i
Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo
Herwin Mopangga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Herwin Mopangga NRP. H152070051
ABSTRACT HERWIN MOPANGGA. Analysis of Regional Development Disparity and Economic Growth in the Province of Gorontalo. Under direction of BAMBANG JUANDA and ERNAN RUSTIADI.
This study aims to analyze the change of economic structure; development imbalances resulting from the proportional imbalance in GDRP per capita, Human Development Index and Infrastructure Expenditure Ratio; form of relationship development and inequality of economic growth and to provide policy recommendations. The analysis is using Williamson Index, Gini Ratio, ShiftShare, Klassen Typhology and Regression of Unbalanced Panel. The results showed that although growth was lower than the non-agriculture but agriculture is still dominant in the economic structure. Potentially sector and the greatest economic growth occurs in regions of secondary and tertiary sector that have occurred indicate a shift in economic structure in the Province of Gorontalo during the period 2001-2008. Pohuwato and Boalemo Regency and Gorontalo Municipality has a competitive economic, including in Quadrant I on matrix typology Klassen (high growth and high income), while Gorontalo Regency and Bone Bolango in the Quadrant III (low growth and low income). Simultaneously and partial, the difference of all independent variable are significant as the main source of inequality.
Keyword : Regional Disparity, Economic Growth, Gorontalo
RINGKASAN HERWIN MOPANGGA. Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Dibawah bimbingan BAMBANG JUANDA dan ERNAN RUSTIADI. Pembangunan yang dilaksanakan sejauh ini cukup mampu mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam banyak kasus relatif tidak bisa mengurangi ketimpangan (disparity). Secara umum ketimpangan yang terjadi meliputi ketimpangan pendapatan yang menimbulkan jurang perbedaan (gap) antara orang kaya dan miskin, ketimpangan spasial yang menyebabkan adanya wilayah maju (developed region) dan wilayah tertinggal (underdeveloped region) serta ketimpangan sektoral yang menciptakan sektor unggulan dan non unggulan. Persoalan ketimpangan juga mewarnai proses pembangunan di Indonesia melalui perbandingan kawasan (region) barat dan timur, Jawa dan luar Jawa serta antarwilayah provinsi dan kabupaten kota sebagai daerah otonom. Ketimpangan pembangunan terutama dialami oleh daerah-daerah yang baru mengalami pemekaran. Beberapa faktor yang mempengaruhi ketimpangan terjadi di provinsi dan kabupaten kota yang baru diantaranya adalah kesenjangan struktural akibat aktivitas perekonomian yang terlalu bertumpu pada sektor-sektor tertentu (biasanya sektor primer; pertanian tradisional), keterbatasan sumber daya yang berimplikasi pada tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan yang berdampak pada indeks pembangunan manusia serta jumlah dan kualitas infrastruktur yang buruk karena tidak ditunjang oleh alokasi anggaran yang cukup untuk pembangunan dan pemeliharaan. Pembangunan secara umum dapat diupayakan melalui kenaikan laju pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain tingginya laju pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada perbaikan kesejahteraan dan perekonomian secara keseluruhan. Namun sering terjadi, tingginya laju pertumbuhan ekonomi tidak otomatis mengurangi ketimpangan yang ada. Hal ini pula yang terjadi di Gorontalo. Ketika diresmikan menjadi provinsi pada bulan Februari 2001
(dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara), persoalan ketimpangan pendapatan, spasial dan sektoral sampai saat ini masih jelas terlihat meskipun laju pertumbuhan ekonominya selama kurun waktu 2001 – 2008 sebesar dua persen diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Laju pertumbuhan ekonomi ini juga lebih tinggi dibanding beberapa daerah di kawasan timur Indonesia. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tetapi diikuti dengan kondisi ketimpangan yang ada, maka dibutuhkan suatu kajian komprehensif
dalam
bentuk
penelitian
ilmiah
untuk
mengetahui
permasalahan sesungguhnya sekaligus memberi solusi yang nantinya bisa digunakan sebagai alternatif kebijakan bagi pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan menganalisis perubahan struktur ekonomi; besarnya ketimpangan pembangunan yang bersumber dari ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur; bentuk hubungan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta memberi rekomendasi kebijakan. Menggunakan alat analisis Indeks Williamson, Indeks Gini, Shift-Share, Matriks Tipologi Klassen dan Regresi Unbalanced Panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhannya lebih rendah dibanding non-pertanian tetapi sektor pertanian masih dominan dalam struktur ekonomi. Sektor yang potensial dan pertumbuhan ekonomi terbesar antarwilayah terjadi di sektor sekunder dan tersier yang mengindikasikan telah terjadi pergeseran struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo selama kurun waktu 2001-2008. Analisis Shift-Share menunjukkan sektor yang potensial dan pertumbuhan ekonomi terbesar pada masing-masing kabupaten kota di tahun 2007 dan 2008 rata-rata terjadi di sektor non-pertanian (sektor sekunder dan tersier) dibandingkan dengan kondisi di tahun 2001. Kabupaten Pohuwato, Kota Gorontalo dan Kabupaten Boalemo dari aspek tipologi wilayah memiliki struktur ekonomi yang lebih baik, termasuk dalam Kuadran I pada Matriks Tipologi Klassen (daerah cepat maju dan cepat tumbuh) sedangkan Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango relatif terbelakang (Kuadran III).
Secara simultan dan parsial, perbedaan pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur signifikan sebagai sumber utama ketimpangan. Secara deskriptif, pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan (Indeks Gini). Artinya secara vertikal pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas bisa dicapai dengan meningkatkan PDRB perkapita diikuti oleh meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan kemudahan dalam mengakses infrastruktur.
Kata Kunci : Ketimpangan Pembangunan, Pertumbuhan Ekonomi, Gorontalo
Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo
Herwin Mopangga
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
©
Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang – undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo
Nama
:
Herwin Mopangga
NRP
:
H152070051
Program Studi
:
Ilmu-ilmu Perencanaan Perdesaan (PWD)
Pembangunan
Wilayah
dan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Prof. Dr. Khairil A.Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 18 Januari 2010
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga sebuah kristalisasi pemikiran dan perenungan intelektual penulis yang diwujudkan dalam bentuk tesis dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul : “Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan yang indah ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik selama proses studi maupun dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan dan Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah menyediakan waktu, memberi arahan dan bimbingan sejak proses penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Negeri Gorontalo dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB). Kepada Pemerintah Provinsi dan kabupaten kota di Gorontalo yang telah memberi data dan informasi terkait penelitian tesis. Kepada Dekan SPs IPB, Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS serta para dosen yang pernah mengasuh mata kuliah selama penulis menempuh studi di PWD-IPB yakni Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah, Prof. Dr. Hermanto Siregar, M. Sc, Prof. Dr. Akhmad Fauzi, M.Sc, Dr. Setia Hadi, MS, yang juga bertindak sebagai penguji luar komisi, Dr. D. S. Priyarsono, M. Sc, Dr. Yusman H. Syaukat, M. Sc, Dr. Baba Barus, M. Agr, Dr. Lala M. Kolopaking, MS, Dr. Arya Hadi Darmawan, M. Sc, Dr. Sunsun Saefulhakim, M. Agr, Dr. Deddy Budiman Hakim, M. Sc, Ir. Sahat Simanjuntak, M. Sc dan Donny
Citra Lesmana, S. Si, M. Sc, penulis berterima kasih atas bekal ilmu yang telah Anda berikan. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa dan alumni PWD atas segala bentuk solidaritas dan social capital yang telah dibangun selama ini. Kepada rekan-rekan seperjuangan di Asrama Mahasiswa Gorontalo yang telah menjadi keluarga, tempat berbagi suka dan duka selama penulis berada di Bogor. Akhirnya rasa syukur dan kebanggaan yang tidak terhingga penulis persembahkan kepada kedua orang tua, Bapak Umar Mopangga dan Ibu Fatmah Aneta atas doa, pengorbanan dan cinta kasih. Kepada ketiga kakakku (Hery, Heny dan Hendra) yang memberi dukungan moril dan materil. Dengan kerendahan hati, penulis memohon saran dan kritik dari semua pihak demi perbaikan dan kemanfaatan karya ilmiah ini.
Bogor, Januari 2010 Herwin Mopangga
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 24 Maret 1978 dari pasangan Bapak. Umar Mopangga dan Ibu Fatmah Aneta. Penulis merupakan putra bungsu dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar di Tobelo Kabupaten Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. Jenjang Sekolah Menengah (SMP dan SMU) diselesaikan di Kota Manado, Sulawesi Utara. Tahun 2002 memperoleh gelar Sarjana pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sam Ratulangi Manado. Tahun 2005 diangkat menjadi Staf Pengajar Tetap di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo yang sejak tahun 2008 menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tahun 2007 melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................
10
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................
10
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................
10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .....................................................................
11
II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
12
2.1. Struktur Perekonomian ...........................................................................
12
2.2. PDRB, PDRB per kapita dan Pertumbuhan Ekonomi ............................
15
2.3. Indikator Pembangunan .........................................................................
18
2.4. Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Wilayah ......................................
19
2.5. Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ........................
23
2.6. Penelitian Terdahulu ................................................................................ 23 III. METODE PENELITIAN .....................................................................
25
3.1. Kerangka Pemikiran ..............................................................................
25
3.2. Hipotesis ................................................................................................
28
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................
29
3.4. Desain Penelitian ...................................................................................
29
3.5. Definisi Operasional ..............................................................................
30
3.6. Sumber Data .........................................................................................
31
3.7. Metode Pengumpulan Data ...................................................................
31
3.8. Metode Analisis ....................................................................................
32
3.9. Uji Hipotesis .........................................................................................
36
IV. DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN ..............................
39
4.1. Kondisi Geografi ..................................................................................
39
4.2. Kondisi Demografi ................................................................................
40
4.3. Aspek Pemerintahan dan Penanggulangan Kemiskinan .........................
43
4.4. Sosial Kemasyarakatan di Provinsi Gorontalo .......................................
44
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .....................................
48
5.1. Struktur Perekonomian di Provinsi Gorontalo ........................................
48
5.1.1. Analisis Shift-Share ..................................................................
51
5.1.2. Tipologi Klassen .......................................................................
66
5.2. Ketimpangan Pembangunan dan Sumber Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo .............................................................................
73
5.2.1 Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo ........................
73
5.2.2 Sumber Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo ..........
78
5.2.3 Hasil Analisis Ekonometrika ........................................................
88
5.2.4 Pembahasan ..................................................................................
98
5.3. Hubungan Ketimpangan Pembangunan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo ............................................................................ 103 5.4. Rekomendasi Kebijakan ........................................................................ 104 VI. PENUTUP ............................................................................................. 107 6.1 Simpulan ................................................................................................ 107 6.2 Saran ...................................................................................................... 108 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 110 LAMPIRAN ............................................................................................... 113
DAFTAR TABEL
Halaman 1.1 Perbandingan Beberapa Indikator Ekonomi Gorontalo, Sulawesi 8 Utara dan Nasional tahun 2007 ......................................................................
8
1.2 Perbandingan Indikator Ekonomi Provinsi Gorontalo tahun 2001 9 dan 2008.........................................................................................................
9
2.1 Matriks Tipologi Klassen ............................................................................... 15
14
2.2 Indikator-Indikator Pembangunan .................................................................. 18
19
3.1 Operasionalisasi Variabel ............................................................................... 30
31
3.2 Kinerja Arah Penelitian ................................................................................. 32
32
3.3 Tipologi Daerah ............................................................................................. 34
35
4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk PerKm2 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2008 .............................................................................................................. 42
44
4.2 Jumlah dan Persentase Pengangguran di Provinsi Gorontalo .......................... 47
49
5.1 Nilai Koefisen Analisis Shift-Share di Provinsi Gorontalo ratarata tahun 2001-2008 ..................................................................................... 52
54
5.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo, 2001-2008 ..................... 66
71
5.3 PDRB Perkapita di Provinsi Gorontalo, 2001-2008 ........................................ 66
71
5.4 Matriks Tipologi Klassen Provinsi Gorontalo, 2001-2008 .............................. 67
72
5.5 PDRB perkapita dan Indeks Ketimpangan di Provinsi Gorontalo .................... 76
82
5.6 Perbandingan PDRB, IPM, Kemiskinan, DAU dan DAK Kabupaten/ Kota tahun 2007 di Provinsi Gorontalo ....................................... 77
84
5.7 Kondisi Jalan pada Kab/Kota di Provinsi Gorontalo ....................................... 84
91
5.8 Jumlah Gedung Sekolah di Provinsi Gorontalo Tahun 2007 ........................... 85
92
5.9 Kondisi Ruang Kelas di Provinsi Gorontalo Tahun 2007 ................................ 85
93
5.10 Jumlah Rumah Sakit di Provinsi Gorontalo & Provinsi SeSulawesi, Tahun 2007 .................................................................................... 86
94
5.11 Jumlah Puskemas di Provinsi Gorontalo dan Provinsi SeSulawesi, Tahun 2007 .................................................................................... 87
94
5.12 Ringkasan Hasil Penelitian dengan Indeks Williamson .................................. 89
97
5.13 Ringkasan Hasil Penelitian dengan Indeks Gini .............................................. 90
98
5.14 Ikhtisar Uji Durbin Watson ............................................................................ 92
100
5.15 Pengujian Overall ANAVA dengan Uji F-statistik ......................................... 93
101
5.16 Ringkasan Pengujian Parsial dengan Uji t-statistik.......................................... 97
104
5.17 Ringkasan Nilai Koefisien Determinasi (R2) ...................................................... 97
106
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata Per Tahun Nasional, 2 Indonesia Timur, Sulawesi dan Gorontalo Tahun 1994-2005 ............................
2
1.2 Laju Pertumbuhan PDRB Propinsi Gorontalo dan Propinsi di 3 Sulawesi .................................................................................................................
3
2.1 Kurva Hipotesis Neo-Klasik ................................................................................. 20
21
2.2 Kurva Hipotesis Kuznet ........................................................................................ 21
22
3.1 Kerangka Pikir Penelitian ...................................................................................... 27
28
3.2 Kerangka Analisis ................................................................................................. 28
29
3.3 Peta Administrasi Provinsi Gorontalo ................................................................. 29
30
4.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Provinsi Gorontalo ....................... 40
42
4.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Kab/Kota di Provinsi Gorontalo.......................... 41
43
4.3 APK dan APM Kabupaten dan Kota di Provinsi Gorontalo............................... 45
47
4.4 Persentase Pengangguran di Sulawesi dan Nasional ........................................... 46
48
4.5 Persentase Kemiskinan di Sulawesi dan Nasional .............................................. 47
49
5.1 Proporsi dan Laju Pertumbuhan PDRB Sektoral Riil Provinsi Gorontalo 2001-2008 ............................................................................................. 48
50
5.2 Nilai PDRB Riil dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Riil Kabupaten Kota di Provinsi Gorontalo tahun 2001-2008 ..................................................... 50
52
5.3 Nilai Regional Share Provinsi Gorontalo ............................................................ 53
55
5.4 Nilai Proportionality Shift Provinsi Gorontalo ................................................... 54
56
5.5 Nilai Differential Shift Kabupaten Gorontalo ..................................................... 58
60
5.6 Nilai Differential Shift Kota Gorontalo ............................................................... 60
62
5.7 Nilai Differential Shift Kabupaten Boalemo ....................................................... 61
64
5.8 Nilai Differential Shift Kabupaten Pohuwato ...................................................... 62
65
5.9 Nilai Differential Shift Kabupaten Bone Bolango .............................................. 64
67
5.10a Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Tahun 2001 ........................... 68
73
5.10b Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Tahun 2008 ............................ 68
74
5.10c Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Rata-rata Tahun 2001-2008 .............................................................................................................. 69
74
5.10d Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Rata-rata Tahun 2001-2007 .............................................................................................................. 69
75
5.10e Pergerakan Posisi Kabupaten/Kota dalam Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo dari Tahun 2001 ke Tahun 2008 ........................ 70
75
5.10f Pergerakan Posisi Kabupaten/Kota dalam Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo dari Tahun 2001 ke Tahun 2007 ........................ 71
76
5.11 Nilai Indeks Williamson Provinsi Gorontalo, 2001-2008 .................................. 74
79
5.12 Indeks Williamson, Persentase Pengangguran dan Persentase Kemiskinan Provinsi Gorontalo ........................................................................... 74
80
5.13 Nilai Indeks Gini Provinsi Gorontalo, 2001-2008 ............................................... 75
81
5.14 Indeks Gini, Persentase Pengangguran dan Persentase Kemiskinan Provinsi Gorontalo ............................................................................ 76
82
5.15 PDRB Perkapita dan Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita Riil di Gorontalo ............................................................................................................... 79
85
5.16 Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo, 20012008 ........................................................................................................................ 81
88
5.17 Nilai IPM Kecamatan di Provinsi Gorontalo Tahun 2006 .................................. 82
89
5.18 Kondisi Daerah Irigasi di Provinsi Gorontalo ...................................................... 84
92
5.19 Belanja Infrastruktur & PDRB Kab/Kota di Provinsi Gorontalo ....................... 87
95
5.20 Rasio Belanja Infrastruktur di Provinsi Gorontalo .............................................. 88
96
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
PDRB Riil Provinsi Gorontalo tahun 2001 – 2008 ........................................... 113 120
2
Hasil Analisis Shift Share Provinsi Gorontalo , 2001-2008 ............................ 115 122
3
Perbandingan Struktur Ekonomi Provinsi Gorontalo ........................................ 119 131
4
Matriks Tipologi Klassen Provinsi Gorontalo, 2001-2008 (Pohuwato dan Bone Bolango dihitung mulai tahun 2003) .............................. 121 133
5
Perbandingan PDRB, IPM, Kemiskinan, DAU & DAK Kab/Kota di Provinsi Gorontalo ...................................................................................... 122 134
6
Print Out E-VIEWS dengan Indeks Williamson .............................................. 123 135
7
Print Out E-VIEWS dengan Indeks Gini ......................................................... 124 136
8
Print Out E-VIEWS Indeks Williamson dengan Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita, RBI dan IPM .................................................. 125 137
9
Print Out E-VIEWS Indeks Gini dengan Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita, RBI dan IPM ....................................................................... 126 138
10 Print Out E-VIEWS Hubungan Ketimpangan Pembangunan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo………. ......................... 127 139
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan pembangunan itu sendiri dapat dilihat dari berbagai perspektif yang multidimensional baik pada aspek sosial budaya, hukum, keamanan maupun ekonomi yang kemudian menjadi fokus analisa dalam penelitian ini. Aspek ekonomi menjadi fokus perhatian karena selain memiliki banyak indikator penilaian, ia juga sangat rentan dan berpengaruh pada seluruh aspek pembangunan. Pertumbuhan ekonomi sampai saat ini masih menjadi indikator keberhasilan pembangunan yang umum dan familiar bagi masyarakat karena dapat dengan mudah diukur secara kuantitatif dan menstimulus aspek pembangunan lainnya. Pertumbuhan ekonomi berarti adanya kenaikan pendapatan (total maupun individu) sebagai akibat meningkatnya Produk Domestik Bruto / Produk Nasional Bruto tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Pertumbuhan harus berjalan secara berdampingan dan berencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan kerja dan pembagian hasilhasil pembangunan yang lebih merata. Jika hal ini berlangsung secara berkelanjutan, maka daerah-daerah terpacu untuk terus tumbuh dan berkembang. Daerah yang semula tidak produktif dan tertinggal akan memiliki peluang untuk maju dan memiliki produktivitas yang sama atau bahkan lebih baik dari daerah lainnya. Setelah memekarkan diri dari Sulawesi Utara, Gorontalo diresmikan menjadi provinsi baru pada 16 Februari 2001, tepat di era otonomi daerah. Provinsi Gorontalo menjadi “bayi ajaib” yang langsung mencatat prestasi pertumbuhan ekonomi tinggi yang secara relatif lebih baik dibanding regional Sulawesi, Kawasan Timur Indonesia maupun secara nasional. Kurun waktu 2001
2 hingga 2005, Gorontalo mencapai pertumbuhan rata-rata 6,69% per tahun, sekitar 2% diatas rata-rata nasional pada periode yang sama (pertumbuhan nasional ratarata 4.73%). Jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, Gorontalo termasuk dalam 3 provinsi yang mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 6% pada periode 2000- 2004. Keberhasilan Gorontalo sebagai provinsi baru dalam mencapai tingkat pertumbuhan juga dapat dilihat dalam pencapaian setiap tahunnya. Sesuai dengan publikasi Bank Dunia dalam Service Delivery and Financial Management in A New Province, Gorontalo Public Expenditure Analysis (GPEA) tahun 2008, meskipun porsinya relatif kecil dibanding dengan Sulawesi, Indonesia Timur ataupun nasional, tetapi laju pertumbuhan ekonomi Gorontalo setelah krisis berada diatas ketiganya. Demikian pula dengan data dari BPS selama 2003-2005 menunjukan prestasi pertumbuhan Provinsi Gorontalo dibandingkan dengan provinsi lain di Sulawesi, khususnya dengan daerah induknya Sulawesi Utara yang menempati posisi paling akhir di antara 6 provinsi di Sulawesi.
Sumber : Bank Dunia, 2008
Gambar 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata per Tahun, Nasional, Indonesia Timur, Sulawesi dan Gorontalo Tahun 1994-2005
3
Sumber : BPS, 2006
Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Gorontalo dan Provinsi di Sulawesi Provinsi Gorontalo memiliki lima (5) kabupaten dan satu (1) kota dimana setiap kabupaten dan kota memiliki besaran pertumbuhan ekonomi yang berbedabeda. Meskipun perekonomian nasional dan daerah sempat dilanda krisis dan mengingat Gorontalo merupakan provinsi baru yang dimekarkan dari Sulawesi Utara, tetapi pertumbuhan ekonomi provinsi, kabupaten dan kota didalamnya menunjukkan trend positif dan meningkat. Dari sisi produksi atau supply side, kontribusi pembentuk pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo porsi terbesar disumbangkan oleh sektor pertanian dengan kontribusi rata-rata per tahun selama 2001-2005 sebesar 31.24%. Meskipun memiliki porsi terbesar, Sektor Pertanian rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6.15%, lebih rendah dibandingkan laju Sektor Pertambangan dan Penggalian dengan porsi hanya 0.91% serta laju Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih dengan kontribusi 0.61% dan laju pertumbuhan 8.28%. Sektor yang memiliki laju pertumbuhan terbesar adalah Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan sebesar 16.82% dengan porsi terhadap total PDRB sebesar 8.35% per tahun.
4 Dari sisi pengeluaran atau demand side, selama 2001-2005 kontribusi Sektor Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga rata-rata 74.70% per tahun, terbesar dari semua sektor, dengan rata-rata laju pertumbuhan 3.14% per tahun. Sektor Pengeluaran Pemerintah meskipun menduduki urutan kedua sebesar 32.22%, tetapi memiliki laju pertumbuhan yang tertinggi, yaitu 62.05% per tahun. Pada kenyataannya pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi dan terus meningkat tidak otomatis menghilangkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity). Ketimpangan pembangunan yang paling jelas terlihat adalah pada aspek pendapatan yang menimbulkan golongan kaya dan miskin, aspek spasial yang mengakibatkan adanya wilayah maju dan tertinggal serta aspek sektoral yang menyebabkan adanya sektor unggulan dan non unggulan. Ketimpangan pembangunan terjadi dalam skala lokal dan nasional. Bahkan dalam lingkup internasional, fenomena ketimpangan pembangunan ekonomi antarwilayah terlihat nyata. Ketimpangan pembangunan seringkali menjadi permasalahan serius dan apabila tidak mampu dieliminir secara hati-hati dapat menimbulkan krisis yang lebih kompleks seperti masalah kependudukan, ekonomi, sosial, politik dan lingkungan serta dalam konteks makro sangat merugikan proses dan hasil pembangunan yang ingin dicapai suatu wilayah. Pembangunan wilayah, secara spasial tidak selalu merata. Ketimpangan pembangunan antarwilayah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mengalami pertumbuhan cepat, sementara daerah lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan karena kurangnya sumberdaya yang dimiliki, adanya kecenderungan penanam modal (investor) memilih daerah yang telah memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, telekomunikasi, perbankan, asuransi dan tenaga kerja terampil. Selain itu adanya ketimpangan redistribusi pendapatan dari pemerintah pusat ke daerah. Di sisi lain pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini juga menimbulkan makin melebarnya ketimpangan sosial-ekonomi antarwilayah. Ketimpangan ini pada akhirnya menimbulkan masalah dalam konteks makro. Potensi konflik antardaerah / wilayah menjadi besar, wilayah-wilayah yang dulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
5 hubungan
antarwilayah
telah
membentuk
suatu
interaksi
yang
saling
memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland menjadi lemah karena eksploitasi sumberdaya yang berlebihan. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antarwilayah. Buku-buku
referensi
utama
dan
hasil-hasil
penelitian
empiris
mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan meliputi faktor biofisik/karakteristik wilayah (sumberdaya alam), sumberdaya buatan (ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi), sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, karakteristik struktur ekonomi wilayah dan kebijakan pemerintah daerah (Anwar 2005; Sjafrizal 2008; Rustiadi et al. 2009), aspek kelembagaan menyangkut aturan dan organisasi yang ada di masyarakat, dinamika sosial dan politik yakni dengan adanya pemekaran wilayah dan pembentukan daerah otonomi baru, serta persoalan aliran masuk dan keluar modal (investasi pemerintah maupun swasta) yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kondisi pembangunan. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab ketimpangan tersebut diharapkan dapat dikembangkan kebijakan dan strategi dalam mengurangi tingkat ketimpangan yang terjadi. Ketimpangan pada dasarnya disebabkan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada masingmasing wilayah. Akibat dari perbedaan ini kemampuan pada suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada suatu daerah biasanya terdapat wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region). Ketimpangan pembangunan juga dapat dilihat secara vertikal yakni perbedaan pada distribusi pendapatan serta secara horizontal yakni perbedaan antara daerah maju dan terbelakang (Sjafrizal, 2008). Relevan dengan teori dan penelitian diatas, di Provinsi Gorontalo dapat dilihat adanya perbedaan pembangunan (disparity) pada setiap kabupaten dan kota. Kota Gorontalo selaku ibukota provinsi dan satu-satunya menyandang status administrasi pemerintahan “Kota” menjadi jantung kegiatan perekonomian. Dinamika perekonomiannya sangat terasa di bidang jasa, perdagangan dan pendidikan. Tidak mengherankan jika masyarakatnya menikmati pendapatan
6 perkapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan dan penggangguran yang lebih rendah, kualitas SDM yang baik menyebabkan indeks pembangunan manusia yang lebih tinggi serta akses terhadap infrastruktur yang lebih mudah dijangkau. Ini berbeda dengan yang dialami oleh wilayah-wilayah kabupaten. Kabupaten Gorontalo misalnya, sebagai kabupaten tertua memiliki kekayaan SDA yang berlimpah dalam menggenjot pembangunannya. Namun perkembangan yang terjadi dengan adanya pemekaran wilayah menjadikan wilayah Kabupaten Gorontalo mendapat saingan dari daerah mekarannya. Dengan fisik wilayah yang lebih luas, penduduk dan ketersediaan infrastruktur lebih menyebar dan tidak merata. Saat ini Kabupaten Pohuwato sebagai kabupaten termuda memiliki potensi SDA yang sangat
berlimpah. Sebagian besar para perencana
pembangunan di daerah dan nasional memprediksi wilayah baru ini akan berkembang melebihi Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo sebagai daerah induknya. Hal ini terutama lebih besar akan digenjot oleh potensi SDA yang ada. Ketimpangan pada jumlah penduduk, besarnya PDRB dan PDRB perkapita juga menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Kabupaten Gorontalo misalnya, selama tahun 2003 – 2007, memiliki PDRB perkapita rata-rata 1,76 juta rupiah dengan share 37% terhadap total PDRB provinsi. Bandingkan dengan Kabupaten Pohuwato dengan PDRB perkapita 3,44 juta rupiah namun dengan share hanya 18,6% dari total PDRB provinsi. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi penduduk di Provinsi Gorontalo berada di Kabupaten Gorontalo yang sebagian besar adalah masyarakat miskin. Selain itu, kemiskinan, pengangguran dan pendidikan juga kontras dengan pertumbuhan yang diraih. Ditengah pertumbuhan ekonomi tinggi, Gorontalo memiliki jumlah penduduk miskin yang besar. Sekitar 28,87 % pada tahun 2004 penduduk Gorontalo hidup dalam keadaan miskin dan menempati urutan termiskin ke-3 di Indonesia (setelah Papua dan Maluku). Selang tahun 2003 – 2006, Kota Gorontalo mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi yakni 6,50%. Pada kurun waktu yang sama Kabupaten Gorontalo mencatat kontribusi terbesar pada Dana Alokasi Umum terhadap Total Penerimaan (79,50%), Dana Alokasi Umum terhadap Dana Perimbangan
7 (85,44%) dan Dana Perimbangan terhadap Total Penerimaan (93,12%). Kota Gorontalo tertinggi pada kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan (8,87%). Proporsi penduduk yang terbesar ada di Kabupaten Gorontalo sebesar 39,09%. Dana Alokasi Umum (DAU) memberi kontribusi cukup besar yakni diatas 70% bagi pendanaan pembangunan di Kabupaten/Kota maupun Provinsi Gorontalo. DAU juga berkontribusi rata-rata diatas 80% terhadap Dana Perimbangan. Sedangkan Dana Perimbangan berkontribusi rata-rata 90% terhadap total penerimaan daerah. Ini berarti bahwa proses pembangunan di Gorontalo memiliki ketergantungan yang tinggi pada kucuran dana dari pemerintah pusat. Jika ini dikaitkan dengan pembentukan PDRB, seharusnya peningkatan DAU akan menstimulus pembentukan PDRB jika DAU atau Dana Perimbangan secara umum ditingkatkan. Tetapi di Gorontalo yang terjadi justru sebaliknya. Fakta menunjukkan bahwa tingginya DAU, DAK dan Dana Perimbangan tidak seketika menaikkan PDRB dan pertumbuhan ekonomi. Dari sisi perkembangan besaran absolut DAU, DAK dan Dana Perimbangan menunjukkan bagi daerah yang memiliki PDRB kecil tidak ada perlakuan khusus yakni dengan pemberian DAU dan DAK yang lebih besar. Daerah dengan PDRB terendah (Kab. Bone Bolango) menerima DAU dan DAK yang paling kecil dibanding daerah lain. Penurunan DAU dan DAK disebabkan oleh adanya pemekaran wilayah bukan karena pencapaian PDRB yang tinggi. Dari sisi pertumbuhan, umumnya peningkatan DAU dibarengi dengan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kota Gorontalo yang DAU-nya meningkat tapi pertumbuhan ekonominya menurun. Diantara daerah-daerah di Gorontalo, kantong kemiskinan terbesar berada di Kabupaten Gorontalo. Pengangguran juga cukup tinggi, data Sakernas tahun 2004 mencatat pengangguran di Gorontalo sebanyak 45.360 jiwa sementara Susenas mencatat ada 57.412 jiwa. Dari aspek pendidikan nampak bahwa output pendidikan yang dicerminkan oleh Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk semua tingkatan sekolah pada tahun 2002 dan
8 2005 umumnya berada di bawah nasional dan dibawah dua provinsi terdekatnya, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah (World Bank, 2008). Tabel 1.1 Perbandingan Beberapa Indikator Ekonomi Gorontalo, Sulawesi Utara dan Nasional tahun 2007 Wilayah
Gorontalo
PDRB Perkapita Berlaku (Rp. Ribu)
Purchasing Angka Angka Rata-rata IPM & Power Harapan Melek Lama Kemiskinan Peringkat Parity Hidup Huruf Sekolah (persen) Nasional (Rp. Ribu) (tahun) (persen) (tahun)
4.957,33
615,94
65,90
95,75
6,91
27,35
Sulut
11.100,20
619,39
72,00
99,30
8,80
11,42
Nasional
17.581,38
624,37
68,70
91,87
7,47
16,58
68,83 (24) 74,68 (2) 70,59
Sumber : BPS 2008
Dari berbagai indikator ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, nampak jelas bahwa Gorontalo mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan daerah tetangga sekaligus bekas daerah induknya Sulawesi Utara serta dibandingkan dengan nasional. Pendapatan perkapita dan daya beli masyarakat Gorontalo lebih rendah, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah juga lebih rendah. Dengan angka kemiskinan yang lebih tinggi dibanding Sulawesi Utara dan Nasional menyebabkan IPM Gorontalo lebih kecil dan berada di peringkat bawah (24) secara nasional.
9 Tabel 1.2 Perbandingan Indikator Ekonomi Provinsi Gorontalo tahun 2001 dan 2008 Uraian Pertumbuhan Ekonomi (%) Penduduk (jiwa) Pengangguran (%) Kemiskinan (%) Inflasi (% pertahun) PDRB Riil (juta rupiah) PDRB perkapita Riil (juta rupiah) Pengeluaran perkapita Riil yang disesuaikan* (rupiah) Nilai Ekspor (US$) Rasio Belanja Infrastruktur Angka Harapan Hidup (tahun) Angka Melek Huruf (persen) Rata-rata Lama Sekolah (tahun) IPM* & ranking nasional
Kondisi Awal Provinsi (2001) 6,16 850.798 3,70 32,12 12 1.556.068 1,83
Kondisi Terakhir (2008) 7,29 972.208 5,65 24,88 7 2.368.538 2,44
573.000
615.940
3.226.221 0,04 64,2 95,2 6,5
24.253.005 0,09 65,9 95,75 6,9
64,1 (24)
68,83 (24)
Sumber: Paper Refleksi Sewindu Pembangunan Gorontalo, Wakil Gubernur Gorontalo, 2008. Ket: *Rincian untuk elemen IPM tersedia hanya sampai 2007
Secara umum indikator ekonomi Gorontalo kurun waktu tahun 2001 hingga 2008 positif dan terus bertumbuh. Laju pertumbuhan ekonomi tinggi, 2% diatas rata-rata nasional. Angka pengangguran sedikit meningkat tetapi kemiskinan menurun. Pendapatan masyarakat secara total maupun perkapita juga meningkat. Ditunjang dengan laju inflasi yang menurun menyebabkan daya beli masyarakat juga ikut meningkat. Nilai ekspor meningkat seiring bertambahnya rasio belanja pada infrastruktur. Komponen pembentuk Indeks Pembangunan Manusia juga meningkat walaupun IPM Gorontalo secara nasional tetap berada di peringkat 24. Hal ini menjadi sebuah catatan yang baik bagi daerah yang baru mengalami pemekaran menjadi sebuah provinsi. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan ini maka penulis menilai perlunya penelitian yang bertema “Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo”.
10 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang hendak diteliti dan dikaji sebagai berikut : 1) Bagaimana perubahan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo? 2) Berapa
besar
ketimpangan
pembangunan
yang
bersumber
dari
ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Rasio Belanja Infrastruktur? 3) Bagaimana hubungan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo? 4) Kebijakan apa yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah berkaitan dengan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo? 1.3. Tujuan Penelitian 1) Mendeskripsikan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo 2) Menganalisis ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur sebagai sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. 3) Menganalisis hubungan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo. 4) Memberi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah berkaitan dengan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1) Menjadi masukan dan bahan perbandingan bagi Pemerintah Provinsi Gorontalo
dan
masing-masing
Kabupaten/Kota
dalam
penentuan
kebijakan perbaikan struktur ekonomi, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan pembangunan.
11 2) Memberi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah kabupaten/kota dan Provinsi Gorontalo untuk mencapai petumbuhan ekonomi tinggi disertai pengurangan ketimpangan pembangunan. 3) Menjadi informasi bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan struktur dan pertumbuhan ekonomi serta ketimpangan pembangunan baik dalam skala nasional maupun lokal. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian 1) Penelitian dilakukan terhadap empat kabupaten yakni Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan Bone Bolango serta satu kota yaitu Kota Gorontalo yang menjadi unit analisis sedangkan Provinsi Gorontalo menjadi wilayah referensi. 2) Ruang lingkup penelitian difokuskan pada analisis data Produk Domestik Regional
Bruto
(PDRB), Tingkat
Pertumbuhan
Ekonomi,
dan
Ketimpangan Pembangunan yang disebabkan perbedaan pada PDRB Perkapita,
Indeks
Infrastruktur.
Pembangunan
Manusia
dan
Rasio
Belanja
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Struktur Perekonomian Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi umum disebut
transformasi struktural dan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Todaro, 2000). Sedangkan menurut Djodjohadikusumo (1994) pembangunan ekonomi merupakan suatu proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai oleh perubahan struktur perekonomian, yaitu perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian antara perubahan struktur dan pertumbuhan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Menurut Tarigan (2007) untuk melihat struktur ekonomi secara lebih tajam digunakan analisis Shift-share. Analisis ini menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan struktur industri suatu daerah dalam pertumbuhannya dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Hal ini meliputi penguraian faktor penyebab pertumbuhan berbagai sektor di suatu daerah dalam kaitannya dengan ekonomi nasional. Formulasi Shift Share Analysis seperti yang dikemukakan Blair (1991) sebagai berikut: X..(t1) X i(t1) X..(t1) X X X ij(t0) ij(t1) - i(t1) X i X ij(t0) - 1 X ij(t0) X.. X X (t0) i(t0) X..(t0) ij(t0) X i(t0)
a
+
b
+
c
(2.1)
13 Dimana : a : komponen Regional Share b : komponen proportionality shift c : komponen differential shift ΔXi : perubahan nilai aktifititas sektor tertentu X.. : Nilai total aktivitas dalam total wilayah Xi : Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah. Xij : nilai aktivitas sektor tertentu dalam sub wilayah tertentu. t1 : titik tahun akhir t0 : titik tahun awal Dari persamaan di atas menunjukan bahwa peningkatan nilai tambah suatu sektor di tingkat daerah dapat diuraikan (decompose) atas 3 bagian, yaitu: X..(t1) - 1 merupakan komponen pertumbuhan 1. Regional Share : X ij(t0) X.. (t0)
ekonomi daerah yang disebabkan oleh faktor luar, yaitu peningkatan kegiatan ekonomi daerah akibat kebijaksanaan nasional yang berlaku pada seluruh daerah. 2. Proportionality
Shift
(Mixed
Shift)
:
X i(t1) X..(t1) adalah X ij(t0) X X.. (t0) i(t0)
komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh struktur ekonomi daerah yang baik, yaitu berspesialisasi pada sektor yang pertumbuhannya cepat seperti sektor industri. 3. Differential Shift (Competitive Shift) :
X ij(t1) X i(t1) adalah X ij(t0) X X ij(t0) i(t0)
komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena kondisi spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Unsur pertumbuhan inilah yang merupakan keuntungan kompetitif daerah yang dapat mendorong pertumbuhan ekspor daerah. Nilai masing-masing komponen dapat saja negatif atau positif, tetapi jumlah keseluruhan akan selalu positif bila pertumbuhan ekonomi juga positif. Demikian pula sebaliknya bila ekonomi daerah tumbuh negatif seperti halnya yang terjadi pada tahun 1998. Selanjutnya untuk memudahkan menarik kesimpulan, nilai masing-masing komponen dapat dijadikan dalam bentuk persentase.
14 Menurut Sjafrizal (2008) dengan menggunakan analisis Shift-Share maka akan dapat diketahui komponen atau unsur pertumbuhan mana yang telah mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan menggunakan data tahun 2000-2005, Sjafrizal melakukan analisis terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Sumatera Barat. Salah satu yang jadi bagian bahasannya adalah perekonomian nasional, struktur dan kekhususan ekonomi daerah. Untuk melihat ketiga variabel ini, Sjafrizal menggunakan analisis Shift-Share. Hasilnya, kontribusi regional share terhadap perekonomian daerah Sumatera Barat sebesar 10,8%. Fakta ini cukup menarik karena dugaan banyak kalangan adalah bahwa kontribusi perekonomian nasional tersebut akan jauh lebih besar dari itu. Alasannya adalah karena sumber daya yang terdapat pada daerah Sumatera Barat sebenarnya tidaklah terlalu banyak bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Struktur ekonomi suatu wilayah juga dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis tipologi daerah. Menurut Hill dalam Mudrajad Kuncoro (2004), analisis tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi daerah pada dasarnya membagi daerah menjadi 2 indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita (PDRB per kapita). Dengan menentukan ratarata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan perkapita (PDRB per kapita) sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu: 1) High growth and high income (daerah cepat maju dan cepat tumbuh) 2) High growth but low income (daerah berkembang cepat) 3) Low growth and low income (daerah relatif tertinggal) 4) High income but low growth (daerah maju tapi tertekan) Klasifikasi ini disederhanakan dalam matriks berikut:
15 Tabel 2.1 Matriks Tipologi Klassen PDRB per Kapita (y) Laju Pertum.(r) (ri > r) (ri < r) Keterangan : r y ri yi
(yi < y) Pendapatan rendah pertumbuhan tinggi Pendapatan rendah pertumbuhan rendah
(yi > y) dan Pendapatan tinggi pertumbuhan tinggi dan Pendapatan tinggi pertumbuhan rendah
: Rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi. : Rata-rata PDRB per kapita provinsi. : Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati. : PDRB per kapita kabupaten/kota yang diamati
Penggunaan Tipologi Klassen ini seperti yang dilakukan oleh Hairul Aswandi dan Mudrajad Kuncoro (2002). Mereka memfokuskan pada penetapan kawasan andalan dengan studi empiris di Kalimantan Selatan tahun 1993-1999. Hasil analisis pengklasifikasian daerah menunjukkan bahwa pengklasifikasian daerah di Provinsi Kalimantan Selatan lebih baik dengan menggunakan empat klasifikasi menurut Tipologi Klassen daripada hanya berdasarkan klasifikasi kawasan andalan dan kawasan bukan andalan. Empat klasifikasi daerah tersebut yaitu daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh, daerah maju tapi tertekan, daerah berkembang cepat dan daerah relatif tertinggal. 2.2
PDRB, PDRB per kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Produk domestik regional bruto (PDRB) adalah total nilai tambah bruto
yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomi suatu wilayah dalam periode tertentu (biasanya satu tahun) tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksi (BPS, 2000). Nilai tambah bruto adalah selisih dari nilai output dan biaya antara dalam proses produksi. Output adalah nilai dari seluruh produk yang dihasilkan oleh sektor-sektor produksi dengan memanfaatkan faktor produksi yang tersedia di suatu wilayah. PDRB yang meningkat akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan secara makro. Meskipun belum tentu menjamin pemerataan pendapatan antargolongan penduduk, namun sejauh ini data PDRB masih cukup mampu untuk menggambarkan kinerja perekonomian suatu daerah. PDRB per kapita diperoleh dari total PDRB dibagi dengan jumlah penduduk
dan dan
16 pertengahan tahun. PDRB per kapita dapat dipakai sebagai indikator produktivitas rata-rata penduduk suatu daerah. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. Besarnya PDRB atas dasar harga konstan tahun ini (t) dikurangi tahun sebelumnya (t-1) dikalikan seratus persen menunjukkan persentase pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun ini (t). Untuk memudahkan teori-teori pertumbuhan dan ketimpangan pembangunan maka uraian ini dikaitkan dengan teori-teori akumulasi modal, kondisi mapan (steady state) dan konvergensi. Teori pertumbuhan Solow merupakan representasi dari teori pertumbuhan Neo-Klasik. Dengan kata lain, proses pertumbuhan maupun determinan pertumbuhan yang dikemukakan Solow berikut ini juga merepresentasikan konsep dari aliran Noe-Klasik. Determinan pertumbuhan menurut Solow: 1) Akumulasi Modal Menurut Solow dalam Mankiw (2007) modal adalah determinan output perekonomian yang penting karena persediaan modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan itu bisa mengarah ke pertumbuhan ekonomi. Biasanya terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal, yaitu investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi (depreciation) mengacu pada penggunaan modal, dan hal itu menyebabkan persediaan modal berkurang. 2) Tabungan Model Solow dalam Mankiw (2007) menunjukan bahwa tingkat tabungan adalah determinan penting dari persediaan modal pada kondisi mapan. Jika tingkat tabungan tinggi, perekonomian akan mempunyai persediaan modal yang besar dan tingkat output yang tinggi. Jika tingkat tabungan rendah, perekonomian akan memiliki persediaan modal yang kecil dan tingkat output yang rendah. Jadi tabungan berpengaruh terhadap pertumbuhan melalui akumulasi modal/persediaan
17 modal yang dibentuk oleh tabungan. Meski menurut Solow tabungan yang lebih tinggi mengarah ke pertumbuhan yang lebih cepat, tetapi itu hanya bersifat sementara. Kenaikan tingkat tabungan hanya akan meningkatkan pertumbuhan sampai perekonomian mencapai kondisi mapan yang baru. Jika perekonomian mempertahankan
tingkat
tabungan
yang
tinggi,
maka
hal
itu
akan
mempertahankan persediaan modal yang besar dan tingkat output yang tinggi tetapi tidak mempertahankan tingkat pertumbuhan yang tinggi selamanya. 3) Pertumbuhan Populasi Menurut Mankiw (2007), pertumbuhan populasi membedakan model Solow dalam tiga cara. Pertama, pertumbuhan populasi kian mempermudah kita dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam kondisi mapan dengan pertumbuhan populasi, modal per pekerja dan output per pekerja adalah konstan. Namun demikian, karena jumlah pekerja bertambah pada tingkat n, modal total dan output total juga harus bertambah pada tingkat n. Dengan demikian, meskipun tidak dapat menjelaskan pertumbuhan berkelanjutan dalam standar kehidupan (karena output per pekerja adalah konstan dalam kondisi mapan), pertumbuhan populasi akan membantu menjelaskan pertumbuhan output total yang berkelanjutan. Kedua, pertumbuhan populasi memberi kita penjelasan lain mengapa sebagian negara adalah kaya dan sebagian lain miskin. Jadi, model Solow memprediksi bahwa negara-negara dengan pertumbuhan populasi yang lebih tinggi akan memiliki tingkat GDP per orang yang lebih rendah. Akhirnya, pertumbuhan populasi mempengaruhi kriteria untuk menentukan tingkat modal Kaidah Emas (memaksimalkan konsumsi). Meskipun dalam hal tertentu model Solow menggambarkan perekonomian negara
maju
secara
lebih
baik
daripada
kemampuannya
menjelaskan
perekonomian negara berkembang, model ini tetap menjadi acuan dasar dalam kepustakaan mengenai pertumbuhan dan pembangunan. Model ini menyatakan bahwa secara kondisional, perekonomian berbagai negara akan bertemu (converge) pada tingkat pendapatan yang sama, dengan syarat bahwa negaranegara tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan produktivitas yang sama (Todaro, 2006).
18 2.3
Indikator Pembangunan Menurut Rustiadi (2009), persoalan pembangunan di negara sedang
berkembang tidak hanya menyangkut perlunya investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan. Dengan demikian hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proporsional. Para pakar pembangunan di tahun 1970-an mulai mengkaji ulang indikator tingkat pencapaian pembangunan dari tujuan yang telah ditetapkan dari suatu wilayah sebagaimana disajikan pada tabel berikut: Tabel 2.2 Indikator-Indikator Pembangunan Basis/pendekatan
Kelompok Pertumbuhan, Produktivitas & Efisiensi (Growth)
Pemerataan, Keberimbangan & Keadilan (Equity) Tujuan Pembangunan
Keberlanjutan (Sustainability) Sumber daya
1. Sumberdaya Manusia
2. Sumberdaya Alam 3. Sumberdaya buatan/sarana & pra-sarana 4. Sumberdaya Sosial Proses Pembangunan
Input, Implementasi, Output, Outcome, Benefit, Impact
Indikator-indikator a. Pendapatan wilayah; PDRB, PDRB per kapita, Pertumbuhan PDRB b. Kelayakan finansial & ekonomi; NPV, BC Ratio, IRR, BEP c. Spesialisasi, Keunggulan komparatif & kompetitif; LQ & Shift-Share a. Produksi-produksi utama; migas a. Distribusi pendapatan; Gini ratio b. Ketenagakerjaan; pengangguran terbuka, terselubung, setengah pengangguran c. Kemiskinan; good service ratio, %konsumsi makanan, garis kemiskinan (pendapatan setara beras, dll) d. Regional balance; spatial balance, sentral balance, capital balance, sectoral balance Dimensi lingkungan, dimensi ekonomi dan dimensi sosial Pengetahuan, skill, etos kerja, kompetensi, pendapatan, kesehatan & IPM Degradasi Skalogram, aksesibilitas terhadap fasilitas Organisasi sosial, aturan adat/budaya Input dasar (SDM, SDA, Infrastruktur, SDS), input antara
Sumber : Rustiadi (2009) Pilihan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan menurut Kuznet (1966) dalam Rustiadi (2009) dinyatakan bahwa bagi negara yang pendapatannya
19 rendah, bertumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan (terjadi trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan). Hal inilah yang memberi legitimasi pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumber daya pada sektor atau wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi. Kasus di Indonesia strategi ini telah membuat ketimpangan pembangunan wilayah yang lebih besar dan tidak adanya keterpaduan pembangunan wilayah (Hadi, 2001). Paradigma baru pembangunan diarahkan kepada terjadinya pemerataan, pertumbuhan dan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru ini dapat mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan bahwa sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi (Rustiadi, 2009). 2.4
Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Wilayah Isu utama masalah pembangunan regional dewasa ini adalah ketimpangan
(disparity) yang meliputi 1) disparitas antarwilayah, 2) disparitas antarsektor ekonomi dan 3) disparitas antargolongan masyarakat/individu. Permasalahan ini disebabkan antara lain oleh perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik, top down dan seragam. Konsep pembangunan ekonomi lebih menekankan pertumbuhan dibandingkan redistribusi pendapatan yang adil, sesuai dengan keadaan budaya penguasa (rezim) yang telah menyisakan ketimpangan. Disparitas antarwilayah berarti terdapat perbedaan tingkat pertumbuhan antarwilayah yang terjadi pada perkembangan sektor pertanian, industri, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan dan sebagainya. Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antarwilayah mula-mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Hipotesa ini kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasik.
20 Pada permulaan proses pembangunan menurut Hipotesa Neo-Klasik, ketimpangan
pembangunan
antarwilayah
cenderung
meningkat
sampai
ketimpangan tersebut mencapai titik puncak (Divergence). Bila pembangunan terus berlanjut, maka setelah itu secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antarwilayah tersebut akan menurun/berkurang (Convergence). Dengan kata lain, berdasarkan hipotesa ini kurva ketimpangan pembangunan antarwilayah atau ketimpangan regional adalah berbentuk huruf U terbalik (Reverse U-shape Curve). Ketimpangan Regional
Kurva Ketimpangan Regional
Tingkat Pembangunan Nasional
0 Sumber: Sjafrizal, 2008
Gambar 2.1 Kurva Hipotesa Neo-Klasik Beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan telah membuktikan bahwa ketimpangan pembangunan dan ketidakseimbangan melekat dalam setiap tahap pembangunan. Gunnar Myrdal (dalam Jhingan, 2003) mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan suatu proses sebab akibat sirkuler yang membuat si kaya mendapat keuntungan lebih banyak dan mereka yang tertinggal dibelakang menjadi semakin terhambat. Dampak balik (backwash effect) cenderung membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung mengecil yang semakin memperburuk ketimpangan internasional dan regional di negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini sejalan dengan Hipotesis Kuznet mengenai relasi antara ketimpangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang dikenal dengan kurva U terbalik (inverted U). Simon Kuznet menemukan adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita yang berbentuk U
21 terbalik (Kuncoro, 2004). Hasil ini diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari suatu ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan atau dari ekonomi pertanian (tradisional) ke ekonomi industri (modern). Pada awal proses pembangunan ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi. Namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan, ketimpangan menurun yakni pada saat sektor industri sudah dapat menyerap sebagian tenaga kerja yang datang dari pedesaan (sektor pertanian) atau pada saat pangsa pertanian lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan. Kurva “U Terbalik” dari Kuznet ini adalah penjabaran dari kurva hipotesa Neo-Klasik. Sumbu horizontal berupa “tingkat pembangunan nasional” diproksi dengan besarnya pendapatan perkapita dan sumbu vertikal berupa variabel “ketimpangan regional” diproksi dengan kesenjangan pendapatan melalui Indeks Gini (Gini Ratio).
K 0
Per capita income Sumber: Van den Berg, 2001
Gambar 2.2 Kurva Hipotesis Kuznet Ketimpangan pembangunan memiliki perbedaan dengan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan pendapatan yang diukur dengan distribusi pendapatan digunakan
melihat
ketimpangan
antarkelompok
masyarakat,
sementara
ketimpangan pembangunan bukan hanya melihat ketimpangan antarkelompok masyarakat tetapi juga berorientasi untuk melihat perbedaan antarwilayah. Jadi yang dipersoalkan bukan hanya antarkelompok kaya dan miskin melainkan perbedaan antara daerah maju dan terbelakang. Ketimpangan pembangunan dapat diukur dengan berbagai cara, diantaranya:
22 1. Indeks Williamson Indeks ini digunakan untuk
mengukur penyebaran (dispersi) tingkat
pendapatan per kapita daerah relatif terhadap rata-rata nasional, merupakan ukuran ketimpangan pembangunan yang pertama kali ditemukan oleh Jeffrey G. Williamson dalam studinya pada tahun 1966. Berbeda dengan Gini rasio yang lazim digunakan dalam mengukur distribusi pendapatan, Indeks Williamson menggunakan PDRB perkapita sebagai data dasar karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antarkelompok. Secara statistik dalam Sjafrizal (2008) formulasinya adalah sebagai berikut: n
IW
i 1
(yi y) 2 (f i /n) ,
0 < Iw < 1
(2.3)
y
Dimana : Iw = yi = y= fi = n=
Indeks Wllilamson PDRB per kapita di kabupaten/kota i. rata-rata PDRB per kapita di Provinsi Gorontalo. jumlah penduduk di kabupaten/kota i. jumlah penduduk di Provinsi Gorontalo.
Nilai angka indeks (Iw) yang semakin kecil atau mendekati nol menunjukan ketimpangan yang semakin kecil atau makin merata dan bila semakin jauh dari nol atau mendekati satu menunjukan ketimpangan yang semakin melebar. 2. Indeks Gini (Gini Index) Koefisien Gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Menurut Todaro (2007) formulasi Indeks Gini atau Gini Ratio adalah sebagai berikut : n
GR 1 - fPi (Fci Fci-1 )
(2.4)
i 1
Dimana : GR = Indeks Gini fPi = frekuensi penduduk dalam kelas ke-i Fci = frekuensi kumulatif dan total pengeluaran/pendapatan pada kelas ke-i Fci–1=frekuensi kumulatif dan total pengeluaran/pendapatan pada kelas ke (i-1)
23
2.5. Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi. Menurut sebagian ekonom antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan memiliki hubungan kausal, dimana ketimpangan mempengaruhi pertumbuhan, dan sebaliknya pertumbuhan juga mempengaruhi ketimpangan. Pandangan
dan
debat
mengenai
hubungan
antara
ketimpangan
pembangunan dan pertumbuhan ini sangat dipengaruhi hipotesis Kuznets (1955) – dikenal dengan Kuznets Hypothesis, yang menyatakan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan dan ketimpangan seperti U-shaped terbalik (Gambar 2.2). Pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung buruk dan tidak akan meningkat sampai negara tersebut mencapai status berpendapatan menengah (middle-income). Implikasi lebih lanjut hipotesis ini sangat jelas, jika pada tahap awal pertumbuhan akan menciptakan ketimpangan, maka kemiskinan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk berkurang di negara-negara berkembang (Adams, 2003). Pandangan ini didukung oleh penelitian Dollar dan Kray (2001), dan Adams (2003). Mereka lebih percaya bahwa pertumbuhanlah yang menciptakan ketimpangan dengan argumentasi bahwa pertumbuhan akan menyebabkan setiap kelompok dalam masyarakat memperoleh keuntungan, namun kelompok yang menguasai faktor produksi dan modal biasanya mendapatkan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan kelompok lainnya (para buruh). Perotti (1996) dan Forbes (2000) lebih mendukung pandangan yang mengatakan bahwa ketimpangan yang diproksi oleh distribusi pendapatanlah yang mempengaruhi pertumbuhan. Hal ini didasarkan bahwa distribusi pendapatan yang timpang akan berpengaruh terhadap jumlah investasi, baik fisik maupun manusia, dan selanjutnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan. 2.6. Penelitian Terdahulu Abel (2006) yang ingin mengetahui Disparitas Pembangunan Antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan sampel lokasi Kabupaten Cianjur dan Provinsi Gorontalo menggunakan analisis disparitas, tipologi wilayah dan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; 1) tingkat kesenjangan antarwilayah di Indonesia masih cukup tinggi
24 (sebesar 1,56), KBI sebesar 1,27 sedangkan KTI memiliki tingkat disparitas antarkabupaten kota yang lebih tinggi sebesar 3,20; 2) faktor-faktor penyebab disparitas di KBI adalah PDRB sektor sekunder dan tersier sedangkan di KTI adalah PDRB sektor primer, sekunder, tersier dan kepadatan penduduk; 3) Kabupaten Cianjur memiliki wilayah tertinggal di bagian selatan, wilayah transisi di bagian tengah dan wilayah yang relatif maju dibagian utara karena interaksinya dengan kota-kota besar di sekitarnya; 4) Provinsi Gorontalo memiliki wilayah tertinggal di Kabupaten Boalemo dan agak tertinggal di Kabupaten Gorontalo karena rendahnya ketersediaan sarana dan pra-sarana, sementara Kota Gorontalo relatif lebih maju Karena menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan. Hasil penelitian Jocom (2009) tentang Dampak Pengembangan Agropolitan Terhadap Perekonomian Wilayah dan Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo menggunakan Analisis Location Quotient, Multiplier Short Run dan Multiplier Long Run, Analisis Shift-Share, Analisis Uji Beda Pendapatan, Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Analisis Rapid Assessment for Local Economic Development (RALED) menunjukkan bahwa pengembangan agropolitan berbasis jagung mampu meningkatkan perekonomian dan pergeseran struktur perekonomian wilayah. Secara komparatif agropolitan jagung mampu menggerakkan sektor industri pengolahan, listrik dan air bersih dan memberikan multiplier effect terhadap total perekonomian wilayah. Secara kompetitif sektor-sektor unggulan seperti sub-sektor tanaman pangan, komoditi jagung, bangunan dan pengangkutan masih memiliki daya saing yang rendah sehingga menghambat perekonomian wilayah. Pengembangan agropolitan jagung meningkatkan pendapatan petani melalui penyuluhan, pembangunan infrastruktur jalan usaha tani dan intervensi harga dari pemerintah. Rata-rata pendapatan usaha tani dikawasan agropolitan yaitu sebesar Rp. 10.080.016,- per hektar per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendapatan usaha tani dikawasan non agropolitan sebesar Rp. 5.506.966,- per hektar per tahun. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pendapatan usaha tani di kawasan agropolitan dengan kawasan non agropolitan pada taraf nyata 95%.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Ketimpangan pembangunan merupakan kenyataan yang terjadi di semua negara, maju maupun berkembang sehingga wajar dalam suatu negara terdapat daerah yang terbelakang dibanding daerah lainnya. Kondisi ketimpangan ini dapat disebabkan berbagai faktor antara lain faktor struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumber daya bawaan yang mencakup faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya dan ekonomi (Budiharsono 1996, Murty 2000, Rustiadi et al 2009). Pada negara-negara maju, kondisi ketimpangan bisa dieliminir sekecil mungkin dengan kebijakan pemerintah yang optimal dalam proses pembangunan. Perencanaan pembangunan yang lebih ditujukan pada pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan membangun pusat-pusat pertumbuhan ternyata telah menimbulkan masalah yang kompleks. Pusat-pusat pertumbuhan dengan daerah hinterlandnya tidak tumbuh bersama-sama secara seimbang. Trickle down effect yang diharapkan, berjalan sangat lamban bahkan tidak terjadi, sedangkan sumber daya telah terkuras secara tidak terkendali (backwash effect). Pola pembangunan seperti ini telah menciptakan ketimpangan antarwilayah; kawasan barat dan timur Indonesia, Jawa dan luar Jawa, perkotaan dan perdesaan serta dalam internal wilayah otonom. Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator pembangunan bersamasama dengan PDRB perkapita akan mempengaruhi struktur ekonomi suatu wilayah. Sebaliknya, perubahan struktur yang terjadi turut berperan dalam proses pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebut Kuznets sebagai structural transformation karena yang terjadi adalah suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan penggunaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Todaro, 2000). Perubahan ini dapat dilihat dan dideskripsikan dengan menggunakan analisis
26 Shift-Share dan matriks tipologi Klassen. Hasil dari Matriks Klassen dan ShiftShare ini didukung oleh analisis deskriptif pertumbuhan ekonomi antarwilayah (kabupaten/kota) serta sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi. Perubahan struktur ekonomi ini juga secara tidak langsung melalui pertumbuhan ekonomi mempengaruhi ketimpangan pembangunan. Dalam
proses
transformasi
struktural
ini
dipastikan
terjadi
ketidakharmonisan dalam pembangunan. Hal ini telah dibuktikan oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik dengan hasil bahwa ketimpangan pembangunan antarwilayah dan ketimpangan pendapatan cenderung meningkat sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak (Divergence). Bila pembangunan terus berlanjut, maka setelah itu secara berangsur-angsur ketimpangan tersebut akan menurun/berkurang (Convergence). Untuk
melihat
besarnya ketimpangan tersebut
akan dilakukan dengan
menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Gini. Besar kecilnya tingkat ketimpangan ini akan dihubungkan dengan capaian PDRB perkapita, tingkat kesejahteraan masyarakt (yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia) dan aksesibilitas infrastruktur (dilihat dari rasio belanja infrastruktur dengan total PDRB) dalam suatu model regresi berganda berdasarkan panel data dari lima daerah/wilayah di Gorontalo. Selanjutnya untuk melihat ketimpangan pembangunan hubungan positifnya dengan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai selama ini, akan digunakan regresi sederhana dengan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel independen, masing-masing terhadap Indeks Williamson dan Indeks Gini sebagai variabel dependen. Secara garis besar, rencana penelitian ini diilustrasikan dalam kerangka pikir penelitian dan kerangka analisisi sebagai berikut:
27
PEMBANGUNAN
SENTRALISASI
Pro Pertumbuhan: Pusat pertumbuhan Trickle down effect, dll
Pro Pemerataan: Distribusi Pendapatan Keterkaitan spasial sektoral, dll Pro Keberlanjutan: Kelestarian alam Daya dukung lingkungan, dll
KETIMPANGAN
Faktor penyebab ketimpangan: - Biofisik/ karakteristik wilayah (SDA). - Sarana & prasarana (SDB) - SDM. - Sumber daya Sosial - Karakteristik struktur ekonomi wilayah. - Kebijakan Pemda
Rekomendasi Kebijakan : Pertumbuhan Ekonomi tinggi disertai pengurangan ketimpangan pembangunan
DESENTRALISASI
Mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah melalui: Keterpaduan/keterkaitan sektoral dan spasial dengan intensitas interaksi spasial yg optimal Alokasi sumber daya yg proporsional Pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi wilayah yg optimal,adil dan berkelanjutan
Menganalisis : 1. Ketimpangan pendapatan. 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 3. Rasio Belanja Infrastruktur
Gambar 3.1. Kerangka Pikir Penelitian
28
Tipologi Klassen
Tipologi & Struktur Ekonomi Antarwilayah
Pertumbuhan Ekonomi
Analisis Shift-Share
Rekomendasi Kebijakan
PDRB Perkapita
Indeks Williamson
Indeks Pembangunan Manusia
Ketimpangan Pembangunan
Indeks Gini
Rasio Belanja Infrastruktur Kab/Kota → Provinsi Keterangan :
keterkaitan/hubungan alat analisis yang digunakan
Gambar 3.2 Kerangka Analisis 3.2
Hipotesis Berdasarkan latar belakang permasalahan serta kerangka pemikiran yang
diuraikan sebelumnya, maka ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
Diduga pertumbuhan ekonomi tinggi cenderung tidak disertai penurunan ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo.
2.
Sumber utama ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo baik secara simultan maupun parsial berasal dari ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, indeks pembangunan manusia dan rasio belanja infrastruktur.
3.
Pertumbuhan
ekonomi
memiliki
pembangunan di Provinsi Gorontalo.
hubungan
dengan
ketimpangan
29 3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai daerah referensi sedangkan 4 kabupaten (Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan Bone Bolango) serta 1 kota (Gorontalo) sebagai unit analisis. Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Mei hingga Agustus 2009.
Sumber: Bappeda Prov.Gorontalo, 2008
Gambar 3.3 Peta Administrasi Provinsi Gorontalo 3.4. Desain Penelitian Penelitian ini membatasi pada Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo selama 2001– 2008 dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan kuantitatif. Metode analisis deskriptif merupakan teknik analisa dengan menyajikan data berupa tabel, rasio dan persentase, yang selanjutnya memaknai angka – angka presentase dan rasio yang diperoleh. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif mengggunakan analisis Shift Share dan Matriks Tipologi Klassen untuk menjelaskan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo.
30 Pendekatan kuantitatif lebih berdasarkan pada penggunaan teknik ekonometrik. Dalam penelitian ini akan menggunakan model regresi berganda unbalanced panel. Hasil perhitungan yang diperoleh akan dilakukan uji asumsi klasik dan uji statistik yang harus dipenuhi dan selanjutnya diinterpretasikan sesuai nilai – nilai koefisien yang sudah diperoleh. 3.5. Definisi Operasional Operasionalisasi variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel dan penjelasan berikut: Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel No
Variabel
1. Pertumbuhan ekonomi 2. Ketimpangan Pembangunan
3. PDRB perkapita
4. Penduduk
Batasan Pengertian
Simbol Satuan
Laju pertumbuhan PDRB riil dengan base year 2000
PE
%
- Perbedaan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo berdasarkan besarnya deviasi PDRB perkapita kabupaten/kota dari rata-rata PDRB perkapita provinsi dengan menggunakan Indeks Williamson. - Perbedaan distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat yang diukur dengan menggunakan Indeks Gini.
Iw
Poin
total PDRB dibagi dengan jumlah penduduk yang ada dalam wilayah yang bersangkutan 1. Jumlah penduduk dalam 1 tahun 2. Laju pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun.
GR
Y
Rupiah
1. N 2. Pop
1. Jiwa 2. %
5. Indeks Pembangunan Manusia
Indeks yang menyatakan sebagai tolok ukur dari kesejahteraan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, kesehatan dan pendidikan.
IPM
Poin
6. Rasio Belanja Infrastruktur
Merupakan rasio dari belanja untuk infrastruktur terhadap total PDRB
RBI
Poin
1. Pertumbuhan Ekonomi adalah laju pertumbuhan PDRB riil dengan base year 2000 yang dihitung dengan formulasi : Pertumbuhan Ekonomi
Dimana:
PDRB t - PDRB t -1 . 100% PDRB t -1
PDRBt = PDRB tahun sekarang PDRBt - 1 = PDRB tahun sebelumnya
2. Ketimpangan pembangunan: perbedaan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi
Gorontalo
berdasarkan
besarnya
deviasi
PDRB
perkapita
31 kabupaten/kota dari rata-rata PDRB perkapita provinsi dengan menggunakan Indeks Williamson dan ketimpangan pendapatan antara kelompok masyarakat dengan menggunakan Indeks Gini. 3. PDRB perkapita adalah total PDRB dibagi dengan jumlah penduduk yang ada dalam wilayah yang bersangkutan. 4. Penduduk memiliki 2 batasan, yaitu dalam jumlah absolut dan dalam persentase. Secara absolut merupakan jumlah penduduk suati wilayah dalam 1 tahun dan dalam persentase menggambarkan laju pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun dengan rumus: Pop
N t - N t -1 . 100% N t -1
Dimana:
Nt = jumlah penduduk tahun sekarang Nt-1 = jumlah penduduk tahun sebelumnya
5. Indeks Pembangunan Manusia adalah indeks yang menggambarkan kondisi tingkat pendapatan, kesehatan dan pendidikan masyarakat suatu wilayah yang digunakan sebagai tolok ukur kesejahteraan suatu wilayah. 6. Rasio belanja infrastruktur merupakan rasio antara pengeluaran belanja untuk infrastruktur dengan total PDRB yang berdampak langsung dan tak langsung bagi kemudahan masyarakat dalam mengakses infrastruktur. 3.6. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder runtun waktu (time series) periode tahun 2001 – 2008, yang diperoleh dari berbagai laporan dan kompilasi data serta bentuk publikasi lainnya, seperti dari Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten, Kota dan Provinsi serta publikasi Bank Dunia dan cross section dari lima wilayah (Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Bone Bolango). 3.7. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi terhadap berbagai data sekunder yang dibutuhkan yang berasal dari BPS dan pemerintah daerah Provinsi Gorontalo serta pemerintah daerah kabupaten dan kota. Berdasarkan variabel yang
32 diteliti maka data yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan dan metode analisis yang digunakan disajikan dalam tabel berikut: Tabel 3.2 Kinerja Arah Penelitian No
Tujuan
1. Mendeskripsikan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo 2. Menganalisis besarnya ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, IPM dan rasio belanja infrastruktur sebagai sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo 3. Menganalisis hubungan ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo 4. Memberi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo
Metode Analisis Deskriptif dengan menggunakan analisis Shift-Share, Tipologi Klassen Indeks Williamson, Indeks Gini & Regresi berganda dengan panel data
Variabel/ Paramater
Data & Sumber Data
PDRB sektor Kab/Kota/provinsi
PDRB Provinsi & Kab. Kota, Gorontalo Dalam Angka (GDA)
PDRB Kab/Kota, PDRB Provinsi & pendapatan kelompok Kab./Kota, GDA, APBD masyarakat, PDRB Kab/Kota, jumlah perkapita, IPM, rasio penduduk, IPM, belanja belanja infrastruktur pemerintah untuk infrastruktur Kab/kota.
Regresi double log dengan metode OLS
PDRB Kab/Kota, Pertumbuhan Ekonomi Kab/Kota
PDRB Provinsi & Kab. Kota, Gorontalo Dalam Angka
Deskriptif
Dari hasil analisis yang telah dilakukan poin sebelumnya
Dari hasil analisis yang telah dilakukan poin sebelumnya
3.8. Metode Analisis 1. Analisis untuk struktur perekonomian di Provinsi Gorontalo a. Analisis Shift-Share Analisis ini dilakukan untuk melihat pergeseran/perubahan aktivitas perekonomian kabupaten kota dalam dua titik tahun dibandingkan dengan Provinsi Gorontalo sebagai wilayah referensi. SSA ini melihat perkembangan tahunan selang 2001-2008 (7 titik tahun), 2001-2007 serta tahun 2001-2008 dengan menggunakan data PDRB yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi dan masing-masing kabupaten kota di Gorontalo. Formulasi Shift-Share seperti pada persamaan berikut: X..(t1) X i(t1) X..(t1) X X X ij(t0) ij(t1) - i(t1) X i X ij(t0) - 1 X ij(t0) X.. X X (t0) i(t0) X..(t0) ij(t0) X i(t0) a + b + c
33 Dimana : a : komponen Regional Share b : komponen proportionality shift c : komponen differential shift ΔXi : perubahan nilai aktifititas sektor i X.. : Nilai total aktivitas dalam total provinsi Xi : Nilai total aktivitas i dalam total provinsi. Xij : nilai aktivitas sektor i dalam setiap kab/kota. t1 : titik tahun akhir t0 : titik tahun awal Pada analisis kabupaten kota, untuk daerah referensi adalah data provinsi. b. Deskripsi komparatif dan Analisis Matriks Tipologi Daerah (Matriks Klassen Typology). Deskripsi komparatif dilakukan untuk melihat perubahan struktur ekonomi termasuk didalamnya PDRB perkapita, baik tingkat provinsi maupun untuk kabupaten kota. Dilanjutkan dengan analisis tipologi daerah dengan menggunakan Matriks Klassen. Hal ini seperti dilakukan oleh Syafrizal dalam penelitiannya di daerah Sumatera Barat tentang Analisis Pertumbuhan Ekonomi Regional: Kasus Sumatera Barat dalam bukunya Ekonomi Regional (Sjafrizal, 2008). Menurut Hill dalam Kuncoro (2004), analisis tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi daerah pada dasarnya membagi daerah berdasarkan 2 indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita (PDRB pekapita). Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB perkapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu: 1) High growth and high income (daerah cepat maju dan cepat tumbuh). 2) High growth but low income (daerah berkembang cepat). 3) Low growth and low income (daerah relatif tertinggal). 4) High income but low growth (daerah maju tapi tertekan).
34 Tabel 3.3 Tipologi Daerah PDRB per Kapita (y) Laju Pertum.(r) (ri > r) (ri < r) Keterangan : r y ri yi
(yi < y) Pendapatan rendah pertumbuhan tinggi Pendapatan rendah pertumbuhan rendah
(yi > y) dan Pendapatan tinggi pertumbuhan tinggi dan Pendapatan tinggi pertumbuhan rendah
: Rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi. : Rata-rata PDRB perkapita provinsi. : Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati. : PDRB perkapita kabupaten/kota yang diamati
Kriteria daerah untuk membagi daerah kabupaten/kota adalah: a) High growth and high income: daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten/kota di wilayah penelitian. b) High growth but low income: daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi tetapi tingkat PDRB perkapita yang lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di wilayah penelitian. c) Low growth and low income: daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendpatan perkapita yang lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di wilayah penelitian d) High income but low growth: daerah yang memiliki tingkat PDRB perkapita yang lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di wilayah penelitian. Disebut “tinggi” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten/kota di wilayah penelitian; digolongkan “rendah” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota di wilayah penelitian.
dan dan
35 2. Analisis ketimpangan pembangunan antarwilayah. Indeks Williamson n
IW
i 1
(yi y) 2 (f i /n)
,
0 < Vw < 1
y
Dimana : Iw = Indeks Wllilamson yi = PDRB perkapita di kabupaten/kota i. y = rata-rata PDRB perkapita di Provinsi Gorontalo. fi = jumlah penduduk di kabupaten/kota i. n = jumlah penduduk di Provinsi Gorontalo. Nilai angka indeks yang semakin kecil atau mendekati nol menunjukan ketimpangan yang semakin kecil atau makin merata dan bila semakin jauh dari nol menunjukan ketimpangan yang semakin melebar. 3. Analisis sumber ketimpangan pembangunan digunakan metode analisis regresi berganda pada data panel dengan dua model sebagai berikut: I w α β Yt β IPM β RBI t ε 1 2 t 3 t
GR α β Yt β IPM β RBI t ε 1 2 t 3 t Dimana : Iw : Indeks Williamson GR : Indeks Gini Y : Pertumbuhan PDRB Perkapita IPM : Indeks Pembangunan manusia RBI : Rasio Belanja Infrastruktur 4. Analisis hubungan ketimpangan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi digunakan Regresi Double Log dengan metode OLS terhadap nilai indeks dengan PDRB perkapita Mengikuti Hipotesa Neo-Klasik, variabel yang dapat digunakan sebagai independen variabel adalah pendapatan perkapita yang menunjukan tingkat pembangunan suatu negara/daerah. Sedangkan persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk kuadratik karena hubungan antara ketimpangan pembangunan dengan tingkat pembangunan adalah bersifat non linear (Sjafrizal, 2008). Dengan demikian fungsi regresi yang dapat digunakan adalah persamaan regresi sebagai berikut:
36 logI w log δ log Y 2 logY ε , dan
log GR log δ log Y 2 logY ε Dimana Iw : Indeks Williamson GR : Indeks Gini Y : PDRB perkapita φ & δ: kofisien regresi ε : epsilon Dengan menggunakan persamaan kuadratik maka dapat diketahui apakah ketimpangan pada wilayah bersangkutan masih berada pada kondisi meningkat (divergence) atau sudah berada pada kondisi yang menurun (convergence). 3.9. Uji Hipotesis 1. Uji Gejala Multikolinearitas. Multikolinearitas merupakan pelanggaran terhadap asumsi klasik yang menunjukan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model yang memiliki lebih dari satu variabel independen. Gejala multikolinearitas dapat menyebabkan koefisien regresi masing-masing variabel independen tidak signifikan secara statistik sehingga tidak dapat diketahui variabel mana yang mempengaruhi variabel dependen. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala ini dapat dilihat pada nilai koefisien korelasi parsial. Jika koefisien korelasi parsial mendekati nilai 1,00 maka ada indikasi terdapat gejala multikolinearitas (Gujarati, 2003). 2. Uji Gejala Heteroskedastisitas. Dalam asumsi klasik, dalam suatu model ekonometrika terdapat kondisi dimana semua disturbances error yang muncul dalam model harus memiliki varians yang sama pada tiap kondisi pengamatan atau bersifat homoskedastis. Tidak terpenuhinya asumsi ini menyebabkan adanya heteroskedastisitas yang menyebabkan penaksiran/estimasi tidak lagi memiliki varians yang minimum. Untuk menguji gangguan ini dapat digunakan beberapa cara yang salah satunya dengan White Heteroscedasticity Test melalui pengujian hipotesis berikut ini:
37 H0 : i2 2 (tidak terdapat gejala heteroskedastisitas) H0 : i2 2 (terdapat gejala heteroskedastisitas) Jika nilai nR2 atau Obs* lebih besar dari nilai χ2 pada tingkat signifikansi tertentu, maka H0 ditolak. Atau dengan menggunakan probability value dengan kriteria tidak menerima H0 jika probability valuenya < nilai α. 3. Uji Gejala Autokorelasi. Otokorelasi merupakan kondisi tidak adanya korelasi serial yang terjadi antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkaian waktu pada data time series. Pelanggaran terhadap asumsi ini disebut autokorelasi dan dapat menyebabkan dihasilkannya taksiran OLS yang tak bias namun tidak efisien (underestimated). Untuk mengetahui ada tidaknya gejala ini dilakukan Uji Durbin Watson dengan hipotesis sebagai berikut : H0 Ha H0 H0
: ρ = 0 (tidak ada autokorelasi) : ρ ≠ 0 (ada autokorelasi) : ρ > 0 (ada autokorelasi positif) : ρ < 0 (ada autokorelasi negatif)
Jika H0 terdapat pada kedua ujung interval berarti tidak ada serial autokorelasi baik positif maupun negatif (Gujarati, 2003), maka jika: d dL d 4 dL dU d 4 - dU dL d dU 4 - dU d 4 - dL
: H0 tidak diterima (terdapat autokorelasi positif) : H0 tidak diterima (terdapat autokorelasi negatif) : H0 tidak ditolak (tidak terdapat autokorelasi) : pengujian tidak memberikan hasil/ragu-ragu. : pengujian tidak memberikan hasil/ragu-ragu.
Dimana: dU: nilai kritis atas. dL: nilai kritis bawah. 4. Kriteria Statistik: a) Uji Simultan (Uji-F) Uji-F digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara simultan terhadap variabel dependent dengan hipotesis statistik sebagai berikut (Gujarati, 2003) : H0: αn = 0 H1: setidaknya satu αn ≠ 0 (dimana n = 1,2,3)
38 Untuk
menguji
kedua
hipotesis
tersebut
dilakukan
dengan
membandingkan nilai Fhitung dan nilai Ftabel. Jika nilai Fhitung > Ftabel maka kita tidak dapat menerima H0 atau dengan kata lain H1 yang menyatakan bahwa semua variabel independet secara simultan mempengaruhi variabel dependent tidak dapat ditolak. Atau pengujian dapat dilakukan dengan menggunakan probability value dengan kriteria tidak menerima H0 jika probability valuenya < nilai α Menurut Juanda (2007) dalam menganalisis model sebaiknya pertama kali dilakukan pengujian model secara keseluruhan dengan menggunakan statistik uji-F. b) Uji Parsial (Uji-t) Uji-t dilakukan untuk mengetahui signifikansi setiap variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen dengan uji satu arah. Hipotesis yang akan diuji adalah : H0 : αn ≤ 0, setiap variabel independen tidak signifikan mempengaruhi variabel dependent H1 : αn > 0, setiap variabel independen signifikan mempengaruhi variabel dependen Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai t hitung dari persamaan regresi dengan nilai kritis dari tabel-t (ttabel) pada tingkat kepercayaan tertentu. Jika t hitung > ttabel berarti H0 tidak dapat diterima, artinya variabel independen signifikan mempengaruhi variabel dependen, demikian pula sebaliknya jika t hitung < ttabel berarti H0 tidak dapat ditolak, artinya variabel independen tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen. Pengujian juga dapat dilakukan dengan menggunakan probability value dengan kriteria tidak menerima H0 jika probability valuenya < nilai α. c) Penafsiran koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi digunakan untuk mengukur kedekatan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Besarnya R2 berada antara 0 dan 1 ( 0 < R2 < 1 ). Hal ini menunjukan bahwa semakin mendekati 1 nilai R2 berarti model tersebut dapat dikatakan baik karena semakin dekat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.
BAB IV DESKRIPSI UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografi Provinsi Gorontalo adalah salah satu provinsi di bagian utara Pulau Sulawesi yang ditetapkan dengan UU No. 38 Tahun 2000 sebagai provinsi yang terpisah dari Provinsi Sulawesi Utara. Wilayah Gorontalo terbagi atas 1 Kota yakni Kota Gorontalo sebagai ibukota provinsi dan 5 kabupaten masing-masing Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato, Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo Utara yang baru dimekarkan dari Kabupaten Gorontalo pada bulan Desember 2007. Posisi Gorontalo secara astronomis terletak diantara 0019’- 1015’ Lintang Utara dan 121023’ – 123043’ Bujur Timur, hampir tepat di garis katulistiwa. Secara geografis diapit oleh Laut Sulawesi di sebelah Utara, Teluk Tomini di sebelah Selatan, Provinsi Sulawesi Utara di sebelah Timur, dan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Barat. Provinsi Gorontalo memiliki wilayah daratan seluas 12.215,44 km2 (0,64 % luas Indonesia) dan lautan seluas 50.500 km2. Panjang garis pantai di bagian Utara dan Selatan ± 590 km. Topografi Gorontalo di dominasi oleh perbukitan dengan ketinggian 100 - 500 m di atas permukaan laut meliputi 45% luas daratan dan daerah curam (kemiringan 15 - 40%) meliputi 39% luas daratan. Sebagaimana layaknya, lahan yang berada pada dataran yang cukup tinggi terlebih dengan struktur yang tidak rata maka sebagian besar lahan pertanian dimanfaatkan sebagai ladang atau kebun. Hanya sebagian kecil dari lahan pertanian di Gorontalo yang dapat dijadikan sawah yakni seluas 32.295 ha atau 1/8 dari total lahan perkebunan seluas 285.337 ha. Keadaan tanah dan pemanfaatannya mempengaruhi karakteristik pertanian di Provinsi Gorontalo. Sebagian besar masyarakat tani di Gorontalo merupakan petani ladang. Kelangkaan lahan sawah menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk dapat memilikinya. Banyak diantara mereka yang terpaksa menggarap lahan dengan kemiringan yang curam dan berada di pegunungan sebagai alternatif terakhir untuk mencari nafkah. Pada umumnya lahan pertanian di pegunungan ditanami jagung, umbi-umbian, sayur-mayur, pisang dan lain-lain. Jagung
40 merupakan tanaman yang paling banyak dipilih oleh petani Gorontalo dalam bercocok tanam. Luas panen jagung pada tahun 2007 mencapai 119.027 ha dengan produksi 572.785 ton atau rata-rata produksinya 48,12 kuintal per ha. Sedangkan luas panen padi sawah pada tahun 2007 adalah 43.414 ha dengan produksi mencapai 197.779 ton atau rata-rata produksi 45,56 kuintal per ha. Komoditi pertanian utama di Gorontalo untuk kelompok sayur-sayuran adalah cabe dan tomat, sedangkan untuk tanaman perkebunan yang paling dominan adalah tanaman kelapa dalam, kakao, cengkeh, kemiri, dan aren. 4.2. Kondisi Demografi Jumlah absolut penduduk di Provinsi Gorontalo senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2001 yang semula hanya 850.798 jiwa, pada tahun 2008 menjadi 972.208 jiwa atau naik 14%. Demikian pula dengan jumlah penduduk pada kabupaten dan kotanya. Peningkatan terbesar terjadi di Kabupaten Boalemo, dengan jumlah 94.496 jiwa di tahun 2001 naik menjadi 127.639 jiwa atau naik 35%. Kota Gorontalo di tahun 2001 sebesar 136.632 jiwa naik menjadi 165.175 jiwa atau naik 21%. Kabupaten Pohuwato naik dari 98.352 jiwa menjadi 114.572 jiwa di tahun 2008 (naik 16%). Kabupaten Gorontalo, dari 402.488 jiwa di tahun 2001 menjadi 434.797 jiwa atau naik 8%. Kabupaten Bone Bolango, dari 118.830 jiwa pada tahun 2001, naik menjadi 130.025 pada tahun 2008 atau meningkat 9%.
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2008
Gambar 4.1 Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Gorontalo
41 Kabupaten Gorontalo memiliki laju pertumbuhan penduduk terendah, tapi dari kontribusi terhadap total jumlah penduduk di Provinsi Gorontalo, daerah ini rata-rata memberikan kontribusi sebesar 46%. Kota Gorontalo sebagai ibu kota provinsi hanya memberikan kontribusi sebesar 17%. Selebihnya 13% berasal Kabupaten Bone Bolango serta Kabupaten Pohuwato dan Boalemo masingmasing 12%.
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2008
Gambar 4.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Kab/Kota di Provinsi Gorontalo Meskipun mengalami peningkatan dalam jumlah absolut, ternyata laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Gorontalo mengalami fluktuasi yang cukup signifikan dan pada akhir tahun 2008 lebih rendah dibanding laju pertumbuhan pada tahun 2001. Dari lima daerah, Kabupaten Boalemo memiliki rata-rata laju pertumbuhan yang tertinggi, sebesar 4,10% per tahun. Selanjutnya Kabupaten Pohuwato 2,97%; Kota Gorontalo 2,59%; Kabupaten Bone Bolango 2,1% dan Kabupaten Gorontalo 1,3% rata-rata per-tahunnya. Penduduk Gorontalo pada tahun 2008 berjumlah 972.208 jiwa, jika dibandingkan dengan luas wilayah maka dapat diperoleh tingkat kepadatan penduduk sebesar 80 jiwa per km2. Berikut disajikan tabel luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk per km2 menurut kabupaten / kota di Provinsi Gorontalo.
42 Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Per Km2 Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2008
1
Kab. Gorontalo
3.426,98
Jumlah Penduduk (jiwa) 434.797
2
Kota Gorontalo
64,79
165.175
2.549
3
Kab. Boalemo
2.248,24
127.639
57
4
Kab. Pohuwato
4.491,03
114.572
26
5
Kab. Bone Bolango
1.984,40
130.025
66
12,215.44
972.208
80
No.
Kabupaten/Kota
Provinsi Gorontalo
Luas (km2)
Tingkat Kepadatan (jiwa/km2) 127
Sumber BPS Provinsi Gorontalo, 2009
Dengan kepadatan penduduk yang rendah dan ritme aktivitas yang tidak terlalu tinggi maka masyarakat Gorontalo dapat menjalin komunikasi sosial dengan baik. Umumnya penduduk pada suatu desa masih dapat saling mengenal, bahkan memiliki hubungan keluarga satu sama lainnya. Hubungan persaudaraan dan kekerabatan merupakan perekat sosial yang dipelihara sejak zaman dahulu yang diperkuat dengan doktrin nilai-nilai religius yang bersumber dari agama Islam sebagai agama kerajaan pada masa itu. Implementasi nilai-nilai sosial-religius pada masyarakat Gorontalo dilakukan dalam bentuk saling membantu, gotong-royong, saling silaturahmi, membagi masakan kepada tetangga dan sebagainya. Kehidupan yang begitu bersahaja juga ditunjukkan dalam hubungan sosial ekonomi dengan munculnya berbagai sub sistem sosial yang khas. Menurut Niode (2007) dalam kehidupan masyarakat Gorontalo terdapat 13 sub sistem sosial, 9 diantaranya menggambarkan susasana kekeluargaan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi secara bersama-sama dan selebihnya menyangkut etika kekeluargaan dan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kesembilan sub sistem sosial yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : (1) hulunga, yakni melakukan pekerjaan secara bersamasama secara sukarela dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan tidak mengharapkan imbalan sama sekali; (2)
43 huyula, artinya melakukan pekerjaan secara bersama secara timbal-balik antar-anggota himbunga,
masyarakat,
perhimpunan
misalnya beberapa
dalam orang
membangun
anggota
rumah;
masyarakat
(3)
untuk
melakukan kegiatan usaha secara bersama-sama dan membagi hasilnya secara merata, misalnya membuka dan mengelola lahan pertanian; (4) palita, hampir sama dengan himbunga, tetapi setiap orang ditentukan pembagian hak milik sehingga hasil yang dinikmati masing-masing akan berbeda sesuai pembatasan hak milik tersebut, (5) tiayo, permintaan bantuan seorang penduduk kepada tetangga, kenalan, atau kaum kerabat untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan sendiri, warga yang membantu tidak diberikan imbalan terkecuali sajian makan siang oleh pemilik pekerjaan; (6) dembulo, sumbangan berupa barang dalam kegiatan upacara pernikahan dan perkabungan dengan tidak mengharapkan imbalan, (7) depita, saling memberi antar tetangga, kenalan dan kawan kerabat pada saat seseorang baru melakukan panen atau memperoleh hasil pertanian yang berlebih; (8) timoa, sumbang-menyumbang berupa benda di kalangan pemuda yang akan menikah dengan ketentuan harus dibalas kembali ketika penyumbang tersebut akan menikah kelak; dan (9) heiya, sumbang menyumbang berupa uang dalam pelaksanaan hajatan seperti pesta pernikahan dan sebagainya. Nilai-nilai sosial tersebut mengikat masyarakat Gorontalo untuk maju secara bersama-sama, saling peduli dan menekan kesenjangan diantara mereka. Akan tetapi nilai-nilai demikian sudah mengalami proses erosi sosial, tradisi huyula, timoa, tiayo dan sebagainya tinggal menjadi strategi untuk bertahan hidup (survival strategic) pada masyarakat marginal, tidak lagi menjadi spirit sosial yang membentuk sistem nilai budaya. Masyarakat Gorontalo berada pada sebuah realitas dimana sistem makna sosial budaya sedang mengalami krisis. 4.3. Aspek Pemerintahan dan Penanggulangan Kemiskinan Pembentukan Provinsi Gorontalo telah menjadi momentum penting bagi seluruh komponen masyarakat dan pemerintah untuk memberi perhatian lebih terhadap penyelenggaraan pembangunan. Dalam usianya
44 yang
masih
sangat
muda
pemerintah
Provinsi
Gorontalo
mampu
menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada provinsi lainnya, misalnya sebagai satu-satunya penerima penghargaan tertib administrasi keuangan tahun 2007, penerima penghargaan ketahanan pangan selama tiga tahun berturut-turut (2003-2006), sebagai pelaksana Good Governance terbaik di Indonesia menurut penelitian UGM, dan sebagainya. Tingginya konsentrasi penyelenggaraan pembangunan di Provinsi Gorontalo didukung dengan peningkatan anggaran yang cukup tinggi. Pada tahun 2001 nilai APBD Provinsi Gorontalo sebesar Rp. 77.696.211.940 terus meningkat menjadi Rp. 442.229.890.710 pada tahun 2006, atau terjadi peningkatan nominal 469.18 % dalam kurun waktu 5 tahun. Khusus untuk penanggulangan kemiskinan Pemerintah Provinsi Gorontalo secara rutin mengalokasikan anggaran yang cukup besar. Pada tahun 2005 alokasi APBD untuk penanggulangan kemiskinan sebesar Rp. 4.896.000.000 dan meningkat menjadi Rp. 8.034.337.500 pada tahun 2006. Sementara dana penanggulangan kemiskinan yang bersumber dari APBN berjumlah Rp. 68.834.997.000 pada tahun 2005 menjadi Rp. 278.531.268.000 pada tahun 2006. Anggaran penanggulangan kemiskinan tersebut dimanfaatkan antara lain melalui pembangunan rumah layak huni dan peningkatan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan dengan pembentukan Badan Pelaksana Kesehatan Mandiri (Bapelkesman). Sebagai hasil dari kerja keras dan semangat kolektif antara masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan maka angka kemiskinan Provinsi Gorontalo turun drastis dalam kurun waktu yang relatif pendek. Tingkat kemiskinan Provinsi Gorontalo sebelum pemekaran mendekati level 73 % turun menjadi 29,13% pada tahun 2008 setelah delapan tahun berdiri sebagai provinsi sendiri. Namun angka ini masih lebih tinggi dibanding nasional yang hanya 17,75%. 4.4. Sosial Kemasyarakatan di Provinsi Gorontalo
Pendidikan Sumber daya manusia merupakan salah satu instrumen pembangunan yang
cukup mempengaruhi proses dan hasil pembangunan itu sendiri, dan untuk
45 membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dibutuhkan tingkat pendidikan yang memadai. Salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pendidikan adalah dengan menggunakan Angka Partisipasi Kasar. Instrumen ini menngambarkan persentase penduduk (siswa) yang bersekolah pada tingkat tertentu tanpa memperhitungkan tingkat umur terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada tingkat tertentu tersebut. Nilai APK dimungkinkan mencapai lebih dari 100% karena jumlah siswa yang bersekolah pada tingkat yang dimaksud tanpa memperhitungkan tingkat umur pada tingkatan tersebut. Jadi pada perhitungan APK, misalnya anak yang bersekolah di SMP dengan umur kurang dari 13 tahun atau lebih dari 15 tahun, akan tetap masuk dalam perhitungan, sementara jumlah penduduk sebagai pembandingnya dibatasi dalam umur 13-15 tahun sebagai interval umur untuk anak SMP.
Sumber: Diknas & BPS Provinsi Gorontalo, 2009
Gambar 4.3 APK dan APM Kabupaten dan Kota di Provinsi Gorontalo Sampai dengan tahun 2008, untuk tingkat SD Kota Gorontalo memiliki APK dengan capaian yang tertinggi, sebesar 152 % di tahun 2008. Untuk APK SD pada semua daerah mencapai lebih dari 100 %, artinya fase awal program wajib belajar di Provinsi Gorontalo telah menunjukan prestasi yang cukup baik. Hal ini juga didukung oleh Angka Partisipasi Murni (APM) SD yang mencapai lebih dari 85% pada semua daerah.
46
Pengangguran dan Kemiskinan Jumlah pengangguran di Provinsi Gorontalo dari tahun 2001 sampai 2006
mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik dari nilai absolut maupun persentase. Tahun 2001 mencapai 13.790 orang (3.7%) meningkat menjadi 44.395 orang (11.14%) di tahun 2006. Setelah itu di tahun 2007 dan 2008 persentase pengangguran di Gorontalo mengalami penurunan, bahkan lebih rendah dibanding nasional yang memiliki capaian 9,11% dan 8,39%.
Sumber : BPS, 2009
Gambar 4.4 Persentase Pengangguran di Sulawesi dan Nasional Dibandingkan daerah lainnya di Sulawesi, capaian Gorontalo juga relatif rendah. Rata-rata selama 2006-2008 Gorontalo berada dalam posisi kedua dengan persentase terendah setelah Sulawesi Barat. Dalam tingkat nasional, tahun 2007 Gorontalo berada dalam posisi ke-15 dan tahun 2008 menjadi posisi ke-11 dalam persentase penggangguran yang terendah di Indonesia. Dari aspek kemiskinan, secara umum capaian Gorontalo menunjukan penurunan baik dari aspek jumlah absolut maupun dalam persentase. Sebelum Gorontalo ditetapkan menjadi provinsi, persentase penduduk miskin berdasarkan perhitungan pada tahun 1999 sebesar 49,54 %, kemudian turun 32,94 % pada tahun 2000. Di tahun 2001, ketika Gorontalo dalam proses persiapan pembentukan dan peresmian menjadi provinsi, kemiskinan turun menjadi 29,74 %. Selanjutnya di tahun 2002 kembali meningkat menjadi 32,12% dan sampai akhir tahun 2008 terus menunjukan trend penurunan.
47 Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Kemiskinan di Provinsi Gorontalo 2003 2005 2007 Jlh Penduduk % Penduduk Jlh Penduduk % Penduduk Jlh Penduduk % Penduduk Miskin Miskin Miskin Miskin Miskin Miskin Kab. Gorontalo 138,300 33.97 138,600 34.49 129,738 32.07 Kota Gorontalo 15,700 10.77 15,200 10.06 11,965 8.11 Kab. Boalemo 33,380 32.53 32,500 31.47 32,727 29.21 Kab. Pohuwato 34,500 33.15 32,700 31.88 31,338 29.74 Kab. Bone Bolango 35,400 29.43 36,000 30.23 36,132 30.60 Provinsi Gorontalo 257,280 29.25 255,000 29.05 241,900 27.35 Daerah
Sumber : Sewindu Gorontalo, BPS Gorontalo, 2009
Sumber : BPS, 2009
Gambar 4.5 Persentase Kemiskinan di Sulawesi dan Nasional Meskipun mengalami penurunan dalam jumlah absolut dan persentase, tetapi kondisi kemiskinan di Provinsi Gorontalo tetap masih di atas daerah lainnya di Sulawesi dan di atas rata-rata nasional. Tahun 2005 berada dalam posisi ketiga dan selama tahun 2006 sampai 2008 di posisi keempat nasional. Capaian yang sangat kontradiksi dibanding capain pertumbuhan ekonominya.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Struktur Perekonomian di Provinsi Gorontalo Seperti umumnya provinsi di Indonesia, Gorontalo merupakan daerah dengan kontribusi sektor pertanian yang terbesar. Lebih dari 30% PDRB Gorontalo selama menjadi provinsi dibentuk dari aktivitas pertanian. Sektor jasa serta sektor perdagangan hotel dan restoran merupakan penyumbang terbesar lainnya dengan kontribusi rata-rata 17.59% dan 14.74% per tahun. Meskipun pertanian merupakan penyumbang terbesar, namun memiliki laju pertumbuhan ekonomi sektoral relatif rendah, hanya rata-rata 4.85% per tahun. Pertumbuhan ini relatif kecil dibandingkan dengan laju sektor listrik yang memiliki kontribusi tidak cukup 1% namun dengan laju pertumbuhan 11.04%. Laju pertumbuhan sektor pertanian terbesar adalah pada tahun 2002 (6.90%) dan terendah di tahun 2008 (3.25%). Sektor yang memiliki rata-rata pertumbuhan terbesar adalah sektor perdagangan (15.25%), listrik (11.04%) dan pertambangan (8.59%). Seluruh sektor pertumbuhannya fluktuatif.
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2009
Gambar 5.1 Proporsi dan Laju Pertumbuhan PDRB Sektoral Riil Provinsi Gorontalo 2001-2008
49 Terdapat kesenjangan dalam struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo jika antara kontribusi dan pertumbuhan PDRB (pertumbuhan ekonomi sektoral) ini dikaitkan dengan kontribusi dan pertumbuhan tenaga kerja sektoral. Misalnya untuk sektor pertanian dari tahun 2003 ke tahun 2006 memiliki kontribusi PDRB sektor di atas 30%, relatif terbesar dibanding kontribusi sektor lainnya. Demikian halnya dengan kontribusi tenaga kerja sektoralnya yang mencapai separuh dari total penggunaan tenaga kerja yang ada di Gorontalo. Namun kontribusi PDRB sektor pertanian yang relatif besar ini hanya diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi (laju pertumbuhan PDRB) yang relatif rendah dibanding sektor lainnya (dari 3.48% di tahun 2003 menjadi 5.5% di tahun 2006). Bandingkan dengan sektor listrik yang hanya memiliki kontribusi PDRB 0.93% di tahun 2003 menjadi 0.96 di tahun 2006 tetapi memiliki peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sektor pertanian, yaitu dari 6.25% di tahun 2003 menjadi 6.59% di tahun 2006. Ketimpangan ini didukung pula oleh perbedaan pada kontribusi dan laju pertumbuhan pada tenaga kerja sektoral. Sektor pertanian bukan hanya memiliki kontribusi PDRB yang terbesar, tetapi juga kontribusi tenaga kerja sektoral yang terbesar (49.44% di tahun 2003 menjadi 50.63% di tahun 2006). Berbeda dengan kontribusi PDRB terbesar yang diikuti dengan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah, kontribusi tenaga kerja sektoral pertanian justru diikuti oleh laju pertumbuhan tenaga kerja yang relatif tinggi. Di tahun 2003 proporsi tenaga kerjanya sebesar 49.44%, menjadi 50.63% di tahun 2006. Capaian ini searah dengan laju pertumbuhan tenaga kerja yang juga relatif tinggi dibanding daerah lainnya (1.19% di tahun 2003 menjadi 13.24% di tahun 2006). Disatu sisi, sektor-sektor yang memiliki kontribusi PDRB yang relatif kecil justru memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dengan kontribusi tenaga kerja sektoral yang relatif rendah dan laju pertumbuhan tenaga kerja sektoral yang jumlahnya cenderung menurun. Seperti halnya yang terjadi pada sektor listrik yang memiliki kontribusi PDRB yang relatif kecil dan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian, sektor listrik juga memiliki kontribusi tenaga kerja sektoral yang relatif rendah dibanding sektor pertanian (0.12% di tahun 2003 turun menjadi 0.11% di tahun
50 2006). Selain itu, terjadi penurunan yang sangat signifikan pada laju pertumbuhan tenaga kerjanya, dari 8.79% di tahun 2003 menjadi -2.58% di tahun 2006. Keadaan ini menyebabkan tenaga kerja di sektor pertanian akan menerima PDRB perkapita yang lebih rendah dibanding sektor listrik dan sektor lainnya yang lebih kompetitif dari aspek tenaga kerja sektoral. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka gap antara sektor akan semakin melebar sehingga ketimpangan pembangunan berpeluang semakin melebar pula. Jumlah PDRB Kab/Kota
Pertumbuhan Ekonomi Kab/Kota
Sumber: BPS Provinsi Gorontalo, 2009 Tahun 2008: Data sementara
Gambar 5.2 Nilai PDRB Riil dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Riil Kab/Kota di Provinsi Gorontalo tahun 2001-2008 Dari aspek wilayah, ketimpangan dalam struktur ekonomi masih diakibatkan oleh perbedaan dalam proporsi kepemilikan PDRB dan dinamika pertumbuhan PDRB pada setiap wilayah seperti yang ditunjukkan dalam gambar 5.2. Kabupaten Gorontalo merupakan daerah dengan kontribusi nilai PDRB riil terbesar, rata-rata 38% terhadap PDRB Provinsi Gorontalo. Dari 2.369 milyar rupiah nilai PDRB riil provinsi di tahun 2008, 38% (899 milyar) merupakan kontribusi dari Kabupaten Gorontalo, 21% dari Kota Gorontalo, 19% Pohuwato, 12% Boalemo dan 10% dari Bone Bolango. Besarnya kontribusi PDRB setiap wilayah ini tidak diikuti dengan pertumbuhan yang proporsional. Artinya, daerah yang memiliki PDRB terbesar
51 justru memiliki laju pertumbuhan PDRB yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah yang memiliki kontribusi PDRB yang kecil. Sampai dengan tahun 2007, rata-rata pertumbuhan ekonomi terbesar dimiliki Kabupaten Pohuwato (7,16%), lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan provinsi (6,45%). Kota Gorontalo, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango masingmasing dengan pertumbuhan sebesar 6,93%; 6,46%; 6,21% dan 5,18% pertahun. Ketimpangan dalam proporsi dan laju pertumbuhan ini jika dianalisis lebih lanjut bersama dengan analisis jumlah penduduk, maka ketimpangan selanjutnya yang akan terjadi adalah ketimpangan dalam PDRB perkapita (pembahasan lebih lanjut terdapat dalam Sumber Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo. Pada gambar 5.2 juga menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi riil kabupaten/kota yang ada di Provinsi Gorontalo juga cenderung mengalami penurunan. Hal ini terutama disebabkan karena faktor alam dimana sepanjang tahun 2008 terjadi beberapa kali bencana banjir yang hampir merata di seluruh wilayah provinsi. Selain merusak infrastruktur seperti jalan, jembatan, bangunanbangunan publik seperti sekolah, perkantoran, pasar tradisional dan pemukiman penduduk, banjir juga mengakibatkan lahan-lahan pertanian rusak, kemudian mengganggu kegiatan produksi dan ekspor. Akibat akhirnya adalah menurunnya kemampuan berkonsumsi masyarakat. 5.1.1 Analisis Shift Share Shift-share analysis merupakan salah satu dari teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Atau dengan kata lain melakukan dekomposisi terhadap pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam suatu wilayah. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil
analisis
shift-share
juga
menjelaskan
kemampuan
berkompetisi
(competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Dalam penelitian ini, wilayah referensi adalah Provinsi Gorontalo dan unit analisisnya adalah empat wilayah kabupaten (Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan Bone Bolango) serta Kota Gorontalo. Hasil analisis ini akan menjelaskan kinerja (performance) kabupaten/kota dan membandingkannya dengan kinerjanya dalam wilayah
52 Provinsi Gorontalo. Hasil dekomposisi pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo seperti dalam tabel berikut: Tabel 5.1 Nilai Analisis Shift-Share di Provinsi Gorontalo rata-rata tahun 2001-2007 Uraian Regional Share Proportional Shift
Pertanian
Pertamban Listrik, Perdagangan, PengangkutanKeu,Perush Industri Bangunan/ gan & Gas & Air Hotel & & & Jasa Jasa-Jasa Pengolahan Konstruksi Penggalian Minum Restoran Komunikasi Perusah 0.0615
-0.0113
-0.0051
-0.0140 0.0097
0.0060 -0.0331 0.0213 -0.0120 -0.0064
0.0152 -0.0018 -0.0523 -0.0226 -0.0014
-0.0226 0.0340 -0.0084 0.0380 -0.0097
-0.0286
0.0118
0.0080
0.0576
-0.0046
Differential Shift Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Boalemo Pohuwato Bonbol
0.0075 -0.0192 0.1140 0.0182 -0.0034
0.0034 0.0052 -0.0310 0.0136 0.0059
-0.0384 0.0014 0.0175 0.0802 -0.0417
0.0129 0.0067 -0.0397 -0.0238 -0.0141
0.0205 -0.0499 0.0079 0.0017 0.0890
-0.0025 0.0051 -0.0132 0.0392 -0.0217
SSA Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Boalemo Pohuwato Bonbol
0.0563 0.0172 0.0715 0.0382 0.0438
0.0715 0.0546 0.0041 0.0338 0.0549
0.0249 0.0816 0.0391 0.0856 0.0378
0.0787 0.0521 0.1852 0.0894 0.0678
0.0363 0.0381 0.0019 0.0465 0.0387
0.0348 0.0747 0.0908 0.1535 0.0316
0.0824 0.0763 0.0298 0.0457 0.0554
0.1395 0.0692 0.1270 0.1208 0.2080
Sumber: Hasil Perhitungan Ket: cetak tebal adalah sektor yang memiliki nilai tertinggi dalam wilayah; cetak garis bawah adalah nilai tertinggi dalam setiap sektor.
5.1.1.1 Komponen Regional Share Nilai regional share tak lain menunjukan besarnya pertumbuhan ekonomi provinsi. Selama kurun waktu 2001-2007, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo rata-rata meningkat sebesar 0.0615 atau 6,15% per tahun. Nilai ini juga menunjukan kontribusi rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi terhadap kabupaten dan kotanya.
0.0544 0.0620 0.0438 0.0961 0.0352
53
Sumber: Hasil Perhitungan
Gambar 5.3 Nilai Regional Share Provinsi Gorontalo Penurunan pertumbuhan yang cukup drastis di tahun 2008 seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya terutama disebabkan oleh faktor alam. Selama tahun tersebut, Gorontalo mengalami beberapa kali bencana banjir yang terjadi hampir di seluruh wilayah kabupaten dan kota yang menyebabkan kerusakan pada berbagai fasilitas yang dimiliki dan akhirnya berpengaruh pada proses produksi. Banyak lahan sawah yang mengalami gagal panen akibat terendam banjir. Selain itu, orientasi investasi yang lebih ditujukan pada sektor non industri menyebabkan efek pengganda pembangunan juga lebih menurun di tahun 2008. 5.1.1.2 Komponen Proportionality Shift Komponen kedua dalam analisis shift share adalah proportionality shift. Dari komponen ini diperoleh hasil secara rata-rata terdapat lima sektor yang memiliki pertumbuhan di bawah pertumbuhan provinsi, yaitu sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, bangunan dan jasa. Dengan kata lain, kelima sektor tersebut aktivitas ekonominya tumbuh lebih lambat dibanding aktivitas ekonomi provinsi. Sektor pertanian sebagai sektor yang memiliki proporsi PDRB terbesar memiliki dinamika yang relatif konstan pada semua wilayah. Hal ini juga diperkuat dengan terspesialisasinya sektor ini hanya pada tahun 2002 saja. Penggunaan teknologi yang belum merata tidak hanya berpengaruh pada sektor pertanian itu sendiri, tetapi juga pada sektor industri pengolahan yang sumber
54 bahan bakunya berasal dari sektor pertanian. Aktivitas hotel dan restoran juga relatif
tidak
terspesialisasi
karena
aspek
pariwisata
belum
signifikan
meningkatkan pendapatan bagi daerah. Sektor jasa yang berkembang di Gorontalo umumnya masih didominasi oleh jasa pemerintah dan masih minimnya kontribusi jasa dari sektor swasta/masyarakat secara umum sehingga sektor ini pun tidak terspesialisasi.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.4 Nilai Proportionality Shift Provinsi Gorontalo Dari gambar perkembangan nilai proportionality shift di atas, seluruh sektor pertumbuhannya fluktuatif. Sektor yang rata-rata memiliki nilai proportionality shift yang positif adalah sektor listrik, perdagangan, pengangkutan dan keuangan. Meski rata-rata memiliki nilai yang positif, sektor listrik, gas dan air minum mengalami penurunan signifikan di tahun 2006 dan 2008. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas kelistrikan yang berdampak pada pemadaman listrik bergilir diseluruh wilayah Gorontalo selama 8 tahun terakhir. Kinerja pelayanan air bersih didaerah oleh PDAM yang relatif rendah juga masih dikeluhkan para pelanggan. Untuk itu dilakukan pembenahan dengan melakukan penambahan daya pembangkit listrik. Meskipun secara rata-rata selama tahun 2002-2008 sektor ini terspesialisasi (diatas pertumbuhan ekonomi provinsi), tetapi krisis listrik di
55 Gorontalo makin memprihatinkan dengan meningkatnya intensitas pemadaman bergilir pada semua wilayah kabupaten kota dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sektor
perdagangan,
pertumbuhannya
relatif
hotel
lebih
dan
baik
restoran dibanding
juga sektor
berfluktuasi perdagangan
tetapi dan
pengangkutan. Meskipun sempat berkontraksi di tahun 2006-2007 namun di tahun 2008 kembali meningkat dan lebih tinggi dibanding tahun 2002. Pembukaan berbagai akses sarana transportasi baik darat, perairan maupun udara merupakan tuntutan untuk dapat menarik para investor, sehingga mendorong sektor ini rata-rata tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi provinsi. Namun perkembangan yang terjadi cenderung mengalami penurunan. Kondisi geografi yang kebanyakan masih sulit terjangkau menyebabkan akses pembukaan maupun perawatan dan perbaikan sarana transportasi dan komunikasi mengalami kendala. Aktivitas banjir yang rutin melanda wilayah Gorontalo juga memperparah kondisi sektor ini, khususnya untuk transportasi darat. Meski demikian, sektor ini memiliki pertumbuhan rata-rata di atas pertumbuhan ekonomi provinsi. Penurunan pada sektor pertambangan disebabkan penutupan beberapa areal penambangan liar, khususnya untuk bahan galian di wilayah Kota Gorontalo serta pertambangan emas di wilayah Boalemo dan Pohuwato di tahun 2004 dan 2005. Peningkatan yang signifikan kembali terjadi di tahun 2006 dengan adanya penemuan areal tambang baru di wilayah Bone Bolango. Namun dalam perkembangannya pemanfaatan areal tambang ini masih menimbulkan pro kontra sehubungan dengan ancaman kerusakan lingkungan. Hal ini menyebabkan beberapa areal terpaksa ditutup dan masih menunggu kemungkinan untuk dapat dilakukan eksploitasi kembali. Pertumbuhan negatif sektor bangunan terjadi sampai tahun 2005 dan kembali negatif di tahun 2007 sampai 2008 disebabkan bencana alam seperti banjir dan gempa bumi yang acap kali menimpa Gorontalo. Hal ini menyebabkan selama tahun 2002 sampai 2008 sektor bangunan mengalami pertumbuhan yang negatif. Perkembangan usaha real estate guna menjawab pemenuhan kebutuhan perumahan sebenarnya sejak awal sudah ada. Namun perkembangan yang signifikan terjadi di tahun 2006. Hal yang hampir sama terjadi pada sektor
56 keuangan. Progres yang cukup baik di awal terbentuknya provinsi selanjutnya mengalami penurunan hingga tahun 2005. Selanjutnya terjadi peningkatan hingga tahun 2008 di atas sektor lainya karena aktivitas sebagai daerah dalam pengembangan merupakan rangsangan bagi setiap individu untuk eksis dalam sektor ini. Setiap
sektor
dalam
proportionalty
shift
pada
masing-masing
kabupaten/kota dapat dihitung besarnya nilai peningkatan/penurunan dengan mengalikan setiap nilainya dengan nilai PDRB sektor pada masing-masing kabupaten dan kota (hasilnya adalah nilai magnitude yang ada dalam lampiran). Total hasil penjumlahannya untuk setiap kabupaten/kota menunjukkan dampak dari bauran industri (industrial mix). Jika positif, berarti bauran industri berdampak positif terhadap perekonomian kabupaten kota yang bersangkutan, demikian sebaliknya. Berdasarkan perhitungan pada setiap kabupaten dan kota (lampiran 2) diperoleh hasil bahwa daerah yang memiliki dampak positif dengan adanya bauran industri selama tahun 2002–2008 adalah Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo dengan kontribusi pertumbuhan rata-rata sebesar 2,029.91 juta rupiah dan 174.81 juta rupiah. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan aktivitas ekonomi rata-rata selama tahun 2002–2008 yang positif pada sektor listrik, perdagangan, pengangkutan dan keuangan bagi Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo telah mampu menciptakan aktivitas perekonomian secara agregat yang tumbuh lebih cepat dan terspesialisasi dibanding aktivitas provinsi dan daerah lainnya di Gorontalo. 5.1.1.3 Komponen Differential Shift Bagian terakhir dari analisis shift share adalah differential shift yaitu komponen yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah pada setiap sektor karena kondisi spesifik daerah yang kompetitif. Hasil dekomposisi pertumbuhan pada komponen ini juga dapat menggambarkan perbedaan struktur ekonomi dalam setiap wilayah pada masing-masing sektor. A. Kabupaten Gorontalo. Selama tahun 2001-2008, Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo merupakan wilayah yang kompetitif di sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini disebabkan keberadaan sarana transportasi udara Provinsi Gorontalo
57 dan transportasi laut antarpulau sebagian besar menggunakan fasiltas pelabuhan pada wilayah ini. Tetapi khusus untuk pelabuhan laut, saat ini telah menjadi aset Kabupaten Gorontalo Utara sebagai daerah mekarannya. Aspek kompetitif daerah ini pada sektor pertanian ternyata masih lebih rendah dibanding Kabupaten Boalemo, padahal kepemilikan potensi pertanian di daerah ini lebih besar dibanding Boalemo. Misalnya luas areal sawah Kabupaten Gorontalo mencakup 65% dari total sawah di Provinsi Gorontalo sementara Kabupaten Boalemo hanya 14% saja, areal bukan sawah Kabupaten Gorontalo sebesar 25% dan Kabupaten Boalemo hanya 23%. Dengan mengalikan nilai setiap koefisen sektor dengan nilai PDRB sektor yang bersangkutan maka akan diperoleh besarnya pertumbuhan PDRB sektor dalam rupiah, dan hasil penjumlahan dari seluruh sektor akan menggambarkan tingkat kompetitif daerah/wilayah secara agregat. Dari hasil perhitungan pada Lampiran 2 diperoleh hasil bahwa pertumbuhan Kabupaten Gorontalo turun sebesar
1,641.79 juta rupiah atau secara agregat
perekonomian Kabupaten Gorontalo tidak kompetitif. Jadi, sangat wajar Kabupaten Gorontalo perekonomianya secara rata-rata tidak kompetitif meskipun sektor pertanian sebagai kontributor PDRB terbesar termasuk sektor yang kompetitif. Hal ini disebabkan akumulasi pertumbuhan PDRB dari sektor pertanian dan pengangkutan tidak dapat mengimbangi besarnya nilai sektor yang tidak kompetitif. Rendahnya koefisen differential shift (tingkat kompetitif) dapat disebabkan oleh belum maksimalnya penerapan teknologi pada sektor pertanian. Selain itu, pembukaan areal pertanian pada daerahdaerah yang rawan atau pembukaan hutan yang tidak tepat telah menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor yang justru menyebabkan penurunan produksi pertanian.
58
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.5 Nilai Differential Shift Kabupaten Gorontalo Dari analisis tahunan seperti dalam gambar di atas terdapat penurunan signifikan maupun nilai negatif di tahun 2002 yang selanjutnya diikuti peningkatan signifikan di tahun berikutnya pada sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, pengangkutan dan keuangan. Faktor penyebab kelima sektor tersebut adalah adanya perubahan dinamika ekonomi secara keseluruhan karena adanya pemekaran wilayah. Disaat tahun pertama, terjadi penurunan yang sangat signifikan, selanjutnya meningkat lagi. Sektor pertambangan, terdapat pembukaan areal pertambangan baru seperti di Kecamatan Mootilango, Sumalata dan Kecamatan Kwandang. Euforia sebagai daerah baru menyebabkan pembukaan areal tambang yang tidak terkontrol, sehingga dilakukan penertiban yang berefek pada ketidakstabilan pertumbuhan di tahun selanjutnya bahkan cenderung menurun. Sektor listrik yang rendah di tahun awal selanjutnya mengalami peningkatan yang signifkan juga merupakan respon atas pembangunan sebagai daerah baru yang terpisah dengan Sulut. Selanjutnya kinerja sektor listrik Kabupaten Gorontalo kembali menurun sebagai akibat krisis listrik yang terjadi hingga saat ini. Demikian halnya dengan sektor bangunan dan keuangan. Keduanya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, lalu berfluktuasi. Meskipun ketiga sektor ini sangat fluktuatif, tetapi akumulasinya
59 memberikan pertumbuhan ekonomi sektor di atas pertumbuhan ekonomi provinsi. Sektor pengangkutan mengalami pertumbuhan negatif di tahun 2002 karena realisasi terhadap pengangkutan dan komunikasi tidak secepat sektor lainnya. Di satu sisi sarana pengangkutan dan komunikasi banyak yang mengalami kerusakan baik faktor usia maupun faktor alam.memasuki tahun 2003 dan 2004, banyak proyek di sektor ini yang direalisasikan, terutama untuk membuka areal terisolir yang masih mendominasi beberapa kecamatan di daerah ini. Penurunan kembali setelah tahun 2004 tidak berarti bahwa tidak terdapat peningkatan pada sektor ini. Jumlah absolute PDRB sektor tetap meningkat, tetapi peningkatan ini mengalami penurunan. B. Kota Gorontalo Kota Gorontalo sebagai pusat pemerintahan, aspek pengangkutan merupakan hal yang menjadi fokus perhatian. Selain itu, sarana pelabuhan laut yang melayani perdagangan antarpulau dan ke luar negeri mendukung sektor ini menjadi sektor yang kompetitif. Hasil analisis differential shift menunjukkan rata-rata wilayah Kota Gorontalo selama tahun 2002-2008 memiliki keunggulan pada sektor industri pengolahan, bangunan, perdagangan, pengangkutan dan jasa. Sektor industri pengolahan tumbuh sebagai sektor yang kompetitif karena adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu sebagai ibu kota provinsi, Kota Gorontalo memiliki akses yang mudah terhadap bahan baku karena pada umumnya hasil-hasil dari daerah dibawa untuk diperdagangkan pada wilayah ini. Peningkatan pada sektor ini yang terbesar terjadi di tahun 2005 karena disebabkan dukungan program pemerintah berupa Usaha Ekonomi Produktif yang intens diberdayakan pada tahun 2004. Program ini banyak direspon oleh usaha kecil, namun proses pendampingan yang tidak kontinyu menyebabkan program ini mengalami kegagalan pada tahun-tahun berikutnya.
60
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.6 Nilai Differential Shift Kota Gorontalo Sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan signifikan sebelum tahun 2004, tetapi setelah itu mengalami pertumbuhan negatif. Fluktuasi sektor ini disebabkan aktivitas keuangan yang terjadi di Gorontalo umumnya masih didominasi oleh belanja pemerintah beserta aparatnya (PNS). C. Kabupaten Boalemo Sektor yang kompetitif meliputi pertanian, perdagangan, keuangan dan sektor listrik dengan nilai competitiveness yang terbesar. Sektor pertanian dan listrik merupakan sektor dengan nilai tertinggi dibandingkan dengan daerah lainnya pada masing-masing sektor tersebut. Dekomposisi pertumbuhan dari komponen ini memberikan nilai positif karena sektor yang kompetitif memiliki kontribusi PDRB terbesar (sektor pertanian memiliki kontribusi PDRB 41% dan sektor perdagangan 13%) dan juga memiliki nilai relatif besar dibanding sektor lainnya pada daerah tersebut ataupun daerah lainnya. Selain itu, sektor listrik yang hanya memiliki kontribusi PDRB sebesar 0.6% memiliki nilai yang relatif besar (0.1093) lebih besar dibanding nilai sektor lain pada daerahnya dan juga relatif lebih besar jika dibandingkan nilai daerah lainnya.
61
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.7 Nilai Differential Shift Kabupaten Boalemo Dalam analisis tahunan, sektor listrik meningkat tajam di tahun 2003. Hal ini disebabkan adanya upaya dalam menangani krisis listrik yang terjadi di Gorontalo. Selain berusaha meningkatkan kapasitas pelayanan listrik yang dilakukan terpusat dengan pembangkit induk, pemerintah bersama-sama masyarakat setempat juga melakukan upaya pengadaan pembangkit listrik lokal. Selain itu dari aspek air minum, keberadaan PDAM mengalami permintaan seiring dengan perkembangan Kota Tilamuta sebagai pusat kabupaten. Perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang sangat fluktuatif tidak terlepas dari perkembangan ekonomi Kabupaten Pohuwato sebagai daerah mekarannya. Tarik menarik antara kedua daerah ini disebabkan selain memiliki potensi alam dan sumber daya lainnya yang relatif sama, juga memiliki kedekatan dalam aspek geografis. Dalam gambar 5.7 dan 5.8 dapat dibandingkan perkembangan sektor perdagangan,hotel dan restoran. Di saat sektor ini naik di daerah Boalemo, maka di Pohuwato mengalami penurunan, demikian sebaliknya jika di Pohuwato mengalami peningkatan maka di Boalemo justru mengalami penurunan.
62 D. Kabupaten Pohuwato Jumlah sektor yang kompetitif Kabupaten Pohuwato lebih banyak dibandingkan yang dimiliki oleh Kabupaten Boalemo sebagai daerah induk sebelum daerah ini menjadi kabupaten tersendiri. Daerah ini juga secara umum menghasilkan kontribusi competitiveness bagi perekonomiannya. Sektor yang kompetitif adalah sektor industri pengolahan, listrik, bangunan, keuangan, jasa dan perdagangan sebagai sektor yang memiliki nilai competitiveness tertinggi dibanding sektor lainnya pada daerah tersebut. Dari enam sektor tersebut, sektor perdagangan dan jasa merupakan sektor yang memiliki nilai terbesar dibanding daerah lainnya pada masing-masing sektor yang bersangkutan.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.8 Nilai Differential Shift Kabupaten Pohuwato Sektor industri pengolahan di Kabupaten Pohuwato perkembangannya lebih bagus dibanding Kota Gorontalo. Hal ini antara lain disebabkan kelompok masyarakat khususnya binaan dari dinas sosial lebih banyak dan kegiatannya lebih kontinyu di daerah ini. Sehingga meskipun tingkat teknologi dan sumber daya manusia yang digunakan mungkin lebih baik di Kota Gorontalo, tetapi Kabupaten Pohuwato masih lebih unggul. Kabupaten Pohuwato juga unggul dari ketersediaan bahan baku yang digunakan dalam
63 kegiatan industri khususnya dari sektor pertanian (hasil perkebunan, kebun, hutan, peternakan, maupun perikanan). Sama halnya dengan industri pengolahan, sektor jasa yang kompetitif hanya dimiliki oleh daerah Kota Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Meski sebagai daerah yang relatif muda, tetapi perkembangan sektor jasa di wilayah ini lebih baik dibanding Kota Gorontalo (pertumbuhan sektor jasa Pohuwato 3.92% dan Kota Gorontalo 0.51%). Hal ini didukung oleh posisi wilayahnya sebagai daerah penghubung antara Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tengah sehingga kegiatan sektor jasa yang berkembang bukan hanya dari pemerintah tetapi juga dari sektor swasta. Seperti penjelasan sebelumnya bahwa fluktuasi sektor perdagangan antara Kabupaten Boalemo memiliki keterkaitan yang negatif. Terlepas dari hal tersebut, kompetitif dari sektor ini disebabkan oleh posisi kedua daerah sebagai penghubung Gorontalo dengan Sulawesi Tengah dan daerah lainnya di Sulawesi melalui angkutan darat. E. Kabupaten Bone Bolango Sektor kompetitif yang dimiliki hanya pada sektor bangunan dan keuangan. Meskipun sektor keuangan juga merupakan sektor dengan nilai competitiveness tertinggi dibanding sektor keuangan yang dimiliki daerah lainnya, tetapi dukungan hanya dari dua sektor saja tidak mampu memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerahnya. Banyaknya sektor yang tidak kompetitif dimungkinkan oleh kondisi daerah yang umumnya memiliki potensi yang relatif dibawah jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Misalnya untuk daya dukung sektor pertanian dari aspek pemilikan lahan, daerah ini hanya memiliki 6% areal persawahan dan 15% areal non sawah dari total provinsi, serta rata-rata produksi hasil pertanian yang relatif rendah dibanding kabupaten lainnya di Gorontalo. Selain itu juga aspek infrastruktur pendukung pembangunan yang relatif masih kurang mengingat daerah ini secara yuridis pada tahun 2003 merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo.
64
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.9 Nilai Differential Shift Kabupaten Bone Bolango Sektor keuangan mengalami pertumbuhan yang cukup ekstrim dari tahun 2002 yang dalam posisi -0.123 dan menjadi 0.3970 di tahun 2003 sebagai posisi pertumbuhan tertinggi. Hal ini juga disebabkan oleh respon terhadap pemekaran provinsi dan dilanjutkan dengan respon terhadap berdirinya daerah ini secara yuridis di tahun 2003. Setelah itu pertumbuhan mengalami penurunan yang disebabkan berbagai konflik politik yang melanda daerah ini setelah selama 3 tahun resmi sebagai wilayah sendiri. Dengan demikian dari komponen analisis proportionality shift dan differential shift diperoleh hasil bahwa ekonomi Kabupaten Bone Bolango tumbuh sebagai perekonomian yang tidak terspesialisasi dan tidak kompetitif. Dari hasil Shift-Share Analysis (SSA) ternyata sektor yang potensial dan pertumbuhan ekonomi yang terbesar di masing-masing kabupaten kota di Gorontalo rata-rata terjadi pada sektor non pertanian (sektor tersier dan sekunder). Artinya telah terjadi transformasi struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo selama kurun waktu 2002-2008. Hasil ini dapat dilihat dari perbandingan hasil SSA dalam interval tahun 2002–2008 seperti dalam lampiran 3. Pada masing-masing wilayah diambil 3 sektor yang memiliki pertumbuhan terbesar pada komponen proportionality shift dan differential shift. Diperoleh hasil bahwa sektor sekunder dan tersier memiliki dekomposisi pertumbuhan yang lebih baik dari sektor primer karena memiliki sektor yang memiliki koefisien terbesar. Hal ini sejalan dengan
65 pemikiran Kuznet bahwa perubahan struktur (transformasi struktural) merupakn rangkaian perubahan yang saling terkait. Perubahan yang terjadi pada sektor sekunder dan tersier disebabkan perubahan yang terjadi pada sektor primer, demikian sebaliknya. Kegiatan perekonomian perlahan beralih ke sektor sekunder dan tersier sehingga menyebabkan sektor primer semakin konstan. Rata–rata hasil SSA selama periode tahun 2001–2007 menunjukkan:
Kabupaten Gorontalo: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,1395) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0205), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
Kota Gorontalo: memiliki nilai SSA sektor industri pengolahan (0,0816) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0340), Proportionality Shift (-0,0140) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
Kabupaten Boalemo: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,1395) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0205), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
Kabupaten Pohuwato: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,1395) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0205), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
Kabupaten Bone Bolango: memiliki nilai SSA sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan (0,2080) lebih besar dibanding Diferential Shift (0,0890), Proportionality Shift (0,0576) dan Regional Share (0,0615). Ini berarti bahwa sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang paling kompetitif di daerah ini.
66 5.1.2 Tipologi Klassen Dengan menggunakan data tentang pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita, maka kita dapat menjelaskan tentang struktur ekonomi suatu wilayah berdasarkan daerah referensinya. Demikian halnya struktur ekonomi di Gorontalo, pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita masing-masing kabupaten/kota dibandingkan dengan capaian tingkat provinsi sebagai daerah referensi. Keadaan laju pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat dalam Tabel 5.2 dan 5.3, berikut ini: Tabel 5.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo, 2001-2008 Wilayah
2001
Kab. Gorontalo 5.39 Kota Gorontalo 7.50 Boalemo 5.87 Pohuwato 7.68 Bonbol 4.27 Provinsi 6.16 Sumber: Hasil Perhitungan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Ratarata
5.05 5.86 6.58 7.79 4.86 5.87
6.07 5.88 6.62 6.90 5.89 6.23
6.66 6.71 6.18 7.00 4.99 6.49
5.88 6.76 6.28 7.24 5.09 6.28
7.00 7.02 6.65 7.25 5.28 6.82
7.40 8.77 7.09 6.30 5.88 7.29
4.21 3.19 4.04 5.04 6.34 4.34
5.96 6.46 6.16 6.90 5.33 6.19
Tabel 5.3 PDRB Perkapita di Provinsi Gorontalo, 2001-2008 Wilayah
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Ratarata
Kab. Gorontalo 1,482,412 1,447,672 1,599,418 1,718,975 1,747,791 1,861,963 1,991,544 2,054,033 1,737,976 Kota Gorontalo 2,387,500 2,508,785 2,481,450 2,634,912 2,659,994 2,795,600 2,987,132 3,029,157 2,685,566 Boalemo
1,970,588 2,121,537 2,027,257 2,117,558 2,080,356 2,140,758 2,212,564 2,222,744 2,111,670
Pohuwato
2,815,379 3,065,452 3,021,580 3,194,552 3,376,004 3,553,874 3,708,841 3,826,252 3,320,242
Bonbol
1,431,413 1,907,331 1,539,048 1,601,364 1,642,039 1,714,336 1,800,424 1,899,786 1,691,968
Provinsi
1,828,951 1,926,703 1,953,758 2,076,726 2,115,371 2,231,114 2,363,747 2,436,246 2,116,577
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari tabel di atas secara umum, daerah/wilayah yang memiliki struktur ekonomi yang relatif baik adalah Kota Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato. Kedua daerah ini memiliki nilai pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita diatas nilai provinsi (high growth and high income). Atau dapat dikatakan termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Sementara Kabupaten Gorontalo, Boalemo dan Bone Bolango termasuk dalam kategori
67 daerah relatif tertinggal (low growth and low income). Dengan membandingkan nilai pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita setiap kabupaten/kota dengan nilai provinsi, daerah-daerah tersebut dapat diklasifikasi dalam 4 kategori, yaitu: 1) Kuadran I: High growth and high income (daerah cepat maju dan cepat tumbuh) 2) Kuadran II: High growth but low income (daerah berkembang cepat) 3) Kuadran III: Low growth and low income (daerah relatif tertinggal) 4) Kuadran IV: High income but low growth (daerah maju tapi tertekan) Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat dalam Matriks Tipologi Klassen, sebagai berikut: Tabel 5.4 Matriks Tipologi Klassen Provinsi Gorontalo, 2001-2008 PDRB perkapita (y) Laju Pertum.(r)
(ri > r)
(ri < r)
(yi < y)
(yi > y)
1. Kab.Gorontalo: 2004, 2006 & 1. Kab.Boalemo:2002,2003 & mean 2007. 2007 2. Kab. Boelamo : 2005. 2. Kota Gorontalo: 2001, 2004-2007, 3. Kab.Bone Bolango: 2008. mean 2007 & mean 2008. 3. Kab.Pohuwato: 2001-2006, 2008 & mean 2007, mean 2008 1. Kab.Gorontalo: 2001-2003, 2005, 1. Kota Gorontalo: 2002,2003, & 2008. 2008, mean 2007 & mean 2008. 2. Kab.Boalemo: 2001, 2004. 2. Kab. Boalemo: 2006-2008 & 3. Kab. Pohuwato: 2007 mean 2008. 3. Kab.Bonbol:2001-2007, mean 2007 & mean 2008.
Sumber: Hasil Perhitungan Keterangan : r : Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. y : Rata-rata PDRB perkapita kabupaten/kota. ri : Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati. yi : PDRB perkapita kabupaten/kota yang diamati
Selama tahun 2001-2008, daerah yang paling sering sebagai daerah relatif tertinggal adalah Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango. Perekonomian Bone Bolango relatif lebih tertinggal selama 2001-2007 karena potensi daerah yang relative minim dibanding daerah lainnya, namun tahun 2008 sudah menunjukan peningkatan menjadi daerah berkembang cepat (high growth but low income). Jika perhitungan pada tahun 2008 dihilangkan karena rata-rata memiliki penurunan yang drastis, maka secara rata-rata selama tahun 2001-2007 Kota Gorontalo, Pohuwato dan Boalemo merupakan daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Berdasarkan Matriks Tipologi Klassen dapat dibuat mapping karakteristik wilayah
68 untuk tahun 2001, 2008, rata-rata selama 2001-2008, rata-rata selama tahun 20012007, pergerakan dari tahun 2001 ke tahun 2008 dan pergerakan dari tahun 20012007, sebagai berikut: Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Tahun 2001 8.0 Kab.Pohuwato Kota Gorontalo
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
7.5
HGLI (II) HGLI
7.0
HGHI (I) HGHI
(III)
(I)
6.5 Kab.Boalemo
6.0 5.5
Kab.Gorontalo
5.0 4.5 4.0 1.2
LGLI (III)
HILG (IV)
Kab.Bonbol
1.4
1.6
1.8
2.0
2.2
2.4
2.6
2.8
3.0
PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah)
Gambar 5.10a Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Tahun 2001 Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Tahun 2008 6.5Kab.Bonbol
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
6.0
5.5
HGLI (II) Kab.Pohuwato
HGHI (I)
5.0
4.5 Kab.Gorontalo Kab.Boalemo 4.0
LGLI (III)
HILG (IV)
3.5 Kota Gorontalo 3.0 1.8
2.0
2.2
2.4
2.6
2.8
3.0
3.2
3.4
3.6
3.8
PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah)
Gambar 5.10b Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Tahun 2008
4.0
69
Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Berdasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Rata-rata Tahun 2001-2008 7.0
Kab.Pohuwato
6.8
HGLI (II)
HGHI (I)
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
6.6 Kota Gorontalo 6.4 Kab.Boalemo
6.2 6.0 Kab.Gorontalo 5.8
LGLI (III) HILG (IV)
5.6 5.4 Kab.Bonbol 5.2 1.6
1.8
2.0
2.2
2.4
2.6
2.8
3.0
3.2
3.4
PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah)
Gambar 5.10c Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Rata-rata Tahun 2001-2008 Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Bardasarkan Laju Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Rata-rata Tahun 2001-2007 7.4 Kab.Pohuwato
7.2 Kota Gorontalo
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
7.0 6.8
HGLI (II)
6.6
HGHI (I) Kab.Boalemo
6.4 Kab.Gorontalo 6.2 6.0 5.8
HILG (IV)
LGLI (III)
5.6 5.4 5.2 5.0 1.4
Kab.Bonbol
1.6
1.8
2.0
2.2
2.4
2.6
2.8
3.0
3.2
PDRB Perkapita (Jutaan Rupiah)
Gambar 5.10d Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo Rata-rata Tahun 2001-2007
3.4
70
Pertumbuhan Ekonomi HGLI (II)
HGHI (I)
Kab.Pohuwato
Kab.Bonbol
Kota Gorontalo
Pendapatan Perkapita
Pendapatan Perkapita
Kab.Gorontalo
LGLI (III)
HILG (IV) Kab.Boalemo
Pertumbuhan Ekonomi Gambar 5.10e Pergerakan Posisi Kabupaten/Kota dalam Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo dari Tahun 2001 ke Tahun 2008 Secara agregat, dari tahun 2001 ke tahun 2008, Kabupaten Pohuwato merupakan daerah yang memiliki struktur ekonomi yang lebih baik ditinjau dari aspek pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita. Pada interval tersebut, Kabupaten Pohuwato berada pada kuadaran sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh, demikian pula dengan nilai rata-rata tipologi Klassennya. Kota Gorontalo mengalami penurunan dari kuadran cepat maju dan cepat tumbuh pada tahun 2001 menjadi daerah maju tapi tertekan pada tahun 2008, namun nilai rata-ratanya tetap di kuadran I. Kabupaten Boalemo mengalami penurunan yang cukup signifikan, dari daerah maju tapi tertekan di tahun 2001 menjadi daerah relatif tertinggal di tahun 2008, demikian pula nilai rata-rata selama tahun 2001-2008. Tetapi rata-rata selama 2001-2007 daerah ini berada di Kuadran I. Kabupaten Bone Bolango di tahun 2001 sebagai daerah relatif terbelakang, selanjutnya meningkat menjadi daerah berkembang cepat meskipun secara rata-rata masih sebagai daerah relatif terbelakang. Kabupaten Gorontalo merupakan daerah relatif terbelakang pada tahun 2001, tahun 2008 dan nilai rata-ratanya.
71 Pertumbuhan Ekonomi HGLI (II)
HGHI (I) Kab.Pohuwato
Kab.Gorontalo
Kota Gorontalo
Pendapatan Perkapita
Pendapatan Perkapita Kab.Bonbol
LGLI (III)
Sumber: Hasil perhitungan
HILG (IV) Kab.Boalemo
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 5.10f Pergerakan Posisi Kabupaten/Kota dalam Matriks Tipologi Klassen di Provinsi Gorontalo dari Tahun 2001 ke Tahun 2007 Dari hasil analisis ini dapat dijelaskan bahwa struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo juga mengalami ketimpangan. Terdapat tiga daerah (Kota Gorontalo, Pohuwato dan Bone Bolango) sebagai daerah cepat maju dan cepat tumbuh, serta dua daerah lainnya (Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango) sebagai daerah relatif tertinggal. Kabupaten Gorontalo sebagai penyumbang terbesar PDRB bagi provinsi, secara keseluruhan masih tergolong sebagai daerah relatif terbelakang. Meskipun perekonomian secara rata-rata terspesialisasi,
tetapi tidak kompetitifnya
perekonomian juga menyebabkan ketimpangan dan keterbelakangan di wilayah ini. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi masih didominasi oleh kontribusi pertumbuhan ekonomi provinsi. Dukungan konsentrasi penduduk terbesar yang berada di daerah ini (46,37% dari total penduduk Provinsi Gorontalo) menyebabkan PDRB perkapita menjadi lebih rendah, sehingga berpengaruh terhadap posisi dalam Matriks Klassen. Di satu sisi, Pohuwato (daerah mekaran dari Boalemo) yang memiliki proporsi PDRB ketiga setelah Kota Gorontalo justru termasuk sebagai kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh.
72 Pohuwato yang mekar dari Boalemo pada tahun 2003, jika analisisnya disatukan sebelum pemekaran, maka selama tahun 2001 dan 2002 Boalemo termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Hal ini menyebabkan Boalemo secara kumulatif termasuk pada daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Jika Pohuwato dihitung terpisah sejak 2001 hingga 2008, maka pada akhirnya Boalemo termasuk pada daerah relatif tertinggal. Artinya Pohuwato memiliki potensi dan struktur ekonomi yang lebih baik karena mampu meningkatkan posisi perekonomian daerah induknya. Meskipun secara umum akumulasi sektornya tidak terspesialisasi, namun dari 9 sembilan sektor, Pohuwato memiliki 4 sektor yang kompetitif, yaitu sektor industri pengolahan, listrik, perdagangan dan jasa, yang memberikan kontribusi rata-rata pertahun sebesar 13% (2.914,99 juta rupiah) bagi peningkatan pertumbuhan ekonominya. Selain itu jumlah penduduknya yang paling sedikit (hanya 11,68% dari total penduduk Provinsi Gorontalo) menyebabkan PDRB perkapita menjadi lebih besar. Hal ini menjadi pendukung sehingga Pohuwato menjadi daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh. Sedangkan bagi Boalemo yang secara umum perekonomiannya juga tidak terspesialisasi dan kompetitif, tetapi tidak dapat menggeser posisinya dari daerah relatif terbelakang (untuk analisis sepanjang 2001-2008). Hal ini disebabkan sektor yang kompetitif lebih sedikit dengan koefisien juga yang relatif kecil sehingga kontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi relatif kecil, rata-rata sebesar 2.2% (295,05 juta rupiah). Sektor yang kompetitif adalah pertanian, listrik dan perdagangan. Jika analisis hanya sampai tahun 2007 maka Boalemo termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Ini berarti bahwa penurunan tahun 2008 cukup berpengaruh terhadap rata-rata kondisi perekonomian secara keseluruhan. Pemisahan bagi Bone Bolango tidak terlalu berpengaruh, baik untuk daerahnya sendiri maupun Kabupaten Gorontalo sebagai daerah induknya. Hasil analisis Klassen untuk tahun 2001 dan 2002 daerah Pohuwato dan Bone Bolango masih gabung dengan daerah induknya dapat dilihat dalam lampiran 4. Kabupaten Bone Bolango sebagai daerah relative terbelakang, juga disebabkan karena secara agregat memiliki sektor yang tidak terspesialisasi dan tidak kompetitif.
73 Pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya karena kontribusi dari pertumbuhan ekonomi provinsi. Kota Gorontalo sebagai pusat pemerintahan wajar berada dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh. Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai pusat pertumbuhan juga sangat memungkinkan wilayah ini untuk mencapai laju pertumbuhan dan pendapatan yang lebih tinggi. Apalagi didukung oleh perekonomian yang meski tidak kompetitif tapi terspesialisasi (hasil SSA). Artinya sektor pertambangan, listrik, perdagangan, pengangkutan, dan keuangan yang merupakan sektor terspesialisasi telah mampu menjadikan bauran industri sebagai pendorong bagi pertumbuhan ekonomi daerah Kota Gorontalo. 5.2.
Ketimpangan
Pembangunan
dan
Sumber
Ketimpangan
Pembangunan di Provinsi Gorontalo 5.2.1. Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo Dengan
menggunakan
nilai
PDRB
perkapita
dan
total
pengeluaran/pendapatan masyarakat dapat diketahui kondisi ketimpangan dalam suatu wilayah. Dengan nilai PDRB perkapita dapat digunakan untuk mendeskripsikan ketimpangan wilayah melalui alat analisis Indeks Williamson. Besarnya pengeluaran/pendapatan masyarakat digunakan dalam menjelaskan ketimpangan melalui Indeks Gini. Dalam penelitian ini, Indeks Gini (Gini Ratio) tidak dilakukan penghitungan karena nilainya sudah diperoleh dari pemerintah setempat. Dengan menggunakan rumus berikut diperoleh nilai Indeks Williamson seperti dalam gambar 5.5. n
IW
i 1
(yi y) 2 (f i /n) ,
0 < Iw < 1
y
Dimana : Iw = Indeks Wllilamson yi = PDRB perkapita di kabupaten/kota i. y = rata-rata PDRB perkapita di Provinsi Gorontalo. fi = jumlah penduduk di kabupaten/kota i. n = jumlah penduduk di Provinsi Gorontalo
74
Sumber: Hasil Perhitungan
Gambar 5.11 Nilai Indeks Williamson Provinsi Gorontalo, 2001-2008 Dari hasil perhitungan Indeks Williamson menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo sampai dengan tahun 2008 relatif besar dibandingkan saat pertama menjadi provinsi, dengan nilai tertinggi sebesar 0,27 yang terjadi pada tahun 2005. Grafik yang semula naik lalu menurun mengindikasikan bahwa Hipotesis Neo-Klasik tentang ketimpangan dengan menggunakan Indeks Williamson berlaku di Gorontalo. Saat awal pembangunan, ketimpangan terus berlanjut hingga titik puncak (divergence), selanjutnya berangsur menurun (convergence).
Sumber : BPS, Bappeda, Hasil Perhitungan, 2009
Gambar 5.12 Indeks Williamson, Persentase Pengangguran dan Persentase Kemiskinan Provinsi Gorontalo
75
Jika dihubungkan dengan kondisi kemiskinan (persentase penduduk miskin) dan pengangguran (persentase pengangguran), naik turunnya indeks ketimpangan, seiring dengan pola perubahan persentase kemiskinan dan pengangguran. Artinya, ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo berkorelasi dengan kedua aspek tersebut. Berbeda dengan Indeks Williamson, Indeks Gini menunjukkan fenomena yang terbalik dengan Hipotesa Neo-Klasik. Data yang diperoleh dari pemerintah setempat menunjukkan bahwa kondisi ketimpangan di Provinsi Gorontalo berdasarkan Indeks Gini, sejak tahun 2001-2008 semakin meningkat. Artinya bahwa
distribusi pendapatan dalam
masyarakat
sebagai
indikator
dari
ketimpangan semakin tidak merata.
Sumber: Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009
Gambar 5.13 Nilai Indeks Gini Provinsi Gorontalo, 2001-2008 Perbedaan kondisi ketimpangan yang dihasilkan Indeks Gini dimungkinkan terjadi
karena
aspek
yang
digunakan
dalam
indeks
ini
adalah
pengeluaran/pendapatan masyarakat. Jadi yang dilihat adalah kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara Indeks Williamson menggunakan data PDRB perkapita. PDRB ataupun PDRB perkapita bisa saja menunjukan nilai yang tinggi, karena yang dihitung adalah nilai produksi.
76
Sumber : BPS, Bappeda, Hasil Perhitungan, 2009
Gambar 5.14 Indeks Gini, Persentase Pengangguran dan Persentase Kemiskinan Provinsi Gorontalo
Antara Indeks Gini dengan aspek kemiskinan dan pengangguran memiliki hubungan yang agak berbeda dengan Indeks Williamson. Sampai dengan tahun 2006, peningkatan pengangguran searah dengan peningkatan Indeks Gini (ketimpangan) dan setelah itu ketimpangan terus meningkat meskipun persentase pengangguran menurun. Demikian halnya dengan persentase kemiskinan, meskipun mengalami penurunan sejak tahun 2003 tapi ketimpangan yang diwakili oleh Indeks Gini tetap mengalami peningkatan. Hal ini berarti bahwa keberhasilan dalam kedua aspek tersebut belum mampu mengurangi perbedaan pendapatan dalam masyarakat. Tabel 5.5 PDRB Perkapita dan Indeks Ketimpangan di Provinsi Gorontalo Daerah
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
1. Kab.Gorontalo
1,482,412
1,447,672
1,599,418
1,718,975
1,747,791
1,861,963
1,991,544
2,054,033
2. Kota Gorontalo
2,387,500
2,508,785
2,481,450
2,634,912
2,659,994
2,795,600
2,987,132
3,029,157
3. Boalemo
1,970,588
2,121,537
2,027,257
2,117,558
2,080,356
2,140,758
2,212,564
2,222,744
4. Pohuwato
2,815,379
3,065,452
3,021,580
3,194,552
3,376,004
3,553,874
3,708,841
3,826,252
5. Bone Bolango
1,431,413
1,907,331
1,539,048
1,601,364
1,642,039
1,714,336
1,800,424
1,899,786
Provinsi
1,828,951
1,926,703
1,953,758
2,076,726
2,115,371
2,231,114
2,363,747
2,436,246
0.2463
0.2615
0.2623
0.2595
0.2700
0.2676
0.2628
0.2593
0.30
0.32
0.33
0.35
0.36
0.38
0.39
0.41
Indeks Williamson Indeks Gini
Sumber: Hasil Perhitungan dan Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009 Yg dicetak tebal adalah nilai maksimum dan digaris bawah nilai minimum
77 Kedua nilai indeks tersebut diatas menggambarkan bahwa ketimpangan di Gorontalo masih cukup besar. Dari nilai PDRB perkapita juga terjadi ketimpangan yang cukup signifikan. Kabupaten Pohuwato sebagai daerah dengan PDRB perkapita tertinggi memiliki nilai PDRB perkapita dua kali lebih besar dibanding daerah yang memiliki PDRB perkapita terrendah yakni Bone Bolango. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketimpangan di Gorontalo baik dari sisi pendapatan maupun PDRB masih relatif cukup besar. Meskipun dari aspek PDRB ketimpangan menunjukan penurunan (berlakunya Hipotesa Neo-Klasik), tetapi dari sisi pendapatan justru menunjukkan peningkatan. Tabel 5.6 Perbandingan PDRB perkapita, IPM, Jumlah Penduduk Miskin, DAU dan DAK kabupaten kota di Provinsi Gorontalo Tahun 2006-2007 Variabel PDRB perkapita (Rp) IPM Penduduk Miskin (jiwa) DAU (Juta Rp) DAK (Juta Rp)
Tahun 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007 2006 2007
Kab.Gorontalo 1.861.963 1.991.544 67,25 67,77 146.891 129.738 309,588 335,122 31,830 55,544
Kota Gorontalo 2.795.600 2.987.132 71,29 71,64 15.981 11.965 208,305 230,813 17,740 34,546
Boalemo 2.140.758 2.212.564 66,40 67,24 37.021 32.727 153,134 174,613 30,720 45,121
Pohuwato 3.553.874 3.708.841 67,42 68,81 35.145 31.338 166,968 192,720 25,660 44,211
Bone Bolango 1.714.336 1.800.424 68,61 69,97 39.094 36.132 177,002 196,016 29,210 42,676
Sumber: BPS dan Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009 Ket: Bercetak tebal; angka tertinggi, bergaris bawah; angka terrendah Data DAU & DAK tahun 2008 beberapa kabupaten belum tersedia
Jika melihat perbandingan PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan jumlah penduduk miskin dengan Dana Perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus masing-masing kabupaten kota di Provinsi Gorontalo pada tahun 2007 (tabel 5.6) dan perbandingan pada beberapa tahun lainnya (Lampiran 5) maka dapat dijelaskan bahwa : PDRB perkapita Bone Bolango tahun 2006 dan 2007 paling kecil dibanding kabupaten kota lainnya tetapi menerima DAU lebih kecil dibanding Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. Selain itu, pada waktu yang sama Bone Bolango juga menerima DAK yang lebih kecil dibanding Kabupaten Gorontalo dan Boalemo. IPM Boalemo tahun 2006-2007 paling kecil dibanding kabupaten kota lainnya tetapi menerima DAU paling kecil serta DAK yang lebih kecil dibanding Kabupaten Gorontalo. Kabupaten Gorontalo memiliki jumlah penduduk miskin terbesar tahun 2006-2007 dan menerima DAU dan DAK paling besar pada
78 periode waktu yang sama. Kota Gorontalo juga menerima DAK paling kecil karena memiliki jumlah penduduk miskin paling kecil di tahun yang sama. Secara umum dapat dikatakan bahwa terjadi hold harmless policy yakni kebijakan alokasi anggaran dalam otonomi daerah yang bukan/tidak mengikuti formulasi DAU murni (daerah kaya justru menerima DAU dan DAK yang relatif besar). Hal ini terjadi karena pemerintah mengantisipasi kemungkinan daerah kaya ingin merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 5.2.2. Sumber Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo 5.2.2.1.
Ketimpangan proporsional pada PDRB per kapita
Kabupaten Pohuwato tidak hanya memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meskipun hanya sebagai penyumbang ketiga dalam pembentukan PDRB provinsi, dengan total kontribusi 19%, tetapi Kabupaten Pohuwato memiliki jumlah PDRB perkapita tertinggi dibanding daerah lainnya maupun rata-rata Provinsi Gorontalo. Kabupaten Gorontalo yang memiliki kontribusi PDRB sebesar 38% tetapi jumlah PDRB perkapita yang relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan perbedaan konsentrasi penduduk pada setiap wilayah. Dari aspek jumlah absolut PDRB perkapita ini nampak adanya ketimpangan pada kelima daerah. Antara daerah yang memiliki jumlah tertinggi dan terrendah memiliki celah (gap) yang cukup besar. Kabupaten Pohuwato sebagai daerah yang memiliki jumlah tertinggi, nilai PDRB perkapitanya 2 kali lipat dari Kabupaten Bone Bolango sebagai daerah dengan PDRB perkapita terendah. Berbeda dengan trend jumlah pendapatan perkapita yang mengalami peningkatan selama tahun 2001-2008, dari aspek pertumbuhan, PDRB perkapita semua daerah sangat fluktuatif. Bahkan dalam beberapa kurun waktu terdapat daerah yang mengalami pertumbuhan negatif. Secara rata-rata, laju pertumbuhan PDRB perkapita tertinggi dimiliki Kabupaten Gorontalo dengan rata-rata 4,66%, lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi (4,12%). Selanjutnya berturut-turut adalah Kabupaten Bone Bolango 4,01%; Kabupaten Pohuwato 3,90%; Kota Gorontalo 3,83% dan Kabupaten Boalemo 2,08%. Struktur dan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gorontalo yang diproksi dengan laju pertumbuhan PDRB perkapita menghasilkan struktur dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik
79 dibanding daerah lainnya. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Gorontalo lebih fluktuatif dibanding laju pertumbuhan penduduknya.
Sumber: BPS, sudah diolah
Gambar 5.15 PDRB Perkapita dan Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita Riil di Gorontalo 5.2.2.2.
Indeks Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia didefinisikan sebagai "suatu proses untuk perluasan pilihan yang lebih banyak kepada penduduk" melalui upaya-upaya pemberdayaan yang mengutamakan peningkatan kemampuan dasar manusia agar dapat sepenuhnya berpartisipasi di segala bidang pembangunan. Elemen-elemen pembangunan manusia secara tegas menggaris-bawahi sasaran yang ingin dicapai, yaitu hidup sehat dan panjang umur, berpendidikan dan dapat menikmati hidup layak. Ini berarti pembangunan manusia merupakan manifestasi dari aspirasi dan tujuan suatu bangsa yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan secara struktural melalui upaya yang sistematis. Sasaran dasar pembangunan pada akhirnya adalah peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat), meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan) serta penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk hidup layak) untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan. United
Nations
Development
Programme
(UNDP)
dalam
model
pembangunannya, menempatkan manusia sebagai titik sentral dalam semua proses dan kegiatan pembangunan. Sejak tahun 1990, UNDP mengeluarkan laporan
80 tahunan perkembangan pembangunan manusia untuk negara-negara di dunia. Salah satu alat ukur untuk melihat aspek-aspek yang relevan dengan pembangunan manusian adalah melaui Human Development Index (HDI) yang dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa hal sebagai berikut: Untuk mengalihkan fokus perhatian para pengambil keputusan, media, dan organisasi non pemerintah dari penggunaan statistik ekonomi biasa, agar lebih menekankan pada pencapaian manusia. IPM diciptakan untuk menegaskan bahwa manusia dan segenap kemampuannya seharusnya menjadi kriteria utama untuk menilai pembangunan sebuah negara, bukannya pertumbuhan ekonomi. Untuk mempertanyakan pilihan-pilihan kebijakan suatu negara: bagaimana dua negara yang tingkat pendapatan perkapitanya sama dapat memiliki IPM yang berbeda. Contohnya, tingkat pendapatan perkapita antara Pakistan dan Vietnam hampir sama, namun harapan hidup dan angka melek huruf antara keduanya sangat berbedaa, sehingga Vietnam memperoleh nilai IPM yang jauh lebih tinggi daripada Pakistan. Perbedaan yang kontras ini memicu perdebatan mengenai kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan dan kesehatan, dan mempertanyakan mengapa yang dicapai oleh satu negara tidak dapat dikejar oleh negara lainnya. Untuk memperlihatkan perbedaan di antara negara-negara, di antara provinsiprovinsi (atau negara bagian), di antara gender, kesukuan dan kelompok sosial-ekonomi lainnya. Dengan memperlihatkan disparitas atau kesenjangan di antara kelompok-kelompok tersebut, maka akan lahir berbagai debat dan diskusi di berbagai negara untuk mencari sumber masalah dan solusinya. IPM merupakan indeks komposit yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu kesehatan, pendidikan dan pendapatan yang diracik menjadi satu secara proporsional. Berdasarkan ketiga indikator tersebut, ditetapkan tiga kelompok negara/wilayah, yaitu: 1. Negara/wilayah dengan tingkat pembangunan manusia yang rendah bila IPMnya berkisar antara 0 sampai 50. Negara yang masuk kategori ini sama sekali atau kurang memperhatikan pembangunan manusia.
81 2. Negara/wilayah dengan tingkat pembangunan manusia sedang jika IPM-nya berkisar antara 51 sampai 79. Negara yang masuk dalam kategori ini mulai memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya. 3. Negara/wilayah dengan tingkat pembangunan manusia tinggi jika IPM-nya berkisar antara 80 sampai 100. Negara yang masuk dalam kategori ini sangat memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya. Dari indikator tersebut, selama tahun 2001-2008, Provinsi Gorontalo maupun kabupaten dan kota di dalamnya termasuk pada level sedang dalam pembangunan manusia. Artinya daerah Gorontalo mulai memperhatikan pembangunan sumber daya manusianya. Daerah dengan nilai indeks tertinggi adalah Kota Gorontalo. Hal ini sangat wajar terjadi karena sebagai pusat pemerintahan, Kota Gorontalo memiliki peluang untuk mencapai kualitas kesehatan, pendidikan dan pendapatan yang lebih baik dibanding daerah lainnya. Capaian IPM di Gorontalo disajikan dalam gambar berikut:
Sumber: Bappeda Provinsi Gorontalo & Kab/Kota, 2009
Gambar 5.16 Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Gorontalo, 2001-2008 Jarak antara line Kota Gorontalo sebagai daerah dengan nilai indeks tertinggi dengan daerah lainnya termasuk nilai indeks provinsi menunjukan ketimpangan pembangunan sumber daya manusia di Provinsi Gorontalo. semakin lebar jaraknya, maka semakin menunjukan adanya ketimpangan dalam pembangunan.
82
Sumber: BPS & Bappeda Provinsi Gorontalo, 2009 Ket:
Kab.Gorontalo,
Kota Gorontalo,
Boalemo,
Pohuwato,
Bone Bolango
Gambar 5.17 Nilai IPM Kecamatan di Provinsi Gorontalo Tahun 2006 Catatan : Terdapat 17 Kecamatan di Kabupaten Gorontalo, 5 di Kota Gorontalo, 7 di Boalemo, 7 di Pohuwato dan 4 di Bone Bolango. Sehingga semuanya berjumlah 40 Kecamatan di Provinsi Gorontalo berikut angka IPMnya pada tahun 2006. Kecamatan Lemito ke bawah berada di dibawah rata-rata IPM Nasional.
Pada tahun 2006, pemerintah Provinsi Gorontalo melakukan perhitungan IPM sampai dengan tingkat kecamatan, seperti dalam gambar 5.17. Dari perhitungan tersebut diperoleh indeks terrendah sebesar 58,03 yang dimiliki Kecamatan Patilanggio Kabupaten Pohuwato dan indeks tertinggi dicapai oleh Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo dengan nilai 73,02. Nilai ini lebih tinggi dibanding capaian nasional sebesar 68,19. Kecamatan Patilanggio adalah satu-
83 satunya daerah yang memiliki IPM dalam interval terendah (58–63) di Provinsi Gorontalo. Seluruh wilayah di Kota Gorontalo (5 kecamatan) termasuk dalam interval tertinggi (68.1-73.02). Selain itu 7 dari 17 kecamatan di Kabupaten Gorontalo, 3 dari 7 kecamatan di Kabupaten Pohuwato, 2 dari 7 kecamatan di Kabupaten Boalemo dan 1 dari 4 kecamatan di Kabupaten Bone Bolango termasuk dalam interval tertinggi. Selebihnya termasuk dalam interval menengah dengan kisaran indeks 63.1–68. Jadi, dari 40 kecamatan di tahun 2006, 54% (22 kecamatan) masih memiliki IPM dibawah nilai nasional. 5.2.2.3.
Rasio Belanja Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur adalah bagian integral dari pembangunan daerah. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik,
yang
dalam
penelitian
ini
adalah prasarana/sarana
yang
mempermudah akses masyarakat dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, sarana air bersih. Infrastruktur jalan provinsi di Provinsi Gorontalo mengalami penurunan dari 468,26 Km di tahun 2001 menjadi 436,63 Km di tahun 2007 (turun 6,75%). Perawatan jalan provinsi relatif terbengkalai yang ditunjukkan oleh proporsi kondisi jalan dalam kategori baik hanya 26%, sisanya 51% rusak berat dan 23% rusak ringan. Kondisi jalan yang sebagian besar dalam keadaan rusak dapat memicu ketimpangan antardaerah / antarwilayah. Untuk jalan nasional meningkat dari 553,61 Km di tahun 2001 menjadi 616,24 Km di tahun 2008 (naik 11,31%). Perawatannya lebih baik dibanding dengan jalan provinsi. yang masuk kategori baik sebesar 79%, dan sisanya 14% rusak berat serta 8% rusak ringan.
84 Tabel 5.7 Kondisi Jalan pada Kab/Kota di Provinsi Gorontalo
2001
Kondisi Jalan Provinsi Rusak Rusak Baik Total Berat Ringan 157.38 212.73 98.15 468.26
Kondisi Jalan Nasional Rusak Rusak Baik Total Berat Ringan 324.66 85.43 143.52 553.61
2002
157.38
212.73
98.15
468.26
32.18
80.43
149.72
262.33
2003
136.46
222.95
108.85
468.26
273.35
57.25
221.31
551.91
2004
107.28
323.95
37.03
468.26
402.63
66.05
83.24
551.92
2005
111.45
207.95
88.86
408.26
442.51
54.55
119.18
616.24
2006
119.25
198.11
90.90
408.26
537.85
53.25
25.14
616.24
2007 114.32 223.19 99.12 436.63 Sumber: Dinas PU Kimpraswil Prov Gorontalo, 2009
485.17
84.43
46.64
616.24
Tahun
Untuk irigasi, juga terdapat peningkatan yang signifikan selang tahun 20022007. Peningkatan ini diharapkan dapat menunjang laju pertumbuhan sektor pertanian yang hingga tahun 2008 paling kecil dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor lainnya padahal memiliki kontribusi terbesar (lebih dari 30%/tahun) bagi pembentukan PDRB.
Sumber : Sewindu Gorontalo (PU Kimpraswil) 2009
Gambar 5.18 Kondisi Daerah Irigasi di Provinsi Gorontalo Untuk sarana pendidikan, dapat dilihat dari jumlah sekolah dan kondisi ruang kelas pada setiap tingkatan sekolah. Selain untuk tingkat SMP yang berada
85 di atas Provinsi Sulawesi Barat, umumnya gedung untuk semua tingkat sekolah berada dibawah provinsi lainnya di Sulawesi. Tabel 5.8 Jumlah Gedung Sekolah di Provinsi Gorontalo Tahun 2007 Daerah Kab.Gorontalo Kota Gorontalo Boalemo Pohuwato Bone Bolango Prov. Gorontalo Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat
SD / MI 422 121 130 106 131 910 2212 2832 6720 2088 1138
SMP / MTs 139 28 43 39 35 284 592 483 1449 342 141
SMA/ MA 30 21 13 12 15 91 268 224 806 175 96
Sumber : Sewindu Gorontalo (Diknas Prov.Gorontalo) 2009
Selain jumlah gedung sekolah yang relatif sedikit, ruang kelas itu sendiri khususnya untuk SD hanya 62% berada dalam kondisi baik. Hal ini disebabkan keberadaan SD yang terpencar sampai dipelosok sehingga kondisi bangunannya banyak yang tidak terawat dengan baik. Ruang kelas untuk SMP lebih baik dibandingkan SD, dengan kondisi ruangan yang baik sebesar 75%. Dengan kondisi lebih dari 85% ruang kelas SMA dan SMK yang berada dalam kondisi baik menunjukkan prasarana untuk tingkatan ini relatif lebih reperesentatif untuk kegiatan belajar mengajar. Tabel 5.9 Kondisi Ruang Kelas di Provinsi Gorontalo Tahun 2007 Kondisi Baik Rusak Ringan SD / MI 5,773 3,584 1,239 SLTP / MTs 1,639 1,224 155 SLTA / MA 570 490 67 SMK 201 201 Sumber : Sewindu Gorontalo (Diknas Prov. Gorontalo), 2009 Ruang Kelas
Jumlah
Rusak Berat 950 260 13 -
Keadaan sarana dan prasarana kesehatan juga masih sangat minim. Hanya ada satu rumah sakit umum pemerintah di setiap daerah kabupaten/kota dan satu rumah sakit swasta di Kota Gorontalo. Jumlah yang belum layak jika
86 dibandingkan dengan kondisi geografis dan banyaknya penduduk yang harus dilayani. Demikian halnya dengan jumlah Puskemas, Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling yang paling sedikit bila dibandingkan provinsi lain di Sulawesi. Sebagai penyokong atas minimnya pelayanan rumah sakit bagi masyarakat pelosok, Gorontalo hanya memiliki 57 Puskesmas, 252 Pustu, dan 58 Pusling. Tabel 5.10 Jumlah Rumah Sakit di Provinsi Gorontalo & Provinsi Se-Sulawesi, Tahun 2007 Jenis Rumah Sakit Kab/Kota/Provinsi
RS Umum
RS Khusus
RS Swasta
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
01. Kab. Boalemo
1
-
-
-
-
1
02. Kab. Gorontalo
1
-
-
-
-
1
03. Kab. Pohuwato
1
-
-
-
-
1
04. Kab. Bone Bolango
1
1
-
-
-
2
05. Kab. Gorontalo Utara
-
-
-
-
-
-
71. Kota Gorontalo
1
-
1
-
-
2
Provinsi Gorontalo
5
1
1
0
1
7
Sulawesi Utara
10
-
14
5
29
29
Sulawesi Tengah
13
1
6
3
8
31
Sulawesi Selatan
-
-
-
-
-
-
12
2
5
2
21
21
Sulawesi Barat 5 1 1 7 Sumber : Indikator Sosial Budaya (Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo ), 2009 Keterangan: - data tidak tersedia
7
Sulawesi Tenggara
RS RS ABRI Lainnya
Jumlah
Untuk penyediaan infrastruktur diatas, dibutuhkan pengeluaran rutin pemerintah dalam jumlah besar pada setiap APBD-nya. Perkembangan belanja infrastruktur yang sangat besar terjadi di Kabupaten Gorontalo pada tahun 20062008. Belanja infrastruktur dalam 3 tahun terakhir meningkat lebih tinggi dibanding peningkatan PDRB, dengan peningkatan rata-rata lebih dari 300%.
87 Tabel 5.11 Jumlah Puskemas di Provinsi Gorontalo dan Provinsi Se-Sulawesi, Tahun 2007 Puskesmas Puskemas Pembantu Keliling (Pusling) (Pustu) Darat Laut
Kab/Kota/Provinsi
Puskesmas (PKM)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
01. Kab. Boalemo
8
33
9
3
0
02. Kab. Gorontalo
16
88
16
0
0
03. Kab. Pohuwato
9
30
9
1
0
04. Kab. Bone Bolango
11
40
11
0
0
05. Kab. Gorontalo Utara
6
28
6
0
0
71. Kota Gorontalo
7
33
7
0
0
57
252
58
4
0
Sulawesi Utara
148
530
66
9
0
Sulawesi Tengah
161
715
165
18
0
Sulawesi Selatan
-
-
-
-
-
124
512
0
0
48
Prov. Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Barat 73 273 0 0 Sumber : Indikator Sosial Budaya (Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo ), 2009 Keterangan: - data tidak tersedia
Belanja Infrastruktur
Puskesmas Lainnya
0
PDRB
Sumber : BPS & Badan Keuangan Prov.Gorontalo, 2009
Gambar 5.19 Belanja Infrastruktur & PDRB Kab/Kota di Provinsi Gorontalo Peningkatan belanja infrastruktur di atas peningkatan PDRB dalam kurun waktu 3 tahun terakhir pada daerah selain Kota Gorontalo menyebabkan rasio belanja infrastruktur dalam waktu tersebut mengalami peningkatan. Semakin
88 besar rasio belanja infrastruktur menunjukan jumlah pertambahan belanja infrastruktur juga semakin besar melebihi pertambahan jumlah PDRB.
Sumber : Hasil Perhitungan
Gambar 5.20 Rasio Belanja Infrastruktur di Provinsi Gorontalo 5.2.3. Hasil Analisis Ekonometrika Dalam estimasi data berikut ini akan dibahas mengenai analisis statistik dan ekonomi dari hasil persamaan regresi pengaruh ketimpangan proporsional pada PDRB Perkapita (Y), Rasio Belanja Infrastruktur (RBI) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Ketimpangan Pembangunan dengan menggunakan pendekatan analisis panel data. Ketimpangan pembangunan diproksi dengan nilai Indeks Williamson dan Indeks Gini. Selain itu akan dilakukan pengujianpengujian terhadap masalah dalam regresi linier. 5.2.3.1.
Hasil Estimasi
Setelah dilakukan tabulasi data hasil penelitian, dilakukan pembentukan model untuk melihat faktor-faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap tingkat ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo selama periode 20012008. Model ekonometrik yang digunakan adalah:
I w α β Yt β IPM β RBI t ε 1 2 t 3 t GR α β Yt β IPM β RBI t ε 1 2 t 3 t
89 Dimana : Iw : Indeks Williamson Provinsi Gorontalo GR : Indeks Gini Provinsi Gorontalo Yt : Pertumbuhan PDRB Perkapita tahun t di Provinsi Gorontalo IPMt : Indeks Pembangunan Manusia tahun t di Provinsi Gorontalo RBIt : Rasio Belanja Infrastruktur tahun t di Provinsi Gorontalo Karena bentuk data yang diamati berupa pooled data yang merupakan gabungan antara unit cross-section (kabupaten/kota) dan time-series (periode pengamatan) maka teknik analisis yang digunakan untuk mengestimasi model ekonometrik tersebut adalah analisis regresi data panel. Penaksiran model dilakukan dengan menggunakan bantuan software E-Views. Hasil estimasi model pertumbuhan ekonomi untuk kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo selama periode 2001-2008 dan ringkasan hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: Estimasi dengan menggunakan Indeks Williamson.
I w α β1Yt β 2 IPMt β3RBI t ε t I w = 0.041895 – 1.98E-08Y + 0.004065IPM – 0.085964RBI Tabel 5.12 Ringkasan Hasil Penelitian dengan Indeks Williamson Variabel Intercept Y RBI IPM R2 F-stat Prob (F-stat) DW-stat
Koefisien 0.041895 -1.98E-08 -0.085964 0.004065 0.995763 939.9702 0.000000 1.623466
t-stat 0.519294 -2.572901 -3.258773 2.780621
Prob (t-stat) 0.6076 0.0157 0.0029 0.0096
Sumber: Hasil Perhitungan
Estimasi dengan menggunakan Indeks Gini.
GR α β1Yt β 2IPMt β3RBI t εit GR = -0.703993 + 1.88E-08Y + 0.015317IPM – 0. 105074RBI
90 Tabel 5.13 Ringkasan Hasil Penelitian dengan Indeks Gini Variabel Intercept Y RBI IPM R2 F-stat Prob (F-stat) DW-stat
Koefisien -0.703993 1.88E-08 -0.105074 0.015317 0.999118 4530.028 0.000000 1.320298
t-stat -9.461938 1.433493 -4.707731 9.912703
Prob (t-stat) 0.0000 0.1628 0.0001 0.0000
Sumber: Hasil Perhitungan
5.2.3.2.
Uji Hausman
Uji Hausman merupakan pengujian untuk menentukan pendekatan yang akan digunakan dalam regresi panel data. Jika H 0 diterima maka Random Effect Model (REM) lebih efisien, sedangan jika Tolak H 0 maka Fixed Effect Model lebih sesuai daripada Random Effect Model. Hipotesis statistik yang digunakan adalah: H0 : efek cross section tidak berhubungan dengan regresor lain (REM) Ha : efek cross section berhubungan dengan regresor lain (FEM). Pengujian ini menggunakan bantuan nilai probabilitas χ2 dengan α 5% dari perhitungan Eviews. Jika nilai probabilitas kurang dari nilai α maka FEM lebih tepat digunakan dan jika nilai probabilitasnya lebih dari nilai α maka REM lebih tepat digunakan dalam mengestimasi model ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Dari hasil olah data Eviews diperoleh hasil nilai χ2 sebagai berikut : Untuk Indeks Williamson: nilai sebesar 9.4705dengan probabilitas 0.0236 (Lampiran 6). Dengan demikian, Ho ditolak pada tingkat signifikansi 5%, sehingga pendekatan dengan Fixed Effect Model (FEM) lebih tepat digunakan dalam mengestimasi model ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo dengan menggunakan Indeks Williamson. Untuk Indeks Gini: nilai sebesar 48.3998 dengan probabilitas 0.0000 (Lampiran 7). Dengan demikian, Ho ditolak pada tingkat signifikansi 1%,
91 sehingga pendekatan dengan Fixed Effect Model (FEM) lebih tepat digunakan dalam mengestimasi model ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo dengan menggunakan Indeks Gini. 5.2.3.3.
Pengujian Asumsi Klasik
Asumsi Non-Multikolinearitas Multikolinearitas merupakan salah satu pelanggaran kondisi ideal yang disebabkan
adanya
hubungan
linear
diantara
variabel
regresor.
2
Multikolinearitas bisa dideteksi dengan melihat nilai R , dimana nilai R2 tinggi sedangkan sangat sedikit bahkan tidak ada satupun koefisien regresi yang signifikan secara parsial. Berdasarkan hasil diatas, ketiga model ketimpangan pembangunan memiliki nilai R-square yang cukup tinggi dan jumlah variabel yang signifikan secara parsial cukup banyak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala multikolinearitas antara variabel bebas pada model penelitian yang diteliti. Asumsi Non-Autokorelasi Autokorelasi merupakan pelanggaran asumsi non-autokorelasi. Hal ini disebabkan karena
adanya
korelasi
antargangguan/error
pada
setiap
pengamatan. Autokorelasi mengakibatkan penaksiran dengan OLS tetap menghasilkan taksiran yang tak bias dan konsisten, namun tidak efisien (underestimated) sehingga model tidak lagi memenuhi BLUE (Best Linear Unbiased Estimated). Autokorelasi bisa dideteksi dengan pengujian DurbinWatson dengan rumus : n
d
e i2
i
ei 1
n
e i 1
2
2 i
Untuk mengetahui ada tidaknya gejala ini dilakukan Uji Durbin Watson dengan hipotesis sebagai berikut : H0 : ρ = 0 (tidak ada autokorelasi) Ha : ρ ≠ 0 (ada autokorelasi) H0 : ρ > 0 (ada autokorelasi positif)
92 H0 : ρ < 0 (ada autokorelasi negatif) Jika H0 terdapat pada kedua ujung interval berarti tidak ada serial autokorelasi baik positif maupun negatif (Gujarati), maka jika : d dL
: H0 tidak diterima (terdapat autokorelasi positif)
d 4 dL
: H0 tidak diterima (terdapat autokorelasi negatif)
dU d 4 - dU
: H0 tidak ditolak (tidak terdapat autokorelasi)
dL d dU
: pengujian tidak memberikan hasil/ragu-ragu
4 - dU d 4 - dL
: pengujian tidak memberikan hasil/ragu-ragu
Hasil pengolahan E-Views memberikan hasil sebagai berikut: Tabel 5.14 Ikhtisar Uji Durbin Watson Model
Nilai DW
dU
dL
Kesimpulan
Indeks Williamson
1.6235
1.654
1.295
Tidak terjadi gejala autokorelasi
Indeks Gini
1.3203
1.654
1.295
Terjadi gejala autokorelasi negatif
Sumber: Hasil Perhitungan
Dari hasil output E-Views didapat nilai Durbin Watson untuk model ketimpangan pembangunan dengan menggunakan Indeks Williamson dan Gini Rasio masing-masing sebesar 1.6235 dan 1.3203. Nilai DW untuk model dengan menggunakan Indeks Williamson terletak pada interval ketiga, yaitu d U d 4 - d U . Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
model Indeks Williamson tidak terjadi gejala autokorelasi. Sedangkan untuk model dengan menggunakan Indeks Gini nilai DW berada pada interval yang kedua, yaitu d 4 d L , sehingga dapat disimpulkan pada α = 5% terjadi gejala autokorelasi negatif. Meskipun untuk model Indeks Gini terjadi gejala autokorelasi sehingga menghasilkan estimator yang tidak mempunyai varian minimum, tetapi model ini masih dapat digunakan karena masih menghasilkan estimator yang linier dan tidak bias.
93
Asumsi Non-Heteroskedastisitas. Tidak perlu dilakukan pengujian karena model telah menggunakan model yang robust terhadap heteroskedastisitas (White Heteroskedasticity Standard Error dan Covariance). 5.2.3.4.
Uji Statistik
Pengujian Secara Overall Setelah diperoleh model persamaan regresi taksiran maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian signifikansi koefisien regresi secara simultan (Testing The Overall Significance of Regression). Pengujian secara simultan dilakukan dengan melakukan pengujian F. Langkahlangkah pengujiannya adalah sebagai berikut : 1. Hipotesis H0 : 1 = 2 = 3 = 0 H1 : Sekurang-kurangnya ada sebuah i 0 2. Taraf signifikansi α = 0.05 3. Statistik Uji
F
JK Re gresi / N k 1 JK Re sidu / NT N k
4. Kriteria pengujian : Tolak Ho jika Fhit F ; N k 1, NT N k atau p-value α. Terima Ho dalam hal lainya. Dengan menggunakan bantuan E-Views didapat hasil sebagai berikut : Tabel 5.15 Pengujian Overall ANOVA dengan Uji F-statistik Model
Df (N+k-1 ; NT-N-k) = (5+3-1 ; 5*8-5-3)
Indeks Williamson
(7 ; 32)
Indeks Gini
(7 ; 32)
Sumber : Hasil Perhitungan
α
F-tabel
1% 5% 10% 1% 5% 10%
3.26 2.31 1.91 3.26 2.31 1.91
F-hitung 939.97
4530.03
Kesimpulan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
94 Dari hasil diatas kita memperoleh nilai F-hitung untuk setiap model secara berturut-turut sebesar 939.97 untuk model dengan menggunakan Indeks Williamson dan 4530.03 untuk model yang menggunakan nilai Indeks Gini sebagai variabel dependennya. Jika dibandingkan dengan nilai F-tabel pada tiga tingkat signifikansi (1%, 5%, dan 10%) , nilai F-hitung yang diperoleh untuk model dengan Indeks Williamson dan Indeks Gini masih jauh lebih besar dari nilai F-tabel pada ketiga tingkat signifikansi tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Rasio Belanja Infrastruktur secara simultan sangat signifikan sebagai sumber ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson dan Indeks Gini yang terjadi di Provinsi Gorontalo selama periode 2001-2008. Pengujian Secara Parsial Setelah diketahui
bahwa
terdapat
variabel
independen
yang
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen maka dilakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengetahui secara spesifik variabel independen manakah yang berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Untuk keperluan itu dilakukan pengujian koefisien regresi secara individual (Testing Individual Regression Coefficient). Secara eksplisit hipotesis statistik dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Ketimpangan proporsional PDRB perkapita (Y) H0 : 1=0
(Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita terhadap tingkat ketimpangan pembangunan)
H1 : 1 0
(Terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita terhadap tingkat ketimpangan pembangunan)
2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) H0 : 3= 0
(Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel Indeks Pembangunan Manusia terhadap tingkat ketimpangan pembangunan)
95 H1 : 3 0
(Terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel Indeks Pembangunan Manusia terhadap tingkat ketimpangan pembangunan)
3. Rasio Belanja Infrastruktur (RBI) H0 : 2= 0
(Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel Rasio Belanja Infrastrukur terhadap tingkat ketimpangan pembangunan)
H1 : 2 0
(Terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel Rasio Belanja Infrastrukur terhadap tingkat ketimpangan pembangunan)
= 1%, 5%, dan 10% Statistik Uji
t1
i s i
Kriteria Uji :
Uji dua arah : Tolak Ho jika nilai t-hitung > t (1- /2 ; NT-N-K) atau pvalue . terima dalam hal lainnya.
Uji pihak kanan : Tolak Ho jika nilai t-hitung > t
(1- /2 ; NT-N-K) ,
terima dalam hal lainnya
Uji pihak kiri : Tolak Ho jika nilai -t-hitung < -t (1- /2 ; NT-N-K), terima dalam hal lainnya.
Dengan menggunakan bantuan E-Views didapat hasil sebagai berikut: Variabel Ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita (Y) Dari hasil perhitungan diperoleh nilai mutlak thitung untuk variabel ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita dalam model dengan menggunakan Indeks Williamson sebesar 2.57. Nilai ini lebih besar dari nilai ttabel pada tingkat signifikansi 5% dan 10% sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita signifikan sebagai salah satu sumber ketimpangan pembangunan yang diukur dengan Indeks Williamson di Provinsi Gorontalo. Sedangkan
dalam
model
ketimpangan
pembangunan
dengan
menggunakan Indeks Gini, nilai t hitung untuk PDRB perkapita hanya
96 sebesar 1.43. Nilai ini lebih kecil dari nilai t tabel pada ketiga tingkat signifikansi sehingga Ho diterima. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketimpangan proporsional PDRB perkapita tidak cukup signifikan sebagai salah satu sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo yang diukur dengan Indeks Gini. Variabel Rasio Belanja Infrastruktur (RBI) Dari hasil perhitungan diperoleh nilai mutlak thitung untuk variabel rasio belanja infrastruktur dalam model ketimpangan pembangunan dengan menggunakan Indeks Williamson sebesar 3.26. Nilai ini lebih besar dari nilai ttabel pada ketiga tingkat signifikansi (1%, 5%, maupun 10%) sehingga Ho ditolak. Demikian juga pada model ketimpangan pembangunan dengan menggunakan Indeks Gini diperoleh nilai mutlak thitung untuk variabel rasio belanja infrastruktur sebesar 4.71. Nilai thitung ini juga lebih besar dari t tabel pada tiga tingkat signifikansi (1%, 5%, dan 10%) sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rasio belanja infrastruktur sangat signifikan sebagai salah sumber utama ketimpangan pembangunan, baik yang diukur dengan Indeks Williamson maupun Indeks Gini di Provinsi Gorontalo. Variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Dari hasil perhitungan diperoleh nilai t hitung untuk variabel indeks pembangunan manusia dalam model ketimpangan pembangunan dengan menggunakan Indeks Williamson sebesar 2.78. Nilai ini lebih besar dari nilai ttabel pada ketiga tingkat signifikansi (1%, 5%, maupun 10%) sehingga Ho ditolak. Demikian juga pada model ketimpangan pembangunan dengan menggunakan Indeks Gini diperoleh nilai t hitung untuk variabel IPM sebesar 9.91. Nilai thitung ini juga lebih besar dari t tabel pada tiga tingkat signifikansi (1%, 5%, dan 10%) sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa IPM sangat signifikan sebagai salah satu sumber utama ketimpangan pembangunan baik yang diukur dengan Indeks Williamson maupun Indeks Gini di Provinsi Gorontalo.
97 Tabel 5.16 Ringkasan Pengujian Parsial dengan Uji t-statistik Model
Variabel DF=(NT-N-k)
Indeks Williamson
Gini Rasio
Y
32
RBI
32
IPM
32
Y
32
RBI
32
IPM
32
α 1% 5% 10% 1% 5% 10% 1% 5% 10% 1% 5% 10% 1% 5% 10% 1% 5% 10%
ttabel 2.74 2.04 1.69 2.74 2.04 1.69 2.74 2.04 1.69 2.74 2.04 1.69 2.74 2.04 1.69 2.74 2.04 1.69
thitung -2.57
-3.26
2.78
1.43
-4.71
9.91
Kesimpulan Non Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Non Signifikan Non Signifikan Non Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
Sumber : Hasil Perhitungan
5.2.3.4.1. Penafsiran Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi mencerminkan besarnya pengaruh perubahan variabel bebas dalam menjalankan perubahan pada variabel tidak bebas secara bersama-sama, dengan tujuan untuk mengukur kebenaran dan kebaikan hubungan antarvariabel dalam model yang digunakan. Besarnya nilai R2 berkisar antara 0 < R2 <1. Jika nilai R2 semakin mendekati satu maka model yang diusulkan dikatakan baik karena semakin tinggi variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel independen. Tabel 5.17 Ringkasan Nilai Koefisien Determinasi (R2) Model
Nilai R-Square
Pengaruh Faktor Lain
Indeks Williamson
0.9968
0.0032
Indeks Gini
0.9991
0.0009
Sumber: Hasil Perhitungan
98 Berdasarkan hasil estimasi model persamaan regresi yang telah dilakukan diatas diperoleh nilai koefisien determinasi R2 untuk model ketimpangan pembangunan dengan menggunakan Indeks Williamson sebesar 0.9968. Nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa sebesar 99.68% perubahan tingkat ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo yang diukur dengan Indeks Williamson
dapat
diterangkan
atau
disebabkan
oleh
ketimpangan
proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia, dan Rasio Belanja Infrastruktur sedangkan sisanya sebesar 0.32% diterangkan oleh variabel lain diluar model. Dengan menggunakan Indeks Gini, perubahan tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Gorontalo 99.91% dapat diterangkan oleh ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia, dan Rasio Belanja Infrastruktur, sedangkan sisanya sebesar 0.09% diterangkan oleh variabel lain diluar model. 5.2.4. Pembahasan Setelah melakukan serangkaian pengujian, baik secara statistik maupun uji asumsi klasik maka dalam bagian ini akan dilakukan pembahasan terhadap hasil regresi yang didapatkan. Dalam hal ini akan dianalisis tentang pengaruh masingmasing variabel bebas terhadap variabel terikat dalam model regresi. 5.2.4.1. Ketimpangan proporsional pada PDRB Perkapita sebagai Sumber Ketimpangan Pembangunan Provinsi Gorontalo. Jumlah absolut PDRB perkapita kabupaten/kota di Gorontalo umumnya meningkat selama tahun 2001-2007 dan mengalami penurunan pada tahun 2008, memiliki laju pertumbuhan yang fluktuatif ternyata signifikan sebagai salah satu sumber utama yang mempengaruhi terjadinya ketimpangan pembangunan yang di ukur dengan Indeks Williamson di Provinsi Gorontalo. Dengan nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0157 maka pada tingkat signifikansi 5% atau pada tingkat kepercayaan 95% variabel ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita signifikan mempengaruhi atau sebagai sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Untuk Indeks Gini, variabel ini tidak signifikan pada semua tingkat kepercayaan.
99 Nilai koefisien regresi sebesar 1.98E-08 dan bernilai negatif, berarti bahwa kenaikan PDRB perkapita sebesar 1 satuan akan mengakibatkan ketimpangan pembangunan (yang diukur dengan Indeks Williamson) akan menurun sebesar 1.98E-08 kali ceteris paribus. Demikian pula jika PDRB perkapita turun 1 satuan maka ketimpangan pembangunan akan mengalami peningkatan sebesar 1.98E-08 kali dari semula, ceteris paribus. Hasil analisis dengan menggunakan Indeks Williamson telah sesuai dengan hipotesis bahwa ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita merupakan salah satu sumber utama ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Peningkatan jumlah riil PDRB perkapita akan mengurangi ketimpangan pembangunan sehingga untuk dapat mengatasi ketimpangan yang ada dapat dilakukan dengan meningkatkan PDRB perkapita. Peningkatan PDRB perkapita selain dengan meningkatkan jumlah produktivitas setiap penduduk juga harus diikuti dengan mengurangi jumlah penduduk atau menekan laju pertumbuhan penduduk di bawah laju pertumbuhan PDRB. Analisis dengan menggunakan Indeks Gini memberikan hasil yang tidak sesuai dengan hipotesis, atau dengan kata lain PDRB perkapita secara linear tidak signifikan sebagai salah satu sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Hal ini dimungkinkan karena PDRB perkapita tidak memiliki hubungan secara langsung dengan pendapatan masyarakat yang menjadi obyek analisis Indeks Gini. Dengan kata lain bahwa orientasi dalam penggunaan Indeks Gini adalah untuk menganalisis pendapatan kelompok masyarakat (ketimpangan secara vertikal) dan Indeks Williamson untuk analisis pendapatan wilayah/region (ketimpangan horizontal). Meskipun demikian disadari bahwa ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita tidak secara langsung menyebabkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Di dalamnya terdapat banyak faktor yang mempengaruhi ketimpangan diantaranya perbedaan kondisi dan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Setiap wilayah kabupaten kota tentu saja memiliki karakteristik alam dan manusia yang berbeda-beda. Dalam pengukuran ketimpangan, hal-hal ini tidak bisa diseragamkan oleh suatu pengukuran yang sederhana seperti yang tergambar pada PDRB.
100 Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan yang terjadi tidak memberikan keterkaitan yang positif antara sektor pertanian, industri dan jasa. Komoditi pertanian unggulan dalam hal ini jagung dan perikanan laut diperdagangkan masih dalam bentuk bahan mentah dan belum melewati proses pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah produk. Akibatnya harga jual yang diekspor ke pulau dan negara lain masih sangat rendah. Industri yang berbasis komoditi unggulan lokal juga berkembang sangat lambat bahkan hampir tidak mengalami kemajuan. Padahal perkembangan industri ini akan memiliki dampak keterkaitan ke belakang dan ke depan (backward and foreward linkage) serta dampak pengganda (multiplier effect) yang sangat besar bagi perekonomian daerah. Aktivitas perdagangan lebih didominasi oleh para pendatang dengan barang-barang yang berasal dari luar daerah (seperti tekstil dan bahan kebutuhan pokok). Demikian juga dengan perkembangan sektor jasa yang cenderung mengabaikan penguatan ekonomi lokal, tidak mengakomodir sektor-sektor usaha mikro, kecil dan menengah di Gorontalo. Ketimpangan antarsektor juga dipengaruhi oleh dominasi aktivitas sektor keuangan, perusahaan dan jasa perusahaan. Dari hasil SSA terlihat bahwa empat dari lima wilayah (Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Pohuwato dan Bone Bolango) memiliki keunggulan pada sektor ini. Hal ini dipengaruhi oleh struktur belanja pemerintah dalam APBD yang berkontribusi besar terhadap pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Selain itu belanja aparat pemerintah (PNS) terutama pada awal bulan gajian turut mempercepat roda perekonomian. 5.2.4.2. Indeks Pembangunan Manusia sebagai Sumber Ketimpangan Pembangunan di Provinsi Gorontalo Nilai koefisien regresi variabel IPM dengan menggunanakan model Indeks Williamson dan Indeks Gini di Provinsi Gorontalo sangat signifikan untuk semua tingkat signifikansi. Artinya variabel ini
sangat signifikan sebagai sumber
ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Nilai probabilitas t-statistik dan interpretasi koefisien regresi dari IPM pada masing-masing indikator ketimpangan adalah sebagai berikut:
101 a) Indeks Williamson Nilai probabilitasnya sebesar 0.0096, maka pada tingkat kepercayaan 99% atau tingkat signifikansi 1%, variabel IPM signifikan sebagai salah satu sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Dengan koefisien regresi sebesar 0.004065 memberikan arti bahwa setiap peningkatan 1 satuan nilai IPM akan menyebabkan ketimpangan pembangunan akan mengalami peningkatan sebesar 0.004065 kali dari semula, cateris paribus. Demikian sebaliknya. b) Indeks Gini Pada model dengan menggunakan variabel dependen Indeks Gini, IPM juga merupakan sumber ketimpangan pembangunan yang sangat signifikan, dengan probabilitas sebesar 0.0000. Nilai koefisien sebesar 0.015317 memberikan arti bahwa setiap perubahan 1 satuan pada IPM akan menyebabkan perubahan 0.015317 kali pada besarnya ketimpangan pembangunan. Tanda positif menandakan bahwa peningkatan yang terjadi pada IPM akan diikuti pula oleh peningkatan pada besarnya ketimpangan pembangunan cateris paribus. Dari kedua model tersebut, hasilnya sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa IPM merupakan salah satu sumber utama ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Kedua model juga memberikan arah hubungan yang positif. Artinya bahwa peningkatan pada IPM justru menyebabkan peningkatan besarnya ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Hal ini dimungkinkan jika daerah-daerah yang mengalami peningkatan IPM adalah daerah-daerah yang justru sudah memiliki IPM yang tinggi sehingga akan makin memperlebar
perbedaan dalam
masyarakat
dan
berakibat
pada
makin
meningkatnya ketimpangan pembangunan. 5.2.4.3. Rasio Belanja Infrastruktur sebagai Pembangunan di Provinsi Gorontalo.
Sumber Ketimpangan
Seperti halnya variabel IPM, Rasio Belanja Infrastruktur pada kedua model sangat signifikan sebagai salah satu sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa rasio belanja infrastruktur merupakan salah satu sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Nilai probabilitas t-statistik dan interpretasi koefisien regresi
102 dari aksesibilitas infrastruktur pada masing-masing indikator ketimpangan adalah sebagai berikut: a) Indeks Williamson. Dengan probabilitas sebesar 0.0029 dan koefisien regresi -0.085964 artinya rasio belanja infrastruktur sangat signifikan sebagai salah satu sumber ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Setiap peningkatan satu satuan pada rasio belanja infrastruktur akan menyebabkan penurunan sebesar 0.085964 kali dari semula pada besarnya ketimpangan pembangunan yang diukur dengan menggunakan Indeks Williamson di Provinsi Gorontalo. Hal ini berarti pula bahwa peningkatan belanja pemerintah dalam menyediakan sarana pelayanan publik dapat mengurangi ketimpangan pembangunan. b) Indeks Gini. Sama halnya dengan Indeks Williamson, dalam Indeks Gini pengaruh rasio belanja infrastruktur sebagai salah satu sumber utama ketimpangan di Provinsi Gorontalo adalah negatif. Dengan nilai probabilitas 0.0001 dan koefisien -0.105074 artinya rasio belanja infrastruktur sangat signifikan dalam mempengaruhi naik atau turunnya ketimpangan pembangunan. Setiap peningkatan satu satuan rasio belanja infrastruktur akan menyebabkan penurunan ketimpangan pembangunan sebesar 0.105074 kali dari semula. Dengan demikian maka besarnya rasio belanja infrastruktur harus senantiasa ditingkatkan sebagai upaya untuk mengurangi ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Dari model Indeks Williamson dan Indeks Gini memberikan arah hubungan yang negatif. Ini berarti bahwa semakin besar rasio belanja infrastruktur maka ketimpangan pembangunan akan semakin berkurang karena setiap belanja infrastruktur
yang
dikeluarkan
pemerintah
akan
semakin
mendorong
pembangunan pada semua daerah dan semua bidang. Peningkatan rasio belanja infrastruktur terutama terjadi pada daerah-daerah yang relatif terbelakang, maka akan semakin memperkecil jarak (gap) yang ada dalam setiap wilayah. Hal inilah yang diharapkan terjadi dalam kondisi riil pembangunan.
103 5.3. Hubungan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Gorontalo.
dengan
Pertumbuhan
Mengikuti Hipotesa Neo-Klasik, variabel yang dapat digunakan sebagai independen variabel adalah pendapatan perkapita yang menunjukan tingkat pembangunan suatu negara/daerah. Sedangkan persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk kuadratik karena hubungan antara ketimpangan pembangunan dengan tingkat pembanguan adalah bersifat non linear. Dengan demikian fungsi regresi yang dapat digunakan adalah persamaan regresi sebagai berikut: logI w log δ log Y 2 logY ε
log GR log δ log Y 2 logY ε Dimana Iw : Indeks Williamson GR :Indeks Gini Y : PDRB perkapita φ & δ: kofisien regresi ε : epsilon Untuk memudahkan penyelesaian, maka kedua model di atas dikembalikan pada rumus awalnya, yaitu : Indeks Ketimpangan Y Y 2
Dengan menggunakan aturan logaritma, maka:
log Indeks Ketimpangan log log Y 2log Y log 2 log Y log Indeks Ketimpangan 0 1 log Y
estimasi
Koefisien regresi yang diperoleh dari hasil taksiran adalah :
0 log dan 1 2 log Y . Dari print out Eviews (Lampiran 10) diperoleh hasil bahwa dengan menggunakan model non linear diperoleh hasil bahwa antara ketimpamgan pembangunan (Indeks Williamson dan Indeks Gini) dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan positif yang signifikan. Perbedaan hasil untuk kedua nilai indeks adalah sebagai berikut:
104 a. Indeks Williamson. Nilai koefisien regresi sebesar 0.122248 menunjukkan bahwa setiap perubahan 1% pertumbuhan ekonomi menyebabkan peningkatan nilai ketimpangan sebesar 0.122248% dari semula, cateris paribus. Demikian sebaliknya jika terjadi penurunan pada pertumbuhan ekonomi. Probabilitas sebesar 0.0079 menunjukan bahwa hubungan positif antara kedua variabel adalah sangat signifikan. Dari koefisien determinasi diperoleh bahwa 18.995% pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi dalam memperbesar tingkat ketimpangan di Provinsi Gorontalo. b. Indeks Gini Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan yang diukur dengan Indeks Gini lebih erat dibanding Indeks Williamson. Kedua variabel memiliki hubungan yang sangat signifikan. Setiap peningkatan 1% pertumbuhan ekonomi menyebabkan ketimpangan pembangunan bertambah besar dengan peningkatan sebesar 0.920869% dari semula cateris paribus. Demikian sebaliknya jika terjadi penurunan pada pertumbuhan ekonomi. Dari koefisien determinasi diperoleh bahwa 71.888% pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi dalam memperbesar ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Dengan pendekatan dalam kedua model ini dapat dikatakan bahwa tingkat ketimpangan yang tercipta di Provinsi Gorontalo memang disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi. Orientasi mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dalam distribusi pembangunan yang lebih merata sehingga menciptakan ketimpangan. 5.4.
Rekomendasi Kebijakan Hal utama yang ingin direkomendasikan dari hasil penelitian ini adalah
adanya strategi kebijakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas ini dapat dicapai melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh peningkatan dan distribusi pendapatan masyaraka total maupun perkapita secara spasial dan sektoral, peningkatan dan
105 distribusi kualitas Sumber Daya Manusia yang memacu naiknya Indeks Pembangunan Manusia dan kemudahan akses terhadap infrastruktur karena adanya belanja infrastruktur yang memadai. Sektor unggulan untuk masing-masing wilayah kabupaten kota dapat berbeda tetapi hal itu berdampak pada keterkaitan regional secara vertikal maupun horizontal sebagai basis pengembangan sektoral. Berdasarkan keterkaitan hulu– hilir, keterkaitan antarwilayah berpengaruh dan memberikan efek sinergi terhadap pertumbuhan ekonomi serta mengakselerasi pemerataan pembangunan Provinsi Gorontalo. Kebijakan regional yang perlu disiapkan baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten / Kota secara komprehensif sebagai berikut: 1.
Sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar PDRB di semua kabupaten dan Provinsi Gorontalo secara keseluruhan. Meskipun demikian tetapi pertumbuhannya mengalami perlambatan dan lebih rendah dibanding laju pertumbuhan sektor lain (industri dan jasa). Selain itu, share pertumbuhan pertanian dari aspek competitiveness hanya di Kabupaten Gorontalo dan Boalemo saja yang bernilai positif. Namun pertanian masih merupakan sumber penghasilan bagi sebagian besar penduduk. Hal ini disebabkan faktor-faktor lain yaitu ketersediaan lahan, iklim, topografi alam, aspek sosiologis dimana masyarakat Gorontalo yang akrab dengan pertanian (tradisional). Rendahnya produktivitas pertanian dibanding potensi yang dimiliki antar lain disebabkan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan untuk beralih ke sektor yang lebih modern. Untuk optimalisasi pengembangan, perlu adanya intervensi eksternal berupa tambahan jumlah dan nilai investasi (swasta dan pemerintah) serta kapasitas industri pengolahan berbasis komoditi unggulan (jagung, kelapa, perikanan) yang akan menaikkan kemampuan pusat ekonomi regional untuk memperluas pasar di luar wilayah dan luar negeri. Dengan demikian, meskipun terjadi perubahan struktur ekonomi yang cenderung ke arah sekunder dan tersier, tetapi transformasi ini tidak mengabaikan sektor primer sebagai kontributor terbesar dalam produksi wilayah.
106 2.
Ketimpangan
proporsional
pada
PDRB
perkapita
menunjukkan
ketidakmerataan. Demikian pula dengan rendahnya IPM dan minimnya ketersediaan infrastruktur yang dipicu oleh kecilnya alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Tingkatkan akses masyarakat miskin terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan umum dengan meningkatkan alokasi anggaran untuk infrastruktur dasar tersebut. 3.
Secara vertikal pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pola pergerakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dibarengi dengan peningkatan nilai Indeks Gini. Artinya pertumbuhan yang tinggi telah menghasilkan ketimpangan yang tinggi pula dalam perekonomian. Untuk itu pemerintah hendaknya memberikan kebijakan yang dapat memperkecil perbedaan pendapatan dalam kelompok masyarakat. Bukan hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai, tetapi dapat menciptakan lapangan kerja.
4.
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas mengarah pada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan
bahwa
kenaikan
pendapatan
perkapita
diikuti
oleh
meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan kemudahan dalam mengakses
infrastruktur.
Karena
itu
perlu
memberikan
program
pemberdayaan masyarakat berbentuk padat karya dan transfer keterampilan kepada desa-desa dan kecamatan tertinggal (masuk wilayah dengan IPM dibawah nasional) yang juga menjadi cermin kantong-kantong kemiskinan dan pengangguran.
BAB VI PENUTUP
6.1 Simpulan. 1. Struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo masih dominan disumbangkan oleh sektor pertanian, meskipun dalam pertumbuhannya sektor ini lebih rendah dibanding sektor non pertanian. Analisis Shift-Share menunjukkan sektor yang potensial dan pertumbuhan ekonomi terbesar pada masingmasing kabupaten kota di tahun 2007 dan 2008 rata-rata terjadi di sektor non-pertanian (sektor sekunder dan tersier) dibandingkan dengan kondisi di tahun 2001. Artinya telah terjadi transformasi struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo selama kurun waktu 2001-2008. Kota Gorontalo, Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Bolameo memiliki struktur ekonomi yang relatif lebih baik dan termasuk dalam Kuadran I pada Matriks Tipologi Klassen (daerah cepat maju dan cepat tumbuh). Sedangkan struktur ekonomi Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango termasuk Kuadran III (relatif terbelakang). 2. Berdasarkan Indeks Williamson kondisi ketimpangan di Provinsi Gorontalo di awal pembangunan cenderung meningkat (divergence) dan berangsur menurun (convergence) seperti yang ditunjukkan oleh kurva ketimpangan pembangunan dalam Hipotesa Neo-Klasik. Secara simultan, dan parsial, ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur signifikan sebagai sumber utama ketimpangan di Provinsi Gorontalo. Berdasarkan Indeks Gini ketimpangan semakin meningkat. Secara simultan ketiga variabel independen signifikan sebagai sumber utama ketimpangan. Secara parsial, hanya ketimpangan proporsional PDRB perkapita sebagai variabel yang tidak signifikan sebagai sumber ketimpangan pembangunan.
108
3. Secara ekonometrik terdapat hubungan antara ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo. Dengan pendekatan regresi non linear dalam model yang menggunakan Indeks Williamson maupun Indeks Gini diperoleh hasil bahwa ketimpangan yang tercipta di Provinsi Gorontalo menjadi cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. 4. Secara vertikal pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pola pergerakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dibarengi dengan peningkatan nilai Indeks Gini. Artinya pertumbuhan yang tinggi telah menghasilkan ketimpangan yang tinggi pula dalam perekonomian. Untuk itu pemerintah hendaknya memberikan kebijakan yang dapat memperkecil perbedaan pendapatan dalam kelompok masyarakat. Bukan hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai, tetapi dapat menciptakan lapangan kerja. 6.2 Saran Pemerintah daerah hendaknya tidak terfokus untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dalam waktu cepat karena tanpa diiringi upaya pemerataan dan keberlanjutan pembangunan, pertumbuhan yang tidak berkualitas menjadi sangat rapuh dan memperlebar ketimpangan pembangunan. Kemajuan aktivitas perekonomian juga ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang menjalankannya. Karena itu perlu adanya fokus pada pembangunan sumberdaya manusia dari segi pendidikan, kesehatan dan distribusi pendapatan, terutama di daerah tertinggal dan sedang berkembang. Meningkatnya pembangunan manusia akan berdampak positif terhadap kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang produktif, yaitu SDM yang sehat, berpendidikan dan terampil sehingga dapat menunjung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan nilai tambah output dan mengurangi kemiskinan. Pembangunan daerah tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan infrastruktur yang
mendukung
mobilitas
dan
produktivitas.
Kemudahan
mengakses
infrastruktur oleh suatu daerah dan masyarakat menyebabkan meningkatnya kemampuan mengakses sumberdaya, informasi, teknologi dan modal yang
109
merupakan kunci pendorong pertumbuhan dan mengurangi ketimpangan pembangunan.
Kenyataan
menunjukkan
bahwa
konsentrasi
kegiatan
perekonomian masih berlokasi di sekitar Kota Gorontalo, sedangkan kekayaan sumber daya alam yang potensial di Kabupaten Pohuwato menyebabkan kedua daerah ini memiliki pendapatan total dan individu yang lebih tinggi. Di sisi lain, konsentrasi penduduk miskin masih terkonsentrasi di Kabupaten Gorontalo, Boalemo dan Bone Bolango.
110
DAFTAR PUSTAKA Abel, Y.H. 2006. Disparitas Pembangunan Antara KBI dan KTI; Analisis Beberapa Indikator Makroekonomi (tesis), Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Anonim, 2007. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten / Kota. Gorontalo Adams, R H. Jr. 2003. Economic Growth, Inequality, and Poverty: Finding from a New Data Set. Policy Research Working Paper #2972. World Bank. Aswandi, H & Kuncoro, M. 2002. Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 17, No. 1, 2002, 27 – 45 Badan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah [Bappeda] Provinsi Gorontalo. 2009. Sewindu Kinerja Hasil Pembangunan Gorontalo Tahun 2001-2008. Gorontalo Badan Pusat Statistik [BPS] 2000. Pedoman Penghitungan PDRB Kabupaten, Buku II, Contoh Penghitungan. BPS Jakarta Badan Pusat Statistik [BPS] 2003. Gorontalo dalam Angka 2003. Gorontalo: BPS. _______ 2005. Gorontalo dalam Angka 2005. Gorontalo: BPS. _______ 2007. Gorontalo dalam Angka 2007. Gorontalo: BPS. _______ 2003. Produk Domestik Regional Bruto Gorontalo 2003. Gorontalo: BPS. _______ 2005. Produk Domestik Regional Bruto Gorontalo 2005. Gorontalo: BPS. _______ 2007. Produk Domestik Regional Bruto Gorontalo 2007. Gorontalo: BPS. _______, 2008. Indikator Utama Ekonomi Indonesia 2009. Jakarta: BPS _______, 2009. Indikator Utama Ekonomi Indonesia 2009. Jakarta: BPS Blair, J,P. 1991. Urban and Regional Economics. Homewood, Illinois, Irwin Co
111 Djojohadikusumo, S. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta : LP3ES Dollar, D and Kraay, A. 2001. Trade, Growth and Poverty. Policy Research Working Paper:2615. World Bank Forbes, K J. 2000. A Reassessment of the Relationship Between Inequality and Growth. American Economic Review 40(4): 869-887 Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition, International Edition. Singapore: McGraw-Hill Higher Education Hadi, S. 2001. Studi Dampak Kebijakan Pembangunan Terhadap Disparitas Ekonomi Antarwilayah: Pendekatan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (disertasi). Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Jhingan. M.L 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Cetakan Kesembilan (terjemahan). Jakarta: PT.Raja Grafindo Perkasa Jocom, S. G. 2009. Analisis Dampak dan Strategi Pengembangan Agropolitan Basis Jagung Terhadap Perekonomian Wilayah Serta Pendapatan Masyarakat Petani di Provinsi Gorontalo (tesis). Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. Bogor. Institut Pertanian Bogor Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Erlangga
Reformasi,
Mankiw, G. 2007. Makroekonomi, Edisi Keenam, Terjemahan, Jakarta. Penerbit Erlangga Niode, A. 2007. Perubahan Nilai-nilai dan Pranata Sosial Gorontalo, Jakarta, PT. Pustaka Indonesia Press Perotti, R. 1996. Growth, Income Distribution and Democracy: What the Data Say. Journal of Economic Growth 1(3): 149-187 Rustiadi. E. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor. Institut Pertanian Bogor Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media Tarigan, R. 2007. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara
112
Todaro, M. P & Smith, S. C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Terjemahan H. Munandar, Edisi Kesembilan Jilid I. Jakarta: Erlangga Van Den Berg, H. 2001. Economic Growth and Development, McGraw Hill. International Edition World Bank. 2008. Service Delivery and Financial Management in a New Province, Gorontalo Public Expenditure Analysis. Jakarta: World Bank
113
Lampiran 1 : PDRB Riil Provinsi Gorontalo tahun 2001 – 2008
Tahun 2001 Daerah
Pertanian
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas Perdagangan, Keuangan, Bangunan/Kon Pengangkutan & Air Hotel & Perush & struksi & Komunikasi Minum Restoran Jasa Perush
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
200,112.10
7,765.10
57,181.65
2,589.39
26,654.01
73,005.43
63,954.37
45,763.04
119,628.44
596,653.53
Kota Gorontalo
23,509.76
2,798.65
25,581.69
8,189.12
33,521.35
72,573.79
42,931.38
41,411.03
75,692.17
326,208.93
Boalemo
72,882.00
1,181.00
11,123.50
653.00
19,612.00
22,811.00
9,988.00
10,932.28
37,029.00
186,211.77
Pohuwato
149,686.73
2,304.25
15,763.52
2,261.25
24,960.94
30,908.95
11,272.46
16,856.72
22,884.65
276,899.47
Bonbol
55,842.18
2,205.43
26,535.72
720.37
15,404.00
20,512.11
15,633.13
9,951.69
23,289.77
170,094.40
Provinsi
502,032.78
16,254.43 136,186.08
14,413.13
120,152.29
219,811.27
143,779.34 124,914.75
278,524.03 1,556,068.10
Tahun 2002 Daerah
Pertanian
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas Perdagangan, Keuangan, Bangunan/Kon Pengangkutan & Air Hotel & Perush & struksi & Komunikasi Minum Restoran Jasa Perush
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
217,437.00
8,523.25
59,841.94
2,793.15
27,445.47
77,221.77
55,226.46
50,766.13
127,557.41
626,812.56
Kota Gorontalo
23,115.59
2,888.14
27,438.54
8,566.13
35,657.99
76,396.64
44,227.44
45,444.71
81,599.13
345,334.31
Boalemo
79,130.00
1,206.00
12,039.46
785.00
20,149.00
23,515.00
10,409.00
12,457.65
38,770.00
198,461.11
Pohuwato
158,586.60
2,215.11
18,853.35
2,422.70
25,120.71
35,278.09
11,495.99
21,143.88
23,348.50
298,464.94
Bonbol
58,414.72
2,340.05
28,111.46
746.64
15,882.52
21,299.08
16,260.85
11,104.32
24,208.64
178,368.27
Provinsi
536,683.91
17,172.54 146,284.75
15,313.62
124,255.68
233,710.58
137,619.74 140,916.69
295,483.69 1,647,441.19
Tahun 2003 Daerah
Pertanian
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas Perdagangan, Keuangan, Bangunan/Kon Pengangkutan & Air Hotel & Perush & struksi & Komunikasi Minum Restoran Jasa Perush
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
225,766.92
9,034.28
60,584.60
2,940.06
27,856.49
79,164.72
56,408.48
70,652.71
132,425.00
664,833.25
Kota Gorontalo
24,064.32
2,923.42
30,119.99
8,966.15
37,598.89
81,086.23
48,989.09
43,162.79
88,740.72
365,651.60
Boalemo
86,947.37
1,232.00
12,402.70
1,197.00
20,987.00
23,909.00
10,710.00
14,619.89
39,592.00
211,596.96
Pohuwato
159,419.12
2,407.73
20,892.39
2,556.53
25,992.56
48,257.25
11,848.65
22,554.85
25,128.63
319,057.71
Bonbol
59,172.59
2,436.54
28,799.08
792.54
16,295.22
21,955.51
16,976.38
17,701.18
24,746.02
188,875.05
Provinsi
555,370.32
18,033.96 152,798.77
16,452.28
128,730.16
254,372.70
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas & Air Minum
144,932.60 168,691.42
310,632.36 1,750,014.57
Tahun 2004 Daerah
Pertanian
Bangunan/ Konstruksi
Perdagangan, Keuangan, Pengangkutan Hotel & Perush & & Komunikasi Restoran Jasa Perush
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
231,683.39
9,585.73
61,322.55
3,124.89
28,283.27
81,159.93
74,947.96
80,800.06
138,215.79
709,123.55
Kota Gorontalo
24,675.04
2,957.65
31,276.20
9,596.05
38,303.53
85,821.43
51,715.67
53,683.74
92,148.50
390,177.81
Boalemo
92,295.87
1,112.00
12,794.71
1,363.00
18,279.38
28,986.44
11,070.00
17,113.17
41,652.00
224,666.57
Pohuwato
169,276.09
2,512.00
22,550.88
2,659.80
27,415.44
51,041.50
12,887.70
26,155.54
26,886.81
341,385.77
Bonbol
60,328.51
2,531.01
29,938.16
812.96
16,752.34
22,744.04
18,231.74
20,856.65
26,096.67
198,292.08
Provinsi
578,258.89
18,698.39 157,882.50
17,556.70
129,033.96
269,753.34
168,853.07 198,609.16
324,999.77 1,863,645.78
114
Tahun 2005 Daerah
Pertanian
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas & Air Minum
Bangunan/ Konstruksi
Perdagangan, Keuangan, Pengangkutan Hotel & Perush & & Komunikasi Restoran Jasa Perush
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
249,617.86
9,464.15
62,055.38
3,411.27
24,594.26
84,091.74
86,069.97
84,108.93
147,388.44
750,802.01
Kota Gorontalo
25,717.30
3,223.84
37,323.13
10,221.67
39,021.39
95,459.14
56,472.46
53,579.51
95,531.36
416,549.79
Boalemo
98,975.56
1,078.74
12,982.30
1,529.28
18,180.97
33,378.14
10,941.51
16,896.73
44,805.52
238,768.75
Pohuwato
172,432.32
2,616.40
23,945.49
2,963.34
28,777.89
66,454.04
13,205.96
27,694.18
28,004.23
366,093.85
Bonbol
63,373.39
2,656.09
31,395.86
870.41
17,620.81
23,428.67
20,115.69
22,046.52
26,878.79
208,386.23
Provinsi
610,116.42
19,039.22 167,702.17
18,995.97
128,195.31
302,811.73
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas & Air Minum
186,805.59 204,325.86
342,608.33 1,980,600.62
Tahun 2006 Daerah
Pertanian
Bangunan/ Konstruksi
Perdagangan, Keuangan, Pengangkutan Hotel & Perush & & Komunikasi Restoran Jasa Perush
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
265,434.10
11,351.11
63,010.77
3,786.86
31,114.26
86,815.97
92,741.79
92,156.88
156,913.69
803,325.41
Kota Gorontalo
25,775.47
3,618.07
39,615.08
10,540.03
40,783.73
107,523.62
60,909.59
56,850.24
100,156.61
445,772.44
Boalemo
103,882.53
1,127.76
13,643.44
1,572.12
18,839.12
36,501.61
11,706.02
21,078.58
46,285.57
254,636.75
Pohuwato
180,220.36
2,681.93
24,361.69
3,407.31
32,097.00
67,364.07
14,131.02
31,212.63
37,159.54
392,635.55
Bonbol
68,342.42
2,735.90
32,204.64
941.66
18,392.60
24,029.38
21,761.89
23,143.56
27,843.48
219,395.52
Provinsi
643,654.87
21,514.76 172,835.62
20,247.98
141,226.72
322,234.65
201,250.31 224,441.89
368,358.89 2,115,765.68
Tahun 2007 Daerah
Pertanian
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas Perdagangan, Keuangan, Bangunan/Kon Pengangkutan & Air Hotel & Perush & struksi & Komunikasi Minum Restoran Jasa Perush
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
285,386.17
12,165.91
68,471.97
4,331.87
34,791.90
90,663.26
99,800.10
98,383.02
168,762.55
862,756.75
Kota Gorontalo
25,430.02
4,094.80
40,375.58
11,256.78
42,151.11
115,303.61
70,578.41
62,434.16
113,261.67
484,886.14
Boalemo
112,404.52
1,307.47
14,079.71
1,816.26
21,108.20
38,442.71
12,015.46
23,453.10
48,055.57
272,683.01
Pohuwato
190,806.24
2,826.61
25,327.84
4,136.65
33,300.33
68,630.56
15,011.66
34,728.48
42,594.97
417,363.34
Bonbol
70,800.94
2,932.50
33,446.03
1,015.58
19,366.21
24,340.98
22,103.14
29,607.93
28,686.46
232,299.76
Provinsi
684,827.89
23,327.28 181,701.13
22,557.14
150,717.76
337,381.11
219,508.77 248,606.70
401,361.22 2,269,989.00
Tahun 2008 Daerah
Pertanian
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan
Listrik, Gas Perdagangan, Keuangan, Bangunan/Kon Pengangkutan & Air Hotel & Perush & struksi & Komunikasi Minum Restoran Jasa Perush 105,911.21 110,961.21
Jasa-Jasa
Jumlah
Kab.Gorontalo
293,014.98
12,453.93
67,735.47
4,380.51
32,746.95
92,744.53
173,138.52
893,087.32
Kota Gorontalo
26,431.57
4,021.90
43,952.59
11,677.46
43,514.46
119,854.40
71,373.26
64,694.76
114,820.61
500,341.01
Boalemo
118,088.38
1,187.81
14,531.72
2,044.57
19,459.78
41,411.63
12,249.70
24,804.65
49,930.58
283,708.81
Pohuwato
194,295.24
2,896.20
27,779.70
4,058.55
34,202.99
80,495.43
15,385.49
37,034.06
42,233.71
438,381.37
Bonbol
75,286.44
3,203.08
34,399.01
1,137.56
20,093.26
25,494.58
22,746.99
34,998.18
29,660.57
247,019.66
Provinsi
707,116.61
23,762.92 188,398.48
23,298.64
150,017.46
360,000.57
227,666.65 272,492.86
409,783.99 2,362,538.18
115
Lampiran 2 : Hasil Analisis Shift Share Provinsi Gorontalo , 2001-2008
Regional Share Tahun 2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
Regional Share 0.0587 0.0623 0.0649 0.0628 0.0682 0.0729 0.0408 0.5183
Proportionality Shift Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
0.0103 -0.0274 -0.0237 -0.0077 -0.0133 -0.0089 -0.0082 -0.0113
Pertambang Industri Listrik, Bangun Perdagang Pengangkut Keuangan, an & Pengolah Gas & Air an/Konst an, Hotel an & Perush & Jasa-Jasa Penggalian an Minum ruksi & Restoran Komunikasi Jasa Perush -0.0022 -0.0121 -0.0281 -0.0445 0.0618 0.0114 -0.0221 -0.0051
0.0154 -0.0177 -0.0317 -0.0006 -0.0376 -0.0216 -0.0039 -0.0140
0.0038 0.0121 0.0022 0.0192 -0.0023 0.0412 -0.0079 0.0097
-0.0246 -0.0263 -0.0626 -0.0693 0.0334 -0.0057 -0.0454 -0.0286
0.0045 0.0261 -0.0045 0.0598 -0.0041 -0.0259 0.0263 0.0118
-0.1016 -0.0091 0.1001 0.0436 0.0091 0.0178 -0.0036 0.0080
0.0694 0.1348 0.1124 -0.0340 0.0302 0.0348 0.0553 0.0576
0.0022 -0.0110 -0.0187 -0.0086 0.0069 0.0167 -0.0198 -0.0046
Differential Shift Kabupaten Gorontalo Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
0.0176 0.0035 -0.0150 0.0223 0.0084 0.0112 -0.0058 0.0060
Industri Listrik, Banguna Perdagangan, Pengangkut Keuangan, Pertambangan Pengolah Gas & Air n/Konstr Hotel & an & Perush & Jasa-Jasa & Penggalian an Minum uksi Restoran Komunikasi Jasa Perush 0.0412 0.0098 0.0242 -0.0309 0.0694 -0.0125 0.0050 0.0152
-0.0276 0.0162 -0.0045 -0.0321 -0.0218 -0.0210 -0.0211 -0.0043 0.0130 -0.0502 0.0097 -0.1239 -0.0152 0.0442 0.1635 0.0354 0.0299 0.0510 -0.0476 -0.0216 -0.0541 -0.0226 0.0075 0.0034
-0.0055 -0.0632 -0.0353 -0.0864 -0.0317 -0.0027 -0.0441 -0.0384
-0.0936 -0.0317 0.1636 0.0421 0.0002 -0.0146 0.0241 0.0129
-0.0188 0.1946 -0.0337 0.0122 -0.0028 -0.0401 0.0318 0.0205
0.0054 -0.0131 -0.0025 0.0122 -0.0105 -0.0141 0.0049 -0.0025
116
Kota Gorontalo Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
-0.0858 0.0062 -0.0158 -0.0129 -0.0527 -0.0774 0.0068 -0.0331
Industri Listrik, Banguna Perdagangan, Pengangkut Keuangan, Pertambangan Pengolah Gas & Air n/Konstr Hotel & an & Perush & Jasa-Jasa & Penggalian an Minum uksi Restoran Komunikasi Jasa Perush -0.0245 -0.0379 -0.0251 0.0718 -0.0077 0.0475 -0.0365 -0.0018
-0.0016 0.0532 0.0051 0.1311 0.0308 -0.0321 0.0517 0.0340
-0.0164 0.0296 -0.0277 0.0184 0.0031 0.0164 -0.0168 0.0252 -0.0348 -0.0565 -0.0460 -0.0337 0.0045 0.0370 -0.0192 0.0052
-0.0106 -0.0270 -0.0021 -0.0103 0.0622 0.0254 -0.0276 0.0014
0.0730 0.0545 -0.1094 -0.0143 0.0012 0.0680 -0.0259 0.0067
-0.0307 -0.2473 0.0664 -0.0307 -0.0374 -0.0094 -0.0599 -0.0499
0.0171 0.0363 -0.0079 -0.0175 -0.0267 0.0413 -0.0072 0.0051
Kabupaten Boalemo Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
0.0167 0.0640 0.0203 0.0173 -0.0054 0.0181 0.0180 0.0213
Industri Listrik, Bangun Perdagangan, Pengangkutan Keuangan, Pertambangan JasaPengolah Gas & Air an/Kons Hotel & & Perush & & Penggalian Jasa an Minum truksi Restoran Komunikasi Jasa Perush -0.0353 -0.0286 -0.1342 -0.0481 -0.0846 0.0751 -0.1102 -0.0523
0.0082 -0.0144 -0.0017 -0.0475 0.0203 -0.0193 -0.0048 -0.0084
0.1397 0.4505 0.0716 0.0400 -0.0379 0.0413 0.0928 0.1140
-0.0068 0.0056 -0.1314 0.0011 -0.0655 0.0532 -0.0734 -0.0310
-0.0324 -0.0717 0.1519 0.0290 0.0294 0.0062 0.0102 0.0175
0.0850 -0.0242 -0.1314 -0.1179 -0.0075 -0.0643 -0.0177 -0.0397
0.0114 -0.0235 -0.0068 -0.0414 0.1490 0.0050 -0.0385 0.0079
-0.0139 -0.0301 0.0058 0.0215 -0.0421 -0.0514 0.0180 -0.0132
Kabupaten Pohuwato Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
-0.0096 -0.0296 0.0206 -0.0364 -0.0098 -0.0052 -0.0143 -0.0120
Pertambang an & Penggalian -0.0952 0.0368 0.0065 0.0233 -0.1050 -0.0303 0.0059 -0.0226
Industri Listrik, Pengolah Gas & Air an Minum 0.1219 0.0089 0.0636 -0.0191 0.0461 -0.0267 -0.0004 0.0321 -0.0132 0.0839 -0.0116 0.1000 0.0599 -0.0518 0.0380 0.0182
Bangun Perdagangan Pengangkut Keuangan, Jasaan/Kon , Hotel & an & Perush & Jasa struksi Restoran Komunikasi Jasa Perush -0.0278 0.0781 0.0627 0.1262 -0.0406 -0.0013 0.2795 -0.0225 -0.1304 0.0250 0.0524 -0.0028 -0.0774 -0.0177 0.0237 0.0562 0.1794 -0.0816 0.0300 -0.0126 0.0137 -0.0504 -0.0073 0.0286 0.2518 -0.0297 -0.0282 -0.0284 0.0050 0.0567 0.0318 0.1058 -0.0123 -0.0297 -0.0295 0.0136 0.0802 -0.0238 0.0017 0.0392
117
Kabupaten Bone Bolango Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
-0.0230 -0.0218 -0.0217 -0.0046 0.0234 -0.0280 0.0308 -0.0064
Industri Listrik, Banguna Perdagangan, Pengangkutan Keuangan, Pertambangan Pengolah Gas & Air n/Konstr Hotel & & Perush & Jasa-Jasa & Penggalian an Minum uksi Restoran Komunikasi Jasa Perush 0.0046 -0.0089 0.0019 0.0312 -0.1000 -0.0124 0.0736 -0.0014
-0.0148 -0.0201 0.0063 -0.0135 -0.0048 -0.0127 -0.0084 -0.0097
-0.0260 -0.0129 -0.0414 -0.0113 0.0160 -0.0356 0.0872 -0.0034
-0.0031 -0.0100 0.0257 0.0583 -0.0579 -0.0143 0.0422 0.0059
-0.0249 -0.0576 -0.0245 -0.0924 -0.0385 -0.0340 -0.0197 -0.0417
0.0830 -0.0091 -0.0911 -0.0030 0.0045 -0.0750 -0.0080 -0.0141
-0.0123 0.3970 0.0009 0.0283 -0.0487 0.1717 0.0860 0.0890
-0.0214 -0.0291 0.0083 -0.0242 -0.0393 -0.0593 0.0130 -0.0217
Shift Share Analysis Kabupaten Gorontalo Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
0.0866 0.0383 0.0262 0.0774 0.0634 0.0752 0.0267 0.0563
Pertambang Industri Listrik, Bangun Perdagangan, Pengangkut Keuangan, Jasaan & Pengolah Gas & Air an/Kons Hotel & an & Perush & Jasa Penggalian an Minum truksi Restoran Komunikasi Jasa Perush 0.0976 0.0600 0.0610 -0.0127 0.1994 0.0718 0.0237 0.0715
0.0465 0.0124 0.0122 0.0120 0.0154 0.0867 -0.0108 0.0249
0.0787 0.0526 0.0629 0.0916 0.1101 0.1439 0.0112 0.0787
0.0297 0.0150 0.0153 -0.1304 0.2651 0.1182 -0.0588 0.0363
0.0578 0.0252 0.0252 0.0361 0.0324 0.0443 0.0230 0.0348
-0.1365 0.0214 0.3287 0.1484 0.0775 0.0761 0.0612 0.0824
0.1093 0.3917 0.1436 0.0410 0.0957 0.0676 0.1278 0.1395
0.0663 0.0382 0.0437 0.0664 0.0646 0.0755 0.0259 0.0544
Kota Gorontalo Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
-0.0168 0.0410 0.0254 0.0422 0.0023 -0.0134 0.0394 0.0172
Pertambang Industri Listrik, Banguna Perdagangan Pengangkut Keuangan, an & Pengolah Gas & Air n/Konstr , Hotel & an & Perush & Penggalian an Minum uksi Restoran Komunikasi Jasa Perush 0.0320 0.0122 0.0117 0.0900 0.1223 0.1318 -0.0178 0.0546
0.0726 0.0977 0.0384 0.1933 0.0614 0.0192 0.0886 0.0816
0.0460 0.0467 0.0703 0.0652 0.0311 0.0680 0.0374 0.0521
0.0637 0.0544 0.0187 0.0187 0.0452 0.0335 0.0323 0.0381
0.0527 0.0614 0.0584 0.1123 0.1264 0.0724 0.0395 0.0747
0.0302 0.1077 0.0557 0.0920 0.0786 0.1587 0.0113 0.0763
0.0974 -0.0502 0.2438 -0.0019 0.0610 0.0982 0.0362 0.0692
JasaJasa 0.0780 0.0875 0.0384 0.0367 0.0484 0.1308 0.0138 0.0620
118
Kabupaten Boalemo Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
0.0857 0.0988 0.0615 0.0724 0.0496 0.0820 0.0506 0.0715
Pertambang Listrik, Perdagangan, Pengangkutan Keuangan, Industri Bangunan/ Jasaan & Gas & Air Hotel & & Perush & Pengolahan Konstruksi Jasa Penggalian Minum Restoran Komunikasi Jasa Perush 0.0212 0.0216 -0.0974 -0.0299 0.0454 0.1593 -0.0915 0.0041
0.0823 0.0302 0.0316 0.0147 0.0509 0.0320 0.0321 0.0391
0.2021 0.5248 0.1387 0.1220 0.0280 0.1553 0.1257 0.1852
0.0274 0.0416 -0.1290 -0.0054 0.0362 0.1204 -0.0781 0.0019
0.0309 0.0168 0.2124 0.1515 0.0936 0.0532 0.0772 0.0908
0.0422 0.0289 0.0336 -0.0116 0.0699 0.0264 0.0195 0.0298
0.1395 0.1736 0.1705 -0.0126 0.2475 0.1127 0.0576 0.1270
0.0470 0.0212 0.0520 0.0757 0.0330 0.0382 0.0390 0.0438
Kabupaten Pohuwato Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
0.0595 0.0052 0.0618 0.0186 0.0452 0.0587 0.0183 0.0492
Pertambang Industri Listrik, Bangunan Perdagangan Pengangkutan Keuangan, an & Pengola Gas & Air /Konstruk , Hotel & & Perush & Penggalian han Minum si Restoran Komunikasi Jasa Perush -0.0387 0.0870 0.0433 0.0416 0.0250 0.0539 0.0246 0.0382
0.1960 0.1082 0.0794 0.0618 0.0174 0.0397 0.0968 0.0777
0.0714 0.0552 0.0404 0.1141 0.1498 0.2141 -0.0189 0.1524
0.0064 0.0347 0.0547 0.0497 0.1153 0.0375 0.0271 0.0417
0.1414 0.3679 0.0577 0.3020 0.0137 0.0188 0.1729 0.1328
0.0198 0.0307 0.0877 0.0247 0.0700 0.0623 0.0249 0.0359
0.2543 0.0667 0.1596 0.0588 0.1270 0.1126 0.0664 0.1226
JasaJasa 0.0203 0.0762 0.0700 0.0416 0.3269 0.1463 -0.0085 0.0854
Kabupaten Bone Bolango Tahun
Pertanian
2001-2002 2002-2003 2003-2004 2004-2005 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2002-2008
0.0461 0.0130 0.0195 0.0505 0.0784 0.0360 0.0634 0.0431
Pertambangan Industri & Penggalian Pengolahan 0.0610 0.0412 0.0388 0.0494 0.0300 0.0719 0.0923 0.0520
0.0594 0.0245 0.0396 0.0487 0.0258 0.0385 0.0285 0.0371
Listrik, Gas Bangun Perdagangan, Pengangkutan Keuangan, Jasa& Air an/Kon Hotel & & Perush & Jasa Minum struksi Restoran Komunikasi Jasa Perush 0.0365 0.0615 0.0258 0.0707 0.0819 0.0785 0.1201 0.0636
0.0311 0.0260 0.0281 0.0518 0.0438 0.0529 0.0375 0.0473
0.0384 0.0308 0.0359 0.0301 0.0256 0.0130 0.0474 0.0306
0.0402 0.0440 0.0739 0.1033 0.0818 0.0157 0.0291 0.0553
0.1158 0.5941 0.1783 0.0571 0.0498 0.2793 0.1821 0.1921
0.0395 0.0222 0.0546 0.0300 0.0359 0.0303 0.0340 0.0335
119
Lampiran 3: Perbandingan Struktur Ekonomi Provinsi Gorontalo
Resume SSA tahun 2002 Uraian
Pertanian
Pertambang Industri Listrik, Perdagangan, Pengangkut Keuangan, Bangunan/ an & Pengolah Gas & Air Hotel & an & Perush & Konstruksi Penggalian an Minum Restoran Komunikasi Jasa Perush
Kabupaten Gorontalo RS 0.0587 0.0587 PS (0.0022) 0.0103 DS 0.0176 0.0412 SSA 0.0866 0.0976 Kota Gorontalo RS 0.0587 0.0587 PS 0.0103 (0.0022) DS (0.0858) (0.0245) SSA (0.0168) 0.0320 Kabupaten Boalemo RS 0.0587 0.0587 PS 0.0103 (0.0022) DS (0.0353) 0.0167 SSA 0.0212 0.0857 Kabupaten Pohuwato RS 0.0587 0.0587 PS 0.0103 (0.0022) DS (0.0096) (0.0952) SSA 0.0595 (0.0387) Kabupaten Bone Bolango RS 0.0587 0.0587 PS 0.0103 (0.0022) DS (0.0230) 0.0046 SSA 0.0461 0.0610
0.0587
JasaJasa
0.0587
0.0587
0.0045 (0.0055) 0.0578
0.0587 (0.1016) (0.0936) (0.1365)
0.0587
0.0038 0.0162 0.0787
0.0587 (0.0246) (0.0045) 0.0297
0.0587
0.0154 (0.0276) 0.0465
0.0694 (0.0188) 0.1093
0.0022 0.0054 0.0663
0.0587 0.0154 (0.0016) 0.0726
0.0587 0.0038 (0.0164) 0.0460
0.0587 (0.0246) 0.0296 0.0637
0.0587 0.0045 (0.0106) 0.0527
0.0587 (0.1016) 0.0730 0.0302
0.0587 0.0694 (0.0307) 0.0974
0.0587 0.0022 0.0171 0.0780
0.0587 0.0154 0.0082 0.0823
0.0587 0.0038 0.1397 0.2021
0.0587 (0.0246) (0.0068) 0.0274
0.0587 0.0045 (0.0324) 0.0309
0.0587 (0.1016) 0.0850 0.0422
0.0587 0.0694 0.0114 0.1395
0.0587 0.0022 (0.0139) 0.0470
0.0587 0.0154 0.1219 0.1960
0.0587 0.0038 0.0089 0.0714
0.0587 (0.0246) (0.0278) 0.0064
0.0587 0.0045 0.0781 0.1414
0.0587 (0.1016) 0.0627 0.0198
0.0587 0.0694 0.1262 0.2543
0.0587 0.0022 (0.0406) 0.0203
0.0587 0.0154 (0.0148) 0.0594
0.0587 0.0038 (0.0260) 0.0365
0.0587 (0.0246) (0.0031) 0.0311
0.0587 0.0045 (0.0249) 0.0384
0.0587 (0.1016) 0.0830 0.0402
0.0587 0.0694 (0.0123) 0.1158
0.0587 0.0022 (0.0214) 0.0395
Keterangan: Sektor Primer : 8 = 26.67% Sektor Sekunder : 8 = 26.67% Sektor Tersier :14 = 46.67% Salah satu sektor primer memiliki Proportionality Shift yang positif
120
Resume SSA Interval Tahun 2002-2008
Uraian Pertanian
Pertambang Industri Listrik, Perdagangan, Pengangkut Keuangan, Bangunan/ an & Pengolah Gas & Air Hotel & an & Perush & Konstruksi Penggalian an Minum Restoran Komunikasi Jasa Perush
Kabupaten Gorontalo RS 0.0615 0.0615 PS (0.0113) (0.0051) DS 0.0060 0.0152 SSA 0.0563 0.0715 Kota Gorontal RS 0.0615 0.0615 PS (0.0113) (0.0051) DS (0.0331) (0.0018) SSA 0.0172 0.0546 Kabupaten Boalemo RS 0.0615 0.0615 PS (0.0113) (0.0051) DS (0.0523) 0.0213 SSA 0.0715 0.0041 Kabupaten Pohuwato RS 0.0615 0.0615 PS (0.0113) (0.0051) DS (0.0120) (0.0226) SSA 0.0382 0.0338 Kabupaten Bone Bolango RS 0.0615 0.0615 PS (0.0113) (0.0051) DS (0.0064) (0.0014) SSA 0.0438 0.0549
JasaJasa
0.0615 (0.0140) (0.0226) 0.0249
0.0615 0.0097 0.0075 0.0787
0.0615 (0.0286) 0.0034 0.0363
0.0615 0.0118 (0.0384) 0.0348
0.0615 0.0080 0.0129 0.0824
0.0615 0.0576 0.0205 0.1395
0.0615 (0.0046) (0.0025) 0.0544
0.0615 (0.0140) 0.0340 0.0816
0.0615 0.0097 (0.0192) 0.0521
0.0615 (0.0286) 0.0052 0.0381
0.0615 0.0118 0.0014 0.0747
0.0615 0.0080 0.0067 0.0763
0.0615 0.0576 (0.0499) 0.0692
0.0615 (0.0046) 0.0051 0.0620
0.0615 (0.0140) (0.0084) 0.0391
0.0615 0.0097 0.1140 0.1852
0.0615 (0.0286) (0.0310) 0.0019
0.0615 0.0118 0.0175 0.0908
0.0615 0.0080 (0.0397) 0.0298
0.0615 0.0576 0.0079 0.1270
0.0615 (0.0046) (0.0132) 0.0438
0.0615 (0.0140) 0.0380 0.0856
0.0615 0.0097 0.0182 0.0894
0.0615 (0.0286) 0.0136 0.0465
0.0615 0.0118 0.0802 0.1535
0.0615 0.0080 (0.0238) 0.0457
0.0615 0.0576 0.0017 0.1208
0.0615 (0.0046) 0.0392 0.0961
0.0615 (0.0140) (0.0097) 0.0378
0.0615 0.0097 (0.0034) 0.0678
0.0615 (0.0286) 0.0059 0.0387
0.0615 0.0118 (0.0417) 0.0316
0.0615 0.0080 (0.0141) 0.0554
0.0615 0.0576 0.0890 0.2080
0.0615 (0.0046) (0.0217) 0.0352
Keterangan: Sektor Primer : 4 = 13.33% Sektor Sekunder : 9 = 30% Sektor Tersier :17 = 56.67% Sektor primer tidak memiliki Proportionality Shift yang positif
121
Lampiran 4: Matriks Tipologi Klassen Provinsi Gorontalo, 2001-2008 (Pohuwato dan Bone Bolango dihitung mulai tahun 2003
PDRB per Kapita (y) Laju Pertum.(r)
(ri > r)
(ri < r)
(yi < y)
(yi > y)
1. Kab.Gorontalo: 2004, 2006 & 1. Kab.Boalemo: 2001-2003, & 2007. rata-rata 2001-2008 2. Kab. Boelamo : 2005. 2. Kota Gorontalo: 2001, 20043. Kab.Bone Bolango: 2008 2007, rata-rata 2001-2008 & rata-rata 2003-2008. 3. Kab.Pohuwato: 2004-2006, 2008 & rata-rata 2003-2008 1. Kab.Gorontalo: 2001, 2002, 1. Kota Gorontalo: 2002,2003, 2003, 2005, 2008, rata-rata & 2008. 2001-2008, & rata-rata 2003- 2. Kab.Boalemo: 2004. 2008. 3. Kab. Pohuwato: 2007 2. Kab. Boalemo: 2006-2008 & rata-rata 2003-2008. 3. Kab.Bone Bolango: 20042007 & rata-rata 2003-2008
Keterangan : r : Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. y : Rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota. r1 : Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati. y1 : PDRB per kapita kabupaten/kota yang diamati
122
Lampiran 5: Perbandingan PDRB, IPM, Kemiskinan, DAU & DAK Kab/Kota di Provinsi Gorontalo
a) PDRB Kab/Kota (Juta Rupiah)
c) Penduduk Miskin (Ribu Jiwa)
b) Indeks Pembangunan Manusia
d) Dana Alokasi Umum (Rupiah)
e) Dana Alokasi Khusus(Rupiah)
123
Lampiran 6: Print Out E-VIEWS dengan Indeks Willliamson Correlated Random Effects Hausman Test Pool: PANEL Test cross-section random effects Chi Sq. Test Summary Statistic Cross-section random 9.4705
Chi Sq. d.f
Prob
3
0.0236
Dependent Variable: IW Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 11/08/09 Time: 14:30 Sample: 2001 2008 Included observations: 8 Cross-sections included: 5 Total pool (unbalanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Y? RBI? IPM? Fixed Effects (Cross) _BOALEM--C _BONBOL--C _KABGTL--C _KOTAGT--C _POHUWA--C
0.041895 -1.98E-08 -0.085964 0.004065
0.080677 7.71E-09 0.026379 0.001462
0.519294 -2.572901 -3.258773 2.780621
0.6076 0.0157 0.0029 0.0096
0.005078 -0.008296 -0.014204 -0.004895 0.026990 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.995763 0.994703 0.005208 939.9702 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.283691 0.071556 0.000759 1.623466
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.397533 0.000773
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.261978 1.536020
124
Lampiran 7: Print Out E-VIEWS dengan Indeks Gini Correlated Random Effects Hausman Test Pool: PANEL Test cross-section random effects Chi Sq. Test Summary Statistic Cross-section random 48.3998
Chi Sq. d.f
Prob
3
0.0000
Dependent Variable: GR Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 11/08/09 Time: 14:32 Sample: 2001 2008 Included observations: 8 Cross-sections included: 5 Total pool (unbalanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Y? RBI? IPM? Fixed Effects (Cross) _BOALEM--C _BONBOL--C _KABGTL--C _KOTAGT--C _POHUWA--C
-0.703993 1.88E-08 -0.105074 0.015317
0.074403 1.31E-08 0.022319 0.001545
-9.461938 1.433493 -4.707731 9.912703
0.0000 0.1628 0.0001 0.0000
0.030176 0.016439 0.012560 -0.053013 -0.002737 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999118 0.998897 0.010060 4530.028 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.520934 0.302940 0.002834 1.320298
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.922152 0.003083
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.360000 0.834367
125
Lampiran 8: Print Out E-VIEWS Indeks Williamson dengan Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita, RBI dan IPM Dependent Variable: IW Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 10/27/09 Time: 14:28 Sample: 2001 2008 Included observations: 8 Cross-sections included: 5 Total pool (unbalanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Y? RBI? IPM? Fixed Effects (Cross) _BOALEM--C _BONBOL--C _KABGTL--C _KOTAGT--C _POHUWA--C
0.125035 -0.000177 -0.072650 0.002140
0.065712 0.000343 0.028207 0.001012
1.902788 -0.517036 -2.575576 2.113962
0.0674 0.6092 0.0156 0.0436
0.004769 0.004556 -0.003534 -0.007170 0.003357 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.991184 0.988980 0.005450 449.7039 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.276308 0.051916 0.000832 1.649588
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.339681 0.000847
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.261978 1.569376
126
Lampiran 9: Print Out E-VIEWS Indeks Gini dengan Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita, RBI dan IPM Dependent Variable: GR Method: Pooled EGLS (Cross-section weights) Date: 10/27/09 Time: 14:27 Sample: 2001 2008 Included observations: 8 Cross-sections included: 5 Total pool (unbalanced) observations: 36 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (no d.f. correction) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C Y? RBI? IPM? Fixed Effects (Cross) _BOALEM--C _BONBOL--C _KABGTL--C _KOTAGT--C _POHUWA--C
-0.789726 0.000325 -0.126927 0.017250
0.037747 0.000378 0.010540 0.000566
-20.92173 0.860939 -12.04230 30.47190
0.0000 0.3966 0.0000 0.0000
0.031152 0.004621 0.001761 -0.051252 0.019833 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999106 0.998883 0.010123 4472.511 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.518110 0.302911 0.002870 1.312495
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.922286 0.003077
Mean dependent var Durbin-Watson stat
0.360000 0.810950
127
Lampiran 10: Print Out E-VIEWS Hubungan Ketimpangan Pembangunan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo a. Dengan Indeks Williamson Dependent Variable: LOG(IW) Method: Pooled Least Squares Date: 01/23/10 Time: 08:00 Sample: 2001 2008 Included observations: 8 Cross-sections included: 5 Total pool (balanced) observations: 40 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(Y?) Fixed Effects (Cross) _BOALEM--C _BONBOL--C _KABGTL--C _KOTAGT--C _POHUWA--C
-3.129449 0.122248
0.632731 0.043295
-4.945939 2.823613
0.0000 0.0079
0.006343 0.033893 0.030950 -0.022733 -0.048453 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.189951 0.070827 0.025032 0.021305 93.99633 1.437733
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-1.342896 0.025969 -4.399816 -4.146484 1.594558 0.188113
128
b. Dengan Indeks Gini Dependent Variable: LOG(GR) Method: Pooled Least Squares Date: 01/23/10 Time: 08:01 Sample: 2001 2008 Included observations: 8 Cross-sections included: 5 Total pool (balanced) observations: 40 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(Y?) Fixed Effects (Cross) _BOALEM--C _BONBOL--C _KABGTL--C _KOTAGT--C _POHUWA--C
-14.49826 0.920869
1.443314 0.098759
-10.04512 9.324363
0.0000 0.0000
0.047777 0.255307 0.233139 -0.171239 -0.364984 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.718878 0.677536 0.057101 0.110857 61.01027 1.255976
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-1.040542 0.100555 -2.750513 -2.497182 17.38875 0.000000