dalam teori ini fluktuasi dianggap sebagai perubahan dalam tingkat output alami, atau keseimbangan. Dengan tetap mempertahankan model klasik sebagai acuan, teori ini mengasumsikan bahwa harga dan upah adalah fleksibel, bahkan dalam jangka pendek. Dengan asumsi complete price flexibility, teori ini menganut classical dichotomy dimana variabel-variabel nominal, seperti pergerakan uang dan tingkat harga tidak mempengaruhi pergerakan variabel di sektor riil seperti output dan pengangguran (Mankiw, 2000). Untuk menjelaskan pergerakan sektor riil, teori ini menyatakan pergerakan tersebut disebabkan oleh faktor alami di sektor itu sendiri seperti terjadinya technological shock yang membuat produktivitas meningkat berakhir pada perekonomian yang juga meningkat. Dengan kata lain semua fluktuasi di sektor riil seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, tingkat konsumsi dan investasi merupakan hasil reaksi dari individu-individu terhadap perubahan dalam perekonomian. Sementara selama periode resesi atau yang disebut sebagai kemunduran teknologi, output dan insentif untuk bekerja akan berkurang yang dikarenakan teknologi produksi yang menurun. Asumsi lain yang juga penting dalam teori ini adalah netralitas uang dalam perekonomian, yang juga berlaku untuk jangka pendek, dimana kebijakan moneter tidak akan mempengaruhi variabel-variabel riil, seperti output dan kesempatan kerja. Teori ini banyak mendapat kritik, karena para pengeritik berpendapat bahwa kemunduran teknologi adalah hal yang tidak masuk akal, dimana akumulasi pengetahuan teknologi hanya akan melambat dan tidak mungkin terjadi
sebaliknya. Bukan hanya technological shock yang dikritik tetapi mereka juga tidak mendukung netralitas uang, dengan pemberian bukti bahwa data menunjukkan penurunan money supply selalu disertai dengan perubahan di sektor riil seperti tingginya pengangguran dan rendahnya output. Penganut teori ini memberikan keterangan sebaliknya dengan argumentasi bahwa perubahan dalam perekonomian seperti tingginya output akibat faktor alami akan mempengaruhi permintaan akan uang. Meningkatnya permintaan akan uang ini akan direspon oleh bank sentral dengan menambah money supply (Mankiw, 2000). Perubahan dalam perekonomian karena faktor-faktor alami ini akan menyebabkan terjadinya siklus dalam pergerakan variabel-variabel di sektor riil. Siklus ini dipercaya terjadi dalam setiap variabel di sektor riil dan dapat dilihat dengan menghilangkan faktor-faktor musiman, trend dan irregular dari data. Sampai saat ini teori real business cycle yang dianut oleh sedikit ekonom namun cukup signifikan ini terus berkembang. Bahkan, ada sebuah organisasi di Amerika Serikat yang terus melakukan penelitian dan menciptakan terobosan baru dalam model-model ekonomi untuk menjelaskan teori real business cycle ini.
2.3.2. Teori Ekonomi New Keynessian Para pengeritik teori real business cycle umumnya berasal dari penganut aliran new keynessian. Banyak dari mereka percaya bahwa fluktuasi output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek disebabkan oleh terjadinya fluktuasi dalam permintaan agregat akibat lambatnya upah dan harga dalam menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang sedang berubah. Dengan kata lain teori ini percaya
bahwa upah dan harga bersifat kaku/sulit berubah, sehingga peranan pemerintah melalui kebijakan moneter dan fiskal sangat diperlukan untuk menstabilkan perekonomian. Karena teori ini dibangun di atas model permintaan agregat dan penawaran agregat tradisional, maka dalam teori ini dikatakan bahwa perubahan harga dari biaya sekecil apapun akan memiliki dampak makroekonomi yang besar karena adanya eksternalitas permintaan agregat. Teori ini telah memasukkan guncangan pada sisi penawaran, ketidakstabilan moneter dan guncangan terhadap permintaan uang dalam modelnya (Mankiw, 2000).
2.4.
Business Cycle Indicators Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator
yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Contohnya, statistik sosial dan ekonomi yang dipublikasikan berbagai sumber seperti departemen pemerintahan. Indikator ekonomi mempunyai dampak
yang
besar
terhadap
pasar,
mengetahui
bagaimana
harus
menginterpretasikannya dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaku usaha, termasuk investor. Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga kategori timing indikator, yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Variabel-variabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan
perbedaan sistem ekonomi yang dianut suatu negara, kondisi perekonomian, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan, dan lain sebagainya.
2.4.1. Leading Indicator (Indikator Pendahulu) Dalam kamus ekonomi, pengertian dari leading indicator (indikator periode mendatang) adalah suatu rangkaian data statistik periode lalu yang menunjukkan kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada waktu mendatang dalam beberapa sektor ekonomi terkait atau sebagai sinyal kejadian di masa depan. Singkatnya, leading indicator merupakan beberapa variabel ekonomi yang bergerak mendahului pergerakan variabel utama ekonomi. Berdasarkan informasi ini, maka dapat dibuat suatu peramalan tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun-tahun yang akan datang atau dengan kata lain dapat memprediksi siklus ekonomi yaitu kapan perekonomian akan mencapai puncak (peak), masih berlanjut (steady), mulai menurun (contraction), sampai di titik terendah (trough), dan kembali naik (expansion) seperti yang telah dibahas dalam definisi dari business cycle sebelumnya, karena perubahan-perubahan tersebut selalu mengikuti pola yang konsisten pada kurun waktu yang relatif konstan. Sedangkan untuk mengetahui lama periode naik atau turun dapat diprediksi dengan lagging dan coincident indicator.
2.4.2. Lagging Indicator (Indikator Pengikut) Pengertian lagging indicator merupakan kebalikan dari leading indicator. Lagging indicator atau yang disebut juga sebagai indikator periode lalu adalah
suatu rangkaian data statistik yang pada periode lalu telah menunjukkan kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada waktu lalu dalam beberapa sektor ekonomi yang saling berkaitan, atau singkatnya adalah perubahan indikator yang bergerak naik/turun setelah pergerakan variabel utama. Pentingnya untuk mengetahui lagging indicator adalah karena lagging indicator dapat mengkonfirmasi sebuah pola ekonomi yang sedang terjadi atau akan terjadi. Ramalan tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun berjalan dapat dibuat, karena perubahan-perubahan tersebut mengikuti pola yang tidak berubah pada kurun waktu yang relatif sama.
2.4.3. Coincident Indicator (Indikator Pengiring) Coincident indicator merupakan indikator yang bergerak naik/turun bersamaan dengan naik/turunnya variabel utama atau kondisi yang terjadi dalam perekonomian. Indikator ini tidak meramalkan peristiwa-peristiwa ekonomi yang akan terjadi di masa depan, tapi jenis indikator ini berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam perekonomian atau pasar saham. Contoh coincident indikator yang paling umum adalah pendapatan perkapita, dimana pendapatan perkapita yang tinggi akan mengindikasikan perekonomian yang kuat.
2.5.
Karakteristik Hubungan Indikator dalam Business Cycle Setiap variabel-variabel ekonomi yang termasuk ke dalam salah satu dari
indikator dini yang telah dijelaskan di atas, memiliki hubungan yang bermacammacam terhadap business cycle. Berikut ini akan dijabarkan mengenai hubungan
antara indikator-indikator ekonomi dengan business cycle, yang terbagi menjadi tiga, yaitu:
Procyclical, hubungan dimana arah pergerakan dari indikator-indikator ekonomi sama dengan perubahan yang terjadi pada perekonomian suatu negara. Ketika perekonomian membaik,
maka dapat dipastikan bahwa
indikatornya akan mengalami peningkatan.
Countercyclical, hubungan dimana indikator-indikator ekonomi memiliki arah gerak yang
berlawanan dengan perekonomian suatu negara yang
sedang terjadi.
Acyclical, indikator-indikator ekonomi tidak memiliki hubungan dengan perubahan yang terjadi pada perekonomian suatu negara. Apapun kondisi perekonomian tersebut, baik dalam kondisi yang cukup bagus maupun dalam kondisi buruk, perubahan yang terjadi dalam indikator tersebut tetap tidak terpengaruh dan berada pada trend-nya sendiri.
2.6.
Teknik Analisis Siklikal Dalam metode pembentukan CLI, terdapat tiga jenis metode yang dapat
digunakan untuk menganalisis pergerakan siklikal. Tiga metode tersebut adalah classical cycle analysis, growth cycle analysis, dan growth rate cycle analysis. Berikut ini akan dijabarkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teknik analisis siklikal :
2.6.1. Classical Cycle Analysis Dalam metode klasik ini, analisis siklikal dilakukan dengan melihat pergerakan business cycle dari gerakan ekspansi dan kontraksi seluruh aktivitas perekonomian secara absolut. Perekonomian akan dikatakan berada dalam kondisi ekspansi jika secara absolut business cycle menunjukkan kenaikan. Sebaliknya jika secara absolut business cycle menunjukkan penurunan, maka perekonomian berada dalam kondisi resesi (Buchori, 1998). Mitchell dan Burns sebagai peneliti pertama yang membentuk leading indicator menggunakan pendekatan klasik dalam mendefinisikan business cycle tahun 1946. Tetapi metode ini tidak dapat diterapkan di Indonesia karena perekonomian negara yang terus meningkat dalam jangka waktu panjang sejak tahun 1966, kecuali saat terjadi krisis tahun 1997, karena nantinya tidak akan ada gerakan business cyclenya.
2.6.2. Growth Cycle Analysis Pendekatan growth cycle adalah modifikasi dari teori real business cycle, dimana growth cycle merupakan siklus naik/turun pertumbuhan PDB relatif terhadap trend-nya. Dalam hal ini, yang termasuk dalam kontraksi growth cycle adalah perlambatan seperti penurunan absolut dalam aktivitas ekonomi, sementara yang termasuk kontraksi business cycle hanya penurunan absolut (resesi). Penggunaan growth cycle mengemuka setelah leading indicator yang berdasarkan pendekatan classical cycles tidak mampu menjelaskan masa ekspansif perekonomian, khususnya di Amerika Serikat dan Jerman, pada sekitar
tahun 1960an. Perbedaan utama antara growth cycle dan classical cycles terletak pada perhitungan masa ekspansi dan masa kontraksi. Pada classical cycles, perhitungan masa ekspansi dan kontraksi tersebut menggunakan level absolutnya. Sebagai contoh, suatu ekonomi belum dikatakan mencapai titik lembah apabila nilai absolutnya tidak menunjukkan kontraksi. Sementara itu, penentuan titik balik pada growth cycle berdasarkan pada perhitungan trend jangka panjangnya atau dengan kata lain growth cycles ditunjukkan oleh pembalikan arah dari suatu cycles di sepanjang trend jangka panjangnya. Menurut Niemira dan Klein (1994), pendekatan growth cycle ini juga dianggap
memiliki
beberapa
kelebihan
bila
dibandingkan
dengan
classical/traditional cycles. Beberapa kelebihan analisis menggunakan growth cycles, yaitu: i.
Jumlah cycles yang dihasilkan oleh growth cycles lebih banyak karena growth cycle lebih sensitif dalam menunjukkan perubahan, bahkan untuk perubahan yang tidak terlalu drastis (mild) sekalipun, dalam kurun waktu yang sama, bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh classical cycles;
ii.
Panjang dan amplitudo growth cycles lebih simetris dibandingkan dengan classical cycles;
iii.
Dalam memprediksi cycles menggunakan pendekatan growth cycles, hasilnya akan lebih akurat bila dibandingkan dengan classical cycles.
2.6.3. Growth Rate Cycle Analysis Metode ini menganalisis business cycle dengan cara membandingkan pertumbuhan perekonomian dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya melalui proses pemulusan (smoothing). Proses pemulusan ini dilakukan untuk menghilangkan titik-titik ekstrem apabila pertumbuhan point-to-point dihitung langsung. Pertumbuhan ekonomi dikatakan meningkat apabila Smooth Growth Rate (SMGR) positif dan sebaliknya menurun apabila SMGR negatif. Pada saat SMGR menurun, kemungkinan akan mendahului atau dapat bersamaan dengan penurunan business cycle sebagai sinyal terjadinya resesi. Metode perhitungannya dikembangkan oleh Geoffrey H. Moore dan Victor Zarnowitz, yaitu sebagai berikut:
⎡⎛ i =t −13 ⎞ ⎤ Untuk data dalam bentuk value level, SMGR = ⎢⎜ X t ∑ X t −1 ⎟ − 1⎥ ⎠ ⎦ ⎣⎝ i =t −1 ⎡⎛ i =t −13 ⎞⎤ Untuk data dalam bentuk rate (growth), SMGR = ⎢⎜ X t ∑ X t −1 ⎟⎥ ⎠⎦ ⎣⎝ i =t −1
2.7.
12 / 6.5
(2.1)
12 / 6.5
(2.2)
Penelitian-penelitian Terdahulu
Meskipun telah banyak dilakukan penelitian tentang indikator dini dari business cycle untuk berbagai negara di dunia, tetapi hasil yang didapatkan berbeda-beda, terutama dalam pemilihan variabel yang menjadi indikator dini, karena perbedaan kondisi dan sejarah perekonomian suatu negara. Beberapa penelitian terus mengembangkan model yang terbaik yang dapat dipergunakan untuk memprediksi perekonomian negara beberapa waktu ke depan.
Hubungan antarvariabel bisa dilihat dari hasil korelasi silangnya. Siregar dan Ward (2002), menemukan dalam penelitiannya bahwa output nasional dan tingkat suku bunga bisa berhubungan negatif atau positif, tergantung dari angka lead atau lag yang digunakan. Berdasarkan ukuran dari korelasi dalam tingkat absolutnya, terlihat bahwa kedua variabel tersebut berhubungan negatif. Korelasi silang yang digunakan adalah korelasi silang Pearson. Zhang dan Zhuang (2002) yang meneliti leading indicator untuk business cycle Malaysia dan Filipina menunjukkan dalam periode penelitian selama January 1981-Maret 2002, composite leading index yang dianalisis dengan menggunakan metode HP filter dalam proses estimasi trendnya, dengan seri acuan adalah monthly index of industrial production (IPI) untuk Malaysia dan monthly index of manufacturing production (MPI) untuk Philippines yang menghasilkan komposit yang terdiri dari enam leading indicator untuk masing-masing negara. Proses
penentuan
titik
baliknya
menggunakan
penghitungan
Quadratic
Probability Score (QPS), dimana nilai QPS berada antara 0 dan dua. Jika nilai QPS sama dengan nol berarti prediksi yang dibuat tepat, sementara jika nilai QPSnya sama dengan dua berarti tidak ada satu sinyal yang benar. Di Indonesia sendiri, telah dilakukan beberapa penelitian yang berhubungan dengan business cycle, seperti penelitian Wuryandari, et.al (2002) tentang leading economic indicator dengan menggunakan metode OECD dan PDB sebagai seri acuannya. Dengan menggunakan pendekatan growth cycle, CLI dapat memprediksi titik balik dari siklus pertumbuhan PDB sekitar enam bulan sebelumnya. Komponen pembentuknya adalah produksi batu bara, penjualan
BBM, PDB Jepang, total impor, Real Effective Exchange Rate (REER), dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dalam mengembangkan CLI di Indonesia, BPS juga melakukan penelitian sendiri dan menemukan enam titik balik dari business cycle Indonesia selama periode Januari 1985-Desember 2003 dengan menggunakan metode Phase Average Trend (PAT), dan menggunakan PDB sebagai series acuan (Sutomo dan Irawan, 2003). Nilsson dan Brunet (2005) meneliti Composite Leading Index (CLI) untuk beberapa negara yang bukan anggota OECD, salah satunya adalah Indonesia. Dengan menggunakan metode PAT dan Hodrick-Prescott (HP) filter, mereka menemukan bahwa hanya ada lima indikator yang bisa dikategorikan sebagai CLI yang mempengaruhi business cycle Indonesia dari luar (komponen eksternal), yaitu impor, ekspor, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, sedangkan dari sisi keuangan (financial), yaitu call money rate dan the Jakarta composite price share index. Umumnya penelitian-penelitian yang mirip di luar negeri menganalisis banyak sekali indikator sebelum akhirnya mendapatkan indikator terbaik yang dapat digunakan untuk membuat peramalan. Seperti penelitian Kibritcioglu, Kose dan Ugur (1999) yang berusaha menginvestigasi dan mendiskusikan daya prediksi akan krisis mata uang menggunakan pendekatan leading economic indicator dengan studi kasus negara Turki. Mereka menganalisis pergerakan siklikal dari 51 indikator untuk mendapatkan LEI. Unsur musimannya dihilangkan dengan program X-11, dan proses estimasi trend yang menggunakan HP filter. Hasilnya dari 51 indikator,
hanya lima yang bisa diidentifikasikan sebagai leading indicator, yaitu terms of trade, opini kemungkinan ekspor dibanding bulan sebelumnya, jumlah pesanan dari pasar ekspor tiga bulan terakhir, jumlah pesanan dari pasar ekspor tiga bulan ke depan, dan nilai tukar. Perbedaan utamanya adalah
penelitian tersebut
menggunakan foreign exchange market pressure index sebagai seri acuannya. Hasilnya ternyata LEI yang dihasilkan masih mungkin memprediksi tipe krisis yang disebabkan oleh peran dasar kebijakan yang rendah, tetapi untuk jenis krisis yang lain akan sangat sulit untuk diprediksi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang mirip di Indonesia adalah penelitian ini menggunakan dua seri acuan dalam penentuan leading, lagging, dan coincident indicatornya, yaitu PDB dan IPI yang dianalisis dalam bentuk triwulanan. Penelitian ini berusaha membandingkan hasil analisis dari kedua seri acuan tersebut. Selain itu, penelitian ini juga berusaha menyempurnakan pemilihan variabel-variabel yang dianalisis menjadi bagian dari business cycle indicator dari penelitian-penelitian sebelumnya dan mengevaluasi apakah variabel-variabel tersebut masih relevan untuk dijadikan sebagai leading indicator dengan kondisi perekonomian sekarang.
2.8.
Kerangka Pemikiran
Dalam kerangka pemikiran penelitian ini akan dijabarkan prosedur penentuan leading, lagging, dan coincident indicator, menggunakan metode OECD. Penelitian ini menggunakan dua seri acuan yaitu single series yang diwakili oleh PDB dan multiple series yang diwakili oleh IPI, dalam bentuk data
triwulan. Sebelum dapat ditentukan titik balik dari pergerakan siklikal seri acuan, maka data dibersihkan dari unsur musiman dan irregular menggunakan program seasonally adjusted. Estimasi trend dilakukan menggunakan metode HP filter, sedangkan proses detrending (pemisahan unsur trend dan siklikal) dilakukan dengan mengurangi nilai seri data yang telah dihilangkan unsur musimannya dengan seri data trend yang telah diestimasi sebelumnya. Penentuan titik balik baik untuk seri acuan maupun variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada kriteria Bry-Boshan. Komposit hanya menggabungkan variabel-variabel yang tergolong dalam leading indicator setelah memenuhi kriteria statisitik, dan pergerakan siklikalnya terjadi lebih dulu daripada pergerakan siklikal seri acuan. Proses pembentukan CLI dilakukan setelah data diseragamkan periodenya, selanjutnya menormalisasi data detrended variabel-variabel ekonomimakro yang merupakan komponen komposit, dan merubahnya ke dalam bentuk indeks. Tahapan terakhir dalam pembentukan komposit adalah agregasi seluruh variabel yang tergolong dalam leading indicator yaitu dengan dicari nilai rata-ratanya. Tanda panah yang terdapat dalam gambar berikut (Gambar 2) menunjukkan urutan dalam prosedur pembentukan composite leading indicator. Setiap tahapan memiliki prosedur ataupun bahan pertimbangannya masingmasing. Output merupakan hasil yang diharapkan dapat diperoleh jika prosedur dan pertimbangan tersebut telah dilakukan. Untuk lebih rincinya, penjelasan setiap tahapan akan dibahas dalam bab berikutnya, yaitu bab metode penelitian.
Penentuan Seri Acuan
Pertimbangan: • Single/multiple series • Lag data • Aktual data/proxy
Output: Seri acuan dan nilai statistik
Penentuan Titik Balik Seri Acuan
Pembersihan data: • Adjusting for seasonality • Estimasi trend-HP filter • Detrending • Prosedur Bry-Boschan
Output: Puncak dan lembah
Pemilihan Komponen Pembentuk Komposit
Pertimbangan: • Relevansi ekonomi • Ketersediaan data • Kriteria statistik
Output: Komponen komposit
Pembentukan Komposit Indikator
Prosedur awal: • Penyeragaman periode • Normalisasi • Agregasi
Output: composite leading index dengan titik balik dan nilai statistiknya
Gambar 2. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Cara pengumpulan data didasarkan atas pencarian, pemilihan, dan pencatatan dari dokumen statistik berbagai lembaga terkait seperti Bank Indonesia (BI), dan Badan Pusat Statistik (BPS) serta beberapa bahan pustaka lainnya berupa literatur dari buku-buku, majalah, dan internet yang berhubungan dengan topik penelitian. Pengambilan data mencakup indikator-indikator ekonomi yang mempengaruhi perekonomian Indonesia dan mengacu kepada beberapa penelitian sebelumnya. Data PDB didapat dari Bank Indonesia dan data IPI diperoleh dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Data PDB dan IPI inilah yang akan dianalisis menjadi seri acuan. Data-data lain yang akan dianalisis sebagai komponen pembentuk komposit, yaitu produksi minyak mentah, produksi Liquid Natural Gas (LNG), produksi timah, produksi tembaga, produksi nikel, total ekspor, ekspor non migas, ekspor udang, ekspor kayu lapis, total impor, impor non migas, impor barang konsumsi, impor bahan baku, impor barang modal yang didapat dari seri indikator ekonomi terbitan Badan Pusat Statistik (BPS). Data lainnya yaitu IHSG, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan, M1, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,
didapat dari seri Statistik Ekonomi
Keuangan Indonesia (SEKI) terbitan Bank Indonesia. Awalnya lebih banyak data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, tetapi tidak semuanya bisa didapatkan. Data PDB tersedia dalam bentuk triwulan,
sedangkan data IPI tersedia dalam bentuk bulanan, tetapi hanya bisa tersedia mulai tahun 1993 dengan tahun dasar 2000. Beberapa variabel yang diperoleh dari BPS masih memiliki beberapa nilai dengan angka sementara dan tidak direvisi pada terbitan berikutnya. Solusinya dengan membuat data dalam bentuk bulanan menjadi triwulan. Selain itu, pihak BPS tergolong lambat dalam penyediaan data. Terbitan seri indikator terakhir dari BPS yang diperoleh dalam waktu pengumpulan data pada bulan Mei 2006 adalah seri indikator bulan Februari 2006 dengan isi data terakhir baru sampai bulan Oktober 2005. Bank Indonesia sendiri juga memiliki keterbatasan dalam penyediaan data. Seperti seri SEKI yang diterbitkan memiliki format penulisan yang berbeda dalam selang beberapa tahun, sehingga mempersulit dalam proses pencatatan data. Beberapa data juga baru tersedia akhir-akhir ini, seperti penyaluran kredit properti hanya tersedia mulai dari tahun 2000. Pada data tingkat suku bunga SBI 3 bulan, dan suku bunga deposito memiliki data yang terputus-putus, terutama saat terjadi krisis moneter tahun 1997-1998 dan pasca krisis. Atas dasar inilah seluruh variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk triwulan dengan periode penelitian mulai dari tahun 1993 triwulan satu sampai dengan tahun 2005 triwulan ketiga. Sebenarnya bisa saja dilakukan interpolasi data triwulan menjadi data bulanan, namun kemungkinan besar data bulanan tersebut misleading, karena metode interpolasi akan menghilangkan titik balik data triwulan.
3.2.
Metode Analisis Data
Metode penentuan CLI yang diterapkan oleh OECD sebenarnya juga mengacu pada metode yang dikembangkan oleh National Bureau of Economic Research (NBER), dengan perbedaan mendasar pada penentuan seri acuan (reference series), yaitu menggunakan single series atau multiple series. Penelitian ini menganalisis dan membandingkan hasil analisis diantara keduanya. Secara statistik data time series terdiri dari empat komponen, yaitu seasonal factor, cyclical factor, irregular component, dan trend. Metode pembentukan CLI ini memisahkan komponen siklikal dari ketiga komponen lainnya. Kemudian, komponen siklikal tersebut dianalisis gerakannya dan dibandingkan dengan gerakan siklikal dari indikator yang dijadikan seri acuan. Proses
penghilangan
faktor
musiman
dan
irregular
dilakukan
dengan
menggunakan program X-12 dalam Eviews dan proses estimasi trendnya menggunakan metode Hodrick-Prescott filter yang juga terdapat pada program Eviews. Untuk menganalisis perbandingan gerakan siklikal antara kandidat komponen dan seri acuan menggunakan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang.
3.2.1. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD
Berikut ini merupakan penjabaran secara rinci prosedur pembentukan CLI mengacu pada metode OECD, yang sebelumnya telah digambarkan kerangka prosedurnya dalam bab tinjauan pustaka. Prosedur pembentukan CLI ini terbagi atas empat tahap, seperti yang terdapat dalam penelitian Wuryandari et al (2002) :
1.
Penentuan Seri Acuan
Pemilihan dan penetapan seri acuan merupakan langkah awal dalam proses pembentukan CLI, dan merupakan tahapan yang paling penting. Hal ini dikarenakan seri acuan tersebut akan digunakan sebagai rujukan dalam pemilihan kandidat komponen leading indicator, sehingga banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam tahapan ini. Penelitian ini mengamati volatilitas dari business cycle di Indonesia, oleh karena itu diperlukan suatu seri acuan yang mampu mencerminkan kegiatan ekonomi di Indonesia. Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah apakah suatu seri acuan cukup menggunakan single series atau harus menggunakan multiple series. Umumnya, single series yang bisa dijadikan seri acuan adalah data PDB yang biasanya memiliki lag sekitar tiga bulan. Sedangkan multiple series yang biasa digunakan sebagai acuan adalah IPI. Perbedaan ini disebabkan karena ada sebagian pendapat yang merasa penggunaan data PDB sebagai seri acuan sudah cukup menangkap kegiatan ekonomi suatu negara, meskipun semuanya tergantung pada ketersediaan data dan derajat keyakinan terhadap seri tersebut. Sementara itu, sebagian pendapat lain yang
merasa
penggunaan
single
series
sebagai
acuan
kurang
dapat
menggambarkan kegiatan perekonomian negara secara keseluruhan. Selain itu, jika data yang digunakan adalah data sementara, akan ada kemungkinan terjadi kesalahan dalam pengukuran (measurement errors).
2.
Penentuan Titik Balik Seri Acuan
Langkah selanjutnya adalah proses pembersihan data dari unsur musiman, trend, dan irregular sebelum dilakukan penentuan titik balik dari seri acuan yang sudah ditentukan di awal. Berikut ini merupakan tahapan dari prosedur pembersihan data : a.
Adjusting for seasonality Untuk membersihkan data time series dari fluktuasi musiman dan
irregular dapat dilakukan dengan menggunakan program X-12 dari Eviews. Hal ini tidak perlu dilakukan apabila data yang digunakan merupakan data pertumbuhan tahunan karena data tersebut diasumsikan sudah tidak mengandung unsur musiman lagi. b.
Estimasi trend Metode OECD yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Hodrick-Prescott filter. Alternatif metode penghilangan unsur trend yang lain seperti metode PAT (Phase Average Trend) tidak dilakukan dikarenakan kendala software yang tidak dimiliki, yaitu program CIND dan Javelin 3 plus.
Metode HP (Hodrick-Prescott) filter
Metode HP filter berfungsi untuk mengestimasi trend dan kemudian menghilangkannya. Metode HP filter merupakan alat analisis ekonomi yang sederhana dan sangat fleksibel dan merupakan pilihan inti dari trend. Komponen trend bersifat stokastik tapi bergerak mulus sepanjang waktu dan tidak berhubungan dengan komponen siklikal.
Metode HP filter membutuhkan penghitungan dari komponen trend yaitu Y* untuk t=1,2,3,..... dari data seri yang telah dihilangkan unsur musiman dan irregularnya, yaitu Y. T dapat diestimasi dengan meminimalisasi fungsi kerugiannya, yaitu: T
∑ (Yt − Y * t ) t =1
dimana
λ
2
T −1
+ λ ∑ [(Y * t + 1 − Y * t ) − (Y * t − Y * t − 1)]
2
(3.1)
t =2
merupakan parameter yang merefleksikan varian dari
komponen trend relatif terhadap komponen siklikal. Bisa juga diartikan sebagai faktor pembobot yang mengontrol seberapa mulus hasil trend tersebut. Nilai λ yang rendah akan menghasilkan trend yang mengikuti seri yang telah dihilangkan unsur musimannya secara dekat, sedangkan nilai λ yang tinggi tidak akan menghasilkan fluktuasi jangka pendek dari seri yang telah dihilangkan unsur musimannya. Nilai λ untuk data tahunan adalah 100, dan untuk data triwulanan yang diberikan oleh Hodrick dan Prescott adalah 1600, sedangkan untuk data bulanan, nilai λ yang diberikan adalah 14400. c.
Detrending Tahapan ini bertujuan untuk memisahkan unsur siklikal dari unsur trend
setelah seri acuan bersih dari fluktuasi musiman dan irregular. Tahapan ini dilakukan dengan cara mengurangi seri data yang telah dihilangkan unsur musiman dan irregularnya menggunakan program seasonally adjusted dengan seri data yang telah dihilangkan unsur trendnya. Hasil akhirnya berupa pergerakan siklikal seri acuan, yang kemudian dapat dilihat bentuk business cyclenya.
Setelah seri data dibersihkan dari unsur musiman, irregular, dan trend maka selanjutnya dapat dilanjutkan dengan proses identifikasi titik balik (turning points) berdasarkan metode Bry-Boschan routine: Adapun kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dalam proses penentuan titik balik menggunakan metode Bry-Boschan, yaitu: a)
Periode dengan nilai yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari nilai lainnya dalam rentang 5 bulan sebelum dan sesudahnya diidentifikasi sebagai titik balik potensial.
b)
Suatu fase (puncak ke lembah atau lembah ke puncak) memiliki minimum durasi 5 bulan.
c)
Suatu siklus (puncak ke puncak atau lembah ke lembah) memiliki minimum durasi 15 bulan.
d)
Apabila terdapat dua atau lebih titik balik yang sejenis (puncak ke puncak atau lembah ke lembah) dan berurutan, maka dipilih puncak yang tertinggi atau lembah yang terendah.
e)
Apabila terdapat dua atau lebih titik balik dengan nilai yang sama, maka titik terakhirlah yang dipilih sebagai titik balik.
f)
Titik balik yang terdapat dalam kurun waktu enam bulan atau kurang dari awal dan akhir periode suatu seri data, maka titik tersebut tidak diperhitungkan sebagai titik balik. Kriteria lain yang bisa dijadikan acuan adalah kriteria yang disarankan
oleh Artis et al. seperti yang terdapat dalam working paper Zhang dan Zhuang (2002), kriteria-kriteria tersebut, antara lain:
a)
Titik puncak dan titik lembah mengikuti satu sama lain.
b)
Jarak minimum yang diperlukan antara dua titik balik (sebuah fase) adalah sembilan bulan.
c)
Jarak minimum yang diperlukan untuk dua alternatif titik balik (siklus dari puncak ke puncak atau dari lembah ke lembah) adalah 24 bulan.
d)
Titik balik dilokasikan pada nilai ekstrim dalam sebuah fase. Jika ada lebih dari satu nilai ekstrim dalam satu fase, maka observasi yang terakhir yang dipilih sebagai titik balik.
e)
Observasi yang terjadi bersamaan dengan kejadian nonekonomi (seperti guncangan, bencana alam, dll) akan dihiraukan untuk tujuan menganalisis titik balik kecuali titik balik yang didefinisikan dilokasikan bersebelahan dengan observasi tersebut. Dalam penelitian ini, penentuan titik balik mengacu pada kriteria yang
disarankan Bry-Boschan karena jika durasi antartitik balik terlalu jauh, seperti yang disarankan Artis et al. dalam working paper Zhang dan Zhuang (2002), banyak kemungkinan akan menghilangkan titik balik potensial yang mungkin terjadi selama durasi tersebut.
3.
Pemilihan Komponen Pembentuk CLI Tahapan selanjutnya adalah pemilihan kandidat komposit, tetapi
sebelumnya, perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu apakah data yang akan dipilih memiliki pergerakan co-movement terhadap seri acuan yang bersifat leading, lagging, atau coincident. Hal ini dilakukan karena komponen pembentuk
CLI hanya terdiri dari variabel-variabel ekonomimakro yang tergolong sebagai leading indicator. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan seleksi terhadap data variabel sebelum ditetapkan sebagai kandidat: 1.
Relevansi Ekonomi Dalam hal ini, data variabel harus memiliki makna ekonomi yang sangat berkaitan dengan seri acuan, antara lain seperti: i.
mengandung unsur yang dapat menyebabkan fluktuasi kegiatan ekonomi
(prime
movers),
maksudnya
fluktuasi
aktivitas
perekonomian dipengaruhi terutama oleh sejumlah kekuatan yang dapat diukur seperti kebijakan fiskal dan moneter, contohnya adalah money supply, nilai tukar; ii.
mengandung unsur ekspektasi pelaku ekonomi (expectation sensitive indicator), hal ini cenderung merefleksikan antisipasi terhadap aktivitas ekonomi yang akan datang, contohnya adalah survey konsumen kegiatan usaha, IHSG dimana permintaan saham tergantung rasio price-earning dan perkiraan keuntungan perusahaan sehingga pergerakan IHSG menggambarkan kondisi ekonomi yang akan datang dalam waktu dekat;
iii.
mengukur kegiatan ekonomi pada awal proses produksi (early stage indicator), ada jarak antara keputusan untuk memproduksi dan
pelaksanaan produksi yang sebenarnya, contohnya adalah ijin membangun, produksi barang antara, pesanan-pesanan baru; iv.
dapat menyesuaikan dengan cepat terhadap perubahan kegiatan ekonomi (rapidly responsive indicator), contohnya adalah jumlah jam kerja lembur, maksudnya industri lebih mudah meningkatkan jam kerja dibandingkan harus meningkatkan jumlah pekerja dalam memenuhi permintaan.
2.
Ketersediaan Data Pemilihan data variabel yang akan digunakan tidak sembarang dan memiliki banyak hal yang harus diperhatikan, seperti: (i) sedapat mungkin menggunakan data dengan frekuensi publikasi yang lebih tinggi; (ii) data tidak sering mendapat revisi terutama mencakup periode penelitian; (iii) publikasi data tersedia dalam waktu cepat (timeliness of publication) dan mudah untuk diperoleh; (iv) data tersedia dalam rentang waktu yang panjang dan berkesinambungan, serta tidak terdapat data yang terputus.
3.
Stasioneritas Data yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai variabel dalam komposit harus merupakan data stasioner yang telah bersih dari unsur musiman, irregular dan trend.
4.
Kriteria Statistik Setelah data dinyatakan stasioner, maka syarat akhir yang harus dipenuhi adalah data harus memiliki perilaku siklikal tertentu, beberapa diantaranya adalah: (i) seri data harus memiliki periode yang panjang dan periode
leading antara titik balik kandidat leading indicator konsisten dengan titik balik seri acuan; (ii) seri data harus memiliki cyclical conformity antara kandidat indikator dengan seri acuan yang ditunjukkan oleh korelasi yang tinggi antar keduanya; (iii) dalam seri data tidak terdapat siklus ekstra maupun siklus yang hilang (missing cycles) dibandingkan dengan pergerakan siklus seri acuan; (iv) seri data memiliki pergerakan data yang mulus, dalam arti pergerakan siklikal dapat dengan mudah dibedakan dari pergerakan data yang irregular. Penentuan struktur data seri kandidat dan data seri acuan dilakukan terlebih dahulu sebelum memasuki proses perhitungan deviasi dari trend. Ada dua macam perhitungan deviasi seri terhadap trend, yaitu:
Seri yang bersifat multiplicative, dalam arti amplitudo dari komponen musiman meningkat sejalan dengan berjalannya waktu, maka terhadap seri tersebut dilakukan perhitungan ratio to trend.
Seri yang bersifat additive, dalam arti amplitudo dari komponen musiman cenderung sama sepanjang periode termasuk apabila terdapat data yang bernilai negatif, maka terhadap seri tersebut dilakukan perhitungan difference from trend. Pemilihan penggunaan variabel yang tepat dalam komposit ditentukan
berdasarkan pemenuhan kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas, dengan penekanan pada perilaku siklikal dari seri data. Selanjutnya, untuk mengetahui titik balik seri kandidat, dapat dilakukan melalui proses yang sama dengan
penentuan titik balik seri acuan, yaitu dengan menggunakan metode Bry-Boschan routine.
4.
Pembentukan Composite Leading Index Tahap selanjutnya setelah proses pemilihan variabel-variabel yang akan
dijadikan sebagai kandidat komposit adalah proses penyusunan komposit indikator. Tujuan membentuk CLI adalah untuk memprediksi titik balik dan menyediakan peringatan dini dari penurunan/peningkatan aktivitas ekonomi. Jika diasumsikan ada dua data time series , X dan Y, dimana Y adalah composite leading index dan X adalah seri acuan. Pergerakan dalam X bisa diartikan sebagai proses menuju 2 rezim: rezim penurunan dan rezim peningkatan. Titik balik terjadi ketika terjadi pergantian rezim. Oleh karena itu, kita berharap pola pergerakan Y akan mirip dengan pergerakan dalam X, tapi dengan beberapa waktu penyesuaian, dimana Y akan bergerak mendahului X beberapa periode sehingga Y bisa membuat sinyal awal tentang pergerakan dalam X. Dari sudut pandang para pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan investor, adalah ideal menerima sinyal peringatan dari titik balik dengan lead time yang tepat sehingga kebijakan yang tepat bisa direncanakan dan diberlakukan. Jika lead timenya terlalu lama, resiko akan adanya sinyal yang salah akan menjadi tinggi. Faktanya, meningkatkan lead time dalam sebuah sinyal memiliki kecenderungan untuk meningkatkan resiko memiliki lebih banyak sinyal yang salah (Zhang dan Zhuang, 2002).
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk membentuk komposit leading indikator ini adalah sebagai berikut: 1.
Penyeragaman periode Seri data yang telah terpilih menjadi kandidat akan diseragamkan periodisasinya menjadi data triwulanan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam proses analisis, agar pergerakan siklikalnya bisa sama.
2.
Normalisasi Tahap selanjutnya adalah melakukan normalisasi seri data. Prosedur ini dilakukan agar seluruh pergerakan siklikal memiliki amplitude yang sama. Tanpa proses normalisasi ini, maka pergerakan siklikal komposit indikator dapat didominasi oleh pergerakan indikator dengan amplitude siklikal yang besar. Metode normalisasi yang digunakan adalah dengan mengurangi seri data dengan nilai rata-rata, sehingga diperoleh angka selisih. Selanjutnya, membagi angka selisih dengan rata-rata dari nilai absolut selisih tersebut. Penjelasan matematis dari proses normalisasi ini dijabarkan sebagai berikut : xi =
Xi − X S
(3.9)
Keterangan: Xi = data yang sudah distandarisasi (normalisasi) Xi = data original X = nilai rata-rata S = standar deviasi Terakhir, data yang telah dinormalisasi tersebut diubah ke dalam bentuk indeks dengan cara menambahkan nilai 100.
3.
Lagging
Tahap ini hanya dilakukan apabila kandidat indikator yang dipilih terbagi dalam dua kelompok yaitu “longer leading” dan “shorter leading”. Pembentukan komposit yang terdiri dari kedua kelompok indikator tersebut dapat memberikan hasil yang kurang baik berdasarkan penelitian Buchori (1998). Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dari hasil adalah dengan memajukan periode lead dari longer leading indicator. Proses lagging tidak dilakukan dalam penelitian ini karena tidak ada pembagian kelompok dalam kandidat indikator. 4.
Pembobotan Penggabungan beberapa indikator ke dalam suatu komposit dapat dilakukan dengan memberikan bobot yang berbeda kepada setiap indikator, misalnya, berdasarkan kemampuan secara historis untuk memprediksi siklus. Dalam hal ini, OECD menggunakan nilai bobot yang sama (equal weights) untuk setiap indikator pembentuk komposit, karena secara tidak langsung pembobotan telah dilakukan dalam proses normalisasi.
3.
Agregasi Tahap selanjutnya adalah pembentukan indeks komposit, yaitu dengan menghitung nilai rata-rata dari seluruh indikator yang dipilih.
3.2.2. Kategori Volatilitas Proses penentuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal suatu indikator dilakukan dengan cara mencari nilai standar deviasi dari seri data terlebih dahulu untuk kemudian dibagi dengan nilai rata-rata dari seri data yang telah dipisahkan dari unsur trendnya. Hasil dari pembagian tersebut diubah menjadi bentuk persentase. Kriteria yang harus diperhatikan adalah untuk indikator yang memiliki Coefficient Variation (CV) lebih dari 100 persen berarti volatilitasnya tergolong tinggi. Sedangkan indikator yang memiliki CV lebih dari 50 persen tapi kurang dari 100 persen termasuk dalam kategori volatilitasnya medium, dan untuk indikator yang CV-nya kurang dari 50 persen termasuk dalam indikator yang volatilitasnya rendah. Berikut merupakan cara penghitungan secara matematisnya: x=
∑x n
S=
(3.2)
n n
n∑ xi − (∑ xi ) 2 2
i =1
i =1
n(n − 1)
(3.3)
Dari dua persamaan di atas maka dapat dirumuskan penghitungan Cvnya adalah :
CV =
S .100% X
Keterangan : S = standar deviasi X = nilai rata-rata
(3.4)
3.2.3. Kategori Business Cycle Indicator
Pengelompokan indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini ke dalam kategori leading, lagging, dan coincident indicator dilakukan dengan membandingkan pergerakan siklikal variabel ekonomimakro dengan pergerakan siklikal seri acuan. Cara membandingkannya menggunakan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang. Pendekatan korelasi silang ini merupakan studi tentang hubungan bivariate (hubungan antardua variabel). Hubungan ini bisa bernilai positif atau negatif, tergantung dari angka lag atau lead yang digunakan (Siregar dan Ward, 2002). Korelasi menurut Gaynor dan Kirkpatrick adalah pengukuran hubungan antara dua variabel. Jika satu variabel (X) cenderung mengalami peningkatan seperti halnya peningkatan yang terjadi pada variabel lain (Y), maka r (korelasi) akan positif. Jika X cenderung meningkat saat Y menurun, maka r akan negatif. Jika tidak ada hubungan antara kedua variabel, maka dapat dikatakan tidak ada korelasi, atau r sama dengan nol. Cara menghitung korelasi (r) berdasarkan konsep covariance. Covariance adalah rata-rata dari hasil silang dua variabel yang acak: n
Cov( X , Y ) =
∑ ( X − X )(Y − Y ) i =1
n
(3.5)
Jika covariance dibagi hasil standar deviasi dari dua variabel, maka akan didapat nilai r: r=
Cov( X , Y ) S X SY
(3.6)
Formula ini juga bisa ditulis dalam bentuk yang ekuivalen berikut ini: n∑i =1 XY − ∑i =1 Y n
r=
n
n∑i =1 X 2 − (∑i =1 X ) 2 n∑i =1 Y 2 − (∑i =1 Y ) 2 n
n
n
n
(3.7)
Pengukuran korelasi silang ini mencakup range waktu dari -8 sampai +8. Setelah itu, nilai koefisien yang terbesar pada waktu tertentu akan menunjukkan indikator tersebut tergolong pada jenis indikator yang mana. Misalnya, suatu variabel X memiliki koefisien korelasi terbesar pada saat lead dua (+2) dengan nilai sebesar 0.70, dengan demikian variabel tersebut bersifat leading dengan time lead 2 triwulan, jika data yang digunakan dalam bentuk triwulan. Jika koefisien korelasi suatu variabel yang terbesar berada pada saat t (0), maka variabel tersebut bersifat coincident, sedangkan jika berada pada saat lag (t-i) maka variabel tersebut bersifat lagging. Adakalanya suatu variabel yang telah digolongkan ke dalam kriteria tertentu ternyata memiliki nilai koefisien korelasi lain yang besarnya tidak jauh berbeda dari nilai koefisien korelasi terbesar dan berada pada range waktu yang berbeda. Hal ini berarti perlu dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi tersebut. Jika ternyata nilai koefisien korelasi kedua signifikan, berarti variabel tersebut memiliki dua kecenderungan jenis indikator. Pengujian signifikansi koefisien korelasi dapat dilakukan dengan membandingkan nilai t-statistic dengan kritikal nilai t-table. Untuk itu, kita membuat dua hipotesis:
H0 : ρ = 0 (tidak ada hubungan) H1 : ρ ≠ 0 (ada hubungan) Uji statistik digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah t-statistic dengan derajat bebas = n – 2: t=
r−ρ r n−2 = =r Sr Sr 1− r 2
(3.8)
Jika nilai t-statistic lebih besar dari kritikal t-table untuk α = 0.05 maka keputusannya adalah tolak H0, maksudnya ada hubungan antara kedua variabel.
IV. TINJAUAN SINGKAT PEMBENTUKAN CLI
4.1.
Pembentukan CLI di Luar Negeri Pendekatan leading indicator dan peramalan bisnis dirintis oleh salah satu
organisasi di Amerika Serikat, yaitu NBER (National Bureau of Economic Research) lebih dari setengah abad yang lalu. Sejarah dari leading indicator (indikator pendahulu), pertama kali dibentuk pada masa Pra Perang Dunia I, yang dikenal dengan sebutan Harvard ABC curves. Kurva ini mengklasifikasikan indikator-indikator siklikal ke dalam satu dari tiga kelas: spekulasi (kurva A), aktivitas ekonomi (kurva B), dan pasar uang (kurva C). Meskipun Harvard ABC curves tidak dapat bertahan seiring dengan pengujian waktu, namun prosesnya bertahan sampai sekarang. Pada musim gugur sekitar tahun 1937, NBER diminta oleh Henry Morgenthau, Jr yang pada saat itu menjabat sebagai secretary of treasury, untuk mengembangkan indikator yang dapat mengantisipasi siklus perubahan ekonomi. Sejak saat itu konsep leading, lagging dan coincident indicator menjadi semakin berkembang. Sebelumnya, klasifikasi waktu dilihat sebagai produk dari para peneliti NBER untuk menemukan penyebab dari business cycle (Niemira dan Klein, 1994). Sejak Oktober 1961, Departemen Perdagangan di Amerika Serikat mulai menerbitkan Business Cycle Development (BCD), sebuah peninjauan statistik dari indikator siklikal yang telah diidentifikasi oleh NBER. Kemudian publikasi ini berganti nama menjadi Business Conditions Digest, selanjutnya berubah lagi
menjadi Survey of Current Business. Tidak ada perubahan dalam isi dan pendekatan yang digunakan, meskipun para peneliti yakin bahwa tehnik analisis business cycle lambat laun akan memudar. Saat ini, pendekatan indikator menjadi lebih baik dan lebih luas digunakan oleh pemerintah di negara-negara lain dengan menerbitkan leading indicators untuk negara-negaranya masing-masing. Wesley C. Mitchell dan Arthur F. Burns merupakan dua peneliti dari NBER yang menerbitkan kumpulan leading indicator yang dapat dipercaya (reliable) untuk pertama kalinya, mulai saat itu, banyak dilakukan riset untuk mengembangkan dan meyempurnakan leading indicator baik dari segi konsep maupun teknis (Niemira dan Klein, 1994). Beberapa lembaga lain selain NBER yang turut berpartisipasi adalah CIBCR (Center for International Business Cycle Research’s) di Inggris, ECRI (Economic Cycle Research Institute) di New York dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang memiliki kantor pusat di Paris.
4.2.
Pembentukan CLI di Indonesia Di Indonesia, penerapan penggunaan perangkat leading indicator
mengalami perjalanan panjang dan berliku bahkan sampai sekarang pun masih mengalami kendala. Awalnya, sekitar tahun 1992, Bank Indonesia mulai merintis pembentukan leading indicator dengan menggunakan pendekatan growth cycle, yang mana bekerjasama dengan CPB (Central Planning Bureau) Netherland. Kendala utama yang dihadapi adalah penggunaan software yang sulit diaplikasikan.
Selanjutnya
Bank
Indonesia
bekerjasama
dengan
ECRI
mengembangkan pembentukan CLI yang lebih baik menggunakan pendekatan growth rate cycle sekitar tahun 1997-1998. Saat itu mulai dibentuk pula leading indicator untuk inflasi. Kendala yang dihadapi masih seputar software yang tidak dimiliki Bank Indonesia membuat pembentukan leading indicator masih dilaksanakan ECRI, dan Indonesia hanya menyediakan data yang dibutuhkan saja. .
Peninjauan kembali konsep pembentukan leading indicator dilakukan
berdasarkan pembelajaran ulang baik dari pendidikan maupun studi pustaka. Hasil yang didapat menimbulkan kerancuan karena penggunaan penggabungan pendekatan growth cycle dan growth rate cycle. Sampai saat ini, Bank Indonesia masih bekerjasama dengan OECD dan membuat pelatihan oleh Cabinet-Office Jepang dalam rangka menyempurnakan leading indicator yang dapat dipercaya. Salah satu direktorat Bank Indonesia, yaitu Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter (DSM) mengembangkan suatu indikator yang disebut prompt indicator, yang bertujuan untuk memberikan informasi lebih awal mengenai perkembangan ekonomi, agar arah kebijakan moneter dapat lebih terarah dan menghindari kemungkinan terjadinya krisis. Sampai saat ini, metode pembentukan leading indicator di Indonesia terus berkembang seiring dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukungnya. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk membentuk composite leading index. Indonesia sendiri banyak mengacu pada metode yang dikembangkan OECD, yang mana juga mengacu pada metode yang dikembangkan oleh NBER. Tetapi dalam metode OECD pun, terdapat beberapa alternatif cara dalam proses pengestimasian unsur trend-nya, bisa
menggunakan metode PAT (Phase Average Trend) atau metode HP (HodrickPrescott) filter. Kelemahan dari metode PAT ini adalah tidak stabilnya titik balik perekonomian yang telah ditentukan, khususnya pada akhir periode, sehingga akan mempengaruhi prediksi arah perekonomian dan lead time dari suatu indikator. Pengguna metode ini harus berhati-hati khususnya pada saat melakukan up dating data karena ada kemungkinan up dating tersebut akan menyebabkan terbentuknya titik balik baru. Pada situasi ini, metode PAT akan menghitung pertumbuhan trend baru yang kemungkinan akan secara drastis merubah slope garis trend, sehingga akan mempengaruhi kestabilan titik balik perekonomian yang telah ditentukan. (Buchori, 1998). Selain itu untuk dapat menggunakan metode PAT ini membutuhkan software yang jarang digunakan dan tidak bersifat user friendly yaitu Javelin 3 plus, program CIND (Conjungtuur Indonesia), dan Micro TSP (Time Series Program) version 7.0.
Meskipun begitu, tidak ada
metode yang sempurna dalam memprediksi trend, termasuk HP filter, karena proyeksi trend merupakan suatu hal yang sangat sulit, seperti yang dikemukakan oleh Hodrick dan Prescott. Banyak sekali kendala yang harus dihadapi dalam pembentukan CLI ini selain dari permasalahan metode dan softwarenya. Penentuan seri acuan merupakan dasar utama masalah, dimana terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti yang menggunakan single series dan yang menggunakan multiple series. Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian sebelumnya dan tergolong
ke dalam leading indicators mungkin juga sudah tidak relevan lagi dan telah berubah fungsi bila dilihat dari kondisi ekonomi negara pasca krisis saat ini. Dalam setiap penelitian, tidak ada indikator atau komposit indikator yang sangat sempurna, sehingga diperlukan review secara berkala untuk siklikal indikator, seperti halnya untuk setiap metodologi peramalan untuk meyakinkan bahwa indikator-indikator yang digunakan sebelumnya masih mewakili proses ekonomi dan secara tehnik masih menjadi indikator yang baik, dan perlu juga untuk menambah atau mengganti beberapa indikator dengan indikator baru ke dalam komposit. Berikut
akan
dijabarkan
perbandingan
perbedaan
metodologi
pembentukan CLI Indonesia dari awal pembentukannya sampai metodologi yang digunakan sebelum akhirnya menerapkan metode OECD. Kegagalan metode Leading Indicator (LI-2000) antara lain disebabkan oleh : 1.
Ketidakjelasan dari pendekatan analisa siklikal yang digunakan karena adengan danya penggabungan teknik analisis siklikal membuat proses trend adjustment terjadi berulang-ulang, yang sebetulnya tidak perlu dilakukan dalam data berbentuk pertumbuhan.
2.
Data yang sudah dalam bentuk pertumbuhan seharusnya tidak perlu dilakukan dekomposisi data, tetapi pada metode LI-2000 tetap dilakukan sehingga proses pembersihan datanya dilakukan berulang.
3.
Tidak dilakukan proses eliminasi data ekstrim, menjadi penyebab pergerakan leading indicator sangat berfluktuasi.
Tabel 2. Perbandingan Metodologi dalam Pembentukan CLI Indonesia
Konsep
Central Planning Bureau Growth cycle
Seri rujukan
Seri tunggal
Persiapan data
Interpolasi program CIND
Dekomposisi
• Menghilangkan unsur seasonal, trend dan irregular • Seasonal adjustment menggunakan X-11 • Irregular dihilangkan dengan weighted MA • Detrending dengan Phase Average Trend • Pembobotan sama • Pembobotan sama (pembobotan secara tidak langsung pada saat standarisasi • Amplitude adjustment: data, berdasarkan volatilitas) standarisasi dan normalisasi Amplitude adjustment : standarisasi, • • Analisa siklus dilakukan pada normalisasi dan pengalian dengan data deviasi dari trend PAT amplitude adjustment factor (rasio terhadap trend) • Analisa siklus dilakukan pada data SMGR
Pembentukan Komposit
menggunakan
Economic Cycle Research Institute LI-2000 Classical business cycle dan Growth Rate Gabungan antara growth cycle dan Cycle (SMGR) growth rate cycle (SMGR) Seri tunggal • Komposit beberapa indikator (LIE) • Seri tunggal (LII) • Interpolasi menggunakan A2Q (program • Interpolasi data kuartalan dengan ECRI) metode sederhana (dibagi 3) • Data dibuat stasioner • Data tidak dibuat stasioner • Hanya menghilangkan unsur seasonal • Menghilangkan unsur seasonal, trend, dan irregular • Seasonal adjustment dengan X-11 yang dimodifikasi dengan memasukkan imlek • Seasonal adjustment dengan X-11 Eviews adjustment dengan • Seasonal menghitung rasio • Komponen I = (C+I) – C • Detrending dengan Phase Average Trend • Pembobotan berdasarkan korelasi dan volatilitas (secara garis besar sama dengan amplitude adjustment, namun tidak dikalikan dengan amplitude adjustment factor • Analisa siklus dilakukan pada deviasi data SMGR dari trend PAT (difference dari trend)
Penentuan titik balik
• Analisa grafis • Koefisien korelasi • Metode Bry-Boschan
• Metode Bry-Boschan (12 CMA, Spencer curve B, MCD 9 MA) • Clustering untuk penentuan final titik balik • PAT digunakan untuk menentukan rata-rata shock kembali ke trendnya. Angka rata-rata tersebut menentukan nilai MA untuk MCD • Dihitung lead profile berdasarkan confidence interval (randomized test of match pair)
• Metode Bry-Boschan (12 MA, Spencer curve B, MCD 6 MA)
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola dan Karakteristik Indikator Business Cycle Indonesia Setelah pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai metodologi dari
pembentukan leading indicator berdasarkan metode growth cycle OECD, maka pada bagian ini akan dijelaskan mengenai aplikasi metode tersebut dalam menentukan titik balik dari seri acuan dan pembentukan composite leading index ekonomi Indonesia. Seri acuan yang digunakan dalam penyusunan leading indicator dalam penelitian ini ada dua, yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) dan Industrial Production Index (IPI). Hal ini dilakukan karena selama ini dalam penelitian mengenai business cycle di Indonesia selalu menggunakan PDB sebagai seri acuan, sementara penelitian serupa tentang business cycle untuk negara lain, menggunakan IPI sebagai seri acuannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis, mengevaluasi, dan membandingkan hasil analisis diantara keduanya. Pada bagian ini, hasil analisis stylized facts akan disajikan dalam gambaran
evolusi
trend
dan
fluktuasi
siklikal
seri
acuan,
kemudian
menggambarkan hubungan keterkaitan siklikal indikator kandidat komposit dengan siklikal seri acuan yang terbagi dua. Metode yang digunakan untuk menghilangkan
unsur
musiman
dan
irregular
dari
variabel-variabel
ekonomimakro adalah program seasonally adjusted dari X-12 dalam software Eviews 4.1, dan metode yang digunakan untuk mengestimasi trend
adalah
metode Hodrick Prescott filter, yang juga dilakukan dalam software Eviews 4.1.
Sedangkan proses detrending (pemisahan unsur siklikal dari unsur trend-nya) dan pembentukan CLI melalui normalisasi dilakukan dalam program Microsoft Excel.
5.1.1. Karakteristik dan Titik Balik Produk Domestik Bruto (PDB) Alasan pemilihan PDB sebagai salah satu seri acuan yang digunakan dalam pembentukan leading indicator ini adalah karena PDB dianggap sebagai salah satu alat ukur kegiatan ekonomi yang paling akurat dalam level agregat. Berikut ini merupakan gambar data triwulanan PDB dalam bentuk logaritma dari tahun 1993 triwulan satu sampai dengan tahun 2005 triwulan tiga. Dari grafik dapat dilihat bahwa perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif sebelum terjadinya krisis tahun 1997.
Gambar 3. Grafik log PDB
Dampak dari krisis dirasakan sejak tahun 1997 triwulan ketiga, dimana perekonomian Indonesia mulai mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini berlangsung sampai sekitar tahun 2000, karena situasi dalam negeri yang rumit membuat Indonesia termasuk ke dalam negara yang proses pemulihan ekonominya lambat. Akhir tahun 2003 pertumbuhan ekonomi mulai meningkat kembali meskipun belum mencapai pertumbuhannya semula. Tetapi, setelah akhir 2004, pertumbuhan Indonesia meningkat pesat, dimana hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah terlepas dari pengaruh krisis moneter beberapa tahun silam. Grafik PDB dalam bentuk logaritma ini menunjukkan adanya fluktuasi musiman (seasonal oscillations). Fluktuasi musiman ini berarti umumnya dalam kegiatan ekonomi ada kecenderungan untuk menguat pada triwulan keempat dan terkompensasi dengan penurunan selama triwulan pertama dalam satu tahun kalender. Sebelum menganalisis pergerakan siklikal dari seri acuan, maka komponen musiman ini harus dihilangkan dahulu. Proses penghilangan unsur musiman dapat dilakukan langsung oleh program X-12 yang dikembangkan oleh Census Bureau di Amerika Serikat dan telah dimasukkan ke dalam beberapa software, termasuk Eviews. Gambar 4 dan 5 masing-masing merupakan plot dari trend PDB dan siklikal PDB. Plot ini didapat dari regresi menggunakan metode HP filter yang mengestimasi trendnya dan kemudian dipisahkan dari unsur siklikalnya. Trend PDB menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia dalam kurun waktu tiga belas tahun terakhir mengalami tiga fase, yaitu fase peningkatan sampai periode tahun
1995, kemudian mengalami fase perlambatan sampai periode tahun 2000, dan kembali lagi ke fase peningkatan sampai akhir periode penelitian. Jika saja pada fase perlambatan yang dimulai tahun 1995 tersebut dicermati oleh pemerintah, maka sebenarnya dapat dilakukan evaluasi atas kebijakan yang sudah dilakukan dan membuat perencanaan kebijakan selanjutnya untuk menghindari kondisi yang memburuk, yaitu terjadinya krisis moneter di Asia, yang didahului oleh Thailand.
Gambar 4. Grafik Trend PDB Hasil growth cycle dalam plot estimasi siklikal PDB sebagai seri acuan selama periode penelitian, yaitu untuk rentang waktu tiga belas tahun (1993.12005.3) memiliki dua siklus yang panjang dengan masing-masing durasi siklus selama 16 triwulan dan 23 triwulan, sehingga rata-rata setiap siklus mencapai 19.5 triwulan, seperti yang dirangkum dalam Tabel 3. Terdapat lima titik balik yang dapat ditangkap oleh pergerakan siklikal PDB, yang terdiri dari tiga titik lembah
dan dua titik puncak. Rata-rata durasi masa ekspansi adalah 9.5 triwulan, dan ratarata durasi masa kontraksinya adalah 10 triwulan. Tabel 3. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan PDB Titik Balik
Fase / Siklus Ekspansi Kontraksi Siklus No.1 Ekspansi Kontraksi Siklus No.2 Rata-rata Ekspansi Kontraksi Siklus
Lembah 1994.4 1994.4 1998.4 1998.4
Puncak 1997.3 1997.3 2000.4 2000.4
Lembah 1998.4 1998.4 2004.3 2004.3
Durasi (triwulan) Fase Siklus 11 5 16 8 15 23 9.5 10 19.5
Selama periode penelitian dari tahun 1993 triwulan pertama sampai dengan tahun 2005 triwulan ketiga, terjadi dua masa ekspansi dan dua masa kontraksi, seperti akan dijabarkan berikut ini: masa ekspansi panjang pertama terjadi pada L1-P1 (1994.4-1997.3), yang disebabkan oleh meningkatnya ekspor non migas dan meningkatnya permintaan domestik, khususnya dari sektor non pajak. Selanjutnya terjadi kontraksi karena terjadinya krisis moneter dan krisis keuangan pada P1-L2 (1997.3-1998.4), direfleksikan oleh penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tajam sebesar minus lebih dari 13 persen, dimana terjadi pemborongan dollar AS yang makin lama makin besar akibat isu yang beredar luas di masyarakat. Hal ini berarti meningkatnya aliran dana ke luar
negeri (capital flight). Fase ekonomi kontraksi ini, dimulai oleh depresiasi besar dari nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dari US$1= 2.450 rupiah di bulan Juni 1997 menjadi 3.035 rupiah di bulan Agustus 1997, kemudian menjadi 10.375 rupiah bulan Januari 1998, sampai pada akhirnya mencapai 14.900 rupiah pada bulan Juni 1998 (Sutomo dan Irawan, 2003). Hal tersebut juga ditunjukkan oleh plot trend PDB yang berubah menjadi mendatar.
Gambar 5. Grafik Siklikal dan Titik Balik PDB Hutang pemerintah Indonesia tahun 1997, menurut data dari Bank Dunia mencapai 70 persen terhadap PDB yaitu sebesar $90 milyar. Hal ini menggambarkan kondisi ekonomi Indonesia yang demikian kritis. Meskipun termasuk lambat, tetapi perekonomian Indonesia mulai pulih dan memasuki masa ekspansi kedua, yaitu L2-P2 (1998.4-2000.4), dimana perekonomian mengalami pertumbuhan yang positif. Tercatatnya pertumbuhan ekonomi sebesar minus 9.4
persen pada kuartal pertama tahun 1999 (kuartal sebelumnya tercatat sebesar minus 17.7 persen) sedikit banyak menandai sudah terlampaunya titik balik dari resesi ekonomi. Hal ini diperkuat dengan tercapainya pertumbuhan PDB positif pada kuartal kedua tahun 1999 sebesar 1.8 persen (Alisjahbana dan Yusuf, 1999). Peningkatan ini terutama disebabkan oleh naiknya permintaan domestik, khususnya dari sektor konsumsi. Masa kontraksi terakhir yang diperoleh selama periode penelitian adalah pada saat P2-L3 (2000.4-2004.3). Meskipun mengalami perlambatan, tetapi tidak terlalu volatil, artinya pergerakan siklikalnya tidak berada terlalu jauh dari trendnya. Menurut data yang diperoleh dari BPS, hal ini dikarenakan menurunnya pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar minus 1.03 persen awal tahun 2002, dan juga adanya penurunan investasi fisik sebesar minus 2.45 persen. Pertengahan tahun 2002, dari sektor pertambangan-penggalian juga tidak terlihat menunjukkan peningkatan. Tahun 2003 terjadi penurunan PDB sebesar minus 2.78 persen yang sebagian besar disebabkan oleh pola musiman di sektor pertanian yang turun sebesar minus 22.29 persen.
5.1.2. Karakteristik dan Titik Balik Industrial Production Index (IPI) Variabel IPI juga dijadikan seri acuan sebagai perbandingan dari penggunaan seri acuan PDB. Banyak penelitian tentang business cycle, terutama yang berasal dari luar negeri yang merasa bahwa memilih seri tunggal sebagai acuan dianggap kurang mewakili kondisi perekonomian negaranya, sehingga mereka lebih percaya bahwa menggunakan seri acuan yang terdiri dari indeks komposit akan lebih mewakili perekonomian negaranya, dimana IPI ini diukur
dari sektor-sektor seperti manufaktur, pertambangan, dan industri. Pengukuran IPI ini tidak termasuk sektor pertanian, konstruksi, dan industri jasa.
Gambar 6. Grafik log IPI Indonesia Seperti halnya grafik PDB yang ditunjukkan sebelumnya, grafik IPI dalam bentuk logaritma juga menunjukkan adanya unsur musiman, sehingga diberi perlakuan yang sama dengan PDB dan seluruh variabel ekonomimakro yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu dihilangkan dengan program X-12 dalam software Eviews. Tidak jauh berbeda dari pola pergerakan PDB, pola pergerakan IPI
memiliki
kecenderungan
meningkat sampai pertengahan tahun 1995,
kemudian mengalami perlambatan tapi tidak statis seperti halnya dalam trend PDB yang mendatar, trend IPI tetap meningkat meskipun tidak sebesar pertumbuhan semula sebelum krisis.
Gambar 7. Grafik Trend IPI Hasil growth cycle dalam plot estimasi siklikal IPI sebagai seri acuan selama periode penelitian, yaitu untuk rentang waktu tiga belas tahun (1993.12005.3) memiliki dua siklus yang panjang dengan masing-masing durasi siklus selama 18 triwulan dan 13 triwulan, sehingga rata-rata setiap siklus mencapai 15.5 triwulan, seperti yang dapat dilihat dalam Tabel 4. Terdapat enam titik balik yang dapat ditangkap oleh pergerakan siklikal IPI, yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak. Rata-rata durasi ekspansi adalah 8.3 triwulan, dan kontraksi adalah 7 triwulan.
Tabel 4. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan IPI Titik Balik
Fase / Siklus Ekspansi Kontraksi Siklus No.1 Ekspansi Kontraksi Siklus No.2 Ekspansi Rata-rata Ekspansi Kontraksi Siklus
Lembah 1994.1 1994.1 1998.3 1998.3 2001.4
Puncak 1997.1 1997.1 1999.4 1999.4 2003.4
Lembah 1998.3 1998.3 2001.4 2001.4
Durasi (triwulan) Fase Siklus 12 6 18 5 8 13 8 8.3 7
Gambar 8. Grafik Siklikal dan Titik Balik IPI
15.5
Dalam grafik siklikal IPI, terlihat pergerakannya yang lebih volatil daripada grafik siklikal PDB. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, terjadi sampai awal tahun 1997, tepat sebelum terjadinya krisis. Krisis moneter memberi tekanan pada pembangunan industri dan perdagangan berupa krisis kepercayaan dari dunia usaha dan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini tercermin dari aksi pemborongan bahan kebutuhan pokok oleh masyarakat luas melebihi kebutuhan normal yang biasa dikonsumsi masyarakat. Pada masa kontraksi pertama, yaitu P1-L2 (1997.1-1998.3), dapat dilihat terjadi penurunan perekonomian yang cukup tajam, hal ini dikarenakan aktivitas perdagangan luar negeri seperti ketergantungan pada barang impor yang relatif tinggi dan nilai tukar rupiah yang berfluktuasi pada tingkat jauh di atas normal, terutama terhadap dollar Amerika Serikat. Sementara keuntungan yang didapat dari ekspor karena depresiasi nilai tukar rupiah, terutama bagi produk berkandungan lokal tinggi, mendapat kendala berupa langkanya peti kemas untuk ekspor dan keterbatasan devisa untuk impor bahan baku. Khususnya untuk tahun 1998, nilai ekspor Indonesia telah turun dan hanya mencapai kurang lebih US$ 50 milyar sementara nilai impor hampir mencapai US$ 60 milyar. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai suatu gejala makin menurunnya daya saing produk Indonesia. Setelah itu, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan dalam kegiatan perekonomian, yaitu pada periode L2-P2 (1998.3-1999.2). Hal ini tidak berlangsung lama, karena perekonomian kembali lagi memasuki masa kontraksi yang cukup tajam, P2-L3 (1999.4-2001.4). Sampai akhir tahun 2004, perekonomian tergolong pada masa ekspansi. Hasil akhir analisis titik balik yang
diperoleh tidak jauh berbeda dari hasil analisis siklikal PDB, hanya saja umumnya titik balik yang didapat dari pergerakan siklikal IPI terjadi lebih dulu daripada titik balik dari pergerakan siklikal PDB.
5.1.3. Perbandingan Seri Acuan PDB dan IPI Bila dilihat dari grafik pergerakan siklikal dan perbandingan titik baliknya, maka perbedaan antara kedua seri acuan tersebut akan lebih mudah dilihat. Seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut ini :
Gambar 9. Pergerakan Siklikal Seri Acuan PDB dan IPI Salah satu penjelasan dari perbedaan hubungan antara PDB dan IPI adalah dalam pergerakan siklikal IPI, titik balik yang dapat ditangkap lebih banyak pada pasca krisis dan terjadi lebih dulu daripada titik balik yang terjadi pada pergerakan siklikal PDB. Bila dilihat dari hasil korelasi silang antara IPI dan PDB, maka IPI merupakan leading indicator bagi PDB dengan koefisien 0.60 pada lead satu.
Hasil keluaran komputernya bisa dilihat pada Lampiran 6, sementara perbedaan durasi antara titik balik seri acuan PDB dan titik balik seri acuan IPI bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 5. Perbandingan Titik Balik Seri Acuan PDB dan IPI Seri Acuan PDB IPI IPI (triwulan) Lead (-)
5.2.
Titik Balik Lembah
Puncak
Lembah
Puncak
Lembah
Puncak
1994.4 1994.1
1997.3 1997.1
1998.4 1998.3
2000.4 1999.4
2001.4
2003.4
-3
-2
-1
-4
Lembah 2004.3 Average -2.5
Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen Secara ideal, pemilihan kandidat komponen komposit leading seyogyanya
memenuhi beberapa kriteria, seperti memiliki relevansi ekonomi, ketersediaan data, dan pemenuhan kriteria statistik. Relevansi ekonomi antara kandidat komponen komposit dengan pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk dapat menjelaskan
secara
teori
bagaimana
hubungan
suatu
variabel
dengan
pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pada umumnya, suatu variabel yang mempunyai hubungan yang dapat dijelaskan secara teori, juga tercermin dari besaran-besaran statistiknya, seperti nilai korelasi silang yang cukup tinggi. Dalam penelitian ini, kriteria-kriteria tersebut diusahakan untuk dapat dipenuhi. Namun demikian, masalah ketersediaan data dan kemudahan dalam perolehannya merupakan penghambat utama dalam penelitian ini mengingat dalam metode yang digunakan untuk membentuk CLI memerlukan jumlah data yang cukup banyak. Dengan coverage atau keterlibatan variabel yang terbatas akan mengurangi akurasi dari leading indicator yang terbentuk. Namun di lain
pihak, apabila sebagian besar variabel dilibatkan meskipun banyak yang tidak mencukupi jumlah datanya, akan membuat metode yang digunakan tidak dapat melakukan perhitungan dengan baik.
5.2.1. Perbandingan Variabel Ekonomimakro Terhadap Seri Acuan PDB Meskipun dalam penelitian ini, variabel yang dianalisis tidak terlalu banyak, tetapi diharapkan hasilnya bisa dipercaya. Setelah penentuan titik balik seri acuan, maka dapat dilihat dari pola siklikal variabel ekonomimakro dari timingnya dibandingkan dari pola siklikal seri acuan, apakah akan menjadi leading, lagging, atau coincident indicator. Setelah diketahui jenis indikatornya, maka selanjutnya untuk variabel yang tergabung dalam leading indicator berarti menjadi kandidat indeks komposit. Perbandingan pergerakan siklikal dari variabel ekonomimakro dengan seri acuan dilakukan dengan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang. Grafik perbandingan fluktuasi siklikal setiap variabel ekonomimakro dengan seri acuannya, baik terhadap PDB maupun terhadap IPI dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Penentuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal variabel-variabel dalam penelitian ini didapat dari hasil pembagian standar deviasi setiap variabel ekonomimakro dengan nilai rata-rata masing-masing seri data, dan dibuat dalam bentuk persen. Variabel yang tergolong memiliki volatilitas yang tinggi berarti hasil pembagiannya lebih dari 100 persen. Sementara variabel-variabel yang tergolong memiliki volatilitas rendah berarti hasil pembagiannya kurang dari 50
persen. Hasil perbandingan korelasi silang untuk penentuan jenis indikator setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Berikut merupakan hasil perhitungan untuk kriteria volatilitas variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan dalam penelitian ini : Tabel 6. Perhitungan CV Variabel-variabel Ekonomimakro
Variabel
Standar Deviasi
Rata-rata
CV (%)
DX ( Total Ekspor)
0,086552745
0,002601471
33,271
DXNM (Ekspor Non Migas)
0,081457815
7,84314E-08
1038587,135
DXU (Ekspor Udang)
0,151813438
5,88235E-08
2580828,444
DXK (Ekspor Kayu Lapis)
0,153932787
0,001068725
144,034
DM (Total Impor)
0,163814583
1,74153E-17
9,40638E+15
DMNM (Impor Non Migas)
0,196862997
-9,80392E-08
-2008002,571
DMBK (Impor Barang Konsumsi)
0,215131569
-5,88235E-08
-3657236,675
DMBB (Impor Bahan Baku)
0,170850492
1,17647E-07
1452229,181
DMBM (Impor Barang Modal)
0,263254531
2,33444E-13
1,1277E+12
DER (Nilai Tukar)
0,245438845
-5,88235E-08
-4172460,372
DM1 (M1)
0,051263566
5,88235E-07
87148,063
DSBI (SBI 1 bulan)
0,094591255
-5,88235E-08
-1608051,333
DPM (Produksi Minyak)
0,044045337
5,88235E-07
74877,073
DPT (Produksi Timah)
0,185884503
-1,96078E-08
-9480109,644
DPTM (Produksi Tembaga)
0,228225417
-5,88235E-07
-387983,209
DPN (Produksi Nikel)
0,222986762
1,17647E-06
189538,748
DPL (Produksi LNG)
0,075163806
5,88235E-07
127778,470
DIHSG (IHSG)
0,186405632
-5,88235E-08
-3168895,738
DPDB (Produk Domestik Bruto)
0,045730468
-5,88235E-07
-77741,795
DIPI (Industrial Production Index)
0,072229239
5,22458E-17
1,38249E+15
Tabel 7. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap PDB
Fase Pergerakan Leading Indicators: 1. M1 2. Nilai tukar (ER) 3. IHSG 4. Impor Non Migas (MNM) 5. Impor Barang Konsumsi (MBK) 6. Impor (M) 7. Produksi Nikel (PN) 8. Impor Bahan baku (MBB) 9. Ekspor Kayu Lapis (XK) Rata-rata Coincident Indicators: 1. Ekspor (X) 2. Ekspor non migas (XNM) 3. Impor barang modal (MBM) Rata-rata Lagging Indicators: 1. Produksi timah (PT) 2. Produksi tembaga (PTm) 3. Produksi LNG (PL) 4. Produksi Minyak (PM) 5. SBI 1 bulan (SBI) 6. Ekspor udang (XU) Rata-rata
Volatilitas
Cross Corelation Lead/Lag
Coefficient
Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi
-1 -1 -1 -1 -6 -1 -3 -1 -2 -1.9
0.62 0.75 0.48 0.75 0.47 0.71 0.43 0.70 0.48 0.60
Rendah Tinggi Tinggi
0 0 0 0
0.41 0.39 0.58 0.46
Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
+2 +2 +2 +8 +5 +8 +4.5
0.36 0.16 0.29 0.40 0.56 0.27 0.34
Dapat dilihat dari tabel bahwa yang termasuk ke dalam leading indicators adalah variabel ekonomimakro, seperti M1, nilai tukar, indeks harga saham gabungan, impor non migas, total impor, impor barang konsumsi, produksi nikel, impor bahan baku, dan ekspor kayu lapis. Rata-rata dari kesepuluh variabel tersebut menunjukkan lead time 1.9 triwulan dari seri acuan PDB dengan koefisien korelasi 0.60. Untuk coincident indicators rata-rata koefisien
korelasinya 0.46, dan untuk rata-rata koefisien korelasi silang lagging indicators adalah 0.34, dengan waktu lag rata-rata 4.5 triwulan. Ada beberapa variabel yang memiliki kecenderungan termasuk dalam 2 jenis indikator, setelah memperhatikan nilai-nilai koefisien korelasi yang terbesar dan melakukan uji signifikansi koefisien korelasi jika ada nilai koefisien korelasi yang tidak jauh berbeda dari nilai yang terbesar dan berada pada range waktu yang berbeda. Seperti total ekspor memiliki koefisien korelasi terbesar 0.4138 yang berada pada posisi coincident, dan 0.4076 pada posisi lag 7. Hasil uji signifikansinya menunjukkan nilai t-statistic 3.15. Variabel impor barang modal memiliki koefisien korelasi terbesar 0.5834 yang berada pada posisi coincident, dan 0.5610 pada posisi lead 1. Hasil uji signifikansinya menunjukkan nilai t-statistic 2.8. Sementara variabel ekspor non migas memiliki koefisien korelasi terbesar 0.3861 yang berada pada posisi coincident, dan 0.3717 pada posisi lag 1. Hasil uji signifikansinya menunjukkan nilai t-statistic 4.72. Nilai t-table untuk α = 0.05 adalah 1.684. Dapat dilihat bahwa nilai t-statistic lebih besar daripada nilai t-table, berarti variabel-variabel tersebut memiliki 2 hubungan jenis indikator. Hal ini berarti jika periode penelitian yang digunakan lebih panjang untuk selanjutnya, maka ada kemungkinan variabel-variabel tersebut telah berubah fungsi.
5.2.2. Perbandingan Variabel Ekonomimakro Terhadap Seri Acuan IPI Meskipun data hasil analisis yang digunakan adalah sama, bila dibandingkan dengan karakteristik dari seri acuan yang berbeda, maka akan
berdampak pada hasil yang berbeda. Suatu variabel ekonomimakro bisa bertindak sebagai leading indicator bila dibandingkan dengan seri acuan PDB, tetapi bisa bertindak sebagai coincident atau bahkan menjadi lagging bila dibandingkan dengan seri acuan IPI. Terbukti dari hasil yang telah dirangkum dalam Tabel 7, variabel-variabel ekonomimakro utama seperti indeks harga saham gabungan, nilai tukar, total impor, ekspor kayu lapis dan impor non migas yang sebelumnya menjadi leading indicator untuk seri acuan PDB, tergolong dalam coincident indicators bila mengacu pada IPI. Sedangkan impor barang konsumsi dan produksi nikel juga termasuk sebagai leading indicator IPI, tetapi dengan lead time berturut-turut 4 dan 1 triwulan. Hal ini berarti beberapa triwulan lebih dulu daripada saat mereka mengacu pada PDB, karena seperti yang dijelaskan sebelumnya IPI merupakan leading bagi PDB dengan lead time 1 triwulan. Lead time untuk rata-rata leading indicators IPI adalah 2.5 triwulan, dengan hasil analisis koefisien korelasinya sekitar 0.50. Sedangkan untuk coincident dan lagging indicators berturut-turut adalah 0.53 dan 0.40 dengan ratarata durasi lag adalah 4.25 triwulan. Variabel impor bahan baku memiliki koefisien korelasi terbesar 0.5424 yang berada pada posisi lag 8, dan 0.5408 pada posisi coincident. Sementara variabel SBI 1 bulan memiliki koefisien korelasi terbesar 0.5450 yang berada pada posisi coincident, dan 0.5323 pada posisi lag 6. Variabel yang memiliki kecenderungan tergolong dalam 2 kategori indikator dan setelah diuji melalui perbandingan antara t-statistic dan t-table. Nilai t-statistic untuk variabel impor bahan baku dan SBI 1 bulan berturut-turut adalah :
4.49 dan 4.37, sementara nilai t-table adalah 1.684, sehingga dapat disimpulkan ternyata signifikan. Artinya variabel impor bahan baku yang bersifat lagging, juga memiliki kecenderungan untuk menjadi coincident. dan suku bunga SBI 1 bulan yang tergolong coincident indicator juga memiliki kecenderungan termasuk dalam lagging indicator. Tabel 8. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap IPI
Cross Corelation Fase Pergerakan Leading Indicators: 1. Impor Barang Konsumsi (MBK) 2. Produksi Nikel (PN) Rata-rata Coincident Indicators: 1. Ekspor (X) 2. IHSG 3. Impor Non Migas (MNM) 4. Nilai Tukar (ER) 5. Impor (M) 6. M1 7. Ekspor Kayu Lapis (XK) 8. SBI 1 bulan (SBI) Rata-rata Lagging Indicators: 1. Impor Barang Modal (MBM) 2. Produksi Timah (PT) 3. Ekspor Udang (XU) 4. Produksi Minyak (PM) 5. Produksi Tembaga (PTm) 6. Produksi LNG (PL) 7. Ekspor non migas (XNM) 8. Impor Bahan Baku (MBB) Rata-rata
Volatilitas Lead/Lag
Coefficient
Rendah Tinggi
-4 -1 -2.5
0.55 0.45 0.50
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.41 0.46 0.56 0.67 0.54 0.54 0.51 0.55 0.53
Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi Tinggi Tinggi
+2 +5 +3 +5 +5 +3 +3 +8 +4.25
0.62 0.28 0.27 0.43 0.33 0.30 0.38 0.54 0.40
5.2.3. Keterkaitan Kandidat Komposit dengan Seri Acuan Keterkaitan masing-masing kandidat komposit dengan seri acuan dapat dijelaskan sebagai berikut. Meningkatnya produksi pertambangan dalam sektor produksi menunjukkan bahwa negara berada dalam kondisi yang baik dan kegiatan usaha berlangsung aktif yang berarti pertumbuhan ekonomi yang positif, seperti meningkatnya produksi nikel, produksi minyak, produksi LNG, produksi tembaga, dan produksi timah. Dari sisi sektor moneter dan pasar keuangan, suku bunga SBI mempunyai hubungan yang terbalik dengan perekonomian, dalam hal ini suku bunga SBI bersifat kontrasiklikal dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi suku bunga SBI menyebabkan hutang pemerintah yang menumpuk yang berarti menurunnya pertumbuhan ekonomi. Sementara, perkembangan pasar modal yang tercermin dari IHSG lebih mengacu pada aspek sentimen yang mewarnai kondisi perekonomian Indonesia. Nilai IHSG yang meningkat merefleksikan sentimen positif, hal ini juga merefleksikan iklim investasi yang positif, sehingga hubungan antara nilai IHSG dengan investasi ini cenderung positif. Meningkatnya investasi berarti meningkat pula perekonomian negara. Hal ini ditunjukkan oleh nilai korelasi silangnya dengan seri acuan yang bernilai positif pada saat t = 0, artinya pergerakan IHSG bersifat prosiklikal. Uang memiliki peran penting dalam perekonomian suatu negara. Dalam setiap aktivitas ekonomi pasti melibatkan uang, baik itu dalam kegiatan produksi, konsumsi, maupun investasi. Dapat disimpulkan bahwa jumlah uang beredar merupakan salah satu indikator ekonomimakro utama yang merupakan
pertimbangan penting dalam pengambilan kebijakan ekonomi oleh pemerintah dan otoritas moneter. Dalam penelitian ini, didapat variabel M1 berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain M1 bersifat kontrasiklikal, artinya peningkatan jumlah uang yang beredar dimasyarakat akan meningkatkan tingkat harga umum, jika hal ini terus berlangsung akan menimbulkan inflasi sehingga pertumbuhan ekonomi menurun Sementara itu, kandidat komponen eksternal terdiri dari sektor perdagangan internasional seperti kegiatan ekspor dan impor. Ekspor bersih yang didapat dari pengurangan jumlah total ekspor dari total impor meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, variabel total ekspor maupun total impor bersifat prosiklikal, hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar barang-barang yang diekspor dari Indonesia tidak murni memiliki kandungan lokal. Sebagian dari bahan bakunya merupakan produk impor dari negara lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan ekspor maka juga akan terjadi peningkatan impor, yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Pertumbuhan impor barang modal dan bahan baku berkaitan erat dengan kegiatan
di
sektor
produksi.
Impor
barang
modal
yang
meningkat
mengindikasikan akan terjadi setup suatu investasi baik berupa proyek, pembukaan industri baru ataupun ekspansi usaha. Dilain pihak, peningkatan pertumbuhan impor bahan baku lebih mengindikasikan kegiatan produksi yang meningkat. Kegiatan produksi yang meningkat ini dapat disebabkan oleh adanya
investasi baru ataupun semata-mata karena adanya permintaan yang meningkat dan diusahakan dipenuhi oleh sektor produksi (Sutomo dan Irawan, 2003). Sementara itu, kegiatan ekspor yang meningkat dapat menstimulir investor untuk berinvestasi dalam rangka memenuhi kebutuhan ekspor. Hubungan antara masing-masing kandidat komponen dengan pertumbuhan ekonomi dapat pula dilihat dari nilai korelasi silangnya. Namun, nilai korelasi silang ini tidak menunjukkan hubungan kausalitas, hanya hubungan secara statistik saja, pada saat kapan (lead/lag) suatu variabel dapat merefleksikan gerakan variabel yang lain, seperti yang dijadikan sebagai seri acuan. Di samping itu, meskipun nilai korelasi silang suatu variabel relatif kecil, seringkali setelah dikombinasikan dengan variabel yang lain, nilai korelasi silang dari kombinasi tersebut menjadi lebih besar.
5.3.
Pembentukan Composite Leading Index Indonesia Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, CLI dibentuk oleh kumpulan
leading
indicators
yang
diharapkan
mampu
meramalkan
pergerakan
perekonomian Indonesia yang diproxy dari PDB dan IPI. Oleh karena hasil leading indicators sedikit berbeda untuk seri acuan PDB dan IPI, maka akan dibuat dua CLI untuk kemudian diperbandingkan hasilnya.
5.3.1. CLI untuk Seri acuan PDB Pembentukan CLI dari seri acuan PDB terdiri dari seluruh indikator yang termasuk dalam leading indicators, agar hasilnya bisa lebih baik dan dapat
dipercaya. Indikator-indikator tersebut adalah M1, nilai tukar, IHSG, impor non migas, impor barang konsumsi, total impor, produksi nikel, impor bahan baku, dan ekspor kayu lapis. Hasil pembentukan CLInya setelah dinormalisasi dapat dilihat dari grafik perbandingan pergerakan siklikalnya dengan seri acuan PDB. Dapat dilihat pada grafik (Gambar 10) bahwa pergerakan CLI cukup baik mengikuti pergerakan siklikal seri acuan PDB, meskipun terlihat pergerakan CLI lebih volatil daripada pergerakan PDB. Berikut akan dijabarkan titik balik yang ditentukan dalam pergerakan CLI melalui grafik terpisah dan karakteristik ratarata dari setiap perbedaan lead time antara titik balik seri acuan PDB dan CLI.
Gambar 10. Seri Acuan PDB dan CLI
Gambar 11. Titik Balik CLI untuk PDB Agar lebih mudah untuk diperbandingkan, maka perbandingan titik balik seri acuan PDB dan CLI disajikan dalam bentuk tabel. Terlihat bahwa CLI mampu menangkap semua titik balik yang ada pada seri acuan PDB, dan memprediksi titik puncak terakhir selama periode penelitian yang tidak ada dalam PDB, yaitu pada tahun 2004 triwulan keempat, yang berarti selama akhir periode penelitian diramalkan akan mengalami kontraksi ekonomi. Bukti awalnya adalah pada tahun 2005 pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebanyak dua kali. Dengan banyaknya terjadi bencana alam yang tidak bisa dihindari menimbulkan banyak kerugian pada rakyat dan semakin membebani kehidupan masyarakat umum serta menurunkan daya belinya. Rata-rata lead timenya adalah 3.4 triwulan untuk setiap titik balik yang terjadi.
Tabel 9. Perbandingan Titik Balik CLI dan Seri Acuan PDB Seri Acuan PDB CLI CLI (triwulan) Lead (-)
Lembah 1994.4 1994.2
Puncak 1997.3 1997.1
-2
-2
Titik Balik Lembah Puncak Lembah 1998.4 2000.4 2004.3 1998.3 2000.3 2001.4
Puncak
Average
2004.4 -3.4
-1
-1
-11
5.3.2. CLI untuk Seri acuan IPI Pembentukan CLI dari seri acuan IPI hanya terdiri dari dua indikator yaitu: impor barang konsumsi, dan produksi nikel. Meskipun nilai koefisien korelasi antara produksi nikel dengan seri acuan IPI tidak mencapai 0.50 tetapi diharapkan jika digabung dengan indikator lain dapat lebih meningkatkan korelasinya. Hasil pembentukan CLInya dapat dilihat dari grafik perbandingan pergerakan siklikalnya dengan seri acuan IPI.
Gambar 12. Seri Acuan IPI dan CLI
Seperti halnya CLI untuk seri acuan PDB, hasil CLI untuk seri acuan IPI juga dapat mengikuti pergerakan siklikal IPI, dengan volatilitas yang sama tingginya dengan volatilitas IPI. Berikut akan dijabarkan titik balik yang ditentukan dalam pergerakan CLI melalui grafik terpisah dan karakteristik ratarata dari setiap perbedaan lead time antara titik balik seri acuan IPI dan CLInya.
Gambar 13. Titik Balik CLI untuk IPI Seperti halnya hasil CLI untuk seri acuan PDB, CLI untuk seri acuan IPI mampu menangkap semua titik balik yang ada pada pergerakan siklikal seri acuan IPI, dengan rata-rata lead timenya setiap titik balik adalah 1.8 triwulan yang berarti lebih cepat 1.6 triwulan daripada CLI untuk seri acuan PDB (Tabel 9). Titik lembah ketiga pada CLI berhimpitan dengan titik lembah pada IPI, dengan demikian CLI telah berubah fungsi menjadi coincident pada periode tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi selanjutnya mengenai indikator pembentuk CLI, agar CLI bisa lebih dapat dipercaya keakuratannya.
Titik lembah terakhir (2005.2) yang terdapat pada akhir periode penelitian diberi tanda garis putus-putus karena titik tersebut sebenarnya belum bisa diperhitungkan sebagai titik lembah karena posisinya yang berada kurang dari enam bulan dari akhir periode series data penelitian. Oleh karenanya belum memenuhi syarat dari penentuan titik balik berdasarkan kriteria Bry-Boschan, meskipun begitu, titik tersebut sangat potensial untuk menjadi titik lembah. Jika titik tersebut berhasil diidentifikasi sebagai titik lembah, maka dapat disimpulkan bahwa untuk masa setelah periode penelitian, perekonomian akan mengalami ekspansi. Tabel 10. Perbandingan Titik Balik CLI dan Seri Acuan IPI Seri Acuan IPI CLI CLI (triwulan) Lead (-)
5.4.
Lembah 1994.1 1993.4
Puncak 1997.1 1996.1
Lembah 1998.3 1997.4
Titik Balik Puncak Lembah 1999.4 2001.4 1999.3 2001.4
Puncak 2003.4 2003.2
Average -1.8
-1
-4
-3
-1
0
-2
Evaluasi indeks komposit Kedua composite leading index yang telah dijelaskan sebelumnya
mempunyai karakteristik yang ditunjukkan oleh nilai-nilai statistiknya. Berikut ini merupakan karakterisitk dari masing-masing komposit yang disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah untuk dievaluasi:
Tabel 11. Karakterisitk CLI Indonesia Mean lead (+) at TP All Peak Trough TP CLI PDB CLI IPI • • •
Median lead (+) at TP All Peak Trough TP
Standard Deviation
Cross Corelation Lead Coef. (+)
1.5
4.7
3.1
1.5
2
1.8
4.3
1
0.49
4.3
4
4.1
4
4
4
1.7
2
0.53
Mean / Median lead (+) at turning point adalah nilai rata-rata / tengah dari jarak antara titik balik CLI dengan titik balik seri acuan. Standard deviation adalah deviasi rata-rata jarak antara titik balik CLI dan seri acuan. Cross Corelation adalah nilai yang mencerminkan hubungan antara CLI dengan seri acuan.
Berdasarkan nilai-nilai statistiknya, maka masing-masing komposit dapat dievaluasi sebagai berikut : •
Dilihat dari jarak antara titik balik CLI dengan seri acuan PDB, nilai rataratanya 3.1 triwulan sedangkan nilai tengahnya 1.8 triwulan, sementara deviasinya cukup besar yaitu 4.3 triwulan. Dengan demikian antara titik balik CLI dengan seri acuan PDB mempunyai kisaran jarak 1.2 triwulan s/d 7.4 triwulan atau sekitar 3.6 bulan s/d 22.2 bulan. Sedangkan dari nilai korelasi silangnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri acuan PDB mempunyai hubungan paling dekat pada lead 1 triwulan yaitu 0.49.
•
Dilihat dari jarak antara titik balik CLI dengan seri acuan IPI, nilai rataratanya 4.1 triwulan sedangkan nilai tengahnya 4 triwulan, sementara deviasinya yaitu 1.7 triwulan. Dengan demikian antara titik balik CLI dengan seri acuan IPI mempunyai kisaran jarak 2.4 triwulan s/d 5.8 triwulan atau sekitar 7 bulan s/d 17 bulan. Sedangkan dari nilai korelasi
silangnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri acuan IPI mempunyai hubungan paling dekat pada lead 2 triwulan yaitu 0.53. CLI untuk seri acuan IPI relatif lebih konsisten karena dengan nilai tengah 4 triwulan, kemampuan prediksinya berada dalam kisaran 2.4 – 5.8 triwulan. Meskipun kedua komposit memiliki koefisien korelasi yang tidak terlalu tinggi, yaitu hanya sekitar 0.50 tetapi hasil pergerakan kurva leading indicatornya cukup mewakili pergerakan siklikal seri acuan meskipun lebih volatil.
5.5.
Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle Indonesia Hasil analisis pemisahan komponen trend dan siklikal dari data time series
ekonomimakro dalam penelitian ini setelah dianalisis pola dan karakteristiknya dengan melihat grafik pergerakan siklikal dan korelasinya dengan kedua seri acuan, yaitu PDB dan IPI maka selanjutnya dapat dibuat stylized facts untuk dijadikan sebuah dokumentasi fakta empirik membandingan dengan teori dan hasil empirik penelitian sebelumnya. Berikut ini merupakan beberapa fakta yang diperoleh berdasarkan hasil analisis penelitian ini dan telah teruji secara empirik : 1.
Bentuk pergerakan siklikal business cycle baik dengan seri acuan PDB maupun IPI terlihat tidak simetris untuk setiap siklusnya.
2.
Umumnya rata-rata masa ekspansi lebih panjang daripada rata-rata masa kontraksi, tetapi hal ini hanya berlaku untuk business cycle dengan seri acuan IPI. Sementara kondisi yang sebaliknya terdapat pada business cycle dengan seri acuan PDB, dimana rata-rata masa kontraksinya lebih panjang
daripada rata-rata masa ekspansinya, meskipun perbedaan durasi antara rata-rata setiap periodenya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 0.5 triwulan. 3.
Variabel yang digunakan sebagai alternatif seri acuan seperti IPI dilihat dari pergerakan siklikalnya dapat disimpulkan merupakan leading bagi seri acuan PDB, karena titik baliknya terjadi lebih dulu daripada titik balik PDB.
4.
Pergerakan siklikal seri acuan IPI lebih volatil daripada pergerakan siklikal seri acuan PDB, sehingga mampu menangkap titik balik lebih banyak daripada titik balik pada PDB.
5.
Untuk Indonesia, lebih baik menggunakan seri acuan PDB daripada seri acuan IPI karena perekonomiannya yang masih sebagian besar ditopang dari sektor pertanian, bukan dari sektor manufaktur, pertambangan dan industri, dimana merupakan sektor-sektor yang diukur untuk mendapatkan nilai IPI.
6.
Meskipun variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan sama tetapi hasil pengkategorian jenis indikator untuk setiap variabel bisa berbeda bila dibandingkan dengan seri acuan yang berbeda.
7.
Variabel-variabel yang sebelumnya tergolong menjadi leading indicator, bila dianalisis ulang dengan penambahan data time series beberapa periode yang akan datang dan tetap menggunakan seri acuan yang sama, bisa berubah fungsinya menjadi coincident atau bahkan menjadi lagging indicator. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi perekonomian negara, kebijakan yang diterapkan pada indikator tersebut, dll.
8.
Beberapa variabel yang bersifat prosiklikal terhadap seri acuan PDB dan IPI adalah total ekspor, ekspor non migas, ekspor kayu lapis, total impor, impor non migas, impor bahan baku, impor modal, dan indeks harga saham gabungan.
9.
Variabel-variabel yang berhubungan negatif dengan seri acuan baik untuk PDB maupun IPI adalah nilai tukar (Rp/US$), M1, dan suku bunga SBI 1 bulan.
10.
Variabel-variabel yang tidak memiliki hubungan dengan seri acuan atau yang bersifat a-siklikal adalah ekspor udang, impor barang konsumsi, produksi minyak, produksi timah, produksi tembaga, produksi nikel, dan produksi LNG.
5.6.
Perbandingan dengan Hasil Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian mengenai leading indicators sebelumnya baik untuk
di Indonesia sendiri maupun di negara lain menjadi bahan rujukan dan mengevaluasi hasilnya sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini. Penelitian ini menemukan bahwa untuk indikator seperti total impor, impor non migas, impor barang konsumsi, impor bahan baku, ekspor kayu lapis merupakan bagian dari komposit leading ekonomi sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Damanik dan Avenzora tahun 2003 lalu. Indikator lain yang juga termasuk sebagai leading menurut Damanik dan Avenzora (2003), seperti ekspor non migas, dan impor barang modal sudah berubah fungsi menjadi coincident, dan ekspor udang yang sebelumnya termasuk
leading, menurut hasil analisis tergolong sebagai lagging indicator. Total ekspor yang menurut penelitian Wuryandari et al. dari Bank Indonesia (2002) termasuk dalam leading, juga sudah berubah fungsi menjadi coincident. Berikut ini akan disajikan hasil penentuan titik balik seri acuan dan indikator-indikator pembentuk komposit beberapa negara yang telah dianalisis oleh peneliti-peneliti dari luar negeri sebelumnya, agar menjadi bahan perbandingan dari hasil penelitian ini. Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa negara-negara seperti Afrika Selatan, India, Brazil, dan Cina memiliki business cycle dengan volatilitas yang tinggi yang ditunjukkan banyaknya titik balik yang ada, dalam artian kondisi perekonomiannya mudah berubah. Seri acuan yang umum digunakan adalah index of industrial production dan GDP, hanya filipina yang menggunakan index of manufacturing production sebagai seri acuannya. Hasil kompositnya untuk Malaysia mampu memprediksi kesemua sembilan titik balik dengan rata-rata lead time 1.5 bulan untuk titik puncak dan 3.4 bulan untuk titik lembah. Rata-rata masa ekspansi dan kontraksinya adalah 31.8 bulan dan 24.3 bulan. Titik balik Filipina bisa diprediksi tujuh dari delapan dengan masing-masing rata-rata lead time untuk titik puncak dan titik lembahnya adalah 5.8 bulan dan 6 bulan. Rata-rata masa ekspansi Filipina adalah 33.3 bulan dan rata-rata masa kontraksinya 28 bulan. Untuk Brazil rata-rata kontraksinya terjadi selama 16 bulan dan untuk ekspansinya 21.3 bulan.
Rata-rata masa
ekspansi untuk Cina adalah 21.4 bulan, sedangkan rata-rata masa kontraksinya adalah 13.3 bulan, tidak jauh berbeda dari Brazil. Indian memiliki rata-rata masa
ekspansi yang pendek dari Brazil dan Cina karena volatilitas business cyclenya yang tinggi, yaitu 19.9 bulan dan rata-rata masa kontraksi 18.1 bulan. Volatilitas business cycle Rusia dan Afrika Selatan yang rendah membuat rata-rata ekspansi dan kontraksinya panjang. Untuk Rusia, rata-rata masa ekspansi dan masa kontraksi berturut-turut adalah 28.5 bulan dan 22 bulan. Sementara ratarata masa ekspansi dan masa kontraksi Afrika Selatan berturut-turut adalah 27.3 bulan dan 25.7 bulan. Hasil dalam penelitian ini terbagi dua, untuk business cycle PDB, rata-rata masa ekspansinya adalah 38 bulan dan rata-rata masa kontraksi 40 bulan. Untuk business cycle IPI, rata-rata masa ekspansi dan masa kontraksi berturut-turut adalah 33 bulan dan 28 bulan.
Tabel 12. Perbandingan Titik Balik Beberapa Negara TP Malaysia Philippines / IPI IMP RS P T P T P T 4/1983 11/1982 P 8/1984 8/1984 T 5/1987 11/1986 P 12/1990 7/1989 T 12/1992 P T 10/1993 P T P 8/1997 11/1997 T 11/1998 1/1999 P 9/2000 11/2000 T 12/2001 P T *hasil penelitian ini
South Africa GDP
IPI
Q3/1974 Q4/1977 Q3/1981
10/1975 3/1978 12/1981
Q2/1983 Q1/1984 Q4/1986 Q4/1988 Q4/1992 Q2/1994 Q2/1995
1/1983 6/1984 5/1987
Q2/1997 Q4/1998 Q3/2000 Q4/2001 Q2/2002 Q3/2003
4/1989 4/1993 5/1995 4/1997 3/1999 4/2002
Brazil GDP
IPI
2/1981 12/1981 7/1982 3/1984 2/1987 11/1988 12/1989 Q3/1991 Q3/1992 Q4/1994 Q1/1996 Q3/1997 Q1/1999 Q1/2001 Q4/2001 Q4/2002 Q3/2003
8/1992 12/1994 5/1995 10/1997 12/1998 12/2000 10/2001 11/2002
China
India
Russia
IPI
IPI
IPI
GDP
IPI
1/1979 2/1980 2/1981 2/1982 9/1982 4/1985 2/1986 9/1988 8/1990 1/1991 12/1991 10/1994 1/1995 5/1997 2/1999 7/2000 2/2002
12/1979 6/1981 1/1983 2/1984 2/1986 7/1987 1/1988 3/1990 1/1993
7/1994 11/1997 9/1998 2/2000 12/2002
Q4/1994 Q3/1997 Q4/1998 Q4/2000
Q1/1994 Q1/1997 Q3/1998 Q4/1999 Q4/2001 Q4/2003
2/1996 11/1996 10/1997 10/1998 3/2000 2/2002
Indonesia*
Q3/2004
Tabel 13. Komponen Indikator yang Digunakan dalam Pembentukan CLI Brazil Export volume Industrial production semi-and non-durable goods Spong iron production Negara Sales of motor cars for /Komponen domestic market Share priced index, FGV 100E Terms of trade Finished good stock, inverted Order books
China Broad money supply Cargo handled at ports Chemical feltilizer Enterprise deposits Imports from Asia Non-ferrous production
South Africa Building plans Business confidence, manufacturing Negara Interest rate spread /Komponen Motor cars sales Order inflow, manufacturing Share price index, total
Malaysia Stock price index (local currency) Stock price index in US$ Exports (in US$) Money supply (M1) Industrial production in Korea US federal fund rate
*hasil penelitian ini untuk CLI PDB
India Business Confidence Imports Exchange rate, USD, inverted Money Supply M1 Deposit interest rate, inverted Share price index, BSE Dollex IPI basic goods IPI intermediate goods
Philippines Stock price index (in US$) Exchange rate (peso per US$) Discount rate (reversed) Manufacturing employment Money supply (M1) Industrial production in Korea
Russia Business Confidence, industry Selling prices, future tendency, industry Business situation, construction Stock level, retail trade Crude oil price, world Balance of payments, current Net trade
Indonesia* M1 Nilai tukar (ER) IHSG Impor Non Migas (MNM) Impor Barang Konsumsi (MBK) Impor (M) Produksi Nikel (PN) Impor Bahan baku (MBB) Ekspor Kayu Lapis (XK)
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk membentuk suatu sistem leading indicator
untuk business cycle Indonesia menggunakan data ekonomimakro yang tersedia yang mengacu pada metode yang dikembangkan OECD, dengan pandangan untuk memprediksi titik balik dari siklus pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang diwakili oleh PDB dan IPI. Secara keseluruhan, CLI dinilai dapat bekerja cukup baik meskipun dengan koefisien korelasi yang tidak terlalu tinggi. Dilihat dari grafik pergerakan siklikalnya selama periode penelitian (1993.1–2005.3), pergerakan IPI lebih volatil daripada pergerakan PDB. Ada lima titik balik dalam PDB, terdiri dari tiga titik lembah dan dua titik puncak. Sedangkan untuk IPI, ada enam titik balik yang dapat ditangkap, yang terdiri dari tiga titik puncak dan tiga titik lembah. Titik balik pada IPI terjadi lebih dulu daripada titik balik PDB dengan rata-rata lead time 2,5 triwulan, sehingga IPI tergolong leading indicator bagi PDB. Setelah menganalisis 18 variabel ekonomimakro yang tersedia dari berbagai sumber, didapat 9 variabel yang termasuk leading indicator untuk PDB, yaitu M1, nilai tukar, IHSG, impor non migas, impor barang konsumsi, total impor, produksi nikel, impor bahan baku, dan ekspor kayu lapis dengan rata-rata lead time 1.9 triwulan dan rata-rata koefisien korelasi 0.60. Variabel yang termasuk dalam coincident indicators adalah total ekspor, ekspor non migas, dan impor barang modal dengan rata-rata koefisien korelasi 0.45.
Untuk IPI yang telah disimpulkan merupakan leading bagi PDB, hanya produksi nikel dan impor barang konsumsi saja yang termasuk ke dalam leading indicator dengan rata-rata lead time 2.5 triwulan dan memiliki rata-rata koefisien korelasi sebesar 0.50. Sedangkan variabel seperti indeks harga saham gabungan, nilai tukar, total impor, ekspor kayu lapis dan impor non migas yang sebelumnya menjadi leading indicator untuk seri acuan PDB, berubah fungsi menjadi coincident indicators, ditambah dengan impor barang modal sehingga rata-rata koefisien korelasinya 0.53. CLI PDB terdiri dari seluruh variabel yang termasuk ke dalam leading indicators dan mampu memprediksi enam titik balik dari lima titik balik pada PDB dengan rata-rata sinyal leading
time 3.1 triwulan setiap titik baliknya.
Kemampuan prediksi CLI PDB berkisar antara 3.6 bulan s/d 22.2 bulan. Sedangkan untuk CLI IPI mampu memprediksi keenam titik balik yang ada dengan rata-rata sinyal leading time 4 triwulan untuk setiap titik balik Kemampuan prediksi CLI IPI berkisar antara 7 bulan s/d 17 bulan.
6.2.
Saran Meskipun CLI yang dibentuk mampu mengikuti pergerakan siklikal dari
seri acuan, tetapi nilai koefisien korelasi untuk kedua CLI masih rendah, hanya sekitar 0.50 yang berarti masih membutuhkan penelitian lanjutan. Kinerja dari hasil komposit ini perlu terus diuji dengan data terbaru untuk dinilai tingkat kerelevanannya dengan kondisi perekonomian yang terus berubah.
Baik lembaga pemerintah maupun swasta diharapkan dapat terus bekerja sama dengan lembaga pemerintah maupun swasta, atau juga universitasuniversitas di Indonesia, salah satunya adalah IPB untuk mengembangkan metodologi pembentukan CLI yang lebih balik dan hasilnya yang dapat lebih dipercaya
keakuratannya
dengan
software
yang
mudah
diperoleh
dan
diaplikasikan untuk perekonomian Indonesia. Untuk lembaga penyedia data, diharapkan untuk memperbaiki sistem statistikalnya, sehingga data bisa tersedia dengan time series yang panjang, tidak terputus dan dalam frekuensi yang tinggi. Selain itu juga dapat mulai menyediakan data-data seperti building permits, unit labor cost, consumer expectation dan manufacturing productivity growth yang sangat berpotensi menjadi leading indicator menurut penelitian serupa di luar negeri. Apabila data tersebut telah tersedia, dan bukan proksinya maka perlu dilakukan penyusunan kembali CLI Indonesia. Pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dapat bekerja sama membuat kebijakan yang memperhatikan variabel yang tergolong dalam leading. Seperti jika BI menjaga agar nilai tukar rupiah tidak terlalu berfluktuasi, maka kegiatan perdagangan luar negeri bisa berjalan baik, didukung oleh kebijakan dari pemerintah agar kegiatan ekspor bisa meningkat, seperti memudahkan perizinan dan pemberian kredit kepada pengusaha ekspor, terutama untuk produk yang memiliki kandungan lokal yang tinggi.
6.3.
Saran Penelitian Selanjutnya Disebabkan oleh keterbatasan data beberapa variabel penting yang tidak
dapat dianalisis dalam penelitian ini, beberapa variabel tersebut adalah kredit penyaluran properti, suku bunga deposito dan suku bunga SBI 3 bulan. Untuk selanjutnya dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan beberapa variabel penting seperti yang telah disebutkan dan bisa juga ditambah dengan data neraca pembayaran, kredit investasi, kredit modal kerja, dan investasi yang selanjutnya bisa dibedakan menjadi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) karena nantinya pencatatan data di masa depan akan semakin baik. Bisa juga dimasukkan variabel-variabel yang tergolong ke dalam leading indicators untuk negara lain, apakah terdapat kesamaan hasil bila diaplikasikan di Indonesia. Penggunaan lagging dan coincident indicator kurang diperdalam dalam penelitian ini, selanjutnya indikator tersebut dapat juga dibentuk ke dalam komposit untuk mengkonfirmasi prediksi yang telah dibuat oleh CLI. Selain itu, pembahasan penelitian bisa diperluas lagi dengan meneliti guncangan apa yang terjadi selama ini dan penyebab guncangan-guncangan tersebut. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi para pembuat kebijakan untuk membuat suatu antisipasi kebijakan untuk merespon guncangan yang akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, A.S., dan A.A. Yusuf. 1999. “Tinjauan Triwulanan Perekonomian Indonesia”. Fakultas Ekonomi. Universitas Padjajaran, Bandung. Bank Indonesia. 1993-2005. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1993-2006. Indikator Ekonomi. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2001-2006. “Produk Domestik Bruto Indonesia”. http://www.bps.go.id/releases/Gross_Domestic_Product/Bahasa_Indonesia /more2.html Buchori, A. 1998. “Penyempurnaan Leading Economic Indicators for Indonesia”. Kertas Kerja Staf UREM-30-006. Bank Indonesia, Jakarta. Ceccheti, S.G., A.F. Lagunes, dan S. Krause. Januari 2006. “Assesing The Source of Change In The Volatility of Real Growth”. NBER Working Paper. No. 11946. Damanik, M., dan H., A. Avenzora. Februari 2003. “Composite Leading Indicator in Indonesia”. Makalah dalam Joint OECD-ESCAP Workshop on Composite Leading Indicators and Business Tendency Surveys, Bangkok. Thailand. Gaynor, P.E., dan R.C. Kirkpatrick. Introduction to Time Series Modeling and Forecasting in Business and Economics. McGraw-Hill, Inc, New York. Investopedia. “What are leading, lagging and coincident indicators? What are they for?”. http://www.investopedia.com/ask/answers/177.asp Investopedia. “What Are Economic http://www.investopedia.com/university/releases/
Indicators?”.
Kibritcioglu, B., B. Kose, dan G. Ugur. Juni 1999. “A Leading Iindicators Approach to The Predictability of Currency Crises: The Cases of Turkey”. General Directorate of Economic Research. Turkey. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Iman Nurmawan [penerjemah]. Edisi ke-4. Erlangga, Jakarta.
Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi ke-6. Columbia University, New York. Niemira, P. M., dan P. A. Klein, 1994. Forecasting Financial and Economic Cycles. John Wiley & Sons, Inc, New York. Nilsson, R., dan O. Brunet. Desember 2005. “Composite Leading Indicators for Major OECD Non-economies Countries: Brazil, China, India, Indonesia, Russian Federation, South Africa”. OECD Working Papers Series. Pass, C., dan B. Lowes. 1994. Lowes Collins Kamus Lengkap Ekonomi. Erlangga, Jakarta. Siregar, H., dan B. D. Ward. 2002. “Can Monetary Policy/Shock Stabilise Indonesian Macroeconomic Fluctuations?” Monetary and Financial Management in Asia in the 21st Century. World Scientific. New Jersey. Supriana, T. 2004. Dampak Guncangan Struktural Terhadap Fluktuasi Ekonomimakro Indonesia: Suatu Kajian Business Cycle Dari Sisi Permintaan [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutomo, S., dan P.B. Irawan. 2003. “Developments of Composite Leading Index (CLIs) in Indonesia”. BPS-statistics Indonesia, Jakarta. Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wuryandari et al. 2002. “Penyempurnaan Leading Indikator Ekonomi dan Leading Indikator Inflasi”. Bagian Studi Riil-Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta. Zhang, W., dan J. Zhuang. Desember 2002 “Leading Indicators of Business Cycle in Malaysia and The Philippines”. ERD Working Papers. No.32. Asian Development Bank. Manila.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Ekonomimakro yang Digunakan Dalam Analisis PERIODE 1993Q1 1993Q2 1993Q3 1993Q4 1994Q1 1994Q2 1994Q3 1994Q4 1995Q1 1995Q2 1995Q3 1995Q4 1996Q1 1996Q2 1996Q3 1996Q4 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1
X Juta US$ 3008.5 2981.2 3084.1 3194.7 3032.3 3567.8 3481.2 3768.1 3484.5 3834.1 3940.3 4524.3 3954.8 4136.0 4330.9 4682.5 4087.6 4366.6 4707.4 4704.3 4554.7 4481.4 4009.4 3906.3 3953.0
XNM Juta US$ 2116.3 2155.3 2308.8 2437.3 2280.5 2725.2 2726.6 2759.8 2600.9 2975.6 3125.1 3495.2 2977.3 3298.3 3383.2 3452.8 3113.2 3577.9 3790.5 3701.2 3839.5 3861.9 3385.6 3238.8 3307.1
XU Juta US$ 77.9 60.7 98.0 67.2 89.6 81.8 108.1 71.7 82.0 99.1 107.0 64.3 89.3 75.8 103.3 86.1 65.7 82.1 87.9 74.7 87.7 128.0 72.7 56.6 72.7
XK Juta US$ 306.8 430.2 361.1 333.5 411.6 305.4 295.7 289.5 272.6 316.3 280.6 283.1 278.0 300.8 312.0 347.4 330.1 314.8 231.7 232.2 178.0 159.0 166.2 181.5 210.8
M Juta US$ 2191.2 2628.7 2682.1 2821.5 2619.1 2806.8 2857.2 3364.0 3250.5 3964.2 3847.1 3504.5 3563.1 4012.2 3644.9 3826.4 3823.6 3572.2 3452.5 3178.2 2365.1 2150.4 2230.5 2401.9 1976.4
MNM Juta US$ 2079.2 2396.2 2473.1 2590.1 2377.8 2632.7 2605.2 3040.9 2925.6 3671.7 3603.8 3212.7 3254.5 3728.2 3398.6 3491.8 4087.6 4416.6 4707.1 2787.8 2166.6 2017.3 2008.9 2162.9 1800.9
MBK Juta US$ 81.3 108.0 97.8 112.2 124.5 115.0 118.2 165.2 216.1 220.7 209.4 235.9 266.1 255.2 170.3 189.1 229.6 136.7 169.4 155.1 144.3 190.1 140.2 254.9 188.4
MBB Juta US$ 1572.8 1862.0 1857.9 1972.2 1883.9 2076.4 2213.9 2388.5 2433.5 2900.5 2861.4 2469.6 2558.5 2760.1 2599.2 2739.9 2773.7 2685.3 2411.5 2323.3 1582.0 1405.9 1642.4 1783.4 1432.2
MBM Juta US$ 537.1 658.7 726.4 734.1 610.7 615.4 515.0 810.3 600.9 829.5 776.3 799.0 738.5 996.9 875.4 897.4 820.3 750.2 871.6 699.8 638.8 554.4 447.9 363.6 355.8
ER Rp/ $ US 2071 2088 2108 2110 2144 2160 2181 2200 2219 2246 2276 2308 2338 2342 2340 2383 2419 2450 3275 4650 8325 14900 10700 8025 8685
PERIODE 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 2003Q1 2003Q2 2003Q3 2003Q4 2004Q1 2004Q2 2004Q3 2004Q4 2005Q1 2005Q2 2005Q3
X Juta US$ 4537.1 4487.2 4951.4 5346.2 5772.9 5226.0 5238.0 4846.7 4350.1 4217.2 4554.9 5094.9 5142.3 4860.6 5161.9 5295.3 5056.8 5235.5 5086.9 5931.0 7240.0 6626.3 7364.7 6894.1 7522.0
XNM Juta US$ 3577.9 3339.2 3847.5 4160.4 4433.5 3913.6 3877.2 3758.4 3382.5 3351.0 3566.9 4127.5 4069.6 3683.4 3865.6 4202.0 3896.2 4065.4 3888.3 4578.8 5766.3 5286.1 5590.0 5377.4 5802.1
XU Juta US$ 91.0 72.4 73.2 91.7 90.4 83.9 76.3 77.8 71.6 83.5 64.5 79.5 61.8 57.2 77.9 79.0 83.2 71.7 45.7 81.5 78.8 69.4 68.3 67.3 86.4
XK Juta US$ 185.8 205.1 176.1 188.2 160.2 130.0 163.6 138.2 164.8 137.0 130.2 168.2 159.7 129.8 139.2 138.5 135.9 192.9 92.9 122.2 164.4 145.1 125.0 100.7 99.4
M Juta US$ 2154.9 2155.1 2265.1 2473.5 3446.2 3331.6 3094.4 2703.3 2132.9 2085.5 2362.7 2438.9 2860.2 2945.1 2817.5 2446.9 2740.3 2885.3 3469.7 3781.9 4245.5 4972.8 5177.1 4820.6 4920.7
MNM Juta US$ 1649.3 1772.9 1787.5 1999.5 2761.6 3034.5 2607.4 2185.1 1655.3 1704.3 1805.6 2015.2 2288.5 2340.6 2205.3 1918.9 2056.3 2308.4 2519.7 2910.6 3100.5 3775.2 3502.1 3508.9 3113.6
MBK Juta US$ 368.0 142.8 161.2 198.4 258.2 232.8 229.1 179.2 164.6 143.8 190.4 213.8 216.0 268.5 209.8 244.6 224.3 302.7 300.7 320.0 344.0 381.9 380.9 358.2 463.9
MBB Juta US$ 1587.4 1717.9 1860.2 1859.3 2735.7 2491.2 2383.6 2087.4 1635.1 1565.7 1804.5 1911.7 2110.7 2326.4 2157.4 1935.1 2127.0 2169.5 2787.7 2897.0 3300.9 3801.0 4203.3 3755.3 3792.3
MBM Juta US$ 199.5 294.4 243.7 415.8 452.3 607.6 481.7 445.6 333.2 376.0 367.8 313.4 533.5 350.2 450.3 267.2 389.0 413.1 381.3 564.9 600.6 789.9 592.9 707.1 664.5
ER Rp/ $ US 8386 7100 7590 8735 8780 9595 10400 11440 9675 10400 9655 8730 9015 8940 8908 8285 8389 8465 8587 9415 9170 9290 9480 9713 10310
Lampiran 1. Lanjutan PERIODE 1993Q1 1993Q2 1993Q3 1993Q4 1994Q1 1994Q2 1994Q3 1994Q4 1995Q1 1995Q2 1995Q3 1995Q4 1996Q1 1996Q2 1996Q3 1996Q4 1997Q1 1997Q2 1997Q3 1997Q4 1998Q1 1998Q2 1998Q3 1998Q4 1999Q1
M1 M Rp 30592 31142 34802 36805 37908 39886 42195 45374 44908 47046 48981 52677 53162 56448 59685 64089 63565 69950 66258 78343 98270 109480 102563 101197 105705
SBI % 0.1250 0.1074 0.0911 0.0883 0.0845 0.0994 0.1155 0.1244 0.1428 0.1474 0.1402 0.1399 0.1399 0.1399 0.1396 0.1280 0.1107 0.1050 0.2200 0.2000 0.2775 0.5800 0.6876 0.3844 0.3784
PM 1000 Barrel 46667 44728 44760 47062 46938 45031 44942 46710 46853 44663 44761 46900 46827 44477 44386 46719 46556 43981 44384 47858 48006 44121 42471 44497 44086
PT metric ton 1890 2645 2570 2470 1890 2650 2895 2620 2350 2750 4408 3753 3999 4493 4530 3163 4564 4666 5330 4859 4165 4940 4646 3669 3571
PTm metric ton 77509 45389 95193 109769 76935 82289 92941 120756 120911 128103 132322 146877 128670 152910 153580 157750 143330 169650 148910 172512 225980 195730 249160 292750 234330
PN metric ton 154516 204224 103088 80697 170086 201603 191398 213217 183433 234724 230251 301899 272062 218016 351725 424278 266497 244305 274625 158743 193965 238113 244014 308593 222150
PL 000 MMBTU 114211 101601 99379 123453 123085 102139 111576 129601 111576 103637 93441 120038 124213 92966 106440 126916 125345 93232 107079 135222 114111 94425 118660 115177 128317
IHSG Indeks 310.758 360.346 419.961 588.765 492.373 457.295 497.970 469.640 428.641 492.277 493.240 513.847 585.705 594.259 573.939 637.432 662.236 724.556 546.688 401.712 541.425 445.920 276.150 398.038 393.625
PDB M Rp 78529.7 79380.5 85254.1 86611.7 85605.0 87888.2 91142.9 90004.8 92563.1 94340.3 98293.8 98595.4 97874.8 100634.6 106562.1 108726.2 105260.9 105867.1 112212.7 109904.9 100535.7 91742.0 94258.2 89839.2 94371.1
IPI Indeks 58.80 66.81 70.43 66.96 58.77 74.97 76.56 75.61 65.50 82.64 84.60 83.21 90.77 99.81 101.09 95.29 99.93 101.32 101.49 92.43 84.68 82.98 85.87 84.49 88.04
PERIODE 1999Q3 1999Q4 2000Q1 2000Q2 2000Q3 2000Q4 2001Q1 2001Q2 2001Q3 2001Q4 2002Q1 2002Q2 2002Q3 2002Q4 2003Q1 2003Q2 2003Q3 2003Q4 2004Q1 2004Q2 2004Q3 2004Q4 2005Q1 2005Q2 2005Q3
M1 M Rp 118124 124633 124663 133832 135431 162185 148375 160143 164237 177731 166173 174017 181791 191939 181239 195219 207587 223799 219087 233726 240911 253818 250492 267635 273954
SBI % 0.1302 0.1251 0.1103 0.1174 0.1362 0.1453 0.1582 0.1665 0.1757 0.1762 0.1676 0.1511 0.1322 0.1293 0.1140 0.0953 0.0866 0.0831 0.0742 0.0734 0.0739 0.0743 0.0744 0.0825 0.1000
PM 1000 Barrel 39851 35090 41788 42445 43662 43539 42597 40028 39431 40934 40564 38023 36529 36658 35464 33998 34691 34890 34456 37484 36448 37707 35752 36592 31318
PT metric ton 4425 3802 3378 4490 5058 4171 4804 5123 3596 7896 5322 8328 8981 5086 6309 7291 4050 3918 5276 7949 6757 4356 7184 6402 6757
PTm metric ton 188570 215370 259431 250949 285717 320504 284115 293372 270828 277412 291429 262620 375166 370077 82694 337993 267368 172098 163824 261244 288498 402320 270544 252610 288498
PN metric ton 285624 352463 243255 175077 381934 380145 262173 257739 364041 326694 334786 387058 363300 345403 312952 506415 421719 366937 355254 321089 398947 477408 298396 251355 398947
PL 000 MMBTU 121881 143996 136444 102102 117622 131449 109814 90105 86493 119238 121418 98342 120970 120526 101332 105535 117935 110499 117177 104705 104817 115049 114139 103654 106742
IHSG Indeks 547.937 676.919 583.276 515.110 421.336 416.321 381.050 437.620 392.479 392.036 481.775 505.009 419.307 424.945 398.004 505.499 597.652 691.895 735.677 732.401 820.134 1000.233 1080.165 1122.376 1079.275
PDB M Rp 96940.4 94654.0 98244.5 98191.9 100862.9 100717.6 102226.9 102456.3 104685.0 102386.2 104833.3 107037.3 110804.0 106512.9 109661.4 111995.8 115795.3 111504.7 114625.6 116754.4 120877.5 118538.2 128272.4 135511.5 148800.9
IPI Indeks 97.23 97.25 98.59 102.33 109.40 93.24 102.47 109.14 109.58 82.27 101.75 109.99 114.77 87.42 114.52 116.38 121.55 116.92 113.67 116.26 127.27 120.81 121.85 119.99 127.77
Lampiran 2. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel Ekonomimakro dan PDB
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 2. Lanjutan
Lampiran 3. Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel Ekonomimakro dan IPI
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 3. Lanjutan
Lampiran 4. Hasil Cross Corelation Variabel Ekonomimakro dan PDB Date: 07/05/06 Time: 20:47 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DER,DPDB(-i) ******| . ***| . . *| . . |* . . |**. . |*** . |*** . |*** . |**.
| | | | | | | | |
DER,DPDB(+i) ******| . ********| . *******| . ******| . ****| . .**| . . *| . . | . . |* .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.6007 -0.3428 -0.0484 0.1067 0.2171 0.2722 0.2989 0.2880 0.2186
-0.6007 -0.7469 -0.7228 -0.5661 -0.3911 -0.2387 -0.1347 -0.0087 0.0863
Date: 07/05/06 Time: 20:48 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DIHSG,DPDB(-i) . |**** . |**. . *| . .**| . ***| . ***| . . *| . . | . . |* .
| | | | | | | | |
DIHSG,DPDB(+i) . |**** . |***** . |***** . |**** . |*** . |* . . |* . . *| . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3737 0.2258 -0.0413 -0.2372 -0.3246 -0.2667 -0.1470 -0.0022 0.1420
0.3737 0.4795 0.4760 0.3731 0.2772 0.1467 0.0736 -0.0440 -0.1550
Date: 07/05/06 Time: 21:04 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DPDB(-i)
DM1,DPDB(+i)
i
lag
lead
*****| . ***| . . | . . |* . . |* . . |* . . |* . . |* . . |* .
*****| . ******| . *****| . ****| . .**| . . *| . . *| . . | . . |* .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.4957 -0.2518 0.0070 0.0495 0.0531 0.0786 0.1114 0.1325 0.0593
-0.4957 -0.6180 -0.5302 -0.3795 -0.1855 -0.0805 -0.0592 0.0152 0.0588
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Lampiran 4. Lanjutan Date: 07/05/06 Time: 21:04 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DM,DPDB(-i) . |****** . |**** . |*** . |* . . | . .**| . ***| . ****| . *****| .
| | | | | | | | |
DM,DPDB(+i) . |****** | . |******* | . |******* | . |****** | . |**** | . |*** | . |* . | . | . | . *| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.6215 0.4490 0.2581 0.0986 -0.0104 -0.1684 -0.3274 -0.4306 -0.4764
0.6215 0.7115 0.6761 0.5622 0.3953 0.2675 0.1237 -0.0339 -0.1260
Date: 07/05/06 Time: 21:05 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMBB,DPDB(-i) . |****** . |**** . |**. . | . . *| . ***| . ****| . *****| . *****| .
| | | | | | | | |
DMBB,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |****** | . |******* | . |******* | . |****** | . |**** | . |*** | . |* . | . | . | . *| . |
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5810 0.3801 0.1707 0.0112 -0.0949 -0.2633 -0.3856 -0.4626 -0.4606
0.5810 0.6993 0.6884 0.5742 0.3942 0.2770 0.1460 -0.0007 -0.0739
Date: 07/05/06 Time: 21:06 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMBK,DPDB(-i) . |* . . *| . .**| . ***| . .**| . . *| . . *| . . | . . *| .
| | | | | | | | |
DMBK,DPDB(+i) . . . . . . . . .
|* . |**. |*** |**** |**** |***** |***** |**** |**.
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0659 -0.0503 -0.1671 -0.2494 -0.1648 -0.1419 -0.0540 -0.0230 -0.0458
0.0659 0.1901 0.3048 0.4025 0.4161 0.4536 0.4667 0.3609 0.1780
Lampiran 4. Lanjutan Date: 07/05/06 Time: 21:07 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMBM,DPDB(-i) . |****** . |***** . |***** . |**** . |*** . |**. . *| . ***| . *****| .
| | | | | | | | |
DMBM,DPDB(+i) . |****** . |****** . |**** . |*** . |**. . |* . . *| . .**| . ***| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5834 0.5450 0.5000 0.4297 0.3151 0.1809 -0.1183 -0.3060 -0.4696
0.5834 0.5610 0.4339 0.3053 0.2000 0.0662 -0.0827 -0.2078 -0.2627
Date: 07/05/06 Time: 21:08 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMNM,DPDB(-i) . |****** . |***** . |**** . |**. . |* . . | . .**| . ***| . ****| .
| | | | | | | | |
DMNM,DPDB(+i) . |****** | . |******** | . |****** | . |**** | . |**. | . |* . | . | . | . *| . | .**| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.6450 0.5021 0.3536 0.2431 0.1235 -0.0299 -0.2033 -0.3266 -0.4010
0.6450 0.7476 0.6461 0.4398 0.2206 0.0582 -0.0324 -0.1370 -0.1872
Date: 07/05/06 Time: 21:14 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPL,DPDB(-i)
DPL,DPDB(+i)
i
lag
lead
. *| . .**| . ***| . ***| . ***| . .**| . . | . . |**. . |**.
. *| . *| . *| . *| . *| . | . | . | . |
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0992 -0.2067 -0.2888 -0.2708 -0.2705 -0.2149 0.0116 0.1973 0.2511
-0.0992 -0.0968 -0.0801 -0.0681 -0.0543 -0.0376 0.0163 -0.0350 0.0125
| | | | | | | | |
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
Lampiran 4. Lanjutan Date: 07/05/06 Time: 21:17 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPM,DPDB(-i)
DPM,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |* . . |**. . |**. . |**. . |*** . |**. . |* . .**| . ****| .
. |* . . |**. . |* . . |* . . | . . | . . *| . .**| . .**| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1483 0.2005 0.2167 0.2215 0.3025 0.1950 0.0508 -0.1929 -0.3957
0.1483 0.1736 0.1090 0.0950 0.0109 -0.0269 -0.1352 -0.1563 -0.1715
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Date: 07/05/06 Time: 21:18 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPN,DPDB(-i) . | . . |* . . |* . . |* . . *| . . *| . . *| . . *| . . *| .
| | | | | | | | |
DPN,DPDB(+i) . . . . . . . . .
| . |**. |*** |**** |**** |**. |* . | . | .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0462 0.0620 0.1221 0.0587 -0.1119 -0.1125 -0.0481 -0.1010 -0.1063
0.0462 0.2161 0.3391 0.4325 0.4223 0.2188 0.0800 0.0439 0.0357
Date: 07/05/06 Time: 21:18 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPT,DPDB(-i)
DPT,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |*** . |*** . |**** . |*** . |*** . |**. . |* . . |* . . *| .
. |*** . |**. . |**. . |* . . | . . | . . *| . .**| . ***| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2794 0.3215 0.3579 0.3209 0.2649 0.1573 0.1088 0.0670 -0.0538
0.2794 0.2091 0.2256 0.1268 0.0206 -0.0389 -0.1364 -0.2092 -0.2680
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Lampiran 4. Lanjutan Date: 07/05/06 Time: 21:19 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPTM,DPDB(-i)
DPTM,DPDB(+i)
i
lag
lead
. *| . . *| . .**| . . | . . |* . . |* . . | . . *| . . *| .
. *| . . | . . |* . . |* . . | . . | . . | . . | . . | .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0813 -0.0994 -0.1579 -0.0327 0.0692 0.0799 0.0370 -0.0497 -0.0892
-0.0813 -0.0389 0.0575 0.0937 0.0200 0.0309 0.0078 -0.0334 -0.0112
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Date: 07/05/06 Time: 21:20 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DSBI,DPDB(-i) ****| . .**| . . |* . . |**** . |***** . |****** . |***** . |**** . |***
| | | | | | | | |
DSBI,DPDB(+i)
i
lag
lead
****| . *****| . *****| . ****| . ***| . .**| . . *| . . | . . | .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.4174 -0.2381 0.1137 0.4038 0.5219 0.5568 0.5263 0.4397 0.2925
-0.4174 -0.5105 -0.4712 -0.3765 -0.2876 -0.2180 -0.1040 -0.0195 0.0103
| | | | | | | | |
Date: 07/05/06 Time: 21:24 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DX,DPDB(-i) . |**** . |**** . |*** . |* . . *| . .**| . ****| . ****| . ***| .
DX,DPDB(+i) | | | | | | | | |
. |**** . |**** . |**** . |*** . |**. . |* . . *| . . *| . . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4138 0.3578 0.3121 0.1091 -0.0679 -0.2437 -0.3550 -0.4076 -0.3433
0.4138 0.3964 0.3872 0.2874 0.2297 0.0555 -0.0880 -0.0763 -0.1193
Lampiran 4. Lanjutan Date: 07/05/06 Time: 21:26 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DXK,DPDB(-i) . |**. . |* . . *| . .**| . . *| . . *| . . *| . . *| . . | .
| | | | | | | | |
DXK,DPDB(+i) . |**. . |**** . |***** . |**** . |**. . | . . *| . . *| . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2164 0.0782 -0.0764 -0.1511 -0.1372 -0.0493 -0.0544 -0.0460 0.0263
0.2164 0.3915 0.4762 0.4062 0.2510 0.0359 -0.1417 -0.0628 -0.2300
Date: 07/05/06 Time: 21:27 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DXNM,DPDB(-i)
DXNM,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |**** . |**** . |*** . |**. . |* . . *| . .**| . ***| . .**| .
. |**** . |*** . |*** . |**. . |* . . | . . *| . . *| . . *| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3861 0.3717 0.3396 0.1901 0.0830 -0.0517 -0.1616 -0.2533 -0.2236
0.3861 0.3245 0.3012 0.2134 0.1472 0.0064 -0.0943 -0.0756 -0.1303
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Date: 07/05/06 Time: 21:28 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DXU,DPDB(-i)
DXU,DPDB(+i)
i
lag
lead
. |**. . |**. . |*** . |* . . | . . *| . .**| . ***| . ***| .
. |**. . | . . | . . | . . |* . . |* . . *| . . |* . . |* .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1697 0.2043 0.2565 0.0743 0.0048 -0.1455 -0.2127 -0.2495 -0.2704
0.1697 0.0287 -0.0050 0.0454 0.0689 0.0816 -0.0608 0.1056 0.0942
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Lampiran 5. Hasil Analisis Cross Corelation Variabel Ekonomimakro dan IPI Date: 07/03/06 Time: 12:17 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DER,DIPI(-i)
DER,DIPI(+i)
*******| . *****| . ***| . . *| . . |* . . |*** . |*** . |**** . |****
| | | | | | | | |
*******| . ******| . *****| . ****| . .**| . . | . . |* . . |**. . |***
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.6704 -0.5360 -0.2636 -0.0683 0.1015 0.2618 0.3523 0.4056 0.4370
-0.6704 -0.6348 -0.5331 -0.3726 -0.2358 -0.0217 0.1254 0.2409 0.2671
Date: 07/03/06 Time: 12:20 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DIHSG,DIPI(-i) . |***** . |**** . |**. . | . . *| . .**| . .**| . .**| . .**| .
| | | | | | | | |
DIHSG,DIPI(+i) . |***** . |*** . |*** . |**. . |* . .**| . .**| . .**| . ***| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4563 0.4016 0.2034 0.0474 -0.0443 -0.1782 -0.2409 -0.2405 -0.2123
0.4563 0.3394 0.2720 0.2043 0.1201 -0.1650 -0.1608 -0.2055 -0.2866
Date: 07/03/06 Time: 12:21 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DIPI(-i)
DM1,DIPI(+i)
i
lag
lead
******| . ***| . .**| . . | . . |* . . |**. . |* . . |**. . |***
******| . *****| . ****| . .**| . ***| . . | . . |* . . |**. . |* .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.5435 -0.3143 -0.1497 -0.0371 0.1158 0.1574 0.1295 0.1910 0.3054
-0.5435 -0.5125 -0.3665 -0.2080 -0.2536 -0.0397 0.1027 0.2432 0.1433
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Lampiran 5. Lanjutan Date: 07/03/06 Time: 12:21 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DM,DIPI(-i)
DM,DIPI(+i)
. |***** | . |***** | . |**** | . |**** | . |**. | . | . | . *| . | ***| . | *****| . |
. |***** . |***** . |*** . |**. . |* . . *| . .**| . .**| . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5414 0.4979 0.4390 0.3651 0.2098 0.0174 -0.1391 -0.3059 -0.5090
0.5414 0.4788 0.3072 0.2263 0.1207 -0.0516 -0.1761 -0.1768 -0.1751
Date: 07/03/06 Time: 12:22 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMBB,DIPI(-i) . |***** . |***** . |**** . |*** . |* . . *| . .**| . ****| . ******| .
| | | | | | | | |
DMBB,DIPI(+i) . |***** . |***** . |*** . |**. . |**. . *| . . *| . .**| . . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5408 0.4774 0.3680 0.3025 0.1321 -0.0616 -0.2017 -0.3609 -0.5424
0.5408 0.4879 0.3404 0.2297 0.1615 -0.0543 -0.1177 -0.1616 -0.1437
Date: 07/03/06 Time: 12:23 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMBK,DIPI(-i) . |**. . | . . *| . . *| . ***| . ***| . .**| . . *| . .**| .
| | | | | | | | |
DMBK,DIPI(+i) . |**. . |**** . |**** . |**** . |****** . |*** . |**. . |* . . | .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1624 -0.0132 -0.0996 -0.1362 -0.3066 -0.2788 -0.2098 -0.0952 -0.2158
0.1624 0.3620 0.3761 0.4340 0.5532 0.2657 0.2461 0.1349 0.0290
Lampiran 5. Lanjutan Date: 07/03/06 Time: 12:24 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMBM,DIPI(-i) . |**** . |**** . |****** . |***** . |***** . |*** . |**. . *| . ***| .
| | | | | | | | |
DMBM,DIPI(+i)
i
lag
lead
. |**** . |* . . |* . . | . . *| . .**| . ***| . .**| . .**| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4288 0.4006 0.6169 0.4671 0.5398 0.3261 0.1794 -0.0944 -0.2709
0.4288 0.1505 0.0775 0.0130 -0.1468 -0.1633 -0.2906 -0.2007 -0.1828
| | | | | | | | |
Date: 07/03/06 Time: 12:25 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DMNM,DIPI(-i) . |****** . |***** . |***** . |**** . |*** . |**. . | . .**| . *****| .
| | | | | | | | |
DMNM,DIPI(+i) . |****** . |**** . |**. . |* . . *| . .**| . .**| . .**| . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5575 0.5270 0.5033 0.4207 0.3517 0.1699 -0.0114 -0.2360 -0.4448
0.5575 0.4252 0.2465 0.0834 -0.0725 -0.1775 -0.2175 -0.2360 -0.2245
Date: 07/03/06 Time: 12:26 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPL,DIPI(-i) . *| . . *| . . *| . ***| . .**| . ***| . .**| . . *| . . |* .
| | | | | | | | |
DPL,DIPI(+i)
i
lag
lead
. *| . . |* . . |**. . *| . . | . . |**. . | . . *| . . | .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0515 -0.1108 -0.1356 -0.3048 -0.2225 -0.2604 -0.2049 -0.1101 0.1402
-0.0515 0.0829 0.1585 -0.0455 -0.0196 0.1687 0.0044 -0.0759 -0.0334
| | | | | | | | |
Lampiran 5. Lanjutan Date: 07/03/06 Time: 12:28 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPM,DIPI(-i)
DPM,DIPI(+i)
i
lag
lead
. | . . |* . . |**** . |*** . |**** . |**** . |*** . |* . .**| .
. | . . *| . .**| . .**| . .**| . ***| . .**| . . | . . |**.
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0319 0.1543 0.3536 0.3516 0.3949 0.4287 0.2960 0.0574 -0.1480
-0.0319 -0.0836 -0.1838 -0.2412 -0.1964 -0.2522 -0.1871 -0.0334 0.1758
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Date: 07/03/06 Time: 12:29 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPN,DIPI(-i) . |*** . |* . . *| . . | . . | . .**| . ****| . .**| . . *| .
DPN,DIPI(+i) | | | | | | | | |
. |*** . |***** . |**** . |**. . |* . . |* . . |*** . *| . ***| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2692 0.1029 -0.0685 0.0116 0.0356 -0.1495 -0.3471 -0.1859 -0.1341
0.2692 0.4536 0.4479 0.2528 0.1187 0.1553 0.2580 -0.0473 -0.2683
Date: 07/03/06 Time: 12:30 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPT,DIPI(-i) . . . . . . . . .
| . |* . |* . |*** |**. |*** |* . |**. |* .
| | | | | | | | |
DPT,DIPI(+i)
i
lag
lead
. | . . |* . . |* . . | . .**| . . |* . . | . . *| . . *| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0329 0.1255 0.1187 0.2772 0.2035 0.2833 0.1076 0.2137 0.1067
0.0329 0.1009 0.1485 0.0132 -0.1928 0.0794 0.0155 -0.0857 -0.0687
| | | | | | | | |
Lampiran 5. Lanjutan Date: 07/03/06 Time: 12:31 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DPTM,DIPI(-i)
DPTM,DIPI(+i)
i
lag
lead
.**| . . |* . .**| . .**| . . |* . . |*** . | . . | . . | .
.**| . .**| . . | . . *| . . |* . . |* . . | . . |* . . | .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.2286 0.1091 -0.2060 -0.1689 0.0709 0.3253 0.0047 0.0424 0.0469
-0.2286 -0.1574 -0.0281 -0.0684 0.0577 0.1479 0.0322 0.0815 0.0157
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Date: 07/03/06 Time: 12:31 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DSBI,DIPI(-i) ******| . | *****| . | .**| . | . | . | . |**. | . |**** | . |***** | . |***** | . |***** |
DSBI,DIPI(+i)
i
lag
lead
******| . *****| . ****| . ***| . . *| . . |* . . |**. . |**. . |**.
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.5450 -0.4625 -0.2285 0.0263 0.2261 0.4252 0.5323 0.5239 0.5107
-0.5450 -0.4783 -0.3608 -0.2520 -0.1231 0.0971 0.2007 0.1874 0.2055
| | | | | | | | |
Date: 07/03/06 Time: 12:32 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DX,DIPI(-i) . |**** . |*** . |**** . |**** . |**. . |* . .**| . ****| . ****| .
DX,DIPI(+i) | | | | | | | | |
. |**** . |*** . |* . . | . . *| . . *| . .**| . .**| . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4138 0.3422 0.3657 0.3684 0.1847 0.0775 -0.1623 -0.3542 -0.3770
0.4138 0.3366 0.1303 -0.0361 -0.0588 -0.1300 -0.1540 -0.2429 -0.2090
Lampiran 5. Lanjutan Date: 07/03/06 Time: 12:33 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DXK,DIPI(-i)
DXK,DIPI(+i)
. |***** . |*** . |* . . |* . .**| . . | . .**| . ***| . ***| .
| | | | | | | | |
. |***** . |**** . |**. . |**. . |* . . *| . .**| . ****| . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5109 0.3081 0.0886 0.0528 -0.1567 0.0062 -0.1941 -0.2692 -0.3363
0.5109 0.3873 0.2288 0.2070 0.1118 -0.0738 -0.2350 -0.3893 -0.1867
Date: 07/03/06 Time: 12:34 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DXNM,DIPI(-i)
DXNM,DIPI(+i)
i
lag
lead
. |*** . |*** . |*** . |**** . |*** . |**. . | . .**| . .**| .
. |*** . |**. . | . . | . . *| . . *| . . *| . . *| . . *| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2982 0.2907 0.2752 0.3751 0.2753 0.2266 0.0099 -0.1754 -0.2338
0.2982 0.2013 0.0295 -0.0252 -0.0914 -0.1135 -0.0970 -0.1078 -0.1239
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
Date: 07/03/06 Time: 12:35 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DXU,DIPI(-i) . |* . . | . . |**. . |*** . |* . . |* . .**| . .**| . . *| .
| | | | | | | | |
DXU,DIPI(+i)
i
lag
lead
. |* . . |* . . *| . . | . . *| . . *| . . |* . . |* . . | .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0554 -0.0277 0.1929 0.2654 0.0902 0.0962 -0.2247 -0.1541 -0.0878
0.0554 0.0809 -0.0423 0.0421 -0.1424 -0.0537 0.1112 0.0810 0.0173
| | | | | | | | |
Lampiran 6. Hasil Analisis Cross Corelation PDB dan IPI Date: 07/06/06 Time: 00:41 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations DIPI,DPDB(-i) . |***** . |**** . |**. . |* . . | . .**| . ***| . ***| . .**| .
| | | | | | | | |
DIPI,DPDB(+i) . |***** . |****** . |****** . |***** . |*** . |**. . |* . . *| . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5078 0.3843 0.2091 0.0803 -0.0388 -0.1671 -0.2783 -0.2781 -0.1764
0.5078 0.6022 0.5964 0.4944 0.3050 0.1601 0.0528 -0.0802 -0.2105
Lampiran 7. Hasil Analisis Cross Corelation CLI dan Seri Acuan Date: 07/06/06 Time: 03:10 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations CLI,PDB(-i) . |***** . |*** . |* . . | . . *| . .**| . ****| . ****| . ***| .
CLI,PDB(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
|***** |***** |**** |**** |**** |*** |**. |* . |* .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4692 0.3314 0.1113 -0.0177 -0.1214 -0.1837 -0.3559 -0.3740 -0.2768
0.4692 0.4864 0.4020 0.4186 0.3665 0.2841 0.2316 0.1439 0.0827
Date: 07/03/06 Time: 22:59 Sample: 1993:1 2005:3 Included observations: 51 Correlations are asymptotically consistent approximations CLI,DIPI(-i) . |*** . |* . . *| . . *| . .**| . ***| . ****| . .**| . .**| .
CLI,DIPI(+i) | | | | | | | | |
. |*** . |***** . |***** . |**** . |**** . |*** . |*** . |* . .**| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2803 0.0594 -0.1083 -0.0789 -0.1713 -0.2755 -0.3617 -0.1829 -0.2253
0.2803 0.5285 0.5336 0.4420 0.4294 0.2709 0.3261 0.0546 -0.1582