ANALISIS PENGARUH UANG TERHADAP BUSINESS CYCLE INDONESIA
OLEH SITI MASYITHO H14102062
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
SITI MASYITHO. H14102062. Analisis Pengaruh Uang Terhadap Business Cycle Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Permasalahan dalam pengendalian uang beredar sebagai target stabilitas ekonomi makro merupakan masalah utama yang sering dialami oleh setiap negara berkembang termasuk Indonesia. Jumlah uang beredar sangat erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi yang terjadi di suatu negara. Jumlah uang beredar yang terlalu banyak dapat mengakibatkan inflasi. Sebaliknya, apabila jumlah uang beredar terlalu sedikit, maka kelesuan ekonomi akan terjadi. Kondisi tersebut diharapkan dapat menerangkan fluktuasi perekonomian atau business cycle yang terjadi di Indonesia. Adanya perdebatan mengenai berpengaruh tidaknya jumlah uang beredar terhadap siklus bisnis yang terjadi di suatu negara, membuat penelitian mengenai pengaruh uang terhadap siklus bisnis menjadi semakin penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menganalisis pengaruh uang terhadap business cycle Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : (i) menganalisis korelasi antara uang dan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi, (ii) mengetahui faktor apa yang paling dominan mempengaruhi permintaan uang di Indonesia, (iii) menganalisis pengaruh uang terhadap siklus bisnis. Penelitian ini mencoba mendokumentasikan fakta empirik business cycle dengan menggunakan Hodrick-Prescott filter, di mana komponen trend dan siklikal dari data deret waktu telah dipisahkan (de-trended). Analisis pola dan karakteristik business cycle berdasarkan cross correlation. Koefisien korelasi silang dapat memperlihatkan leading, lagging ataupun co-incident suatu variabel terhadap variabel referensi. Pengaruh uang terhadap business cycle dianalisis menggunakan pendekatan VAR yang dikombinasikan dengan VECM yang dilihat dari hasil uji VD (Variance Decomposition) dan IRF (Impulse Response Function). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode penelitian yaitu tahun 1990.I-2005.III korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia berbentuk leading indicator, dengan nilai koefisien korelasi yaitu 0,60. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan adanya perbedaan besaran koefisien korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi terjadi. Korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi berbentuk leading indicator. Sementara, setelah krisis ekonomi terjadi, korelasi antara uang dengan siklus bisnis berbentuk co-incident indicator dengan nilai koefisien korelasinya berturut-turut adalah 0,41 dan 0,46. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi permintaan uang di Indonesia adalah suku bunga
luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari hasil VD yang menunjukkan bahwa pada jangka panjang, suku bunga luar negeri (US Treasury Bills Rate 3 Month) lebih banyak berpengaruh terhadap permintaan uang. Dari hasil ini, dapat pula menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan perekonomian terbuka kecil, di mana kebijakan dari negara lain masih akan sangat berpengaruh terhadap perekonomiannya. Guncangan permintaan uang menyebabkan PDB menurun selama 2 triwulan pertama sebesar 1 persen, kemudian ekspansi kembali hingga triwulan ke-15, selanjutnya PDB menurun kembali. Dalam jangka panjang, PDB mencapai ekuilibrium setelah 20 triwulan. Setiap peningkatan sebesar 1 standar deviasi permintaan uang akan menurunkan PDB sebesar 0,8 persen dalam jangka panjang. Berdasarkan penelitian, dapat diketahui bahwa kebijakan moneter melalui uang beredar masih cukup efektif dalam mencapai sasaran akhir yaitu tingkat output. Sementara itu, kebijakan moneter melalui uang beredar tidak efektif dalam mencapai sasaran akhir tingkat harga. Oleh karena itu, perlu sekali adanya fokus dari sasaran atau tujuan makroekonomi yang ingin dicapai oleh pemerintah, apakah kestabilan harga atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga kebijakan yang diambil nantinya akan lebih efektif dalam mempengaruhi tingkat output maupun tingkat harga. Pemerintah masih harus memperhatikan kebijakan yang diambil oleh negara lain, dan diharapkan kebijakan yang diambilnya telah disesuaikan dengan kebijakan negara lain, agar dampak kebijakan tidak saling meniadakan. Karena berdasarkan hasil VD terhadap output dan uang beredar, mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang, varians output dan varians uang beredar di Indonesia, dominan dipengaruhi oleh suku bunga luar negeri.
ANALISIS PENGARUH UANG TERHADAP BUSINESS CYCLE INDONESIA
Oleh SITI MASYITHO H14102062
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Siti Masyitho
Nomor Registrasi Pokok
: H14102062
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Pengaruh Uang Terhadap Business Cycle Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec NIP. 131 803 656
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2006
Siti Masyitho H14102062
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Siti Masyitho lahir pada tanggal 31 Januari 1985 di Jakarta. Penulis anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Syamsul Bachri dan Sri Wahyuningsih. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Larangan Selatan 1, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 11 Tangerang dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 32 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2002. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di beberapa organisasi seperti HIPOTESA dan BEM FEM IPB.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Pengaruh Uang Terhadap Business Cycle Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, yang telah memberikan bimbingan dan arahan baik secara teknik maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MSc, yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Syamsul Hidayat Pasaribu, SE, MSi, terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. 4. Kedua orang tua penulis serta saudara-saudara penulis (Sinta dan Fachry). Kesabaran dan dorongan mereka sangat besar artinya dalam proses penyelesaian skripsi ini. 5. Yogi Alwan Fauzi yang tanpa lelah dan selalu bersedia memberi bantuan, masukan, dan motivasi kepada penulis. 6. Yati Nuryati, SPi, MSi, yang telah banyak memberi bantuan secara teknik dalam proses pengolahan data. 7. Mela Setiana yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar hasil penelitian skripsi penulis dan banyak memberikan masukan yang sangat bermanfaat.
8. Teman-teman seperjuangan, Ulan dan Diana, terima kasih atas kebersamaan, diskusi, saran, kritik, dan segala bentuk bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas. 9. Sahabat dan teman-teman penulis, atas segala dukungan dan bantuan bahkan tanpa diminta saat penulis membutuhkan, serta pihak-pihak lain yang telah sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan tulisan ini. Bogor, Juli 2006
Siti Masyitho H14102062
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL......................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v I.
II.
PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1.
Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2.
Perumusan Masalah ............................................................... 5
1.3.
Tujuan Penelitian ................................................................... 6
1.4.
Manfaat Penelitian ................................................................. 7
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 8 2.1.
Teori Penawaran Uang........................................................... 8 2.1.1. Definisi Uang Beredar.................................................. 8 2.1.2. Jenis-jenis Uang Beredar.............................................. 8 2.1.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar ......................... 9 2.1.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar.......... 11
2.2.
Teori Kuantitas Uang ........................................................... 12 2.2.1. Teori Irving Fisher ..................................................... 12 2.2.2. Pendekatan Cambridge .............................................. 15
2.3.
Teori Permintaan Uang Keynes ........................................... 17
2.4.
Modern Quantity Theory (Monetarist View) ...................... 18
2.5.
Inventory Theoritic Approach ............................................ 18
2.6.
Definisi Business Cycle........................................................ 21
2.7.
Teori Business Cycle ............................................................ 21 2.7.1. Teori Real Business Cycle.......................................... 22 2.7.2. Teori New Keynesian ................................................ 23 2.7.3. Teori Business Cycle Moneter ................................... 24
2.8.
Metode Penelitian Empirik Business Cycle ......................... 24 2.8.1. Hodrick Prescott Filter .............................................. 24
2.8.2. Cross Correlation ...................................................... 24 2.8.3. Indikator Business Cycle ........................................... 25 2.9.
Penelitian Terdahulu ............................................................ 25
2.10. Kerangka Pemikiran Konseptual.......................................... 27 2.11. Hipotesis............................................................................... 29 III.
METODE PENELITIAN................................................................. 30 3.1.
Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle ....................... 30
3.2.
Analisis Pola dan Karakteristik Business Cycle................... 31
3.3.
Metode Analisis Business Cycle Indonesia.......................... 32 3.3.1. Vector Auto Regression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) .................................... 32 3.3.2. Uji Unit-Root........................................................... 35 3.3.3. Penentuan Lag Optimal .......................................... 36 3.3.4. Uji Hubungan Kointegrasi ..................................... 37 3.3.5. Vector Error Correction Model ............................. 39 3.3.6. Variance Decomposition ........................................ 40 3.3.7. Impulse Response Function ................................... 40 3.3.8. Jenis dan Sumber Data .......................................... 41 3.3.9. Model Penelitian VAR .......................................... 41
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 44 4.1.
Trend dan Siklikal Business Cycle Indonesia ...................... 44 4.1.1. Trend dan Siklikal Variabel Referensi...................... 44 4.1.2. Trend dan Siklikal IHK............................................. 48 4.1.3. Trend dan Siklikal Variabel Luar Negeri.................. 50 4.1.4. Trend dan Siklikal Agregat Moneter ....................... 52
4.2.
Karakteristik dan Pola Business Cycle Indonesia ................ 58
4.3.
Hasil Pengujian Awal........................................................... 60
4.4.
Tingkat Lag Optimal ........................................................... 63
4.5.
Kointegrasi .......................................................................... 64
4.6.
Hasil Uji Kausalitas Multivariat........................................... 66
4.7.
Variance Decomposition (VD) ............................................ 69
4.8.
Impulse Response Function (IRF) ....................................... 72 4.8.1. Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Kebijakan Bank Sentral AS ................. 73 4.8.2. Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Output ................................................. 76 4.8.3. Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Permintaan Uang .................................. 79
V.
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 83 5.1.
Kesimpulan .......................................................................... 83
5.2.
Saran..................................................................................... 84
5.3.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan ......................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 86 LAMPIRAN ................................................................................................ 88
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Indikator Dasar Makroekonomi Indonesia 1997-2004……………………
2
2. Neraca Otoritas Moneter di Indonesia 1997-2004 ......…………………...
10
3. Korelasi Silang Komponen Siklikal dengan Siklus Pengeluaran Periode 1990.I-2005.III............................................……………………………
59
4. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia………………………………
59
5. Korelasi Uang dengan Siklus Bisnis Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi ...................................................………………………………
59
6. Uji Akar Unit (Level) ........................................…………………………
61
7. Uji Akar Unit (First Difference).........................…………………………
62
8. Perhitungan SIC (Schwarz Information Criterion)……………………….
63
9. Test Johansen’s Trace Statistic ..........................…………………………
65
10. Hasil Estimasi VECM untuk Variabel Suku Bunga AS Didasarkan pada Kointegrasi VAR(3) …………………………...........................................
65
11. Hasil Estimasi VECM untuk Variabel PDB Didasarkan pada Kointegrasi VAR(3) …………………………..............................................................
66
12. Hasil Estimasi VECM untuk Variabel Nilai Tukar Didasarkan pada KointegrasiVAR(3) ……………..............................................................
66
13. Uji Kausalitas Multivariat (VAR Pairwise Granger Causality Test).........
68
14. Variance Decomposition terhadap Output ................................................
70
15. Variance Decomposition terhadap Uang Beredar......................................
71
16. Variance Decomposition terhadap Harga ................................................
72
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Jumlah Uang Beredar (M2) di Indonesia..........................
3
2. Kerangka Pemikiran Konseptual ...............................……………………
28
3. Grafik log PDB riil Indonesia Triwulanan...............................……..........
45
4. Grafik Trend PDB.....................................................................................
46
5. Grafik Siklikal PDB...................................................................................
46
6. Grafik Trend Indeks Harga Konsumen.....................................................
49
7. Grafik Siklikal Indeks Harga Konsumen..................................................
49
8. Grafik Trend Nilai Tukar..........................................................................
51
9. Grafik Siklikal Nilai Tukar........................................................................
51
10. Grafik Trend Uang Kartal.........................................................................
53
11. Grafik Siklikal Uang Kartal.......................................................................
53
12. Grafik Trend Uang Giral............................................................................
54
13. Grafik Siklikal Uang Giral........................................................................
54
14. Grafik Trend M2.......................................................................................
55
15. Grafik Siklikal M2....................................................................................
55
16. Grafik Trend Suku Bunga Domestik.........................................................
56
17. Grafik Siklikal Suku Bunga Domestik......................................................
56
18. Respon Suku Bunga AS terhadap Kebijakan Suku Bunga AS..................
73
19. Respon PDB terhadap Kebijakan Suku Bunga AS....................................
73
20. Respon Nilai Tukar terhadap Kebijakan Suku Bunga AS.........................
74
21. Respon Permintaan Uang terhadap Kebijakan Suku Bunga AS................
74
22. Respon Suku Bunga Domestik terhadap Kebijakan Suku Bunga AS........
74
23. Respon PDB terhadap Guncangan Output ................................................
77
24. Respon Permintaan Uang terhadap Guncangan Output ............................
77
25. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Output .....................................
78
26. Respon Suku Bunga Domestik terhadap Guncangan Output ...................
78
27. Respon Harga terhadap Guncangan Output ..............................................
78
28. Respon PDB terhadap Guncangan Permintaan Uang ...............................
80
29. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Permintaan Uang ....................
81
30. Respon Permintaan Uang terhadap Guncangan Permintaan Uang ...........
81
31. Respon Suku Bunga Domestik terhadap Guncangan Permintaan Uang....
81
32. Respon Harga terhadap Guncangan Permintaan Uang..............................
82
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data yang digunakan dalam penelitian ........................................................ 88 2. Uji Stasioneritas Data ................................................................................... 91 3. Estimasi VAR dengan Menggunakan Log M2 ............................................. 103 4. Uji Stabilitas VAR ........................................................................................ 105 5. Penentuan Lag Optimal................................................................................. 106 6. Uji Kointegrasi Johansen dengan Asumsi “Summary” ................................ 107 7. Uji Kointegrasi Johansen dengan Asumsi “1” .............................................. 108 8. Hasil VECM.................................................................................................. 112 9. Grafik Impulse Response Function ............................................................... 114 10. Hasil Variance Decomposition ..................................................................... 117 11. Uji Kausalitas Multivariat ............................................................................. 121 12. Hasil Cross Correlation Variabel Makro Ekonomi dengan PDB................. 123 13. Hasil Cross Correlation M2 dengan PDB .................................................... 127 14. Perhitungan Standar Deviasi Variabel Makro Ekonomi............................... 128
PENDAHULUAN
Latar Belakang Uang beredar merupakan salah satu indikator penting dalam proses pengambilan kebijakan ekonomi. Hal ini karena hampir semua kegiatan ekonomi seperti produksi, konsumsi, dan investasi selalu melibatkan uang. Hal tersebut menunjukkan bahwa uang beredar mempunyai peran yang tidak terpisahkan dalam perekonomian suatu negara. Bahkan, keterkaitan antara kegiatan ekonomi dan uang ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian,
sangatlah
sulit
mempelajari
dan
memahami
perkembangan
perekonomian tanpa mempelajari dan memahami peranan uang. Pentingnya
peranan
uang
menyebabkan
perlunya
mempelajari
perkembangan serta perilakunya dalam suatu perekonomian. Uang beredar sering dikaitkan dengan suku bunga, pertumbuhan ekonomi, perkembangan harga, siklus bisnis, dan sebagainya. Salah satu hubungan tersebut terlihat dari peranan uang dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Jumlah uang beredar yang terlalu banyak dapat mengakibatkan inflasi seperti yang pernah terjadi pada tahun 1998, di mana tingkat inflasi di Indonesia mencapai angka dua digit yaitu hampir 77,6 persen (Bank Indonesia, 2004). Inflasi yang terjadi pada tahun 1998 tersebut bukan semata-mata diakibatkan oleh banyaknya jumlah uang beredar yaitu sebesar Rp 449.824 milyar, tetapi juga disebabkan oleh jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama terhadap US dollar yang sebelumnya sebesar Rp 4.650 per US
dollar menjadi Rp 10.088 per US dollar, banyaknya utang luar negeri yang jatuh tempo, dan tingkat suku bunga yang tinggi (Bank Indonesia, 1998). Sebaliknya, apabila jumlah uang beredar terlalu sedikit, maka kelesuan ekonomi akan terjadi. Oleh karena itu, jumlah uang beredar perlu diatur agar sesuai kapasitas ekonomi, yaitu diupayakan agar tidak terlalu banyak, tetapi juga tidak boleh terlalu sedikit. Pada Tabel 1 di bawah ini terlihat indikator dasar makroekonomi dari tahun 1997 hingga 2004. Akibat adanya krisis moneter yang melanda sebagian besar negara-negara di Asia, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun langsung turun drastis, yaitu yang semula sebesar 4,65 persen menjadi -13,2 persen. Tidak hanya itu, tingkat inflasi juga sangat tinggi yaitu sebesar 77,6 persen, padahal sebelumnya hanya sebesar 11,6 persen (Bank Indonesia, 1998). Indonesia termasuk negara yang paling lama mengalami krisis moneter dibandingkan negara-negara Asia lainnya, tetapi berangsur-angsur perekonomian Indonesia pulih dari keterpurukannya akibat krisis moneter. Tabel 1. Indikator Dasar Makroekonomi Indonesia 1997-2004 Keterangan
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pertumbuhan ekonomi (%) Tingkat inflasi (%) Neraca pembayaran %) Nilai Tukar (%)
4,65
-13,20
0,20
4,90
3,40
3,70
4,14
5,00
11,60
77,60
2,00
9,35
12,60
10,03
5,06
6,40
-2,30
4,30
4,00
5,00
4,70
4,00
4,70
5,10
4.650
10.088
7.850
8.400
10.225
9.316
8.572
9.120
Sumber : Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, berbagai edisi.
Berkaitan dengan proses penciptaan uang dalam perekonomian, banyak penelitian dilakukan untuk menjelaskan proses penciptaan uang beredar dalam perekonomian dengan menggunakan berbagai model ekonometrika. Sebagian penelitian tersebut menjelaskan pentingnya peran jumlah uang beredar dalam
perekonomian. Fungsi uang tidak terlepas dari interaksi para pelaku ekonomi yaitu otoritas moneter, bank-bank umum, dan masyarakat. Proses penciptaan uang pada dasarnya dipengaruhi atau ditentukan oleh permintaan uang dari ketiga pelaku ekonomi tersebut. Otoritas moneter membutuhkan uang untuk membantu pemerintah melaksanakan pembangunan, sedangkan bank-bank umum membutuhkan uang untuk membiayai sektor riil dan sektor usaha kecil dan menengah. Sementara masyarakat membutuhkan uang untuk membiayai kegiatan ekonominya di sektor riil, seperti produksi, investasi, dan konsumsi. Oleh karena kebutuhan uang dari ketiga pelaku ekonomi dari tahun ke tahun semakin bertambah, sehingga tidak mengherankan apabila uang yang dicetak oleh Bank Indonesia setiap tahunnya semakin besar, seperti terlihat pada Gambar 1.
Sumber : Laporan Triwulanan Keuangan dan Moneter, Bank Indonesia (berbagai edisi).
Gambar 1. Perkembangan Jumlah Uang Beredar (M2) di Indonesia
Pada Gambar 1 di atas, terlihat bahwa setiap tahun terdapat kenaikan jumlah uang beredar yang dicetak oleh Bank Indonesia, peningkatan yang signifikan terjadi pada Januari 1998 yang semula berjumlah Rp 355.643 milyar menjadi Rp 603.325 milyar pada Januari 1999. Kondisi tersebut melatarbelakangi upaya-upaya yang dilakukan oleh otoritas moneter suatu negara dalam mengendalikan jumlah uang beredar dalam perekonomian dengan menggunakan kebijakan moneter. Kegiatan pengendalian jumlah uang beredar merupakan salah satu bagian dari kerangka kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh otoritas moneter. Sesuai dengan tujuan kebijakan moneter, pengendalian jumlah uang beredar pada umumnya ditujukan untuk menjaga kestabilan nilai uang dan mendorong kegiatan ekonomi. Pengendalian jumlah uang beredar ini mempunyai peranan yang strategis dalam kerangka kebijakan ekonomi makro. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan yang erat antara uang dengan variabel-variabel ekonomi lainnya, seperti suku bunga, output, dan harga. Dengan mengendalikan jumlah uang beredar tersebut otoritas moneter akan dapat mempengaruhi nilai uang sehingga perkembangannya akan mampu mendorong perekonomian ke arah yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir yang ditetapkan, seperti inflasi rendah dan atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Permasalahan dalam pengendalian uang beredar sebagai target stabilitas ekonomi makro merupakan masalah utama yang sering dialami oleh setiap negara berkembang termasuk Indonesia. Jumlah uang beredar sangat erat kaitannya dengan kegiatan ekonomi yang terjadi di suatu negara. Kegiatan ekonomi akan
menghasilkan suatu output perekonomian. Jadi, uang beredar sangat erat kaitannya dengan output perekonomian suatu negara.
Uang memiliki fungsi
sangat penting di dalam suatu perekonomian. Uang akan meningkatkan efisiensi ekonomi dengan penghematan atas biaya-biaya informasi. Jumlah uang beredar memainkan peran penting di dalam menentukan tingkat inflasi suatu negara. Kondisi di atas mengindikasikan bahwa jumlah uang beredar diharapkan dapat menerangkan fluktuasi ekonomi atau siklus bisnis yang terjadi di suatu negara. Fluktuasi yang terlalu besar dalam penawaran uang akan menyebabkan berbagai masalah bagi perekonomian suatu negara. Fluktuasi dalam penawaran uang berkorelasi dengan fluktuasi output. Oleh karena itu analisis terhadap uang dan siklus bisnis menjadi semakin penting untuk dilakukan.
1.2.
Perumusan Masalah Permasalahan tentang jumlah uang beredar merupakan permasalahan yang
sangat rumit, karena jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kelangsungan perekonomian suatu negara, sehingga dapat menggeser kondisi perekonomian dari kondisi baik (tingkat inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi tinggi) ke kondisi buruk, atau sebaliknya. Mekanisme yang mengatur hubungan antara uang dan siklus bisnis merupakan satu topik yang paling diperdebatkan di dalam makroekonomi. Beberapa ekonom memandang uang semata-mata pasif, dengan korelasi positif dengan tingkat kegiatan ekonomi suatu negara. Sementara yang lain, memandang perubahan dalam jumlah uang beredar sebagai suatu hal
yang penting, barangkali yang paling dominan, sebagai sumber utama dari fluktuasi ekonomi atau siklus bisnis. Adanya perdebatan mengenai berpengaruh tidaknya jumlah uang beredar terhadap siklus bisnis yang terjadi di suatu negara, membuat penelitian mengenai hubungan uang dengan siklus bisnis menjadi semakin penting untuk dilakukan. Dari penjelasan di atas, maka permasalahan yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana bentuk korelasi antara uang dan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi? 2. Faktor apa yang paling dominan dalam mempengaruhi permintaan uang di Indonesia? 3. Bagaimanakah pengaruh uang terhadap siklus bisnis?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari dilakukannya
penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis korelasi antara uang dan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi. 2. Mengetahui faktor apa yang paling dominan mempengaruhi permintaan uang di Indonesia. 3. Menganalisis pengaruh uang terhadap siklus bisnis.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut : 1. Memperlihatkan korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia apakah leading, lagging atau co-incident kepada para pengambil keputusan sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan. 2. Memberikan
gambaran
dan
pengetahuan
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi permintaan uang di Indonesia kepada masyarakat luas. 3. Menambah wawasan dan tambahan pengetahuan penulis tentang uang dan siklus bisnis serta korelasi antara uang dan tingkat output.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Penawaran Uang Definisi Uang Beredar Uang beredar adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam ilmu ekonomi moneter. Sebelum sampai pada konsep atau pengertian uang beredar perlu dipahami terlebih dahulu penggunaan uang dalam praktik kehidupan sehari-hari. Ada tiga jenis uang yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari yaitu : uang kartal, uang giral, dan uang kuasi. Otoritas moneter (bank sentral) dan bank umum adalah lembaga yang dapat menciptakan uang. Bank sentral mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral serta uang kuasi. Kedua lembaga ini disebut sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem moneter. Dengan mengeluarkan dan mengedarkan uang berarti sistem moneter mempunyai kewajiban kepada sektor swasta domestik. Berdasarkan pengertian tersebut, uang beredar didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik.
Jenis-jenis Uang Beredar Berbagai negara menggunakan uang beredar dengan jenis yang beragam. Jenis-jenis uang beredar tersebut secara resmi didefinisikan berdasarkan komponen yang tercakup di dalamnya. Komponen tersebut adalah tiga jenis uang yang telah dikenal pada bagian sebelumnya, yaitu uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Dengan demikian, sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam, jenis
uang beredar pun beragam, mulai dari pengertian atau definisi yang paling sempit sampai yang paling luas. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, uang beredar didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik. Di Indonesia saat ini kita hanya mengenal dua macam uang beredar saja, yaitu (Bank Indonesia, 2002) : 1. Uang beredar dalam arti sempit, yang sering diberi simbol M1, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D). 2. Uang beredar dalam arti luas, yang sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian dan diberi simbol M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan uang kuasi (T). Dengan kata lain M2 adalah M1 ditambah dengan tabungan dan simpanan berjangka lain yang jangkanya lebih pendek, termasuk rekening pasar uang dan pinjaman semalam antar bank.
2.1.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar Berdasarkan peranannya, secara umum dikelompokkan tiga pelaku utama dalam proses penciptaan uang, yaitu (i) otoritas moneter, (ii) bank umum, dan (iii) masyarakat atau sektor swasta domestik. Secara sederhana dapat diuraikan : otoritas moneter menciptakan uang kartal, sementara bank umum menciptakan uang giral dan uang kuasi, sedangkan masyarakat akan menggunakan uang yang
diciptakan oleh otoritas moneter dan bank umum tersebut untuk melakukan kegiatan ekonomi. Sebagai pelaksana fungsi otoritas moneter, bank sentral mempunyai wewenang
untuk
mengeluarkan
dan
mengedarkan
uang
kartal.
Selain
menciptakan uang kartal, dalam prakteknya Bank Indonesia juga menerima simpanan giro bank umum. Uang kartal dan simpanan bank umum di bank sentral selanjutnya disebut sebagai uang primer (base money). Dalam praktek uang primer tersebut diberi simbol M0. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi uang primer perlu diketahui terlebih dahulu Neraca Otoritas Moneter. Di Indonesia, neraca tersebut secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel 2. Neraca Otoritas Moneter di Indonesia Aktiva Aktiva Luar Negeri Bersih
(ALNB)
Aktiva Dalam Negeri Bersih
(ADNB)
• Tagihan bersih pada pemerintah pusat • Tagihan pada sektor swasta domestik
Pasiva Uang Kartal • Di masyarakat
(C)
• Di bank umum
(R)
Saldo giro
• Tagihan pada bank umum
• Milik bank umum • Milik masyarakat
Aktiva Lainnya Bersih M0
M0
Sumber : Solikin dan Suseno, 2002.
Secara garis besar, sisi pasiva Neraca Otoritas Moneter memuat komponen-komponen uang primer, yaitu terdiri dari : (i) uang kartal, dan (ii) saldo rekening giro atau cadangan milik bank umum dan masyarakat di Bank Indonesia. Sementara itu, dari sisi aktiva, neraca otoritas moneter yang
mempengaruhi uang primer yaitu (i) aktiva luar negeri bersih, (ii) aktiva dalam negeri bersih, dan (iii) aktiva lainnya bersih.
2.1.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar Untuk mengetahui hubungan antara uang primer (M0) dengan uang beredar (M1 dan M2) maka perlu diketahui terlebih dahulu konsep pengganda uang (money multiplier). Konsep ini muncul sejalan dengan kondisi bahwa dalam menciptakan uang giral dan uang kuasi, bank tidak harus menjamin sepenuhnya uang tersebut dengan uang tunai yang ada di kasnya. Berdasarkan Neraca Otoritas Moneter, diketahui bahwa secara umum, uang primer (M0) terdiri dari uang kartal (C) dan saldo giro bank umum di bank sentral (R). Sementara itu, uang beredar dalam arti sempit (M1) terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D), sedangkan uang beredar dalam arti luas (M2) terdiri dari M1 ditambah uang kuasi (T). Konsep tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut (Solikin dan Suseno, 2002) : M0 = C + R
(2.1)
M1 = C + D
(2.2)
M2 = C + D +T
(2.3)
Dengan mendefinisikan sebagai C / D = c (currency ratio), T / D = t (time and saving deposit ratio), dan R /( D + T ) = r (reserve ratio), maka didapat angka pengganda uang untuk masing-masing M 1 dan M 2 (yang disimbolkan dengan mm1 dan mm2) yang dapat menggambarkan interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat, yaitu :
mm1 = M 1 / M 0 =
c +1 c + [r × (t + 1]
mm2 = M 2 / M 0 =
c + t +1 c + [r × (t + 1]
(2.4) (2.5)
Dari persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka pelipat ganda uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pelipat ganda uang, yaitu currency ratio, time and saving deposit ratio, dan reserve ratio. Angka pelipat ganda uang senantiasa berubah-ubah sejalan dengan pola interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat.
2.2.
Teori Kuantitas Uang
Menurut paham klasik, uang tidak mempunyai pengaruh terhadap sektor riil, tidak ada pengaruhnya terhadap tingkat bunga, kesempatan kerja atau pendapatan nasional. Pengaruh uang hanyalah terhadap harga-harga barang. Bertambahnya uang beredar akan mengakibatkan kenaikan harga saja. Namun, menurut kaum monetaris, uang mempunyai pengaruh terhadap sektor riil.
2.2.1. Teori Irving Fisher
Fisher berusaha untuk mengobservasi hubungan antara kuantitas uang M (jumlah uang beredar) dengan jumlah total pengeluaran pada komoditi akhir (barang dan jasa) P x Y (Mishkin, 2001). Konsep yang menyediakan hubungan antara M dengan P x Y sering disebut sebagai kecepatan uang (velocity of money), yaitu tingkat perputaran uang atau seberapa banyak rata-rata satu unit rupiah yang
dibelanjakan dalam bentuk barang dan jasa yang diproduksi (final goods) dalam ekonomi. Velocity of money (V) didefinisikan lebih tepat sebagai pengeluaran total (PxY) dibagi dengan kuantitas uang (M) atau
V = (P × Y ) / M
(2.6)
Dengan mengalikan kedua sisinya dengan M, persamaan untuk pertukaran (equation of exchange) adalah sebagai berikut :
M ×V = P × Y
(2.7)
Persamaan (2.7) di atas menggambarkan bahwa jumlah kuantitas uang dikali dengan seberapa banyak uang tersebut dibelanjakan dalam satu periode harus sama dengan pendapatan nasional nominal. Persamaan (2.7) juga bisa disebut persamaan identitas, yang artinya bahwa secara definisi memang dibenarkan. Persamaan tersebut tidak menjelaskan apakah pada saat M berubah, pendapatan nominal (P x Y) akan berubah ke arah yang sama; peningkatan M misalnya harus diimbangi dengan penurunan V sehingga perkalian antara M dengan V (M x V) tidak berubah. Agar persamaan identitas tersebut dapat dijadikan teori dalam melihat bagaimana pendapatan nominal ditentukan, perlu memahami faktor-faktor yang menjadi penentu dalam velocity. Irving Fisher mengemukakan bahwa velocity dipengaruhi oleh institusi yang ada dalam ekonomi tersebut, yang mana setiap individu dapat melakukan transaksi. Jika masyarakat lebih banyak menggunakan kartu kredit atau kartu debit dalam melakukan transaksi, maka konsekuensinya penggunaan uang secara tunai dalam aktivitas ekonomi akan berkurang. Fisher berpandangan bahwa
institusional dan fasilitas teknologi dalam perekonomian akan berdampak pada velocity hanya pada jangka panjang. Pandangan Fisher bahwa velocity adalah konstan dalam jangka pendek menjabarkan kondisi persamaan (2.7) di atas. Ketika kuantitas uang M meningkat dua kali lipat, M x V juga akan meningkat sebesar dua kali lipat, begitu juga dengan P x Y (nilai dari pendapatan nominal). Oleh karena para ekonom klasik (termasuk Irving Fisher) berpikiran bahwa tingkat upah (wages) dan tingkat harga (prices) bergerak fleksibel (completely flexible), mereka percaya bahwa tingkat output agregat Y yang diproduksi pada keadaan normal akan tetap berada pada tingkat full employment. Dengan demikian, variabel Y dalam persaman (2.7) dapat diperlakukan konstan dalam jangka pendek. Teori kuantitas uang menyatakan bahwa jika M meningkat dua kali lipat, P juga harus meningkat sebesar dua kali lipat karena V dan Y konstan. Bagi para ekonom klasik, teori kuantitas uang menyediakan penjelasan mengenai pergerakan tingkat harga. Pergerakan pada tingkat harga menghasilkan perubahan hanya pada kuantitas uang (Mishkin, 2001). Pada saat pasar uang berada pada kondisi keseimbangan, kuantitas uang M yang dipegang oleh masyarakat akan sama dengan kuantitas uang yang diminta (Md). Dengan demikian, variabel M dalam persamaan (2.7) dapat diganti dengan Md. Apabila menggunakan k untuk mempresentasikan nilai (1/V), persamaan (2.7) dapat ditulis kembali sebagai berikut : Md = k × PY
(2.8)
Persamaan (2.8) menjelaskan bahwa oleh karena k adalah konstan, tingkat transaksi yang dihasilkan oleh PY uang tetap menentukan kuantitas uang Md yang diminta masyarakat. Dengan demikian, teori kuantitas uang yang dikemukakan oleh Fisher memberi kesan bahwa tingkat permintaan uang merupakan fungsi pendapatan murni, dan tingkat harga tidak memiliki dampak terhadap tingkat permintaan uang. Fisher mendapatkan kesimpulan ini karena dia percaya bahwa masyarakat memegang uang hanya untuk melakukan transaksi dan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan berapa banyaknya uang yang ingin dipegang. Tingkat permintaan uang ditentukan oleh : 1. Tingkat transaksi yang ditentukan oleh pendapatan nominal PY. 2. Institusi yang terdapat dalam ekonomi tersebut, yang mempengaruhi cara masyarakat melakukan transaksi yang dapat menentukan velocity dan juga k.
2.2.2. Pendekatan Cambridge
Marshall memandang persamaan Irving Fisher dengan sedikit berbeda. Dia tidak menekankan pada perputaran uang (velocity) dalam suatu periode melainkan pada bagian dari pendapatan yang diwujudkan dalam bentuk uang kas. Walaupun pada akhirnya persamaan mereka menghasilkan hal yang sama dengan Fisher (Md = k x PY), pendekatan mereka berbeda secara signifikan. Pendekatan mereka tidak melihat bahwa tingkat permintaan uang hanya ditentukan transaksi. Sebaliknya, para ekonom Cambridge juga menyatakan bahwa seberapa banyak uang yang ingin dipegang oleh masyarakat ikut berpengaruh terhadap Md.
Dalam model yang dikembangkan oleh ekonom Cambridge terdapat dua alasan mengapa orang ingin memegang uang, yaitu : 1. Medium of exchange. Fungsi uang sebagai alat pertukaran yang dapat digunakan masyarakat dalam bertransaksi dan komponen transaksi Md proporsional terhadap pendapatan nominal. 2. Store of wealth. Fungsi uang yang kedua ini memberi ide kepada ekonom Cambridge bahwa tingkat kekayaan seseorang juga berpengaruh terhadap tingkat permintaan uang. Ketika kekayaan meningkat, orang tersebut perlu menyimpannya ke dalam kuantitas aset yang lebih besar-salah satunya dalam bentuk uang. Oleh karena pihak Cambridge percaya bahwa kekayaan (nominal) proporsional terhadap pendapatan (nominal), mereka juga percaya bahwa kekayaan merupakan komponen dari permintaan uang yang proporsional terhadap pendapatan nasional. Terlihat bahwa kelompok Cambridge setuju dengan pendapat Fisher yang menyatakan tingkat suku bunga tidak memiliki peranan atas tingkat permintaan uang dalam jangka pendek. Walaupun ekonom Cambridge sering memperlakukan k sebagai variabel yang konstan dan setuju dengan Fisher bahwa pendapatan nominal ditentukan oleh kuantitas uang, pendekatan mereka memperbolehkan tiap individu untuk memilih seberapa banyak uang yang akan dipegangnya. Keadaan ini memperbolehkan kemungkinan variabel k untuk berfluktuasi dalam jangka pendek. Sebab, keputusan tentang penggunaan uang untuk menyimpan kekayaan akan bergantung pada hasil dan ekspektasi imbal balik pada aset lain yang juga berfungsi sebagai alat penyimpan kekayaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pandangan Fisher berbeda dari kelompok Cambridge dalam hal faktor teknologi dan tidak adanya pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang dalam jangka pendek. Ekonom Cambridge lebih memfokuskan pada pilihan tiap individu dan menyatakan secara implisit bahwa tingkat bunga tidak berpengaruh terhadap permintaan akan uang.
2.3.
Teori Permintaan Uang Keynes
Keynes mengesampingkan teori klasik yang menyatakan bahwa velositas uang itu konstan dan mulai mengembangkan teori tentang uang yang menekankan pentingnya tingkat suku bunga (interest rate) (Mishkin, 2001). Keynes mengembangkan dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan orang dalam memegang uang. Postulasinya menghasilkan tiga motif tentang permintaan akan uang, yaitu : motif transaksi, motif berjaga-jaga dan motif spekulasi. Tingkat permintaan uang berhubungan negatif dengan tingkat suku bunga. Jika suku bunga meningkat, tingkat permintaan uang akan turun. Dalam menggabungkan ketiga motif di atas, Keynes membedakan antara kuantitas nominal dengan kuantitas riil. Rumus yang diberikan adalah sebagai berikut : Md/P = f (i, Y) -+ Tanda negatif di bawah i menunjukkan bahwa permintaan terhadap uang riil berhubungan negatif terhadap tingkat suku bunga; tanda positif di bawah Y menunjukkan permintaan terhadap uang riil berhubungan positif dengan pendapatan.
2.4.
Modern Quantity Theory (Monetarist View)
Teori ini diperkenalkan oleh Milton Friedman yang merupakan versi baru dari The Quantity Theory. Friedman menekankan kepada hubungan antara jumlah uang dan harga, memandang money supply sebagai determinan utama terhadap tingkat harga. Aliran monetarist ini tidak lagi percaya perubahan-perubahan pada jumlah uang beredar hanya mempengaruhi tingkat harga. Peranan uang bisa lebih luas daripada itu. Dalam jangka pendek uang adalah determinan yang penting dalam kegiatan ekonomi. Friedman menganggap bahwa secara umum mau memegang uang karena uang adalah salah satu bentuk aktiva (aset) yang memberikan manfaat karena merupakan sumber daya beli yang likuid. Dalam perumusan fungsi permintaan uang, Friedman melakukan beberapa penyederhanaan. Dia menganggap bahwa pemilik kekayaan dapat memilih lima bentuk kekayaan untuk dipegang, yaitu : uang tunai (M), obligasi (B), sahamsaham (E), barang-barang fisik bukan manusiawi (G), serta kekayaan manusiawi (H). Dalam bentuk persamaan, maka permintaan akan uang tunai dari seseorang individu adalah : M = f (W , P, R, R − %ΔR, R − %ΔR + %ΔP,%ΔP, K , u )
2.5.
Inventory-theoritic Approach
Pendekatan ini diperkenalkan oleh Boumol dan Tobin yang merupakan dua tokoh utama pengembangan Teori Keynes dari segi permintaan uang untuk transaksi yang melihat permintaan uang dari segi individu. Masalahnya adalah penentuan berapa besarnya uang kas yang harus dipegang setiap saat yang
memiliki biaya (opportunity cost) paling rendah. Hal ini dilakukan mengingat bahwa kekayaan individu tersebut selain berupa uang kas dapat berupa surat berharga yang menghasilkan bunga, serta adanya biaya untuk menukarkan surat berharga dengan uang kas (Nopirin, 2000). Masalah penentuan jumlah uang kas yang optimum (dengan biaya paling rendah) dapat dijelaskan sebagai berikut, misalkan : T
: Nilai riil pendapatan selama satu periode (satu bulan)
R
: Tingkat bunga (satu bulan)
B
: Biaya perantara (broker’s fee) yang besarnya tetap
c
: Nilai riil surat berharga yang ditukarkan dengan uang yang setiap kali diambil dari tabungan seandainya semua pendapatan yang diperoleh ditabung. Jadi besarnya volume transaksi selama satu bulan adalah T/C, yakni
jumlah pendapatan dibagi dengan besarnya uang kas yang setiap saat akan dipegang. Sementara biaya perantaranya sebesar bT/C. Karena individu tersebut memegang uang kas sebesar C setiap periode yang dibelanjakan secara merata selama satu periode dan menjual surat berharga (atau mengambil tabungan) lagi ketika uang kasnya habis, maka rata-rata jumlah uang kas yang dipegang setiap saat sebesar C/2 (Nopirin, 2000). Dengan demikian, biaya total untuk memegang uang kas (TC) terdiri dari biaya perantara ditambah biaya bunga (rC/2) : TC =
bT rC + C 2
Jumlah uang kas (C) yang optimal, dengan biaya yang paling rendah diperoleh dengan mencari turunan pertama dari persamaan di atas terhadap C dan sama dengan nol : 2bT r Maka persamaan permintaan uang kas riil dapat dinyatakan sebagai berikut : C=
Md C 1 2bT = = P 2 2 r Secara ringkas, pendapatan total dari kepemilikan obligasi selama satu tahun terdiri dari tingkat bunga ditambah keuntungan dari perubahan nilai (capital gain) yang diformulasikan sebagai berikut (Nopirin, 2000) :
e−r + g −r +
r −I re
di mana e : pendapatan total yang diharapkan; r : tingkat bunga; g : % keuntungan atau kerugian dari perubahan nilai obligasi; re : tingkat bunga yang diharapkan pada masa yang akan datang. Dari penjelasan di atas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut, apabila e > 0, maka investor akan mewujudkan kekayaan dalam bentuk obligasi. Sebaliknya jika e < 0, maka investor akan memilih kekayaan dalam bentuk uang kas. Dengan demikian, jelas bahwa permintaan uang untuk tujuan spekulasi berbanding terbalik dengan tingkat bunga yang berlaku, sesuai dengan pernyataan Keynes tentang harapan (expectation) yang ditentukan oleh tingkat suku bunga normal. Kesimpulan dari Teori Tobin ini dapat dipandang sebagai penyempurnaan
teori Keynes, yaitu dengan mengemukakan adanya anggapan ketidakpastian (uncertainty) dan diversifikasi aset. Ide dasar dari analisis Boumol dan Tobin adalah adanya keuntungan dari biaya kesempatan memegang uang (opportunity cost of holding money) berupa suku bunga yang bisa diperoleh dari menyeimbangkan aset-aset lain. Hal tersebut merupakan keuntungan lain dari memegang uang akibat menghindari biaya transaksi. Ketika suku bunga meningkat, masyarakat berusaha bertindak ekonomis dalam memegang uang untuk tujuan transaksi karena biaya kesempatan memegang uang meningkat (Nopirin, 2000).
2.6.
Definisi Business Cycle
Business cycle didefinisikan sebagai fluktuasi dalam aktivitas ekonomi agregat yang berulang tetapi non periodik (kurun waktunya tidak sama), disebabkan oleh perubahan kondisi permintaan. Hal ini dicerminkan oleh fluktuasi GNP riil di sekitar garis trend (Supriana, 2004). Kajian penelitian business cycle modern umumnya bertujuan untuk menentukan penyebab terjadinya fluktuasi. Penyebab terjadinya fluktuasi ini disebut guncangan (shocks). Deviasi output riil agregat dari trend digunakan sebagai definisi untuk fluktuasi ini.
2.7.
Teori Business Cycle
Teori Business Cycle dikemukakan untuk mencari sumber penyebab terjadinya siklus. Teori yang menyebutkan bahwa guncangan eksogen merupakan penyebab terjadinya fluktuasi disebut sebagai teori business cycle eksogen. Teori
business cycle eksogen terdiri dari teori Real Business Cycle (RBC), Keynesian, dan Monetarist.
2.7.1. Teori Real Business Cycle
Teori siklus bisnis riil menyatakan bahwa deviasi dari tingkat alami tidak signifikan dan kebanyakan fluktuasi seharusnya dianggap sebagai perubahan dalam tingkat output alami atau keseimbangan (Mankiw, 2000). Menurut teori siklus bisnis riil, fluktuasi ekonomi jangka pendek seharusnya dijelaskan sambil mempertahankan asumsi model klasik, yang digunakan untuk mempelajari jangka panjang. Teori siklus bisnis riil mengasumsikan bahwa harga sepenuhnya fleksibel, bahkan dalam jangka pendek. Teori ini konsisten dengan dikotomi klasik : dalam teori ini, variabelvariabel nominal, seperti penawaran uang dan tingkat harga, tidak mempengaruhi variabel riil, seperti output dan kesempatan kerja. Teori siklus bisnis riil menekankan perubahan-perubahan riil dalam perekonomian, seperti perubahan dalam teknologi produksi, yang dapat mengubah tingkat alamiah perekonomian. “Riil” dalam teori siklus bisnis riil mengacu pada pengenyampingan teori variabel nominal dalam jangka pendek. Menurut teori siklus bisnis riil, guncangan terhadap kemampuan kita untuk memproduksi barang dan jasa mengubah tingkat output dan kesempatan kerja alamiah. Guncangan ini tidak diinginkan, tapi tak dapat dihindari. Begitu guncangan terjadi, GDP, kesempatan kerja, dan variabel-variabel makroekonomi lain akan berfluktuasi.
Teori siklus bisnis riil mengasumsikan bahwa perekonomian kita mengalami fluktuasi dalam teknologi, yang menentukan kemampuan kita untuk mengubah input (modal dan tenaga kerja) menjadi output (barang dan jasa), dan bahwa fluktuasi dalam teknologi ini menyebabkan fluktuasi dalam output dan kesempatan kerja. Teori siklus bisnis riil sering menjelaskan resesi sebagai periode “kemunduran teknologi.” Menurut model ini, output dan kesempatan kerja turun selama resesi karena teknologi produksi menurun, yang mengurangi output dan insentif untuk bekerja.
2.7.2. Teori New Keynesian
Sebaliknya, ilmu ekonomi Keynesian baru didasarkan pada premis bahwa
market-clearing model teori siklus bisnis riil tidak dapat menjelaskan fluktuasi ekonomi jangka pendek. Keynes menekankan bahwa permintaan agregat adalah determinan primer pendapatan nasional dalam jangka pendek. Menurut logika, output perekonomian dapat berfluktuasi baik karena tingkat output alami (natural
rate of output) berfluktuasi atau karena output perekonomian menyimpang dari tingkat alamiahnya. Teori New Keynesian menekankan pentingnya ketidakstabilan permintaan agregat sebagai penyebab terjadinya fluktuasi ekonomi makro. Teori ini sama dengan teori business cycle moneter, menyatakan bahwa guncangan permintaan uang penting terhadap fluktuasi ekonomi. Namun guncangan moneter bukan merupakan satu-satunya penyebab fluktuasi seperti pendapat business cycle moneter.
2.7.3. Teori Business Cycle Moneter
Teori business cycle moneter menekankan pentingnya guncangan permintaan, khususnya uang terhadap fluktuasi ekonomi, tetapi hanya dalam jangka pendek. Dalam business cycle moneter dan Keynesian uang mempengaruhi output, sebaliknya teori RBC menyatakan bahwa output yang mempengaruhi uang.
2.8.
Metode Penelitian Empirik Business Cycle
2.8.1. Hodrick Prescott Filter
Hodrick-Prescott filter (HPF) merupakan pendekatan statistik yang secara khusus mengestimasi trend dan komponen siklikal atau untuk menghilangkan komponen trend dan siklikal dalam suatu data deret waktu (time series). Fakta secara empiris (stylized fact) menunjukkan bahwa business cycle Indonesia dianalisis dengan memisahkan komponen trend dan komponen siklikal dari data
time series makroekonomi. Dalam analisis Hodrick Prescott filter, komponen siklikal variabel makroekonomi dapat dilihat pola dan karakteristiknya dengan melihat korelasinya dengan variabel referensi.
2.8.2. Cross Correlation
Cross Correlation merupakan suatu pendekatan untuk melihat de-trended berdasarkan lag (periode ke belakang) dan lead (periode ke depan). De-trended merupakan cara untuk memisahkan komponen trend, sehingga sebelum cross-
correlation maka ditentukan terlebih dahulu variabel trend dan siklikal berdasarkan hasil analisis HPF. Cross Correlation dapat memperlihatkan antara
lag detrended dan lead detrended antara suatu variabel. Cross Correlation menunjukkan detrended dengan komponen siklikal mempunyai korelasi atau tidak.
2.8.3. Indikator Business Cycle
Indikator Business Cycle (BCI) dibagi ke dalam tiga kelompok indikator :
leading, co-incident dan lagging indicator. Falsafahnya adalah, leading indicator akan mencapai titik balik sebelum the rest of economy sehingga indikator ini dikatakan memiliki daya prediksi (predictive power). Informasi tentang leading
indicator dapat membantu investasi dan keputusan perencanaan lainnya. Coincident indicator bergerak pada waktu bersamaan dengan ekonomi dan lagging indicator menunjukkan bahwa ekonomi telah melampaui titik balik.
2.9.
Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan mengenai jumlah uang beredar. Penelitian mengenai jumlah uang beredar pernah dilakukan Angela (2004), studi yang dilakukan mengambil topik tentang pengaruh perkembangan perbankan terhadap permintaan uang di Indonesia dan implikasi hasil penelitian terhadap kebijakan moneter di Indonesia. Dalam penelitian kali ini yang digunakan adalah uang dalam arti luas yaitu M2. Pada penelitian ini melihat pengaruh jumlah bank yang ada di Indonesia terhadap permintaan uang di Indonesia. Alat analisis yang digunakan dalam mengolah datanya adalah Vector
Autoreggressive (VAR). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa perkembangan
perbankan di Indonesia dapat meningkatkan permintaan uang. Selain itu perkembangan perbankan dapat meningkatkan suku bunga dan menurunkan investasi, akibatnya output dan harga menjadi turun. Turunnya harga tersebut dapat membantu tercapainya target kebijakan moneter di Indonesia. Ireland (2001) dalam papernya yang berjudul Money’s Role In The
Monetary Business Cycle menggunakan maximum likelihood untuk mengestimasi parameter model. Tetapi masih menyatakan bahwa uang memainkan suatu peran minimal di dalam monetary business cycle. Suatu model struktural kecil menyangkut monetary business cycle, menyiratkan real money balances, dengan
forward-looking kurva Philips. Model tersebut juga menyiratkan ukuran empiris dari real balances harus disesuaikan untuk pergeseran dalam uang menuntut dengan teliti mengisolasikan dan mengukur efek dinamis uang atas inflasi dan output. Siregar (2001) dalam disertasinya yang berjudul Empirical Evaluation of
Rival Theories of The Business Cycle : Applications of Structural VAR Models to The New Zealand Economy. Sasaran dari disertasinya ini akan menyelesaikan empirical test untuk tiga rival teori siklus bisnis dengan menggunakan data makroekonomi New Zealand. Ada tiga rival teori siklus bisnis dalam disertasi ini yaitu, Real Business Cycle (RBC), New Keynesian (NK), dan Monetary Business
Cycle (MBC). Hasil penelitian ini menemukan bahwa guncangan pada sisi permintaan sama pentingnya seperti guncangan teknologi. Guncangan pada nilai tukar riil merupakan sumber fluktuasi yang paling utama dari sisi permintaan. Guncangan teknologi mampu menjelaskan fluktuasi output, nilai tukar riil, suku
bunga domestik, jam kerja dan permintaan uang. Sumber fluktuasi dominan lain adalah guncangan ketenagakerjaan, di dalam model NK-SVAR digambarkan sebagai suatu kenaikan harga jual yang timbul akibat guncangan dari suatu struktur pasar persaingan tidak sempurna.
2.10.
Kerangka Pemikiran Konseptual
Dengan sejumlah permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini, secara garis besar tahapan-tahapan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang dirumuskan, maka sebagai langkah awal dilakukan studi literatur melalui berbagai sumber mengenai teori-teori ekonomi dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan uang dan business cycle. Kemudian dibuat suatu hipotesis berdasarkan studi literatur tersebut. Hipotesis tersebut akan diuji dengan membandingkannya terhadap data yang telah dianalisis sesuai dengan permasalahan. Hasil analisis terhadap data tersebut kemudian dibandingkan dengan hipotesis. Sehingga pada akhirnya akan dicapai suatu kesimpulan dan berguna untuk merumuskan suatu saran.
Permasalahan : 1. Bagaimana bentuk korelasi antara uang dan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi? 2. Faktor apa yang paling dominan dalam mempengaruhi permintaan uang di Indonesia? 3. Bagaimanakah pengaruh uang terhadap siklus bisnis?
DATA
Adjusting for seasonality
VAR yang dikombinasikan dengan VECM
HPF : • Estimasi komponen trend • Estimasi komponen siklikal
Estimasi VECM
Detrended : Pemisahan komponen trend dan siklikal
VD dan IRF
Cross Correlation
Bentuk Korelasi Variabel dengan Variabel Referensi
Kesimpulan dan Saran Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual
2.11.
Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Terdapat perbedaan besaran koefisien korelasi antara jumlah uang beredar dan siklus bisnis sebelum dan setelah krisis. 2. Jumlah uang beredar secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat output. 3. Jumlah uang beredar secara signifikan berpengaruh terhadap siklus bisnis yang terjadi di Indonesia.
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle
Pemisahan komponen trend dan komponen siklikal dari data deret waktu (time series) ekonomi makro digunakan untuk menganalisis fakta empirik yang telah teruji (stylized fact) business cycle Indonesia. Komponen siklikal variabel ekonomi makro ini kemudian dianalisis pola dan karakteristiknya dengan melihat korelasinya dengan variabel referensi yakni PDB. Pendekatan statistik khusus untuk mengestimasi trend dan komponen siklikal yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah Hodrick-Prescott filter. Hodrick-Prescott filter digunakan untuk menghitung deret waktu τ Ct ke dalam komponen trend τt dan komponen siklikal Ct. Komponen trend yang bersifat stokastik dan berubah secara kontinu secara alamiah sepanjang waktu. Komponen trend dan komponen siklikal merupakan dua komponen yang tidak berkorelasi. Trend diperoleh dengan mengasumsikan bahwa jumlah total kuadrat turunan kedua dari τt adalah kecil. Jika τt adalah trend dari data deret waktu (time
series) yt, maka secara formal estimasi τt dapat diperoleh dengan meminimisasi fungsi kerugian (loss function) sebagai berikut (Supriana, 2004) : T
T −1
t −1
t =2
min{τ t }∑ ( yt − τ t ) 2 + λ ∑ [( yt −τ t ) ) − (τ t − τ t )]2
(3.1)
di mana : [yt- τt] merupakan komponen siklikal dalam Hodrick-Prescott filter. Masalah optimisasi ini dapat diselesaikan melalui syarat kecukupan (necessary
condition) di bawah ini :
− 2( yt − τ t ) + 2λ [(τ t − τ t −1 ) − (τ t −1 − τ t − 2 )]
(3.2)
− 4λ[(τ t +1 − τ t ) − (τ t − τ t −1 )] + 2λ[(τ t + 2 − τ t +1 ) − (τ t +1 − τ t )] = 0 Melalui aljabar sederhana dapat diperoleh : yt = (λL−2 − 4λL−1 + (6 + 1) − 4λL + λL2 )τ t
(3.3)
= ⎣λ (1 − L) 2 (1 − L−1 ) 2 + 1⎦τ t
= F ( L)τ t di mana L adalah lag operator dan F(L) adalah bentuk polinomial dari lag operator. Komponen siklikal [yt- τt] dapat dihitung melalui : CtHP = [F ( L) − 1][F ( L)] yt −1
(3.4)
di mana C(L) adalah bentuk polinomial dari lag operator. Nilai λ yang digunakan untuk data triwulanan adalah 1600 (Supriana, 2004). Secara operasional dekomposisi dengan Hodrick-Prescott filter dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) Microfit.
3.2.
Analisis Pola dan Karakteristik Business Cycle
Fluktuasi siklikal dideskripsi berdasarkan struktur korelasi silang (cross
correlation) dari komponen siklikal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui fakta empirik variabel ekonomi makro yang diobservasi. Jika komponen siklikal dari variabel ekonomi makro Xt, t = 1,...,t, maka koefisien korelasi silang antara Xt dengan komponen siklikal PDB dalam t, adalah ρ (j), j ε ( 0,±1,±2,...). Nilai ρ (j) untuk j = 0, memberikan informasi arah dan tingkat hubungan dari variabel relatif terhadap PDB.
Untuk j=0, koefisien korelasi silang dapat menunjukkan fase pergerakan (phase shift) komponen siklikal variabel Xj relatif terhadap siklikal PDB. Xj disebut leading (lagging) siklikal terhadap PDB jika ׀ρ(j) ׀mencapai maksimum untuk j < 0 (j > 0). Jika nilai maksimum secara absolut dicapai untuk j = 0, maka dikatakan Xj co-incident dengan siklus variabel referensi. Korelasi silang yang digunakan adalah korelasi silang Pearson. Volatilitas suatu variabel, dapat dilihat berdasarkan jauhnya simpangan (amplitudo) siklus variabel trend jangka panjangnya. Dalam analisisnya digambarkan oleh besarnya standar deviasi variabel.
3.3.
Metode Analisis Business Cycle Indonesia
3.3.1. Vector Autoregression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM)
Penelitian ini akan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR), yaitu suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag yang lain dari peubah lain yang ada dalam sistem itu sendiri. Jika data yang digunakan stasioner dan tidak terkointegrasi, maka metode VAR yang digunakan. Tetapi, jika data yang digunakan tidak stasioner namun terkointegrasi maka Vector Error Correction Model (VECM) yang digunakan. Keuntungan VAR dibanding metode ekonometri konvensional (Laksani, 2004) adalah sebagai berikut : 1. Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariat), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan
variabel di dalam persamaan itu. Jadi, dengan metode VAR ini dapat menangkap berbagai pola hubungan kausalitas antara variabel dalam sistem, dalam hal ini hubungan langsung maupun hubungan tak langsung. 2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan. 3. Metode VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous. 4. Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable endogen and exogen) di dalam model ekonometri konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah. 5. Karena VAR merupakan sub topik time series dalam ekonometri, maka analisa secara dinamis antar variabel sangat diperlukan. Dengan metode dekomposisi varians dan Impulse Response Function, hasil empiris dalam model VAR dapat menjelaskan pergerakan variabel dalam mempengaruhi seluruh variabel lain, atau pergerakan seluruh variabel lain dalam mempengaruhi satu variabel. Sebagai metode ekonometrika, VAR juga tidak luput dari berbagai kelemahan, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Model VAR boleh dikatakan terlalu ambisius bila argumentasi yang digunakan dalam menyusun teori baru ataupun menguji teori lama berdasarkan data time series yang ada. Karena betapapun hasilnya dari model
VAR, seorang peneliti dapat membenarkan dan membantah teori lama ataupun mengusulkan teori baru berdasarkan hasil empiris yang diperoleh. 2. Metode
VAR
tidak
mempermasalahkan
perbedaan
eksogenitas
dan
endogenitas. Hal ini akan menyebabkan berbagai implikasi kebijaksanaan yang kurang tepat bila semata-mata didasarkan pada hubungan antar variabel dalam sistem. Adapun beberapa tahap yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya: 1. Uji kestasioneran data dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. 2. Apabila hasil dari uji ADF mengandung akar unit atau dengan kata lain data tidak stasioner pada tingkat level, maka harus dilakukan penarikan differensial sampai data stasioner, dilakukan pengujian pada tingkat first difference atau second difference. Metode VAR dapat dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model (VECM). 3. Uji lag optimal VAR. Pada tahap pertama, akan dilihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria Schwarz Information Criterion (SC). Setelah mendapatkan ordo lag optimal, maka dalam penggunaan VECM ordo optimal dikurangi 1 menjadi (k-1). 4. Uji kointegrasi dilakukan dengan pendekatan Johansen dengan melihat nilai Trace Statistic.
5. Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD) untuk melihat perilaku dan peran shock masing-masing variabel terhadap variabel tertentu.
3.3.2.
Uji Unit-Root
Sebelum dilakukan analisis, maka data yang digunakan dalam penelitian ini harus diuji terlebih dahulu. Pengujian ini disebut pengujian awal (pre-test). Uji ini dilakukan karena asumsi yang digunakan dalam model bahwa data deret waktu yang digunakan adalah stasioner atau I(0). Kenyataannya, umumnya data deret waktu variabel ekonomi makro tidak stasioner atau mengandung unit-root. Uji unit-root dalam penelitian ini dilakukan dengan menerapkan uji ADF (Augmented Dickey Fuller test). Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner. Namun jika nilai ADF statistiknya ternyata lebih besar dari nilai MacKinnon Critical Value berarti data tersebut tidak stasioner. Jika variabel yang digunakan tidak stasioner maka harus didifferensiasi terlebih dahulu. Jika variabel mencapai I(1), maka variabel tersebut harus didifferensiasi terlebih dahulu sebanyak satu kali untuk menjadi stasioner. Jika variabel mencapai I(2), maka variabel tersebut harus didifferensiasi sebanyak dua kali untuk menjadi stasioner. Thomas (1997) menyebutkan bahwa pada dasarnya Augmented Dickey Fuller (ADF) test melakukan regresi terhadap persamaan berikut : ΔX t = α + φ * X t −1 + φ1* ΔX t − 2 + ... + φ r*−1 ΔX t − r +1 + u t
(3.5)
Hipotesis yang diuji adalah : H0 : φ * = 0 (data tidak stasioner) H1 : φ * < 0 (data stasioner) Dimana φ * = φ1 + φ 2 + ... + φ r − 1 . Nilai φ * diestimasi melalui metode Ordinary Least Squares (OLS) dengan statistik uji yang digunakan, adalah : t hit = φ * sφ *
(3.6)
Dengan : sφ * = Simpangan baku dari φ *
Jika nilai t hit lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value, maka keputusan yang diambil adalah tolak H0. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.
3.3.3. Penentuan Lag Optimal
Terdapat beberapa tahap bentuk pengujian yang akan dilakukan untuk memperoleh panjang lag optimal. Pada tahap pertama akan dilihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil
(stasioner) jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Information Criteria (SIC) yang dirumuskan sebagai berikut :
⎛ e AIC (q ) = log⎜⎜ ∑ i ⎝ T
2
⎞ ⎟+2q ⎟ T ⎠
⎛q⎞ SIC (q ) = AIC (q ) + ⎜ ⎟(log T − 1) ⎝T ⎠
dengan
∑e
i
2
(3.7) (3.8)
adalah jumlah residual kuadrat, sedangkan T dan q masing-masing
merupakan jumlah sampel dan jumlah variabel yang beroperasi dalam persamaan. Untuk menetapkan tingkat lag yang paling optimal, model VAR atau VECM harus diestimasi dengan berbeda-beda tingkat lag-nya, kemudian dibandingkan nilai AIC dan SICnya. Nilai AIC dan SIC yang paling kecil dipakai sebagai patokan pada tingkat lag paling optimal, karena nilai AIC atau SIC minimum menggambarkan residual (error) yang paling kecil.
3.3.4.
Uji Hubungan Kointegrasi
Uji kointegrasi digunakan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antara variabel-variabel dalam model. Enders (2004) dalam bukunya Applied Econometric Time Series menyatakan bahwa kointegrasi merujuk pada kombinasi
linier antara variabel-variabel yang tidak stasioner. Engle dan Granger (1987) dalam Enders (2004) mengemukakan bahwa hubungan kointegrasi hanya bisa dibentuk oleh variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama. Selain itu, menurut Engle dan Granger komponenkomponen dari vektor xt = ( x1t , x 2t ,..., x nt ) dikatakan terkointegrasi pada order (d,b), jika : 1. Semua komponen-komponen dari xt terintegrasi pada order d.
2. Terdapat vektor β = ( β1 , β 2 ,..., β n ) sehingga kombinasi linier dari
βxt = β1 x1t + β 2 x 2t + ... + β n x nt terintegrasi pada order (d-b) dengan b>0 Pada dasarnya terdapat beberapa cara untuk melakukan uji kointegrasi, yaitu: uji kointegrasi Engle-Granger dan uji kointegrasi Johansen. Namun, yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang disebutkan terakhir yaitu uji kointegrasi Johansen. Prosedur pengujian kointegrasi Johansen merupakan generalisasi multivariat dari Dickey-Fuller Test (Enders, 2004). Seperti halnya the augmented
dickey fuller test, model multivariat juga dapat digeneralisasi menjadi : xt = A1 xt −1 + A2 xt − 2 + ... + A p X t − p + ε t
(3.9)
Persamaan (3.9) juga dapat ditransformasi menjadi : p −1
Δxt = πxt −1 + ∑ π i Δxt −i + ε t
(3.10)
i =1
di mana : p
π = −( I − ∑ Ai ) i =1
p
π i = − ∑ Aj j =i +1
Pengujian dilakukan untuk mengevaluasi rank dari matriks π . Rank dari matriks π
merupakan jumlah vektor kointegrasi yang independen. Jika
rank( π )=0, maka matriks bernilai nol dan persamaan (3.10) merupakan persamaan VAR biasa dalam bentuk first difference. Jika rank( π )=1, terdapat satu vektor kointegrasi dan bagian πxt −1 merupakan error correction terms.
Jumlah vektor kointegrasi dapat diperoleh dengan melihat signifikansi dari characteristic roots dari π . Pengujian jumlah characteristic roots dapat dilakukan dengan menggunakan dua statistik uji, yaitu : n
λtrace (r ) = −T ∑ ln(1 − λˆi )
(3.11)
λ max (r , r + 1) = −T ln(1 − λˆr +1 )
(3.12)
i = r +1
di mana :
λˆi
= Estimasi nilai characteristic roots (yang disebut eigenvalues) yang diperoleh dari estimasi matriks π
T
= Jumlah observasi yang digunakan
3.3.5. Vector Error Correction Model
Model VECM disusun apabila rank kointegrasi (r) lebih besar dari nol. Model VECM ordo p dan rank kointegrasi r dituliskan sebagai : p −1
Δyt = A0 + πy t −1 + ∑ φ ∗ Δy t −1 + ε t t =1
di mana :
π = αβ β = vektor kointegrasi berukuran rx1, α = vektor adjustment berukuran rx1, p
φi ∗ = − ∑ Aj j =i +1
(3.13)
Pendugaan
parameter
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
kemungkinan maksimum. Model VECM dapat dituliskan dalam model VAR dengan menguraikan nilai diferensiasi : Δy t = y t − y t −1
(3.14)
3.3.6. Variance Decomposition
Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan variance error dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adalah Variance Decomposition (VD). Metode ini dapat mencirikan struktur dinamis dalam model VAR. Dengan metode ini pula dapat dilihat
kekuatan
dan
kelemahan
dari
masing-masing
variabel
dalam
mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Variance Decomposition merinci ragam dari peramalan galat menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain maka akan dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel lainnya.
3.3.7. Impulse Response Function
Seperti telah disebutkan di muka, VAR merupakan teknik yang membiarkan data menentukan sendiri sruktur dinamis dari sebuah model, sehingga setelah estimasi dilakukan, adalah penting untuk mencirikan struktur
dinamis tersebut secara jelas. Sayangnya, koefisien hasil estimasi model VAR sulit diartikan dan kurang dapat diandalkan. Untuk dapat mencirikan struktur dinamis dalam model, menurut Sims, cara yang paling baik adalah dengan menganalisa respon dari model (sistem) terhadap kejutan (shocks). IRF dapat melakukan hal ini dengan menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.
3.3.8. Jenis dan Sumber Data
Jenis data time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), dan International Monetary Fund (IMF). Data-data yang digunakan adalah output
(PDB), tingkat suku bunga deposito berjangka 3 bulan (3 month time deposits), US Treasury Bills Rate 3 Month, nilai tukar, uang beredar (M2), uang kartal, uang
giral, dan Indeks Harga Konsumen. Data yang digunakan merupakan data statistik triwulanan mencakup periode 1990-2005, disajikan pada Lampiran 1.
3.3.9. Model Penelitian VAR
Hubungan kausalitas antarvariabel dalam sistem persamaan multivariat lebih rumit dibandingkan pada sistem persamaan bivariat. VAR membuat seluruh variabel menjadi endogenous dan menurunkan distributed lag-nya. Spesifikasi model VAR dengan variabel yang dipakai secara umum dan ordo VAR sebanyak k adalah sebagai berikut :
VAR (k), Zt = A0 + A1Z t-1 + A2Z t-2 + ... +AkZ t-k + εt
(3.15)
di mana : Zt
= vektor peubah tak bebas (y1,t,.......yn,t) berukuran n x 1
A0
= vektor intersep berukuran n x 1
A1
= matriks parameter berukuran n x n untuk setiap i = 1,2,...,p
εt
= vektor sisaan (ε1,t........εn,t) berukuran n x 1
Model VAR dalam penelitian ini merupakan adopsi dari model Supriana (2004). Spesifikasi model VAR Business Cycle Indonesia adalah : rwt
=
a11(L) a12(L) a13(L) a14(L) a15(L) a16(L)
rwt
e1t
yt
=
a21(L) a22(L) a23(L) a24(L) a25(L) a26(L)
yt
e2t
qt
=
a31(L) a32(L) a33(L) a34(L) a35(L) a36(L)
qt
rt
=
a41(L) a42(L) a43(L) a44(L) a45(L) a46(L)
rt
e4t
mt
=
a51(L) a52(L) a53(L) a54(L) a55(L) a56(L)
mt
e5t
pt
=
a61(L) a62(L) a63(L) a64(L) a65(L) a66(L)
pt
e6t
+
e3t
di mana : mt : uang beredar (milyar rupiah) yt : PDB (milyar rupiah) pt : tingkat harga rt : tingkat suku bunga dalam negeri (desimal) rwt : tingkat suku bunga luar negeri (desimal) qt : nilai tukar (Rp/US$) Data time series yang digunakan dalam penelitian ini dibagi atas dua kelompok: kelompok pertama, untuk analisis indikator business cycle, kelompok kedua untuk analisis model VAR. Untuk kelompok yang pertama, tidak dilakukan
pengujian awal (pre-test) untuk data ini. Data langsung diestimasi untuk memisahkan komponen trend dan siklusnya. Data ini berasal dari variabelvariabel: PDB riil berdasar harga konstan 1993, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar, uang kartal, uang giral, M2 digunakan sebagai pendekatan terhadap permintaan uang, tingkat suku bunga deposito berjangka 3 bulan (3 month time deposits), suku bunga jangka pendek AS (US Treasury Bills Rate 3 Month), dan
Indeks Harga Konsumen (2000=100). Sesuai dengan pendapat Sims dalam Nurdin (2003), semua data estimasi yang dipergunakan VAR adalah dalam bentuk logaritma, kecuali data yang sudah dalam bentuk persen seperti tingkat suku bunga. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan analisis, karena baik dalam impulse response maupun variance decomposition pengaruh shock dilihat dalam persentase. Berdasarkan hal
tersebut, maka dalam penelitian ini kecuali variabel tingkat suku bunga dalam negeri dan tingkat suku bunga luar negeri, semua diubah dalam bentuk logaritma.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini disajikan hasil dianalisis karakteristik fakta yang telah teruji secara empirik (main stylized fact) fluktuasi siklikal variabel makro ekonomi Indonesia antara tahun 1990 dan 2005. Secara spesifik tujuan tulisan ini adalah untuk menggambarkan evolusi trend dan fluktuasi siklikal PDB, mengestimasi komponen trend dan siklikal variabel ekonomi makro, serta menggambarkan secara luas keterkaitan siklikal indikator ekonomi makro lainnya dengan siklikal PDB pada periode di atas. Metode yang digunakan untuk mengestimasi komponen trend dan siklikal adalah Hodrick-Prescott filter dan untuk menganalisis keterkaitan siklikal indikator ekonomi digunakan korelasi silang.
4.1.
Trend dan Siklikal Business Cycle Indonesia
4.1.1. Trend dan Siklikal Variabel Referensi
Untuk melihat karakteristik fluktuasi suatu perekonomian, maka penting untuk mendefinisikan magnitude ekonomi makro. Magnitude ekonomi makro ditentukan oleh siklus variabel referensi. Penelitian ini juga memilih PDB riil sebagai variabel referensi, karena PDB riil dianggap sebagai salah satu alat ukur aktivitas ekonomi yang paling akurat dalam level agregat. Data triwulanan PDB riil Indonesia dalam bentuk logaritma dari tahun 1990 sampai tahun 2005 dapat dilihat dalam Gambar 3. Grafik menunjukkan bahwa dari segi magnitude, PDB riil Indonesia selama 20 tahun (1990.I-1998.I) terus mengalami peningkatan.
Namun, mulai triwulan kedua tahun 1998 sampai triwulan kedua tahun 1999 mengalami penurunan, setelah itu kembali mengalami peningkatan. Grafik juga menunjukkan adanya fluktuasi musiman (seasonal oscillation).
Gambar 3. Grafik log PDB riil Indonesia Triwulanan
Kehadiran fluktuasi musiman merupakan karakteristik umum yang dijumpai dalam aktivitas ekonomi yang umumnya cenderung menguat dalam triwulan keempat dan terkompensasi dengan penurunan selama triwulan pertama dalam satu tahun kalender. Adanya perilaku musiman ini mempunyai implikasi penting baik secara empirik maupun teoritik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya dalam metode penelitian, dengan menggunakan teknik HP filter komponen siklikal diekstraksi dari time series yang telah lebih dahulu dikeluarkan dari pengaruh fluktuasi musiman (seasonally adjusted).
Gambar 4. Grafik Trend PDB
Gambar 5. Grafik Siklikal PDB
Hal ini dilakukan dengan menggunakan metode yang secara eksplisit dimasukkan sebagai karakteristik spesifik dari proses generasi data. Sebagai hasilnya, estimasi yang diperoleh telah mengeliminir pengaruh musiman ini. Metode yang digunakan untuk mengeliminir pengaruh musiman dari variabel makro ekonomi adalah seasonally adjusted dari X-12 dalam software E-Views. Gambar 4 dan 5 masing-masing merupakan plot dari trend PDB dan siklikal PDB. Trend PDB menunjukkan perekonomian Indonesia melalui tiga fase, yaitu fase peningkatan sampai periode tahun 1995, kemudian diikuti dengan fase perlambatan hingga akhir tahun 1999, dan peningkatan kembali pada awal tahun 2000. Hasil filtering ini dapat menjadi aba-aba bagi Indonesia bahwa jika dilakukan dekomposisi PDB dari komponen yang bersifat musiman dan irreguler, maka pada tahun 1995 sebenarnya sudah dimulai fase perlambatan. Fase ini berbeda dari fase sebelumnya. Jika hal ini dicermati, maka seharusnya sejak tahun 1995 telah dapat dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang sudah dilakukan dan perencanaan dapat dilakukan untuk mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi ini. Plot estimasi siklikal PDB selama periode penelitian menunjukkan terdapat beberapa deviasi. Setelah tahun 1998 menunjukkan bahwa PDB mengalami penurunan yang tajam sebagai dampak dari krisis ekonomi. Sementara, pada masa-masa sebelumnya terlihat bahwa fluktuasi makro ekonomi Indonesia tidak terlalu volatil. Pergerakan PDB tidak berada jauh di sekitar garis trend. Keadaan perubahan ini selanjutnya akan terlihat pada seluruh variabel makro ekonomi lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa sebelum krisis terjadi, indikator PDB Indonesia kelihatan cukup baik. Banyak kalangan yang tidak mengira krisis akan berdampak demikian parah. Pada saat krisis, terjadi kontraksi yang dalam dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat yang sama trend PDB yang selama ini terus meningkat terlihat berubah menjadi mendatar. Keadaan perubahan ini selanjutnya akan terlihat terjadi pada seluruh variabel makro ekonomi lainnya. Seluruh variabel berubah dari pola awalnya akibat terjadinya krisis ekonomi (Supriana, 2004). Hasil dari analisis menunjukkan bahwa titik balik (turning point) dari business cycle Indonesia dilampaui setelah satu tahun. Titik balik bawah (through)
tercapai pada triwulan keempat tahun 1998. Memasuki tahun 1999 terlihat telah terjadi recovery. Setelah pada tahun 1998 mengalami kontraksi terdalam di mana pertumbuhan ekonomi mencapai -13.1%. PDB mulai bergerak naik kembali ke trendnya semula. Pada awal tahun 1999 pertumbuhan ekonomi sebesar 1.34%. Pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh naiknya permintaan domestik, khususnya konsumsi.
4.1.2. Trend dan Siklikal IHK
Trend Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami tiga fase, yang pertama meningkat perlahan, kedua mulai tahun 1997 meningkat tajam, dan ketiga menurun dengan tajam pada awal tahun 2002. Trend dan siklikal variabel ini seperti dijelaskan sebelumnya berubah secara tajam setelah terjadi krisis ekonomi 1997.
Sebelum tahun 1995 terlihat siklikal indeks harga berada di sekitar garis trend dengan deviasi yang kecil sekali lebih kecil dari 5 %, kecuali pada saat krisis, deviasi mencapai 30 %.
Gambar 6. Grafik Trend Indeks Harga Konsumen
Gambar 7. Grafik Siklikal Indeks Harga Konsumen
Jika kita kaitkan dengan siklikal PDB pada masa sebelum krisis, terlihat bahwa siklikal indeks harga lebih kecil deviasinya. Terlihat bahwa ketika PDB Indonesia sampai pada titik balik bawah (through), indeks harga mencapai titik balik atas (peak) untuk kembali ke trendnya semula. Bagaimana korelasi antara PDB dan indeks harga akan dianalisis pada bagian selanjutnya. Pada tahun 1995 terlihat siklikal indeks harga mulai terkontraksi dan berlanjut menjadi kontraksi yang sangat dalam hingga awal tahun 1998. Siklikal ini akhirnya mengalami ekspansi yang sangat tinggi pada saat krisis pertengahan tahun 1998. Pada saat yang sama PDB Indonesia terkontraksi sangat dalam. Ekspansi ini berhenti setelah mencapai titik balik atas (peak) dan bertahan mendatar pada triwulan ketiga tahun 1998. Mulai kontraksi kembali pada akhir tahun yang sama. Kontraksi yang terjadi terlihat melampaui garis trend ke arah negatif, yang menjadi tanda telah terjadi deflasi. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan harga yang tidak terkendali pada saat krisis. Terjadinya deflasi menunjukkan trend indeks harga telah kembali ke kondisi normal. Setelah tahun 2001 siklikal indeks harga mencapai titik balik bawah (through) kembali ke garis trendnya.
4.1.3. Trend dan Siklikal Variabel Luar Negeri
Siklikal nilai tukar Indonesia tidak terlalu berfluktuasi sampai tahun 1995. Trend nilai tukar terlihat melalui beberapa fase. Mendatar mulai tahun 1990-1995. Setelah tahun 1995 trend nilai tukar menunjukkan peningkatan yang tajam.
Peningkatan nilai tukar yang tajam inilah yang memacu terjadinya krisis ekonomi Indonesia.
Gambar 8. Grafik Trend Nilai Tukar
Gambar 9. Grafik Siklikal Nilai Tukar
Siklikal nilai tukar juga menunjukkan beberapa pola. Setiap kali siklus mulai turun nilai tukar terapresiasi, terdepresiasi kembali melalui intervensi pemerintah. Intervensi dilakukan dengan kebijakan devaluasi. Devaluasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan interval band (batas bawah maupun batas atas fluktuasi) nilai tukar. Setelah tahun 1997 hingga tahun 2001 terjadi beberapa fluktuasi kemudian kembali ke tingkat semula sebelum akhirnya terdepresiasi pada tingkat paling tinggi pada tahun 1997-1998. Nilai tukar ini akhirnya menurun kembali dimulai tahun 2000 dan terjadi fluktuasi kecil beberapa kali dan mulai stabil pada akhir tahun 2001. Dari grafik dapat dilihat bahwa nilai tukar tetap (fixed exchange rate) secara perlahan didepresiasikan, baru kemudian terlihat bahwa nilai tukar lebih fluktuatif.
4.1.4. Trend dan Siklikal Agregat Moneter
Dibanding dengan variabel makro ekonomi lainnya, ageregat moneter Indonesia terlihat paling berfluktuasi. Trend dan siklikal agregat moneter disajikan dalam Gambar 10-17. Trend variabel ini meningkat terus menerus mendekati trend linier sempurna. Siklikal penawaran uang mengalami beberapa kali ekspansi dan kontraksi yang cukup tajam. Kontraksi uang giral yang terlihat dalam dimulai pada tahun 1991, berkaitan dengan adanya kebijakan mengenai pengetatan likuiditas. Uang kartal juga mengalami penurunan dan penawaran uang (money supply) mengalami hal yang sama.
Gambar 10. Grafik Trend Uang Kartal
Gambar 11. Grafik Siklikal Uang Kartal
Gambar 12. Grafik Trend Uang Giral
Gambar 13. Grafik Siklikal Uang Giral
Gambar 14. Grafik Trend M2
Gambar 15. Grafik Siklikal M2
Gambar 16. Grafik Trend Suku Bunga Domestik
Gambar 17. Grafik Siklikal Suku Bunga Domestik
Trend dan siklikal suku bunga jangka pendek Indonesia digambarkan dalam Gambar 16 dan 17. Trend suku bunga cenderung mendatar dan mengalami peningkatan sejak tahun 1995 serta mengalami puncaknya pada tahun 1998 dan kemudian setelah tahun 1998 menunjukkan trend yang menurun. Siklikalnya terlihat mengalami ekspansi pada tahun 1990 dan kontraksi tahun 1991. Ekspansi yang sangat tajam terlihat pada tahun 1997 pada saat krisis, dan kontraksi kembali pada tahun 1998. Suku bunga perbankan Indonesia berada dalam posisi tertinggi di kawasan Asean dimaksudkan untuk mencegah pelarian modal (capital flight). Hal ini dilakukan mengingat pelarian modal merupakan salah satu faktor penting yang mendorong terjadinya ketidakstabilan ekonomi Indonesia. Krisis nilai tukar yang terjadi beberapa bulan pada tahun 1994, telah memaksa pemerintah melakukan kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga hingga tahun 1995. Setelah itu suku bunga domestik menurun kembali. Peningkatan suku bunga yang sangat tinggi terjadi pada tahun 1997 pada saat krisis terjadi. Ketika nilai tukar menjadi tidak terkendali, pemerintah berupaya mengendalikan depresiasi nilai tukar yang sangat dalam melalui peningkatan suku bunga. Kebijakan ini terpaksa dilakukan apalagi didukung secara penuh oleh IMF sebagai dokter bagi krisis Indonesia. Walaupun kebijakan ini merupakan disinsentif bagi investasi dan menggoyahkan sektor riil, tetapi berlanjut hingga tahun 1998. Setelah tahun 1998 suku bunga kembali ke tingkat semula, selanjutnya terlihat kecenderungan suku bunga yang terus menurun setelah tahun 1998.
Kebijakan ini terus berlanjut hingga tahun 2001, di mana fluktuasi agregat moneter telah mulai menurun. Pergerakan suku bunga domestik selain dipengaruhi oleh faktor-faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, terutama perubahan tingkat suku bunga Bank Sentral AS (Federal Reserve). Pada periode ini Bank Sentral AS terus menerus menekan tingkat suku bunga ke tingkat yang paling rendah dalam rangka memberikan stimulus bagi perekonomiannya. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan suku bunga Indonesia yang cenderung menurun setelah tahun 1998.
4.2.
Karakteristik dan Pola Business Cycle Indonesia
Untuk melihat bagaimana hubungan PDB dengan variabel ekonomi lainnya yang disebut sebagai regularitas empirik (empirical regularities) digunakan struktur korelasi silang komponen siklikal. Hasil estimasi koefisien korelasi silang antara variabel ekonomi makro dengan komponen siklikal PDB riil dapat dilihat pada Tabel 3. Suatu variabel dikatakan leading indicator jika mencapai titik balik sebelum the rest of the economy sehingga indikator ini dikatakan memiliki daya prediksi (predictive power). Indikator ini dapat dikatakan sebagai barometer business cycle. Co-incident indicator bergerak pada waktu yang bersamaan
dengan ekonomi dan lagging indicator menunjukkan bahwa ekonomi telah melalui titik balik. Sistem indikator business cycle memberikan informasi awal tentang siklus. Fase pergerakan variabel-variabel makro ekonomi Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Korelasi Silang Komponen Siklikal dengan Siklus Pengeluaran Periode 1990.I-2005.III Korelasi silang antara PDB dengan variabel x dalam : Variabel: PDB
(t-5) -0.31
(t-4) -0.07
(t-3) 0.22
(t-2) 0.54
(t-1) 0.81
IHK
0.31
0.22
0.08
-0.13
Nilai Tukar
0.18
0.26
0.31
Uang Kartal
-0.07
-0.06
Uang Giral
0.026
M2 Suku Bunga Dalam Negeri Suku Bunga Luar Negeri
t 1.00
(t+1) 0.81
(t+2) 0.54
(t+3) 0.22
(t+4) -0.07
(t+5) -0.31
-0.42
-0.67
-0.81
-0.77
-0.59
-0.31
-0.01
0.32
0.25
-0.008
-0.32
-0.55
-0.72
-0.69
-0.54
-0.02
0.03
0.005
-0.16
-0.32
-0.31
-0.18
0.10
0.20
0.35
0.39
0.33
0.05
-0.15
-0.24
-0.27
-0.26
0.28
0.24
0.20
0.09
-0.06
-0.32
-0.55
-0.60
-0.58
-0.46
-0.24
0.54
0.66
0.70
0.51
0.22
-0.12
-0.44
-0.65
-0.77
-0.71
-0.51
-0.54
-0.52
-0.39
-0.20
0.004
0.17
0.28
0.32
0.31
0.30
0.24
-0.37
-0.41
Tabel 4. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Variabel
Fase Pergerakan
Volatilitas
Cross Correlation dengan Siklus Bisnis Lead (+)/Lag (-) Coefficient +1 0.81
IHK
Leading
Medium
Nilai Tukar
Leading
Tinggi
+3
0.72
Uang Kartal Uang Giral M2
Leading Lagging Leading
Medium Rendah Medium
+8 -1 +2
0.47 0.39 0.60
Suku Bunga Dalam Negeri
Leading
Medium
+3
0.77
Suku Bunga Luar Negeri
Lagging
Rendah
-5
0.54
Tabel 5.
Korelasi Uang dengan Siklus Bisnis Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi Variabel Waktu Fase Cross Correlation Pergerakan
Lead (+)/Lag (-)
Coefficient
M2
Sebelum Krisis
Leading
+6
0,41
M2
Setelah Krisis
Co-incident
0
0,46
Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa selama periode penelitian yaitu tahun 1990.I-2005.III korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia berbentuk leading indicator, dengan nilai koefisien korelasi yaitu 0,60. Sementara itu, dari
Tabel 5 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan bentuk korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi terjadi. Korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi berbentuk leading indicator. Sementara, setelah krisis ekonomi terjadi, korelasi antara uang dengan siklus bisnis berbentuk co-incident indicator dengan nilai koefisien korelasinya berturut-turut adalah 0,41 dan 0,46.
4.3.
Hasil Pengujian Awal
Uji akar unit dipandang sebagai uji stasioneritas, karena pada intinya uji tersebut bertujuan untuk mengamati apakah koefisisen tertentu dari model autoregressive yang ditaksir mempunyai nilai atau tidak. Dalam kasus di mana
data time series yang digunakan tidak stasioner, maka kesimpulan yang diperoleh akan menghasilkan pola hubungan regresi yang palsu. Regresi palsu (Spurious Regression) yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih
yang nampaknya signifikan secara statistik, padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar sebagaimana yang nampak dari regresi yang dihasilkan, sehingga dapat mengakibatkan misleading dalam penelitian terhadap suatu fenomena ekonomi yang sedang terjadi. Suatu upaya untuk menghindari terjadinya regresi palsu adalah dilakukannya uji akar unit pada tingkat first difference. Pada prinsipnya uji akar
unit adalah mengamati apakah koefisien variabel tertentu dari model autoregressive yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Metode pengujian
akar unit yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Augmented DickeyFuller (ADF). Berdasarkan uji tersebut, apabila nilai statistik ADF untuk masing-
masing variabel lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut stasioner. Tabel 6. Uji Akar Unit (Level) Nilai Kritis Mac Kinnon VARIABEL
Nilai ADF
1%
5%
10%
KETERANGAN
Log M2
-1.583807
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Tidak Stasioner
iDEP
-2.803202
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Stasioner 10%
US TBills
-2.451729
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Tidak Stasioner
Log IHK
-0.381076
-3.546099
-2.911730
-2.593551
Tidak Stasioner
Log ER
-1.072714
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Tidak Stasioner
Log PDB
-0.649741
-3.540198
-2.909206
-2.592215
Tidak Stasioner
Dengan kesimpulan bahwa data deret waktu (time series) yang digunakan mengandung unit-root, atau tidak stasioner, karena nilai ADF seluruh variabel kecuali iDEP lebih besar dari nilai kritis Mac Kinnon, maka uji dilanjutkan terhadap turunan pertama (first difference) time series ini. Hal ini dilakukan karena akan ditemukan masalah spurious (spurious problem) jika dilakukan estimasi langsung terhadap variabel yang tidak stasioner. Uji
derajat
integrasi
dilakukan
sebagai
konsekuensi
dari
tidak
terpenuhinya asumsi stasioneritas pada tingkat level atau derajat nol atau I(0). Pada uji ini, data dideferensiasikan pada derajat tertentu, sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama. Berdasarkan hasil uji akar unit tingkat
first difference pada Tabel 7, diketahui bahwa semua data stasioner pada uji
derajat integrasi satu I(1). Tabel 7. Uji Akar Unit (First Difference) Nilai Kritis Mac Kinnon VARIABEL
Nilai ADF
1%
5%
Log M2
-5.639893
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Stasioner 1%
iDEP
-4.707299
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Stasioner 1%
USTBills
-4.120856
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Stasioner 1%
Log IHK
-4.698799
-3.546099
-2.911730
-2.593551
Stasioner 1%
Log ER
-5.663179
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Stasioner 1%
Log PDB
-6.203863
-3.542097
-2.910019
-2.592645
Stasioner 1%
10%
KETERANGAN
Sim dan Doan dalam Nurdin (2003) menyatakan bahwa dalam mengoperasikan metode VAR tidak dianjurkan menggunakan bentuk first difference. Jika data first difference digunakan akan menghilangkan informasi
penting tentang hubungan variabel-variabel dalam sebuah sistem seperti kemungkinan adanya hubungan kointegrasi. Oleh sebab itu, dalam studi ini tidak akan digunakan data first difference dalam mengoperasikan metode VAR.
4.4.
Tingkat Lag Optimal
Tahapan pertama yang dilakukan untuk menentukan tingkat lag optimal adalah dengan melihat stabilitas sistem VAR. Lampiran 5 menunjukkan nilai inverse roots karakteristik AR polinomial untuk sistem VAR dengan lag enam.
Dari lampiran tersebut terlihat bahwa seluruh roots memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem VAR dengan lag enam tersebut adalah stabil.
Pada metode VAR penetapan lag optimal menjadi sangat penting karena variabel independen yang dipakai tidak lain adalah lag dari variabel endogennya. Tahapan selanjutnya dalam penentuan tingkat lag optimal adalah dengan mempertimbangkan nilai statistik SIC yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 8. Perhitungan nilai statistik SIC untuk setiap lag mengindikasikan bahwa nilai minimum SIC didapatkan saat lag 2. Oleh karena itu dapat ditetapkan bahwa lag optimal yang digunakan dalam model VAR adalah lag 2. Penentuan lag optimal ini penting untuk melakukan uji kointegrasi Johansen. Tabel 8. Perhitungan SIC (Schwarz Information Criterion) SIC Statistic Lag
4.5.
0
-11.01012
1
-27.47292
2
-28.08213*
3
-27.81054
4
-26.80139
5
-26.18099
6
-26.63421
Kointegrasi
Konsep kointegrasi menyatakan bahwa jika satu atau lebih variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel-variabel dalam sistem akan bersifat stasioner sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 2004). Dengan demikian, selanjutnya dapat dilakukan pengujian kointegrasi untuk memperoleh hubungan jangka panjang antara variabel M2, iDEP, IHK, ER, US TBills dan PDB.
Seluruh variabel telah memenuhi persyaratan untuk proses integrasi, yaitu semua variabel stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat satu I(1). Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel dalam sistem mempunyai sifat integrated of order one, I(1). Oleh sebab itu, pengujian kointegrasi dapat dilakukan yaitu
dengan menggunakan panjang lag optimal VAR dikurangi 1, yaitu lag 1. Hasil uji kointegrasi dapat dilihat pada Tabel 9. Adapun tahap awal dari uji kointegrasi Johansen adalah dengan menentukan asumsi tren deterministik yang digunakan. Berdasarkan hasil summary, asumsi tren deterministik yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian
ini adalah asumsi satu (no intercept or trend in CE or test VAR). Pemilihan asumsi satu diperoleh berdasarkan Schwarz Criteria. Hasil uji kointegrasi Johansen dengan asumsi satu menunjukkan bahwa terdapat tiga persamaan kointegrasi dalam taraf signifikansi 5 persen maupun 1 persen berdasarkan trace test. Tidak digunakannya asumsi lima (berdasarkan Akaike Information Criteria) merujuk pada Enders (2004) yang mengemukakan bahwa lebih baik menghindari penggunaan tren, kecuali jika memang terdapat alasan yang kuat untuk menggunakannya. Hasil uji kointegrasi Johansen dengan asumsi satu menunjukkan bahwa terdapat tiga persamaan kointegrasi dalam taraf signifikansi lima persen maupun satu persen berdasarkan trace test (Lampiran 7).
Tabel 9. Test Johansen’s Trace Statistic Hypothesized Trace
5 Percent
1 Percent
No. of CE(s)
Eigenvalue
Statistic
Critical Value
Critical Value
None **
0.767102
210.2047
82.49
90.45
At most 1 **
0.706176
121.3182
59.46
66.52
At most 2 **
0.374005
46.60691
39.89
45.58
At most 3
0.167799
18.03370
24.31
29.75
At most 4
0.104665
6.829158
12.53
16.31
At most 5
0.001395
0.085152
3.84
6.51
Sumber : Lampiran 8 Catatan : ** signifikan pada tingkat 1% dan 5%
Tabel 9 menunjukkan hasil Test Johansen’s Trace Statistic untuk mengetahui jumlah persamaan kointegrasi di dalam sistem. Perbandingan estimasi Trace Statistic terhadap nilai kritisnya (critical values) diketahui bahwa terdapat 3
persamaan kointegrasi dalam taraf signifikansi 5 persen maupun 1 persen. Uji
kointegrasi
menunjukkan
bahwa
ada
tiga
persamaan
yang
terkointegrasi dalam taraf 5 persen maupun 1 persen. Hasil estimasi VECM digunakan untuk memperoleh inovasi (residual) yang akan digunakan untuk analisis VAR. Selanjutnya dengan melihat estimasi Vector Error Correction Model (VECM), dapat diketahui hubungan jangka panjang yang terlihat pada
Tabel 10-12. Tabel 10. Hasil Estimasi VECM untuk Variabel Suku Bunga AS Didasarkan pada Kointegrasi VAR(3) Variabel Koefisien Standard Error T-Statistik iDEP(-1)
0.074056
0.05742
-1.28975
Log M2(-1)
-0.021608
0.00569
3.79731*
Log IHK(-1)
0.053667
0.01567
-3.42423
Catatan : * signifikan pada taraf nyata 5%
Tabel 11. Hasil Estimasi VECM untuk Variabel PDB Didasarkan pada Kointegrasi VAR(3) Variabel Koefisien Standard Error T-Statistik iDEP(-1)
-9.521087
1.44885
6.57147*
Log M2(-1)
0.916334
0.14359
-6.38174
Log IHK(-1)
-0.920498
0.39547
2.32763*
Catatan : * signifikan pada taraf nyata 5%
Tabel 12. Hasil Estimasi VECM untuk Variabel Nilai Tukar Didasarkan pada Kointegrasi VAR(3) Variabel Koefisien Standard Error T-Statistik iDEP(-1)
-13.68982
2.40702
5.68744*
Log M2(-1)
0.262513
0.23855
-1.10047
Log IHK(-1)
0.938071
0.65700
-1.42781
Catatan : * signifikan pada taraf nyata 5%
Hasil dari VECM ini tidak dibahas lebih lanjut karena fokus penelitian tidak terletak pada hasil estimasi ini. Fokus penelitian, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai adalah pada innovation accounting, yakni Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD). Hasil di atas seperti telah
dijelaskan sebelumnya digunakan sebagai hasil antara untuk memperoleh residual. Residual dari VECM ini yang selanjutnya akan digunakan untuk analisis IRF dan VD.
4.6.
Hasil Uji Kausalitas Multivariat
Uji kausalitas multivariat dilakukan guna melihat hubungan kausalitas diantara variabel-variabel yang ada dalam model. Uji kausalitas multivariat pada penelitian ini dengan menggunakan VAR Pairwise Granger Causality Test. H0
yang diuji adalah tidak ada hubungan kausalitas dan H1 adalah adanya hubungan kausalitas. Untuk menerima atau menolak H0 digunakanlah nilai probability. Hasil uji kausalitas multivariat dalam model VAR dapat dilihat dalam Tabel 13. Hasil Uji Kausalitas dengan signifikansi pada taraf 10 persen tersebut menunjukkan bahwa uang beredar mempunyai hubungan kausalitas terhadap output. Uang beredar juga signifikan dipengaruhi oleh suku bunga domestik, suku bunga luar negeri dan PDB. Hasil uji kausalitas menunjukkan tidak adanya hubungan kausalitas antara uang beredar dan tingkat harga. Tingkat harga hanya signifikan dipengaruhi oleh nilai tukar dan PDB. Berdasarkan uji kausalitas diketahui bahwa uang beredar, suku bunga domestik dan suku bunga luar negeri signifikan mempengaruhi output. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter melalui uang beredar cukup efektif dalam mencapai sasaran akhir yaitu tingkat output. Bila dilihat melalui jalur langsung, signifikannya uang beredar terhadap output berarti jumlah uang beredar yang ada langsung mempengaruhi belanja masyarakat (spending). Berdasarkan hasil uji kausalitas pada Tabel 13, uang beredar tidak signifikan mempengaruhi harga, suku bunga domestik signifikan mempengaruhi uang beredar, tetapi uang beredar tidak signifikan mempengaruhi suku bunga domestik. Berdasarkan Lampiran 11, hanya PDB yang signifikan mempengaruhi nilai tukar. Sementara itu, nilai tukar signifikan mempengaruhi tingkat harga, tetapi tingkat harga tidak signifikan mempengaruhi nilai tukar. Nilai tukar juga signifikan mempengaruhi suku bunga luar negeri dan suku bunga domestik.
Selanjutnya dari Tabel 13, dapat dilihat bahwa suku bunga luar negeri signifikan mempengaruhi PDB, uang beredar, suku bunga domestik dan tingkat harga. Tabel 13. Uji Kausalitas Multivariat (VAR Pairwise Granger Causality Test) Dependent Variable Independent Variable Prob PDB
Uang Beredar
Suku Bunga Luar Negeri
0.0980
Uang Beredar
0.0002
Suku Bunga Domestik
0.0107
Suku Bunga Luar Negeri
0.0256
PDB
0.0000
Suku Bunga Domestik
0.0003
Nilai Tukar
0.5551
PDB
0.0001
Nilai Tukar
0.0000
Suku Bunga Luar Negeri
0.0119
Suku Bunga Luar Negeri
0.0050
Nilai Tukar
0.0513
Harga
0.0000
PDB
0.2515
PDB
0.0018
Uang Beredar
0.8463
Harga
Suku Bunga Domestik
Nilai Tukar
Hasil uji kausalitas pada Lampiran 11, diketahui bahwa uang beredar tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan tingkat harga. Dengan demikian berarti kebijakan moneter melalui uang beredar tidak efektif dalam mencapai sasaran akhir tingkat harga. Mengingat signifikannya uang beredar dalam mempengaruhi output berarti hasil dari penelitian ini cenderung menolak hipotesis aliran klasik. Berdasarkan hasil uji kausalitas tersebut diketahui bahwa kebijakan moneter
melalui
uang
beredar
cukup
efektif
dalam
mencapai
tujuan
makroekonomi. Karena jumlah uang beredar dapat mempengaruhi tingkat output. Sehingga, bila Bank Indonesia menambah jumlah uang beredar, dapat meningkatkan tingkat output di Indonesia.
4.7.
Variance Decomposition (VD)
Dalam bab sebelumnya telah disebutkan bahwa penting untuk dapat mencirikan struktur dinamis antar variabel dalam VECM. Hal ini dapat dilakukan baik melalui VD di mana pola VD ini dapat mengindikasikan sifat dari kausalitas multivariat diantara variabel dalam model VEC, maupun melalui Impulse Response Function (IRF) di mana dapat ditelusuri respon variabel terhadap
kejutan dalam variabel lainnya. Namun, VD dan IRF sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. Doan dalam Nurdin (2003) menyarankan pengurutan variabel yang didasarkan pada faktorisasi Choleski, dengan catatan variabel yang relatif paling sulit dipengaruhi oleh variabel lain diletakkan paling awal, sementara variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan di belakang, sedangkan variabel yang memiliki korelasi prediksi terhadap variabel lain diletakkan berdampingan satu sama lain. Suku bunga luar negeri cenderung sulit dipengaruhi oleh variabel lain, oleh karena itu diletakkan paling awal, kemudian diikuti oleh PDB, PDB tidak diletakkan paling belakang karena jika PDB diletakkan paling belakang nilainya akan cenderung berfluktuasi. Setelah PDB, kemudian nilai tukar, suku bunga domestik (iDEP), uang beredar (log M2), dan terakhir adalah tingkat harga.
Tabel 14. Variance Decomposition terhadap Output Periode
S.E.
TB
LPDB
LER
IDEP
LM2
LIHK
1
0.003882
0.842862
99.15714
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
5
0.014800
12.93508
19.27906
30.39927
10.41768
8.971676
17.99723
10
0.021935
11.06135
6.737950
41.47650
13.14192
6.013646
21.56863
15
0.026759
11.64756
5.788967
37.79244
13.78858
6.270921
24.71153
20
0.030560
14.13975
5.330304
33.72705
13.94404
6.348943
26.50992
25
0.033679
17.53865
4.929025
30.59009
13.62848
6.168069
27.14568
30
0.036354
21.48197
4.659533
27.88615
13.03871
5.891905
27.04173
35
0.038692
25.63091
4.401436
25.63440
12.32065
5.551965
26.46064
40
0.040769
29.71515
4.161033
23.74581
11.56307
5.193926
25.62101
45
0.042638
33.58875
3.939656
22.14684
10.81945
4.843479
24.66182
50
0.044335
37.17537
3.736427
20.78716
10.11816
4.513395
23.66948
55
0.045888
40.44826
3.551882
19.62298
9.471896
4.209782
22.69520
60
0.047321
43.40953
3.385201
18.61995
8.884322
3.934260
21.76674
Hasil VD terhadap output dapat dilihat pada Tabel 14 di atas, dan selengkapnya pada Lampiran 10. Untuk output terlihat bahwa pada tahap pertama ke depan varians output disebabkan oleh inovasi di dalam output sendiri sebesar 99,16 persen. Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh cukup dominan terhadap varians output adalah inovasi pada nilai tukar yaitu dari 30,40 persen pada tahap ke 5 sampai 41,47 persen pada tahap ke 10. Inovasi pada nilai tukar mempunyai pengaruh paling dominan terhadap varians output mulai tahap ke 5 hingga tahap ke 35. Sementara itu, inovasi pada suku bunga luar negeri mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap varians output yaitu sekitar 26,46 persen pada tahap ke 36 hingga 43,41 persen pada tahap ke 60. Hasil VD terhadap output tersebut mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang, varians output dominan dipengaruhi oleh inovasi pada suku bunga luar negeri.
Tabel 15. Variance Decomposition terhadap Uang Beredar Periode
S.E.
TB
LPDB
LER
IDEP
LM2
LIHK
1
0.017920
0.619433
1.356481
62.90407
0.077124
35.04289
0.000000
5
0.065040
11.28437
15.21643
54.07579
1.219137
15.07600
3.128277
10
0.079968
39.80117
13.19861
32.36116
1.048429
11.26616
2.324460
15
0.089473
61.15407
9.471134
18.12848
0.777904
8.910417
1.557997
20
0.095722
73.13279
7.145984
10.91470
0.631559
7.104787
1.070182
25
0.101782
80.31092
5.630906
7.020672
0.516016
5.782334
0.739155
30
0.106834
84.79673
4.618966
4.801345
0.431611
4.828765
0.522586
35
0.111169
87.74730
3.919206
3.461973
0.369018
4.122366
0.380141
40
0.114945
89.78145
3.412602
2.613981
0.321007
3.585481
0.285482
45
0.118229
91.23670
3.033066
2.056440
0.283514
3.168029
0.222255
50
0.121113
92.31061
2.740241
1.678837
0.253650
2.836634
0.180024
55
0.123660
93.12386
2.508650
1.417185
0.229449
2.568811
0.152046
60
0.125923
93.75324
2.321689
1.232672
0.209546
2.348970
0.133880
Hasil VD terhadap uang beredar dapat dilihat pada Tabel 15 di atas, dan selengkapnya pada Lampiran 10. Untuk uang beredar terlihat bahwa pada tahap pertama ke depan varians uang beredar disebabkan oleh inovasi di dalam uang beredar sendiri hanya sebesar 35, 04 persen. Variabel yang mempunyai pengaruh dominan terhadap varians uang beredar adalah inovasi pada nilai tukar yaitu dari 62,90 persen pada tahap pertama hingga 36,42 persen pada tahap ke 9. Sedangkan variabel yang mempunyai pengaruh paling dominan adalah inovasi pada suku bunga luar negeri yaitu dari 39,80 persen pada tahap ke 10 sampai 93,75 persen pada tahap ke 60. Hasil VD terhadap output dan uang beredar tersebut mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang, varians output dan varians uang beredar di Indonesia, dominan dipengaruhi oleh inovasi pada suku bunga luar negeri.
Tabel 16. Variance Decomposition terhadap Harga Periode
S.E.
TB
LPDB
LER
IDEP
LM2
LIHK
1
0.034366
0.024533
0.618839
21.87577
7.029122
28.00138
42.45037
5
0.101219
0.573653
12.99652
68.81273
4.094626
3.180770
10.34170
10
0.159263
5.197173
15.73550
67.64070
2.884752
1.767648
6.774228
15
0.220798
10.82409
15.82524
64.16672
2.360602
1.490540
5.332813
20
0.288894
16.26421
15.72063
60.30135
2.087580
1.290102
4.336129
25
0.361655
22.32750
15.33758
55.76441
1.859902
1.142715
3.567892
30
0.437479
28.42496
14.78269
51.11411
1.677504
1.031846
2.968897
35
0.515487
34.26293
14.15256
46.62975
1.524665
0.940718
2.489383
40
0.595061
39.70625
13.49196
42.44338
1.392849
0.864232
2.101328
45
0.675707
44.66592
12.83765
38.63282
1.278846
0.799050
1.785710
50
0.757046
49.12435
12.21055
35.21482
1.179694
0.742872
1.527718
55
0.838768
53.09919
11.62169
32.17592
1.093177
0.694136
1.315880
60
0.920616
56.62622
11.07610
29.48745
1.017481
0.651624
1.141127
Hasil VD terhadap tingkat harga dapat dilihat pada Tabel 16 di atas, dan selengkapnya pada Lampiran 10. Inovasi pada output hanya mempunyai pengaruh yang kecil terhadap tingkat harga, yaitu sekitar 0,62 persen hingga 11,08 persen. Inovasi pada nilai tukar mempunyai pengaruh yang cukup besar, yaitu 21,88 persen pada tahap pertama sampai 41,65 persen pada tahap ke 41. Sementara itu, variabel yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap tingkat harga adalah suku bunga luar negeri, yaitu 41,75 persen pada tahap ke 42 hingga 56, 63 persen pada tahap ke 60. Hasil VD terhadap tingkat output, uang beredar dan tingkat harga dominan dipengaruhi oleh suku bunga luar negeri.
4.8.
Impulse Response Function (IRF)
Impulse Response Function adalah respon sebuah variabel endogen jika
mendapatkan shock atau inovasi variabel eksogen sebesar satu standar deviasi.
Penelitian ini akan melihat respon dinamik business cycle Indonesia terhadap beberapa guncangan ekonomi.
4.8.1. Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Kebijakan Bank Sentral AS
Pengaruh guncangan kebijakan suku bunga AS sebesar 1 standar deviasi terhadap business cycle Indonesia dapat dilihat pada Gambar 18-22. Response of TB to Cholesky One S.D. TB Innovation .008
.007
.006
.005
.004
.003 10
20
30
40
50
60
Gambar 18. Respon Suku Bunga AS terhadap Kebijakan Suku Bunga AS Response of LPDB to Cholesky One S.D. TB Innovation .05
.04
.03
.02
.01
.00 10
20
30
40
50
Gambar 19. Respon PDB terhadap Kebijakan Suku Bunga AS
60
Response of LER to Cholesky One S.D. TB Innovation .14 .12 .10 .08 .06 .04 .02 .00 -.02 10
20
30
40
50
60
Gambar 20. Respon Nilai Tukar terhadap Kebijakan Suku Bunga AS Response of LM2 to Cholesky One S.D. TB Innovation .20 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 10
20
30
40
50
60
Gambar 21. Respon Permintaan Uang terhadap Kebijakan Suku Bunga AS Response of IDEP3BLN to Cholesky One S.D. TB Innovation .020 .015 .010 .005 .000 -.005 -.010 10
20
30
40
50
60
Gambar 22. Respon Suku Bunga Domestik terhadap Kebijakan suku bunga AS
Guncangan kebijakan suku bunga AS mengakibatkan suku bunga AS meningkat pada awal guncangan sebesar 0.3 persen. Meningkat selama 5 triwulan, dan kemudian turun pada triwulan berikutnya. Suku bunga AS akhirnya menurun tajam mencapai keseimbangannya sesudah triwulan ke 58. Guncangan ini menyebabkan PDB Indonesia mengalami ekspansi sampai triwulan ke-5 sejak adanya guncangan, mendatar selama 2 triwulan. Kemudian terkontraksi selama 5 triwulan berikutnya. Ekspansi kembali dalam persentase yang jauh lebih besar dari kontraksinya. Meningkatnya suku bunga AS akan menyebabkan menurunnya suku bunga domestik selama 3 triwulan pertama. Kemudian meningkat tajam sampai triwulan ke 9, kontraksi kembali selama 7 triwulan dan ekspansi kembali dalam persentase yang jauh lebih kecil dari besar kontraksinya. Keseimbangan dicapai setelah 55 triwulan. Guncangan kebijakan suku bunga AS sebesar satu standar deviasi menyebabkan suku bunga domestik meningkat sebesar 2 persen hingga triwulan ke 9 dan menurun kembali, dalam jangka panjang meningkat sekitar 0,9 persen. Peningkatan suku bunga domestik dan suku bunga AS ini menyebabkan permintaan agregat meningkat, sehingga PDB mengalami ekspansi. Guncangan ini menyebabkan suku bunga AS menurun setelah triwulan ke-5 untuk kembali pada keseimbangan yang baru. Hal ini tidak diikuti dengan turunnya suku bunga domestik, hanya laju peningkatannya saja yang berkurang. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga AS akan diikuti oleh kenaikan suku bunga domestik. Namun penurunan suku bunga AS tidak secara langsung
menurunkan suku bunga domestik, tetapi ada lag beberapa triwulan hingga kemudian suku bunga domestik mulai mengikuti trend turunnya suku bunga AS. Guncangan kebijakan suku bunga AS menyebabkan nilai tukar meningkat selama 8 triwulan, mendatar selama 3 triwulan dan meningkat lagi untuk akhirnya kembali pada keseimbangan jangka panjang. Permintaan uang meningkat sebesar 17 persen dalam jangka panjang. Permintaan uang meningkat tajam sejak awal terjadinya guncangan. Meningkatnya suku bunga AS akan mengakibatkan suku bunga domestik juga naik secara proporsional.
4.8.2. Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Output
Pengaruh guncangan output sebesar 1 standar deviasi diuraikan pada Gambar 23-27. Guncangan ini pada awalnya memang menurunkan PDB tetapi akhirnya PDB meningkat setelah 7 triwulan pertama sebesar 0,6 persen. Hal ini menunjukkan adanya lag antara guncangan dengan pengaruh yang terjadi. Dalam jangka panjang PDB mencapai ekuilibrium setelah 50 triwulan dan PDB meningkat sebesar 0,8 persen. Suku bunga domestik meningkat pada 4 triwulan pertama setelah guncangan, kemudian menurun tajam hingga 7 triwulan berikutnya, kemudian meningkat kembali selama 6 triwulan, mendatar selama 2 triwulan dan menurun kembali sampai triwulan ke-20. Satu-satunya variabel yang dapat menjadi penyebab turunnya PDB ketika terjadi guncangan adalah variabel suku bunga domestik. Meningkatnya suku bunga domestik akan meningkatkan suku bunga riil, investasi akan turun akibat adanya peningkatan suku bunga riil tersebut. Menurunnya investasi akan
menyebabkan menurunnya PDB. Guncangan output sebesar satu standar deviasi akan meningkatkan PDB sebesar 0,8 persen. Guncangan output tidak berpengaruh terhadap suku bunga domestik dalam jangka panjang. Response of LPDB to Cholesky One S.D. LPDB Innovation .020
.016
.012
.008
.004
.000 10
20
30
40
50
60
Gambar 23. Respon PDB terhadap Guncangan Output Response of LM2 to Cholesky One S.D. LPDB Innovation .024 .020 .016 .012 .008 .004 .000 10
20
30
40
50
Gambar 24. Respon Permintaan Uang terhadap Guncangan Output
60
Response of LER to Cholesky One S.D. LPDB Innovation .09 .08 .07 .06 .05 .04 .03 10
20
30
40
50
60
Gambar 25. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Output Response of IDEP3BLN to Cholesky One S.D. LPDB Innovation .016 .012 .008 .004 .000 -.004 -.008 10
20
30
40
50
60
Gambar 26. Respon Suku Bunga Domestik terhadap Guncangan Output Response of LIHK to Cholesky One S.D. LPDB Innovation .030 .025 .020 .015 .010 .005 .000 10
20
30
40
50
Gambar 27. Respon Harga terhadap Guncangan Output
60
Guncangan output menyebabkan peningkatan permintaan uang sebesar 2,2 persen pada 4 triwulan pertama. Permintaan uang ekspansi tajam mencapai 2 kali lebih tajam dari peningkatan jangka panjangnya. Pada saat yang sama permintaan uang terkontraksi dan meningkat kembali tetapi tidak setajam pada saat awal terjadinya guncangan. Permintaan uang akhirnya menurun stabil. Dalam jangka panjang peningkatan output sebesar 1 standar deviasi menyebabkan permintaan uang meningkat sebesar 2 persen. Guncangan output menyebabkan peningkatan nilai tukar sekitar 8,6 persen pada 3 triwulan pertama. Selanjutnya turun selama 7 triwulan berikutnya, kemudian meningkat kembali sekitar 5,7 persen setelah triwulan ke-15 selanjutnya turun dan meningkat kembali. Dalam jangka panjang nilai tukar mencapai ekuilibrium setelah 25 triwulan. Harga meningkat tajam sampai 6 triwulan pertama akibat adanya guncangan output, kemudian menurun selama 6 triwulan tetapi dalam persentase yang jauh lebih kecil dibanding dengan peningkatan saat terjadi guncangan. Selanjutnya meningkat kembali dan stabil setelah 20 triwulan. Setiap peningkatan sebesar 1 standar deviasi output meningkatkan harga 2,9 persen dalam jangka panjang.
4.8.3. Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Permintaan Uang
Respon guncangan 1 standar deviasi terhadap permintaan uang disajikan pada Gambar 28-32. Guncangan ini menyebabkan PDB menurun selama 2 triwulan pertama sebesar 1 persen. Turunnya PDB disebabkan karena bunga domestik
suku
meningkat, meningkatnya suku bunga domestik akan
meningkatkan suku bunga riil, investasi akan turun akibat adanya peningkatan suku bunga riil tersebut. Menurunnya investasi akan menyebabkan menurunnya PDB. Ketika nilai tukar terdepresiasi setelah triwulan ke-3, PDB ekspansi kembali hingga triwulan ke 15, selanjutnya PDB menurun kembali. Dalam jangka panjang, PDB mencapai ekuilibrium setelah 20 triwulan. Setiap peningkatan sebesar 1 standar deviasi permintaan uang akan menurunkan PDB sebesar 0,8 persen dalam jangka panjang. Guncangan permintaan uang mengakibatkan nilai tukar terapresiasi selama 3 triwulan pertama, nilai tukar terdepresiasi pada triwulan berikutnya, terapresiasi kembali pada triwulan ke-7 kemudian nilai tukar terapresiasi sebesar 0,19 persen setelah triwulan ke-10 selanjutnya terdepresiasi dan terapresiasi kembali. Dalam jangka panjang nilai tukar mencapai ekuilibrium setelah 35 triwulan. Response of LPDB to Cholesky One S.D. LM2 Innovation .000 -.002 -.004 -.006 -.008 -.010 -.012 10
20
30
40
50
Gambar 28. Respon PDB terhadap Guncangan Permintaan Uang
60
Response of LER to Cholesky One S.D. LM2 Innovation .000 -.004 -.008 -.012 -.016 -.020 -.024 10
20
30
40
50
60
Gambar 29. Respon Nilai Tukar terhadap Guncangan Permintaan Uang Response of LM2 to Cholesky One S.D. LM2 Innovation .021 .020 .019 .018 .017
Gambar .016
30. Respon Permintaan Uang Terhadap Guncangan Permintaan Uang
.015 .014 10
20
30
40
50
60
Gambar 30. Respon Permintaan Uang terhadap Guncangan Permintaan Uang Response of IDEP3BLN to Cholesky One S.D. LM2 Innovation .006 .005 .004 .003 .002 .001 .000 -.001 10
20
30
40
50
60
Gambar 31. Respon Suku Bunga Domestik terhadap Guncangan Permintaan Uang
Response of LIHK to Cholesky One S.D. LM2 Innovation .012 .011 .010 .009 .008 .007 .006 .005 10
20
30
40
50
60
Gambar 32. Respon Harga terhadap Guncangan Permintaan Uang Guncangan permintaan uang menyebabkan suku bunga domestik meningkat selama 2 triwulan pertama sebesar 0,5 persen, kemudian turun tajam setelah triwulan ke-2 sekitar 0,3 persen selanjutnya meningkat dan turun kembali. Dalam jangka panjang suku bunga domestik mencapai keseimbangan setelah 30 triwulan. Guncangan ini juga menyebabkan tingkat harga meningkat tajam selama 3 triwulan pertama sebesar 1,1 persen, kemudian turun setelah triwulan ke-3 sekitar 0,5 persen selanjutnya meningkat dan turun kembali. Tingkat harga mencapai keseimbangan setelah 60 triwulan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode penelitian yaitu tahun 1990.I-2005.III korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia berbentuk leading indicator, dengan nilai koefisien korelasi yaitu 0,60. Hasil penelitian ini juga mengindikasikan adanya perbedaan besaran koefisien korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi terjadi. Korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi berbentuk leading indicator. Sementara, setelah krisis ekonomi terjadi, korelasi antara uang dengan siklus bisnis berbentuk co-incident indicator dengan nilai koefisien korelasinya berturut-turut adalah 0,41 dan 0,46. Selain itu, penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi permintaan uang di Indonesia adalah suku bunga luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari hasil VD yang menunjukkan bahwa pada jangka panjang, suku bunga luar negeri (US Treasury Bills Rate 3 Month) lebih banyak berpengaruh terhadap permintaan uang. Dari hasil ini, dapat pula menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan perekonomian terbuka kecil, di mana kebijakan dari negara lain masih akan sangat berpengaruh terhadap perekonomiannya. Guncangan permintaan uang menyebabkan PDB menurun selama 2 triwulan pertama sebesar 1 persen, kemudian ekspansi kembali hingga triwulan ke-15, selanjutnya PDB menurun kembali. Dalam jangka panjang, PDB mencapai
ekuilibrium setelah 20 triwulan. Setiap peningkatan sebesar 1 standar deviasi permintaan uang akan menurunkan PDB sebesar 0,8 persen dalam jangka panjang.
5.2.
Saran
Berdasarkan penelitian, dapat diketahui bahwa kebijakan moneter melalui uang beredar masih cukup efektif dalam mencapai sasaran akhir yaitu tingkat output. Sementara itu, kebijakan moneter melalui uang beredar tidak efektif dalam mencapai sasaran akhir tingkat harga. Oleh karena itu, perlu sekali adanya fokus dari sasaran atau tujuan makroekonomi yang ingin dicapai oleh pemerintah, apakah kestabilan harga atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sehingga kebijakan yang diambil nantinya akan lebih efektif dalam mempengaruhi tingkat output maupun tingkat harga. Pemerintah masih harus memperhatikan kebijakan yang diambil oleh negara lain, dan diharapkan kebijakan yang diambilnya telah disesuaikan dengan kebijakan negara lain, agar dampak kebijakan tidak saling meniadakan. Karena berdasarkan hasil VD terhadap output dan uang beredar, mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang, varians output dan varians uang beredar di Indonesia, dominan dipengaruhi oleh suku bunga luar negeri.
5.3.
Saran Untuk Penelitian Lanjutan
Dalam kajian ini jenis uang beredar yang digunakan adalah uang beredar dalam arti luas, yaitu M2. Untuk masa yang akan datang, maka kajian dapat diperluas dengan memasukkan jenis uang beredar dalam arti sempit, yaitu M1 maupun M0 (base money). Kajian ini juga hanya melihat pengaruh uang terhadap business cycle Indonesia. Guncangan yang diakibatkan oleh tingkat harga dan
tingkat suku bunga domestik belum dikaji. Penelitian tentang pengaruh tingkat harga dan tingkat suku bunga domestik terhadap business cycle Indonesia juga perlu dilakukan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA ---------. 2005. Eviews Training 2005. Hipotesa, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Angela, C. 2004. Pengaruh Perkembangan Perbankan Terhadap Permintaan Uang di Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bank Indonesia. 1990-2005. Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta. Christiano, L.J., M. Eichenbaum, dan C.L. Evans. 1998. “Modeling Money.” NBER Working Paper. No. 6371. Desk Penelitian dan Pengembangan Urusan Ekonomi dan Statistik. 1995. Stabilitas Permintaan Uang di Indonesia. Kertas Kerja Staf. Bank Indonesia. Jakarta. Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second Edition. Wiley, USA. Farmer, R.E.A. 1996. “Money in a Real Business Cycle Model”. Journal of Money, Credit and Banking. Volume 29: 568-611. International Monetary Fund (IMF). International Financial Statistics (IFS). www.imf.org [6 Februari 2006]
Ireland, P.N. 2001. “Money’s Role in the Monetary Business Cycle.” NBER Working Paper. No. 8815. Johansen, S. 1995. Likelihood-Based Inference in Cointegrated Vector Autoregressive Models. Oxford University Press, US. Laksani, C.S. 2004. Netralitas Uang di Indonesia Melalui Analisis Efektifitas Uang Beredar Dalam Mencapai Tujuan Makroekonomi [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lipsey, et all. 1995. Pengantar Makroekonomi. Jaka W., Kirbrandoko, Budijanto [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N.G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi ke-4. Erlangga, Jakarta. Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi ke-6. Columbia University, New York.
Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi ke-4. BPFE, Yogyakarta. Nurdin, I. 2003. Hubungan Kausalitas Antara Uang Beredar, Pendapatan Nasional dan Tingkat Harga Penerapan Metodologi VAR [skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. Pasaribu, S.H. 2004. Eviews untuk Analisis Runtut Waktu. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar, H. 2001. Empirical Evaluation of Rival Theories of The Business Cycle : Applications of Structural VAR Models To The New Zealand Economy [disertasi]. Lincoln University. New Zealand. Siregar, H., dan B. D. Ward. 2001. ”Long Run Money Demand, Long Run Spending Balance and Macro-Economic Fluctuation: Application of A Cointegrating SVAR Model To The Indonesian Macroeconomy.” International Economics. Genova. Siregar, H., dan B. D. Ward. 2002. “Can Monetary Policy/Shock Stabilise Indonesian Macroeconomic Fluctuations?” Monetary and Financial Management in Asia in the 21st Century. World Scientific. New Jersey. Solikin dan Suseno. 2002. Uang : Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian. Pusat Penelitian dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. Jakarta. Solikin dan Suseno. 2002. Penyusunan Statistik Uang Beredar. Pusat Penelitian dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. Jakarta. Supriana, T. 2004. Dampak Guncangan Struktural Terhadap Fluktuasi Ekonomimakro Indonesia: Suatu Kajian Business Cycle Dari Sisi Permintaan [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Thomas, R.L. 1997. Modern Econometrics An Introduction. Addison Wesley Longman Limited, England.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data yang digunakan dalam penelitian
obs
UK
UG
M2
ER
iDEP
TB
IHK
PDB
1990:1
7780
14375
64,367
1823
0.1623
0.0787
27.5917
1810.617
1990:2
8279
14926
70,125
1844
0.1608
0.0774
28.203
1832.5
1990:3
8930
14050
76,907
1864
0.1836
0.0738
29.3223
1871.102
1990:4
9094
14725
84,630
1901
0.21
0.0681
29.8551
1820.861
1991:1
9026
14544
81,124
1932
0.2421
0.0591
30.1914
1952.112
1991:2
8824
15785
87,757
1954
0.2501
0.056
30.8856
1981.506
1991:3
9025
16780
93,328
1968
0.2261
0.0525
31.9968
2033.547
1991:4
9346
16996
99,059
1992
0.2188
0.0412
32.7243
1979.11
1992:1
11025
16293
100,796
2017
0.2129
0.0405
33.1556
2009.947
1992:2
9944
16900
106,922
2033
0.2009
0.037
33.73
2038.69
1992:3
10440
17186
113,487
2038
0.1848
0.0297
34.0215
2159.605
1992:4
11478
17301
119,052
2062
0.1672
0.0325
34.3582
2139.693
1993:1
12324
18268
123,161
2071
0.1571
0.0297
36.2094
2142.593
1993:2
12386
19177
124,340
2088
0.1519
0.031
36.927
2178.108
1993:3
13106
21935
136,387
2108
0.1376
0.0296
37.3651
2288.874
1993:4
14431
22605
145,202
2110
0.1179
0.0308
37.868
2277.385
1994:1
15652
22800
148,829
2144
0.1153
0.0352
39.0731
2251.651
1994:2
15825
24281
152,798
2160
0.1207
0.0418
39.7303
2340.481
1994:3
17555
24853
162,900
2181
0.1335
0.0464
40.6891
2452.991
1994:4
18637
26985
174,512
2200
0.1427
0.0564
41.5158
2443.479
1995:1
18902
26006
181,701
2219
0.1592
0.0573
42.6545
2497.814
1995:2
19186
27859
192,127
2246
0.1709
0.055
43.8955
2543.951
1995:3
19564
29417
206,079
2276
0.176
0.0526
44.4768
2633.283
1995:4
20807
31870
222,638
2308
0.1715
0.0516
45.168
2638.66
1996:1
21121
32041
232,493
2336
0.1729
0.0496
47.1806
2597.042
1996:2
21271
35177
249,445
2342
0.1735
0.0511
47.401
2718.213
1996:3
21055
38629
259,928
2340
0.1725
0.0515
47.6118
2876.178
1996:4
22487
41602
288,631
2383
0.1703
0.0487
48.0414
3002.681
1997:1
23312
40253
294,581
2419
0.1647
0.0514
49.2843
2958.366
1997:2
23754
46196
312,839
2450
0.1593
0.0492
49.7123
3005.413
1997:3
23916
42342
329,074
3275
0.2622
0.0497
50.6412
3223.699
1997:4
28424
49919
355,643
4650
0.2392
0.0516
52.4484
3227.019
1998:1
38196
60074
449,824
8325
0.2726
0.0503
62.8489
3463.131
1998:2
44924
64556
565,785
14900
0.4063
0.0499
74.3726
3124.632
1998:3
42725
59838
550,404
10700
0.4738
0.0474
89.2947
3062.477
1998:4
41394
59803
577,381
8025
0.4923
0.0442
93.5622
2844.183
1999:1
44682
61023
603,326
8685
0.3485
0.0448
98.0121
2808.092
1999:2
43530
62434
615,411
6726
0.2739
0.0459
97.3621
2789.545
1999:3
46424
71700
652,289
8386
0.1588
0.0473
95.176
2916.26
1999:4
58353
66280
646,205
7100
0.1295
0.0523
95.1095
2895.105
2000:1
51197
73466
656,451
7590
0.124
0.0572
97.4509
3327.132
2000:2
55831
78001
684,335
8735
0.1169
0.0574
98.4338
3416.652
2000:3
56844
78586
686,455
8780
0.1284
0.0599
100.628
3585.314
2000:4
72371
89815
747,027
9595
0.1324
0.05833
103.494
3560.013
2001:1
60114
88261
766,812
10400
0.1486
0.045
106.558
3734.642
2001:2
66201
93941
796,441
11440
0.15
0.034775
109.409
3876.071
2001:3
69047
95190
783,104
9675
0.1616
0.0287
113.47
3823.962
2001:4
76342
101389
844,054
10400
0.1724
0.01715
116.579
3674.255
2002:1
69716
96457
831,410
9655
0.1702
0.018113
122.053
3722.932
2002:2
71975
102042
838,635
8730
0.1585
0.01705
123.146
3791.613
2002:3
72757
109034
859,706
9015
0.1436
0.01631
125.241
3920.681
2002:4
80686
111253
883,908
8940
0.1363
0.01197
128.557
3776.162
2003:1
72323
108916
877,776
8908
0.129
0.01123
131.506
3791.051
2003:2
77091
117787
894,554
8285
0.1155
0.0094
131.772
3814.847
2003:3
81118
126469
911,223
8389
0.0858
0.00941
132.893
3938.371
2003:4
94542
129257
955,692
8465
0.0714
0.00893
135.688
3771.395
2004:1
86881
132205
935,248
8587
0.0611
0.00938
137.925
3850.832
2004:2
97574
136152
975,166
9415
0.0631
0.01284
140.645
3979.729
2004:3
99505
141406
986,806
9170
0.0661
0.016675
142.146
4151.098
2004:4
109265
144553
1,033,528
9290
0.0671
0.022038
144.35
4102.702
2005:1
98584
151908
1,020,693
9480
0.0693
0.027563
148.591
4227.605
2005:2
106125
161510
1,073,746
9713
0.0719
0.029963
151.397
4367.841
2005:3
114998
158956
1,150,451
10310
0.0851
0.03455
154.104
4564.943
Lampiran 2. Uji Stasioneritas Data Log Uang Kartal pada Level Null Hypothesis: LUK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.541895 -3.540198 -2.909206 -2.592215
0.8751
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LUK) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:05 Sample(adjusted): 1990:2 2005:3 Included observations: 62 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LUK(-1) C
-0.005185 0.097379
0.009567 0.099030
-0.541895 0.983321
0.5899 0.3294
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid
0.004870 -0.011715 0.063178 0.239488
Log likelihood Durbin-Watson stat
84.27375 1.937298
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.043891 0.062811 -2.653992 -2.585375 0.293650 0.589898
Log Uang Kartal pada 1st Dif Null Hypothesis: D(LUK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.550592 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0000
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LUK,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:09 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LUK(-1)) C
-0.977878 0.041989
0.129510 0.009873
-7.550592 4.253080
0.0000 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.491429 0.482810 0.063405 0.237188 82.71294 2.003965
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000433 0.088165 -2.646326 -2.577117 57.01144 0.000000
Log Uang Giral pada Level Null Hypothesis: LUG has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.067387 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.9479
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LUG) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:04 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LUG(-1) D(LUG(-1)) C
-0.000595 -0.213755 0.053499
0.008831 0.129753 0.094899
-0.067387 -1.647407 0.563750
0.9465 0.1049 0.5751
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.045475 0.012561 0.053002 0.162934 94.16589 1.967125
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.038742 0.053338 -2.989045 -2.885232 1.381617 0.259314
Log Uang Giral pada 1st Dif Null Hypothesis: D(LUG) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.481978 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LUG,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:09 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LUG(-1)) C
-1.214571 0.047130
0.128093 0.008388
-9.481978 5.619030
0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.603782 0.597066 0.052553 0.162947 94.16350 1.966549
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000351 0.082790 -3.021754 -2.952545 89.90791 0.000000
Log M2 pada Level Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.583807 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.4847
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LM2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:03 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LM2(-1) D(LM2(-1)) C
-0.009598 0.253571 0.156329
0.006060 0.125952 0.079023
-1.583807 2.013238 1.978277
0.1187 0.0487 0.0527
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression
0.130697 0.100721 0.040581
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion
0.045738 0.042793 -3.523118
Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.095514 110.4551 1.990993
Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-3.419304 4.360050 0.017217
Log M2 pada 1st Dif Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
t-Statistic
Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic
-5.639893
0.0000
Test critical values:
1% level
-3.542097
5% level
-2.910019
10% level
-2.592645
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LM2,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:08 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LM2(-1))
-0.696201
0.123442
-5.639893
0.0000
C
0.031759
0.007743
4.101885
0.0001
R-squared
0.350280
Mean dependent var
-0.000275
Adjusted R-squared
0.339268
S.D. dependent var
0.050558
S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.041096 0.099645 109.1637
Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic
Durbin-Watson stat
2.027029
Prob(F-statistic)
-3.513565 -3.444356 31.80839 0.000001
Log ER pada Level Null Hypothesis: LER has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.072714 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.7212
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LER) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:01 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LER(-1) D(LER(-1))
-0.026244 0.307302
0.024465 0.124729
-1.072714 2.463761
0.2878 0.0167
C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.240157 0.105041 0.074180 0.137571 1.097702 35.98322 2.037429
0.205921
1.166256
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.2483 0.028244 0.142977 -1.081417 -0.977604 3.403702 0.040022
Log ER pada 1st Dif Null Hypothesis: D(LER) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.663179 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LER,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:07 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LER(-1)) C
-0.704505 0.020103
0.124401 0.017967
-5.663179 1.118883
0.0000 0.2677
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.352158 0.341178 0.137747 1.119480 35.38403 2.025073
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000692 0.169706 -1.094558 -1.025349 32.07159 0.000000
iDEP pada Level Null Hypothesis: IDEP3BLN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.803202 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0637
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(IDEP3BLN) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:05 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable IDEP3BLN(-1) D(IDEP3BLN(-1)) C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient -0.133940
Std. Error 0.047781
t-Statistic -2.803202
Prob. 0.0069
0.528039 0.022934
0.113438 0.009260
4.654874 2.476616
0.0000 0.0162
0.298705 0.274523 0.031077 0.056013 126.7324 2.196797
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.001155 0.036486 -4.056799 -3.952985 12.35209 0.000034
iDEP pada 1st Dif Null Hypothesis: D(IDEP3BLN) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-4.707299 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0003
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(IDEP3BLN,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:06 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(IDEP3BLN(-1)) C
-0.547861 -0.000502
0.116385 0.004207
-4.707299 -0.119216
0.0000 0.9055
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.273029 0.260707 0.032833 0.063602 122.8571 2.026040
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000290 0.038186 -3.962529 -3.893320 22.15866 0.000016
TB pada Level Null Hypothesis: TB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.451729 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.1323
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TB) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:06 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
TB(-1) D(TB(-1)) C
-0.066699 0.539469 0.002421
0.027205 0.105889 0.001189
-2.451729 5.094663 2.035248
0.0172 0.0000 0.0464
R-squared Adjusted R-squared
0.359660 0.337580
Mean dependent var S.D. dependent var
-0.000694 0.004486
S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.003651 0.000773 257.3567 2.316884
Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-8.339564 -8.235751 16.28846 0.000002
TB pada 1st Dif Null Hypothesis: D(TB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
t-Statistic -4.120856 -3.542097 -2.910019 -2.592645
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Prob.* 0.0018
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(TB,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:10 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(TB(-1)) C
-0.454378 -0.000252
0.110263 0.000495
-4.120856 -0.509771
0.0001 0.6121
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.223495 0.210334 0.003803 0.000853 254.3491 2.239039
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000116 0.004280 -8.273740 -8.204531 16.98145 0.000119
Log IHK pada Level Null Hypothesis: LIHK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-0.381076 -3.546099 -2.911730 -2.593551
0.9052
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LIHK) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:01 Sample(adjusted): 1991:1 2005:3 Included observations: 59 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LIHK(-1) D(LIHK(-1)) D(LIHK(-2)) D(LIHK(-3)) C
-0.002110 0.811123 0.079547 -0.359627 0.022014
0.005537 0.126152 0.166282 0.126227 0.023448
-0.381076 6.429728 0.478384 -2.849052 0.938876
0.7046 0.0000 0.6343 0.0062 0.3520
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.611856 0.583105 0.023421 0.029622 140.3871 1.968038
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.027866 0.036274 -4.589393 -4.413331 21.28091 0.000000
Log IHK pada 1st Dif Null Hypothesis: D(LIHK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
t-Statistic -4.698799 -3.546099 -2.911730 -2.593551
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Prob.* 0.0003
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LIHK,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:07 Sample(adjusted): 1991:1 2005:3 Included observations: 59 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LIHK(-1)) D(LIHK(-1),2) D(LIHK(-2),2)
-0.472281 0.284001 0.363306
0.100511 0.122107 0.124875
-4.698799 2.325843 2.909344
0.0000 0.0237 0.0052
C
0.013221
0.004129
3.201976
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid
0.298924 0.260683 0.023239 0.029702
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion
Log likelihood Durbin-Watson stat
140.3079 1.967744
F-statistic Prob(F-statistic)
0.0023 4.76E-06 0.027027 -4.620606 -4.479756 7.816943 0.000196
Log PDB pada Level Null Hypothesis: LPDB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.649741 -3.540198 -2.909206 -2.592215
0.8511
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LPDB) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:03 Sample(adjusted): 1990:2 2005:3 Included observations: 62 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LPDB(-1) C
-0.009437 0.089505
0.014524 0.115715
-0.649741 0.773497
0.5183 0.4423
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.006987 -0.009563 0.029744 0.053082 130.9807 1.573882
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.014361 0.029603 -4.160667 -4.092050 0.422163 0.518340
Log PDB pada 1st Dif Null Hypothesis: D(LPDB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.203863 -3.542097 -2.910019 -2.592645
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LPDB,2) Method: Least Squares Date: 06/24/06 Time: 16:03 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LPDB(-1)) C
-0.789462 0.011475
0.127253 0.004180
-6.203863 2.745182
0.0000 0.0080
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.394797 0.384539 0.029411 0.051035 129.5711 2.058188
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000217 0.037489 -4.182659 -4.113450 38.48792 0.000000
Lampiran 3. Estimasi VAR dengan Menggunakan Log M2 Vector Autoregression Estimates Date: 06/24/06 Time: 16:19 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] TB LPDB LM2 IDEP3BLN LER TB(-1) 1.228157 0.883395 2.822749 -0.593264 3.528906 (0.13366) (0.74790) (1.19572) (0.68234) (4.71350) [ 9.18834] [ 1.18117] [ 2.36071] [-0.86946] [ 0.74868]
LIHK 1.373443 (0.51938) [ 2.64437]
TB(-2)
-0.332921 (0.13724) [-2.42579]
-0.408819 (0.76792) [-0.53237]
-2.213695 (1.22772) [-1.80310]
1.288498 (0.70060) [ 1.83913]
-3.328944 (4.83965) [-0.68785]
-1.570161 (0.53328) [-2.94432]
LPDB(-1)
-0.002591 (0.02139) [-0.12112]
0.624684 (0.11969) [ 5.21938]
0.750261 (0.19135) [ 3.92090]
0.051602 (0.10919) [ 0.47257]
2.657425 (0.75429) [ 3.52306]
0.138587 (0.08312) [ 1.66739]
LPDB(-2)
-0.036437 (0.02038) [-1.78828]
0.195659 (0.11401) [ 1.71617]
-0.224522 (0.18227) [-1.23179]
0.068247 (0.10402) [ 0.65612]
-1.714904 (0.71852) [-2.38672]
0.094526 (0.07917) [ 1.19390]
LM2(-1)
0.013627 (0.02339) [ 0.58260]
-0.297586 (0.13088) [-2.27377]
0.718492 (0.20924) [ 3.43377]
-0.142588 (0.11940) [-1.19415]
0.102601 (0.82483) [ 0.12439]
-0.056641 (0.09089) [-0.62319]
LM2(-2)
0.001333 (0.02341) [ 0.05694]
0.408590 (0.13097) [ 3.11973]
0.129685 (0.20939) [ 0.61935]
0.137749 (0.11949) [ 1.15282]
-0.224795 (0.82541) [-0.27234]
0.006125 (0.09095) [ 0.06734]
IDEP3BLN(-1)
0.010417 (0.02220) [ 0.46916]
0.006383 (0.12424) [ 0.05138]
-0.418294 (0.19862) [-2.10595]
0.500184 (0.11335) [ 4.41290]
-0.008276 (0.78298) [-0.01057]
-0.036527 (0.08628) [-0.42337]
IDEP3BLN(-2)
-0.011658 (0.01978) [-0.58952]
-0.167890 (0.11065) [-1.51732]
0.620588 (0.17690) [ 3.50808]
0.123719 (0.10095) [ 1.22555]
0.480137 (0.69735) [ 0.68852]
0.097633 (0.07684) [ 1.27058]
LER(-1)
-0.000871 (0.00578) [-0.15066]
0.052271 (0.03233) [ 1.61678]
0.040125 (0.05169) [ 0.77628]
0.070003 (0.02950) [ 2.37326]
1.063876 (0.20376) [ 5.22130]
0.154139 (0.02245) [ 6.86525]
LER(-2)
-0.010945 (0.00835) [-1.31096]
-0.059976 (0.04671) [-1.28390]
-0.007878 (0.07468) [-0.10549]
-0.062161 (0.04262) [-1.45852]
-0.000914 (0.29440) [-0.00311]
-0.067269 (0.03244) [-2.07359]
LIHK(-1)
0.044457 (0.03864) [ 1.15057]
-0.417861 (0.21620) [-1.93275]
0.278919 (0.34565) [ 0.80693]
0.844977 (0.19725) [ 4.28384]
-0.891598 (1.36256) [-0.65436]
1.031585 (0.15014) [ 6.87077]
LIHK(-2)
-0.037483
0.323162
-0.323845
-0.912855
0.608457
-0.163101
C
(0.03306) [-1.13366]
(0.18500) [ 1.74679]
(0.29578) [-1.09490]
(0.16879) [-5.40837]
(1.16595) [ 0.52186]
(0.12848) [-1.26950]
0.192753 (0.07423) [ 2.59657] 0.964081 0.955102 0.000600 0.003536 107.3632 265.0867 -8.265138 -7.815279 0.039455
0.531934 (0.41536) [ 1.28065] 0.995248 0.994059 0.018789 0.019785 837.6761 160.0487 -4.821267 -4.371409 7.984729
-2.358730 (0.66407) [-3.55194] 0.998973 0.998717 0.048025 0.031631 3891.741 131.4255 -3.882803 -3.432944 12.78356
-0.660113 (0.37895) [-1.74194] 0.965697 0.957121 0.015639 0.018050 112.6066 165.6449 -5.004752 -4.554893 0.172998
-5.377548 (2.61775) [-2.05426] 0.976503 0.970629 0.746270 0.124689 166.2352 47.75276 -1.139435 -0.689577 8.425466
-1.372213 (0.28845) [-4.75717] 0.999536 0.999419 0.009061 0.013740 8607.931 182.2909 -5.550521 -5.100663 4.211699
0.256694 7.65E-22
0.882923
0.087169
0.727557
0.570213
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 0.016687 Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
963.6522 -29.03778 -26.33863
Lampiran 4. Uji Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: TB LPDB LM2 IDEP3BLN LER LIHK Exogenous variables: C Lag specification: 1 6 Date: 06/24/06 Time: 16:13 Root 0.992003 - 0.126193i 0.992003 + 0.126193i 0.999980 0.951850 - 0.306242i 0.951850 + 0.306242i 0.876442 + 0.419585i 0.876442 - 0.419585i -0.523718 - 0.775062i -0.523718 + 0.775062i 0.178442 + 0.902220i 0.178442 - 0.902220i -0.371215 - 0.836584i -0.371215 + 0.836584i 0.600607 - 0.689608i 0.600607 + 0.689608i -0.908914 0.375986 + 0.825341i 0.375986 - 0.825341i 0.755439 - 0.501722i 0.755439 + 0.501722i -0.732948 - 0.514789i -0.732948 + 0.514789i -0.821160 + 0.318434i -0.821160 - 0.318434i 0.877033 -0.627929 - 0.606386i -0.627929 + 0.606386i 0.340836 - 0.792156i 0.340836 + 0.792156i 0.011760 + 0.672996i 0.011760 - 0.672996i -0.354760 + 0.522116i -0.354760 - 0.522116i -0.575454 0.559672 -0.408292
Modulus 0.999997 0.999997 0.999980 0.999901 0.999901 0.971701 0.971701 0.935415 0.935415 0.919697 0.919697 0.915245 0.915245 0.914488 0.914488 0.908914 0.906947 0.906947 0.906871 0.906871 0.895667 0.895667 0.880741 0.880741 0.877033 0.872926 0.872926 0.862369 0.862369 0.673099 0.673099 0.631237 0.631237 0.575454 0.559672 0.408292
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 5. Penentuan Lag Optimal VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: TB LPDB LM2 IDEP3BLN LER LIHK Exogenous variables: C Date: 06/24/06 Time: 16:13 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 57 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6
325.9177 867.8823 958.0196 1023.054 1067.068 1122.162 1207.854
NA 950.8150 139.1594 86.71286 49.41953 50.26076 60.13439*
5.37E-13 1.06E-20 1.65E-21 6.63E-22 6.26E-22 4.81E-22 1.71E-22*
-11.22518 -28.97832 -30.87788 -31.89664 -32.17784 -32.84779 -34.59135*
-11.01012 -27.47292 -28.08213* -27.81054 -26.80139 -26.18099 -26.63421
-11.14160 -28.39327 -29.79135 -30.30864 -30.08837 -30.25685 -31.49893*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 6. Uji Kointegrasi Johansen dengan Asumsi “Summary”
Date: 06/24/06 Time: 16:16 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 61 Series: TB LPDB LM2 IDEP3BLN LER LIHK Lags interval: 1 to 1 Data Trend:
None
Rank or No Intercept No. of CEs No Trend
None
Linear
Linear
Quadratic
Intercept No Trend
Intercept No Trend
Intercept Trend
Intercept Trend
Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns) Trace Max-Eig
3 3
4 4
4 4
4 5
4 3
Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5 6
881.7082 926.1514 963.5071 977.7937 983.3959 986.7679 986.8105
881.7082 926.6803 964.8491 987.2365 1000.245 1004.599 1007.512
907.8826 950.3302 973.7142 989.3186 1001.738 1005.502 1007.512
907.8826 950.7330 975.5280 998.1711 1011.882 1021.560 1024.071
919.3193 959.3861 982.0390 1003.852 1015.056 1023.147 1024.071
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5
-27.72814 -28.79185 -29.62318 -29.69815 -29.48839 -29.20551
-27.72814 -28.77640 -29.60161 -29.90939 -29.90967 -29.62621
-28.38959 -29.38787 -29.76112 -29.87930 -29.89306 -29.62301
-28.38959 -29.36829 -29.75502 -30.07118 -30.09449 -29.98557
-28.56785 -29.48807 -29.83734 -30.15907* -30.13297 -30.00481
6
-28.81346
-29.29548
-29.29548
-29.64166
-29.64166
Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3
-26.48238 -27.13083 -27.54691* -27.20663
-26.48238 -27.08078 -27.45613 -27.31406
-26.93620 -27.51923 -27.47722 -27.18015
-26.93620 -27.46505 -27.40191 -27.26822
-26.90683 -27.41180 -27.34582 -27.25229
4
-26.58161
-26.86447
-26.77866
-26.84167
-26.81094
5 6
-25.88348 -25.07617
-26.13115 -25.35057
-26.09335 -25.35057
-26.28289 -25.48912
-26.26753 -25.48912
Lampiran 7. Uji Kointegrasi Johansen dengan “Asumsi 1” Date: 07/19/06 Time: 05:41 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Trend assumption: No deterministic trend Series: TB LPDB LER IDEP3BLN LM2 LIHK Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 At most 4 At most 5
210.2047 121.3182 46.60691 18.03370 6.829158 0.085152
82.49 59.46 39.89 24.31 12.53 3.84
90.45 66.52 45.58 29.75 16.31 6.51
0.767102 0.706176 0.374005 0.167799 0.104665 0.001395
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue
None ** At most 1 ** At most 2 * At most 3 At most 4 At most 5
0.767102 0.706176 0.374005 0.167799 0.104665 0.001395
Max-Eigen Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
88.88651 74.71125 28.57321 11.20455 6.744006 0.085152
36.36 30.04 23.80 17.89 11.44 3.84
41.00 35.17 28.82 22.99 15.69 6.51
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 5% level Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at the 1% level Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): TB 28.11504 44.98200 7.804539 28.99800 70.50887 -31.88135
LPDB 2.996100 1.504581 8.941677 5.760822 -1.580390 -6.977422
LER -2.696393 -1.322172 -4.766048 3.580869 -2.813158 3.927670
IDEP3BLN -10.46909 -7.106229 19.31020 1.630516 3.366696 -3.212941
LM2 -1.430068 -0.059621 -6.773769 -8.071091 1.384782 6.357494
LIHK 3.778469 0.211217 12.28284 6.077522 3.558410 -13.49400
-0.001102
-0.000642
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(TB)
-1.04E-05
-0.000815
8.95E-05
-4.40E-05
D(LPDB) -0.010473 0.017806 D(LER) 0.005674 -0.001485 D(IDEP3BLN) 0.019725 0.006845 D(LM2) -0.000672 0.016241 D(LIHK) -0.005188 0.004021
-0.003461 -0.024415 -0.000409 -0.003435 -0.000132
0.001441 0.013769 -0.000969 0.000143 -0.002334
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) TB LPDB LER IDEP3BLN LM2 1.000000 0.106566 -0.095906 -0.372366 -0.050865 (0.03327) (0.01961) (0.06412) (0.03169)
LIHK 0.134393 (0.04541)
1 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-0.006721 0.019880 -0.006915 0.013293 0.000464 926.1514
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(TB) -0.000291 (0.01434) D(LPDB) -0.294445 (0.10277) D(LER) 0.159525 (0.46955) D(IDEP3BLN) 0.554570 (0.07484) D(LM2) -0.018902 (0.14832) D(LIHK) -0.145850 (0.06048) 2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
963.5071
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) TB LPDB LER IDEP3BLN LM2 1.000000 0.000000 0.001034 -0.059905 0.021337 (0.02091) (0.06177) (0.01146) 0.000000 1.000000 -0.909668 -2.932095 -0.677535 (0.30535) (0.90213) (0.16742) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(TB) -0.036965 -0.001258 (0.02638) (0.00167) D(LPDB) 0.506521 -0.004587 (0.14297) (0.00904) D(LER) 0.092716 0.014765 (0.88584) (0.05599) D(IDEP3BLN) 0.862470 0.069397 (0.13191) (0.00834) D(LM2) 0.711664 0.022422 (0.25306) (0.01599) D(LIHK) 0.035007 -0.009493 (0.11021) (0.00697) 3 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
977.7937
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
LIHK -0.054636 (0.01951) 1.773831 (0.28499)
2.79E-05 0.003355 0.000254 0.000860 0.000468
TB 1.000000
LPDB 0.000000
LER 0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
IDEP3BLN -0.074056 (0.05742) 9.521087 (1.44885) 13.68982 (2.40702)
LM2 0.021608 (0.00569) -0.916334 (0.14359) -0.262513 (0.23855)
LIHK -0.053667 (0.01567) 0.920498 (0.39547) -0.938071 (0.65700)
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) TB LPDB LER IDEP3BLN LM2 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.023442 (0.00565) 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 -1.152127 (0.05613) 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 -0.601546 (0.06873) 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.024765 (0.01571)
LIHK -0.057877 (0.01625) 1.461749 (0.16145) -0.159837 (0.19770) -0.056848 (0.04520)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(TB) -0.036266 -0.000457 0.000679 (0.02665) (0.00475) (0.00280) D(LPDB) 0.454069 -0.064681 0.036727 (0.13560) (0.02415) (0.01425) D(LER) 0.247870 0.192525 -0.108084 (0.88309) (0.15729) (0.09278) D(IDEP3BLN) 0.808504 0.007568 -0.029281 (0.12302) (0.02191) (0.01293) D(LM2) 0.815406 0.141280 -0.083014 (0.23592) (0.04202) (0.02479) D(LIHK) 0.038625 -0.005348 0.006462 (0.11135) (0.01983) (0.01170) 4 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
983.3959
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(TB) -0.068223 -0.006806 -0.003267 (0.02883) (0.00528) (0.00316) D(LPDB) 0.353716 -0.084617 0.024335 (0.15136) (0.02769) (0.01657) D(LER) -0.460108 0.051877 -0.195510 (0.98253) (0.17977) (0.10759) D(IDEP3BLN) 0.796648 0.005213 -0.030745 (0.13982) (0.02558) (0.01531) D(LM2) 0.715810 0.121494 -0.095313 (0.26664) (0.04878) (0.02920) D(LIHK) 0.034795 -0.006109 0.005990 (0.12658) (0.02316) (0.01386) 5 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
0.005834 (0.01095) -0.152315 (0.05747) 0.295230 (0.37305) -0.389335 (0.05309) 0.142707 (0.10124) 0.034474 (0.04806)
986.7679
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) TB LPDB LER IDEP3BLN LM2
LIHK
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(TB) -0.113470 -0.005792 -0.001462 (0.04330) (0.00523) (0.00337) D(LPDB) 0.455306 -0.086894 0.020281 (0.23068) (0.02788) (0.01793) D(LER) 0.510720 0.030116 -0.234244 (1.49177) (0.18028) (0.11594) D(IDEP3BLN) 0.728338 0.006744 -0.028020 (0.21342) (0.02579) (0.01659) D(LM2) 0.725870 0.121269 -0.095714 (0.40770) (0.04927) (0.03169) D(LIHK) -0.129804 -0.002419 0.012557 (0.19119) (0.02311) (0.01486)
0.003674 (0.01086) -0.147464 (0.05788) 0.341586 (0.37432) -0.392597 (0.05355) 0.143187 (0.10230) 0.026615 (0.04797)
0.000910 (0.00146) -1.427430 (0.06813) -1.668329 (0.03758) 0.005256 (0.00397) -2.507692 (0.06648) 0.007463 (0.00498) 0.089366 (0.02654) 0.073432 (0.17163) 0.020181 (0.02455) -0.062130 (0.04691) 0.001872 (0.02200)
Lampiran 8. Hasil VECM Vector Error Correction Estimates Date: 07/19/06 Time: 05:42 Sample(adjusted): 1990:3 2005:3 Included observations: 61 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1 CointEq2
CointEq3
TB(-1)
1.000000 0.000000
0.000000
LPDB(-1)
0.000000 1.000000
0.000000
LER(-1)
0.000000 0.000000
1.000000
IDEP3BLN(-1) -0.074056 9.521087 13.68982 (0.05742) (1.44885) (2.40702) [-1.28975] [ 6.57147] [ 5.68744] LM2(-1)
0.021608 -0.916334 -0.262513 (0.00569) (0.14359) (0.23855) [ 3.79731] [-6.38174] [-1.10047]
LIHK(-1)
-0.053667 0.920498 -0.938071 (0.01567) (0.39547) (0.65700) [-3.42423] [ 2.32763] [-1.42781]
Error Correction:
D(TB)
D(LPDB)
D(LER)
D(IDEP3BLN)
D(LM2)
D(LIHK)
CointEq1
-0.036266 0.454069 0.247870 (0.02665) (0.13560) (0.88309) [-1.36075] [ 3.34865] [ 0.28068]
0.808504 (0.12302) [ 6.57208]
0.815406 (0.23592) [ 3.45628]
0.038625 (0.11135) [ 0.34689]
CointEq2
-0.000457 -0.064681 0.192525 (0.00475) (0.02415) (0.15729) [-0.09628] [-2.67818] [ 1.22405]
0.007568 (0.02191) [ 0.34541]
0.141280 (0.04202) [ 3.36227]
-0.005348 (0.01983) [-0.26967]
CointEq3
0.000679 0.036727 -0.108084 (0.00280) (0.01425) (0.09278) [ 0.24252] [ 2.57793] [-1.16492]
-0.029281 (0.01293) [-2.26540]
-0.083014 (0.02479) [-3.34908]
0.006462 (0.01170) [ 0.55240]
D(TB(-1))
0.551119 1.216428 1.384876 (0.12336) (0.62766) (4.08768) [ 4.46739] [ 1.93805] [ 0.33879]
-1.876858 (0.56944) [-3.29596]
0.471639 (1.09203) [ 0.43189]
0.273753 (0.51541) [ 0.53114]
D(LPDB(-1))
0.024070 -0.227057 2.168292 (0.02095) (0.10661) (0.69432) [ 1.14869] [-2.12976] [ 3.12290]
-0.019891 (0.09672) [-0.20565]
0.405918 (0.18549) [ 2.18837]
0.004514 (0.08755) [ 0.05157]
D(LER(-1))
-0.002891 0.017558 0.336721 (0.00695) (0.03536) (0.23028) [-0.41591] [ 0.49656] [ 1.46219]
0.109349 (0.03208) [ 3.40861]
0.169196 (0.06152) [ 2.75020]
0.166398 (0.02904) [ 5.73074]
-0.059197
-0.385072
0.037093
D(IDEP3BLN(- -0.011535 0.110430
0.056970
1)) (0.01997) (0.10160) (0.66166) [-0.57764] [ 1.08695] [ 0.08610]
(0.09217) [-0.64224]
(0.17676) [-2.17846]
(0.08343) [ 0.44461]
D(LM2(-1))
0.023806 -0.334801 -0.121831 (0.02424) (0.12334) (0.80328) [ 0.98198] [-2.71439] [-0.15167]
-0.198309 (0.11190) [-1.77215]
-0.332078 (0.21460) [-1.54743]
-0.136870 (0.10128) [-1.35135]
D(LIHK(-1))
-0.018457 -0.494246 0.291303 (0.03030) (0.15418) (1.00413) [-0.60907] [-3.20559] [ 0.29010]
1.064824 (0.13988) [ 7.61228]
0.828602 (0.26826) [ 3.08885]
0.488889 (0.12661) [ 3.86143]
0.350957 0.251104 0.000784 0.003882 3.514740 256.9450 -8.129343 -7.817902 -0.000694 0.004486
0.620099 0.561653 0.020288 0.019752 10.60973 157.7072 -4.875645 -4.564205 0.014478 0.029834
0.790926 0.758761 0.016699 0.017920 24.58947 163.6447 -5.070318 -4.758877 -0.001155 0.036486
0.441055 0.355063 0.061414 0.034366 5.129051 123.9251 -3.768037 -3.456597 0.045738 0.042793
0.820995 0.793456 0.013680 0.016220 29.81189 169.7266 -5.269724 -4.958284 0.027913 0.035689
Determinant Residual Covariance Log Likelihood Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
1.25E-21
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
977.7937 948.5813 -28.74037 -26.24885
0.298439 0.190506 0.860492 0.128639 2.765049 43.40906 -1.128166 -0.816726 0.028244 0.142977
Lampiran 9. Grafik Impulse Response Function
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of TB to TB
Response of LPDB to TB
.008
.05
.007
.04
.006
.03
.005
.02
.004
.01
.003
.00 10
20
30
40
50
60
10
Response of LER to TB
20
30
40
50
60
Response of IDEP3BLN to TB .020
.12
.015 .010
.08
.005 .04
.000 -.005
.00
-.010 10
20
30
40
50
60
10
Response of LM2 to TB
20
30
40
50
60
50
60
Response of LIHK to TB
.20
.10
.16
.08
.12
.06
.08
.04
.04
.02
.00
.00
-.04
-.02 10
20
30
40
50
60
10
20
30
40
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LPDB to LPDB
Response of LER to LPDB
.020
.09 .08
.016
.07 .012 .06 .008 .05 .004
.04
.000
.03 10
20
30
40
50
60
10
Response of IDEP3BLN to LPDB
20
30
40
50
60
50
60
Response of LM2 to LPDB
.016
.024
.012
.020
.008
.016
.004
.012
.000
.008
-.004
.004
-.008
.000 10
20
30
40
50
60
50
60
Response of LIHK to LPDB .030 .025 .020 .015 .010 .005 .000 10
20
30
40
10
20
30
40
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LPDB to LM2
Response of LER to LM2
.000
.000
-.002
-.004
-.004
-.008
-.006
-.012
-.008
-.016
-.010
-.020
-.012
-.024 10
20
30
40
50
60
10
Response of IDEP3BLN to LM2
20
30
40
50
60
50
60
Response of LM2 to LM2
.006
.021
.005
.020
.004
.019
.003
.018
.002
.017
.001
.016
.000
.015
-.001
.014 10
20
30
40
50
60
50
60
Response of LIHK to LM2 .012 .011 .010 .009 .008 .007 .006 .005 10
20
30
40
10
20
30
40
Lampiran 10. Hasil Variance Decomposition Variance Decomposition of LPDB: Period S.E. TB LPDB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
0.003882 0.007081 0.010032 0.012616 0.014800 0.016640 0.018204 0.019571 0.020800 0.021935 0.023001 0.024011 0.024972 0.025887 0.026759 0.027590 0.028383 0.029140 0.029865 0.030560 0.031228 0.031872 0.032494 0.033096 0.033679 0.034245 0.034795 0.035329 0.035848 0.036354 0.036845 0.037325 0.037792 0.038247 0.038692 0.039126 0.039551 0.039966 0.040372 0.040769 0.041158 0.041539 0.041913 0.042279 0.042638 0.042990 0.043335 0.043674 0.044007
0.842862 8.511855 11.40935 12.70388 12.93508 12.47228 11.99705 11.55366 11.24506 11.06135 10.98720 11.01431 11.13387 11.34647 11.64756 12.03000 12.48232 12.99167 13.54699 14.13975 14.76463 15.41853 16.09971 16.80690 17.53865 18.29305 19.06763 19.85944 20.66530 21.48197 22.30639 23.13578 23.96768 24.80000 25.63091 26.45885 27.28241 28.10038 28.91163 29.71515 30.51004 31.29549 32.07081 32.83540 33.58875 34.33047 35.06021 35.77772 36.48282
99.15714 67.87928 47.16144 29.57959 19.27906 13.61720 10.43576 8.587808 7.448871 6.737950 6.304832 6.055840 5.924065 5.848293 5.788967 5.721382 5.637568 5.539863 5.434927 5.330304 5.231569 5.141959 5.062371 4.991993 4.929025 4.871298 4.816797 4.763940 4.711693 4.659533 4.607329 4.555196 4.503355 4.452040 4.401436 4.351654 4.302742 4.254693 4.207471 4.161033 4.115338 4.070360 4.026086 3.982515 3.939656 3.897521 3.856122 3.815470 3.775571
LER
IDEP3BLN
LM2
LIHK
0.000000 3.551475 12.50846 23.56765 30.39927 35.71654 38.77297 40.56409 41.37183 41.47650 41.13580 40.48269 39.65467 38.73530 37.79244 36.87252 36.00112 35.18930 34.43425 33.72705 33.05651 32.41284 31.78928 31.18208 30.59009 30.01373 29.45414 28.91254 28.38978 27.88615 27.40140 26.93483 26.48549 26.05235 25.63440 25.23074 24.84063 24.46343 24.09864 23.74581 23.40452 23.07437 22.75498 22.44594 22.14684 21.85730 21.57693 21.30535 21.04220
0.000000 1.068386 4.000519 8.298232 10.41768 11.70705 12.31351 12.67807 12.94213 13.14192 13.31754 13.46389 13.59050 13.69837 13.78858 13.86125 13.91396 13.94564 13.95546 13.94404 13.91284 13.86371 13.79869 13.71969 13.62848 13.52664 13.41556 13.29649 13.17054 13.03871 12.90192 12.76098 12.61668 12.46968 12.32065 12.17014 12.01869 11.86675 11.71476 11.56307 11.41202 11.26190 11.11296 10.96541 10.81945 10.67522 10.53288 10.39252 10.25426
0.000000 14.01014 12.17366 10.55700 8.971676 7.618782 6.873956 6.366807 6.119419 6.013646 6.002668 6.050823 6.122075 6.201311 6.270921 6.323886 6.356532 6.369315 6.365563 6.348943 6.323171 6.290887 6.253791 6.212751 6.168069 6.119802 6.067929 6.012512 5.953734 5.891905 5.827431 5.760763 5.692355 5.622631 5.551965 5.480674 5.409023 5.337230 5.265479 5.193926 5.122709 5.051950 4.981762 4.912242 4.843479 4.775553 4.708530 4.642466 4.577409
0.000000 4.978862 12.74658 15.29364 17.99723 18.86814 19.60675 20.24955 20.87269 21.56863 22.25197 22.93245 23.57482 24.17026 24.71153 25.19096 25.60850 25.96420 26.26282 26.50992 26.71128 26.87207 26.99616 27.08659 27.14568 27.17549 27.17796 27.15508 27.10896 27.04173 26.95553 26.85245 26.73444 26.60329 26.46064 26.30794 26.14651 25.97751 25.80202 25.62101 25.43537 25.24592 25.05340 24.85850 24.66182 24.46394 24.26534 24.06647 23.86773
50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.044335 0.044656 0.044972 0.045282 0.045588 0.045888 0.046184 0.046475 0.046761 0.047043 0.047321
37.17537 37.85528 38.52252 39.17707 39.81896 40.44826 41.06505 41.66943 42.26154 42.84152 43.40953
3.736427 3.698036 3.660393 3.623492 3.587325 3.551882 3.517154 3.483132 3.449806 3.417166 3.385201
Variance Decomposition of LM2: Period S.E. TB LPDB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
0.017920 0.030554 0.046437 0.058438 0.065040 0.068452 0.070889 0.073649 0.076815 0.079968 0.082709 0.084922 0.086684 0.088155 0.089473 0.090726 0.091961 0.093202 0.094456 0.095722 0.096988 0.098241 0.099464 0.100646 0.101782 0.102871 0.103916 0.104921 0.105892 0.106834 0.107748 0.108638 0.109504 0.110348 0.111169 0.111968 0.112744 0.113499 0.114232 0.114945 0.115638
0.619433 0.675186 3.573701 6.783976 11.28437 16.30650 22.01294 28.05563 34.05233 39.80117 45.07947 49.84415 54.08162 57.83227 61.15407 64.10347 66.73568 69.09480 71.21751 73.13279 74.86414 76.43137 77.85160 79.14016 80.31092 81.37648 82.34821 83.23632 84.04984 84.79673 85.48396 86.11763 86.70305 87.24491 87.74730 88.21385 88.64781 89.05205 89.42916 89.78145 90.11100
1.356481 8.850767 11.87385 14.57407 15.21643 15.47916 15.27754 14.74221 14.03174 13.19861 12.35448 11.53733 10.77987 10.09171 9.471134 8.912999 8.408429 7.949948 7.530821 7.145984 6.791704 6.465141 6.164090 5.886611 5.630906 5.395214 5.177805 4.977001 4.791212 4.618966 4.458928 4.309913 4.170878 4.040909 3.919206 3.805067 3.697869 3.597052 3.502115 3.412602 3.328096
20.78716 20.53991 20.30014 20.06758 19.84194 19.62298 19.41045 19.20410 19.00372 18.80907 18.61995
10.11816 9.984290 9.852697 9.723419 9.596480 9.471896 9.349676 9.229818 9.112315 8.997156 8.884322
4.513395 4.450455 4.388610 4.327876 4.268265 4.209782 4.152429 4.096206 4.041109 3.987130 3.934260
23.66948 23.47203 23.27564 23.08057 22.88703 22.69520 22.50525 22.31731 22.13152 21.94796 21.76674
LER
IDEP3BLN
LM2
LIHK
62.90407 60.24408 61.66422 57.61371 54.07579 49.87986 45.36061 40.83151 36.42387 32.36116 28.70736 25.48836 22.68226 20.24494 18.12848 16.28520 14.67390 13.25980 12.01446 10.91470 9.941352 9.078271 8.311587 7.629236 7.020672 6.476680 5.989239 5.551400 5.157160 4.801345 4.479497 4.187764 3.922807 3.681723 3.461973 3.261333 3.077843 2.909776 2.755606 2.613981 2.483703
0.077124 0.034097 0.649883 1.035822 1.219137 1.291651 1.260621 1.204666 1.126731 1.048429 0.976201 0.912969 0.860109 0.815630 0.777904 0.744677 0.714292 0.685646 0.658123 0.631559 0.605985 0.581539 0.558351 0.536504 0.516016 0.496849 0.478927 0.462149 0.446411 0.431611 0.417660 0.404484 0.392018 0.380211 0.369018 0.358401 0.348323 0.338752 0.329657 0.321007 0.312775
35.04289 26.64157 19.29758 16.92676 15.07600 14.02821 13.17863 12.45143 11.84356 11.26616 10.74347 10.24631 9.777781 9.333569 8.910417 8.508788 8.127169 7.766091 7.425337 7.104787 6.804071 6.522454 6.259046 6.012732 5.782334 5.566643 5.364489 5.174778 4.996505 4.828765 4.670749 4.521727 4.381044 4.248105 4.122366 4.003327 3.890529 3.783545 3.681983 3.585481 3.493703
0.000000 3.554306 2.940770 3.065664 3.128277 3.014614 2.909643 2.714558 2.521764 2.324460 2.139022 1.970872 1.818357 1.681880 1.557997 1.444866 1.340526 1.243719 1.153758 1.070182 0.992751 0.921221 0.855328 0.794759 0.739155 0.688138 0.641325 0.598351 0.558874 0.522586 0.489206 0.458485 0.430199 0.404145 0.380141 0.358018 0.337624 0.318820 0.301479 0.285482 0.270725
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.116312 0.116968 0.117607 0.118229 0.118835 0.119426 0.120003 0.120565 0.121113 0.121647 0.122169 0.122678 0.123175 0.123660 0.124134 0.124597 0.125049 0.125491 0.125923
90.41969 90.70921 90.98109 91.23670 91.47729 91.70399 91.91784 92.11976 92.31061 92.49117 92.66215 92.82420 92.97792 93.12386 93.26253 93.39438 93.51986 93.63936 93.75324
3.248220 3.172628 3.101005 3.033066 2.968548 2.907214 2.848847 2.793250 2.740241 2.689654 2.641337 2.595148 2.550959 2.508650 2.468109 2.429234 2.391931 2.356110 2.321689
Variance Decomposition of LIHK: Period S.E. TB LPDB 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
0.034366 0.055648 0.073138 0.088240 0.101219 0.113540 0.125128 0.136476 0.147795 0.159263 0.170991 0.183003 0.195315 0.207916 0.220798 0.233946 0.247346 0.260982 0.274837 0.288894 0.303136 0.317548 0.332113 0.346819 0.361655 0.376610 0.391677 0.406848 0.422117 0.437479 0.452927 0.468457
0.024533 0.007842 0.018660 0.206086 0.573653 1.139013 1.928609 2.900986 4.014811 5.197173 6.392350 7.561296 8.686190 9.769376 10.82409 11.86994 12.92564 14.00556 15.11781 16.26421 17.44171 18.64410 19.86393 21.09383 22.32750 23.56006 24.78805 26.00914 27.22181 28.42496 29.61763 30.79886
0.618839 3.206935 8.309469 11.18611 12.99652 14.15829 14.86301 15.32533 15.59030 15.73550 15.80356 15.82794 15.83299 15.82992 15.82524 15.81887 15.80844 15.79049 15.76184 15.72063 15.66624 15.59927 15.52105 15.43325 15.33758 15.23551 15.12823 15.01661 14.90128 14.78269 14.66119 14.53709
2.363708 2.253047 2.150876 2.056440 1.969061 1.888132 1.813106 1.743490 1.678837 1.618747 1.562852 1.510823 1.462359 1.417185 1.375052 1.335734 1.299022 1.264726 1.232672
0.304934 0.297458 0.290326 0.283514 0.277005 0.270780 0.264823 0.259117 0.253650 0.248407 0.243376 0.238547 0.233908 0.229449 0.225160 0.221034 0.217061 0.213234 0.209546
3.406341 3.323113 3.243755 3.168029 3.095710 3.026594 2.960492 2.897226 2.836634 2.778563 2.722872 2.669430 2.618115 2.568811 2.521412 2.475819 2.431938 2.389682 2.348970
0.257109 0.244545 0.232952 0.222255 0.212387 0.203285 0.194891 0.187154 0.180024 0.173456 0.167411 0.161851 0.156740 0.152046 0.147740 0.143795 0.140185 0.136887 0.133880
LER
IDEP3BLN
LM2
LIHK
21.87577 58.20674 65.43633 67.81837 68.81273 69.09241 69.08186 68.76299 68.26142 67.64070 66.96048 66.26251 65.56275 64.86651 64.16672 63.45313 62.71534 61.94568 61.14082 60.30135 59.43117 58.53608 57.62259 56.69691 55.76441 54.82932 53.89477 52.96303 52.03571 51.11411 50.19931 49.29240
7.029122 4.967932 4.494391 4.288496 4.094626 3.811663 3.533801 3.280945 3.064793 2.884752 2.735596 2.613357 2.513139 2.430460 2.360602 2.299240 2.243020 2.189659 2.137983 2.087580 2.038505 1.990999 1.945308 1.901595 1.859902 1.820165 1.782242 1.745949 1.711094 1.677504 1.645034 1.613579
28.00138 11.01242 6.513096 4.264400 3.180770 2.598877 2.242669 2.021742 1.871346 1.767648 1.691486 1.631640 1.581116 1.534781 1.490540 1.447336 1.405271 1.364772 1.326276 1.290102 1.256346 1.224943 1.195706 1.168385 1.142715 1.118447 1.095373 1.073324 1.052178 1.031846 1.012269 0.993400
42.45037 22.59813 15.22805 12.23654 10.34170 9.199742 8.350054 7.708009 7.197339 6.774228 6.416536 6.103255 5.823814 5.568948 5.332813 5.111479 4.902282 4.703841 4.515277 4.336129 4.166028 4.004600 3.851428 3.706029 3.567892 3.436493 3.311333 3.191946 3.077921 2.968897 2.864569 2.764670
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.484064 0.499742 0.515487 0.531295 0.547160 0.563078 0.579047 0.595061 0.611118 0.627214 0.643346 0.659512 0.675707 0.691931 0.708179 0.724449 0.740739 0.757046 0.773369 0.789705 0.806051 0.822406 0.838768 0.855135 0.871505 0.887876 0.904247 0.920616
31.96759 33.12267 34.26293 35.38723 36.49452 37.58391 38.65467 39.70625 40.73822 41.75030 42.74233 43.71421 44.66592 45.59748 46.50897 47.40051 48.27224 49.12435 49.95706 50.77061 51.56528 52.34137 53.09919 53.83908 54.56137 55.26641 55.95458 56.62622
14.41072 14.28242 14.15256 14.02148 13.88957 13.75714 13.62451 13.49196 13.35972 13.22800 13.09699 12.96682 12.83765 12.70960 12.58277 12.45726 12.33316 12.21055 12.08948 11.97002 11.85221 11.73609 11.62169 11.50904 11.39814 11.28902 11.18167 11.07610
48.39445 47.50654 46.62975 45.76507 44.91340 44.07550 43.25200 42.44338 41.65001 40.87214 40.10993 39.36348 38.63282 37.91795 37.21882 36.53533 35.86738 35.21482 34.57747 33.95513 33.34759 32.75460 32.17592 31.61127 31.06039 30.52298 29.99877 29.48745
1.583063 1.553436 1.524665 1.496726 1.469598 1.443258 1.417684 1.392849 1.368728 1.345292 1.322516 1.300375 1.278846 1.257908 1.237542 1.217728 1.198451 1.179694 1.161442 1.143678 1.126389 1.109560 1.093177 1.077225 1.061693 1.046566 1.031833 1.017481
Cholesky Ordering: TB LPDB LER IDEP3BLN LM2 LIHK
0.975205 0.957654 0.940718 0.924367 0.908571 0.893302 0.878531 0.864232 0.850381 0.836956 0.823937 0.811307 0.799050 0.787150 0.775595 0.764372 0.753468 0.742872 0.732572 0.722559 0.712822 0.703350 0.694136 0.685170 0.676444 0.667949 0.659678 0.651624
2.668973 2.577272 2.489383 2.405132 2.324354 2.246894 2.172600 2.101328 2.032940 1.967305 1.904300 1.843805 1.785710 1.729910 1.676304 1.624796 1.575296 1.527718 1.481979 1.437999 1.395704 1.355020 1.315880 1.278218 1.241969 1.207076 1.173480 1.141127
Lampiran 11. Uji Kausalitas Multivariat
VAR Pairwise Granger Causality/Block Exogeneity Wald Tests Date: 06/24/06 Time: 16:23 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 61 Dependent variable: TB Exclude LPDB LM2 IDEP3BLN LER LIHK
Chi-sq 8.658392 5.555861 0.356037 4.925048 1.330003
df 2 2 2 2 2
Prob. 0.0132 0.0622 0.8369 0.0852 0.5143
All
13.84572
10
0.1801
Dependent variable: LPDB Exclude
Chi-sq
df
Prob.
TB LM2 IDEP3BLN LER LIHK
4.646527 17.00857 9.072873 2.619349 3.982746
2 2 2 2 2
0.0980 0.0002 0.0107 0.2699 0.1365
All
81.06954
10
0.0000
Dependent variable: LM2 Exclude
Chi-sq
df
Prob.
TB LPDB IDEP3BLN LER LIHK
7.329828 23.12161 16.11571 1.177265 2.221474
2 2 2 2 2
0.0256 0.0000 0.0003 0.5551 0.3293
All
47.46453
10
0.0000
Dependent variable: IDEP3BLN Exclude
Chi-sq
df
Prob.
TB LPDB LM2 LER LIHK
10.57914 2.760428 1.426137 5.939242 43.72919
2 2 2 2 2
0.0050 0.2515 0.4901 0.0513 0.0000
All
123.9189
10
0.0000
Dependent variable: LER Exclude
Chi-sq
df
Prob.
TB LPDB LM2 IDEP3BLN LIHK
0.564457 12.66291 0.333678 1.930450 0.627247
2 2 2 2 2
0.7541 0.0018 0.8463 0.3809 0.7308
All
22.60405
10
0.0123
Dependent variable: LIHK Exclude
Chi-sq
df
Prob.
TB LPDB LM2 IDEP3BLN LER
8.857270 17.74195 4.265315 3.577200 71.46911
2 2 2 2 2
0.0119 0.0001 0.1185 0.1672 0.0000
All
145.3526
10
0.0000
Lampiran 12. Hasil Cross Correlation Variabel Makro Ekonomi dengan PDB Uang Kartal Date: 06/24/06 Time: 15:59 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DUK,DPDB(-i) .**| . | . | . | . *| . *| . *| . *| . *|
. . . . . . . . .
DUK,DPDB(+i) | | | | | | | | |
.**| . ***| . ****| . ****| . ***| . .**| . . |*. . |*** . |*****
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1564 0.0055 0.0333 -0.0187 -0.0564 -0.0742 -0.0483 -0.0458 -0.1185
-0.1564 -0.3214 -0.3749 -0.4058 -0.3077 -0.1771 0.0624 0.3037 0.4724
Uang Giral Date: 06/24/06
Time: 15:58
Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DUG,DPDB(-i) . |*** . |**** . |*** . |** . |*. . | . . | . .**| . .**| .
DUG,DPDB(+i) | | | | | | | | |
. |*** . |*. .**| . .**| . ***| . ***| . .**| . .**| . . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3252 0.3866 0.3501 0.1972 0.1013 0.0245 0.0266 -0.1570 -0.1841
0.3252 0.0536 -0.1482 -0.2379 -0.2659 -0.2618 -0.2419 -0.1721 -0.1075
M2 Date: 06/24/06
Time: 15:57
Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DM2,DPDB(-i)
DM2,DPDB(+i)
i
lag
lead
***| . . *| . . |*.
| | |
***| . ******| . ******| .
| | |
0 -0.3196 -0.3196 1 -0.0564 -0.5520 2 0.0964 -0.6041
.
|**
|
******| .
|
3 0.1966 -0.5827
. .
|** |***
| |
*****| . .**| .
| |
4 0.2393 -0.4572 5 0.2800 -0.2370
. .
|*** |**
| |
. .
| . |**
| |
6 0.2878 -0.0268 7 0.1983 0.2190
.
|*.
|
.
|***
|
8 0.0932 0.3232
ER Date: 06/24/06
Time: 15:54
Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DER,DPDB(-i)
i
DER,DPDB(+i)
lag
lead
. .
| . |**
| |
. | . ***| .
| |
0 -0.0080 -0.0080 1 0.2479 -0.3192
. .
|*** |***
| |
******| . *******| .
| |
2 0.3176 -0.5531 3 0.3083 -0.7195
. .
|*** |**
| |
*******| . *****| .
| |
4 0.2563 -0.6864 5 0.1752 -0.5396
.
|*.
|
***| .
|
6 0.1241 -0.2944
. | . . *| .
| |
. .
| |
7 0.0003 0.0295 8 -0.1015 0.2463
| . |**
iDEP Date: 06/24/06
Time: 15:55
Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DIDEP3BLN,DPDB(-i)
. *| . . |** . |***** . |******* . |******* . |***** . |**** . |** . |*.
DIDEP3BLN,DPDB(+i)
| | | | | | | | |
. *| . ****| . *******| . ********| . *******| . *****| . ***| . . | . . |*.
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1249 0.2229 0.5143 0.6950 0.6573 0.5393 0.3637 0.2152 0.0659
-0.1249 -0.4397 -0.6547 -0.7712 -0.7134 -0.5102 -0.2662 -0.0321 0.1479
TB Date: 06/24/06
Time: 15:58
Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DTB,DPDB(-i) . .
i
DTB,DPDB(+i)
lag
lead
|** | .
| |
. .
|** |***
| |
0 0.1728 0.1728 1 0.0039 0.2768
.**| . ****| .
| |
. .
|*** |***
| |
2 -0.2005 0.3220 3 -0.3918 0.3113
| | | | |
. . . . .
|*** |** |** |** |*.
| | | | |
4 5 6 7 8
*****| ******| *****| ***| . *|
. . . . .
-0.5177 -0.5441 -0.4877 -0.3408 -0.1265
0.2979 0.2360 0.2067 0.1777 0.1534
IHK Date: 06/24/06 Time: 15:56 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DIHK,DPDB(-i) *******| . ****| . . *| . . |*. . |** . |*** . |*** . |*** . |***
DIHK,DPDB(+i) | | | | | | | | |
*******| . ********| . ********| . ******| . ***| . . | . . |*** . |***** . |******
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.6739 -0.4210 -0.1311 0.0797 0.2200 0.3069 0.3392 0.3324 0.2614
-0.6739 -0.8114 -0.7687 -0.5885 -0.3064 0.0137 0.3161 0.5167 0.6140
PDB Date: 06/24/06 Time: 15:54 Sample: 1990:1 2005:3 Included observations: 63 Correlations are asymptotically consistent approximations DPDB,DPDB1(-i) . |********** . |******** | . |***** | . |** | . *| . | ***| . | *****| . | ******| . | ******| . |
DPDB,DPDB1(+i) . |********** . |******** | . |***** | . |** | . *| . | ***| . | *****| . | ******| . | ******| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
1.0000 0.8055 0.5410 0.2193 -0.0674 -0.3079 -0.5171 -0.6023 -0.5572
1.0000 0.8055 0.5410 0.2193 -0.0674 -0.3079 -0.5171 -0.6023 -0.5572
Lampiran 13. Hasil Cross Correlation M2 dengan PDB Periode Sebelum Krisis Date: 06/30/06 Time: 12:48 Sample: 1990:1 1997:2 Included observations: 30 Correlations are asymptotically consistent approximations DM2B,DPDBB(-i) ****| . . **| . . *| . . |* . . |** . . |***. . |** . . |** . . |** .
DM2B,DPDBB(+i) | | | | | | | | |
****| .***| . **| . **| .***| ****| ****| ****| ****|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.3793 -0.2032 -0.0747 0.1177 0.2328 0.2921 0.2049 0.1899 0.1750
-0.3793 -0.2957 -0.2096 -0.2343 -0.3393 -0.3503 -0.4082 -0.4033 -0.4012
Periode Sesudah Krisis Date: 06/30/06
Time: 12:49
Sample: 1999:1 2005:3 Included observations: 27 Correlations are asymptotically consistent approximations DM2S,DPDBS(-i) *****| .***| . **| . *| . *| . **| .***| .***| ****|
. . . . . . . . .
DM2S,DPDBS(+i) | | | | | | | | |
*****| . ****| . . **| . . *| . . |** . . |** . . |***. . |***. . |***.
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.4588 -0.3222 -0.2162 -0.0715 -0.1099 -0.1828 -0.2870 -0.3424 -0.3652
-0.4588 -0.4181 -0.2102 -0.0469 0.1912 0.2502 0.3100 0.3504 0.2933
Lampiran 14. Perhitungan Standar Deviasi Variabel Makro Ekonomi
Variabel IHK Nilai Tukar Uang Kartal Uang Giral M2 Suku Bunga Dalam Negeri Suku Bunga Luar Negeri
Standar Deviasi Variabel 0.071643146 0.218325374 0.077643986 0.050136820 0.062689019 0.062913188 0.009662025