IV. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG
4.1. Pertumbuhan Penduduk Kota Tangerang Dalam kurun waktu 1995 – 2002 pertumbuhan penduduk Kota Tangerang sangat pesat, yaitu sebesar 4,62 % per tahun, sehingga jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2002 sebesar 1.416.842 jiwa. Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 1995/2002 Tahun Penduduk Usia Produktif Jumlah Persen Jumlah Persen 1990
805.161
615.885
1995
1.096.916
17,00
722.966
24,00
1996
1.138.584
27,00
783.918
29,00
1997
1.180.930
38,00
847.858
33,00
1998
1.223.922
54,00
945.423
38,00
1999
1.267.547
57,00
966.201
43,00
2000
1.311.746
45,00
891.514
48,00
2001
1.354.236
54,00
948.346
53,00
2002
1.416.842
61,00
992.201
60,00
Sumber; Diolah dari BPS Kota Tangerang Tahun 1998 – 2002 Tabel tersebut menggambarkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Tangerang meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk usia produktif. Artinya pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Tangerang disebabkan adanya pertambahan jumlah penduduk angkatan kerja.
4.2. Penduduk Angkatan Kerja Aliran tenaga kerja yang terjadi erat kaitannya dengan le tak geografis Kota Tangerang yang berdekatan dengan DKI Jakarta, menjadikan Kota Tangerang berfungsi sebagai kota penyangga bagi DKI Jakarta. Migran yang tidak
mendapatkan kesempatan kerja di DKI Jakarta akan berpindah ke wilayah pinggiran Jakarta (JABOTABEK). Disamping itu, penduduk Jakarta yang mencari tempat murah dengan kondisi lingkungan yang aman, Kota Tangerang merupakan salah satu pilihan, terutama daerah-daerah yang terletak di perbatasan Barat Jakarta. Ada banyak faktor yang menjadi alasan perpindahan ke wilayah pinggiran kota Jakarta. Salah satunya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah yang tinggi, menyebabkan Kota Tangerang sebagai alternatif pilihan kota tujuan bagi migran. Sektor industri adalah basis pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang, merupakan daya tarik bagi migran untuk mendapatkan kesempatan kerja di sektor tersebut. Selain dari itu adanya kemajuan dalam transportasi di kawasan Jabotabek, memudahkan migran yang tidak mendapatkan pekerjaan di Jakarta, Bogor, dan Bekasi untuk memasuki Kota Tangerang mencari pekerjaan. Dengan melihat Tabel 2 penduduk per kecamatan Kota Tangerang, memperkuat argumen yang dikemukakan. Kecamatan Larangan yang paling dekat dengan DKI Jakarta merupakan kecamatan terpadat, dihuni oleh 13.413 jiwa tiap kilometer perseginya. Selanjutnya Kecamatan Cibodas, Karawaci, dan Periuk, merupakan lokasi padat industri (industri kimia). Menyusul Kecamatan Ciledug, Benda dan Karang Tengah, selain letaknya berbatasan dengan DKI Jakarta, juga merupakan kecamatan yang memiliki sejumlah industri kimia dan tekstil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 4.
Tabel 2. Tingkat Kepadatan Penduduk dan Jumlah Usia Produktif per Kecamatan Kota Tangerang Tahun 2002. Kecamatan Ciledug
Jumlah Penduduk 99.010
Usia Produktif Jumlah Persen 68.314 68
Kepadatan Penduduk/km2 11.291
Larangan
126.039
90.249
71
13.413
Karang Tengah
88.208
61.670
69
8.422
Cipondoh
133.921
89.011
66
7.477
Pinang
111.451
75.507
67
5.162
Tangerang
117.960
83.703
70
7.473
Karawaci
155.959
112.847
72
11.574
Cibodas
126.328
95.339
75
13.144
Jatiuwung
126.237
81.934
64
8.763
Periuk
107.818
81.911
75
11.298
Neglasari
85.775
55.021
64
5.335
Batuceper
75.308
47.404
63
6.502
Benda
62.828
49.291
78
10.615
Sumber; BPS Kota Tangerang Publikasi Tahun 1998 -2002
Keterangan : Wilayah penelitian pada wilayah nomer 1, 4, 6, 7, dan 8 Gambar 4. Peta Administrasi Kota Tangerang 2002
Berdasarkan lapangan usaha komposisi penduduk Kota Tangerang (lihat Tabel 3) didominasi oleh penduduk yang bekerja di sektor industri (188.924 orang) dan penduduk yang bekerja di sektor jasa informal (107.756 orang). Hal ini mencirikan terjadinya aliran tenaga kerja ke Kota Tangerang, karena adanya penyerapan tenaga kerja yang tinggi di sektor industri dan jasa informal. Seperti yang terungkap dalam penelitian Rustiadi dan Panuju (1999), bahwa Kota Tangerang merupakan daerah pengembangan manufacturing di Jabotabek, dengan kepadatan penduduk 10.056 per km2 (tergolong kategori paling tinggi), mengindikasikan terjadinya migrasi di kota tersebut. Tabel 3. Struktur Ketenagakerjaan Menurut Lapangan Usaha Di Kota Tangerang Tahun 2002 Kecamatan
Pertanian
Industri
Jasa Informal 11.177
Lainnya
2.065
Jasa Formal 5.497
Ciledug
490
Larangan
540
3.187
8.115
13.733
6.047
KarangTengah
1.133
1.762
5.084
8.036
5.731
Cipondoh
1.451
7.299
8.088
11.009
4.810
Pinang
1.493
5.944
6.753
8.601
5.641
Tangerang
495
8.919
7.461
8.231
5.958
Karawaci
1.736
16.161
7.322
9.905
7.568
Cibodas
412
13.975
6.294
10.942
2.930
Jatiuwung
375
33.175
3.444
5.759
2.968
Periuk
742
15.005
5.020
6.180
3.173
Neglasari
645
5.381
4.159
4.961
3.455
Batuceper
329
10.948
4.819
4.940
3.107
Benda
658
5.346
3.761
4.282
2.464
10.499
188.924
75.817
107.756
59.163
Kota Tangerang
Sumber; BPS Kota Tangerang dalam Angka 2002
5.311
Namun demikian di Kota Tangerang kepadatan penduduk justru paling tinggi pada kecamatan yang bukan merupakan basis industri, seperti Kecamatan Larangan, Ciledug dan Benda, yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, fenomena ini mengidentifikasikan bahwa pada kecamatan ini, kepadatan penduduk disebabkan oleh adanya pergeseran penduduk DKI Jakarta ke wilayah Kota Tangerang. Argumen
ini ditunjang oleh pengetahuan tentang letak wilayah
Kecamatan Larangan, Kecamatan Ciledug, dan Kecamatan Benda yang merupakan batas wilayah DKI Jakarta dengan Kota Tangerang. Gambaran pergeseran pemukiman ke belakang kota (hinterland ) yang terjadi di Kecamatan tersebut sesuai dengan teori penggunaan lahan Von Thunen (Dicken dan Lloyd, 1990). Bahwa lokasi pemukiman akan bergeser ke pinggiran kota, memasuki wilayah pertanian, dalam perkembangan suatu perkotaan. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam Gambar 5.
retailing Location rent industri residential
0
Jarak Dari Pusat
Gambar 5. Hubungan antara “Land Value” dengan Jarak Pusat Kota
Komposisi penyebaran sektor lapangan kerja di setiap kecamatan memberikan gambaran proses yang terjadi pada kecamatan tersebut. Kecamatan Larangan (berdasarkan Tabel 3), merupakan kecamatan yang tertinggi jumlah penduduknya yang bekerja pada sektor jasa formal (8.115) dan jasa informal (13.733). Sedangkan untuk sektor industri tertinggi terdapat pada Kecamatan Jatiuwung (33.175). Penduduk yang bekerja di sektor pertanian tertinggi terdapat pada Kecamatan Karawaci (1.736). Dari data ini dapat diprediksi bahwa Kecamatan Larangan yang mayoritas penduduknya bergerak dalam sektor jasa informal (13.733), adalah daerah transisi kaum pendatang untuk memasuki sektor formal maupun sektor industri. Artinya, pada kecamatan ini telah terjadi aliran tenaga kerja yang sangat tajam. Jika dibandingkan dengan luas wilayahnya (9,397 km2 ), maka pada tiap km2 nya terdapat 1.461 penduduk, yang bergerak pada sektor jasa informal ( 53,43 %). Penduduk yang bekerja pada sektor formal di Kecamatan Larangan ini jumlahnya paling tinggi di Kota Tangerang (8.115), dibandingkan dengan Kecamatan Tangerang yang merupakan pusat administrasi Kota Tangerang. Jumlah di Kecamatan Larangan masih lebih tinggi, yaitu 25,66 %, sedangkan di Kecamatan Tangerang 7.461 (24,02 %). Artinya, pada Kecamatan Larangan ini juga telah mengalami proses perpindahan penduduk Jakarta ke wilayah belakang kota (Larangan). Alasan itu dapat dijelaskan dengan mengacu pada tingkat kepuasan konsumen, semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka pemilihan barang konsumsi untuk mencapai kepuasan juga akan sema kin luas. Dalam hal ini untuk kelompok yang berpenghasilan tinggi, keputusan untuk bermukim di pinggiran
kota masih menyisakan biaya untuk aktifitas menglaju (commuting), sehingga tingkat kesejahteraan yang diperoleh akan masih lebih baik daripada kelompok pendapatan yang lebih rendah. Berkembangnya Kota Tangerang tidak terlepas dari pengaruh pengelolaan DKI Jakarta, dimana pengaruh jangkauannya sukar dibatasi, sehingga bagian wilayah Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta seakan merupakan bagian dari DKI Jakarta. Apalagi didukung oleh adanya sarana transportasi yang menghubungkan DKI Jakarta dengan Kota Tangerang sangat lancar. Menurut Muth (1977), transportasi merupakan aspek yang menjadi salah satu penentu terjadinya proses pergeseran penduduk pusat kota ke belakang kota, karena faktor jarak dan waktu dapat dieliminer. Akibatnya belakang kota (hinterland) akan berkembang menjadi daerah sub urban, dimana fenomena yang nampak adalah terjadinya perubahan daerah pertanian menjadi daerah perkotaan. Kesemuanya ini dipengaruhi oleh adanya faktor yang melingkupi aktivitas perkotaan seperti, derajat aksessibilitas, jumlah fasilitas umum, aglomerasi ekonomi, dan jarak dari pusat kota. Rustiadi dan Panuju (1999), mengemukakan bahwa pada umumnya pembangunan wilayah penyanggah DKI Jakarta (JABODETABEK), merupakan hasil dari migrasi Jakarta ke luar kota. Pada awalnya, pembangunan ini merupakan hasil dari ekspansi perumahan perkampungan di wilayah sekitar Jakarta, dan selanjutnya diikuti dengan pembangunan rumah tipe real-estate dan industri di daerah yang lebih jauh. Oleh karena terjadinya perusakan sistematik kampung di Jakarta selama beberapa saat lamanya, khususnya di bagian pusat kota, mendorong sebagian besar penduduk lama berpindah ke wilayah lain.
4.3. Struktur Perekonomian Pada dasarnya modernisasi adalah upaya yang menekankan pada pembangunan ekonomi sebagai titik awal untuk melakukan pergeseran aspekaspek kehidupan yang lain (Winoto, 1999). Oleh karena itu pembangunan ekonomi dan pembangunan aspek-aspek kehidupan lainnya harus diarahkan untuk menunjang pergeseran yang terjadi di bidang ekonomi. Artinya bidang ketenagakerjaan harus diarahkan dan dibangun sejalan dengan pergeseran atau perubahan ekonomi yang terjadi. Struktur perekonomian kota Tangerang dalam periode 1995 –2002, mencirikan suatu struktur perekonomian yang seimbang, yaitu terjadinya transformasi perekonomian yang ditandai oleh semakin meningkatnya pangsa relatif sektor industri dan jasa (formal dan informal) dan makin menurunnya pangsa relatif sektor pertanian dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Periode 1995 – 2002 Thn
Pertanian
Industri
Jasa Formal
Jasa Informal
Rp.juta
Persen
Rp.juta
Persen
Rp juta
Persen
RP Juta
Persen
1996
36.422
0,492
3.558.016
48,109
3.612.614
48,847
188.707 2,551
1997
32.422
0,364
4.474.907
50,256
4.182.546
46,973
214.159 2,405
1998
34.178
0,254
7.814.405
58,206
5.329.433
39,692
248.779 1,853
1999
36.925
0,251
8.525.515
57,895
5.883.423
39,953
279.981 1,901
2000
37.218
0,230
9.472.471
58,450
6.357.838
39,231
338.476 2,088
2001
37.906
0,216
10.712.522
58,241
7.243.372
39,380
399.565 2,172
Sumber BPS publikasi tahun1999- 2002 Tabel 4 menunjukkan pada tahun 1996 pangsa relatif pertanian terhadap PDRB adalah 0,492 persen, menurun menjadi 0,216 persen pada tahun 2001. Laju
penurunan pangsa relatif sektor pertanian adalah cukup besar, yaitu - 0,046 persen dengan pangsa absolut yang senantiasa meningkat dari waktu ke waktu. Sektor industri, di pihak lain telah meningkat pangsa relatifnya terhadap PDRB dari 48,109 persen pada tahun 1996 menjadi 58,241 persen pada tahun 2001, laju kenaikan pangsa relatif sektor sekunder dalam periode tersebut adalah sebesar 1,689 persen pe r tahun. Sedangkan, pangsa relatif sektor jasa formal PDRB juga mengalami penurunan dari 48,847 persen pada tahun 1996 menjadi 39,380 persen pada tahun 2001, suatu penurunan dengan laju sebesar –1,578 persen per tahun. Pada sektor jasa informal mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar 0,35 persen Dalam kenyataannya transformasi perekonomian wilayah Kota Tangerang di atas menunjukkan bahwa struktur perekonomian wilayah pada tahun 2001 telah relatif seimbang dalam arti bahwa sumberdaya wilayah telah di alokasikan pada sektor-sektor ekonomi yang mempunyai value added yang tinggi.
4.4. Struktur Ketenagakerjaan Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang
tersebut telah didukung oleh struktur ketenagakerjaan yang
kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesempatan kerja yang relatif merata sedemikian rupa. Gambaran mengenai transformasi struktur ketenagakerjaan disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5.
Struktur Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor Ekonomi antara Tahun 1995 – 2002 dalam Persentase
Tahun
Sektor Ekonomi (persen) Pertanian Pertambangan Industri
Jasa
Jasa
Formal
Informal
Lainnya
1995
2,295
0,36
29,435
36,088
23,548
8,308
1996
1,723
0,268
25,258
36,486
26,782
9,482
1997
3,822
-
36,708
39,103
20,111
0,256
1998
2,139
0,223
30,503
47,075
20,061
-
1999
2,046
0,208
32,505
45,629
19,609
-
2000
2,015
0,205
32,749
45,490
19,541
-
2001
2,749
-
33,964
19,762
28,099
15,427
2002
2,746
-
33,778
19,826
28,179
15,471
Sumber : Diolah dari data BPS publikasi 1998 – 2002 Data yang disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase tenaga kerja di sektor pertanian relatif sangat rendah. Sektor industri terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, persentase tenaga kerja di sektor formal mengalami peningkatan pada tahun 1995 – 2000, namun kemudian mengalami penurunan pada tahun berikutnya. Sedangkan tenaga kerja di sektor jasa informal sejak tahun 2001 kembali mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
4.5. Hubungan antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan Bila dihubungkan dengan struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang sebagaimana disajikan dalam Tabel 4, dinamika struktur ketenagakerjaan nampak tidak sejalan dengan dinamika struktur perekonomian wilayah. Artinya, struktur perekonomian wilayah tersebut tidak didukung oleh struktur ketenagakerjaan. Terdapat ketimpangan distribusi tenaga kerja antar sektor perekonomian.
Sebagai contoh, data tahun 1996 (lihat Tabel 5) menunjukkan bahwa persentase tenaga kerja yang berada di sektor pertanian, industri, jasa formal, dan jasa informal masing-masing adalah sebesar 1,7 persen, 25,5 persen, 36,5 persen, dan 26,8 persen. Sedangkan pangsa relatif sektor pertanian, indus tri, jasa formal dan jasa informal dalam PDRB masing-masing adalah sebesar 0,5 persen, 48,1 persen, 48,8 persen, dan 2,5 persen (lihat Tabel 4). Secara agregat kenyataan ini menunjukkan bahwa transformasi PDRB sektor perekonomian yang terjadi tidak diimbangi dengan transformasi tenaga kerja antar sektor. Kondisi ideal yang diharapkan adalah terjadinya keselarasan struktur perekonomian wilayah dengan struktur ketenagakerjaan antar sektor. Secara khusus kenyataan ini dapat diinpretasikan bahwa laju penurunan pangsa relatif sektor pertanian dalam PDRB tidak diimbangi dengan laju penurunan yang relatif sama dari tenaga kerja yang ada di sektor ini, dan laju peningkatan pangsa relatif sektor industri tidak diimbangi oleh peningkatan pangsa relatif tenaga kerja sektor industri. Dan untuk laju penurunan pangsa relatif sektor jasa formal tidak diimbangi oleh penurunan pangsa relatif
tenaga kerja sektor jasa formal,
demikian pula pada sektor jasa informal terjadi peningkatan pangsa relatif dalam PDRB, tetapi persenta se relatif tenaga kerja di sektor ini tidak seimbang dengan nilai relatif PDRB pada sektor ini. Untuk lebih mudahnya memahami ketimpangan struktural antar sektor perekonomian wilayah kota Tangerang dan ketenagakerjaan antar sektor, disajikan dalam Gambar 6, yang menunjukkan bagaimana model hubungan antara struktur perekonomian yang didukung oleh struktur perekonomian menciptakan keseimbangan atau keselarasan antara input dan output untuk mengukur
kemampuan kota Tangerang berada pada sektor yang mana dan kekurangannya ada dimana agar diperoleh suatu keadaan penggunaan input yang optimal.
Persen thd PDRB/TK
70 60 50 40 30 20 10 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Tahun
Gambar 6.
PRDB Pertanian
PDRB Industri
PDRB Jasa Formal
PDRB Jasa Informal
TK- Pertanian
TK-Industri
TK-Jasa Formal
TK-Jasa Informal
Hubungan antara Struktur Perekonomian dan Struktur Ketenagakerjaan antar Sektor
Produktivitas antar sektor ekonomi dapat dihitung dengan membandingkan PDRB antar sektor dengan jumlah tenaga kerja antar sektor ekonomi, yaitu; untuk tahun 2001 sektor pertanian memperlihatkan produktivitas sebesar 0,08 persen, nilai produktivitas sektor industri sebesar 1,72 persen, jasa formal sebesar 1,98 persen, dan sektor informal memiliki produktivitas yang sama dengan sektor pertanian yaitu sebesar 0,08 persen. Untuk lebih obyektif dalam mengidentifikasi pola -pola perkembangan aktifitas tersebut, maka dilakukan analisis shift share pada pe riode 1996 – 2001. Disamping itu supaya hasil yang diperoleh lebih meyakinkan maka akan dilakukan analisis berdasarkan dua sumber data, yaitu data penduduk berdasarkan
lapangan usaha, dan data PDRB berdasarkan harga berlaku antar sektor lapangan usaha. Hasil analisis shift share yang diperoleh disajikan dalam Tabel 6 yang diolah dari struktur persentase tenaga kerja dan dari struktur persentase PDRB. Tabel
6. Nilai- nilai Komponen Shift-Share Kota Tangerang Periode Tahun 1995 – 2002
Sektor
Komponen Aktifitas Penduduk
PDRB
Proportional shift 1,195
Differential shift 0,001
Proportional shift -0,184
Differential shift 0.001
Industri
13,879
0,008
19,532
29,978
Jasa Formal
-4,457
0,002
-5,487
0,001
Pertanian
Jasa 12,261 0,019 5,674 -0,014 Informal Data diolah dari aktifitas ekonomi penduduk dan PDRB tahun 1996 -2001 Secara umum struktur ketenagakerjaan tumbuh di seluruh sektor perekonomian, hal ini merupakan indikasi adanya aliran tenaga kerja yang cukup besar menuju ke Kota Tangerang, terutama pada sektor jasa informal dan industri. Memahami perkembangan aktivitas sebaiknya tidak hanya ditinjau dari satu sisi, yaitu sisi input tenaga kerja tetapi dari sisi output yang salah satunya dapat direpresentasikan oleh nilai PDRB. Berdasarkan nilai PDRB terse but dapat dilihat adanya perbedaan struktur aktivitas, dari sudut pandang yang berbeda. Data ini memperlihatkan bahwa sektor industri merupakan sektor yang paling unggul perkembangannya di Kota Tangerang. Sedangkan untuk sektor jasa formal memberikan mengalami penurunan daya saing. Bila dihubungkan antara hasil analisis berdasarkan data penduduk dengan PDRB, terlihat ketidaksinkronan atau ketimpangan antara pertumbuhan jumlah
tenaga kerja dengan PDRB. Yang paling menonjol terlihat pada sektor pertanian dan sektor jasa informal. Peningkatan atau pertambahan jumlah tenaga kerja di kedua sektor ini tidak seimbang dengan nilai PDRB yang disumbangkan oleh kedua sektor ini bagi pertumbuhan ekonomi wilayah. Artinya di kedua sektor ini, terutama pada sektor jasa informal yang paling banyak menyerap tenaga kerja, kualitas tenaga kerjanya memiliki produktivitas marginal yang rendah, suatu hal yang sangat disayangkan, karena seharusnya dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja akan memberikan nilai output yang tinggi pula bagi pertumbuhan ekonomi (economics of scale). Dari fenomena umum yang tergambar dari hasil analisis di atas, yaitu selama kurun waktu 1995 – 2002, telah terjadi aliran tenaga kerja ke Kota Tangerang, ini terbukti dari nilai Diffrential Shift yang positif dari semua sektor lapangan usaha. Tetapi memiliki produktivitas marginal yang rendah dari sektor pertanian dan sektor jasa informal, terlihat dari nilai negatif analisis berdasarkan PDRB. Laju pergeseran sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB menunjukkan bahwa struktur prekonomian yang terjadi selama kurun waktu 1995 –2002 telah sejalan dengan pola transformasi struktur perekonomin sebagaimana yang diharapkan oleh model Clark – Fisher
dalam Winoto (1999), bahwa
pembangunan ekonomi harus di arahkan untuk bisa mendistribusikan tenaga kerja kedalam sektor -sektor perekonomian sesuai dengan pangsa relatifnya terhadap perekonomian wilayah, atau sesuai dengan pangsa relatifnya terhadap PDRB, sehingga ketimpangan pendapatan antar sektor dapat dikurangi, artinya sektor
industri diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian dan sektor jasa informal yang memiliki produktivitas marginal yang rendah. Sebab melihat kenyataan yang ada bahwa sektor industri yang terus berkembang dan pangsa relatifnya terhadap PDRB yang terus meningkat ternyata masih didukung oleh tenaga kerja dengan porsi yang lebih rendah dari yang seharusnya. Sedangkan sebaliknya terjadi pada sektor jasa informal yang pangsa relatifnya terhadap PDRB yang kurang mengalami pergeseran ternyata juga didukung oleh tenaga kerja yang selalu meningkat, artinya bahwa tenaga kerja pada sektor ini memiliki produktivitas marginal yang rendah (diminished return). Rendahnya produktivitas marginal tenaga kerja di sektor jasa informal terutama
dise babkan
oleh
ciri
dan
sifat
yang
mengikat
(Embedded
Characteristics) pada sektor ini. Sifat-sifat umum dari sektor informal (Winoto 1996) ini adalah : 1. Self management 2. Tidak membutuhkan spesialisasi kerja 3. Tidak membutuhkan keahlian khusus atau keahlian tinggi 4. Barang /jasa yang diperlukan tidak membutuhkan standar khusus 5. Permintaan tenaga kerja sangat elastik oleh karena tidak adanya spesialisasi dan keahlian khusus 6. Perputaran uang sangat tinggi tetapi dengan margin keuntungan yang sangat kecil 7. Terdapat meka nisme yang menjamin adanya social insurance diantara pelaku ekonomi dalam sektor ini tetapi didalam bentuknya yang paling subsistence.
8. Dihipotesiskan sebagai mekanisme yang paling efektif untuk mendistribusikan kemiskinan. Dengan alasan tersebut, wajar bila diharapkan bahwa sektor industri dan jasa formal mampu menyerap tenaga kerja pertanian yang berlebih dan tenaga kerja sektor jasa informal yang sangat rendah produktivitas marginalnya. Secara konsepsional, ketidakseimbangan struktur perekonomian dan struktur tenaga kerja adalah; 1. Transisi proses pergeseran dari struktur tradisional ke struktur modern yang berkepanjangan yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja tidak produktif. 2. Terjadinya peningkatan pergeseran tenaga ke rja tidak produktif ke sektor jasa informal. 3. Migrasi yang terjadi tidak sejalan dengan spatial economic transformation sebagaimana terjadi di negara-negara kapitalis moderen. Ketiga hal ini dapat terjadi sebagai suatu fenomena berantai yang saling berkaitan dengan dampak negatif pada pembangunan wilayah jangka panjang. Secara umum, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pergeseran struktur perekonomian wilayah Kota Tangerang belum diiringi oleh pergeseran struktur ketenagakerjaan antar sektor lapangan usaha . Kenyataan ketimpangan struktur antara pertumbuhan sektor- sektor perekonomian dan tenaga kerja yang ada juga terjadi dalam konteks spasial. Industri pengolahan merupakan mesin pertumbuhan ekonomi wilayah di KotaTangerang, dan migrasi merupakan proses ala miah yang tidak dapat terhindarkan sebagai hasil proses industrialisasi dan modernisasi yang terjadi
dalam perekonomian wilayah. Oleh karena sektor industri mampu memberikan tingkat upah yang lebih tinggi daripada pertanian atau lapangan usaha lainnya, maka proses migrasi karena adanya harapan memperoleh penghasilan yang tinggi dapat terjadi. Tetapi yang terjadi pada wilayah Kota Tangerang, aliran tenaga kerja pada periode tahun 2001 sampai sekarang itu lebih banyak bergerak pada sektor jasa informal, meskipun persentasenya masih di bawah daripada sektor industri, tetapi memperlihatkan pergeseran yang meningkat, sebaliknya pada sektor industri justru bergerak ke bawah. Dengan melihat sumbangan sektor lapangan usaha terhadap PDRB, sektor jasa informal ini memberikan nilai yang negatif (analisis Shift Share). Artinya tenaga kerja di sektor jasa informal ini memiliki nilai produktifitas marginal yang rendah. Ketidakmampuan sektor industri menampung aliran tenaga kerja yang setiap saat meningkat tiap tahun, menyebabkan tenaga kerja yang tidak tertampung masuk ke sektor jasa informal yang hampir sama polanya dengan sektor pertanian yang lebih bersifat subsisten. Dalam hal ini peningkatan jumlah tenaga kerja tidak dapat mendorong peningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Sektor formal harus mampu menciptakan kesempatan kerja pada tingkat yang sangat tinggi. Dari data Tabel 6 sektor industri memperkerjakan sekitar 30 persen dari seluruh tenaga kerja. Untuk menyerap kenaikan angkatan kerja yang meningkat 4,5 persen per tahun (Tabel 6), maka sektor industri tersebut harus menyediakan ketersediaan lapangan kerja sebesar 16 persen ( 0,3 x 0,16 = 0,45). Hal ini berarti output harus meningkat lebih cepat lagi (di atas 16 persen) karena kesempatan kerja di sektor ini tidak meningkat secara seimbang dengan
kenaikan output. Pertumbuhan seperti yang diharapkan ini agak mustahil terjadi. Sehingga penciptaan lapangan kerja di sektor informal untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja akan terus meningkat.
4.6. Migrasi dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kota Tangerang Salah satu proses perkembangan ekonomi yang menonjol di Kota Tangerang adalah semakin menurunnya pangsa relatif sektor pertanian dan meningkatnya pangsa relatif sektor industri. Pola ini umumnya terjadi pada suatu daerah berkembang sesudah tahap awal pembangunan. Perkembangan ekonomi wilayah tidak dapat dipisahkan dari investasi Makin tinggi investasi yang ditanam di suatu daerah semakin menarik bagi investor. Lihat Tabel 7 dan Tabel 8, yang menggambarkan investasi yang di setujui di Botabek dari tahun 1996 -2000, untuk PMDN dan PMA. Dari Tabel tersebut terlihat dengan jelas untuk Botabek, Bekasi adalah daerah yang paling menarik bagi investor domestik (PMDN), disusul Tangerang kemudian Bogor.
Tabel 7. 10 Besar Investasi Disetujui (PMDN), Tahun 1995 – 2000 Sektor Tangerang (no. urut ) Bekasi (no. urut ) Bogor (no. urut ) 1
1.368,0
1
839,6
4
347,8
3
2
734,3
2
862,3
5
436,8
1
3
638,6
3
653,3
7
105,7
10
4
619,4
4
921,8
2
342,9
4
5
580,0
5
903,9
1
150,3
9
6
537,2
6
1.170,7
1
394,4
2
7
282,0
7
-
337,9
5
8
195,5
8
-
-
9
191,6
9
-
-
10
143,8
10
727,9
6
-
11
-
359,0
8
12
-
355,1
9
222,7
7
13
-
10
180,6
8
14
-
-
311,0
6
Total
5.598,0
7.763,7
226,1
Sumber : BKMD Jawa Barat, Tahun 2001 Keterangan sektor 1. industri makanan 2. industri farmasi 3. industri kayu 4. industri real estate 5. industri logam 6. industri kimia 7. industri tekstil
8. industri barang logam 9. industri pertambangan 10. industri mineral non-logam 11. industri lainnya 12. industri jasa lainnya 13. industri pertambangan 14. industri perhotelan
3.041,9
Tabel 8. 10 Besar Investasi Disetujui (PMA), Tahun 1995 – 2000 (US $) Sektor
Tangerang (no.urut ) Bekasi
(no.urut ) Bogor
(no.urut )
1
238.813
1
1.229.967
1
120.090
2
2
199.208
2
262.747
4
31.000
7
3
146.181
3
283.921
2
28.736
8
4
77.543
4
31.014
10
5
58.343
5
41.315
8
281.500
1
6
39.140
6
270.266
3
36.996
6
7
36.292
7
258.815
5
114.397
3
8
36.000
8
163.800
6
39.100
5
9
34.150
9
-
-
10
10.930
10
-
86.000
4 9
3.250
10
11
-
51.886
7
12.000
12
-
34.870
9
-
Total
912.770
2.690.493
754.538
Sumber : BKMD Jawa Barat, Tahun 2001 Keterangan Sektor 1. industri barang logam 2. industri kimia 3. industri tekstil 4. industri kayu 5. industri jasa lain 6. industri logam dasar
7. industri lainnya 8. industri real estate 9. industri perhotelan 10. industri mineral non-logam 11. industri makanan 12. industri pengangkutan
Implikasi dari perkembangan industri di Kota Tangerang, adalah mengalirnya angkatan kerja dari luar untuk memenuhi kebutuhan tenaga di sektor industri tersebut. Menurut teori pembangunan ekonomi wilayah (Tarigan, 2004), agar pertumbuhan ekonomi jangka panjang tinggi, dengan modal kecil dapat meningkatkan output yang sama besarnya, maka investasi harus tinggi. Ekspor dan capital output ratio (COR) = hubungan antara jumlah kenaikan output
(pendapatan)
Y yang disebabkan oleh kenaikan tertentu pada stok modal
K/ Y
harus kecil. Dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Si + mi – (Ómij Yj) / Yi gi =
...............................(1) (Tarigan, 2004) Vi
dimana; g = nilai pertumbuhan suatu wilayah Si = tingkat tabungan mi = impor Y = total pendapatan Vi = capital output ratio (COR) Pertumbuhan yang mantap tergantung pada arus modal dan tenaga kerja yang bersifat menyeimbangkan atau tidak. Pa da model ini arus modal dan tenaga kerja searah karena pertumbuhan membutuhkan keduanya secara seimbang. Daerah yang pertumbuhan ekonominya maju akan menarik modal tenaga kerja dari daerah lain yang pertumbuhannya rendah. Industri yang paling berkembang di Kota Tangerang adalah industri barang logam, industri kimia, dan industri tekstil. Ketiga jenis industri ini bersifat skala besar dengan tingkat akumulasi modal yang besar. Pada jenis industri skala besar pola peningkatan output dengan penggunaan teknologi yang lebih maju dengan intensif upah pekerja yang lebih tinggi. Sehingga jumlah tenaga kerja tetap dengan upah yang lebih tinggi untuk tingkat produksi yang lebih tinggi. Pola pertumbuhan sektor industri di Kota Tangerang seperti di gambarkan dalam Gambar 6, memperlihatkan peningkatan output tidak diimbangi peningkatan jumlah tenaga kerja pendukungnya. Karena pertumbuhan ekonomi wilayah Kota Tangerang termasuk tinggi, maka aliran tenaga kerja menuju ke Kota Tangerang merupakan hal yang wajar. Arus migrasi yang terjadi di Indonesia tampaknya lebih banyak disebabkan daya
dorong daripada daya tarik. Penggunaan teknologi, dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi wilayah, melahirkan tata industri yang bersifat padat modal dan bukan yang bersifat padat kar ya. Di bidang pertanian kebijaksanaan ini cenderung mendorong buruh tani ke perkotaan, dan di bidang industri, mengakibatkan terbatasnya kemampuan kota menyerap tenaga kerja. Dengan demikian, mungkin saja arus penduduk dari desa ke kota tetap berjalan terus dan semakin cepat, sementara kesempatan kerja di sektor informal tetap terbatas. Dari analisa data sekunder sebelumnya, menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah tenaga kerja sangat signifikan dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di Kota Tangerang adalah sektor industri dan sektor informal, dimana sektor informal memperlihatkan pertumbuhan yang melebihi sektor industri. Meskipun dapat dikatakan bahwa antara sektor industri dan sektor informal dalam menyerap jumlah tenaga kerja yang menuju ke Kota Tangerang sama, karena perbedaaan nya sangat kecil, yaitu 0,04 %, hal ini menunjukkkan bahwa sektor informal memperlihatkan kecenderungan yang meningkat, sedangkan sektor industri akan mengalami masa stagnan dalam menyerap tenaga kerja. Maka menarik untuk mengkaji mengapa sektor jasa informal cenderung berkembang sejalan dengan perkembangan ekonomi Kota Tangerang.
4.7. Kesempatan Kerja di sektor Informal Pertambahan jumlah tenaga kerja karena proses migrasi ke kota ataupun dari penduduk kota itu sendiri, tida k dapat sepenuhnya ditampung di sektor industri. Jika pertambahan jumlah tenaga kerja di kota tidak dapat terserap seluruhnya di sektor formal dan industri, ke sektor mana mereka tertampung?.
Tabel
5
memperlihatkan
bahwa
di
Kota
Tangerang
yang
mengalami
perkembangan jumlah tenaga kerja adalah sektor jasa informal. Berapa besar kemungkinan seorang migran memperoleh pekerjaan di sektor jasa informal sangat ditentukan oleh peluang dan waktu yang dapat di gambarkan dalam persamaan p (x) = ð (1) + Ó ð (t) Ð [ 1 – ð (s) ]…………………(2) (Todaro,1998)
Komponen Ó ð (t) Ð [ 1 – ð (s) ] menunjukkan lama waktu migran berada di kota (Y). Jika Y tinggi, maka semakin tinggi kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan (p). Hal ini memungkinkan penyesuaian dengan kenyataan bahwa semakin lama migran berada di kota biasanya akan semakin banyak hubungan, dan sistem informasi mereka lebih baik, sehingga peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan tingkat penghasilan yang di harapkan juga akan semakin besar. Persamaan di atas memberikan gambaran bahwa migran akan mendapati dirinya tidak bekerja dalam beberapa waktu. Hal itu tidak akan menjadi masalah bagi mereka yang mempersiapkan diri dalam masa menunggu. Mereka yang tidak mempersiapkan diri, akan mencari jalan mengatasi keberadaannya di kota, di dapati bahwa kapital sosial lebih berperan dalam membendung terjadinya migran pulang kampung. Jika memperhatikan struktur ketenagakerjaan, penduduk yang bekerja di sektor informal cukup besar (lihat Tabel 9), dari analisis data sekunder jumlah tenaga kerja di sektor informal hampir seimbang dengan tenaga kerja di sektor industri. Tetapi jika dihubungkan dengan struktur perekonomian, sektor informal
sangat sedikit atau kurang nyata berperan dalam peningkatan PDRB Kota Tangerang, hanya sekitar 2%.
Tabel 9. Kesempatan Kerja di Kota Tangerang Menurut Sektor 1995 dan 2002 Sektor
1995
2002
Tingkat Pertumbuhan (persen per tahun)
Primer
11
123
127,27
6.220
7667
2,91
-
66
0,08
6.218
7.514
2,61
-Listrik,gas,dan air
-
34
0,04
-Bangunan
2
53
0,07
Tersier
2.043
4.392
14,37
-Perdagangan
1.643
1.340
-2,30
-Angkutan
33
1.246
459,47
-Keuangan
223
1.725
84,19
-Jasa
144
81
-5,47
Semua sektor
8274
12.182
5,90
Sekunder - Pertambangan dan penggalian -Industri Pengolahan
Sumber Diolah dari BPS 1999- 2002 Di Wilayah Kota Tangerang, dalam kurun lima tahun terakhir jumlah pencari kerja mengalami lonjakan. Pada tahun 1998 – 1999, jumlah pencari kerja naik sekitar 37 persen. Bahkan, pada tahun 2002 berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang, jumlah pencari kerja itu melonjak sampai 58 persen.
4.8. Ekonomi Sektor Informal Dari banyak penelitian sejarah sektor informal (Chandrakirana. K, I.Sadoko, 1995), kemunculan sektor informal sejalan dengan lahirnya tenaga kerja bebas, yaitu tenaga kerja yang bekerja untuk mendapatkan upah dan memiliki mobilitas tinggi yang merupakan bagian dari perluasan sistem ekonomi kapitalisme dan bagian integral dari perkembangan sistem sosial ekonomi yang terjadi di Jawa sejak abad ke-19. Ekonomi sektor informal berkembang secara bersamaan dengan usaha -usaha skala besar yang tumbuh di bawah kepentingan dan perlindungan negara. Ada tiga fenomena yang melatarbelakangi berkembangnya ekonomi sektor informal, yaitu: 1. Surplus tenaga kerja Besarnya penawaran tenaga kerja murah, yang pada gilirannya menjamin biaya produksi atau operasional yang rendah. Selama tenaga kerja bertahan murah, ekonomi informal akan tetap ada dan berkembang. 2. Rendahnya daya beli rakyat Rendahnya daya beli ma yoritas penduduk berarti tingginya tingkat permintaan terhadap barang dan jasa murah yang diproduksi oleh kegiatan informal. 3. Faktor budaya Budaya membeli dari pedagang keliling telah ada selama ratusan tahun. Dimana barang atau jasa yang ditawarkan kadangkala jenisnya sama yang dapat ditemukan pada toko-toko formal (misalnya; pakaian), dan jasa yang disediakan
sulit digantikan oleh badan usaha formal (misalnya; pembantu rumah tangga, pemulung). Untuk dapat mengetahui faktor apakah yang dapat menjelaska n daya serap ekonomi informal sedemikian besar. Hal ini dapat dijelaskan dengan menelaah bagaimana tingkat penghasilan pelaku ekonomi informal, akses masuk, jaringan sosial dan pertumbuhan ekonomi informal. Ekonomi informal mampu menawarkan alternatif penghidupan yang cukup baik. Tingkat penghasilan yang dicapai dalam kegiatan-kegiatan ekonomi informal dapat setara dengan upah yang ditawarkan lapisan ekonomi formal. Kesempatan kerja dalam ekonomi ini mudah dijangkau oleh angkatan kerja dengan sumberdaya terbatas. Dalam ekonomi sektor informal, jaringan sosial hampir sama pentingnya dengan sumberdaya yang berbentuk dana. Jaringan sosial merupakan sumberdaya tersendiri karena berfungsi sebagai sarana rekrutmen dan dapat menjadi sumber perlindungan bagi tenaga kerja informal. Walaupun modal usaha calon pekerja informal umumnya terbatas, sumberdaya kedua ini relatif mudah diperoleh. Kesempatan kerja pada ekonomi sektor informal semakin bermakna dalam konteks dimana altenatif penghidupan yang ditawarkan oleh ekonomi formal sangat terbatas. Peluang akumulasi pada ekonomi informal dapat terjadi, karena memberikan kesempatan sangat besar untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal, dan perluasan skala usaha seperti pada sektor formal.