Analisis Penerimaan dan Pengeluaran Publik
Kabupaten Sorong Selatan
Analisis Penerimaan dan Pengeluaran Publik Kabupaten Sorong Selatan 2013
Acknowledgement Laporan Analisis Penerimaan dan Pengeluaran Publik/ Public Expenditure and Revenue Analysis (PERA) ini diterbitkan melalui kerjasama Yayasan BaKTI dengan Pemerintah Australia melalui Program Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD). Disclaimer Pandangan dan pendapat dalam laporan Analisis Penerimaan dan Pengeluaran Publik/ Public Expenditure and Revenue Analysis (PERA) ini bersumber dari Yayasan BaKTI, dan tidak menggambarkan pandangan Pemerintah Australia.
Kata Pengantar Direktur Program AIPD Salah satu upaya untuk mendukung pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik untuk mendorong perbaikan pada layanan publik, Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) bersama dengan Bursa Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) melakukan penyusunan kajian penerimaan dan pengeluaran publik dalam bentuk laporan Public Expenditure and Revenue Analysis (PERA) di 20 kabupaten di Indonesia termasuk Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat. Laporan kajian PERA ini memberikan gambaran situasi maupun tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan dalam pembangunan kapasitas fiskal dan pengelolaan keuangan daerah. Sejalan dengan itu, sejumlah rekomendasi yang relevan terkait isu-isu strategis seperti kemiskinan, kesetaraan gender dan HIV/AIDS juga dihasilkan dalam laporan ini. Berbagai rekomendasi dalam laporan ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan daerah dan dapat berkontribusi terhadap optimalisasi pemanfaatan dana Otonomi Khusus (Otsus) di sektor-sektor kunci seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pertanian. Pada kesempatan ini, kami sampaikan apresiasi dan penghargaan kami kepada Tim Peneliti dari Pusat Kajian Ekonomi dan Keuangan Daerah Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan peneliti senior dari Universitas Hasanuddin – Yayasan BaKTI Makassar yang telah bekerja keras untuk terwujudnya laporan ini. Penghargaan yang setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan RI, Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan yang berperan penting dalam mengarahkan dan menfasilitasi seluruh proses pembuatan laporan ini. Kami mengharapkan bahwa laporan kajian PERA ini dapat berkontribusi bagi Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan dan pemerhati keuangan dan pembangunan daerah demi terwujudnya perbaikan layanan publik melalui kebijakan penganggaran dan pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik di Kabupaten Sorong Selatan.
Direktur Program
Jessica Ludwig-Maaroof
iii
Kata Pengantar Bupati Sorong Selatan Upaya-upaya untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di merupakan prioritas kerja Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan. Sebagai kabupaten yang baru berusia relatif muda, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan menyadari bahwa masih banyak upaya yang perlu dilakukan guna mengejar ketertinggalan pencapaian pembangunan. Upaya intens dan inovatif yang mentargetkan langsung ke pelayanan dasar masih terus dilakukan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Sorong Selatan. Disadari bahwa upaya perbaikan siatuasi kesehatan dan pendidikan harus diawali dari perencanaan dan penganggaran yang tepat sasaran, pelaksanaan program yang konsisten serta pemantauan terhadap pelaksanaan program secara berkala. Laporan Kajian Pendapatan dan Belanja Publik di Kabupaten Sorong Selatan menjadi salah satu alat bantu evaluasi tengah waktu (mid-term evaluation) terhadap proses pembangunan di Sorong Selatan dari sisi pengelolaan keuangan daerah dan menjadi masukan bagi pemerintah daerah untuk perbaikan dalam aspek-aspek kunci pengelolaan keuangan daerah. Rekomendasi-rekomendasi dari kajian ini sangat jelas dan bermanfaat, dan akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan dan rencana kerja di tahun berikutnya. Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mengapresiasi komitmen dan upaya yang telah dilakukan AIPD bersama DJPK Kementerian Keuangan RI dan Pemerintah Provinsi Papua Barat serta UNIPA dan Yayasan BaKTI dalam melakukan Kajian Pendapatan dan Belanja Publik serta memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk perbaikan pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Sorong Selatan. Semoga publikasi ini dapat dijadikan salah satu referensi penting oleh semua pemangku kepentingan dalam upaya-upaya peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah. Teminabuan, Desember 2013 Bupati Sorong Selatan
Drs. Otto Ihalauw, MA
iv
Daftar Isi Acknowledgement/ Disclaimer Kata Pengantar Direktur Program AIPD Kata Sambutan Bupati Sorong Selatan Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel Daftar Singkatan Ringkasan Eksekutif
ii iv v vii viii ix x xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Karakteristik Daerah 1.2. Kinerja Makro Ekonomi 1.3. Kinerja Pembangunan Sosial 1.4. Kesimpulan dan Rekomendasi
1 2 3 5 6
BAB II PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2.1. Gambaran Umum Pengelolaan Keuangan Daerah 2.2. Analisis Perencanaan Dan Penganggaran 2.3. Analisis Pelaksanaan Anggaran: Manajemen Kas, Pengadaan Manajemen Aset, Akuntansi dan Pelaporan 2.4. Analisis Oversight dan Accountability 2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi
7 8 8 9 12 13
BAB III PENDAPATAN DAERAH DAN PEMBIAYAAN DAERAH 3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah 3.2. Struktur Pendapatan Daerah Riil 3.3. Postur Pendapatan Asli Daerah 3.4. Pembiayaan Daerah 3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi
15 16 17 17 22 23
BAB IV BELANJA DAERAH 4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah 4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi 4.3.Belanja Daerah Menurut Sektor 4.4. Kesimpulan dan Rekomendasi
25 26 28 28 29
BAB V SEKTOR-SEKTOR STRATEGIS 5.1. Sektor Pendidikan 5.1.1. Belanja Sektor Pendidikan 5.1.2. Kinerja Keluaran Sektor Pendidikan 5.1.3. Kinerja Hasil Sektor Pendidikan 5.1.4 Kesimpulan dan Rekomendasi 5.2. Sektor Kesehatan 5.2.1. Belanja Sektor Kesehatan 5.2.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Kesehatan 5.2.3. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.3. Sektor Infrastuktur 5.3.1. Belanja Sektor Infrastruktur 5.3.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Infrastruktur 5.3.3. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.4. Sektor Pertanian 5.4.1. Sub Sektor Tanaman Pangan 5.4.1.1. Belanja Sub Sektor Tanaman Pangan 5.4.1.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sub Sektor Tanaman Pangan 5.4.1.3. Kesimpulan dan Rekomendasi
31 32 32 33 34 36 36 36 37 38 39 39 39 40 40 40 40 41 42
v
5.4.2. Sub Sektor Kelautan dan Perikanan 5.4.2.1 Belanja Sub Sektor Kelautan dan Perikanan 5.4.2.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sub Sektor Kelautan dan Perikanan 5.4.2.3. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.4.3. Sub Sektor Kehutanan 5.4.3.1 Belanja Sub Sektor Kehutanan 5.4.3.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sub Sektor Kehutanan 5.4.3.3. Kesimpulan dan Rekomendasi 5.4.3. Kesimpulan dan Rekomendasi BAB VI ISU-ISU STRATEGIS 6.1. Isu Kemiskinan 6.2. Isu Gender 6.3. Isu HIV/AIDS 6.4. Isu Mitigasi Bencana 6.5. Dana Otonomi Khusus 6.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Lampiran Lampiran Matriks A Kesimpulan dan Rekomendasi Lampiran Matriks B Master Tabel Lampiran Matriks C Catatan Metodologi PERA
42 42 43 43 44 44 45 45 43 47 48 49 50 51 52 57 59 60 63 66
Daftar Gambar Gambar. 1.1. Gambar. 1.2. Gambar. 1.3. Gambar. 1.4. Gambar. 1.5. Gambar. 1.6. Gambar. 1.7. Gambar. 2.1. Gambar. 2.2. Gambar. 2.3. Gambar. 2.4. Gambar. 2.5. Gambar. 2.6. Gambar. 2.7. Gambar. 3.1. Gambar. 3.2. Gambar. 3.3. Gambar. 3.4. Gambar. 3.5. Gambar. 3.6. Gambar. 3.7. Gambar. 3.8. Gambar. 3.9. Gambar. 3.10. Gambar. 3.11. Gambar. 3.12.
vi
Peta Administrasi Kabupaten Sorong Selatan Pertumbuhan Ekonomi Sorong Selatan dan Papua Barat, 2007-2011 Struktur PDRB Kabupaten Sorong Selatan PDRB Riil Perkapita Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Tingkat Inflasi Kabupaten Sorong Selatan,Papua Barat dan Indonesia Penduduk Sorong Selatan berdasarkan Jenis kelamin dan Umur TPAK dan TPT Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Thn. 2007 - 2011 Skor penilaian PKD Skor Penilaian Kerangka Peraturan Perundangan. Skor Penilaian Perencanaan dan Penganggaran. Skor Penilaian dan Pembayaran Kas Skor Penilaian Sistem Akuntansi dan Manajemen Skor Penilaian Pengolahan Aset Daerah Skor Penilaian Kinerja Oversight dan Accountability Total Pendapatan Riil Sorsel, Provinsi Papua Barat dan Tiga Kabupaten Lainnya serta Pertumbuhan Pendapatan Tahun 2007-2011 Perbandingan Pendapatan Daerah Perkapita Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat, 2007-2011 Perkembangan Pendapatan Daerah Riil dan Proporsinya Terhadap Total Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong Selatan Komposisi dan Proporsi PAD Kabupaten Sorong Selatan, 2007-2011 Komposisi dan Proporsi Retribusi Daerah Kabupaten Sorong Selatan, Thn. 2007-2011 Perkembangan dan Postur Dana Perimbangan Riil Kab. Sorong Selatan, 2007-2011 Perbandingan Dana Perimbangan Kabupaten Sorsel, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat dan Provinsi Papua Barat Perolehan Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat, dan Provinsi Papua Barat, 2007-2011 Perolehan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak Kabupaten Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, 2007-2011 Perkembangan Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Proporsi Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah di Kabupaten Sorong Selatan Perkembangan Surplus dan Defisit APBD di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat, Tahun 2007-2011
2 3 3 4 4 5 5 8 9 10 10 11 11 12 16 16 17 18 18 19 20 20 21 21 22 22
Gambar. 4.1. Perkembangan Total Belanja riil Kabupaten Sorong Selatan dan Posisi Relatif terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2007-2011 Gambar. 4.2. Posisi Relatif Belanja Kabupaten Sorong Selatan Terhadap Kabupaten Lainnya (Manokwari, Fak-Fak, Raja Ampat) Gambar. 4.3. Belanja Perkapita Kabupaten Sorong Selatan, Fak-Fak, Manokwari, Raja Ampat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Gambar. 4.4. Dana APBN yang dibelanjakan di Kabupaten Sorong Selatan, 2011 Gambar. 4.5. Komposisi Belanja Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Kabupaten Sorong Selatan. Gambar. 4.6. Perkembangan Belanja Sektoral dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Gambar. 5.1. Perkembangan Belanja Sektor Pendidikan dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.3. Komposisi Belanja Sektor Pendidikan Sorong Selatan dan Papua Barat Tahun 2011 Gambar. 5.4. RMS dan RMG di Kabupaten Sorong Selatan Berdasarkan Jenjang Pendidikan Gambar. 5.5. Perkembangan APS Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dan Nasional Gambar. 5.6. Perkembangan APK Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dan Nasional Gambar. 5.7. Perkembangan APM Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dan Nasional Gambar. 5.8. Perkembangan RLS Kabupaten Sorong Selatan dan Papua Barat Gambar. 5.9. Perkembangan AMH Kabupaten Sorong Selatan dan Papua Barat Gambar. 5.10. Belanja Riil Sektor Kesehatan dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.11. Komposisi dan Proporsi Belanja Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.12. Proporsi Belanja Sektor Kesehatan di Kab. Sorong Selatan dan Papua Barat,2011 Gambar. 5.13. Perkembangan Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan di Kab. Sorong Selatan Gambar. 5.14. Angka Harapan Hidup Kabupaten Sorong Selatan dan Propinsi Papua Barat Gambar. 5.15. Belanja Riil Sektor Infrastruktur dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.16. Komposisi dan Proporsi Belanja Riil Sektor Infrastruktur Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.17. Panjang Jalan Kabupaten Sorong Selatan Menurut Kondisi dan Jenis Permukaan Gambar. 5.18. Perkembangan Belanja Riil Sektor Pertanian dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.19. Proporsi Alokasi Belanja Riil Sub Sektor Pertanian Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Gambar. 5.20. Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.21. Belanja Riil Sub Sektor Kelautan dan Perikanan dan Komposisinya Di Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.22. Proporsi Belanja Sub Sektor Kelautan dan Perikanan Gambar. 5.23. Produksi Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 5.24. Proporsi Belanja Riil Sub Sektor Kehutanan dan Komposisinya di Kab. Sorong Selatan Gambar. 5.25. Proporsi Belanja Sub Sektor Kehutanan di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011 Gambar. 5.26. Produksi Hasil Hutan di Kabupaten Sorong Selatan 2007-2011 Gambar. 6.1. Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat Kemiskinan Di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Tahun 2007-2011 Gambar. 6.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten Sorong Selatan menurun selama kurun waktu 2007-2011 Gambar. 6.3. Jumlah Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sorong Selatan, Tahun 2005-2012 Gambar. 6.4. Perkembangan Belanja riil Dana Otsus di Kabupaten Sorong Selatan dan Tiga Kabupaten Lainnya di P apua Barat, 2007-2011 Gambar. 6.5. Tingkat Penyerapan, pertumbuhan dan alokasi Dana Otsus Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 Gambar. 6.6. Alokasi Sektoral Dana Otsus di Kabupaten Sorong Selatan, Tahun 2012 Gambar. 6.7. Porsi Realisasi Dana Otsus untuk Pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan, 2007-2011 Gambar. 6.8. Komposisi Dana Otsus untuk Berbagai Program Pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2010 Gambar. 6.9. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 Gambar. 6.10. Nilai nominal dan Proporsi Dana Otsus Sektor Kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2007-2011
26 26 27 27 28 29 32 33 33 34 34 35 35 36 36 37 37 38 38 39 39 40 41 41 42 42 43 43 44 44 45 48 48 51 52 53 53 54 54 55 55
vii
Gambar. 6.11. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 Gambar. 6.12. Nilai nominal dan Proporsi Dana Otsus Sektor Infrastruktur di Kab. Sorong Selatan Gambar. 6.13. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 Gambar. 6.14. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011
56 56 57 57
Daftar Tabel Tabel. 1.1. Perkembangan IPM di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Tabel. 2.1. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Papua Barat, 2006-2011 Tabel. 3.1. Perolehan Sumber-Sumber Pajak Daerah Kabupaten Sorong Selatan, Tahun 2007-2011 Tabel. 6.1. Tabel Indeks Pembangunan Gender Kab./Kota di Provinsi Papua Barat, Tahun 2004-2010 Tabel. 6.2. Tabel Indeks Pemberdayaan Gender Kab./Kota di Provinsi Papua Barat, Tahun 2004-2010
Daftar Singkatan APBD APS AMH AHH BPK BPM DAK DAU DBH DDA DPA SKPD DPPKAD DPRD HIV/AIDS IDG IPM IPG KUA APBD KPBA LKPD PAD PFM/PKD PPAS PPK SKPD PDB/PDRB PNPM RKA SKPD RLS RKPD RPJM RMG RMS SDM SiLPA SD/MI SKPD SPM TPAK TPT UNDP UKM
viii
= Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah = Angka Partisipasi Sekolah = Angka Melek Huruf = Angka Harapan Hidup = Badan Pemeriksa Keuangan = Badan Pemberdayaan Masyarakat = Dana Alokasi Khusus = Dana Alokasi Umum = Dana Bagi Hasil = Daerah Dalam Angka = Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah = Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah = Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immuno Deficiency Syndrome = Indeks Pemberdayaan Gender = Indeks Pembangunan Manusia = Indeks Pembangunan Gender = Kebijakan Umum APBD = Kantor Penanggulangan Bencana Alam = Laporan Keuangan Pemerintah Daerah = Pendapatan Asli Daerah = Public Finance Management / Pengelolaan Keuangan Daerah = Plafon Priotitas Anggaran Sementara = Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah = Produk Domestik Bruto / Produk Domestik Regional Bruto = Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat = Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah = Rata-rata Lama Sekolah = Rencana Kerja Pemerintah Daerah = Rencana Pembangunan Jangka Menengah = Rasio Murid-Guru = Rasio Murid-Sekolah = Sumberdaya Manusia = Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu = Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidayah = Satuan Kerja Pemerintah Daerah = Standar Pelayanan Minimal = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja = Tingkat Pengangguran Terbuka =United Nation and Development Programme = Unit Usaha Kecil dan Menengah
6 12 19 49 50
Ringkasan Eksekutif
Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan terus membaik dalam tiga tahun terakhir. Sektor pertanian masih mendominasi struktur ekonomi dan menjadi penggerak utama perekonomian Kabupaten Sorong Selatan. Transformasi ekonomi tidak mengalami perubahan berarti karena sektor industri pengolahan dan sektor jasa cenderung stagnan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan berada jauh di bawah Provinsi Papua Barat. Indeks pembangunan manusia (IPM) juga memperlihatkan peningkatan setiap tahun baik pada aspek pendidikan, kesehatan, dan maupun pengeluaran riil, namun posisinya juga berada di bawah rata-rata Provinsi Papua Barat. Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah secara umum sudah berjalan secara efektif baik pada aspek perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, maupun pada pertanggungjawaban anggaran. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa bidang yang memperoleh rata-rata skor dibawah dari 40 persen tertutama pada bidang pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran seperti penilaian asset, pengelolaan kas, pengadaan dan pelaporan dan akuntansi. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah Kabupaten Sorong Selatan secara rata-rata mengalami penurunan hingga tahun 2010, namun pada tahun 2011 bertumbuh cukup signifikan sebesar 24 persen dari -53 persen pada tahun 2010. Pendapatan daerah masih tetap didorong oleh pendapatan yang bersumber dari dana perimbangan. Selama periode 2007-2011, kontribusi dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah 76,7 persen per tahun, sementara PAD hanya menyumbang rata-rata 2,7 persen dan selebihnya sekitar 20 persen berasal dari LainLain pendapatan daerah yang sah. Kondisi ini berarti tingkat ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat masih cukup besar sehingga ke depan dibutuhkan kebijakan yang tepat untuk tetap mendorong peningkatan pendapatan asli daerah. Sumber utama peningkatan pendapatan asli daerah berasal dari Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, namun cenderung menurun dan digantikan oleh peran pajak daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang mempunyai prospek ke depan untuk ditingkatkan perannya adalah pajak restoran, pajak hotel, dan retribusi perijinan tertentu. Belanja Daerah Penurunan pendapatan daerah berimplikasi terhadap realisasi belanja daerah. Pada dua tahun terakhir, belanja daerah menurun drastis dibandingkan dengan tahun 2009. Penurunan belanja daerah turut mempengaruhi belanja per kapita di Kabupaten Sorong Selatan. Penurunan belanja daerah terutama terjadi pada alokasi belanja lain-lain.Selama lima tahun terakhir, belanja daerah riil rata-rata Rp 604,25 milyar dan menempati urutan terrendah dari tiga kabupaten studi (Fakfak, Manokwari, dan Raja Ampat). Porsi belanja modal lebih mendominasi struktur belanja dengan rata-rata 46,19 persen per tahun, kemudian disusul oleh porsi belanja pegawai dengan rata-rata 29,31 persen. Keduanya cenderung mengalami peningkatan di tahun 2011. Ini berarti penurunan belanja total tidak mempengaruhi porsi alokasi belanja pegawai dan belanja modal, tetapi penurunan terjadi pada pos belanja lainnya. Sementara porsi alokasi belanja sektoral terbesar adalah sektor pemerintahan umum tetapi menurun pada dua tahun terakhir dan terkecil adalah sektor kesehatan. Penurunan porsi belanja sektor pemerintahan umum telah berdampak positif pada porsi belanja untuk sektor infrastruktur dan sektor pendidikan.
x
Analisis Sektor Strategis Pendidikan Alokasi belanja untuk sektor pendidikan menempati urutan ketiga dari seluruh sektor prioritas dan meningkat tajam di tahun 2011. Selama periode 2007-2011, porsi belanja untuk sektor pendidikan terhadap total belanja sebesar 18 persen per tahun. Alokasi belanja terbesar di sektor ini adalah belanja pegawai 52,43 persen per tahun. Alokasi belanja pada sektor pendidikan belum berdampak luas pada perbaikan kinerja hasil di sektor pendidikan. Indikator APS pada semua jenjang pendidikan SD, SLTP, SLTA, dan PT secara umum mengalami penurunan pada dua tahun terakhir bahkan lebih rendah dari Papua Barat dan Nasional. Pada satu sisi, porsi belanja untuk sektor pendidikan pada dua tahun terakhir justru mengalami peningkatan. Kondisi ini berarti pemanfaatan belanja untuk program-program peningkatan APS belum optimal. Oleh karena itu, perlu ada penajaman kegiatan yang mendorong peningkatan APS. Kesehatan Sektor kesehatan memperoleh porsi belanja terrendah dari sektor strategis lainnya (pendidikan, infrastruktur, pertanian). Porsi belanja terbesar di sektor ini adalah belanja barang dan pegawai sehingga menekan porsi belanja modal. Rendahnya alokasi belanja di sektor ini, turut mempengaruhi ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga dokter. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk cenderung membaik namun belum maksimal. Demikian halnya dengan angka harapan hidup masih dibawah dari rata-rata Provinsi Papua Barat. Ini berarti untuk lebih meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka evaluasi kebijakan penganggaran untuk sektor kesehatan perlu dilakukan. Infrastruktur Porsi belanja untuk sektor infrastruktur mengalami peningkatan pada dua tahun terakhir (2010-2011) sebagai akibat dari penurunan porsi belanja pada sektor pemerintahan umum. Pergeseran porsi belanja ke sektor infrastruktur dimaksudkan untuk lebih mendorong pembangunan di Kabupaten Sorong Selatan. Hal ini dapat dilihat dari perbaikan capaian kinerja di sektor ini seperti kondisi jalan dengan kondisi baik di tahun 2010 semakin meningkat, namun kondisi jalan rusak berat juga meningkat. Selain itu, jalan yang beraspal dan krikil juga mengalami penurunan. Hal ini berarti upaya perbaikan jalan dari kerikil ke aspal belum optimal.
xi
xii
1
Pendahuluan
1.1. Karakteristik Daerah Struktur wilayah Kabupaten Sorong Selatan terdiri atas dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.946,94 Km² atau 4,07 persen dari total luas Provinsi Papua Barat atau urutan kedua terkecil dari 11 kabupaten/kota. Kabupaten Sorong Selatan terletak di bagian selatan Provinsi Papua Barat yang berbatasan langsung dengan Laut Seram, Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Teluk Bintuni. Dalam wilayah Kabupaten Sorong Selatan terdapat 68 kampung yang berada di daerah hamparan, 37 kampung berada di daerah lembah, dan 14 kampung berada di daerah puncak dan lereng. Sekalipun demikian, sebagian besar wilayah Sorong Selatan berada pada dataran rendah (88%) yang meliputi Distrik Teminabuan, Seremuk, Wayer, Moswaren. Penggunaan lahan untuk pengembangan potensi budidaya pertanian belum dimanfaatkan secara optimalkan. Sebagian besar lahan di Kabupaten Sorong Selatan memiliki kesesuaian untuk budidaya pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Namun, berdasarkan peruntukan lahan, hanya 2,6 persen yang digunakan untuk usaha kebun masyarakat, 91,2 persen dalam bentuk hutan dan sisanya 6,2 persen untuk pemukiman dan penggunaan lainnya. Dari seluruh luas kawasan hutan di Provinsi Papua Barat, sekitar 13,62 persen berada di Kabupaten Sorong Selatan, dengan luas mencapai 1.284.143 ha yang terdiri atas hutan lindung seluas 284.057 ha, hutan PPA seluas 65.941,16 ha, dan hutan produksi seluas 934.144,26 Ha. Gambar 1.1. Peta Administrasi Kabupaten Sorong Selatan
Sumber : BPS Sorong Selatan
Kabupaten Sorong Selatan dikenal sebagai penghasil dan pemasok pangan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Komoditas padi ladang, ubi jalar dan ubi kayu serta udang dan ikan merupakan komoditas unggulan yang dihasilkan di daerah ini. Produksi padi ladang mencapai rata-rata 300 ton per tahun, produksi ubi jalar rata-rata 250 ton per tahun, produksi ubi kayu rata-rata 50 ton per tahun, dan produksi perikanan mencapai puncak produksi tertinggi pada tahun 2011 mencapai 9.183 ton. Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan terus bertekad untuk menjadikan Kabupaten Sorong Selatan sebagai sumber pangan dan perikanan, karena potensi ini didukung oleh aspek biofisik dan budaya masyarakat.
2
1.2. Kinerja Ekonomi Makro Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat. Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan rata-rata di atas 7 persen per tahun, jauh berada di bawah pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua Barat yang mencapai rata-rata di atas 17 persen per tahun. Perlambatan ekonomi yang cukup tajam terjadi pada tahun 2008, dimana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesar -26,38 persen akibat adanya persiapan pembentukan daerah otonomi baru di kabupaten tersebut. Sektor pertanian masih menjadi motor penggerak perekonomian Kabupaten Sorong Selatan Gambar. 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Sorong Selatan dan Papua Barat, 2007-2011 40.00% 30.00%
27.80%
20.00% 10.00% 0.00% -10.00%
6.30%
8.67%
12.96% 8.11%
9.29%
2007
2008
2009
13.46% 8.03%
6.11% 2010
2011
-20.00%
-26.38%
-30.00%
Sorsel
Papua Barat
Sumber: DDA Papua Barat, 2007-2011. Data diolah.
Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir, namun kontribusinya masih sangat dominan (sekitar 45%). Kontribusi sektor bangunan dan konstruksi terhadap PDRB terus meningkat dan telah mencapai 19 persen pada tahun 2011. Kondisi ini disebabkan oleh semakin besarnya pembangunan infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan. Sedangkan sektor ekonomi lainnya menunjukkan kontribusi yang relatif stagnan dalam lima tahun terakhir. Gambar 1.3. Struktur PDRB Kabupaten Sorong Selatan Jasa-jasa 13.69
14.01
14.56
12.80
11.92
13.40
4.28
4.89
4.63
4.34
4.10
4.45
11.82
13.03
13.75
13.11
12.89
12.92
17.27
19.03
21.44
25.44
19.65
15.05
Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan Pengangkutan & Komunikasi Perdagangan hotel restoran Bangunan Listrik & air bersih
52.09
46.57
43.07
43.40
40.20
45.07
Industri pengolahan Pertambangan & penggalian
2007
2008
2009
2010
2011
rata-rata
Pertanian
Sumber : BPS, PDRB Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2011. Data Diolah
Sektor pertanian pangan, perikanan dan kehutanan masih menjadi leading sector bagi perekonomian Kabupaten Sorong Selatan. Pada tahun 2011, kontribusi subsektor perikanan sebesar 15,99 persen, subsektor tanaman bahan makanan sebesar 10,01 persen, dan subsektor kehutanan sebesar 13,62 persen. Fakta ini menegaskan bahwa perekonomian Kabupaten Sorong Selatan masih bertumpu pada potensi
3
sumberdaya alam. Untuk mendorong perekonomian Kabupaten Sorong Selatan ke level yang tinggi, pemerintah daerah perlu mendorong dan menfasilitasi pengembangan industri pengolahan (terutama agroindustri) untuk meningkatkan nilai tambah dan memperluas kesempatan kerja. Pada saat yang sama, pemerintah daerah juga perlu memberi perhatian terhadap kawasan hutan, terutama mengendalikan aktifitas perambah hutan yang berpotensi merusak kawasan hutan. Besarnya kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDRB sesungguhnya mengindikasikan terjadinya eksploitasi yang tinggi terhadap kawasan hutan. Seiring dengan membaiknya perekonomian daerah, PDRB riil per kapita Kabupaten Sorong menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir, PDRB riil per kapita meningkat lebih dari dua kali lipat. Pada tahun 2011, PDRB riil per kapita Kabupaten Sorong Selatan telah mencapai Rp 10 juta. Namun demikian, PDRB riil perkapita tersebut masih berada jauh di bawah rata-rata provinsi maupun empat kabupaten lainnya yang menjadi wilayah kerja AIPD. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk terus meningkatkan kinerja perekonomian daerahnya, menekan laju pertumbuhan penduduk, dan mengendalikan laju inflasi. Gambar 1.4. PDRB Riil Perkapita Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat
32.34
35.00
7.80
8.93
22.02 15.12
24.87
22.32
19.19 13.64
16.37
12.29
14.08
13.65
9.68
17.90 12.34
8.19
10.00
12.08
15.00
5.00
19.34
20.00
18.37
22.41
25.00
Manokwari
25.82
30.00
Fak-Fak Raja Ampat Papua Barat
10.00
Sorsel
5.33
4.71
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: DDA Papua Barat, 2008-2012
Laju inflasi di Kabupaten Sorong Selatan cukup tinggi yang dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan dan sandang. Bila dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat, laju inflasi di Kabupaten Sorong Selatan secara umum relatif lebih rendah, tetapi masih lebih tinggi dari Nasional. Namun pada tahun 2011, laju inflasi di Kabupaten Sorong Selatan sudah mencapai 9,53 persen, dimana angka tersebut berada di atas provinsi dan Nasional. Faktor yang menyebabkan tingginya laju inflasi di Kabupaten Sorong Selatan, antara lain, tingginya biaya transportasi dan biaya tataniaga akibat banyaknya produk yang didatangkan dari luar kabupaten. Gambar 1.5. Tingkat Inflasi Kabupaten Sorong Selatan,Papua Barat dan Indonesia 25.00% 21.43%
20.00% 15.00% 10.00%
9.53%
9.42%
5.00%
6.89%
5.05%
0.00% 2007
2008 Papua Barat
Sumber: BPS Papua Barat, 2007-2011
4
2009 Indonesia
2010 Sorsel
2011
1.3. Kinerja Pembangunan Sosial Jumlah penduduk Kabupaten Sorong Selatan selama kurun waktu 2007-2011 cenderung mengalami penurunan. Penduduk Kabupaten Sorong Selatan mengalami pertumbuhan penduduk negatif di tahun 2009 sebesar negatif 38,95 persen. Penurunan drastis ini disebabkan oleh dimekarkannya Kabupaten Sorong Selatan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat. Setelah dimekarkan, pada tahun-tahun berikutnya jumlah penduduk di Kabupaten Sorong Selatan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan dengan sex ratio 110,15. Kelompok umur balita dan kelompok usia sekolah mendominasi struktur penduduk Kabupaten Sorong Selatan. Gambar 1.6. Penduduk Sorong Selatan berdasarkan Jenis kelamin dan Umur 70000
10.00% 1.01%
60000
3.69%
0.87%
75 + 70 - 74 65 - 69 60 – 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15-19 10-14 5-9 0-4
5.00% 0.00% -5.00%
50000
-10.00% 40000
-15.00%
30000
-20.00% -25.00%
20000
-30.00% -35.00%
10000
-38.95%
-40.00%
0
-45.00% 2007
2008
2009
2010
2011 -4000
Laki-laki
Perempuan
Jumlah Penduduk
Pertumbuhan Penduduk
-3000
-2000
-1000
laki-laki
0
1000
2000
3000
perempuan
Sumber : BPS, PDRB Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2011. Data diolah.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Sorong Selatan sangat fluktuatif. Itu sebabnya jika dibandingkan dengan TPAK Provinsi Papua Barat, posisi TPAK Kabupaten Sorong Selatan kadang berada di atas atau di bawah provinsi, mengingat TPAK Provinsi Papua Barat meningkat secara linear. Namun fakta yang cukup menarik adalah tingkat penganguran terbuka (TPT) di Kabupaten Sorong Selatan selalu lebih rendah dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat, meskipun menunjukkan kecenderungan meningkat dalam empat tahun terakhir. Peningkatan TPAK pada tahun 2011 diikuti dengan peningkatan TPT. Ini berarti bahwa pertambahan jumlah angkatan kerja tidak sepenuhnya dapat terserap dalam pasar kerja. Jika diamati TPT berdasarkan tingkat pendidikan, maka TPT tertinggi berada pada tingkat pendidikan SMP yaitu sebesar 10,20%, diikuti dengan SMA (8,19%) dan perguruan tinggi (7,40%). TPT di wilayah perkotaan juga relatif lebih tinggi dibandingkan di wilayah pedesaan. Gambar 1.7.TPAK dan TPT Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Tahun 2007 - 2011 80 78 76 74 72 70 68 66 64 62 60
16 14
77.54
9.46
8.94
12
72.1
8
68.53 66.47
68.15
7.56
7.65
10
7.68
68.32
69.29 66.5
70.78
6 4.49
4
66.52
2
4.72
4.03
3.45
3.17
0
2007
2008 TPAK SORSEL
2009
2010
2011
2007
TPAK PAPUA BARAT
2008 TPT SORSEL
2009
2010
2011
TPT PABAR
Sumber: DDA Sorsel, dan Papua-Barat , 2007-2012 (data diolah)
5
IPM Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan peningkatan setiap tahun, namun masih berada di bawah Provinsi Papua Barat. IPM Kabupaten Sorong Selatan meningkat dari 65,38 (2007) menjadi 66,59 (2011). Meningkatnya IPM menyiratkan terjadinya perbaikan kinerja pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat. Bila merujuk pada kriteria UNDP, maka capaian IPM Sorong Selatan masih termasuk ke dalam golongan menengah atas (66≤IPM<80). Seluruh komponen pembentuk IPM juga menunjukkan peningkatan secara konsisten, namun seluruh komponen tersebut masih berada di bawah Provinsi Papua Barat. Jika dibandingkan dengan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat, Kabupaten Sorong Selatan menempati peringkat ke tujuh dari 11 kabupaten/kota, di atas Kabupaten Teluk Wondama, Maybrat, Raja Ampat, dan Tambarauw. Tabel 1.1. Perkembangan IPM di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat
Tahun
Rata-rata Lama Sekolah
Angka Melek Huruf
Angka Harapan Hidup
Pengeluaran Riil
IPM
Sorsel
Papua Barat
Sorsel
Papua Barat
Sorsel
Papua Barat
Sorsel
Papua Barat
Sorsel
Papua Barat
2007
7.90
7.65
87.90
90.32
66.19
67.60
582.10
592.07
65.38
67.28
2008
7.90
7.67
88.07
92.15
66.33
67.90
585.70
593.13
65.77
67.95
2009
7.94
8.01
88.20
93.19
66.49
68.20
587.90
595.28
66.09
68.58
2010
7.98
8.21
88.32
92.34
66.66
68.51
588.85
596.08
66.31
69.15
2011
8.06
8.26
88.43
93.39
66.82
68.81
590.23
599.29
66.59
69.65
Sumber: IPM Sorsel 2011, Statistik Pa-Bar,2010-2011
1.4. Kesimpulan dan Rekomendasi Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan terus membaik dalam tiga tahun terakhir. Sektor pertanian masih mendominasi struktur ekonomi dan menjadi penggerak utama perekonomian Kabupaten Sorong Selatan. Transformasi ekonomi tidak mengalami perubahan berarti karena sektor industri pengolahan dan sektor jasa cenderung stagnan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan berada jauh di bawah Provinsi Papua Barat. Dampak lebih lanjut dari kondisi ini adalah rendahnya tingkat pendapatan per kapita. Kondisi ini diperparah oleh tingkat inflasi yang tinggi yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Ke depan, pemerintah Kabupaten Sorong Selatan perlu mendorong dan menfasilitasi pengembangan industri pengolahan (terutama agro-industri) untuk meningkatkan nilai tambah, memperluas kesempatan kerja, dan memberi dampak luas terhadap pengembangan sektor ekonomi lainnya. Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan perlu memberi perhatian serius terhadap masalah kualitas sumberdaya manusia. IPM Kabupaten Sorong Selatan bukan hanya lebih rendah dari IPM Provinsi Papua Barat, tetapi juga menunjukkan peningkatan yang relatif lambat dibandingkan dengan rata-rata provinsi. Seluruh komponen pembentuk IPM juga menunjukkan angka di bawah rata-rata provinsi dengan kesenjangan tajam pada indikator angka melek huruf. Peningkatan akses penduduk terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, pemberantasan buta huruf, dan peningkatan aktifitas ekonomi kerakyatan merupakan agenda-agenda kebijakan yang perlu dikembangkan di masa depan oleh pemerintah Kabupaten Sorong Selatan.
6
2
Pengelolaan Keuangan Daerah
2.1. Gambaran Umum Pengelolaan Keuangan Daerah Secara umum, kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah (PKD) di Kabupaten Sorong Selatan termasuk dalam kategori kurang baik. Berdasarkan data hasil olahan untuk menilai kinerja pengelolaan keuangan daerah didapatkan fakta bahwa kinerja masing-masing bidang yang dinilai masih bervariasi. Kinerja yang paling lemah adalah pengelolaan aset dengan skor 31 persen, kemudian pengelolaan kas dan pengadaan masing masing 36 persen dan 38 persen, sedangkan aspek pengelolaan keuangan daerah lainnya mendapat skor antara 39 persen sampai dengan 64 persen. Berdasarkan 9 (sembilan) aspek yang dinilai, diperoleh skor rata-rata sebesar 44 persen sehingga dapat dikatakan bahwa masih terdapat berbagai kekurangan yang harus dibenahi untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang baik. Gambar 2.1 Skor penilaian PKD BIDANG 1: KERANGKA PERATURAN PERUNDANGAN DAERAH 70% BIDANG 2: PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
60%
Rata-rata 44%
50%
40% 45%
40% 30%
BIDANG 9: AUDIT DAN PENGAWASAN EKSTERNAL 55%
BIDANG 3: PENGELOLAAN KAS
20%
36%
10% 0% 31%
38% BIDANG 4: PENGADAAN
BIDANG 8: PENGELOLAAN ASET
39% BIDANG 7: HUTANG DAN INVESTASI PUBLIK
50% 64%
BIDANG 5: AKUNTANSI DAN PELAPORAN
BIDANG 6: PENGAWASAN INTERN
Sumber: Data Kuesioner PFM, data diolah (2013)
2.2. Analisis Perencanaan Dan Penganggaran Aspek perencanaan dan penganggaran yang memenuhi standar belum tersusun dengan baik walaupun dokumen perencanaan dan penganggaran multi tahun sudah tersedia. Dokumen RPJM, KUA APBD dan PPAS TA 2012, namun mekanismenya kurang melibatkan stakeholder pada masing-masing SKPD bahkan terjadi rotasi sehingga dalam Renstra dan Renja belum terhubung dengan baik. Dari 16 indikator yang disyaratkan dalam bidang perencanaan dan penganggaran dan dikelompokkan dalam perencanaan dan penganggaran multi tahun, target anggaran yang layak berdasarkan proses penyusunan anggaran yang realistis dan sistem pemantauan dan evaluasi, hanya 45 persen yang terpenuhi. Indikator yang belum sepenuhnya terpenuhi menyangkut target anggaran dan sistem pemantauan dan evaluasi dalam proses perencanaan dan penganggaran juga belum terlaksana secara utuh. Kerangka peraturan perundangan yang mendukung perencanaan dan penganggaran yang efektif dan efisien belum sepenuhnya didukung oleh perangkat peraturan daerah. Kerangka perundangan dalam mendukung perencanaan dan penganggaran yang efektif dan efisien dapat dipenuhi melalui 21 indikator namun hanya 9 indikator atau sebesar 40 persen yang terpenuhi. Walaupun terdapat perkada tentang RKPD maupun mengenai APBD namun penetapannya terlambat. Peraturan perundangan daerah yang belum tersedia diantaranya: SPM, kebijakan akuntansi, pengelolaan barang daerah, badan layanan umum daerah, standar harga, standar biaya, dan analisis standar belanja, transparansi dan partisipasi masyarakat dan akses masyarakat terhadap sidang-sidang DPRD. Belum efektifnya struktur organisasi pengelolaan keuangan daerah sehingga ketentuan tentang transparansi dan partisipasi masyarakat belum dapat dipenuhi.
8
Gambar 2.2 Skor Penilaian Kerangka Peraturan Perundangan. 25
80%
21
70%
67%
20
60%
15
50%
50%
15 33% 5
10
40%
40% 9 3
5
2
30% 20%
3
2
10%
0
0% Adanya kerangka peraturan peraturan Kerangka peraturan perundangan daerah Kerangka peraturan perundangan daerah
perundangan daerah yang komprehensif sebagaimana diamanatkan oleh kerangka hukum nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah
mengenai penegakan hukum dan struktur organisasi yang efektif
Total Achievable Score
Total
mencakup ketentuan-ketentuan untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat
Total Achieved Score
Area Grade %
Sumber: Data Kuesioner PFM, data diolah (2013)
Target anggaran berdasarkan proses penyusunan anggaran yang realistis belum diikuti oleh perencanaan dan penganggaran secara komprehensif. Terdapat 16 indikator untuk menilai apakah target anggaran secara realistis telah termuat dalam perencanaan dan penganggaran secara komprehensif. Dari 16 indikator yang disyaratkan, terpenuhi sebanyak 7 indikator atau sebesar 45 persen. Indikator perencanaan dan penganggaran multi-tahun belum sepenuhnya disusun berdasarkan analisis standar biaya. Sistem pemantauan dan evaluasi partisipatif yang komprehensif dalam proses perencanaan dan penganggaran belum sepenuhnya dilakukan secara memadai sehingga kesesuaian RKA-SKPD dengan KUA dan PPAS masih perlu diperbaiki lagi. Proses perencanaan tahunan belum sepenuhnya memperhatikan disparitas indikator sosial ekonomi dan peran gender. Proses evaluasi RKA-SKPD telah dilakukan namun peran masyarakat belum secara terbuka disertakan, terlebih akses terhadap informasi tersebut sulit dilakukan. Gambar 2.3 Skor Penilaian Perencanaan dan Penganggaran. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
60%
70%
16
60% 45%
40%
38%
7.25
6
5 2.25
5
40% 30% 20%
3
2
50%
10% 0%
Tersusunnya perencanaan dan penganggaran multi-tahun
Target Anggaran yang Layak dan Sistem Pemantauan dan Evaluasi Berdasarkan Proses Penyusunan Partisipatif yang Komprehensif Anggaran yang Realistis dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran Telah Terbentuk Total Achievable Score
Total Achieved Score
TOTAL
Area Grade %
Sumber: Data Kuesioner PFM, data diolah (2013)
2.3. Analisis Pelaksanaan Anggaran: Manajemen Kas, Pengadaan, Manajemen Aset, Akuntansi dan Pelaporan Pelaksanaan anggaran sesuai dengan rencana anggaran belum terintegrasi secara memadai. Melalui mekanisme pengelolaan kas; pengadaan barang dan jasa; investasi, hibah dan hutang; akuntansi dan pelaporan serta manajemen aset akan dapat dipenuhi 95 indikator namun realitasnya hanya dapat mencapai 35,5 atau 37 persen. Kondisi ini menyebabkan praktik pelaksanaan anggaran yang didasarkan pada prinsipprinsip pengelolaan keuangan yang akuntabel belum dapat dipenuhi.
9
Penerimaan dan pembayaran kas serta surplus kas telah dikelola secara efisien, namun kebijakan, prosedur dan pengendalian pengelolaan kas yang efisien belum sepenuhnya terlaksana. Guna mencapai sistem dan manajemen pendapatan dan pembayaran yang optimal perlu dicapai 30 indikator namun hanya 11 atau 37% yang dapat dicapai. Beberapa komponen dalam pengelolaan kas yang perlu ditingkatkan seperti, sistem dan prosedur pengelolaan kas; dan peningkatan penanganan manajemen pendapatan. Gambar 2.4. Skor Penilaian dan Pembayaran Kas 35
70%
30 61%
30
60%
25
50%
20 15 10 5
40% 11
29% 6.75
7
7 2
0
5 0 0%
Total Achieved Score
40% 30% 20%
2
10% 0%
Kebijakan, Prosedur, dan Penerimaan Kas, Terdapat Sistem Penagihan Peningkatan dan Pengendalian untuk Pembayaran Kas, Serta dan Pemungutan Penanganan Manajemen Mendorong Pengelolaan Surplus Kas Temporer Pendapatan Daerah yang Pendapatan Kas yang Efisien Telah Dikelola dan Dikendalikan Efisien Dibentuk Secara Efisien
Total Achievable Score
36% 10.75
TOTAL
Area Grade %
Sumber: Data Kuesioner PFM, data diolah (2013)
Anggaran kas yang harusnya dibuat berdasarkan rancangan DPA dan rencana waktu pelaksanaan kegiatan belum dapat dipenuhi. Peraturan Bupati tentang prosedur/mekanisme pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBD belum sepenuhnya dijalankan. Peningkatan kapasitas terhadap staf pengelola keuangan sering dilakukan namun belum disinkronkan dengan tupoksi yang ada. Pengelolaan kas dapat menjadi efisien dengan menyusun anggaran kas yang memadai, sehingga dapat diketahui kapan dan untuk apa dana perlu dikeluarkan serta kapan dan dari mana dana akan diterima. Manajemen kas yang belum memenuhi standar efisiensi akan berdampak pada arus dana masuk dan keluar. Prosedur dan praktek-praktek pengadaan barang dan jasa yang mendukung good governance belum sepenuhnya terpenuhi. Pengadaan barang dan jasa bertujuan untuk memperoleh barang dan jasa dengan harga yang dapat dipertanggungjawabkan, jumlah dan mutu yang sesuai serta pengadaannya tepat waktu. Prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah efisien, efektif, terbuka dan bersaing, adil, transparan dan akuntabel. Proses pengadaan barang dan jasa yang belum transparan dan pengawasan yang belum optimal menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Beberapa indikator yang belum terpenuhi seperti belum adanya sertifikat dari panitia pengadaan barang dan jasa; pengumuman tender yang belum sepenuhnya dilakukan melalui Koran lokal dan website pemda; belum dibuat daftar hitam rekanan yang nakal. Sistem akuntansi dan manajemen belum terintegrasi secara memadai sehingga belum menjamin terlaksananya akuntansi yang tepat. Sistem dan prosedur akuntansi yang dijalankan dengan baik akan menghasilkan laporan keuangan yang dapat diandalkan, wajar, dan tepat waktu. Kabupaten Sorong Selatan memiliki kategori yang belum baik untuk sistem akuntansi dan manajemen yang dibuktikan dengan baru terpenuhinya 7 indikator dari 19 indikator yang disyaratkan atau hanya memperoleh skor sebesar 39 persen.
10
Gambar 2.5. Skor Penilaian Sistem Akuntansi dan Manajemen 19
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
70% 60%
60%
50% 40%
38% 5
5
4
20%
30%
5
20%
3
2
1.5
1
40%
39% 7.5
10% 0%
Adanya Kapasitas SDM dan Kelembagaan yang Memadai untuk Fungsi Akuntansi dan Keuangan
Sistem Informasi Akuntansi dan Manajemen Sudah Terintegrasi
Seluruh Transaksi dan Terdapat Laporan Saldo Keuangan Keuangan dan Informasi Pemerintah Daerah Manajemen Anggaran Dicatat Secara Akurat yang Dapat Diandalkan dan Tepat Waktu
Total Achievable Score
Total Achieved Score
TOTAL
Area Grade %
Sumber: Data Kuesioner PFM, data diolah (2013)
Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kelembagaan untuk fungsi akuntansi dan keuangan belum memadai. PPK SKPD tidak memiliki latar belakang akuntansi dan kurang memiliki respons terhadap pelatihan akuntansi dan keuangan daerah yang dilakukan sehingga kemampuannya relatif terbatas. Kondisi seperti ini mengakibatkan, fungsi akuntansi dan keuangan SKPD tidak dapat dijalankan dengan baik. Staf penatausahaan akuntansi mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan regulasi teknis di bidang akuntansi, yang selanjutnya menganggu akurasi data akuntansi bagi kepentingan pelaporan akuntansi. Akibat lanjutannya adalah laporan keuangan yang dihasilkan belum sepenuhnya dapat memberikan gambaran yang memadai terhadap keputusan dibidang dibidang akuntansi dan keuangan. Peningkatan keefektifan pengelolaan aset daerah melalui perencanaan dan pengelolaan aset jangka panjang belum memadai. Peningkatan efektifitas dalam menjamin terciptanya layanan terbaik dalam mendukung kelancaran aktifitas pemerintahan dapat dipenuhi melalui 20 indikator yang disyaratkan, namun hanya 6 indikator yang terpenuhi atau sebesar 31 persen. Hal ini karena kebijakan yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan aset daerah, kebijakan dan prosedur pemeliharaan aset serta kebijakan, sistem dan prosedur pencatatan, perolehan, penilaian, pemindah tanganan dan penghapusan dan pelaporan barang daerah belum sepenuhnya terpenuhi. Kondisi ini menjadikan pemanfaatan aset bagi kepentingan pemerintah belum optimal sementara pengamanan terhadap aset tersebut juga kurang maksimal. Gambar 2.6. Skor Penilaian Pengolahan Aset Daerah 25
47%
20
20 31%
15 25% 10 5
7 14%
6.25
4.25
4
1
9
1
0 Terdapat kebijakan yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan aset daerah yang mendukung tertib pengelolaan aset daerah
Kebijakan dan prosedur pemeliharaan Terdapat kebijakan, sistem dan prosedur asset dilakukan dan terintegrasi dengan pencatatan, perolehan, penilaian, proses perencanaan daerah untuk pemindahtangan dan penghapusan dan memastikan kondisi aset selalu siap pelaporan barang daerah yang efektif digunakan
Total Achievable Score
Total Achieved Score
50% 45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
TOTAL
Area Grade
Sumber: Data Kuesioner PFM, data diolah (2013)
11
2.4. Analisis Oversight dan Accountability Kinerja Oversight dan Accountability Pemerintah kabupaten Sorong Selatan sudah berjalan dengan cukup efektif. Guna terlaksananya pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel, serta memenuhi akuntabilitas pengelolaan keuangan yang baik, maka diperlukan audit eksternal dan pengawasan yang efektif dan independen. Penyampaian laporan keuangan ke BPK tepat waktu, akses kepada masyarakat pada sidang pembahasan rencana dan pertanggungjawaban keuangan di DPRD, informasi LPPD dipublikasikan pada media massa setempat dan juga melalui media elektronik merupakan upaya menciptakan akuntabilitas publik yang lebih baik. Untuk terciptanya pengawasan internal yang lebih baik, maka staf inspektorat sebaiknya: a) memiliki latar belakang pendidikan akuntansi dan memiliki jabatan fungsional auditor; b) sistem pengendalian intern yang ada perlu secara reguler diuji , program dan prosedur audit secara reguler perlu dikaji ulang dan direvisi. Gambar 2.7. Skor Penilaian Kinerja Oversight dan Accountability 28
30 25
17
79%
15
5
100%
100%
20
10
120%
6 3.25
61%
56%
54%
9 4
2.25
44%
7
4
80% 60% 40%
5.5 2
20%
2
0
0% Bawasda Terorganisir Standar dan Prosedur Temuan Audit Internal Adanya fungsi Audit Eksternal Audit Internal yang Ditindaklanjuti dengan dan Diberdayakan pengawasan yang Menjamin Efektivitas Segera Diaplikasikan Dapat untuk Beroperasi efektif terhadap dan Akuntabilitas Diterima dengan Efektif Pemerintah Daerah manajemen keuangan daerah
Total Achievable Score
Total Achieved Score
TOTAL
Area Grade %
Sumber: Data Kuesioner PFM, data diolah (2013)
Pengelolaan Keuangan Daerah kabupaten Sorong selatan belum mengalami perbaikan secara signifikan dalam dua tahun terakhir. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) belum mengalami perbaikan yang berarti selama periode 2011-2012 setelah sebelumnya memperoleh opini wajar dengan pengecualian (WDP). Dengan kategori demikian berarti bahwa kualitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah masih dibawah harapan. Masih ada beberapa aspek dibeberapa bidang yang merupakan temuan BPK atas LKPD tahun 2011 yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Daerah, seperti ketaatan pada peraturan, pelampauan realisasi anggaran, kesalahan akun belanja barang ke belanja modal dan beberapa hal lain seperti yang dinyatakan dalam catatan pada laporan hasil pemeriksaan. Tabel 2.1. Opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Papua Barat, 2006-2011
Prov. Papua Barat Kab. FakFak Kab. Manokwari Kab. Raja Ampat
Opini BPK/Tahun 2006 2007 TMP TMP TMP TMP TMP TMP TMP TMP
2008 TMP WDP TMP TMP
2009 TMP TMP WDP TMP
2010 TMP TMP TMP WDP
2011 TMP TMP TMP TMP
Kab. Sorong Selatan
TMP
TMP
TMP
WDP
TMP
No.
Entitas Pemerintah Daerah
01. 02. 03. 04. 05.
Sumber : Ikhtisar hasil pemeriksaan LKPD BPK RI tahun 2012
12
TMP
2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Analisis terhadap pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sorong Selatan menghasilkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi seperti : Kerangka Peraturan Keuangan Daerah masih perlu dibenahi sehingga dapat mendukung pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Perencanaan dan penganggaran yang efektif dan efisien belum sepenuhnya sinergis antar SKPD. Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran di setiap SKPD harus didukung oleh peraturan tentang SPM, kebijakan akuntansi pemerintah, standar harga dan biaya serta peraturan daerah tentang transparansi dan partisipasi masyarakat. Target anggaran yang rasional dan berdasarkan proses penyusunan anggaran yang realistis sudah dilakukan, namun belum didukung oleh ketersediaan perencanaan dan penganggaran multi-tahun dan proses perencanaan anggaran yang terintegrasi pada masing-masing SKPD secara komprehensif. Manajemen kas belum optimal dilakukan, pengelolaan penerimaan dan pembayaran kas serta surplus kas tomporer; sistem penetapan dan penagihan pendapatan daerah, dan penanganan manajemen pendapatan perlu dioptimalkan, dan perlu diterapkan sanksi tegas kepada para wajib pajak/restribusi yang melanggar ketentuan. Prosedur dan praktek pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya mendukung terciptanya good governance. Pengadaan barang dan jasa perlu ditingkatkan koordinasinya dan dilaksanakan secara transparan. Sistem akuntansi dan manajemen belum terintegrasi secara baik sehingga akuntansi yang tepat belum dapat terlaksana dalam mekanisme transaksi keuangan yang akan menghasilkan laporan keuangan yang dapat diandalkan, wajar, dan tepat waktu. Prosedur dan pengelolaan investasi daerah dan hibah telah dilaksanakan namun belum didukung oleh kebijakan pengelolaan hutang dan investasi yang sesuai dengan kerangka kebijakan nasional. Perlu disusun dan ditetapkan regulasi daerah tentang Pinjaman Daerah dan Investasi Daerah yang mengacu pada PP. No. 54 Tahun 2005 yang berisi ketentuan terkait penerimaan, pencatatan, pengelolaan dan pelaporan hibah. Perencanaan dan pengelolaan aset jangka panjang dalam menunjang kelancaran aktivitas pemerintah belum didukung kebijakan yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan aset daerah. Pemanfaatan aset daerah belum optimal dan transparan, kebijakan dan prosedur pemeliharaan aset belum terintegrasi dengan proses perencanaan daerah. Pembenahan penanganan aset daerah dapat dilakukan melalui: penyusunan kebijakan pengaturan penggunaan dan pemanfaatan aset; penataan kebijakan dan prosedur pemeliharaan aset, serta kebijakan, sistem dan prosedur pencatatan, perolehan, penilaian, pemindatanganan, penghapusan serta pelaporan aset untuk menjamin pengamanan aset dengan baik. DPRD telah melakukan fungsi oversight (pengawasan) terhadap manajemen keuangan daerah, namun belum diimbangi oleh pertanggungjawaban (akuntabilitas) pemerintah terhadap publik secara memadai. Pembenahan terhadap pengawasan dan akuntabilitas pemerintah terhadap publik perlu dibenahi melalui publikasi laporan keuangan pada media yang dapat diakses oleh publik, dan Penataan bentuk akses masyarakat pada sidang-sidang pembahasan rencana dan pertanggungjawaban keuangan di DPRD perlu disinkronkan dengan model pertanggungjawaban yang memadai.
13
14
3
Analisis Pendapatan Daerah
3.1. Gambaran Umum Pendapatan Daerah Pertumbuhan pendapatan daerah Kabupaten Sorong Selatan cenderung mengalami penurunan signifikan hingga tahun 2010. Pertumbuhan pendapatan daerah mengalami perbaikan pada tahun 2011 dengan pertumbuhan sebesar 24 persen. Penurunan cukup drastis yang terjadi pada tahun 2010, dimana pada tahun 2007 pendapatan riil sebesar Rp 724 milyar turun menjadi Rp 469 milyar. Penurunan ini disebabkan porsi dana perimbangan yang sesungguhnya mengalami penurunan karena pemekaran wilayah di berbagai tempat. Dampak pemekaran wilayah di Kabupaten Sorong Selatan yang terjadi pada tahun 2009 mengakibatkan DAU mengalami penurunan. Dibandingkan dengan perkembangan pendapatan riil Provinsi Papua Barat yang mengalami peningkatan hingga tahun 2011, walaupun dengan tren yang menurun sepanjang tahun 2007 hingga 2011. Gambar 3.1. Total dan Pertumbuhan Pendapatan Riil Kabupaten Sorong Selatan, 2007-2011 4,000.00
90.0% 79.9%
2,500.00
48.8%
2,000.00
40%
70.0% 50.0%
1,681
616.92
468.95
718.06
820.62
907
724.41
13.8%
17.4% 20.0%
-40%
10.0%
-60%
-
0.0% 2007 Sorong Selatan
2008
2009
Papua Barat
2010
12%
0% -20%
30.0%
24.3%
24%
20%
60.0% 40.0%
1,500.00
500.00
3,539
2,951
3,000.00
1,000.00
60%
80.0% 3,408
3,500.00
2011
Porsi Pendapatan Sorong Selatan
2008
2009 -14%
2010
2011
-53% Papua Barat
Fak-Fak
Manokwari
Sorsel
Raja Ampat
Sumber: APBD Kabupaten Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat dan Papua Barat, 2007-2011
Pertumbuhan pendapatan perkapita Kabupaten Sorong Selatan berfluktuasi dalam lima tahun terakhir. Pendapatan perkapita Kabupaten Sorong Selatan yang cenderung meningkat hingga Rp 19,137,022 pada tahun 2009, meski pada tahun berikutnya mengalami penurunan, sehingga cenderung pertumbuhan berfluktuasi. Fluktuasi tersebut, selain karena penurunan pendapatan daerah juga karena pemekaran wilayah kabupaten Sorong Selatan menjadi beberapa daerah otonom baru. Gambar 3.2. Perbandingan Pendapatan Daerah Perkapita Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat, 2007-2011 25,000,000
100.00%
83.57%
80.00%
72.27%
60.00% 12.98%
0.09% 15,699,003
-35.34%
26.88%
12,373,345
4,481,567
19,137,022
13,351,464
2,302,687
11,888,441
5,000,000
1,254,413
10,000,000
12.31%
3,966,739
43.33% 15,000,000
4,485,673
20,000,000
-
20.00% 0.00% -20.00% -40.00% -60.00%
2007
2008 Pendapatan Perkapita Papua Barat Pertumbuhan Papua Barat
Sumber: APBD Sorong Selatan dan Papua Barat 2007-2011
16
40.00%
2009
2010
2011
Pendapatan perkapita Sorong Selatan Pertumbuhan Sorong Selatan
3.2. Struktur Pendapatan Daerah Riil Pada periode 2007-2011, pendapatan daerah riil Kabupaten Sorong Selatan didominasi oleh pendapatan yang berasal dari dana perimbangan. Dana perimbangan yang bersumber dari DAU, DAK dan DBH memberikan kontribusi sebesar 76,7 persen, sedangkan sumber lain-lain pendapatan yang sah sebesar 20,7 persen dan PAD sebesar 2,7 persen. Pendapatan riil sebagian besar bersumber dari dana alokasi umum (DAU), dimana proporsi rata-rata dana perimbangan setiap tahunnya sebesar 75,54 %. Hanya saja memang ada kecenderungan dana perimbangan tersebut terus mengalami penurunan pada tahun 20072010 karena porsinya pada periode tersebut yang berkurang.Kondisi ini menunjukkan adanya ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap pemerintah pusat dan hal serupa juga dialami oleh tiga kabupaten lainnya (Fakfak, Manokwari dan Raja Ampat). Gambar 3.3. Perkembangan Pendapatan Daerah Riil dan Proporsinya Terhadap Total Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong Selatan 1,000.0
200%
800.0
150%
84.2
196.0
600.0 400.0
714.7
591.8
159.9
94.6 174.3
525.9
200.0 -
100%
508.8
9.6 2007
26.5 2008
32.2 2009
9.2 2010
PAD LAIN-LAIN
13.6 2011
LAIN-LAIN, 20.7%
50% 0% -50%
285.9
PAD, 2.7%
-100%
DANA PERIMBANGAN, 76.7%
DANA PERIMBANGAN Pertumbuhan PAD
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011
3.3. Postur Pendapatan Asli Daerah Komposisi PAD Kabupaten Sorong Selatan didominasi oleh lain-lain PAD yang sah. Pendapatan asli daerah Sorong Selatan dari tahun 2007-2009 mengalami peningkatan, sebaliknya pada tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup tinggi. dari Rp 32,24 milyar menjadi Rp 9,2 milyar dan meningkat menjadi Rp 13,56 milyar. Dimana lain-lain pendapatan asli daerah yang sah mendominasi share terhadap PAD dengan rata-rata kontribusi pertahun 52,11%, diikuti oleh hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, retribusi dan pajak daerah dengan rata-rata kontribusi masing-masing sebesar 22,30 %, 16,24% dan 4,79%. Rendahnya kontribusi pajak daerah terhadap PAD Sorong Selatan menunjukkan bahwa masih banyak komponen-komponen penerimaan yang bersumber dari berbagai jenis pajak yang belum dimaksimalkan dan dikelola dengan baik.
17
Gambar 3.4. Komposisi dan Proporsi PAD Kabupaten Sorong Selatan, 2007-2011 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
30
41.08 49.49
69.23
54.24
Lain-lain Pendapatan Asli Dacrah Yang Sah 23.60
32.40
12.80
20.47
17.97 0.00 2007
8.08 4.09
6.87 4.15
5.92
9.79
2008
2009
2010
2011
22.23
25
46.51
28.87
19.43
Hasil Pengelolaan Kekayaan Dacrah yang Dipisahkan
20 13.10
15
6.31
10
Retribusi Daerah 5
Pajak Dacrah
Lain-lain Pendapatan Asli Dacrah Yang Sah
17.48
0
6.67 1.23 1.73 0.00 2007
7.17
3.78
2.14 1.08
2.21 1.34
2008
2009
2.17 2.66 0.55 2010
5.42
Hasil Pengelolaan Kekayaan Dacrah yang Dipisahkan Retribusi Daerah
4.39 2.64 1.33
Pajak Dacrah
2011
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011
Walaupun perolehan retribusi daerah cenderung menurun namun porsinya terhadap PAD mencapai 22,3 persen. Sekalipun sharenya masih berada di bawah hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan tetapi retribusi daerah masih memberikan sumbangan yang lebih besar dibandingkan pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Sorong Selatan. Retribusi daerah didominasi oleh perijinan dan retribusi jasa umum. Penurunan porsi retribusi daerah selama 5 tahun menunjukkan penanganan terhadap sumber pandapatan tersebut yang masih perlu dibenahi sehingga paling tidak iklim ekonomi daerah dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi penerimaan daerah. Gambar 3.5. Komposisi dan Proporsi Retribusi Daerah Kabupaten Sorong Selatan, Tahun 2007-2011 5,000.00 4,500.00 4,000.00 3,500.00
Ret Jasa Umum, 39%
3,000.00 2,500.00
4,459.12
2,000.00
595.45
538.44
1,539.14
1,555.67
2008
2009
484.13
Ret Perizinan Tertentu, 56%
1,500.00 1,000.00 500.00 -
17.04 2007 Ret Jasa Umum
Ret Jasa Usaha
815.15 19.20 2010
1,605.46
2011
Ret Perizinan Tertentu
Ret Jasa Usaha, 5%
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011
Porsi perolehan pajak daerah kurun waktu 2007 sampai 2011 hanya sebesar 16,24 dari perolehan PAD Kabupaten Sorong Selatan. Perolehan porsi pajak yang kecil ini disebabkan karena sepanjang tahun pajak daerah mengalami fluktuatif akibat banyak sumber pajak daerah yang belum memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak daerah. Potensi pajak daerah yang dapat memberikan kontribusi berasal dari pajak jasa restoran dan bahan galian golongan C serta pajak usaha umum. Untuk itu perlu penanganan yang lebih optimal sehingga sumber-sumber pajak tersebut dapat di peroleh.
18
Tabel 3.1. Perolehan Sumber-Sumber Pajak Daerah Kabupaten Sorong Selatan, Tahun 2007-2011 (dalam Rp juta) Komponen Pajak Daerah Hotel Restoran Hiburan Reklame Penerangan Jalan Bahan Galian Golongan C Pendaftaran Perusahaan Usaha Umum Total Pajak Daerah
2007 17.04 10.23 98.27 125.54
2008 23.95 643.27 59.22 32.99 73.01 251.68 1,084.11
2009 10.43 495.66 17.26 51.21 56.93 620.09 1,251.57
2010
2011 150.46 679.91 30.89 45.94 130.67 1,037.87
50.00 160.00 80.00 150.00 26.00 466.00
Sumber: APBD Sorong Selatan, Tahun 2007-2011
Perolehan pendapatan daerah yang bersumber dari dana perimbangan secara nominal terus mengalami penurunan pada tahun 2007-2010 namun meningkat pada tahun berikutnya. Secara proporsional sumber dana tersebut sebagai penyumbang terbesar terhadap pendapatan riil Kabupaten Sorong Selatan. Sumber terbesar dari dana perimbangan berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dengan rata-rata kontribusi pertahunnya sebesar 54,19 %. Pendapatan daerah yang bersumber dari DAU tersebut juga mengalami penurunan setiap tahunnya sehingga proporsinya terhadap pembentukan pendapatan riil kabupaten juga cenderung mengalami penurunan.Besarnya dana alokasi khusus (DAK) di Kabupaten Sorong Selatan cenderung berfluktuasi dengan sumbangan rata-rata terhadap pendapatan riil sebesar 7,35%. Sumbangan terendah dari DAK terhadap pendapatan riil Kabupaten Sorong Selatan terjadi pada tahun 2010 sebesar 30 milyar dengan share terhadap pendapatan riil sebesar 33,62%. Rata-rata share dana bagi hasil terhadap pendapatan riil masih lebih tinggi dibandingkan DAK yaitu sebesar 14% dengan rata-rata nominal pertahunnya sebesar 91 milyar. Penurunan porsi DAU disebabkan adanya pemekaran wilayah sehingga berpengaruh terhadap perolehan DAU, walaupun secara nasional terjadi peningkatan DAU Nasional setiap tahunnya. Penurunan porsi DAU tahun 2010 disebabkan adanya pemekaran Kabupaten Maybrat di tahun 2009 sehingga dalam perhitungan DAU Kabupaten Sorong Selatan tahun 2010 porsinya menurun karena salah satu komponen perhitungan DAU yaitu penduduk berkurang jumlahnya. Gambar 3.6. Perkembangan dan Postur Dana Perimbangan Riil Kabupaten Sorong Selatan, 2007-2011 100%
800
90%
59
33.62
40%
200
369
158
20%
100 111
86
74
98
89
2007
2008
2009
2010
2011
Dana Bagi Hasil
DAU
DAK
30% 10% 0%
2007
2008
2009
Dana Bagi Hasil
14.46
30
20.96
400
10.28
444
59.81
50%
55.74
60%
54.47
51
544
-
8.19
6.33
70% 52
300
7.21
10.56
500 400
7.65
80% 62
67.29
600
7.35
13.75
700
2010 DAU
2011 DAK
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011
Total pendapatan daerah Kabupaten Sorong Selatan yang bersumber dari DAU, DAK dan Dana Bagi Hasil tergolong kecil dibandingkan dengan tiga daerah lainnya di Provinsi Papua Barat. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah dana yang terbesar bersumber dari DAU sebesar 55 persen dari total pendapatan riil daerah di Kabupaten Sorong Selatan, sedangkan dana bagi hasil dan DAK masing-masing 34 persen dan 10 persen. Dana perimbangan yang mengalami penurunan pada tahun 2010 mengalami perbaikan pada tahun berikutnya, hal ini disebabkan semakin besarnya range kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal setelah dilakukan perhitungan kembali di tahun 2010.
19
Gambar 3.7. Perbandingan Dana Perimbangan Kabupaten Sorsel, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat dan Provinsi Papua Barat Dana Perimbangan 700
1,600 1,400
600 557 506
503
500
481
1,200 1,000
400
800 300
286
600
200
400
100
Fak-Fak Manokwari Raja Ampat Sorsel Papua Barat
200
-
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: APBD Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat, Papua Barat, 2007-2011
Porsi Dana Bagi Hasil Pajak terhadap dana perimbangan Kabupaten Sorong Selatan mencapai 13,5 persen. Jika dibandingkan komposisi dana perimbangan dengan kabupaten lainnya dan Provinsi Papua Barat, perolehan dana bagi hasil pajak Kabupaten Sorong Selatan cukup tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Selama lima tahun terakhir perolehan Bagi Hasil Pajak cenderung mengalami penurunan dari Rp 105 milyar pada tahun 2007 menjadi Rp 51,5 milyar pada tahun 2011. Kondisi ini menunjukkan bahwa selain penurunan sumber-sumber bagi hasil pajak karena menurunnya aktivitas ekonomi masyarakat, juga karena faktor pembagi yang semakin besar sebagai akibat semakin bertambahnya daerah otonom baru. Gambar 3.8. Perolehan Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat, dan Provinsi Papua Barat, 2007-2011 Bagi Hasil Pajak 200.0 180.0 160.0 140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 -
Papua Barat 105.7
Fak-Fak 84.0 56.1
Manokwari
56.4 51.5
2007
2008
2009
2010
Raja Ampat Sorsel
2011
Sumber: APBD Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat, Papua Barat, 2007-2011
Dana Bagi Hasil Bukan Pajak atau Dana Bagi Hasil Sumberdaya Alam cenderung meningkat secara fluktuasif selama tahun 2007 hingga tahun 2011 dengan rata-rata kontribusi sebesar 21 persen. Perolehan Dana Bagi Hasil tersebut menunjukkan bahwa sepanjang tahun tingkat ekspoitasi sumberdaya mengalami peningkatan, yang ditunjukkan oleh peningkatan penerimaan dari Rp 5,5 milyar tahun 2007 meningkat menjadi Rp.37,7 milyar tahun 2011.
20
Gambar 3.9. Perolehan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak Kabupaten Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, 2007-2011 Bagi Hasil Bukan Pajak 160.0
700.0
140.0
600.0
120.0 100.0
500.0
Fak-Fak
400.0
Manokwari
80.0 300.0
60.0
Raja Ampat Sorsel
40.0
37.7
29.9
20.0
17.5
Papua Barat
100.0
14.4
5.5
-
200.0
-
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: APBD Sorong Selatan, Fakfak, Manokwari, Raja Ampat, Papua Barat, 2007-2011
Bagian lain-lain penerimaan yang sah di Kabupaten Sorong Selatan berfuktuasi selama lima tahun terakhir, tetapi secara keseluruhan mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2007. Dimana dana penyesuaian dan otonomi khusus memberikan kontribusi paling besar terhadap total penerimaan yang sah, diikuti hibah dan bantuan keuangan dari provinsi atau kabupaten lainnya selama kurun waktu lima tahun terakhir. Bila dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat, jumlah penerimaan yang bersumber dari berbagai komponen penerimaan yang sah di Kabupaten Sorong Selatan sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan riil yang bersumber dari bagian lain-lain penerimaan yang sah masih terpusat di wilayah Provinsi. Gambar 3.10. Perkembangan Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat 250.00
4000.00 3504.09 3500.00
195.99
200.00
174.26
3000.00
159.95
2500.00
150.00 2021.04 100.00
1821.18
2000.00 94.58
84.18
1500.00 1000.00
50.00
736.39
500.00
0.00
0.00 2007
0.00 2008
2009 SORSEL
2010 PAPUA BARAT
2011
Sumber: APBD Sorong Selatan & Papua Barat 2007-2011
Sepanjang Tahun 2007 hingga 2011 perolehan dana otsus mendominasi komponen lain-lain penerimaan yang sah. Secara nominal nilai riil dana otsus mengalami penurunan namun perkembangan sumber lain-lain penerimaan riilnya mengalami fluktuasi. Kondisi ini disebabkan kontribusi dana penyesuaian dan bantuan dari provinsi serta pendapatan hibah yang tidak stabil dari tahun ketahun.
21
Gambar 3.11. Proporsi Bagian Lain-lain Penerimaan yang Sah di Kabupaten Sorong Selatan 100%
250.00
90%
200.00
36.70%
80% 70%
150.00 100.00 50.00 0.00 2007
2008
2009
2010
2011
Bantuan Keuangan Lainnya
60%
Dana Otonomi Khusus
50%
Dana Penyesuaian
40%
Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi
30%
Dana Darurat
20%
Pendapatan Hibah
10%
37.63% 46.23%
71.53%
100.00%
Dana Penyesuaian Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi Dana Darurat Pendapatan Hibah
0%
Total
Bantuan Keuangan Lainnya Dana Otonomi Khusus
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011
3.4. Pembiayaan Daerah APBD Kabupaten Sorong Selatan lebih dominan mencapai surplus daripada mengalami defisit selama periode 2007-2011. Pembiayaan surplus dicapai pada tahun 2007-2008 dan tahun 2011, dan mengalami defisit pada tahun 2009-2010. Surplus pendapatan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sedangkan Provinsi Papua Barat mencapai dalam dua tahun terakhir, 2010-2011. Pembiayaan surplus dicapai tidak semata-mata sebagai sebuah kebijakan keuangan daerah, tetapi karena daya serap anggaran oleh pemerintah daerah yang rendah, akibat dari banyaknya program pembangunan daerah yang tidak terimplmentasi dalam satu tahun anggaran bersangkutan. Pada periode defisit, pembiayaan belanja daerah menggunakan sisa lebih perhitungan tahun lalu (siLPa). Adanya surplus dan defisit yang begitu besar menunjukkan mekanisme perencanaan penganggaran yang masih perlu dibenahi sehingga surplus maupun defisit tahunan tidak melebihi 6 persen sesuai dengan standar pengelolaan keuangan daerah. Gambar 3.12. Perkembangan Surplus dan Defisit APBD di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat, Tahun 2007-2011 1000.00 500.00 0.00 2007
2008
2009
2010
-500.00 -1000.00 -1500.00 Sumber: APBD Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat 2007-2011
22
2011
SORSEL PAPUA BARAT
3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi Pendapatan riil Kabupaten Sorong Selatan cenderung mengalami penurunan selama kurun waktu 2007-2011, berbanding terbalik dengan pendapatan riil Provinsi Papua Barat yang cenderung meningkat pada periode yang sama. Penurunan pendapatan tersebut disebabkan menurunnya jumlah share dana perimbangan setiap tahunnya yang bersumber dari DAU. Sekalipun demikian, pendapatan riil perkapita Kabupaten Sorong Selatan lebih tinggi daripada pendapatan perkapita Provinsi Papua Barat, artinya pendapatan riil perkapita Kabupaten Sorong Selatan tergolong tinggi. Struktur pendapatan daerah terutama terkait dengan kontribusi retribusi dan pajak daerah masih sangat rendahdan berfluktuasi sepanjang tahun, padahal potensi penerimaan cukup tersedia. Salah satu potensi yang belum disentuh yaitu Aset Daerah yang bisa dijadikan sumber nilai tambah.Penyiapan Sumber Daya Manusia terkait dengan penanganan tersebut perlu dilakukan dan pada aspek lainnya perlu peningkatanCapacity Building secara berkelanjutan bagi Aparatur Dinas Pendapatan Daerah dan dukungan dalam bentuk fasilitas penunjang bagi petugas ketika melakukan pemungutan pajak pada daerah tertentu yang memiliki daerah yang sulit dijangkau. Pada sepanjang tahun masih diperoleh SILPA yang melebihi standar sehingga perlu dilakukan pembenahan terhadapmekanisme perencanaan penganggaran yang memadai sehingga perolehan SILPA masih pada batas yang wajar.
23
24
4
Belanja Daerah
4.1. Gambaran Umum Belanja Daerah Secara umum, realisasi belanja riil di Kabupaten Sorong Selatan mengalami penurunan sejak tahun 2010-2011. Penurunan belanja daerah seiring dengan penurunan pendapatan daerah yang disebabkan oleh pemekaran wilayah Kabupaten Sorong Selatan sebagai induk dengan Kabupaten Meybrat sebagai kabupaten pemekaran. Sejak tahun pemekaran, Belanja daerah Kabupaten Sorong Selatan menurun drastis dari Rp 889 milyar pada tahun 2009 menjadi Rp 356 milyar di tahun 2011. Dengan demikian, selama kurun waktu 2007-2011, rata-rata belanja daerah riil Rp 604,25 milyar. Selama dua tahun tersebut, posisi relative belanja riil Kabupaten Sorong Selatan jauh dibawah dari belanja pemerintah Provinsi Papua Barat. Gambar 4.1. Perkembangan Total Belanja riil Kabupaten Sorong Selatan dan Posisi Relatif terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2007-2011 4,000
1,000 900
886
3,500
800 700
3,000
702
600
2,500
576
500
2,000
500
400
356
300
1,500 1,000
200
500
100 -
2007
2008
Fak-Fak
2008
Manokwari
2010
Raja Ampat
2011
Sorsel
Papua Barat
Sumber: APBD Sorong Selatan & Papua Barat 2007-2011. Data diolah
Posisi relatif belanja Kabupaten Sorong Selatan terhadap Kabupaten lainya masih lebih rendah.Total belanja riil daerah Kabupaten Sorong Selatan tahun 2011 bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Papua Barat, seperti Fakfak, Manokwari, dan Raja Ampat menempati urutan paling bawah. Hal ini disebabkan belanja langsung dan tidak langsung yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sorong Selatan di tahun tersebut mengalami penurunan hampir 2 kali lipat. Penurunan tersebut akibat cakupan luasan, jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi yang mengalami perubahan akibat pemekaran wilayah di tahun 2009. Gambar 4.2. Posisi Relatif Belanja Kabupaten Sorong Selatan Terhadap Kabupaten Lainnya (Manokwari, Fak-Fak, Raja Ampat) POSISI RELATIF BELANJA
TOTAL BELANJA 3500.00
Raja Ampat
702.70
Manokwari
696.83
3000.00 2500.00
565.20 616.58
806.17
2000.00
Fafak
556.52
1500.00 1000.00
Sorsel
357.54 -
200.00
Sorsel
Fafak
400.00 Manokwari
500.00
600.00 Raja Ampat
800.00
786.27 728.56 548.85
0.00 2007 Sorsel
Sumber: APBD Sorong Selatan, FakFak, Manokwari, Raja Ampat, 2007-2011. Data diolah.
26
722.72
813.35
578.79 702.70 888.39
873.53
696.83 662.71
857.03 906.30 293.21 2008
2009
Fakfak
Manokwari
556.52
500.13
357.54
2010
2011
Raja Ampat
Belanja per kapita Kabupaten Sorong Selatan menurun akibat dari penurunan drastis total belanja daerah. Jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya (tahun sebelum pemekaran), belanja per kapita di Kabupaten Sorong Selatan mencapai Rp 24,15 juta (2009) kemudian menurun drastis menjadi Rp 9,1 juta di tahun 2011. Kondisi ini menggambarkan bahwa alokasi belanja untuk setiap penduduk mengalami penurunan. Selama periode 2007-2011, belanja per kapita Kabupaten Sorong Selatan secara rata-rata Rp 13.350.000. Angka tersebut jauh melampaui rata-rata belanja riil per kapita Papua Barat, Rp. 3.200.000 atau 24 persen dari belanja per kapita Kabupaten Sorong Selatan. Besarnya belanja perkapita di Kabupaten Sorong Selatan diharapkan akan berimplikasi terhadap perbaikan pelayanan publik maupun aktivitas ekonomi yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat Sorong Selatan. Gambar 4.3. Belanja Perkapita Kabupaten Sorong Selatan, Fak-Fak, Manokwari, Raja Ampat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat 140.00% 120.00% 100.00% 80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% -20.00% -40.00% -60.00%
25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 2007
2008
2009
2010
2011
BELANJA PERKAPITA 60.00 50.00
13.50
40.00
4.60
30.00
15.07
20.00
4.59
19.58
13.62 16.18
4.73 4.18
11.00 9.01
9.92
3.57 8.12
13.20
9.10
2010
2011
24.15
12.82
10.00
4.77
-
Belanja Rill Perkapita Sorong Selatan Belanja Rill per kapita Provinsi Pertumbuhan Belanja Rill Sorsel Pertumbuhan Belanja Rill per kapita Provinsi
12.82
2007
2008 Sorsel
2009
Fafak
Manokwari
Raja Ampat
Sumber: APBD Sorong Selatan & Papua Barat 2007-2011. Data diolah.
Dana yang dibelanjakan oleh pemerintah pusat di Kabupaten Sorong Selatan sebesar Rp 43,6 miliar pada tahun 2011. Pengelolaan dana tersebut terdistribusi pada tiga lembaga yaitu Kantor Daerah, Tugas Pembantuan, dan Urusan Bersama. Kantor daerah mengelola Rp 30,63 miliar atau sekitar 70 persen dari total dana seluruhnya. Sementara dana APBN yang dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten Sorong Selatan melalui tugas pembantuan hanya sebesar Rp 11,03 miliar dan terrendah dikelola oleh urusan bersama. Jika dilihat dari fungsinya, alokasi belanja pusat di daerah lebih banyak dimanfaatkan untuk fungsi pelayanan umum yaitu Rp 28,70 miliar atau 65,80 persen dari total belanja. Dana APBN melalui urusan bersama dimanfaatkan untuk perumahan dan fasilitas umum. Besarnya pengalokasian dana untuk fungsi pelayanan umum sejalan dengan kondisi Kabupaten Sorong Selatan. Gambar 4.4. Dana APBN yang dibelanjakan di Kabupaten Sorong Selatan, 2011 35.00
35.00 30.00
30.00 30.63
25.00 Milyar
Milyar
25.00 20.00
20.00 15.00
28.70
15.00
10.00 10.00
11.03
5.00
5.00
0.31
5.75
AGAMA
EKONOMI
1.69
1.73
3.49
1.96
0.00 1.96
Kantor Daerah
Tugas Pembantuan
Urusan Bersama
KESEHATAN KETERTIBAN PELAYANAN PENDIDIKAN PERUMAHAN DAN UMUM DAN KEAMANAN FASILITAS UMUM
Sumber: Kementerian Keuangan, DJPK, 2013
27
4.2. Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi Alokasi belanja riil berdasarkan klasifikasi ekonomi didominasi oleh belanja modal akan tetapi menurun hingga tahun 2011. Selama kurun waktu 2007 sampai 2011, porsi alokasi belanja modal rata-rata 46,19 persen per tahun, disusul oleh belanja pegawai sebesar 29,31 persen per tahun. Meskipun proporsi belanja modal terbesar diantara jenis belanja lainnya, namun secara nominal perkembangannya menurun dari Rp. 535,46 milyar pada tahun 2007 menjadi Rp. 169,29 milyar pada tahun 2011. Pada periode yang sama, alokasi belanja pegawai meningkat khususnya di tahun 2009 mencapai Rp. 370 milyar dari total belanja Rp. 686 milyar, dengan rata-rata porsi belanja pegawai sebesar 29,31 persen. Besarnya alokasi belanja modal berdampak pada perbaikan penyediaan sarana dan prasarana publik. Gambar 4.5. Komposisi Belanja Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi Kabupaten Sorong Selatan. 100%
1,000.00
90%
900.00
80%
800.00
70%
47.35 57.82
60%
55.55
29.02
30%
19.64 20.48 15.17
13.20 41.44
20% 10%
21.81
26.33
24.36
LAINNYA
32.63
LAINNYA
400.00
MODAL
300.00
BARANG & JASA
200.00
PEGAWAI
100.00
0%
263.02
533.46
MODAL
38.71
500.00
13.97
40%
141.02
700.00
41.23
600.00
50%
47.90
BARANG & JASA 126.65
312.44
59.82 206.19
169.29
139.98 74.26 201.26
PEGAWAI 1.37
375.61
137.01
102.43
70.22
131.69
116.67
2010
2011
-
2007
2008
2009
2010
2011
2007
2008
2009
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah
4.3. Belanja Daerah Menurut Sektor Sektor pemerintahan umum memperoleh alokasi belanja terbesar khususnya kurun waktu 2007-2009. Pada tahun 2007, alokasi belanja pemerintahan umum sebesar Rp 184,4 milyar atau 33,60 persen dan meningkat signifikan di tahun 2009 mencapai 47,90 persen. Akan tetapi dua berikutnya terjadi penurunan. Tingginya belanja daerah untuk sektor pemerintahan umum dikarenakan pengeluaran bantuan bagi pengembangan Kampung maupun Distrik baru di Kabupaten Sorong Selatan sebagai akibat pemekaran wilayah. Selain itu tingginya hibah/subsidi juga menyebabkan belanja pemerintahan umum menjadi tinggi. Selama periode 2007-211, nilai rata-rata belanja untuk pemerintahan umum sebesar Rp. 178,25 milyar atau sebesar 27,03 persen dari total belanja. Alokasi belanja sektoral yang paling rendah adalah sektor kesehatan dengan rata-rata belanja adalah Rp 56,71 milyar (10,50 persen). Penurunan belanja sektor pemerintahan umum mendorong peningkatan porsi belanja untuk sektor infrastruktur dan sektor pendidikan. Pada tahun 2011, porsi belanja untuk sektor infrastruktur meningkat menjadi 25,78 persen dari 15,19 persen di tahun 2010. Sementara untuk sektor pendidikan meningkat dari 14,97 persen menjadi 21,83 persen di tahun 2011. Salah satu faktor penyebabnya adalah peningkatan pengeluaran untuk pembangunan gedung dan pengadaan alat-alat dalam menunjang kegiatan pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan.
28
Gambar 4.6. Perkembangan Belanja Sektoral dan Proporsinya Terhadap Total Belanja PERKEMBANGAN BELANJA SEKTORAL
PROPORSI BELANJA SEKTORAL
900.00 INDUSTRI
800.00 700.00 600.00 434.11 500.00 400.00
78.11
300.00
184.40
200.00
7.65 85.83
100.00
INDUSTRI
100%
103.67
172.99
150.18
59.51
52.83
112.98
131.63
2007
2008
2009
183.69 75.97 43.09 74.89 2010
10.91 92.17 42.26 78.06 2011
PERDAGANGAN
80%
KELAUTAN & PERIKANAN
70%
PARIWISATA
60%
ESDM
50%
KEHUTANAN
40%
PERTANIAN
30%
PEMERINTAHAN UMUM
20%
INFRASTRUKTUR
10%
KESEHATAN PENDIDIKAN
PERDAGANGAN
90%
13.89
47.90
33.60
3.05
KELAUTAN & PERIKANAN PARIWISATA
25.78
ESDM
36.73
30.76
KEHUTANAN
1.39 15.64
15.19 10.58
16.57 5.83
18.89
20.09
2007
2008
PERTANIAN
11.82
8.62 21.83
14.52
14.97
2009
2010
PEMERINTAHAN UMUM INFRASTRUKTUR KESEHATAN PENDIDIKAN
0% 2011
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah
Walaupun sektor pertanian dan kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap nilai tambah daerah, namun alokasi belanja hanya 3 persen dari total belanja daerah. Beberapa sektor yang lain berpotensi sebagai leading sektor tetapi memperoleh porsi belanja yang kecil seperti pariwisata, perdagangan, industri, perikanan dan kelautan. Kondisi ini menggambarkan bahwa kebijakan anggaran tidak pro terhadap sektor prioritas daerah sebagaimana dalam RPJM Kabupaten Sorong Selatan. Oleh karena itu, ke depan, diperlukan adanya perencanaan dan penganggaran secara terintegrasi yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangkah Menengah agar sektor prioritas konsisten dan memperoleh dukungan pembiayaan.
4.4. Kesimpulan dan Rekomendasi Belanja daerah di Kabupaten Sorong Selatan mengalami peningkatan dari 2007-2009, kemudian menurun pada tahun berikutnya. Berdasarkan klasifikasi ekonomi, proporsi belanja terbesar dialokasikan untuk belanja modal dan cenderung meningkat, sementara alokasi berdasarkan sektor terbesar adalah sektor pemerintahan umum. Akan tetapi pada tahun berikutnya, terjadi pergeseran alokasi belanja ke sektor infrastruktur dan pendidikan. Sektor yang berpotensi sebagai leading sektor seperti sektor pertanian, sektor pariwisata kurang memperoleh dukungan pembiayaan. Untuk mendorong perekonomian di Kabupaten Sorong Selatan, direkomendasikan beberapa kegiatan berupa: (i) perlu dukungan kebijakan pembiayaan untuk leading sektor atau sektor prioritas, (ii) penghematan belanja barang dan jasa, (iii) pengalokasian belanja untuk sektor-sektor yang menjadi prioritas perlu disinkronkan dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah sehinggi visi dan misi pembangunan senantiasa mendapat dukungan pembiayaan yang memadai, (iv) peningkatan belanja untuk infrastuktur.
29
30
5
Analisis Sektor-sektor Strategis
5.1. Sektor Pendidikan 5.1.1. Belanja Sektor Pendidikan Sektor pendidikan mendapat alokasi belanja sebesar 18% dan menempati urutan ketiga dalam prioritas belanja daerah di Kabupaten Sorong Selatan selama kurun waktu 5 tahun (2007-2011). Belanja sektor pendidikan tertinggi pada tahun 2009 sebesar 131,63 milyar dan terendah pada tahun 2010 yaitu sebesar Rp. 74,89 milyar. Walaupun belanja daerah mengalami penurunan pada tahun 2010 dan 2011, namun belanja riil untuk pendidikan justru mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan merupakan prioritas utama. Gambar 5.1. Perkembangan Belanja Sektor Pendidikan dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan 25.00
1,000.00 800.00
906.30
20.09
18.89
600.00 562.42
548.85
500.13
10.00 357.54
103.67
131.63
112.98
20.00 15.00
14.97
14.52
400.00 200.00
21.83
5.00
78.06
74.89
-
2007
2008
2009
TOTAL BELANJA PENDIDIKAN
TOTAL BELANJA
2010
2011 % BELANJA PENDIDIKAN
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah
Proporsi belanja pegawai sektor pendidikan dalam kurun waktu 5 tahun rata-rata sebesar 52,43%. Proporsi belanja riil pegawai mengikuti tren belanja pendidikan dimana pada saat belanja pendidikan meningkat maka selalu diikuti oleh peningkatan belanja pegawai, begitu pula sebaliknya. Proporsi belanja pegawai yang mendominasi belanja sektor pendidikan diperuntukan untuk membayar tunjangan guru-guru atau honor guru. Sementara itu, belanja modal riil selama 5 tahun cenderung mengalami penurunan, yang menunjukkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan pada tahun 2010 dan 2011 sudah cukup memadai dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Gambar 5.2. Komposisi dan Proporsi Belanja Sektor Pendidikan 140.00 120.00
43.58
50.00
46.25 37.47
100.00 52.25
80.00
44.71
60.00 40.00
12.82 12.50 43.92
9.57 8.47 45.29
20.00
45.05
51.17
2007
2008
40.00
36.63
49.33 62.53 82.30
25.61 19.99 12.93 61.47 10.09
30.00
36.68
47.98
10.00
2010
2011
27.43 14.40 48.97 10.78
-
2009
Belanja pegawai
Belanja barang dan Jasa
Belanja modal
% Belanja pegawai
% Belanja barang dan Jasa
% Belanja modal
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah
32
20.00
Komposisi belanja riil sektor pendidikan Kabupaten Sorong Selatan berbeda dengan Provinsi Papua Barat. Dominasi belanja barang dan jasa di Provinsi Papua Barat lebih banyak mengalokasikan belanjanya untuk program yang membutuhkan barang dan jasa seperti program wajib belajar sembilan tahun dan peningkatan peran serta kepemudaan, sedangkan Kabupaten Sorong Selatan dominasi belanja pegawai karena untuk membayar honor dan gaji guru. Begitu juga dengan belanja modal yang porsinya lebih besar di Kabupaten Sorong Selatan karena untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan Gambar 5.3. Komposisi Belanja Sektor Pendidikan Sorong Selatan dan Papua Barat Tahun 2011 % Belanja modal 1%
BELANJA SEKTOR PENDIDIKAN SORONG SELATAN
% Belanja pegawai 12%
% Belanja modal 26%
% Belanja pegawai 61%
% Belanja barang dan Jasa 13%
% Belanja barang dan Jasa 87%
Sumber: APBD Sorong Selatan, 2011. Data diolah
5.1.2. Kinerja Keluaran Sektor Pendidikan Rasio Murid Sekolah (RMS) pada setiap jenjang pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan pada periode 2008-2011 cenderung berfluktuatif. RMS jenjang pendidikan SD cenderung mengalami peningkatan setiap tahun, sebaliknya dengan RMS jenjang pendidikan SLTP terus mengalami penurunan, dan SLTA cenderung meningkat sekalipun di tahun 2011 mengalami penurunan. Rata-rata RMS jenjang pendidikan SD sebesar 118,16 menunjukkan bahwa setiap sekolah dapat menampung 118 murid, di jenjang pendidikan SLTP mampu menampung 143 murid dan jenjang pendidikan SLTA mampu menampung 209 murid. Kurun waktu 2008-2011, Rasio murid guru (RMG) pada setiap jenjang pendidikan berfluktuasi dimana untuk jenjang pendidikan SD, setiap guru melayani 22 murid, jenjang pendidikan SLTP setiap guru melayani 16 murid dan jenjang pendidikan SMA setiap guru melayani 10 murid. Hal ini menunjukkan bahwa beban guru SD dan SLTP jauh lebih besar dibandingkan dengan beban guru SLTA, sehingga kedepan kebijakan yang perlu diambil adalah penambahan/perekrutan tenaga pengajar baru di kedua jenjang pendidikan tersebut. Gambar 5.4. RMS dan RMG di Kabupaten Sorong Selatan Berdasarkan Jenjang Pendidikan 350.00
30.00
300.00
325
26.64 22.2
22.12
2011
2009
2010
2011
13
198.33
2010
14.08 137.07
129.32
2009
20.00 14.83
11.17 10.17 134.73
120.3
50.00
117.91
100.00
105.10
150.00
15.55
244.75
15.42
18.67
134.67
20.03
166.36
200.00
25.00
277
250.00
15.00 10.00 5.00 -
2008
2008
SD
SMP RMS
2008
2009
2010
2011
SLTA RMG
Sumber: DDA Papua Barat 2008-2012
33
5.1.3. Kinerja Hasil Sektor Pendidikan Angka Partisipasi Sekolah (APS) di jenjang pendidikan SD (7-12 tahun) tertinggi dari jenjang pendidikan lainnya kurun waktu 2007-2011. APS jenjang pendidikan SD cenderung mengalami penurunan hingga tahun 2011 dan secara rata-rata lebih rendah daripada APS Provinsi Papua Barat dan nasional. Tahun 2007 dan 2008 APS jenjang pendidikan SLTP sempat melampaui APS Provinsi Papua Barat dan nasional, tetapi di tahun 2009-2011, APS tersebut mengalami penurunan hingga berada di bawah level provinsi dan nasional. Hal serupa terjadi di jenjang pendidikan SLTA (16-18 tahun), dimana pada tahun 2007-2008, APS kabupaten berada di atas APS provinsi dan nasional, namun menurun di tahun 2009 dan 2010 hingga berada di bawah APS provinsi dan nasional dan kembali meningkat di tahun 2011 bahkan menembus APS nasional walau masih berada di bawah APS provinsi. APS jenjang perguruan tinggi (19-24 tahun) kabupaten terus mengalami penurunan, sekalipun pada tahun 2007-2009 berada di atas APS provinsi dan nasional, tetapi pada tahun 2010 justru dibawah provinsi dan nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa lulusan SMA di tahun tersebut lebih condong untuk memasuki dunia kerja dibandingkan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Gambar 5.5. Perkembangan APS Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dan Nasional 120
12.19
64.09
85.46
91.81 43.9
7.36
70.61
89.17 17.85
71.09
90.78
41.83
20
23.17
78.93
24.77
40
91.97
96.95
74.67
60
90.97
80
97.14
100
0 7-12
13-15 16-18 19-24
7-12
2007
13-15 16-18 19-24
7-12
2008
13-15 16-18 19-24
7-12
2009
Kab. Sorong Selatan
13-15 16-18 19-24
7-12
2010
PROV. PAPUA BARAT
13-15 16-18 19-24 2011
Indonesia
Sumber: DDA Papua Barat 2008-2012, BPS RI, SUSENAS 2003-2012
Angka Partisipasi Kasar (APK) Kabupaten Sorong Selatan untuk jenjang pendidikan SD cenderung menurun setiap tahunnya, tetapi angkanya lebih besar daripada semua jenjang pendidikan lainnya. APK untuk jenjang pendidikan SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi berfluktuasi setiap tahunnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa penduduk usia sekolah yang memanfaatkan fasilitas pendidikan terbesar adalah penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun) yang rata-ratanya berada diatas provinsi dan nasional. APK jenjang pendidikan SMP maupun SMA berada dibawah rata-rata provinsi maupun nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa APK kabupaten telah berada di atas rata-rata provinsi maupun nasional. Gambar 5.6. Perkembangan APK Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dan Nasional 140
SD/MI
SLTP/MTs SMU/MA 2007
SD/MI
SLTP/MTs SMU/MA
73.6 SD/MI
2008
Kab. Sorong Selatan
SLTP/MTs SMU/MA 2009
PROV. PAPUA BARAT
Sumber: DDA Papua Barat 2008-2012, BPS RI, SUSENAS 2003-2012
34
SD/MI
32.95
43.24
0
SLTP/MTs SMU/MA 2010
Indonesia
SD/MI
54.26
111.69
112.26
91.96
114.19
30.9
20
48.88
40
78.91
60.65
60
79.04
80
121.71
100
123.91
120
SLTP/MTs SMU/MA 2011
Angka Partisipasi Murni (APM) di Kabupaten Sorong Selatan untuk jenjang pendidikan SD cenderung menurun setiap tahun. Bila dibandingkan dengan APM pada jenjang pendidikan lainnya, APM pada jenjang pendidikan tersebut lebih tinggi setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas pendidikan yang paling mudah diakses di kabupaten tersebut adalah fasilitas pendidikan SD. Secara rata-rata APM kabupaten untuk jenjang pendidikan SD berada di atas Provinsi walaupun mengalami penurunan selama 5 tahun kecuali di jenjang pendidikan SMP dan SMA masih berada dibawah rata-rata provinsi. Gambar 5.7. Perkembangan APM Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat dan Nasional 120
2007
Kab. Sorong Selatan
SMU/MA
45.8 SLTP/MTs
SD/MI
2010
PROV. PAPUA BARAT
36.25
89.25
17.92 SLTP/MTs
2009
SMU/MA
30.61
89.17 SD/MI
27.27 SLTP/MTs
SMU/MA
22.22
90.78
2008
SD/MI
55.78 SLTP/MTs
SMU/MA
49.62
96.95 SD/MI
0
SD/MI
20
60.25
40
SMU/MA
49.82
60
SLTP/MTs
80
97.14
100
2011
Indonesia
Sumber: DDA Papua Barat 2008-2012, BPS RI, SUSENAS 2003-2012
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk di Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan perbaikan, walau peningkatan RLS ini lebih rendah dibandingkan dengan RLS Provinsi Papua Barat. RLS kabupaten sebesar 7,9 tahun yang berarti bahwa penduduk di kabupaten tersebut rata-rata hanya menyelesaikan studi hingga jenjang pendidikan SMP kelas I. Setelah lima tahun kemudian penduduk Kabupaten Sorong Selatan rata-rata dapat menyelesaikan studinya hingga jenjang pendidikan SMP Kelas II. Bila dibandingkan dengan Provinsi Papua Barat, kenaikan nilai RLS Kabupaten Sorong Selatan cenderung lebih lambat, artinya secara regional rata-rata lama sekolah Kabupaten Sorong Selatan masih berada di bawah Provinsi. Gambar 5.8. Perkembangan RLS Kabupaten Sorong Selatan dan Papua Barat 8.4
8.21
8.2 8 7.8
7.9
7.94
7.9 7.65
8.01
7.98
8.06
7.67
7.6 7.4 7.2 2007
2008
2009 RLS SORONG SELATAN
2010
2011
RLS PAPUA BARAT
Sumber: DDA Papua Barat 2008-2012
Angka melek huruf (AMH) di Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun, sekalipun masih berada di bawah AMH Provinsi Papua Barat. Selama 5 tahun terakhir rata-rata AMH kabupaten sebesar 88,18% lebih rendah dibandingkan dengan angka AMH tingkat provinsi sebesar 92,34 persen tahun 2010. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa AMH kabupaten masih berada dibawah AMH rata-rata provinsi. Selanjutnya, jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin, AMH laki-laki Kabupaten Sorong Selatan lebih tinggi dibandingkan dari AMH perempuan sekalipun angkanya mengalami penurunan setiap tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada ketimpangan dalam kesempatan dan fasilitasi dan kesadaran pendidikan yang berujung pada rendahnya AMH perempuan dibandingkan dengan AMH laki-laki.
35
Gambar 5.9. Perkembangan AMH Kabupaten Sorong Selatan dan Papua Barat 94
88.43
2009
2010
2011
93.48
95.29
95.35
97.38
94.41
86.21
88.32
2008
80
84.81
88.2
2007
85
87.31
88.07
86
90
87.9
88
95
93.12
90.32
90
92.15
92
92.34
93.19
100
75
84
AMH SORSEL
2008
2009
Laki-laki
AMH PAPUA BARAT
Perempuan
2010 Laki-laki+Perempuan
Sumber: DDA Papua Barat, Sorong Selatan 2008-2012
5.1.4. Kesimpulan dan Rekomendasi Belanja sektor pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2007-2011 berfluktuasi, dan didominasi oleh belanja pegawai. APS cenderung semakin rendah pada semua jenjang pendidikan, begitu pula dengan perkembangan AMH yang sekalipun dalam lima tahun cenderung meningkat tetapi peningkatannya sangat kecil, disamping itu akses pendidikan penduduk yang tertinggi terjadi hanya pada jenjang pendidikan SD. Berfluktuasinya belanja sektor pendidikan mengakibatkan capaian kinerja keluaran baik rasio murid guru maupun rasio murid sekolah juga berfluktuasi.Oleh karena itu perlu pembenahan perencanaan penganggaran sektor pendidikan sehingga capaiannya bisa konsisten.
5.2. Sektor Kesehatan 5.2.1. Belanja Sektor Kesehatan Belanja riil sektor kesehatan menempati urutan keempat dengan rata-rata proporsi belanja sebesar 10,50% dari total belanja. Kurun waktu 2007-2011, belanja riil sektor kesehatan mengalami penurunan drastis, dari Rp. 83 milyar menjadi 42 milyar pada tahun 2011, dan secara proporsional mengalami peningkatan tahun 2010 dan 2011.Terjadinya peningkatan belanja daerah pada tahun 2009 tampak tidak mempengaruhi penambahan proporsi belanja yang dialokasikan ke sektor kesehatan. Gambar 5.10. Belanja Riil Sektor Kesehatan dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan 906.30
1,000.00 800.00
15.30 548.85
600.00
20.00
562.42
11.82
500.13
10.58
357.54
8.62
400.00 5.83 200.00
83.97
59.51
52.83
15.00 10.00 5.00
43.09
42.26
-
2007
2008 URUSAN KESEHATAN
2009 TOTAL BELANJA
2010
2011
% BELANJA KESEHATAN
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah
Penurunan belanja riil sektor kesehatan diikuti pula oleh penurunan proporsi belanja modal. Kondisi sebaliknya terjadi pada belanja barang dan jasa, dan belanja pegawai proporsinya cenderung mengalami peningkatan walaupun berfluktuatif dengan rata-rata proporsi masing-masing sebesar 44,52% dan 44,38%.
36
Gambar 5.11. Komposisi dan Proporsi Belanja Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan 80.00
90.00 69.50
17.77
44.01
40.00 7.11 23.39
19.64
5.97
10.00
34.15
20.00
8.08 26.19
30.00
35.35
2007 2008 2009 Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah
17.01 45.92 37.07
60.00
Belanja barang dan Jasa Belanja pegawai
53.49
40.00 30.00
28.74 7.51
7.33
Belanja modal
50.00
20.00
22.61
42.41 25.24
50.00
-
18.68
58.35
13.58
19.79
64.65
60.00
15.97
70.00
70.00
12.15
80.00
10.00
% Belanja Barang & Jasa % Belanja Pegawai % Modal
-
2010
2011
Belanja sekor kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan didominasi oleh belanja pegawai (53%), sementara di tingkat provinsi belanja di sektor yang sama lebih dominan pada belanja barang dan jasa (46%). Perbedaan proporsi belanja berdasarkan klasifikasi ekonomi tersebut disebabkan kebijakan sektor ekonomi dalam menunjang berbagai program kesehatan. Walaupun kebijakan sektor kesehatan mengacu pada rencana sektor kesehatan provinsi namun dalam pelaksanaan program kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan yang menjadi prioritas di Kabupaten Sorong Selatan. Gambar 5.12. Proporsi Belanja Sektor Kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan dan Papua Barat Th.2011 Belanja Sektor Kesehatan Sorong Selatan
Belanja Sektor Kesehatan Papua Barat
16%
% Belanja Pegawai
29%
38% 53% 18%
% Belanja Barang & Jasa
% Belanja Barang & Jasa % Modal
% Belanja Pegawai
46%
% Modal
Sumber: APBD Sorong 2011. Data diolah
5.2.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Kesehatan Jumlah fasilitas kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan sekalipun berfluktuasi tetapi cenderung kearah perbaikan. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk cenderung meningkat dan fasilitas layanan kesehatan per 10.000 penduduk terbanyak pada posyandu dan puskesmas pembantu. Sebaliknya rasio tenaga kesehatan (dokter) per 10.000 penduduk mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir dan penurunan ini disebabkan sebagian besar dokter merupakan dokter PTT. Kedepan, diperlukan penataan terhadap belanja sektor kesehatan teristimewa terhadap penyediaan fasilitas layanan maupun tenaga kesehatan.
37
Gambar 5.13. Perkembangan Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan 100%
35.00
90%
Posyandu
30.00
Puskesmas KelilingMobil
25.00
Puskesmas KelilingPerahu
20.00
Polindes
15.00
Puskesmas Pembantu
10.00
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20%
5.00
Puskesmas
10% 0%
2007
2008
2009
2010
2011
29.70
-
Rumah Sakit
2007
2008
4.22
1.60
2009
1.02 2010
2011
Sumber: DDA Papua Barat 2008-2012
Angka Harapan Hidup (AHH) di Kabupaten Sorong Selatan mengalami peningkatan setiap tahunnya. AHH kabupaten tampak lebih rendah dari AHH provinsi, yang menunjukkan bahwa secara umum fasilitas dan pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten belum mampu mendorong peningkatan AHH dan juga bahwa alokasi belanja di sektor kesehatan belum dialokasikan secara optimal untuk menyediakan sarana dan fasilitas kesehatan dalam bentuk belanja modal serta belanja barang dan jasa dalam rangka menunjang upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Gambar 5.14. Angka Harapan Hidup Kabupaten Sorong Selatan dan Propinsi Papua Barat 69 68
67.9
67.6
67 66.19
66.33
68.51
68.2
66.49
66.66
66 65 2007
2008 Angka Harapan Hidup Sorsel
2009
2010
Angka Harapan Hidup Papua Barat
Sumber: IPM Sorsel 2011, Statistik Pa-Bar,2010-2011
5.2.3. Kesimpulan dan Rekomendasi Proporsi belanja riil kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan cenderung mengalami penurunan selama 5 (lima) tahun. Walaupun proporsi belanja pegawai dan belanja modal relatif seimbang namun dalam perencanaan penganggaran perlu difokuskan pada alokasi belanja program yang terkait dengan pelayanan pengobatan dan pencegahan penyakit bagi masyarakat. Angka Harapan Hidup Kabupaten Sorong Selatan masih tergolong rendah dibandingkan dengan di Provinsi Papua Barat maupun nasional, memerlukan adanya alokasi belanja modal serta belanja barang dan jasa termasuk adanya kebijakan program yang difokuskan pada peningkatkan AHH antara lain dengan upaya menekan angka kematian bayi dan ibu, juga program yang terkait dengan perbaikan gizi. Sarana dan fasilitas kesehatan terus mengalami perbaikan namun perlu dialokasikan pada distrik-distrik maupun kampung-kampung dengan termasuk penyediaan tenaga kesehatan terutama dokter yang lebih memadai.
38
5.3. Sektor Infrastruktur 5.3.1. Belanja Sektor Infrastruktur Proporsi belanja riil sektor infrastruktur menempati urutan pertama dari total belanja daerah dengan rata-rata belanja sebesar Rp 154,14 milyar (27,84%). Berdasarkan porsi belanja sektor tersebut, belanja modal mendapat porsi utama sebesar 95,53 %. Alokasi yang besar tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan kabupaten yang baru mengalami pemekaran, sehingga pembangunan infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan terus dilakukan, terutama infrastuktur dasar dan jalan guna meningkatkan aksesibilitas ke daerah-daerah maupun kabupaten lainnya. Gambar 5.15. Belanja Riil Sektor Infrastruktur dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan 906.30
1,000.00
60.00
50.91
800.00
50.00 562.42
548.85
600.00 400.00
279.40
25.78 357.54 16.57 150.18
172.99
200.00
40.00
500.13
30.76 15.19 75.97
30.00 20.00
92.17
-
10.00 -
2007
2008
2009
URUSAN PEKERJAAN UMUM
TOTAL BELANJA
2010
2011
% BELANJA PEKERJAAN UMUM
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah.
Belanja sektor Infrastruktur Kabupaten Sorong Selatan didominasi oleh belanja modal, dengan ratarata kontribusi mencapai 95%. Besarnya belanja modal untuk infrastruktur disebabkan kebutuhan sarana penunjang seperti jalan dan jembatan serta gedung perkantoran menjadi prioritas bagi kabupaten ini yang baru mengalami pemekaran. Walaupun belanja modal mengalami penurunan nilai rill selama 5 tahun namun kebutuhan untuk infrastruktur tetap menjadi prioritas utama. Gambar 5.16. Komposisi dan Proporsi Belanja Riil Sektor Infrastruktur Kabupaten Sorong Selatan 300.00
120.00
250.00
100.00
200.00
80.00
150.00
60.00
100.00
40.00
50.00
20.00 -
2007
2008
2009
2010
2011
2.77 1.13 Belanja modal Belanja barang dan Jasa Belanja pegawai % Belanja Barang & Jasa % Modal % Belanja Pegawai
96.09
% Belanja Pegawai
% Belanja Barang & Jasa
% Modal
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah.
39
5.3.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sektor Infrastruktur Panjang jalan serta ruas jalan yang memadai merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong perkembangan perekonomian suatu daerah. Jalan dengan kondisi baik di Kabupaten Sorong Selatan terus mengalami peningkatan, walaupun jalan dengan kondisi rusak berat juga mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2010. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur (jalan) belum sepenuhnya tertangani secara merata. Selama kurun waktu 5 tahun, pengaspalan jalan lebih sedikit dibandingkan dengan kerikil. Tahun 2010 kondisi jalan yang rusak berat mencapai 137.9 km, kondisi demikian tentu membutuhkan perhatian di dalam membuat perencanaan penganggaran yang lebih memadai sehingga dapat memperlancar aksesibilitas masyarakat
275.5
Gambar 5.17. Panjang Jalan Kabupaten Sorong Selatan Menurut Kondisi dan Jenis Permukaan 400
2009
336
195.7
lainnya
90.4
69.3
188.5 72
67.2
188.5
196 96
72
Rusak berat Tidak dirinci
67.2
Rusak
196
100 96
0 0
40 38
32 34 35
19.5 Sedang 2008
tanah
150
50
2007
kerikil
200
0 Baik
aspal
250
100 50
336
300
137.9
177
150
110.7
250 200
350
195.5
300
0
2010
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Sorong Selatan Dalam Angka, 2008-2011
5.3.3. Kesimpulan dan Rekomendasi Belanja infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan mempunyai proporsi terbesar dari total belanja riil daerah walaupun mengalami penurunan, dengan proporsi terbesar pada belanja modal. Infrastruktur jalan darat merupakan prioritas utama dari belanja modal, namun ditinjau dari kondisi jalan, sesungguhnya kondisi jalan yang rusak berat belum tertangani dari tahun ke tahun. Kedepan, perencanaan penganggaran peningkatan ruas jalan sepatutnya menjadi prioritas utama.
5.4. Sektor Pertanian 5.4.1. Sub Sektor Tanaman Pangan 5.4.1.1. Belanja Sub Sektor Tanaman Pangan Belanja sub sektor tanaman pangan cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya. Rata-rata belanja riil pertahun mencapai 1,63% dari total belanja daerah. Belanja pegawai mendominasi belanja dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, dengan rata-rata belanja sebesar 46,40% sedangkan belanja barang dan jasa sebesar 30,46%. Belanja riil pegawai cenderung meningkat dibandingkan dengan belanja modal yang mengalami penurunan sepanjang tahun 2007-2011.
40
Gambar 5.18. Perkembangan Belanja Riil Sektor Pertanian dan Proporsinya Terhadap Total Belanja Kabupaten Sorong Selatan 2.50
1,000.00 2.21
2.11
800.00
2.00 1.54 1.50
600.00 1.18
400.00
1.10
1.00 0.50
200.00
-
2007
2008
2009
2010
2011
14.00
60.00 53.07
12.00 10.00 8.00
42.92
4.96 38.18
3.35 40.44
4.00 2.00
2.19
26.96
18.90
4.42
1.83 29.81 17.12
5.67
40.00
5.02
33.29
30.00
0.82 1.83 14.88
0.06 2.77
2.85
2.67
20.00 10.00 1.12
2007 2008 2009 Belanja pegawai Belanja modal % Belanja Barang & Jasa
URUSAN PERTANIAN TOTAL BELANJA
50.00
50.39 48.49
3.19
32.60
4.05
6.00
51.83
-
2010 2011 Belanja barang dan Jasa % Belanja Pegawai % Modal
Sumber: APBD Kabupaten Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah.
Alokasi belanja barang dan jasa mendominasi belanja di sektor pertanian sebesar 50% ditingkat kabupaten dan lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi (46%). Demikian pula yang terjadi dengan alokasi belanja pegawai, sementara belanja modal di kabupaten hanya sebesar 1%. Kondisi ini menunjukkan bahwa alokasi belanja untuk urusan pertanian di Kabupaten Sorong Selatan lebih diperuntukkan untuk alokasi pengadaan barang dan jasa sedangkan tingkat provinsi terdapat alokasi belanja modal untuk urusan pertanian. Gambar 5.19. Proporsi Alokasi Belanja Riil Sub Sektor Pertanian Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat BELANJA SEKTOR PERTANIAN SORONG SELATAN
BELANJA SEKTOR PERTANIAN PAPUA BARAT
% Belanja Pegawai
1%
% Belanja Pegawai 24%
30% 50%
49%
% Belanja Barang & Jasa
% Belanja Barang & Jasa
% Modal
% Modal 46%
Sumber: APBD Kabupaten Sorong Selatan 2011. Data diolah.
5.4.1.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sub Sektor Tanaman Pangan Komoditas padi ladang merupakan komoditas pertanian dengan produksi terbesar di Kabupaten Sorong Selatan. Produksi pada tahun 2007-2009 mengalami peningkatan, tetapi pada tahun 2010 kembali mengalami penurunan, walaupun produksinya tidak sebesar tahun 2009 yang mencapai 422 ton. Komoditas pertanian lainnya yang mempunyai produksi cukup besar adalah ubi jalar dan ubi kayu. Turunnya produksi diduga selain disebabkan adanya pemekaran Kabupaten Maybrat, dimana wilayah-wilayah produksi ikut berkurang, juga disebabkan ketersediaan infrastruktur pertanian yang relatif terbatas. Upaya yang perlu dilakukan kedepan adalah perbaikan infrastruktur pertanian dan peningkatan program intensifikasi yang mengintroduksi teknologi tepat guna.
41
422
Gambar 5.20. Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Sorong Selatan 450
295.5
400
126
187
226
240.5 74.5 37.1
2009
2010
Jagung Kedelai Ubi Jalar Ubi Kayu
28.6 3
50
9
100
30.2
49.4 21.6
55.4 21.6
150
142.2
172.5
200
Padi
90
161.5
250
223 245.5
300
206
181.5 239.5
350
0 2007
2008
2011
Sumber: Sorong Selatan Dalam Angka Tahun 2011
5.4.1.3. Kesimpulan dan Rekomendasi Belanja sektor pertanian cenderung berfluktuasi kearah penurunan dengan rata-rata proporsi belanja dibawah 10% dari total belanja daerah dan didominasi oleh belanja pegawai. Hal ini berdampak kepada rendahnya belanja modal sehingga diduga akan mempengaruhi infrastruktur di sub sektor pertanian. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan belanja modal guna meningkatkan infrastruktur pertanian yang dapat menunjang peningkatan output di sektor tersebut. Komoditas pertanian di Kabupaten Sorong Selatan yang mempunyai tingkat produksi tertinggi adalah komoditas padi, diikuti oleh ubi jalar dan ubi kayu. Perlu dipikirkan program-program budidaya untuk meningkatkan produksi komoditas-komoditas tersebut dan program-program yang terkait dengan peningkatan nilai tambah dari komoditas tersebut sehingga berkontribusi terhadap peningkatan PDRB daerah.
5.4.2. Sub Sektor Kelautan dan Perikanan 5.4.2.1 Belanja Sub Sektor Kelautan dan Perikanan Alokasi belanja rill sub sektor kelautan dan perikanan cenderung mengalami penurunan dari 3,7% tahun 2007 menjadi 1% di tahun 2011.Walaupun belanja nominalnya berfluktuasi namun proporsinya terus mengalami penurunan setiap tahun dari total belanja daerah, dengan rata-rata belanja pertahun sebesar Rp. 9,14 milyar. Belanja modal mendominasi belanja sub sektor kelautan dan perikanan, sekalipun cenderung mengalami penurunan setiap tahun dengan rata-rata belanja sebesar 6,69 milyar (57,38%). Belanja barang dan jasa secara proporsional cenderung mengalami peningkatan dengan total belanja sub sektor tersebut (24,27). Gambar 5.21. Belanja Riil Sub Sektor Kelautan dan Perikanan dan Komposisinya Di Kabupaten Sorong Selatan 1,000.00
3.70
800.00 600.00
1.63
400.00
1.28
1.29
1.08
200.00 -
25.00
100.00
3.00
20.00
80.00
2.00
15.00
60.00
1.00
10.00
40.00
5.00
20.00
2007
2008
2009
2010
2011
-
-
URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2007
TOTAL BELANJA
Belanja pegawai Belanja modal % Belanja Barang & Jasa
% BELANJA KELAUTAN & PERIKANAN
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011. Data diolah
42
4.00
2008
2009
2010
2011
Belanja barang dan Jasa % Belanja Pegawai % Modal
Alokasi belanja pegawai sub sektor perikanan dan kelautan mendominasi di Kabupaten Sorong Selatan, sementara provinsi didominasi oleh belanja barang dan jasa. Proporsi belanja pegawai yang cukup besar tersebut dimaksudkan untuk membiayai honor berbagai kegiatan pengembangan perikanan dan kelautan. Oleh karena itu perlu dilakukan pembenahan terhadap perencanaan penganggaran pada sektor tersebut dengan fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gambar 5.22. Proporsi Belanja Sub Sektor Kelautan dan Perikanan BELANJA SEKTOR KELAUTAN & PERIKANAN PAPUA BARAT
BELANJA SEKTOR KELAUTAN & PERIKANAN SORONG SELATAN
8%
33%
34%
3%
% Belanja Pegawai
% Belanja Pegawai
% Belanja Barang & Jasa
% Belanja Barang & Jasa
% Modal
% Modal
33%
89%
Sumber: APBD Sorong Selatan 2007-2011.Data diolah
5.4.2.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sub Sektor Kelautan dan Perikanan Produksi perikanan laut di Kabupaten Sorong Selatan cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan produksi ini menunjukkan potensi perikanan yang cukup besar, terutama perikanan tangkap. Komoditas udang merupakan produksi perikanan rakyat terbesar, dimana pada tahun 2008 mencapai 45 ton, tahun 2009 meningkat menjadi 400 ton, dan tahun 2010 kembali meningkat menjadi 600 ton. Produksi ikan kembung merupakan produksi perikanan rakyat terbesar kedua setelah udang. Tahun 2008 produksi ikan kembung 4.5 ton, tahun 2009 meningkat menjadi 200 ton dan tahun 2010 produksi ikan kembung meningkat sebesar 350 ton. Gambar 5.23. Produksi Perikanan dan Kelautan di Kabupaten Sorong Selatan
8000
836.10
4000
Merah lencam/bobara Tenggiri
-
2000
Udang Sirip Hiu Kerapu
886.20
6000
9,183.40
9,168.40
10000
0
Kembung/lema
2006
2007
2009
2010
2011
produksi perikanan laut
0
100 2010
200
300
2009
400
500
600
700
2008
Sumber: DDA Papua Barat, 2008-2012
5.4.2.3. Kesimpulan dan Rekomendasi Belanja sub sektor kelautan dan perikanan berfluktuasi dengan proporsi belanja terhadap total belanja dari tahun ke tahun semakin menurun dan didominasi oleh belanja modal. Produksi perikanan tangkap mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun ke tahun, dimana udang dan ikan kembung merupakan dua komoditi unggulan di kabupaten dengan produksi yang juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Upaya untuk tetap mempertahankan produksi tersebut adalah dengan meningkatkan investasi di sub sektor kelautan dan perikanan dengan cara membuka peluang kerjasama dengan pihak
43
swasta (perusahaan ikan) dan tetap melibatkan nelayan lokal dalam suatu program kemitraan. Selain itu perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan value added dari bahan-bahan mentah yang selanjutnya dapat mendorong terbuka dan berkembangnya industri-industri pengolahan baik industri skala rumah tangga maupun industri besar dan pada saat yang bersamaan dapat menciptakan lapangan kerja baru juga sekaligus menjadi sumber peningkatan PDRB daerah setempat.
5.4.3. Sub Sektor Kehutanan 5.4.3.1 Belanja Sub Sektor Kehutanan Alokasi belanja riil sub sektor kehutanan di Kabupaten Sorong Selatan jumlahnya terus meningkat semenjak tahun 2009. Selama tiga tahun terakhir, belanja sub sektor kehutanan didominasi oleh belanja pegawai dengan rata-rata belanja 45,43% pertahun, diikuti oleh belanja barang dan jasa (30,88%) dan belanja modal i 23,69%. Proporsi belanja modal mengalami penurunan setiap tahun, sebaliknya belanja barang dan jasa cenderung mengalami peningkatan.Sementara belanja pegawai sekalipun berfluktuasi tetapi proporsinya masih di atas 35% setiap tahunnya. Gambar 5.24. Proporsi Belanja Riil Sub Sektor Kehutanan dan Komposisinya di Kabupaten Sorong Selatan 1.80
1,000.00 900.00 800.00 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 -
12.00
60.00
10.00
50.00
8.00
40.00
6.00
30.00
4.00
20.00
2.00
10.00
1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 2010
2011 TOTAL BELANJA
Belanja modal Belanja barang dan Jasa
0.20 2009 URUSAN KEHUTANAN % BELANJA KEHUTANA
Belanja pegawai
% Belanja Pegawai % Belanja Barang & Jasa % Modal
-
2009
2010
2011
Sumber: APBD Sorong Selatan, 2009-2011
Alokasi belanja sub sektor kehutanan didominasi oleh belanja pegawai baik di Kabupaten Sorong Selatan maupun Provinsi Papua Barat. Besarnya alokasi terhadap belanja pegawai diperuntukan untuk membiayai tenaga lapangan yang bertugas mengawasi hutan. Tahun 2011, belanja sub sektor kehutanan baik di kabupaten maupun provinsi didominasi oleh belanja barang dan jasa. Proporsi belanja pegawai di kabupaten masih lebih besar dibandingkan proporsi belanja pegawai di provinsi pada tahun yang sama. Tingginya proporsi belanja barang dan jasa diduga terkait dengan belanja barang dan jasa program pengembangan kapasitas dan pengelolaan sumberdaya hutan yang diperuntukkan untuk sub program rehabilitasi hutan dan lahan. Gambar 5.25. Proporsi Belanja Sub Sektor Kehutanan di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011 BELANJA SUB SEKTOR KEHUTANAN SORONG SELATAN
BELANJA SUB SEKTOR KEHUTANAN PAPUA BARAT
14%
16%
19%
37%
49% 65%
% Belanja Pegawai
% Belanja Barang & Jasa
Sumber: APBD Sorong Selatan, 2009-2011
44
% Modal
% Belanja Pegawai
% Belanja Barang & Jasa
% Modal
5.4.3.2. Kinerja Keluaran dan Hasil Sub Sektor Kehutanan Komoditas sektor kehutanan yang sempat melonjak cukup besar di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2007 adalah kayu gaharu sebesar 500.000 m3, sayangnya produksi tersebut hanya bertahan satu tahun. Komoditas sektor kehutanan yang produksinya relatif stabil adalah kayu log dan kayu gergajian. Terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam (hutan), luas hutan yang perlu direhabilitasi akibat penebangan di Sorong Selatan pada tahun 2008-2010 sebesar 1.900 Ha meningkat menjadi 4.380 Ha pada tahun 20092011. Hal ini tidak hanya menjadi tanggungjawab perusahaan pemegang hak konsesi saja tetapi juga menjadi tanggungjawab pemerintah daerah setempat yang tertuang didalam program rehabilitasi hutan. Gambar 5.26. Produksi Hasil Hutan di Kabupaten Sorong Selatan 2007-2011 600000 500000
500000 400000
2007 2008
300000
2010 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0
2011 0 0 0 0 0
360.49 0 0 1629.5 4990.86
100000
2009 2579.05 10123.31 8117.18 10892.91 0
200000
Plywood
Blockboard
Minyak lawang
Gaharu
0 Kayu log
Kayu Gergajian
Sumber: Sorong Selatan Dalam Angka 2008-2012
5.4.3.3. Kesimpulan dan Rekomendasi Belanja riil sub sektor kehutanan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2009-2011 didominasi oleh belanja pegawai. Rata-rata proporsi belanja sub sektor tersebut relatif kecil (6,85%) dibandingkan sub sektor pertanian serta kelautan dan perikanan terhadap total belanja daerah. Mengingat cukup cepatnya pertambahan luas lahan akibat penebangan di kabupaten tersebut, maka perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan proporsi belanja modal yang lebih difokuskan untuk merehabilitasi hutan maupun lahan di kawasan bekas tebangan. Produksi kayu gaharu sempat menjadi primadona di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2007, tetapi kemudian produksinya nihil di tahun-tahun selanjutnya. Diduga kuat areal produksi komoditas tersebut berada di kawasan lindung sehingga eksploitasinya kemudian dihentikan. Oleh karena itu perlu ada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat untuk mengatur eksploitasi kayu gaharu tersebut, terutama di kawasan hutan lindung.
45
46
6
Isu-isu Strategis
6.1. Isu Kemiskinan Penurunan tingkat kemiskinan Kabupaten Sorong Selatan terus menunjukkan kinerja membaik selama periode 2007-2011. Jumlah penduduk miskin, meskipun sedikit mengalami peningkatan 2007-2008, tetapi selama periode 2008-2011 jumlah penduduk miskin berhasil ditekan secara signifikan, dari 16.370 jiwa pada tahun 2008 menjadi hanya 9.093 pada tahun 2011. Penurunan yang signifikan terdapat pada tahun 2010-2011 yang mencapai 1.507 jiwa. Kinerja yang sama dengan melihat indikator persentase penduduk miskin di Sorong Selatan, juga terus menunjukkan penurunan secara signifikan selama periode 2007-2011, bahkan lebih kecil daripada persentase penduduk miskin Provinsi Papua Barat. Sekalipun demikian, upayaupaya untuk terus mengurangi penduduk miskin harus dilakukan, karena bila dibandingkan dengan persentase penduduk miskin nasional, persentase penduduk miskin di Sorong Selatan masih lebih tinggi. Gambar 6.1. Jumlah Penduduk Miskin dan Tingkat Kemiskinan Di Kabupaten Sorong Selatan dan Provinsi Papua Barat Tahun 2007-2011 Jumlah Penduduk Miskin Sorong Selatan 16,000
16,370
Tingkat Kemiskinan %
16,310
39.31
35.71 32.81 35.12
34.88
10,600 9,093
28.05
26.76
22.93
26.66
2007
2007
2008
2009
2010
2008
2011
23.02
2009
2010
Sorong Selatan
2011
Papua Barat
Sumber : BPS Kabupaten Sorong Selatan, 2007-2012
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) pada tahun 2008-2011 mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Indeks keparahan kemiskinan (P2) yang tadinya sejak 2008-2010 mengalami penurunan, tahun 2010-2011 justru mengalami peningkatan. Penurunan P1 memberikan indikasi pengeluaran penduduk miskin semakin dekat dengan garis kemiskinan. P2 semakin menurun mengindikasikan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin di Kabupaten Sorong Selatan semakin kecil, hanya saja memang kondisi terbut mengalami perubahan di tahun 2011, dimana nilai P2 kembali meningkat. Kondisi ini memberi indikasi ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin kembali melebar. Gambar 6.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten Sorong Selatan menurun selama kurun waktu 2007-2011 P1
P2
9.31 7.48 6.25 4.15
3.71
4.09
2.91 2 1.19
2007
2008
Sumber: BPS Propinsi Papua Barat, 2007-2012
48
2009
2010
1.22
2011
Walaupun tingkat kemiskinan Kabupaten Sorong Selatan cenderung mengalami penurunan, namun kondisi ekonomi masyarakat di pedesaan masih rentan terhadap kemiskinan. Budaya ekonomi masyarakat asli pedesaan umumnya belum sepenuhnya beranjak ke tahap produksi, tetapi masih didominasi pada tahap meramu. Ketergantungan terhadap hasil alam masyarakat pedesaan sangat tinggi (ekstraktif), sehingga penghasilan yang diperoleh tidak menentu dan cenderung berfluktuasi. Hal ini menyebabkan pendapatan yang diperoleh terbatas, dan tidak semua kebutuhan dasar dapat terpenuhi dalam kesehariannya. Selain itu pola kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan lebih mengarah subsisten, sehingga rentan terhadap perubahan garis kemiskinan yang setiap tahun terus mengalami peningkatan seperti pada tahun 2007 garis kemiskinan Kabupaten Sorong Selatan sebesar Rp.165.792/kapita/bulan dan meningkat pada tahun 2011 sebesar Rp.236.827,-/kapita/bulan. Adanya permasalahan kemiskinan menjadi perhatian penting pemerintah daerah untuk dapat meningkatkan ekonomi masyarakat miskin. Melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) kabupaten Sorong Selatan diluncurkan berbagai program pemberdayaan masyarakat, diantaranya Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Pedesaan, Program Pengembangan Lembaga Ekonomi Pedesaan dengan memberikan perhatian pada Produksi Unggulan Kampung dan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Membangun Desa termasuk didalamnya program PNPM. Dengan adanya berbagai program ini diharapkan jumlah penduduk miskin akan terus mengalami pengurangan.
6.2. Isu Gender Masih nampak adanya kesenjangan gender di Kabupaten Sorong Selatan selama periode 2004-2010. Indeks Pembangunan Gender (IPG) masih di bawah rata-rata IPM dan pada tahun 2010, IPG mencapai 57,47 lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, sementara IPM mencapai 66,31 point. Meskipun IPG berada dibawah rata-rata IPM, namun perkembangan setiap tahun meningkat. Pada tahun 2006, IPG berkisar pada point 54,4 meningkat menjadi 57,47 pada tahun 2010 atau mengalami peningkatan sebesar 3,07 point. Peningkatan IPG menunjukkan adanya kesenjangan laki-laki dan perempuan dimana angka harapan hidup, rata-rata lama pendidikan dan angka buta huruf, serta paritas daya beli perempuan semakin mengecil. Untuk mendorong IPG ketingkat capaian yang lebih tinggi, maka perlu diupayakan peningkatan kesetaraan dan keadilan gender dengan memberikan kesempatan yang besar bagi perempuan dalam mengenyam pendidikan dan memasuki dunia kerja. Tabel 6.1. Tabel Indeks Pembangunan Gender Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat, Tahun 2004-2010 Kode
Provinsi/Kab
(1) 9100 9101 9102 9103 9104 9105 9106 9107 9108 9109 9110 9171
(2) PAPUA BARAT Fak-Fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Tambrauw Maybrat Kota Sorong
IPG 2004 (3) 51,4 57,5 58,1 48,4 47,4 52,8 49,7 41,7 39,8 62,5
2005 (4) 52,6 59,2 59 49,1 49 53,9 50,5 42,7 39,9 62,6
2006 (5) 56,1 59,8 63,3 51,3 52,8 54 54,4 50,5 49,9 62,7
2007 (6) 56,8 61,5 64,8 51,6 53,1 55,4 55,5 51,3 50,6 63,1
2008 (7) 57,36 61,88 64,91 52,60 53,72 56,17 56,34 51,71 51,25 63,09
2009 (8) 58,07 62,51 65,06 53,11 54,39 56,61 56,98 52,59 51,94 63,64
2010 (9) 58,87 63,26 65,57 52,57 53,94 57,01 57,47 53,7 52,58 49,72 56,3 64,33
Sumber : Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 2005 s.d 2011, BPS
Angka Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Kabupaten Sorong Selatan tahun 2004-2009 mengalami peningkatan, meskipun masih berada di bawah rata-rata Provinsi Papua Barat. IDG tahun 2010 mengalami peningkatan yang cukup besar bahkan melebihi IDG provinsi maupun kabupaten lainnya. Peningkatan IDG menunjukkan perempuan di Kabupaten Sorong Selatan semakin berperan aktif dalam
49
kehidupan ekonomi dan politik atau makin sempurna pemberdayaannya, meskipun peningkatan keterlibatan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah keterlibatan laki-laki. Diharapkan dengan adanya regulasi yang mengatur proporsi jumlah perempuan pada berbagai bidang dapat semakin memperkecil kesenjangan gender. Tabel 6.2. Tabel Indeks Pemberdayaan Gender Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat, Tahun 2004-2010 Kode
Provinsi/Kab 2004
2005
2006
IDG 2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
9100
PAPUA BARAT
41
50,5
55
55,5
55,89
57
57,96
9101
Fak-Fak
33,7
46
46,8
47,8
47,85
48,15
54,08
9102
Kaimana
32,9
42,8
47,1
47,6
47,81
48,03
51,76
9103
Teluk Wondama
35,7
44,1
47,9
48,2
48,72
48,94
39,34
9104
Teluk Bintuni
34,9
44,7
48,8
49,3
49,54
49,79
30,83
9105
Manokwari
41,3
47,1
47,8
48,1
48,37
49,06
45,39
9106
Sorong Selatan
30,4
42,5
46,3
46,4
46,60
47,83
62,77
9107
Sorong
29,6
33,2
43
43,1
43,10
43,5
38,27
9108
Raja Ampat
21,8
32,8
40,2
41,1
41,31
42,15
44,13
9109
Tambrauw
-
-
-
-
-
-
37,02
9110
Maybrat
-
-
-
-
-
-
51,05
9171
Kota Sorong
49,1
48,2
50,3
50,6
50,78
51,58
57,59
Sumber: Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 2005 s.d 2011, BPS
Kesenjangan gender pada penduduk usia di atas 15 tahun yang terindikasi dari indeks pendidikan dengan indikator Angka Melek Huruf (AMH) menurut jenis kelamin. Pada tahun 2008, AMH laki-laki sebesar 97,39 % dan perempuan sebesar 93,12 %, sedangkan pada tahun 2010 laki-laki sebesar 87,31 % dan perempuan sebesar 84,81 %. Rendahnya AMH perempuan menunjukkan tingkat pendidikan perempuan secara umum lebih rendah dibandingkan laki-laki sehingga kondisi ini tentu akan memberikan dampak dalam berbagai aktivitas kehidupan, diantaranya kontribusi perempuan yang bekerja di Kabupaten Sorong Selatan yang secara persentase masih rendah dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2008 jumlah perempuan yang bekerja sebesar 39,88 %, kemudian meningkat pada tahun 2009 mencapai 43,33 % tetapi menurun tahun 2010 sebesar 41,74 %. Bahkan terus menurun pada tahun 2011 hingga mencapai 37,24 % (BPS, Sorong Selatan 2008-2011). Peningkatan peran perempuan disejumlah bidang pembangunan pada umumnya masih terbatas. Hal ini disebabkan oleh karena kemampuan perempuan masih memerlukan penguatan baik secara perorangan maupun kelembagaan. Berbagai faktor turut mempengaruhi kualitas pendidikan perempuan yaitu faktor budaya dimana masih terdapatnya pandangan masyarakat khususnya di wilayah pedesaan (kampung) yang masih kuat dengan paham patrilineal, bahwa penerus keturunan (marga) adalah laki-laki sehingga laki-laki yang harus mencapai pendidikan yang tinggi dan mencari nafkah dan faktor ekonomi yang masih terbatas. Oleh karena itu perlu adanya program-program pemberdayaan perempuan, baik di kota maupun kampung dengan melibatkan tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat.
6.3. Isu HIV/AIDS Jumlah kasus HIV/AIDS menunjukkan tren peningkatan selama periode 2007-2012. Pada tahun 2008 terjadi peningkatan yang sangat drastis bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena Dinas Kesehatan melakukan pemeriksaan langsung ke masyarakat, sehingga semakin banyak kasus yang terungkap. Program pemeriksaan langsung ke masyarakat dianggap sangat baik, karena masyarakat pada umumnya masih malu bila datang ke Klinik atau Rumah Sakit untuk memeriksakan diri akibat adanya stigma negatif dari masyarakat. Pada tahun 2009 sampai tahun 2012 jumlah penderita yang memeriksakan diri dan tertangani mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2008. Jumlah yang sedikit sama sekali tidak menunjukkan hal yang positif, tetapi justru timbul kekuatiran bahwa sebetulnya pada tahun-tahun tersebut sudah banyak penderita baik HIV maupun AIDS tetapi tidak terdeteksi, seperti gunung es yang
50
terlihat sedikit tetapi di bawahnya ternyata jumlahnya banyak. HIV/AIDS adalah jenis penyakit menular yang sampai saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan, tetapi hanya ada obat untuk menambah kekebalan tubuh dengan tujuan untuk memperpanjang usia si penderita. Di Kabupaten Sorong Selatan jumlah penduduk yang terjangkit HIV/AIDS kasusnya cenderung berfluktuasi kearah yang semakin meningkat dan bertambah pada setiap tahunnya. Pelayan kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan, untuk kasus HIV/AIDS dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Teminabuan dan Puskesmas Teminabuan. Data kasus HIV/AIDS pada tahun 2012 di kedua tempat pelayan kesehatan ini dijumpai kasus penduduk yang terkena HIV/AIDS, juga terdapat kasus meninggal, dimana selama 6 bulan terdapat 7 penduduk yang meninggal dunia. Perkembangan HIV/AIDS di Kabupaten Sorong Selatan tidak lepas dari perkembangan pesat dunia hiburan yang rentan terhadap HIV/AIDS yang berada di kabupaten induk Kota Sorong yang merupakan pintu gerbang Provinsi Papua dan Papua Barat. Transportasi darat yang semakin baik dan lancar dengan waktu tempuh yang makin cepat dan biaya yang lebih rendah dari sebelumnya, menyebabkan mobilitas penduduk dari Sorong Selatan ke kota Sorong atau sebaliknya semakin tinggi. Kondisi ini sangat memudahkan bagi mereka yang ingin mencari hiburan di Kota Sorong atau menyediakan hiburan di Sorong Selatan. Oleh karenanya kesigapan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam mengantisipasi dan menekan perkembangan HIV/AIDS di Kabupaten Sorong Selatan. Gambar 6.3. Jumlah Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Sorong Selatan, Tahun 2005-2012 Jumlah Kasus 15
16 14 12
9
10
8
9
8 6 4 2
1
1
2005
2006
2
2
0 2007
2008
2009
2010
2011
2012
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sorong Selatan, 2012
6.4. Isu Mitigasi Bencana Secara kelembagaan, Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan telah membentuk Kantor Penanggulangan Bencana Alam (KPBA) sejak tahun 2011. Bencana Alam yang terjadi di Kabupaten Sorong Selatan bersifat musiman, dimana hal ini terjadi akibat gelombang pasang yang merusak pemukiman masyarakat di wilayah pesisir pantai khususnya distrik (kecamatan) pesisir. Selain itu bencana alam gempa bumi yang terjadi pada awal tahun 2009 yang mengguncang wilayah kepala burung Provinsi Papua Barat, getarannya terasa hingga Kabupaten Sorong Selatan. Meski sejak terbentuknya Kabupaten Sorong Selatan belum pernah terjadi bencana alam yang berarti, namun sejak tahun 2006 Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan telah membentuk suatu institusi yang bernaung di Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat yang mempunyai tugas pokok mengantisipasi dan menangani bencana alam. Dari sisi penanggulangan bencana alam, Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan juga telah mengadakan sosialisasi dan pembekalan pencegahan akan terjadinya bencana alam dan menyiapkan dana penanggulangan bencana alam berupa rehabilitasi dan penanganan bagi korban luka-luka melalui Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. KPBA Sorsel yang terbentuk sejaka tahun 2011 ditujukan untuk lebih memfokuskan upaya pencegahan dan penanggulan bencana alam di Kabupaten Sorong Selatan Sumber dana melalui melalui APBD program penanggulangan bencana mulai dialokasikan tahun 2012, sejalan dengan telah berfungsinya lembaga pemerintah penanggulangan bencana alam. Namun anggaran yang dialokasikan, masih terbatas pada usulan kegiatan yang menjadi program kerja institusi. Alokasi anggaran untuk tujuan kesiapsiagaan dan tanggap darurat tidak tercermin dalam APBD. Hal ini menunjukkan tingkat
51
ketergantungan pemerintah yang tinggi pada sumber pendanaan dari luar daerah untuk alokasi kesiapsiagaan dan tanggap darurat. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dengan Kantor Penanggulangan Bencana Provinsi terkait dengan program tersebut.
6.5. Dana Otonomi Khusus Alokasi belanja riil dana otonomi khusus (otsus) di Kabupaten Sorong Selatan selama lima tahun cenderung menurun. Penurunan ini diduga karena dua hal, yaitu: (1) realisasi dana otsus tidak dimanfaatkan dengan baik oleh sektor atau instansi yang diberi tanggungjawab untuk mengelolanya sehingga tahun berikutnya dana tersebut dikurangi, dan (2) adanya pemekaran wilayah Sorong Selatan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Maybrat sehingga alokasi dana otsus juga terbagi untuk dua kabupaten tersebut. Alokasi dana otsus pada setiap kabupaten dari provinsi Papua Barat selain berdasarkan jumlah penduduk, PDRB, tingkat kesulitan daerah juga komponen fiskal seperti PAD. Porsi PAD terhadap pendapatan daerah lebih kecil dari porsi dana otsus terhadap pendapatan daerah. Perbandingan kontribusi (sumbangan) dana otsus terhadap pendapatan daerah memperlihatkan bahwa setiap tahunnya sumbangan dari dana otsus lebih besar dibandingkan dengan sumbangan Pendapatan Asli daerah (PAD) yang ada di Kabupaten Sorong Selatan. Rata-rata kontribusi dana otsus setiap tahunnya adalah 10,87 persen terhadap total pendapatan daerah riil. Secara umum dana otsus Papua Barat mengalami peningkatan alokasi pada setiap tahun di masing-masing Kabupaten dan Provinsi Papua Barat. Peningkatan Alokasi Dana Otsus ini disebabkan karena setiap tahunnya DAU Nasional meningkat, yang merupakan sumber atau porsi dari Dana Otsus. Besarnya Dana Otsus yang dialokasikan di Wilayah Papua dan Papua Barat sebesar 2 persen dari DAU Nasional. Kebijakan pemerintah untuk Dana Otsus Papua dan Papua Barat disalurkan untuk menopang 4 pilar utama yaitu Pendidikan, Kesehatan, Infrastuktur dan Perekonomian Rakyat. Gambar 6.4. Perkembangan Belanja riil Dana Otsus di Kabupaten Sorong Selatan dan Tiga Kabupaten Lainnya di Papua Barat, 2007-2011 160.00
16.00
140.00
14.00
120.00
12.00
100.00
10.00
84.18
80.00
73.95
73.75
67.65
63.96
60.00
13.63 10.41
8.00 6.00
40.00
4.49 3.25
4.00
20.00
2.00
2007 Fak-Fak
2008 Manokwari
2009
2010 Raja Ampat
2011
10.97
10.30 9.06
1.96
1.19
2.20
2007
Sorsel
2008 % PAD
2009
2010
2011
% DANA OTSUS
Sumber: APBD Kabupaten Sorsel, Fakfak, Manokwari dan Raja Ampat, Tahun 2007-2012
Meskipun alokasi anggaran cenderung menurun, tetapi tingkat penyerapan anggaran Otsus di Kabupaten Sorong Selatan terus membaik selama periode 2007-2011. Rata-rata penyerapan dana selama tahun 2007 hingga 2011 sebesar 99,7 persen. Realisasi belanja riil yang bersumber dari dana otsus mengalami penurunan nilai belanja dari Rp 82 milyar tahun 2007 menjadi 67 milyar di tahun 2011. Realisasi dari dana otsus yang melebihi dari alokasi namun yang secara nominal mengalami peningkatan nilai alokasi, disebabkan keterlambatan alokasi dari pusat karena harus menunggu laporan relisasi penggunaan Otsus pada setiap semester. Keterlambatan ini mengakibatkan beberapa kegiatan mengalami penundaan realisasi program, yang berdampak pada pembayaran program sehingga kegiatan tersebut mengalami penundaan pada tahun berikutnya. Untuk itu perencanaan penganggaran untuk kegiatan yang bersumber dari dana otsus tersebut perlu dilakukan secara terintegrasi sehingga ke empat pilar utama akan saling mendukung didalam mewujudkan tujuan mensejahterakan masyarakat Papua dapat terwujud.
52
Gambar 6.5. Tingkat Penyerapan, pertumbuhan dan alokasi Dana Otsus Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 90.00 80.00
1.20 101.6%
98.4%
102.0%
96.6%
100.0% 1.00
70.00 0.80
60.00
Realisasi riil Alokasi riil
50.00
0.60
40.00
0.40
Pertumbuhan Realisasi riil Pertumbuhan Alokasi riil Proporsi Realisasi riil
30.00
0.20
20.00
Tingkat penyerapan
-
10.00
ProporsiAlokasi riil
(0.20)
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber: Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2007-2012, Laporan Ralisasi Dana Otsus Papua Barat 2012, Laporan Pemeriksaan BPK Tahun 2012
Alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus) pada sektor pendidikan belum sesuai amanat Undang-Undang Otsus, namun di sektor kesehatan justru melampau target. Alokasi dana Otsus secara sektoral memperlihatkan bahwa sektor kesehatan mendapat alokasi dana otsus terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya, kemudian diikuti sektor pendidikan, infrastruktur, dan perhubungan. Namun demikian, jika didasarkan pada amanat undang-undang Otsus yang harus dicapai sebesar 30 persen maka realisasi dana otsus di sektor pendidikan belum memenuhi target tersebut, sedangkan sektor kesehatan justru melebihi ketentuan yang diamanatkan oleh undang-undang Otsus tersebut, yaitu sebesar 15%. Sektor yang menyentuh langsung kepada masyarakat yaitu usaha kecil dan menengah (UKM) hanya 2,6 persen, pertanian dan kelautan tidak mencapai 1 persen. Oleh karena itu empat pilar utama seperti, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan perekonomian masyarakat harus mendapat sentuhan belanja yang lebih rasional sehingga amanat UU Otsus Papua paling tidak dapat dipenuhi dengan paket program yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Gambar 6.6. Alokasi Sektoral Dana Otsus di Kabupaten Sorong Selatan, Tahun 2012 Perhubungan, 6.0% Pemerintahan Umum, 3.5% Koperasi Dan Usaha Kecil Menengah, 2.6%
Infrastruktur
22.8%
Pertanian, 0.9%
Kebudayaan, 2.3% Sosial, 2.3% Ketenagakerjaan, 1.5% Other, 3.6%
Pendidikan
Kelautan Dan Perikanan, 0.3%
Perencanaan Pembangunan, 1.1%
Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, 0.1%
26.1%
Kesehatan
Industri, 1.3%
29.3%
Sumber:
Laporan Keterangan Pertanggung-Jawaban (LKPJ) Bupati Sorong Selatan 2007-2012, dan Capaian Kinerja (CAPKIN) Program dan Kegiatan Tahun 2007-2012, Laporan Ralisasi Dana Otsus Papua Barat 2012, Laporan Pemeriksaan BPK Tahun 2012
Secara nominal alokasi belanja riil dana Otsus sektor pendidikan untuk Kabupaten Sorong Selatan cenderung menurun selama tahun 2007 sampai 2011. Secara proporsional belanja riil pendidikan mengalami peningkatan, dengan rata-rata alokasi sektor pendidikan sebesar 22 persen atau Rp 16 milyar rupiah. Nilai ini dijabarkan dalam program-program pendidikan yang dialokasikan untuk program, pendidikan dasar dan prasekolah dan pendidikan menengah dan kebudayaan.
53
Gambar 6.7. Porsi Realisasi Dana Otsus untuk Pendidikan di Kabupaten Sorong SelatanTahun 2007-2011 90.00
40.0%
82.82 74.95
80.00
33.6%
71.46
60.00
22.5%
50.00 40.00
16.7%
25.0%
21.7%
20.0% 15.0%
24.01 13.86
14.65
12.88
10.0%
14.65
5.0%
10.00 -
0.0% 2007
2008
Total riil Pendidikan
Sumber:
35.0% 30.0%
17.2%
30.00 20.00
67.65
65.24
70.00
2009 Total riil Alokasi Otsus
2010
2011
Porsi Realisasi Pendidikan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2007-2012, Laporan Ralisasi Dana Otsus Papua Barat 2012, Laporan Pemeriksaan BPK Tahun 2012
Selama 5 tahun yang menjadi fokus utama adalah program pendidikan dasar dan pra sekolah dengan alokasi belanja sebesar 36 persen. Alokasi belanja pada setiap tahunnya berfluktuasi dan dengan berkurangnya porsi alokasi untuk belanja Otsus maka terhadap alokasi belanja pendidikan juga ikut berkurang. Gambar 6.8. Komposisi Dana Otsus untuk Berbagai Program Pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2010 30.00 25.00 20.00
8.76 6.17
15.00 10.00 5.00
3.83 0 10.03
-
2007 Pendidikan Dasar
6.43
10.72
5.64
7.17
4.33 6.44 2008
4.52
4.69
6.41
2009
2010
Rata-rata
Pendidikan Dasar dan Pra Sekolah
Pendidikan Menengah dan kebudayaan
Sumber: Laporan Realisasi Dana Otsus Kabupaten dan Provinsi di Papua Barat
Peningkatan mutu pendidikan dan tenaga pendidik menjadi prioritas utama dalam program pendidikan dasar dengan alokasi 78 persen. Program pada pendidikan dasar dan pra sekolah lebih dari 50 persen difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana sekolah sedangkan untuk program wajib belajar 9 tahun hanya 36 persen. Program pendidikan menengah lebih difokuskan pada sarana pendidikan dan mutu tenaga pendidik.
54
Gambar 6.9. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 Peningkatan Pengelolaan PLS Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Pendidikan dasar Pengelolaan Pendidikan Luar Sekolah Peningkatan Mutu Kependidikan dan Tenaga Kependidikan Menengah Pembangunan Sarana dan Prasarana Pendidikan Menengah Pendidikan Menengah
29.8%
C. Dinas Pendidikan Menengah dan kebudayaan Pengadaan dan Prasarana Pendidikan Dasar Pembangunan Sarana dan Prasarana Pendidikan dasar
55.5%
Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun
36.7%
B. Dinas Pendidikan Dasar dan Pra Sekolah Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Pendidikan
78.3%
Pembangunan Gedung Sekolah A. Dinas Pendidikan Dasar
0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
Sumber: Laporan Realisasi Dana Otsus Kabupaten dan Provinsi di Papua Barat
Alokasi Dana Otsus Sektor Kesehatan selama 5 tahun cenderung berfluktuasi. Belanja rill tertinggi terjadi pada tahun 2007 dengan alokasi sebesar Rp.28 milyar dan terendah tahun 2008 dengan alokasi sebesar Rp 5,32 milyar dengan rata-rata perolehan sektor kesehatan selama 5 tahun mencapai 24,8 persen dari total dana otsus yang diterima. Selama kurun waktu tersebut walaupun penerimaan dana otsus menurun namun porsi untuk kesehatan mengalami peningkatan tahun 2009 dan 2010. Gambar 6.10. Nilai nominal dan Proporsi Dana Otsus Sektor Kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2007-2011 90.00
40.0%
82.82
80.00
74.95
34.3%
35.5%
71.46
35.0% 67.65
65.24
70.00 60.00
30.0%
25.4%
25.0%
50.00
21.7%
40.00 30.00
28.40 18.14
20.00 5.32
10.00
20.0% 15.0%
23.13 14.65
7.1%
10.0% 5.0% 0.0%
2007 Total riil Kesehatan
2008
2009 Total riil Alokasi Otsus
2010
2011 Porsi Realisasi Kesehatan
Sumber: Laporan Realisasi Dana Otsus Kabupaten dan Provinsi di Papua Barat
Belanja Otsus untuk sektor kesehatan lebih diarahkan pada pengadaan sarana dan prasarana kesehatan yang mencapai 27,6 persen. Program peningkatan sumberdaya kesehatan sebesar 19,5 persen, dan program peningkatan sumberdaya kesehatan sebesar 19,5 persen. Program yang langsung mengena sasaran masyarakat yaitu pencegahan penanggulangan penyakit menular sebesar 14,8 persen, pelayanan kesehatan sebesar 5 persen dan perbaikan gizi masyarakat sebesar 3,2 persen.
55
Gambar 6.11. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 Peningkatan Sumber Daya Aparatur
2.1%
Peningkatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat
5.0%
Peningkatan Sumber Daya Kesehatan
19.5%
Pengadaan Sarana dan Prasarana Kesehatan
27.6%
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular
14.8%
Perbaikan Gizi Masyarakat Pengawasan Obat dan Makanan
3.2% 0.4%
Upaya Kesehatan Masyarakat
7.3%
Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
19.6% 0.4%
0.0%
5.0%
10.0%
15.0%
20.0%
25.0%
30.0%
Sumber: Laporan Realisasi Dana Otsus Kabupaten dan Provinsi di Papua Barat
Alokasi dana untuk Infrastruktur berfluktuasi selama tahun 2007 hingga 2011 walaupun porsinya terhadap total belanja Otsus cenderung meningkat dengan rata-rata alokasi sebesar 22,2 persen. Belanja riil alokasi dana Otsus infrastruktur cenderung berfluktuasi dengan peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2010 yang mencapai Rp.18,4 milyar. Wujud dari program yang dilakukan yaitu untuk menghubungkan distrik-distrik yang difokuskan pada sentra-sentra aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga akan memudahkan masyarakat untuk mengakses pasar. Gambar 6.12. Nilai nominal dan Proporsi Dana Otsus Sektor Infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan Tahun 2007-2011 90.00
30.0%
82.82
80.00
27.8%
74.95
71.46
70.00 60.00
21.7%
21.3%
20.6%
19.7%
67.65
65.24
50.00
20.0% 15.0%
40.00 30.00 20.00
25.0%
16.30
15.44
15.24
10.0%
18.14
14.65
10.00 -
5.0% 0.0%
2007
2008
Total riil Infrastruktur
2009 Total riil Alokasi Otsus
2010
2011
Porsi Realisasi Infrastruktur
Sumber: Laporan Realisasi Dana Otsus Kabupaten dan Provinsi di Papua Barat
Program transportasi laut memperolah alokasi belanja Otsus terbesar mencapai 47 persen. Pembangunan jalan dan jembatan memperoleh alokasi sebesar 30,2 persen dan sarana transportasi udara sebesar 23 persen. Program yang langsung menyentuh masyarakat yang kurang mampu seperti penyediaan dan pengelolaan air sebesar 3,9 persen dan infrastruktur pedesaan sebesar 8,6 persen.
56
Gambar 6.13. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011 9.0%
Pembangunan Sarana dan Prasarana Perhubungan Pembangunan, Peningkatan dan Pemeliharaan Prasarana Transportasi Darat Pembangunan, Peningkatan dan Pemeliharaan Prasarana Transportasi Udara Pembangunan, Peningkatan dan Pemeliharaan Prasarana Transportasi Laut Pembangunan Sarana dan Prasarana Perhubungan Pembangunan Sarana dan prasarana Pemerintah Penyediaan dan Pengelolaan air baku Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air minum dan Air Limbah Peningkatan Jalan Dan Jembatan
15.2% 23.1% 47.0% 5.7% 4.3% 3.9% 21.5% 8.6% 1.5% 1.8% 12.9%
Pengembangan dan pengelolaan Jaringan Irigasi, Rawa dan Jaringan…
Pembangunan Saluran Drainase/Gorong-Gorong Pembangunan Jalan dan Jembatan Pembangunan Turap/ Talud/Bronjong
0.3%
0.0%
30.2% 2.0% 10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
Sumber: Laporan Realisasi Dana Otsus Kabupaten dan Provinsi di Papua Barat
Alokasi dana untuk perekonomian rakyat lebih difokuskan pada Koperasi dan UKM yang mencapai 25 persen.Pengembangan industri kecil dengan bahan baku lokal mencapai 12 persen dan yang menunjang sektor pertanian masing-masing untuk perikanan sebesar 11 persen, pertanian 19 persen dan perkebunan 7 persen. Gambar 6.14. Realisasi Dana Otsus untuk Berbagai Program Infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan tahun 2007-2011
Pengembangan Peningkatan Usaha Koperasi dan UKM 25%
Pembangunan, Peningkatan dan Pememliharaan Sarana dan Prasarana Pertanian 6% Pengadaan Sarana dan Prasarana Pertanian 19%
Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi 6% Peningkatan Efisiensi Perdagngan dalam Neger 9% Pengembangan Industri Kecil dan Menengah 12%
Pengembangan Komoditas Pertanian Tanaman Pangan 5% Pengembangan dan Kapasitas SDM Perkebunan 7% Pengadaan Sarana dan Prasarana Produksi Perikanan 11%
Sumber: Laporan Realisasi Dana Otsus Kabupaten dan Provinsi di Papua Barat
6.6. Kesimpulan dan Rekomendasi Meskipun menurun secara signifikan, tingkat kemiskinan Kabupaten Sorong Selatan masih tergolong tinggi selama periode 2007-2011. Persentase jumlah penduduk miskin yang ada masih tinggi yaitu 27,97 % pada tahun 2010 dan berkurang menjadi 23,14 % pada tahun 2011. Kendati terlihat adanya penurunan jumlah penduduk miskin, namun kehidupan masyarakat pedesaan yang ekstraktif dan pola hidup subsisten merupakan kondisi yang rentan terhadap kemiskinan. Direkomenasikan untuk melanjutkan keseriusan pemerintah daerah untuk mengatasi kemiskinan tercermin melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat pedesaaan, pengembangan lembaga ekonomi pedesaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa. Secara spesifik upaya pengentasan kemiskinan di Kabupaten Sorong Selatan perlu memprioritaskan program-program yang pro penduduk miskin. Penanggulangan kemiskinan lebih diarahkan untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan mengelola pengeluaran terutama
57
kebutuhan dasar penduduk miskin. Koordinasi dalam pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan penting dilakukan beberapa SKPD yang terkait seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan dan Kelautan, Kantor Ketahanan Pangan, Pendidikan, dan lain-lain. Peningkatan IPG masih menunjukkan adanya kesenjangan gender. Oleh karenanya masih diperlukan upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kesetaraan gender di bidang sosial, politik, ekonomi.Angka Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Kabupaten Sorong Selatan mengalami peningkatan, artinya perempuan semakin berperan aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik, meskipun peningkatannya masih lebih rendah dibandingkan dengan jumlah keterlibatan laki-laki. Peningkatan peran perempuan disejumlah bidang pembangunan sangat terkait dengan meningkatnya kemampuan/kualitas perempuan.Beberapa program kebijakan yang terkait dengan peningkatan kualitas gender yaitu : program peningkatan kesetaraan gender dan keberdayaan perempuan melalui pelatihan kepada perempuan sebagai pelaku ekonomi, program penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender melalui pemberdayaan lembaga berbasis gender, kegiatan bimbingan manajemen usaha bagi perempuan dalam mengelola usaha, memberikan bantuan modal usaha untuk perempuan dan melibatkan peran serta dari semua stakeholder terkait dengan peningkatan kualitas gender. Kasus HIV/AIDS menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah penduduk di Kabupaten Sorong Selatan yang terjangkit HIV/AIDS kasusnya cenderung berfluktuasi dan meningkat, bahkan ada yang meninggal dunia. Upaya-upaya untuk mendeteksi penyakit tersebut secara dini sangat diperlukan. Program pemeriksaan langsung ke masyarakat dianggap sangat baik untuk mendeteksi penyakit tersebut di masyarakat, karena adanya stigma negatif terhadap penyakit tersebut sehingga masyarakat enggan bila datang ke Klinik atau Rumah Sakit untuk memeriksakan diri. Upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Sorong Selatan perlu dilakukan secara terpadu dan bersinergis dengan berbagai elemen pemerintah dan non pemerintah termasuk tokoh agama dan tokoh adat. Sebagaimana yang telah dilakukan pemerintah daerah bekerja sama dengan Adventist Development and Relief Agency (ADRA) Indonesia yang melakukan penyuluhan-penyuluhan melalui siaran radio dan Focus Group Discussion tentang pencegahan, serta mengidentifikasi hambatan dan kendala penanggulangan HIV dan AIDS. Kerjasama ini sangat membantu pemerintah khususnya Dinas Kesehatan dalam pengendalian dan pemberantasan HIV dan AiDS.Program-program lain yang perlu diantaranya pengembangan sistem pelayanan kesehatan yang terpadu, pendirian klinik reproduksi, tes HIV/AIDS bagi PNS di lingkungan Pemerintah Daerah dan penyebaran modul terkait HIV/AIDS ke sekolah-sekolah dan organisasi kepemudaan. Potensi bencana alam di Kabupaten Sorong Selatan cukup beragam dan dapat terjadi setiap saat. Salah satu dari potensi tersebut antara lain, bencana banjir dan longsor akibat perambahan hutan atau pembukaan lahan, gempa bumi dan bencana gelombang pasang air laut yang dapat merusak pemukiman warga Pesisir. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana-bencana alam melalui pembentukan institusi sejak tahun 2006 yang bernaung di Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. Dari sisi penanggulangan bencana alam, Pemerintah Daerah telah mengadakan sosialisasi dan pembekalan pencegahan akan terjadinya bencana alam. Untuk lebih memfokuskan upaya pencegahan dan penanggulan bencana alam, pada tahun 2011 dibentuk kelembagaan yang khusus menangani bencana yaitu Kantor Penanggulangan Bencana Alam Kabupaten Sorong Selatan. Untuk mengantisipasi dan menangani bencana alam yang tidak bisa diduga terjadinya, kerjasama dan koordinasi pemerintah daerah dengan Kantor Badan Penanggulangan Bencana Provinsi dan Badan SAR Nasional sangat diperlukan. Dalam upaya mencegah bencana alam akibat aktivitas manusia, peran Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan serta Dinas Kehutanan diperlukan dalam melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai dampak yang timbul akibat perambahan hutan atau pembukaan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem. Selain itu pelatihan kesiapsiagaan bencana dalam rangka pencegahan dini bencana alam perlu dilakukan. Penerimaan dana Otsus di Kabupaten Sorong Selatan selama kurun waktu lima tahun cenderung menurun dengan alokasi sektoral yang belum sepenuhnya memenuhi ketentuan perundangan. Sekalipun demikian, kontribusi dana otsus terhadap pembentukan total pendapatan daerah riil cukup besar jika dibandingkan dengan kontribusi pendapatan asli daerah (PAD). Alokasi dana otsus untuk sektor pendidikan belum mencapai target seperti yang diamanatkan undang-undang Otsus, sedangkan sektor perekonomian masyarakat cukup kecil. Direkomendasikan perlu adanya pembenahan terhadap mekanisme perencanaan penganggaran dana otsus yang orientasinya lebih fokus pada komponen pendidikan, ksehatan, infrastruktur dan perekonomian masyarakat.
58
Lampiran
Lampiran A: Matriks Kesimpulan dan Rekomendasi Bab Pendahuluan Kesimpulan Rekomendasi Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sorong Selatan a). Mendorongdanmenfasilitasipengembanganindustri pengolahan (terutama agro-industri) dari sisi permodalan, produksi, manajemen, terus membaik dalam tiga tahun terakhir maupun pemasaran untuk meningkatkan nilai tambah b). Memperluas kesempatan kerja c). Memberidampakluas terhadap pengembangansektorekonomi lainnya Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan perlu memberi perhatian serius terhadap masalah kualitas sumberdaya manusia
a) Peningkatan akses penduduk terhadap layanan dan mutu pendidikan dan kesehatan b) Pemberantasan buta huruf. c) Peningkatan aktifitas ekonomi kerakyatan, terutama peningkatan pemberdayaan industri rumah tangga.
Bab Keuangan Daerah Kerangka Peraturan Keuangan Daerah masih perlu dibenahi sehingga dapat mendukung pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan.
a) Penyediaan peraturan tentang SPM, kebijakan akuntansi pemerintah, standar harga dan biaya serta peraturan daerah tentang transparansi dan partisipasi masyarakat untuk penyusunan rencana kegiatan dan anggaran di setiap SKPD. b) Ketersediaan perencanaan dan penganggaran multi-tahun dan proses perencanaan anggaran yang terintegrasi pada masing- masing SKPD secara komprehensif c) Proses penyusunan perencanaan dan anggaran berbasis data, kinerja dan sinkron dengan pencapaian target sesuai RPJMD.
Manajemen kas belum optimal dilakukan, pengelolaan penerimaan dan pembayaran kas serta surplus kas tomporer. Prosedur dan praktek pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya mendukung terciptanya good governance
Sistem penetapan dan penagihan pendapatan daerah, dan penanganan manajemen pendapatan perlu dioptimalkan, dan perlu diterapkan sanksi tegas kepada para wajib pajak/restribusi yang melanggar ketentuan.
Prosedur dan pengelolaan investasi daerah dan hibah telah dilaksanakan namun belum didukung oleh kebijakan pengelolaan hutang dan investasi yang sesuai dengan kerangka kebijakan nasional
a) Pengadaan barang dan jasa perlu ditingkatkan koordinasinya dan dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. b) Penggunaan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik dengan menggunakan sistem LPSE. c) Pencatatan akuntansi secara aktual.
Perlu disusun dan ditetapkan regulasi daerah tentang Pinjaman Daerah dan Investasi Daerah yang mengacu pada PP. No. 54 Tahun 2005 yang berisi ketentuan terkait penerimaan, pencatatan, pengelolaan dan pelaporan hibah.
Pemanfaatan aset daerah belum optimal dan transparan, kebijakan dan prosedur pemeliharaan aset belum terintegrasi dengan proses perencanaan daerah.
DPRD telah melakukan fungsi oversight (pengawasan) terhadap manajemen keuangan daerah, namun belum diimbangi oleh pertanggungjawaban (akuntabilitas) pemerintah terhadap publik secara memadai.
a) Penyusunan kebijakan pengaturan penggunaan dan pemanfaatan aset; b) Penataan kebijakan dan prosedur pemeliharaan aset, serta kebijakan, sistem dan prosedur pencatatan, perolehan, penilaian, pemindatanganan, penghapusan serta pelaporan aset untuk menjamin pengamanan aset dengan baik. c) Melakukan inventarisasi aset dan identifikasi potensi aset daerah serta menyusun pemetaan pendapatan asli daerah berdasarkan obyek pendapatan, kewilayahan dan potensi ekonomi masyarakatnya. d) Peningkatan kapasitas SDM aparatur pemerintah daerah dalam manajemen, teknik inventarisasi, penilaian, akuntansi, dan pengelolaan aset.
a) Publikasi laporan keuangan pada media yang dapat diakses oleh publik. b) Penataan bentuk akses masyarakat pada sidang-sidang pembahasan rencana dan pertanggungjawaban keuangan di DPRD perlu disinkronkan dengan model pertanggungjawaban yang memadai.
Bab Pendapatan Daerah Pendapatan riil Kabupaten Sorong Selatan cenderung mengalami penurunan selama kurun waktu 2007 -2011, berbanding terbalik dengan pendapatan riil Provinsi Papua Barat yang cenderung meningkat pada periode yang sama.
60
a) Penyiapan Sumber Daya Manusia terkait dengan penanganan aset daerah. b) Perlu peningkatan Capacity Building secara berkelanjutan bagi Aparatur Dinas Pendapatan Daerah. c) Dukungan dalam bentuk fasilitas penunjang bagi petugas ketika melakukan pemungutan pajak pada daerah tertentu yang memiliki daerah yang sulit dijangkau.
Kesimpulan
Rekomendasi
Pada sepanjang tahun masih diperoleh SILPA yang melebihi standar
Perlu dilakukan pembenahan terhadap mekanisme perencanaan penganggaran yang memadai sehingga perolehan SILPA masih pada batas yang wajar. a) Dukungan kebijakan pembiayaan untuk leading sektor atau sektor prioritas . b) Penghematan belanja barang dan jasa. c) Pengalokasian belanja untuk sektor -sektor yang menjadi prioritas perlu disinkronkan dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah sehinggi visi dan misi pembangunan senantiasa mendapat dukungan pembiayaan yang memadai . d) Peningkatan belanja untuk infrastuktur .
Belanja daerah di Kabupaten Sorong Selatan mengalami peningkatan dari 2007 -2009, kemudian menurun pada tahun berikutnya .
Sektor-sektor Strategis Sektor Pendidikan Belanja sektor pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2007 -2011 berfluktuasi, dan didominasi oleh belanja pegawai. APS cenderung semakin rendah pada semua jenjang pendidikan, begitu pula dengan perkembangan AMH yang sekalipun dalam lima tahun cenderung meningkat tetapi peningkatannya sangat kecil, disamping itu akses pendidikan penduduk yang tertinggi terjadi hanya pada jenjang pendidikan SD Proporsi belanja riil kesehatan di Kabupaten Sorong Selatan cenderung mengalami penurunan selama 5 (lima) tahun . Angka Harapan Hidup Kabupaten Sorong Selatan masih tergolong rendah dibandingkan dengan di Provinsi Papua Barat maupun nasional
Belanja infrastruktur di Kabupaten Sorong Selatan mempunyai proporsi terbesar dari total belanja riil daerah walaupun mengalami penurunan, dengan proporsi terbesar pada belanja modal
a) Pengentasan buta huruf b) Pembenahan perencanaan dan penganggaran terutama pada program peningkatan akses dan mutu pendidikan sekolah menengah c) Perbaikan dalam proses distribusi guru d) Peningkatan alokasi program untuk penyediaan sarana dan prasarana pendidikan berdasarkan standar pelayanan dasar.
Sektor Kesehatan Walaupun proporsi belanja pegawai dan belanja modal relatif seimbang namun dalam perencanaan penganggaran perlu difokuskan pada alokasi belanja program yang terkait dengan pelayanan pengobatan dan pencegahan penyakit bagi masyarakat. a) Memerlukan adanya alokasi belanja modal serta belanja barang dan jasa termasuk adanya kebijakan program yang difokuskan pada peningkatkan AHH antara lain dengan upaya menekan angka kematian bayi dan ibu, juga program yang terkait dengan perbaikan gizi. b) Sarana dan fasilitas kesehatan terus mengalami perbaikan namun perlu dialokasikan pada distrik -distrik maupun kampung kampung dengan termasuk penyediaan tenaga kesehatan terutama dokter yang lebih memadai . Sektor Infrastruktur Perencanaan penganggaran peningkatan ruas jalan sepatutnya menjadi prioritas utama
Sektor Pertanian Belanja sektor pertanian cenderung berfluktuasi kearah penurunan dengan rata -rata proporsi belanja dibawah 10% dari total belanja daerah dan didominasi oleh belanja pegawai. Hal ini berdampak kepada rendahnya belanja modal sehingga diduga akan mempengaruhi infrastruktur di sub sektor pertanian Komoditas pertanian di Kabupaten Sorong Selatan yang mempunyai tingkat produksi tertinggi adalah komoditas padi, diikuti oleh ubi jalar dan ubi kayu
Perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan belanja modal guna meningkatkan infrastruktur pertanian yang dapat menunjang peningkatan output di sektor pertanian .
Perlu dipikirkan program -program budidaya untuk meningkatkan produksi komoditas-komoditas pertanian dan program -program yang terkait dengan peningkatan nilai tambah dari komoditas pertanian sehingga berkontribusi terhadap peningkatan PDRB daerah.
61
Kesimpulan
Rekomendasi Sub Sektor Perikanan dan Kelautan Belanja sub sektor kelautan dan perikanan Perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan nilai tambah dari bahanberfluktuasi dengan proporsi belanja terhadap total bahan mentah yang selanjutnya dapat mendorong terbuka dan belanja dari tahun ke tahun semakin menurun dan berkembangnya industri-industri pengolahan baik industri skala rumah didominasi oleh belanja modal tangga maupun industri menengah dan besar, pada saat yang bersamaan dapat menciptakan lapangan kerja baru juga sekaligus menjadi sumber peningkatan PDRB daerah setempat. Sub Sektor Kehutanan Belanja riil sub sektor kehutanan di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2009-2011 didominasi Mengingat cukup cepatnya pertambahan luas lahan akibat oleh belanja pegawai. Rata-rata proporsi belanja penebangan di kabupaten tersebut, maka perlu dipertimbangkan untuk sub sektor tersebut relatif kecil (6,85%) meningkatkan proporsi belanja modal yang lebih difokuskan untuk dibandingkan sub sektor pertanian serta kelautan merehabilitasi hutan maupun lahan di kawasan bekas tebangan. dan perikanan terhadap total belanja daerah. Produksi kayu gaharu sempat menjadi primadona Perlu ada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat di Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2007, untuk mengatur eksploitasi kayu gaharu tersebut, terutama di kawasan tetapi kemudian produksinya nihil di tahun-tahun hutan lindung. selanjutnya
Bab Isu-isu Strategis Meskipun menurun secara signifikan, tingkat kemiskinan Kabupaten Sorong Selatan masih tergolong tinggi selama periode 2007-2011 Peningkatan IPG masih menunjukkan adanya kesenjangan gender
Perlu memprioritaskan program-program yang pro penduduk miskin.
a) Program peningkatan kesetaraan gender dan keberdayaan perempuan melalui pelatihan kepada perempuan sebagai pelaku ekonomi. b) Program penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender melalui pemberdayaan lembaga berbasis gender. c) Kegiatan bimbingan manajemen usaha bagi perempuan dalam mengelola usaha. d) Memberikan bantuan modal usaha untuk perempuan dan melibatkan peran serta dari semua stakeholder terkait dengan peningkatan kualitas gender. Kasus HIV/AIDS menunjukkan tren peningkatan a) Program pemeriksaan langsung ke masyarakat dianggap sangat dalam beberapa tahun terakhir baik untuk mendeteksi penyakit tersebut di masyarakat. b) Upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Sorong Selatan perlu dilakukan secara terpadu dan bersinergis dengan berbagai elemen pemerintah dan non pemerintah termasuk tokoh agama dan tokoh adat. c) Pengembangan sistem pelayanan kesehatan yang terpadu. d) Pendirian klinik reproduksi. e) Tes HIV/AIDS bagi PNS di lingkungan Pemerintah Daerah dan penyebaran modul terkait HIV/AIDS ke sekolah-sekolah dan organisasi kepemudaan. Potensi bencana alam di Kabupaten Sorong a) melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi kepada Selatan cukup beragam dan dapat terjadi setiap masyarakat mengenai dampak yang timbul akibat perambahan saat hutan atau pembukaan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem. b) Pelatihan kesiapsiagaan bencana dalam rangka pencegahan dini bencana alam perlu dilakukan Penerimaan dana Otsus di Kabupaten Sorong Perlu adanya pembenahan terhadap mekanisme perencanaan Selatan selama kurun waktu lima tahun cenderung penganggaran dana otsus yang orientasinya lebih fokus pada menurun dengan alokasi sektoral yang belum komponen pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan perekonomian sepenuhnya memenuhi ketentuan perundangan masyarakat
62
Lampiran B: Matriks Tabel B1. Pendapatan Berdasarkan Sumber (Juta Rupiah) 2007 PENERIMAAN PAD Pajak Daerah Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Pajak Parkir Pajak Air Tanah Pajak Sarang Burung Walet Pajak Lingkungan Pajak Mineral Bukan Logam dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Pajak Pendaftaran Perusahaan Retribusi Daerah Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perizinan Tertentu Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMD Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada BUMN Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Milik Swasta Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Hasil Penjualan Aset Daerah Yang Tidak Dipisahkan Jasa Giro Pendapatan Bunga Deposito Tuntutan Ganti Kerugian Daerah Komisi, Potongan dan Selisih Nilai Tukar Rupiah Pendapatan Denda Atas Keterlambatan Pelaksanaan Pekerjaan Pendapatan Denda Pajak Pendapatan Denda Retribusi Pendapatan Hasil Eksekusi Atas Jaminan Pendapatan Dari Pengembalian Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum Pendapatan dari Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pendapatan dari Angsuran/Cicilan Penjualan Hasil Pengelolaan Dana Bergulir Pendapatan lain-lain Penerimaan dari unit kerja Dana Perimbangan Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Dana Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak
6,780.19 -
2008 28,058.20 926.96 20.48 550.02 50.63 28.21 62.42 215.19 -
2009 29,463.50 1,143.86 9.53 453.00 15.77 46.80 52.03 566.72 -
2010 9,202.04 466.00 50.00 160.00 80.00 150.00 -
2011 14,839.03 1,135.60 164.63 743.93 33.80 50.27 142.97 -
1,218.58 -
1,954.37 1,316.02 129.21 509.13
2,023.49 1,421.79 109.60 492.10
26.00 2,428.04 -
2,408.84 1,756.63 122.49 529.71
867.87
10,840.93
7,165.28
2,171.50
4,393.63
-
5,420.47 -
7,165.28 -
-
5,420.47
4,693.73 -
14,335.94 2,422.95 -
19,130.87 2,493.96 -
4,136.50 -
4,393.63 6,900.96 2,361.35 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
503,245.45 78,298.35 74,410.37 3,887.98
11,065.19 847.80 506,029.04 73,535.70 47,997.42 25,538.27
15,790.93 845.99 480,618.49 67,491.52 51,532.73 15,958.79
285,928.45 98,375.77 83,965.64 14,410.12
2,042.87 2,496.75 556,692.64 97,633.15 56,402.20 41,230.95
63
2007 Dana Alokasi Umum 383,109.00 Dana Alokasi Khusus 41,838.10 BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH 59,272.57 Pendapatan Hibah Pendapatan Hibah Dari Pemerintah Pendapatan Hibah Dari Pemerintah Daerah Lainnya Pendapatan Hibah Dari Badan/Lembaga/Organisasi Swasta Dalam Negeri Pendapatan Hibah Dari Kelompok Masyarakat/Perorangan Pendapatan Hibah Dari Luar Negeri Dana Darurat Penanggulangan Korban/Kerusakan Akibat Bencana Alam Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi 2) Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi 3) Dana Bagi Hasil Pajak dari Kabupaten 3) Dana Bagi Hasil Pajak dari Kota 3) Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 59,272.57 Dana Penyesuaian Dana Otonomi Khusus 59,272.57 Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya Bantuan Keuangan Dari Provinsi Bantuan Keuangan Dari Kabupaten Bantuan Keuangan Dari Kota lainnya TOTAL 569,298.21
2008 379,249.35 53,244.00 167,575.24 -
2009 365,818.96 47,308.00 146,181.77 -
2010 157,831.48 29,721.20 174,261.78 72,109.98 -
2011 403,750.19 55,309.30 103,483.28 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
15,794.49
1,940.16
15,794.49 116,780.82 53,718.53 63,062.29
1,940.16 122,582.68 55,000.00 67,582.68
34,999.93
21,658.93
34,999.93 701,662.48
21,658.93 656,263.76
102,151.80 38,193.69 63,958.12 469,392.27
4,257.37 4,257.37 92,824.96 18,803.95 74,021.00 6,400.95 6,400.95 675,014.95
B2. Belanja Berdasarkan Urusan Wajib (Juta Rupiah) 2007
2009
2010
2011
72,233.21
84,758.86
172,333.47
74,889.29
85,406.27
Urusan Kesehatan
59,124.71
50,186.20
50,994.99
43,093.56
46,238.58
196,737.65
147,913.21
43,068.52
75,965.31
100,848.07
Urusan Pekerjaan Umum Urusan Perumahan Rakyat
-
-
8,701.19
-
-
Urusan Penataan Ruang
-
-
275.95
-
-
Urusan Perencanaan Pembangunan
15,790.09
15,854.91
10,262.49
11,629.77
12,108.57
Urusan Perhubungan
17,080.81
25,823.32
16,480.51
13,150.82
10,574.62
5,219.79
7,194.71
4,244.71
5,754.19
4,958.82
Urusan Lingkungan Hidup Urusan Pertanahan Urusan Kependudukan dan Catatan Sipil
-
-
10,469.75
2,239.77
573.30
2,951.58
1,880.27
6,331.53
Urusan Ketenagakerjaan
5,060.77
Urusan Koperasi dan UKM
5,120.15
Urusan Kebudayaan
-
2,678.55
Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Urusan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera Urusan Sosial
Urusan Penanaman Modal
64
2008
Urusan Pendidikan
-
4,847.06
14,279.31 9,132.17 -
4,216.66
3,590.98 -
2,685.78 1,921.82 -
4,751.38
9,640.16
10,689.17
9,320.67
4,876.36
4,069.18
2,447.19
15,335.28
9,721.88
5,019.50
2,178.08
5,470.80
2007
2008 -
Urusan Kepemudaan dan Olahraga Urusan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri Urusan Pemerintahan Umum
-
-
2011 -
-
5,953.49
4,382.94
8,231.19
5,951.22
197,451.92
66,789.47
396,750.86
183,693.68
66,194.93
-
Urusan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Urusan Statistik
-
-
Urusan Kearsipan
-
-
Urusan Komunikasi dan Informatika
-
-
Perpustakaan
-
-
-
8,582.94
-
Ketahanan Pangan
-
6,398.62 -
12,562.64
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
449,889.91
10,442.53
7,208.61
1,682.31
-
601,232.74
Total
2010
3,066.29
9,916.91
Urusan Kepegawaian
2009
-
745,452.00
312.66
459,237.28
390,157.52
B3. Belanja Berdasarkan Urusan Pilihan (Juta Rupiah) 2007
2008
2010
2011
Urusan Pertanian
8,145.34
10,616.58
6,870.28
2009
5,507.12
5,664.56
Urusan Kehutanan
7,045.08
-
8,843.30
4,764.47
6,698.72
Urusan Energi dan Sumber Daya Mineral Urusan Pariwisata
3,408.43
-
3,988.71
18,137.17
9,317.99
-
-
-
629.26
5,470.80
Urusan Kelautan dan Perikanan
14,288.64
7,837.92
10,634.46
6,446.90
4,227.94
Urusan Perdagangan
-
-
4,986.43
-
9,721.88
Urusan Industri
17,805.10
-
5,183.30
3,302.03
9,721.88
Urusan Ketransmigrasian
-
-
-
2,101.65
4,123.18
Total
50,692.59
18,454.49
40,506.48
40,888.59
54,946.95
B4. Belanja Berdasarkan Klasifikasi Ekonomi (Juta Rupiah) Belanja Menurut Klasifikasi Ekonomi
2007
2008
2009
2010
2011
Belanja tidak langsung
134,436.58
110,156.65
430,254.61
159,731.57
148,798.20
Pegawai
100,708.65
77,056.65
301,371.28
99,911.39
93,045.80
Bunga
-
-
-
-
-
Hibah/subsidi
6,149.39
8,700.00
-
21,793.39
4,802.40
Bantuan Sosial
17,835.43
13,400.00
96,823.34
22,731.70
49,450.00
Bagi Hasil ke Daerah Bawahan
-
-
1,500.00
-
-
Bantuan ke Daerah Bawahan
8,743.10
10,000.00
30,060.00
15,295.10
-
Tidak Terduga
1,000.00
1,000.00
500.00
-
1,500.00
Bantuan kepada Lembaga Vertikal
-
-
-
-
-
Belanja langsung
517,488.75
358,187.76
355,703.86
340,394.29
296,306.27
Pegawai
42,048.94
40,956.66
52,124.38
31,775.26
34,574.03
Barang dan Jasa
98,567.79
59,806.34
124,006.98
102,430.35
76,504.73
Modal
376,872.02
257,424.75
179,572.51
206,188.68
185,227.50
Total
651,925.33
468,344.41
785,958.48
500,125.87
445,104.47
65
Lampiran C: Catatan Metodologi PERA Laporan studi Public Expenditure and Revenue Analysis (PERA) terbagi atas 6 (enam) bab, yaitu: Bab I Pendahuluan; Bab II Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah (PFM); Bab III Analisis Pendapatan Daerah; Bab IV Analisis Belanja Daerah; Bab V Analisis Sektor Strategis, Bab VI Analisis Isu Lokal. Setiap bab ditutup dengan sub-bab kesimpulan dan rekomendasi. Khusus untuk analisis sektor strategis, masing-masing sektor dilengkapi dengan kesimpulan dan rekomendasi. Data yang digunakan untuk analisis studi PERA secara umum dibagi atas dua kategori, yaitu (i) Data Fiskal (Keuangan Daerah), (ii) Data Non-Fiskal. Data Fiskal meliputi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pokok, APBD Perubahan, dan APBD Realisasi (Pertanggungjawaban Kepala Daerah). Sementara data Non-Fiskal meliputi data makro ekonomi daerah, indikator pembangunan sosial, data kinerja output dan outcome sektor-sektor strategis (infrastruktur, kesehatan, pendidikan, pertanian), dan data pembangunan gender, serta data dokumen perencanaan.
Data Fiskal (APBD) Seluruh data APBD diperoleh dari pemerintah kabupaten/kota yang menjadi wilayah studi PERA pada lima Provinsi di Indonesia (Jawa Timur, NTB, NTT, Papua, dan Papua Barat) dalam bentuk Peraturan Bupati dan Peraturan Daerah. Rentang waktu data tahun 2007 hingga 2011 dengan tiga kategori data, yaitu APBD Pokok, APBD Perubahan dan APBD Realisasi. Selain itu, data rincian objek PAD diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah masing-masing kabupaten. Data pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah seluruhnya dinyatakan dalam angka/nilai riil dengan menggunakan tahun dasar (base-year) 2010. Artinya, angka tersebut telah dideflator berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2010 (2010=100) atau inflasi 2010. Cara ini dilakukan untuk mengamati dan mengukur perkembangan anggaran secara riil dari tahun ke tahun dalam kurun waktu 2007-2011. Bagi kabupaten studi PERA yang tidak memiliki angka inflasi, ada dua alternatif yang dapat dilakukan untuk menghitung data keuangan secara riil yaitu: (i) menggunakan angka inflasi yang terdekat dengan kabupaten tersebut, (ii) menghitung melalui PDRB deflator. Data APBD dipergunakan untuk menganalisis 3 bab dalam struktur Laporan PERA yaitu: (i) Bab III Pendapatan daerah yang meliputi gambaran pendapatan pendapatan daerah kabupaten PERA, Struktur pendapatan daerah dan analisis pembiayaan daerah, (II) Bab IV Belanja daerah yang meliputi Gambaran umum perkembangan belanja daerah, belanja daerah menurut klasifikasi ekonomi, dan belanja daerah berdasarkan sektor, (iii) Bab V Isu Strategis khususnya menganalisis besaran alokasi belanja untuk masingmasing sektor-sektor strategis. Analisis belanja untuk sektor strategis meliputi sektor infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Data belanja sektor infrastruktur merupakan penggabungan atau penjumlahan belanja urusan pekerjaan umum, urusan permukiman, dan urusan perhubungan; Data belanja sektor pendidikan merupakan penjumlahan belanja urusan pendidikan, urusan kebudayaan dan urusan perpustakaan; Data belanja sektor kesehatan adalah belanja urusan kesehatan; dan data belanja sektor pertanian merupakan penjumlahan dari belanja urusan pertanian dan urusan ketahanan pangan. Selain itu, beberapa kabupaten menganalisis belanja pembangunan gender yang diproxy dari belanja urusan pemberdayaan perempuan dan urusan buruh migran; dan belanja pada urusan Kesbangpolinmas terkait dengan mitigasi bencana. Selain data APBD, data APBN juga dianalisis terutama pada bagian belanja daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran besaran dana APBN yang dibelanjakan di masing-masing kabupaten yang menjadi studi PERA, baik berdasarkan organisasi, maupun berdasarkan fungsi. Khusus untuk Pengelolaan Keuangan Daerah (PFM) dianalisis dengan menggunakan hasil survey. Penilaian keuangan daerah mencakup aspek: (1) kerangka peraturan perundang-undangan; (2) perencanaan dan penganggaran; (3) pengelolaan kas; (4) pengadaan barang dan jasa; (5) akuntansi dan pelaporan; (6) pengawasan internal; (7) hutang dan investasi publik; (8) pengelolaan aset; dan (9) audit dan pengawasan eksternal. Kesembilan aspek tersebut dikelompokkan menjadi ke dalam tiga (3) bidang strategis, yakni: (1) perencanaan dan penganggaran; (2) pelaksanaan anggaran; dan (3) oversight dan akuntabilitas. Setiap bidang terdiri atas beberapa sub-bidang strategis dan setiap sub-bidang strategis terdiri atas beberapa pertanyaan (indikator penilaian).
66
Bidang Strategis
Sub-Bidang Strategis
Perencanaan dan Penganggaran
Perencanaan Partisipatif
TAPD dan Tupoksinya
Pembahasan APBD di DPRD
Lainnya
Pelaksanaan Anggaran
§ Apakah tersedia perencanaan dan penganggaran multi tahun, RPJMD, Renstra, dan Renja SKPD? § Apakah target anggaran disusun realistis? § Apakah terdapat sistem pemantauan dan evaluasi partisipatif? § Apakah setiap elemen dalam TAPD menjalankan tupoksinya? § Apakah terdapat evaluasi terhadap tupoksi? § Bagaimana kapasitas perencanaan dan penganggaran di SKPD? § Apakah koordinasi antar unit kerja sudah efektif? § Bagaimana proses pembahasan? § Bagaimana ketepatan waktu pembahasan APBD-APBD P? § Bagaimana ketepatan waktu pengesahan APBD-APBDP? § Apakah target anggaran disusun secara realistis? § Permasalahan apa yang ditemukan? § Apakah dokumen perencanaan dan penganggaran, terutama APBD, dapat diakses oleh publik? § Apakah disusun anggaran kas sebagai mekanisme pengendalian dan pengukuran kinerja? § Apakah ada MIS yang digunakan? Bagaimana keterkaitannya dengan MIS lain? § Apakah ada konsistensi antara RPJMD- RKPD dan RKPD-APBD?
Institusi PKAD
§ Apakah sudah terbentuk SKPD Pengelola Keuangan dan aset daerah? § Bagaimana struktur institusi PKD? § Apakah terdapat kerangka transparansi dan keterlibatan publik
Kondisi SDM Pengelola Keuangan Daerah (PKD) Kerangka Regulasi PKD
§ Bagaimana kondisi SDM PKD, baik di SKPKD dan SKPD? § Apakah SDM PKD telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis secara terencana dan memadai?
Optimalisasi PAD
E-Procurement Sistem Informasi Manajemen
Oversight dan Accountability
Indikator
Struktur dan Kondisi SDM Pemeriksa Standar dan proses audit internal
§ Apakah kerangka regulasi daerah untuk PKD sudah tersedia? § Apakah terdapat kebijakan, prosedur dan pengendalian untuk pengelolaan kas yang efisien dan efektif? § Apakah terdapat sistem penagihan dan pemungutan PAD yang efisien? § Apakah PAD sudah dikumpulkan secara optimal berdasarkan potensi daerah? § Bagaimana dengan penerapan UU 28/ 2009? § Apakah Unit Layanan Pengadaan dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik sudah terbentuk dan berfungsi? § Apakah ada SIM yang digunakan? Bagaimana keterkaitannya dengan SIM lain? § Bagaimana pencatatan sebuah aset dan cara menilai aset? § Apakah transaksi keuangan pemerintah tercatat secara akurat dan dan disajikan tepat waktu? § Apakah laporan keuangan dan informasi manajemen dapat diandalkan? § Bagaimana struktur dan kondisi SDM Inspektorat? § Apakah efektif? § Apakah § Apakah § Apakah
Inspektorat mempunyai SOP dan bisa menjalankan tugasnya secara Standar dan proses audit internal dapat diaplikasikan dengan baik? program audit secara regular dikaji dan direvisi? ada temuan signifikan dari internal audit?
Audit Eksternal dan Pengawasan
§ Apa saja temuan penting pada LHP LKPD beberapa tahun terakhir? § Bagaimana tindak lanjut atas temuan-temuan tersebut? § Bagaimana status opini LHP LKPD selama 5 tahun terakhir?
Akses Publik atas LKPD dan LHP
§ Apakah Publik dapat menghadiri sidang DPRD yang membahas laporan audit? § Apakah LKPD dan LHP LKPD dipublikasikan ke masyarakat? § Apakah terdapat kebijakan, prosedur serta pengendalian pinjaman dan investasi daerah?
Lainnya
67
Para responden diminta untuk menjawab “Ya” atau “Tidak” untuk setiap pertanyaan yang diwakili oleh masing-masing indikator. Skor dihitung berdasarkan presentase jawaban “Ya”. Jawaban “Ya” diberi score 1 dan 0 untuk jawaban “Tidak”. Untuk menjamin akurasi data, maka setiap jawaban “Ya” harus didukung oleh kelengkapan dokumen terkait dan atau diperiksa silang dengan responden tambahan. Tidak semua subbidang strategis memiliki jumlah indikator yang sama, sehingga berimplikasi terhadap bobot penilaian. Responden PFM meliputi SKPD seperti Bappeda, Bagian Hukum Setda, bagian Keuangan Setda, bagian Humas Dinas Komunikasi dan Informasi, Seketaris DPRD, Bagian Akuntansi, Pembukuan dan Verifikasi BPKAD, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Badan Pengawasan Daerah, Inspektorat Daerah, dan beberapa lainnya. Bukti-bukti dokumen yang dibutuhkan adalah dokumen Perencanaan dan Penganggaran seperti RPJMD, RKPD, KUA-PPAS, Renstra SKPD, Renja SKPD, RKA SKPD, APBD, dan dokumen lainnya. Interpretasi hasil analisis PFM dalam studi PERA menggunakan dua metode yaitu metode perbandingan dan metode pengkategorian yang telah dilakukan oleh Word Bank. Metode perbandingan relatif yang dimaksud adalah interpretasi hasil yang didasarkan pada perbandingan relatif dari capaian skor antar sub-bidang strategis dalam setiap bidang strategis. Metode pengkategorian adalah interpretasi hasil yang mengacu pada standar Bank Dunia dengan pemberian nilai sebagai berikut: 80 – 100 60 - 79 40 - 59 20 - 39 0 - 19
kategori sempurna/dapat diterima sepenuhnya kategori sangat baik kategori baik kategori sedang/cukup kategori kurang/tidak dapat diterima
Beberapa laporan studi PERA menggunakan metode perbandingan relatif dan beberapa lainnya menggunakan metode yang dikembangkan Bank Dunia.
Data Non-Fiskal Data non-fiskal digunakan untuk menganalisis Bab I Pendahuluan terkait dengan gambaran umum perekonomian kabupaten meliputi kinerja makro ekonomi dan pembangunan sosial; Bab V Analisis Sektor Strategis meliputi kinerja output dan outcome sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian; Bab VI Analisis Isu Lokal meliputi isu kemiskinan, isu gender, isu HIV/AIDS, dan Otonomi Khusus. Seluruh data non-fiskal dipeoleh dari publikasi BPS seperti Daerah Dalam Angka, Statistik Daerah, Indikator Kesejahteraan Sosial, Produk Domestik Regional Bruto, Indeks Pembangunan Manusia, Hasil Sensus Penduduk 2010, dll. Beberapa data teknis-sektoral diperoleh dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Dokumen perencanaan seperti RPJMD, RKPD, Renstra SKPD, Renja SKPD, KUA-PPAS, dan RKA diperoleh dari Bappeda, dan SKPD terkait dengan sektor strategis. Seluruh data non-fiskal dianalisis dengan menggunakan model analisis statistik-deskriptif untuk series 20072011 kecuali untuk Bab II Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah (PFM) dan data isu lokal terutama terkait dengan isu gender, dan HIV/AIDs (dianalisis sesuai dengan ketersediaan data).
68