ANALISIS KONTRIBUSI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DKI JAKARTA (PERIODE 2003-2007)
OLEH SITI NURBAITI H14051882
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
SITI NURBAITI. Analisis Kontribusi Sektor-sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Periode 2003-2007 (dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI ALEXANDI).
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu, dalam jangka waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya terdapat kemungkinan terjadi penurunan atau kenaikan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dicerminkan dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB dapat diartikan sebagai total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun). Kondisi geografis dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perekonomian suatu wilayah. Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia merupakan wilayah yang sangat strategis sebagai pusat kegiatan perekonomian. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai sektor-sektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta karena adanya sektor-sektor ekonomi unggulan dapat membangkitkan kinerja sektor riil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor ekonomi unggulan (leading sector) di Provinsi DKI Jakarta dan mengetahui kontribusi sektor-sektor unggulan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta. Selain itu akan dianalisis regulasi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan kontribusi sektor-sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta. Pada penelitian ini, untuk mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor ekonomi unggulan di Provinsi DKI Jakarta digunakan metode Location Quotient (LQ) dan untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi digunakan analisis Shift Share. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa nilai PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia sektor-sektor ekonomi menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 periode 2003-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 2003-2007, sektorsektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta adalah sektor listrik, gas dan air bersih; sektor konstruksi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor komunikasi dan transportasi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa. Sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor unggulan yang lemah karena memiliki nilai LQ yang uniter. Keberadaan sektor-sektor unggulan tersebut memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,87 persen per tahun. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta. Regulasi yang ditetapkan pemerintah pusat maupun pemerintah
Provinsi DKI Jakarta berjalan sinergis dan bertujuan untuk mendorong perkembangan sektor-sektor unggulan yang ada. Untuk mendorong peningkatan kontribusi sektor-sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendaknya memfokuskan kebijakan untuk mengembangkan sektor unggulan yang ada karena berperan besar terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan cara memberikan bantuan berupa penyediaan kios-kios bagi para pedagang tradisional agar tidak kalah saing dengan pedagang di pasar modern.
ANALISIS KONTRIBUSI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI DKI JAKARTA (PERIODE 2003-2007)
OLEH SITI NURBAITI H14051882
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Siti Nurbaiti
Nomor Registrasi Pokok
: H14051882
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Kontribusi Sektor-sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta (Periode 2003-2007)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Muhammad Findi A, M.E. NIP. 19730124 200710 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D. NIP. 19641023 198903 2 002
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 16 Juli 2009
Siti Nurbaiti H14051882
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Siti Nurbaiti, lahir pada tanggal 10 Mei 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan Ahmad Muzani dan Hariroh. Penulis menamatkan sekolah dasar pada Madrasah Ibtidaiyyah Sa’adatuddarain tahun 1999, kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 55 Jakarta dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis meninggalkan tanah kelahiran untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan penulis dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat dan menggali potensi diri sehingga bisa menjadi insan yang berguna bagi bangsa, negara, agama, dan keluarga. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswi Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis sempat aktif di beberapa organisasi seperti menjadi anggota SES-C (Shariah Economic Student Club), Tim Pengajar Assoy (Klub Belajar Ilmu Ekonomi), ikut serta di berbagai kepanitiaan acara, dan aktif sebagai beswan Djarum IPB tahun 2007-2008.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Kontribusi Sektor-sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta (Periode 2003-2007)”. Kajian tentang
sektor
unggulan
menjadi
topik
yang
menarik
karena
dapat
membangkitkan kinerja sektor riil sehingga dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, khususnya di Provinsi DKI Jakarta. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1) Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing penulis baik secara teknis maupun teoritis selama proses penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2) Dr. Sri Mulatsih selaku dosen penguji utama dan Tony Irawan, M.App.Ec selaku dosen penguji dari Komisi Pendidikan atas saran dan kritiknya terkait penulisan skripsi ini. Saran dan kritikan beliau sangat berharga bagi penyempurnaan skripsi ini. 3) Orang tua tercinta, Ayahanda Ahmad Muzani dan ibunda Hariroh, kakak dan adik tersayang atas doa dan motivasi yang membuat penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 4) Zainal Abidin, atas kesediaannya membantu dan menemani penulis dalam mencari data, juga atas doa dan motivasi yang telah diberikan. 5) Teman-teman satu bimbingan: Rininta, Dewinta, dan Diana atas motivasi, doa, dan kesediaannya dalam membantu penulis. 6) Khairani Putri (Ciput), Merlynda (Nenech), Maryam, Tia Rahmina (Tia), Nada, Secha, Vivi, Dhamar, Inna, Kiki, dan Sulis yang telah banyak membantu penulis. 7) Teman-teman Bateng dan satu liqo: Tanjung, Riri (Nyenye), Meirisa (Mei), Gita, Echa, Tyas Arum, Fitri, Uci, Uti, dan Murti.
8) Semua teman-teman seperjuangan IE ’42 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun penulis berterima kasih atas doa dan motivasi yang telah diberikan. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, 16 Juli 2009
Siti Nurbaiti H14051882
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 7 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................. 9 1.5. Ruang Lingkup........................................................................................ 9 II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 11 2.1. Pertumbuhan Ekonomi.......................................................................... 11 2.1.1. Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi............................................ 11 2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi...... 13 2.1.3. Ciri-Ciri Pertumbuhan Ekonomi Modern................................... 13 2.2. Definisi Sektor Unggulan...................................................................... 14 2.3. Analisis S-S (Shift Share) ..................................................................... 15 2.4. Metode LQ (Location Quotient) ........................................................... 17 2.5. Pendekatan Ekonomi Politik ................................................................. 18 2.6. Penelitian Terdahulu ............................................................................. 19 2.7. Kerangka Pemikiran.............................................................................. 21 III. METODE PENELITIAN................................................................................ 23 3.1. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 23 3.2. Metode Analisis Data............................................................................ 23 3.2.1. Analisis LQ (Location Quotient)................................................ 23 3.2.2. Analisis S-S (Shift Share) ........................................................... 24 3.2.3. Analisis Kualitatif....................................................................... 28 3.3. Konsep Data .......................................................................................... 29
ii
3.3.1. Definisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)................... 29 3.3.2. Kegunaan Data PDRB ................................................................ 31 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH ............................................................... 33 4.1. Kondisi Geografis ................................................................................. 33 4.2. Wilayah Administratif........................................................................... 34 4.3. Kependudukan ...................................................................................... 35 4.3.1. Pertumbuhan Penduduk.............................................................. 37 4.3.2. Komposisi Penduduk.................................................................. 38 4.4. Ketenagakerjaan.................................................................................... 39 4.5. Struktur Perekonomian ......................................................................... 40 4.6. Perkembangan Ekonomi Sektoral ......................................................... 43 4.6.1. Sektor Pertanian.......................................................................... 43 4.6.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian ........................................ 45 4.6.3. Sektor Industri Pengolahan......................................................... 46 4.6.4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih ............................................. 47 4.6.5. Sektor Konstruksi ....................................................................... 48 4.6.6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ................................... 49 4.6.7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi....................................... 50 4.6.8. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan.................... 52 4.6.9. Sektor Jasa-Jasa .......................................................................... 54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 56 5.1. Analisis Perubahan PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia Tahun 2003-2007.................................................................................. 56 5.2. Rasio PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia Tahun 2003-2007.................................................................................. 60 5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003-2007.................................................................................. 62 5.4. Sektor Unggulan ................................................................................... 66 5.5. Sektor Non Unggulan............................................................................ 68 5.6. Kontribusi Sektor-Sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta ..................................... 69
iii
5.7. Analisis Regulasi Sektor Unggulan di Provinsi DKI Jakarta ............... 71 5.7.1. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih ............................................. 71 5.7.2. Sektor Konstruksi ....................................................................... 76 5.7.3. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ................................... 82 5.7.4. Sektor Komunikasi dan Transportasi ......................................... 85 5.7.5. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan.................... 93 5.7.6. Sektor Jasa-Jasa .......................................................................... 95 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 98 6.1. Kesimpulan ........................................................................................... 98 6.2. Saran...................................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 100 LAMPIRAN........................................................................................................ 102
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2003-2007 (Persen) ............................................... 4 4.1. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kota Adm/Kabupaten Adm Tahun 2007 ........................................ 35 4.2. Persentase Penduduk yang Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2002-2007 (Persen) ........ 36 4.3. Kesempatan Kerja yang Terdaftar Menurut Kota Administrasi Tahun 2003-2007 (Jiwa)................................................................................ 40 4.4. Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2003-2007 (Persen) ............................................................................ 42 5.1. Perubahan PDRB Provinsi DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000, Tahun 2003 dan 2007 (Milyar).............. 56 5.2. Perubahan PDB Indonesia Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000, Tahun 2003 dan 2007 (Milyar).............. 59 5.3. Rasio PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia (Nilai Ra, Ri dan ri) ....................................................................................... 60 5.4. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional, Tahun 2003-2007 ............ 62 5.5. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional, Tahun 2003-2007 ...... 64 5.6. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah, Tahun 2003-2007............................................................... 65 5.7. Nilai Kuosien Lokasi di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2003-2007 ................ 69 5.8. Perkembangan Jumlah Subsidi / PSO (Public Service Obligations) (dalam Milyar Rupiah) .................................................................................. 74
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Model Analisis Shift Share ............................................................................ 17 2.2. Sistematika Kerangka Pemikiran ................................................................... 22
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Tabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan Periode 2003-2007 (Juta) ...................................................... 103 2. Tabel Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Periode 2003-2007 (Milyar) ........... 106 3. Tabel Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Periode 2003-2007 (Persen) ......................................... 109 4. Contoh Perhitungan Analisis Shift Share dan Metode Location Quotient...... 112
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sebagaimana tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), terdapat pernyataan yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi yang lebih serius dan terencana dengan baik di Indonesia baru dimulai sejak pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun pertama (Repelita I) tahun 1969, dan prosesnya berjalan mulus sejak itu hingga krisis ekonomi menimpa Indonesia tahun 1997 / 1998, walaupun selama jangka waktu tersebut Indonesia mengalami beberapa goncangan eksternal seperti merosotnya harga minyak mentah di pasar internasional dan apresiasi nilai tukar yen terhadap dolar AS selama tahun 1980-an. Baru pada saat krisis ekonomi terjadi, pembangunan ekonomi Indonesia terhenti, bahkan terjadi pertumbuhan PDB negatif pada tahun 1998 (Tambunan, 2003). Pertumbuhan
ekonomi
merupakan
suatu
proses
bagaimana
suatu
perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu, dalam jangka waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya terdapat kemungkinan terjadi penurunan atau kenaikan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi dapat juga didefinisikan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan
2
peningkatan
kesejahteraan.
Pertumbuhan
ini
ditandai
dengan
adanya
pembangunan yang lebih baik, meliputi bidang produksi maupun infrastruktur. Proses pertumbuhan ekonomi harus bersifat self generating. Hal ini berarti bahwa proses
pertumbuhan
menghasilkan
kekuatan
bagi
timbulnya
kelanjutan
pertumbuhan tersebut dalam periode-periode selanjutnya. Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi dengan sendirinya juga akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Pembangunan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian dan pertambangan) ke sektor sekunder (industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; dan bangunan / konstruksi) dan tersier (perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan / transportasi dan jasa). Pembangunan
dapat
dibedakan
menjadi
pembangunan
fisik
dan
pembangunan sosial ekonomi. Pembangunan fisik dapat berupa pembangunan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan (mall), pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang dapat meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Sedangkan pembangunan sosial ekonomi meliputi pembangunan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dalam segala bidang sehingga Sumber Daya Manusia tersebut dapat berperan sebagai sumber pembangunan wilayah. Selain itu juga adanya perbaikan dalam birokrasi agar kinerjanya menjadi lebih efisien. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dicerminkan dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB dapat diartikan sebagai total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu
3
tertentu (satu tahun). Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui tiga pendekatan, yaitu: pendekatan produksi, pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya, dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha, yaitu: Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Bangunan; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi; Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan serta Jasa-Jasa (BPS, 2007). Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yaitu: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Ekspor netto adalah ekspor dikurangi impor (BPS, 2007). Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lainnya (BPS, 2007).
4
Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2003-2007 (Persen)
Lapangan Usaha
2003
2004
2005
2006
2007
1.Pertanian
-15,71
-1,27
1,05
1,13
1,55
2.Pertambangan/Penggalian
-14,08
-6,81
-7,24
1,87
0,46
3.Industri Pengolahan
5,05
5,74
5,07
4,97
4,60
4.Listrik, Gas dan Air Bersih 5.Bangunan
5,70 4,04
5,66 4,42
6,95 5,89
4,99 7,12
5,20 7,81
6,60
6,96
7,89
6,47
6,88
12,57
12,63
13,28
14,36
15,25
3,97 5,24
4,17 4,65
4,10 5,06
3,82 5,56
4,47 6,08
5,31
5,65
6,01
5,95
6,44
6.Perdagangan, Hotel dan Restoran 7.Pengangkutan dan Komunikasi 8.Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan 9.Jasa-jasa PDRB
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2008.
Berdasarkan data pada Tabel 1.1, terlihat bahwa selama periode 2003 sampai 2007, laju pertumbuhan PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi adalah tertinggi dibandingkan sektor yang lain dan pada tahun 2007 angka laju pertumbuhan PDRB sektor pengangkutan dan komunikasi adalah paling tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena naiknya jumlah penumpang kendaraan umum menjelang dan pada saat lebaran 2008. Warga Jakarta berusaha mudik dengan menggunakan angkutan darat, laut, dan udara. Sedangkan dari sektor komunikasi banyak perusahaan operator telepon mengklaim jumlah pelanggannya naik sampai jutaan orang. Selain itu, banyak juga yang membeli telepon selular pada saat lebaran.
5
Pembangunan suatu daerah tergantung pada kemampuan daerah tersebut dalam mengelola kekayaan alam yang dimiliki. Setiap daerah diberi kebebasan dalam mengelola sumber daya lokal dan dituntut untuk bisa menemukan potensi pengembangan ekonomi unggulannya, terlebih lagi setelah diberlakukannya otonomi daerah tahun 1999. Dengan ekonomi unggulan itu, daerah juga dituntut berupaya mengoptimalkan penggunaan input dan perbaikan proses agar ekonomi unggulan dapat dimanfaatkan potensinya secara optimal sehingga dapat memenuhi
kebutuhan
masyarakat
yang
pada
gilirannya
akan
tercipta
kesejahteraan masyarakat. Kondisi geografis dapat menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan perekonomian suatu wilayah. Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia merupakan wilayah yang sangat strategis sekaligus sebagai pusat kegiatan perekonomian. Ketimpangan pembangunan dan tingkat kemakmuran antara Provinsi DKI Jakarta dengan daerah sekitarnya menyebabkan timbulnya arus imigrasi ke Jakarta secara besar-besaran terutama didorong oleh motif ekonomi, yaitu ingin memperbaiki nasib dengan hidup di kota. Keberadaan sektor-sektor unggulan yang mampu menyerap tenaga kerja relatif besar menjadi insentif utama bagi kaum imigran. Tingkat pendapatan yang tinggi di Provinsi DKI Jakarta juga ikut menjadi insentif yang sangat menjanjikan, apalagi bagi mereka yang berpenghasilan minim sewaktu mereka hidup di kampung halaman. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), data PDRB Provinsi DKI Jakarta dalam triwulan ketiga tahun 2008 tumbuh sebesar 6,15
6
persen dan hampir semua sektor mengalami pertumbuhan positif. Porsi terbesar disumbangkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 14,80 persen, sektor konstruksi sebesar 7,79 persen dan sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 7,28 persen (Kompas, 2008). Dari data ini, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang ada. Namun, harus dianalisis lebih lanjut sektor-sektor apa saja yang tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Perbaikan ekonomi akan terjadi sejalan dengan implementasi berbagai kebijakan pemerintah di sektor riil yang didukung dengan terjaganya stabilitas makroekonomi serta membaiknya persepsi bisnis para pelaku ekonomi dan kepercayaan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh beberapa sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah, kredit perbankan, pembiayaan eksternal, dan sumber lainnya. Kredit perbankan mempunyai peran sebesar 22,5 persen dalam membiayai pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2005. Kredit perbankan biasanya diberikan kepada sektor-sektor ekonomi unggulan yang mempunyai risiko kualitas pembiayaan yang rendah (Gamal, 2006). Pengaruh sektor ekonomi secara nasional, belum tentu memengaruhi kinerja sektor ekonomi yang sama di daerah lain. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai sektor-sektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan di suatu daerah (dalam kasus ini adalah Provinsi DKI Jakarta) karena adanya sektor-sektor ekonomi unggulan dapat membangkitkan kinerja sektor riil yang nantinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Selain itu, pemerintah juga bisa fokus dalam memperbaiki iklim investasi dan infrastrukturnya serta
7
menetapkan berbagai kebijakan yang tepat terkait dengan adanya sektor-sektor unggulan tersebut.
1.2. Rumusan Masalah Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka diberlakukan otonomi daerah di Indonesia sehingga setiap daerah administratif diberikan kebebasan untuk menentukan arah pembangunan ekonominya masing-masing karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui potensi yang dimiliki daerahnya. Akan tetapi, karena UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga kedua UU ini kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selain itu, kedua UU ini baru mencakup tahapan administratif, belum sampai pada desentralisasi ekonomi dan desentralisasi pasar. Menurut UU No. 32 dan 33 Tahun 2004, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara
8
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Namun, dalam pelaksanaannya pemerintah daerah menghadapi kendala keterbatasan dana. Untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah harus menentukan prioritas terkait dengan sektor-sektor ekonomi apa saja yang harus dikembangkan. Hal ini sangat penting dilakukan agar Pemda dapat mengalokasikan dana yang terbatas secara tepat untuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengajukan beberapa permasalahan, diantaranya: 1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor ekonomi unggulan (leading sector) di Provinsi DKI Jakarta ? 2. Bagaimana
kontribusi
sektor-sektor
unggulan
tersebut
terhadap
pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta ? 3. Regulasi apa yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan sektor-sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta ?
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor ekonomi unggulan (leading sector) di Provinsi DKI Jakarta. 2. Mengetahui
kontribusi
sektor-sektor
unggulan
pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta.
tersebut
terhadap
9
3. Menganalisis regulasi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan kontribusi sektor-sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Mengetahui sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta sekaligus sebagai bahan masukan bagi pemerintah agar dapat memberikan perhatian lebih terhadap sektor-sektor unggulan yang berpotensi meningkatkan kinerja perekonomian khususnya di Provinsi DKI Jakarta. 2. Sebagai media untuk mempublikasikan kontribusi sektor unggulan tersebut terhadap perekonomian Provinsi DKI Jakarta. 3. Memberikan gambaran mengenai regulasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait dengan keberadaan sektor-sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta.
1.5. Ruang Lingkup Dalam penelitian ini, permasalahan yang akan dibahas penulis hanya terbatas pada: 1. Sektor-sektor ekonomi berdasarkan lapangan usaha apa saja yang menjadi sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta yang ditentukan melalui instrumen LQ (Location Quotient) dan Shift Share.
10
2. Bagaimana
kontribusi
sektor-sektor
unggulan
tersebut
terhadap
pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dan bagaimana regulasi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta sebagai
bentuk respon terhadap keberadaan sektor-sektor unggulan tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Ekonomi 2.1.1. Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi • Teori Klasik Adam Smith melalui bukunya An Inquiry into The Nature and Cause of The Wealth of Nations yang terbit pada tahun 1776 menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan penduduk. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Lebih lanjut, spesialisasi akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga meningkatkan upah dan keuntungan. Dengan demikian, proses pertumbuhan akan terus berlangsung sampai seluruh sumber daya termanfaatkan. Sementara itu, David Ricardo dalam bukunya The Principles of Political Economy and Taxation yang terbit pada tahun 1917, mengemukakan pandangan yang bertentangan dengan Adam Smith. Menurutnya, perkembangan penduduk yang berjalan cepat pada akhirnya akan menurunkan kembali tingkat pertumbuhan ekonomi ke taraf yang rendah. Pola pertumbuhan ekonomi menurut Ricardo berawal dari jumlah penduduk rendah dan sumber daya alam relatif melimpah. Secara garis besar, berdasarkan teori pertumbuhan Klasik, dapat disimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat tergantung pada empat faktor, yaitu jumlah penduduk, akumulasi kapital, luas lahan, dan teknologi (Priyarsono, Sahara, dan Firdaus, 2007).
12
• Teori Keynes Menurut Keynes, untuk menjamin pertumbuhan yang stabil pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal (perpajakan dan belanja pemerintah), kebijakan moneter (tingkat suku bunga dan jumlah uang yang beredar), dan pengawasan langsung. Keynes menyatakan bahwa pendapatan total merupakan fungsi dari pekerjaan total dalam suatu negara. Semakin besar pendapatan nasional, semakin besar volume pekerjaan yang dihasilkan, demikian sebaliknya. Volume pekerjaan tergantung pada permintaan efektif. Permintaan efektif ditentukan pada titik saat harga permintaan agregat sama dengan harga penawaran agregat. • Teori Harrod-Domar Teori ini melengkapi teori Keynes, dimana Keynes melihat dalam jangka pendek (kondisi statis), sedangkan Harrod-Domar melihat dalam jangka panjang (kondisi dinamis). Harrod-Domar menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap, di mana seluruh kenaikan produksi dapat diserap oleh pasar, hanya dapat dicapai jika memenuhi syarat-syarat keseimbangan, yaitu g = k = n, dengan g adalah tingkat pertumbuhan output (growth), k adalah tingkat pertumbuhan modal (capital), dan n adalah tingkat pertumbuhan angkatan kerja (Priyarsono, et al., 2007). • Teori Schumpeter Proses
pertumbuhan
ekonomi
menurut
Schumpeter
adalah
proses
peningkatan dan penurunan kegiatan ekonomi yang berjalan secara siklikal. Pembaruan-pembaruan yang dilakukan oleh para pengusaha berperan dalam peningkatan kegiatan ekonomi. Dalam proses siklikal tersebut, tingkat
13
keseimbangan yang baru akan selalu berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat keseimbangan sebelumnya.
2.1.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Adam Smith dalam Boediono (1982), yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan output (GDP) total dan pertumbuhan penduduk. Smith melihat sistem produksi suatu negara terdiri dari 3 unsur pokok, yaitu (1) sumber-sumber alam yang tersedia (faktor produksi tanah), (2) sumbersumber manusiawi (jumlah penduduk). Jumlah penduduk meningkat apabila tingkat upah lebih tinggi daripada tingkat upah subsistensi, yaitu tingkat upah minimal untuk seseorang agar dapat mempertahankan hidupnya, (3) stok barang kapital yang ada.
2.1.3. Ciri-Ciri Pertumbuhan Ekonomi Modern Menurut Kuznets dalam Jhingan (2004), secara garis besar terdapat enam ciri pertumbuhan ekonomi modern, yaitu : 1. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Produk Per Kapita Pertumbuhan ekonomi modern ditandai dengan laju kenaikan produk per kapita yang tinggi disertai dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat. 2. Peningkatan Produktivitas Pertumbuhan ekonomi modern terlihat dari semakin meningkatnya laju produk per kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input.
14
3. Laju Perubahan Struktural yang Tinggi Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi modern mencakup peralihan dari kegiatan pertanian ke nonpertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam skala unit-unit produktif, dan peralihan dari perusahaan perseorangan menjadi perusahaan berbadan hukum, serta perubahan status kerja buruh. 4. Urbanisasi Pertumbuhan ekonomi modern ditandai dengan semakin banyaknya penduduk di negara maju yang berpindah dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan. 5. Ekspansi Negara Maju 6. Arus Barang, Modal, dan Orang Antarbangsa
2.2. Definisi Sektor Unggulan Sektor unggulan adalah sektor yang salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan faktor anugerah (endowment factors). Selanjutnya faktor ini berkembang lebih lanjut melalui kegiatan investasi dan menjadi tumpuan kegiatan ekonomi. Kriteria sektor unggulan akan sangat bervariasi. Hal ini didasarkan atas seberapa besar peranan sektor tersebut dalam perekonomian daerah, diantaranya : pertama, sektor unggulan tersebut memiliki laju pertumbuhan yang tinggi; kedua, sektor tersebut memiliki angka penyerapan tenaga kerja yang relatif besar; ketiga, sektor tersebut memiliki keterkaitan antar sektor yang tinggi baik ke depan
15
maupun ke belakang; keempat, dapat juga diartikan sebagai sektor yang mampu menciptakan nilai tambah yang tinggi (Sambodo dalam Sondari, 2007).
2.3. Analisis S-S (Shift Share) Analisis Shift Share (SS) merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis struktur perekonomian di suatu wilayah. Selain itu, dapat juga digunakan untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian suatu wilayah selama dua periode waktu. Analisis SS ini pertama kali diperkenalkan oleh Perloff, et al. pada tahun 1960. Analisis ini dapat dilakukan pada tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Di tingkat kabupaten, analisis ini berguna untuk melihat kecamatankecamatan mana saja yang memberikan kontribusi pertumbuhan paling besar terhadap perekonomian kabupaten tersebut. Selain itu, melalui analisis ini juga dapat diketahui sektor mana saja yang mengalami pertumbuhan yang paling cepat di masing-masing wilayah kecamatan tersebut. Di tingkat provinsi, dapat diketahui kabupaten-kabupaten mana saja beserta sektor-sektornya yang memberikan kontribusi paling besar terhadap pertumbuhan di tingkat provinsi. Menurut Budiharsono dalam Priyarsono, et al. (2007), secara umum terdapat 3 (tiga) komponen pertumbuhan wilayah dalam analisis SS, yaitu: komponen Pertumbuhan Nasional (PN), komponen Pertumbuhan Proporsional (PP), dan komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) adalah perubahan produksi/ kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/
16
kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang memengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Contohnya antara lain kecenderungan inflasi, pengangguran dan kebijakan perpajakan. Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) timbul karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support serta perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Apabila PP + PPW ≥ 0 maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong
17
lambat.
Komponen Pertumbuhan Nasional
Wilayah ke-j sektor ke-i
Wilayah ke-j sektor ke-i
Maju PP + PPW ≥ 0 Lambat PP + PPW < 0
Komponen Pertumbuhan Proporsional
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Sumber : Budiharsono dalam Priyarsono, et al. (2007)
Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share 2.4. Metode LQ (Location Quotient) Metode ini berguna untuk menentukan sektor basis dan sektor non-basis dengan cara menghitung perbandingan antara pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan total semua sektor di daerah atasnya. Daerah bawah dan daerah atas yang dimaksud adalah daerah administratif. Misalnya dalam penelitian ini analisis dilakukan pada tingkat provinsi, maka daerah bawahnya adalah provinsi dan daerah atasnya adalah nasional.
18
2.5. Pendekatan Ekonomi Politik Pendekatan politik biasanya lebih berorientasi kepada cita-cita atau visi sebuah bangsa secara kolektif dan kurang memperhatikan kepentingan bangsa sebagai individu. Sementara itu, pendekatan ekonomi lebih berorientasi kepada visi individu di dalam kelompok masyarakat suatu bangsa dan kadang-kadang terpaksa mengorbankan kepentingan kolektif suatu bangsa (Karseno, 1997). Faktor politik ikut membantu dalam pertumbuhan ekonomi modern. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi Inggris, Jerman, Amerika Serikat, Jepang dan Perancis merupakan hasil dari stabilitas politik yang kokoh sejak abad ke-19. Struktur politik yang lemah merupakan penghambat besar bagi pembangunan ekonomi suatu negara (Jhingan, 2004). Adanya birokrasi yang kuat, efisien, dan tidak korupsi juga sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Reformasi birokrasi bisa mencakup penguatan masyarakat sipil, supremasi hukum, strategi pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan memengaruhi. Namun, yang perlu ditekankan dari birokrasi suatu pemerintahan adalah status public servant (pelayanan masyarakat) yang bertugas memberikan layanan terbaik untuk rakyat, bukan untuk kepentingan individu (Damanhuri, 2006). Pemerintah diharapkan dapat memberikan jasa-jasa yang diperlukan masyarakat,
seperti
perlindungan
hukum
dalam
bentuk
regulasi
yang
nondiskriminatif, transparan, obyektif dan tegas yang bertujuan untuk mengatur kehidupan ekonomi agar kesejahteraan masyarakat dapat tercapai karena tidak ada
19
negara yang berhasil maju tanpa dorongan positif dari pemerintahan yang cakap (Lewis dalam Jhingan, 2004).
2.6. Penelitian Terdahulu Penelitian dengan menggunakan analisis Shift Share (S-S) dan Location Quotient (LQ) telah banyak dilakukan sebelumnya, seperti yang telah dilakukan oleh Royan (2006) dengan judul “Analisis Transformasi Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Periode 1993-2004” menggunakan analisis Shift Share untuk menganalisis transformasi ekonomi atau perubahan struktur ekonomi Provinsi DKI Jakarta. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perekonomian Provinsi DKI Jakarta masih didominasi oleh sektor sekunder kemudian sektor tersier, sedangkan sektor primer mengalami pergeseran ke arah penurunan. Hal ini dilihat dari besarnya perubahan PDRB sektor sekunder yang diwakili oleh sektor listrik, gas dan air bersih yang memiliki nilai perubahan terbesar kemudian perubahan terbesar kedua ditempati sektor tersier yang diwakili oleh sektor pengangkutan dan komunikasi. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah tahun yang digunakan peneliti serta fenomena yang dikaji. Pada penelitian sebelumnya tahun yang digunakan dari 1993 sampai dengan tahun 2004, sedangkan penelitian ini menggunakan periode tahun 2003-2007. Fenomena yang dikaji pun berbeda. Pada penelitian sebelumnya fenomena yang dianalisis adalah transformasi ekonomi di Provinsi DKI Jakarta, sedangkan pada penelitian ini fenomena yang dianalisis adalah peranan sektor-sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta sehingga dapat diketahui sektorsektor apa saja yang menjadi sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta dalam
20
kurun waktu 2003-2007 serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta. Harisman (2007) dengan judul “Analisis Struktur Perekonomian dan Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Lampung Periode 1993-2003” menggunakan analisis Shift Share untuk menganalisis apakah terjadi perubahan struktur ekonomi di Provinsi Lampung. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa di Provinsi Lampung telah terjadi perubahan struktur ekonomi dari sektor primer ke sekunder yang dilihat dari peranan sektor sekunder yang terus meningkat melalui besarnya kontribusi terhadap PDRB Provinsi Lampung. Hasil analisis dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) menunjukkan bahwa di Provinsi Lampung terdapat 3 sektor basis yang merupakan sektor unggulan, yaitu : sektor pertanian, bangunan / konstruksi, serta pengangkutan dan komunikasi. Sondari (2007) dengan judul “Analisis Sektor Unggulan dan Kinerja Ekonomi Provinsi Jawa Barat Periode 2001-2005” menggunakan metode analisis LQ dan hasilnya menyimpulkan bahwa selama kurun waktu 2001-2005, sektor yang menjadi sektor basis dan merupakan sektor unggulan di Provinsi Jawa Barat yaitu listrik, gas dan air bersih, sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Restiviana (2008) dengan judul “Analisis Perekonomian Wilayah Kabupaten Banyuwangi 2003-2006” menggunakan analisis Shift Share dan Location Quotient. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sektor perekonomian Kabupaten Banyuwangi yang menunjukkan pertumbuhan terbesar pada periode 2003-2006 adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor transportasi dan
21
komunikasi, sektor bangunan serta sektor listrik, gas dan air bersih. Sedangkan sektor perekonomian yang memiliki tingkat pertumbuhan terkecil adalah sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini disebabkan karena mata pencaharian masyarakat Kabupaten Banyuwangi tidak didominasi oleh kegiatan produksi di sektor tersebut, melainkan di sektor pertanian. Berdasarkan analisis LQ, didapat bahwa di Kabupaten Banyuwangi terdapat 3 sektor unggulan yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian,
serta sektor keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan.
2.7. Kerangka Pemikiran Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu daerah yang di dalamnya terpusat berbagai macam kegiatan ekonomi, menjadikan daerah ini sebagai salah satu prioritas dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang bisa berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta tidak terlepas dari adanya sektor-sektor ekonomi unggulan yang memberikan kontribusi terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta. Laju pertumbuhan ekonomi yang berasal dari perubahan PDRB menurut 9 sektor perekonomian berdasarkan lapangan usaha ini dianalisis dengan menggunakan analisis Shift Share dan metode Location Quotient. Selanjutnya, pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun pemerintah pusat harus merumuskan kebijakan atau regulasi untuk mengatur keberadaan sektor-sektor unggulan tersebut agar dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang
22
berkelanjutan. Secara Skematis, kerangka pemikiran dapat dijelaskan pada gambar 2.
PDRB Provinsi DKI Jakarta periode 2003-2007
9 sektor perekonomian menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 2000 Dianalisis dengan
Analisis Shift Share (SS)
Metode Location Quotient (LQ) Sektor-sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta Regulasi pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Gambar 2.2. Sistematika Kerangka Pemikiran
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah jenis data sekunder, yaitu data PDRB sektor-sektor ekonomi menurut lapangan usaha di Provinsi DKI Jakarta dari tahun 2003 sampai tahun 2007 dan data PDB sektor-sektor ekonomi menurut lapangan usaha di Indonesia periode 2003-2007. Data ini diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi DKI Jakarta, berbagai literatur, internet, dan sumber-sumber lainnya. Penulis menggunakan data tahun 2003 sampai tahun 2007 karena kondisi perekonomian di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat dalam jangka waktu relatif 5 tahun. Selain itu juga karena Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang kuat sejak tahun 2003 dan pada tahun 2007 perekonomian Indonesia mencapai pertumbuhan tertinggi dalam lima tahun terakhir, yaitu sebesar 6,32 %. Selama kurun waktu tersebut, PDB Indonesia juga menunjukkan trend yang meningkat walaupun pada tahun 2006 mengalami sedikit perlambatan.
3.2. Metode Analisis Data 3.2.1. Analisis LQ (Location Quotient) Dalam analisis ini dilakukan perbandingan antara pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan total semua sektor di daerah atasnya. Rumus LQ dapat dituliskan :
24
LQ =
Sib / Sb Sia / Sa
Keterangan: Sib
= Pendapatan sektor i pada daerah bawah (Provinsi DKI Jakarta)
Sb
= Pendapatan total semua sektor daerah bawah (Provinsi DKI Jakarta)
Sia
= Pendapatan sektor i pada daerah atas (nasional)
Sa
= Pendapatan total semua sektor daerah atas (nasional) Jika nilai LQ > 1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis.
Sebaliknya, apabila nilai LQ < 1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor nonbasis.
3.2.2. Analisis S-S (Shift Share) Dalam menggunakan analisis Shift Share, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah : 1. Menentukan wilayah yang akan dianalisis. Dalam penelitian ini, wilayah yang akan dianalisis adalah wilayah Provinsi DKI Jakarta. 2. Menentukan indikator kegiatan ekonomi dan periode analisis. Indikator kegiatan ekonomi yang digunakan di sini adalah pendapatan yang dicerminkan dari nilai PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia. Sedangkan periode analisis yang digunakan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. 3. Menentukan sektor ekonomi yang akan dianalisis. Sektor ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sektor ekonomi berdasarkan
25
lapangan usaha yang terdiri dari 9 sektor, yaitu : sektor Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Bangunan/ Konstruksi; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan
dan
Komunikasi;
Keuangan,
Persewaan
dan
Jasa
Perusahaan, serta Jasa-Jasa. 4. Menghitung perubahan indikator kegiatan ekonomi, dengan menghitung persentase perubahan PDRB : % ∆Yij = [(Y'ij – Yij)/ Yij] • 100% Keterangan: ∆Yij
= perubahan pendapatan sektor i pada wilayah j
Yij
= pendapatan dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis
Y'ij
= pendapatan dari sektor i pada wilayah j pada tahun akhir analisis
5. Menghitung Rasio indikator kegiatan ekonomi yang terdiri dari: a) ri
ri = (Y'ij – Yij) / Yij ; dengan ri adalah rasio pendapatan sektor i pada wilayah j. b) Ri
Ri = (Y'i - Yi) / Yi ; dengan Ri adalah rasio pendapatan (nasional) dari sektor i, Y'i adalah pendapatan (nasional) dari sektor i pada tahun akhir analisis, dan Yi adalah pendapatan (nasional) dari sektor i pada tahun dasar analisis.
26
c) Ra
Ra = (Y'..-Y..) / Y.. ; dengan Ra adalah rasio pendapatan (nasional), Y'..adalah pendapatan (nasional) pada tahun akhir analisis, dan Y..adalah pendapatan (nasional) pada tahun dasar analisis. 6. Menghitung Komponen Pertumbuhan Wilayah a) Komponen Pertumbuhan Nasional (PN)
PNij = (Ra)Yij Keterangan: PNij = komponen pertumbuhan nasional sektor i untuk wilayah j Yij
= pendapatan dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis
b) Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)
PPij = (Ri-Ra)Yij ; di mana PPij adalah komponen pertumbuhan proporsional sektor i untuk wilayah j. Apabila: PPij < 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya lambat. PPij > 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya cepat. c) Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)
PPWij = (ri-Ri)Yij ; di mana PPWij adalah komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i untuk wilayah j.
27
Apabila: PPWij < 0, berarti sektor i pada wilayah j tidak dapat bersaing dengan baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya. PPWij > 0, berarti sektor i pada wilayah j mempunyai daya saing yang baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. 7. Rumus-rumus lain yang dapat digunakan adalah : a) Perubahan dalam PDRB sektor i pada wilayah ke j dirumuskan sebagai berikut : ∆Yij = PNij + PPij + PPWij
(1)
∆Yij = Y'ij – Yij
(2)
b) Rumus ketiga komponen pertumbuhan wilayah adalah : PNij = Yij (Ra)
(3)
PPij = Yij (Ri – Ra)
(4)
PPWij = Yij (ri – Ri)
(5)
c) Apabila persamaan (2), (3), (4) dan (5) disubstitusikan ke persamaan (1) maka : ∆Yij = PNij + PPij + PPWij Y'ij – Yij = Y'ij – Yij + Yij (Ri – Ra) + Yij (ri – Ri) d) Persentase ketiga pertumbuhan wilayah dapat dirumuskan : %PNij = Ra %PPij = Ri – Ra %PPWij = ri – Ri
28
Atau : %PNij = (PNij) / Yij * 100% %PPij = (PPij) / Yij * 100% %PPWij = (PPWij) / Yij * 100%
3.2.3. Analisis Kualitatif Analisis kualitatif digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi. Dalam penelitian ini, analisis kualitatif yang digunakan adalah analisis dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik. Persoalan paling mendasar dalam bidang studi ekonomi politik adalah masalah prioritas penempatan posisi faktor-faktor ekonomi politik dalam kerangka hubungan kausalitas di antara keduanya. Dengan menggunakan analisis ini akan dijelaskan bagaimana implikasi sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta terhadap kebijakan regulasi Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penggunaan analisis ini diharapkan dapat mendukung analisis-analisis yang digunakan sebelumnya. Faktor-faktor politik dikemukakan sebagai faktor-faktor yang relevan untuk menjelaskan variasi tingkat pertumbuhan ekonomi. Ada 2 macam model yang sering ditonjolkan untuk menyoroti interaksi antara faktor-faktor politik dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, faktor-faktor politik dipandang sebagai faktor selain variabel-variabel ekonomi internasional yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi, atau dimodelkan sebagai determinan tingkat pertumbuhan melalui dampaknya terhadap berbagai variabel ekonomi standar. Politik dapat
29
menjelaskan apa yang belum dapat dijelaskan oleh faktor-faktor ekonomi, mengingat kedudukannya sebagai determinan yang setara. Radon dalam Lane dan Ersson (1994) mengatakan bahwa struktur institusi-institusi sangat memengaruhi pembangunan ekonomi, senada dengan inti institusionalisme. Semakin terpecah suatu struktur politik menjadi koalisi-koalisi distribusional dalam berbagai ukuran dan kekuatan, akan semakin sulit memacu pertumbuhan ekonomi di negara atau masyarakat yang bersangkutan. Menurut teori ini, yang paling utama bukan pembuatan keputusan politik melainkan pertalian
keseluruhan
struktur
kelompok-kelompok
kepentingan
dengan
kewenangan pemerintah yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi.
3.3. Konsep Data 3.3.1. Definisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (neto) yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Dalam penelitian ini, tahun dasar yang digunakan adalah tahun 2000. PDRB atas dasar
30
harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun (Badan Pusat statistik, 2007). Untuk menghitung PDRB, ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu :
a. Pendekatan Produksi, PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor), yaitu: Pertanian; Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Bangunan; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan
dan
Komunikasi;
Keuangan,
Persewaan
dan
Jasa
Perusahaan; dan Jasa-jasa.
b. Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan (balas jasa kewiraswastaan/entrepreneurship).
c. Pendekatan Pengeluaran, PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik
31
bruto, perubahan stok dan ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).
3.3.2. Kegunaan Data PDRB Manfaat yang dapat diperoleh dari data ini antara lain : 1. PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah sekaligus menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu daerah. 2. PDRB atas dasar harga konstan (riil) dapat digunakan untuk menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun. 3. Distribusi PDRB harga berlaku menurut sektor menunjukkan struktur perekonomian atau peranan setiap sektor ekonomi dalam suatu daerah. 4. PDRB harga berlaku menurut penggunaan menunjukkan produk barang dan jasa digunakan untuk tujuan konsumsi, investasi dan diperdagangkan dengan pihak luar negeri. 5. Distribusi
PDRB
menurut
penggunaan
menunjukkan
peranan
kelembagaan dalam menggunakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi. 6. PDRB penggunaan atas dasar harga konstan bermanfaat untuk mengukur laju pertumbuhan konsumsi, investasi dan perdagangan luar negeri.
32
7. PDRB per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDRB per kepala atau per satu orang penduduk. 8. PDRB per kapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita penduduk suatu daerah.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1. Kondisi Geografis Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian ratarata kurang lebih 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48' Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 Tahun 2007 adalah berupa daratan seluas 662,33 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Wilayah Provinsi DKI Jakarta memiliki sekitar 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu dan sekitar 27 buah sungai yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Di sebelah utara membentang pantai dari barat sampai ke timur sepanjang kurang lebih 35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan 2 buah kanal. Batas wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut: Sebelah Selatan : Kota Depok Sebelah Timur : Provinsi Jawa Barat Sebelah Barat
: Provinsi Banten
Sebelah Utara
: Laut Jawa
Daerah di sebelah selatan dan timur Provinsi DKI Jakarta terdapat rawa atau situ dengan total luas mencapai 121,40 Ha. Kedua wilayah ini cocok digunakan sebagai daerah resapan air dengan iklimnya yang lebih sejuk sehingga ideal dikembangkan sebagai wilayah penduduk. Sementara itu, di wilayah Jakarta Barat masih tersedia cukup lahan untuk dikembangkan sebagai daerah perumahan.
34
Kegiatan industri lebih banyak terdapat di Jakarta Utara dan Jakarta Timur, sedangkan untuk kegiatan usaha dan perkantoran banyak terdapat di Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Keadaan Provinsi DKI Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 32,7°C - 34°C pada siang hari dan suhu udara minimum berkisar 23,8°C - 25,4°C pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm. Tingkat kelembapan udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik.
4.2. Wilayah Administratif Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota Administrasi dan satu Kabupaten Administratif, yaitu: Kota Admininistrasi Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara masing-masing dengan luas daratan seluas 141,27 km2, 188,03 km2, 48,13 km2, 129,54 km2 dan 146,66 km2 serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu (8,70 km2).
35
Tabel 4.1. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kota Adm/Kabupaten Adm Tahun 2007 Kota Adm/Kab Adm
Luas Area (km2)
Jmlh Kecamatan
Jmlh Kelurahan
Jakarta Selatan
141,27
10
65
Jakarta Timur
188,03
10
65
Jakarta Pusat
48,13
8
44
Jakarta Barat
129,54
8
56
Jakarta Utara
146, 66
6
31
Kep. Seribu
8,70
2
6
Jumlah/Total
662,33
44
267
Sumber: SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 171 Tahun 2007.
4.3. Kependudukan Berdasarkan hasil estimasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2007, jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta sebanyak 9,06 juta jiwa. Dengan luas wilayah 662,33 km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,7 ribu/km2, sehingga menjadikan provinsi ini sebagai wilayah dengan penduduk terpadat di Indonesia. Dari jumlah tersebut penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki, seperti yang terlihat dari sex ratio yang kurang dari 100 yaitu 99,49. Sementara itu, pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk usia 10 tahun ke atas pada jenjang SLTA sekitar 33,71 persen, sementara untuk jenjang SLTP sekitar 20,29 persen, dan maksimal tamat SD sekitar 20,50 persen, sedangkan jenjang Akademi/Universitas sebanyak 12,95 persen.
36
Tabel 4.2. Persentase Penduduk yang Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2002-2007 (Persen) Jenis Pendidikan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Belum Tamat SD
12,03
10,20
10,44
12,84
11,91
12,55
Sekolah Dasar
22,54
21,36
20,66
22,46
20,95
20,50
20,44
22,80
21,92
20,48
19,58
20,29
Atas
33,26
37,21
36,80
34,34
35,23
33,71
Akademi/Universitas
11,73
8,43
10,18
9,88
12,33
12,95
Total
100,00
100,00
100,00
100,00
Tidak Sekolah &
Sekolah Lanjutan Pertama Sekolah Lanjutan
100,00 100,00
Sumber: diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), 2007.
Pertumbuhan penduduk mengalami peningkatan dari 0,15 persen pada periode 1990-2000 menjadi 1,11 persen pada periode 2000-2007. Hal ini bukan berarti program KB dinilai kurang berhasil, namun dengan jumlah penduduk yang sudah terlampau besar serta pendatang baru yang cenderung terus bertambah, maka pengaruh keberhasilan program KB tersebut tidak terlihat nyata hasilnya. Selama ini Pemda Provinsi DKI Jakarta terus melakukan upaya untuk menyusun tata ruang perkotaan yang tepat dan memikirkan bagaimana memberi ruang hidup, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan, obat-obatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan prasarana transportasi serta berbagai kebutuhan lainnya kepada penduduk Provinsi DKI Jakarta. Upaya transmigrasi penduduk juga terusmenerus dilakukan. Pada tahun 2007 sebanyak 45 KK atau sekitar 179 jiwa diberangkatkan ke Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan dengan alokasi 20 KK dan 25 KK.
37
4.3.1. Pertumbuhan Penduduk Secara umum, masalah kependudukan di Indonesia adalah besarnya jumlah penduduk dan besarnya komposisi penduduk usia muda. Selain dihadapkan dengan masalah tersebut, Provinsi DKI Jakarta juga memiliki masalah tingginya kepadatan penduduk karena luas wilayahnya yang lebih sempit dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Bertambahnya jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta setiap tahunnya yang disebabkan dari migrasi maupun pertambahan penduduk alamiah, berdampak pada tingkat kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Pada tahun 1980 jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta mencapai 6,5 juta jiwa, namun pada tahun 2001 meningkat pesat menjadi 8,4 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk pada periode ini cukup tinggi yaitu mencapai 2,4 persen per tahun. Setelah itu pertumbuhan penduduk melambat hanya mencapai 1,09 persen per tahun pada periode 2001-2006, sehingga jumlah penduduk pada tahun 2006 menjadi 8,9 juta jiwa. Melambatnya pertumbuhan penduduk merupakan hal yang cukup menggembirakan, karena daya dukung lingkungan untuk menampung tingginya jumlah
penduduk
di
wilayah
Provinsi
DKI
Jakarta
sudah
semakin
mengkhawatirkan. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan semakin padatnya pemukiman
penduduk,
banyaknya
pemukiman
kumuh,
dan
kurangnya
ketersediaan lahan untuk fasilitas sosial dan umum. Di samping berhasilnya Program Keluarga Berencana (KB), penyebab melambatnya pertumbuhan penduduk adalah banyaknya penduduk yang migrasi keluar terutama ke wilayah
38
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) walaupun tempat bekerjanya masih di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, berkembangnya wilayah sekitar Provinsi DKI Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sebagai daerah pemukiman dan industri membuat wilayah ini sebagai tujuan pendatang selain Provinsi DKI Jakarta sehingga pertambahan penduduk di Provinsi DKI Jakarta yang berasal dari migrasi menjadi lambat. Melambatnya pertumbuhan penduduk pada periode 2001-2006 terjadi di semua kotamadya di Provinsi DKI Jakarta, tetapi dengan laju pertumbuhan yang berbeda-beda. Laju pertumbuhan penduduk yang tertinggi terjadi di Jakarta Selatan (2,40 persen), diikuti oleh Jakarta Barat (1,76 persen) dan Jakarta Utara (0,30 persen). Pengembangan pemukiman dalam kota di wilayah Selatan, Barat dan Utara disertai dengan pengembangan sektor industri menjadi daya tarik pendatang untuk tinggal di wilayah tersebut, sehingga wajar jika pertumbuhan penduduk ketiga kotamadya ini merupakan yang tertinggi.
4.3.2. Komposisi Penduduk Dilihat dari komposisi penduduk menurut kelompok umur, dapat dikatakan bahwa penduduk Provinsi DKI Jakarta dikategorikan sebagai penduduk muda. Hal ini karena persentase penduduk muda terhadap total penduduk masih cukup besar. Namun, selama periode 2001-2006, proporsi penduduk muda menunjukkan kecenderungan yang menurun.
39
Pada tahun 1990, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin di Provinsi DKI Jakarta adalah 102 artinya terdapat 102 laki-laki dari setiap 100 perempuan. Pada tahun 2001 rasio jenis kelamin mengalami perubahan yang sangat signifikan, keadaannya menjadi terbalik, yaitu di bawah angka 100 atau jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dengan rasio 99,19. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, terutama pada kelompok penduduk usia 35-44 tahun. Pada tahun 2006 berbalik kembali berada di atas angka 100, yaitu sebesar 100,10 yang menunjukkan bahwa penduduk laki-laki sedikit lebih banyak dibanding penduduk perempuan.
4.4. Ketenagakerjaan Penduduk yang berusia 15 tahun ke atas dapat dibedakan menjadi Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Pada tahun 2007 jumlah Angkatan Kerja sebesar 4,09 juta orang dan Bukan Angkatan Kerja 2,61 juta orang. Selanjutnya dari Angkatan Kerja tersebut terdapat penduduk bekerja sebanyak 3,54 juta orang dan yang mencari pekerjaan sebanyak 542 ribu orang. Kebanyakan dari mereka yang bekerja berkecimpung di sektor perdagangan, hotel dan restoran, jasa dan industri, masing-masing sebesar 36,84 persen, 23,80 persen, dan 18,18 persen. Jika diamati berdasarkan status pekerjaannya, sebesar 63,50 persen berprofesi sebagai buruh, 25,03 persen sebagai pengusaha dan sebagai pekerja keluarga sebesar 3,49 persen.
40
Tabel 4.3. Kesempatan Kerja yang Terdaftar Menurut Kota Administrasi Tahun 2003-2007 (Jiwa) Kota Adm.
2003
2004
2005
2006
2007
Jakarta Selatan
3.502
853
741
2.982
4.301
Jakarta Timur
20.468
3.973
4.365
9.213
13.289
Jakarta Pusat
5.699
854
884
833
1.202
Jakarta Barat
8.115
1.084
2.358
462
666
Jakarta Utara
6.740
1.018
7.363
5.278
7.613
Total
44.524
7.782
15.711
18.768
27.071
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta, 2008.
Tahun 2007 jumlah pencari kerja yang terdaftar di Dinas Tenaga Kerja sebanyak 46,2 ribu orang, yang terbesar berada di Jakarta Timur sebanyak 20,95 ribu orang pencari kerja dan terbesar kedua di Jakarta Utara sebanyak 10,60 ribu pencari kerja.
4.5. Struktur Perekonomian Secara struktur, dari sisi supply, penciptaan nilai tambah di Provinsi DKI Jakarta selama lima tahun terakhir masih didominasi oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor industri pengolahan. Ketiga sektor tersebut memberi kontribusi rata-rata sebesar 66,87 persen per tahun dengan perincian: 30,69 persen dihasilkan oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; 20,15 persen oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan 16,02 persen oleh sektor industri pengolahan. Keberadaan Bank Indonesia, kantor pusat bank-bank komersil, dan lembaga keuangan lainnya di Jakarta memberikan kontribusi yang besar dalam
41
penciptaan nilai tambah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Selama lima tahun terakhir sektor ini selalu memberikan kontribusi terbesar dalam penciptaan PDRB Provinsi DKI Jakarta, meskipun dengan kecenderungan yang terus menurun. Pada tahun 2003 kontribusi yang diberikan oleh sektor ini adalah sebesar 32,45 persen kemudian turun menjadi 30,71 persen pada tahun 2005 dan sebesar 28,65 persen pada tahun 2007. Berbeda dengan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, kontribusi yang diberikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran selama lima tahun terakhir lebih fluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2003 sektor ini memberikan kontribusi sebesar 20,08 persen, kemudian pada tahun 2005 dan 2007 meningkat menjadi 20,21 persen dan 20,36 persen. Sementara itu, kontribusi yang diberikan oleh sektor industri pengolahan dapat dikatakan lebih stabil diantara dua sektor sebelumnya. Selama lima tahun terakhir kontribusinya berada pada kisaran 16 persen.
42
Tabel 4.4. Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2003-2007 (Persen) Lapangan Usaha
2003
2004
2005
2006
2007
Pertanian
0,11
0,11
0,10
0,10
0,10
Pertambangan & Penggalian
0,32
0,36
0,45
0,48
0,47
Industri Pengolahan
16,29
15,95
15,97
15,94
15,97
Listrik, Gas & Air Bersih
0,99
1,13
1,11
1,06
1,06
Konstruksi
9,82
10,15
10,50
11,17
11,20
Perdagangan, Hotel & Restoran
20,08
20,07
20,21
20,04
20,36
Pengangkutan & Komunikasi
7,24
7,54
8,18
8,81
9,32
Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
32,45 12,70
31,84 12,86
30,71 12,77
29,81 12,59
28,65 12,87
100,00
100,00
100,00
100,00 100,00
PDRB Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2007.
Sektor-sektor lain yang memberikan kontribusi di atas 8 persen adalah sektor jasa-jasa, sektor konstruksi, dan sektor pengangkutan & komunikasi. Selama lima tahun terakhir kontribusi yang diberikan oleh sektor jasa-jasa, sektor konstruksi, dan sektor pengangkutan & komunikasi secara rata-rata adalah sebesar 12,76 persen dari sektor jasa-jasa, 10,57 persen dari sektor konstruksi, dan 8,22 persen dari sektor pengangkutan & komunikasi. Penurunan kontribusi yang dialami oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan efek positif dari peningkatan kontribusi ketiga sektor tersebut. Pada tahun 2003 kontribusi yang diberikan oleh sektor jasa-jasa, konstruksi, dan pengangkutan & komunikasi masing-masing adalah sebesar 12,70 persen, 9,82 persen, dan 7,24 persen. Pada tahun 2005 ketiganya meningkat
43
menjadi 12,77 persen, 10,50 persen, dan 8,18 persen, dan pada tahun 2007 kembali meningkat menjadi 12,87 persen, 11,20 persen, dan 9,32 persen.
4.6. Perkembangan Ekonomi Sektoral Sebutan Provinsi DKI Jakarta sebagai Kota Jasa (Service City) tercermin dari struktur perekonomian Provinsi DKI Jakarta yang diukur dengan PDRB menurut sektoral (lapangan usaha). Sekitar 71,5 persen PDRB Jakarta berasal dari sektor tersier (perdagangan, keuangan dan jasa). Sebesar 28 persen berasal dari sektor sekunder (industri pengolahan dan konstruksi) dan hanya sebesar 0,5 persen dari sektor primer (pertanian dan pertambangan). Demikian juga dari sisi perkembangan ekonomi, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan Provinsi DKI Jakarta bersumber dari sektor tersier utamanya sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Secara lengkap tinjauan PDRB Provinsi DKI Jakarta selama kurun waktu 2003 hingga 2007 adalah sebagai berikut:
4.6.1. Sektor Pertanian Dalam perekonomian Provinsi DKI Jakarta sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi terkecil. Hal ini disebabkan perkembangan Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi Indonesia membuat lahan pertanian berkurang serta berubah fungsi secara drastis.
44
Pembangunan pusat perkantoran dan pusat perbelanjaan di Provinsi DKI Jakarta telah mengubah peruntukkan lahan yang ada. Lahan yang tadinya diperuntukkan sebagai lahan pertanian kemungkinan besar mengalami perubahan fungsi dan pada gilirannya semakin mengurangi nilai produksi pertanian Provinsi DKI Jakarta. Selama kurun waktu lima tahun terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDRB Provinsi DKI Jakarta terus mengalami penurunan. Bila pada tahun 2003 sektor ini memberikan kontribusi sebesar 0,11 persen, maka tahun 2005 kontribusinya turun menjadi 0,10 persen dan tetap sebesar 0,10 pada tahun 2007. Tinjauan terhadap sub sektor dalam sektor pertanian menunjukkan, sekitar 49 persen nilai tambah yang tercipta di sektor pertanian berasal dari sub sektor tanaman bahan makanan. Sementara yang berasal dari sub sektor perikanan, sub sektor tanaman hias, dan sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya masing-masing sekitar 33 persen, 13 persen, dan 5 persen. Dari sisi pertumbuhan, kinerja sektor pertanian pada tahun 2006 dan 2007 menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Bila pada tahun 2003 sampai dengan 2004 sektor ini tidak mampu menunjukkan peningkatan produksi, maka pada tahun 2006 dan 2007 sektor ini mampu tumbuh positif. Penurunan produksi terparah terjadi pada tahun 2003, dengan nilai pertumbuhan mencapai minus 15,71 persen. Pada tahun 2006 dan 2007 sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan positif dengan laju pertumbuhan sebesar 1,13 persen dan 1,55 persen.
45
Pertumbuhan positif pada tahun 2006 utamanya didorong oleh pertumbuhan yang terjadi pada sub sektor peternakan dan tanaman hias, yang masing-masing tumbuh 6,76 persen dan 3,99 persen. Sementara pada tahun 2007,didorong oleh sub sektor tanaman hias sebesar 4,47 persen dan sub sektor perikanan sebesar 3,76 persen.
4.6.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian yang ada di Provinsi DKI Jakarta hanya terdiri dari pertambangan minyak dan gas bumi. Kegiatannya berlokasi di Kepulauan Seribu dan mulai dieksploitasi pada tahun 2000. Sejauh ini kinerjanya belum menggembirakan karena sampai dengan tahun 2005 pertumbuhannya masih di bawah nol persen. Selama tahun 2003 hingga 2005 sektor pertambangan dan penggalian tumbuh di bawah nol persen, dan baru pada tahun 2006 sektor ini mampu menunjukkan peningkatan produksi dengan laju pertumbuhan sebesar 1,87 persen dan hanya tumbuh 0,46 persen pada tahun 2007. Secara kontribusi, sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu memberikan sumbangan kurang dari 0,5 persen terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta. Namun demikian, secara perlahan terlihat adanya kecenderungan peningkatan kontribusi, yakni bila pada tahun 2003 besarnya kontribusi sektor ini sebesar 0,3 persen, pada tahun 2005 dan 2007 kontribusinya meningkat menjadi 0,45 persen dan 0,47 persen. Kenaikan kontribusi ini lebih disebabkan harga minyak bumi dunia yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.
46
4.6.3. Sektor Industri Pengolahan Perkembangan Provinsi DKI Jakarta sebagai Kota Jasa serta kebijakan pemerintah daerah untuk menerapkan kegiatan ekonomi yang bebas polusi di Provinsi DKI Jakarta telah menyebabkan relokasi industri pengolahan keluar dari Provinsi DKI Jakarta. Hal ini mengakibatkan kontribusi nilai tambah yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mengalami penurunan. Bila pada tahun 2003, sektor ini masih menyumbang nilai tambah sebesar 16,29 persen dalam pembentukan PDRB Provinsi DKI Jakarta, pada tahun-tahun berikutnya kontribusinya bertahan pada besaran 15,9 persen. Meskipun demikian sektor industri pengolahan masih menjadi salah satu unggulan yang mendukung perekonomian Provinsi DKI Jakarta setelah sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Struktur nilai tambah sektor industri pengolahan menunjukkan sekitar 51 persen yang tercipta di sektor industri pengolahan berasal dari sub sektor industri alat angkutan, mesin, dan peralatannya. Setelah itu diikuti oleh sub sektor industri kimia dan barang dari karet, sub sektor tekstil, barang dari kulit, dan sub sektor industri makanan, minuman, dan tembakau dengan besar kontribusi masingmasing sebesar 17 persen, 10 persen, dan 9 persen terhadap total nilai tambah sektor industri pengolahan. Sedangkan kontribusi yang diberikan oleh sub sektor lainnya masing-masing bernilai kurang dari 5 persen. Dari sisi perkembangan volume riil produksi, laju pertumbuhan sektor industri pengolahan dalam lima tahun mengalami perlambatan meskipun masih mampu tumbuh di atas 4 persen. Pada tahun 2003, sektor ini mampu tumbuh 5,05
47
persen, tahun 2005 tumbuh sebesar 5,07 persen. Namun, pada tahun 2006-2007 pertumbuhan melambat menjadi sebesar 4,97 persen dan 4,60 persen. Sub sektor alat angkutan, mesin dan peralatannya sebagai kontributor terbesar dalam sektor industri pengolahan, masih mampu tumbuh di atas 5 persen, bahkan pada tahun 2004-2006 tumbuh di atas 8 persen dan kembali tumbuh sebesar 6,2 persen dalam tahun 2007. Sementara untuk sub sektor barang kimia dan barang dari karet sebagai penyumbang industri pengolahan kedua mengalami pertumbuhan sekitar 1-2 persen pada tahun 2003-2006, dalam tahun 2007 mampu tumbuh sebesar 4,24 persen. Sebaliknya sub sektor tekstil dan barang dari kulit serta alas kaki, yang juga merupakan andalan sektor industri pengolahan Provinsi DKI Jakarta, dalam lima tahun terakhir mengalami perlambatan. Bila tahun 2003 mampu tumbuh 5,41 persen maka pada tahun 2004-2007 mengalami pertumbuhan negatif. Hal ini disebabkan penurunan produksi akibat kalah bersaing dengan produk impor dari Cina.
4.6.4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Sektor listrik, gas, dan air bersih selain berperan sebagai infrastruktur yang mendorong aktivitas produksi juga berperan memenuhi kebutuhan masyarakat akan listrik, gas, dan air bersih. Oleh karenanya, peranan sektor ini dapat dikatakan relatif stabil pada kisaran 1 persen dari total PDRB Provinsi DKI Jakarta.
48
Bila dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta, kontribusi yang diberikan setiap sub sektor dalam sektor ini dapat dikatakan relatif kecil. Sepanjang tahun 2003 hingga 2007, sub sektor listrik memberi kontribusi antara 0,7 persen, sub sektor gas memberi kontribusi sekitar 0,1 persen, dan sub sektor air bersih memberi kontribusi antara 0,2 persen. Dari sisi pertumbuhan produksi, sektor listrik, gas, dan air bersih menunjukkan percepatan yang cukup berfluktuatif. Pada tahun 2003 sektor ini tumbuh 5,70 persen, pada tahun 2005 pertumbuhannya meningkat menjadi sebesar 6,95 persen, dan pada tahun 2007 kembali melambat menjadi 5,20 persen. Pertumbuhan tahun 2005 relatif tinggi utamanya adanya kenaikan produksi gas kota yang mencapai 17,21 persen.
4.6.5. Sektor Konstruksi Kegiatan sektor konstruksi di Provinsi DKI Jakarta mulai menunjukkan pergerakan ke arah yang positif. Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan yang dicapai oleh sektor ini menunjukkan peningkatan yang nyata dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 sektor ini tumbuh 4,04 persen, pada tahun 2005 tumbuh 5,89 persen, dan pada tahun 2007 bahkan lebih tinggi hingga mencapai 7,81 persen. Pertumbuhan yang sangat cepat tersebut turut mendorong peningkatan kontribusi nilai tambah sektor konstruksi terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta. Bila pada tahun 2003 kontribusi sektor ini sebesar 9,82 persen, pada tahun 2005 proporsinya meningkat menjadi 10,5 persen, dan pada tahun 2007 bahkan mencapai 11,2 persen dari PDRB Provinsi DKI Jakarta baik berupa pembangunan
49
pusat-pusat perbelanjaan dan gedung-gedung perkantoran, perbaikan jalan, pembangunan jalan layang, sarana penunjang busway, sampai pada dimulainya proyek monorail turut menjadi faktor pendorong pertumbuhan sektor ini.
4.6.6. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran Sebutan Kota Jasa yang melekat pada Provinsi DKI Jakarta membuat kegiatan perdagangan, hotel, dan restoran menjadi salah satu kegiatan yang paling berperan dalam perekonomian Jakarta. Kontribusi yang diberikan oleh sektor ini dalam PDRB Provinsi DKI Jakarta selama tahun 2003 hingga 2007 berkisar pada besaran 20 persen. Kontribusi terbesar diberikan oleh sub sektor perdagangan yang nilainya sekitar 15 persen dari PDRB Provinsi DKI Jakarta. Sementara sub sektor hotel dan sub sektor restoran masing-masing memberikan andil sebesar 1 persen dan 4 persen. Tinjauan terhadap pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran menunjukkan kondisi yang cukup fluktuatif. Namun, pertumbuhan yang dicapai oleh sektor ini masih terbilang tinggi yaitu berada di atas level 6 persen setiap tahunnya. Di samping itu, sektor ini juga masih merupakan sumber pertumbuhan terbesar perekonomian Provinsi DKI Jakarta. Bila pada tahun 2003 sektor ini tumbuh 6,6 persen, pada tahun 2005 tumbuh 7,89 persen, dan pada tahun 2007 tumbuh 6,88 persen. Sub sektor perdagangan, pada tahun 2003 tumbuh sebesar 6,76 persen, pada tahun 2005 meningkat menjadi 8,27 persen, dan pada tahun 2007 kembali melambat dengan pertumbuhan 6,86 persen. Sementara pada tahun 2007 sub
50
sektor hotel mengalami perlambatan bila dibandingkan tahun 2003 dan 2005, yaitu sebesar 4,47 persen dari sebesar 5,90 persen pada tahun 2005 dan sebesar 8,31 persen pada tahun 2003. Sebaliknya sub sektor restoran pada tahun 2007 mengalami peningkatan yaitu sebesar 7,62 persen dari 6,84 persen pada tahun 2005 dan sebesar 5,44 persen pada tahun 2003.
4.6.7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Sebagai pusat kegiatan ekonomi di Indonesia, mobilitas barang dan jasa di Provinsi DKI Jakarta semakin tinggi. Hal ini tercermin dari besaran nilai tambah sektor pengangkutan dan komunikasi dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi yakni rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun. Selain sub sektor pengangkutan orang dan barang, perkembangan teknologi komunikasi yang cepat juga membawa dampak positif terhadap perkembangan nilai tambah sektor pengangkutan dan komunikasi Provinsi DKI Jakarta. Selama tahun 2003 hingga 2007, pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi menunjukkan percepatan yang signifikan di setiap tahunnya. Bila pada tahun 2003 sektor ini tumbuh 12,57 persen, pada tahun 2005 sektor ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 13,28 persen dan pada tahun 2007 sebesar 15,25 persen. Dalam periode tahun 2003 hingga 2007, sub sektor dengan pertumbuhan tercepat adalah sub sektor komunikasi. Pada tahun 2003 sub sektor ini tumbuh 17,67 persen, kemudian pada tahun 2005 tumbuh 19,23 persen dan pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2007 yang mencapai 21,37 persen. Sementara sub
51
sektor pengangkutan rata-rata tumbuh 7,5 persen setiap tahunnya. Pertumbuhan tertinggi sub sektor ini dicapai pada tahun 2003, yakni sebesar 8,44 persen. Pertumbuhan untuk setiap sub sektor angkutan adalah sebagai berikut: angkutan rel mengalami peningkatan produksi pada tahun 2005-2007 setelah pada tahun-tahun sebelumnya (tahun 2003-2004) mengalami pertumbuhan negatif. Angkutan jalan raya dapat dikatakan sebagai salah satu sektor yang memiliki laju pertumbuhan tinggi selama periode tahun 2003 hingga 2007. Meskipun pertumbuhannya mengalami fluktuasi namun levelnya selalu berada di atas angka 7,5 persen. Pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2003, yakni sebesar 14,33 persen. Demikian pula dengan sub sektor angkutan laut. Meskipun laju pertumbuhan yang dicapai oleh sub sektor ini tidak setinggi yang dicapai oleh sub sektor angkutan jalan raya, namun pertumbuhan sektor ini relatif stabil pada kisaran 4 hingga 6 persen. Pada tahun 2003 dan 2004 pertumbuhannya sekitar 4,8 persen, namun pada tahun 2005-2007 pertumbuhan sub sektor ini kembali menguat pada level 7 persen. Sub sektor angkutan sungai, danau, dan penyeberangan memiliki pola pertumbuhan yang hampir sama dengan sub sektor angkutan rel. Pada tahun 2003 hingga 2004, sektor ini tumbuh di bawah nol persen. Pada tahun 2005 dan 2006 sektor ini mampu mencapai pertumbuhan positif pada level 3 persen. Namun pada tahun 2007 kembali melambat yakni hanya tumbuh 0,69 persen. Sementara itu, pertumbuhan yang dicapai oleh sub sektor angkutan udara dapat dikatakan lebih fluktuatif dibanding sub sektor lainnya. Pertumbuhan yang
52
dicapai oleh sub sektor ini pada tahun 2003 adalah sebesar 27,76 persen dan pada tahun 2005, sub sektor ini kembali tumbuh di bawah nol persen, yaitu sebesar minus 17,87 persen, namun pada tahun 2006-2007 pertumbuhannya kembali berada di atas level nol persen, meskipun tidak setinggi yang dicapai pada tahun 2003 hingga 2004, yakni sebesar 4,95 persen dan 2,42 persen. Satu hal yang perlu dicermati, walaupun pertumbuhan yang dicapai oleh sektor pengangkutan dan komunikasi adalah yang tertinggi, kontribusinya terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta hanya sekitar 7 hingga 9 persen. Namun demikian terlihat adanya peningkatan kontribusi di setiap tahunnya. Bila pada tahun 2003 kontribusi sektor ini sebesar 7,26 persen, pada tahun 2005 kontribusinya naik menjadi 8,22 persen, dan pada akhir tahun 2007 kontribusi kembali meningkat menjadi 9,36 persen.
4.6.8. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Provinsi DKI Jakarta selain sebagai ibu kota negara juga menjadi pusat kegiatan ekonomi di Indonesia, sehingga wajar bila perputaran keuangan juga berpusat di Provinsi DKI Jakarta. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan menjadi sektor dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Provinsi DKI Jakarta. Namun seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, kegiatan keuangan di daerah pun mengalami peningkatan. Hal ini secara perlahan juga memengaruhi kontribusi sektor keuangan di Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2003 sektor ini memberi kontribusi sebesar 32,56 persen,
53
mulai menurun hingga pada tahun 2005 dan 2007 kontribusinya menjadi 30,85 persen dan 28,79 persen. Penurunan kontribusi tersebut utamanya disebabkan oleh penurunan kontribusi yang dialami oleh sub sektor bank. Sebagai sub sektor dengan kontribusi terbesar, penurunan kontribusi yang terjadi pada sub sektor ini berpengaruh nyata terhadap penurunan kontribusi sektor secara keseluruhan. Pada tahun 2003 kontribusi yang diberikan oleh sub sektor bank adalah sebesar 19,69 persen, pada tahun 2005 kontribusinya turun menjadi 17,20 persen, dan pada tahun 2007 kembali turun menjadi 15,06 persen. Dari sisi pertumbuhan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan menunjukkan peningkatan. Tumbuh sebesar 3,97 persen pada tahun 2003, pada tahun 2005 sektor ini tumbuh 4,10 persen dan pada tahun 2007 kembali meningkat menjadi 4,47 persen. Bila dilihat menurut sub sektornya, laju pertumbuhan yang dicapai oleh setiap sub sektor berada di atas rata-rata, kecuali untuk sub sektor bank. Sebagai sub sektor dengan kontribusi terbesar terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta, sub sektor bank tumbuh pada kisaran 1 hingga 2 persen setiap tahunnya. Sub sektor lembaga keuangan bukan bank mencapai pertumbuhan tertinggi dan stabil pada kisaran 7 persen di setiap tahun. Sementara pertumbuhan untuk jasa penunjang keuangan mengalami peningkatan, bila tahun 2003 tumbuh sebesar 5,62 persen, tahun 2005 tumbuh sebesar 6,97 persen, maka pada tahun 2007 mengalami pertumbuhan sebesar 7,74 persen.
54
Sub sektor sewa bangunan menjadi sektor dengan percepatan pertumbuhan yang signifikan di setiap tahunnya. Tumbuh 5,61 persen pada tahun 2003, tahun 2005 sub sektor ini tumbuh 6,44 persen, dan pada tahun 2007 mencapai 6,85 persen.
4.6.9. Sektor Jasa-Jasa Sektor jasa-jasa terdiri dari sub sektor jasa pemerintahan umum dan sub sektor jasa swasta. Sub sektor pemerintah umum mencakup administrasi pemerintahan dan pertahanan dan jasa pemerintah lainnya seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa kemasyarakatan lainnya. Sub sektor jasa swasta meliputi jasa sosial kemasyarakatan, jasa hiburan dan rekreasi, serta jasa perorangan dan rumah tangga. Pertumbuhan sektor jasa-jasa selama tahun 2003 hingga 2007 cenderung mengalami percepatan di setiap tahunnya. Bila pada tahun 2003 sektor ini tumbuh 5,24 persen, pada tahun 2005 dan 2007 sektor ini tumbuh 5,06 persen dan 6,08 persen. Rata-rata pertumbuhan yang dicapai oleh sub sektor jasa pemerintahan dalam periode tersebut adalah 2,87 persen. Pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2007 yaitu sebesar 3,96 persen. Sementara sub sektor jasa swasta menunjukkan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,23 persen dengan kecenderungan meningkat di setiap tahunnya. Tumbuh sebesar 5,99 persen pada tahun 2003, pada tahun 2005 dan 2007 sub sektor ini tumbuh 6,09 persen dan 6,81 persen.
55
Pada rentang waktu yang sama, rata-rata kontribusi yang diberikan sektor jasa-jasa terhadap total PDRB adalah sebesar 12,66 persen. Sektor jasa swasta memberikan kontribusi terbesar dengan rata-rata kontribusi sebesar 8,79 persen. Sedangkan rata-rata kontribusi yang diberikan oleh sub sektor jasa pemerintahan umum adalah sebesar 3,87 persen.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Perubahan PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia Tahun 2003-2007 Pertumbuhan ekonomi di Provinsi DKI Jakarta tidak lepas dari pengaruh perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selama tahun 2003-2007, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta bernilai positif hampir di semua sektor kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang bernilai negatif, yaitu -11,5 persen. Nilai dari laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta adalah sebesar 26,3 persen.
Tabel 5.1. Perubahan PDRB Provinsi DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000, Tahun 2003 dan 2007 (Milyar) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total PDRB
PDRB 2003 PDRB 2007 291,3 298,4 1.059,6 937,3 46.063,3 56.195,2 1.749,7 2.183,8 26.312,1 33.600,8 55.020,4 72.249,7 18.254,7 30.697,4 83.803,5 31.069,6 263.624,2
98.558,3 38.250,3 332.971.2
∆ PDRB % 7,1 2,4 -122,3 -11,5 10.131,9 22,0 434,1 24,8 7.288,7 27,7 17.229,3 31,3 12.442,7 68,2 14.754,8 7.180,7 69.347,0
17,6 23,1 26,3
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 dan 2007 (diolah).
Berdasarkan Tabel 5.1, dapat diketahui bahwa pada tahun 2003, sektor ekonomi yang paling besar kontribusinya terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu sebesar Rp. 83.803,5 milyar dan meningkat menjadi Rp. 98.558,3 milyar pada tahun 2007 atau meningkat sebesar 17,6 persen. Hal ini terjadi mengingat Provinsi DKI Jakarta
57
selain sebagai ibu kota negara Indonesia juga berperan sebagai pusat kegiatan ekonomi di Indonesia, sehingga perputaran keuangan banyak terpusat di Provinsi DKI Jakarta. Laju pertumbuhan yang dicapai oleh setiap sub sektornya berada di atas rata-rata, kecuali untuk sub sektor bank. Sektor ekonomi yang paling rendah kontribusinya terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta adalah sektor pertanian yaitu sebesar Rp. 291,3 milyar pada tahun 2003 dan mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2007 menjadi Rp. 298,4 milyar atau sebesar 2,4 persen. Hal ini disebabkan karena perkembangan Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi Indonesia membuat lahan pertanian berkurang serta berubah fungsi secara drastis. Pembangunan pusat perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta telah mengubah peruntukkan lahan yang ada. Lahan yang sebelumnya diperuntukkan sebagai lahan pertanian kemungkinan besar mengalami perubahan fungsi dan pada gilirannya semakin mengurangi nilai produksi pertanian Provinsi DKI Jakarta. Laju pertumbuhan ekonomi terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar 68,2 persen. Nilai PDRB sektor ini pada tahun 2003 adalah sebesar Rp. 18.254,7 milyar dan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 30.697,4 milyar. Hal ini didukung oleh mobilitas orang, barang dan jasa yang tinggi serta perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat. Sedangkan sektor ekonomi yang laju pertumbuhannya terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian yaitu sebesar -11,5 persen dengan nilai PDRB pada tahun 2003 sebesar Rp. 1.059,6 milyar dan mengalami penurunan di tahun 2007 menjadi Rp. 937,3 milyar. Hal ini disebabkan karena selama tahun 2003 hingga
58
2005 sektor pertambangan dan penggalian tumbuh di bawah nol persen, dan baru pada tahun 2006 sektor ini mampu menunjukkan peningkatan produksi dengan laju pertumbuhan sebesar 1,87 persen dan hanya tumbuh 0,46 persen pada tahun 2007. Perubahan PDRB paling besar terjadi di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 17.229,3 milyar, nilai ini diperoleh dari perhitungan selisih nilai PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2007 sebesar Rp. 72.249,7 milyar dengan nilai PDRB sektor tersebut pada tahun 2003, yaitu sebesar Rp. 55.020,4 milyar. Sementara itu, sektor ekonomi dengan perubahan PDRB terendah ditempati oleh sektor pertambangan dan penggalian, yaitu sebesar Rp. 122,3 milyar yang didapat dari selisih antara PDRB tahun 2007 sebesar Rp. 937,3 milyar dengan PDRB tahun 2003 sebesar Rp. 1.059,6 milyar. Sementara itu, jika dilihat dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, setiap tahunnya terjadi peningkatan selama periode 2003-2007. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan PDB yang bernilai positif di semua sektor. Besarnya laju pertumbuhan PDB Indonesia adalah sebesar 24,5 persen (Tabel 5.2). Berdasarkan Tabel 5.2, sektor ekonomi yang memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB Indonesia tahun 2003 adalah sektor industri pengolahan, yaitu sebesar Rp. 441.754,9 milyar dan meningkat menjadi Rp. 538.077,9 milyar di tahun 2007 atau meningkat sebesar 21,8 persen. Sedangkan sektor ekonomi yang menyumbangkan PDB terendah pada tahun 2003 adalah sektor listrik, gas dan air
59
bersih, yaitu sebesar Rp. 10.349,2 milyar dan mengalami peningkatan di tahun 2007 menjadi sebesar Rp. 13.525,2 milyar atau meningkat sebesar 30,7 persen.
Tabel 5.2. Perubahan PDB Indonesia Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000, Tahun 2003 dan 2007 (Milyar) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total PDB
PDB 2003 240.387,3 167.603,8 441.754,9 10.349,2 89.621,8 256.516,6 85.458,4
PDB 2007 271.586,9 171.361,7 538.077,9 13.525,2 121.901,0 338.945,7 142.944,5
∆ PDB 31.199,6 3.757,9 96.323,0 3.176,0 32.279,2 82.429,1 57.486,1
% 13,0 2,2 21,8 30,7 36,0 32,1 67,3
140.374,4 145.104,9 1.577.171,3
183.659,3 181.972,1 1.963.974,3
43.284,9 36.867,2 386.803,0
30,8 25,4 24,5
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 dan 2007 (diolah).
Sektor
ekonomi
yang
laju
pertumbuhannya
terbesar
adalah
sektor
pengangkutan dan komunikasi sebesar 67,3 persen. Sektor ini memiliki PDB senilai Rp. 85.458,4 milyar pada tahun 2003 dan meningkat menjadi Rp. 142.944,5 milyar di tahun 2007. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian, yaitu sebesar 2,2 persen dengan PDB senilai Rp. 167.603,8 milyar tahun 2003 dan Rp. 171.361,7 milyar tahun 2007. Sektor indutri pengolahan memiliki perubahan PDB terbesar, yaitu sebesar Rp. 96.323,0 milyar. Nilai ini diperoleh dari selisih antara PDB sektor industri pengolahan tahun 2007 sebesar Rp. 538.077,9 milyar dengan PDB sektor industri pengolahan tahun 2003 sebesar Rp. 441.754,9 milyar. Perubahan PDB terendah terjadi pada sektor listrik, gas dan air bersih, yaitu sebesar Rp. 3.176,0 milyar
60
yang didapat dari selisih antara PDB sektor tersebut tahun 2007 sebesar Rp. 13.525,2 milyar dengan PDB sektor yang sama tahun 2003 sebesar Rp. 10.349,2 milyar.
5.2. Rasio PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia Tahun 2003-2007 Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa selama periode 2003-2007 kontribusi seluruh sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta maupun Indonesia mengalami peningkatan. Setiap sektor memiliki rasio yang berbedabeda, baik pada PDRB Provinsi DKI Jakarta maupun PDB Indonesia. Rasio tersebut tercermin dari nilai Ra, Ri dan ri. Nilai Ra didapat dari perhitungan selisih antara jumlah PDB Indonesia tahun 2007 dengan jumlah PDB Indonesia tahun 2003 dibagi dengan jumlah PDB Indonesia tahun 2003. Antara tahun 2003-2007, nilai Ra adalah sebesar 0,245 (Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat sebesar 0,245. Tabel 5.3. Rasio PDRB Provinsi DKI Jakarta dan PDB Indonesia (Nilai Ra, Ri dan ri) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Air & Gas Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
Ra 0,245 0,245 0,245 0,245 0,245 0,245 0,245 0,245 0,245
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 dan 2007 (diolah).
Ri 0,129 0,022 0,218 0,307 0,360 0,321 0,673 0,308 0,254
ri 0,024 -0,115 0,219 0,248 0,277 0,313 0,682 0,176 0,231
61
Nilai Ri diperoleh dari hasil perhitungan selisih antara PDB Indonesia sektor i pada tahun 2007 dengan PDB Indonesia sektor i pada tahun 2003 dibagi dengan PDB Indonesia sektor i pada tahun 2003. Seluruh sektor perekonomian di Indonesia memiliki nilai Ri yang positif karena terjadi peningkatan kontribusi pada masing-masing sektor perekonomian. Nilai Ri paling besar terdapat pada sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar 0,673. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi adalah yang terbesar di Indonesia. Selain itu, besaran nilai tambah sektor pengangkutan dan komunikasi dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi yakni rata-rata tumbuh sebesar 13 persen per tahun. Sedangkan nilai Ri terkecil terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian, yaitu sebesar 0,022. Nilai ri didapat dari perhitungan selisih antara PDRB sektor i di Provinsi DKI Jakarta tahun 2007 dengan PDRB sektor i di Provinsi DKI Jakarta tahun 2003 dibagi dengan PDRB sektor i di Provinsi DKI Jakarta tahun 2003. Berdasarkan Tabel 5.3, hampir semua sektor ekonomi di Provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan kontribusi sehingga hampir semua sektor memiliki nilai ri yang positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang mempunyai nilai ri negatif, yaitu -0,115. Hal ini disebabkan oleh kinerja sektor pertambangan dan penggalian yang belum cukup menggembirakan karena sampai dengan tahun 2005 pertumbuhannya masih di bawah nol persen.
62
Nilai ri terbesar ditempati oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,682. sedangkan nilai ri terkecil terdapat pada sektor pertambangan dan penggalian karena nilainya yang negatif, yaitu -0,115.
5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003-2007 Dalam pembangunan Provinsi DKI Jakarta, dipengaruhi oleh faktor komponen pertumbuhan wilayah. Komponen tersebut terdiri dari komponen Pertumbuhan Nasional (PN), komponen Pertumbuhan Proporsional (PP), dan komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Jika ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut bernilai positif, maka laju pertumbuhan sektorsektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tabel 5.4. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional, Tahun 2003-2007 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
PNij (Milyar Rupiah) 71,4 259,6 11.285,5 428,7 6.446,5 13.480,0 4.472,4 20.531,9 7.612,1 64.587,9
PNij (Persen) 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5 24,5
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 dan 2007 (diolah).
Komponen pertumbuhan nasional merupakan hasil kali antara rasio PDB Indonesia dengan PDRB sektor i pada Provinsi DKI Jakarta tahun 2003.
63
Komponen ini dapat terjadi karena adanya perubahan kebijakan ekonomi nasional. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh adanya perubahan dalam hal-hal yang memengaruhi perekonomian semua sektor di Provinsi DKI Jakarta. Jika ditinjau secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2003-2007 telah memengaruhi peningkatan PDRB Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp. 64.587,9 milyar ( 24,5 persen ). Berdasarkan Tabel 5.4, semua sektor ekonomi di Provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan kontribusi dengan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebagai sektor yang mengalami peningkatan kontribusi terbesar yaitu sebesar Rp. 20.531,9 milyar. Sedangkan sektor yang mengalami peningkatan kontribusi terendah adalah sektor pertanian dengan nilai Pertumbuhan Nasional (PN) sebesar Rp. 71,4 milyar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan adalah sektor yang sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan pemerintah di tingkat nasional (Indonesia). Jika terjadi perubahan kebijakan nasional, maka kontribusi sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan beserta subsektornya akan mengalami perubahan. Komponen pertumbuhan proporsional sebagai komponen pertumbuhan wilayah kedua didapat dari hasil kali antara PDRB Provinsi DKI Jakarta sektor i tahun 2003 dengan selisih antara Ri dan Ra. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 5.5 di bawah ini:
64
Tabel 5.5. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional, Tahun 2003-2007 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
PPij (Milyar Rupiah) -33,8 -236,3 -1.243,7 108,5 3.025,9 4.181,6 7.813,0 5.279,6 279,6 19.174,4
PPij (Persen) -11,6 -22,3 -2,7 6,2 11,5 7,6 42,8 6,3 0,9 7,3
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 dan 2007 (diolah).
Jika dilihat dari Tabel 5.5, sektor ekonomi dengan nilai PP terbesar (PPij > 0) adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar Rp. 7.813,0 milyar. Sektor ini merupakan salah satu sektor yang pertumbuhannya cepat selain sektor listrik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa. Oleh karena itu, akan sangat baik jika sektor pengangkutan dan komunikasi dikembangkan di Provinsi DKI Jakarta, mengingat pemakai jasa angkutan dan komunikasi cukup besar. Sementara itu, sektor yang memiliki nilai PP terkecil adalah sektor industri pengolahan dengan nilai PP sebesar Rp. -1.243,7 milyar dan tergolong sektor yang pertumbuhannya lambat (PPij < 0). Sektor lain yang pertumbuhannya lambat adalah sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai PP masing-masing sebesar Rp. -33,8 milyar dan Rp. -236,3 milyar. Laju perubahan pertumbuhan proporsional untuk tiap sektor tidak sama, berbeda dengan laju perubahan pertumbuhan nasional yang sama untuk semua sektor. Laju pertumbuhan proporsional terbesar terjadi pada sektor pengangkutan
65
dan komunikasi sebesar 42,8 persen. Sedangkan laju pertumbuhan proporsional terendah terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian sebesar -22,3 persen. Tabel 5.6. Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah, Tahun 20032007 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
PPWij (Milyar Rupiah) -30,6 -145,2 46,1 -103,2 -2.183,9 -440,2 164,3 -11.062,1 -714,6 -14.469,4
PPWij (Persen) -10,5 -13,7 0,1 -5,9 -8,3 -0,8 0,9 -13,2 -2,3 -5,5
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 dan 2007 (diolah).
Untuk komponen pertumbuhan pangsa wilayah, sektor yang memiliki nilai PPWij > 0 tergolong sektor yang memiliki daya saing baik, sedangkan untuk sektor yang memiliki nilai PPWij < 0 maka sektor tersebut termasuk sektor yang mempunyai daya saing yang kurang baik. Dalam Tabel 5.6, sektor yang mempunyai nilai PPWij > 0 adalah sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut dapat bersaing dengan baik dengan sektor ekonomi yang sama di provinsi lain. Sementara itu, ketujuh sektor lainnya yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta sektor jasa-jasa. kurang mampu untuk bersaing dengan baik dengan sektor ekonomi yang sama di provinsi lain.
66
Sektor yang memiliki laju pertumbuhan pangsa wilayah terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,9 persen. Sedangkan sektor dengan laju PPW terendah adalah sektor pertambangan dan penggalian sebesar -13,7 persen.
5.4. Sektor Unggulan Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode Location Quotient (LQ), sektor ekonomi yang termasuk dalam sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta adalah: 1. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ = 1, artinya sektor ini merupakan sektor basis atau sektor unggulan tetapi bukan sektor basis yang kuat karena sektor ini memiliki nilai LQ yang uniter, yaitu sama dengan 1. Hal ini didukung oleh peranan sektor yang relatif stabil pada kisaran 1 persen dari total PDRB Provinsi DKI Jakarta. Kontribusi yang diberikan setiap sub sektor dalam sektor ini juga relatif kecil. 2. Sektor Konstruksi Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ > 1, artinya sektor ini merupakan sektor basis yang cenderung mengekspor ke daerah lain. Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan yang dicapai oleh sektor ini menunjukkan peningkatan yang nyata dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 sektor ini tumbuh 4,04 persen, pada tahun 2005 tumbuh 5,89 persen, dan pada tahun 2007 bahkan lebih tinggi hingga mencapai 7,81 persen. Pembangunan pusat-pusat perbelanjaan dan gedung-gedung perkantoran,
67
perbaikan jalan, pembangunan jalan layang, sarana penunjang busway, sampai pada dimulainya proyek monorail turut menjadi faktor pendorong pertumbuhan sektor ini. Sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja di tengah-tengah terjadinya krisis ekonomi global yang melanda berbagai sektor perekonomian. 3. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ > 1, artinya sektor ini merupakan sektor basis yang cenderung mengekspor ke daerah lain. Hal ini disebabkan karena sektor ini merupakan sumber pertumbuhan terbesar perekonomian Provinsi DKI Jakarta. 4. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ > 1, artinya sektor ini merupakan sektor basis yang cenderung mengekspor ke daerah lain. Hal ini didukung oleh adanya peningkatan kontribusi terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta setiap tahunnya. 5. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ > 1, artinya sektor ini merupakan sektor basis yang cenderung mengekspor ke daerah lain. Keberadaan Bank Indonesia, kantor pusat bank-bank komersil, dan lembaga keuangan lainnya di Provinsi DKI Jakarta memberikan kontribusi yang besar dalam penciptaan nilai tambah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
68
6. Sektor Jasa-Jasa Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ > 1, artinya sektor ini merupakan sektor basis yang cenderung mengekspor ke daerah lain. Hal ini terjadi karena pertumbuhan sektor jasa-jasa selama tahun 2003 hingga 2007 cenderung mengalami percepatan di setiap tahunnya. Pesatnya pertumbuhan sektor ini juga didukung oleh melimpahnya kekayaan alam yang dimiliki Indonesia yang digunakan sebagai obyek pariwisata. Sektor ini juga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Hal ini dimungkinkan karena kriteria yang diminta pada umumnya tidak terlalu tinggi.
5.5. Sektor Non Unggulan Sektor yang termasuk sektor non unggulan di Provinsi DKI Jakarta adalah: 1. Sektor Pertanian Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ < 1, artinya sektor ini merupakan sektor non basis dan cenderung mengimpor dari daerah lain. 2. Sektor Pertambangan dan Penggalian Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ < 1, artinya sektor ini merupakan sektor non basis dan cenderung mengimpor dari daerah lain. 3. Sektor Industri Pengolahan Selama periode 2003-2007, nilai koefisien LQ < 1, artinya sektor ini merupakan sektor non basis dan cenderung mengimpor dari daerah lain. Sektor ini tidak termasuk sektor unggulan karena dari segi laju
69
pertumbuhan dari tahun 2005-2007 sektor ini mengalami penurunan pertumbuhan. Sementara itu, jika dilihat dari segi kontribusi nilai tambah terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta, sektor ini mengalami penurunan karena adanya kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menerapkan kegiatan ekonomi yang bebas polusi sehingga industri pengolahan mengalami relokasi ke luar Provinsi DKI Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, dan daerah pinggiran lainnya.
Tabel 5.7. Nilai Kuosien Lokasi di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2003-2007 Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
2003 0,007 0,038 0,625 1,000 1,596 1,282 1,278 3,573 1,283
2004
2005
2006
2007
0,007 0,041 0,616 1,000 1,707 1,287 1,276 3,431 1,272
0,007 0,032 0,616 1,000 1,678 1,279 1,274 3,348 1,261
0,007 0,033 0,619 1,000 1,623 1,278 1,250 3,283 1,250
0,007 0,034 0,617 1,000 1,629 1,254 1,260 3,149 1,237
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003-2007 (diolah).
5.6. Kontribusi Sektor-Sektor Unggulan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta selama periode 2003-2007 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,87 persen setiap tahunnya. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan sektor-sektor unggulan di dalamnya. Sektor pengangkutan dan komunikasi menjadi sektor dengan pertumbuhan tertinggi dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 13,62 persen
70
per tahun. Setelah itu diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan rata-rata pertumbuhan 6,96 persen per tahun dan sektor konstruksi dengan ratarata pertumbuhan 5,86 persen per tahun. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta mampu mencapai level 6,44 persen, meskipun pada tahun sebelumnya sempat sedikit melambat karena pengaruh kenaikan harga BBM pada tahun 2005. Pada tahun tersebut semua sektor mengalami pertumbuhan di atas nol persen, tidak terkecuali sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Sektor pengangkutan dan komunikasi kembali mencapai pertumbuhan tertinggi (15,25 persen), diikuti oleh sektor konstruksi (7,81 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (6,88 persen), sektor jasa-jasa (6,08 persen) dan sektor listrik, gas dan air bersih (5,20 persen). Sedangkan sektor-sektor lainnya tumbuh di bawah level 5 persen. Sektor industri pengolahan tumbuh 4,60 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh 4,47 persen, sektor pertanian tumbuh 1,55 persen, dan sektor pertambangan dan penggalian tumbuh 0,46 persen (dapat dilihat pada Tabel yang terdapat di lampiran 3 halaman 110). Jika ditinjau dari sumber pertumbuhan ekonomi, penyumbang pertumbuhan ekonomi terbesar justru diberikan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran. Dari 6,44 persen pertumbuhan yang dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta sebesar 1,49 basis poin (bps) diantaranya berasal dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, kemudian sekitar 1,35 bps berasal dari sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan yang berasal dari sektor pengangkutan dan komunikasi adalah sebesar 1,30 bps. Sedangkan sumber pertumbuhan yang berasal dari sektor
71
industri pengolahan, sektor konstruksi dan sektor jasa-jasa masing-masing adalah sebesar 0,79 bps, 0,78 bps, dan 0,70 bps. Sementara sisanya, sebesar 1,03 bps berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor pertanian.
5.7. Analisis Regulasi Sektor Unggulan di Provinsi DKI Jakarta Pemerintah yang ada di tingkat Provinsi DKI Jakarta maupun tingkat nasional merespon adanya sektor-sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta dengan mengeluarkan regulasi berupa peraturan daerah (perda) maupun SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang terkait dengan sektor tersebut. Selain itu, terdapat pula regulasi tingkat nasional berupa Undang-Undang yang ikut mengatur mengenai keberadaan sektor-sektor unggulan tersebut.
5.7.1. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih - Sektor Air Bersih Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik negara dan digunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat”. Dari petikan pasal ini dapat terlihat bahwa air merupakan salah satu komoditi sosial yang penggunaannya harus dilakukan secara hemat dan efisien. Oleh karena itu, pemerintah berperan penting dalam menguasai komoditi tersebut agar penggunaannya dapat dilakukan secara tepat guna dan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat secara merata.
72
Air bersih sebagai salah satu kebutuhan primer masyarakat telah menjadikan sektor listrik, gas dan air bersih sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan beberapa regulasi yang bertujuan untuk mengatur sektor ini agar dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Regulasi-regulasi tersebut diantaranya adalah: • Perda No. 13 Tahun 1992 tentang Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI Jakarta. Menurut Perda ini, PDAM Provinsi DKI Jakarta dibentuk sebagai perusahaan daerah yang menangani pengelolaan pelayanan, penyediaan dan distribusi air minum di Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan PAM Jaya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan air minum bagi peningkatan kesejahteraan, pendapatan daerah dan juga pengembangan pertumbuhan ekonomi. • Peraturan Gubernur No. 54 Tahun 2005 tentang Badan Regulator Pelayanan Air Minum Provinsi DKI Jakarta. Peraturan ini menjadi dasar bagi pembentukan Badan Regulator Pelayanan Air Minum Provinsi DKI Jakarta sebagai badan yang independen dan profesional dengan fungsi menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dan operator dalam pelaksanaan peningkatan pelayanan air minum di Provinsi DKI Jakarta. • Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 Tentang Penghematan Energi dan Air. Setiap instansi, baik BUMN maupun BUMD, diinstruksikan untuk melakukan langkah-langkah inovasi penghematan energi dan air sesuai dengan kewenangan masing-masing dengan berpedoman pada Kebijakan Penghematan Energi dan Air serta mengawasi pelaksanaan penghematan energi dan air di lingkungan masing-masing.
73
- Sektor Listrik Listrik merupakan barang publik yang menjadi kebutuhan primer masyarakat saat ini terlebih lagi bagi Provinsi DKI Jakarta, mengingat daerah ini merupakan salah satu daerah yang menjadi pusat aktivitas masyarakat. Pesatnya pertumbuhan penduduk menyebabkan permintaan terhadap sektor ini terus meningkat. Hal ini menjadikan sektor ini sebagai salah satu sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta. Dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik, pemerintah pusat bersama dengan PT. PLN berupaya menempuh kebijakan pemberian subsidi dengan tujuan menjaga kontinuitas usaha PT. PLN dan agar PT. PLN tetap mampu memberikan pelayanan kelistrikan bagi masyarakat serta memperkecil kerugian operasional yang dialami oleh PT. PLN. Dalam hal ini, langkah pemerintah bekerjasama dengan perusahaan (PT. PLN) merupakan langkah yang tepat karena berdampak pada terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara merata dan perusahaan pun ikut memperoleh benefit dari adanya kebijakan yang subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Subsidi ini diberikan kepada konsumen maupun produsen. Subsidi untuk konsumen listrik diberikan kepada konsumen yang kurang mampu yang pemakaian listriknya di bawah kebutuhan listrik minimum dan kepada masyarakat daerah tertinggal atau terpencil agar mereka dapat menikmati energi listrik. Subsidi untuk produsen diberikan kepada perusahaan swasta yang bersedia membangun instalasi pembangkit listrik untuk daerah pedesaan atau subsidi investasi perluasan jaringan listrik ke pedesaan.
74
Tabel 5.8. Perkembangan Jumlah Subsidi / PSO (Public Service Obligations) (Milyar) Tahun
Jumlah Subsidi
Keterangan
2003
3.360
Subsidi terarah
2004
3.310
Subsidi terarah
2005
10.543
Kebijakan PSO
2006
33.904
Kebijakan PSO
2007
37.481
Kebijakan PSO
Sumber: http://www.pln.co.id.
Berdasarkan Tabel 5.8, jumlah subsidi selama periode 2003-2007 cenderung meningkat setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2004 sempat mengalami sedikit penurunan. Kebijakan subsidi yang diberikan pada tahun 2003-2004 adalah subsidi terarah, yaitu PT. PLN mendapatkan kompensasi atas biaya penyediaan listrik bagi pelanggan yang sangat kecil (sampai dengan 450VA). Sedangkan pada tahun 2005-2007, kebijakan yang diterapkan adalah kebijakan PSO (Public Service Obligations), yaitu PT. PLN mendapat kompensasi atas kerugian yang terjadi karena menyediakan listrik kepada pelanggan pada suatu golongan tarif di mana pendapatan pada golongan tarif itu lebih rendah daripada Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Dana untuk subsidi listrik berasal dari beberapa sumber, antara lain pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta pelanggan yang menggunakan daya secara berlebihan. Dana yang diperoleh dari pelanggan yang menggunakan daya secara berlebihan cocok digunakan untuk menutup kebutuhan subsidi bagi keluarga pengguna daya listrik yang secara ekonomis kurang mampu (subsidi silang antar kelompok pelanggan). Peran
75
masyarakat kalangan atas dalam subsidi silang ini dapat membantu pemerintah dalam menekan beban pengeluarannya. Selain itu, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa pelaku usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia terdiri dari Badan Usaha Milik Negara, Swasta, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ketenagalistrikan tersebut, industri listrik tidak lagi dimonopoli oleh PT. PLN, sehingga membuka peluang bagi pihak swasta untuk ikut berperan dalam penyediaan layanan ketenagalistrikan bagi masyarakat. Keterlibatan pihak swasta dalam hal ini akan sangat membantu pemerintah dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Adanya UU ini dimaksudkan agar tenaga listrik dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, menjaga keselamatan ketenagalistrikan dan kelestarian fungsi lingkungan, serta memanfaatkan sebesar-besarnya tenaga kerja, barang dan jasa produksi dalam negeri. UU No. 20 Tahun 2002 ini juga mengatur keterlibatan pemerintah daerah dalam penyusunan rencana umum ketenagalistrikan daerah (RUKD). Di samping itu juga diatur kewajiban pemerintah (pusat dan daerah) dalam melaksanakan misi sosial di sektor ketenagalistrikan di daerah. Pemerintah daerah menjadi leader formal dalam merancang kebijakan ketenagalistrikan di daerah, termasuk penerapan tarif regional sehingga tarif antardaerah mungkin berbeda-beda. Sebagai konsekuensi dari penetapan tarif regional tersebut, pemerintah daerah harus menyediakan anggaran untuk misi sosial, yaitu penyediaan anggaran subsidi listrik, yang berupa subsidi investasi dan operasi.
76
5.7.2. Sektor Konstruksi Berdasarkan UU No. 18 Tahun 1999, yang dimaksud dengan jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Jasa konstruksi adalah sebuah sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan gedung-gedung yang tinggi, jembatan, dan infrastruktur seperti jalan tol. Banyaknya pembangunan infrastruktur membuat sektor ini sangat berperan dalam menyerap tenaga kerja di tengah-tengah terjadinya krisis global. Setiap tahun anggaran jasa konstruksi yang berasal dari pemerintah maupun swasta jumlahnya sangat besar. Pada tahun 2003 dana yang tersedia bagi jasa konstruksi mencapai Rp. 159 triliun dengan sebaran 55 % berada di tangan swasta dan sisanya 45 % berada di tangan pemerintah. Penyelenggaraan infrastructure summit di awal tahun 2005 menjadi bukti keseriusan
kabinet
Indonesia
bersatu
dalam
menggarap
pembangunan
infrastruktur yang sebagian besar pengerjaannya dilakukan oleh para pelaku usaha di jasa konstruksi. Berbagai pembangunan infrastruktur telah mampu melahirkan beberapa pelaku usaha yang handal dalam percaturan industri jasa konstruksi Indonesia, baik yang berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta. Di jajaran BUMN ada Wijaya Karya, Adhi Karya, Hutama Karya, Waskita Karya, Pembangunan Perumahan, dan beberapa BUMN lainnya. Sementara di swasta ada Jaya Construction, Bumi Karsa, Bakrie dan lain-lain.
77
Akan tetapi, di tengah perkembangan tersebut timbul kontroversi dengan adanya perilaku yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menerima berbagai pengaduan baik dari pelaku usaha maupun masyarakat terkait dengan hadirnya persaingan usaha tidak sehat di sektor jasa konstruksi yang disebabkan oleh hadirnya peraturan perundangan dalam sektor ini, yaitu UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan peraturan perundangan pelaksananya. Salah satu obyek pengaduan adalah kehadiran Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang secara de facto oleh sebagian besar stakeholder industri jasa konstruksi dianggap sebagai lembaga jasa konstruksi. Kewenangan utama lembaga ini adalah melakukan sertifikasi profesi dan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi. Namun, dalam praktek di lapangan seringkali kewenangan ini dijadikan sandaran bagi munculnya perilaku yang bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999, antara lain dalam bentuk hadirnya entry barrier berupa kesulitan mendapatkan sertifikasi badan usaha dalam bidang tertentu. Hal ini ternyata bersumber dari keberadaan LPJK yang anggotanya selain terdiri dari akademisi dan pemerintah yang independen, juga beranggotakan pelaku usaha. Para pelaku usaha berusaha menghalangi badan usaha lain dalam proses sertifikasi agar mereka bisa menang dalam kompetisi dibandingkan badan usaha lain yang belum melalui proses sertifikasi karena sertifikasi lazimnya menjadi salah satu persyaratan awal dalam suatu kompetisi. Mereka merasa diuntungkan dengan adanya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan
78
lembaga yang berwenang di bidang jasa konstruksi. Hal ini menjadi sumber timbulnya kontroversi. Permasalahan dalam industri jasa konstruksi banyak terkait dengan keberadaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, diantaranya mempersoalkan keabsahan keberadaan LPJK sebagai lembaga jasa konstruksi sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 18 Tahun 1999. Selanjutnya permasalahan jasa konstruksi juga terletak dalam implementasi peran LPJK, di mana diduga LPJK hanya menguntungkan beberapa pihak terkait saja, antara lain pelaku usaha yang sebelumnya menjadi motor berdirinya LPJK. Selain itu, sektor konstruksi juga menghadapi kendala dalam memperoleh dukungan dari perbankan. Bunga yang diberikan oleh bank sangat tidak kompetitif sehingga para kontraktor lokal selalu kalah bersaing dengan kontraktor asing. Regulasi yang berkaitan dengan sektor industri jasa konstruksi antara lain : 1) Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi Berkaitan dengan peran masyarakat dalam jasa konstruksi, dalam Pasal 31 dijelaskan yang intinya menyatakan bahwa peran masyarakat jasa konstruksi dilaksanakan melalui suatu Forum Jasa Konstruksi. Dalam tahap awal pelaksanaan Undang-Undang ini peran Pemerintah masih diperlukan dalam mengambil inisiatif untuk mewujudkan peran forum serta memberikan dukungan fasilitas termasuk pendanaan untuk memungkinkan terwujud dan berfungsinya peran masyarakat jasa konstruksi berikut lembagalembaga pelaksananya.
79
2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Peraturan Pemerintah ini merupakan salah satu peraturan pelaksana UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. 3) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Kebijakan ini mengatur tentang seluruh aspek pelaksanaan jasa konstruksi dari mulai proses, perencanaan, tender, implementasi sampai dengan pengawasan pelaksanaan. 4) Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi. 5) Surat Edaran menteri Pekerjaan Umum No. 03/SE/M/2005 tanggal 24 Februari 2005. Pemerintah menyebutkan keharusan persyaratan sertifikat keahlian dan sertifikat keterampilan dalam setiap tender jasa konstruksi yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Secara umum, permasalahan yang timbul dalam kebijakan industri jasa konstruksi adalah : a) Interpretasi kata ”Suatu Lembaga” dalam UU No. 18 Tahun 1999. Permasalahan ini terjadi karena ada keinginan berbagai pihak untuk mengizinkan lebih dari satu lembaga yang memiliki kewenangan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 18 Tahun 1999. Pemberian kewenangan kepada satu lembaga yang kemudian diterjemahkan oleh sebagian stakeholder industri jasa konstruksi sebagai Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dianggap memberikan hak monopoli kepada LPJK yang dapat disalahgunakan. Hal ini dikemukakan oleh Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional (GAPEKNAS).
80
b) Pemerintah tidak berperan dalam pengembangan usaha. Dalam penjelasan pasal 32 UU No. 18 Tahun 1999 dijelaskan secara tegas bahwa dalam proses pembinaan, peran pemerintah masih sangat dominan. Akan tetapi, khusus dalam pengembangan usaha sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat jasa konstruksi. Apabila dilihat dari struktur masyarakat jasa konstruksi sebagaimana yang dimaksud UU No. 18 Tahun 1999, maka terlihat peran terbesar dalam pengembangan industri jasa konstruksi dimiliki oleh Lembaga Jasa Konstruksi. Ketidakterlibatan pemerintah dalam pengembangan usaha jasa konstruksi akan menyebabkan pemerintah “tidak memiliki pengetahuan yang cukup” tentang perkembangan industri jasa konstruksi secara umum dan industri jasa konstruksi
Indonesia
khususnya.
Hal
ini
menyebabkan
pemerintah
menyerahkan semua hal yang berkaitan dengan pengembangan usaha jasa konstruksi kepada masyarakat jasa konstruksi. c) Proses Sertifikasi Kompetensi dan Badan Usaha Jasa Konstruksi dalam prakteknya menimbulkan permasalahan karena keberadaan sertifikasi ini tidak dapat diaplikasikan dalam berbagai kegiatan industri jasa konstruksi. Beberapa fakta aktual terkait dengan hal ini antara lain : ketidakmampuan pelaku usaha mengikuti ketentuan jasa konstruksi termasuk Sertifikasi Kompetensi dan Badan Usaha, ketentuan sertifikasi berbenturan dengan keputusan presiden tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah, sertifikat menjadi komoditas, dan sertifikasi digunakan untuk menjegal pelaku usaha pesaing.
81
Jika dikaitkan dengan UU No. 5 Tahun 1999, terdapat beberapa hal yang menyimpang, yaitu : 1) Pelaku usaha mendistorsi pengaturan industri jasa konstruksi menjadi bagian dari kegiatan usaha tidak sehat. 2) Kebijakan pemerintah hanya mengakui satu Lembaga Jasa Konstruksi. 3) Adanya kemungkinan penyalahgunaan LPJK dalam persaingan di industri jasa konstruksi. Hal itu terlihat dari kewenangan asosiasi mengeluarkan mendiskriminasi
sertifikat pelaku
yang
digunakan
usaha
pesaing,
sebagai
alat
untuk
kecenderungan
untuk
membentuk asosiasi tertentu dengan ruang lingkup pekerjaan yang semakin spesifik, serta LPJK yang berpotensi menjadi kartel industri jasa konstruksi. 4) Menjamurnya perusahaan jasa konstruksi dan asosiasi yang jauh dari kompetensi. Untuk mengatasi permasalahan yang ada, diharapkan KPPU dapat memberikan saran kepada pemerintah untuk mengubah konstruksi kelembagaan industri jasa konstruksi dengan memperhatikan keberhasilan beberapa lembaga regulator lainnya dan terus melakukan kerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum untuk meminimalkan pelanggaran yang terjadi agar dapat memperbaiki kinerja jasa konstruksi Indonesia.
82
5.7.3. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan strategis dalam rangka membantu pencapaian sasaran pembangunan ekonomi di Indonesia. Perkembangan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia yang begitu pesat salah satunya karena adanya andil dari sektor ini. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi salah satu sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta karena sektor ini memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta. Pesatnya perkembangan sektor ini ditandai dengan semakin menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan modern. Bahkan peranan pasar-pasar tradisional pun semakin tergantikan oleh pasar-pasar modern karena lingkungan yang lebih nyaman dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Hal ini mengundang respon para pedagang pasar tradisional di Jakarta. Salah satunya yang terjadi pada Februari 2009, para pedagang pasar menuntut seluruh pemerintah daerah (pemda) segera membuat aturan soal pembatasan izin pendirian ritel modern. Peraturan daerah (perda) tersebut harus mengacu pada Permendag No. 53 Tahun 2008 yang menyebut pendirian ritel modern wajib melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keberadaan Pasar Tradisional dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun merespon tuntutan pedagang dengan menangguhkan 400 izin pendirian ritel modern. Hal ini disambut gembira oleh para pedagang pasar tradisional di Provinsi DKI Jakarta.
83
Selain itu, terdapat kasus pelanggaran perda terkait dengan pembangunan Koja Trade Mall (KTM) yang mulai beroperasi pada 24 Desember 2008. Keberadaan KTM telah melanggar Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta karena jarak KTM sebagai pusat perbelanjaan modern dengan pasar-pasar tradisional di sekelilingnya kurang dari 2,5 kilometer. Sedangkan menurut perda tersebut, jarak minimal antara mall dengan pasar tradisional adalah 2,5 kilometer. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa jarak antara KTM dengan Pasar Sinar sekitar 1.500 meter, dengan Pasar Tugu sekitar 600 meter, dengan Pasar Lontar sekitar 410 meter, dan dengan Pasar Koja Baru hanya berjarak 4 meter. Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta tidak tertata dengan baik. Seharusnya sebelum mendapatkan rekomendasi dari gubernur tidak boleh diberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), artinya jika sudah mengetahui pembangunannya melanggar perda, Pemkot Jakarta Utara seharusnya jangan membiarkan pembangunan KTM itu sampai selesai. Pihak lain yang juga dirugikan akibat maraknya pasar modern adalah para pedagang kaki lima (PKL). Pemerintah provinsi DKI Jakarta pun merasa semakin dipusingkan dengan keberadaan PKL yang rasio pertumbuhannya terus meningkat seiring pertambahan penduduk dan keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia. Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 1978, PKL adalah bagian dari usaha sektor informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan, jasa-jasa, dan industri) yang umumnya mempunyai sifat mengadang konsumen dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian
84
jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan peruntukannya bukan sebagai tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya, kecuali pada lokasi resmi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya mengendalikan jumlah PKL melalui Satuan Polisi Pamong Praja dengan mengacu pada peraturan daerah Provinsi DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum. Menurut Perda ini, setiap orang dilarang memasuki atau berada di jalur hijau atau taman yang bukan untuk umum dan dilarang menyalahgunakan atau mengalihkan fungsi jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Namun, sering kali dalam menjalankan tugasnya di lapangan Satpol PP mendapat reaksi keras dari masyarakat khususnya para PKL karena menurut mereka akibat tindakan pengendalian tersebut mereka mengalami kerugian karena tidak dapat menjalankan usahanya. Pada tahun 2003 para pengusaha yang tergabung dalam Forum Perpasaran Provinsi DKI Jakarta sempat memprotes isi Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2000. Mereka juga memprotes petunjuk teknis dan pelaksanaan perda yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur No. 44 Tahun 2003 karena menurut mereka perda ini menjadi shocking di tengah ekonomi yang sedang tumbuh. Hal yang menjadi inti permasalahan adalah mengenai aturan pengusaha harus memberikan 20 persen lahan mereka untuk pedagang kaki lima. Alasan pemerintah terkait aturan ini adalah untuk mengatur kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil. Namun, pemerintah kurang mempertimbangkan dampak yang akan terjadi, yaitu terjadinya urbanisasi secara besar-besaran karena
85
mungkin saja pedagang kaki lima akan memanfaatkan lahan pemberian pengusaha dengan cara disewakan kepada orang lain demi mendapatkan keuntungan.
5.7.4. Sektor Komunikasi dan Transportasi - Sektor Komunikasi Untuk sektor komunikasi, pemerintah provinsi DKI Jakarta mengeluarkan regulasi berupa Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang berlaku mulai 22 September 2006 dan juga Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 138 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang berlaku mulai 5 Oktober 2007 untuk melakukan penataan ulang terhadap keberadaan seluruh menara telekomunikasi yang berada di Provinsi DKI Jakarta. Dalam implementasi kedua regulasi tersebut ternyata menimbulkan kontra di kalangan para penyelenggara telekomunikasi. Hal ini disebabkan antara lain karena Pemda Provinsi DKI Jakarta akan melakukan pembongkaran terhadap sejumlah menara telekomunikasi yang tidak berizin. Menurut Pasal 16 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 138 Tahun 2007, disebutkan bahwa menara telekomunikasi yang pembangunannya dilakukan sebelum diberlakukannya Peraturan Gubernur No. 89 Tahun 2006 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) Bangunan menara telekomunikasi yang sesuai dengan pola persebaran diatur sebagai berikut:
86
1. Untuk konstruksi yang digunakan lebih dari 2 (dua) operator: a. Untuk penggunaannya sudah lebih dari 2 (dua) operator dan tidak terkena rencana tata kota , dapat diberikan izin selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Untuk penggunaannya sudah lebih dari 2 (dua) operator dan terkena rencana tata kota, dapat diberikan izin selama 2 (dua) tahun, kecuali Pemerintah Daerah akan menggunakan tanah tersebut, izin yang diberikan dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat diperpanjang. c. Untuk penggunaannya baru digunakan oleh 2 (dua) operator dan tidak terkena rencana tata kota , dapat diberikan izin selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Untuk penggunaannya baru digunakan oleh 2 (dua) operator dan terkena rencana tata kota, dapat diberikan izin selama 1 (satu) tahun, kecuali pemerintah daerah akan menggunakan tanah tersebut, izin yang diberikan dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat diperpanjang. 2. Untuk konstruksi yang digunakan hanya 1 (satu) operator: untuk penggunaannya baru digunakan oleh 1 (satu) operator dan tidak terkena atau terkena rencana tata kota , dapat diberikan izin 1 (satu) tahun dan tidak dapat diperpanjang. b) Bangunan menara telekomunikasi yang tidak sesuai dengan pola persebaran diatur sebagai berikut:
87
1. Untuk konstruksi yang digunakan lebih dari 2 (dua) operator: a. Untuk penggunaannya yang sudah lebih dari 2 (dua) operator dan tidak terkena rencana tata kota, dapat diberikan izin selama 2 (dua) tahun, kecuali apabila pemerintah daerah akan menggunakan tanah tersebut, izin yang diberikan dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat diperpanjang. b. Untuk penggunaannya yang sudah digunakan oleh 2 (dua) operator atau lebih dari 2 (dua) operator dan terkena rencana tata kota, dapat diberikan izin selama 1 (satu) tahun, kecuali pemerintah daerah akan menggunakan tanah tersebut, izin yang diberikan dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat diperpanjang. 2. Untuk konstruksi yang digunakan hanya 1 (satu) operator, tidak terkena atau terkena rencana tata kota , dapat diberikan selama izin 1 (satu) tahun dan tidak dapat diperpanjang. Sementara itu, dalam pasal 17 disebutkan bahwa menara yang dibangun setelah diberlakukannya Peraturan Gubernur No. 89 Tahun 2006 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) Bangunan menara telekomunikasi yang tidak sesuai dengan pola persebaran dan konstruksi menara tidak untuk digunakan oleh lebih dari 2 (dua) operator atau digunakan oleh 1 (satu) operator harus dibongkar. b) Bangunan menara telekomunikasi yang sesuai dengan pola persebaran dan tidak terkena rencana tata kota , yang konstruksi menara untuk digunakan lebih dari 2 (dua) operator dan penggunannya minimal telah digunakan oleh 2 (dua)
88
operator diberikan izin 1 (satu) tahun dengan dikenakan denda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. c) Izin sebagaimana dimaksud pada huruf b dapat diperpanjang hanya 1 (satu) kali untuk masa waktu 1 (satu) tahun. d) Bangunan menara telekomunikasi yang tidak sesuai dengan ketentuan pada huruf b, harus dibongkar. Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Ditjen Postel) merespon regulasi Pemda Provinsi DKI Jakarta tersebut dengan mendukung rencana penertiban menara telekomunikasi yang sama sekali tidak berizin dan konsep penataan menara telekomunikasi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kominfo No. 2/PER/M. KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. Salah satu pertimbangan utama peraturan ini adalah penggunaan menara telekomunikasi harus memperhatikan faktor keamanan lingkungan, kesehatan masyarakat dan estetika lingkungan untuk tujuan efisiensi dan efektivitas. Dengan demikian, seandainya sejumlah Pemda memang bermaksud melakukan penataan ulang kawasan lingkungannya adalah sangat wajar supaya tidak diperburuk oleh berbagai fisik bangunan yang berkontribusi merusak estetika dan keindahan lingkungan. Maraknya pembangunan based transceiver station (BTS) di Provinsi DKI Jakarta banyak mengundang protes dari masyarakat yang lingkungan tempat tinggalnya terbangun menara BTS karena mereka tidak pernah diajak berunding dengan pemilik menara. Selain itu, sosialisasi rencana pembangunan juga tidak pernah dilakukan oleh para pemilik menara. Sebagai contoh, pembangunan BTS
89
milik Telkomsel di Kelurahan Warakas, Tanjung Priok, adalah salah satu yang ditolak warga. Penolakan warga Jakarta Utara juga terjadi di Lagoa, Koja, Jakarta Utara. - Sektor Pengangkutan atau Transportasi Provinsi DKI Jakarta memiliki kehidupan yang dinamis dengan beragam kompleksitas yang berdampak pada berbagai bidang kehidupan termasuk masalah transportasi. Perubahan yang senantiasa terjadi tidak terlepas dari adanya pengaruh urbanisasi, industrialisasi, modernisasi, dan globalisasi yang saat ini sedang berkembang pesat. Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat mobilitas kegiatan masyarakat juga menuntut diadakannya peraturan dari pemerintah setempat demi terwujudnya ketertiban dan kesejahteraan. Selain itu, lalu lintas Provinsi DKI Jakarta juga menjadi indikator perkembangan sistem transportasi di Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diharapkan dapat menciptakan kebijakan yang efektif dan efisien di bidang transportasi sehingga dapat memberikan solusi bagi masyarakat sebagai pengguna sarana dan bagi polisi dan jajaran terkait sebagai stakeholder dalam mengatasi masalah transportasi atau lalu lintas yang semakin meningkat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Pola Transportasi Makro (PTM) melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 12 Tahun 2003 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, kereta api, sungai, danau, serta penyeberangan dan diperkuat dengan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 84 Tahun 2004. Berdasarkan Surat Keputusan ini, pengembangan sistem transportasi di Provinsi
90
DKI Jakarta akan diarahkan pada penggalakkan penggunaan angkutan umum dan kereta api, meningkatkan akses di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya dan menata ulang moda transportasi secara terpadu, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan, menambah jaringan Jalan Primer, Bus Priority (antara lain dengan mengadakan bus way), Light Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT), serta meningkatkan jaringan jalan non tol dan membangun jalan baru. PTM mengintegrasikan empat sistem transportasi umum, yaitu: 1. Bus Priority 2. Light Rail Transit, 3. Mass Rapid Transit:, dan 4. ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan). Pola Transportasi Makro (PTM) bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan penyediaan jasa transportasi yang terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, dan efisien. Sesuai dengan konsep Megapolitan Jakarta, Pola Transportasi Makro ini harus terkoneksi antara Provinsi DKI Jakarta dengan kota-kota penyangga di sekitarnya. Namun, tidak jarang regulasi yang sudah diterapkan mengundang berbagai masalah karena adanya ketidaksesuaian antara tujuan yang diharapkan dengan yang riil terjadi di lapangan. Sebagai contoh, kebijakan "three in one” menimbulkan masalah baru yaitu kemacetan yang berpindah, joki yang semakin meraja-lela, dan produktivitas masyarakat yang terganggu karena tidak ada alternatif transportasi publik sebagai pengganti. Selain itu, kebijakan menyediakan bus Trans Jakarta ternyata menemui banyak masalah dalam implementasinya. Pengadaan bus yang terlambat karena tidak sesuai target justru menimbulkan kemacetan yang semakin parah dan
91
penumpang yang menumpuk pada koridor-koridor tertentu. Dampak lain yang terjadi akibat penetapan PTM adalah pengalihan 12 trayek angkutan umum bus besar karena bersinggungan dengan koridor bus Transjakarta Blok M - Kota sebesar 70-80 persen sehingga banyak masyarakat yang mengeluh karena makin besarnya biaya yang harus mereka keluarkan. Akan tetapi, secara umum keberadaan busway bisa mengurangi tingkat kemacetan secara perlahan walaupun belum optimal. Pihak pengguna jalan lain seperti pemilik kendaraan pribadi juga ikut memberikan andil dalam kemacetan di Provinsi DKI Jakarta. Jika dibandingkan dengan proyek monorel, proyek pengadaan busway lebih efisien karena menghabiskan dana yang tidak terlalu besar, yaitu sekitar 2 juta dolar AS. Sedangkan proyek monorel bisa menghabiskan dana sebesar 7,5 juta dolar AS. Adanya kegagalan regulasi dalam mencapai sasarannya adalah suatu hal yang wajar karena setiap kegiatan dalam pelaksanaannya selalu menemui kendala. Kendala yang dihadapi dalam hal ini adalah menyangkut sumber daya manusia yang tidak memadai, anggaran yang terbatas, dan yang paling dominan yakni perilaku masyarakat yang belum sesuai harapan serta kebijakan yang seringkali tidak terkoordinasi pada tingkat interdepartemen. Hal terpenting yang saat ini harus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, para penyelenggara jasa transportasi dan masyarakat pengguna sarana dan prasarana transportasi adalah berupaya merumuskan regulasi secara bersama-sama antara pemerintah setempat dengan para pelaksana di lapangan. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat juga harus terus dilakukan sejak regulasi tersebut
92
direncanakan sampai tahap implementasi sehingga masyarakat akan bisa memahami tujuan dari diimplementasikannya sebuah kebijakan, dalam hal ini adalah kebijakan transportasi. Tindakan koreksi juga diperlukan sebagai evaluasi terhadap kebijakan yang sebelumnya telah direalisasikan. Salah satunya adalah dengan mengidentifikasi sumber-sumber masalah pengadaan bus way seperti pengadaan bus yang tertundatunda, fasilitas feeder bus, serta penyesuaian dengan rute angkutan umum lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah disiplin berlalu-lintas di kalangan para pengguna sarana dan prasarana transportasi harus ditingkatkan dengan cara mematuhi prosedur keselamatan transportasi yang telah ditetapkan. Begitu pula dengan dukungan para stakeholder dan penegak hukum, sistem transportasi yang memadai, serta dukungan infrastruktur yang memadai. Pada masa yang akan datang, Provinsi DKI Jakarta diharapkan mempunyai strategi mobilitas yang komprehensif. Strategi tersebut adalah: (1) penyediaan fasilitas jalan kaki berupa jaringan terpadu pejalan kaki, penyeberangan orang, dan fasilitas penyandang cacat dan lanjut usia, (2) pembatasan lalu lintas, antara lain berupa electronic road pricing, kebijakan parkir di pusat kota, dan pengembangan jaringan jalan secara terbatas, (3) menggalakkan penggunaan busway, kereta api, light train atau monorel, metro surface, serta metro subway. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga merencanakan akan mengembangkan pola transportasi berbasis rel dalam bentuk kereta lingkar (loopline) kota di Provinsi DKI Jakarta. Untuk merealisasikan rencana ini, Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan Dirjen Perkeretaapian Departemen Perhubungan DKI
93
Jakarta. Loopline ini rencananya akan melewati pusat-pusat ekonomi mulai dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Jakarta-Kota, Senen, Stasiun Sudirman (Dukuh Atas) dan Kembali ke Stasiun Tanah Abang. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi lonjakan kendaraan pribadi sehingga dapat memindahkan pengendara kendaraan pribadi ke kereta api. Kereta api dianggap sebagai solusi utama untuk mengatasi kemacetan dan mensinergikan moda angkutan massal yang akan dibangun dengan angkutan umum yang sudah ada.
5.7.5. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor keuangan memainkan peranan yang sangat penting di Provinsi DKI Jakarta mengingat banyaknya pusat-pusat institusi keuangan di wilayah ini. Pertumbuhan sektor ini akan sangat berdampak pada perekonomian nasional. Pada tahun 2008, pasar modal Indonesia mampu meraih prestasi yang cukup menggembirakan yaitu mencatat pertumbuhan tertinggi di Asia setelah China. Hal ini menunjukkan stabilitas sektor keuangan Indonesia telah terpelihara dengan cukup baik. Sektor perbankan Indonesia saat ini juga lebih sehat dibandingkan dengan saat krisis terjadi. Hal ini diindikasikan dari adanya tingkat kredit macet yang rendah, rasio kecukupan modal yang tinggi, profitabilitas yang lebih tinggi serta penyelesaian dengan pemilik-pemilik lama dari bank-bank bermasalah telah hampir selesai. Sebagian besar dari bank-bank yang diambil alih pemerintah telah ditutup atau dijual ke tangan swasta. Pemerintah juga mulai menjual saham-
94
sahamnya di bank-bank milik pemerintah secara perlahan-lahan. Pengaturan dan pengawasan sektor perbankan telah membaik secara signifikan. Sektor perbankan yang saat ini berkembang pesat adalah perbankan syari’ah. Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia memiliki karakter yang khas dan berbeda dengan fenomena yang umumnya terjadi di negara lain. Kekhasan yang dimaksud adalah jika perkembangan ekonomi di negara lain biasanya diawali dari perkembangan pemikiran baru kemudian diikuti oleh terbentuknya lembagalembaga pendukungnya, cikal bakal penggerak perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dimulai dari terbentuknya Bank Mu’amalat pada tahun 1991 sebagai bank milik pemerintah yang beroperasi murni secara syar’i. Berdirinya BMI kemudian dibackup oleh keluarnya peraturan dalam bentuk Undang-Undang No. 7 tahun 1992, yang selanjutnya direvisi dengan UndangUndang Perbankan No. 10 tahun 1998, dimana dalam peraturan tersebut disebutkan adanya kemungkinan sebuah bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil atau bank syariah. Peluang tersebut kemudian ditanggapi positif oleh pelaku pasar, terbukti dengan bermunculannya lembaga-lembaga perbankan syari’ah. Pesatnya perkembangan perbankan syari’ah karena telah terbukti eksistensi perbankan syari’ah dalam menghadapi krisis keuangan global lebih kuat dibandingkan dengan perbankan konvensional. Sektor keuangan yang diregulasi dengan baik, yang terdiri dari bank-bank yang kuat, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, dan lembaga-lembaga investor seperti dana pensiun, adalah kunci dalam membuka berbagai potensi perekonomian Indonesia. Pemerintah berupaya mereformasi sektor keuangan
95
dengan mengeluarkan dua paket kebijakan sektor keuangan pada bulan Juli 2006 dan Juli 2007. Bidang-bidang utama yang dicakup oleh kedua paket kebijakan tersebut meliputi penguatan stabilitas sistem keuangan dengan meningkatkan koordinasi di antara para regulator, peningkatan intermediasi keuangan dengan memperkuat sistem informasi kredit, perbaikan pengaturan dan pengawasan dana pensiun dan perusahaan asuransi, peningkatan efisiensi dan likuiditas pasar modal, dan harmonisasi peraturan-peraturan dan perlakuan pajak di berbagai segmen sektor keuangan. Seiring dengan berkembangnya sektor keuangan muncul masalah dalam hal akses ke jasa keuangan. Akses ini sering kurang diperhatikan terutama bagi penduduk miskin. Oleh karena itu, dalam memajukan sektor keuangan perlu diterapkan pendekatan stategis. Pertama, memperkuat sektor keuangan untuk memperkecil terjadinya kembali krisis. Kedua, melakukan diversifikasi sektor keuangan sehingga tidak lagi rentan terhadap gejolak di dalam perekonomian dan menjadi sumber domestik dana jangka panjang. Ketiga, memperbaiki akses penduduk miskin akan jasa-jasa sektor keuangan untuk mendukung langkahlangkah pengentasan kemiskinan.
5.7.6. Sektor Jasa-Jasa Sektor jasa memiliki kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta. Banyaknya pusat-pusat hiburan dan rekreasi bisa berdampak pada peningkatan pendapatan regional, memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, dan
96
memperkenalkan serta mendayagunakan daya tarik wisata. Peningkatan kualitas pelayanan dari sektor ini pun dirasakan semakin penting. Oleh karena itu, pemerintah pusat mengeluarkan Undang Undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 yang salah satunya menyebutkan tentang sertifikasi. Definisi Sertifikasi menurut UU ini adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata dengan tujuan untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. Dengan adanya sertifikasi, tenaga kerja kepariwisataan akan memiliki standar kemampuan dan sertifikat menjadi salah satu alat yang menunjukkan kemampuan pemegangnya sehingga mudah diketahui oleh pihak lain. Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dalam hal ini mempunyai kewenangan melakukan sertifikasi kompetensi kerja. Pentingnya sertifikasi ini terlihat dari adanya sanksi yang tercantum dalam Undang-Undang kepariwisataan. Sanksi tersebut diterapkan secara bertahap dengan memberikan teguran tertulis, lebih berat lagi berupa pembatasan kegiatan usaha dan yang paling berat adalah pembekuan sementara kegiatan usaha. Para penyelenggara usaha pariwisata merespon positif kebijakan pemerintah terkait dengan adanya kewajiban sertifikasi. Hal ini disebabkan karena saat ini persaingan antar pengusaha semakin ketat dan yang berkompeten yang akan keluar sebagai pemenang. Walaupun sertifikat hanya sebagai alat, tetapi ini menjadi langkah awal untuk diakui dalam suatu persaingan. Penerapan UU yang
97
baru ini juga dapat merangsang pertumbuhan usaha kecil dan menengah (UKM) di daerah sekaligus memberikan kemudahan kepada pemda setempat untuk melakukan pendataan terhadap dunia usaha.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta adalah sektor listrik, gas dan air bersih; sektor konstruksi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor komunikasi dan transportasi; sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa. Keenam sektor unggulan tersebut memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dengan pertumbuhan rata-rata 5,87 persen per tahun. Regulasi yang ditetapkan pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara umum berjalan sinergis dan bertujuan mendorong perkembangan sektor-sektor unggulan yang ada.
6.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat diberikan rekomendasi saran dalam upaya peningkatan kontribusi sektor-sektor unggulan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi DKI Jakarta, yaitu: dalam merumuskan suatu regulasi hendaknya pemerintah pusat bersama dengan Pemerintah Provinsi melibatkan para Pengusaha maupun Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta agar masingmasing pihak dapat memahami esensi dari regulasi yang akan diterapkan sehingga dapat meminimalisasi penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi. Selain itu, pemerintah hendaknya memfokuskan kebijakan untuk mengembangkan sektor
99
unggulan yang ada karena berperan besar terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta terutama sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan cara memberikan bantuan berupa fasilitas pembiayaan dan perbaikan sarana dan prasarana dalam bentuk penyediaan kios-kios bagi para pedagang tradisional agar tidak kalah saing dengan pedagang di pasar modern. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengkaji dampak adanya krisis ekonomi global terhadap pertumbuhan sektor-sektor unggulan di Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, dapat pula dilakukan perbandingan kondisi perekonomian Provinsi DKI Jakarta sebelum dan sesudah krisis ekonomi global. Hal ini dapat memberikan informasi sektor-sektor apa saja yang tetap mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian Provinsi DKI Jakarta maupun Indonesia di tengah-tengah kondisi perekonomian yang sedang bergejolak seperti krisis ekonomi global sehingga akan mudah bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta maupun pemerintah pusat untuk menentukan kebijakan apa yang tepat agar dapat terus mendorong pertumbuhan sektor tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. ”Semua Sektor di Jakarta Alami Pertumbuhan” [Kompas Online]. http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/16041336/Semua.Sektor. di.Jakarta.Alami.Pertumbuhan. [17 November 2008]. Anonim. 2005. Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sinar Grafika, Jakarta. Boediono. 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. BPS. 2005. PDRB Provinsi-Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2000-2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. -------2005. Statistik Wilayah DKI Jakarta 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. -------2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta 2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta. -------2007. Pendapatan Regional DKI Jakarta 2002-2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta. -------2008. Jakarta dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. -------2008. Pendapatan Regional DKI Jakarta 2003-2007. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Damanhuri, Didin S. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Gamal, Merza. 2006. ”Share Pembiayaan Perbankan pada PDB Indonesia”. http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg06156.html [31 Agustus 2006]. Harisman, Beni. 2007. Analisis Struktur Perekonomian dan Identifikasi SektorSektor Unggulan di Provinsi Lampung (Periode 1993-2003) [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jhingan, M. L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. D. Guritno [penerjemah]. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kadariah. 1985. Ekonomi Perencanaan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
101
Karseno, Arief Ramelan, et al. 1997. Ekonomi Politik Indonesia. Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Lane, Jan Erik dan Ersson, Svante. 1994. Ekonomi Politik Komparatif. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Priyarsono, Sahara, dan M. Firdaus. 2007. Ekonomi Regional. Universitas Terbuka, Jakarta. Restiviana, Putri Rosa. 2008. Analisis Perekonomian Wilayah Kabupaten Banyuwangi 2003-2006 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Royan, Muhammad. 2006. Analisis Transformasi Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Periode 1993-2004 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sondari, Dewi. 2007. Analisis Sektor Unggulan dan Kinerja Ekonomi Provinsi Jawa Barat [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, Tulus T.H. 2003. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Lampiran 1. Tabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Lapangan Usaha di Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan Periode 2003-2007 (Juta) No. LAPANGAN USAHA 1 PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Hias c. Peternakan d. Perikanan 2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN Minyak & Gas Bumi 3 INDUSTRI PENGOLAHAN Industri Non Migas a. Makanan, Minuman & Tembakau b. Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki c. Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya d. Kertas & Barang Cetakan e. Pupuk, Kimia & Barang dari Karet f. Semen & Barang Galian Bukan Logam g. Logam Dasar Besi & Baja h. Alat Angkut, Mesin & Peralatannya i. Barang Lainnya 4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik
2003 291.284 146.131 40.084 18.808 86.261 1.059.606 1.059.606 46.063.293
2004 287.575 139.310 40.048 19.226 88.991 987.492 987.492 48.707.026
2005 290.600 138.419 41.009 18.753 92.419 915.977 915.977 51.177.801
2006 293.874 135.287 42.644 20.021 95.922 933.061 933.061 53.721.724
2007 298.415 134.144 44.549 20.194 99.528 937.343 937.343 56.195.163
4.142.258 5.136.795 568.857 1.576.904 6.463.166 1.631.225 1.575.573 24.550.995 417.520 1.749.704 1.088.497
4.278.766 5.119.895 565.058 1.666.787 6.649.899 1.713.232 1.561.292 26.713.443 438.654 1.848.696 1.144.612
4.245.391 4.935.579 587.661 1.730.625 6.579.410 1.743.898 1.583.931 29.293.962 477.344 1.977.202 1.201.843
4.270.439 4.801.653 607.405 1.808.157 6.682.048 1.788.717 1.609.432 31.643.538 510.335 2.075.804 1.253.480
4.318.092 4.685.630 625.827 1.960.776 6.965.509 1.904.561 1.597.168 33.640.169 533.431 2.183.806 1.309.435
103
5 6
7
8
b. Gas Kota c. Air Bersih KONSTRUKSI PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN a. Perdagangan b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1) Angkutan Rel 2) Angkutan Jalan Raya 3) Angkutan Laut 4) Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan 5) Angkutan Udara 6) Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1) Pos & Telekomunikasi 2) Jasa Penunjang Telekomunikasi KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan Non Bank d. Sewa Bangunan
273.448 387.759 26.312.138 55.020.401 42.225.495 2.873.601 9.921.305 18.254.714 9.712.479 159.059 4.267.778 2.750.052 10.466 39.972 2.485.152 8.542.235 8.155.523 386.712
293.092 410.992 27.475.878 58.848.582 45.348.178 2.979.888 10.520.516 20.559.712 10.441.858 155.401 4.677.230 2.883.539 3.833 46.187 2.675.668 10.117.854 9.693.225 424.629
343.527 431.832 29.094.580 63.492.895 49.097.394 3.155.633 11.239.868 23.290.709 11.227.207 158.832 5.089.998 3.080.735 3.968 37.932 2.855.740 12.063.502 11.587.756 475.746
369.375 452.948 31.166.114 67.597.897 52.156.072 3.327.299 12.114.526 26.636.289 12.109.932 171.118 5.464.320 3.293.519 4.092 39.808 3.047.075 14.616.357 14.059.591 556.766
395.912 478.459 33.600.764 72.249.706 55.735.700 3.475.905 13.038.101 30.697.406 12.957.006 179.004 5.889.331 3.556.291 4.120 40.769 3.287.451 17.740.400 17.133.092 607.308
83.803.540 50.993.777 6.157.740 766.299 11.291.429
87.294.379 52.157.631 6.600.454 812.544 11.902.052
90.870.318 53.052.535 7.108.689 869.178 12.668.180
94.342.479 53.777.127 7.600.610 926.283 13.536.402
98.558.336 55.182.817 8.173.031 997.958 14.463.769
104
9
e. Jasa Perusahaan JASA-JASA a. Pemerintah Umum 1) Adm. Pemerintahan & Pertahanan 2) Jasa Pemerintahan Lainnya b. Swasta 1) Sosial Kemasyarakatan 2) Hiburan & Rekreasi 3) Perorangan & Rumah Tangga TOTAL PDRB
14.594.295 31.069.562 8.696.714 4.957.127 3.739.587 22.372.848 7.263.255 2.239.584 12.870.009 263.624.242
15.821.698 32.515.485 8.878.377 5.060.675 3.817.702 23.637.108 7.727.671 2.458.573 13.450.864 278.524.825
17.171.736 34.160.466 9.083.987 5.177.873 3.906.114 25.076.479 8.205.173 2.667.486 14.203.820 295.270.548
18.502.057 36.059.471 9.321.081 5.313.016 4.008.065 26.738.390 8.717.572 2.931.831 15.088.987 312.826.713
19.740.761 38.250.324 9.690.326 5.523.486 4.166.840 28.559.998 9.214.873 3.291.474 16.053.651 332.971.263
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2008.
105
Lampiran 2. Tabel Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Periode 2003-2007 (Milyar) No. LAPANGAN USAHA 1 PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Hias c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan 2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN a. Pertambangan Migas b. Pertambangan Non Migas c. Penggalian 3 INDUSTRI PENGOLAHAN a. Industri Migas 1) Petroleum Refinery 2) LNG b. Industri Non Migas 1) Makanan, Minuman & Tembakau 2) Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki 3) Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya 4) Kertas & Barang Cetakan 5) Pupuk, Kimia & Barang dari Karet 6) Semen & Barang Galian Bukan Logam
2003 240.387,30 119.164,80 38.693,90 30.647,00 17.213,70 34.667,90 167.603,80 103.087,20 51.007,30 13.509,30 441.754,90 52.609,30 22.374,10 30.235,20 389.145,60 116.528,60 51.483,60 20.754,30 21.731,00 50.008,70 13.735,90
2004 247.163,60 122.611,70 38.849,30 31.672,50 17.433,80 36.596,30 160.100,50 98.636,30 46.947,10 14.517,10 469.952,40 51.583,90 22.322,30 29.261,60 418.368,50 118.149,30 53.576,30 20.325,50 23.384,20 54.513,60 15.045,20
2005 253.881,70 125.801,80 32.346,50 32.346,50 17.176,90 38.745,60 165.222,60 96.894,60 52.694,20 15.633,80 491.561,40 48.658,80 21.207,20 27.451,60 442.902,60 121.395,60 54.277,10 20.138,50 23.944,20 59.293,10 15.618,10
2006 262.402,80 129.548,60 33.318,00 33.430,20 16.686,90 41.419,10 168.028,90 95.853,10 55.239,60 16.936,20 514.100,30 47.851,20 20.806,90 27.044,30 466.249,10 130.148,90 54.944,20 20.006,20 24.444,80 61.947,90 15.700,10
2007 271.586,90 134.075,60 42.751,30 34.530,70 16.401,40 43.827,90 171.361,70 94.718,60 58.250,30 18.392,80 538.077,90 47.816,30 20.776,60 27.039,70 490.261,60 136.722,40 52.922,50 19.657,60 25.861,00 65.470,00 16.233,30
106
4
5 6
7
8
7) Logam Dasar Besi & Baja 8) Alat Angkut, Mesin & Peralatannya 9) Barang Lainnya LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b. Gas Kota c. Air Bersih KONSTRUKSI PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN a. Perdagangan Besar & Kecil b. Hotel c. Restoran TRANSPORTASI & KOMUNIKASI a. Transportasi 1) Angkutan Rel 2) Angkutan Jalan Raya 3) Angkutan Laut 4) Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan 5) Angkutan Udara 6) Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN a. Bank
8.222,90 103.414,70 3.265,90 10.349,20 7.104,10 1.498,60 1.746,50 89.621,80 256.516,60 210.653,30 10.738,60 35.124,70 85.458,40 57.463,00 608,90 25.771,50 7.857,60 2.165,00 7.214,60 13.845,40 27.995,40
8.008,00 121.683,30 3.683,10 10.897,60 7.468,50 1.639,50 1.789,60 96.334,40 271.142,20 222.290,00 11.590,70 37.261,50 96.896,70 62.495,70 603,30 27.056,60 8.142,90 2.254,00 9.384,30 15.054,60 34.401,00
7.712,00 136.744,60 3.779,40 11.584,10 7.967,60 1.745,80 1.870,70 103.598,40 293.654,00 241.887,10 12.313,20 39.453,70 109.261,50 66.404,70 585,30 28.367,10 8.855,80 2.342,70 10.362,30 15.891,50 42.856,80
8.076,80 147.063,80 3.916,40 12.251,10 8.474,80 1.838,90 1.937,40 112.233,60 312.520,80 257.847,10 12.950,50 41.723,20 124.975,70 70.807,00 623,00 29.774,60 9.497,20 2.431,90 11.466,20 17.014,10 54.168,70
8.213,30 161.375,60 3.805,90 13.525,20 9.130,60 2.393,20 2.001,10 121.901,00 338.945,70 280.747,00 13.631,10 44.567,60 142.944,50 72.775,90 630,80 30.859,50 9.238,00 2.512,80 12.419,20 17.115,60 70.168,60
140.374,40 64.418,30
151.123,30 68.295,00
161.252,20 71.366,90
170.074,30 72.474,40
183.659,30 78.241,00
107
9
b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan JASA-JASA a. Pemerintah Umum 1) Adm. Pemerintahan & Pertahanan 2) Jasa Pemerintahan Lainnya b. Swasta 1) Sosial Kemasyarakatan 2) Hiburan & Rekreasi 3) Perorangan & Rumah Tangga TOTAL PDB
11.046,80 12.067,30 13.074,90 14.009,20 15.149,80 968,90 1.057,80 1.128,30 1.213,50 1.331,00 40.511,50 44.111,70 47.714,60 51.755,30 55.819,10 23.428,90 25.591,50 27.967,50 30.621,90 33.118,40 145.104,90 152.906,10 160.799,30 170.705,40 181.972,10 71.147,70 72.323,60 73.700,10 76.618,40 80.778,20 45.394,20 46.055,10 46.889,60 48.644,30 51.148,90 25.753,50 26.268,50 26.810,50 27.974,10 29.629,30 73.957,20 80.582,50 87.099,20 94.087,00 101.193,90 19.561,30 21.082,70 22.604,50 24.178,00 26.022,20 5.816,80 6.302,10 6.713,10 7.246,70 7.773,30 48.579,10 53.197,70 57.781,60 62.662,30 67.398,60 1.577.171,30 1.656.516,80 1.750.815,20 1.847.292,90 1.963.974,30
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2008.
108
Lampiran 3. Tabel Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Periode 2003-2007 (Persen) No. LAPANGAN USAHA 1 PERTANIAN a. Tanaman Bahan Makanan b. Tanaman Hias c. Peternakan d. Perikanan 2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN Minyak & Gas Bumi 3 INDUSTRI PENGOLAHAN Industri Tanpa Migas a. Makanan, Minuman & Tembakau b. Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki c. Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya d. Kertas & Barang Cetakan e. Pupuk, Kimia & Barang dari Karet f. Semen & Barang Galian Bukan Logam g. Logam Dasar Besi & Baja h. Alat Angkut Mesin & Peralatannya i. Barang Lainnya 4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH a. Listrik b.Gas Kota
2003 -15,71 0,33 3,35 -8,44 -38,65 -14,08 -14,08 5,05
2004 -1,27 -4,67 -0,09 2,22 3,16 -6,81 -6,81 5,74
2005 1,05 -0,64 2,4 -2,46 3,85 -7,24 -7,24 5,07
2006 1,13 -2,26 3,99 6,76 3,79 1,87 1,87 4,97
2007 1,55 -0,84 4,47 0,86 3,76 0,46 0,46 4,6
3,5 5,41 4,83 17,71 1,18 5,44 -4,06 6,21 5,26 5,7 4,98 5,99
3,3 -0,33 -0,67 5,7 2,89 5,03 -0,91 8,81 5,06 5,66 5,16 7,18
-0,78 -3,6 4 3,83 -1,06 1,79 1,45 9,66 8,82 6,95 5 17,21
0,59 -2,71 3,36 4,48 1,56 2,57 1,61 8,02 6,91 4,99 4,3 7,52
1,12 -2,42 3,03 8,44 4,24 6,48 -0,76 6,2 4,53 5,2 4,46 7,18
109
5 6
7
8
c. Air Bersih KONSTRUKSI PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN a. Perdagangan b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI a. Pengangkutan 1) Angkutan Rel 2) Angkutan Jalan Raya 3) Angkutan Laut 4) Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan 5) Angkutan Udara 6) Jasa Penunjang Angkutan b. Komunikasi 1) Pos & Telekomunikasi 2) Jasa Penunjang Telekomunikasi KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERUSAHAAN a. Bank b. Lembaga Keuangan Bukan Bank c. Jasa Penunjang Keuangan Non Bank d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan
7,57 4,04 6,6 6,76 8,31 5,44 12,57 8,44 -13,99 14,33 4,66 -53,37 27,76 5,43 17,67 18,22 7,21
5,99 4,42 6,96 7,4 3,7 6,04 12,63 7,51 -2,3 9,59 4,85 -63,37 15,55 7,67 18,45 18,85 9,8
5,07 5,89 7,89 8,27 5,9 6,84 13,28 7,52 2,21 8,83 6,84 3,52 -17,87 6,73 19,23 19,54 12,04
4,89 7,12 6,47 6,23 5,44 7,78 14,36 7,06 7,73 7,35 6,91 3,12 4,95 6,7 21,16 21,33 17,03
5,63 7,81 6,88 6,86 4,47 7,62 15,25 7,8 4,63 7,78 7,98 0,69 2,42 7,89 21,37 21,86 9,08
3,97 2,03 7,79 5,62 5,61 8,12
4,17 2,28 7,19 6,03 5,41 8,41
4,1 1,72 7,7 6,97 6,44 8,53
3,82 1,37 6,92 6,57 6,85 7,75
4,47 2,61 7,53 7,74 6,85 6,69
110
9
JASA-JASA a. Pemerintahan Umum 1) Adm. Pemerintahan & Pertahanan 2) Jasa Pemerintahan Lainnya b. Swasta 1) Sosial Kemasyarakatan 2) Hiburan & Rekreasi 3) Perorangan & Rumah Tangga PDRB
5,24 3,37 3,37 3,37 5,99 6,2 8,03 5,52 5,31
4,65 2,09 2,09 2,09 5,65 6,39 9,78 4,51 5,65
5,06 2,32 2,32 2,32 6,09 6,18 8,5 5,6 6,01
5,56 2,61 2,61 2,61 6,63 6,24 9,91 6,23 5,95
6,08 3,96 3,96 3,96 6,81 5,7 12,27 6,39 6,44
Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2008.
111
112
Lampiran 4. Contoh Perhitungan Analisis Shift Share dan Metode Location Quotient 1. Perubahan indikator kegiatan ekonomi (Tabel 5.1) ∆Yij = Y’ij - Yij Untuk sektor Pertanian: ∆Yij = 298,4 – 291,3 = 7,1 Persentase Perubahan PDRB: % ∆Yij = [(Y'ij – Yij) / Yij] • 100 % Untuk sektor pertanian: % ∆Yij = (7,1 / 291,3) • 100 % = 2,4 % 2. Rasio indikator kegiatan ekonomi (Tabel 5.3) ri = (Y’ij – Yij) / Yij Untuk sektor pertanian di Provinsi DKI Jakarta: ri = (298,4 – 291,3) / 291,3 = 0,024 Ri = (Y'i - Yi) / Yi Untuk sektor pertanian di Indonesia: Ri = (271.586,9 – 240.387,3) / 240.387,3 = 0,129 Ra = (Y'..-Y..) / Y.. Rasio pendapatan Indonesia: Ra = (1.963.974,3 – 1.577.171,3) / 1.577.171,3 = 0,245 (sama untuk semua sektor) 3. Komponen Pertumbuhan Wilayah a) Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) (Tabel 5.4) PNij = (Ra)Yij Untuk sektor pertanian: PN = (0,245) • 291,3 = 71,4 Laju Pertumbuhan Nasional: % PNij = (PNij) / Yij • 100 % Untuk sektor pertanian: % PNij = (71,4 / 291,3) • 100 % = 24,5 % Catatan: nilai laju pertumbuhan nasional sama untuk semua sektor. b) Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) (Tabel 5.5) PPij = (Ri-Ra)Yij Untuk sektor pertanian: PP = (0,129 – 0,245) • 291,3 = -33,8
113
Laju Pertumbuhan Proporsional: % PPij = (PPij) / Yij • 100 % Untuk sektor pertanian: % PPij = (-33,8 / 291,3) • 100 % = -11,6 % c) Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) (Tabel 5.6) PPWij = (ri-Ri)Yij Untuk sektor pertanian: PPW = (0,024 - 0,129) • 291,3 = -30,6 Laju Pertumbuhan Pangsa Wilayah: % PPWij = (PPWij) / Yij • 100 % Untuk sektor pertanian: % PPWij = (-30,6 / 291,3) • 100 % = -10,5 % 4. Analisis Location Quotient (LQ) (Tabel 5.7) LQ =
Sib / Sb Sia / Sa
Untuk sektor pertanian tahun 2003: LQ = (291,3 / 263.624,2) / (240.387,3 / 1.577.171,3) = 0,007