ANALISIS KETERKAITAN BESARAN MONETER BEBAS BUNGA DAN MENGANDUNG BUNGA DENGAN BUSINESS CYCLE DAN INFLASI INDONESIA
OLEH RICO RICARDO H14103048
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
RICO RICARDO. Analisis Keterkaitan Besaran Moneter Bebas Bunga dan Mengandung Bunga dengan Business Cycle dan Inflasi Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Uang dalam kehidupan sehari-hari memiliki fungsi yang sangat besar. Uang dapat dikatakan sebagai indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Dalam pengambilan kebijakan di bidang keuangan dan perbankan, bank sentral seringkali menggunakan instrumen uang untuk mengatasi kesenjangankesenjangan yang terjadi dalam perekonomian, misalnya kesenjangan output dan kesempatan kerja. Terdapat tiga jenis besaran moneter di Indonesia, yaitu base money (M0), narrow money (M1) dan broad money (M2). Diantara ketiga jenis besaran moneter tersebut terdapat jenis uang yang dapat dikatakan sebagai interest-free monetary aggregates atau Besaran Moneter Bebas Bunga (BMBB). Uang tersebut adalah currency dan demand deposit. Keduanya kemudian digolongkan dalam kategori M1. Sedangkan uang yang dikatakan sebagai interest monetary aggregates atau Besaran Moneter Mengandung Bunga (BMMB) adalah saving deposit dan time deposit. Keduanya kemudian dikelompokan sebagai quasy money. Penggunaan broad money dalam mengatasi fluktuasi output dan harga tidak terlepas dari dua komponen besar penyusun broad money tersebut. Yaitu BMBB dan BMMB. Hanya saja kemudian yang menjadi masalah adalah komponen manakah diantara BMBB dan BMMB yang memiliki stabilitas yang relatif tinggi sehingga kebijakan moneter pada akhirnya akan berjalan efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi, menganalisis pengaruh BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia dan menganalisis dampak guncangan (shock) pada BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia. Metode yang digunakan untuk melihat pola siklikal dari business cycle adalah Hodrick-Prescott filter (HPF). Sementara untuk melihat korelasi dari BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi sebelum dan sesudah krisis, digunakan cross correlation. Keterkaitan dan dampak guncangan dari BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi dapat dianalisis dengan menggunakan metode Vector Autoregressive (VAR) yang kemudian dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model (VECM). Ketiga metode yang digunakan dalam penelitian ini tersedia dalam software Eviews 4.1. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series triwulan dari tahun 1990:1-2006:4. Untuk mengidentifikasi indikator business cycle Indonesia, variabel-variabel yang digunakan adalah M1, quasy money (rupiah dan valas), PDB riil (2000=100), IHK Indonesia (2000=100), IHK USA (2000=100), SBI 1 bulan, US prime, nominal exchange rate, kredit investasi (rupiah dan valas) dan kredit modal kerja (rupiah dan valas). Sementara variabel yang digunakan dalam menganalisis keterkaitan
BMBB dan BMMB dengan business cycle dan inflasi Indonesia adalah M1, quasy money, PDB riil (2000=100), IHK Indonesia (2000=100), SBI 1 bulan, dan nominal exchange rate. Sumber data berasal dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), situs Bank Indonesia, situs Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, situs Bureau of Labor Statistics (US Department of Labor), dan Bureau of Economic Analysis (US Department of Commerce) serta beberapa bahan pustaka lain dari jurnal dan buku-buku yang berasal dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode sebelum krisis, M1 (BMBB) dan QM (BMMB) merupakan co-incident indicator bagi PDB riil dan harga. Sedangkan pada periode setelah krisis, BMBB merupakan lagging indicator bagi siklikal PDB riil dan harga, sementara BMMB merupakan coincident indicator bagi siklikal PDB riil dan harga. Selain itu dari penelitian ini juga dapat dilihat bahwa shock BMMB relatif lebih mampu menjelaskan varians PDB riil dan harga dibanding shock BMBB. Hal ini mengindikasikan bahwa pada jangka panjang BMMB lebih besar keterkaitannya terhadap PDB riil dan harga, sehingga BMMB dapat digunakan sebagai alternatif instrumen moneter yang baik untuk mengatasi business cycle dan inflasi di Indonesia. Guncangan (shock) BMBB direspon secara negatif oleh PDB riil pada periode 2 yang kemudian menjadi positif pada periode 3 dan cenderung persistent sejak periode 20 hingga 60. Sementara shock BMMB direspon secara positif oleh PDB riil sejak periode 2 yang kemudian persistent pada periode 20 hingga akhir periode. Shock BMBB direspon positif oleh harga pada periode 2 yang kemudian pada dua periode selanjutnya harga merespon negatif terhadap shock dari BMBB. Respon harga kembali positif sejak periode 5 dimana pada akhirnya persistent pada periode 24 hingga 60. Sementara itu shock BMMB direspon secara negatif oleh harga sejak periode 2 yang kemudian cenderung persistent sejak periode 20. Melihat besarnya keterkaitan BMMB dengan business cycle dan harga, maka BMMB lebih mampu menjadi alat pengontrol output dan harga dalam kerangka output targeting dan inflation targeting dibandingkan dengan BMBB. Untuk itu pemerintah dapat menggunakan BMMB sebagai alternatif instrumen kebijakan moneter dalam mengatasi business cycle dan inflasi di Indonesia. Langkah yang dapat ditempuh Bank Indonesia adalah dengan menjaga pergerakan suku bunga berada dalam skala yang moderat bagi pemilik tabungan dan deposito. Tetapi bagaimanapun besarnya keterkaitan BMMB dengan business cycle dan inflasi, kebijakan moneter tidak dapat mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia tanpa didukung oleh kebijakan fiskal. Pemerintah dapat ikut mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia melalui spending balance guna mengatur nilai tukar rupiah yang pada penelitian ini terbukti memiliki peran yang besar dalam menjelaskan fluktuasi output dan harga di Indonesia. Penelitian ini hanya menganalisis keterkaitan jumlah uang beredar, dalam hal ini adalah BMBB dan BMMB, dengan business cycle dan inflasi Indonesia. Selanjutnya diperlukan penelitian lanjutan tentang besaran moneter lainnya, seperti suku bunga SBI. Dari penelitian itu diharapkan akan diketahui suku bunga SBI berjangka waktu berapakah yang lebih efektif dalam mengatasi business cycle dan inflasi di Indonesia.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rico Ricardo lahir pada tanggal 20 Oktober 1984 di Jakarta. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara, dari pasangan Asril Johan dan Elida. Penulis mampu menjalani proses pendidikan dengan baik tanpa adanya suatu rintangan. Sebelum menamatkan sekolah dasar pada SDN Bumi Bekasi Baru V pada tahun 1997, penulis juga sempat menempuh pendidikan di SDN Balekambang 01 Pagi Jakarta selama dua tahun. Setelah lulus sekolah dasar, penulis melanjutkan sekolah menengah pertama pada SLTP Negeri 8 Bekasi dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Bekasi dan lulus pada tahun 2003. Selepas SMU, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Penulis berhasil menjadi salah satu mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Selama melanjutkan kuliah di IPB penulis aktif dalam kelembagaan dan kepanitian yang ada di kampus. Pada tahun pertama di IPB, penulis diamanahi sebagai Ketua Komisi Minat dan Bakat (MB) DPM TPB. Pada tahun kedua, penulis aktif di BEM FEM sebagai Staf Departemen Sosial Lingkungan dan Kemasyarakatan (Soslingmas). Pada tahun berikutnya penulis menjadi Ketua Divisi Research and Development (d_ReD) HIPOTESA. Selain aktif di kelembagaan, penulis juga tercatat sebagai panitia acaraacara yang diadakan di tingkat kampus, fakultas maupun departemen, seperti Open House SUM’41, Economic Tour (BI-BEJ), Broadcasting Trip on September (Trans TV), Economic Contest se-Jawa, Bali dan Sumatera (The 3rd dan The 4th) dll. Kecintaan pada dunia pendidikan, penulis wujudkan dengan menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekonomi Umum sejak semester lima hingga lulus dan tentor Ekonomi di lembaga pendidikan Primagama Kalimas Bekasi Timur sejak tahun 2006.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Keterkaitan Besaran Moneter Bebas Bunga dan Mengandung Bunga dengan Business Cycle dan Inflasi Indonesia”. Uang beredar (M2) memiliki keterkaitan yang erat dengan business cycle dan inflasi Indonesia. Hanya saja belum diketahui komponen mana dari penyusun M2, yaitu M1 dan QM, yang paling besar keterkaitannya sehingga dapat dijadikan alternatif instrumen kebijakan moneter yang efektif guna mengatasi business cycle dan inflasi Indonesia. Karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Selain itu skripsi ini adalah salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis selama proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S., yang telah bersedia menguji hasil karya ini. Seluruh saran dan kritik beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Widyastutik, S.E., M.Si., terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Meskipun demikian, segala kesalahan yang terjadi dalam penelitian ini, sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Penulis juga ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Asril Johan dan Ibu Elida serta kakak-kakak penulis (Uni Elsy Fitrya, Mas Heri Susanto dan Uni Selfi Eka Sari), yang telah memberikan cinta, kasih sayang, perhatian dan pengertiannya pada penulis selama proses pembuatan skripsi ini. Juga teruntuk Nur Asyiah Jalil, yang telah dengan sabar menemani penulis sebelum dan ketika menyelesaikan skripsi
ii
ini. Kepada kakak sepupu penulis yaitu Dr. Ir. (Iwan) Khaswar Syamsu, M.Sc. dan Uni Merry yang telah banyak membantu penulis sejak hari pertama menginjakkan kaki di IPB hingga selesai penelitian. Juga teruntuk keponakan tercinta Muhammad Fathan Kamil dan Muhammad Fawaz Kamil. Kepada sahabat-sahabat IE’40 yang telah dengan setia memberi motivasi, dukungan dan saran-saran yang sangat bermanfaat bagi penulis selama empat tahun menempuh pendidikan di IPB. Terakhir, kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Semoga karya ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007
Rico Ricardo H14103048
ANALISIS KETERKAITAN BESARAN MONETER BEBAS BUNGA DAN MENGANDUNG BUNGA DENGAN BUSINESS CYCLE DAN INFLASI INDONESIA
OLEH RICO RICARDO H14103048
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Rico Ricardo
Nomor Registrasi Pokok : H14103048 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Proposal
: Analisis Keterkaitan Besaran Moneter Bebas Bunga dan Mengandung Bunga dengan Business Cycle dan Inflasi Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. NIP. 131 803 656
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2007
Rico Ricardo H14103048
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
ix
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................
x
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .........................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
6
1.5. Ruang Lingkup .................................................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...................
8
2.1. Teori Penawaran Uang .....................................................................
8
2.1.1. Definisi Uang Beredar ..........................................................
8
2.1.2. Jenis-Jenis Uang Beredar .....................................................
9
2.1.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar .................................
10
2.1.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar ...................
11
2.2. Teori Inflasi ......................................................................................
12
2.2.1. Definisi Inflasi.......................................................................
12
2.2.2. Sumber Inflasi .......................................................................
13
2.2.2.1. Cost-Push Inflation ................................................
13
2.2.2.2. Demand-Pull Inflation ...........................................
14
2.3. Teori Business Cycle ........................................................................
15
2.3.1. Definisi Business Cycle.........................................................
15
2.3.2. Fluktuasi Ekonomi ................................................................
18
2.3.2.1. Teori Real Business Cycle......................................
18
iv
2.3.2.2. Teori Business Cycle Keynesian ............................
19
2.3.2.3. Teori Business Cycle Moneter ...............................
20
2.4. Hubungan Uang, Inflasi dan Output .................................................
20
2.4.1 Teori Monetaris.....................................................................
20
2.4.2. Teori Keynesian ....................................................................
22
2.4.3. Teori Kuantitas Uang dan Velositas Sirkulasi ......................
23
2.5. Metode Penelitian Empirik Business Cycle ......................................
25
2.5.1. Hodrick-Prescott Filter (HPF) ..............................................
25
2.5.2. Cross Correlation .................................................................
26
2.5.3. Business Cycle Indicator.......................................................
26
2.5.4. Karakteristik Hubungan Indikator dalam Business Cycle.....
27
2.6. Penelitian Terdahulu .........................................................................
29
2.7. Kerangka Pemikiran .........................................................................
31
2.8. Hipotesis .........................................................................................
33
III. METODE PENELITIAN ..........................................................................
34
3.1. Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle ....................................
34
3.2. Analisis Pola dan Karakteristik Business Cycle................................
35
3.3. Metode Analisis Business Cycle dan Inflasi Indonesia.....................
36
3.3.1. Vector Auto Regressive (VAR) ............................................
36
3.3.2. Vector Error Correction Model (VECM) .............................
38
3.3.3. Uji Akar Unit (Unit Root Test) ............................................
39
3.3.4. Penetapan Lag Optimal .........................................................
40
3.3.5. Uji Kointegrasi (Cointegration Test) ....................................
41
3.3.6. Impulse Response Function (IRF) ........................................
42
3.3.7. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ..............
42
3.4. Jenis dan Sumber Data ......................................................................
43
3.5. Model Persamaan dan Variabel-Variabel .........................................
44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
46
4.1. Pola dan Karakteristik Indikator Business Cycle Indonesia..............
46
4.1.1. Trend dan Siklikal Variabel Referensi..................................
46
4.1.2. Trend dan Siklikal IHK.........................................................
50
v
4.1.3. Trend dan Siklikal Variabel Luar Negeri .............................
54
4.1.4. Trend dan Siklikal Besaran Moneter ....................................
57
4.1.5. Trend dan Siklikal Kredit Domestik ....................................
65
4.2. Perbandingan Variabel Makroekonomi Terhadap Variabel Referensi dan IHK ............................................................................
68
4.3. Keterkaitan BMBB dan BMMB Terhadap Business Cycle dan Inflasi ..............................................................................................
71
4.3.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test) ............................................
71
4.3.2. Penetapan Lag Optimum ......................................................
73
4.3.3. Uji Kointegrasi (Cointegration Test) ...................................
74
4.3.4. Estimasi Model Vector Error Correction ............................
75
4.3.5. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) ...............
79
4.3.6. Variance Decomposition Business Cycle..............................
80
4.3.7. Variance Decomposition Harga (Inflasi) .............................
81
4.3.8. Respon Business Cycle Terhadap Guncangan M1 dan QM..
83
4.3.9. Respon Harga (Inflasi) Terhadap Guncangan M1 dan QM ..
85
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
87
5.1. Kesimpulan ......................................................................................
87
5.2. Saran
..............................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
89
LAMPIRAN ..................................................................................................
92
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1997-2006 .............................
3
2. Neraca Otoritas Moneter di Indonesia ......................................................
11
3. Daftar Variabel Penelitian .........................................................................
44
4. Perhitungan CV Variabel Makroekonomi ................................................
69
5. Pola Siklikal Variabel Makroekonomi dengan Variabel Referensi ..........
70
6. Korelasi M1 dan QM dengan Variabel Referensi Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi ........................................................................................
70
7. Pola Siklikal Variabel Makroekonomi dengan Variabel Inflasi ...............
71
8. Korelasi M1 dan QM dengan Variabel Inflasi Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi .........................................................................................
71
9. Uji Akar Unit Variabel Pada Level ...........................................................
72
10. Uji Akar Unit Variabel Pada First Difference ..........................................
73
11. Penetapan Lag Optimum............................................................................
74
12. Uji Kointegrasi Johansen ...........................................................................
74
13. Hasil Estimasi VECM Business Cycle.......................................................
76
14. Hasil Estimasi VECM Harga (Inflasi) .......................................................
78
15. Hasil Uji Kausalitas Granger ....................................................................
79
16. Hasil Variance Decomposition Business Cycle .........................................
81
17. Hasil Variance Decomposition Harga (Inflasi) .........................................
82
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Pertumbuhan M1 dan Quasy Money Indonesia Tahun 1990-2006 ..........
2
2. Tahapan Business Cycle ............................................................................
17
3. Pengaruh Kenaikan MS Terhadap Harga dan Output ...............................
21
4. Pergerakan Procyclical variabel a & b.......................................................
27
5. Pergerakan Countercyclical variabel c ......................................................
28
6. Kerangka Pemikiran ..................................................................................
32
7. Grafik Log PDB Riil Indonesia Triwulanan ..............................................
47
8. Grafik Trend PDB Riil ...............................................................................
48
9. Grafik Siklikal PDB Riil ............................................................................
48
10. Grafik Trend IHK ......................................................................................
53
11. Grafik Siklikal IHK....................................................................................
53
12. Grafik Trend IHK USA .............................................................................
55
13. Grafik Siklikal IHK USA ..........................................................................
55
14. Grafik Trend Suku Bunga USA .................................................................
56
15. Grafik Siklikal Suku Bunga USA ..............................................................
56
16. Grafik Trend M1 ........................................................................................
58
17. Grafik Siklikal M1 .....................................................................................
58
18. Grafik Trend QM .......................................................................................
60
19. Grafik Siklikal QM ....................................................................................
60
20. Grafik Trend Nilai Tukar ...........................................................................
62
21. Grafik Siklikal Nilai Tukar ........................................................................
62
22. Grafik Trend Suku Bunga Domestik ........................................................
64
23. Grafik Siklikal Suku Bunga Domestik ......................................................
64
24. Grafik Trend Kredit Investasi ...................................................................
66
25. Grafik Siklikal Kredit Investasi ................................................................
66
26. Grafik Trend Kredit Modal Kerja ..............................................................
67
27. Grafik Siklikal Kredit Modal Kerja ...........................................................
67
viii
28. Respon Business Cycle Terhadap Shock M1 ............................................
83
29. Respon Business Cycle Terhadap Shock QM ...........................................
84
30. Respon Harga (Inflasi) Terhadap Shock M1 .............................................
85
31. Respon Harga (Inflasi) Terhadap Shock QM ............................................
86
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Cross Correlation Variabel Makroekonomi dengan PDB.........................
92
2. Cross Correlation Variabel Makroekonomi dengan IHK .........................
95
3. Cross Correlation M1 dan QM dengan PDB Sebelum Krisis...................
98
4. Cross Correlation M1 dan QM dengan PDB Setelah Krisis ....................
98
5. Cross Correlation M1 dan QM dengan IHK Sebelum Krisis ..................
99
6. Cross Correlation M1 dan QM dengan IHK Setelah Krisis ..................... 100 7. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) Variabel Penelitian ......................... 101 8. Stabilitas VAR .......................................................................................... 108 9. Lag Optimum ............................................................................................. 109 10. Cointegration Test dengan Asumsi Summary............................................ 109 11. Cointegration Test dengan Asumsi 3......................................................... 110 12. Estimasi Model Vector Error Correction .................................................. 111 13. Granger Causality Test .............................................................................. 113 14. Variance Decomposition (VD) Business Cycle ........................................ 114 15. Variance Decomposition (VD) Harga (Inflasi).......................................... 115 16. Respon Business Cycle Terhadap Guncangan M1 dan QM ...................... 117 17. Respon Harga (Inflasi) Terhadap Guncangan M1 dan QM ...................... 117
DAFTAR ISTILAH
Acyclical
: Tidak adanya hubungan antara pergerakan indikatorindikator ekonomi terhadap perekonomian suatu negara.
Business Cycle
: Fluktuasi kegiatan perekonomian (PDB riil) yang saling bergantian antara masa depresi dan masa kemakmuran.
Co-incident Indicator : Indikator ekonomi yang mencapai titik tertinggi atau terendah dari siklus perekonomian dengan arah dan waktu yang bersamaan dengan indikator utama (PDB riil). Countercyclical
: Hubungan berlawanan arah antara pergerakan indikatorindikator ekonomi terhadap perekonomian suatu negara.
Depression
: Suatu masa dimana perekonomian mencapai titik paling rendah, pada fase ini terjadi penurunan output dan peningkatan pengangguran secara besar-besaran.
Detrended
: Proses memisahkan komponen trend dari data time series.
Lagging Indicator
: Indikator ekonomi yang mencapai titik tertinggi atau terendah dari siklus perekonomian setelah indikator utama (PDB riil) mencapainya.
Leading Indicator
: Indikator ekonomi yang mencapai titik tertinggi atau terendah dari siklus perekonomian sebelum indikator utama (PDB riil) mencapainya.
Peak
: Titik tertinggi dari siklus ekonomi yang terjadi setelah fase pemulihan (recovery), dimana pada titik ini menandakan akan terjadi resesi (recession).
Procyclical
: Hubungan searah antara pergerakan indikator-indikator ekonomi terhadap perekonomian suatu negara.
Prosperity
: Suatu fase yang ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas ekonomi dimana output dan harga meningkat disertai oleh penurunan pengangguran.
Recession
: Suatu fase dimana terjadi penurunan aktivitas ekonomi.
Recovery
: Peningkatan dalam siklus perekonomian setelah terjadi resesi (recession) atau depresi (depression).
Trend
: Suatu unsur jangka panjang yang mendasari data runtun waktu (time series) yang dihitung untuk menunjukkan arah gerakan suatu variabel.
Trough
: Titik terendah dari siklus ekonomi yang terjadi setelah fase resesi (recession) dan sebelum fase pemulihan (recovery).
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Uang dalam kehidupan sehari-hari memiliki fungsi yang sangat besar. Layaknya fungsi uang sebagai alat pembayaran dan transaksi, maka proses transaksi keuangan di suatu negara pastinya tidak terlepas dari uang. Uang juga dapat dikatakan sebagai indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Hal ini dikarenakan semua kegiatan ekonomi yang meliputi produksi, distribusi dan konsumsi berkaitan erat dengan uang. Dalam pengambilan kebijakan di bidang ekonomi, khususnya bidang keuangan dan perbankan, pemerintah dalam hal ini bank sentral yang memiliki otoritas di sektor keuangan, seringkali menggunakan instrumen uang untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam perekonomian, misalnya kesenjangan output dan kesempatan kerja. Selain itu instrumen Jumlah Uang Beredar (JUB) diyakini juga memiliki keterkaitan dengan harga, nilai tukar, suku bunga domestik dan variabel makroekonomi lainnya. Jumlah uang beredar di suatu negara pada dasarnya tidak terlepas dari permintaan uang para pelaku ekonomi. Dalam hal ini terdapat tiga pelaku utama yaitu pemerintah, perusahaan dan masyarakat. Pemerintah selaku pelaksana pembangunan di Indonesia membutuhkan uang dalam jumlah besar guna melaksanakan
program
pembangunan
yang
kemudian
diharapkan
akan
meningkatkan pendapatan masyarakat. Untuk itulah Bank Indonesia bertugas menyediakan uang yang dibutuhkan pemerintah. Sedangkan bagi perusahaan, uang sangat diperlukan untuk membiayai pelaksanaan produksi dan distribusi
2
barang atau jasa yang dihasilkan. Di lain pihak uang menjadi alat utama yang digunakan masyarakat dalam melakukan transaksi ekonomi setiap hari. Karena uang memegang peranan penting dalam kegiatan ekonomi di Indonesia, maka tidaklah mengherankan jika JUB di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Jumlah (Milyar Rupiah)
1200000 1000000 800000 600000 400000 200000
2006 : 1
2005 : 1
2004 : 1
2003 : 1
2002 : 1
2001 : 1
2000 : 1
1999 : 1
1998 : 1
1997 : 1
1996 : 1
1995 : 1
1994 : 1
1993 : 1
1992 : 1
1991 : 1
1990 : 1
0
Periode M1
QM
Sumber: SEKI, Bank Indonesia (2007), diolah
Gambar 1. Pertumbuhan M1 dan Quasy Money Indonesia Tahun 1990-2006 Jumlah uang beredar di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami laju pertumbuhan yang cukup tinggi. Dari Gambar 1 terlihat bahwa peningkatan JUB, baik M1 maupun Quasy Money (QM) mengalami peningkatan pada setiap periode waktu. Dalam hal ini peningkatan QM secara relatif lebih besar dibanding peningkatan M1. Peningkatan QM mencapai tingkat tertinggi yaitu 29.3 persen1) pada kuartal pertama tahun 1998. Hal ini dimungkinkan oleh adanya peningkatan
1) Diolah dari data SEKI, Bank Indonesia
3
motif berjaga-jaga dari masyarakat, mengingat pada tahun tersebut krisis ekonomi masih melanda Indonesia. Peningkatan yang signifikan juga terjadi pada M1. Pada tahun yang sama jumlah M1 meningkat sebesar 25.4 persen2). Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai pemicu dari inflasi dan fluktuasi output yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Seperti yang tertera pada Tabel 1, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 13.1 persen, sedangkan inflasi Indonesia berada pada angka 58.5 persen. Resesi dan peningkatan harga yang terjadi pada tahun tersebut memang tidak sepenuhnya diakibatkan oleh pertumbuhan JUB yang mencapai 29.2 persen (M1) dan 71.7 persen (QM). Depresiasi besar pada nilai tukar rupiah, hutang luar negeri yang telah jatuh tempo, tingginya suku bunga domestik dan ketidakstabilan politik dan keamanan di dalam negeri juga memegang peranan penting dalam kemunduran perekonomian Indonesia ketika itu. Tabel 1. Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1997-2006 Keterangan Pertumbuhan Ekonomi (%) Tingkat Inflasi (%) Pertumbuhan M1 (%) Pertumbuhan QM (%)
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
4.7
-13.1
0.8
4.9
3.8
4.4
4.9
5.1
5.4
5.5
6.9
58.5
20.3
9.3
12.6
10.0
6.8
6.1
10.5
13.1
22.2
29.2
23.2
30.1
9.6
8.0
16.6
13.4
11.1
28.1
23.5
71.7
9.5
12.1
13.9
3.9
5.8
6.5
18.2
10.8
Sumber : Asian Development Bank (2005) dan SEKI, Bank Indonesia (2007), diolah
Tingkat inflasi dan pendapatan nasional memiliki keterkaitan yang cukup besar dengan JUB. Dalam teori kuantitas uang, Irving Fisher menjelaskan bahwa tingkat inflasi atau harga dan pendapatan nasional berkorelasi positif. Hal ini berimplikasi bahwa peningkatan pada JUB akan berdampak pada peningkatan 2) Diolah dari data SEKI, Bank Indonesia
4
harga dan atau peningkatan pendapatan nasional. Sebaliknya, kelesuan ekonomi akan terjadi ketika JUB mengalami penurunan. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan bagi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan perekonomian Indonesia, khususnya kestabilan harga. Terdapat tiga jenis besaran moneter di Indonesia, yaitu base money (M0), narrow money (M1) dan broad money (M2). Diantara ketiga jenis besaran moneter tersebut, terdapat jenis uang yang dapat dikatakan sebagai interest-free monetary aggregates atau Besaran Moneter Bebas Bunga (BMBB). Uang tersebut adalah currency dan demand deposit. Keduanya kemudian digolongkan dalam kategori M1. Sedangkan uang yang dikatakan sebagai interest monetary aggregates atau Besaran Moneter Mengandung Bunga (BMMB) adalah saving deposit dan time deposit. Keduanya kemudian dikelompokan sebagai QM. Penggunaan broad money dalam mengatasi fluktuasi output dan harga tidak terlepas dari dua komponen besar penyusun broad money tersebut. Yaitu BMBB dan BMMB. Peningkatan atau penurunan JUB dapat dilakukan oleh pemerintah dengan merubah jumlah BMBB dan atau BMMB. Hanya saja kemudian yang menjadi masalah adalah komponen manakah yang memiliki stabilitas yang baik. Karena ketidakstabilan instrumen yang dipakai akan berdampak pada fluktuasi output dan harga yang besar. Untuk itu perlu adanya kajian tentang komponen manakah antara BMBB dan BMMB yang memiliki stabilitas yang relatif tinggi sehingga kebijakan moneter dapat berjalan efektif. Berdasarkan penjabaran diatas, maka dapat dikatakan bahwa inflasi dan siklus bisnis (business cycle) yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari peran
5
JUB, dalam hal ini BMBB dan BMMB. Sebaliknya inflasi dan business cycle di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pertumbuhan BMBB dan BMMB. Hal inilah yang menjadi latar belakang dari skripsi yang berjudul : “Analisis Keterkaitan Besaran Moneter Bebas Bunga dan Mengandung Bunga dengan Business Cycle dan Inflasi Indonesia”
1.2. Perumusan Masalah Penelitian dan studi tentang fluktuasi ekonomi di Indonesia telah banyak dilakukan, tetapi tidak mengkhususkan diri pada business cycle Indonesia. Studi empirik dan kajian dengan topik business cycle Indonesia yang bertujuan menguji guncangan-guncangan apa yang mempengaruhi fluktuasi ekonomi Indonesia masih sangat terbatas. Berkaitan dengan hubungan antara uang dan business cycle Indonesia, terdapat beberapa penelitian dengan menggunakan berbagai model ekonometrika. Masyitoh (2006) menguji korelasi broad money terhadap business cycle Indonesia pada periode waktu 1990-2005. Dalam penelitian tersebut salah satu kesimpulan yang didapat adalah korelasi uang terhadap business cycle sebelum krisis adalah leading. Sedangkan setelah krisis, korelasi yang terjadi adalah co-incident. Selain itu uang masih cukup efektif sebagai alat kebijakan dengan sasaran akhir tingkat output, artinya uang memiliki keterkaitan terhadap business cycle Indonesia. Hanya saja, dalam penelitian tersebut tidak dijelaskan komponen manakah dari penyusun broad money yang lebih efektif mengatasi business cycle Indonesia.
6
Keterbatasan inilah yang membuat penulis merasa perlu untuk melakukan studi empirik business cycle di Indonesia, khususnya untuk mengkaji : 1. Bagaimana korelasi silang (cross correlation) BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi. 2. Bagaimana pengaruh BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia. 3. Bagaimana dampak guncangan (shock) pada BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Mengetahui korelasi silang (cross correlation) BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi. 2. Menganalisis pengaruh BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia. 3. Menganalisis dampak guncangan (shock) pada BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain.
7
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan keilmuan akan keterkaitan uang dan business cycle serta mengetahui kebijakan moneter terbaik yang dapat dilakukan dalam mengatasi fluktuasi output di Indonesia. 2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat mengetahui kebijakan moneter terbaik dalam menahan laju kontraksi, mempercepat recovery, memperpendek lembah (trough), atau menstimulasi ekspansi ekonomi dalam business cycle Indonesia. 3. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan akan mampu membuka cakrawala pembaca dalam melihat keterkaitan sektor moneter dan riil.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini akan dianalisis keterkaitan besaran moneter bebas bunga dan mengandung bunga di Indonesia dengan business cycle dan inflasi Indonesia dari sisi penawaran uang (money supply).
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Teori Penawaran Uang 2.1.1. Definisi Uang Beredar Uang beredar adalah suatu istilah yang digunakan dalam ilmu ekonomi moneter. Sebelum sampai pada konsep atau pengertian uang beredar perlu dipahami terlebih dahulu penggunaan uang dalam praktik kehidupan sehari-hari. Terdapat tiga jenis uang menurut Solikin dan Suseno (2002), yaitu : 1. Uang Kartal, adalah uang yang ada ditangan masyarakat (di luar bank umum) dan siap dibelanjakan setiap saat, terutama untuk pembayaran-pembayaran dengan jumlah tidak terlalu besar. Di Indonesia, uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang diedarkan oleh Bank Indonesia atau biasa disebut sebagai uang tunai. 2. Uang Giral, adalah uang simpanan masyarakat yang ada pada bank umum yang dapat dicairkan setiap saat. Uang jenis ini dapat juga disebut sebagai rekening
giro.
Untuk
mencairkan
simpanan
ini,
masyarakat
dapat
menggunakan cek. 3. Uang Kuasi, adalah jenis uang yang tidak dapat dipakai setiap saat dalam proses pembayaran karena keterikatan waktu. Jenis uang ini disimpan dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. Pada dasarnya uang kuasi adalah bukan uang yang mempunyai fungsi mendekati fungsi uang. Untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran, maka tabungan dan deposito berjangka tersebut harus melalui proses pencairan terlebih dahulu.
9
Otoritas moneter (Bank Indonesia) dan bank umum adalah lembaga yang dapat menciptakan uang. Bank Indonesia menciptakan dan mengedarkan uang kartal sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral dan uang kuasi. Kedua lembaga ini dikenal sebagai lembaga yang termasuk dalam sistem moneter.
2.1.2. Jenis-Jenis Uang Beredar Berbagai negara menggunakan uang beredar dengan jenis yang beragam. Jenis-jenis uang beredar tersebut secara resmi didefinisikan berdasarkan komponen yang tercakup didalamnya. Komponen tersebut adalah tiga jenis uang yang telah dikenal pada bagian sebelumnya, yaitu uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Dengan demikian, sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam, jenis uang beredar pun beragam. Mulai dari pengertian atau definisi yang paling sempit hingga yang paling luas. Menurut Bank Indonesia dalam Hidayat (2004), di Indonesia saat ini kita hanya mengenal dua macam uang beredar saja, yaitu : 1. Uang beredar dalam arti sempit (narrow money), yang sering diberi simbol M1, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D). 2. Uang beredar dalam arti luas (broad money), yang disebut juga sebagai likuiditas perekonomian dan diberi simbol M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan uang kuasi (T). Dengan kata lain M2 adalah M1 ditambah dengan tabungan dan simpanan berjangka lain yang
10
jangkanya lebih pendek, termasuk rekening pasar uang dan pinjaman semalam antar bank. Darrat dalam Nasution dan Nurzaman (2006) berpendapat bahwa elemen-elemen pada M1 dapat dikatakan sebagai besaran moneter bebas bunga (interest-free monetary aggregates) karena elemen-elemen tersebut belum mengandung bunga. Sementara uang kuasi yang terdiri dari tabungan dan deposito berjangka dikategorikan ke dalam uang mengandung bunga (interest monetary aggregates).
2.1.3. Mekanisme Penciptaan Uang Beredar Berdasarkan peranannya, secara umum terdapat tiga pelaku utama dalam proses penciptaan uang, yaitu otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat atau sektor swasta domestik. Secara sederhana dapat diuraikan: otoritas moneter menciptakan uang kartal, sedangkan bank umum menciptakan uang giral dan uang kuasi. Sementara itu masyarakat menggunakan uang yang diciptakan otoritas moneter dan bank umum tersebut untuk melakukan kegiatan ekonomi. Bank sentral, sebagai pelaksana fungsi moneter, mempunyai wewenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal. Selain menciptakan uang giral, dalam prakteknya Bank Indonesia juga menerima simpanan giro bank umum. Uang kartal dan simpanan bank umum di bank sentral selanjutnya disebut uang primer (base money). Pada prakteknya uang primer diberi simbol M0. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi M0, maka perlu diketahui terlebih dahulu Neraca Otoritas Moneter di Indonesia yang disajikan pada Tabel 2.
11
Tabel 2. Neraca Otoritas Moneter di Indonesia Aktiva Aktiva Luar Negeri Bersih
(ALNB)
Aktiva Dalam Negeri Bersih
(ADNB)
• Tagihan bersih pada pemerintah pusat • Tagihan pada sektor swasta domestik
Uang Kartal •
Di masyarakat
(C)
•
Di bank umum
(R)
Saldo Giro
• Tagihan pada bank umum Aktiva Lainnya Bersih
Pasiva
_______
•
Milik bank umum
•
Milik masyarakat
M0
_______ M0
Sumber : Solikin dan Suseno (2002)
2.1.4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar Untuk mengetahui hubungan antara uang primer (M0) dengan uang beredar (M1 dan M2) maka perlu diketahui terlebih dahulu konsep pengganda uang (money multiplier). Konsep ini muncul sejalan dengan kondisi bahwa dalam menciptakan uang giral dan uang kuasi, bank tidak harus menjamin sepenuhnya uang tersebut dengan uang tunai yang ada di kasnya. Berdasarkan Neraca Otoritas Moneter, diketahui bahwa secara umum uang primer (M0) terdiri dari uang kartal (C) dan saldo giro bank umum di bank sentral (R). Sementara itu, jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1) terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D), sedangkan uang beredar dalam arti luas (M2) terdiri dari M1 ditambah dengan uang kuasi (T). Konsep tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut (Solikin dan Suseno, 2002) : M0 = C + R .......................................................................................... (1) M1 = C + D ........................................................................................... (2) M2 = C + D + T .................................................................................... (3)
12
Dengan mendefinisikan C/D = c (currency ratio) , T/D = t (time and saving deposit ratio), dan R/(D+T) = r (reserve ratio), maka didapat angka pengganda uang untuk masing-masing M1 dan M2 (yang disimbolkan dengan mm1 dan mm2) yang dapat menggambarkan interaksi antara otoritas moneter, bank umum, dan masyarakat, yaitu : c +1 …………………….……………….(4) c + [r × (t + 1)] c + t +1 …………………………………….(5) mm2 = M 2 / M 0 = c + [r × (t + 1)] mm1 = M 1 / M 0 =
Dari persamaan diatas, dapat disimpulkan bahwa naik turunnya angka pengganda uang dipengaruhi oleh ketiga determinan angka pengganda uang, yaitu currency ratio, time and deposit ratio, dan reserve ratio.
2.2. Teori Inflasi 2.2.1. Definisi Inflasi Menurut Putong (2003), inflasi adalah naiknya harga-harga komoditi secara umum yang disebabkan oleh tidak sinkronnya antara program pengadaan komoditi (produksi, penentuan harga, pencetakan uang, dan sebagainya) dengan tingkat pendapatan yang dimiliki masyarakat. Pada dasarnya, terjadinya inflasi bukanlah masalah yang terlalu berarti apabila keadaan tersebut diiringi oleh tersedianya komoditi yang diperlukan secara cukup dan diikuti dengan naiknya persentase pendapatan yang lebih besar dari persentase inflasi tersebut. Friedman dalam Mishkin (2001) menyatakan bahwa pergerakan ke atas pada tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter yang hanya akan menjadi
13
benar ketika pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Ketika inflasi didefinisikan sebagai kenaikan tingkat harga yang cepat dan berkelanjutan, kebanyakan pakar ekonomi, baik monetaris maupun keynesian, menyatakan persetujuannya terhadap pernyataan Friedman bahwa inflasi adalah fenomena moneter. Friedman juga berpendapat bahwa sumber dari segala inflasi adalah pertumbuhan penawaran uang yang tinggi. Mengurangi pertumbuhan penawaran uang sampai ke tingkat yang rendah akan dapat mengatasi inflasi. Berikut adalah pernyataan Friedman secara langsung tentang hubungan uang dan inflasi : “Whenever a country’s inflation rate is extremely high for a sustained period of time, its rate of money supply growth is also extremely high” Para pakar ekonomi menggunakan dua konsep dalam mempelajari inflasi. Yang pertama adalah tingkat harga, yang berarti tingkat rata-rata semua harga dalam sistem ekonomi dan dinyatakan dalam simbol P. yang kedua adalah laju inflasi yang berarti laju kenaikan tingkat harga secara umum. Untuk mengukur tingkat harga rata-rata, para ekonom menyusun suatu indeks harga, yang merata-rata harga komoditi yang berbeda menurut seberapa penting komoditi tersebut. Indeks tersebut dikenal sebagai Consumer Price Indices (CPI) atau Indeks Harga Konsumen (IHK) (Lipsey, et al., 1995).
2.2.2. Sumber Inflasi 2.2.2.1. Cost-Push Inflation Penyebab utama dari inflasi yang terjadi yaitu dikarenakan terjadinya pergeseran kurva penawaran agregat. Biasanya disebut juga dengan supply-shock
14
inflation. Faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran pada kurva penawaran agregat diantaranya, tekanan kenaikan upah oleh serikat buruh, kenaikan harga faktor produksi, dan sebagainya (Listiani, 2006).
2.2.2.2. Demand-Pull Inflation Faktor penyebab terjadinya inflasi dari sisi permintaan agregat adalah adanya peningkatan permintaan masyarakat baik rumah tangga maupun pemerintah yang tidak diimbangi oleh kenaikan penawaran barang atau jasa yang diminta. Inflasi yang terjadi akibat demand-pull inflation dapat berlaku pada masa perang atau ketidakstabilan politik yang terus-menerus. Dalam masa seperti ini belanja pemerintah jauh melebihi pajak yang dipungutnya. Untuk membiayai kelebihan pengeluaran tersebut, pemerintah terpaksa mencetak uang atau meminjam dari bank sentral. Pengeluaran pemerintah yang berlebihan tersebut menyebabkan permintaan agregat akan melebihi kemampuan ekonomi dalam menyediakan barang dan jasa. Keadaan ini akan menyebabkan inflasi (Sukirno, 2004). Sumber terjadinya peningkatan Aggregate Demand (AD) ditafsirkan berbeda-beda oleh ahli-ahli ekonomi. Monetaris menganggapnya sebagai akibat dari peningkatan/ekspansi jumlah uang beredar. Sedangkan keynesian pada dasarnya tidak menyangkal bahwa peningkatan AD disebabkan oleh peningkatan jumlah uang beredar. Hanya saja terdapat variabel lain, yaitu pengeluaran konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan ekspor neto yang juga dapat
15
menyebabkan kenaikan pada AD, walaupun tidak terjadi peningkatan pada jumlah uang beredar.
2.3. Teori Business Cycle 2.3.1. Definisi Business Cycle Definisi business cycle (siklus perekonomian atau siklus perdagangan) menurut Mitchell dan Burns dalam Niemira dan Klein (1994) adalah : “ Business cycle are a type of fluctuation found in the aggregate economic activity of nations that organize their work mainly in business enterprise ; a cycle consist of expansion occurring at about the same time in many economic activities, followed by similarly general recession, contractions, and revival which merge into the expansion phase of the next cycle ; this sequence of changes is recurrent but not periodic ; in duration business cycle vary from more than one year to ten or twelve years ; they are no divisible into shorter cycle of similar character with amplitudes approximating their own “
Sedangkan definisi business cycle yang tercantum dalam kamus ekonomi adalah sebagai fluktuasi dari tingkat kegiatan perekonomian (PDB riil) yang saling bergantian antara masa depresi dengan masa kemakmuran atau booms. Business cycle atau siklus ekonomi dapat pula diartikan sebagai fluktuasi aktivitas ekonomi dari trend pertumbuhan jangka panjangnya. Kata siklus sendiri mengandung arti pergantian secara silih berganti antara periode pertumbuhan output yang cepat (inflasi) dengan periode penurunan output (resesi). Adapun variabel yang digunakan untuk mengukur fluktuasi ekonomi adalah GDP riil. Salah satu peran utama pemerintah adalah untuk mengatasi business cycle dan mengurangi fluktuasi yang terjadi.
16
Penjelasan tentang hal-hal yang menyebabkan business cycle terjadi dapat mengacu pada pandangan Keynesian atau New Keynesian yang menyatakan bahwa business cycle adalah hasil dari ketidaksempurnaan dalam aktivitas ekonomi. Hanya ketika harga dan ekspektasi tidak sepenuhnya fleksibel, fluktuasi dalam belanja pemerintah atau jumlah uang beredar dapat menyebabkan pergerakan dalam output riil. Selain pandangan diatas, ada pandangan lain yang dapat dijadikan alternatif, yaitu pandangan New Classical. Pandangan dari kelompok ini menyatakan bahwa perekonomian modern sangatlah fleksibel. Perubahan dalam kebijakan pemerintah tidak secara signifikan mempengaruhi output riil dan lapangan kerja. Sebagai contoh, perubahan dalam jumlah uang beredar akan berdampak pada harga. Perubahan ini tidak memiliki dampak terhadap suku bunga riil yang kemudian tidak berdampak pada kesediaan orang untuk berinvestasi. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut New Classical, terjadinya business cycle lebih dikarenakan oleh gangguan/guncangan dalam produktivitas dan selera, bukan oleh perubahan kebijakan ekonomi pemerintah. Pada Gambar 2 terdapat empat tahapan dalam siklus perekonomian: tahap pertama adalah masa depresi (depression), yaitu suatu penurunan permintaan agregat yang cepat yang diikuti dengan rendahnya tingkat output dan pengangguran yang tinggi yang secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah; tahap kedua adalah tahap pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan agregat yang diikuti dengan peningkatan output dan penurunan tingkat
17
pengangguran; tahap ketiga adalah masa kemakmuran (prosperity), yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati tingkat output (PNB aktual) pada puncak siklus, dimana tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat hargaharga umum (inflasi); tahap keempat adalah masa resesi (recession), dimana permintaan agregat menurun, yang mengakibatkan penurunan yang kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal. Seiring dengan hal ini maka akan muncul masa depresi
Tingkat Aktivitas Perekonomian
Kemakmuran Puncak Resesi PNB Potensial (Trend)
Pemulihan
PNB Aktual Depresi Lembah
Waktu Sumber : Pass dan Lowes (1994)
Gambar 2. Tahapan Business Cycle Setiap siklus memiliki dua jenis titik balik (turning points), yaitu titik puncak (peak) dan titik lembah (trough). Kedua titik ini menandakan sinyal apabila arah dari pergerakan siklikal suatu individu berubah dari periode ekspansi ke periode kontraksi atau sebaliknya. Kedua titik balik ini hanya dapat ditentukan menggunakan data time series yang merupakan deviasi dari trendnya, yaitu
18
merupakan definisi dari business cycle yang digunakan dalam penelitian ini. Dapat disimpulkan bahwa tahapan ini akan datang silih berganti sepanjang waktu dalam perekonomian.
2.3.2. Fluktuasi Ekonomi Dalam perkembangan teori tentang fluktuasi ekonomi, dunia ekonomi dihadapkan pada dua pandangan yang berbeda dalam menjelaskan terjadinya fluktuasi output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek. Teori tentang fluktuasi ekonomi yang paling umum saat ini adalah teori Real Business Cycle, teori Business Cycle Keynessian dan teori Business Cycle Moneter.
2.3.2.1. Teori Real Business Cycle Teori Real Business Cycle memberi kontribusi penting dalam ilmu ekonomi dengan memberi sudut pandang baru yang berbeda dalam mengkaji fluktuasi jangka pendek dari output dan kesempatan kerja (employment) yang dijelaskan dengan menggunakan substitusi tenaga kerja antar waktu. Dalam teori ini, fluktuasi dianggap sebagai perubahan dalam tingkat output alami atau keseimbangan dengan tetap mempertahankan model klasik sebagai acuan. Teori ini mengasumsikan bahwa harga dan upah adalah fleksibel, bahkan dalam jangka pendek. Dengan asumsi complete price flexibility, teori ini menganut classical dichotomy dimana variabel-variabel nominal, seperti pergerakan uang dan tingkat harga tidak mempengaruhi variabel-variabel disektor riil seperti output dan pengangguran (Mankiw, 2000).
19
Teori ini menyatakan bahwa pergerakan di sektor riil disebabkan oleh faktor alami di sektor ini sendiri. Seperti terjadinya technological shock yang membuat produktivitas meningkat yang kemudian berakhir pada perekonomian yang semakin meningkat. Dengan kata lain, semua fluktuasi di sektor riil seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, tingkat konsumsi dan investasi merupakan hasil reaksi dari individu-individu terhadap perubahan dalam perekonomian. Selama resesi/kemunduran teknologi dan output, insentif untuk bekerja menurun karena teknologi produksi menurun. Asumsi lain yang juga penting dalam teori ini adalah netralitas uang dalam perekonomian. Hal ini berlaku juga untuk jangka pendek, dimana kebijakan moneter tidak akan mempengaruhi variabel-variabel riil, seperti output dan kesempatan kerja.
2.3.2.2. Teori Business Cycle Keynesian Para pengkritik teori Real Business Cycle umumnya berasal dari penganut aliran keynesian. Banyak dari mereka percaya bahwa fluktuasi output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek disebabkan oleh terjadinya fluktuasi dalam permintaan agregat akibat lambatnya upah dan harga menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang sedang berubah. Dengan kata lain teori ini percaya bahwa upah dan harga bersifat kaku/sulit berubah, sehingga peranan pemerintah melalui kebijakan
fiskal
dan
moneter
sangat
diperlukan
untuk
menstabilkan
perekonomian. Karena teori ini dibangun diatas model permintaan agregat dan penawaran agregat tradisional, maka dalam teori ini dikatakan bahwa perubahan
20
harga dari biaya sekecil apapun akan memiliki dampak makroekonomi yang besar karena adanya eksternalitas permintaan agregat. Teori ini telah memasukkan guncangan pada sisi penawaran, ketidakstabilan moneter dengan guncangan terhadap permintaan uang dalam modelnya (Mankiw, 2000). Teori keynesian menekankan pada pentingnya ketidakstabilan agregat sebagai penyebab terjadinya fluktuasi makroekonomi. Teori ini sama dengan teori business cycle moneter, yang menyatakan bahwa guncangan permintaan uang penting terhadap fluktuasi ekonomi, walau bukan merupakan satu-satunya penyebab fluktuasi seperti pendapat business cycle moneter.
2.3.2.3. Teori Business Cycle Moneter Teori business cycle moneter menekankan pada pentingnya guncangan permintaan, khususnya terhadap fluktuasi ekonomi, tetapi hanya dalam jangka pendek. Dalam business cycle moneter dan keynesian, uang mempengaruhi output. Sebaliknya teori real business cycle menyatakan bahwa output yang mempengaruhi uang.
2.4. Hubungan Uang, Inflasi dan Output 2.4.1. Teori Monetaris Menurut monetaris, peningkatan dalam jumlah uang beredar tidak akan meningkatkan output, sekalipun pada jangka pendek. Karena menurut mereka output tidak akan melebihi tingkat output full employment akibat terdapat antisipasi harga yang dilakukan oleh tenaga kerja lewat upah.
21
AS2
P
AS1 P2
AS0
P1
E0” E0’
P0
E0
AD2 AD1 AD0
Yf
Y’
Q
Sumber : Mishkin (2001)
Gambar 3. Pengaruh Kenaikan MS Terhadap Harga dan Output Dari kurva diatas keseimbangan awal ekonomi terdapat pada titik Eo dengat tingkat harga keseimbangan Po (perpotongan antara ADo dan ASo). Jika MS mengalami kenaikan, maka kurva AD akan bergeser ke kanan atas, sehingga keseimbangan baru akan tercipta pada titik Eo’ dimana output akan berada di atas titik output full employment Y’. Peningkatan AD membuat perusahaan harus memproduksi output lebih banyak agar dapat memenuhi permintaan yang tinggi dari masyarakat. Untuk itu perusahaan akan meningkatkan jam kerja buruhnya yang kemudian para buruh akan menuntut adanya kenaikan upah. Tuntutan tersebut akan berdampak pada peningkatan biaya produksi yang kemudian akan menggeser kurva AS ke kiri. Keseimbangan yang baru akan tercipta pada titik Eo” dengan tingkat output kembali ke titik semula di full employment sedangkan harga berada pada tingkat yang lebih tinggi di titik P1.
22
Siklus tersebut dapat terjadi berulang-ulang jika terjadi kenaikan jumlah uang beredar, oleh karena itu monetaris tergolong anti kebijakan moneter, karena menurut mereka satu-satunya dampak dari peningkatan jumlah uang beredar adalah inflasi (Mishkin, 2001).
2.4.2. Teori Keynesian Pada dasarnya analisis keynesian tidaklah berbeda dengan analisis monetaris. Keynesian juga beranggapan bahwa peningkatan jumlah uang beredar secara kontinu akan mengakibatkan efek yang sama yaitu pergeseran pada kurva AD. Keynesian juga beranggapan bahwa tidak ada sumber lain yang dapat mengakibatkan inflasi kecuali peningkatan jumlah uang beredar. Sebenarnya dalam mazhab keynesian terdapat faktor lain selain jumlah uang beredar yang dapat menggeser kurva AD, yaitu belanja pemerintah dan pajak. Hanya saja kedua faktor tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya inflasi. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, keynesian dan monetaris memiliki pendapat yang sama tentang definisi inflasi. Pergerakan ke atas pada tingkat harga adalah sebuah fenomena moneter hanya akan menjadi benar ketika pergeseran tersebut adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dengan meningkatkan anggaran belanja atau memotong pajak akan menggeser kurva AD ke kanan. Hal ini kemudian akan menyebabkan harga keseimbangan mengalami peningkatan. Peningkatan harga akibat kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dapat saja dikatakan sebagai
23
inflasi selama kenaikan tersebut adalah proses yang berkelanjutan. Tetapi pada kenyataannya, peningkatan anggaran belanja atau pemotongan pajak secara terus menerus adalah kebijakan yang tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah.
2.4.3. Teori Kuantitas Uang dan Velositas Sirkulasi Teori kuantitas uang mengkaji bagaimana kuantitas uang mempengaruhi perekonomian (Mankiw, 2000). Dalam teori ini, kuantitas uang dikaitkan dengan variabel-variabel perekonomian lainnya, seperti harga dan pendapatan nasional, yang dapat digambarkan dalam bentuk persamaan. Persamaan (6) menyatakan bahwa permintaan akan jumlah uang bergantung pada nilai transaksi seperti diukur dalam pendapatan nominal, yaitu pendapatan riil dikalikan dengan tingkat harga, PY : MD = kPY ……………………………………………………………..… (6) Persamaan ini dapat diubah menjadi (M/P)D = kY …………………………………………………………….. (7) dimana M/P merupakan keseimbangan uang riil (real money balance) dan k adalah konstanta yang menyatakan berapa banyak uang yang ingin dipegang oleh masyarakat untuk setiap rupiah pendapatan. Persamaan ini menyatakan bahwa kuantitas keseimbangan uang riil yang diinginkan adalah proporsional terhadap pendapatan riil. Persamaan (8) menyatakan bahwa jumlah uang yang beredar ditentukan oleh bank sentral : MS = M ……………………………………………………………...… (8)
24
Persamaan (9) menyatakan kondisi ekuilibrium dimana permintaan uang akan sama dengan penawarannya : MD = MS ……………………………………………………………… (9) Dengan melakukan substitusi persamaan (6) ke dalam persamaan (9) maka akan didapatkan persamaan : M = kPY …………………………………………………………...…(10) Teori kuantitas klasik mengasumsikan bahwa k adalah suatu konstanta yang ditentukan oleh transaksi permintaan akan uang dan Y adalah konstan karena kesempatan kerja penuh (full employment) dijaga. Seringkali teori kuantitas digambarkan dengan menggunakan konsep velositas sirkulasi, V. Velositas sirkulasi didefinisikan sebagai tingkat perputaran uang atau seberapa banyak ratarata satu unit rupiah yang dibelanjakan dalam bentuk barang atau jasa yang diproduksi (final goods) dalam suatu perekonomian. Velocity (V) didefinisikan lebih tepat sebagai pendapatan nasional dibagi dengan kuantitas uang : V = PY/M ………………………………………………..…………... (11) Penyusunan kembali persamaan ini menghasilkan persamaan pertukaran (equation of exchange) : MV = PY …………………………………………..……………..... (12) Persamaan (12) diatas menggambarkan bahwa jumlah uang beredar dikali dengan seberapa banyak uang dibelanjakan dalam satu periode harus sama dengan pendapatan nasional nominal. Persamaan (12) dapat juga dikatakan sebagai persamaan identitas, yang artinya bahwa secara definisi memang dibenarkan. Persamaan tersebut tidak menjelaskan apakah pada saat M berubah,
25
pendapatan nasional nominal (PY) akan berubah kearah yang sama. Peningkatan M misalnya harus diimbangi dengan penurunan V sehingga perkalian M dengan V (MV) tidak mengalami perubahan. Agar persamaan identitas tersebut dapat dijadikan teori dalam melihat bagaimana pendapatan nominal ditentukan, perlu memahami faktor-faktor yang menjadi penentu velocity. Pandangan Fisher bahwa velocity adalah konstan dalam jangka pendek menjabarkan kondisi persamaan (12) diatas. Ketika kuantitas uang M meningkat dua kali lipat, MV juga akan meningkat sebesar dua kali lipat, begitu juga dengan PY. Oleh karena para ekonom klasik (termasuk Fisher) berpikiran bahwa tingkat upah dan harga bergerak secara completely flexible, mereka percaya bahwa tingkat output agregat Y yang diproduksi dalam keadaan normal akan tetap berada pada tingkat full employment. Dengan demikian, variabel Y dalam persamaan (12) dapat diperlakukan konstan dalam jangka pendek. Teori kuantitas uang menyatakan bahwa jika M meningkat dua kali lipat, maka P juga harus meningkat dua kali lipat karena V dan Y konstan. Bagi para ekonom klasik, teori kuantitas uang menyediakan penjelasan mengenai pergerakan harga. Pergerakan pada tingkat harga menghasilkan perubahan hanya pada kuantitas uang (Mishkin, 2001).
2.5. Metode Penelitian Empirik Business Cycle 2.5.1. Hodrick-Prescott Filter (HPF) Hodrick-Prescott filter (HPF) merupakan pendekatan statistik yang secara khusus mengestimasi trend dan komponen siklikal atau menghilangkan
26
komponen trend dan siklikal dalam suatu data deret waktu (time series). Fakta secara empirik (stylized fact) menunjukkan bahwa business cycle Indonesia dianalisis dengan memisahkan komponen trend dan komponen siklikal dari data time series makroekonomi. Dalam analisis HPF, komponen siklikal variabel makroekonomi dapat dilihat pola dan karakteristiknya dengan melihat korelasinya dengan variabel referensi.
2.5.2. Cross Correlation Cross correlation merupakan suatu pendekatan untuk melihat detrended berdasarkan lag (periode ke belakang) dan lead (periode ke depan). Detrended merupakan cara untuk memisahkan komponen trend, sehingga sebelum cross correlation maka ditentukan terlebih dahulu variabel trend dan siklikal berdasarkan hasil analisis HPF. Cross correlation dapat memperlihatkan antara lag detrended dan lead detrended pada suatu variabel. Cross correlation menunjukkan detrended
dengan komponen siklikal mempunyai korelasi atau
tidak.
2.5.3. Business Cycle Indicator Business Cycle Indicator (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Contohnya, statistik sosial dan ekonomi yang dipublikasikan berbagai sumber seperti departemen pemerintahan. Indikator ekonomi memiliki dampak
yang
besar
terhadap
pasar,
mengetahui
bagaimana
harus
27
menginterpretasikannya dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi pelaku usaha, termasuk investor. Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria dimana ada tiga kategori timing indicator, yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu leading, lagging dan co-incident. Variabel-variabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator dapat berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini disebabkan perbedaan sistem ekonomi yang dianut suatu negara, kondisi perekonomian, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan, dan sebagainya.
2.5.4. Karakteristik Hubungan Indikator dalam Business Cycle Setiap variabel ekonomi yang termasuk ke dalam salah satu dari indikator yang telah dijelaskan, memiliki hubungan yang bermacam-macam terhadap business cycle. Hubungan tersebut antara lain : Deviasi dari Trend a b PDB
Procyclical
Sumber : Gail dalam Supriana (2004)
Gambar 4. Pergerakan Procyclical variabel a & b
t (waktu)
28
Procyclical, hubungan dimana arah pergerakan dari indikator-indikator ekonomi sama dengan perubahan yang terjadi pada perekonomian suatu negara. Ketika perekonomian membaik, maka dapat dipastikan bahwa indikatornya akan mengalami peningkatan (Gambar 4). Countercyclical, hubungan dimana indikator-indikator ekonomi memiliki arah pergerakan yang berlawanan dengan perekonomian suatu negara yang sedang terjadi (Gambar 5). Deviasi dari Trend
PDB
c
Countercyclical
t (waktu)
Sumber : Gail dalam Supriana (2004)
Gambar 5. Pergerakan Countercyclical variabel c Acyclical, Indikator-indikator ekonomi tidak memiliki hubungan dengan perubahan yang terjadi pada perekonomian suatu negara. Apapun kondisi perekonomian tersebut, baik dalam kondisi yang cukup bagus maupun dalam kondisi yang buruk, perubahan yang terjadi dalam indikator tersebut tetap tidak berpengaruh dan berada pada trendnya sendiri.
29
2.6.
Penelitian Terdahulu Penelitian Masyitho (2006) yang berjudul “Analisis Pengaruh Uang
Terhadap Business Cycle Indonesia” menggunakan cross correlation untuk menganalisis pola dan karakteristik business cycle. Untuk melihat pengaruh uang terhadap
business
cycle,
peneliti
menggunakan
metode
VAR
yang
dikombinasikan dengan VECM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guncangan permintaan uang memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap fluktuasi output. Implikasi dari penelitian ini adalah kebijakan moneter masih efektif digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam mencapai sasaran akhir output. Penelitian Nasution dan Nurzaman (2006) yang berjudul “Analisis Stabilitas dan Efektifitas Relatif Besaran Moneter Bebas Bunga di Indonesia : Sebuah Pengujian Ekonometrik Pada Data Time Series Tahun 1971:1 – 2002:4” bertujuan untuk menganalisis efektifitas dan stabilitas instrumen moneter syariah yang diproksi dalam M1. Untuk pengujian stabilitas velocity of money peneliti menggunakan standar deviasi dan varians uang yang mengandung bunga maupun yang tidak mengandung bunga. Sedangkan untuk melihat keterkaitan agregat moneter terhadap tujuan utama kebijakan moneter digunakan pengujian kointegrasi dan error-correction mechanism. Hasil penelitian menunjukkan bahwa velositas dari Besaran Moneter Bebas Bunga (BMBB) relatif lebih stabil dari Besaran Moneter Mengandung Bunga (BMMB). BMBB mempunyai hubungan jangka pendek dan juga jangka panjang terhadap inflasi yang relatif lebih baik dari BMMB. Oleh karena itu BMBB dapat menjadi alat pengontrol inflasi yang lebih baik daripada BMMB.
30
Penelitian Supriana (2004) yang berjudul “Dampak Guncangan Struktural Terhadap Fluktuasi Ekonomi Makro Indonesia : Suatu Kajian Business Cycle Dari Sisi Permintaan“ menggunakan metode SVAR untuk membangun model ekonometrika dan maximum likelihood untuk mengestimasi model. Penelitian ini menggunakan variabel-variabel makroekonomi, antara lain GDP riil, suku bunga dunia, suku bunga domestik, nilai tukar, defisit anggaran, permintaan uang riil dan IHSG untuk mengestimasi business cycle Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diantara variabel-variabel makroekonomi yang digunakan peneliti, hanya guncangan pada output dan nilai tukar yang mampu menjelaskan variabilitas GDP. Lain halnya dengan guncangan fiskal yang tidak mampu menjelaskan variabilitas GDP. Implikasi yang diperoleh dari penelitian ini adalah pemerintah Indonesia dapat mendorong ekspansi ekonomi melalui guncangan terhadap output dan nilai tukar. Penelitian Siregar dan Ward (2002) yang berjudul “Can Monetary Policy/Shock Stabilize Indonesian Macroeconomic Fluctuations?“ menggunakan model Mundell-Fleming untuk makroekonomi Indonesia yang dibentuk dan dianalisis dengan metode SVAR. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respon dari variabel makroekonomi terhadap shock dari kebijakan moneter dan nilai tukar.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
shock
kebijakan
moneter
mempengaruhi output tidak melalui real money balance, tetapi melalui efek suku bunga domestik terhadap nilai tukar. Hal ini berarti bahwa shock pada nilai tukar riil memegang peranan yang lebih besar dalam mengendalikan fluktuasi makroekonomi,
sehingga
kebijakan
moneter
akan
lebih
efektif
jika
31
dikombinasikan
dengan
kebijakan
fiskal,
yang
diyakini
lebih
mampu
mempengaruhi pergerakan nilai tukar riil. Penelitian Siregar dan Ward (2001) yang berjudul “Long Run Money Demand, Long Run Spending Balance and Macro-Economic Fluctuations : Application of
a Cointegrating SVAR Model to Indonesian Macroeconomy“
menggunakan metode analisis SVAR untuk mengidentifikasi sumber fluktuasi makroekonomi Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa shock pada aggregate supply merupakan sumber terbesar dari fluktuasi makroekonomi Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan output nasional untuk mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia adalah dengan kemajuan teknologi dan produktivitas (technology and productivity advancement) ataupun kebijakan lain yang dapat meningkatkan aggregate supply.
2.7. Kerangka Pemikiran Uang beredar yang dikenal dengan istilah M2 atau broad money, terdiri atas dua komponen penyusun, yaitu M1 (narrow money) dan QM (quasy money). M1 kemudian dikategorikan sebagai Besaran Moneter Bebas Bunga (BMBB) dan QM dikategorikan sebagai Besaran Moneter Mengandung Bunga (BMMB). Untuk melihat bentuk korelasi silang dari BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia, maka perlu dicari terlebih dahulu komponen trend dan siklikal dari M1, QM, GDP riil dan IHK dengan menggunakan HPF. Selanjutnya komponen
trend
dan
siklikal
tersebut
dipisahkan
(detrended)
dengan
menggunakan program Microsoft Excel. Komponen siklikal dari variabel-variabel
32
tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan cross correlation. Untuk mengetahui pengaruh serta dampak shock BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia, data keempat variabel dianalisis dengan metode VAR/VECM. Setelah diketahui keterkaitan BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia, maka dapat ditentukan suatu implikasi kebijakan yang tepat untuk mengatasi business cycle dan inflasi di Indonesia (Gambar 6). Broad Money (M2) Quasy Money (QM)
Narrow Money (M1) Interest-Free Monetary Aggregates (Besaran Moneter Bebas Bunga)
Interest Monetary Aggregates (Besaran Moneter Mengandung Bunga) Data
Adjusting for Seasonality VAR/VECM HPF : • Estimasi Komponen Trend • Estimasi Komponen Siklikal Detrended : Pemisahan Komponen Trend dan Siklikal
Estimasi VECM
IRF dan FEVD
Cross Correlation
Bentuk Korelasi Silang (Cross Correlation) BMBB dan BMMB terhadap Business Cycle dan Inflasi Indonesia
Pengaruh dan Dampak Guncangan pada BMBB dan BMMB terhadap Business Cycle dan Inflasi Indonesia
Implikasi Kebijakan Gambar 6. Kerangka Pemikiran
33
2.8. Hipotesis Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. BMBB dan BMMB secara signifikan mempengaruhi tingkat output Indonesia dalam jangka pendek. 2. BMBB dan BMMB secara signifikan mempengaruhi tingkat output Indonesia dalam jangka panjang. 3. BMBB dan BMMB tidak secara signifikan mempengaruhi tingkat harga (inflasi) Indonesia dalam jangka pendek. 4. BMBB dan BMMB secara signifikan mempengaruhi tingkat harga (inflasi) Indonesia dalam jangka panjang. 5. BMBB secara relatif memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap tingkat output dan tingkat harga (inflasi) Indonesia.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Dokumentasi Fakta Empirik Business Cycle Fakta empirik yang telah teruji (stylized facts) business cycle Indonesia dianalisis dengan memisahkan komponen trend dan komponen siklikal dari data deret waktu (time series) ekonomi makro. Komponen siklikal variabel ekonomi makro ini kemudian dianalisis pola dan karakteristiknya dengan melihat korelasinya dengan variabel referensi yakni Produk Domestik Bruto (PDB). Pendekatan statistik khusus untuk mengestimasi trend dan komponen siklikal yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah Hodrick-Prescott filter (HPF). Hodrick-Prescott filter digunakan untuk menghitung deret waktu τ Ct kedalam komponen trend
τt
dan komponen siklikal Ct. komponen trend yang
bersifat stochastic dan berubah secara kontinyu secara alamiah sepanjang waktu. Komponen trend dan komponen siklikal merupakan dua komponen yang tidak berkorelasi. Gail dalam Supriana (2004) berpendapat bahwa trend diperoleh dengan mengasumsikan bahwa jumlah total kuadrat turunan kedua dari τ t adalah kecil. Jika τ t adalah trend dari data deret waktu (time series) yt, maka secara formal estimasi τ t dapat diperoleh dengan meminimisasi fungsi kerugian (loss function) sebagai berikut : T −1
T
2
min{τ t }∑ ( y t − τ t ) + λ ∑ [( y t − τ t ) − (τ t − τ t )] ……………….…....(13) 2
t −1
t =2
35
dimana: [ y t − τ t ] merupakan komponen siklikal dalam HPF. Masalah optimisasi dapat diselesaikan melalui syarat kecukupan (necessary condition) dibawah ini : − 2( y t − τ t ) + 2λ [(τ t − τ t −1 ) − (τ t −1 − τ t − 2 )] ……………………………(14) − 4λ [(τ t +1 − τ t ) − (τ t − τ t −1 )] + 2λ [(τ t + 2 − τ t +1 ) − (τ t +1 − τ t )] = 0 Melalui aljabar sederhana dapat diperoleh :
(
)
y t = λL−2 − 4λL−1 + (6 + 1) − 4λL + λL2 τ t ………………………..…(15)
[
(
= λ (1 − L ) 1 − L−1 2
)
2
]
+ 1τ t
= F (L )τ t
dimana L adalah lag operator dan F(L) adalah bentuk polinomial dari lag operator. Komponen siklikal [ y t − τ t ] dapat dihitung melalui : C tHP = [F (L ) − 1][F (L )] y t …………………………………………...(16) −1
dimana C(L) adalah bentuk polinomial dari lag operator. Nilai λ yang digunakan untuk data triwulanan adalah 1600. Metode yang digunakan untuk mengestimasi trend adalah metode HPF yang dilakukan dengan menggunakan software E-Views 4.1. Sedangkan untuk proses detrending (pemisahan unsur siklikal dari unsur trend-nya) dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel.
3.2. Analisis Pola dan Karakteristik Business Cycle
Supriana (2004) menyatakan bahwa fluktuasi siklikal dideskripsikan berdasarkan struktur korelasi silang (cross correlation) dari komponen siklikal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui fakta variabel ekonomi makro yang
36
diobservasi. Jika komponen siklikal dari variabel ekonomi makro Xt, t = 1, ..., t, maka koefisien korelasi silang antara Xt dengan komponen siklikal PDB dalam t, adalah ρ ( j ), jε (0,±1,±2,...) . Nilai ρ ( j ) untuk j = 0, memberikan informasi arah dan tingkat hubungan dari variabel relatif terhadap PDB. Nilai koefisien korelasi positif dan mendekati satu menunjukkan variabel tersebut pro-siklikal. Sedangkan koefisien korelasi dengan nilai yang sama tetapi berlawanan arah (negatif) disebut kontra-siklikal. Nilai yang tidak berbeda nyata dari nol menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak berkorelasi dengan PDB yang disebut sebagai a-siklikal. Untuk j = 0, koefisien korelasi silang dapat menunjukan fase pergerakan (phase shift) komponen siklikal varibel Xj relatif terhadap siklikal PDB. Xj disebut leading (lagging) siklikal terhadap PDB jika nilai mutlak dari ρ ( j ) mencapai
maksimum untuk j < 0( j > 0). Jika nilai maksimum secara absolut dicapai untuk j = 0, maka dikatakan Xj co-incident dengan siklus variabel referensi. Korelasi
silang yang digunakan adalah korelasi silang Pearson. Volatilitas suatu variabel, dapat dilihat berdasarkan jauhnya simpangan (amplitudo) siklus variabel trend jangka panjangnya. Dalam analisisnya digambarkan oleh besarnya standar deviasi variabel.
3.3. Metode Analisis Business Cycle dan Inflasi Indonesia 3.3.1. Vector Auto Regressive (VAR)
Penelitian ini akan menggunakan metode VAR, yaitu suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag yang lain dari peubah lain yang ada
37
dalam sistem itu sendiri. Jika data yang digunakan stasioner dan tidak terkointegrasi maka metode VAR yang digunakan. Tetapi, jika data yang digunakan tidak stasioner namun terkointegrasi maka VECM yang digunakan. Menurut Arsana (2005), VAR tidak berbeda dengan dengan tahapan persamaan simultan. VAR juga perlu melakukan identifikasi persamaan sebelum melakukan estimasi model. Kondisi overidentified akan diperoleh jika jumlah informasi yang dimiliki melebihi jumlah parameter yang ingin diestimasi. Jika jumlah informasi dan jumlah parameter yang diestimasi sama, akan diperoleh kondisi exactly identified atau just identified. Sementara jika jumlah informasi kurang
dari
jumlah
parameter
yang
diestimasi
akan
tercipta
kondisi
underidentified. Hasil identifikasi pada sebuah sistem persamaan simultan
menjadi penting karena pengaruhnya pada proses estimasi. Proses estimasi hanya dapat dilakukan pada kondisi overidentified dan just identified. Terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan metode VAR menurut Nachrowi dan Usman (2006). Kelebihan metode VAR antara lain : 1. Model VAR adalah model yang sederhana dan tidak perlu membedakan mana variabel yang endogen dan mana yang eksogen. Semua variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel endogen. 2. Cara estimasi model VAR sangat mudah, yaitu dengan menggunakan OLS pada setiap persamaan secara terpisah. 3. Peramalan menggunakan model VAR pada beberapa hal lebih baik dibanding menggunakan model dalam persamaan simultan yang lebih kompleks.
38
Sekalipun memiliki banyak kelebihan, model VAR tetap mempunyai sisi lemah. Adapun beberapa kelemahan yang dimiliki model VAR antara lain : 1. Model VAR lebih bersifat ateoritik karena tidak memanfaatkan informasi atau teori terdahulu. Oleh karenanya, model tersebut sering disebut sebagai model yang tidak struktural. 2. Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model VAR kurang cocok untuk analisis kebijakan. 3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan dalam persamaan juga dapat menimbulkan permasalahan. Misal kita memiliki tiga variabel bebas yang masing-masing memiliki lag sebanyak delapan, maka parameter yang harus diestimasi sebanyak 24 buah. Untuk kepentingan tersebut maka data atau pengamatan yang harus dimiliki relatif lebih banyak.
3.3.2. Vector Error Correction Model (VECM)
VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi. Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itulah VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabelvariabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Istilah kointegrasi dikenal
39
juga sebagai error, karena deviasi terhadap keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui series parsial penyesuaian jangka pendek. Model VECM disusun apabila rank kointegrasi (r) lebih besar dari nol. Model VECM ordo p dan rank kointegrasi r dituliskan sebagai : p −1
Δy t = A0 + πy t −1 + ∑ φ * Δy t −1 + ε t ……………………………….…..(17) t =1
dimana :
π = αβ ,
β = vektor kointegrasi berukuran r × 1 , α = vektor adjustment berukuran r × 1 , p
φ * = − ∑ Aj j =i +1
Pendugaan
parameter
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
kemungkinan maksimum. Model VECM dapat dituliskan dalam model VAR dengan menguraikan nilai diferensiasi : Δy t = y t − y t −1 ………………………………………………….…….(18)
3.3.3. Uji Akar Unit (Unit Root Test)
Hal penting yang berkaitan dengan studi atau penelitian yang menggunakan data time series adalah stasioneritas. Pengujian ini sangat penting agar tidak terjadi regresi yang semu (spurious regression) apabila data tersebut tidak stasioner. Data deret waktu dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola
40
yang konstan dari waktu ke waktu, dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur keberadaan stasioneritas, salah satunya dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) test. Jika nilai dari ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka data tersebut stasioner. Hasil series yang stasioner berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar. Apabila hasil series tidak stasioner pada tingkat level, maka harus dilakukan penarikan diferensial dengan melakukan pengujian pada tingkat first difference atau second difference sampai data stasioner. Metode VAR kemudian dikombinasikan dengan VECM.
3.3.4. Penetapan Lag Optimal
Terdapat beberapa tahap pengujian yang dilakukan untuk memperoleh panjang lag optimal. Pada tahap pertama, akan dilihat panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak pada unit circle. Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Information Criterion (SIC) yang dirumuskan sebagai berikut : ⎛ l ⎞ ⎛k⎞ AIC (k ) = −2⎜ ⎟ + 2⎜ ⎟ .....................................................................(19) ⎝T ⎠ ⎝T ⎠ ⎛l⎞ SIC (k ) = −2⎜ ⎟ + k log(T ) / T .............................................................(20) ⎝T ⎠
41
dimana l adalah nilai dari fungsi log likelihood dan k adalah jumlah parameter yang diestimasi dengan menggunakan T pengamatan. Untuk menetapkan lag yang paling optimal, model VAR harus diestimasi dengan tingkat lag yang berbedabeda, kemudian dibandingkan nilai AIC atau SICnya. Nilai AIC atau SIC yang paling kecil dipakai sebagai acuan dalam penentuan tingkat lag paling optimal.
3.3.5. Uji Kointegrasi (Cointegration Test) Kointegrasi merupakan suatu hubungan jangka panjang (long term relationship equilibrium) antara variabel-variabel yang stasioner pada derajat integrasi yang sama. Konsep kointegrasi menyatakan bahwa jika satu variabel atau lebih tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antara variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 2004). Pengujian kointegrasi dilakukan dengan menggunakan lag optimum yang telah didapat dari pengujian sebelumnya. Untuk dapat menentukan asumsi deterministik yang digunakan dalam pembentukan persamaan kointegrasi, maka perlu dilakukan uji kointegrasi dengan menggunakan asumsi summary. Setelah menentukan asumsi deterministik berdasarkan kriteria AIC dan SIC, pengujian kointegrasi dapat dilakukan untuk melihat jumlah kointegrasi sistem persamaan. Pada dasarnya terdapat beberapa cara untuk melakukan uji kointegrasi, yaitu uji kointegrasi Engle-Granger dan uji kointegrasi Johansen (Masyitho, 2006). Namun pada penelitian ini uji kointegrasi yang digunakan yaitu uji kointegrasi Johansen (Johansen Cointegration Test).
42
3.3.6. Impulse Response Function (IRF) Sims menyatakan bahwa cara yang paling baik dalam mencirikan struktur dinamis pada model adalah dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan (shock). IRF dapat melakukan hal ini dengan menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. Brooks (2002) berpendapat bahwa IRF melacak respon dari variabel dependen dalam VAR terhadap guncangan dari variabel-variabel lain. Jadi, untuk setiap variabel dari masing-masing persamaan yang terpisah, suatu guncangan diaplikasikan pada error dan efeknya terhadap sistem VAR untuk beberapa waktu tercatat. Karenanya, apabila terdapat g variabel dalam sistem, total dari g2 impulse response dapat diketahui.
3.3.7. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Brooks (2002) menyatakan bahwa FEVD merupakan metode yang sedikit berbeda untuk menganalisis dinamika sistem VAR. FEVD memberi proporsi pergerakan dalam variabel-variabel dependen yang terkait dengan guncangan dari variabel itu sendiri, disamping terhadap guncangan dari variabelvariabel lain. Suatu guncangan terhadap variabel ke-I tentunya akan berpengaruh langsung terhadap variabel tersebut, namun juga akan ditransmisikan kepada semua variabel lainnya dalam sistem melalui struktur dinamis dari VAR. FEVD menentukan berapa banyak s langkah ke depan mampu meramalkan error variance dari variabel yang dijelaskan terhadap guncangan dari variabel-variabel
43
lain, pada s = 1,2,… Dalam prakteknya, biasanya guncangan dari variabel itu sendiri menjelaskan sebagian besar (peramalan) error variance dari sistem VAR.
3.4. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data time series triwulan dari tahun 1990:1-2006:4. Untuk menganalisis korelasi BMBB, BMMB, dan variabel makroekonomi terhadap business cycle dan inflasi Indonesia, data dipisahkan menjadi periode sebelum krisis (1990:1-1997:2) dan setelah krisis (1999:1-2006:4). Untuk mengidentifikasi indikator business cycle Indonesia, variabelvariabel yang digunakan adalah M1, quasy money (rupiah dan valas), PDB riil (2000=100), IHK Indonesia (2000=100), IHK USA (2000=100), SBI 1 bulan, US prime, nominal exchange rate, kredit investasi (rupiah dan valas) dan kredit modal kerja (rupiah dan valas). Sementara variabel yang digunakan dalam menganalisis keterkaitan BMBB dan BMMB dengan business cycle dan inflasi Indonesia adalah M1, quasy money, PDB riil (2000=100), IHK Indonesia (2000=100), SBI 1 bulan, dan nominal exchange rate. Sumber data berasal dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), situs Bank Indonesia, situs Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat, situs Bureau of Labor Statistics (US Department of Labor), dan Bureau of Economic Analysis (US Department of Commerce) serta beberapa bahan pustaka lain dari jurnal dan bukubuku yang berasal dari berbagai sumber. Selain itu dikarenakan adanya keterbatasan data, maka dilakukan proyeksi pada beberapa periode waktu untuk
44
variabel kredit modal kerja. Untuk mempermudah proses pengolahan data dalam penelitian ini, digunakan software E-Views 4.1 dan Microsoft Excel. Tabel 3. Daftar Variabel Penelitian No Variabel Satuan
Sumber
1
M1 (Narrow Money)
Miliar Rupiah
SEKI Bank Indonesia
2
Quasy Money
Miliar Rupiah
SEKI Bank Indonesia
3
PDB riil (2000=100)
Miliar Rupiah
SEKI Bank Indonesia, diolah
4
IHK (2000=100)
-
SEKI Bank Indonesia, diolah
5
IHK USA (2000=100)
-
U.S. Department of Labor, diolah
6
SBI 1 bulan
% (Persen)
SEKI Bank Indonesia
7
US Prime
% (Persen)
U.S. Department of Commerce
8
Nominal Exchange Rate
Rp/US$
SEKI Bank Indonesia
9
Kredit Modal Kerja
Miliar Rupiah
SEKI Bank Indonesia
10
Kredit Investasi
Miliar Rupiah
SEKI Bank Indonesia
3.5. Model Persamaan dan Variabel-Variabel Berikut adalah model persamaan yang digunakan untuk melihat keterkaitan BMBB dan BMMB terhadap business cycle dan inflasi Indonesia :
⎡ gdprt ⎤ ⎡c1 ⎤ ⎡α11 ⎢er ⎥ ⎢c ⎥ ⎢α ⎢ t ⎥ ⎢ 2 ⎥ ⎢ 21 ⎢ihkt ⎥ ⎢c3 ⎥ ⎢α 31 ⎢ ⎥ = ⎢ ⎥ +⎢ ⎢m1t ⎥ ⎢c4 ⎥ ⎢α 41 ⎢r ⎥ ⎢c ⎥ ⎢α ⎢t ⎥ ⎢ 5 ⎥ ⎢ 51 ⎢⎣qmt ⎥⎦ ⎢⎣c6 ⎥⎦ ⎢⎣α 61
α12 α 22 α 32 α 42 α 52 α 62
α13 α 23 α 33 α 43 α 53 α 63
α14 α 24 α 34 α 44 α 54 α 64
α15 α 25 α 35 α 45 α 55 α 65
α16 ⎤ ⎡ gdprt −n ⎤ ⎡ε1u ⎤ α 26 ⎥⎥ ⎢⎢ert −n ⎥⎥ ⎢⎢ε 2u ⎥⎥ α 36 ⎥ ⎢ihkt −n ⎥ ⎢ε 3u ⎥ ⎥⎢ ⎥+⎢ ⎥ α 46 ⎥ ⎢m1t −n ⎥ ⎢ε 4u ⎥ α 56 ⎥ ⎢rt −n ⎥ ⎢ε 5u ⎥ ⎥⎢ ⎥ ⎢ ⎥ α 66 ⎥⎦ ⎢⎣qmt −n ⎥⎦ ⎢⎣ε 6u ⎥⎦
di mana :
gdpr
= logaritma natural GDP (Gross Domestic Product) riil
er
= logaritma natural ER (Exchange Rate)
ihk
= logaritma natural IHK (Indeks Harga Konsumen)
….(21)
45
m1
= logaritma natural M1 (Narrow Money), proksi dari Besaran Moneter Bebas Bunga (BMBB)
r
= suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) 1 bulan
qm
= logaritma natural QM (Quasy Money), proksi dari Besaran Moneter Mengandung Bunga (BMMB)
ci
= intercept, dimana ; i (1,2,…)
α ij
= lag operator, dimana ; i, j (1,2,…)
ε iu
= guncangan acak, dimana ; i (1,2,…) Pengurutan variabel pada model, didasarkan pada faktorisasi Cholesky,
dimana variabel yang relatif paling sulit dipengaruhi variabel lain diletakkan paling awal. Sementara variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan paling belakang. Variabel yang memiliki korelasi prediksi terhadap variabel lain diletakkan berdampingan satu sama lain. Hal ini dilakukan karena VD dan IRF sangat sensitif terhadap pengurutan variabel. Variabel PDB riil diletakkan paling awal karena secara relatif paling sulit dipengaruhi oleh variabel lain. Hal ini dikarenakan perubahan output relatif lebih lambat jika dibanding variabel lain. Variabel nilai tukar diletakkan setelah PDB karena tukar relatif memiliki keterkaitan yang lebih besar terhadap PDB. Depresiasi atau apresiasi nilai tukar akan direspon PDB melalui oleh ekspor neto. Selanjutnya IHK, M1, suku bunga domestik dan terakhir QM yang relatif paling tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain. Suku bunga berada diantara M1 dan QM karena suku menjadi acuan masyarakat dalam menentukan pilihan antara melakukan transaksi atau menyimpan uang dalam tabungan atau deposito.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data time series biasanya memiliki pengaruh musiman dan irregular. Untuk itu perlu adanya suatu metode yang dapat menghilangkan pengaruh musiman dan irregular tersebut agar dalam mengambil suatu kesimpulan dari data yang ada tidak menjadi bias. Setelah data terbebas dari adanya pengaruh musiman dan irregular, trend dan siklikal data dapat dicari dengan menggunakan HodrickPrescott filter (HPF). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan evolusi trend dan siklikal variabel PDB riil dan variabel makroekonomi yang lain. Korelasi siklikal variabel PDB riil dengan variabel makroekonomi dapat dianalisis dengan menggunakan korelasi silang (cross correlation). Sementara untuk menganalisis keterkaitan antar variabel digunakan metode VAR/VECM. Ketiga metode yang telah dijelaskan tersedia di dalam software E-Views 4.1.
4.1. Pola dan Karakteristik Indikator Business Cycle Indonesia 4.1.1. Trend dan Siklikal Variabel Referensi Untuk melihat karakteristik fluktuasi ekonomi Indonesia, maka penting untuk mendefinisikan magnitude makroekonomi. Magnitude makroekonomi ditentukan siklus variabel referensi yang dalam penelitian ini menggunakan PDB riil. Hingga saat ini variabel PDB riil masih dianggap sebagai alat ukur terbaik dalam melihat aktivitas ekonomi pada level agregat. Pada Gambar 7 dapat dilihat grafik pertumbuhan PDB riil Indonesia periode 1990:1-2006:4 dalam logaritma natural. Dari grafik tersebut terlihat bahwa selama periode 1990:1-1997:4
47
ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 72 persen3). Hanya saja sejak periode 1998:11998:4 atau semasa krisis ekonomi melanda Indonesia, PDB riil Indonesia mengalami penurunan sebesar 11 persen4). Setelah itu perekonomian Indonesia kembali mengalami pertumbuhan walau tidak sebesar pertumbuhan sebelumnya.
13.20
Log GDP Riil
13.00 12.80 12.60 12.40 12.20 12.00 2006 : 1
2005 : 1
2004 : 1
2003 : 1
2002 : 1
2001 : 1
2000 : 1
1999 : 1
1998 : 1
1997 : 1
1996 : 1
1995 : 1
1994 : 1
1993 : 1
1992 : 1
1991 : 1
1990 : 1
11.80
Periode (Kuartal)
Gambar 7. Grafik Log PDB Riil Indonesia Triwulanan Pada grafik tersebut juga terlihat adanya fluktuasi musiman (seasonal oscillations). Adanya fluktusi musiman ini merupakan suatu hal yang biasa terjadi dimana aktivitas ekonomi cenderung meningkat pada akhir tahun (kuartal keempat) dan mengalami penurunan pada periode awal tahun (kuartal pertama). Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat trend dan siklikal dari variabel referensi dan makroekonomi. Dengan menggunakan HPF, komponen siklikal di ekstraksi dari time series yang telah dikeluarkan pengaruh fluktuasi musimannya (seasonally adjusted).
3) dan 4) Diolah dari data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
Periode (Kuartal)
Gambar 9. Grafik Siklikal PDB Riil
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
2003 : 1
2002 : 1
2001 : 1
2000 : 1
1999 : 1
1998 : 1
1997 : 1
1996 : 1
1995 : 1
1994 : 1
1993 : 1
1992 : 1
1991 : 1
1990 : 1
2006 : 1
0.05
2006 : 1
0.10
2005 : 1
0.15
2005 : 1
Gambar 8. Grafik Trend PDB Riil 2004 : 1
Periode (Kuartal)
2004 : 1
2003 : 1
2002 : 1
2001 : 1
2000 : 1
1999 : 1
1998 : 1
1997 : 1
1996 : 1
1995 : 1
1994 : 1
1993 : 1
1992 : 1
1991 : 1
1990 : 1
Deviasi Dari Trend
Log GDP Riil
48
13.20
13.00
12.80
12.60
12.40
12.20
12.00
11.80
49
Gambar 8 dan 9 merupakan plot dari trend dan siklikal PDB riil Indonesia. Dari gambar terlihat bahwa sejak tahun 1995 sebenarnya trend pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan setelah sebelumnya mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika saja pemerintah Indonesia melakukan dekomposisi PDB riil dari pengaruh musiman dan irregular pada tahun 1995 maka fase perlambatan ekonomi mampu dideteksi lebih dini sehingga krisis ekonomi yang terjadi dua tahun kemudian dapat diantisipasi. Plot estimasi siklikal yang ditampilkan pada Gambar 9 menunjukkan bahwa selain kontraksi ekonomi yang terjadi pada periode krisis ekonomi (19971999), pergerakan PDB riil tidak terlalu volatil karena berada di sekitar garis trend. Puncak (peak) ekonomi tercapai pada kuartal ketiga tahun 1997 dimana nilai deviasi PDB riil mencapai 10 persen. Hal ini dikarenakan pada awal tahun 1996, selain tingginya permintaan domestik, aliran dana investasi asing yang masuk ke Indonesia cukup tinggi. Ini semua tidak terlepas dari kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang ketika itu cukup baik. Dalam tahun 1996/97 lalu lintas modal bersih mengalami surplus yang cukup besar, yaitu 11 miliar US Dollar. Besarnya surplus tersebut terutama berasal dari sektor swasta yang mengalami surplus sebesar 11.8 miliar US Dollar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 7.8 persen menjadi acuan para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. (Bank Indonesia, 1997) Tingginya pertumbuhan ekonomi yang disertai rendahnya tingkat inflasi Indonesia sebelum krisis, menunjukkan bahwa sebenarnya indikator ekonomi Indonesia berada pada kondisi yang baik. Derasnya aliran dana asing yang masuk
50
ke Indonesia, baik dalam bentuk penanaman modal langsung, investasi portofolio berupa saham dan obligasi serta investasi jangka pendek berupa SBI atau sertifikat deposito dan surat berharga pasar uang, ternyata menjadi awal dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Gejolak nilai tukar yang diawali oleh krisis bath, membuat perekonomian Indonesia terguncang. Ketidakpercayaan investor asing terhadap kondisi ekonomi di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia berdampak pada penarikan secara besar-besaran uang yang mereka simpan pada SBI, sertifikat deposito dan surat berharga pasar uang. Tingginya permintaan valas ketika itu berdampak pada penurunan cadangan devisa Indonesia yang kemudian berlanjut pada krisis nilai tukar rupiah dimana pada bulan Juni 1998 rupiah terdepresiasi ke angka Rp.14,900 per US Dollar5). Kejatuhan nilai tukar rupiah kemudian mempengaruhi utang luar negeri pemerintah dan swasta yang mencapai 109.3 miliar US Dollar (Bank Indonesia, 1997). Hasil dari analisis menunjukkan bahwa titik balik bawah (trough) tercapai pada kuartal keempat tahun 1998. Memasuki tahun 1999 perekonomian Indonesia berada pada fase recovery setelah sebelumnya selama tahun 1998 mengalami kontraksi yang sangat dalam. Dapat dilihat dari deviasi PDB riil yang mencapai 11 persen dibawah trend atau mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar -18.3 persen6).
4.1.2. Trend dan Siklikal IHK Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa pergerakan siklikal IHK tidak terlalu volatil kecuali pada saat krisis ekonomi berlangsung di Indonesia. Fase
5) dan 6) Diolah dari data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
51
pergerakan pada tahun 1990-1996 berada pada deviasi yang rendah terhadap trend. Deviasi tertinggi hanya terjadi pada kuartal empat 1991 dan kuartal pertama 1993 yang mencapai 3 persen. Berbeda halnya ketika krisis ekonomi terjadi, deviasi siklikal IHK mencapai 22 persen pada kuartal ketiga 1998. Sepanjang periode 1995 hingga 1997 IHK terus mengalami penurunan yang ditandai oleh tingginya nilai deviasi yang hampir mencapai 20 persen dibawah trend. Secara kumulatif, laju inflasi yang diukur dengan IHK mengalami penurunan menjadi 5.17 persen7) setelah mencatat laju yang cukup tinggi selama sepuluh tahun terakhir. Laju inflasi dalam tahun 1996 mencapai 6.47 persen8), lebih rendah dibandingkan dengan laju inflasi tahun 1995. Rendahnya laju inflasi dalam tahun 1996/1997 terutama disebabkan oleh rendahnya kenaikan harga pada kelompok makanan (Bank Indonesia, 1997). Secara keseluruhan, turunnya kenaikan harga pada kelompok makanan juga terkait dengan membaiknya pengadaan dan distribusi barang makanan sebagai akibat operasi pasar yang dilakukan Badan Urusan Logistik (Bulog) serta tidak adanya gangguan produksi selama tahun 1996/1997. Pada periode krisis, fase pergerakan siklikal IHK dapat dikatakan sangat volatil. Setelah mengalami penurunan laju inflasi pada tahun 1996/1997, pada tahun 1997/1998, laju inflasi secara kumulatif meningkat menjadi 34.22 persen9), tertinggi sejak tahun 1974/1975. Sementara itu, laju inflasi dalam tahun 1997 mencapai 11.05 persen10), tertinggi sejak tahun 1984. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan alam yaitu musim kering berkepanjangan dan kebakaran hutan
7) dihitung berdasarkan tahun anggaran 1996/1997 8) dihitung berdasarkan tahun takwin 1996 9) dihitung berdasarkan tahun anggaran 19971998 10) dihitung berdasarkan tahun takwin 1997
52
mengakibatkan gangguan asap yang menghambat penyaluran bahan makanan (Bank Indonesia, 1998). Selain itu, tingginya laju inflasi berkaitan dengan adanya peningkatan harga-harga barang yang memiliki kandungan impor yang tinggi akibat tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang terus berlangsung sejak Juli 1997. Adanya musim kering pada kuartal pertama 1998, berdampak pada penurunan pasokan barang, khususnya makanan. Sementara di sisi lain, permintaan terhadap barang dan jasa mengalami peningkatan yang cukup tinggi akibat meningkatnya kebutuhan untuk hari raya dan tahun baru serta pembelian oleh masyarakat secara besar-besaran akibat adanya isu mengenai ketidakpastian pengadaan barang dan jasa. Pembelian barang melampaui batas yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari tersebut juga dikarenakan pada saat yang sama masyarakat memegang uang berlebihan, seperti tercermin dari meningkatnya jumlah uang beredar pada kuartal kedua 1998 sebesar 81 persen11) jika dibandingkan dengan jumlah uang beredar pada kuartal kedua 1997. Perkembangan di atas mendorong peningkatan laju inflasi menjadi 34.22 persen dalam tahun anggaran 1997/98 (Bank Indonesia 1998). Hasil dari analisis memperlihatkan bahwa pada tahun 1995 siklikal IHK terkontraksi hingga mencapai titik terdalam pada akhir tahun 1997 dengan deviasi hampir mencapai 20 persen. Pada kuartal pertama 1998 IHK mulai mengalami ekspansi hingga mencapai titik tertinggi (peak) pada kuartal ketiga 1998 dengan nilai deviasi yang mencapai 22 persen. Dapat dikatakan bahwa sepanjang tahun 1998 harga-harga secara umum mengalami peningkatan sebesar 75 persen12).
11) dan 12) Diolah dari data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
Periode (Kuartal)
Gambar 11. Grafik Siklikal IHK
2005:1 2006:1
2003:1 2004:1
2000:1 2001:1 2002:1
1998:1 1999:1
1996:1 1997:1
1993:1 1994:1 1995:1
1991:1 1992:1
1990:1
Deviasi dari Trend
2006:1
2005:1
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Log IHK
53
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Periode (Kuartal)
Gambar 10. Grafik Trend IHK
0.30
0.20
0.10
0.00
-0.10
-0.20
-0.30
54
4.1.3. Trend dan Siklikal Variabel Luar Negeri Perekonomian United States of America (USA) sebelum krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 terus menunjukkan kinerja yang membaik. Hal ini ditandai dengan keberhasilan konsolidasi fiskal yang menghasilkan surplus anggaran, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akibat tingginya permintaan dalam negeri, dan tingkat inflasi yang terkendali. Trend IHK USA yang cenderung stabil dapat dilihat pada Gambar 12. Pergerakan siklikal IHK USA yang dapat dilihat pada Gambar 13 menunjukkan bahwa pergerakan harga di USA tidak terlalu volatil karena nilai deviasi terbesar yang pernah terjadi hanya sebesar 1.4 persen pada awal tahun 1990. Deviasi sekecil ini menggambarkan bahwa pemerintah USA ketika itu mampu menjaga kestabilan harga. Setelah cukup stabil pada periode 1991-1996, IHK USA terkontraksi pada kuartal pertama 1997 hingga mencapai lembah (trough) dengan deviasi 0.8 persen pada kuartal pertama 1999. Setelah itu IHK USA mengalami ekspansi hingga mencapai puncak (peak) pada kuartal kedua 2001 dengan nilai deviasi 1 persen. Relatif rendahnya inflasi di negara-negara maju, khususnya USA memberikan ruang bagi bank sentral USA (The Fed) untuk menurunkan suku bunganya. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 14, dimana trend suku bunga USA (US Prime) cenderung mengalami penurunan. Sementara itu pergerakan siklikal dari US Prime relatif sangat stabil, karena hanya berada disekitar trend dengan nilai deviasi terbesar adalah 2.5 persen yang terjadi pada kuartal keempat 2000.
Periode (Kuartal)
Gambar 13. Grafik Siklikal IHK USA
2005:1 2006:1
2002:1 2003:1 2004:1
1999:1 2000:1 2001:1
1996:1 1997:1 1998:1
1994:1 1995:1
1991:1 1992:1 1993:1
1990:1
Deviasi dari Trend
2006:1
2005:1
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Log IHK USA
55
4.90
4.80 4.70
4.60
4.50
4.40
4.30
4.20
4.10
4.00
Periode (Kuartal)
Gambar 12. Grafik Trend IHK USA
0.02
0.01
0.00
-0.01
-0.02
-0.02
Periode (Kuartal)
Gambar 15. Grafik Siklikal Suku Bunga USA
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
2006:1
-0.01
2006:1
0.00
2005:1
0.01
2005:1
0.02
2004:1
0.03
2004:1
Gambar 14. Grafik Trend Suku Bunga USA
2003:1
Periode (Kuartal)
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Deviasi Dari Trend
Suku Bunga USA
56
0.1000
0.0800
0.0600
0.0400
0.0200
0.0000
57
4.1.4. Trend dan Siklikal Besaran Moneter Tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diikuti oleh derasnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia pada periode sebelum krisis ekonomi berdampak pada peningkatan permintaan dalam negeri, khususnya permintaan pembiayaan. Hal ini yang menjadi penyebab dari tingginya pertumbuhan besaran moneter ketika itu. Gambar 17, 19, 21 dan 23 menggambarkan plot siklikal dari besaranbesaran moneter yang meliputi jumlah uang beredar (M1 dan quasy money), suku bunga domestik dan nilai tukar rupiah. Keempat besaran moneter tersebut memiliki pergerakan yang cukup volatil. Khususnya M1 yang memiliki tiga titik puncak (peak) dan dua titik lembah (trough) yang nilai deviasinya rata-rata 10 persen. a) Uang Beredar Tingginya permintaan domestik yang berdampak pada tingginya pertumbuhan besaran moneter, khususnya jumlah uang beredar, mengakibatkan pemerintah melakukan upaya pengendalian uang beredar. Sejalan dengan kebijakan yang diambil dalam mengendalikan permintaan dalam negeri, pertumbuhan M1 sejak tahun 1995 hingga sebelum krisis mengalami siklikal yang relatif menurun. Siklikal M1 mengalami kenaikan yang sangat tinggi pada periode krisis. Ketidakpastian barang dan jasa dari sisi penawaran berdampak pada peningkatan harga barang dan jasa secara umum. Ketidakpastian tersebut mendorong masyarakat melakukan pembelian barang dan jasa secara besar-besaran.
Periode (Kuartal)
Gambar 17. Grafik Siklikal M1
2005:1 2006:1
2003:1 2004:1
2000:1 2001:1 2002:1
1998:1 1999:1
1996:1 1997:1
1993:1 1994:1 1995:1
1991:1 1992:1
1990:1
Deviasi dari Trend
2006:1
2005:1
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Log M1
58
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Periode (Kuartal)
Gambar 16. Grafik Trend M1
0.20
0.10
0.00
-0.10
-0.20
59
Kebutuhan rupiah yang besar untuk melakukan transaksi sebagai akibat tingginya kenaikan tingkat harga mendorong masyarakat untuk memilih alat pembayaran yang lebih likuid. Perkembangan ini menyebabkan permintaan M1, khususnya uang kartal, mengalami peningkatan yang tajam. Komponen jumlah uang beredar yang lain adalah QM. Dibandingkan dengan M1, siklikal QM relatif lebih rendah volatilitasnya. Besaran moneter QM hanya memiliki satu titik puncak (peak) dan satu titik lembah (trough). Pada periode sebelum krisis, QM terkontraksi hingga mencapai titik lembah pada akhir 1997 dengan deviasi sebesar 11 persen. (Gambar 19) Penurunan
pertumbuhan
QM
disebabkan
oleh
melambatnya
pertumbuhan simpanan berjangka baik dalam rupiah maupun valuta asing yang antara lain dipengaruhi oleh kecenderungan menurunnya suku bunga di dalam negeri. Selain itu masyarakat lebih cenderung meningkatkan permintaan pada uang kartal sehubungan dengan tingginya permintaan akan pembiayaan. Hal yang sebaliknya terjadi ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia. Depresiasi nilai tukar rupiah yang mencapai angka Rp.14,900 per US Dollar pada Juni 1998 berdampak pada peningkatan simpanan valuta asing yang didenominasikan ke dalam rupiah. Dapat dilihat dari Gambar 19 bahwa pada periode krisis jumlah QM mengalami peningkatan yang tajam dengan deviasi sebesar 24 persen pada periode waktu yang sama. Secara umum, pada saat krisis berlangsung, jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) yang mencakup M1 dan QM, mengalami pertumbuhan yang tinggi (52.7 persen) dibandingkan pertumbuhan sebelumnya yang sebesar 26.7 persen (Bank Indonesia, 1998).
Periode (Kuartal)
Gambar 19. Grafik Siklikal QM
2005:1 2006:1
2003:1 2004:1
2000:1 2001:1 2002:1
1998:1 1999:1
1996:1 1997:1
1993:1 1994:1 1995:1
1991:1 1992:1
1990:1
Deviasi dari Trend
2006:1
2005:1
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Log QM
60
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Periode (Kuartal)
Gambar 18. Grafik Trend QM
0.30
0.20
0.10
0.00
-0.10
-0.20
61
b) Nilai Tukar Sebelum tahun 1997, secara umum perkembangan nilai tukar rupiah cenderung menguat terhadap beberapa mata uang utama. Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh derasnya arus modal masuk ke Indonesia, yang merupakan pencerminan dari tingginya kepercayaan para pelaku pasar terhadap kondisi fundamental perekonomian Indonesia. Di samping itu, masuknya arus modal tersebut juga disebabkan oleh masih menariknya penanaman dalam rupiah oleh investor asing sehubungan dengan relatif tingginya perbedaan antara suku bunga domestik dan luar negeri meskipun telah mulai menunjukkan penurunan. Akan tetapi krisis keuangan yang terjadi di Thailand berdampak pada derasnya arus modal keluar (capital outflow). Perkembangan ini kemudian menyebabkan merosotnya nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah semakin lemah karena tingginya permintaan dollar yang digunakan untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri yang akan jatuh tempo, membiayai impor, dan tujuan-tujuan spekulatif terhadap rupiah. Selain itu tekanan inflasi dalam negeri yang sangat tinggi juga menjadi pemacu depresiasi rupiah. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa pada periode sebelum krisis nilai tukar rupiah terkontraksi hingga mencapai titik lembah (trough) pada kuartal kedua 1997 dimana ketika itu nilai deviasinya mencapai 53 persen. Setelah itu nilai tukar mulai mengalami ekspansi hingga mencapai titik puncak (peak) pada kuartal kedua 1998 dimana nilai deviasinya mencapai 97 persen sebelum akhirnya terkontraksi kembali dan berfluktuasi pada range deviasi 20 persen hingga kuartal keempat 2006.
Periode (Kuartal)
Gambar 21. Grafik Siklikal Nilai Tukar
2005:1 2006:1
2003:1 2004:1
2000:1 2001:1 2002:1
1998:1 1999:1
1996:1 1997:1
1993:1 1994:1 1995:1
1991:1 1992:1
1990:1
Deviasi dari Trend
2006:1
2005:1
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Log Exchange Rate
62
10.00 8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Periode (Kuartal)
Gambar 20. Grafik Trend Nilai Tukar
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
-0.20
-0.40
-0.60
63
c) Suku Bunga Domestik Dalam periode sebelum krisis suku bunga domestik cenderung mengalami penurunan. Penurunan suku bunga ini berkaitan dengan menurunnya laju inflasi, kondisi pasar uang domestik yang cukup likuid serta adanya kecenderungan penurunan suku bunga di beberapa negara industri, seperti Jepang dan Jerman. Selain itu suku bunga di Amerika Serikat yang seringkali dijadikan acuan banyak negara termasuk Indonesia juga masih relatif rendah. Penurunan suku bunga yang dilakukan pemerintah memiliki tujuan untuk mengurangi arus modal asing masuk (capital inflow), terutama untuk investasi berjangka pendek, yang pada dasarnya hanya untuk tindakan spekulasi. Hal ini mungkin terjadi karena ketika itu perbedaan (spread) antara suku bunga domestik dan luar negeri cukup tinggi. Tingginya arus modal asing yang masuk ke Indonesia secara langsung mempengaruhi perilaku masyarakat dan perbankan terhadap permintaan uang. Suku bunga domestik mengalami kenaikan yang tajam sejalan dengan kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan Bank Indonesia. Dalam periode Juli-Agustus 1997, Bank Indonesia secara bertahap menaikkan suku bunga SBI sebagai upaya menstabilkan nilai tukar rupiah disamping melakukan intervensi di pasar valuta asing. Tingginya kenaikan suku bunga pada dasarnya bertujuan untuk memberikan suku bunga riil yang positif sebagai insentif kepada para penabung sekaligus untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Dari analisis yang telah dijabarkan, dapat dilihat bahwa pada periode sebelum krisis suku bunga domestik cenderung terkontraksi hingga mencapai titik
0.20
0.10
0.00
-0.10
-0.20
Periode (Kuartal)
Gambar 23. Grafik Siklikal Suku Bunga Domestik 2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
2006:1
0.30
2006:1
0.40 2005:1
0.50
2005:1
Gambar 22. Grafik Trend Suku Bunga Domestik 2004:1
Periode (Kuartal)
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Deviasi Dari Trend
Suku Bunga Domestik
64
0.2500
0.2000
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
65
lembah (trough) pada kuartal kedua 1997. Nilai deviasinya ketika itu mencapai 11 persen. Setelah itu suku bunga mulai mengalami ekspansi hingga mencapai titik puncak (peak) pada kuartal ketiga 1998 dimana nilai deviasinya mencapai 41 persen sebelum akhirnya terkontraksi kembali dan berfluktuasi disekitar trend-nya sejak kuartal ketiga 1999 dengan rata-rata deviasi 3 persen.
4.1.5. Trend dan Siklikal Kredit Domestik Tingginya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia berdampak pada meningkatnya
permintaan
masyarakat.
Salah
satunya
permintaan
akan
pembiayaan. Untuk itu tidak mengherankan ketika pada periode sebelum krisis trend penyaluran kredit di Indonesia, baik untuk Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK) terus meningkat (Gambar 24 dan 26). Pergerakan siklikal dari KI dan KMK dapat dikatakan tidak terlalu volatil karena pergerakannya rata-rata berfluktuasi disekitar trend. Deviasi terbesar yang terjadi pada masa sebelum krisis adalah 16 persen untuk KI dan 29 persen untuk KMK yang terjadi pada awal 1993. Adanya gejolak nilai tukar yang terjadi pada masa krisis berdampak pada melambatnya penyaluran kredit perbankan, khususnya penyaluran kredit dalam rupiah. Tetapi hal ini tidak mempengaruhi total KI dan KMK yang disalurkan kepada masyarakat. Gambar 25 dan 27 menunjukkan KI mengalami ekspansi yang cepat hingga mencapai titik puncak pada kuartal kedua 1998 dengan deviasi 78 persen. Sedangkan KMK mulai terekspansi pada kuartal ketiga 1997 hingga mencapai titik puncak (peak) pada kuartal keempat 1998 dengan deviasi 40 persen.
Periode (Kuartal)
Gambar 25. Grafik Siklikal Kredit Investasi
2005:1 2006:1
2002:1 2003:1 2004:1
1999:1 2000:1 2001:1
1996:1 1997:1 1998:1
1994:1 1995:1
1991:1 1992:1 1993:1
1990:1
Deviasi dari Trend
2006:1
2005:1
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Log Kredit Investasi
66
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Periode (Kuartal)
Gambar 24. Grafik Trend Kredit Investasi
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
-0.20
-0.40
Periode (Kuartal)
Gambar 27. Grafik Siklikal Kredit Modal Kerja
2005:1 2006:1
2003:1 2004:1
2000:1 2001:1 2002:1
1998:1 1999:1
1996:1 1997:1
1993:1 1994:1 1995:1
1991:1 1992:1
1990:1
Deviasi dari Trend
2006:1
2005:1
2004:1
2003:1
2002:1
2001:1
2000:1
1999:1
1998:1
1997:1
1996:1
1995:1
1994:1
1993:1
1992:1
1991:1
1990:1
Log Kredit Modal Kerja
67
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
Periode (Kuartal)
Gambar 26. Grafik Trend Kredit Modal Kerja
0.60
0.40
0.20
0.00
-0.20
-0.40
-0.60
68
Ekspansi yang terjadi pada KI dan KMK disebabkan oleh adanya peningkatan kredit dalam valas sebagai akibat dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang dunia. Setelah nilai tukar kembali menguat pasca krisis maka KI dan KMK akan terkontraksi kembali hingga mencapai titik lembah (trough) pada awal 2000 dengan deviasi masing-masing 36 persen pada dan 41 persen. Setelah itu keduanya terekspansi kembali dan pergerakannya cenderung stabil di sekitar trend.
4.2. Perbandingan Variabel Makroekonomi terhadap Variabel Referensi dan IHK Pada bagian ini akan dilihat pola siklikal variabel makroekonomi dari timing-nya jika dibandingkan dengan variabel referensi business cycle (PDB riil) dan variabel inflasi (IHK). Pada akhirnya akan terlihat apakah suatu variabel makroekonomi dikatakan sebagai leading, lagging atau co-incident indicator bagi PDB riil dan IHK. Selain itu dapat juga dilihat pola hubungan variabel-variabel tersebut. Apakah memiliki pola procyclical, countercyclical atau acyclical. Pergerakan siklikal setiap variabel memiliki volatilitas yang berbedabeda. Ada yang memiliki volatilitas yang tinggi, medium dan ada juga yang rendah. Menurut Setiana (2006) penentuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal masing-masing variabel didapat dari hasil pembagian standar deviasi setiap variabel makroekonomi dengan nilai rata-rata masing-masing seri data, dan dibuat dalam bentuk persen. Variabel yang tergolong memiliki volatilitas yang tinggi berarti hasil pembagiannya lebih dari 100 persen. Sementara variabel-
69
variabel yang tergolong memiliki volatilitas rendah berarti hasil pembagiannya kurang dari 50 persen. Tabel 5 dan 7 memperlihatkan hasil korelasi silang (cross correlation) dari siklikal variabel makroekonomi terhadap PDB riil dan IHK. Sementara Tabel 6 dan 8 memperlihatkan hasil korelasi M1 dan QM terhadap PDB riil dan IHK sebelum dan setelah krisis ekonomi. Adapun hasil perhitungan dari kriteria volatilitas (CV) dari masing-masing variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perhitungan CV Variabel Makroekonomi Standar Variabel Deviasi DGDPR (GDP Riil) 0.036587 DIHK (IHK) 0.072800 DIHKF (IHK USA) 0.005723 DR (Suku Bunga Domestik) 0.082135 DRF (Suku Bunga USA) 0.009531 DER (Exchange Rate) 0.209559 DM1 (M1) 0.049895 DQM (Quasy Money) 0.071132 DKI (Kredit Investasi) 0.183005 DKMK (Kredit Modal Kerja) 0.154763
Mean -0.000441 -0.000441 -0.000294 -0.000294 0.000441 0.000147 1.22E-18 -2.14E-18 -0.000441 0.000154
CV (%) -82.9637188 -165.0793651 -19.4659864 -279.3707483 21.6122449 1425.5714286 4.090E+16 -3.324E+16 -414.9773243 1004.9545454
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa korelasi antara variabel M1 dengan PDB riil adalah leading indicator dengan nilai koefisien 0.55. Dengan volatilitas yang tinggi M1 memiliki pola pergerakan yang countercyclical terhadap PDB riil. Berbeda halnya dengan variabel QM yang menjadi co-incident indicator bagi variabel PDB riil dengan nilai koefisien 0.78. Pola siklikal variabel QM adalah countercyclical dengan volatilitas yang rendah.
70
Pada periode sebelum krisis M1 dan QM merupakan co-incident indicator bagi PDB riil dengan nilai koefisien masing-masing adalah 0.27 dan 0.63. Sementara itu setelah krisis pergerakan siklikal M1 merupakan lagging indicator dengan nilai koefisien 0.43. Berbeda halnya dengan QM dimana pergerakan siklikalnya adalah co-incident indicator bagi PDB riil (Tabel 6). Tabel 5. Pola Siklikal Variabel Makroekonomi dengan Variabel Referensi Fase Pergerakan Leading Indicator 1. M1 2. Exchange Rate Co-incident Indicator 1. IHK 2. QM Lagging Indicator 1. IHK USA 2. Kredit Investasi 3. Kredit Modal Kerja 4. Suku Bunga Domestik 5. Suku Bunga USA
Volatilitas
Cross Correlation Lead/Lag Coefficient
Arah Siklikal
Tinggi Tinggi
-1 -1
0.55 0.83
Counter Cyclical Counter Cyclical
Rendah Rendah
0 0
0.88 0.78
Countercyclical Countercyclical
Rendah Rendah Tinggi Rendah Rendah
+8 +5 +5 +5 +6
0.47 0.78 0.83 0.61 0.27
Procyclical Countercyclical Acyclical Countercyclical Acyclical
Tabel 6. Korelasi M1 dan QM dengan Variabel Referensi Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi Variabel
Waktu
M1 M1 QM QM
Sebelum Krisis Setelah Krisis Sebelum Krisis Setelah Krisis
Fase Pergerakan Co-incident Lagging Co-incident Co-incident
Cross Correlation Lead/Lag Coefficient 0 0.27 +5 0.43 0 0.63 0 0.76
Arah Siklikal Countercyclical Countercyclical Countercyclical Countercyclical
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa korelasi antara variabel M1 dan QM terhadap IHK adalah leading indicator dengan nilai koefisien masing-masing adalah 0.63 dan 0.83. pola siklikal M1 dan QM terhadap siklikal IHK adalah procyclical dengan volatilitas M1 yang tinggi dan QM yang rendah.
71
Seperti halnya pergerakan siklikal M1 dan QM terhadap PDB riil, pergerakan siklikal M1 dan QM terhadap IHK pada periode sebelum krisis M1 dan QM merupakan co-incident indicator dengan nilai koefisien masing-masing adalah 0.37 dan 0.63. Pada periode setelah krisis pergerakan siklikal M1 adalah lagging indicator bagi IHK dengan nilai koefisien 0.36. Sementara pergerakan siklikal QM adalah co-incident indicator dengan nilai koefisien 0.91 (Tabel 8). Hasil cross correlation selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1-6. Tabel 7. Pola Siklikal Variabel Makroekonomi dengan Variabel Inflasi Fase Pergerakan Leading Indicator 1. M1 2. Exchange Rate 3. QM 4. Suku Bunga Domestik Co-incident Indicator 1. GDP Riil Lagging Indicator 1. IHK USA 2. Kredit Investasi 3. Kredit Modal Kerja 4. Suku Bunga USA
Volatilitas
Cross Correlation Lead/Lag Coefficient
Arah Siklikal
Tinggi Tinggi Rendah Rendah
-1 -2 -1 -1
0.63 0.90 0.83 0.70
Procyclical Procyclical Procyclical Procyclical
Rendah
0
0.88
Countercyclical
Rendah Rendah Tinggi Rendah
+8 +4 +5 +7
0.30 0.84 0.88 0.22
Countercyclical Procyclical Procyclical Acyclical
Tabel 8. Korelasi M1 dan QM dengan Variabel Inflasi Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi Variabel
Waktu
M1 M1 QM QM
Sebelum Krisis Setelah Krisis Sebelum Krisis Setelah Krisis
Fase Pergerakan Co-incident Lagging Co-incident Co-incident
Cross Correlation Lead/Lag Coefficient 0 0.37 +7 0.36 0 0.63 0 0.91
Arah Siklikal Procyclical Procyclical Procyclical Procyclical
4.3. Keterkaitan BMBB dan BMMB terhadap Business Cycle dan Inflasi 4.3.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test)
72
Permasalahan yang seringkali timbul pada analisis time series adalah mengenai kestasioneran data. Hal ini menjadi sangat penting karena penggunaan data yang tidak stasioner dalam model regresi akan menciptakan regresi lancung (spurious regresion). Regresi lancung sendiri terjadi ketika hasil regresi menunjukkan hubungan antar variabel yang signifikan secara statistik, namun sebenarnya hubungan tersebut hanyalah contemporaneous dan tidak memiliki makna kausal yang jelas. Regresi ini dapat mengakibatkan misleading dalam penelitian terhadap suatu fenomena ekonomi yang sedang terjadi. Uji kestasioneran data merupakan tahap yang penting dalam melihat apakah suatu variabel yang dianalisis mengandung akar unit (unit root) atau tidak. Dengan menggunakan ADF dapat ditentukan apakah suatu variabel stasioner atau tidak. Tahap awal dari pengujian adalah dengan melihat kestasioneran data pada tingkat level. Apabila dari pengujian tersebut terdapat variabel yang tidak stasioner maka perlu dilakukan pengujian pada tingkat first difference hingga seluruh variabel stasioner. Suatu variabel dikatakan stasioner apabila nilai ADF test statistic lebih kecil secara aktual dari MacKinnon test critical values. Dengan menggunakan selang kepercayaan 90 persen, maka didapat hasil uji stasioneritas variabel-variabel penelitian dalam Tabel 9. Tabel 9. Uji Akar Unit Variabel Pada Level Variabel Ln_GDPR Ln_IHK Ln_ER Ln_M1 Ln_QM R
ADF Statistik -2.520012 -3.047713 -2.154129 -2.708429 -0.757594 -3.196922
Nilai Kritis MacKinnon 1% 5% 10% -4.100935 -3.478305 -3.166788 -4.100935 -3.478305 -3.166788 -4.100935 -3.478305 -3.166788 -4.100935 -3.478305 -3.166788 -4.100935 -3.478305 -3.166788 -4.100935 -3.478305 -3.166788
Keterangan Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Stasioner
73
Berdasarkan hasil pengujian pada tingkat level dapat diketahui bahwa dengan menggunakan taraf nyata 10 persen, hampir seluruh variabel tidak stasioner, kecuali suku bunga domestik. Untuk itu perlu dilakukan uji kestasioneran data pada tingkat first difference. Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa seluruh variabel telah stasioner pada tingkat first difference karena nilai ADF test statistic variabel-variabel itu secara aktual lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon 10 persen. Hasil uji akar unit variabel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 10. Uji Akar Unit Variabel Pada First Difference Variabel
ADF Statistik
Ln_GDPR Ln_IHK Ln_ER Ln_M1 Ln_QM
-2.694751 -4.360282 -6.021000 -9.507721 -6.421713
Nilai Kritis Mc Kinnon 1% 5% 10% -3.533204 -2.90621 -2.590628 -3.533204 -2.90621 -2.590628 -3.533204 -2.90621 -2.590628 -3.533204 -2.90621 -2.590628 -3.533204 -2.90621 -2.590628
Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
4.3.2. Penetapan Lag Optimum Setelah melakukan uji kestasioneran data, maka tahapan selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan jumlah lag optimum dari sebuah sistem persamaan. Hal ini menjadi sangat penting mengingat dalam sistem persamaan simultan, suatu variabel dipengaruhi oleh lag dari variabel itu sendiri dan lag dari variabel lainnya. Sebelum mencari nilai lag optimum maka perlu dicari terlebih dahulu panjang lag maksimum dimana sistem VAR akan stabil. Panjang lag maksimum dari model penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 8. Pada Tabel 11 dapat diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria informasi Schwarz Criterion (SC) nilai terendah tercapai pada saat lag satu. Hal
74
ini mengindikasikan bahwa jumlah lag optimum dari model penelitian ini adalah satu. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 11. Penetapan Lag Optimum Lag 0 1 2 3 4 5 6 7
SC -10.07358 -10.53677* -10.06335 -10.25099 -9.55594 -8.84124 -7.66332 -7.88507
Catatan : * merupakan lag optimum
4.3.3. Uji Kointegrasi (Cointegration Test) Konsep kointegrasi menyatakan bahwa jika satu variabel atau lebih tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antara variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 2004). Uji kointegrasi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan antara nilai trace statistic dengan critical value yang digunakan yaitu 5 persen. Tabel 12. Uji Kointegrasi Johansen Hypothesized No. of CE(s) None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3
Eigenvalue 0.643349 0.475737 0.381592 0.227770
Trace Statistic 169.8671 101.8212 59.2009 27.4809
5 Percent Critical Value 94.15 68.52 47.21 29.68
1 Percent Critical Value 103.18 76.07 54.46 35.65
Catatan : ** signifikan pada taraf nyata 5% dan 1%
Sebelum melakukan uji kointegrasi, perlu dicari terlebih dahulu asumsi deterministik yang digunakan. Pada model penelitan ini, asumsi deterministik yang digunakan adalah asumsi 3 (linear, intercept or no trend of CE ). Hasil uji
75
kointegrasi disajikan dalam Tabel 12. Dari tabel tersebut diketahui bahwa terdapat 3 persamaan kointegrasinya dalam model. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.
4.3.4. Estimasi Model Vector Error Correction Tabel 13 dan 14 menyajikan hasil estimasi VECM dari model penelitian ini. Dari estimasi VECM yang telah dilakukan, dapat dilihat hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari variabel makroekonomi, khususnya M1 dan QM yang menjadi bahasan utama penelitian ini, terhadap business cycle dan inflasi Indonesia. Pada analisis jangka pendek untuk PDB riil Indonesia, terdapat dua persamaan kointegrasi yang signifikan secara statistik. Dugaan parameter koreksi kesalahan kedua persamaan kointegrasi tersebut masing-masing sebesar -0.33 dan -0.14. Selain itu hasil estimasi jangka pendek menunjukkan bahwa variabel M1 dan QM yang menjadi fokus penelitian ini, secara statistik tidak signifikan mempengaruhi PDB riil. Hal ini mungkin saja terjadi karena pada kenyataannya output relatif membutuhkan waktu yang lama untuk mengalami pertumbuhan. Peningkatan atau penurunan M1 dan QM tidak secara langsung meningkatkan meningkatkan output dalam tempo rentang waktu satu kuartal. Variabel lain yang juga tidak signifikan secara statistik mempengaruhi PDB riil adalah nilai tukar. Adanya depresiasi nilai tukar rupiah memang akan berdampak pada peningkatan ekspor neto dan kemudian PDB riil. Hanya saja hal tersebut tidak dapat terjadi dalam satu periode (kuartal).
76
Sementara itu variabel-variabel yang secara statistik signifikan mempengaruhi PDB riil adalah lag pertama dari PDB riil, inflasi dan suku bunga dengan dugaan parameter masing-masing -0.36, -0.27, 0.002. Dari nilai dugaan parameter tersebut dapat dijelaskan bahwa pada jangka pendek inflasi berpengaruh negatif terhadap PDB riil. Peningkatan harga-harga barang dan jasa secara umum tentunya akan menurunkan daya beli masyarakat mengingat upah yang cenderung kaku (sticky). Akibatnya permintaan agregat akan menurun. Hal ini kemudian akan menurunkan pendapatan nasional (PDB riil). Tabel 13. Hasil Estimasi VECM Business Cycle Variabel D(LN_GDPR(-1)) D(LN_ER(-1)) D(LN_IHK(-1)) D(LN_M1(-1)) D(R(-1)) D(LN_QM(-1)) C CointEq1 CointEq2 CointEq3 LN_M1(-1) R(-1) LN_QM(-1) C
Koefisien Jangka Pendek -0.359066 -0.005551 -0.267766 -0.061175 0.001860 0.037676 0.023559 -0.327825 -0.141959 0.069678 Jangka Panjang -0.443401 -0.044937 0.678895 9.956213
T-Statistik -2.80392* -0.11791 -1.87476* -0.80898 2.49826* 0.37403 3.00345* -3.02094* -3.08252* 1.30974 -1.11105 -6.84289* 1.90804* -
Catatan :* signifikan pada taraf nyata 10%
Berbeda halnya dengan inflasi, suku bunga domestik justru memiliki pengaruh positif terhadap PDB riil. Dengan nilai dugaan parameter sebesar 0.002, maka peningkatan 1 persen pada suku bunga domestik akan meningkatkan PDB riil sebesar 0.002 persen. Peningkatan suku bunga domestik akan berdampak pada makin melebarnya interest rate differencial yang kemudian akan menarik minat
77
investor asing menanamkam modalnya di Indonesia dalam investasi secara langsung (foreign direct investment) ataupun di pasar uang (portfolio investment). Peningkatan investasi tentunya akan meningkatkan PDB riil dari sisi pengeluaran. Hasil estimasi VECM jangka panjang memperlihatkan bahwa QM signifikan mempengaruhi PDB riil secara positif dengan dugaan parameter sebesar 0.68. Hal ini berarti bahwa pada jangka panjang peningkatan QM sebesar 1 persen berdampak pada peningkatan PDB riil sebesar 0.68 persen. Adanya kecenderungan peningkatan QM pada masa sekarang mengindikasikan bahwa permintaan investasi akan meningkat di masa yang akan datang. Peningkatan investasi kemudian akan berdampak pada peningkatan PDB riil dari sisi pengeluaran. Berbeda halnya dengan M1 yang tidak signifikan mempengaruhi PDB pada jangka panjang. Pada analisis jangka pendek inflasi Indonesia yang disajikan dalam Tabel 14, terdapat satu persamaan kointegrasi yang signifikan secara statistik. Persamaan kointegrasi itu memiliki dugaan parameter koreksi kesalahan sebesar -0.18. Hal ini mengindikasikan bahwa pada setiap periodenya terdapat koreksi kesalahan sebesar 0.18 persen untuk menuju keseimbangan jangka panjang. Selain itu hasil estimasi jangka pendek juga menunjukkan bahwa variabel M1 dan QM secara statistik tidak signifikan mempengaruhi inflasi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kakunya tingkat harga dan upah terhadap perubahan permintaan agregat yang salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah uang beredar (M1 dan QM). Selain M1 dan QM, variabel nilai tukar juga tidak signifikan mempengaruhi inflasi di Indonesia.
78
Variabel-variabel yang secara statistik signifikan mempengaruhi inflasi Indonesia adalah lag pertama PDB riil, inflasi dan suku bunga dengan dugaan parameter masing-masing sebesar -0.51, -0.31 dan -0.002. Suku bunga memiliki pengaruh yang negatif terhadap harga. Penurunan 1 persen pada tingkat suku bunga mengakibatkan harga meningkat sebesar 0.002 persen. Semakin rendahnya tingkat suku bunga akan menyebabkan investasi meningkat. Selain itu masyarakat juga cenderung melakukan konsumsi dibanding menanamkan modalnya dalam tabungan atau deposito. Kedua hal inilah yang kemudian meningkatkan permintaan agregat sehingga harga-harga juga mengalami peningkatan. Tabel 14. Hasil Estimasi VECM Harga (Inflasi) Variabel D(LN_GDPR(-1)) D(LN_ER(-1)) D(LN_IHK(-1)) D(LN_M1(-1)) D(R(-1)) D(LN_QM(-1)) C CointEq1 CointEq2 CointEq3 LN_M1(-1) R(-1) LN_QM(-1) C
Koefisien Jangka Pendek -0.509731 0.050419 -0.306919 0.028045 -0.001545 -0.104038 0.045944 0.570982 0.252708 -0.181478 Jangka Panjang 1.151582 0.023266 -0.497580 -2.951571
T-Statistik -5.36034* 1.44227 -2.89383* 0.49944 -2.79319* -1.39086 7.88779* 7.08568 7.38961 -4.59379* 4.70799* 5.78044* -2.28166* -
Catatan :* signifikan pada taraf nyata 10%
Hasil estimasi VECM jangka panjang memperlihatkan bahwa M1 signifikan mempengaruhi harga secara positif dengan dugaan parameter sebesar 1.15. Hal ini berarti bahwa pada jangka panjang peningkatan M1 sebesar 1 persen berdampak pada peningkatan harga sebesar 1.15 persen. Adanya penyesuaian (adjustment) pada pendapatan masyarakat akibat peningkatan M1 akan
79
berdampak pada peningkatan permintaan agregat yang diikuti oleh kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Selain M1, QM juga signifikan mempengaruhi harga. Hanya saja QM mempengaruhi harga secara negatif dengan dugaan parameter sebesar -0.5. Tidak dapat diketahui mengapa QM berpengaruh negatif terhadap harga pada jangka panjang. Hasil estimasi VECM business cycle dan inflasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12.
4.3.5. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test) Uji kausalitas Granger dilakukan dengan tujuan untuk melihat kausalitas dari variabel-variabel dalam suatu sistem persamaan. Dengan menggunakan VAR Pairwise Granger Causality Test, maka keterkaitan variabel-variabel dalam model penelitian ini, khususnya keterkaitan M1 dan QM terhadap PDB riil dan inflasi akan dapat terlihat. Tabel 15. Hasil Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Null Hypothesis: Obs F-Statistic LN_M1 does not Granger Cause LN_GDPR 66 2.34559 LN_GDPR does not Granger Cause LN_M1 6.10561 LN_QM does not Granger Cause LN_GDPR 66 3.12016 LN_GDPR does not Granger Cause LN_QM 3.10361 LN_M1 does not Granger Cause LN_IHK 66 13.03710 LN_IHK does not Granger Cause LN_M1 1.46428 LN_QM does not Granger Cause LN_IHK 66 8.00451 LN_IHK does not Granger Cause LN_QM 5.36932
Probability 0.10437 0.00383* 0.05127* 0.05204* 1.9E-05* 0.23926 0.00082* 0.00711*
Catatan : * signifikan pada taraf nyata 10%
Hipotesis awal (H0) yang diuji adalah tidak adanya kausalitas antar variabel. Sementara hipotesis alternatif (H1) adalah adanya kausalitas antar variabel. Untuk menolak ataupun menerima H0, dapat menggunakan nilai probability. Apabila nilai probability lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan
80
yaitu 10 persen, maka H0 ditolak. Dari hasil uji kausalitas yang tertera pada Tabel 15, terlihat bahwa variabel QM memiliki hubungan dua arah dengan variabel PDB riil dan IHK. Sementara M1 hanya memiliki hubungan searah terhadap PDB riil dan IHK. Hal ini semakin mengindikasikan bahwa keterkaitan QM lebih erat terhadap business cycle dan harga dibandingkan M1. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13
4.3.6. Variance Decomposition Business Cycle Tabel 16 menyajikan hasil variance decomposition (VD) dari variabel PDB riil. Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa varians PDB riil dominan dijelaskan oleh shock pada variabel itu sendiri hingga periode 5. Untuk periode selanjutnya, shock nilai tukar merupakan yang terbesar dalam menjelaskan varians PDB riil dengan proporsi sebesar 36.13 persen pada periode 6 dan 29.18 persen pada akhir periode. Sementara itu suku bunga domestik berada pada urutan ketiga setelah nilai tukar dalam menjelaskan varians PDB riil. Pada akhir periode shock suku bunga domestik mampu menjelaskan varians PDB riil sebesar 19.36 persen. Shock pada variabel QM sebagai proksi dari BMMB mampu menjelaskan varians PDB riil sebesar 15.20 persen. Proporsi ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan variabel M1 yang hanya mampu menjelaskan varians PDB riil sebesar 0.31 persen pada akhir periode. Relatif lebih besarnya QM dalam mempengaruhi varians PDB riil dibanding M1, mengindikasikan bahwa pada jangka panjang QM lebih baik
81
dibanding M1 dalam mengontrol output sehingga dapat menjadi alternatif alat kebijakan moneter untuk mengatasi business cycle Indonesia. Hanya saja sebagaimana yang diungkapkan Siregar dan Ward (2000) bahwa fluktuasi ekonomi tidak dapat diatasi hanya dengan menggunakan kebijakan moneter. Untuk itu agar lebih efektif maka sebaiknya kebijakan moneter dikombinasikan dengan kebijakan fiskal. Hasil VD business cycle selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14. Tabel 16. Hasil Variance Decomposition Business Cycle Variabel Dependen LN_GDPR
Period 1 2 3 4 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Dijelaskan oleh shock LN_GDPR
LN_ER
LN_IHK
LN_M1
R
LN_QM
100.0 77.7 58.4 47.4 40.6 32.9 34.5 34.6 34.4 34.4 34.4 34.3 34.3 34.3 34.2 34.2
0.0 15.4 26.7 33.7 37.0 34.9 31.6 30.8 30.4 30.0 29.8 29.6 29.5 29.4 29.3 29.2
0.0 0.8 0.8 0.6 0.8 1.9 2.0 1.9 1.9 1.8 1.8 1.8 1.8 1.8 1.7 1.7
0.0 0.1 0.6 0.6 0.6 0.3 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
0.0 4.8 6.9 8.8 10.5 15.7 17.2 17.7 18.2 18.5 18.8 18.9 19.1 19.2 19.3 19.4
0.0 1.3 6.5 8.8 10.5 14.3 14.6 14.7 14.9 14.9 15.0 15.1 15.1 15.1 15.2 15.2
4.3.7. Variance Decomposition Harga (Inflasi) Tabel 17 menyajikan hasil VD dari variabel harga. Dari tabel tersebut terlihat bahwa varians harga dominan dijelaskan oleh shock pada variabel itu sendiri hanya pada periode 1. Selanjutnya shock nilai tukar mempengaruhi varians harga sejak periode 2 sebesar 63.81 persen hingga periode 60 sebesar 50.84
82
persen. QM mampu menjelaskan varians harga sebesar 20.94 persen pada akhir periode. Sementara shock suku bunga menjelaskan varians harga sebesar 20.46 persen pada akhir periode. Tabel 17. Hasil Variance Decomposition Harga (Inflasi) Variabel Dependen LN_IHK
Period 1 2 3 4 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Dijelaskan oleh shock LN_GDPR
LN_ER
LN_IHK
LN_M1
R
LN_QM
3.0 4.4 2.0 1.9 1.9 2.9 3.7 4.0 4.1 4.3 4.4 4.5 4.6 4.6 4.7 4.7
12.3 63.8 71.1 70.5 69.0 58.9 55.2 54.2 53.3 52.6 52.1 51.8 51.5 51.2 51.0 50.8
84.7 25.2 10.9 5.8 3.8 2.2 1.8 1.5 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.9 0.9 0.8
0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.8 1.5 1.7 1.8 2.0 2.0 2.1 2.2 2.2 2.2 2.3
0.0 2.0 7.1 9.1 10.8 16.5 18.2 18.7 19.2 19.6 19.8 20.0 20.2 20.3 20.4 20.5
0.0 4.6 8.8 12.7 14.5 18.8 19.6 19.9 20.2 20.4 20.6 20.7 20.8 20.8 20.9 20.9
Seperti halnya pada pembahasan VD dari variabel PDB riil, variabel M1 relatif kurang mampu menjelaskan varians harga dibandingkan dengan QM. Pada akhir periode shock M1 hanya mampu menjelaskan varians harga sebesar 2.25 persen. Relatif kecilnya kemampuan M1 dalam menjelaskan varians harga, mengindikasikan bahwa pada jangka panjang QM lebih baik dalam mengontrol harga, sehingga dapat dijadikan alternatif alat kebijakan moneter untuk mencapai tujuan makroekonomi Indonesia berupa adanya kestabilan harga. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nasution dan Nurzaman (2006) yang menyatakan bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang M1 memiliki
83
keterkaitan yang lebih tinggi terhadap inflasi, sehingga M1 lebih baik jika digunakan sebagai pengontrol harga. Tetapi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun QM memiliki keterkaitan yang lebih besar terhadap harga, tidak berarti bahwa kebijakan moneter dengan menggunakan QM akan berhasil mengatasi fluktuasi harga. Perlu adanya kombinasi kebijakan antara moneter dan fiskal dalam mengatasi fluktuasi harga yang terjadi di Indonesia. Hasil VD harga (inflasi) selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 15.
4.3.8. Respon Business Cycle terhadap Guncangan M1 dan QM Response of LN_GDPR to Cholesky One S.D. LN_M1 Innovation .004
.003
.002
.001
.000
-.001 10
20
30
40
50
60
Gambar 28. Respon Business Cycle terhadap Shock M1 Respon business cycle akibat adanya guncangan (shock) M1 dan QM sebesar satu standar deviasi disajikan dalam Gambar 28 dan 29. Pada gambar
84
tersebut terlihat bahwa apabila M1 diberi shock satu standar deviasi maka akan direspon secara negatif oleh PDB riil pada awal periode. Hanya saja respon itu tidak berlangsung lama. Mulai periode 3 hingga 60, shock M1 direspon oleh PDB riil secara positif dimana pada periode 20 PDB riil mulai cenderung persistent (persistent) dengan tingkat respon berkisar antara 0.18 hingga 0.2 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa PDB riil membutuhkan waktu yang relatif lama (20 kuartal) untuk kembali stabil akibat adanya shock pada M1. Berbeda halnya dengan M1, shock QM sebesar satu standar deviasi direspon secara positif oleh PDB riil sejak awal hingga akhir periode, dimana PDB riil akan kembali persistent pada periode 20 dengan tingkat respon berkisar antara 1.1 hingga 1.2 persen. Response of LN_GDPR to Cholesky One S.D. LN_QM Innovation .016
.012
.008
.004
.000 10
20
30
40
50
Gambar 29. Respon Business Cycle terhadap Shock QM
60
85
Respon positif pada PDB riil akibat shock pada M1 dan QM, mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan uang beredar akan meningkatkan permintaan masyarakat melalui konsumsi. Meningkatnya QM akan meningkatkan permintaan investasi pada jangka panjang. Tentunya hal ini akan berdampak pada peningkatan permintaan agregat dan pendapatan nasional.
4.3.9. Respon Harga (Inflasi) terhadap Guncangan M1 dan QM Response of LN_IHK to Cholesky One S.D. LN_M1 Innovation .010 .008 .006 .004 .002 .000 -.002 -.004 10
20
30
40
50
60
Gambar 30. Respon Harga (Inflasi) terhadap Shock M1 Respon harga terhadap shock M1 dan QM sebesar satu standar deviasi disajikan dalam Gambar 30 dan 31. Pada Gambar 30 terlihat bahwa shock pada M1 sebesar satu standar deviasi direspon secara positif oleh tingkat harga. Tetapi respon tersebut hanya berlangsung selama satu periode. Pada dua periode selanjutnya, yaitu periode 3 dan periode 4, shock M1 direspon harga secara
86
negatif sebelum akhirnya kembali positif mulai periode 5 dan cenderung persistent pada periode 24 dengan tingkat respon sebesar 0.7 persen. Sementara itu pada Gambar 31 terlihat dampak shock QM sebesar satu standar deviasi terhadap harga. Sejak periode 2 hingga akhir periode, shock QM direspon secara negatif oleh harga, dimana respon harga cenderung persistent pada periode 20 sebesar 2 persen. Adanya respon yang negatif dari harga terhadap adanya shock pada QM mengindikasikan bahwa pada jangka panjang, peningkatan pada jumlah QM akan berdampak pada berkurangnya jumlah uang yang ada di masyarakat, yang tentunya akan berdampak pada penurunan harga. Response of LN_IHK to Cholesky One S.D. LN_QM Innovation .000 -.005 -.010 -.015 -.020 -.025 -.030 10
20
30
40
50
Gambar 31. Respon Harga (Inflasi) terhadap Shock QM
60
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dijabarkan beberapa kesimpulan yaitu, pada periode sebelum krisis, M1 (BMBB) dan QM (BMMB) merupakan co-incident indicator bagi PDB riil dan harga. Sedangkan pada periode setelah krisis, BMBB merupakan lagging indicator bagi siklikal PDB riil dan harga, sementara BMMB merupakan co-incident indicator bagi siklikal PDB riil dan harga. Shock BMMB relatif lebih mampu menjelaskan varians PDB riil dan harga dibanding shock BMBB. Hal ini mengindikasikan bahwa pada jangka panjang BMMB lebih besar keterkaitannya terhadap PDB riil dan harga, sehingga BMMB dapat digunakan sebagai alternatif instrumen moneter yang baik untuk mengatasi business cycle dan inflasi di Indonesia. Guncangan (shock) BMBB direspon secara negatif oleh PDB riil pada periode 2 yang kemudian menjadi positif pada periode 3 dan cenderung persistent sejak periode 20 hingga 60. Sementara shock BMMB direspon secara positif oleh PDB riil sejak periode 2 yang kemudian persistent pada periode 20 hingga akhir periode. Shock BMBB direspon positif oleh harga pada periode 2 yang kemudian pada dua periode selanjutnya harga merespon negatif terhadap shock dari BMBB. Respon harga kembali positif sejak periode 5 dimana pada akhirnya persistent pada periode 24 hingga 60. Sementara itu shock BMMB direspon secara negatif oleh harga sejak periode 2 yang kemudian cenderung persistent sejak periode 20.
88
5.2. Saran Melihat besarnya keterkaitan BMMB dengan business cycle dan harga, maka BMMB lebih mampu menjadi alat pengontrol output dan harga dalam kerangka output targeting dan inflation targeting dibandingkan dengan BMBB. Untuk itu pemerintah dapat menggunakan BMMB sebagai alternatif instrumen kebijakan moneter dalam mengatasi business cycle dan inflasi di Indonesia. Langkah yang dapat ditempuh Bank Indonesia adalah dengan menjaga pergerakan suku bunga berada dalam skala yang moderat bagi pemilik tabungan dan deposito. Tetapi bagaimanapun besarnya keterkaitan BMMB dengan business cycle dan inflasi, kebijakan moneter tidak dapat mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia tanpa didukung oleh kebijakan fiskal. Pemerintah dapat ikut mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia melalui spending balance guna mengatur nilai tukar rupiah yang pada penelitian ini terbukti memiliki peran yang besar dalam menjelaskan fluktuasi output dan harga di Indonesia. Penelitian ini hanya menganalisis keterkaitan jumlah uang beredar, dalam hal ini adalah BMBB dan BMMB, dengan business cycle dan inflasi Indonesia. Selanjutnya diperlukan penelitian lanjutan tentang besaran moneter lainnya, seperti suku bunga SBI. Dari penelitian itu diharapkan akan diketahui suku bunga SBI berjangka waktu berapakah yang lebih efektif dalam mengatasi business cycle dan inflasi di Indonesia. Selain itu dapat pula diteliti tentang keterkaitan variabel makroekonomi lain, seperti utang pemerintah dan swasta, investasi asing dan domestik (baik portfolio maupun direct investment), serta neraca pembayaran terhadap business cycle dan inflasi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arsana, I. G. P. 2005. Vector Auto Regressive. Laboratorium Komputasi Ilmu Ekonomi FEUI, Universitas Indonesia, Jakarta. Asian Development Bank. 2005. “Indonesia : Key Indicators 2005”. http://www.adb.org/statistics.html. Bank Indonesia. 1997. Laporan Tahunan Bank Indonesia 1996/1997. Bank Indonesia. 1998. Laporan Tahunan Bank Indonesia 1997/1998. Bank
Indonesia. 2007. Statistik Ekonomi dan Keuangan http://www.bi.go.id/web/id/data+statistik/statcat.htm
Indonesia
Blinder, A. S. 2002. “Keynesian Economics”. The Library of Economics and Liberty. http://www.econlib.org/library/Enc/KeynesianEconomics.html. Brooks, C. 2002. Introductary Econometrics for Finance. Cambridge University Press, Cambridge. Enders, W. 2004. Applied Economic Time Series. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Firdaus, M. 2006. Brief Course in Modern Econometrics : Application with EViews. Department of Economics, Bogor Agricultural University, Bogor. Greenwald, D. 1983. The McGraw-Hill Dictionary of Modern Economics. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, New York. Guritno, T. 1994. Kamus Ekonomi Inggris-Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hidayat, S. 2004. Pengendalian Jumlah Uang Beredar di Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Julaihah, U., dan Insukindro. 2004. “Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1-2003.2”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7: 323-341. Lipsey, R. G., P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Makroekonomi. Edisi ke-10. Jilid 1. Wasana, Kirbrandoko, dan Budijanto. Binarupa Aksara, Jakarta.
90
Listiani, N. 2006. “Faktor-Faktor Determinan yang Mempengaruhi Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 1970-2004”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. 14: 42-73. Mankiw, N. G. 2000. Pengantar Ekonomi. Jilid 2. Munandar dan Salim [penerjemah]. Sumiharti dan Kristiaji [editor]. Erlangga, Jakarta. Masyitho, S. 2006. Analisis Pengaruh Uang terhadap Business Cycle Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Sixth Edition. The Addison-Wesley, New York. Nachrowi, D. N., dan H. Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Nasution, M. E., dan M. S. Nurzaman. 2006. “Analisis Stabilitas dan Efektifitas Relatif Besaran Moneter Bebas Bunga di Indonesia : Sebuah Pengujian Ekonometrik pada Data Time Series Tahun 1971:1-2002:4”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 6: 29-46. Niemira, M. P., dan P. A. Klein. 1994. Forecasting Financial and Economic Cycles. John Wiley & Sons Inc., New York. Pass, C., dan B. Lowes. 1994. Collins ; Kamus Lengkap Ekonomi. Rumapea dan Haloho [penerjemah]. Sihombing [editor]. Erlangga, Jakarta. Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro & Makro. Edisi ke-2. Ghalia Indonesia, Jakarta. Romer, C. D. 2002. “Business Cycle”. The Library of Economics and Liberty. http://www.econlib.org/library/Enc/BusinessCycle.html. Setiana, M. 2006. Analisis Leading Indicator untuk Business Cycle Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siregar, H., dan B. D. Ward. 2002. “Can Monetary Policy/Shock Stabilize Indonesian Macro-Economic Fluctuations?” Monetary and Financial Management in Asia in the 21st Century. World Scientific, New Jersey. Siregar, H., dan B. D. Ward. 2001. “Long Run Money Demand, Long Run Spending Balance and Macro-Economic Fluctuations : Application of a
91
Cointegrating SVAR Model to Indonesian Macroeconomy”. Economia Internazionale, 54: 401-424. Solikin, dan Suseno. 2002. Uang : Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian. Pusat Penelitian dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta. Sukirno, S. 2004. Makroekonomi : Teori Pengantar. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Supriana, T. 2004. Dampak Guncangan Struktural terhadap Fluktuasi Ekonomi Makro Indonesia : Suatu Kajian Business Cycle dari Sisi Permintaan [Disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wesche, K. A., dan S. Gerlach. 2006. “Money Growth, Output Gap and Inflation at Low and High Frequency : Spectral Estimates for Switzerland”. Swiss National Bank Working Paper, 5: 1-30.
92
Lampiran 1. Cross Correlation Variabel Makroekonomi dengan PDB M1 Date: 07/07/07 Time: 14:37 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DGDPR(-i) ****| . **| . . | . . |*. . |*. . |*. . |*. . |*. . | .
DM1,DGDPR(+i) | | | | | | | | |
****| . ******| . *****| . ***| . **| . .*| . .*| . . | . . |*.
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.4407 -0.2054 0.0428 0.0689 0.0761 0.0647 0.0966 0.0982 0.0099
-0.4407 -0.5529 -0.4729 -0.3184 -0.1621 -0.1137 -0.1226 -0.0097 0.0589
QM (Uang Giral) Date: 07/07/07 Time: 14:42 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DQM, DGDPR(-i) ********| . ******| . ****| . **| . . | . . |** . |*** . |**** . |****
DQM, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
********| ********| *******| *****| ****| ***| **| .*| .*|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.7777 -0.5957 -0.3599 -0.1718 0.0189 0.1927 0.3302 0.4139 0.4104
-0.7777 -0.7703 -0.6597 -0.5089 -0.4011 -0.3088 -0.2309 -0.1315 -0.0924
IHK (Indeks Harga Konsumen) Date: 07/07/07 Time: 14:45 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DIHK, DGDPR(-i) *********| . ********| . ******| . ****| . **| . . | . . |*. . |** . |**
DIHK, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
*********| . ********| . ******| . ****| . **| . . | . . |*. . |** . |***
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.8776 -0.8182 -0.6221 -0.3801 -0.1593 0.0323 0.1438 0.2233 0.2389
-0.8776 -0.7801 -0.5561 -0.3482 -0.1487 -0.0105 0.1240 0.2261 0.3030
93
R (Suku Bunga Domestik) Date: 07/07/07 Time: 16:35 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DR,GDPR(-i) *****| . ***| . . |*. . |**** . |****** . |****** . |****** . |***** . |***
DR,GDPR(+i) | | | | | | | | |
*****| ******| *****| ****| ****| ***| **| .*| .*|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.4709 -0.2915 0.0929 0.4177 0.5632 0.6097 0.5749 0.4685 0.3150
-0.4709 -0.5712 -0.5360 -0.4253 -0.3509 -0.3053 -0.1687 -0.0832 -0.0628
ER (Exchange Rate) Date: 07/07/07 Time: 14:51 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DER, DGDPR(-i) *******| . ****| . .*| . . |*. . |** . |*** . |*** . |*** . |**
DER, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
*******| . ********| . ********| . *******| . *****| . ***| . **| . . | . . |*.
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.6809 -0.3959 -0.0732 0.0954 0.2117 0.2682 0.2825 0.2642 0.1964
-0.6809 -0.8347 -0.8195 -0.6493 -0.4443 -0.2953 -0.1596 -0.0137 0.0809
IHKF (Indeks Harga Konsumen USA) Date: 07/07/07 Time: 14:54 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DIHKF, DGDPR(-i) . |**** . |*** . |** . |*. .*| . **| . ***| . ****| . *****| .
DIHKF, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
. |**** . |*** . |*** . |*** . |** . | . .*| . .*| . .*| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3558 0.3416 0.2491 0.1065 -0.0860 -0.2215 -0.3426 -0.4142 -0.4714
0.3558 0.3346 0.3127 0.2769 0.1774 0.0341 -0.0443 -0.0797 -0.0865
94
RF (Suku Bunga USA) Date: 07/07/07 Time: 14:55 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DRF, DGDPR(-i) . | .*| .*| **| **| **| ***| ***| **|
. . . . . . . . .
DRF, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
| . | . | . |*. |*. |*. |*. |*. |*.
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0037 -0.0679 -0.1064 -0.1494 -0.2095 -0.2396 -0.2696 -0.2566 -0.2134
-0.0037 0.0344 0.0473 0.0640 0.0975 0.0806 0.1020 0.1018 0.1057
KI (Kredit Investasi) Date: 07/07/07 Time: 14:57 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DKI, DGDPR(-i) **| . . |*. . |**** . |****** . |******** . |******** . |******* . |****** . |****
DKI, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
**| ****| ****| *****| ****| ****| ***| **| .*|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.2114 0.0782 0.4010 0.6193 0.7606 0.7789 0.6989 0.5552 0.3900
-0.2114 -0.3609 -0.4363 -0.4472 -0.4017 -0.3541 -0.2900 -0.1779 -0.1102
KMK (Kredit Modal Kerja) Date: 07/07/07 Time: 14:58 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 65 Correlations are asymptotically consistent approximations DKMK, DGDPR(-i) . . . . . . . . .
| . |*. |*** |***** |******* |******** |******** |******* |*****
DKMK, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
. | . *| . *| .**| .**| .**| .**| .**| .**|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0168 0.1520 0.3294 0.5274 0.7151 0.8345 0.8204 0.6906 0.4752
0.0168 -0.0627 -0.1232 -0.1738 -0.1973 -0.2236 -0.2202 -0.1932 -0.1873
95
Lampiran 2. Cross Correlation Variabel Makroekonomi dengan IHK M1 Date: 07/07/07 Time: 15:02 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DIHK(-i) . |**** . |** . | . **| . .*| . .*| . .*| . .*| . . | .
DM1,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. |**** . |****** . |****** . |***** . |*** . |*. . | . . | . .*| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4425 0.1663 -0.0409 -0.1540 -0.1286 -0.1364 -0.0858 -0.0735 -0.0365
0.4425 0.6269 0.5928 0.4571 0.2592 0.1257 0.0218 -0.0308 -0.1027
QM (Uang Giral) Date: 07/07/07 Time: 15:03 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DQM,IHK(-i) . |******** . |******* . |**** . |** .*| . **| . ****| . ****| . ****| .
DQM,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
|******** |******** |******* |***** |*** |** |*. |*. | .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.8139 0.6492 0.4005 0.1621 -0.0507 -0.2361 -0.3540 -0.4215 -0.4160
0.8139 0.8254 0.6923 0.4991 0.3187 0.1688 0.0877 0.0610 0.0455
PDBR (Produk Domestik Bruto Riil) Date: 07/07/07 Time: 15:04 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DGDPR,DIHK(-i) *********| . ********| . ******| . ****| . **| . . | . . |*. . |** . |***
DGDPR,DIHK(+i) | | | | | | | | |
*********| . ********| . ******| . ****| . **| . . | . . |*. . |** . |**
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.8776 -0.7801 -0.5561 -0.3482 -0.1487 -0.0105 0.1240 0.2261 0.3030
-0.8776 -0.8182 -0.6221 -0.3801 -0.1593 0.0323 0.1438 0.2233 0.2389
96
R (Suku Bunga Domestik) Date: 07/07/07 Time: 15:05 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DR,DIHK(-i) . |****** . |*** .*| . ****| . ******| . *******| . ******| . *****| . ***| .
DR,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. |****** . |******* . |****** . |***** . |*** . |*. . | . .*| . .*| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5936 0.2980 -0.0759 -0.4276 -0.6006 -0.6544 -0.5838 -0.4478 -0.3043
0.5936 0.7009 0.6435 0.4807 0.2707 0.0927 -0.0296 -0.0990 -0.0801
ER (Exchange Rate) Date: 07/07/07 Time: 15:06 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DNER,DIHK(-i) . |******* . |*** . | . **| . ***| . ****| . ***| . ***| . **| .
DNER,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. |******* | . |*********| . |*********| . |******** | . |***** | . |** | . | . | .*| . | **| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.6721 0.3412 0.0107 -0.2203 -0.3191 -0.3584 -0.3116 -0.2612 -0.1687
0.6721 0.8999 0.9009 0.7505 0.4936 0.2295 0.0383 -0.1042 -0.1829
IHKF (Indeks Harga Konsumen USA) Date: 07/07/07 Time: 15:06 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DIHKF,DIHK(-i) **| . **| . **| . .*| . . | . . |*. . |** . |*** . |***
DIHKF,DIHK(+i) | | | | | | | | |
**| . .*| . .*| . .*| . . | . . |*. . |*. . |*. . | .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1759 -0.2154 -0.2049 -0.1191 -0.0082 0.1239 0.2136 0.2854 0.3002
-0.1759 -0.1292 -0.0899 -0.0580 0.0027 0.0598 0.1170 0.0846 0.0162
97
RF (Suku Bunga USA) Date: 07/07/07 Time: 15:07 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DRF,DIHK(-i) . . . . . . . . .
|*. |*. |*. |*. |*. |** |** |** |*.
DRF,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. |*. . |*. . |*. . |*. . |*. . |*. . | . . | . .*| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0992 0.0736 0.0695 0.0825 0.1256 0.1775 0.2076 0.2224 0.1361
0.0992 0.1249 0.1420 0.1377 0.1140 0.0774 0.0409 -0.0084 -0.0490
KI (Kredit Investasi) Date: 07/07/07 Time: 15:08 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 68 Correlations are asymptotically consistent approximations DKI,DIHK(-i) . |** .*| . ****| . *******| . ********| . ********| . *******| . *****| . ***| .
DKI,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
|** |**** |***** |***** |**** |** |*. |*. | .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2318 -0.0738 -0.4413 -0.7077 -0.8351 -0.8286 -0.6857 -0.5069 -0.2821
0.2318 0.4474 0.5041 0.4639 0.3622 0.2395 0.1492 0.0691 0.0280
KMK (Kredit Modal Kerja) Date: 07/07/07 Time: 15:09 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 65 Correlations are asymptotically consistent approximations DKMK,DIHK(-i) . |*. . | . ***| . ******| . ********| . *********| . ********| . *******| . ****| .
DKMK,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
|*. |** |** |*. |*. |*. |*. |*. |**
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1260 -0.0369 -0.2820 -0.5521 -0.7735 -0.8804 -0.8314 -0.6560 -0.4089
0.1260 0.1906 0.1796 0.1304 0.0848 0.0669 0.0787 0.1150 0.1596
98
Lampiran 3. Cross Correlation M1 dan QM dengan PDB Sebelum Krisis M1 Date: 07/07/07 Time: 15:15 Sample: 1990:1 1997:2 Included observations: 30 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1, DGDPR(-i) .***| .***| . **| . *| . | . *| . | . | . |
. . . . . . . . .
DM1, DGDPR(+i) | | | | | | | | |
.***| . **| . **| . *| . *| . **| . *| . | . |*
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.2697 -0.2630 -0.1564 -0.1407 -0.0295 -0.0739 -0.0375 -0.0131 0.0436
-0.2697 -0.2338 -0.1604 -0.1080 -0.1205 -0.1544 -0.0643 -0.0036 0.0749
QM (Uang Kuasi) Date: 07/07/07 Time: 15:22 Sample: 1990:1 1997:2 Included observations: 30 Correlations are asymptotically consistent approximations DQM,DGDPR(-i) ******| *****| ****| .***| . **| . *| . | . | . |*
. . . . . . . . .
DQM,DGDPR(+i) | | | | | | | | |
******| ******| *****| ******| ******| *****| *****| *****| *****|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.6343 -0.4951 -0.4335 -0.3378 -0.1843 -0.0652 -0.0081 0.0425 0.0935
-0.6343 -0.5724 -0.5059 -0.5489 -0.6020 -0.5104 -0.4948 -0.5011 -0.5006
Lampiran 4. Cross Correlation M1 dan QM dengan PDB Setelah Krisis M1 Date: 07/07/07 Time: 15:23 Sample: 1999:1 2006:4 Included observations: 32 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DGDPR(-i) . **| . **| ****| .***| ****| ****| ****| ****| .***|
. . . . . . . . .
DM1,DGDPR(+i) | | | | | | | | |
. **| . **| . *| . **| . *| . | . | . | . *|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.1866 -0.2148 -0.4022 -0.2863 -0.4196 -0.4322 -0.3942 -0.4279 -0.2871
-0.1866 -0.1791 -0.0871 -0.2133 -0.0991 -0.0222 -0.0130 0.0024 -0.0716
99
QM (Uang Kuasi) Date: 07/07/07 Time: 15:25 Sample: 1999:1 2006:4 Included observations: 32 Correlations are asymptotically consistent approximations QM,GDPR(-i) ********| ******| ****| .***| . **| . **| . **| . **| . **|
. . . . . . . . .
QM,GDPR(+i) | | | | | | | | |
********| ********| *******| *****| .***| .***| . **| . *| . *|
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.7616 -0.5619 -0.4239 -0.2731 -0.2085 -0.2105 -0.2412 -0.1985 -0.1795
-0.7616 -0.7541 -0.6519 -0.5378 -0.3283 -0.2594 -0.1813 -0.0976 -0.0954
Lampiran 5. Cross Correlation M1 dan QM dengan IHK Sebelum Krisis M1 Date: 07/07/07 Time: 15:26 Sample: 1990:1 1997:2 Included observations: 30 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DIHK(-i) . . . . . . . . .
|**** |** . |* . |* . | . *| . *| . *| . *| .
DM1,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
|**** |**** |** . |** . |** . |** . |* . | . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3748 0.2402 0.1405 0.0521 -0.0089 -0.0530 -0.0692 -0.0736 -0.0945
0.3748 0.3664 0.1975 0.1912 0.2425 0.1885 0.0764 0.0407 -0.0602
QM (Uang Kuasi) Date: 07/07/07 Time: 15:27 Sample: 1990:1 1997:2 Included observations: 30 Correlations are asymptotically consistent approximations DQM,DIHK(-i) . . . . . . . . .
|****** |***** |**** |***. |** . |* . | . *| . *| .
DQM,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
|****** |***** |***** |****** |***** |***** |***** |***** |*****
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.6257 0.4860 0.3777 0.2663 0.1630 0.0613 -0.0090 -0.0459 -0.0838
0.6257 0.5347 0.4960 0.5562 0.5097 0.4930 0.4709 0.4823 0.4632
100
Lampiran 6. Cross Correlation M1 dan QM dengan IHK Setelah Krisis M1 Date: 07/07/07 Time: 15:28 Sample: 1999:1 2006:4 Included observations: 32 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DIHK(-i) . . . . . . . . .
|** . |** . |***. |** . |** . |** . |** . |**** |* .
DM1,DIHK(+i) | | | | | | | | |
. . . . . . . . .
|** . |***. |***. |***. |***. |***. |***. |** . | .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2116 0.1674 0.3452 0.2188 0.2165 0.2056 0.2509 0.3553 0.1224
0.2116 0.3147 0.3126 0.3296 0.3324 0.2968 0.2574 0.1820 0.0447
QM (Uang Kuasi) Date: 07/07/07 Time: 15:29 Sample: 1999:1 2006:4 Included observations: 32 Correlations are asymptotically consistent approximations QM,IHK(-i) . . . . . . . . .
|*********| |******** | |****** | |**** | |** . | |* . | | . | | . | | . |
QM,IHK(+i) . . . . . . . . .
|*********| |******* | |***** | |**** | |***. | |** . | |** . | |** . | |** . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.9108 0.7616 0.6359 0.3987 0.2440 0.1370 0.0472 0.0116 -0.0303
0.9108 0.6981 0.4753 0.3706 0.2683 0.2121 0.1954 0.1775 0.1680
101
Lampiran 7. Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) Variabel Penelitian M1 Level Null Hypothesis: LN_M1 has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.708429 -4.100935 -3.478305 -3.166788
0.2368
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_M1) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:51 Sample(adjusted): 1990:2 2006:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_M1(-1) C @TREND(1990:1)
-0.195402 1.964567 0.008640
0.072146 0.711308 0.003172
-2.708429 2.761909 2.724240
0.0087 0.0075 0.0083
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.103912 0.075909 0.052361 0.175464 104.0890 2.144286
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.041657 0.054469 -3.017582 -2.918864 3.710785 0.029869
M1 1st Difference Null Hypothesis: D(LN_M1) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.507721 -3.533204 -2.906210 -2.590628
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_M1,2) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:48 Sample(adjusted): 1990:3 2006:4 Included observations: 66 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_M1(-1))
-1.174391
0.123520
-9.507721
0.0000
102
C R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.048755 0.585484 0.579007 0.054468 0.189876 99.43434 1.979454
0.008410
5.797219
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.0000 0.000484 0.083947 -2.952556 -2.886203 90.39677 0.000000
QM Level Null Hypothesis: LN_QM has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.757594 -4.100935 -3.478305 -3.166788
0.9640
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_QM) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:50 Sample(adjusted): 1990:2 2006:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_QM(-1) C @TREND(1990:1)
-0.021487 0.310696 0.000186
0.028362 0.309040 0.001414
-0.757594 1.005361 0.131305
0.4515 0.3185 0.8959
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.111509 0.083744 0.049790 0.158658 107.4619 1.684478
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.047550 0.052016 -3.118266 -3.019549 4.016138 0.022745
QM 1st Difference Null Hypothesis: D(LN_QM) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_QM,2)
t-Statistic
Prob.*
-6.421713 -3.533204 -2.906210 -2.590628
0.0000
103
Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:48 Sample(adjusted): 1990:3 2006:4 Included observations: 66 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_QM(-1)) C
-0.774763 0.036015
0.120647 0.008478
-6.421713 4.247903
0.0000 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.391857 0.382355 0.050942 0.166088 103.8514 2.017898
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000629 0.064820 -3.086407 -3.020054 41.23840 0.000000
GDPR Level Null Hypothesis: LN_GDPR has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.520012 -4.110440 -3.482763 -3.169372
0.3178
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_GDPR) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:54 Sample(adjusted): 1991:2 2006:4 Included observations: 63 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_GDPR(-1) D(LN_GDPR(-1)) D(LN_GDPR(-2)) D(LN_GDPR(-3)) D(LN_GDPR(-4)) C @TREND(1990:1)
-0.129956 0.114603 0.062766 -0.169271 0.530279 1.622378 0.001089
0.051570 0.107500 0.103111 0.103311 0.104636 0.641242 0.000472
-2.520012 1.066071 0.608718 -1.638460 5.067843 2.530055 2.308793
0.0146 0.2910 0.5452 0.1069 0.0000 0.0142 0.0247
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.416803 0.354317 0.025651 0.036846 145.0978 1.763683
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.010150 0.031922 -4.384057 -4.145931 6.670395 0.000023
104
GDPR 1st Difference Null Hypothesis: D(LN_GDPR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.694751 -3.538362 -2.908420 -2.591799
0.0806
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_GDPR,2) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:47 Sample(adjusted): 1991:2 2006:4 Included observations: 63 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_GDPR(-1)) D(LN_GDPR(-1),2) D(LN_GDPR(-2),2) D(LN_GDPR(-3),2) C
-0.642380 -0.298696 -0.287699 -0.507756 0.006233
0.238382 0.194723 0.158203 0.107057 0.004245
-2.694751 -1.533955 -1.818549 -4.742842 1.468443
0.0092 0.1305 0.0741 0.0000 0.1474
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.714969 0.695312 0.026596 0.041025 141.7129 1.725131
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.001477 0.048182 -4.340093 -4.170003 36.37171 0.000000
IHK Level Null Hypothesis: LN_IHK has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.047713 -4.105534 -3.480463 -3.168039
0.1277
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_IHK) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:53 Sample(adjusted): 1990:4 2006:4 Included observations: 65 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_IHK(-1)
-0.119826
0.039317
-3.047713
0.0034
105
D(LN_IHK(-1)) D(LN_IHK(-2)) C @TREND(1990:1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.380038 0.278092 0.388480 0.003783 0.329500 0.284800 0.034256 0.070410 129.6726 1.873694
0.118410 0.123445 0.123889 0.001253
3.209499 2.252754 3.135700 3.019843
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.0021 0.0279 0.0027 0.0037 0.028686 0.040507 -3.836080 -3.668819 7.371371 0.000067
IHK 1st Difference Null Hypothesis: D(LN_IHK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.360282 -3.536587 -2.907660 -2.591396
0.0008
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_IHK,2) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:48 Sample(adjusted): 1991:1 2006:4 Included observations: 64 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_IHK(-1)) D(LN_IHK(-1),2) D(LN_IHK(-2),2) C
-0.601441 0.029040 0.320586 0.017536
0.137936 0.142573 0.122178 0.005899
-4.360282 0.203683 2.623933 2.972711
0.0001 0.8393 0.0110 0.0042
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.369229 0.337690 0.034808 0.072697 126.1588 2.046386
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000156 0.042771 -3.817461 -3.682531 11.70723 0.000004
R Level Null Hypothesis: R has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.196922 -4.103198 -3.479367 -3.167404
0.0940
106
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(R) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:55 Sample(adjusted): 1990:3 2006:4 Included observations: 66 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
R(-1) D(R(-1)) C @TREND(1990:1)
-0.240683 0.270966 4.606750 -0.025325
0.075286 0.121874 2.067850 0.038763
-3.196922 2.223330 2.227797 -0.653324
0.0022 0.0298 0.0295 0.5160
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.161782 0.121223 5.918228 2171.576 -208.9372 1.996142
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.108939 6.313240 6.452643 6.585349 3.988802 0.011576
ER Level Null Hypothesis: LN_ER has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.154129 -4.103198 -3.479367 -3.167404
0.5065
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_ER) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:55 Sample(adjusted): 1990:3 2006:4 Included observations: 66 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LN_ER(-1) D(LN_ER(-1)) C @TREND(1990:1)
-0.111215 0.336010 0.837109 0.003450
0.051629 0.121316 0.376868 0.001960
-2.154129 2.769712 2.221226 1.759850
0.0351 0.0074 0.0300 0.0834
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.142218 0.100712 0.135041 1.130643 40.55670 2.051109
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.024053 0.142402 -1.107779 -0.975073 3.426474 0.022430
107
ER 1st Difference Null Hypothesis: D(LN_ER) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.021000 -3.533204 -2.906210 -2.590628
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LN_ER,2) Method: Least Squares Date: 07/10/07 Time: 09:47 Sample(adjusted): 1990:3 2006:4 Included observations: 66 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LN_ER(-1)) C
-0.724030 0.017269
0.120251 0.017235
-6.021000 1.001933
0.0000 0.3201
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.361612 0.351637 0.137947 1.217877 38.10406 1.997886
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.000530 0.171318 -1.094063 -1.027709 36.25244 0.000000
108
Lampiran 8. Stabilitas VAR Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(LN_GDPR) D(LN_ER) D(LN_IHK) D(LN_M1) D(R) D(LN_QM) Exogenous variables: C Lag specification: 1 7 Date: 07/26/07 Time: 19:40 Root -0.989781 -0.479633 - 0.851545i -0.479633 + 0.851545i -0.941750 + 0.183213i -0.941750 - 0.183213i -0.036923 - 0.958367i -0.036923 + 0.958367i -0.625708 - 0.721840i -0.625708 + 0.721840i -0.858208 - 0.419103i -0.858208 + 0.419103i 0.707894 - 0.618415i 0.707894 + 0.618415i 0.939220 0.848380 + 0.398062i 0.848380 - 0.398062i 0.423766 - 0.835721i 0.423766 + 0.835721i -0.312205 - 0.865305i -0.312205 + 0.865305i 0.890640 + 0.212729i 0.890640 - 0.212729i -0.747354 - 0.527836i -0.747354 + 0.527836i -0.161337 + 0.877370i -0.161337 - 0.877370i 0.183637 - 0.872577i 0.183637 + 0.872577i 0.094840 - 0.883564i 0.094840 + 0.883564i -0.830342 - 0.210848i -0.830342 + 0.210848i 0.486041 + 0.683153i 0.486041 - 0.683153i 0.728562 - 0.378587i 0.728562 + 0.378587i 0.007695 + 0.612532i 0.007695 - 0.612532i 0.070435 + 0.394155i 0.070435 - 0.394155i 0.352873 - 0.187023i 0.352873 + 0.187023i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.989781 0.977332 0.977332 0.959406 0.959406 0.959078 0.959078 0.955282 0.955282 0.955075 0.955075 0.939974 0.939974 0.939220 0.937125 0.937125 0.937020 0.937020 0.919905 0.919905 0.915693 0.915693 0.914958 0.914958 0.892080 0.892080 0.891691 0.891691 0.888639 0.888639 0.856694 0.856694 0.838412 0.838412 0.821055 0.821055 0.612580 0.612580 0.400399 0.400399 0.399370 0.399370
109
Lampiran 9. Penetapan Lag Optimum VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(LN_GDPR) D(LN_ER) D(LN_IHK) D(LN_M1) D(R) D(LN_QM) Exogenous variables: C Date: 07/26/07 Time: 19:41 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 60 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6 7
314.4903 402.0843 461.5799 540.9073 593.7542 646.0112 684.3717 764.7226
NA 154.7494 93.20970 108.4142 61.65464* 50.51514 29.40970 45.53218
1.38E-12 2.48E-13 1.18E-13 3.05E-14 2.10E-14 1.71E-14 2.81E-14 1.69E-14*
-10.28301 -12.00281 -12.78600 -14.23024 -14.79181 -15.33371 -15.41239 -16.89075*
-10.07358 -10.53677* -10.06335 -10.25099 -9.555944 -8.841239 -7.663315 -7.885071
-10.20109 -11.42936 -11.72102 -12.67374 -12.74377 -12.79415 -12.38130 -13.36814*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 10. Cointegration Test dengan Asumsi Summary Date: 07/26/07 Time: 19:42 Sample: 1990:1 2006:4 Included observations: 66 Series: LN_GDPR LN_ER LN_IHK LN_M1 R LN_QM Lags interval: 1 to 1 Data Trend:
None
None
Linear
Linear
Quadratic
Rank or No. of CEs
No Intercept No Trend
Intercept No Trend
Intercept No Trend
Intercept Trend
Intercept Trend
4 4
5 4
3 3
3 3
2 2
411.6209 448.1591 467.9465 485.8718 496.0580 501.1379
411.6209 455.6316 480.2497 498.2073 514.0627 521.4652
440.9921 475.0151 496.3252 512.1852 520.7148 525.8624
440.9921 475.0272 497.0840 513.0556 521.7453 530.1272
450.2130 484.2107 506.0074 516.0939 524.4845 530.5350
Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns) Trace Max-Eig Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5
110
6
501.3240
525.9257
525.9257
533.1629
533.1629
-11.38245 -12.12603 -12.36202 -12.54157 -12.48661 -12.27691 -11.91891
-11.38245 -12.32217 -12.67423 -12.82446 -12.91099 -12.74137 -12.48260
-12.09067 -12.75803 -13.04016 -13.15713* -13.05196 -12.84431 -12.48260
-12.09067 -12.72810 -13.00254 -13.09259 -12.96198 -12.82204 -12.52009
-12.18827 -12.85487 -13.15174 -13.09375 -12.98438 -12.80409 -12.52009
-10.18810 -10.53356 -10.37142 -10.15286 -9.699774 -9.091955 -8.335838
-10.18810 -10.69652 -10.61729 -10.33622 -9.991451 -9.390536 -8.700465
-10.69725 -10.96650* -10.85050 -10.56935 -10.06607 -9.460302 -8.700465
-10.69725 -10.90338 -10.74654 -10.40529 -9.843380 -9.272141 -8.538898
-10.59580 -10.86427 -10.76303 -10.30692 -9.799425 -9.221019 -8.538898
Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5 6 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5 6
Lampiran 11. Cointegration Test dengan Asumsi 3 Date: 07/26/07 Time: 19:42 Sample(adjusted): 1990:3 2006:4 Included observations: 66 after adjusting endpoints Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LN_GDPR LN_ER LN_IHK LN_M1 R LN_QM Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
5 Percent Critical Value
1 Percent Critical Value
None ** At most 1 ** At most 2 ** At most 3 At most 4 At most 5
0.643349 0.475737 0.381592 0.227770 0.144429 0.001916
169.8671 101.8212 59.20090 27.48085 10.42168 0.126596
94.15 68.52 47.21 29.68 15.41 3.76
103.18 76.07 54.46 35.65 20.04 6.65
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
111
Lampiran 12. Estimasi Model Vector Error Correction Vector Error Correction Estimates Date: 07/26/07 Time: 19:42 Sample(adjusted): 1990:3 2006:4 Included observations: 66 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
LN_GDPR(-1)
1.000000
0.000000
0.000000
LN_ER(-1)
0.000000
1.000000
0.000000
LN_IHK(-1)
0.000000
0.000000
1.000000
LN_M1(-1)
0.443401 (0.39908) [ 1.11105]
-1.677020 -1.151582 (1.05460) (0.24460) [-1.59020] [-4.70799]
R(-1)
0.044937 (0.00657) [ 6.84289]
-0.117578 -0.023266 (0.01735) (0.00402) [-6.77540] [-5.78044]
LN_QM(-1)
-0.678895 (0.35581) [-1.90804]
1.096917 0.497580 (0.94024) (0.21808) [ 1.16663] [ 2.28166]
C
-9.956213
-1.311319
Error Correction:
2.951571
D(LN_GDPR) D(LN_ER) D(LN_IHK) D(LN_M1)
D(R)
D(LN_QM)
CointEq1
-0.327825 (0.10852) [-3.02094]
0.070936 0.570982 0.445259 3.383204 0.180877 (0.47539) (0.08058) (0.19219) (13.8712) (0.15104) [ 0.14921] [ 7.08568] [ 2.31673] [ 0.24390] [ 1.19753]
CointEq2
-0.141959 (0.04605) [-3.08252]
0.274192 0.252708 0.207489 9.850321 0.157173 (0.20175) (0.03420) (0.08156) (5.88668) (0.06410) [ 1.35908] [ 7.38961] [ 2.54391] [ 1.67332] [ 2.45202]
CointEq3
0.069678 (0.05320) [ 1.30974]
-1.064305 -0.181478 -0.157961 -26.74084 -0.455604 (0.23306) (0.03950) (0.09422) (6.80026) (0.07405) [-4.56668] [-4.59379] [-1.67650] [-3.93233] [-6.15288]
D(LN_GDPR(-1))
-0.359066 (0.12806) [-2.80392]
-0.181291 -0.509731 0.241299 -38.27004 0.520877 (0.56100) (0.09509) (0.22680) (16.3690) (0.17824) [-0.32316] [-5.36034] [ 1.06392] [-2.33796] [ 2.92233]
D(LN_ER(-1))
-0.005551 (0.04708) [-0.11791]
0.320380 0.050419 0.185451 12.17606 0.005048 (0.20623) (0.03496) (0.08338) (6.01755) (0.06552) [ 1.55348] [ 1.44227] [ 2.22427] [ 2.02343] [ 0.07705]
D(LN_IHK(-1))
-0.267766 (0.14283) [-1.87476]
1.268395 -0.306919 -0.023925 27.98864 0.642907 (0.62570) (0.10606) (0.25296) (18.2568) (0.19880) [ 2.02717] [-2.89383] [-0.09458] [ 1.53305] [ 3.23400]
D(LN_M1(-1))
-0.061175 (0.07562)
-0.327546 (0.33127)
0.028045 -0.398193 -2.913364 (0.05615) (0.13393) (9.66598)
0.023827 (0.10525)
112
[-0.80898]
[-0.98875] [ 0.49944] [-2.97321] [-0.30140] [ 0.22639]
D(R(-1))
0.001860 (0.00074) [ 2.49826]
-0.015809 -0.001545 -0.005415 -0.225020 -0.005553 (0.00326) (0.00055) (0.00132) (0.09518) (0.00104) [-4.84631] [-2.79319] [-4.10587] [-2.36405] [-5.35818]
D(LN_QM(-1))
0.037676 (0.10073) [ 0.37403]
-0.766207 -0.104038 -0.329920 30.13440 -0.179248 (0.44129) (0.07480) (0.17840) (12.8761) (0.14021) [-1.73629] [-1.39086] [-1.84928] [ 2.34034] [-1.27846]
C
0.023559 (0.00784) [ 3.00345]
0.030870 0.045944 0.066769 -2.089867 0.029341 (0.03436) (0.00582) (0.01389) (1.00265) (0.01092) [ 0.89835] [ 7.88779] [ 4.80619] [-2.08434] [ 2.68750]
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.481369 0.398018 0.036066 0.025378 5.775185 154.2481 -4.371154 -4.039388 0.010786 0.032709
0.474883 0.810648 0.422197 0.772539 0.601045 0.390490 0.780217 0.329335 0.735983 0.536928 0.692157 0.019887 0.113128 589.2848 0.069870 0.111175 0.018845 0.044946 3.243908 0.035323 5.626995 26.63846 4.546530 21.13288 9.374092 56.75078 173.8917 116.5234 -165.8953 132.4255 -1.416690 -4.966415 -3.227983 5.330162 -3.709864 -1.084925 -4.634649 -2.896217 5.661928 -3.378098 0.024053 0.028750 0.041587 -0.108939 0.046668 0.142402 0.040197 0.054883 6.313240 0.051907
Determinant Residual Covariance Log Likelihood Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
1.96E-14 512.1852 479.6532 -12.17131 -9.583536
113
Lampiran 13. Granger Causality Test Pairwise Granger Causality Tests Date: 07/27/07 Time: 06:51 Sample: 1990:1 2006:4 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Probability
LN_ER does not Granger Cause LN_GDPR LN_GDPR does not Granger Cause LN_ER
66
5.80757 3.52015
0.00491 0.03574
LN_IHK does not Granger Cause LN_GDPR LN_GDPR does not Granger Cause LN_IHK
66
11.4748 6.29542
5.9E-05 0.00327
LN_M1 does not Granger Cause LN_GDPR LN_GDPR does not Granger Cause LN_M1
66
2.34559 6.10561
0.10437 0.00383
R does not Granger Cause LN_GDPR LN_GDPR does not Granger Cause R
66
3.34591 15.5934
0.04180 3.4E-06
LN_QM does not Granger Cause LN_GDPR LN_GDPR does not Granger Cause LN_QM
66
3.12016 3.10361
0.05127 0.05204
LN_IHK does not Granger Cause LN_ER LN_ER does not Granger Cause LN_IHK
66
0.71689 22.2566
0.49234 5.5E-08
LN_M1 does not Granger Cause LN_ER LN_ER does not Granger Cause LN_M1
66
2.36464 3.21432
0.10254 0.04708
R does not Granger Cause LN_ER LN_ER does not Granger Cause R
66
7.22464 33.2315
0.00153 1.7E-10
LN_QM does not Granger Cause LN_ER LN_ER does not Granger Cause LN_QM
66
2.91402 1.89542
0.06185 0.15900
LN_M1 does not Granger Cause LN_IHK LN_IHK does not Granger Cause LN_M1
66
13.0371 1.46428
1.9E-05 0.23926
R does not Granger Cause LN_IHK LN_IHK does not Granger Cause R
66
0.72209 9.69629
0.48984 0.00022
LN_QM does not Granger Cause LN_IHK LN_IHK does not Granger Cause LN_QM
66
8.00451 5.36932
0.00082 0.00711
R does not Granger Cause LN_M1 LN_M1 does not Granger Cause R
66
1.45503 11.3280
0.24138 6.6E-05
LN_QM does not Granger Cause LN_M1 LN_M1 does not Granger Cause LN_QM
66
1.10494 2.23269
0.33777 0.11593
LN_QM does not Granger Cause R R does not Granger Cause LN_QM
66
28.4540 0.11508
1.9E-09 0.89149
114
Lampiran 14. Variance Decomposition (VD) Business Cycle Period
S.E.
LN_GDPR
LN_ER
LN_IHK
LN_M1
R
LN_QM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
0.025378 0.032379 0.043455 0.053976 0.064923 0.074715 0.083213 0.090306 0.096303 0.101359 0.105739 0.109646 0.113263 0.116716 0.120102 0.123477 0.126868 0.130274 0.133679 0.137059 0.140392 0.143656 0.146841 0.149940 0.152957 0.155895 0.158763 0.161571 0.164325 0.167034 0.169702 0.172333 0.174929 0.177492 0.180023 0.182520 0.184985 0.187418 0.189819 0.192189 0.194529 0.196841 0.199125 0.201383 0.203616 0.205824 0.208010 0.210173 0.212314 0.214433 0.216533
100.0000 77.68721 58.40019 47.44634 40.56354 36.19692 34.11264 33.13236 32.83065 32.90134 33.19921 33.56619 33.92955 34.24036 34.47452 34.62289 34.69420 34.70467 34.67422 34.62198 34.56367 34.50987 34.46634 34.43494 34.41480 34.40351 34.39811 34.39578 34.39423 34.39188 34.38789 34.38200 34.37441 34.36555 34.35597 34.34621 34.33668 34.32768 34.31935 34.31172 34.30476 34.29837 34.29241 34.28679 34.28141 34.27621 34.27114 34.26618 34.26135 34.25663 34.25205
0.000000 15.35969 26.74055 33.70877 37.02095 38.12954 37.79655 37.00372 35.95799 34.91475 33.95803 33.14610 32.48214 31.96521 31.58034 31.30761 31.12114 30.99471 30.90378 30.82896 30.75711 30.68130 30.59939 30.51244 30.42315 30.33465 30.24969 30.17030 30.09760 30.03192 29.97294 29.91992 29.87188 29.82784 29.78688 29.74830 29.71155 29.67632 29.64242 29.60979 29.57841 29.54832 29.51952 29.49202 29.46579 29.44078 29.41693 29.39414 29.37235 29.35145 29.33138
0.000000 0.817203 0.839845 0.638282 0.825652 1.032727 1.331579 1.553065 1.745937 1.881093 1.968221 2.012280 2.027967 2.023377 2.006827 1.984178 1.959977 1.937048 1.917196 1.901115 1.888701 1.879311 1.872091 1.866179 1.860870 1.855672 1.850314 1.844700 1.838862 1.832904 1.826955 1.821143 1.815567 1.810294 1.805354 1.800748 1.796453 1.792435 1.788655 1.785074 1.781660 1.778389 1.775243 1.772212 1.769289 1.766471 1.763758 1.761147 1.758637 1.756226 1.753910
0.000000 0.050101 0.571643 0.649524 0.563917 0.492410 0.421581 0.363438 0.320217 0.289163 0.265796 0.247744 0.234349 0.225835 0.222145 0.222716 0.226372 0.231682 0.237392 0.242665 0.247084 0.250575 0.253277 0.255420 0.257242 0.258942 0.260664 0.262489 0.264447 0.266528 0.268694 0.270895 0.273079 0.275206 0.277242 0.279173 0.280992 0.282703 0.284316 0.285842 0.287295 0.288686 0.290022 0.291310 0.292554 0.293755 0.294916 0.296036 0.297116 0.298156 0.299158
0.000000 4.756028 6.943061 8.784657 10.49275 12.16664 13.32427 14.30801 15.09221 15.70344 16.15940 16.51095 16.77869 16.98605 17.15110 17.28881 17.40882 17.51888 17.62388 17.72633 17.82681 17.92485 18.01938 18.10927 18.19365 18.27203 18.34435 18.41085 18.47200 18.52842 18.58074 18.62957 18.67544 18.71876 18.75988 18.79903 18.83635 18.87198 18.90598 18.93842 18.96937 18.99888 19.02704 19.05390 19.07957 19.10411 19.12761 19.15014 19.17176 19.19254 19.21252
0.000000 1.329766 6.504711 8.772430 10.53318 11.98176 13.01337 13.63940 14.05300 14.31022 14.44934 14.51675 14.54730 14.55916 14.56506 14.57379 14.58949 14.61301 14.64353 14.67895 14.71662 14.75410 14.78953 14.82175 14.85029 14.87520 14.89687 14.91589 14.93287 14.94834 14.96277 14.97647 14.98963 15.00235 15.01467 15.02655 15.03797 15.04889 15.05928 15.06915 15.07850 15.08736 15.09577 15.10376 15.11138 15.11867 15.12565 15.13235 15.13879 15.14500 15.15097
115
52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.218612 0.220671 0.222712 0.224734 0.226738 0.228724 0.230694 0.232646 0.234583
34.24762 34.24334 34.23923 34.23527 34.23146 34.22779 34.22426 34.22085 34.21756
29.31208 29.29348 29.27554 29.25823 29.24151 29.22536 29.20975 29.19466 29.18007
1.751683 1.749542 1.747481 1.745495 1.743578 1.741727 1.739938 1.738208 1.736533
0.300121 0.301049 0.301943 0.302804 0.303635 0.304438 0.305214 0.305964 0.306690
19.23176 19.25030 19.26817 19.28540 19.30204 19.31810 19.33361 19.34861 19.36311
15.15673 15.16229 15.16764 15.17280 15.17778 15.18258 15.18722 15.19170 15.19603
Lampiran 15. Variance Decomposition (VD) Harga (Inflasi) Period
S.E.
LN_GDPR
LN_ER
LN_IHK
LN_M1
R
LN_QM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
0.111175 0.197077 0.263305 0.308950 0.344717 0.374306 0.396844 0.414744 0.429908 0.443233 0.455449 0.467240 0.479003 0.490950 0.503168 0.515628 0.528210 0.540767 0.553168 0.565310 0.577131 0.588609 0.599752 0.610591 0.621163 0.631511 0.641672 0.651677 0.661547 0.671296 0.680931 0.690454 0.699864 0.709160 0.718340 0.727404 0.736353 0.745190 0.753917 0.762541 0.771065
3.039541 4.374141 1.970576 1.931016 1.867552 2.072067 2.234404 2.477886 2.711082 2.936464 3.137090 3.315305 3.464453 3.587325 3.685893 3.764094 3.825888 3.876116 3.918954 3.957806 3.994956 4.031674 4.068348 4.104813 4.140611 4.175211 4.208147 4.239096 4.267905 4.294573 4.319221 4.342052 4.363304 4.383219 4.402014 4.419866 4.436911 4.453240 4.468913 4.483965 4.498417
12.27401 63.80919 71.13172 70.46812 68.98097 66.62017 64.28343 62.14752 60.35109 58.86316 57.68655 56.77569 56.08564 55.57105 55.19402 54.91708 54.70605 54.53107 54.36958 54.20712 54.03729 53.85978 53.67797 53.49673 53.32086 53.15411 52.99889 52.85618 52.72587 52.60699 52.49809 52.39755 52.30380 52.21550 52.13157 52.05129 51.97420 51.90004 51.82872 51.76020 51.69449
84.68645 25.18301 10.88351 5.786549 3.763656 2.879106 2.479257 2.311512 2.218084 2.154750 2.092685 2.026946 1.957109 1.885556 1.813511 1.742319 1.673439 1.608514 1.548893 1.495352 1.447930 1.406074 1.368891 1.335410 1.304764 1.276276 1.249471 1.224052 1.199851 1.176789 1.154833 1.133969 1.114187 1.095462 1.077752 1.061002 1.045144 1.030105 1.015812 1.002196 0.989196
0.000000 0.009483 0.135344 0.097927 0.063988 0.096127 0.192558 0.351952 0.558220 0.780144 0.991814 1.178174 1.330104 1.446032 1.530043 1.588744 1.629218 1.658171 1.681183 1.702341 1.724205 1.747989 1.773849 1.801242 1.829286 1.857041 1.883708 1.908728 1.931806 1.952882 1.972073 1.989609 2.005764 2.020814 2.034999 2.048506 2.061464 2.073952 2.086007 2.097640 2.108848
0.000000 2.007413 7.084474 9.052944 10.80891 12.38685 13.76516 14.85156 15.74546 16.45205 16.99925 17.41621 17.73596 17.97941 18.16556 18.31058 18.42875 18.53158 18.62787 18.72294 18.81899 18.91588 19.01221 19.10609 19.19578 19.28001 19.35812 19.42994 19.49574 19.55610 19.61172 19.66335 19.71168 19.75731 19.80067 19.84211 19.88181 19.91991 19.95646 19.99151 20.02507
0.000000 4.616760 8.794377 12.66344 14.51493 15.94568 17.04520 17.85957 18.41606 18.81344 19.09261 19.28767 19.42673 19.53063 19.61098 19.67718 19.73665 19.79454 19.85353 19.91445 19.97664 20.03860 20.09873 20.15572 20.20871 20.25735 20.30167 20.34201 20.37882 20.41267 20.44406 20.47347 20.50126 20.52770 20.55299 20.57723 20.60047 20.62275 20.64409 20.66449 20.68397
116
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
0.779493 0.787831 0.796082 0.804250 0.812336 0.820345 0.828276 0.836134 0.843918 0.851632 0.859276 0.866853 0.874363 0.881810 0.889194 0.896517 0.903780 0.910986 0.918135
4.512282 4.525575 4.538311 4.550512 4.562203 4.573414 4.584173 4.594510 4.604456 4.614036 4.623273 4.632188 4.640799 4.649122 4.657170 4.664957 4.672493 4.679789 4.686857
51.63157 51.57137 51.51382 51.45877 51.40609 51.35561 51.30717 51.26060 51.21579 51.17260 51.13093 51.09069 51.05182 51.01424 50.97791 50.94276 50.90874 50.87582 50.84393
0.976761 0.964847 0.953419 0.942446 0.931904 0.921770 0.912025 0.902648 0.893622 0.884929 0.876551 0.868471 0.860673 0.853142 0.845864 0.838825 0.832014 0.825420 0.819031
2.119622 2.129958 2.139858 2.149333 2.158400 2.167083 2.175407 2.183400 2.191088 2.198492 2.205634 2.212530 2.219194 2.225638 2.231872 2.237905 2.243744 2.249398 2.254874
20.05719 20.08790 20.11727 20.14537 20.17227 20.19807 20.22283 20.24664 20.26956 20.29164 20.31295 20.33351 20.35338 20.37258 20.39114 20.40910 20.42647 20.44329 20.45958
20.70258 20.72035 20.73733 20.75357 20.76913 20.78406 20.79840 20.81220 20.82549 20.83830 20.85067 20.86260 20.87413 20.88527 20.89604 20.90646 20.91653 20.92628 20.93573
117
Lampiran 16. Respon Business Cycle Terhadap Guncangan M1 dan QM
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LN_GDPR to LN_M1
Response of LN_GDPR to LN_QM
.016
.016
.012
.012
.008
.008
.004
.004
.000
.000
-.004
-.004 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Lampiran 17. Respon Harga (Inflasi) Terhadap Guncangan M1 dan QM
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LN_IHK to LN_M1
Response of LN_IHK to LN_QM
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
-.02
-.02
-.03
-.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60