ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA
OLEH SINTA AGUSTINA H14104030
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
SINTA AGUSTINA. H14104030. Analisis Leading Indicator untuk Pajak di Indonesia (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR). Pajak sebagai salah satu instrument kebijakan fiskal di Indonesia selain pengeluaran pemerintah, merupakan hal yang sangat penting untuk dianalisis. Ketidaksesuaian antara target pajak dengan realisasinya menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan. Selain itu, kontribusi yang besar yang diberikan pajak terhadap penerimaan negara membuat pajak penting untuk dianalisis. Untuk membantu pemerintah khususnya para pengambil kebijakan di bidang pajak, maka diperlukan suatu analisis mengenai keadaan pajak dimasa yang akan datang. Setelah nantinya diketahui bagaimana keadaan pajak dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah dapat lebih mudah untuk mengambil kebijakan apa yang harus dilakukan terkait dengan peningkatan penerimaan pajak untuk negara. Salah satu solusinya adalah dengan menggunakan Composite Leading Index (CLI) yang banyak digunakan oleh beberapa negara untuk memprediksi keadaan perekonomian di negara yang bersangkutan. Pentingnya keberadaan pajak dalam proses pembangunan di Indonesia, membuat penelitian tentang leading indicator menjadi penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menganalisis leading indicator untuk pajak di Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (i) menganalisis CLI untuk pajak yang terdiri dari beberapa variabel yang memiliki keterkaitan erat dengan pajak, (ii) menganalisis leading, lagging, ataupun coincident indicator untuk pajak, (iii) menghasilkan dan mengevaluasi CLI yang telah dibuat terhadap pergerakan seri acuan yaitu pajak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode pembentukan CLI yang dikembangkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Proses penghilangan unsur musiman dan irregular menggunakan program seasonal adjusted dari software Eviews 4.1 tidak dilakukan karena data yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk tahunan. Estimasi trend dilakukan menggunakan metode Hodrick-Prescott filter yang juga dilakukan dengan menggunakan software Eviews 4.1. Dalam menentukan titik balik dari seri acuan pajak dan CLI menggunakan acuan pada prosedur BryBoschan. Sedangkan penentuan kriteria Business Cycle Indicator (BCI) dilakukan melalui analisis visual grafik dan analisis korelasi silang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada enam titik balik untuk pajak, yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak, sehingga pajak memiliki dua siklus dengan masing-masing durasi siklus adalah 8 tahun dan 4 tahun. Dari 16 variabel yang dianalisis, hanya ada lima yang tergolong sebagai leading indicator yaitu konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, konsumsi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah. CLI yang dibentuk dari kumpulan leading indicator tersebut, terlihat mampu memprediksi pergerakan siklikal dari seri acuannya yaitu pajak.
Kemampuan prediksi CLI pajak mempunyai kisaran jarak antara 0.31 tahun s/d 4.99 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, meskipun CLI yang dibentuk mampu memprediksi pergerakan siklikal dari seri acuannya yaitu pajak, tetapi nilai koefisien korelasinya hanya sebesar 0.49 yang berarti penelitian ini masih perlu dilakukan penelitian-penelitian lanjutan. Komposit yang dihasilkan perlu terus diuji dengan data terbaru dan dengan menambahkan jumlah observasi agar CLI yang dihasilkan dapat lebih baik. Pentingnya pembentukan CLI untuk pajak, dapat membantu pemerintah dan pihak yang bertindak sebagai policy maker dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pajak. Pemerintah dapat meningkatkan penerimaan dari sektor pajak dengan meningkatkan konsumsinya dengan cara meningkatkan atau menambah biaya untuk pengeluaran pemerintah. Dalam menetapkan kebijakan harus dipertimbangkan sedemikian rupa besarannya (bukan hanya marginal tax rate, tetapi juga effective tax rate). Konsumsi rumah tangga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan daya beli masyarakat dan memperbaiki akses masyarakat terhadap barang-barang konsumsi. Sedangkan konsumsi atau investasi swasta dapat ditingkatkan dengan memperbaiki sistem atau regulasi yang nantinya akan lebih menarik investor menanamkan modalnya di Indonesia, memberikan insentif kepada investor, dan Bank Indonesia juga dapat menurunkan tingkat suku bunganya agar investor tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. M1 (uang kartal dan uang giral) dapat ditingkatkan dengan cara pembelian obligasi yang dimiliki masyarakat oleh pemerintah, sehingga money supply akan meningkat, dan hal ini akan meningkatkan M1. Ekspor minyak mentah dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan produksi minyak mentah.
ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA Oleh SINTA AGUSTINA H14104030 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Sinta Agustina
Nomor Registrasi Pokok
: H14104030
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Leading Indicator untuk Pajak di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec NIP. 131 803 656
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2008
Sinta Agustina H14104030
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1986 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Syamsul Bachri dan Sri Wahyuningsih. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Larangan Selatan 01 tahun 1998, kemudian melanjutkan ke SMPN 11 Tangerang dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 32 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Setelah lulus SMA, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Penulis dapat masuk ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa Baru (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti SES-C dan HMI Komisariat FEM.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya serta karena atas izin dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Leading Indicator untuk Pajak di Indonesia”. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis atas ridho, doa, serta semua yang telah diberikan selama penulis menjalani hidup sampai akhirnya dapat mempersembahkan gelar ini kepada orang tua penulis. Tak lupa penulis juga ucapkan terima kasih kepada kedua saudara penulis (Siti Masyitho, SE dan Muhammad Fachry) atas masukan, motivasi, kebersamaan, kebahagiaan, dan keceriaan yang telah diberikan selama ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec yang telah memberikan bimbingan baik secara teknik maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini diantaranya : 1. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 2. Ir. Tanti Novianti, M Si, atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. 3. Sahabat-sahabatku yang telah memberikan warna dalam hidupku serta mengajarkan arti kehidupan yang sebenarnya (Wenda, Rian, Dwi, Rika, Veby, Susi, Kamilah, Oka, Bagus, dan Bayu). 4. Teman-teman seperjuangan (Novi, Islam, dan Nana), terima kasih atas kebersamaan, diskusi, saran, kritik, dan segala bentuk bantuan yang telah diberikan dengan ikhlas.
5. Teman-temanku di Villa Cempaka (Kiki, Yosi, Putra, dan Bayu), terima kasih atas kebersamaan yang telah kalian berikan. 6. Mela Setiana, SE, dan Ade Holis, SE, atas ilmu, pengalaman, dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 7. Teman-teman IE’41 dan semua pihak yang telah sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya serta dapat menambah khazanah pengetahuan kita.
Bogor, Agustus 2008
Sinta Agustina H14104030
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2.
Perumusan Masalah .......................................................................
4
1.3.
Tujuan Penelitian ...........................................................................
5
1.4.
Manfaat Penelitian .........................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
7
2.1.
Definisi Pajak .................................................................................
7
2.2.
Fungsi Pajak ................................................................................... 13
2.3.
Asas-asas Pemungutan Pajak ......................................................... 14
II.
2.3.1. Asas Equity/Equality .......................................................... 15 2.3.2. Asas Revenue Productivity................................................. 16 2.3.3. Asas Ease of Administration .............................................. 17 2.3.4. Asas Neutrality ................................................................... 19 2.4.
Klasifikasi Pajak............................................................................. 19 2.4.1. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung ...................... 19 2.4.2. Pajak Subjektif dan Pajak Objektif .................................... 20 2.4.3. Pajak Pusat dan Pajak Daerah ............................................ 21
2.5.
Tarif Pajak ...................................................................................... 22
2.6.
Definisi Business Cycle .................................................................. 23
2.7.
Teori Business Cycle ...................................................................... 25 2.7.1. Teori Real Business Cycle.................................................. 25 2.7.2. Teori New Keynesian ......................................................... 26 2.7.3. Teori Business Cycle Moneter ........................................... 27
2.8.
Business Cycle Indicator ................................................................ 27 2.8.1. Leading Indicator ............................................................... 27 2.8.2. Lagging Indicator .............................................................. 28 2.8.3. Coincident Indicator .......................................................... 28
2.9.
Teknik Analisis Siklikal ................................................................. 29 2.9.1. Business Cycle Analysis ..................................................... 29 2.9.2. Growth Cycle Analysis ....................................................... 29 2.9.3. Smoothed Growth Rate Cycle ............................................ 31
2.10.
Penelitian Terdahulu ...................................................................... 31
2.11.
Kerangka Pemikiran ....................................................................... 34
III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 36 3.1.
Jenis dan Sumber Data ................................................................... 36
3.2.
Metode Analisis Data ..................................................................... 36 3.2.1. Hodrick-Prescott Filter ...................................................... 38 3.2.2. Cross Correlation .............................................................. 39 3.2.3. Leading Indicator Berdasaran Metode OECD................... 40 3.2.4. Kategori Volatilitas ............................................................ 46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 48
V.
4.1.
Gambaran Umum Perpajakan di Indonesia.................................... 48
4.2.
Karakteristik dan Titik Balik Pajak ................................................ 50
4.3.
Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen ........................ 56
4.4.
Perbandingan Variabel Ekonomi Makro Terhadap Pajak.............. 57
4.5.
Keterkaitan Kandidat Komposit dengan Seri Acuan ..................... 60
4.6.
Pembentukan CLI Untuk Pajak di Indonesia ................................. 62
4.7.
Evaluasi Indeks Komposit.............................................................. 65
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN.................................... 68 5.1.
Kesimpulan .................................................................................... 68
5.2.
Implikasi Kebijakan ....................................................................... 69
5.3.
Saran Penelitian Selanjutnya .......................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 71 LAMPIRAN ........................................................................................................ 73
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Penerimaan DJP Tahun 2002-2007 .............................................................
2
2.
Perbedaan Pajak Langsung dengan Pajak Tidak langsung .......................... 40
3.
Penerimaan Perpajakan Indonesia 2005-2007 ............................................. 48
4.
Penerimaan Perpajakan Indonesia 2000-2004 ............................................. 53
5.
Karakteristik Titik Balik dan Seri Acuan Pajak........................................... 55
6.
Perhitungan CV Variabel-variabel Ekonomi Makro ................................... 58
7.
Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap Pajak ....................... 59
8.
Perbandingan Titik Balik CLI dan Seri Acuan Pajak .................................. 63
9.
Karakteristik CLI Indonesia ........................................................................ 65
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Dampak Penurunan Tarif Pajak Terhadap Pendapatan Nasional ................
9
2.
Kurva Laffer ................................................................................................ 11
3.
Asas-asas dalam Sistem Perpajakan yang Ideal .......................................... 15
4.
Tahapan Business Cycle .............................................................................. 24
5.
Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD .......................................... 35
6.
Grafik Log Pajak.......................................................................................... 52
7.
Grafik Trend Pajak ...................................................................................... 54
8.
Grafik Siklikal dan Titik Balik Pajak .......................................................... 56
9.
Seri Acuan Pajak dan CLI ........................................................................... 63
10. Titik Balik CLI untuk Pajak ........................................................................ 64
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data yang digunakan Dalam Penelitian ....................................................... 73
2.
Grafik Fluktuasi Siklikal Variabel Ekonomi Makro dan Pajak ................... 75
3.
Hasil Cross Correlation Variabel Ekonomi Makro dan Pajak .................... 83
4.
Hasil Cross Correlation CLI dan Pajak....................................................... 88
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pemerintah dalam penyelenggaraan aktivitasnya memerlukan biaya
operasional secara rutin. Pengeluaran rutin tersebut diperoleh dari hasil pajak dan juga sumber pendapatan lainnya. Selain itu pemerintah bertanggung jawab mensejahterakan
masyarakatnya
secara
merata
lewat
penyelenggaraan
pembangunan di segala bidang. Untuk melaksanakan pembangunan di berbagai sektor, maka pemerintah memerlukan banyak uang, baik yang diperoleh pemerintah sendiri maupun dari pajak. Pembangunan dibiayai dari tabungan pemerintah dan tabungan rakyat. Kedua macam tabungan ini mempunyai peran besar dalam pembangunan. Besar kecilnya pembangunan pemerintah ditentukan oleh hasil dari pajak-pajak dan hasil yang keluar dari Sumber Daya Alam (SDA) dikurangi dengan pengeluaran rutin. Dalam meningkatan pendapatannya, pemerintah berusaha memperbesar hasil dari pajak-pajak dan atau hasil sumber alam, dan di lain pihak berusaha memperkecil pengeluaran-pengeluaran rutin. Sejak menyusutnya cadangan minyak bumi di negara kita, pajak telah menjadi andalan utama dari pembiayaan APBN. Tidak dapat dipungkiri bahwa keadaan seperti ini akan terus berlanjut, di mana penerimaan pajak akan tetap merupakan andalan utama penerimaan dalam negeri untuk pembangunan negara, sebagaimana halnya di negara maju. Banyak kalangan menyadari bahwa kebutuhan negara untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan dari waktu ke waktu semakin meningkat. Biaya keamanan negara, penyediaan sarana kesehatan dan pendidikan yang memadai, biaya untuk pengentasan kemiskinan dan
2
pembangunan infrastruktur, kebutuhan dana untuk menanggulangi bencana alam, semuanya harus disediakan oleh negara. Dana yang perlu disediakan tersebut tidak lain sumbernya adalah pajak. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang demikian itu, pajak merupakan sumber penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik agar keuangan negara dapat berjalan dengan lancar dan baik. Dalam struktur keuangan negara, tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak di bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia. Jenis-jenis pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Tabel 1. Penerimaan DJP Tahun 2002-2007 No Keterangan 2002 2003 2004 1 Penerimaan 176,2 204,15 239,98 DJP termasuk PPh Migas (Triliun Rp) 2 Growth (%) 12,82 15,86 17,06 3 Penerimaan 159,17 185,37 216,04 DJP tanpa PPh Migas (Triliun Rp) 4 Growth (%) 19,6 16,46 16,55
2005 298,34
2006 358,05
2007 426,23
24,84 263,35
20,01 314,86
19,04 382,22
21,9
19,56
21,39
Sumber: Direktorat PKP, 2008
Dari tahun ke tahun telah dilakukan berbagai langkah dan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan perundang-undangan, penerbitan peraturan-peraturan baru di bidang perpajakan, meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber-sumber pajak lain.
3
Berbagai upaya di atas tentunya belum dapat menghasilkan peningkatan pajak yang signifikan bagi penerimaan negara. Bahkan kondisi ini semakin diperparah dengan terjadinya krisis moneter mulai tahun 1997 yang telah berkembang menjadi krisis ekonomi. Pada umumnya di negara berkembang, sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dari jenis pajak tidak langsung. Hal ini disebabkan pada negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya. Indonesia sebagai salah satu dari negara berkembang menerima penerimaan rutin dari sektor pajak sebagai penerimaan terbesar. Kalau diteliti lebih lanjut dan mendalam, maka akan tampak penerimaan itu berasal dari pajak tidak langsung dan baru kemudian pajak langsung. Kenyataan itu terjadi karena pendapatan perkapita penduduk negara maju relatif lebih besar dibandingkan negara sedang berkembang. Pajak yang memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan dalam negeri, harus diperhatikan keberadaannya. Dengan begitu, pemerintah akan lebih mudah di dalam proses pembangunannya. Begitu pentingnya peran pajak dalam proses pembangunan di negara ini, maka diperlukan suatu analisis ataupun penelitian yang komprehensif terhadap variabel-variabel yang dapat berfungsi sebagai leading indicator terhadap pajak. Dengan mengetahui keadaan pajak dalam beberapa periode kedepan, akan dapat membantu pemerintah dan berbagai pihak terkait yang bertindak sebagai policy maker dalam menetapkan kebijakan dalam perpajakan.
4
1.2
Perumusan Masalah Dalam perubahan lingkungan perekonomian yang semakin volatile dan
cepat, kebutuhan akan suatu alat yang mampu menilai dan memprediksi kondisi perekonomian dalam waktu cepat dan akurat tidak perlu diragukan lagi. Perencana kebijakan harus mempunyai jawaban yang tepat, misalnya mengenai apakah perekonomian saat ini dan arahnya dalam waktu dekat akan memasuki masa resesi atau tetap membaik? Seperti telah disebutkan diatas, maka diperlukan adanya suatu alat peramalan yang dapat membantu para pembuat kebijakan (policy maker) dalam pengambilan keputusan. Karena jika telah diketahui arah dari perekonomian, maka nantinya keputusan yang mereka ambil diharapkan mampu membuat perekonomian menjadi lebih baik lagi. Dalam menjalankan suatu perekonomian pemerintah turut campur melalui salah satunya kebijakan fiskal. Sementara itu salah satu komponen fiskal yang besar adalah perpajakan. Pajak sendiri hingga saat ini telah dijadikan sebagai salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Pemerintah harus mengandalkan sektor pajak untuk menutup defisit anggaran yang hampir tiap tahun dialami oleh Indonesia. Permasalahan lain timbul yaitu realisasi penerimaan pajak yang diterima negara berbeda dengan target yang ingin dicapai. Hal ini menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan, karena keadaan seperti itu akan menyulitkan pemerintah dalam proses pembangunan. Begitu pentingnya peran pajak bagi proses pembangunan, maka diperlukan suatu peramalan untuk mengetahui keadaan pajak dimasa datang. Maka terkait dengan
5
hal itu, permasalahan yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana bentuk Composite Leading Indeks (CLI) untuk pajak yang terdiri dari beberapa variabel yang memiliki keterkaitan yang erat dengan pajak?
2.
Variabel-variabel apa saja yang memenuhi kriteria untuk menjadi leading, lagging, ataupun coincident untuk pajak?
3.
Apakah CLI yang dibuat mampu mengikuti pergerakan dari seri acuan dalam hal ini pajak?
1.3
Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini information variable yang dihasilkan hanya dibatasi
pada information variable pajak saja. Perlu ditekankan bahwa leading indicator yang dihasilkan hanya akan memberikan gambaran dalam jangka pendek pada tahap mana pajak beberapa waktu ke depan berada. Selain itu, leading indicator tersebut akan memberikan sinyal kapan pajak akan mengalami pembalikan arah. Sementara itu, berapa besarnya pertumbuhan pajak pada suatu periode bukan menjadi tujuan dari penelitian maupun penggunaan dari leading indicator yang dihasilkan. Oleh karena itu, maka penelitian ini bertujuan : 1.
Menganalisis CLI untuk pajak yang terdiri dari beberapa variabel yang memiliki keterkaitan yang erat dengan pajak;
2.
Menganalisis leading, lagging, ataupun coincident indicator untuk pajak;
3.
Menghasilkan dan mengevaluasi CLI yang telah dibuat terhadap pergerakan seri acuan yaitu pajak.
6
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak,
diantaranya sebagai berikut: 1.
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan;
2.
Bagi penulis, penelitian ini menambah wawasan dan tambahan pengetahuan tentang apa itu business cycle, teori-teori business cycle, jenis business cycle dan manfaat dari penerapannya;
3.
Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Pajak Menurut Pass dan Lowess (1997), pajak adalah suatu pungutan yang
dibebankan oleh pemerintah atas pendapatan, kekayaan dan keuntungan modal seseorang individu dan perusahaan (pajak langsung), serta atas hak milik tak bergerak. Pajak tersebut digunakan untuk meningkatkan penghasilan bagi pemerintah dan sebagai suatu alat pengendalian tingkat dan distribusi pengendalian pengeluaran dalam perekonomian. Sedangkan perpajakan adalah penerimaan pemerintah dari pembebanan pajak pada pendapatan seseorang atau perusahaan, pengeluaran, kekayaan, dan keuntungan modal, serta pada hak milik tak bergerak. Pajak digunakan oleh pemerintah untuk berbagai tujuan, meliputi (a) meningkatkan pendapatan pemerintah untuk menutupi pengeluaran dalam penyediaan sarana sosial seperti sekolah, rumah sakit, jalan, dan lain sebagainya, serta pembayaran tunjangan-tunjangan sosial yang diberikan pada individu yang sedang menganggur, sakit, dan lain sebagainya; (b) sebagai suatu alat kebijakan fiskal dalam mengatur tingkat pengeluaran total dalam perekonomian; (c) mengubah distribusi pendapatan dan kekayaan; (d) mengendalikan volume impor. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumberdaya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan
8
kebutuhan masyarakat. Perubahan pada tingkat pajak akan mempengaruhi jumlah pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Adanya kebijakan peningkatan pajak akan mengurangi penerimaan pendapatan yang akan dialokasikan untuk pengeluaran konsumsi. Hal ini dapat dibuktikan dalam fungsi konsumsi yang berkembang (Lipsey, Courant, Purvis dan Steiner, 1995; Dornbusch dan Fischer, 1997) yang merupakan pengembangan teori konsumsi dari The Keynesian Hypothesis sebagai berikut: C =C0 + b (Y+TR-Tax) dimana: C Co Y TR Tax
= Pengeluaran konsumsi = Pengeluaran konsumsi autonomous = Pendapatan = Transfer Payment = Pajak
Secara grafik, dampak perubahan pajak terhadap permintaan agregat dengan kondisi variabel lainnya konstan (ceteribus paribus) dapat dilihat pada Gambar 1. Adanya penurunan tarif pajak akan meningkatkan pengeluaran konsumsi melalui peningkatan alokasi pendapatan yang akan digunakan untuk konsumsi. Adanya peningkatan pengeluaran konsumsi akan meningkatkan pengeluaran agregat di dalam pasar barang dimana secara grafik terlihat terjadi perubahan kemiringan garis pengeluaran agregat (AE) menjadi lebih curam dari garis kurva sebelumnya. Peningkatan pengeluaran agregat akan meningkatkan pendapatan nasional. Adanya pergeseran kurva AE akan menyebabkan pergeseran kurva IS. Kurva IS adalah kurva tempat kedudukan titik-titik kombinasi dari tingkat suku bunga dan pendapatan nasional yang lebih besar. Pergeseran kurva IS menyebabkan pergerakan titik equilibrium sebelumnya sehingga diperoleh tingkat
9
suku bunga dan pendapatan nasional yang lebih besar. Pergeseran kurva IS akan menggeser kurva permintaan ageregat (AD). Pergeseran kurva AD yang tidak disertai pergeseran kurva penawaran agregat (AS) akan meningkatkan pendapatan nasional dan tingkat harga. AE
AE = Y AE=Ã + c (1-ť) Y AE= Ã + c (1-t) Y
0
Y0
Y”
Y LM
IS’ IS 0
Y0
Y”
Y AS
AD’ AD 0
Y0 Y”
Y
Sumber : Dornbusch, Rudiger, dan Stanley Fischer dalam Sihotang (2003)
Gambar 1. Dampak Penurunan Tarif Pajak Terhadap Pendapatan Nasional (ceteribus paribus)
10
Variabel penerimaan pajak total pemerintah di Indonesia terdiri dari beberapa bagian, antara lain: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Ekspor (TE), Bea Masuk dan Cukai, serta penerimaan pajak lain-lain. Pajak-pajak tersebut dikelola oleh Direktorat jenderal Pajak. Peranan pemungutan pajak sebagai instrumen fungsi stabilisasi pemerintah kerapkali
digunakan
oleh
penganut
Supply-Side
Policies
(Supply-Side
Economics). Pengertian Supply-Side Policies adalah : ”Supply-side policies are policies that improve the working of markets. In this way they improve the capacity of the economy to produce and so shift the aggregate supply curve to the right. This should enable the economy to grow in a non-inflationary way. Supply-side policies are usually advocated by classical and Monetarist economist who believe that free markets are the most important factor determining economic growth. Supply-side policies may include improving education and training, reducing the power of trade unions, removing regulations and so on.” Supply-Side
Policies
dapat
digunakan
untuk
mengurangi
ketidaksempuranaan pasar. Tujuannya agar dapat meningkatkan kapasitas produksi sehingga bisa membuka kesempatan tenaga kerja karena dengan bekerja orang bisa mempunyai penghasilan dan dengan penghasilan yang ia dapatkan ia bisa membeli barang dan jasa. Secara keseluruhan dapat dipandang bahwa daya beli masyarakat meningkat. Penganut Supply-Side berpendapat bahwa tarif pajak hendaknya diusahakan agar serendah mungkin sehingga tidak mendistorsi pilihan orang untuk bekerja atau untuk bersenang-senang. Pemerintah mungkin dapat menggunakan kebijakan sisi penawaran untuk meningkatkan persediaan faktor-faktor produksi dan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, dengan meningkatkan fleksibilitas pasar-pasar dalam menanggapi perubahan-perubahan permintaan. Para ekonom percaya bahwa ada
11
hubungan antara tarif pajak dengan produktivitas masyarakat. Maksudnya ialah jika pemerintah mengenakan tarif pajak yang bersifat progresif pada penghasilan seseorang, maka hal ini akan membuat orang tersebut malas bekerja dengan jam kerja yang lebih lama atau lembur. Hal ini akan mengurangi jam kerja karyawan dari suatu perusahaan sehingga akan mengurangi tingkat produktivitasnya. Pengaruh pajak penghasilan terhadap work effort merupakan suatu hal yang menjadi perhatian Supply-Side Policies. Oleh karena itu, dalam menentukan tarif harus dipertimbangkan sedemikian rupa besarannya (bukan hanya marginal tax rate, tetapi juga effective tax rate) sehingga tidak mendistorsi pilihan seseorang untuk terus bekerja dan akan menyebabkan orang memilih untuk tidak bekerja atau bersantai-santai (leisure). Oleh karena itu, menaikkan tarif atau menetapkan tarif pajak penghasilan yang tinggi belum tentu akan berarti meningkatkan penerimaan negara. Hal ini dapat dilihat dari kurva laffer dibawah ini: Tarif pajak (%) 100
R
0
Hasil pajak
Sumber : Pass dan Lowes (1997)
Gambar 2. Kurva Laffer
12
Kurva laffer adalah suatu kurva yang menggambarkan kemungkinan adanya hubungan antara tarif pajak pendapatan dengan total penghasilan pajak yang diterima pemerintah. Gambar 2 memperlihatkan sebuah kurva laffer. Apabila tarif pajak per rupiah pendapatan ditingkatkan oleh pemerintah, total penghasilan pajak akan meningkat pada tahap-tahap awal. Akan tetapi, jika tarif pajak ditingkatkan terus hingga berada di atas DR, tarif pajak yang lebih tinggi ini akan memberikan suatu dampak yang tidak menguntungkan, yaitu mengakibatkan lebih sedikit orang yang akan menawarkan dirinya untuk bekerja dan orang-orang yang sudah bekerja tidak akan berkeinginan untuk bekerja lembur. Sebagai akibatnya, dasar pajak akan berkurang sehingga penerimaan pajak pemerintah juga menjadi turun. Hubungan kurva laffer telah digunakan oleh banyak pemerintah pada tahun-tahun terakhir ini sebagai suatu pedoman untuk melakukan pemotongan tarif pajak sebagai bagian dari suatu usaha pemberian insentif kerja. Adanya kebijakan perpajakan dalam ekspor dan impor berguna bagi pemerintah dalam mengatur volume perdagangan barang ke dalam atau ke luar negeri. Jika pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan pendapatan melalui peningkatan ekspor, maka pemerintah akan mengurangi pajak ekspor sehingga pengekspor akan lebih banyak menjual barangnya keluar dan berlaku juga sebaliknya. Pada permasalahan lain, pemerintah dapat juga menambah jumlah dari output tertentu yang tidak tersedia atau tersedia dalan jumlah terbatas dengan cara menurunkan tarif pajak impor di mana di Indonesia mencakup pajak pertambahan nilai (PPN), Bea Masuk dan Cukai, serta mengenakan tarif pajak ekspor yang tinggi bagi output tersebut.
13
2.2.
Fungsi Pajak Setelah mengetahui definisi dari pajak, dapat disimpulkan bahwa pajak
mempunyai
peranan
yang
sangat
penting
dalam
pelaksanaan
fungsi
negara/pemerintah. Pada hakikatnya, fungsi pajak dapat dibedakan menjadi dua (Rosdiana dan Tarigan, 2005), yaitu : 1.
Fungsi Budgetair Fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas negara. Fungsi ini disebut dengan fungsi budgetair atau fungsi penerimaan. Oleh karena itu, suatu pemungutan pajak yang baik sudah seharusnya memenuhi asas revenue productivity. Oleh karena itu pulalah, dalam menentukan kebijakan pajak, berlaku second best theory. Jika suatu pajak sulit untuk dipungut, padahal potensinya sangat signifikan maka mungkin saja
pemerintah
lebih
mengedepankan
asas
simplicity/ease
of
administration daripada asas equality, misalnya dengan menerapakan schedular taxation; 2.
Fungsi Regulerend Dalam kenyataannya, pajak bukan hanya berfungsi untuk mengisi kas negara. Pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pajak seperti bea masuk, digunakan untuk mendorong atau melindungi/memproteksi produksi dalam negeri, khususnya untuk melindungi industri yang baru berdiri (infant industry) dan atau industriindustri yang dinilai strategis oleh pemerintah. Selain itu, pajak juga dapat digunakan justru untuk menghambat atau mendistrosi suatu kegiatan
14
perdagangan. Misalnya, pada saat terjadi kelangkaan minyak goreng, pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi guna membatasi atau mengurangi ekspor kelapa sawit. Pemerintah, juga mengenakan excise (cukai) terhadap barang dan atau jasa tertentu yang mempunyai eksternalitas negatif dengan tujuan mengurangi atau membatasi produksi dan konsumsi barang dan atau jasa tersebut. Dalam contoh-contoh tersebut, pajak berfungi sebagai alat untuk mengatur (regulating/regulerend) guna tercapainya tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan pemerintah. Sekali lagi, kebijakan-kebijakan pajak tersebut tidak lepas dari kerangka teori fungsi-fungsi ekonomi yang harus dilaksanakan oleh negara.
2.3.
Asas-asas Pemungutan Pajak Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip yang
harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak. Banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang asas-asas perpajakan yang
harus ditegakkan dalam
membangun suatu sistem perpajakan di antara pendapat para ahli tersebut, yang paling terkenal adalah four maxims dari Adam Smith. Menurut Adam Smith, pemungutan pajak hendaknya didasarkan atas empat asas, yaitu equity, certainty, convenience, dan economy. Dengan demikian, bila digambarkan secara sederhana sistem perpajakan yang baik atau ideal adalah seperti sebuah segitiga sama sisi. Pada perkembangan di tingkat impelmentasi, tampaknya keseimbangan tersebut tidak lagi terjaga, sering kali karena alasan kepentingan (penerimaan) negara.
15
Revenue Productivity
Equality
Ease of Administration
Sumber : Rosdiana dan Tarigan (2005)
Gambar 3. Asas-asas dalam Sistem Perpajakan yang Ideal Berikut ini akan dijelaskan beberapa asas yang penting untuk diperhatikan dalam mendesain sistem pemungutan pemungutan pajak menurut Rosdiana dan Tarigan (2005) :
2.3.1. Asas Equity/Equality Keadilan merupakan salah satu asas yang sering kali menjadi pertimbangan penting dalam memilih policy option yang ada dalam membangun sistem perpajakan. Suatu sistem perpajakan dapat berhasil apabila masyarakatnya merasa yakin bahwa pajak-pajak dipungut pemerintah telah dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagiannya. Jika timbul persepsi umum bahwa pajak hanya merupakan upaya-upaya law enforcement untuk mereka yang berusaha menghindarinya, sementara di sisi lain terlihat jelas bahwa golongan masyarakat yang kaya justru membayar pajak lebih sedikit dari berapa yang seharusnya mereka bayar atau bahkan justru mereka yang menikmati fasilitasfasilitas perpajakan, sulit diharapkan terciptanya kesadaran dan kepatuhan membayar pajak dari para wajib pajak.
16
Sejarah juga membuktikan bahwa pajak yang dipungut dengan tidak adil dapat menimbulkan terjadinya revolusi sosial, sebagaimana yang terjadi di Prancis dan Inggris. Oleh karena itu, kebutuhan akan ditegakkannya asas keadilan dalam pemungutan pajak merupakan suatu hal yang mutlak.
2.3.2. Asas Revenue Productivity Asas ini merupakan asas yang lebih menyangkut kepentingan pemerintah sehingga asas ini oleh pemerintah yang bersangkutan dianggap sebagai asas yang paling penting. Sebagaimana diketahui, bahwa pajak mempunyai fungsi utama sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai kegiatan pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan (fungsi budgetair). Karena itu, dalam pemungutan pajak harus selalu dipegang teguh asas produktivitas penerimaan. Upaya ekstensifikasi maupun intensifikasi sistem perpajakan nasional serta penegakkan law enforcement, tidak akan berarti bila hasil yang diperoleh tidak memadai. Meskipun asas ini menyatakan bahwa jumlah pajak yang dipungut hendaklah memadai untuk keperluan menjalankan roda pemerintahan, tetapi hendaknya dalam implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan sampai terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Upaya untuk membuat ketentuan-ketentuan yang memperhatikan keseimbangan antara asas revenue productivity dengan asas equity di negara berkembang, pada umumnya masih belum diperhatikan karena kepentingan negara yang mengutamakan penerimaan.
17
Berbeda dengan asas-asas yang lain, asas revenue productivity dengan asas equity apabila dilihat dari kepentingannya berada dalam titik-titik ekstrem yang berbeda. Revenue productivity merupakan asas yang sangat terkait dengan kepentingan pemerintah, sedangkan asas equity sangat terkait dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suatu pemungutan pajak dikatakan optimal apabila dalam pemungutannya terpenuhi asas revenue productivity dengan tetap menjaga keadilan dalm pemungutannya. Dengan kata lain, pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang optimal adalah yang menghasilkan jumlah penerimaan yang memadai sekaligus memenuhi asas keadilan. Jumlah penerimaan yang memadai tersebut dibebankan secara adil apabila semua penghasilan dijumlahkan secara global dan atas semua penghasilan itu diterapkan satu struktur tarif progresif. Pembebanan pajak dikatakan adil apabila besarnya penghasilan kena pajak didasarkan pada jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis neto, yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak badan dengan tidak membuat perbedaan terhadap jenis atau sumber penghasilan.
2.3.3. Asas Ease of Administration Selain kedua asas di atas, yaitu equity dan revenue productivity, asas lain yang tak kalah penting adalah ease of administration. Asas ini sangat penting, baik untuk fiskus maupun wajib pajak. Prosedur pemungutan pajak yang rumit dapat menyebabkan wajib pajak enggan membayar pajak, dan bagi fiskus akan menyulitkan dalam mengawasi pelaksanaan kewajiban wajib pajak. Asas ini memiliki beberapa unsur, yaitu :
18
a.
Asas Certainty Asas ini menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak
maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar; b.
Asas Convenience Asas convenience (kemudahan/kenyamanan) menyatakan bahwa saat
pembayaran
pajak
hendaklah
dimungkinkan
pada
saat
yang
”menyenangkan”/memudahkan wajib pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau penghasilan lain seperti saat menerima bunga deposito. Asas convenience bisa juga dilakukan dengan cara membayar terlebih dahulu pajak yang terutang selama satu tahun pajak secara berangsur-angsur setiap bulan. Dengan demikian, pada akhir tahun pajak, wajib pajak tidak terlalu berat dalam membayar pajaknya dibandingkan dengan jika pajak yang terutang selama satu tahun pajak tersebut dibayar sekaligus pada akhir tahun; c.
Asas Efficiency Asas efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi fiskus pemungutan
pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin;
19
d.
Asas Simplicity Peraturan yang sederhana pada umumnya akan lebih pasti, jelas, dan
mudah dimengerti oleh wajib pajak. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu undang-undang perpajakan harus diperhatikan juga asas kesederhanaan.
2.3.4. Asas Neutrality Asas ini mengatakan bahwa pajak itu harus bebas dari distorsi, baik distorsi terhadap konsumsi maupun distorsi terhadap produksi serta faktor-faktor ekonomi lainnya. Artinya, pajak seharusnya tidak mempengaruhi pilihan masyarakat untuk melakukan konsumsi dan juga tidak mempengaruhi pilihan produsen untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, serta tidak mengurangi semangat orang untuk bekerja. Oleh karena itu, menaikkan tarif pajak belum tentu akan meningkatkan penerimaan pajak, bahkan sebaliknya mungkin akan menyebabkan penerimaan menurun. Begitu juga dalam memberikan insentif perpajakan. Kebijakan untuk memberikan insentif perpajakan tetap harus menjamin adanya level playing field yang fair sehingga tidak menyebabkan entry barrier.
2.4.
Klasifikasi Pajak
2.4.1. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung Penggolongan atau klasifikasi pajak yang paling sering digunakan adalah dengan membedakan antara pajak langsung dan pajak tidak langsung. Perbedaan antara kedua jenis pajak dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut ini :
20
Tabel 2. Perbedaan Pajak Langsung dengan Pajak Tidak langsung Pajak Langsung
Pajak Tidak Langsung
Dibebankan berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay) wajib pajak. Artinya, kondisi wajib pajak seperti besarnya penghasilan dan jumlah tanggungan menajdi salah satu faktor penentu besarnya beban pajak Beban pajak tidak dapat dialihkan.
Dibebankan tanpa memperhatikan kondisi wajib pajak, seperti besarnya penghasilan dan jumlah tanggungan.
Pada umumnya, yang menghitung, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang adalah wajib pajak itu sendiri.
Secara administratif, ada periodisasi pemungutan pajak (dibayar dan dilaporkan dalam satu periode seperti Tahun).
Beban pajak dapat dialihkan seluruhnya atau sebagian kepada pihak lain. Seperti PPn dan PPN yang diterapkan di Indonesia meskipun yang menanggung beban pajak adalah konsumen, tetapi yang memungut, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terutang adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Bisa terutang setiap saat.
Sumber : Rosdiana dan Tarigan (2005)
Pemahaman atas pembedaan antara pajak langsung dengan pajak tidak langsung perlu dilakukan, antara lain untuk mendesain prosedur perpajakan yang tepat bahkan untuk menentukan objek, subjek, dan tarif yang tepat. Karena nature antara pajak langsung dengan pajak tidak langsung berbeda, dalam beberapa hal, desain kebijakan dan implementasi antara keduanya tidak bisa disamakan.
2.4.2. Pajak Subjektif dan Pajak Objektif Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan keadaan wajib pajak, yaitu untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya. Besarnya tidak hanya berdasarkan faktor pendapatan atau kekayaan, tetapi masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
21
Contoh yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan pajak subjektif adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang objeknya adalah penghasilan seseorang. Hubungan antara beban pajak dan wajib pajak (subjek) adalah langsung karena besarnya beban PPh yang harus dibayar tergantung pada ability to pay. Pada pajak-pajak subjektif, keadaan pribadi wajib pajak sangat mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang terutang. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya, baru kemudian dicari syarat-syarat objektifnya. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal dari objeknya seperti keadaan, peristiwa, perbuatan, dan lain-lain, baru kemudian dicari orangnya yang harus membayar pajaknya, yaitu subjeknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa titik tangkap utama pajak subjektif adalah orang/badan, sedangkan titik tangkap utama pajak objektif adalah objek (benda, kedaan, peristiwa, perbuatan). Setiap negara dapat memungut pajak subjektif dari penduduk, juga dari bukan penduduk yang mempunyai kewarganegaraan negara itu, jika negara tersebut menganut asas domisili. Jika suatu negara menganut asas sumber, pajak dapat dipungut oleh suatu negara jika objeknya berlangsung di dalam wilayah negara itu, tanpa mempersoalkan di mana tempat tinggal/tempat kedudukan subjek pajak yang menerima penghasilan tersebut.
2.4.3. Pajak Pusat dan Pajak Daerah Pembedaan pajak yang sering juga dilakukan dalam suatu pemerintahan adalah pembedaan antara pajak pusat dengan pajak daerah. Pembedaan ini umumnya dilakukan untuk menentukan kewenangan pemungutan pajak dan menghindari adanya pajak berganda. Pada umumnya, pajak yang sudah dipungut
22
oleh pemerintah pusat tidak lagi dipungut oleh pemerintah daerah, begitu juga sebaliknya. Dalam pemungutan PPN di Indonesia, misalnya, pemerintah pusat tidak menjadikan makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, dan sejenisnya karena menghindari pajak berganda dengan pajak daerah.
2.5.
Tarif Pajak Tujuan pemungutan pajak adalah untuk mencapai keadilan dalam
pemungutannya. Salah satu cara untuk mewujudkan keadilan dapat ditempuh melalui sistem tarif. Berikut akan dijabarkan beberapa macam tarif (Lasmana, 1992), yaitu: a.
Tarif tetap, artinya tarif pajak yang besarnya tetap, tidak berubah, walaupun jumlah yang dijadikan dasar perhitungan berubah;
b.
Tarif proporsional, artinya tarif pajak yang persentase pemungutannya tetap, oleh karena itu pajak yang yang harus dibayar selalu akan berubah sesuai dengan jumlah yang dikenakannya. Dengan demikian, semakin besar jumlah yang dipajaki sebagai dasar, semakin besar pula jumlah utang pajaknya, tetapi kenaikan ini diperoleh dengan persentase yang sama;
c.
Tarif progresif, artinya tarif yang meningkat, yang berbentuk persentase juga. Maksudnya ialah semakin besar jumlah yang dikenai pajak (misalnya, penghasilan) maka akan semakin besar pula persentase kenaikan tarifnya;
d.
Tarif degresif, artinya tarif yang persentase pemungutannya semakin menurun dengan semakin besarnya jumlah yang dikenai pajak. Tarif ini lama kelamaan akan menimbulkan kesulitan, sebab pihak yang
23
berpenghasilan besar akan bebas dari pajak, sehingga sekarang tidak digunakan lagi; e.
Tarif Bentham, sekilas kelihatannya sebagai tarif proporsional, dengan suatu persentase tetap.
2.6.
Definisi Business Cycle Siklus bisnis didefinisikan sebagai pergerakan naik dan turun secara
berkala tetapi tidak dapat dipastikan kapan terjadinya, yang diakibatkan oleh fluktuasi pada GDP riil dan variabel makroekonomi lainnya (Moffat dalam Setiana, 2006). Sedangkan definisi business cycle yang tercantum dalam kamus ekonomi adalah sebagai fluktuasi dari tingkat kegiatan perekonomian (PDB ril) yang saling bergantian anatara masa deperesi dan masa kemakmuran (boom). Pada Gambar 4 terdapat empat tahapan dalam siklus perekonomian: tahap pertama adalah masa depresi (depression), yaitu suatu periode penurunan permintaan ageregat yang cepat yang dibarengi dengan rendahnya tingkat output dan tingkat pengangguran yang tinggi secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah; tahap kedua adalah tahap pemulihan (recovery), yaitu peningkatan permintaan ageregat yang dibarengi dengan peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran; tahap ketiga adalah masa kemakmuran (prosperity), yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati taraf output yang terus-menerus (PDB potensial) pada saat puncak siklus telah dicapai, dimana tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingkat harga-harga umum (inflasi); tahap keempat adalah masa resesi (recession), dimana permintaan agregat menurun, yang
24
mengakibatkan penurunan yang kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal, seiring dengan hal ini maka akan muncul masa depresi.
Tingkat Aktivitas Perekonomian
Kemakmuran Puncak
PNB potensial Resesi
(Trend)
Pemulihan
PNB aktual Depresi Lembah Waktu Sumber: Pass dan Lowes (1997)
Gambar 4. Tahapan Business Cycle Setiap siklus memiliki 2 jenis titik balik (turning points), yaitu titik puncak (peak) dan titik lembah (trough). Kedua titik balik ini menandakan sinyal apabila dari arah pergerakan siklikal suatu indikator berubah dari periode ekspansi ke periode kontraksi atau jika terjadi sebaliknya. Kedua titik balik ini hanya dapat ditentukan menggunakan data time series yang merupakan deviasi dari trend-nya, yaitu merupakan definisi dari business cycle yang digunakan dalam penelitian ini. Dapat disimpulkan bahwa tahapan ini akan datang silih berganti sepanjang waktu dalam perekonomian suatu negara.
25
2.7.
Teori Business Cycle Teori Business Cycle dikemukakan untuk mencari sumber penyebab
terjadinya siklus. Teori yang menyebutkan bahwa guncangan eksogen merupakan penyebab terjadinya fluktuasi disebut sebagai teori business cycle eksogen. Teori business cycle eksogen terdiri dari teori Real Business Cycle (RBC), Keynesian dan Monetarist.
2.7.1. Teori Real Business Cycle Leading indicator sendiri berkaitan dengan dengan teori real business cycle yang mengasumsikan harga adalah fleksibel bahkan pada jangka pendek. Dengan asumsi complete price flexibility, teori ini menganut classical dichotomy dimana variabel-variabel nominal, seperti pergerakan uang dan tingkat harga tidak mempengaruhi pergerakan variabel di sektor riil seperti output dan pengangguran (Mankiw, 2000). Untuk menjelaskan pergerakan di sektor riil termasuk investasi, teori ini menyatakan pergerakan tersebut disebabkan oleh faktor alami di sektor itu sendiri seperti terjadinya technological shock yang membuat produktivitas meningkat sehingga output dari perekonomian juga meningkat. Dengan kata lain semua
fluktuasi
di
sektor
riil
seperti
pertumbuhan
ekonomi,
tingkat
pengangguran, tingkat konsumsi, dan investasi merupakan hasil reaksi dari individu-individu terhadap perubahan dalam perekonomian. Dengan mengasumsikan bahwa uang adalah netral dalam ekonomi, teori ini mendapat kritik, karena data menunjukkan bahwa penurunan money supply selalu disertai dengan perubahan di sektor riil seperti tingginya pengangguran dan rendahnya output. Penganut teori ini memberikan argumentasi bahwa perubahan
26
dalam perekonomian seperti tingginya output akibat “faktor alami” akan mempengaruhi permintaan akan uang. Meningkatnya permintaan akan uang ini akan direspon oleh bank sentral dengan menambah money supply (Mankiw, 2000). Perubahan dalam perekonomian karena faktor-faktor alami ini akan menyebabkan terjadinya siklus dalam pergerakan variabel-variabel di sektor riil. Siklus ini dipercaya terjadi dalam setiap variabel di sektor riil dan dapat dilihat dengan menghilangkan faktor-faktor musiman, trend dan irregular dari data.
2.7.2. Teori New Keynesian Sebaliknya, ilmu ekonomi Keynesian baru didasarkan pada premis bahwa market-clearing model teori siklus bisnis riil tidak dapat menjelaskan fluktuasi ekonomi jangka pendek. Keynes menekankan bahwa permintaan agregat adalah determinan primer pendapatan nasional dalam jangka pendek. Menurut logika, output perekonomian dapat berfluktuasi baik karena tingkat output alami (natural rate of output) berfluktuasi atau karena output perekonomian menyimpang dari tingkat alamiahnya. Teori New Keynesian menekankan pentingnya ketidakstabilan permintaan agregat sebagai penyebab terjadinya fluktuasi ekonomi makro. Teori ini sama dengan teori business cycle moneter, menyatakan bahwa guncangan permintaan uang penting terhadap fluktuasi ekonomi. Namun guncangan moneter bukan merupakan satu-satunya penyebab fluktuasi seperti pendapat business cycle moneter.
27
2.7.3. Teori Business Cycle Moneter Teori business cycle moneter menekankan arti pentingnya guncangan permintaan, khususnya uang terhadap fluktuasi ekonomi, tetapi hanya dalam jangka pendek. Dalam business cycle moneter dan Keynesian uang mempengaruhi output, sebaliknya teori RBC menyatakan bahwa output mempengaruhi uang.
2.8.
Business Cycle Indicator Business Cycle Indicator (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator
yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga kategori timing indikator, yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu leading, lagging, dan coincident indicator. Variabelvariabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan perbedaan sistem ekonomi yang dianut suatu negara, kondisi perekonomian, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan, dan lain sebagainya.
2.8.1. Leading Indicator (Indikator Pendahulu) Pengertian leading indicator dalam kamus ekonomi ialah suatu rangkaian data statistik periode lalu yang menunjukkan kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada waktu mendatang dalam beberapa sektor ekonomi terkait, dan berdasar pada informasi ini dapat dibuat suatu ramalan tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun-tahun yang akan datang,
28
karena perubahan-perubahan tersebut selalu mengikuti pola yang konsisten pada kurun waktu yang relatif konstan. Indikator ini memiliki daya prediksi (prediktive power).
2.8.2. Lagging Indicator (Indikator Pengikut) Lagging Indicator atau indikator periode lalu adalah suatu rangkaian data statistik yang periode lalu telah menunjukkan kecenderungan yang mencerminkan perubahan-perubahan pada waktu lalu dalam beberapa sektor ekonomi yang saling berkaitan, dan berdasar informasi ini dapat dibuat suatu ramalan tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi pada tahun berjalan, karena perubahanperubahan tersebut mengikuti pola yang tidak berubah pada kurun waktu yang relatif sama.
2.8.3. Coincident Indicator (Indikator Pengiring) Coincident indicator adalah indikator yang begerak naik atau turun bersamaan dengan naik atau turunnya variabel utama atau kondisi yang terjadi dalam perekonomian. Indikator ini tidak meramalkan peristiwa-peristiwa ekonomi yang akan terjadi di masa depan, tapi jenis indikator ini berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam perekonomian atau pasar saham.
2.9
Teknik Analisis Siklikal Terdapat tiga metode analisis yang dapat digunakan dalam menganalisa
pergerakan siklikal, yaitu business cycle analysis, growth cycle analysis, dan
29
smoothed growth rate cycle analysis. Berikut ini akan dijabarkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teknik analisis siklikal:
2.9.1. Business Cycle Analysis Dalam Business Cycle Analysis atau yang lebih dikenal dengan metode klasik, analisis siklikal dilakukan dengan melihat pergerakan business cycle dari gerakan ekspansi dan kontraksi kegiatan perekonomian secara absolut (absolut level). Perekonomian dikatakan berada dalam kondisi ekspansi jika secara absolut business cycle menunjukkan kenaikan. Sebaliknya jika secara absolut business cycle menunjukkan penurunan, maka perekonomian berada dalam kondisi resesi (Buchori, 1998). Mitchell dan Burns sebagai peneliti pertama yang membentuk leading indicator menggunakan pendekatan klasik dalam mendefinisikan business cycle pada tahun 1946. Metode ini kurang dapat diterapkan untuk negara dengan perekonomian yang terus-menerus mengalami kenaikan secara absolut (fast growing economies) seperti Indonesia hingga tahun 1997, karena tidak akan pernah ditemukan gerakan business cycle-nya.
2.9.2. Growth Cycle Analysis Pendekatan growth cycle adalah modifikasi dari teori real business cycle, dimana growth cycle merupakan siklus naik/turun pertumbuhan PDB relatif terhadap trend-nya. Dalam hal ini yang termasuk dalam kontraksi growth cycle adalah perlambatan seperti penurunan absolut dalam aktivitas ekonomi, sementara
30
yang termasuk kontraksi business cycle hanya penurunan absolut/resesi (Setiana, 2006). Penggunaan growth cycle mengemuka setelah leading indicator yang berdasarkan pendekatan classical cycle tidak mampu menjelaskan masa ekspansif perekonomian, khususnya di Amerika Serikat dan Jerman, pada sekitar tahun 1960-an. Perbedaan utama antara growth cycle dan classical cycle terletak pada perhitungan masa ekspansi dan masa kontraksi. Pada classical cycle, perhitungan masa ekspansi dan kontraksi tersebut mengenakan level absolutnya. Sebagai contoh, suatu ekonomi belum dikatakan mencapai titik lembah apabila nilai absolutnya tidak menunjukkan kontraksi. Sementara itu, penentuan titik balik pada growth cycle berdasarkan pada perhitungan trend jangka panjangnya atau dengan kata lain growth cycle ditunjukkan oleh pembalikan arah dari suatu cycles di sepanjang trend jangka panjangnya. Menurut Niemira dan Klein (1994), pendekatan growth cycle ini juga dianggap
memiliki
beberapa
kelebihan
bila
dibandingkan
dengan
classical/traditional cycles, yaitu: a. Jumlah cycles yang dihasilkan oleh growth cycles lebih banyak karena growth cycle lebih sensitif dalam menunjukkan perubahan, bahkan untuk perubahan yang tidak terlalu drastis (mild) sekalipun, dalam kurun waktu yang sama, bila dibandingkan dengan yang dihasilkan classical cycles; b. Panjang dan amplitudo growth cycles lebih simetris dibandingkan dengan classical cycles; c. Dalam memprediksi cycles menggunakan pendekatan growth cycles, hasilnya akan lebih akurat bila dibandingkan dengan classical cycles.
31
2.9.3. Smoothed Growth Rate Cycle (SMGR) Analysis Metode ini menganalisis business cycle dengan cara membandingkan pertumbuhan perekonomian dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya melalui proses pemulusan (smoothing). Proses pemulusan ini dilakukan untuk menghilangkan titik-titik ekstrem apabila pertumbuhan point-to-point dihitung langsung. Pertumbuhan ekonomi dikatakan meningkat apabila Smooth Growth Rate (SMGR) positif dan sebaliknya menurun apabila SMGR negatif. Pada saat SMGR menurun, kemungkinan akan mendahului atau dapat bersamaan dengan penurunan business cycle sebagai sinyal terjadinya resesi. Metode perhitungan SMGR ini dikembangkan oleh Geoffrey H. Moore dan Victor Zarnowitz, dan rumus perhitungannya adalah sebagai berikut: - Untuk data dalam bentuk value level,
- Untuk data dalam bentuk rate (growth),
2.10. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang indikator dini dari business cycle untuk berbagai negara di dunia telah banyak dilakukan, tetapi hasil yang didapatkan berbeda-beda, terutama dalam pemilihan variabel yang menjadi indikator dini, hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi dan sejarah perekonomian suatu negara. Beberapa penelitian terus mengembangkan model yang terbaik yang dapat dipergunakan untuk memprediksi perekonomian negara beberapa waktu ke depan. Beberapa penelitian yang berhubungan
dengan business cycle telah
banyak dilakukan di Indonesia, seperti penelitian Wuryandari, et.al (2002) tentang
32
leading economic indicator ekonomi dan leading indikator inflasi dengan menggunakan metode OECD dan PDB sebagai seri acuannya. Dengan menggunakan pendekatan growth cycle tersebut berhasil dibentuk leading indikator inflasi (LII) dan leading indikator ekonomi (LEI) dengan kemampuan prediksi yang lebih baik yaitu 11 bulan untuk LII dan 6 bulan untuk LEI. CLI dapat memprediksi titik balik dari siklus pertumbuhan PDB sekitar enam bulan sebelumnya. Komponen pembentuknya adalah produksi batu bara, BBM, PDB Jepang, total impor, Real Effective Exchange Rate (REER), dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Sedangkan penelitian tentang leading indicator investasi Indonesia dengam menggunakan metode OECD yang dilakukan Kusuma, et.al (2004) didapat suatu leading indicator investasi berjangka pendek yang kemampuan prediksinya antara 1,5 sampai 4,5 bulan ke depan. Dengan diketahuinya turning point baik titik puncak atau titik lembah dari leading indicator investasi dapat dilihat bagaimana kondisi investasi sampai dengan 4,5 bulan ke depan apakah dalam kondisi kontraksi ataupun ekspansi. Bugarin (1999) dalam papernya yang berjudul Progressive Taxation and the Real Business Cycle menggunakan Linear Quadratic (LQ) approach untuk melihat dampak dari pajak progresif terhadap RBC. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak progresif memiliki pengaruh yang nyata terhadap variabel agregat yang utama (labor, capital stock, consumption, output) dan juga memiliki volatilitas yang lebih tinggi dibandingkan pajak proporsional dengan menggunakan data time series dari U.S.
33
Konishi (2006) dalam papernya yang berjudul Spending Cuts or Tax Increases? The Composition of Fiscal Adjustment as a Signal menggunakan analisis secara deskriptif untuk melihat dampak dari kebijakan pemotongan belanja negara atau peningkatan pajak. Hasilnya didapat bahwa jika pemerintah melakukan kebijakan pemotongan belanja negara, maka pemerintahan tersebut akan dipilih kembali dalam pemilihan pemerintahan yang baru, sedangkan jika pemerintah melakukan kebijakan peningkatan pajak, maka pemerintahan tersebut tidak akan terpilih kembali dalam pemilihan selanjutnya. Penelitian yang dilakukan Nasution (2003) mengenai analisis potensi dan pertumbuhan penerimaaan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia periode 19902000 menunjukkan bahwa potensi dan pertumbuhan penerimaan PPh diantaranya dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor-faktor PDB, jumlah wajib pajak, dan jumlah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Suryana (2005) mengenai analisis pengaruh penerimaan negara dari sektor pajak terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan analisa secara deskriptif dan statistik, menunjukkan bahwa penerimaan negara dari pajak dalam negeri secara keseluruhan atau penerimaan negara dari PPh, PPN, dan PBB tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
34
2.11.
Kerangka Pemikiran Dalam kerangka pemikiran ini pembentukan leading indicator pajak
nenggunakan metode yang dikembangkan oleh the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pada dasarnya, metode ini mengacu pada metode dasar yang dikembangkan oleh NBER. Penelitian ini menggunakan pajak sebagai series acuannya. Sebelum dapat ditentukan titik balik dari pergerakan siklikal seri acuan, maka data dibersihkan dari unsur musiman dan irregular menggunakan program seasonal adjusted. Tetapi karena data yang digunakan dalam bentuk tahunan, maka penghilangan unsur musiman tidak dilakukan. Karena data tahunan diasumsikan tidak mengandung fluktuasi musiman. Estimasi trend dilakukan menggunakan metode HPF, sedangkan poses detrending (pemisahan unsur trend dan siklikal) dilakukan dengan mengurangi nilai seri data yang telah dihilangkan unsur musimannya dengan seri data trend yang telah diestimasi sebelumnya. Penentuan titik balik baik untuk seri acuan maupun variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada kriteria Bry-Boschan. Komposit hanya menggabungkan variabel-variabel yang tergolong dalam leading indicator setelah memenuhi kriteria statistik, dan pergerakan siklikalnya terjadi lebih dulu daripada pergerakan siklikal seri acuan. Proses pembentukan CLI dilakukan setelah data diseragamkan periodenya, selanjutnya menormalisasi data detrended variabel-variabel ekonomimakro yang merupakan komponen komposit, dan merubahnya ke dalam bentuk indeks. Tahapan terakhir dalam pembentukan komposit adalah agregasi seluruh variabel yang tergolong dalam leading indicator yaitu dengan dicari nilai rata-ratanya.
35
Tanda panah yang tedapat dalam gambar berikut (Gambar 5) menunjukkan urutan dalam prosedur pembentukan Composite Leading Iindicator (CLI). Setiap tahapan memiliki prosedur ataupun bahan pertimbangannya masing-masing. Output merupakan hasil yang diharapkan dapat diperoleh jika prosedur dan pertimbangan tersebut dilakukan. Untuk lebih jelasnya, pembahasan setiap tahapan akan dijelaskan dalam bab berikutnya, yaitu bab metode penelitian. Penentuan Series Acuan: • Single series (pajak) • Lag data • Aktual data atau proxy • Output: reference series dan nilai stastistik
Penentuan Titik Balik Series Acuan: • Prosedur awal: • Seasonal adjusted (tidak dilakukan) • Estimasi trend HPF • Detrending • Prosedur Bry-Boschan • Output: peak and through
Pemilihan Komponen Pembentuk Komposit: • Relevansi ekonomi • Ketersediaan data • Kriteria Statistik • Output: komponen komposit
Pembentukan Komposit Indikator: • Penyeragaman model • Normalisasi • Agregasi dan penentuan titik balik • Output: CLI dengan titik balik dan nilai statistiknya Gambar 5. Pembentukan CLI Berdasarkan Metode OECD
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data yang dipakai dalam penelitian ini diperoleh dari IFS (International Financial Statistics), ADB (Asian Development Bank), dan SEKI (Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia). Data-data yang digunakan ialah pajak (P), nilai tukar (ER), M1, konsumsi pemerintah (KP), konsumsi rumah tangga (KRT), konsumsi swasta (KS), cadangan devisa (IR), total impor (M), total expor (X), ekspor minyak mentah (XM), ekspor kayu lapis (XKL), ekspor kopi (XK), produksi tembaga (PT), produksi timah (PTimah), gni perkapita (GNI), dan IHSG. Awalnya data yang diperlukan adalah dari tahun 1987-2007. Tetapi data yang didapat dari ADB hanya sampai tahun 2006. Jadi, dalam penelitian ini data yang digunakan ialah dari tahun 1986-2006. Data yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.
3.2.
Metode Analisis Data Pembentukan leading indicator dengan menggunakan metode yang
digunakan oleh OECD pada dasarnya juga merujuk pada metode dasar dari business cycle yang dikembangkan oleh NBER (National Bureau of Economic Research). Ide dasar dari penggunaan leading indicator didasarkan pada fakta bahwa secara statistik data time series terdiri dari empat komponen, yaitu seasonal factor, cyclical factor, trend, dan irregular component. Dalam metode ini, komponen siklikal dipisahkan dari ketiga komponen lainnya. Setelah itu,
37
komponen siklikal tersebut dianalisis gerakannya dan dibandingkan dengan gerakan siklikal dari indikator yang dijadikan seri acuan. Karena penelitian ini tentang leading indicator untuk pajak, maka yang dijadikan seri acuan ialah variabel pajak itu sendiri. Proses penghilangan faktor musiman dan irregular dilakukan dengan mengunakan program X-12 dalam Eviews 4.1. Karena pajak datanya tersedia dalam bentuk tahunan, maka tidak perlu dilakukan proses penghilangan faktor musiman, karena by definition data tahunan sudah bersih dari unsur musiman. Setelah bersih dari unsur musiman dan irregular, selanjutnya dilakukan proses estimasi trendnya menggunakan metode Hodrick-Prescott filter yang juga terdapat pada program Eviews 4.1. Untuk menganalisis perbandingan gerakan siklikal antara kandidat komponen dan seri acuan menggunakan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang (cross correlation). Berikut adalah tahapan dari proses pembersihan data: a)
Adjusting for seasonality Data time series yang digunakan harus bersih dari unsur musiman dan
irregular. Pembersihan data time series dari unsur musiman dan irregular dilakukan dengan menggunakan program X-12 dari Eviews 4.1. Tahapan ini tidak perlu dilakukan karena data yang digunakan dalam penelitian dalam bentuk tahunan. Karena data tahunan diasumsikan sudah tidak mengandung unsur musiman lagi. b)
Estimasi trend Dalam penelitian ini, trend data dibentuk dengan mengggunakan metode
Hodrick-Prescott filter.
38
3.2.1
Metode Hodrick-Prescott filter Seperti yang telah dielaskan sebelumya, untuk mengestimasi trend dan
kemudian menghilangkannya dilakukan dengan metode HP filter. Metode HP filter merupakan alat analisis ekonomi yang sederhana dan sangat fleksibel dan merupakan pilihan inti dari trend. Komponen trend bersifat stokastik tapi bergerak mulus sepanjang waktu dan tidak berhubungan dengan komponen siklikal. Metode HP filter membutuhkan perhitungan dari komponen trend yaitu Y* untuk t=1,2,3,… dari data seri yang telah dihilangkan unsur musiman dan irregularnya, yaitu Y. T dapat diestimasi dengan meminimalisasi fungsi kerugiannya, yaitu (Setiana, 2006) : T
T-1
2
Σ (Yt-Y*t) + λ Σ [(Y*t+1-Y*t) – (Y*t-Y*t-1)]2 t=1
(3.1)
t=2
dimana λ merupakan parameter yang merefleksikan varian dari komponen trend relatif terhadap komponen siklikal. Bisa juga diartikan sebagai faktor pembobot yang mengontrol seberapa mulus hasil trend tersebut. Nilai λ yang rendah akan menghasilkan trend yang mengikuti seri yang telah dihilangkan unsur musimannya secara dekat, sedangkan nilai λ yang tinggi tidak akan menghasilkan fluktuasi jangka pendek dari seri yang telah dihilangkan unsur musimannya. Nilai λ untuk data tahunan adalah 100, dan untuk data triwulanan adalah 1600, sedangkan untuk data bulanan, nilai λ yang diberikan adalah 14400. c)
Detrending Setelah seri acuan bersih dari fluktuasi musiman dan irregular maka tahap
selanjutnya yang harus dilakukan ialah memisahkan unsur siklikal dari unsur trend. Tahapan ini dilakukan dengan cara mengurangi seri data yang telah dihilangkan unsur musiman dan irregularnya menggunakan program seasonal
39
adjusted dengan seri data yang telah dihilangkan unsur trendnya menggunakan metode HP filter. Hasil akhirnya berupa pergerakan siklikal acuan, yang kemudian dapat dilihat bentuk business cyclenya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karena data yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk tahunan, maka penghilangkan unsur musiman tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan data tahunan diasumsikan telah bersih dari unsur musiman. Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya dilakukan proses pengestimasian dan penghilangan trend menggunakan HP filter. Setelah seri data bersih dari unsur musiman, irregular, dan trend maka selanjutnya dapat dilakukan perbandingan gerakan siklikal antara kandidat komponen dan seri acuan menggunakan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang (cross correlation). Hasil dari analisis cross correlation akan menentukan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ke dalam kategori business cycle indicator yaitu leading indicator, lagging indicator, ataupun coincident indicator.
3.2.2. Cross Correlation Metode ini digunakan untuk menganalisis dan menentukan apakah variabel-variabel yang terkait dengan pajak, jika dikorelasisilangkan dengan seri acuan akan menjadi leading indicator, lagging indicator, atau coincident indicator, atau lagging indicator. Jika ternyata ada beberapa variabel yang dapat dijadikan leading indicator, maka bisa dibentuk Composite Leading Indicator (CLI). Korelasi silang (cross correlation) antara dua variabel, katakan x dan y dapat dihitung:
40
dimana: l = 0, ±1, ±2,…
dan
dimana: l = 0, 1, 2, … dimana: l = 0, -1, -2, …
3.2.3. Leading Indicator Berdasarkan Metode OECD Shock baik yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal menyebabkan fluktuasi atau volatilitas dalam aktifitas ekonomi. Dalam jangka panjang fluktuasi tersebut akan mengakibatkan naik atau turunnya aktifitas perekonomian. Pelajaran dari banyak negara menunjukkan bahwa perilaku naik turunnya perekonomian seringkali terulang pada masa-masa sesudahnya dan membentuk suatu siklus. Karena sifatnya yang berulang, maka deteksi dini atau peramalan siklus perekonomian tersebut sangatlah penting, baik bagi pemerintah maupun dunia usaha dalam rangka perencanaan dan formulasi kebijakan di bidang ekonomi serta pengambilan keputusan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk peramalan siklus perekonomian adalah dengan leading indicator. Pendekatan leading indicator untuk peramalan ekonomi dan siklus bisnis, dipelopori oleh National Bureau of Economic Research (NBER) Amerika Serikat lebih dari setengah abad lalu dan sekarang digunakan secara luas dalam memprediksi titik balik dari siklus bisnis di banyak negara. Business cycle merupakan rangkaian fase ekspansi dan kontraksi ekonomi atau kondisi finansial dalam tingkat level. Dalam pembentukan leading indicator, OECD menggunakan pendekatan growth cycle yang menggambarkan
41
pergerakan siklus sebagai deviasi series terhadap trend jangka panjangnya. Titik puncak (peak) dari siklus dalam pendekatan growth cycle (ekspansi) terjadi pada saat series jauh berada diatas trend levelnya dan sebaliknya untuk kondisi trough (resesi). Dalam analisa growth cycle pada umumnya titik puncak cenderung terjadi lebih dulu dibandingan titik puncak yang terjadi pada business cycle. Selain itu, frekuensi perolehan siklus dalam growth cycle cenderung jauh lebih banyak dan bersifat simetris dalam jarak waktu siklus peak maupun trough, dibandingakn dengan siklus pada business cycle. Lebih lanjut, titik balik yang terjadi pada leading indicator dengan pendekatan growth cycle dapat menangkap semua titik balik yang terjadi pada pergerakan siklikal dengan pendekatan business cycle. Dengan kata lain, business cycle cenderung hanya menangkap siklus jangka panjang sedangkan growth cycle cenderung menangkap seluruh siklus jangka pendek maupun panjang (Wuryandari, et.al 2002). Secara umum, proses pembentukan CLI yang dilakukan oleh OECD (Wuryandari, et.al 2002) adalah sebagai berikut: 1.
Pemilihan dan Penetapan Series Acuan (Reference Series) Dalam pembentukan leading indicator, pertama-tama perlu ditentukan
lebih dulu series apa yang akan menjadi acuan (reference series) atau series yang akan diprediksi pergerakannya melalui Leading Indicator (LI). Penentuan seri acuan ini penting karena pemilihan kandidat komponen maupun pembentukan LI akan merujuk pada series tersebut. Karena penelitian ini akan membahas tentang leading indicator untuk pajak, maka yang akan dijadikan sebagai reference series ialah variabel pajak.
42
2.
Penentuan Titik Balik (Turning Points) dari Reference Series Setelah menetapkan series yang akan digunakan sebagai acuan, kemudian
ditentukan terjadinya titik balik (turning points) puncak dan lembah dari perilaku siklus historis seri referensi. Proses identifikasi titik balik (turning point) berdasarkan metode Bry-Boschan routine. Adapun kriteria Bry-Boschan routine adalah sebagai berikut: a.
Durasi dari suatu fase (dari peak ke trough atau trough ke peak) minimal 5 bulan;
b.
Durasi suatu siklus (dari peak ke trough atau trough ke peak) minimal 15 bulan;
c.
Apabila terdapat flat turning point zone atau 2 titik balik yang berdekatan, maka titik terakhir yang dipilih sebagai titik balik;
d.
Apabila terdapat nilai ekstrim yang berbalik arah (fully reserved) dalam waktu singkat, maka nilai tersebut diabaikan. Dengan mengetahui timing dari siklus seri referensi, maka dapat
ditentukan apakah pergerakan suatu indikator ekonomi mendahului (leading), mengikuti (lagging) atau bersamaan (coincident) dengan pergerakan variabel ekonomi. 3.
Pemilihan Kandidat/Komponen Indicator (CLI)
Pembentuk
Composit
Leading
Sebelum dilakukan pemilihan kandidat komposit, perlu diuji apakah data yang dipilih memiliki pergerakan co-movement terhadap series acuan yang bersifat leading, lagging, atau coincident. Sebelum ditetapkan sebagai kandidat, maka perlu dilakukan beberapa pertimbangan dalam melakukan seleksi terhadap data variabel :
43
1)
Ketersediaan Data: a.
Sedapat mungkin menggunakan data dengan frekuensi publikasi yang lebih tinggi;
b.
Data tidak sering direvisi;
c.
Publikasi data dalam waktu cepat (timeliness of publication) dan mudah diperoleh;
d.
Data
tersedia
dalam
rentang
waktu
yang
panjang
dan
berkesinambungan, serta tidak terdapat data yang terputus. 2)
Relevansi Ekonomi Data memiliki makna ekonomi yang sangat berkaitan dengan seri referensi. Karena seri acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pajak, maka data yang digunakan harus memiliki hubungan terhadap pajak. Karena dalam penyusunan APBN pengeluaran yang menentukan penerimaan, maka beberapa variabel yang dipakai ialah pengeluaran pemerintah, pengeluaran pendidikan, pengeluaran kesehatan, konsumsi pemerintah, konsumsi swasta, konsumsi rumah tangga. Karena pajak juga dikenakan terhadap beberapa barang tambang, maka beberapa variabel yang menyangkut produksi digunakan dalam penelitian ini, seperti: produksi nikel, produksi tembaga, dan produksi timah. Dan keterkaitan beberapa variabel dalam penelitian ini dengan pajak, akan dibahas pada sub-bab selanjutnya.
44
3)
Stasioneritas Data yang akan digunakan sebagai variabel dalam komposit harus merupakan data stasioner yang telah bersih dari unsur seasonal (musiman), irregular dan trend.
4)
Perilaku Siklikal a.
Panjang serta konsistensi periode leading dari titik balik indikator terhadap titik balik seri referensi;
b.
Cyclical conformity antara kandidat indikator dengan seri referensi. Indikator dengan pergerakan siklikal yang memiliki korelasi tinggi dengan seri referensi akan menjadi pemandu yang baik untuk memperkirakan titik balik seri referensi;
c.
Tidak terdapat siklus ekstra ataupun siklus yang hilang (missing cycles) dibandingkan dengan pergerakan siklus seri referensi;
d.
Data mulus, yaitu pergerakan siklikal dapat dengan mudah dibedakan dari pergerakan data yang acak (irregular).
Sebelum dilakukan proses perhitungan deviasi dari trend, struktur data series kandidat dan acuan harus diketahui sehingga perlakuan penentuan deviasi dapat dibedakan sebagai berikut: a. Series bersifat multiplicative (amplitude dari komponen musiman meningkat sejalan dengan berjalannya periode) dilakukan perhitungan ratio to trend; b. Series bersifat additive (amplitude dari komponen musiman cenderung sama sepanjang periode) atau jika terdapat data yang bernilai negatif maka dilakukan perhitungan difference from trend.
45
Untuk mengetahui turning point series kandidat, dilakukan proses yang sama sebagaimana penetapan turning point pada seri acuan dengan menggunakan BryBoschan routine. 4.
Pembentukan Composit Leading Indicator Setelah melakukan pemilahan dan penyaringan atas variabel-variabel yang
akan menjadi kandidat atas komposit indikator, tahap selanjutnya adalah menyusun komposit indikator. Tahapan pembentukan komposit leading indikator adalah sebagai berikut: 1)
Penyeragaman periode Seri data kandidat yang telah terpilih diseragamkan periodenya. Karena pajak hanya tersedia dalam bentuk tahunan, maka semua data yang digunakan juga harus dalam bentuk tahunan.
2)
Normalisasi Tahap selanjutnya adalah melakukan normalisasi seri data. Prosedur ini dilakukan agar seluruh pergerakan siklikal memiliki amplitude yang sama. Tanpa proses normalisasi ini maka pergerakan siklikal komposit indikator dapat didominasi oleh pergerakan indikator dengan amplitude siklikal yang besar. Metode normalisasi yang digunakan adalah dengan mengurangi seri data dengan nilai rata-rata, sehingga diperoleh angka selisih. Selanjutnya, membagi angka selisih dengan rata-rata dari nilai absolut selisih tersebut. Terakhir, data yang telah dinormalisasi tersebut diubah ke dalam bentuk indeks dengan cara menambahkan nilai 100.
46
3)
Lagging Tahap ini hanya dilakukan apabila kandidat indikator yang dipilih terbagi dalam dua kelompok yaitu “longer leading” dan “shorter leading”. Pembentukan komposit yang terdiri dari kedua kelompok indikator tersebut dapat memberikan hasil yang kurang baik. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dari hasil adalah dengan memajukan periode lead dari longer leading indicator. Tahapan ini tidak dilakukan karena dalam penelitian ini tidak ada pembagian kelompok dalam kandidat indikator.
4)
Pembobotan Penggabungan beberapa indikator ke dalam suatu komposit dapat dilakukan dengan memberikan bobot yang berbeda kepada setiap indikator berdasarkan, misalnya, berdasarkan kemampuan secara historis untuk memprediksi siklus. Dalam hal ini OECD menggunakan nilai bobot yang sama (equal weights) untuk setiap indikator pembentuk komposit, karena secara tidak langsung pembobotan telah dilakukan dalam proses normalisasi.
5)
Agregasi Tahap selanjutnya adalah pembentukan indeks komposit, yaitu dengan menghitung nilai rata-rata dari seluruh indikator yang dipilih.
3.2.4. Kategori Volatilitas Proses penentuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal suatu indikator dilakukan dengan cara mencari nilai standar deviasi dari seri data terlebih dahulu untuk kemudian dibagi dengan nilai rata-rata dari seri data yang
47
telah dipisahkan unsur trendnya (Setiana, 2006). Hasil dari pembagian tersebut diubah menjadi bentuk persentase. Kriteria yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
CV > 100%
: tergolong volatilitas tinggi
50% < CV < 100%
: tergolong volatilitas medium
CV < 50%
: tergolong volatilitas rendah
Berikut merupakan cara perhitungan matematisnya: 2)
Dari dua persamaan di atas, maka dapat dirumuskan penghitungan CV-nya adalah:
Keterangan: S = standar deviasi X = nilai rata-rata
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Perpajakan di Indonesia Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak dan rasio perpajakan
terhadap PDB (tax ratio) secara bertahap, telah dan akan terus dilakukan langkahlangkah penyempurnaan terhadap kebijakan perpajakan dan sistem administrasi perpajakan, agar basis pajak dapat semakin diperluas, dan potensi pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal. Dalam langkah-langkah tersebut, rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB dalam tiga tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Penerimaan Perpajakan di Indonesia Tahun Penerimaan Perpajakan a. Penerimaaan Dalam Negeri i. PPh 1. PPh Migas 2. PPh Non-Migas ii. PPN iii.PBB iv. BPHTB v. Cukai vi. Pajak Lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak/Pungutan Ekspor Tax Ratio
2005 (APBN) 297.844,1 285.481,4 142.192,6 13.568,6 128.624,0 98.828,4 10.272,2 3.214,7 28.933,6 2.039,9 12.362,7 12.017,9 344,8 17,4
(dalam Miliar Rupiah) 2006 2007 (APBN-P) (APBN-P) 425.053,1 492.010,9 410.226,4 474.551,0 213.698,0 251.748,3 38.686,0 37.267,6 175.012,0 214.480,7 132.876,1 152.057,2 18.153,8 22.025,8 4.386,2 3.965,5 38.522,6 42.034,7 2.589,7 2.719,5 14.826,7 17.459,9 13.583,0 14.417,6 1.243,7 3.042,3 21,1 13,1
Sumber : Nota Keuangan, Departemen Keuangan, berbagai edisi
Realisasi penerimaan perpajakan dalam tahun 2007 diperkirakan mencapai Rp.489.891,8 miliar atau 13,0 persen terhadap PDB. Jumlah ini berarti lebih rendah Rp.2.119,1 miliar atau 0,4 persen bila dibandingkan dengan sasaran
49
penerimaan perpajakan yang ditetapkan dalam APBN-P 2007 sebesar Rp.492.010,9 miliar (13,1 persen terhadap PDB). Demikian pula, apabila dilihat dari rasionya terhadap PDB, perkiraan realisasi penerimaan perpajakan tersebut menunjukkan penurunan. Namun, apabila dibandingkan dengan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2006 sebesar Rp.409.054,3 miliar (12,3 persen terhadap PDB), maka perkiraan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2007 tersebut justru menunjukkan peningkatan sebesar Rp.80.837,6 miliar atau 19,8 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkiraan realisasi penerimaan perpajakan dalam tahun 2007 tersebut diantaranya adalah: (i) perkembangan berbagai variabel ekonomi makro; (ii) berbagai langkah kebijakan perpajakan yang telah dan akan dilakukan dalam tahun 2007, seperti kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok, pengenaan tarif spesifik atas cukai tembakau, dan pemberian fasilitas perpajakan (PPh, PPN dan PPnBM, dan bea masuk); serta (iii) langkahlangkah administrasi perpajakan yang telah dan akan dilakukan dalam tahun 2007 (Nota Keuangan, 2007). Perkiraan realisasi penerimaan perpajakan tersebut terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri sebesar Rp.472.756,9 miliar atau 12,5 persen terhadap PDB, dan pajak perdagangan internasional Rp.17.134,9 miliar atau 0,5 persen terhadap PDB. Penerimaan pajak dalam negeri tersebut terdiri dari PPh, PPN dan PPnBM, PBB, BPHTB, cukai, dan pajak lainnya, sedangkan pajak perdagangan internasional terdiri dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor. Lebih tingginya perkiraan realisasi penerimaan dalam negeri tahun 2007 dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2006 tersebut terutama disebabkan
50
oleh lebih tingginya perkiraan realisasi penerimaan perpajakan, khususnya yang bersumber dari penerimaan PPh nonmigas, PPN dan PPnBM, PBB, serta cukai.
4.2.
Karakteristik dan Titik Balik Pajak Seri acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pajak, karena
penelitian ini membahas tentang leading indicator untuk pajak. Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam kebijakan fiskal selain pengeluaran pemerintah. Dibawah ini disajikan gambar perkembangan pajak dalam bentuk logaritma dari tahun 1986 sampai dengan tahun 2006. Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum penerimaan pemerintah dari sektor pajak mengalami peningkatan dari tahun 1986 sampai tahun 2006. Tetapi pada tahun 1996 dan 2000 mengalami penurunan, dan setelah tahun 2000, secara umum pajak mengalami peningkatan. Sejak tahun 2000, kebijaksanaan keuangan negara yang tercermin dalam APBN didasarkan kepada anggaran defisit, artinya bahwa defisit anggaran dibiayai dengan sumber-sumber pembiayaan dari dalam dan luar negeri. Namun mulai tahun 2005, penyusunan RAPBN menggunakan format baru. Format dan struktur baru dalam APBN mengikuti format anggaran terpadu (unified budget) yang meniadakan pengelompokkan antara anggaran rutin dan pembangunan. Reformasi perpajakan di Indonesia sejak diluncurkan tahun 1983 dan diberlakukan tahun 1984 telah memberikan pengaruh positif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini terbukti dengan peningkatan penerimaan pajak hampir disetiap tahunnya.
51
Reformasi perpajakan di Indonesia yang pertama kali diluncurkan pada tahun 1983 merombak sistem perpajakan yang paling mendasar, yaitu digantikannya sistem official assessment menjadi self assessment. Dalam sistem baru ini, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan sendiri kewajiban pajaknya, mulai dari menghitung sendiri penghasilannya, menghitung sendiri pajak yang terutang, membayar sendiri pajak yang terutang, dan melaporkan
sendiri
pemenuhan
kewajiban
pajaknya.
Melalui
reformasi
perpajakan tahun 1983, diluncurkanlah beberapa UU tentang perpajakan. Pada tahun 1994, pemerintah merilis reformasi perpajakan kedua untuk merespon berkembangnya perekonomian dan pengaruh globalisasi dunia yang semakin kuat. Reformasi perpajakan yang dilakukan di tahun 1994 banyak mengadopsi perkembangan baru di bidang perpajakan, khususnya secara teknis perpajakan yang makin mengurangi kesenjangannya dengan praktik akuntansi. Pada tahun 2001, pajak mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dikarenakan pemerintah melakukan reformasi perpajakan untuk ketiga kalinya pada tahun 2000. Reformasi perpajakan di tahun 2000 dilakukan dengan mengeluarkan lima UU baru. Mengiringi reformasi perpajakan tahun 2000, pada tahun 2002 pemerintah juga meluncurkan UU No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak untuk menggantikan UU No.17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Perubahan ini cukup kruisial karena merombak struktur badan peradilan pajak yang sebelumnya dikendalikan penuh oleh Direktorat Jenderal Pajak menjadi suatu badan peradilan independen yang tunduk pada struktur peradilan di bawah Mahkamah Agung.
52
Selain reformasi perpajakan tersebut, pada tahun 2001 penerimaan negara lebih tinggi dibandingkan tahun 2000, dikarenakan adanya kenaikan tarif pajak penghasilan atas deposito, tabungan, dan SBI dari 15 persen menjadi 20 persen, peningkatan ekstensifikasi PPh dan intensifikasi pemungutannya, pencabutan berbagai fasilitas PPN dan PPnBM yang diberikan kepada pengusaha kena pajak tertentu, dan optimalisasi program penyisiran (canvassing) wajib pajak terutama kepada pedagang eceran yang memiliki omzet di atas Rp. 360 juta per tahun (Bank Indonesia, 2001).
LPajak 7.8
Deviasi dari Trend
7.6 7.4 7.2 7.0 6.8 6.6 6.4 86
88
90
92
94
96
98
00
02
04
06
Gambar 6. Grafik Log Pajak
Setelah melihat Gambar 6, dapat disimpulkan bahwa penerimaan negara dari pajak pada tahun-tahun yang akan datang akan terus meningkat. Target penerimaan negara dari pajak pada tahun 2008 ialah sebesar Rp. 591.38 Triliun.
53
Target tersebut lebih tinggi 25 persen dari realisasi penerimaan 2007 yang mencapai Rp. 420 Triliun dan Rp. 350 Triliun pada 2006. Pada Tabel 4 di bawah ini terlihat penerimaan pajak dari tahun 2000 hingga 2004 mengalami peningkatan. Kontribusi terbesar dalam peneriman pajak berasal dari pajak dalam negeri terutama dari Pajak Penghasilan (PPh Non Migas). Akibat adanya reformasi perpajakan tahun 2000 dan perubahan beberapa kebijakan ataupun peraturan, penerimaan pajak mengalami peningkatan yang semula sebesar Rp. 115,913 Triliun menjadi Rp. 185,541 Triliun (Bank Indonesia, 2007). Tabel 4. Penerimaan Perpajakan Indonesia 2000-2004 Jenis Pajak a. Pajak Dalam Negeri 1) PPh i. Non Migas ii. Migas 2) PPN 3) PBB 4) BPHTB 5) Cukai 6) Pajak lainnya b. Pajak Perdagangan Internasional 1) Bea Masuk 2) Pajak Ekspor Total
2000 108,885 57,073 38,421 18,652 35,232 3,525 931 11,287 837 7,028
2001 175,974 94,576 71,474 23,102 55,957 5,246 1,417 17,394 1,384 9,567
(dalam Triliun Rupiah) 2002 2003 20041) 199,512 230,933 267,818 101,873 115,016 119,515 84,404 96,053 96,568 17,469 18,963 22,947 65,153 77,082 102,573 6,228 8,762 11,767 1,600 2,144 2,918 23,189 26,277 29,173 1,469 1,654 1,872 10,575 11,115 12,742
6,697 331 115,913
9,026 541 185,541
10,344 231 210,087
10,885 230 242,048
12,444 298 280,560
Sumber : Bank Indonesia, 2007 1) Angka Realisasi Sementara
Sumber utama penerimaan negara adalah pajak dimana target pajak pada APBN 2001 sekitar Rp.152 triliun atau 75 pesen dari total penerimaan (Bank Indonesia, 2001). Di dalam penyusunan APBN, bukan penerimaan yang menentukan pengeluaran tetapi pengeluaran yang mempengaruhi penerimaan. Oleh karena itu, pemerintah berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencari
54
sumber-sumber penerimaan dari dalam negeri seperti pajak dan sumber dari luar seperti pinjaman luar negeri dalam rangka memenuhi target penerimaan. Gambar 7 dan 8 masing-masing merupakan plot dari trend pajak dan siklikal pajak. Plot ini didapat dari regresi mengunakan metode HP filter yang mengestimasi trend-nya dan kemudian dipisahkan dari unsur siklikalnya. Trend pajak menunjukkan bahwa secara umum penerimaan pemerintah dari sektor pajak mengalami peningkatan di tiap tahunnya. Tetapi pada tahun 1995 sampai dengan 1999 pemerintah mengalami perlambatan dalam penerimaan pajak. Setelah tahun 1999 mengalami peningkatan kembali walaupun tidak secepat peningkatan sebelum tahun 1995. Perlambatan dalam penerimaan pajak ini kemungkinan dipengaruhi oleh krisis yang terjadi di pertengahan tahun 1997 .
T re n d P a j a k 7.8 7.6
Deviasi dari Trend
7.4 7.2 7.0 6.8 6.6 86
88
90
92
94
96
98
00
02
04
06
Gambar 7. Grafik Trend Pajak Hasil growth cycle dalam plot estimasi siklikal pajak sebagai seri acuan selama periode penelitian, yaitu untuk rentang waktu 21 tahun (1986-2006)
55
memiliki 2 siklus dengan masing-masing durasi siklus selama 8 tahun dan 4 tahun, sehingga rata-rata siklus mencapai 6 tahun, seperti yang terdapat dalam Tabel 5. Terdapat enam titik balik yang dapat ditangkap oleh pergerakan siklikal pajak, yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak. Rata-rata durasi masa ekspansi adalah 4.3 tahun, dan rata-rata durasi masa kontraksinya adalah 2 tahun. Dengan kata lain, rata-rata masa ekspansi lebih panjang daripada rata-rata masa kontraksi. Tabel 5. Karakteristik Titik Balik dari Seri Acuan Pajak Fase/ Siklus Titik Balik Ekspansi Kontraksi Siklus No.1 Ekspansi Kontraksi Siklus No.2 Ekspansi Rata-rata Ekspansi Kontraksi Siklus
Lembah 1988 1988 1996 1996 2000
Puncak 1995 1995 1997 1997 2005
Lembah 1996 1996 2000 2000
Durasi (tahunan) Fase 7 1
Siklus
8 1 3 4 5 4.3 2 6
Selama periode penelitian dari tahun 1986 sampai dengan 2006, terjadi tiga masa ekspansi dan dua masa kontraksi. Pada masa ekspansi pertama yang terjadi pada L1-P1 (1988-1995), disebabkan oleh serangkaian deregulasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menyangkut hampir seluruh aspek ekonomi pada tahun 1986-1990. Deregulasi ini kemudian membawa kepada tingkat efisiensi dan alokasi sumberdaya yang lebih baik pada ekonomi Indonesia. Efisiensi ini selanjutnya menyebabkan tingkat investasi, perbaikan neraca pembayaran dan menurunnya defisit neraca pembayaran. Pada akhirnya semua ini
56
mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi termasuk pajak sebagai pos penerimaan terbesar negara (Supriana, 2004). Selanjutnya terjadi kontraksi (1995-2000) karena terjadinya krisis moneter, krisis keuangan dan di tahun 1994 terjadi kontraksi ekonomi akibat dari harga minyak bumi di pasar dunia yang cenderung melemah. Ekspor non-migas tumbuh lebih lambat, sehingga pada tahun 1996 penerimaan pajak menurun drastis. Tetapi setelah tahun 2001, penerimaan pajak mulai stabil. Hal ini ditunjukkan dengan grafik siklikal dimana pada tahun 2001-2006 pajak memiliki deviasi dari trendnya sekitar 0.0 – 0.1. .3 DP
1995
.2 2005
.1 1997
.0 -.1 1988
1996
-.2 2000
-.3 86
88
90
92
94
96
98
00
02
04
06
Gambar 8. Grafik Siklikal dan Titik Balik Pajak
4.3.
Pemilihan dan Karakteristik Kandidat Komponen Seperti yang telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya, pemilihan
kandidat komponen komposit leading seharusnya memenuhi beberapa kriteria,
57
seperti ketersediaan data, memiliki relevansi ekonomi, dan pemenuhuan kriteria statistik (stasioneritas dan perilaku siklikal). Relevansi ekonomi antara kandidat komponen komposit dengan pajak diperlukan untuk dapat menjelaskan secara teori bagaimana hubungan suatu variabel dengan pajak itu sendiri. Pada umumnya, suatu variabel yang mempunyai hubungan yang dapat dijelaskan secara teori, juga tercermin dari besaran-besaran statistiknya, seperti nilai korelasi silang yang cukup tinggi (Setiana, 2006). Dalam penelitian ini, kriteria-kriteria dalam pemilihan kandidat komposit diusahakan untuk dapat dipenuhi. Tetapi, masalah ketersediaan data dan kemudahan dalam perolehannya merupakan penghambat utama dalam penelitian ini. Misalnya dalam penelitian ini, diperlukan data pengeluaran pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Tetapi akhirnya tidak digunakan karena data yang tersedia hanya sampai tahun 2003. Sebenarnya bisa saja dilakukan ekstrapolasi data, tetapi hal ini tidak dilakukan karena data hasil ekstrapolasi jauh berbeda dengan data aslinya. Nantinya titik balik yang dihasilkan tidak sesuai dengan keadaan aslinya. Data PMDN dan PMA yang mestinya digunakan dalam penelitian ini juga tidak dapat digunakan karena data yang didapat terputus. Data yang mencerminkan perkembangan dari sektor riil juga tidak digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan keterbatasan waktu dan kesulitan dalam mengakses datanya. Dalam pembentukan CLI, tidak boleh menggunakan data yang terputus.
4.4.
Perbandingan Variabel Ekonomi Makro Terhadap Pajak Setelah penentuan titik balik seri acuan dilakukan, maka dapat dilihat dari
pola siklikal variabel ekonomi makro dari timingnya dibandingkan dari pola
58
siklikal seri acuan, apakah akan menjadi leading, lagging. atau coincident indicator. Setelah diketahui jenisnya, maka selanjutnya untuk variabel yang tergabung dalam leading indicator berarti menjadi kandidat indeks komposit. Perbandingan pergerakan siklikal dari variabel ekonomi makro dengan seri acuan dilakukan dengan analisis visual grafik dan analisis korelasi silang. Grafik perbandingan fluktuasi siklikal setiap variabel ekonomi makro dengan seri acuannya dalam hal ini dengan pajak dapat dilihat pada Lampiran 2. Penentuan kategori volatilitas dari pergerakan siklikal variabel-variabel dalam penelitian ini didapat dari hasil pembagian standar deviasi setiap variabel ekonomi makro dengan nilai rata-rata masing-masing seri data, dan dibuat dalam bentuk persen. Berikut merupakan hasil perhitungan untuk kriteria volatilitas variabel-variabel ekonomimakro yang digunakan dalam penelitian ini: Tabel 6. Perhitungan CV Variabel-variabel Ekonomi Makro Variabel DER (Nilai Tukar) DGNI (Pendapatan perkapita) DIHSG (IHSG) DIR (Cadangan Devisa) DKP (Konsumsi Pemerintah) DKRT (Konsumsi Rumah Tangga) DKS (Konsumsi Swasta) DM (Total Impor) DM1 (M1) DPN (Produksi Nikel) DPT (Produksi Tembaga) DPTimah (Produksi Timah) DX (Total Ekspor) DXK (Ekspor Kopi) DXKL (ekspor Kayu Lapis) DXM (Ekspor Minyak Mentah) DP (Pajak)
Standar Deviasi 0.166945559 0.050384486
Rata-rata 1.32169E-18
CV (%) 1.26312E+19 -6.09938E+18
0.37222189 0.07405283 0.088779503 0.039111317
-8.26059E-19 -5.28678E+18 -4.762E-08 -4.7619E-08 -4.7619E-08
-7.04062E+18 -155510949 -186436957 -82133766.23
0.2687992 0.176190444 0.0737626 0.09930045 0.26591748 0.1361869 0.073939064 0.35142743 0.1569263 0.1403628
9.524E-08 2.64339E-18 9.524E-08 4.7619E-08 -4.762E-08 -9.52E-08 0 -1.429E-07 9.524E-08 9.524E-08
282239201 6.66533E+18 77450726 208530949 -558426699 -1.43E+08 -245999200 164772610 147380900
0.125645004
-9.52381E-08
-131927253.7
59
Setelah melakukan perhitungan volatilitas dari masing-masing variabel, maka variabel yang tergolong memiliki volatilitas tinggi berarti hasil pembagiannya lebih dari 100 persen. Sementara variabel yang tergolong memiliki volatilitas rendah berarti hasil pembagiannya kurang dari 50 persen. Variabel yang memiliki volatilitas tinggi seperti konsumsi swasta, M1, ekspor minyak mentah, ekspor kayu lapis, nilai tukar, impor, dan produksi nikel memerlukan perhatian dari pemerintah karena variabel-variabel tersebut sangat mudah berfluktuasi. Maksudnya ialah ada shock sedikit saja dari luar, maka variabel tersebut akan berubah secara signifikan. Hasil perbandingan korelasi silang untuk penentuan jenis indikator setiap variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini: Tabel 7. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia Terhadap Pajak Fase Pergerakan Volatilitas Cross Correlation Lead/Lag Coefficient Leading Indicators: 1. Konsumsi Pemerintah (KP) Rendah -1 0.6 2. Konsumsi Rumah Tangga (KRT) Rendah -3 0.63 3. Konsumsi Swasta (KS) Tinggi -1 0.67 4. M1 Tinggi -3 0.57 5. Ekspor Minyak Mentah (XM) Tinggi -1 0.39 Rata-rata -1.8 0.57 Coincident Indicators: 1. Pendapatan perkapita (GNI) Rendah 0 0.38 2. Cadangan Devisa (IR) Rendah 0 0.57 3. Ekspor Kayu Lapis (XKL) Tinggi 0 0.48 Rata-rata 0 0.48 Lagging Indicators: 1. Nilai Tukar (ER) Tinggi +1 0.71 2. IHSG Rendah +7 0.39 3. Impor (M) Tinggi +2 0.59 4. Produksi Nikel (PN) Tinggi +3 0.62 5. Produksi Tembaga (PT) Rendah +5 0.43 6. Produksi Timah (PTimah) Rendah +7 0.49 7. Ekspor (X) +2 0.59 8. Ekspor Kopi (XK) Rendah +4 0.64 Rata-rata +3.9 0.56
60
Tabel 7 memperlihatkan bahwa yang termasuk ke dalam leading indicators adalah variabel ekonomi makro, seperti konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, konsumsi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah. Ratarata dari kelima variabel tersebut menunjukkan lead time 1.8 tahun dari seri acuan pajak dengan koefisien korelasi sebesar 0.57. Konsumsi pemerintah dan konsumsi rumah tangga memilki volatilitas yang rendah hal ini ditunjukkan dengan nilai CV-nya yang kurang dari 50 persen. Sedangkan konsumsi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah volatilitasnya tinggi karena volatilitasnya diatas 100 persen. Untuk coincident indicators rata-rata koefisien korelasinya 0.48,. Variabel yang termasuk ke dalam coincident indicators adalah pendapatan perkapita, cadangan devisa, dan ekspor kayu lapis. Pendapatan perkapita dan cadangan devisa volatilitasnya rendah sedangkan ekspor kayu lapis tinggi. Rata-rata koefisien korelasi silang lagging indicators adalah 0.58, dengan waktu lag rata-rata 3.9 tahun. Dimana nilai tukar, IHSG, impor, produksi nikel, produksi tembaga, produksi timah, ekspor, dan ekspor kopi tergolong ke dalam lagging indicators. Nilai tukar, impor, dan produksi nikel memiliki volatilitas yang tinggi, sedangkan IHSG, produksi tembaga, produksi timah dan ekspor kopi volatilitasnya rendah. Variabel ekspor tidak dapat dihitung volatilitasnya, karena rata-ratanya sebesar 0.
4.5.
Keterkaitan Kandidat Komposit dengan Seri Acuan Keterkaitan masing-masing kandidat komposit dengan pajak sebagai seri
acuan
dapat
dijelaskan
sebagai
berikut.
Dalam
penyusunan
APBN,
pengeluaranlah yang mempengaruhi peneriman, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, pajak sebagai salah satu pos penerimaan terbesar pemerintah dipengaruhi oleh
61
beberapa pengeluaran seperti, konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, dan konsumsi swasta. Semakin besar pengeluaran yang akan dicapai maka semakin besar pula penerimaan pemerintah dari sektor pajak. Pajak yang diterima pemerintah diperoleh dari berbagai sektor, baik itu sektor pertanian, pertambangan, dan beberapa sektor lainnya. Maka dalam penelitian ini juga digunakan data produksi nikel, produksi tembaga, dan produksi timah. Selain itu, nilai tukar, M1, dan pendapatan perkapita juga digunakan dalam penelitian ini. Karena makin pendapatan berhubungan positif dengan tarif pajak pendapatan. Dengan kata lain, pajak penghasilan bersifat progresif. Pajak yang diterima oleh negara juga dipengaruhi oleh investasi. Karena data investasi tidak diperoleh, maka IHSG digunakan dalam penelitian ini sebagai proksi dari investasi. Semakin tinggi investasi, maka penerimaan pajak juga akan semakin tinggi. Selain itu, cadangan sevisa juga berpengaruh terhadap pajak. Semakin tinggi cadangan devisa yang dimiliki oleh pemerintah atau negara, maka penerimaan negara dari sektor pajak akan makin tinggi. Transaksi luar negeri atau dengan kata lain ekspor ataupun impor yang dilakukan oleh negara juga berpengaruh terhadap pajak. Selain sektor-sektor pertanian dan pertambangan yang dikenakan pajak oleh negara, maka ekspor dan impor juga dikenakan pajak. Penelitian ini menggunakan data total ekspor, total pajak, ekspor kopi, ekpor kayu lapis, dan juga ekspor minyak mentah. Sebenarnya, lebih banyak data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Tetapi seperti telah dikemukakan sebelumnya, beberapa data tidak tersedia secara lengkap.
62
Hubungan antara masing-masing kandidat komponen dengan seri acuan yaitu pajak dapat pula dilihat dari nilai korelasi silangnya. Namun, nilai korelasi silang ini tidak menunjukkan hubungan kausalitas, hanya hubungan secara statistik saja, pada saat kapan (lead/lag) suatu variabel dapat merefleksikan gerakan variabel lain, seperti yang dijadikan sebagai seri acuan. Di samping itu, meskipun nilai korelasi silang suatu variabel relatif kecil, seringkali setelah dikombinasikan dengan variabel yang lain, nilai korelasi silang dari kombinasi tersebut menjadi lebih besar.
4.6.
Pembentukan Composit Leading Index untuk Pajak di Indonesia Composite Leading Index dibentuk oleh kumpulan leading indicators yang
diharapkan mampu meramalkan pergerakan dari seri acuannya. Karena penelitian ini menganalisis leading indicators untuk pajak, maka CLI yang dibentuk diharapkan mampu meramalkan pergerakan dari pajak. Seperti yang telah disebutkan diatas, pembentukan CLI dari seri acuan pajak terdiri dari seluruh indikator yang termasuk dalam leading indicators, agar hasilnya dapat lebih baik dan dapat dipercaya. Indikator-indikator tersebut adalah konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, konsumsi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah. Hasil pembentukan CLInya setelah dinormalisasi dapat dilihat dari grafik perbandingan pergerakan siklikalnya dengan seri acuannya yaitu pajak. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa pergerakan CLI cukup baik mengikuti pergerakan siklikal dari seri acuan pajak. Titik balik yang ditentukan dalam pergerakan CLI akan dijabarkan melalui grafik terpisah dan karakteristik rata-rata dari setip perbedaan lead-time antara titik balik pajak dan CLI.
63
103 102 101 100 99 98 97 86
88
90
92
94
96 DP
98
00
02
04
06
CLI
Gambar 9. Seri Acuan Pajak dan CLI Setelah melihat perbandingan pergerakan Composite Leading Index (CLI) dengan pajak, maka selanjutnya ditentukan titik balik dari CLInya. Penentuan titik balik CLI sama dengan penentuan titik balik pajak, yaitu berdasarkan prosedur Bry-Boschan. Semua titik balik yang terjadi pada pajak mampu ditangkap oleh CLInya. Walaupun ada dua titik balik yang terjadi bersamaan yaitu pada tahun 1988 dan 1997. Tetapi, secara keseluruhan CLI mampu menangkap semua pergerakan dari pajak. Dengan menambahkan data dan variabel yang erat kaitannya dengan penerimaan perpajakan maka akan dihasilkan CLI yang lebih baik dengan lead-time yang lebih dekat. Titik balik CLI akan terjadi lebih dulu dibandingkan titik balik pajak, karena CLI memiliki daya prediksi. Oleh karena itu, hampir semua titik balik CLI terjadi lebih dulu dibandingkan titik balik yang terjadi pada pajak.
64
CLI 101.5 1997
101.0
1990
2000
100.5 100.0 99.5 1992
99.0 1988
98.5 98.0 1998
97.5 86
88
90
92
94
96
98
00
02
04
06
Gambar 10. Titik Balik CLI untuk Pajak Perbandingan titik balik seri acuan pajak dan CLI disajikan dalam bentuk tabel, supaya lebih mudah untuk memperbandingkannya. Semua titik balik dapat ditangkap oleh Composite Leading Index (CLI) yang terdiri dari tiga titik lembah dan tiga titik puncak. Setelah mengetahui perbedaan waktu yang terjadi antara titik balik CLI dengan pajak, maka didapatkan rata-rata sebesar 2.67 tahun. Tabel 8. Perbandingan Titik Balik CLI dan Seri Acuan Pajak Seri Titik Balik Acuan Lembah Puncak Lembah Puncak Lembah Pajak 1988 1995 1996 1997 2000 CLI 1988 1990 1992 1997 1998 CLI (tahunan) 0 -5 -4 0 -2 Lead (-)
Puncak Average 2005 2000 2.67 -5
65
4.7.
Evaluasi Indeks Komposit Composite Leading Indeks (CLI) mempunyai karakteristik yang
ditunjukkan oleh nilai-nilai statistiknya. Berikut ini merupakan karakteristik dari komposit yang disajikan dalam bentuk tabel agar lebih mudah untuk dievaluasi: Tabel 9. Karakteristik CLI Indonesia Mean lead (+) at TP Median lead (+) at TP Peak Trough CLI Pajak
3.3
2
All TP
Peak
Trough
All TP
2.65
5
2
3.5
Standard Deviation 2.34
Cross Correlation Lead Coef (+) (+) 3
0.49
Keterangan: a. Mean / Median lead (+) at turning point adalah nilai rata-rata / tengah dari jarak antara titik balik CLI dengan titik balik seri acuan. b. Standard deviation adalah deviasi rata-rata jarak antara titik balik CLI dan seri acuan. c. Cross Correlation adalah nilai yang mencerminkan hubungan antara CLI dengan seri acuan.
Berdasarkan nilai-nilai statistiknya, maka composit leading index pajak dapat dievaluasi sebagai berikut: Dilihat dari jarak antara titik balik CLI dengan seri acuan pajak, nilai rata-ratanya 2.65 tahun sedangkan nilai tengahnya yaitu 3.5 tahun, sementara deviasinya sebesar 2.34. Dengan demikian antara titik balik CLI dengan seri acuan pajak mempunyai kisaran jarak 0.31 tahun s/d 4.99 tahun atau sekitar 3.72 bulan s/d 59.88 bulan. Sedangkan dari nilai korelasi silangnya menunjukkan bahwa hubungan antara CLI dengan seri acuan pajak mempunyai hubungan paling dekat pada lead 3 tahun yaitu sebesar 0.49. Dengan kata lain, CLI yang dihasilkan mampu memprediksi pergerakan dari pajak dengan jarak waktu yang paling dekat selama 0.31 tahun sampai jarak waktu yang paling jauh yaitu selama hampir lima tahun. Setelah mengetahui perbedaan waktu yang terjadi antara titik balik yang terjadi antara CLI dengan
66
pajak, maka didapat rata-rata sebesar 2.67 tahun. Maksudnya ialah, CLI mampu memprediksi pergerakan dari pajak dengan rata-rata waktu selama 2.67 tahun. Hal ini dapat menjadi sinyal bagi pemerintah maupun pihak yang terkait, untuk lebih memperhatikan variabel yang termasuk ke dalam leading indicator dalam jangka waktu antara 0.31 tahun s/d 4.99 tahun. Setelah mengetahui nilai-nilai statistik tersebut, maka secara umum ratarata masa ekspansi lebih panjang daripada rata-rata masa kontraksinya. Selain itu, variabel-variabel yang tergolong ke dalam leading indicator seperti konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, konsumsi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah diharapkan dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah. Karena dengan mengetahui keadaan dari variabel-variabel tersebut, maka keadaan pajak dapat diprediksi dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Atau dengan kata lain, jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan dari sektor pajak dalam jangka waktu tiga tahun ke depan maka pemerintah dapat meningkatkan konsumsinya. Peningkatan konsumsi rumah tangga dapat dilakukan dengan cara meningkatkan daya beli masyarakat melalui perbaikan dan kemudahan dalam mengakses barang-barang konsumsi. Konsumsi atau investasi swasta dapat ditingkatkan dengan cara Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunganya. Penurunan tingkat suku bunga akan menjadi daya tarik bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan perubahan dalam sistem birokrasi atau regulasi yang terkait dengan penanaman modal di Indonesia, dan memberikan insentif bagi para investor agar mereka mau menanamkan modalnya. Peningkatan M1 dapat dilakukan dengan cara pembelian obligasi yang dimiliki masyarakat oleh pemerintah, sehingga
67
money suply akan meningkat dan seterusnya akan meningkatkan M1. Ekspor minyak mentah dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan produksi minyak mentah. Peningkatan produksi minyak mentah dapat dilakukan dengan cara pemerintah, memberikan perhatian lebih kepada para perusahaan yang mengelola minyak mentah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan insentif kepada para perusahaan tersebut agar nantinya mereka dapat menigkatkan produksi minyak mentah. Dengan meningkatnya produksi, maka ekspor minyak mentah juga akan meningkat. Tetapi, jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan dari sektor pajak maka sebaiknya dilakukan kebijakan-kebijakan yang tidak bersifat sementara. Misalnya, jika salah satu sektor seperti sektor pertambangan sedang booming, pemerintah jangan langsung menaikkan tarif pajak karena belum tentu tahuntahun yang akan datang sektor tersebut mengalami booming seperti pada tahun diterapkannya kebijakan tersebut. Karena jika hal ini akan dilakukan oleh pemerintah, maka akan mengakibatkan kerugian disektor tersebut.
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1.
Kesimpulan Secara keseluruhan, Composite leading Index (CLI) untuk pajak dari hasil
penelitian ini dinilai dapat bekerja cukup baik, karena semua titik balik dari pajak dapat ditangkap oleh CLI walaupun dengan koefisien korelasi yang tidak terlalu tinggi. CLI yang terbentuk dari hasil penelitian ini, terdiri dari semua variabel yang termasuk ke dalam leading indicator yaitu konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, konsumsi atau investasi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah. Terdapat tiga titik puncak dan tiga titik lembah yang dapat ditangkap oleh CLI pajak. Selama periode penelitian, yaitu tahun 1986-2006 terdapat enam titik balik yang dimiliki oleh pajak. Setelah menganalisis 16 variabel ekonomi makro, didapat 5 variabel yang termasuk ke dalam kategori leading indicators untuk pajak, yaitu konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, konsumsi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah dengan rata-rata lead-time 1.8 tahun dan rata-rata koefisien korelasi 0.57. Variabel yang tergolong lagging indicators ialah nilai tukar, IHSG, impor, produksi nikel, produksi tembaga, produksi timah, ekspor, dan ekspor kopi dengan rata-rata koefisien korelasi 0.56. Variabel yang termasuk dalam coincident indicators adalah pendapatan perkapita, cadangan devisa, dan ekspor kayu lapis dengan rata-rata koefisien korelasi sebesar 0.48.. Variabel-variabel yang termasuk dalam leading indicator, selanjutnya dikelompokkan menjadi Composite Leading Index (CLI). CLI pajak mampu
69
memprediksi keenam titik balik dengan rata-rata sinyal leading time sebesar 2.65 tahun setiap titik baliknya atau berkisar antara 0.31 tahun s/d 4.99 tahun.
5.2.
Implikasi Kebijakan Melihat pergerakan CLI yang dihasilkan dalam penelitian ini, terlihat
bahwa indeks komposit tersebut cukup mampu berfungsi sebagai leading indicator, dengan nilai koefisien korelasi untuk CLI pajak sebesar 0.49. Namun demikian, kinerja indeks ini perlu diuji dengan data terbaru dan data beberapa variabel lain yang erat kaitannya dengan pajak untuk memperbaiki pergerakan CLI yang dihasilkan. Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan variabelvariabel yang tergolong ke dalam leading indicator seperti konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, konsumsi swasta, M1, dan ekspor minyak mentah, karena dapat menjadi sinyal bagi keadaan pajak dimasa datang. Konsumsi pemerintah dapat langsung ditingkatkan oleh pemerintah sendiri.
Peningkatan
konsumsi
rumah
tangga
dilakukan
dengan
cara
meningkatkan daya beli masyarakat, dan memperbaiki akses masyarakat terhadap barang-barang konsumsi. Pemerintah dapat meningkatkan investasi swasta dengan cara melakukan perubahan dalam sistem birokrasi atau regulasi yang terkait dengan penanaman modal di Indonesia, dan memberikan insentif bagi para investor agar mereka mau menanamkan modalnya. Peningkatan M1 (uang kartal dan uang giral) dapat dilakukan dengan cara pembelian obligasi yang dimiliki masyarakat oleh pemerintah sehingga money supply akan meningkat dan seterusnya akan meningkatkan M1. Ekspor minyak mentah dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan produksi minyak mentah.
70
Dalam menetapkan kebijakan terkait dengan pajak sebaiknya pemerintah netral atau dengan kata lain dalam penetapan pajak tidak boleh menguntungkan salah satu pihak. Selain itu, sebaiknya pemerintah dalam menetapkan tarif pajak harus memperhatikan besarannya (bukan hanya marginal tax rate, tetapi juga effective tax rate).
5.3.
Saran Penelitian Selanjutnya Supaya CLI yang dihasilkan lebih baik maka sebaiknya dimasukkan
beberapa variabel yang erat sekali kaitannya dengan pertumbuhan pajak. Atau dengan kata lain, variabel yang diindikasikan akan menyebabkan nilai pajak akan naik atau turun , jika variabel tersebut juga naik atau turun. Untuk selanjutnya dapat dilakaukan penelitian lanjutan dengan penambahan beberapa variabel penting, seperti PMDN, PMA, suku bunga SBI, dan beberapa variabel yang mencerminkan kegiatan di sektor riil seperti, produksi atau penjualan kendaraan bermotor.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Q. M. 2001. A Test of Relative Efficacy of Tax Expenditures and Direct Expenditures: A Neo-Clasical Approach. Journal of Development Economics. Vol. 65, 477-489. Asian Development Bank. www.adb.org [3 Maret 2008] Bank Indonesia. 1986-2006. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta. Buchori, A. 1998. Penyempurnaan Leading economic Indicators for Indonesia. Kertas Kerja Staf UREM30-006. Bank Indonesia, Jakarta. Bugarin, M. N. S. 1999. Progressive Taxation and The Real Business Cyle. Departamento de Economia, Universidade de Brasilia. Feldstein, M. S. Januari 2008. Effects of Taxes on Economic Behavior. NBER Working Paper. No. 13745. Feldstein, M. S. May 2006. The Effects of Taxes on Efficiency and Growth. NBER Working Paper. No. 12201. Gordon, R dan W. Li. 2005. Tax Structure and Developing Countries: Many Puzzles and Possible Explanation. NBER Working Paper. No. 11267. International Financial Statistics (IFS). www.imf.org [3 Maret 2008] Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian: Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Konishi, H. 2006. Spending Cuts or Tax Increases? The Composition of Fiscal Adjustment as a Signal. European Economic Review. Vol 50, 1441-1469. Kusuma, I. W., N. Surjaningsih dan B. Siswanto. 2004. Leading Indicator Investasi Indonesia dengan Menggunakan Metode OECD. Bagian Studi Ekonomi dan Kebijakan Moneter-Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta. Lasmana, E. 1992. Sistem Perpajakan di Indonesia. PT. Prima Kampus Grafika, Jakarta. Lipsey, et al. 1995. Pengantar Makroekonomi. Jaka W., Kirbrandoko, Budijanto [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. Mankiw, N. G. 2000. Teori Makroekonomi. Edisi ke-4. Erlangga, Jakarta.
72
Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets. Edisi ke-6. Columbia University, New York. Niemira, P. M., dan P. A. Klein, 1994. Forecasting Financial and Economic Cycles. John Wiley & Sons. Inc, New York Pass, C., dan B. Lowes. 1997. Collins Kamus Lengkap Ekonomi. Edisi Kedua. Erlangga, Jakarta. Rosdiana, H., dan R. Tarigan. 2005. Perpajakan. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Setiana, M. 2006. Analisis Leading Indicator Untuk Business Cycle Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Setiyaji, G., dan H. Amir. 2005. “Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan Indonesia”. Jurnal Ekonomi. Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta. Sihotang, D. A. H. 2003. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Pendapatan Nasional di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryana, C. 2005. Analisis Pengaruh Penerimaan Negara Dari Sektor Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Depok. Supriana, T. 2004. Dampak Guncangan Struktural Terhadap Fluktuasi Ekonomimakro Indonesia: Suatu Kajian Business Cycle Dari Sisi Permintaan [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta. Wuryandari, G., C. L. Iskandar., R. Z. Idris., M. A. M. Karim dan D. E. Handayani. 2002. Penyempurnaan Leading Indikator Ekonomi dan Leading Indikator Inflasi. Bagian Studi Sektor Riil-Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1.Data yang digunakan dalam analisis PERIODE
PAJAK
ER
1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
M Rp 13984 18826 21435 26678 37431 39098 45423 49168 57980 72829 57339 70934 102394 112905 115788 185541 210953 248470 280559 347031 409021
Rp/$ US 1641 1650 1731 1797 1901 1992 2062 2110 2200 2308 2383 4650 8025 7085 9595 10400 8940 8465 9290 9830 9020
GNI perkapita M Rp 624.55 705.97 805.97 953.87 1100.64 1286.55 1430.13 1544.91 1912.05 2234.67 2587.97 2999.87 4378.7 4865.17 6129.68 7564.86 8317.44 8889.93 9812.88 11674.98 13969.91
IHSG
IR
KP
KRT
KS
M
Indeks 67.48 82.58 305.12 399.69 417.79 247.39 274.34 588.77 469.64 513.84 637.43 401.71 398.03 676.92 416.32 392.03 424.94 679.3 1000.23 1162.63 1805.52
Juta US$ 5302 6512.3 6191 6561.9 8661 9868 11611 12352 13158 14674 19125 18382 23762 27054 29394 28015.8 32037.04 35063.87 36320.48 34723.69 42586.33
M Rp 12167 12126 13421 16872 18953 22830 26879 29757 31014 35584 40299 42952 54416 72631 90780 113416 132219 163701 191056 224981 288080
M Rp 68453 74246 85318 95414 114693 137469 147709 192958 228119 279876 332094 387171 647824 813183 856798 1039650 1231960 1372080 1532890 1785600 2092660
M Rp 50530 52200 123144 132330 155094 167455 172640 192958 208062 234245 257016 277116 260023 272070 856798 886736 920750 956593 1004109 1043805 1076928
M US$ 10718 12370 13248 16360 21837 25870 27305 28328 31984 40629 42929 41680 27337 24003 33515 30962 31229 33086 46180 57701 61078
Lampiran 1. Lanjutan PERIODE
M1 M Rp
1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
11677 12685 14392 20114 23819 26341 28779 36805 45374 52677 64089 78343 101197 124633 162186 177731 191939 223799 253818 281905 361073
PN Ribu metric ton 1533 1861 1733 2021 2217 2300 2512 1976 2312 2513 3427 2830 2734 3245 3349 3635 4366 4395 4119 3707 3978
PT Ribu metric ton 251 259 294 325 437 657 907 928 1066 1517 1759 1818 2640 2645 3194 3289 3787 3787 2810 1017 2939
PTimah Ribu metric ton 25 26 30 31 30 30 28 30 31 38 51 55 54 48 50 62 88 72 70 78 58
X M US$
XK M US$
XKL M US$
XM M US$
14805 17136 19219 22159 25675 29142 33967 36823 40053 45418 49815 53444 48848 48665 62124 56321 57159 62527 69714 85660 100690
818 535 550 482 369 363 195 320 697 596 589 504 579 458 319 232 219 251 282 498 583
1002 1759 2074 2351 2726 2871 3231 4257 3716 3462 3595 3411 2078 2256 1989 1838 1748 1663 1557 1375 1507
5501 6157 5042 6062 7404 6714 6619 5693 6005 6443 7228 6783 4057 5435 7742 6904 6535 7175 7896 10078 11012
74
75
Lampiran 2. Grafik Fluktuasi Variabel Ekonomi Makro dan Pajak
Pergerakan Siklikal Nilai Tukar dan Pajak .4 .3 Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 86
88
90
92
94
96
DER
98
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal GNI dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96
DGNI
98
00 DP
02
04
06
76
Pergerakan Siklikal IHSG dan Pajak .6
Deviasi dari Trend
.4 .2 .0 -.2 -.4 -.6 -.8 86
88
90
92
94
96
98
DIHSG
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal Cadangan Devisa dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96
DIR
98 DP
00
02
04
06
77
Pergerakan Silikal Konsumsi Pemerintah dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96
98
DKP
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal Konsumsi Rumah Tangga dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96
DKRT
98
00 DP
02
04
06
78
Pergerakan Siklikal Konsumsi Swasta dan Pajak .4
Deviasi dari Trend
.2 .0 -.2 -.4 -.6 -.8 86
88
90
92
94
96
DKS
98
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal Total Impor dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 86
88
90
92
94
96 DM
98 DP
00
02
04
06
79
Pergerakan SIklikal M1 dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96
98
DM1
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal Produksi Nikel dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96
DPN
98
00
DP
02
04
06
80
Pergerakan Siklikal Produksi Tembaga dan Pajak 0.4
Deviasi dari Trend
0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 86
88
90
92
94
96
DPT
98
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal Produksi Timah dan Pajak .4
Deviasi dari Trend
.3 .2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96
DPTIMAH
98
00 DP
02
04
06
81
Pergerakan Siklikal Total Ekspor dan Pajak .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 86
88
90
92
94
96 DX
98
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal Ekspor Kopi dan Pajak 0.6 0.4 Deviasi dari Trend
0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 86
88
90
92
94
96
DXK
98
00
DP
02
04
06
82
Pergerakan Siklikal Ekspor Kayu Lapis dan Pajak .4 .3
Deviasi dari Trend
.2 .1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 -.5 86
88
90
92
94
96
98
DXKL
00
02
04
06
DP
Pergerakan Siklikal Ekspor Minyak Mentah dan Pajak .3 .2 Deviasi dari Trend
.1 .0 -.1 -.2 -.3 -.4 -.5 86
88
90
92
94
96
DXM
98
00 DP
02
04
06
83
Lampiran 3. Hasil Cross Correlation Variabel Ekonomi Makro dan Pajak Date: 05/30/08 Time: 09:30 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DER,DP(-i)
DER,DP(+i)
****| . | *******| . | ****| . | . | . | . *| . | . |* . | . |**** | . |***** | . |**** |
****| . .***| . .***| . . |* . . |***** . |**** . |***. . |** . . |* .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.3963 -0.7059 -0.3850 0.0187 -0.1093 0.0586 0.3766 0.5160 0.4050
-0.3963 -0.3004 -0.3059 0.1388 0.5266 0.4014 0.2868 0.1733 0.1020
Date: 05/30/08 Time: 09:32 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DGNI,DP(-i) . |**** . | . . |* . . |* . . *| . . |* . . |** . . |* . . **| .
| | | | | | | | |
DGNI,DP(+i)
i
lag
lead
. |**** . |***. ****| . .***| . . *| . . *| . . | . . | . . *| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3765 0.0473 0.1033 0.0878 -0.0700 0.0665 0.1613 0.1248 -0.2003
0.3765 0.2919 -0.3456 -0.2828 -0.1431 -0.0653 -0.0244 -0.0234 -0.0478
| | | | | | | | |
Date: 05/30/08 Time: 09:34 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DIHSG,DP(-i)
DIHSG,DP(+i)
i
lag
lead
. |** . . |***. . |** . . |* . . |* . . | . . **| . ****| . .***| .
. |** . . |** . . |**** . **| . .***| . . *| . . *| . . *| . . **| .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2391 0.3355 0.1726 0.1346 0.1260 0.0082 -0.1973 -0.3955 -0.2816
0.2391 0.2482 0.3581 -0.2356 -0.2611 -0.0582 -0.0903 -0.0889 -0.1809
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
84 Date: 05/30/08 Time: 09:35 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DIR,DP(-i) ******| . . *| . . *| . . | . . *| . . |***. . |***. . |** . . |***.
DIR,DP(+i) | | | | | | | | |
******| . *****| . . *| . . |** . . | . . |***. . | . . |* . . |* .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.5735 -0.0847 -0.0925 -0.0129 -0.0568 0.3183 0.2902 0.1837 0.2912
-0.5735 -0.4575 -0.1300 0.1735 0.0021 0.2644 0.0025 0.1137 0.0892
Date: 05/30/08 Time: 09:36 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DKP,DP(-i)
DKP,DP(+i)
. |***** | . |***** | . |***** | . | . | .***| . | .***| . | ****| . | ****| . | ****| . |
. |***** . |****** . |***. . **| . . **| . . **| . .***| . *****| . . **| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5463 0.4532 0.4930 -0.0244 -0.3284 -0.3182 -0.3629 -0.3946 -0.3824
0.5463 0.6009 0.2745 -0.1693 -0.1808 -0.2436 -0.3039 -0.5094 -0.2336
Date: 05/30/08 Time: 09:37 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DKRT,DP(-i) .***| . . | . . | . . |***. . |**** . |***. . |***** . |***. . |* .
| | | | | | | | |
DKRT,DP(+i) .***| . | *****| . | ******| . | ******| . | . | . | . *| . | . |* . | . |**** | . |***** |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.3113 0.0128 0.0318 0.2958 0.3973 0.2930 0.4777 0.2649 0.0768
-0.3113 -0.5238 -0.6108 -0.6297 -0.0077 -0.1071 0.1361 0.3614 0.4894
85 Date: 05/30/08 Time: 09:38 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DKS,DP(-i) . |***. . | . . **| . . **| . *****| . . *| . . | . . | . . *| .
DKS,DP(+i) | | | | | | | | |
. |***. | . |******* | . |**** | . | . | . | . | . | . | . *| . | . **| . | ****| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3225 -0.0150 -0.1965 -0.2259 -0.4962 -0.1245 0.0306 -0.0297 -0.0988
0.3225 0.6725 0.3967 0.0061 0.0094 -0.0189 -0.1054 -0.1943 -0.3525
Date: 05/30/08 Time: 09:39 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DM,DP(-i) . |***** . |***** . |****** . |***** . |* . . | . . **| . .***| . *****| .
DM,DP(+i) | | | | | | | | |
. |***** . |***. . **| . *****| . ****| . .***| . . **| . . **| . . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.5006 0.5158 0.5939 0.4637 0.0587 -0.0021 -0.2291 -0.3073 -0.4937
0.5006 0.2847 -0.1556 -0.4478 -0.4294 -0.3206 -0.2342 -0.1833 -0.0839
Date: 05/30/08 Time: 09:40 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DM1,DP(-i) . |** . . | . . |**** . |* . . *| . . |***. . |** . . | . . **| .
DM1,DP(+i) | | | | | | | | |
. |** . . |***. .***| . ******| . . **| . . | . . *| . . *| . . |** .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1670 0.0105 0.3828 0.1355 -0.0577 0.2677 0.2429 -0.0396 -0.2316
0.1670 0.2926 -0.2987 -0.5686 -0.1666 -0.0407 -0.0620 -0.1151 0.1602
86 Date: 05/30/08 Time: 09:41 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DPN,DP(-i) . | . . |* . . *| . ******| . ****| . . | . . |** . . |***. . |* .
DPN,DP(+i) | | | | | | | | |
. | . . |* . . |* . . |** . . *| . . |***. . |* . . | . . **| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.0043 0.0976 -0.0977 -0.6225 -0.3552 0.0079 0.1946 0.2773 0.0826
0.0043 0.1261 0.0916 0.1917 -0.1428 0.2702 0.1429 0.0132 -0.1819
Date: 05/30/08 Time: 09:42 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DPT,DP(-i) .***| . . *| . . **| . . *| . . **| . . |**** . |***. . |** . . |** .
DPT,DP(+i) | | | | | | | | |
.***| . **| . *| . |* . | . | . | . | . |
. . . . . . . . .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.2609 -0.0687 -0.1963 -0.1435 -0.1797 0.4267 0.3447 0.2291 0.2250
-0.2609 -0.2448 -0.0744 0.0672 -0.0140 -0.0212 0.0222 -0.0069 -0.0062
Date: 05/30/08 Time: 09:43 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations
DPTIMAH,DP(-i)
DPTIMAH,DP(+i)
i
lag
lead
. *| . . *| . ****| . .***| . . *| . . *| . . |***. . |***** . |** .
. *| . . *| . . **| . . **| . . |* . . |***. . |***. . |***. . |** .
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.0989 -0.0487 -0.3684 -0.3232 -0.1354 -0.0719 0.3086 0.4972 0.2536
-0.0989 -0.0947 -0.1855 -0.1533 0.0860 0.2553 0.3482 0.2799 0.1582
| | | | | | | | |
| | | | | | | | |
87 Date: 05/30/08 Time: 09:45 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DX,DP(-i) . |** . . |***. . |****** . |****** . |** . . |***. . **| . .***| . ****| .
DX,DP(+i) | | | | | | | | |
. |** . . |* . . **| . ****| . ****| . . **| . . **| . . **| . . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.1853 0.2883 0.5846 0.5812 0.2480 0.3130 -0.1789 -0.3397 -0.3677
0.1853 0.1258 -0.2012 -0.4043 -0.4205 -0.2293 -0.1788 -0.1571 -0.0413
Date: 05/30/08 Time: 09:46 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DXK,DP(-i) . **| . . |* . . |** . . |**** . |****** . |***. . | . . **| . . **| .
DXK,DP(+i) | | | | | | | | |
. **| . .***| . ******| . ****| . . **| . . **| . . |* . . |**** . |****
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
-0.2029 0.1251 0.1915 0.4313 0.6373 0.3198 0.0346 -0.1605 -0.2209
-0.2029 -0.2840 -0.5506 -0.4278 -0.1819 -0.1904 0.1462 0.4453 0.4035
Date: 05/30/08 Time: 09:47 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DXKL,DP(-i) . |***** . |***. . |***** . |** . . |* . . | . . **| . .***| . ****| .
DXKL,DP(+i) | | | | | | | | |
. |***** | . |***. | . |***. | .***| . | ****| . | .***| . | ****| . | .***| . | . *| . |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.4827 0.3476 0.4798 0.2485 0.0994 0.0479 -0.1481 -0.2614 -0.3554
0.4827 0.3319 0.2550 -0.3351 -0.4375 -0.3416 -0.4316 -0.3054 -0.1329
88 Date: 05/30/08 Time: 09:48 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations DXM,DP(-i) . |***. . |* . . |***. . *| . . **| . . | . . **| . . **| . ****| .
DXM,DP(+i) | | | | | | | | |
. |***. . |**** . |* . . *| . . *| . . |* . . *| . . **| . . *| .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.2799 0.0563 0.3364 -0.1089 -0.2051 0.0129 -0.1609 -0.2118 -0.3470
0.2799 0.3975 0.1556 -0.1304 -0.1270 0.0784 -0.0799 -0.1662 -0.1075
Lampiran 4. Hasil Analisis Cross Correlation CLI dan Pajak Date: 06/26/08 Time: 08:23 Sample: 1986 2006 Included observations: 21 Correlations are asymptotically consistent approximations CLI,P(-i) . |***. . |** . . |***. . | . . **| . . | . . |* . . *| . .***| .
CLI,P(+i) | | | | | | | | |
. |***. . |**** . | . *****| . . **| . . *| . . *| . . **| . . | .
| | | | | | | | |
i
lag
lead
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0.3100 0.1657 0.3278 0.0297 -0.2100 0.0477 0.0880 -0.1206 -0.3090
0.3100 0.4430 -0.0409 -0.4929 -0.1487 -0.1098 -0.1275 -0.1854 -0.0015