ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005)
OLEH NITTA WAHYUNI H14102083
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
NITTA WAHYUNI. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah (dibimbing oleh FIFI DIANA THAMRIN).
Kota Tangerang merupakan salah satu kotamadya di Propinsi Banten. Kota ini telah melaksanakan otonomi daerah sejak tahun 2001 untuk melakukan pembenahan dan pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif pada sektor-sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain itu, Kota Tangerang merupakan kotamadya yang potensial dan berpeluang besar dalam mengembangkan potensi sektor-sektor ekonomi yang dimiliki dalam menunjang pelaksanaan pembangunan menuju peningkatan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, diharapkan dengan beragamnya potensi-potensi ekonomi yang ada dapat memacu dan menciptakan struktur perekonomian yang laebih baik lagi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah, baik itu laju pertumbuhannya maupun daya saing sektor tersebut terhadap Propinsi Banten. Selain itu untuk mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB Kota Tangerang dan pergeseran bersih, sehingga dapat diketahui sektor-sektor tersebut termasuk ke dalam progresif (maju) atau kelompok pertumbuhan lambat. Penelitian ini menggunakan model analisis shift share. Perangkat lunak yang digunakan dalam proses pengolahan data shift share ini adalah Microsoft Excell. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data nilai PDRB Kota Tangerang dan PDRB Propinsi Banten tahun 2001-2005 berdasarkan atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara sektoral, persentase pertumbuhan sektor perekonomian tertinggi ditempati oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu sebesar 2073,91 persen. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di Kota Tangerang tumbuh sangat pesat seiring dengan pertumbuhan kegiatan pemukiman baru dan perindustrian. Bahkan dengan semakin maraknya sektor perdagangan, tuntutan layanan keuangan dan perbankan semakin meningkat. Sedangkan sektor perekonomian yang persentase pertumbuhannya terendah adalah sektor pertanian yaitu sebesar 12,86 persen. Pada sektor pertanian keterbatasan lahan pertanian menjadi kendala yang berarti, sehingga kontribusi yang diberikan sektor pertanian terhadap PDRB relatif rendah. Pada masa otonomi daerah (2001-2005), terdapat enam sektor yang memiliki pertumbuhan yang progresif yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasajasa. Sektor-sektor perekonomian Kota Tangerang secara umum didukung oleh
daya saing wilayah yang baik yaitu sektor-sektor perekonomian tersebut mempunyai nilai komponen pertumbuhan pangsa wilayah yang positif (PPW>0). Dengan total nilai pergeseran bersih yang positif (PB>0), ini berarti bahwa pada masa otonomi daerah, Kota Tangerang termasuk Kota yang mengalami laju pertumbuhan yang progresif. Pada masa otonomi daerah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang dan juga memberikan kontribusi yang meningkat terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kota Tangerang diharapkan dapat memperkuat sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu dengan cara: (1) meningkatkan pelayanan di sektor keuangan dan perbankan, karena dengan meningkatnya pertumbuhan kegiatan permukiman, perindustrian serta semakin maraknya sektor perdagangan, tuntutan layanan sektor keuangan dan perbangkan semakin meningkat, dan (2) meningkatkan fasilitas prasarana umum terutama di bidang transportasi/pengangkutan. Selain sektor-sektor tersebut di atas sektor industri juga mempunyai potensi untuk dikembangkan karena sektor ini mempunyai daya saing yang baik (PPW>0) meskipun pertumbuhan sektor ini lamban (PP<0). Jumlah industri di Kota Tangerang relatif banyak dan sektor ini juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB Kota Tangerang. Untuk itu, Pemerintah Daerah Kota Tangerang seyogyanya dapat meningkatkan sektor industri tersebut dengan cara: meningkatkan subsektor-subsektor yang terkait dengan sektor ini, yaitu dengan cara: (1) Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat yaitu dengan meningkatkan pemberdayaan sektor dunia usaha industri kecil (home industry), misalnya dengan cara pemberian pinjaman modal usaha dari pemerintah daerah kepada sektor industri kecil, karena sektor industri kecil ini dapat menjadi penopang sektor industri besar, dan (2) Memperbaiki infrastruktur, sarana dan prasarana yang mendukung sektor industri agar dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik lagi, karena sektor tersebut dapat mendukung sektor-sektor yang lainnya seperti sektor pengangkutan dan komunikasi yang menjadi penunjang kegiatan industri dan perdagangan sebagai motor penggerak roda perekonomian Kota Tangerang.
ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005)
Oleh NITTA WAHYUNI H14102083
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Nitta Wahyuni
Nomor Registrasi Pokok
: H14102083
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2005)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si NIP. 132 321 453
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2007
Nitta Wahyuni H14102083
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Nitta Wahyuni dilahirkan pada tanggal 14 Agustus 1984 di Kota Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Cundi Wahyudinata dan Renny Haryono. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Pertiwi Ciawi Bogor, kemudian melanjutkan ke tingkat Sekolah Dasar di SDN Bondongan 2 Bogor. Setelah lulus dari Sekolah Dasar penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 9 Bogor dan menamatkan Sekolah Menengah Umum di SMU PGRI I Bogor pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2005)”. Penelitian ini mengkaji perubahan PDRB di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah untuk melihat sektor-sektor apa saja yang memberikan kontribusi penting terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Adapun dalam proses penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Dalam hal ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orang tua penulis (Cundi Wahyudinata dan Renny Haryono), adik-adik penulis (Rully dan Lola), serta saudara-saudara penulis yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dorongan dan do’a yang tak hentihentinya kepada penulis. 2. Ibu Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 3. Ibu Widyastutik, SE, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan yang berharga dalam proses penyempurnaan skripsi ini. 4. Bapak Jaenal Effendi, MA selaku komisi pendidikan yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam perbaikan skripsi ini. 5. Staf Badan Pusat Statistik Kota Tangerang serta para staf Perpustakaan LSI IPB yang telah membantu penulis dalam pengambilan data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh staf pengajar dan staf akademik Departemen Ilmu Ekonomi serta staf akademik FEM IPB yang telah membantu penulis selama menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. 7. Teman-teman penulis satu pembimbing skripsi (Nisa, Wilma dan Tirani), sahabat-sahabat penulis (Iyas, Rika, Erni, Hani, Rusniar, Rahma, Venti dan Puput) serta teman-teman penulis di Departemen Ilmu Ekonomi angkatan 39 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2007
Nitta Wahyuni H14102057
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL................................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ ii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... iii I. PENDAHULUAN........................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang........................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah................................................................................ 3 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 5 1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................. 6 1.5. Ruang Lingkup Penelitian...................................................................... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.......................... 8 2.1. Teori Pertumbuhan WW. Rostow........................................................... 8 2.2. Konsep Perencanaan Wilayah................................................................ 11 2.3. Otonomi Daerah...................................................................................... 13 2.4. Penelitian Terdahulu............................................................................... 15 2.5. Analisis Shift Share................................................................................. 18 2.5.1.Kelebihan Analisis Shift Share...................................................... 20 2.5.2.Kelemahan Analisis Shift Share.................................................... 21 2.5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah……………………. 22 2.5.4. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian………......... 24 2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian.............................................................. 26 III. METODE PENELITIAN................................................................................ 29 3.1. Jenis dan Sumber Data........................................................................... 29 3.2. Metode Analisis Shift Share................................................................... 29 3.2.1.Analisis Laju Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang dan Propinsi Banten ........................................................................................... 30 3.2.2. Analisis Rasio PDRB Propinsi Banten dan Kota Tangerang........32 3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah.................................. 33
3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih............................................................36 3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan Perekonomian................................. 37 3.3. Definisi Operasional Data........................................................................ 37 IV. GAMBARAN UMUM....................................................................................40 4.1. Penduduk.................................................................................................40 4.2. Sosial.......................................................................................................40 4.2.1. Pendidikan.................................................................................... 40 4.2.2. Kesehatan......................................................................................42 4.3. Keadaan Perekonomian.......................................................................... 42 V. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................43 5.1. Analisis Laju Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2005).............................43 5.2 Analisis Rasio PDRB Kota Tangerang dan PDRB Propinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005 (Nilai Ra, Ri dan ri).... 46 5.3 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah di Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2005)....................................................... 49 5.3.1 Pertumbuhan Regional (PR)....................................................... 49 5.3.2 Pertumbuhan Proporsional (PP).................................................. 50 5.3.3 Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW).........................................51 5.4 Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah...................................................................53 VI. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................57 6.1. Kesimpulan..............................................................................................57 6.2. Saran........................................................................................................57 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 60 LAMPIRAN........................................................................................................... 62
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1.
Halaman
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Tahun 2001-2005............... 2
5.1. Perubahan Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 2001 dan 2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000..................... 43 5.2. Perubahan Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten Tahun 2001 dan 2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000..................... 45 5.3. Rasio Indikator PDRB (Nilai Ra, Ri, dan ri) Pada Masa Otonomi Daerah ..................................................................................................................... 48 5.4. Komponen Pertumbuhan Regional Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005............................................................................ 50 5.5. Komponen Pertumbuhan Proporsional Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005.................. ......................................................... 51 5.6. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005............................................................. 53 5.7. Komponen Pergeseran Bersih Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005......................................................................................... 55
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Model Analisis Shift Share...........................................................................19 2.2. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian................................................... 25 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual.................................................................. 28 5.1. Profil Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 2001-2005................... 54
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. PDRB Kota Tangerang Berdasarkan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2005 (Jutaan Rupiah)....................... 62 2. PDRB Propinsi Banten Berdasarkan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2005 (Jutaan Rupiah)....................... 64 3. Hasil Perhitungan Shift Share Pada Semua Sektor Ekonomi Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah............................................................................ 66 4. Cara Perhitungan Analisis Shift Share............................................................ 67 5. Profil Pertumbuhan PDRB Dengan Menggunakan Persen PP dan PPW....... 74
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Setiap wilayah memiliki potensi yang berbeda sesuai dengan karakteristik sumberdaya fisik dan non-fisiknya. Beragam potensi dan karakteristik sumberdaya menyebabkan tidak meratanya pembangunan antar daerah dan antar sektor di suatu wilayah serta pemerataan pembangunan. Menurut Hadianto (2002), pembangunan daerah sangat erat kaitannya dengan proses desentralisasi pembangunan yang berkembang saat ini. Pembangunan daerah perlu dilaksanakan secara terpadu, selaras, serasi dan seimbang serta diarahkan agar pembangunan yang berlangsung di setiap daerah sesuai dengan prioritas dan potensi daerah. Pelaksanaan
pembangunan
suatu
daerah
tentunya
memerlukan
kemampuan untuk membiayai seluruh kebutuhan dana pembangunan yang diperlukan. Dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka masalah pendanaan bagi pembangunan daerah lebih banyak tergantung pada kemampuan daerah untuk mengoptimalkan pendapatannya dengan menggali sumber ekonomi daerah untuk melaksanakan pembangunan daerah. Untuk menunjang pembangunan perekonomian di suatu wilayah/daerah diperlukan perencanaan ekonomi yang matang. Proses perencanaan pembangunan ekonomi
memerlukan
informasi
yang
dapat
dijadikan
bahan
evaluasi
kebijaksanaan dan menentukan program kerja di masa yang akan datang. Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperbesar lapangan
2
pekerjaan, meningkatkan pemerataan pembagian masyarakat, dan meningkatkan hubungan ekonomi. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat, indikator makro yang diperlukan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB dengan berbagai indikator ekonominya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam melaksanakan langkah strategis pembangunan ekonomi. Dengan demikian, skala prioritas pembangunan ekonomi sektoral dapat lebih tajam dan mencapai sasaran sesuai dengan yang ditargetkan. Laju pertumbuhan PDRB merupakan salah satu indikator perkembangan ekonomi. Indikator ini menunjukkan perkembangan produk yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu daerah. Kota Tangerang merupakan salah satu Kotamadya di Propinsi Banten. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang mengalami fluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Tahun 2001-2005 No
Tahun
1 2 3 4 5
2001 2002 2003 2004 2005
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Harga Konstan Harga Berlaku 12,72 3,46 15,54 6,00 13,22 6,90 10,07 5,76 14,38 6,83
Sumber: BPS Kota Tangerang, 2005.
Laju pertumbuhan yang terjadi di tiap-tiap sektor ekonomi di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah dengan disahkannya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Undang-undang ini
3
telah memberikan kebebasan kepada tiap-tiap daerah untuk menggali potensi daerahnya lebih baik lagi di berbagai sektor ekonomi. Peran pemerintah daerah dalam menganalisis potensi ekonomi wilayahnya sangat dibutuhkan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini terkait dengan kewajibannya menentukan sektor-sektor ekonomi yang perlu dikembangkan agar perekonomian daerah dapat tumbuh dengan cepat. Pemerintah daerah juga harus mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan potensi sektor tertentu rendah dan menentukan prioritas untuk menanggulangi kelemahan tersebut. Sektor yang memiliki keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang.
1.2. Perumusan Masalah Bagi sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau seperti Indonesia, perbedaan karakteristik wilayah adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga pola pembangunan ekonomi wilayah di Indonesia tidak seragam. Ketidakseragaman ini akan berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh yang pada kenyataannya akan ada wilayah yang maju dan beberapa wilayah lainnya pertumbuhannya lamban. Walaupun negara yang bersangkutan telah berusaha untuk menerapkan kebijakan pembangunan wilayahnya agar tidak terjadi kesenjangan antar wilayah. Diduga, penyebab pokok
4
terjadinya hal tersebut adalah adanya perbedaan dalam struktur industri atau sektor ekonominya (Thomas, dalam Budiharsono, 2001). Pendapatan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh sektor perekonomian yang dapat meningkatkan produksinya, sedangkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang dihasilkan. Dalam peningkatan pendapatan daerah, suatu daerah mempunyai perbedaan karakteristik sumber daya, seperti sumber daya alam, sumber daya manusia dan lain-lain. Diharapkan dengan perbedaan tersebut diperoleh suatu kombinasi yang sesuai dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2000, maka peranan pemerintah daerah sangat penting dalam menggali potensi lokalnya sebagai sumber keuangan dalam membantu pembiayaan pemerintah daerah secara mandiri. Permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri bersumber dari terbatasnya dana dalam melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Untuk lebih
meningkatkan
pembangunan daerah, diperlukan biaya yang harus digali dari sumber keuangan sendiri. Keuangan daerah juga seharusnya merupakan salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangga sendiri. Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu agar daerah yang bersangkutan mampu mengurus daerahnya sendiri dan berusaha melepaskan diri dari ketergantungan kepada pemerintah pusat.
5
Pertumbuhan perekonomian Kota Tangerang pada masa otonomi daerah (periode 2001-2005) mengalami laju pertumbuhan yang berfluktuatif. Kota Tangerang sebagai wilayah konsentrasi otonomi mempunyai prospek yang cukup baik dalam memanfaatkan potensi sumberdaya lokal, terutama sektor-sektor ekonominya. Pertumbuhan PDRB sendiri yang terjadi di Kota Tangerang didukung oleh pertumbuhan setiap sektor ekonomi yang terdapat di kota Tangerang. Pertanyaan yang timbul adalah apakah setelah dikeluarkannya kebijakan
Otonomi Daerah, sektor-sektor perekonomian apa saja di Kota
Tangerang yang mengalami pertumbuhan cepat atau lamban? Sektor-sektor perekonomian yang mempunyai daya saing yang baik dan sektor-sektor perekonomian yang tidak mampu berdaya saing juga menjadi perhatian pada penelitian ini. Berdasarkan uraian
tersebut dapat dijabarkan beberapa permasalahan
yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah? 2. Sektor-sektor apa saja yang termasuk dalam kelompok sektor pertumbuhan progresif (maju) atau lambat dalam perekonomian Kota Tangerang pada masa otonomi daerah? 3. Bagaimana laju pertumbuhan perekonomian di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah?
6
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas dapat diketahui bahwa tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah. 2. Menganalisis sektor-sektor yang termasuk kelompok sektor pertumbuhan progresif (maju) atau lambat dalam perekonomian Kota Tangerang pada masa otonomi daerah. 3. Menganalisis laju pertumbuhan perekonomian di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat: 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
mengenai perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor
ekonomi yang terjadi di Kota Tangerang di Kota Tangerang. 2. Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat menjadi proses pembelajaran dan pengkajian dengan menggunakan disiplin ilmu yang telah dipelajari serta tercipta output yang dapat dijadikan sumber data, informasi, serta literatur bagi kegiatan penulisan maupun penelitian selanjutnya. 3. Bagi Pemerintah Kota Tangerang, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi untuk mengelola dan mengembangkan wilayahnya berdasarkan potensi yang ada, sebagai sarana evaluasi dan informasi mengenai
7
pertumbuhan perekonomian, koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan dalam penyusunan kebijakan pembangunan wilayah terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Sedangkan bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan meningkatkan partisipasinya dalam proses pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya dan masing-masing propinsi dan daerah-daerah pada khususnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya terbatas pada Kota Tangerang tahun 2001 sampai tahun 2005. Alasannya adalah pada tahun 2001 sudah dimulai pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data PDRB Kota Tangerang menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000. Analisis data dilakukan dengan menggunakan alat analisis Shift Share, sehingga dapat diketahui
pertumbuhan
sektor-sektor
ekonomi
di
suatu
wilayah,
dibandingkan dengan sektor ekonomi lainya maupun wilayah atasnya.
baik
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Teori Pertumbuhan W.W. Rostow Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi. Pertumbuhan ekonomi wilayah ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Tarigan, 2005). Menurut Djojohadikusumo, S (1993), pertumbuhan terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Hal ini
dapat dikatakan bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang
berdimensi tunggal dan di ukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan. Istilah pertumbuhan (growth) berkenaan dengan teori dinamika dalam pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dikembangkan oleh pemikir NeoKeynes. Istilah perkembangan dikaitkan dengan paham evolusi, bukan dalam hubungan langsung dengan pertumbuhan ataupun dengan pembangunan. Irawan dan Suparmoko (1999) menyatakan bahwa pada umumnya perkembangan atau pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan atau perkembangan. Tetapi pada tingkat-tingkat permulaan, mungkin pembangunan ekonomi selalu disertai dengan pertumbuhan dan sebaliknya.
9
Menurut Irawan dan Suparmoko (1999), Rostow menyatakan bahwa sejarah pertumbuhan ekonomi melalui beberapa tingkatan yaitu: 1. Masyarakat Tradisional Tingkatan ini dikenal sebagai fase permulaan yang ditandai dengan adanya fungsi produksi yang terbatas. Perkembangan ini dibatasi oleh teknologi. Masyarakat pada fase ini tidak kekurangan akan penemuan-penemuan dan inovasi, tetapi belum ada pengertian sistematis terhadap alam sekitarnya yang dapat mendorong perkembangan lebih lanjut. Pengertian terhadap perkembangan masa depan masih kurang. Keadaan masyarakat tidak selalu statis, kadang-kadang memiliki produktivitas yang tinggi. Tetapi tingkat produksi yang dapat dicapai masih terbatas, karena ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum digunakan secara sistematis. Sebagian besar sumber tenaga kerja berada di sektor pertanian, sehingga menyebabkan terbatasnya produktivitas. Hubungan keluarga masih erat dan berpengaruh besar dalam organisasi-organisasi sosial. Kekuasaan dipegang oleh mereka yang mempunyai tanah yang luas. 2. Masyarakat Prasyarat untuk Lepas Landas Fase prasyarat lepas landas pada dasarnya dipengaruhi oleh: a. Pertumbuhan perlahan-lahan dalam ilmu pengetahuan modern. b. Inovasi-inovasi yang bersamaan dengan penemuan daerah-daerah baru, dan adanya keinginan untuk menciptakan teknologi baru dalam sektor-sektor yang cukup penting dalam usaha perluasan pasar.
10
Masyarakat pada fase ini membutuhkan adanya perubahan yang didukung oleh pemerintah yang terdiri dari tiga sektor non industri, yaitu: a. Membangun fasilitas prasarana umum terutama di bidang transportasi. b. Revolusi teknik dibidang pertanian dalam rangka peningkatan produksi dengan teknik baru. c. Perluasan impor yang dibiayai oleh perdagangan komoditi sumber-sumber alam yang ada. 3. Masyarakat Lepas Landas Fase ini menunjukkan tercapainya perkembangan pesat pada sektor-sektor tertentu yang telah menggunakan teknik produksi modern. Hasil dari fase lepas landas adalah berupa kemampuan masyarakat untuk mempertahankan tingkat investasinya setiap tahun. Dalam arti non-ekonomis, fase lepas landas ini biasanya menunjukkan keberadaan sosial, politik, dan kebudayaan dari orang-orang yang hendak memodernisir perekonomiannya atas masyarakat tradisional yang kuat. 4. Masyarakat Menuju Kematangan Fase keempat dari pertumbuhan ekonomi menurut Rostow adalah menuju kematangan. Kematangan ekonomi yang diartikan Rostow adalah sebagai suatu tahun ketika masyarakat secara efektif menerapkan teknologi modern terhadap sumber-sumber ekonomi. Pada fase ini, manajer-manajer profesional mempunyai kedudukan yang semakin penting. Hal ini karena kedudukannya yang telah kuat dalam memimpin industri-industri besar dan kemudian mencari objek-objek termasuk penerapan teknologi modern untuk mengusahakan sumber-sumber alam. Perubahan-perubahan dalam angkatan kerja ini disertai dengan perubahan-
11
perubahan kehendak dari masyarakat melalui para cendikiawan dan politisi yang secara terang-terangan mengecam keadaan sosial. Perluasan industrialisasi tidak menjadi tujuan utama. Hal ini karena telah berlaku hukum kegunaan batas yang semakin berkurang (The Law of Diminishing Marginal Utility). 5. Masyarakat Konsumsi yang Berlebih Ada dua cara yang digunakan dalam fase ekonomi yang matang ini, yaitu: a. Menyediakan/menawarkan jaminan yang lebih baik, kemakmuran dan leisure kepada angkatan kerja. b. Menyediakan konsumsi individu yang lebih banyak termasuk barang konsumsi awet dan jasa-jasa secara masal.
2.2. Konsep Perencanaan Wilayah Perencanaan wilayah adalah suatu perluasan dari perencanaan lokal, yang terutama menangani masalah-masalah lokal seperti perpindahan dan persebaran penduduk serta kesempatan kerja, interaksi yang kompleks antara kebutuhankebutuhan sosial dan ekonomi, penyediaan fasilitas-fasilitas rekreasi penting dan jaringan komunikasi utama yang hanya diputuskan bagi daerah-daerah yang jauh lebih
besar
daripada
daerah-daerah
wewenang
dari
penguasa-penguasa
perencanaan lokal yang ada (Glasson 1990). Menurut Budiharsono (2001), wilayah adalah suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu:
12
1. Wilayah Homogen Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek atau kriteria yang mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama. Sifat-sifat dan ciriciri kehomogenan itu misalnya dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku, dan lain sebagainya. Setiap perubahan yang terjadi di wilayah tersebut akan mempengaruhi seluruh bagian wilayah tersebut dengan proses yang sama. Dengan demikian apa yang berlaku di suatu bagian wilayah akan berlaku pula pada bagian wilayah lainnya. 2. Wilayah Nodal Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antar pusat (inti) dan daerah belakangnya. Ketergantungan dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Batas wilayah nodal ditentukan sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi lainnya. 3. Wilayah Administratif Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administratif pemerintah atau politik, seperti provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa dan kelurahan serta RT dan RW. Pengelolaan lingkungan pada wilayah ini memerlukan kerjasama dari satuan wilayah administrasi lain yang terkait.
13
4. Wilayah Perencanaan Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun ada juga aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan aliran sungai harus direncanakan dari hulu sampai hilirnya.
2.3 Otonomi Daerah Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 pasal 1 (h) yang menyatakan bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Otonomi Daerah adalah wewenang daerah dalam mengurusi daerahnya sendiri karena daerah tersebut lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Kesenjangan antar daerah selama ini terjadi karena begitu banyaknya campur tangan pemerintah pusat dalam menangani daerah sehingga terkadang apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut tidak sesuai dengan apa yang menjadi program dari pemerintah pusat. Majidi, dalam Riyanto (1997) menyatakan bahwa “ Otonomi Daerah merupakan penjabaran dari pelaksanaan asas desentralisasi yaitu penyerahan sebagian urusan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa desentralisasi daerah adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi antara
14
daerah otonom provinsi dengan daerah otonom kabupaten atau daerah kota tidak memiliki hubungan hirarki. Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya adalah untuk membantu pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada masa sekarang ini titik berat pemberian otonomi daerah diberikan kepada daerah tingkat II dan bukan pada daerah tingkat I atau desa. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi utama pemerintah daerah sebagai penyedia pelayanan kepada masyarakat dan pelaksana pembangunan, disamping sebagai Pembina kestabilan sosial, politik, ekonomi dan kesatuan bangsa. Pemerintah daerah tingkat II dianggap sebagai tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat, sehingga dapat mengetahui kebutuhan masyarakat di daerahnya (Santoso, 1995). Diharapkan dengan adanya pemberian Otonomi Daerah persatuan dan kesatuan bangsa sendiri semakin erat. Diharapkan juga dengan adanya Otonomi Daerah pertumbuhan ekonomi daerah semakin kuat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti halnya pendapat Afrianto (2000) mengatakan bahwa “ Pada tahun-tahun mendatang program desentralisasi dan pembangunan Otonomi Daerah akan mendominasi pembangunan ekonomi daerah.” Sumber penerimaan daerah untuk melaksanakan program-program daerah dan kegiatan-kegiatan pembangunan adalah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun sayangnya, sumbangan PAD terhadap penerimaan daerah yang
15
tercermin dalam PDRB relatif kecil. Hal ini menyebabkan pembangunan di daerah relatif lambat dan terbatas. Desentralisasi dari aspek fiskal merupakan otonomi keuangan yang meliputi
pemberian
kewenangan
penerimaan
(revenue
assignment)
dan
pengeluaran (expenditure assignment) yang memungkinkan daerah dapat memobilisasi sumber-sumber penerimaan dan meningkatkan kapasitas keuangan. Dengan desentralisasi sebagian atau seluruh fungsi pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah. Pemerintah daerah membiayai pelaksanaan fungsi tersebut dengan PAD yang dihasilkan oleh setiap daerah. Dalam kenyataannya pemerintah daerah memiliki keterbatasan untuk membiayai semua tugas pembangunan daerah dengan hanya mengandalkan potensi PAD. Bantuan pemerintah pusat sangat dibutuhkan dalam menunjang pembangunan di daerah.
2.4. Penelitian Terdahulu Budiharsono (1996) menggunakan analisis Shift Share sebagai salah satu alat analisisnya mengenai Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia Tahun 1969-1987. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa selama kurun waktu tersebut terdapat kecenderungan pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Kawasan Barat Indonesia lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia. Rendahnya pertumbuhan provinsi-provinsi di KTI disebabkan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusianya. Selain itu juga disebabkan oleh rendahnya permintaan domestik terhadap barang dan jasa. Hal ini karena tingkat pendapatan perkapita masyarakat yang rendah.
16
Penelitian berjudul “Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Ogan Komering Ulu Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah” dengan menggunakan alat analisis Shift Share oleh Zulparina (2004) menunjukkan bahwa sebelum otonomi daerah, pertumbuhan aktual Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) cenderung menurun. Begitu juga dengan pertumbuhan regional mengalami penurunan. Sedangkan pada masa otonomi daerah, pertumbuhan aktual Kabupaten OKU dan regional bernilai positif, ini berarti pertumbuhan Kabupaten OKU termasuk ke dalam wilayah yang pertumbuhannya cepat. Rini, S (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003” dengan menggunakan alat analisis Shift Share menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 1998-2003, terdapat 16 propinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional dengan kontribusi pertumbuhan terbesar adalah sektor listrik, gas dan air bersih serta kontribusi pertumbuhan terkecil adalah sektor bangunan. Nilai PN menunjukkan bahwa Propinsi DKI Jakarta adalah propinsi yang mampu mempengaruhi kebijakan pembangunan, sedangkan Propinsi Maluku Utara merupakan propinsi yang kurang mampu mempengaruhi kebijakan kebijakan pertumbuhan sektoral. Nilai PP menunjukkan bahwa Propinsi Banten merupakan propinsi yang mempunyai pertumbuhan sektoral tercepat dan Propinsi Papua yang terlamban. Nilai PPW menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi yang berdaya saing dengan baik sedangkan Propinsi Jawa Timur tidak mampu berdaya saing dengan baik.
17
Ramadhanny, S (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Sektor-sektor Ekonomi Kabupaten Lahat Pada Masa Otonomi Daerah (20012004)” menunjukkan bahwa sumber-sumber pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lahat pada masa otonomi daerah mengacu pada sembilan sektor penyusun PDRB di Kabupaten Lahat. Perubahan PDRB tertinggi ditempati oleh sektor pertanian dan perubahan PDRB terkecil ditempati oleh sektor listrik, gas dan air bersih. Dari sembilan sektor penyusun PDRB Kabupaten Lahat terdapat enam sektor yang memiliki pertumbuhan progresif, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor-sektor
yang
memiliki
pertumbuhan
yang
lambat
adalah
sektor
perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. Dengan melihat nilai pergeseran bersih Kabupaten Lahat terhadap Propinsi Sumatera Selatan, maka secara agregat nilai yang diperoleh Kabupaten Lahat mengalai pertumbuhan yang progresif. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Analisis Shift Share cukup relatif digunakan dalam menganalisis pertumbuhan perekonomian suatu wilayah dalam kaitannya dengan daerah atasnya yaitu dengan melakukan perbandingan laju pertumbuhan. Penelitian sebelumnya dilakukan untuk membandingkan pertumbuhan sebelum dan pada masa otonomi daerah menggunakan data PDRB atas harga konstan tahun 1993. Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini berbeda dalam hal sasaran penelitian dan tahun waktu penelitian. Penelitian ini dilakukan terhadap sektor-
18
sektor ekonomi Kota Tangerang tahun 2001-2005 dan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan 2000.
2.5. Analisis Shift Share Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff, et al pada tahun 1960. Pada awalnya, analisis Shift Share digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor-sektor atau wilayah yang lamban di Indonesia dan Amerika Serikat. Manfaat lain dari analisis Shift Share adalah analisis ini dapat menduga dampak kebijakan nasional/wilayah mengenai investasi. Teknik analisis Shift Share merupakan suatu analisis mengenai perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi pada dua titik di suatu wilayah. Analisis Shift Share memiliki tiga kegunaan, yaitu untuk melihat perkembangan: 1.
Sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas.
2.
Sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektorsektor lainnya.
3.
Suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah. Dengan demikian, dapat ditunjukkan adanya Shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu memperoleh kemajuan sesuai dengan kedudukannya dalam perekonomian nasional. Selain
itu,
analisis
Shift
Share
juga
dapat
digunakan
untuk
membandingkan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju
19
pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya dan mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan tersebut. Bila penyimpangannya bernilai positif, maka dapat dikatakan bahwa sektor ekonomi dalam wilayah tersebut memiliki keunggulan kompetitif. Pada analisis Shift Share diasumsikan bahwa perubahan indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan, yaitu komponen Pertumbuhan Nasional (PN), komponen Pertumbuhan Proporsional (PP), dan komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW). Analisis Shift Share juga menunjukkan bahwa perubahan sektor i pada wilayah j dipengaruhi oleh tiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut. Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut, maka dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi di suatu wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu jika PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong pertumbuhannya lambat. Komponen Pertumbuhan Nasional
Wilayah ke j sektor ke i
Maju PP + PPW ≥ 0
Wilayah ke j sektor ke i
Komponen Pertumbuhan Proporsional
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share Sumber : Budiharsono, 2001.
Lambat PP + PPW < 0
20
2. 5.1 Kelebihan Analisis Shift Share Teknik perhitungan Analisis Shift Share memiliki kelebihan-kelebihan. Menurut Soepono (1993) kelebihan-kelebihan dari analisis Shift Share adalah: 1. Analisis Shift Share dapat melihat perkembangan indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah pada dua titik waktu tertentu, yang mana satu titik waktu dijadikan sebagai dasar (awal) analisis, sedangkan satu titik waktu lainnya dijadikan sebagai akhir analisis. 2. Perubahan indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dapat dilihat melalui tiga komponen pertumbuhan wilayah, yakni komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). 3. Berdasarkan komponen PN dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dibandingkan dengan laju pertumbuhan nasional. 4. Komponen PP dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. Hal ini berarti bahwa suatu wilayah dapat mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor itu. 5. Komponen PPW dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor ekonomi dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi pada wilayah lainnya. 6. Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan, maka dapat ditunjukkan adanya Shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah.
21
2.5.2
Kelemahan Analisis Shift Share Kemampuan teknik analisis Shift Share memberikan dua indikator positif
yang berarti, yaitu suatu wilayah mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional dan perkembangan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah yang berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor-sektor tersebut. Namun, dalam teknik analisis Shift Share ini tidaklah lepas dari kelemahan-kelemahan. Menurut Soepono (1993), kelemahan-kelemahan dari analisis Shift Share adalah: 1. Analisis Shift Share tidak lebih daripada suatu pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan suatu variabel wilayah menjadi komponenkomponen. Persamaan hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keperilakuan. Metode Shift Share tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya pengaruh keunggulan kompetitif adalah positif di beberapa wilayah, tetapi negatif di daerah-daerah lain. Metode Shift Share merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem penghitungan semata dan tidak analitik. 2. Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju nasional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan wilayah. 3. Kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) berkaitan dengan halhal yang sama seperti perubahan permintaan dan penawaran, perubahan teknologi dan perubahan lokasi sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.
22
4. Teknik analisis Shift Share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu wilayah bersifat lokal, maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayahwilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat. 5. Analisis Shift Share tidak mampu menganalisis keterkaitan ke depan dan ke belakang antar sektor yang disebabkan oleh adanya pergeseran pertumbuhan seperti yang dilakukan pada analisis Input Output.
2.5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Analisis Shift Share menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik tertentu. Menurut Budiharsono (2001), pada analisis Shift Share diasumsikan bahwa
perubaan
tingkat PDRB pada suatu tahun dasar dengan tahun akhir yang terbagi atas tiga komponen pertumbuhan, yaitu : a.
Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) PN merupakan perubahan PDRB suatu wilayah yang disebabkan oleh
perubahan PDRB nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional / perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Analisis pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini difokuskan pada pembahasan daerah kabupaten/kota. Maka istilah komponen pertumbuhan nasional dianalogikan menjadi komponen pertumbuhan regional (PR). Hal ini
23
dilakukan untuk menghindari salah penafsiran dalam pengertian nasional (Indonesia) dengan regional (Propinsi atau Kota/Kabupaten). b.
Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP). PP tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir,
perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (misalnya : kebijakan perpajakan dan subsidi) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. c.
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) PPW timbul karena peningkatan / penurunan PDRB dalam suatu wilayah
dibandingkan dengan wilayah lainnya. Menurut Budiharsono (2001) cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komperatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut.
2.5.4. Indeks Rasio Pertumbuhan Daerah (PDRB) Indeks rasio pertumbuhan daerah didasarkan pada perbandingan antara PDRB tahun akhir analisis dengan PDRB tahun dasar analisis, sehingga akan diperoleh nilai Ra, Ri dan ri. Nilai-nilai tersebut dipergunakan untuk mengetahui perkembangan sektor perekonomian pada daerah analisis (Kota Tangerang) dengan daerah atasnya (Propinsi Banten). a) Indeks Rasio Ri Rasio Ri diperoleh dengan membandingkan jumlah total PDRB Propinsi Banten pada tahun akhir analisis dan juga pada tahun dasar analisis. Rasio ini
24
memperlihatkan besarnya perubahan PDRB yang terjadi berdasarkan harga konstan. b) Indeks Rasio Ra Rasio Ra menunjukkan perubahan suatu sektor i dalam PDRB Propinsi Banten berdasarkan harga konstan. Rasio Ri merupakan perbandingan antara jumlah total sumbangan sektor i terhadap PDRB pada tahun akhir analisis dan jumlah total PDRB pada tahun dasar analisis. c) Indeks Rasio ri Rasio ri merupakan rasio nilai tambah sektor i di wilayah j atau daerah analisis (Kota Tangerang) pada tahun akhir analisis dengan nilai tambah sektor yang sama di daerah tersebut pada tahun dasar analisis. Nilai ini menunjukkan besarnya perubahan setiap sektor perekonomian Kota Tangerang pada periode waktu tertentu.
2.5.5. Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Analisis profil pertumbuhan sektor perekonomian digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan sektor di wilayah yang bersangkutan pada kurun waktu yang ditentukan dengan cara mengekspresikan persen perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Berdasarkan persen PPij dan PPWij yang disajikan dalam bentuk koordinat (PPij, PPWij) maka dapat menentukan pertumbuhan suatu sektor di wilayah pada kurun waktu tertentu. Pada sumbu horizontal terdapat PP sebagai absis, sedangkan pada sumbu vertikal terdapat PPW sebagai ordinat.
25
Kuadran IV
Kuadran I
PP
Kuadran III
Kuadran II PPW
Gambar 2.2. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Sumber : Budiharsono, 2001.
Berdasarkan gambar 2.2 diatas maka profil pertumbuhan sektor perekonomian dapat dijelaskan sebagai berikut: (i)
Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor perekonomian di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah progresif (maju).
(ii)
Kuadran II menunjukkan bahwa sektor-sektor perekonomian yang ada di wilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik.
(iii)
Kuadran III menunjukkan bahwa sektor-sektor perekonomian di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini
26
menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah lamban. (iv)
Kuadran IV menunjukkan bahwa sektor-sektor perekonomian pada wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
(v)
Pada kuadran II dan IV terdapat garis miring yang membentuk sudut 45º dan memotong kedua kuadran tersebut. Bagian atas garis tersebut menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah yang progresif (maju), sedangkan dibawah garis berarti wilayah yang bersangkutan menunjukkan wilayah yang lamban.
2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian Kondisi perekonomian suatu wilayah, selain dipengaruhi oleh kondisi demografi, potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan pemerintah yang berpengaruh terhadap kondisi perekonomian daerah adalah kebijakan otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah, kewenangan pemerintah pusat sangat dominan dalam menentukan arah pembangunan suatu daerah sehingga daerah tidak mampu berkreasi menentukan arah
pembangunannya.
Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut daerah-daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi sektor-sektor perekonomiannya.
27
Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, Kota Tangerang cukup memberikan pengaruh terhadap perekonomian. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikaji pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dalam menunjang pembangunan daerah Kota Tangerang pada masa otonomi daerah (Tahun 2001-2005) dengan menggunakan analisis Shift Share berdasarkan sektor-sektor perekonomian. Variabel yang digunakan dalam analisis ini adalah penggunaan data PDRB Kota Tangerang maupun Propinsi Banten atas dasar harga konstan tahun 2000 karena PDRB harga konstan (riil) dapat digunakan menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor. Sedangkan atas dasar harga berlaku (nominal) menunjukkan pendapatan yang memungkinkan untuk dinikmati oleh penduduk suatu daerah. Pada penelitian ini, analisis Shift Share terdiri dari; (1) analisis PDRB, untuk melihat bagaimana laju pertumbuhan dan kontribusi sektor-sektor perekonomian, (2) analisis komponen pertumbuhan wilayah, untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian, (3) analisis profil pertumbuhan sektor ekonomi, untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian, sehingga dapat diketahui sektor-sektor ekonomi apa saja yang termasuk ke dalam kelompok pertumbuhan progresif (maju) dan kelompok sektor yang pertumbuhannya lambat (Lihat Gambar 2.3).
28
Kondisi perekonomian Kota Tangerang Kebijakan otonomi daerah
Sektor-Sektor Perekonomian Analisis Shift Share
Analisis PDRB
Laju Pertumbuhan, Kontribusi Sektor-Sektor Perekonomian
Komponen Pertumbuhan Wilayah
Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian
Pertumbuhan, Daya Saing Sektor-Sektor Perekonomian
Kelompok sektor Progresif (Maju/ Lamban)
Rekomendasi untuk meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Tangerang Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual.
29
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Basis data yang digunakan sebagai bahan analisis yaitu data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Tangerang Tahun 2001-2005 berdasarkan harga konstan 2000 menurut lapangan usaha. Data ini diperoleh dari BPS Kota Tangerang, BPS Jakarta dan instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.2. Metode Analisis Shift Share Analisis Shift Share digunakan untuk menganalisis atau melihat gambaran mengenai pertumbuhan dan perkembangan struktur perekonomian serta perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi seperti produksi, pendapatan, nilai tambah dan sebagainya dengan menentukan kurun waktu yang akan dianalisis pada suatu wilayah yang dihubungkan dengan wilayah atasnya di dua titik waktu tertentu sehingga dapat diketahui tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis. Analisis ini memberikan penjelasan atas faktor-faktor penyebab perubahan di suatu wilayah berdasarkan beberapa variabel komponen yaitu pertumbuhan regional, pertumbuhan proporsional dan pertumbuhan pangsa wilayah.
30
3.2.1. Analisis Laju Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang dan Propinsi Banten Laju pertumbuhan PDRB di Kota Tangerang maupun pada skala propinsi dapat diketahui melalui analisis Shift Share. Melalui Shift Share dapat juga digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan PDRB sektor i pada wilayah j. Menurut Budiharsono (2001), apabila dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/propinsi (j= 1,2,3 …m) dan n sektor perekonomian (i= 1,2,3 …n), maka PDRB dari sektor i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut: a. PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun dasar analisis m Yi. =
Σ
Yij
j=1 (3.1.) dimana : Yi. = PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun dasar analisis Yij = PDRB dari sektor i Kota Tangerang pada tahun dasar analisis
b. PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun akhir analisis m Y’i. =
Σ
Y’i j
j=1 (3.2) dimana : Y’i. = PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun akhir analisis Y’ij = PDRB dari sektor Kota Tangerang di tahun akhir analisis Selanjutnya akan dirumuskan PDRB Propinsi Banten pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis sebagai berikut :
31
a. Total PDRB Propinsi Banten pada tahun dasar analisis n
m
Σ Σ
Yi..=
Yij
(3.3)
i=1 j=1 dimana : Yi.. = PDRB Propinsi Banten pada tahun dasar analisis Yij = PDRB dari sektor i Kota Tangerang di tahun dasar analisis b. Total PDRB Propinsi Banten pada tahun akhir analisis n Y’i.. =
m
Σ Σ
Y’ij
(3.4)
i=1 j=1 dimana : Y’i.. = PDRB Propinsi Banten pada tahun akhir analisis Y’ij = PDRB sektor i Kota Tangerang di tahun akhir analisis. Perubahan PDRB sektor i Kota Tangerang dapat dirumuskan sebagai berikut :
∆ Yij = Y’ij – Yij dimana : ∆ Yij = Yij
(3.5)
Perubahan PDRB dari sektor i Kota Tangerang
= PDRB dari sektor i Kota Tangerang di tahun dasar analisis
Y’ij = PDRB dari sektor i Kota Tangerang di tahun akhir analisis Sedangkan rumus persentase perubahan PDRB adalah sebagai berikut :
% ∆ Yij =
Y’ij - Yij X 100% Yij
(3.6)
32
3.2.2. Analisis Rasio PDRB Propinsi Banten dan PDRB Kota Tangerang Rasio PDRB Propinsi Banten dan PDRB Kota Tangerang digunakan untuk melihat perbandingan PDRB sektor-sektor indikator kegiatan ekonomi di Kota Tangerang. Rasio ini terbagi atas ri,Ri dan Ra. a. ri ri menunjukkan selisih antara PDRB dari sektor i Kota Tangerang pada tahun akhir analisis dengan PDRB dari sektor i Kota Tangerang pada tahun dasar analisis dibagi PDRB dari sektor i Kota Tangerang pada tahun dasar analisis. Nilai ri dapat dirumuskan sebagai berikut:
ri
=
Y’ij -Yij
(3.7)
Yij Dimana :Y’ij Yij
= PDRB dari sektor i Kota Tangerang di tahun akhir analisis = PDRB dari sektor i Kota Tangerang di tahun dasar analisis
b. Ri Ri menunjukkan selisih antara PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun akhir analisis dengan PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun dasar analisis dibagi PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun dasar analisis. Adapun nilai rumus Ri adalah sebagai berikut: Ri
= Y’i.– Yi. Yi.
dimana : Y’i. Yi.
(3.8)
= PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun akhir analisis = PDRB Propinsi Banten dari sektor i pada tahun dasar analisis.
33
c. Ra Ra menunjukkan selisih antar PDRB Propinsi Banten pada tahun akhir analisis dengan PDRB Propinsi Banten pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB Propinsi Banten pada tahun dasar analisis. Nilai Ra dirumuskan sebagai berikut: Ra
= Y’i.. – Yi.. Yi..
(3.9)
dimana : Y’i.. = PDRB Propinsi Banten pada tahun akhir analisis Yi..
3.2.3.
= PDRB Propinsi Banten pada tahun dasar analisis.
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Agar perubahan PDRB Kota Tangerang antara tahun dasar analisis dengan
tahun akhir analisis dapat teridentifikasi maka digunakan analisis komponen pertumbuhan wilayah. Komponen pertumbuhan wilayah terbagi atas tiga komponen pertumbuhan, yaitu : komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut, apabila dijumlahkan akan didapatkan perubahan PDRB sektor i Kota Tangerang. a.
Komponen Pertumbuhan Regional (PR) PR merupakan perubahan PDRB Kota Tangerang yang disebabkan oleh
perubahan PDRB Propinsi Banten secara menyeluruh, perubahan kebijakan ekonomi nasional / perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian
34
semua sektor dan wilayah. Adapun komponen pertumbuhan regional dirumuskan sebagai berikut: PRij dimana : PRij
b.
= ( Ra) Yij
(3.10)
= Komponen pertumbuhan regional sektor i untuk Kota Tangerang.
Yij
= PDRB dari sektor i Kota Tangerang pada tahun dasar analisis
Ra
=
Rasio PDRB Propinsi Banten
Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP). PP tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir,
perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (misalnya : kebijakan perpajakan dan subsidi) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Adapun PP dapat dirumuskan sebagai berikut: PPij dimana : PPij
= (Ri-Ra) . Yij
(3.11)
= Komponen pertumbuhan proporsional sektor i untuk Kota Tangerang
Yij
= PDRB dari sektor i Kota Tangerang pada tahun dasar analisis
Ri
= Rasio PDRB Propinsi Banten dari sektor i
Ra
= Rasio PDRB Propinsi Banten
Apabila: PPij < 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya lambat. PPij > 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya cepat.
35
c.
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) PPW timbul karena peningkatan / penurunan PDRB dalam suatu sektor /
wilayah lainnya. Menurut Budiharsono (2001) cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komperatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Rumus PPW adalah sebagai berikut : PPWij = (ri – Ri).Yij
(3.12)
dimana : PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i untuk Kota Tangerang. Yij
= PDRB dari sektor i Kota Tangerang pada tahun dasar analisis
ri
= Rasio PDRB sektor i Kota Tangerang
Ri
= Rasio PDRB Propinsi Banten dari sektor i
Apabila : PPWij > 0, berarti sektor i/wilayah j mempunyai daya saing yang baik dibandingkan dengan sektor i /wilayah j lainnya untuk sektor i. PPWij < 0, berarti sektor i pada wilayah tidak dapat bersaing dengan baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Adapun perubahan dalam PDRB sektor i pada wilayah ke-j dirumuskan sebagai berikut: Δ Yij
=
PNij + PPij + PPWij
(3.13)
=
Y’ij – Yij
(3.14)
Sedangkan, Δ Yij
36
Rumus ketiga komponen pertumbuhan wilayah adalah: PNij
= Yij (Ra)
(3.15)
PPij
=
Yij (Ri-Ra)
(3.16)
PPWij = Yij (ri – Ri)
(3.17)
Apabila persamaan (3.14), (3.15), (3.16), dan (3.17), disubstitusikan ke persamaan (3.14), maka didapatkan : Δ Yij
= PNij + PPij + PPWij
Y’ij – Yij = Yij (Ra) + Yij (Ri-Ra) + Yij (ri – Ri)
(3.18) (3.19)
dimana : Δ Yij
= Perubahan PDRB di Kota Tangerang pada sektor i
Yij
= PDRB Kota Tangerang dari sektor i pada tahun dasar analisis
Y 'ij
= PDRB Kota Tangerang dari sektor i pada tahun akhir analisis
(Ra)
= Persentase perubahan PDRB Kota Tangerang yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional
(Ri-Ra) = Persentase perubahan PDRB Kota Tangerang yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan proporsional (ri-Ri) = Persentase perubahan PDRB Kota Tangerang yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan pangsa wilayah.
3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih Analisis profil pertumbuhan PDRB Kota Tangerang dapat dilihat berdasarkan penjumlahan komponen pertumbuhan proporsional dan pangsa wilayah. Pergeseran bersih yang diperoleh dari penjumlahan tersebut dapat digunakan utuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Pergeseran bersih sektor i Kota Tangerang dapat dirumuskan sebagai berikut:
37
PBij = PPij + PPWij
(3.20)
Dimana: PBij
= Pergeseran bersih sektor i Kota Tangerang
PPij
= Komponen pertumbuhan proporsional sektor i Kota Tangerang
PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i Kota Tangerang Apabila PBij > 0, maka pertumbuhan sektor i Kota Tangerang termasuk ke dalam kelompok progresif (maju)
3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan Perekonomian Analisis profil pertumbuhan perekonomian merupakan tahapan terakhir dalam proses analisis Shift Share. Analisis ini dilakukan untuk menunjukkan secara
jelas
keberadaan
kota-kota
di
Propinsi
Banten
berdasarkan
pertumbuhannya yang cepat atau lambat serta daya saing antar kota yang terjadi. Perangkat lunak yang digunakan untuk mempermudah dalam pengolahan data analisis ini adalah Microsoft Excel. Kemudian hasil-hasil analisis dengan model analisis Shift Share tersebut digunakan sebagai dasar untuk merumuskan secara deskripsi pertumbuhan sektor-sektor pada kota-kota di Propinsi Banten tahun 2001 dan tahun 2005.
3.3. Definisi Operasional Data Operasional data merupakan variabel-variabel pendukung yang digunakan dalam analisis. Variabel-variabel operasional data tersebut akan diidentifikasikan:
38
a. PDRB PDRB merupakan salah satu indikator untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian di suatu wilayah dalam suatu tahun tertentu. Pada dasarnya PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha di suatu wilayah tertentu atau merupakan nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Dalam perhitungan PDRB, digunakan dua macam harga, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan (BPS, 2002). 1) PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku setiap tahun dan dapat digunakan untuk melihat struktur ekonomi. 2)
PDRB atas dasar harga konstan dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar dan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun.
b. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis Menurut Budiharsono (2001) yang dimaksud dengan tahun dasar analisis adalah tahun yang dijadikan sebagai patokan dan dasar untuk menganalisis atau dapat dikatakan sebagai tahun awal dalam menganalisis data untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Sedangkan tahun akhir analisis merupakan tahun yang dijadikan sebagai titik akhir dalam menganalisis data. Pada penelitian ini tahun dasarnya adalah tahun 2001 dan tahun akhirnya adalah tahun 2005. c. Sektor-sektor Indikator kegiatan Ekonomi
39
Pertumbuhan ekonomi wilayah dapat dipicu melalui pertumbuhan pada sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut. Adapun sektor-sektor indikator kegiatan ekonomi di Kota Tangerang terdiri dari sembilan sektor antara lain: 1) Sektor pertanian 2) Sektor Pertambangan dan Penggalian 3) Sektor industri pengolahan 4) Sektor listrik, gas dan ar bersih 5) Sektor bangunan 6) Sektor perdagangan, hotel dan restoran 7) Sektor pengangkutan dan komunikasi 8) Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 9) Sektor jasa-jasa lainnya.
40
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Penduduk Jumlah penduduk Kota Tangerang tahun 2001 tercatat 1.354.226 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 354.723 rumah tangga memiliki pertumbuhan penduduk cukup tinggi sebesar 2,14 persen selama tahun 2001. kota Tangerang dikatakan daerah cukup padat dimana tiap kilometer persegi rata-rata dihuni 8.230 jiwa. Dari 13 kecamatan, Kecamatan Larangan menduduki daerah terpadat pertama dengan penduduk 12.855 jiwa tiap km2nya. Berdasarkan kelompok umur teryata jumlah penduduk terbanyak adalah penduduk umur produktif (15-64) dengan rasio ketergantungan sebesar (39,30 persen) artinya setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung 39,30 penduduk non produktif (0-14 dan 64 ke atas).
4.2. Sosial 4.2.1. Pendidikan Pendidikan merupakan faktor kebutuhan dasar untuk setiap manusia sehingga upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan merupakan bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Jika pembangunan yang dilakukan tidak dapat mengandalkan sumber daya alam yang keberadaanya terbatas maka peningkatan sumber daya manusia yang hasilnya merupakan modal untuk penggerak pembangunan. Fasilitas pendidikan di Kota Tangerang tersedia dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Bagi anak-anak pra sekolah tersedia sekolah taman kanak-
41
kanak (TK) sebanyak 205, semuanya berstatus sekolah swasta dengan jumlah kelas 479 kelas. Bagi anak-anak usia sekolah dasar (SD) terdapat 473 SD terdiri dari 415 SD Negeri dan 58 SD Swasta, mampu menampung 121.080 siswa SD, murid SD tersebut mendapat bimbingan 2490 guru negeri dan 717 guru swasta. Selama tahun 2001 SD di Kota Tangerang mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini terlihat dengan adanya 24 SD Swasta yang tutup. Selama tahun 2001 banyak SLTP di Kota Tangerang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya terdiri dari 19 SLTP negeri dan 115 SLTP swasta. Dengan jumlah siswa 55.649 siswa dan jumlah guru yang membimbing 2.489 orang. Fasilitas pendidikan untuk tingkat SMU lebih sedikit jika dibandingkan 2 jenjang sebelumnya yaitu SD dan SLTP, terdapat 70 terdiri dari 7 SMU Negeri dan 63 SMU Swasta dan dapat menempung 28.064 murid dengan dibimbing 1232 guru. Jika dibandingkan tahun sebelumnya baik jumlah sekolah, jumlah murid dan jumlah guru mengalami kenaikan. Perkembangan Perguruan Tinggi di Kota Tangerang cukup pesat, saat ini terdapat 5 Perguruan Tinggi, kelima Perguruan Tinggi tersebut Universitad Islam Syek Yusuf, STIE Muhammadiyah, Politeknik Gajah Tunggal, STIE Buddhi dan STISIP Yuppentex, perguruan tinggi tersebut saat inimenampung 3292 mahasiswa yang mendapat bimbingan 424 dosen. Fasilitas pendidikan lainnya berupa sekolah dibawah binaan Departemen Agama antara lain Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsaniyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).
42
4.2.2. Kesehatan Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah dan merata. Dengan adanya upaya tersebut diharapkan akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang baik dimana pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Untuk melayani masyarakat Kota Tangerang tersedia fasilitas kesehatan berupa 6 Rumah Sakit, 23 Puskesmas, 11 Puskesmas pembantu dan 6 Puskesmas keliling roda empat, selain juga terdapt 856 Posyandu dengan dibantu 4622 orang kader.
4.3. Keadaan Perekonomian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2000 atas harga berlaku sebesar Rp. 16.205.997 juta atau meningkat sebesar 10,054 persen jika dibandingkan dengan PDRB tahun sebelumnya yang sebesar Rp. 14.725.844 juta. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Tangerang tahun 1998-2000 berturutturut adalah -16,76 persen ; 2,61 persen dan 3,97 persen. Tingkat pertumbuhan tertinggi di tahun 2000 terjadi pada sektor listrik, gas dan air bersih yaitu 6,82 persen diikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar 5,26 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan tingkat pertumbuhan 5,13 persen. Dilihat
dari
peranannya
terhadap
perekonomian,
sektor
industri
pengolahan memegang peranan yang tinggi yaitu sebesar 58,15 persen. Selanjutnya diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,50 persen.
43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Analisis Laju Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2005) Persentase pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Kota Tangerang pada
masa otonomi daerah (2001-2005) menunjukkan peningkatan kontribusi sebesar 28,03 persen (Tabel 5.1). Pada tahun 2001 nilai riil PDRB Kota Tangerang berdasarkan atas harga konstan 2000 adalah sebesar Rp 16,97 triliyun dan meningkat pada tahun 2005 menjadi Rp 21,72 triliyun, sehingga pada masa otonomi daerah terjadi peningkatan dengan pertumbuhan sekitar Rp 4,7 triliyun. Tabel 5.1. Perubahan Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 2001 dan 2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000 PDRB (Jutaan Rupiah) NO 1 2 3 4 5 6 7
8 9
SEKTOR USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL
PDRB (Jutaan Rupiah)
Nilai Perubahan Jutaan Persen Rupiah 4.769,95 12,86
2001 37.096,89
2005 41.866,84
9.729.862,39
11.803.914,28
2.074.051,89
21,32
445.303,43 290.034,59
551.787,35 349.313,44
106.483,92 59.278,85
23,91 20,44
4.359.210,82
5.475.230,53
1.116.019,71
25,60
1.724.934,71
2.458.273,18
733.338,47
42,51
28.052,80 350.967,22 16.965.462,85
609.842,50 430.936,43 21.721.164,55
581.789,70 79.969,21 4.755.701,70
2073,91 22,79 28,03
Sumber:BPS Kota Tangerang, 2005 (diolah).
Tabel
5.1
menunjukkan
bahwa
persentase
pertumbuhan
sektor
perekonomian tertinggi adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu sebesar 2073,91 persen. Pada tahun 2001 kontribusi yang diberikan terhadap
44
PDRB Kota Tangerang adalah sebesar Rp 28,05 milyar dan meningkat menjadi sebesar Rp 609,84 milyar pada tahun 2005, sehingga pada masa otonomi daerah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan meningkat sekitar Rp 581,79 miliyar. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di Kota Tangerang tumbuh sangat pesat seiring dengan pertumbuhan kegiatan pemukiman baru dan perindustrian. Bahkan dengan semakin maraknya sektor perdagangan, tuntutan layanan keuangan dan perbankan semakin meningkat. Penyebaran sektor ini telah merata di seluruh wilayah Kota Tangerang, yang memang telah menjadi kota dengan penduduk yang kegiatan ekonominya sangat dinamis. Sedangkan persentase pertumbuhan sektor perekonomian terendah adalah sektor pertanian yang tumbuh sebesar 12,86 persen. Pada tahun 2001 kontribusi yang diberikan terhadap PDRB Kota Tangerang adalah sebesar Rp 37,09 milyar dan meningkat pada tahun 2005 menjadi Rp 41,87 milyar. Selama kurun waktu lima tahun (2001-2005) sektor ini meningkat sebesar Rp 4,7 milyar . Pada sektor pertanian keterbatasan lahan pertanian menjadi kendala yang berarti, karena secara umum luas lahan pertanian di Kota Tangerang dalam lima tahun terakhir cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan penggunaan lahan pertanian berubah pemukiman, industri dan prasarana umum. Sehingga kontribusi yang diberikan sektor pertanian terhadap PDRB relatif rendah. Hal yang sama juga terjadi pada pertumbuhan PDRB di Propinsi Banten yang mengalami peningkatan sebesar Rp 10,61 triliyun yaitu sekitar 22,34 persen pada masa otonomi daerah (2001-2005). Pada tahun 2001 nilai riil PDRB Propinsi Banten
berdasarkan
atas
dasar
harga
konstan
2000
adalah
sebesar
45
Rp 47,47 triliyun dan meningkat pada tahun 2005 menjadi Rp 58,1 triliyun (Tabel 5.2). Tabel 5.2. Perubahan Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten Tahun 2001 dan 2005 Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan 2000 PDRB (Jutaan Rupiah) NO 1 2 3 4 5 6 7
8 9
SEKTOR USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL
PDRB (Jutaan Rupiah)
Nilai Perubahan Jutaan Persen Rupiah 444.602,95 9,63
2001 4.617.047,47
2005 5,061.650,42
50.035,11 25.029.227,13
59.286,02 28.975.547,08
9.250,91 3.946.319,95
18,49 15,77
2.018.087,88 1.182.273,78
2.567.049,93 1.580.487,08
548.962,05 398.213,30
27,20 33,68
8.244.644,55
10.699.437,65
2.454.793,10
29,77
3.623.749,55
4.910.855,75
1.287.106,20
35,52
742.488,82 1.987.829,07 47.495.383,36
1.744.477,29 2.508.156,40 58.106.947,62
1.001.988,47 520.327,33 10.611.564,26
134,95 26,18 22,34
Sumber:BPS Banten, 2005 (diolah).
Berdasarkan teori pertumbuhan W.W. Rostow yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui beberapa tingkatan yaitu masyarakat tradisional, masyarakat prasyarat untuk lepas landas, masyarakat lepas landas, masyarakat menuju kematangan dan masyarakat konsumsi yang berlabih, maka Kota Tangerang termasuk pada tingkatan ketiga yaitu masyarakat lepas landas, yang mana pada tingkatan ini menunjukkan tercapainya perkembangan pesat pada sektor-sektor tertentu yang telah menggunakan teknologi modern. Alasannya karena pada masa otonomi daerah Kota Tangerang menunjukkan terjadinya perkembangan pesat pada sektor-sektor tertentu, misalnya saja sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang pada masa otonomi daerah ini memberikan
46
kontribusi yang meningkat terhadap PDRB Kota Tangerang. Selain sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang mengalami peningkatan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor industri juga memberikan kontribusi yang meningkat terhadap PDRB Kota Tangerang.
5.2. Analisis Rasio PDRB Kota Tangerang dan PDRB Propinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005 (Nilai Ra, Ri dan ri) Pada masa otonomi daerah (2001-2005) laju pertumbuhan sektor ekonomi baik di Kota tangerang maupun Propinsi Banten rata-rata mengalami peningkatan. Jika nilai PDRB baik di Kota Tangerang maupun di propinsi Banten dibandingkan antara tahun 2001 sebagai tahun dasar analisis dengan tahun 2005 sebagai tahun akhir analisis, maka tiap-tiap sektor ekonomi tersebut akan memiliki rasio yang berbeda-beda. Rasio PDRB Kota Tangerang dan Propinsi Banten disajikan dalam bentuk nilai Ra, Ri, dan ri. Nilai Ra pertumbuhan PDRB pada masa otonomi daerah diperoleh dari selisih antara total PDRB Propinsi Banten tahun 2005 dengan total PDRB Propinsi Banten pada tahun 2001 dibagi dengan total PDRB Propinsi Banten pada tahun 2001. Dalam hal ini, selisih antara total PDRB tahun dasar analisis dengan total PDRB tahun akhir analisis terlebih dahulu dibagi dengan rentang waktu antara tahun dasar dan tahun akhir analisis. Sehingga nilai Ra untuk PDRB pada tiap sektor ekonomi yang diperoleh di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah juga memiliki besaran yang sama, yaitu sebesar 0,22 (Tabel 5.3). Nilai Ri pada masa otonomi daerah dihitung berdasarkan selisih rata-rata antara PDRB Propinsi Banten sektor i pada tahun 2005 dengan PDRB Propinsi
47
Banten sektor i pada tahun 2001 dibagi dengan PDRB Propinsi Banten sektor i pada tahun 2001. Nilai Ri untuk PDRB pada sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa-jasa lainnya masing-masing sebesar 0,10; 0,18; 0,16; 0,27; 0,34; 0,30; 0,36; 1,35 dan 0,26. Secara keseluruhan sektor yang memiliki nilai Ri terbesar pada masa otonomi daerah adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan nilai Ri sebesar 1,35 (Tabel 5.3). Hal ini dikarenakan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mengalami peningkatan pertumbuhan yang tertinggi. Pertumbuhan ini meningkat seiring dengan meningkatnya pemukiman dan perindustrian serta sektor perdagangan , sehingga menyebabkan jasa sektor keuangan dan perbankan meningkat. Berdasarkan Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa nilai Ri untuk setiap sektor di Provinsi DKI Jakarta sebelum otonomi daerah ada yang bernilai positif (Ri>0) dan ada pula yang bernilai negatif (Ri<0). Ini menunjukkan bahwa apabila sektor ekonomi memiliki nilai Ri yang positif maka sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang positif. Sebaliknya, jika sektor ekonomi memiliki nilai Ri yang negatif maka pertumbuhan pada sektor tersebut adalah negatif. Nilai ri untuk setiap sektor ekonomi di Kota Tangerang pada masa otonomi daerah dihitung berdasarkan selisih rata-rata antara PDRB Kota Tangerang sektor i pada tahun 2005 dengan PDRB Kota Tangerang sektor i tahun 2001 dibagi dengan PDRB Kota Tangerang sektor i pada tahun 2001. Secara
48
keseluruhan nilai ri terbesar berada pada sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu sebesar 20,74. Ini berarti sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan mengalami peningkatan kontribusi terhadap PDRB Kota Tangerang. Sedangkan nilai ri terendah adalah sektor pertanian yaitu sebesar 0,13. Ini berarti kontribusi yang diberikan terhadap PDRB relatif kecil meskipun sektor pertanian mengalami peningkatan kontribusi. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian di Kota Tangerang terbatas jumlahnya. Terbatasnya jumlah lahan pertanian di Kota Tangerang disebabkan terjadinya perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman baru dan perindustrian. Berdasarkan Tabel 5.3 nilai ri yang bernilai positif menunjukkan bahwa sektor tersebut mengalami peningkatan kontribusi terhadap PDRB Kota Tangerang. Sebaliknya, jika nilai ri adalah negatif berarti sektor tersebut mengalami penurunan kontribusi terhadap PDRB Kota Tangerang. Tabel 5.3. Rasio Indikator PDRB (Nilai Ra, Ri, dan ri) Pada Masa Otonomi Daerah
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SEKTOR USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL
Ra
Ri 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22 0,22
Sumber:BPS Kota Tangerang dan BPS Banten, 2001-2005 (diolah)
ri 0,10 0,18 0,16 0,27 0,34 0,30 0,36 1,35 0,26 0,22
0,13 0,21 0,24 0,20 0,26 0,43 20,74 0,23 0,28
49
5.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah di Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2005). 5.3.1. Pertumbuhan Regional (PR) Pada
masa
otonomi
daerah
(2001-2005),
semua
sektor-sektor
perekonomian di Kota Tangerang memiliki nilai pertumbuhan regional yang positif (PR>0), hal ini sejalan dengan pertumbuhan PDRB Propinsi Banten yang mengalami
pertumbuhan
sebesar
22,34
persen.
Berdasarkan
komponen
pertumbuhan regional, sektor-sektor perekonomian Kota Tangerang mengalami pertumbuhan yang positif, ini berarti menambah nilai riil yang diberikan setiap sektor ekonomi terhadap PDRB Kota Tangerang. Dilihat dari kontribusinya yang diberikan terhadap PDRB Kota Tangerang, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada masa otonomi daerah (2001-2005). Sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi menempati urutan kedua dan ketiga. Kontribusi sektor-sektor tersebut masing-masing adalah sebesar Rp 2,14 triliyun, Rp 959,02 milyar dan Rp 379,48 milyar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan, contohnya kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1999 dan kondisi perekonomian regional. Sedangkan sektor yang memberikan kontribusi terendah adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahan dengan nilai sebesar Rp 6.17 milyar (Tabel 5.4).
50
Tabel 5.4. Komponen Pertumbuhan Regional Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SEKTOR USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL
Pertumbuhan Regional (PR) Jutaan Rupiah Persen 8.288,30 2.140.569,73 97.966,75 63.807,61 959.026,38 379.485,64 6.171,62 77.212,79 3.732.528,81
22 22 22 22 22 22 22 22 22
Sumber:BPS Kota Tangerang dan BPS Banten, 2001-2005 (diolah).
5.3.2. Pertumbuhan Proporsional (PP) Dari komponen pertumbuhan proporsional ini dapat diketahui sektor perekonomian yang memiliki kontribusi positif (PP>0) atau yang memiliki kontribusi negatif (PP<0) terhadap PDRB Kota Tangerang. Jika suatu sektor perekonomian memiliki kontribusi positif, maka sektor tersebut mengalami laju pertumbuhan yang cepat. Begitupun sebaliknya, jika suatu sektor perekonomian memiliki kontribusi yang negatif, maka sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang lambat. Pada masa otonomi daerah tahun 2001-2005 pertumbuhan proporsional PDRB Kota Tangerang pada sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor-sektor jasa-jasa lainnya memiliki laju pertumbuhan yang cepat, yaitu masing-masing sebesar Rp 23,16 milyar (5,20 persen), Rp 33,88 milyar (11,68 persen), Rp 338,9 milyar
51
(7,77 persen), Rp 233,18 milyar (13,52 persen), Rp 31,68 milyar (112,95 persen) dan Rp 14,65 milyar (4,18 persen). Sedangkan sektor pertanian dan sektor industri pengolahan memiliki laju pertumbuhan yang lambat yaitu masing-masing sebesarRp -4,71 milyar (-12,76 persen) untuk sektor pertanian dan Rp -606,47 milyar (-6,23 persen) untuk sektor industri pengolahan. Sektor yang memiliki persentase laju pertumbuhan terbesar adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu sebesar 112,95 persen dan sektor yang memiliki persentase laju pertumbuhan terendah adalah sektor pertanian, yaitu sebesar -12,71 persen. Tabel 5.5. Komponen Pertumbuhan Proporsional Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SEKTOR USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL
Pertumbuhan Proporsional (PP) Jutaan Rupiah Persen -4.716,02 -12,71 -606.477,21 -6,23 23.165,08 5,20 33.881,80 11,68 338.902,30 7,77 233.187,54 13,52 31.685,63 112,95 14.655,19 4,18 64.284,32 0,38
Sumber: BPS Kota Tangerang dan BPS Banten, 2001-2005 (diolah).
5.3.3. Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Komponen pertumbuhan pangsa wilayah digunakan untuk melihat sektor perekonomian mana saja yang mampu bersaing dan yang tidak mampu bersaing di Kota Tangerang dibandingkan dengan wilayah lain di Propinsi Banten. Apabila nilai komponen pertumbuhan pangsa wilayah suatu sektor lebih dari nol maka sektor tersebut memiliki daya saing yang baik dan mampu bersaing dengan
52
wilayah lain. Sebaliknya, jika komponen pertumbuhan pangsa wilayah tersebut kurang dari nol maka sektor tersebut tidak memiliki daya saing yang baik. Tabel 5.6 menunjukkan bahwa pertumbuhan pangsa wilayah pada masa otonomi daerah (2001-2005) untuk sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki daya saing yang baik, yaitu dengan nilai PPW masingmasing sebesar Rp 1,19 milyar (3,23 persen), Rp 539,95 milyar (5,55 persen), Rp 120,66 milyar (7,00 persen) dan Rp 543,93 milyar (1938,96 persen). Sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa lainnya tidak memiliki daya saing yang baik, yaitu dengan nilai PPW masing-masing sebesar Rp -14,64 milyar (-3,29 persen), Rp -38,41 milyar (-13,24 persen), Rp -181,9 milyar (-4,49 persen) dan Rp -11,89 milyar (-3,39 persen). Secara keseluruhan sektor yang memiliki persentase daya saing yang paling baik adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yaitu sebesar 1938,96 persen, sedangkan sektor yang memiliki persentase daya saing yang buruk adalah sektor bangunan yaitu sebesar -13,24 persen. Sektor bangunan tidak memiliki daya saing yang baik disebabkan karena sebagian dari bahan baku yang digunakan oleh sektor bangunan di Kota Tangerang masih menggunakan bahn baku impor, sehingga menyebabkan sektor bangunan ini tidak mampu bersaing dengan sektor-sektor lainnya ataupun dengan wilayah lain.
53
Tabel 5.6. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SEKTOR USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL
PPW Jutaan Rupiah 1.197,67 539.959,37 -14.647,91 -38.410,56 -181.908,97 120.665,29 543.932,45 -11.898,77 958.888,57
Persen 3,23 5,55 -3,29 -13,24 -4,17 7,00 1938,96 -3,39 5,65
Sumber: BPS Kota Tangerang dan BPS Banten, 2001-2005 (diolah).
5.4. Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Pada masa otonomi daerah, sektor-sektor perekonomian di Kota Tangerang tersebar dalam tiga kuadran, yaitu kuadran I, II dan IV (Gambar 5.1). Sektor-sektor yang terdapat pada kuadran I adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor-sektor yang terdapat dalam kuadran I memiliki nilai komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) yang positif. Hal ini dapat diartikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan mempunyai daya saing wilayah yang lebih baik untuk sektor yang sama dibanding wilayah lain yang terdapat di Propinsi Banten. Dengan demikian, nilai pergeseran bersih (PB) untuk sektor yang berada di kuadran I adalah positif (PB>0), yang berarti bahwa sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor pengangkutan dan komunikasi. termasuk ke dalam kelompok sektor yang pertumbuhannya progresif (maju).
54
Profil Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah 600000
Pertanian
500000
Industri Pengolahan
400000 Listrik, Gas dan Air Bersih
300000 PP
200000
Bangunan
100000
Perdagangan, Hotel dan restoran
0 -1000000
-500000-100000 0 -200000 -300000
500000
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
PPW
Gambar 5.1. Profil Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 2001-2005 Sektor yang termasuk dalam kuadran II adalah sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasajasa lainnya. Kuadran II menggambarkan bahwa keempat sektor tersebut mempunyai pertumbuhan yang cepat (PP<0), akan tetapi masih tidak mempunyai daya saing wilayah yang lebih baik dari Propinsi Banten (PPW>0). Dengan melihat nilai pergeseran bersih yang dihasilkan, maka sektor listrik, gas dam air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa termasuk dalam kelompok sektor yang pertumbuhannya progresif (maju). Sedangkan sektor bangunan mempunyai nilai pergeseran bersih yang negative (PB<0), yang berarti sektor ini termasuk dalam kelompok sektor yang pertumbuhannya lambat (Tabel 5.7).
55
Sektor-sektor yang termasuk dalam kuadran IV adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Kuadran ini menggambarkan bahwa sektor-sektor perekonomian dalam kuadran ini mengalami pertumbuhan yang lamban (PP<0), akan tetapi sektor-sektor ini masih mempunyai daya saing wilayah yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Propinsi Banten untuk sektor yang sama (PPW>0). Dengan melihat pergeseran bersih yang dihasilkan, maka sektorsektor tersebut, termasuk dalam kelompok sektor yang mempunyai pertumbuhan lamban (PB<0) (Tabel 5.7). Tabel 5.7. Komponen Pergeseran Bersih Kota Tangerang Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2001-2005. PB NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
SEKTOR USAHA Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa TOTAL
Jutaan Rupiah -3.518,35 -66.517,84 8.517,17 -4.528,76 156.993,33 353.852,83 575.618,08 27.56,42 1.023.172,89
Persen -9,48 -0,68 1,91 -1,56 3,60 20,51 2051,91 0,79 6,03
Sumber: BPS Kota Tangerang dan BPS Banten, 2001-2005 (diolah)
Berdasarkan
hasil
analisis,
dapat
diketahui
bahwa
sektor-sektor
perekonomian Kota Tangerang secara keseluruhan mengalami pertumbuhan yang progresif (maju). Selain itu, sektor-sektor perekonomian Kota Tangerang secara umum didukung oleh daya saing wilayah (PPW>0). Dengan melihat nilai total pergeseran bersih yang positif (PB>0), ini berarti bahwa pada masa otonomi daerah, Kota Tangerang termasuk Kota yang mengalami laju pertumbuhan yang progresif (maju). Angka tersebut merupakan penjumlahan dari kedua komponen
56
pertumbuhan wilayah yaitu komponen pertumbuhan proporsional dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah.
57
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Secara sektoral, pertumbuhan sektor perekonomian tertinggi ditempati oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor perekonomian yang pertumbuhannya terendah adalah sektor pertanian. 2. Pada masa otonomi daerah (2001-2005) terdapat enam sektor yang memiliki pertumbuhan yang progresif yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa-jasa. 3. Sektor-sektor perekonomian Kota Tangerang secara umum didukung oleh daya saing wilayah yang baik yaitu sektor-sektor perekonomian tersebut mempunyai nilai komponen pertumbuhan pangsa wilayah yang positif (PPW>0). Dengan total nilai pergeseran bersih yang positif (PB>0), ini berarti bahwa pada masa otonomi daerah, Kota Tangerang termasuk Kota yang mengalami laju pertumbuhan yang progresif.
6.2. Saran 1. Pada masa otonomi daerah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang dan juga memberikan kontribusi yang meningkat terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kota Tangerang diharapkan
58
dapat memperkuat sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu dengan cara: 1. Meningkatkan pelayanan di sektor keuangan dan perbankan, karena dengan
meningkatnya
pertumbuhan
kegiatan
permukiman,
perindustrian serta semakin maraknya sektor perdagangan, tuntutan layanan sektor keuangan dan perbangkan semakin meningkat. 2. Meningkatkan
fasilitas
prasarana
umum
terutama
di
bidang
transportasi/pengangkutan. 2. Selain sektor-sektor tersebut di atas sektor industri juga mempunyai potensi untuk dikembangkan karena sektor ini mempunyai daya saing yang baik (PPW>0) meskipun pertumbuhan sektor ini lamban (PP<0). Alasannya jumlah industri di Kota Tangerang relatif banyak dan sektor ini juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PDRB Kota Tangerang. Untuk itu, Pemerintah Daerah Kota Tangerang seyogyanya dapat memperkuat sektor industri tersebut dengan meningkatkan subsektor-subsektor yang terkait dengan sektor ini yaitu dengan cara: 1. Meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat yaitu dengan meningkatkan pemberdayaan sektor dunia usaha industri kecil (home industry) karena sektor industri kecil ini dapat menjadi penopang sektor industri besar. 2. memperbaiki infrastruktur, sarana dan prasarana yang mendukung sektor industri agar dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik lagi, karena sektor tersebut dapat mendukung
59
sektor-sektor komunikasi
yang yang
lainnya menjadi
seperti
sektor
penunjang
pengangkutan
kegiatan
industri
dan dan
perdagangan sebagai motor penggerak roda perekonomian Kota Tangerang.
60
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2005. “Pengembangan Wilayah Kota Tangerang”. http://www.tangerangkota.go.id/pengembanganwilayah/index.htm [12 April 2007]. [Anonim]. 2001. ”Rencana Strategi Kota Tangerang Tahun 2001-2005”. http://www.tangerangkota.go.id/renstra.htm [18 April 2007]. Badan Pusat Statistik. 2005. Tangerang.
”Kota Tangerang Dalam Angka”. BPS.
. 2005. ”Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2005”. BPS. Tangerang. . 2005. ”Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Banten Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001-2005”. BPS. Banten. Budiharsono, S. 1996. Transformasi Struktur dan Pertumbuhan Ekonomi Antar Daerah di Indonesia 1969-1987 [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Djojohadikusumo, S. 1991. ”Perkembangan Pemikiran Ekonomi”. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Glasson, J. 1977. ”Pengantar Perencanaan Regional”. Paul Sihotang (Penerjemah). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Hadianto, A. 2002. Potensi Sektor-sektor Ekonomi untuk Menunjang Pembangunan Wilayah Kabupaten Bogor [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Haris, S. 2005. ”Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Penerbit LIPI Press, Jakarta. Irawan dan Suparmoko. 1992. ”Ekonomika Pembangunan”. Edisi Kelima. BPFE, Yogyakarta. Jhingan, M.L. 2004. ”Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
61
Kamaludin, R. 1992. “Bunga Rampai Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah”. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pasaribu, S. H., D. Hartono, dan T. Irawan. 2005. ”Pedoman Penulisan Skrips”i. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Putra, A. 2004. Analisis pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Jambi Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah. [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ramadhanny, S. 2007. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Kabupaten lahat Pada Masa Otonomi Daerah (2001-2004) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rini, S. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian 30 Propinsi di Indonesia Tahun 1998 dan 2003 [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tarigan, R. 2005. “Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi”. Edisi Revisi. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Tjiptoherijanto, P. Desember 1995. “Pengembangan Pembangunan Daerah”. Perencanaan Pembangunan: 45. Zulparia, O. 2004. Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.