ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGELOLAAN TATA RUANG DI WILAYAH PEMERINTAH KABUPATEN LABUHAN BATU
TESIS
Oleh
IRWANSYAH RITONGA 077005038/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGELOLAAN TATA RUANG DI WILAYAH PEMERINTAH KABUPATEN LABUHAN BATU
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRWANSYAH RITONGA 077005038/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Judul Tesis
: ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGELOLAAN TATA RUANG DI WILAYAH PEMERINTAH KABUPATEN LABUHAN BATU
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Irwansyah Ritonga : 077005038 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. H. Syamsul Arifin, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 21 Juli 2009
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Telah diuji pada Tanggal 21 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. H. Syamsul Arifin, SH, MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
ABSTRAK
Kebijakan pembangunan khususnya dalam pengelolaan tata ruang mendapat perhatian dari sisi lain oleh legislatif untuk proses legislasi, dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi bagian yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, artinya pengembangan kawasan akan dirasakan bermanfaat apabila diperoleh peningkatan pendapatan daerah itu. Pandangan seperti itu terlalu sederhana bagi pembuatan peraturan daerah (making law) sehingga kualitas dari produk peraturan untuk menjamin kepastian hukum dalam penataan ruang di Kabupaten Labuhan Batu bisa berakibat tidak mencerminkan kepada fungsi hukum. Berdasarkan uraian hal tersebut, maka permasalahan yang akan diteliti dan di analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang? Bagaimanakah Peran serta masyarakat dalam pembangunan lingkungan untuk penataan ruang di Kabupaten Labuhan Batu? Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book). Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatifteoritis dan analisis normatif-kualitatif. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Labuhan Batu belum berjalan sebagaimana mestinya dan belum mengacu kepada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, banyak terjadi deviasi/ penyimpangan dari UU tersebut. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan Tata Ruang di Wilayah Kabupaten Labuhan Batu belum berjalan sebagaimana mestinya. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan tata ruang di Kabupaten Labuhan Batu yaitu: Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan yang menjadi kendala bagi pelaksanaan rencana tata ruang wilayah kabupaten Labuhan Batu, disamping itu ada kendala infrastruktur yang belum sesuai dengan RTRW, Masyarakat juga menjadi kendala karena peran serta masyarakat hampir tidak ada dalam penyusunan RTRW disebabkan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat.DPR Daerah juga sudah sering memberi masukan kepada Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, tapi tidak diakomodir oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, disamping itu perangkat daerah juga tidak siap dalam pelaksanaan pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu.
Kata kunci : Analisis Hukum, Pengelolaan Tata Ruang, Kabupaten Labuhan Batu Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
ABSTRACT
Policy of development specially in management of planology get attention of other side by legislative for the process of legislation, where Earnings Of Genuiness Area (PAD) become part of which need to be considered by local government, its meaning of development of area will be felt useful if obtained the make-up of earnings of that area. Same view as that is also simple to by law making (law making) so that the quality of from regulation product to guarantee rule of law in settlement of room in SubProvince of Labuhan Batu can cause not express to law function. Pursuant to breakdown of above mentioned, hence problems to check and in analysis in this research shall be as follows: Is management of planology in Labuhan Batu have as according to Law Number 26 Year 2007 about Settlement Of planology? How Role and also society in development of environment for the settlement of room in Sub-Province of Labuhan Batu? Do constraints faced in execution of management of planology in Labuhan Batu? Methods used in this research is the judicial normative. Normative research method is also called as a doctrinal research (doctrinal research) is a study that analyzes whether a law written in the books (law as it is written in the book). Research based on normative law and secondary data on the steps speculative theory-and-qualitative analysis of normative. Regional Plan Planology of Sub-Province of Labuhan Stone not yet walked properly and not yet to UU No. 26 year 2007 about Settlement of Room, happened many deviasi/ deviation of UU. Role and also society in management of Planology in Region Sub-Province of Labuhan Stone not yet walked properly. Constraints faced in management of planology in Sub-Province of Labuhan Stone that is: Still there are law and regulation him becoming constraint to execution of regional planology plan of sub-province of Labuhan Stone, despitefully there is infrastructure constraint which not yet as according to RTRW, Society also become constraint because role and also society next to nothing in compilation of RTRW caused by the lack of socialization to Area masyarakat.DPR also have often given input to Government Of Sub-Province of Labuhan Stone, but do not be accomodated by Government Of SubProvince of Labuhan Stone, despitefully peripheral of area nor ready to in execution of management of planology in Labuhan Batu.
Key words :
Legal Analysis, Management of Planology, Sub-Province of Labuhan Batu
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan Tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan beberapa faktor teknis yang sangat terbatas. Adapun Tesis ini berjudul “Analisis Hukum terhadap Pengelolaan Tata Ruang di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu”, yang merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. H. Syamsul Arifin, S.H., M.H., Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., dan Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini. Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Syamsul Arifin, S.H., M.H., sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan kepada penulis sehingga tesis ini selesai di tulis. 3. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis. 4. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini. 5. Kedua Orang Tua Tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada ALLAH SWT. 6. Kepada istri tercinta yang setia menemani dan memberikan semangat dalam menyelesaikan Tesis ini. 7. Kepada Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
8. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga ALLAH SWT membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan,
Juni 2009
Penulis,
Irwansyah Ritonga
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Irwansyah Ritonga
Tempat/Tanggal Lahir
:
Sigambal, 26 Juni 1974
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
DPRD Labuhan Batu
Alamat
:
Jalan S. Parman Sigambal Rantau Prapat No. 74
Pendidikan
:
SD Negeri Sigambal Tamat Tahun 1988 SMP Negeri Sigambal Tamat Tahun 1991 SMA 38 PGRI Tamat Tahun 1994 Strata Satu (S1) STAI Washliyah Labuhan Batu Tahun 2005 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................... i ABSTRACT ............................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ………………………………………………………………... x
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang ............................................................................... 1 B. Permasalahan ................................................................................. 21 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 21 D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 22 E. Keaslian Penelitian ......................................................................... 22 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ........................................................ 23 G. Metode Penelitian .......................................................................... 31
BAB II
PENGELOLAAN TATA RUANG DI LABUHAN BATU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG....................... 35 A. Analisis Hukum .............................................................................. 35 1. Pengertian Tentang Hukum .................................................... 35 2. Tujuan Hukum ......................................................................... 43 3. Fungsi Hukum .......................................................................... 44
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
B. Pengelolaan Tata Ruang di Labuhan Batu........................................... 48 1. Pengertian Tata Ruang .............................................................. 48 2. Perencanaan Tata Ruang ........................................................... 59 3. Rencana Tata Ruang Kabupaten Labuhan Batu........................ 66
BAB III
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LABUHAN BATU .................................................101
A. Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang ...........................................................................................101 1. Filosofi Peran Serta Masyarakat (PSM) ..................................101 2. Konsepsi Peran Serta Masyarakat ...........................................102 3. Dasar Hukum Di Tingkat Nasional .........................................106 4. Dasar Hukum Di Tingkat Daerah ...........................................112 B. Prosedur Peran Serta Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang ..........................................................................................113
BAB IV
KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN PENGELOLAAN TATA RUANG DI LABUHAN BATU .....................................................................121 A. Peraturan Perundang-undangan………………………………. ..121 B. Kendala Infrastuktur.....................................................................127 1. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Sumber Daya Air di Labuhan Batu .........................................127 2. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Bina Marga di Labuhan Batu ..................................................129
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
3. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum di Labuhan Batu .............................129 4. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Terhadap Kondisi Tata Ruang di Labuhan Batu ......................130 5. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Perhubungan di Labuhan Batu ...................................131 6. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Daerah Tertinggal di Labuhan Batu ........................................132 C. Keterlibatan DPR Daerah............................................................133 D. Masyarakat ..................................................................................134 E. Perangkat Daerah ........................................................................135
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................136 A. Kesimpulan ...................................................................................136 B. Saran .............................................................................................139
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 140
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1
Daftar Tata Ruang Kabupaten Labuhan Batu ……………………...
76
2
Luas hutan Lindung dan 30% Kawasan DAS berdasarkan Satuan Wilayah Pengelolaaan (SWP) ...........................................................
84
3
Arahan Pengembangan Kawasan Hutan Budidaya ...........................
84
4
Review Kondisi RTRWK Labuhan Batu 1996-2006 .......................
95
5
Substansi Ruang yang Mempengaruhi Perlunya Revisi RTRWK 1996-2006 …………………………………………………………..
97
Kegiatan Secara Keseluruhan tidak terealisasi atau capaian Keluarannya nol ................................................................................
99
6
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Percepatan pembangunan merupakan keinginan setiap daerah dengan mempertimbangkan kemampuannya dan local specific, sehingga reformasi telah membawa perubahan dalam pengelolaan pemerintah daerah dengan sistem desentralisasi. Setiap daerah otonom diberikan hak mengatur rumah tangganya sendiri termasuk menetapkan berbagai kebijakan sesuai kewenangan masing-masing. Serangkaian program pembangunan dalam berbagai sektor di seluruh penjuru tanah air mempunyai tujuan akhir yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dalam artian sejahtera secara lahiriah dan batiniah 1 . Aplikasi desentralisasi tidak berarti semua kewenangan diserahkan kepada daerah, hal ini disebabkan bentuk Negara Indonesia adalah negara kesatuan (unitarisme) dan kesatuan sistem. 2 Salah
satu
kewenangan
pengelolaan
tata
ruang
yang
dengan
diberikan
kepada
memperhatikan
daerah
aspek
berupa
lingkungan,
kependudukan, kemampuan keuangan dan sumber daya manusia sebagai potensi yang dimiliki. Kebijakan pemerintah daerah dan kemauan politik adalah faktor yang menentukan pencapaian tujuan sehingga optimalisasi 1
Faisal Akbar, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003) hal. 43 2 M. Solly Lubis, Sistem Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 2002) hal. 12 dengan mengutip Tatang M. Amirin (1984), Campbell mendefenisikan sistem sebagai. “A system as any group of interrelated components or parts wich function together to achieve a goal (sistem itu merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan)”.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
segenap potensi, situasi dan kondisi dengan pendekatan filosofis, yuridis, politis, pendekatan sistem dan pandangan strategis merupakan hal yang mendasarkan untuk diketahui pengambilan keputusan. Pengelolaan tata ruang bukan saja sekedar membagi bagi wilayah ke dalam beberapa kawasan dengan alasan percepatan pembangunan dan untuk mendatangkan investor tanpa melihat aspek hukum dan lingkungan yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan kelestarian lingkungan. Kebijaksanaan pembangunan yang tertuju pada pembangunan manusia seutuhnya, memuat keharusan untuk menegakkan kehidupan berimbang, sebagai perwujudan dari keragaman lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem. 3 Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian sangat penting bagi ekosistem berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi seluruh makhluk hidup yang diarahkan kepada terwujudnya kelestarian serta fungsi lingkungan hidup
dalam
keadaan
dinamis
menuju
pembangunan
berkelanjutan.
Pengelolaan harus dilakukan dengan baik dan terpadu yang komprehensif. Setiap orang berhak dan memiliki peran dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai aparatur pemerintah. Peranan itu berupa penilaian dengan memberikan pendapat atau analisis kepada pembuat keputusan dan legislatif khususnya pemberian fasilitas atau izin kepada orang maupun badan usaha yang akan terkait dengan
3
Gumbira E. Sa’id, Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987), hal. 1
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini memungkinkan bagi setiap orang di era desentralisasi sekaligus mendukung pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good Governance) dengan prisip transparansi dan akuntabel dengan kata lain kepada daerah harus memperhatikan pendapat masyarakatnya yang respon terhadap berbagai kegiatan pembangunan di lingkungannya. Pertambahan jumlah penduduk dan urbanisasi merupakan faktor yang mempercepat pengembangan tata ruang suatu daerah perkotaan yang mau tidak mau harus dilakukan pengkajian secara matang untuk pertumbuhan ekonomia termasuk inventarisasi lahan-lahan yang belum dimanfaatkan dengan baik yang pada gilirannya dapat menurunkan kualitas lingkungan yang ditandai dengan 4 : a. Hilangnya ruang terbuka hijau; b. Munculnya daerah-daerah kumuh; c. Pencemaran udara atau pencemaran dari aktivitas industri; d. Limbah domestik; e. Penggusuran; f. Keambrukan dan kemacetan lalu lintas; g. Hilangnya teknologi hijau; h. Munculnya cacapolis atau suatu kota yang mengerikan.
4
Syamsul Arifin, Kerangka Acuan Kerja, “Seminar mewujudkan Kawasan Perkotaan yang Berwawasan Lingkungan dalam Rangka Otonomi Daerah,” Kerja Sama Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Muhammadiyah dengan Bapedalda Dan Komite Aksi Pembangunan yang Berkelanjutan Provinsi Sumatera Utara, disampaikan di Medan, pada tahun 2003-2004, hal 2
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Kebijakan pembangunan khususnya dalam pengelolaan tata ruang mendapat perhatian dari sisi lain oleh legislatif untuk proses legislasi, dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi bagian yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, artinya pengembangan kawasan akan dirasakan bermanfaat apabila diperoleh peningkatan pendapatan daerah itu. Pandangan seperti itu terlalu sederhana bagi pembuatan peraturan daerah (making law) sehingga kualitas dari produk peraturan untuk menjamin kepastian hukum dalam penataan ruang di Kabupaten Labuhan Batu bisa berakibat tidak mencerminkan kepada fungsi hukum. 5 UU RI Nomor 24 Tahun 1992 sebagaimana telah digantikan dengan UU RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disebut dengan UU Tata Ruang) yang mulai berlaku sejak tanggal 28 April 2007 menyebutkan: “Ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan. Kegiatan manusia dan mahluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai pemanfaatan ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan, sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.”
5
Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, 2005 menyebutkan, “Menurut studi yang dilakukan Burgs ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi, pertama stabilitas (stability), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, kedua meramalkan (predictability), berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil dan diantara kedua unsur tersebut penting diperhatikan aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Pengelolaan tata ruang dalam kebijakan lingkungan di sini adalah menyangkut ruang daratan, mengingat peraturan daerah tentang penataan ruang hanya sebatas lingkup daerah perkotaan. Selanjutnya dalam penjelasan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa : “Penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan sistim yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk menjamin tercapainya tujuan penataan ruang diperlukan peraturan perundangundangan dalam kesatuan sistim yang harus memberi dasar yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pemanfaatan ruang, sehingga undang-undang tentang penataan ruang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Sederhana
tetapi
dapat
mencakup
kemungkinan
perkembangan
pemanfaatan ruang pada masa depan sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat b. Menjamin keterbukaan rencana tata ruang bagi masyarakat sehingga mendorong peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang yang berkualitas dalam segala segi pembangunan c. Mencakup semua aspek di bidang penataan ruang sebagai dasar bagi pengaturan lebih lanjut yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan sendiri Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
d. Mengandung ketentuan sejumlah proses dan prosedur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang sebagai dasar bagi peraturan lebih lanjut.” Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijadikan landasan untuk menilai dan menyesuaikan peraturan perundangundangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi pemanfaatan ruang yang telah berlaku baik manyangkut perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan perikanan,
daerah
jalan,
pedesaan,
landasan
perkotaan,
kontinen
transmigrasi,
Indonesia,
ZEE,
perindustrian,
perumahan
dan
pemukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunkasi dan lain sebagainya. Relevansi
pengelolaan
tata
ruang
perkotaan
dengan
kebijakan
lingkungan dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang UUPLH menyebutkan bahwa: ”Sumber daya alam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah.” Dalam pelaksanaan Pasal 8, pemerintah menentukan: 6 a. Mengatur
dan
mengembangkan
kebijaksanaan
dalam
rangka
pengelolaan; b. Mengatur penyediaan, peruntukan, pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan kembali sumber daya genetika;
6
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan termasuk sumber daya genetika; d. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial; e. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai perbandingan dengan beberapa kota lain di Pulau Jawa telah berhasil membuat regulasi di bidang lingkungan seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Semarang, Padang, Makasar dan daerah lainnya yang saat ini sedang mempersiapkan perangkat hukum di wilayahnya untuk menjaga kualitas atau setidak-tidaknya mengeliminir kerusakan lingkungan sebagai dampak pembanguan fisik dan masuknya investor dari luar daerah dalam pengembangan bisnisnya. Masuknya aspek lingkungan dalam pembangunan sebenarnya telah didengungkan dalam deklarasi Stockholm dan Negara Indonesia telah berupaya mengimplementasikannya
dalam
menyebutkan
menunjuk
Presiden
UU
tentang seorang
Penataan menteri
Ruang yang
yang
bertugas
mengkoordinasikan penataan ruang. 7
7
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan (Surabaya: Airlangga University Press, cetakan ketiga 2005), hal 95
Nasional,
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPLH bahwa:” pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah daerah, yaitu kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah.” Keterlibatan DPRD dalam pengelolaan lingkungan belum terlihat secara nyata karena peraturan pelaksananya di daerah belum dijadikan dalam bentuk peraturan daerah ataupun peraturan Bupati di Labuhan Batu. Hal ini dapat menimbulkan dampak negatif dan positif usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini perlu dipersiapkan langkah untuk menanggulangi masalah tersebut. Kabupaten Labuhan Batu mempunyai susunan masyarakat yang heterogen, banyaknya berbagai kepentingan baik perorangan, kelompok atau lembaga sering mempengaruhi pengambilan keputusan di daerah ini. Akhirnya pembuat
keputusan
lebih
lambat
memberikan
penyelesaian
dengan
mengedepankan kehati-hatian, etika, budaya dan adat istiadat yang masih kentara
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan pembuatan dan
penegakan hukum masih jauh dari yang diharapkan apalagi membicarakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dalam bidang lingkungan dan penataan ruang. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah semakin membuat keadaan menjadi kompleks dengan permasalahan, khususnya menyangkut pemindah tanganan sebagai tindak lanjut penghapusan barang milik negara/ daerah melalui penjualan, tukar menukar, Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
hibah atau penyertaan modal pemerintah terhadap kekayaan milik daerah yang belum diatur peruntukannya dalam penataan ruang yang semakin diperlukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan. Pasal 46 ayat (3) butir a PP Nomor 6 tahun 2006 menyebutkan : Pemindahtanganan barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/ atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan persetujuan DPR/ DPRD apabila sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota. 8 Pasal 46 tersebut di atas tidak sinkron dengan ketentuan dalam ketentuan UUPLH bahwa Kepala Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan bukankah masalah penghapusan asset berupa tanah merupakan lingkup dari pengelolaan lingkungan dalam penataan ruang. Beberapa kebijakan pemerintah daerah atau peraturan daerah Kabupaten Labuhan Batu yang berkaitan dengan lingkungan sangat minim bahkan hampir tidak
satupun
yang
mengatur
pelestarian
dan
pencegahan
kerusakan
lingkungan. Melihat kenyataan tersebut, meningkatnya pembangunan secara fisik tanpa memperhatikan aspek lingkungan merupakan rendahnya political will dari penyelenggaraan pemerintah daerah di Kabupaten tersebut atau bisa saja
8
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
persoalan lingkungan dianggap menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting dipikirkan dalam pembangunan. Keberpihakan pembangunan kepada pemilik modal besar juga salah satu bentuk kerjasama untuk menghindari isu lingkungan dalam menjalankan bisnisnya serta adanya anggapan diratifikasinya berbagai konferensi internasional yang menyangkut lingkungan hanya menjadi urusan pemerintah pusat. Di sisi lain rencana revisi penataan ruang dan wilayah justru lebih mengarahkan optimalisasi kekayaan daerah dengan proses ruislag atau tukar menukar asset bahkan sebagai pencarian celah hukum dengan alasan pembangunan kawasan bisnis dan upaya meningkatkan ekonomi rakyat secara riil melalui regulasi dengan mendatangkan investor. Sebagai langkah kebijakan pembanguan yang nantinya mengharapkan dukungan stake holder, sehingga pusat
kota
benar-benar
ditujukan
untuk
dijadikan
kawasan
bisnis
sesungguhnya. Hal ini secara perlahan-lahan menggusur pasar tradisional yang saat ini berdampingan dengan pusat bisnis dan kemungkinan daerah pemukiman sekitarnya tanpa pertimbangan hilangnya daerah resapan air ditambah lagi banyak bangunan yang seharusnya wajib amdal berdiri dengan cepat tanpa dokumen atau audit lingkungan. Keluarnya
SK
Menteri
Kehutanan
No.44
Tahun
2005
tentang
Penunjukan Kawasan Hutan Sumatera Utara dan dirubah lagi dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan No.201 Tahun 2006 tentang Penunjukan Kawasan Hutan
Sumatera
Utara
telah
merubah
wacana
dan
perdebatan
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
yang
kontroversial di Sumatera Utara. Keluarnya regulasi di bidang kehutanan oleh Menteri Kehutanan (untuk selanjutnya dapat disebut dengan Menhut) MS Kaban membuat keresahan dan penderitaan khususnya di masyarakat sekitar kawasan hutan dan juga pemerintah daerah dalam penataan hutan. 9 Dampak yang tercatat akibat keluarnya keputusan Menteri Kehutanan ini, berupa di kawasan register 1 dan 2 (Gunung Simbolon) di Kabupaten Simalungun mengakibatkan 56 warga petani dipenjarakan karena dituduh memasuki dan merambah kawasan hutan yang masuk dalam SK No.44. Sementara di Desa Pijar Koling Kecamatan Dolok Kabupaten Tapanuli Selatan. Ada 7 warga petani ditangkap oleh aparat kepolisian dan kehutanan karena dituduh merambah di kawasan hutan. Di Kecamatan Leidong Kabupaten Labuhan Batu ada sebanyak 2000 Kepala Keluarga lebih merasa resah dan ketakutan karena desa mereka dinyatakan masuk dalam kawasan hutan oleh keputusan Menteri Kehutanan tersebut.
10
Hasil pemantauan WALHI Sumatera Utara pada April s/d Juni 2007, beberapa Pemerintah Kabupaten di Sumatera Utara juga merasakan akibat keluarnya kebijakan pusat ini yang berdampak pada tata ruang dan tata kawasan hutan yang telah ada. Sebagai contoh Pemerintah Kabupaten (untuk selanjutnya disebut pemkab) Simalungun merasakan akibat keluarnya SK penunjukan kawasan hutan Sumut ini, luas kawasan hutannya malah bertambah 9
Dikutip dari www.republika online.co.id, Analisis Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008, hal. 1 10 Dikutip dari www.republika online.co.id, Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
sekitar 33.000 hektar dari 105.593,70 hektar (sebelum SK 44). Pemkab Tapanuli Selatan merasakan munculnya masalah pada kawasan hutan seluas lebih kurang 264.443,89 hektar. Di Kabupaten Labuhan Batu justru akibat keluarnya SK Menhut No.44 tahun 2005 atau SK 201 tahun 2006 malah 14 dari 22 (2/3 kecamatan) atau sekitar 74 Desa masuk dalam kawasan hutan. Banyak fasilitas pemukiman, prasarana dan sarana pemerintahan (misalkan saja kantor Bupati Simalungun, Markas Brimob Tapsel, kantor Camat) maupun sarana public menjadi masuk dalam kawasan hutan oleh keputusan Menteri Kehutanan ini. 11 Pada implementasi lebih lanjut, SK Menteri Kehutanan ini malah menimbulkan ketidakadilan. Warga petani dituduh menduduki kawasan hutan dan ditangkapi padahal sebelum zaman kemerdekaan mereka sudah bermukim dan mengelola lahan atau arealnya untuk pertanian dan bercocok tanam. Rakyat atau Petani ditangkap dan dipenjarakan karena dituding memasuki kawasan hutan tanpa ijin, namun tak satupun Pejabat Pemerintah dan Aparat yang berhasil ditangkap juga karena memasuki hutan lindung. Hal ini aneh dan terkesan hukum diarahkan untuk menjebak ke rakyat kecil saja, menurut Hardi Munthe Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara di Medan. Implementasi SK ini nampaknya tidak didasarkan pada pemahaman yang sama dan terkesan diskriminatif.
11
Ibid., hal. 2.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Pada sisi lain, perkembangan dan pertumbuhan pendudukan juga sangat mempengaruhi pemanfaatan lahan (land use) sehingga terjadi perubahan peruntukan lahan (tanah) yang sebelumnya berfungsi hutan sekarang menjadi bukan hutan. Belum lagi perkebunan yang diberikan ijin oleh Pemerintah baik perkebunan sawit maupun karet yang mengambil lahan cukup besar juga terimbas. Dalam hal ini, Pemerintah tidak memiliki kesamaan acuan dan persepsi dalam menetapkan dan menerapkan kebijakan. Akibatnya terjadi kekacauan dan kerancuan yang menimbulkan korban di semua pihak baik Pemerintah Daerah, Investor dan terutama Rakyat Sekitar kawasan hutan. Implikasi dari kekacauan dan kerancuan ini berdampak pada penataan ruang dan tata kawasan hutan dan lahan/ tanah di kabupaten di Sumatera Utara. Lebih jauh hal ini berimplikasi dan berimbas pada Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan pada tahun 2003. Dalam Perda No. 7 Tahun 2003 tentang RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) dinyatakan bahwa luas hutan Sumatera Utara adalah sebesar 3.679.338,48 Hektar. Akan tetapi pada SK Menhut No.44 maupun SK 201 Tahun 2006 luasnya mengalami selisih yang sangat jauh berbeda. Pada SK Menhut No. 44 Tahun 2005 kawasan hutan Sumatera Utara dinyatakan seluas 3.742.120 hektar. Sementara pada SK Menhut 201 Tahun 2006 kawasan hutan Sumatera Utara luasnya menjadi seluas 2.969.448 Hektar. 12
12
Dikutip dari www.mediaindo.co.id, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008, hal. 1
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Melihat realitas permasalahan tersebut maka WALHI Sumatera Utara mendesak agar: SK. No. 201 Tahun 2006 dibatalkan dan perlu segera dilakukan pembenahan penetapan kawasan hutan Sumatera Utara secara benar, akurat dan terintegrasi serta terkordinasi antar Pemerintah dan Sektoral dengan mengacu perintah Pasal 13, 14 dan 15 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara dilakukan kaji ulang dan revisi terbatas secara komprehensif dan membuka partisipasi public yang luas, khususnya pada masalah hutan dan kawasan hutan akibat proses pengukuhan kawasan hutan di Sumatera Utara. Selama proses pembenahan dan pengukuhan kawasan hutan (sesuai Pasal 15 UU No.41 Tahun 1999) agar tidak ada penangkapan dan pemenjaraan serta pemerintah memberikan perlindungan terhadap petani atau rakyat sekitar hutan yang telah turun temurun mengelola hutan. Pemerintah menghentikan pemberian-pemberian ijin-ijin seperti ijin pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan baik HPH (hak pengusahaan hutan), IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), IUPK (Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan), dan lain-lain dengan alasan apapun selama proses pengukuhan kawasan hutan masih berlangsung. 13 Aparat hukum agar menindak tuntas pelaku perusakan hutan (destructif logging) di Sumatera Utara tanpa pandang bulu dan profesional sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang 13
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati (KSDAH), UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, peraturan perundangan lainnya dengan mengacu Perda No.7 Tahun 2003 sebelum direvisi. Berdasarkan hasil identifikasi isu pengelolaan wilayah pesisir dan hasil konsultasi publik yang telah dilaksanakan di tingkat Kabupaten/ Kota maupun tingkat Provinsi, maka diperoleh 11 (sebelas) isu yang menjadi prioritas di kawasan pesisir timur Sumatera Utara dan 10 (sepuluh) isu prioritas untuk kawasan pesisir barat Sumatera Utara. Di antaranya, isu di Kabupaten Labuhan Batu yaitu: 1. Kerusakan Hutan Mangrove, 2. Kelangkaan jenis ikan terubuk yang terancam punah, 3. Konflik antar nelayan tradisional dengan nelayan Pukat Langge, 4. Sedimentasi yang sangat tinggi, 5. Penurunan hasil tangkapan nelayan tradisional/budidaya, 6. Belum optimalnya pengelolaan perikanan budidaya dan perikanan tangkap, 7. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, 8. Belum adanya penataan ruang wilayah pesisir, 9. Serta rendahnya ketaatan dan penegakan hukum. 14
14
Ibid., hal. 2.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi
biaya
dampak
yang
ditimbulkan
oleh
akibat
diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi. 15 Penataan
ruang
dapat
dilihat
sebagai
kebijakan
publik
yang
mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalamanpengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencanarencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sebagaimana telah diubah dengan keluarnya Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, kini memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. 15
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang. Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum. Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan
pemanfaatan
intensif.
Clark
mendefinisikan
daerah
preservasi,
pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut: 16 a. Zona
preservasi
adalah
zona
yang
dapat
dimanfaatkan
untuk
kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk di dalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
16
Dikutip dari www.kompas.com, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008, hal. 1.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
b. Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil. c. Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif. Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll. Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusatpusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja, kapital, teknologi, dan alam.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam. 17 Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran
sungai
tersebut
harus
mengikuti
persyaratan
lingkungan
bagi
pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir. 17
Dikutip dari www.harian_waspada.co.id, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008, hal. 1
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif (pencemaran, sedimen, maupun perubahan bentang alam) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya. Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya. Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/ tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat. Penataan
ruang
merupakan
kebijakan
publik
yang
bermaksud
mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara integral fungsifungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu: 18 a. Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunan di dalam penyusunan rencana;
18
Dikutip dari www.jurnal_hukum.net.id, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008, hal. 1
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
b. Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro; c. Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas); d. Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi; e. Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan. 19 Alasan-alasan tersebut di atas memotivasi penulis untuk melakukan kajian dan sekaligus membahas berbagai kebijakan yang telah berjalan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu dan peran serta masyarakat, yang akan dituangkan dalam hasil penelitian yang berjudul: “Analisis Hukum terhadap Pengelolaan Tata Ruang di Kabupaten Labuhan Batu”.Sekalipun Labuhan Batu sudah dimekarkan menjadi 3 (tiga) 19
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Kabupaten, yaitu Labuhan Batu Selatan berdasarkan UU RI No. 22 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhan Batu Selatan di Provinsi Sumut tanggal 21 Juli 2008 dan Kabupaten Labuhan Batu Utara berdasarkan UU RI No. 23 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Labuhan Batu Utara di Provinsi Sumut tanggal 21 Juli 2008, Penulis tetap melakukan analisis di Kabupaten Labuhan Batu secara utuh yaitu di Tiga Kabupaten (Labuhan Batu Induk, Labuhan Batu Utara dan Labuhan Batu Selatan), sehingga gambaran ini dapat bermanfaat bagi daerah pemekaran.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan di analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang? 2. Bagaimanakah Peran serta masyarakat dalam pembangunan lingkungan untuk penataan ruang di Kabupaten Labuhan Batu? 3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disampaikan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
1. Untuk mengetahui pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 2. Untuk
mengetahui
Peran
serta
masyarakat
dalam pembangunan
lingkungan untuk penataan ruang di Kabupaten Labuhan Batu. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis yaitu : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan pada penegakan hukum positif bidang lingkungan hidup pada penyelenggaraan pemerintahan era desentralisasi. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu sehingga kebijakan yang dilakukan dalam pengelolaan tata ruang dan wilayah agar tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hidup sebagai wujud pembangunan yang berkelanjutan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Hukum terhadap Pengelolaan Tata Ruang di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan untuk kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik, permasalahan dan lokasinya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Salah satu hal yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan di era desentralisasi ini yaitu bagaimana memulihkan kepercayaan rakyat kepada sistem pemerintah dan pelayanan birokrasi. Hal ini menyangkut keinginan politik pengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada rakyat sebagai penerima pelayanan publik melaui Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah dibuat sebagai landasan kebijakan. Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
12
Tahun
2008
tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 136 ayat (2) disebutkan: “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/ Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
kota dan tugas pembantuan.” Selanjutnya pada ayat (3) disebutkan: “Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.” Hal ini berarti juga bahwa setiap Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya dalam hierarki perundang-undangan. Menurut Teori Hans Kelsen dalam politik hukum, kegiatan perundangundangan di mulai dari penetapan garis policy-nya kemudian disusun legislasi dan penerapan hukumnya mengenal dua pilihan untuk penerapannya yaitu secara mendasar (grounded) dan pragmatis. 20 Pada saat penerapannya, kedua pilihan itu mempunyai kelemahan dan kebaikan masing-masing. 21 Pembuatan Peraturan Daerah secara khusus menyangkut penataan ruang dan kebijakan lingkungan juga harus memperhatikan kaedah-kaedah hukum yang bersifat imperative dan fakultatif. Isi kaedah hukum dihubungkan dengan sifatnya maka kaedah-kaedah hukum yang berisi suruhan dan larangan adalah imperatif, sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan adalah 20
M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, (Bandung: CV Mandar Maju, 2000) hal. 18 disebutkan secara mendasar atau grounded disebut juga secara dogmatic yakni sungguhsungguh dahulu diteliti ius constituendum apa yang berkembang sebagai embrio aturan hukum dalam masyarakat, yang biasa aspirasi masyarakat untuk di angkat menjadi aturan hukum; secara pragmatis yaitu dibuat saja lebih dahulu berhubung situasi dan kondisi yang mendesak, atau karena ada kepentingan politik tertentu yang melatarbelakanginya untuk segera di undangkan tanpa menghiraukan apakah produk legislatif itu kelak akan akseptabel oleh seluruh masyarakat secara merata. 21 Ibid, hal. 19; kebaikan secara mendasar ialah lebih aspiratif dan lebih akomodatif dan sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat tetapi kelemahannya processingnya sedangkan secara pragmatis dapat segera tercipta aturan hukum itu dengan catatan kalau ada keberatannya akan dikaji ulang; kelemahannya sering dirasa tidak aspiratif dan tidak akomodatif menurut pendapat umum yang berlaku (common sense)
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
fakultatif. 22 Setiap pembangunan diperkirakan akan menghasilkan dampak dari kegiatan yang dilakukan, sehingga perlu melakukan telaah berbagai kebijakan lingkungan nasional dalam perspektif daerah otonom. Walaupun hal kebijakan lingkungan masih dalam tahap dini, akan tetapi setiap larangan dan kewajiban yang harus dipenuhi dan diatur sepenuhnya dalam peraturan daerah ataupun peraturan kepala daerah dapat ditegakkan. Hal ini merupakan suatu kebutuhan untuk mengurangi resiko dan juga mencegah adanya kerusakan kualitas lingkungan serta menjaga kelestariannya. UULH sebagaimana telah digantikan dengan UUPLH merupakan pedoman atau acuan secara umum bagi pemerintahan di daerah sebagai pengendali setiap warganya agar tetap berada dalam batas-batas yang sesuai dengan daya dukung lingkungan yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung peri kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. 23 Syamsul Arifin menyebutkan kehadiran undang-undang ini merupakan awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. 24 Saat ini, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup di daerah sebagaimana Pasal 12 UUPLH disebutkan :
22
Purnadi Purbacaraka dkk, Perihal kaedah hukum, (Bandung: Alumni, 1979) hal 49 Siti Sundari Rangkuti, op.cit hal 115 24 Syamsul Arifin, Penegakan Hukum Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan, diucapkan pada pengukuhan guru besar tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum USU Medan : 5 Februari 2000, hal 3 23
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat : a. Melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah; b. Mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah pusat dalam pelaksanaan lingkungan hidup di daerah; Selanjutnya pada Pasal 13 dinyatakan: “Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya.” Konsekuensi ketentuan tersebut di atas sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 12 sebagai berikut :”. . . pemerintah pusat dapat menetapkan wewenang tertentu dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.” Pemerintahan
kabupaten/
kota
berperan
dalam
pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan maka wewenang, pembiayaan, peralatan dan tanggung jawab berada pada pemerintah yang menugaskannya. Perlunya keserasian dan kesinambungan dalam pengelolaan lingkungan hidup di daerah, maka sangat dibutuhkan peraturan-peraturan di daerah sebagai Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
penjabaran pemberian urusan pemerintah daerah yang pada gilirannya dapat menyelesaikan berbagai aspek administratif, perdata dan pidana apabila muncul sengketa dalam lingkungan hidup. Semakin kompleksnya kepentingankepentingan dalam pembangunan sangat memungkinkan adanya benturan bahkan menjadi suatu konflik dalam pengembangan wilayah, sehingga hal ini juga menjadi alasan perlunya penyusunan tata ruang yang berwawasan lingkungan sekaligus menjadi landasan hukum di daerah dalam pelaksanaan visi dan misinya. 2. Kerangka Konsepsi Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan tersebut di atas, maka perlu diuraikan defenisi secara operasional untuk menghindari adanya penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan penelitian ini, sebagai berikut : Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 25 Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 26 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
25
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (1). 26 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (2).
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 27 Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. 28 Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 29 Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 30 Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 31 Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. 32 Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 33
27
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (3). 28 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (4). 29 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (5). 30 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (6). 31 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (8). 32 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (9). 33 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (10).
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 34 Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 35 Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 36 Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 37 Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 38 Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 39 Ruang
terbuka
hijau
adalah
area
memanjang/
jalur
dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 40
34
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (11). 35 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (12). 36 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (13). 37 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (14). 38 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (15). 39 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (16). 40 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (28).
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 41 Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi. 42 Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang. 43 Pemerintah Daerah adalah Bupati Labuhan Batu beserta perangkat daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah. 44 Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Penelitian ini hanya membatasi ruang
pada daratan wilayah Kabupaten
Labuhan Batu. 45 Lingkungan hidup berarti kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya
yang
mempengaruhi
kelangsungan
peri
kehidupan
dan
kesejahteraan manusia dan mahluk lainnya yang berarti merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya terhadap lingkungan hidupnya. 46 41
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (29). 42 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (30). 43 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (31). 44 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (32). 45 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (33). 46 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (34).
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Rencana tata ruang wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah di Kota Labuhan Batu berdasarkan aspek administrasi dan aspek fungsional yang telah ditetapkan. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat. Penatagunaan tanah adalah sama dengan pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat
secara
adil. 47
Kebijaksanaan
lingkungan
adalah
peraturan
perundang-undangan serta ketentuan lainya d bidang lingkungan hidup yang masih berlaku. 48
G. Metode Penelitian Pelaksanaan penelitian ini adalah suatu rangkaian kegiatan yang di dalamnya merupakan proses sejak dari pengumpulan data, analisis data sehingga dapat ditarik kesimpulan. Metode penelitian ini menjelaskan jenis penelitian, sifat penelitian yang dilakukan, sumber data yang diperoleh, teknik pengumpulan data dan pengolahannya.
47
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (35). 48 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 angka (36).
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
1. Jenis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka pengumpulan data ditujukan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai dasar hukum, dimana hukum di sini merupakan hukum positif baik dilihat dari norma ataupun kaidahnya, sehingga penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan bahan-bahan untuk dianalisis berupa undangundang, peraturan pemerintah, peraturan daerah maupun keputusan atau peraturan menteri serta kepala daerah yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan dalam penataan ruang. 2. Sifat Penelitian Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada saat ini berkaitan dengan pengelolaan tata ruang. 3. Sumber Data Penelitian Pada penelitian yang berupa yuridis normatif, maka sumber-sumber data yang dikumpulkan berasal dari data kepustakaan yang ada dibedakan atas: 49 a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang hukum, lingkungan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. b. Bahan hukum sekunder, yaitu hasil-hasil penelitian ilmiah, jurnal, surat kabar, internet dan lain sebagainya.
49
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press) 2006, hal 113
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
c. Bahan hukum tertier, yaitu kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain sebagainya. 4. Teknik Pengumpulan Data Selain pengumpulan data sekunder juga dilakukan melalui situs internet dan teknik pengumpulan data dengan studi dokumen yang diperlukan untuk membantu menganalisis permasalahan yang akan dibahas. Pedoman wawancara sebagai salah satu alat pengumpulan data diantaranya Perda pada instansi pemerintah seperti Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup, Dinas Kesehatan serta LSM bidang lingkungan hidup sebagai bentuk peran serta masyarakat di Kota Labuhan Batu. 5. Metode Analisis Data Dalam penelitian, analisis data harus dilakukan untuk lebih objektif memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan diolah dengan dukungan logika berfikir serta keabsahan dokumen sehingga akan di uraikan secara sistematis yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan
berbagai
jenis
data
sehingga
dapat
ditarik
suatu
kesimpulan dengan logika deduktif. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan : a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ; Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah “Analisis Hukum terhadap Pengelolaan Tata Ruang di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu”; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau
peraturan
perundang-undangan,
kemudian
dianalisis
secara
deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
BAB II PENGELOLAAN TATA RUANG DI LABUHAN BATU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG A. Analisis Hukum 1. Pengertian Tentang Hukum Beberapa sarjana telah memberikan batasan tentang hukum menurut pendapatnya masing-masing dan kenyataannya batasan yang mereka kemukakan satu sama lain saling berbeda. Batasan-batasan yang mereka kemukakan mengenai batasan hukum adalah sebagai berikut: 50 a. Menurut pendapat Prof. Mr. E.M. Meyers, hukum ialah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam melakukan tugasnya. b. Menurut Leon Duguit, hukum ialah tingkah laku anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
50
J.B. Dallyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Bekerja sama dengan APTIK Penerbit Gramedia, 1989), hlm. 29.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
c. Menurut Immanuel Kant, hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain menuruti asas tentang kemerdekaan. Dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur yaitu: 51 a. Peraturan tingkah laku manusia. b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib. c. Peraturan yang bersifat memaksa. d. Sanksi bagi pelanggaran terhadap peraturan itu adalah tegas (pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan). Setiap anggota masyarakat harus bertingkah laku sedemikian rupa sehingga tata tertib masyarakat tetap terpelihara baik. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang beraneka ragam dan mengatur hubungan orang dalam masyarakat. Hukum mewajibkan diri dalam peraturan hidup bermasyarakat dinamakan kaidah hukum. Setiap orang yang melanggar suatu kaidah hukum akan mendapat sanksi berupa akibat hukum tertentu yang nyata. Dengan dikenakannya sanksi bagi mereka yang melanggara kaidah hukum, maka hukum itu bersifat memaksa dan mengatur. Sanksi di sini adalah berfungsi sebagai pemaksa seseorang tidak mau patuh dan taat pada hukum. Jika dalam kehidupan bermasyarakat sanksi benar-benar dikenakan secara adil kepada siapa saja yang melanggar hukum, maka akan tercipta ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. 51
Ibid, hlm. 30
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Hukum tidak hanya dibelakan dan menunggu serta mengikuti perubahan, akan tetapi secara aktif mendorong terjadinya perubahan. Meskipun terjadinya perubahan sosial bukanlah semata-mata ditimbulkan oleh hukum saja tetapi faktor-faktor lain juga turut berperan, namun paling tidak, hukum memiliki kemampuan sebagai landasan, petunjuk arah serta sebagai bingkainya. Dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa penggunaan perundang-undangan dengan cara dasar oleh pemerintah sebagai suatu sarana untuk melakukan suatu tindakan sosial yang terorganisir telah merupakan ciri khas negara modern. 52 Demikian pula Marc Galenter mengatakan, bahwa dalam sistem hukum modern terdapat kecenderungan yang tetap dan kuat kearah penggantian perundang-undangan rakyat yang lokal sifatnya oleh perundangundangan resmi yang dibuat pemerintah. 53 Melalui berbagai peraturan perundangundangan tersebut, maka hukum diberlakukan secara uniform dan bersifat nasional serta tidak bersifat lokal dan tradisional. Penggunaan hukum sebagai sarana perubahan sosial dimaksudkan untuk menggerakan masyarakat agar tingkah laku sesuai dengan irama dan tuntutan pembangunan, seraya meninggalkan segala sesuatu yang sudah tak perlu lagi dipertahankan. Bertalian dengan masalah tersebut menarik apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, bahwa: di Indonesia, fungsi hukum dalam pembangunan
52
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 113. Marc Galander, Modernisasi Sistem Hukum, dalam Myron Weiner (ed), Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Cet. III, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 110. 53
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 54 Hal ini didasarkan pada anggapan, bahwa adanya ketertiban (stabilitas) dalam pembangunan merupakan suatu yang dipandang penting dan diperlukan. Suatu ketertiban hukum merupakan suatu ketertiban yang dipaksa (dwangorde); apabila oleh hukum suatu tindakan-tindakan tertentu tak diperkenankan, maka jika tindakan itu dilakukan, yang melakukan tindakan tersebut akan dikenakan sanksi. Menurut Kelsen prinsip dari aturan hukum adalah: jika dilakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum, maka akan dikenakan sanksi sebagai akibat dari tindakan yang berlawanan dengan hukum tersebut. 55 Hubungan antar akibat dari tindakan yang berlawanan dengan hukum dengan tindakannya itu sendiri adalah tidak sama dengan hubungan antara pemanasan sebatang besi dan akibatnya bahwa besi tersebut menjadi lebih panjang, sehingga hal tersebut merupakan hukum kausalitas, menurut Kelsen “het onrechsgevolg wordt het onrecht toegerekend”. Seberapa jauh hukum pidana dan sanksi pidana masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan? Kiranya terdapat beberapa pendapat mengenai hal ini. Beberapa pakar hukum pidana menolak penggunaan hukum pidana dan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan, sementara beberapa pakar yang lain justru berpendapat sebaliknya. Herbert L. Packer termasuk pakar yang menolak penggunaan hukum pidana dan sanksi pidana dengan alasan bahwa sanksi pidana
54
Mochtar Kusumaatmaja, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat, Landasan Pikiran Pola dan Mekanisme Pelaksana Pembaharuan Hukum, (Jakarta: BPHN-LIPI, 1996), hlm. 19. 55 Lihat, Lili Rasida, Op.cit, hlm. 38.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
merupakan peninggalan kebiadaban masa lampau. 56 Bahkan munculnya aliran postivisme dalam kriminologi yang menganggap pelaku adalah golongan manusia yang abnormal menjadikan semakin kuatlah kehendak untuk menghapuskan pidana (punishmen) dan menggantikannya dengan treatment. Pakar hukum pidana yang mempunyai pandangan sebaliknya adalah pakar hukum Indonesia, Roeslan Saleh dengan mengemukakan 3 (tiga) alasan, yaitu: 1. diperlukan tidaknya hukum pidana dengan sanksi hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang hendak dicapai, melainkan pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu hukum pidana dapat mempergunakan paksaanpaksaan. 2. bahwa masih banyak pelaku kejahatan yang tidak memerlukan perawatan atau perbaikan, meski demikian masih tetap diperlukan suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. 3. bahwa pengaruh pidana bukan saja akan dirasakan oleh si penjahat, tetapi juga oleh orang lain yang tidakmelakukan kejahatan. Disamping itu, hukum sebagai kaidah berfungsi sebagai saran untuk menyalurkan arah kegiatan-kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan terencana itu. Dari uraian tersebut tampak bahwa dalam kaitannya dalam pembangunan, maka hukum dapat memainkan yang amat penting, yaitu
56
Herbert L, The Limits of the Criminal Sanction. (Stanford: Stanford University Press, 1968), hlm. 17.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
sebagai sarana perubahan sosial dalam perjalanannya, pembangunan menimbulkan perubahan-perubahan besar yang tidak sengaja menyangkut nilai-nilai, sikap dan pola perilaku masyarakat. Dengan perkataan yang berbeda, sasaran dan akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan benar-benar bersifat total dan simultan. Terjadinya perubahan dalam masyarakat merupakan gejala yang wajar. Pengaruh menjalar dengan cepat ke berbagai bagian dalam masyarakat. Lebih-lebih pengaruh perilaku sosialnya, termasuk nilai-nilai sikap, pola perilaku secara hubungan antar kelompoknya. 57 Salah satu tujuan negara Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undangan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga salah satu tugas konstitusinal pemerintah Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia melalui kegiatan pembangunan ekonomi yang secara rinci diatur dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 amandemen keempat. Sehubungan dengan
pembangunan
ekonomi,
Sunaryati
Hartono 58
menyebutkan
bahwa
pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana dan prasarana hukum agar supaya benar-benar dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan yang direncanakan yakni ketertiban (stabilitas) dan kepastian disamping kemanfaatan hukum. Sunaryati Hartono lebih lanjut menyebutkan bahwa hukum mempunyai peran yang sangat
57
Selo Sumardjan, Social Change in Jogjakarta, (Jakarta: Gajah Mada University Press, 1991), hlm. 3. 58 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 30.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
penting untuk menjaga keseimbangan dan keserasian dan keselarasan antara berbagai kepentingan dalam masyarakat. 59 Dengan selalu menjaga keseimbangan dan keserasian antara berbagai pihak tersebut, maka dinamika kegiatan ekonomi nasional dapat diarahkan kepada kegiatan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dengan memperhatikan stabilitas sebagai salah satu tujuan hukum. 60 Untuk mencapai hal-hal tersebut hukum diarahkan harus berubah lebih dahulu melalui pembangunan hukum yang mencakup: a) membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada; b) membuat sesuatu yang ada menjadi lebih baik dan modern; atau c) meniadakan sistem yang lama karena tidak diperlukan lagi dan tidak sesuai lagi dengan sistem yang baru. Hukum sangat berperan di dalam pembangunan ekonomi, artinya hukum dapat menjaga keseimbangan dan keselarasan serta mengakomodasi antara para pihak yang berkepentingan.. oleh karenanya rule of law in economic development), hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh David M. Trubek bahwa jika masalah hukum sudah jelas maka Indonesia akan mudah menjawab pertanyaan, karena hukum adalah suatu ilmu yang praktis. Tidak perlu menggali kepada hal-hal yang fundamental dari fungsi-fungsi sosial, ekonomi dan politik dari tatanan hukum. 61
59
Ibid. Gunarto Suhardi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002), hlm. 12. 61 David M. Trubek, Toward a Social Theory of Law: An Essay on the Study of Law and Development, dalam Bismar Nasution, Mangkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi¸ Op. cit, hlm. 9. 60
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Selanjutnya, pembangunan hukum yang mengarah pada pertumbuhan pembangunan ekonomi melalui kegiatan investasi ditujukan untuk menciptakan stabilitas (ketertiban) disamping kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan ajaran bahwa hukum merupakan alat pembaharuan masyarakat yang berasal dari Roscue Pound (1954) yang menyatakan: Law as a tool of social engineering, 62 konsepsi tersebut yang asalnya merupakan inti pemikiran dari Pragmatic Legal Realism kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja setelah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. 63 Sedangkan menurut Bismar Nasution, dalam pembangunan ekonomi, hukum ekonomi harus berlandaskan hukum yang rasional. Karena dengan hukum modern atau rasional tersebut akan dapat dilakukan pengorganisasian pembangunan ekonomi. Adapun yang menjadi cirri dari hukum modern ini adalah penggunaan hukum secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dengan cara pendekatan ini, diharapkan akan tercipta penerapan keadilan dan kewajaran, serta secara proporsional dapat memberikan manfaat pada masyarakat. Aturan hukum tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek saja, akan tetapi harus berdasarkan kepentingan jangka panjang. 64
62
Mochtar Kusumaadmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Bina Cipta, 2001), hlm. 78. 63 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001), hlm. 78. 64 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 17 April 2004, hlm. 4-5.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
2. Tujuan Hukum Menurut pendapat L.J. Van Aveldon, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai. Jadi hukum menghendaki perdamaian dalam masyarakat. Keadaan damai dalam masyarakat dapat terwujud apabila keseimbangan kepentingan masing-masing anggota masyarakat benar-benar dijamin oleh hukum, sehingga terciptanya masyarakat yang damai dan adil merupakan perwujudan terciptannya tujuan hukum. Sedangkan menurut Soebekti berpendapat bahwa tujuan hukum adalah mengabdi kepada tujuan negara. Berangkat dari berbagai pendapat tentang tujuan hukum tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum itu sebenarnya menghendaki adanya keseimbangan kepentingan, ketertiban, ketenteraman dan kebahagian setiap manusia. Dengan demikian jelas bahwa yang dikehendaki oleh hukum adalah agar kepentingan setiap orang baik secara individual maupun kelompok tidak diganggu oleh orang atau kelompok lain yang selalu menonjolkan kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompoknya. Supaya hukum dapat berlaku secara langgeng dan ditaati oleh anggota masyarakat, hendaknya hukum itu berisi keadilan, tidak sekedar peraturan belaka. Setiap anggota masyarakat harus dapat merasakan manfaat kalau menjalankan peraturan itu, dan sebaliknya merasakan keganjilan manakala peraturan tidak dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, hukum dapat mencapai tujuannya, yaitu untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Melalui ketertiban itu, warga masyarakat menemukan perlindungan Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
atas kepentingan hukumnya. Hukum harus dapat membagi hak dan kewajiban dari setiap anggota masyarakat secara adil dan seimbang, mengatur cara-cara memecahkan permasalahan hukum serta memberikan batasan kewenangan kepada penegak hukum untuk mempertahankan berlakunya hukum. 3. Fungsi Hukum Tujuan hukum sebagaimana diketengahkan di muka adalah menghendaki adanya keseimbangan
kepentingan, ketertiban, keadilan, ketenteraman dan
kebahagian setiap manusia, maka dapat diketahui apa sebenarnya fungsi hukum itu. Dengan mengingat tujuan hukum maka dapat dirinci secara garis besar fungsi sebagai berikut: a. Hukum berfungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Fungsi ini memungkinkan untuk diperankan oleh hakim karena hukum memberikan petunjuk kepada masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku. Mana yang diperbolehkan oleh hukum dan mana yang dilarang olehnya sehingga masing-masing anggota masyarakat tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Kalau mereka menyadari dan melaksanakan baik perintah maupun larangan yang tercantum dalam hukum, yakni bahwa fungsi hukum sebagai alat ketertiban masyarakat dapat direalisir. b. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum yang bersifat mengikat dan memaksa serta dapat dipaksakan oleh alat negara yang berwenang, berpengeruh besar terhadap orang yang akan melakukan pelanggaran sehingga mereka takut dan segan untuk melakukan hal Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
itu karena takut akan ancaman hukumannya. Hukum yang bersifat memaksa dapat diterapkan kepada siapa saja yang bersalah. Mereka yang melakukan kesalahan mungkin dihukum penjara, didenda, diminta membayar ganti rugi, disuruh membayar ganti rugi, disuruh membayar hutangnya, maka dengan demikian keadilan dapat dicapai. c. Hukum berfungsi sebagai alat penggerak pembangunan karena ia mempunyai daya mengikat dan memaksa dapat dimanfaatkan sebagai alat otoritas untuk mengarahkan masyarakat kearah yang lebih maju. Fungsi demikian adalah fungsi hukum sebagai alat penggerak pembangunan. d. Fungsi hukum sebagai alat kritik (fungsi kritis). Fugsi ini berarti bahwa hukum tidak hanya mengawasi masyarakat semata-mata tetapi berperan juga untuk mengawasi para pejabat pemerintah, para penegak hukum maupun aparatur pengawasan sendiri. Dengan demikian semua harusnya bertingkah laku menurut ketentuan yang berlaku. Jika demikian halnya maka, ketertiban, perdamaian dan keadilan dalam masyarakat dapat diwujudkan dan fungsi kritis hukum dapat berjalan baik. e. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan pertikaian. Hukum merupakan pencerminan kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Untuk itu hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan kebijaksanaan
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
pemerintah, di lain pihak hukum berfungsi sebagai sarana memperlancar proses interaksi sosial. 65 Dengan demikian, pada saat ini hukum digunakan tidak hanya sebagai instrumen atau sarana untuk melakukan perubahan-perubahan, tetapi juga dipakai untuk mewujudkan tujuan kebijakansanaan pemerintah. Penggunaan hukum secara demikian itu, nampak dengan dikeluarkannya seperangkat peraturan perundangundangan dalam kehidupan masyarakat yang menyangkut berbagai sektor pembanguna. Setelah beberapa tahun berlakunya ketentuan ini, ternyata pada tahap pelaksanaan dan penerapan serta penegakan hukumnya masih dirasakan kurangnya keefektipan dan fungsi hukum untuk perubahan-perubahan yang dikehendaki pemerintah selaku pelopor pembangunan. 66 Menurut Robert B. Seidman (1978: 311-339), suatu peraturan dapat berfungsi dengan baik apabila diperhatikan adanya 4 (empat) faktor, yaitu: 1. Peraturan itu sendiri, artinya perundang-undangan harus direncanakan dengan baik yaitu kaidah-kaidah yang bekerja memenuhi tingkah laku harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami dengan kepastian, sehingga suatu ketaatan atau tidak taatnya warga negara kepada hukum itu dapat disidik dan dilihat dengan mudah.
65
Syamsul Arifin, Upaya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Mewujudkan Pembangunan yang berwawasan Lingkungan di Sumatera Utara, (Penerbit; Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 12. 66 Ibid, hlm. 12.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
2. Petugas yang menerapkan peraturan hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik dan mengumumkan secara luas. 3. Fasilitas yang ada diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan hukum. 4. Warga masyarakat menjadi sasaran peraturan tersebut akan bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku bagi aktivitasnya tergantung kepada 3 (tiga) variabel, yaitu: a. apakah normanya sesuai dengan tujuan yang telah disampaikan; b. apakah normanya sesuai dengan tujuan yang telah diterapkan bagi posisi itu; dan c. apakah warga masyarakat yang terkena peraturan digerakkan oleh motifasi yang menyimpang. Selanjutnya Lon Fuller mengemukakan 8 (delapan) prinsip tolak ukur hukum utamanya adalah sosok sebagai peraturan perundang-undangan, yakni: 67 1) Undang-undang yang bersifat umum memerlukan peraturan pelaksanaan. 2) Undang-undang agar dapat memenuhi fungsi mengatur harus diumumkan. 3) Undang-undang tidak boleh berlaku surut apabila ia dilihat sebagai alat pemandu tingkah laku (di masa yang akan datang). 4) Undang-undang harus jelas, tidak boleh mempunyai arti ganda, dalam konteks hermenetika atau metode penafsiran undang-undang.
67
Ibid, hlm. 12.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
5) Undang-undang tidak boleh bertentangan secara bathiniah, dalam arti undangundang tidak boleh melarang dan membolehkan suatu perbuatan pada waktu yang bersamaan. 6) Undang-undang tidak boleh menuntut hal yang tidak mungkin. 7) Undang-undang harus menjaga konsistensi, dalam arti undang-undang tidak boleh sering berubah, dan 8) Undang-undang tidak hanya berlaku untuk rakyat, tetapi juga mengikat penguasa. (NR. Segra, et.al, 1983: 122-128)
B. Pengelolaan Tata Ruang di Labuhan Batu 1. Pengertian Tata Ruang Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud ruang adalah: “Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya”. Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah: “Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia makhluk lain hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Adapun yang dimaksud dengan wujud structural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan social, lingkungan buatan yang secara hirarkhis berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedang yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah perkotaan dan pedesaan, dimana tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang yang terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung dan lain-lain. 68 Selanjutnya Pasal 1 angka 5 menyebutkan yang dimaksud dengan penataan ruang adalah “suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Tata ruang berarti susunan ruang yang teratur. Dalam kata teratur tercakup pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Karena itu pada tata ruang, yang ditata adalah tempat berbagai kegiatan serta sarana dan prasarana. Suatu tata ruang yang baik dapat dihasilkan dari kegiatan menata ruang yang baik disebut penataan ruang. Dalam hal ini, penataan ruang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu: 1. perencanaan tata ruang, 2. perwujudan tata ruang, dan 3. pengendalian tata ruang. 69
68
Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Cetakan I, (Bandung: Penerbit NUANSA, 2007) hlm. 24. 69 M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2001), hlm. 80.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Perencanaan tata ruang merupakan kegiatan merumuskan dan menetapkan manfaat ruang dan kaitannya atau hubungan antara berbagai manfaat ruang, berdasarkan kegiatan-kegiatan yang perlu dan dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di masa yang akan datang. Tingkat manfaat ruang ini juga akan sangat bergantung kepada pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia atau dapat disediakan secara optimal. Dengan demikian perencanaan tata ruang akan menghasilkan rencana-rencana tata ruang untuk memberikan gambaran tentang ruang mana, untuk kegiatan apa dan kapan. 70 Perencanaan atau plenning merupakan suatu proses, sedangkan hasilnya berupa rencana, dapat dipandang sebagai suatu bagian dari setiap kegiatan yang lebih sekedar refleks yang berdasarkan perasaan semata. Tetapi yang penting perencanaan merupakan suatu komponen yang penting dalam setiap keputusan social, setiap unit keluarga, kelompok, masyarakat, maupun pemerintah terlibat dalam perencanaan pada saat membuat keputusan atau kebijakan-kebijakan untuk mengubah sesuatu dalam dirinya atau lingkungannya. Pada negara hukum dewasa ini, suatu rencana tidak dapat dihilangkan dari hukum administrasi. Rencana dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintah, misalnya dalam pengaturan tata ruang. Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib. Rencana yang demikian itu dapat
70
Ibid, hlm. 81.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
dihubungkan dengan stelsel perizinan, misalnya suatu perizinan pembangunan akan ditolak oleh karena tidak sesuai dengan rencana peruntukan. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasana Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang yang dimaksud dengan Rencana Tata ruang adalah “hasil perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang”. Maksud diadakannya perencanaan tata ruang adalah untuk menyerasikan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal, efisien dan serasi. Sedangkan tujuan diadakannya adanya suatu perencanaan tata ruang adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsionalnya yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan sumber daya manusia, sehingga tercapainya hasil pembangunan yang optimal dan efisien bagi peningkatan kualitas manusia dan kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan. Penataan ruang sebagai suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kesatuan system yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Untuk menciptakan suatu penataan ruang yang serasi harus memerlukan suatu peraturan perundang-undangan yang serasi pula diantara peraturan pada tingkat tinggi sampai pada tingkat bawah, sehingga terjadinya suatu koordinasi dalam penataan ruang. Dalam penjelasan umum nomor 4 dari UU No. 26 Tahun 2007 menyebutkan Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab, penataan ruang menurut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keterpaduan antar daerah, antar pusat dan daerah, antar sektor dan antar pemangku kepentingan. Dalam undangundang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan system, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai startegis kawasan. Salah satu konsep dasar pemikiran tata ruang menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 dapat ditemukan dalam Pasal 2, 14 dan 15. Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA membuat wewenang untuk: 71 (1)
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
(2)
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
(3)
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsep tata ruang dalam 3 (tiga) dimensi tersebut di atas terkait dengan mekanisme kelembagaan dan untuk perencanaannya diatur dalam Pasal 14 yang mengatakan:
71
Ibid, hlm. 79.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
(1)
Pemerintah dalam rangka membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa; dan
(2)
Berdasarkan rencana umum tersebut Pemda mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa. Selanjutnya Pasal 15 mengatur tentang pemeliharaan tanah, termasuk
menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya yang merupakan kewajiban setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak ekonomi lemah. Tanah adalah ruang daratan yang merupakan bagian/ subsistem dari ruang secara keseluruhan. 72 Pasal 16 UUPA mewajibkan pemerintah untik menyusun rancangan umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan pembangunan. Dalam UUPA sendiri tidak ada penegasan arti dari ketiga istilah tersebut. Namun nampak tujuan dari setiap rencana ini tidak lain adalah untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 yakni untuk kemakmuran rakyat. Rencana umum persediaan tanah adalah suatu pemenuhan kebutuhan tanah untuk berbagai pembangunan, yang berkaitan dengan rencana umum peruntukan tanah. Persedian tanah untuk pembangunan yang baik adalah persediaan tanah yang didasarkan pada kondisi obyektif fisik tanah dan keadaaan lingkungan, oleh karena
72
Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 116.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
itu rencana umum untuk peruntukan tanah di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/ kota seharusnya memiliki kesamaan. Rencana umum penggunaan tanah adalah usaha untuk pemenuhan tanah untuk rencana pembangunan atau program-program yang sudah ada. Dengan demikian rencana umum penggunaan tanah baru dapat disusun setelah adanya program pembangunan, sedangkan penyusunan rencana umum mengenai peruntukan tanah maupun persediaan tanah tidak perlu menunggu programprogram pembangunan. Pada negara hukum kemasyarakatan hukum modern, rencana selaku figur hukum dari hubungan hukum administrasi tidak dapat lagi dihilangkan dari pemikiran. Rencana-rencana dijumpai pada belbagai bidang kegiatan pemerintahan, misalnya pengaturan tata ruang, pengurusan kesehatan dan pendidikan. 73 Suatu rencana peruntukan terdiri dari bagian-bagian berikut ini: 74 a. Peta perencanaan Di sini terdapat peruntukan dari tanah dimaksud. Peta perencanaan itu dapat dipandang sebagai suatu himpunan (bundle) yang saling berkaitan. b. Peraturan berkenaan dengan penggunaan (pemanfaatan) Peraturan berkenaan dengan penggunaan (Pemanfaatan) ini dapat dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Bagi wilayah dari rencana itu dapat diberlakukan secara berulang kali.
73
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law) (Yogyakarta, 1995 dicetak oleh: Gajah Mada University Press), hlm, 156. 74 Ibid, hlm. 157.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Perencanaan kiranya juga berperan pada upaya pembebasan hak atas tanah. Pada Pasal 4 ayat (3) dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dikemukakan bahwa permohonan pembebasan tanah untuk keperluan pemerintah harus disertai dengan keterangan-keterangan tentang: 1) Status tanahnya (jenis/ macam haknya, luas dan letaknya); 2) Gambar situasi tanah; 3) Maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya; dan 4) Kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada yang berhak atas tanah. Berkaitan
dengan
kebijakan
otonomi
daerah
tersebut,
wewenang
penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batasan wilayah administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari wilayah nasional, wilayah propinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam subsistem tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan tingkat pemanfaatan ruang terbuka yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata dengan baik dapat mendorong kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang. Berkaitan dengan penataan ruang wilayah Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
kota, undang-undang ini secara khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasnya ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, yang diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Menurut Keputusan Presiden Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang melimpahkan 9 (sembilan) kewenangan kepada pemerintah daerah diatur dalam Pasal 2 ayat (2), yaitu: 1. pemberian izin lokasi; 2. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; 3. penyelesaian tanah garapan; 4. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5. penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum serta tanah absentee; 6. penetapan dan penyelesaian tanah ulayat; 7. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; 8. pemberian izin membuka tanah; dan 9. perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/ kota. Dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut, berarti kewenangan di bidang pertanahan masih di pegang oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah hanya punya kewenangan apabila ada pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, mengatur tentang urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota, sebagai berikut: a) perencanan dan pengendalian pembangunan; b) perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d) penyediaan sarana dan prasarana umum; e) penanganan bidang kesehatan; f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/ kota; h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/ kota; i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas kabupaten/ kota; j) pengendalian lingkungan hidup; k) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/ kota; l) pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m) pelayanan administrasi umum pemerintahan; n) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/ kota; o) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/ kota; dan p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k juga menyebutkan salah satu urusan wajib pemerintah daerah kabupaten/ kota adalah pelayanan pertanahan. Bunyi selengkapnya Pasal 14 ayat (1) adalah sebagai berikut: Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/ kota merupakan urusan dalam skala kabupaten/ kota yang meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan dan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Menurut kedua pasal tersebut, salah satu urusan wajib pemerintah daerah baik bagi provinsi maupun kabupaten/ kota adalah pelayanan pertanahan. 2. Perencanaan Tata Ruang Perancanaan tata ruang sering dipandang sebagai titik signifikan bagi pencapaian keberhasilan pembangunan. Dikatakan signifikan karena adanya suatu perencanaan akan membawa pada suatu perencanaan akan membawa pada suatu pilihan berhasil atau tidaknya kegiatan dalam mencapai suatu tujuan pembangunan. Rencana merupakan suatu keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya suatu keadaan tertentu yang tertib dan rencana semacam itu dapat dikaitkan dengan stelsel perizinan misalnya suatu permohonan izin bangunan harus ditolak manakala bertentangan dengan rencana peruntukan. Sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka daerah provinsi, kabupaten/ kota berhak melakukan suatu perencanaan tata ruang seperti dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh masing-masing pemerintah daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menjelaskan mengenai kewenangan–kewenangan yang dimiliki oleh setiap tingkatan pemerintah sebagai berikut: a. Kewenangan
pemerintah
dalam
penataan
rung
terdapat
dalam
Ketetentuan Pasal 8 ayat (1) sampai dengan ayat (6) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Pentaaan Ruang. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
1. Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: a. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/ kota, serta terhadap pelaksanaan panataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi dan kabupaten/ kota; b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan d. Kerjasama penataan ruang antar Negara dan memfasilitasi kerjasama penaatan ruang antar provinsi. 2. Wewenang pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi: a. Perencanaan tata ruang wilayah nasional; b. Pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan c. Pengendalian pemanfatan ruang wilayah nasional. 3. Wewenang pemerintah dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi: a. Penataan kawasan strategis nasional; b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional; c. Pemanfaatan ruang kawasana strategis nasional; dan d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. 5. Dalam rangka penyelenggaraan penataan pemerintah berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang. 6. Dalam rangka pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) pemerintah: Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan: 1. rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; 2. arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan 3. menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. b. Kewenangan pemerintah provinsi dalam penataan ruang terdapat dalam Ketentuan Pasal 10 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 1. wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: a) pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/ kota; b) pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; c) pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis; dan d) kerja sama penataan ruang antar provinsi dan pemfasiliasti kerja sama penataan ruang antar kabupaten/ kota. 2. wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi; b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. 3. dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan: a. penataan kawasan strategis provinsi; b. perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi; c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi. 4. pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/ kota melalui tugas pembantuan. 5. dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi, pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi atau kabupaten/ kota. 6. dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi: a. menyebarluaskan rencana informasi yang berkaitan dengan: a) rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; b) arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan c) petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan penataan ruang. 7. dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah mengambil kerangka penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. kewenangan pemerintah kabupaten/ kota dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (6) Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: 1. wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi: a. pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/ kota kawasan strategis kabupaten/ kota; b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/ kota; c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/ kota; dan d. kerja sama penataan ruang antar kabupaten/ kota. 2. wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/ kota; b. pemanfaatan ruang wialayah kabupaten/ kota; dan b. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/ kota. 3. dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah kabupaten/ kota melaksanakan: Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. penataan kawasan strategis kabupaten/ kota; b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/ kota; c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/ kota; dan d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/ kota. 4. dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/ kota mengacu kepada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya. 5. dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) pemerintah daerah kabupaten/ kota: a. menyebarluaskan rencana informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/ kota; b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan penataan ruang. 6. dalam hal pemerintah daerah kabupaten/ kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah menyelesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan undang-undang penataan ruang diatas tersebut dijelaskan kembali dalam Pasal 13 dan 14 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan bahwasannya urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/ kota dalam skala provinsi dan kabupaten/ kota meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Selanjutnya, pemerintah daerah dalam melaksanakan kewajibannya tersebut haruslah melakukan suatu langkah yang konkret yang disesuaikan dengan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan yang melekat pada pemerintah kabupaten/ kota dalam administasi negara disebut dengan sikap dan tindak administrasi negara. Sikap dan tindak menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/ kota dapat diwujudkan dalam bentuk suatu kebijakan. Bila dilihat dari sudut hukum administrasi negara, kebijakan pemerintah daerah terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1. Ketetapan atau keputusan (beschiking) 2. Peraturan daerah (beleid) Ketetapan atau keputusan yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara yang dalam hal ini disebut sebagai keputusan bupati/ walikota, biasanya sering dilihat dalam bentuk izin. Sementara peraturan daerah merupakan suatu produk hukum yang merupakan hasil penetapan dari DPRD. Peraturan daerah dibuat sebagai instrument untuk melaksanakan pengaturan atau pengurusan rumah tangga daerah. Sehubungan dengan penataan ruang, maka perencanaan tata ruang yang dibuat oleh daerah, baik itu kabupaten/ kota, harus sesuai dengan peraturan daerah yang telah dibuat sebelumnya, bahkan untuk lebih memberikan kekuatan hukum, perencanaan tata ruang wilayah yang akan dibuat harus disahkan melalui peraturan daerah.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
3. Rencana Tata Ruang Kabupaten Labuhan Batu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dati II Labuhan Batu didasarkan atas azas: 75 a. Manfaat yaitu pemanfaatan ruang secara optimal yang tercermin dalam penentuan jenjang fungsi pelayanan kegiatan dan sistem jaringan; b. Keseimbangan dan keserasian yaitu menciptakan keseimbangan dan keserasian fungsi dan intensitas pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah; c. Kelestarian yaitu menciptakan hubungan yang serasi antara manusia dan lingkungan yang tercermin dari pola intensitas pemanfaatan ruang. Tujuan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dati II Labuhan Batu sesuai dengan Pasal 3, yaitu berbunyi: “RTRW Kabupaten Dati II Labuhan Batu bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu yang serasi dan optimal sesuai dengan ketentuan dan kemampuan daya dukung lingkungan serta sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan nasional dan provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.” Sasaran Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dati II Labuhan Batu sesuai dengan Pasal 4 yang berbunyi:
75
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu Nomor 6 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu Tahun 1996-2006, Lembaran daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu Nomor 4 Tahun 1997, Seri D Nomor 3, Pasal 2.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Memberikan arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budaya; b. Memberikan arahan pengembangan kawasan budidaya, sistem pusat-pusat permukiman, sistem sarana dan prasarana wilayah, dan kawasan yang perlu diprioritasnya pengembangannya; c. Memberikan arahan kebijaksanaan yang menyangkut tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, tata guna hutan dan tata guna sumber daya alam lainnya serta kebijaksanaan penunjang penataan ruang yang direncanakan. Fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Labuhan Batu sesuai dengan Pasal 5 adalah: a. Sebagai matra ruang dari Pola Dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Labuhan
Batu
dan
Rencana
Pembangunan
Lima
Tahun
Daerah
(REPELITADA) Tingkat II Labuhan Batu serta menjadi acuan untuk penyusunan REPELITADA Tingkat II Labuhan Batu pada periode berikutnya; b. Memberikan arah kebijaksanaan pokok tentang pemanfaatan ruang di Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu sesuai dengan kondisi wilayah dan berasaskan pembangunan yang berkelanjutan; c. Untuk mewujudkan keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antara wilayah di dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu; d. Untuk memberikan kejelasan arahan investasi yang dilakukan Pemerintah, masyarakat dan swasta; e. Sebagai dasar menyusun rencana-rencana yang lebih terinci sifatnya. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Strategi pengembangan tata ruang menurut Pasal 11 mencakup: a. Strategi pemanfaatan kawasan lindung; b. Strategi pengembangan kawasan budidaya; c. Strategi pengembangan kota-kota dan pedesaan; d. Strategi pengembangan sistem prasarana dan saran; e. Strategi pengembangan kawasan prioritas. Untuk menjamin kelestarian lingkungan dan keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam, sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, maka strategi pemanfaatan kawasan lindung adalah sebagai berikut: a. Kawasan hutan lindung, kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan wisata, serta kawasan-kawasan lainnya sesuai dengan kriteria Keppres Nomor 32 Tahun 1990 dipertahankan sebagai kawasan lindung; b. Mencegah adanya dampak sosial ekonomi akibat dari penetapan areal kawasan lindung dengan pengarahan bentuk kegiatan, pembatasanpembatasan, penerapan perangkat insentif dan disinsentif. Untuk meningkatkan keterkaitan potensi, daya dukung wilayah, dan keselarasan serta keterpaduan pengembangan kawasan budidaya secara umum adalah peningkatan infrastruktur sesuai dengan kebutuhannya, dan secara khusus menurut Pasal 13, antara lain: a. Strategi pengembangan hutan adalah: 1. Mempertahankan jenis-jenis kawasan hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi konversi; Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
2. Peningkatan dan pengelolaannya sebagai suatu kekayaan alam yang penting sehingga dapat mempertahankan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat dengan tetap menjaga fungsi dan kemampuannya dalam melestarikan lingkungan hidup; 3. Mengembangkan
hutan
tanaman
industri
(HTI)
dengan
mengutamakan pola perkebunan inti rakyat (PIR). b. Strategi pengembangan kawasan tanaman pangan adalah: 1. Melanjutkan
dan
meningkatkan
usaha-usaha
diversifikasi,
intensifikasi, ekstensifikasi serta rehabilitasi secara terpadu, serasi dan merata sesuai dengan kondisi tanah, air dan iklim dan lingkungan
hidup
serta
mempertahankan
tatanan
kehidupan
masyarakat; 2. Peningkatan
kondisi
tanaman
pangan
untuk
memantapkan
swasembada pangan dan sekaligus memperbaiki gizi; 3. Diterapkannya
prinsip
pembatasan
terhadap
kemungkinan
pergeseran atau pengalihan penggunaan lahan sawah yang menjadi jenis penggunaan lainnya, terutama dalam hal ini adalah lahan sawah beririgasi. c. Strategi pengembangan kawasan perkebunan adalah: 1. Peningkatkan produksi ditujukan untuk eksport dan memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama untuk keperluan industri.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
2. Perluasan areal perkebunan terutama perkebunan besar beserta pola PIR dilakukan secara selektif pada daerah yang memungkinan perluasannya dikaitkan dengan perluasan lapangan kerja. 3. Peningkatkan
kualitas
perkebunan
melalui
perbaikan
teknik
bercocok tanam, rehabilitasi, dan upaya diversifikasi. d. Strategi pengembangan perikanan adalah: 1. Peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta meningkatkan eksport melalui usaha budidaya di daerah pantai, tambak dan air tawar. 2. Peningkatan usaha penangkapan ikan di daerah pantai dan lepas pantai
termasuk
pemanfaatan
zona
ekonomi
eksklusif,
serta
pengembangan pelabuhan perikanan. 3. Perlindungan dan pengembangan perikanan rakyat dalam rangka meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan serta memajukan desa-desa pantai. e. Strategi pengembangan peternakan, adalah: 1. Peningkatan
produksi
yang
berorientasi
pada
peningkatan
pendapatan, perluasan kesampatan kerja melalui usaha agribisnis/ agroindustri dan efisiensi usaha dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta ekspor;
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
2. Pengembangan
peternakan
lebih
diarahkan
kepada
pola
pengembangan intensif, dan dapat terintegrasi dengan kegiatan yang saling mendukung untuk meningkatkan nilai tambah usaha; 3. Mendorong pengembangan peternakan rakyat serta meningkatkan peranan Koperasi dan swasta. f. Strategi pengembangan pertambangan, adalah: 1. Peningkatan usaha pertambangan agar tetap berpedoman pada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; 2. Mendorong tumbuh dan berkembangnya pertambangan rakyat melalui
penyuluhan
dan
pembinaan
keterampilan
teknologi
pertambangan rakyat. g. Strategi pengembangan kepariwisataan, adalah: 1. Pengembangan kepariwisataan berorientasi kepada pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; 2. Menggali potensi pariwisata baru; 3. Peningkatan kualitas pengelolaan dan kualitas objek wisata. h. Strategi pengembangan industri, adalah: 1. Pengembangan industri diarahkan kepada jenis industri yang berorientasi ekspor dan memiliki nilai tambah yang tinggi; 2. Pengembangan industri secara selektif dalam pengertian berorientasi pada
pengembangan
yang
berkelanjutan
dan
berwawasan
lingkungan; Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
3. Pengembangan
sarana
dan
prasarana
yang
akan
mendukung
pengembangan industri; 4. Peningkatan kemampuan teknologi masyarakat setempat yang sesuai dengan jenis industri yang berkembang sekaligus dalam rangka perluasan kesempatan kerja. i. Strategi pengembangan kegiatan jasa, adalah: 1. Pengembangan
kegiatan
jasa
berdasarkan
jenis
lingkup
dan
jangkauan pelayanannya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan sekaligus dikaitkan dengan kesempatan kerja. 2. Pengembangan kegiatan jasa diselaraskan dengan pola pelayanan dari pusat-pusat pelayanan yang ada dalam wilayah baik untuk jangkauan pelayanan internal wilayah maupun eksternal wilayah. Untuk mengembangkan kota-kota dalam satu kesatuan sistem hirarki kota
agar
berfungsi
sebagai
pusat-pusat
pertumbuhan,
maka
strategi
pengembangan perkotaan menurut Pasal 14 adalah sebagai berikut: a. Pengembangan perkotaan harus dapat menunjang kawasan pedesaan yang merupakan wilayah belakangnya dan memperhatikan perkembangan kota itu sendiri; b. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut di atas kualitas prasarana dan sarana kota akan ditingkatkan secara terpadu; c. Untuk lebih meningkatkan keterkaitan antar kota dan antara kota dengan wilayah belakangnya perlu dilakukan pemantapan orde kota. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Untuk meningkatkan keterkaitan dan keterpaduan pengembangan wilayah, maka strategi pengembangan pedesaan menurut Pasal 15, adalah: a. Pengembangan pedesaan harus dapat menunjang pengembangan wilayah secara keseluruhan; b. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, kelangkapan dan kualitas prasarana dan saran di pedesaan akan ditingkatkan secara terpadu; c. Meningkatkan keterkaitan kawasan pedesaan dengan kawasan pusat-pusat pertumbuhan perkotaan. Untuk meningkatkan pengembangan prasarana dan sarana pelayanan kepada masyarakat, maka strategi pengembangan sistem prasarana dan sarana menurut Pasal 16 adalah sebagai berikut: a. Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana ditujukan untuk menunjang
pertumbuhan
ekonomi,
pemerataan
pembangunan,
meningkatkan stabilitas politik dan kesejahteraan masyarakat; b. Membuka
daerah
yang
terisolir
sehingga
dapat
merangsang
perkembangannya, serta meningkatkan dan menyempurnakan sistem transportasi pada daerah padat (perkotaan) dan rawan lalu lintas; c. Mendorong peningkatan angkutan/tranportasi; d. Mendorong perkembangan prasarana dan sarana irigasi guna menunjang peningkatan produksi dan perluasan pertanian. Strategi pengembangan wilayah prioritas menurut Pasal 17 adalah sebagai berikut: Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Memberikan prioritas penyediaan atau peningkatan prasarana dan sarana termasuk meningkatkan keterkaitan spasial antar kawasan dengan kota yang memiliki fungsi pemasaran; b. Mendorong dunia usaha untuk berpartisipasi dalam pengembangan kawasan prioritas dengan memberikan kemudahan sesuai dengan peraturan yang berlaku; c. Mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia; d. Mendorong alokasi dana pada pengembangan kawasan prioritas. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Dati II Labuhan Batu pada kawasan lindung sesuai dengan isi Pasal 18, yaitu kawasan lindung di Kabupaten Dati II Labuhan Batu terdiri dari sebagai berikut: a. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; b. Kawasan perlindungan setempat; c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya. Menurut Pasal 19 bahwa “kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 butir a adalah kawasan hutan lindung yang terletak di Kecamatan Kualuh Hulu, Aek Natas, Na. IX-X, Bilah Barat, Rantau Utara dan Sungai Kanan.” Dalam Pasal 20, kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 butir b di atas, meliputi:
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Kawasan sempadan pantai yang meliputi daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat; b. Kawasan sempadan sungai yang berada di luar pemukiman meliputi kawasan selebar 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai; c. Kawasan sempadan sungai yang berada di dalam kawasan pemukiman harus cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10-15 meter; d. Kawasan sekitar danau/waduk yang meliputi daratan sepanjangtepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat; e. Kawasan sekitar mata air yang meliputi kawasan sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air. Kawasan prioritas di kabupaten daerah tingkat II Labuhan Batu yang perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan terdiri dari: a. Kawasan pengembangan baru, terletak di Kecamatan Kualuh Hilir dan Pantai Hilir dengan kegiatan meliputi pengembangan pertanian pangan lahan basah, perkebunan besar dan perkebunan rakyat, serta perikanan, yang
didukung
oleh
pengembangan
prasarana
transportasi
dan
pengairan; b. Kawasan yang perlu ditangani segera terletak di Kecamatan Aek Natas, Na.XI-X, Kualuh Hulu, Bilah Barat dan sungai kanan, yang berkaitan Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
dengan pengamanan kawasan hutan lindung yang berpotensi konflik dengan
kegiatan
budidaya
yang
merupakan
kantong-kantong
di
dalamnya, yang untuk itu perlu ditegaskan deliniasi secara seksama serta pemberlakuan perangkat insentif dan disinsentif; c. Kawasan pendorong perkembangan yaitu kawasan yang relatif paling maju dan wilayah kabupaten daerah tingkat II Labuhan Batu yang dapat mendorong perkembangan wilayah keseluruhan berupa sumbu wilayah atau
sumbu
koridor
perkembangan
dimana
terdapat
pusat-pusat
menonjol: Rantau Prapat, Aek Kanopan, Aek Nabara, dan Kota Pinang yang perkembangannya di satu pihak diharapkan dapat menyelaraskan perkembangan kawasan-kawasan sekitarnya, di lain pihak perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan permasalahan di kawasan tersebut di kemudian hari seperti menurunnya kondisi lingkungan, kemacetan lalu lintas, penataan lingkungan pemukiman, pengembangan prasarana dan sebagainya. Tabel 1: Daftar Tata Ruang Kabupaten Labuhan Batu 76 Nomor
Uraian
Tahun Penyusunan
1.
Rencana Induk Kota (RIK) Rantauprapat Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Aek Kanopan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kota Pinang Rencana Umum Tata Ruang Detail (RUTRD) Labuhan batu
1980/1981
2. 3. 4.
1989/1990 1990/1991 1991/1992
76
“Daftar Tata Ruang Kabupaten Labuhan Batu”, Dikutip http://bappedalabuhanbatu.com/content.php?id=17, Diakses tanggal 2 Februari 2009.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
dari
Lanjutan Tabel 1 Nomor 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Uraian Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Labuhanbilik Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Rantauprapat Tahap I, II Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Rantauprapat Tahap III, IV, V Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Negeri Lama Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Aek Nabara Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Desa Tanjung Sarang Elang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Langga Payung Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Labuhanbatu Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kotif Rantauprapat Tahap I Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kotif Rantauprapat Tahap II Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Kotif Rantauprapat Tahap III Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Marbau dan Aek Kota Batu Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kawasan Wisata Aek Buru Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kawasan Wisata Aek Pandayangan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Cikampak Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Tanjung Medan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Bandar Durian Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Sungai Berombang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kampung Mesjid Revisi RUTRK Aek Kanopan
Tahun Penyusunan 1991/1992 1991/1992 1992/1993 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1994/1995 1995/1996 1994/1995 1995/1996 1996/1997 1996/1997 1996/1997 1996/1997 1997/1998 1997/1998 1997/1998 1998/1999 1998/1999 1998/1999
Sumber: BAPPEDA Labuhan Batu
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Hutan sebagai paru-paru dunia, dewasa ini merupakan persoalan global Internasional, sehingga dalam upaya penyelamatan dan pelestariaannya dilakukan pemetaan kembali kawasan yang ditetapkan sebagai areal hutan, namun kenyataan di lapangan, tak jarang timbul persoalan baru terkait sengketa agraria tentang telah beralih fungsi dan termanfaatkannya untuk kegiatan di pelbagai sektor. 77 Dalam pemetaan kembali kawasan yang dijadikan sebagai areal hutan di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Labuhanbatu teraplikasi melalui Surat Keterangan (SK) Menhut No. 44 Menhut-II/2005, tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah propinsi Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 Ha. Hal itu merupakan implementasi dan didasari oleh keluarnya Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 923/Kpts/Um/12/1982 lalu. Dimana, sebelumnya sebenarnya telah pernah dilakukan dan ditunjuk kawasan-kawasan sebagai areal hutan di wilayah propinsi Dati II Sumut, versi Menteri Pertanian dengan luas ± 3.780.132,02 Ha. Namun, seiring dengan itu, walau terjadi penyusutan jumlah luasnya, akan tetapi, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor; 7 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sumatera utara Tahun 2003-2018 yang ketika itu ditanda tangani oleh H.Ahmad Azhari selaku Ketua DPRDSU dan Alm.H.Rizal Nurdin sebagai Gubernur Sumut, telah di
77
Dikutip dari http://dammex.blogspot.com/2007/07/sk-menhut-no-44-2005-sengsarakanrakyat.html, Diakses tanggal 2 Februari 2009.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
alokasikan kawasan hutan Propinsi Sumut. Alokasi tersebut terdiri dari sebagai Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam seluas ± 477.070 Ha, Hutan Lindung seluas ±1.297.330 Ha, Hutan Produksi Terbatas ± 879.270 Ha, sedangkan hutan Produksi tetap seluas ±1.035.690 Ha dan hutan Produksi yang dapat di konversi seluas ± 52.760 Ha, sebagai embrio data luas hutan yang diadopsi oleh Menteri Kehutanan, sehingga terlahirlah SK Menteri Kehutanan yang ditanda tangani Menteri Kehutanan RI, H.MS Kaban, tertanggal 16 Pebruari 2005 lalu, untuk penetapan kawasan-kawasan hutan di Sumut. Namun, seiring laju perkembangan di bumi Ika Bina En Pabolo itu, baik semakin luasnya kebutuhan masyarakat guna pemanfaatan dan pembukaan areal hutan sebagai kawasan permukiman untuk areal hunian penduduk maupun pengalihan
fungsi
lahan
hutan
sebagai
perkebunan
dan
perladangan,
memunculkan satu fenomena fundamental tentang bergulirnya kepermukaan berbagai sengketa agraria, baik secara vertikal maupun horizontal. Permasalahan yang muncul adalah, banyak para warga yang telah memanfaatkan dan mengolah areal hutan, baik dalam melakukan aktivitas pembukaan permukiman baru di areal hutan, yang kini telah menjadi tempat permukiman berbagai masyarakat heterogen. Sebelumnya hanya sekelompok komunitas yang berdiam di kawasan bukan hutan itu, kini berkembang dan
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
mengundang kedatangan warga dari luar. Pada akhirnya semakin memacu laju perkembangan pembangunannya. 78 Selain itu, dengan pembukaan kawasan hutan dimanfaatkan sebagai areal perkebunan berbagai komoditas, yang lebih didominasi dalam budidaya tanaman holtikultura berupa kelapa sawit dan karet sebagai tanaman komoditas daerah dengan julukan ‘pedro dollar’. Pembukaan itu dilakukan oleh masyarakat perorangan, maupun pihak swasta dalam negeri (Perusahaan Modal Dalam Negeri/PMDN) dan swasta asing (Perusahaan Modal Asing/PMA) dalam memamfaatkan kawasan hutan dengan jumlah luas ratusan bahkan ribuan hektar. Dalam kenyataannya, kawasan hutan bukaan baru tersebut juga tak jarang mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal ini bermula dari keluarnya ijin pengolahan hutan oleh pihak aparatur pemerintahan terkecil di tingkat pedesaan, hingga keluarnya ijin prinsip dari Pemerintah Kabupaten setempat dan terakhir, teregistrasinya di Badan Pertanahan Negara (BPN) setempat. Akibatnya, memperoleh nomor sertifikasi sebagai kepastian hukum dalam kepemilikan Hak Atas Tanah. Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan ditelurkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005, tentang penetapan kawasan-kawasan sebagai areal hutan, juga memunculkan satu persoalan besar yang mendasar. Sebab, dalam SK tersebut, dengan nyata 78
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
diterapkan beberapa titik dalam koordinat di wilayah Labuhanbatu yang semestinya dibebaskan untuk dijadikan sebagai kawasan-kawasan hutan. 79 Berdasarkan kenyataan yang ada, satu dari beberapa tempat yang dinyatakan sebagai kawasan hutan di Labuhanbatu itu, memicu kekhawatiran para warga yang bermukim di wilayah itu. Contohnya, di kecamatan Kualuh leidong- Labuhanbatu, seribuan warga yang berdiam di daerah itu, walau dengan nyata telah dinyatakan oleh BPN setempat telah memiliki Hak Atas Tanah dengan teregistrasinya dalam format surat yang bernama Sertifikat tanah, akan tetapi, warga yang juga masih dinyatakan sebagai Rakyat Indonesia itu, terpaksa berdelegasi ke DPRD SU, terkait kekhawatiranya bakal di’gusur’ dari daerah itu, karena ditetapkan sebagai kawasan hutan. Munculnya persoalan urgent ini, juga mengundang keprihatinan berbagai element masyarakat, seperti halnya pendapat Jaffar Siddik, wakil Sekretaris The Enteng Center (TEC) ini, mengatakan, Hutan sebagai paru-paru dunia, dalam penyelamatan kelestariannya, kini telah menjadi persoalan bersama-sama, bahkan dengan pihak Internasional. Namun, kuat indikasi disebabkan kurangnya koordinasi lintas sektoral di antara aparatur pemerintahan memicu tidak akurat dan sinkronnya data yang ada, Koordinasi antara pihak Badan Pertanahan Negara di Labuhanbatu dengan pihak Pemerintah setempat, kurang efektif, sehingga menjadi pemicu
79
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
permasalahan. Karena, dalam mengolah data dan informasi seputar pertanahan dan kawasan hutan kurang akurat. Sedangkan para pejabat di daerah itu yang melakukan pembukaan kawasan hutan di kaki bukit barisan yang merupakan sebagai areal tangkapan air di hulu sungai dengan melakukan pembukaan hutan sebagai perkebunan kepala sawit ataupun karet, tidak terdengar diharuskan melakukan pembebasan areal untuk dijadikan sebagai kawasan hutan. 80 Dalam menyikapi persoalan itu ke depan, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labuhanbatu dalam hal ini di bawah kepemimpinan HT.Milwan, agar melakukan penelitian ulang dan meninjau permasalahan di lapangan dan segera merekomendasikannya kepada pihak Menteri Kehutanan. Jangan masyarakat kecil yang menjadi korban dan tergusur dari permukiman mereka. Seyogyanya pihak pemerintah setempat diminta untuk dengan segera melakukan upaya mencari sebuah solusi penyelesaian masalah. Hal senada juga diungkapkan Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Cinta Tanah Air Pantai Area (CTAPA) Labuhanbatu, Lahmuddin Hasibuan mengatakan, ekses dari para aparatur di bidang pertanahan dan aparatur pemerintahan di desa, kurang menguasai dan memiliki data tentang perangkat dan peraturan berlaku dalam pertanahan dan kehutanan di daerah
80
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Labuhanbatu. Hal ini telah memicu munculnya berbagai persoalan agraris di daerah itu. 81 Ekses dari bermunculannya sengketa agraria di Labuhanbatu, pada gilirannya, menempatkan posisi Bupati Labuhanbatu dalam hal ini ‘terjebak’ oleh persoalan-persoalan seputar penyelesaian berbagai sengketa pertanahan yang kian berkembang ke permukaan di daerah itu. Itu semua, dampak dari keteledoran perbuatan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah bawahannya. Pihak aparatur terkait tidak turun ke lapangan dalam melakukan penelitian seputar pemanfaatan dan rencana pengalihan fungsi lahan kawasan hutan menjadi areal permukiman penduduk maupun sebagai kawasan perkebunan. Belum lagi, ekses dari mencuatnya persoalan itu juga menutup akses masyarakat kepada pihak perbankan dalam melakukan transaksi peminjaman keuangan guna memajukan perekonomian. Direktur Lembaga Bina Masyarakat Indonesia (LBMI), Yos Batubara, mengatakan bahwa keputusan Menteri Kehutanan tersebut telah berdampak kepada masyarakat Labuhanbatu oleh karena itu, katanya keputusan tersebut harus segera ditinjau kembali, atau imbuhnya, pihak yang dirugikan tidak tertutup kemungkinan akan melakukan action melalui jalur hukum, sebab, LBMI tengah berkonsentrasi dalam menyusun acuan kepada Pemerintah Kabupaten, Gubernur bahkan Presiden RI untuk mendorong percepatan 81
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
penyelesaian berbagai sengketa konflik pertanahan yang ada khususnya di Labuhanbatu, sebab bila hal ini dapat terwujud maka Labuhanbatu adalah merupakan satu-satunya Kabupaten di Indonesia yang akan memiliki tim penyelesaian sengketa agraria yang di Perdakan. 82 Tabel 2 : Luas hutan Lindung dan 30 % Kawasan DAS berdasarkan Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) 83 SWP (1) Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Nias
Kawasan Lindung (Keppres 32/1990) (Ha) (2) 490.099 81.925 225.650
Tapanuli Utara 246.250 Labuhan Batu 78.650 Langkat 285.000 Karo 54.063 Simalungun 23.125 Dairi 80.625 Deli Serdang 30.238 Asahan 61.575 Total 1.657.200 Sumber : RTRW Propinsi Sumatera Utara
30 % hulu tambahan utk fungsi lindung (3) 170.537 4.510 -
Luas diperlukan untuk kesinambungan hutan lindung (sebagian dari (3)) (4) -
167.526,5 30.938 2.188 12.937 166.678 11.511 78.338,5 28.229 673.693
35.900 35.900
Tabel 3 : Arahan Pengembangan Kawasan Hutan Budidaya 84
SWP Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Nias
Hutan Produksi Terbatas (HA) 323.439 112.190 14.375
Hutan Produksi tetap (HA) Existing
30% Pelindung DAS
Total
119.375 3.250
170.537 1.510 12.937
289.912 4.510 16.187
Hutan Konversi 10.625 3.000
82
Ibid. Dikutip dari situs http://www.bainfokom-sumut.co.id/, Diakses tanggal 2 Februari 2009 84 Ibid. 83
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Lanjutan Tabel 3 SWP
Hutan Produksi Terbatas (HA)
Hutan Produksi Tetap (HA) Existing
Tapanuli Utara 95.000 62.344 Labuhan Batu 75.000 5.625 Langkat Karo 40.000 18.880 Simalungun 81.250 15.000 Dairi 35.625 3.750 Deli Serdang 6.250 Asahan 12.750 Total 784.129 240.774 Sumber : RTRW Propinsi Sumatera Utara
30% Pelindung DAS 167.527 11.511 2.188 30.938 130.778 78.338 28.279 637.493
Hutan Konversi Total 223.950 17.176 2.188 49.618 15.000 134.528 78.338 41.029 872.367
30.625 6.000 50.250
Arahan pola pengelolaan kawasan lindung mencakup: 85 a. Arahan pola pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya yang terdiri dari kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air; b. Arahan pola pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan setempat yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau dan waduk serta kawasan sekitar mata air; c. Arahan pola pengelolaan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; d. Arahan pola pengelolaan kawasan rawan bencana lingkungan. Arahan pola pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya didasarkan atas strategi berikut:
85
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Mempertahankan keberadaan hutan lindung sebagai hutan dengan tutupan vegetasi tetap; b. Mempertahankan
fungsi
hutan
lindung
sebagai
pengatur
tata
air,
pencegahan banjir, dan erosi; c. Mempertahankan keberadaan hutan lindung agar kesuburan tanah pada hutan lindung dan daerah sekitarnya dapat terpelihara; d. Melindungi ekosistem bergambut yang khas serta mengkonservasi cadangan air tanah; e. Memberikan ruang yang memadai bagi peresapan air hujan pada zona-zona resapan air tanah untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir. 86 Arahan pola pengelolaan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (c) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup didasarkan atas strategi berikut: a. Melestarikan Taman Nasional dengan segenap kekhasan ekosistemnya; b. Melestarikan cagar alam beserta segenap flora didalamnya yang tergolong unik/langka; c. Melestarikan suaka margasatwa beserta segenap fauna di dalamnya yang tergolong unik/langka; d. Melestarikan taman wisata alam/taman buru dengan segenap keunikan alam dan ekosistemnya sehingga dapat dikembangkan sebagai obyek wisata; 86
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
e. Melestarikan
cagar
budaya
yang
berisikan
benda-benda
bersejarah
peninggalan masa lalu, berikut segenap adat istiadat, kebiasaan dan tradisi setempat yang unik; f. Melestarikan kawasan hutan bakau sebagai tempat pemijahan ikan/udang, filter pencemar, dan penahan ombak/arus laut. Arahan pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (d) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup didasarkan atas strategi berikut : a. Melindungi masyarakat dari ancaman dan gangguan langsung maupun tidak langsung terhadap kerawanan bencana lingkungan; b. Melindungi asset-asset sosial ekonomi masyarakat yang berupa prasarana, permukiman, dan kawasan budidaya dari gangguan dan ancaman bencana lingkungan. 87 Evaluasi RTRW Kabupaten Labuhan Batu Tahun 1996-2006 Rekomendasi Umum Peninjauan kembali dan Penyusunan (Review) Rencana Tata Ruang Wilayah adalah suatu kegiatan dalam sistem penataan ruang. Seperti yang digariskan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penataan ruang terdiri dari tiga tahapan yaitu Perencanaan, Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Ruang yang didasarkan pada Rencana Tata Ruang.
87
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Peninjauan kembali merupakan upaya memperbaiki rencana agar rencana selalu dapat digunakan sebagai dasar untuk pemanfaatan ruang dalam mewujudkan tujuan pembangunan. Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan Pola dan Struktur Ruang yang diinginkan di masa yang akan datang yang paling tepat untuk mewujudkan tujuan pembangunan di suatu wilayah. Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang dilakukan pengkajian aspek-aspek sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan, perumusan konsepsi dan strategi yang didasarkan pada asumsi tertentu dan faktor dinamika sosial yang bersifat internal maupun eksternal terhadap wilayah. Dalam perjalanan pemanfaatan rencana sebagai dasar pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang dapat terjadi berbagai kemungkinan yaitu antara lain: 1. Perubahan faktor eksternal terhadap wilayah seperti perkembangan ekonomi nasional dan global, perubahan kebijaksanaan sektor dan perubahan tata ruang wilayah provinsi. 2. Perubahan kondisi-kondisi internal seperti gempa bumi, keinginan daerah, perkembangan yang sangat pesat dari suatu sektor atau kawasan dalam suatu wilayah 3. Kekurangtepatan menggunakan rencana dan pengendalian sehingga terjadi penyimpangan. Keseluruhan ini dapat menyebabkan kemungkinan : a. Terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pemanfaatan karena kelemahan dalam
pengendalian,
meskipun
rencana
tata
ruang
masih
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
dapat
mengakomodasikan dinamika perkembangan yang bersifat eksternal dan internal b. Rencana tata ruang tidak dapat lagi mengakomodasikan dinamika perkembangan yang bersifat eksternal dan internal. Untuk kondisi yang pertama maka tidak perlu dilakukan peninjauan kembali tetapi yang dibutuhkan adalah penertiban. Dalam hal ini penertiban dapat mencakup : a. Perubahan pemanfaatan untuk menjaga konsistensi rencana b. Penyempurnaan mekanisme pengendalian Untuk kondisi yang kedua dapat mempengaruhi rencana tata ruang yang ada sehingga perlu ditinjau kembali atau disempurnakan agar diperoleh rencana yang selalu dapat mengakomodasikan dinamika perkembangan faktor eksternal dan atau internal. Adanya perubahan faktor eksternal dan internal ini dapat mempengaruhi Rencana Tata Ruang eksisting sehingga tidak relevan lagi sebagai acuan pemanfaatan ruang. Perubahan dan pengaruhnya tidak selalu sama, namun kadarnya dapat bervariasi. Oleh karena itu dibutuhkan kriteria mengenai ketentuan-ketentuan dan tata cara peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah. Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara ini menjadi dasar untuk menentukan kapan suatu rencana perlu ditinjau kembali, sejauh mana ditinjau dan bagaimana proses penyempurnaan dan pengesahan rencana. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dibutuhkan suatu pedoman yang dapat digunakan sebagai dasar untuk Peninjauan Kembali dan Penyusunan Rencana Tata Ruang Kabupaten dalam satu kesatuan. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Petunjuk ini selanjutnya menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten untuk menentukan apakah RTRW yang bersangkutan perlu disempurnakan dan bagaimana cara penyempurnaan rencana. Faktor-Faktor Evaluasi Umum Pemanfaatan RTRW Kabupaten tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan yaitu rencana dapat berfungsi secara tepat sebagai acuan spasial pembangunan dimana seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat, swasta dan pemerintah dapat mewujudkan terbentuknya tata ruang yang diinginkan. Seringkali terdapat hambatan, batasan, kendala yang disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar, sehingga menimbulkan adanya ketidaksesuaian atau penyimpangan antara rencana yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan. Faktor-faktor inilah yang sebenarnya menjadikan kegiatan peninjauan kembali menjadi suatu aktivitas yang penting dilakukan secara berkala dalam proses penataan ruang. 1. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar sistem yang ada di wilayah kabupaten, seperti: a. Adanya perubahan dan atau penyempurnaan peraturan dan atau rujukan sistem penataan ruang yang berlaku dan mengikat bagi provinsi atau nasional dan belum digunakan dalam penyusunan rencana tata ruang sebelumnya, seperti adanya PERDA no. 7 tahun 2003 tentang RTRWP Sumatera Utara b. Adanya perubahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang dan atau sektoral dari tingkat nasional/provinsi yang berdampak pada alokasi kegiatan yang Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
memerlukan ruang berskala besar, yang harus diakomodasikan oleh kabupaten, sehingga praktis akan tejadi pelaksanaan pemanfaatan ruang yang tidak mengacu lagi pada rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang sudah ada dalam RTRW Kabupaten. Hal ini juga sebagai dampak berlakunya PERDA No. 7 Tahun 2003. c. Adanya ratifikasi kebijaksanaan global yang mengubah paradigma-paradigma sistem pembangunan dan pemerintahan yang sedang berlaku pada umumnya, dan paradigma perencanaan tata ruang yang digunakan dalam penyusunan rencana tata ruang tersebut pada khususnya, rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ada dalam RTRW akan menjadi tidak relevan sehingga seringkali sia-sia untuk mempertahankannya d. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dan seringkali radikal dalam hal memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan, oleh karena itu perlu diantisipasi untuk optimisasi struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ada e. Adanya bencana alam yang cukup besar sedemikian sehingga mengubah struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ada, dan memerlukan realokasi kegiatan budidaya maupun lindung yang ada untuk kepentingan pembangunan pasca bencana tersebut.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
2. Faktor Internal Faktor internal berasal dari wilayah kabupaten antara lain: a. Kualitas RTRW Kabupaten yang ada rendah sehingga kurang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penertiban perizinan lokasi pembangunan dan kurang dapat digunakan untuk optimasi perkembangan dan pertumbuhan aktivitas sosial ekonomi yang berlangsung cepat dan dinamis yang secara fisik terus meningkatkan kebutuhan ruang. b. Masih kurangnya pengertian dan atau komitmen aparat yang terkait dengan tugas penataan ruang, mengenai fungsi dan kegunaan RTRW Kabupaten dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga tingkat partisipasinya dalam penyusunan RTRW sendiri maupun pendayagunaannya bagi seluruh pembangunan daerah rendah, bahkan seringkali penertiban izin lokasi berlawanan dengan rencana pemanfaatan dan struktur ruang yang telah ada. c. Adanya perubahan sektoral yang terjadi di wilayah kabupaten akibat adanya pergeseran penggunaan ruang dalam skala besar seperti penggunaan tanah sehingga pola pemanfaatan ruang yang ada mencakup peruntukan kawasan hutan tidak sesuai lagi dengan kondisi faktual yang ada. d. Adanya kekurangtegasan para aparat yang berwewenang dalam pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya dalam tindakan penertiban pemanfaatan ruang sehingga simpangan yang terjadi sedemikian jauh yang mengakibatkan rencana tata ruang harus diubah.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
e. Terjadinya pemekaran wilayah kecamatan yang semula berjumlah hanya 14 wilayah administratif menjadi 22 wilayah administratif kecamatan yang berpengaruh terhadap pusat-pusat pelayanan dan pembentukan wilayah pengembangan. 3. Kajian Perlunya Revisi RTRW Kabupaten Kajian menentukan perlu tidaknya peninjauan kembali dilakukan meliputi: a. Pertimbangkan untuk melakukan peninjauan kembali dilakukan apabila RTRW Kabupaten tidak sah dan kebijaksanaan eksternal berubah, karena meskipun pemanfaatan benar maka RTRW Kabupaten tidak dapat berfungsi lagi sebagai matra spasial pembangunan. Sebaliknya apabila RTRW perlu dipertahankan sehingga yang dilakukan adalah penertiban yang perupakan tindakan administrasi, perdata dan pidana seperti yang dijelaskan pada UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang b. Meskipun RTRWK ada kekurangan dan ada perubahan faktor eksternal, masih perlu diperiksa apakah RTRWK perlu ditinjau kembali. Hal ini mengakibatkan
perubahan
tertentu
masih
dapat
ditoleransi
dengan
mempertimbangkan waktu dan biaya peninjauan kembali terhadap resiko apabila tidak dilakukan perubahan RTRWK. Untuk itu dibutuhkan kriteria yang indikasinya sebagai berikut: 1. Terjadinya
perubahan
kebijaksanaan
pemerintah/sektoral
untuk
pembangunan skala besar atau kegiatan penting sehingga tidak dapat ditampung oleh pola dan struktur ruang RTRWK yang ada, dimana Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
perubahan tersebut akan mengganggu rencana pola dan struktur ruang sehingga dapat menurunkan efisiensi pembangunan dan kerusakan lingkungan 2. Terjadinya perubahan oleh faktor internal dalam pembangunan wilayah kabupaten karena adanya perubahan preferensi, perkembangan kawasankawasan yang tidak dipertimbangkan sebelumnya 3. Terjadinya simpangan besar dalam pola pemanfaatan dan struktur ruang yang disebabkan adanya penggunaan lahan yang tidak sesuai atau terjadinya penyimpangan pemberian izin lokasi pembangunan dan kurang tanggapnya pemerintah daerah terhadap dinamika pembangunan. 4. Kriteria Peninjauan Kembali Ketentuan mengenai adanya perubahan faktor eksternal dan internal antara lain: 1. Terdapat rujukan baru akibat perkembangan wilayah administratif 2. Terdapatnya kebijakan dan peraturan baru, baik oleh pemerintah pusat, daerah maupun sektoral. Kebijakan baru ini seringkali menerbitkan strategi perwilayahan di daerah, baik secara nasional, provinsi dan kabupaten dan perubahan bentuk kebijaksanaan dari Pola Dasar menjadi rujukan baru yaitu Rencana Strategis – Program Pembangunan Daerah (Renstra – Propeda) Kabupaten Labuhan Batu. 3. Terjadinya perubahan-perubahan dinamis akibat kebijaksanaan maupun pertumbuhan pusat ekonomi yang baru.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Berdasarkan hal di atas maka dapat dirumuskan bahwa perubahan signifikan yang menyebabkan perlunya tinjauan kembali RTRW Kabupaten Labuhanbatu adalah seperti yang tersaji dalam Tabel 4 dibawah ini Tabel 4: Review Kondisi RTRWK Labuhan Batu 1996-2006 Kondisi Kondisi No.
Faktor
RTRWK 1996-
Keterangan Tahun 2004
2006 A.
Eksternal
1.
PERDA
Menggunakan
PERDA
No.7 Perlunya
kajian
No.7/2003
RTRWP 1997
Tahun
2003 lebih
dilevel
2.
tentang
kabupaten
RTRWP
berpedoman
Sumut
RTRWP terbaru AFTA dan WTO
Globalisasi sektor
Masih bersifat
Sudah bersifat
Perekonomian
lokal dan
lintas negara
regional 3.
Kebijakan strategi Pola Dasar
Propeda-
pembangunan
Pembangunan
Renstra
14 kecamatan
22 kecamatan
B.
Internal
1.
Wilayah Kecamatan
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
yang ke
Lanjutan Tabel 4 No
Faktor
Kondisi
Kondisi
RTRWK 1996-
Tahun 2004
Keterangan
2006 2.
Pusat
3 WP/Pembantu
Pembantu
Berkembangnya
Pertumbuhan
Bupati
Bupati
pusat pertumbuhan
dihapus,
baru
antisipasi wilayah pemekaran 3.
4.
Tata Jenjang
1 kota Orde I
Pesatnya
Berkembangnya
Pusat Pusat
3 kota Orde II
pertumbuhan
pusat pertumbuhan
Pelayanan
3 kota Orde III
kota/desa
baru
Sektoral:
MengacuTGHK
Perubahan
Perlunya kajian
kawasan hutan
kawasan hutan
*910.497 jiwa
*Merupakan data
Kehutanan 5.
Jumlah Penduduk
765.000 jiwa
tahun 2003
Tabel tersebut menunjukkan beberapa faktor besar yang digunakan untuk mempertimbangkan adanya revisi rencana tata ruang Kabupaten Labuhanbatu. Untuk mengetahui substansi yang menjadikan perlunya revisi suatu rencana tata ruang
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
adalah perubahan dalam alokasi pemanfaatan ruang itu sendiri, sehingga kepuasan tentang perbandingan pemanfaatan ruang antara Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Labuhanbatu tahun 1996-2006 dengan alokasi pemanfaatan ruang pada RTRWP Sumatera Utara berdasarkan PERDA No 7 tahun 2003 serta kondisi eksisting yang ada sekarang. Tabel berikut menjelaskan beberapa perbandingan pemanfaatan ruang seperti yang dimaksud. Tabel 5 : Substansi Ruang yang Mempengaruhi Perlunya Revisi RTRWK 1996-2006 RTRWK PERDA No 7 Kondisi No
Substansi Ruang
Labuhanbatu Tahun 2003
Eksisting
108.013 ha
74.635 ha
Budidaya 135.524,5 ha
158.672,92 ha
109.767 ha
Budidaya 62.153 ha
165.433 ha
163.696 ha
385.783 ha
423.164 ha
-
22
1996-2006 1
Hutan
Lindung
/ 81.958 ha
Kawasan Lindung 2
Kawasan Hutan
3
Kawasan
Pertanian Pangan 4
Kawasan
Budidaya 415.371,91 ha
Perkebunan 5
Jumlah Kecamatan
14
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Substansi ruang yang tercantum di atas merupakan kategori pokok saja yang menjadi penciri khas pola pemanfaatan ruang. Data tersebut belum termasuk penggunaan-penggunaan lainnya. Urusan
wajib
penataan
ruang
dilaksanakan
dengan
tujuan
untuk
mengintegrasikan penyusunan, pelaksanaan dan pengendalian rencana Tata Ruang sehingga ruang dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berwawasan lingkungan. Sasaran yang ingin dicapai dari Urusan Wajib Penataan Ruang adalah terintegrasinya Rencana Tata Ruang untuk menjamin keterpaduan antar wilayah dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan pembangunan dapat efektif dan efisien. Untuk mencapai sasaran tersebut dialokasikan dana sebesar Rp. 310.077.300,- (tiga ratus sepuluh juta tujuh puluh tujuh ribu tiga ratus rupiah) dan telah direalisasikan sebesar Rp. 15.293.500,- (lima belas juta dua ratus sembilan puluh tiga ribu lima ratus rupiah) atau 4,93 %. 88 Program dan Kegiatan Program dan kegiatan pada urusan wajib penataan ruang seluruhnya dilaksanakan oleh Dinas Kimprasda yaitu Program Perencanaan Tata Ruang, dengan alokasi dana sebesar Rp. 310.077.300,- (tiga ratus sepuluh juta tujuh puluh tujuh ribu tiga ratus rupiah) dan telah direalisasikan sebesar Rp. 15.293.500,- (lima belas juta dua ratus sembilan puluh tiga ribu lima ratus rupiah) atau 4,93 %, untuk 88
Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Labuhan Batu tahun anggaran 2008, kepada DPRD Kabupaten Labuhan Batu, Rantau Prapat, Maret 2009. Hal. IV-33.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
melaksanakan kegiatan secara keseluruhan tidak terealisasi atau capaian keluarannya nol. Kegiatan tersebut adalah: 89 Tabel 6 : Kegiatan Secara Keseluruhan tidak terealisasi atau capaian Keluarannya nol No
Uraian
01
Sosialisasi Peraturan Perundangundangan tentang Rencana Tata Ruang Revisi Rencana Tata Ruang
02 03 04
Pelatihan Aparat dalam Perencanaan Tata Ruang Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Rencana Tata Ruang Realisasi rata-rata Program
Realisasi Cap. Keluaran (%) 0,00
Realisasi Anggaran (%) 0,00
0,00
10,20
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
4,93
Permasalahan yang dihadapi pada pelaksanaan urusan wajib Penataan Ruang antara lain: 1. Rencana tata ruang yang ada belum sepenuhnya menjadi pedoman karena belum mendapatkan pengesahan melalui Peraturan Daerah. 2. Belum terbentuknya Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah, sehingga pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang masih belum berjalan sebagaimana mestinya. 3. Dilihat dari kedalaman materinya Rencana Tata Ruang yang ada belum memadai.90 Untuk mengatasi permasalahan yang ada perlu ditempuh upaya sebagai berikut:
89 90
Ibid. Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Menyusun Perda untuk Rencana Tata Ruang Kabupaten dan beberapa rencana Tata Ruang Ibukota Kecamatan b. Menyusun Rencana Tata Ruang pada Ibukota Kecamatan yang belum memiliki Rencana Tata Ruang. c. Mensosialisasikan Rencana Tata Ruang agar dapat dipedomani secara luas. d. Membentuk Badan koordinasi Tata Ruang untuk meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. e. Menyusun Rencana Tata Ruang yang lebih detail. 91 Jadi berdasarkan penelitian diatas dapat dikatakan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Labuhan Batu belum berjalan sebagaimana mestinya dan belum mengacu kepada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, banyak terjadi deviasi/ penyimpangan dari UU tersebut.
91
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
BAB III PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN LINGKUNGAN UNTUK PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LABUHAN BATU
A. Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang Dalam perjalanan perencanaan kota dan wilayah, dilakukan berbagai upaya pendekatan dengan terminologi baru seperti bottom up planning, participatory planning, democratic planning, grass root planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan sebagainya yang menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar, yaitu demokrasi, dimana anggota masyarakat harus memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka. 1. Filosofi Peran Serta Masyarakat (PSM) Pada tahun 1987 John Friedman mendefinisikan labih luas mengenai planning, yaitu sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan sosial dan proses transformasi sosial. Dikaitkan dengan kelembagaan, sistem perencanaan diklasifikasikan menjadi sebagai berikut: a) Perencanaan sebagai social reform. Dalam sistem ini, peran pemerintah sangat dominan. Sifat perencanaan: centralized, for people, top-down, berjenjang, dan dengan politik terbatas.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
b) Perencanaan sebagai policy analysis. Dalam sistem ini, pemerintah bersama stakeholders memutuskan permasalahan dan menyusun alternatif kebijakan. Sifat perencanaan ini: decentralized, with people, scientific, dan dengan politik terbuka. c) Perencanaan sebagai social learning. Dalam sistem ini pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan: learning by doing, decentralized, by people, bottom-up, dan dengan politik terbuka. d) Perencanaan
sebagai
social
transformation.
Perencanaan
ini
merupakan kristalisasi politik yang didasarkan pada ideologi ‘kolektivisme komunitarian’. 92 Model-model perencanaan sebelumnya dapat diparalelkan dengan klarifikasi sistem perencanaan menurut kelembagaan ini. Model synoptic misalnya dapat dikategorikan perencanaan sebagai sosial reform. Sementara itu, transactive planning dikategorikan perencanaan sebagai
social
learning,
dan
radical
planning
dalam
kategori
perencanaan sebagai social transformation. 2. Konsepsi Peran Serta Masyarakat Beberapa konsep pokok yang digunakan dalam penyusunan konsep
prosedur
peran
serta
masyarakat
meliputi:
peran
92
serta
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah (Dalam Konteks UUPA-UUPRUUPLH), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hal. 107.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
masyarakat,
stakeholders
dalam
perencanaan
tata
ruang
kota,
kepentingan umum (public interest), dan good governance. a. Peran Serta Masyarakat Menurut Kamus Tata Ruang 93 , peran serta masyarakat diartikan: berbagai kegiatan orang seorang, kelompok atau badan hukum yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Pengertian ini sama dengan yang tertera dalam UU Nomor 24 Tahun 1992 dan PP Nomor 69 Tahun 1996. Di Eropa istilah peran serta masyarakat lebih populer dengan istilah public participation,
sedangkan
di
Amerika
Serikat
disebut
citizen
participation, namun keduanya mengandung makna yang sama, yaitu sebagai proses yang memberikan peluang bagi masyarakat (citizens) untuk
mempengaruhi
keputusan-keputusan
publik
(public
decisions) 94 . b. Stakeholders Dalam Penataan Ruang Kota Pengertian masyarakat dalam konteks penataan ruang kota sangat luas sehingga sulit untuk melibatkannya secara keseluruhan. Oleh karena itu, muncul apa yang disebut dengan stakeholders. Pengertian stakeholders mengarah kepada konsep kepemilikan 93
Kamus Tata Ruang Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan IAP, edisi pertama, 1998, hal. 79. 94 Yeung and Mc Gee, Lihat www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
(ownership),
tetapi
terpengaruh
oleh
dengan suatu
perluasan
kepada
tindakan/usaha
mereka
sehingga
yang
dianggap
mempunyai hak untuk dikonsultasi, menyatakan pendapatnya, dan secara umum supaya kepeduliannya (concern) diperlakukan secara sungguh-sungguh. Dalam proses, mereka yang berkepentingan atas suatu tindakan akan terseleksi secara alamiah. 95 Secara sederhana, mereka yang berkepentingan di dalam penataan ruang wilayah kota, dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu antara lain: 96 1) Kelompok pertama, yaitu kelompok dominan atas kegiatan ekonomi dan pencari untung. Kelompok ini terdiri atas para developers, pemerintah daerah yang berkepentingan dengan retribusi perizinan, tuan tanah, organisasi keuangan (bank, asuransi, yayasan dana pensiun, dan lain-lain), dan spekulen tanah. 2) Kelompok kedua, yaitu peserta kelembagaan, terdiri atas serikat pekerja, (buruh, dan lain-lain), organisasi dan yayasan sosial nirlaba, kelompok agama, LSM, orsos/ormas. 3) Kelompok ketiga, yaitu masyarakat secara luas, yang berhubung tidak mungkin melibatkan semuanya dalam suatu proses.
95 96
Heru Purboyo, Lihat www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009, Ibid. Johnson, Lihat www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009, Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Syahrul mengemukakan istilah “Pilar Pengelola Ruang”, yang dulu terdiri atas tiga pilar (pemerintah-investor-DPRD/masyarakat), kemudian berkembang menjadi lima (eksekutif-DPRD-LSM/Persinvestor-masyarakat), dan pada masa yang akan datang peran serta masyarakat semakin meningkat dengan keikutsertaan kelompokkelompok yang ada dalam masyarakat seperti ormas, pers, PSM, dan sebagainya
membentuk
enam
pilar
yaitu
eksekutif-DPRD-
LSM/Ormas-Asosiasi Lokal-Pers-Investor. c. Kepentingan Umum (Public Interest) Public participation terkait erat dengan konsep public interest. Konseptualisasi public interest membawa implikasi tertentu dalam praktik perencanaan dan menjadi pertimbangan bagi public planning untuk berupaya memperbaiki hal-hal yang menjadi kepentingan publik. Dengan demikian, para perencana (planners) harus peduli untuk membantu mengarahkan agar urban decision making merefleksikan nilai-nilai komunitas (community values) melalui rational planning, dengan asumsi bahwa public interest merupakan sesuatu yang terlambat dapat diidentifikasi 97 . Public interest mencakup public goods dan public policy.
97
Oosthuizen, Lihat www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009, Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
3. Dasar Hukum Di Tingkat Nasional Dasar hukum pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang adalah UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Pasal 4, 5, dan 6), dan sebelumnya telah muncul dalam konteks lain melalui UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang pada saat ini telah disempurnakan dan diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 1997 (yang paling terkait pada Bab III mengenai Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat). Khusus dalam penataan ruang dan/atau lingkungan, UU No. 4 Tahun 1982 kembali memunculkan keterlibatan/peran serta aktif masyarakat dalam bentuk hak dan kewajiban setiap orang dalam penataan lingkungan dan/atau ruang setelah SVO 1948. Berangkat dari ketentuan tersebut, otoritas pemerintah dibatasi secara prosedural dengan kewajiban mengikutsertakan masyarakat, baik orang-perorang maupun badan hukum, dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian lingkungan dan/atau ruang. Mengingat UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai acuan dasar dari UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ketentuan hak dan kewajiban masyarakat menjadi jiwa UU Penataan Ruang. Beberapa ketentuan penting yang ada pada UU No. 23 Tahun 1997 Penataan Ruang (sebagai penyempurnaan dari ketentuan pada Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Pasal 5, 6, dan 7 UU No. 4 Tahun 1982) dan terkait dengan aspek peran serta masyarakat adalah sebagai berikut. Pasal 5 UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menyebutkan: (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup; (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menyebutkan: (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup
serta
mencegah
dan
menanggulangi
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup; (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Pasal 7 UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menyebutkan: (1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluasluasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup; (2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara: (a) Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; (b) Menumbuhkembangkan
kemampuan
dan
kepeloporan
masyarakat; (c) Menumbuhkan
ketanggapsegeraan
masyarakat
untuk
melakukan pengawasan sosial; (d) Memberikan saran pendapat; (e) Menyampaikan
informasi
dan/atau
menyampaikan
laporan. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang seperti yang diamanatkan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditindaklanjuti dengan turunnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Peraturan Pemerintah
tersebut
telah
ditindaklanjuti
dengan
diterbitkannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 1998 Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah sebagai pelaksanaan Pasal 24 dan 27 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996. Pengertian “peran serta masyarakat” menurut PP Nomor 69 Tahun 1996 (Bab I Pasal 1 butir 1) lebih diarahkan untuk “peran serta bebas”, dan lebih tegas lagi “peran serta spontan” karena ditekankan pada berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Sebagai konsekuensi, pemerintah berkewajiban untuk menampung kehendak dan keinginan berperan serta masyarakat tersebut sejak rencana tata ruang disusun. Sebagian besar isi pasal tersebut di atas merupakan proses “pembantuan masyarakat kepada penataan ruang” dan “penyuluhan penataan ruang kepada masyarakat”. Dalam perencanaan misalnya, bentuk peran serta masyarakat yang diindikasikan dalam PP tersebut di antaranya (pasal-pasal di Bab III dari PP 69 Tahun 1996): a) Pemberian masukan dalam penentuan arah pengembangan; b) Pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan; c) Pemberian masukan dalam perumusan rencana tata ruang; d) Pemberian informasi, saran pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan strategi dan arah kebijaksanaan pemanfaatan ruang; Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
e) Pengajuan keberatan terhadap rancangan rencana; f) Kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; g) Bantuan tenaga ahli. Khusus dalam penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan seperti yang akan dilakukan dalam konteks penyusunan Rencana Detail (Pasal 18) adalah: a) Pemberian kejelasan hak atas ruang kawasan; b) Pemberian informasi, saran, pertimbangan, atau pendapat dalam penyusunan rencana pemanfaatan ruang; c) Pemberian tanggapan terhadap rancangan rencana rinci tata ruang kawasan; d) Kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; e) Bantuan tenaga ahli; dan/atau f) Bantuan dana. Sementara itu, dalam Peraturan Pemerintah disebutkan bahwa instansi
yang
berwenang
menyelenggarakan
pembinaan
untuk
menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran, memberdayakan, dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat dalam penataan ruang; bertugas, dan berfungsi (Pasal 30 ayat 4), untuk: a) Memberikan
dan
menyelenggarakan
penyuluhan,
bimbingan,
dorongan, pengayoman, pelayanan, bantuan teknik, batuan hukum, pendidikan, dan/atau pelatihan; Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
b) Menyebarluaskan semua informasi mengenai proses penataan ruang kepada masyarakat secara terbuka; c) Mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat; d) Menghormati hak yang dimiliki masyarakat; e) Memberikan penggantian yang layak kepada masyarakat atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; f) Melindungi hak masyarakat untuk berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, menikmati pemanfaatan ruang yang berkualitas dan pertambahan nilai ruang akibat rencana tata ruang yang ditetapkan serta dalam menaati rencana tata ruang; g) Memerhatikan dan menindaklanjuti saran, usul, atau keberatan dari masyarakat dalam rangka peningkatan mutu penataan ruang. Sebagian besar isi Peraturan Pemerintah mengatur proses; pembantuan masyarakat kepada penataan ruang; dan penyuluhan penataan ruang kepada masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal peran sertanya, masyarakat ditempatkan sebagai pihak yang dikonsultasi oleh pemerintah. Dalam versi PP Nomor 69 Tahun 1996, kerja sama yang dimaksudkan adalah kerja sama antara masyarakat dan semua pihak yang terkait dalam proses perencanaan tata ruang wilayah.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Kemudian, tata cara dan forum dan/atau wadah formal untuk pelaksanaan proses serta prosedur peran serta masyarakat ini secara khusus diatur dalam Permendagri Nomor 9 Tahun 1998, yang mencakup tahapan perencanaan tata ruang yang dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu: a) Persiapan; b) Penentuan arah pengembangan; c) Identifikasi potensi dan masalah pembangunan; d) Perumusan perencanaan tata ruang; e) Penetapan rencana tata ruang. 4. Dasar Hukum Di Tingkat Daerah Dalam Permendagri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah, tingkatan peran serta yang diberikan kepada masyarakat tidak lebih dari yang diatur dalam PP Nomor 69 Tahun 1996 (Pasal 5). Aturan yang ditambahkan yang menjadi objek peran serta masyarakat, serta aspek formal institusionalnya, begitu pula ruang geraknya dalam tahapan-tahapan penataan ruang kota terdapat kesenjangan antara kebatasan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan tuntutan masyarakat untuk berperan serta.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
B. Prosedur Peran Serta Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang Bagian penting dalam ketentuan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang adalah penetapan prosedur yang harus dilalui. Berkaitan dengan berbagai aspek keserasian yang berbeda untuk setiap jenjang rencana tata ruang yang ada di Labuhan Batu, prosedur tersebut sedikitnya juga akan mempunyai perbedaan antar jenis/jenjang rencana. a. Prosedur PSM Penyusunan RTRW Provinsi Prosedur PSM dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi adalah sebagai berikut: 1) Pemerintah
Provinsi
mengumumkan
kepada
masyarakat
mengenai rencana untuk menyusun, mengevaluasi, meninjau kembali atau mengubah RTRW Provinsi; 2) Bapeda
menyelenggarakan
lokakarya
I
yang
mengundang
stakeholders/ kelompok serta yang relevan untuk memutuskan beberapa pilihan mengenai visi, misi, tujuan, strategi, dan kebijaksanaan/kebijakan pembangunan kota; 3) Penyusunan angket dari hasil lokakarya I untuk disebarluaskan hingga tingkat kelurahan untuk menjaring pilihan masyarakat; 4) Hasil angket diolah untuk menyusun laporan akhir sementara; 5) Bapeda menyelenggarakan lokakarya II untuk konsultasi teknis dengan instansi terkait; 6) Penyempurnaan rancangan rencana; Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
7) Pelaksanaan ekspose publik di tempat-tempat umum yang strategis (termasuk situs website pemerintah daerah) selama satu bulan untuk memperoleh tanggapan publik, baik tertulis maupun lewat media lain seperti telepon, faksimili, electronic mail (email), dan lain-lain yang dibuat secara sah dan bertanggung jawab; 8) Berdasarkan hasil tanggapan/umpan balik tersebut, dilaksanakan dengar pendapat publik (public hearing) di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti dengan penyusunan rancangan rencana akhir; 9) Penetapan dan pengesahan rencana tata ruang wilayah provinsi ke dalam Peraturan Daerah dan diundangkan dalam Lembaran Daerah. b. Prosedur PSM Penyusunan RTRW Kotamadya/Kabupaten Prosedur PSM dalam menyusun rencana tata ruang wilayah kotamadya/kabupaten ditempuh sebagai berikut. 1) Pemerintah
kotamadya/kabupaten
mengumumkan
kepada
masyarakat mengenai rencana untuk menyusun, mengevaluasi, meninjau kembali atau mengubah RTRW kotamadya/kabupaten; 2) Bapeko
menyelenggarakan
stakeholders/
kelompok
kotamadya/kabupaten
lokakarya serta
untuk
yang
I
yang relevan
memutuskan
mengundang di
tingkat
beberapa
pilihan
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
mengenai
visi,
misi,
tujuan,
strategi,
dan
kebijaksanaan/
kebijakan, program-program pembangunan kota; 3) Penyusunan angket dari hasil lokakarya I untuk disebarluaskan hingga tingkat rukun warga untuk menjaring pilihan masyarakat; 4) Hasil angket diolah untuk menyusun laporan akhir sementara; 5) Bapeko (dan Bapeda) menyelenggarakan lokakarya II untuk konsultasi teknis dengan instansi terkait; 6) Penyempurnaan rancangan rencana; 7) Pelaksanaan ekspose publik di tempat-tempat umum yang strategis di wilayah kotamadya/kabupaten selama satu bulan untuk memperoleh tanggapan publik, baik tertulis maupun lewat media lain seperti telepon, faksimili, electronic mail (e-mail), dan lain-lain yang dibuat secara sah dan bertanggung jawab; 8) Berdasarkan hasil tanggapan/umpan balik tersebut, dilaksanakan dengar pendapat publik (public hearing) di depan Sidang Dewan Perwakilan
Rakyat
Daerah
dan
ditindaklanjuti
dengan
penyusunan rancangan rencana akhir; 9) Penetapan
dan
pengesahan
kotamadya/kabupaten
ke
rencana
dalam
tata
Peraturan
ruang
wilayah
Daerah
diundangkan dalam Lembaran Daerah.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
dan
c. Prosedur PSM Penyusunan RTRW Kecamatan/Kawasan Prosedur PSM dalam menyusun Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kecamatan ditempuh sebagai berikut. 1) Pengumuman kepada masyarakat (melalui media massa, papan pengumuman
di
tempat-tempat
strategis,
memanfaatkan
organisasi masyarakat yang ada, kontak personal atau pos/drop komando lapangan in center); 2) Menentukan metode pengumpulan data yang dirasa paling tepat untuk
kecamatan
yang
bersangkutan
(penyebaran
angket,
wawancara perorangan, konsultasi informasi, observasi langsung, activity log, behavioral mapping, panel diskusi, road show, walking tour, survei, dan lain-lain); 3) Menentukan
metode
peran
serta
(rapat
umum
warga,
pertemuan/dialog terbatas, open house, loka karya); 4) Dinas Tata Kota dan Suku Dinas Tata Kota bersama-sama dengan masyarakat mengumpulkan informasi; 5) Dinas Tata Kota dan Suku Dinas Tata Kota mengkoordinasikan institusi terkait dan bersama-sama masyarakat merumuskan isuisu
utama,
menetapkan
tujuan,
menyusuri
alternatif
dan
memilihnya, serta mengembangkan rencana; 6) Pelaksanaan ekspose publik di tempat-tempat umum yang strategis di wilayah kecamatan selama atu bulan hingga ke RW Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
dan RT untuk memperoleh tanggapan publik, baik tertulis maupun lewat media lain seperti telepon, faksimile, electronic mail (e-mail), dan lain-lain yang dibuat secara sah dan bertanggung jawab; 7) Berdasarkan
hasil
tanggapan/umpan
balik
yang
masuk
dilaksanakan dengar pendapat publik (public hearing) di depan Gubernur dan ditindaklanjuti dengan penyusunan rancangan rencana akhir; 8) Penetapan dan pengesahan rencana rinci tata ruang wilayah Kecamatan ke dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah yang bersifat mengatur dan diundangkan dalam Lembaran Daerah. d. Prosedur PSM Penyusunan RTRK Prosedur PSM dalam menyusun Rencana Teknik Ruang Kota atau Lembar Rencana Kota (LRK) ditempuh sebagai berikut: 1) Pengumuman kepada masyarakat (melalui media massa, papan pengumuman
di
tempat-tempat
strategis,
memanfaatkan
organisasi masyarakat yang ada, kontak personal, atau pos/drop komando lapangan in center); 2) Menentukan metode pengumpulan data yang dirasa paling tepat untuk
kecamatan
yang
bersangkutan
(penyebaran
angket,
wawancara perorangan, konsultasi informasi, observasi langsung,
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
activity log, behavioral mapping, panel diskusi, road show, walking tour, survei, dan lain-lain); 3) Menentukan
metode
peran
serta
(rapat
umum
warga,
pertemuan/dialog terbatas, open house, loka karya); 4) Dinas Tata Kota dan Suku Dinas Tata Kota bersama-sama dengan masyarakat mengumpulkan informasi, khususnya yang berupa informasi lingkungan alam, penggunaan lahan, sirkulasi, utilitas, perumahan, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum), unsur-unsur rancang kota, kondisi fisik, sejarah, demografi, dan kondisi sosial ekonomi; 5) Suku Dinas Tata Kota mengkoordinasikan institusi terkait dan bersama-sama masyarakat merumuskan isu-isu utama (analisis dan penilaian informasi, kategorisasi daerah perencanaan, display seluruh informasi, identifikasi isu-isu), serta menetapkan tujuan perencanaan; 6) Suku Dinas Tata Kota mengkoordinasikan institusi terkait dan bersama-sama masyarakat menyusun alternatif rencana dan memilihnya,
serta
mengembangkan
rencana
(menyusun
rekomendasi yang meliputi pernyataan kebijakan dan peta rencana); 7) Pelaksanaan ekspose publik yang strategis di wilayah kelurahan selama satu bulan hingga ke RW dan RT untuk memperoleh Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
tanggapan publik, baik tertulis maupun lewat media lain-lain yang dibuat secara sah dan bertanggung jawab; 8) Berdasarkan
hasil
tanggapan/umpan
balik
yang
masuk
dilaksanakan dengar pendapat publik (public hearing) di depan Kepala Dinas Tata Kota dan ditindaklanjuti dengan Penyusunan rancangan rencana akhir; 9) Penetapan dan pengesahan rencana rinci teknik ruang kota dilakukan Kepala Dinas Tata Kota Provinsi. Dari uraian tersebut di atas, PSM sangat penting dalam penyusunan suatu rencana pembangunan di wilayahnya masing-masing. Sejak digulirkannya era reformasi pembangunan di wilayahnya masingmasing. Sejak digulirkannya era reformasi sekarang ini, pemerintah mulai membuka diri untuk melibatkan masyarakat dalam hal yang berkaitan dengan kepentingan umum seperti halnya dalam hal penataan ruang di provinsi. Maka, usulan yang diajukan oleh masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan dalam penetuan hasil akhir sehingga pada akhirnya, baik masyarakat maupun pembuat kebijakan (pemda), samasama tidak merasa dirugikan. Dengan adanya peran serta masyarakat dalam penataan ruang, diharapkan dalam pelaksanaannya masyarakat akan merasa bertanggung jawab atas hasil pembangunan dan akan lebih menyadari akan pentingnya peraturan penataan ruang. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Akhirnya dengan ikut sertanya masyarakat dalam penataan ruang diharapkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat dari retribusi yang telah ditentukan. 98 Peran serta masyarakat Labuhan Batu sangat diharapkan dalam penataan ruang, karena dengan ikut sertanya masyarakat Labuhan Batu sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada akan membuat masyarakat Labuhan Batu ikut bertanggungjawab dan menimbulkan kecintaan
yang
tinggi
terhadap
daerahnya
dalam
melakukan
pembangunan di Labuhan Batu, sehingga pembangunan-pembangunan yang dilakukan sesusi dengan RTRW Labuhan Batu yang ada.
98
Hasni, Ibid., hal. 122.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PELAKSANAAN PENGELOLAAN TATA RUANG DI LABUHAN BATU
A. Peraturan Perundang-Undangan Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan yang menjadi kendala bagi pelaksanaan rencana tata ruang wilayah kabupaten Labuhan Batu,RTRW yang baru setelah RTRW 1996-2006 sudah selesai dibuat, yaitu ranperda untuk RTRW Labuhan Batu tahun 2006-2016, tetapi ranperda itu tidak sempat dibahas dan diperdalam, mengingat ranperda RUTR Provinsi Sumut belum selesai, karena untuk mensinkronkan harus sesuai dengan RUTR Provinsi Sumut. Dengan terbitnya UU No.26 tahun 2007 juga sebagai kendala karena ranperda harus disesuaikan dengan Undang-undang tersebut. 99 Disamping itu dengan keluarnya SK Menhut No. 44 tahun 2005 juga menjadi kendala, karena banyak daerah-daerah perkotaan, contoh Kota Sungai Berombang di Kecamatan Panai Hilir, kebun-kebun rakyat yang berada di Sungai Kanan, bahkan kantor Bupati Labuhan Batu masuk kawasan hutan Register 40. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah semakin membuat keadaan menjadi kompleks dengan permasalahan, khususnya menyangkut pemindah tanganan sebagai tindak lanjut penghapusan barang milik negara/ daerah melalui penjualan, tukar menukar, 99
Esty Pancaningdiah, Jabatan Kepala Bappeda Kabupaten Labuhan Batu, hasil wawancara tanggal 22 Mei 2009
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
hibah atau penyertaan modal pemerintah terhadap kekayaan milik daerah yang belum diatur peruntukannya dalam penataan ruang yang semakin diperlukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan. Pasal 46 ayat (3) butir a PP Nomor 6 tahun 2006 menyebutkan : Pemindahtanganan barang milik negara/ daerah berupa tanah dan/ atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan persetujuan DPR/ DPRD apabila sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota. 100 Pasal 46 tersebut di atas tidak sinkron dengan ketentuan dalam ketentuan UUPLH bahwa Kepala Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan bukankah masalah penghapusan asset berupa tanah merupakan lingkup dari pengelolaan lingkungan dalam penataan ruang. Beberapa kebijakan pemerintah daerah atau peraturan daerah Kabupaten Labuhan Batu yang berkaitan dengan lingkungan sangat minim bahkan hampir tidak
satupun
yang
mengatur
pelestarian
dan
pencegahan
kerusakan
lingkungan. Keluarnya
SK
Menteri
Kehutanan
No.44
Tahun
2005
tentang
Penunjukan Kawasan Hutan Sumatera Utara dan dirubah lagi dengan keluarnya SK Menteri Kehutanan No.201 Tahun 2006 tentang Penunjukan Kawasan
100
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Hutan
Sumatera
Utara
telah
merubah
wacana
dan
perdebatan
yang
kontroversial di Sumatera Utara. Keluarnya regulasi di bidang kehutanan oleh Menteri Kehutanan (untuk selanjutnya dapat disebut dengan Menhut) MS Kaban membuat keresahan dan penderitaan khususnya di masyarakat sekitar kawasan hutan dan juga pemerintah daerah dalam penataan hutan. 101 Dampak yang tercatat akibat keluarnya keputusan Menteri Kehutanan ini, berupa di kawasan register 1 dan 2 (Gunung Simbolon) di Kabupaten Simalungun mengakibatkan 56 warga petani dipenjarakan karena dituduh memasuki dan merambah kawasan hutan yang masuk dalam SK No.44. Sementara di Desa Pijar Koling Kecamatan Dolok Kabupaten Tapanuli Selatan. Ada 7 warga petani ditangkap oleh aparat kepolisian dan kehutanan karena dituduh merambah di kawasan hutan. Di Kecamatan Leidong Kabupaten Labuhan Batu ada sebanyak 2000 Kepala Keluarga lebih merasa resah dan ketakutan karena desa mereka dinyatakan masuk dalam kawasan hutan oleh keputusan Menteri Kehutanan tersebut.
102
Hasil pemantauan WALHI Sumatera Utara pada April s/d Juni 2007, beberapa Pemerintah Kabupaten di Sumatera Utara juga merasakan akibat keluarnya kebijakan pusat ini yang berdampak pada tata ruang dan tata kawasan hutan yang telah ada. Sebagai contoh Pemerintah Kabupaten (untuk selanjutnya disebut pemkab) Simalungun merasakan akibat keluarnya SK 101
Dikutip dari www.republika online.co.id, Analisis Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008, hal. 1 102 Dikutip dari www.republika online.co.id, Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
penunjukan kawasan hutan Sumut ini, luas kawasan hutannya malah bertambah sekitar 33.000 hektar dari 105.593,70 hektar (sebelum SK 44). Pemkab Tapanuli Selatan merasakan munculnya masalah pada kawasan hutan seluas lebih kurang 264.443,89 hektar. Di Kabupaten Labuhan Batu justru akibat keluarnya SK Menhut No.44 tahun 2005 atau SK 201 tahun 2006 malah 14 dari 22 (2/3 kecamatan) atau sekitar 74 Desa masuk dalam kawasan hutan. Banyak fasilitas pemukiman, prasarana dan sarana pemerintahan (misalkan saja kantor Bupati Simalungun, Markas Brimob Tapsel, kantor Camat) maupun sarana public menjadi masuk dalam kawasan hutan oleh keputusan Menteri Kehutanan ini. 103 Lebih jauh hal ini berimplikasi dan berimbas pada Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan pada tahun 2003. Dalam Perda No. 7 Tahun 2003 tentang RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) dinyatakan bahwa luas hutan Sumatera Utara adalah sebesar 3.679.338,48 Hektar. Akan tetapi pada SK Menhut No.44 maupun SK 201 Tahun 2006 luasnya mengalami selisih yang sangat jauh berbeda. Pada SK Menhut No. 44 Tahun 2005 kawasan hutan Sumatera Utara dinyatakan seluas 3.742.120 hektar. Sementara pada SK Menhut 201 Tahun 2006 kawasan hutan Sumatera Utara luasnya menjadi seluas 2.969.448 Hektar. 104
103 104
Ibid., hal. 2. Dikutip dari www.mediaindo.co.id, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008, hal. 1
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Melihat realitas permasalahan tersebut maka WALHI Sumatera Utara mendesak agar: SK. No. 201 Tahun 2006 dibatalkan dan perlu segera dilakukan pembenahan penetapan kawasan hutan Sumatera Utara secara benar, akurat dan terintegrasi serta terkordinasi antar Pemerintah dan Sektoral dengan mengacu perintah Pasal 13, 14 dan 15 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selama proses pembenahan dan pengukuhan kawasan hutan (sesuai Pasal 15 UU No.41 Tahun 1999) agar tidak ada penangkapan dan pemenjaraan serta pemerintah memberikan perlindungan terhadap petani atau rakyat sekitar hutan yang telah turun temurun mengelola hutan. Pemerintah menghentikan pemberian-pemberian ijin-ijin seperti ijin pemanfaatan dan pengelolaan kawasan hutan baik HPH (hak pengusahaan hutan), IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu), IUPK (Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan), dan lain-lain dengan alasan apapun selama proses pengukuhan kawasan hutan masih berlangsung. 105 Aparat hukum agar menindak tuntas pelaku perusakan hutan (destructif logging) di Sumatera Utara tanpa pandang bulu dan profesional sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Sumber Daya Alam Hayati (KSDAH), UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, peraturan perundangan lainnya dengan mengacu Perda No.7 Tahun 2003 sebelum direvisi.
105
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Pemanfaatan RTRW Kabupaten Labuhan Batu belum sesuai dengan yang diharapkan yaitu rencana dapat berfungsi secara tepat sebagai acuan spasial pembangunan dimana seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat, swasta dan pemerintah dapat mewujudkan terbentuknya tata ruang yang diinginkan. Seringkali terdapat hambatan, batasan, kendala yang disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar, sehingga menimbulkan adanya ketidaksesuaian atau penyimpangan antara rencana yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan. Faktor internal yang berasal dari wilayah kabupaten antara lain: a. Kualitas RTRW Kabupaten yang ada rendah sehingga kurang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penertiban perizinan lokasi pembangunan dan kurang dapat digunakan untuk optimasi perkembangan dan pertumbuhan aktivitas sosial ekonomi yang berlangsung cepat dan dinamis yang secara fisik terus meningkatkan kebutuhan ruang. b. Masih kurangnya pengertian dan atau komitmen aparat yang terkait dengan tugas penataan ruang, mengenai fungsi dan kegunaan RTRW Kabupaten dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga tingkat partisipasinya dalam penyusunan RTRW sendiri maupun pendayagunaannya bagi seluruh pembangunan daerah rendah, bahkan seringkali penertiban izin lokasi berlawanan dengan rencana pemanfaatan dan struktur ruang yang telah ada. c. Adanya perubahan sektoral yang terjadi di wilayah kabupaten akibat adanya pergeseran penggunaan ruang dalam skala besar seperti penggunaan tanah
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
d. Adanya kekurangtegasan para aparat yang berwewenang dalam pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya dalam tindakan penertiban pemanfaatan ruang sehingga simpangan yang terjadi sedemikian jauh yang mengakibatkan rencana tata ruang harus diubah. e. Terjadinya pemekaran wilayah kecamatan yang semula berjumlah hanya 14 wilayah administratif menjadi 22 wilayah administratif kecamatan yang berpengaruh terhadap pusat-pusat pelayanan dan pembentukan wilayah pengembangan. Jadi berdasarkan penelitian diatas dapat dikatakan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Labuhan Batu belum berjalan sebagaimana mestinya dan belum mengacu kepada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, banyak terjadi deviasi/ penyimpangan dari UU tersebut.
B. Kendala Infrastruktur 1. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Sumber Daya Air di Labuhan Batu
Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengelolaan tata ruang
di
Labuhan
Batu
meliputi
permasalahan
umum
pembangunan
infrastruktur bidang Sumber Daya Air di Labuhan Batu, yaitu antara lain:
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Adanya ancaman daya rusak air (banjir, kekeringan, longsor abrasi, pantai dan lain-lain) yang mengakibatkan Sungai Kualuh
kerusakan pada badan
maupun sarana/prasarana di luar badan sungai,
Akibatnya, sebagian warga terpaksa mengungsi bila terjadi banjir; b. Kejadian banjir tersebut yang selalu terjadi setiap tahun; c. Peraturan Perundangan sebagai kerangka regulasi belum lengkap; d. Infrastruktur SDA yang tersedia masih terbatas, dan infrastruktur SDA yang sudah terjadi penurunan fungsi akibat usia yang bertambah; e. Data Sumber Daya Air masih terbatas, sebagai dasar untuk pengembangan pengelolaan SDA; f. Di satu sisi kebutuhan akan air semakin meningkat sedangkan sisi lain ketersediaan air sepanjang tahun tidak merata; 106 g. Terbatasnya biaya pembangunan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya air; h. Sulitnya pelaksanaan pembebasan tanah; i. Terjadinya alih fungsi lahan terutama pada daerah pertanian menjadi non pertanian di daerah perkotaan;
106
“Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kabupaten Labuhan Batu”, Dikutip dari http://bainfokomsumut.go.id/, Diakses tanggal 20 Januari 2009.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
j. Berkembangnya pemanfaatan daerah sungai dan pemanfaatan badan sungai sebagai sarana pembuangan limbah padat yang mengakibatkan penyempitan alur sungai. 107 2. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Bina Marga di Labuhan Batu Dalam hal Bina Marga terjadi penurunan kondisi jalan, hal tersebut dikarenakan: a. Terlampaui umur rencana jalan/jembatan; b. Kualitas kontruksi yang Belum optimal dibanding pembebanan; c. Bencana alam seperti gempa bumi, banjir dan longsor (jalan melalui rawa dan genangan air/daerah banjir); d. Lebar pekerasan jalan masih belum memadai yaitu; lintas timur 6,0 m bahu jalan 2 x 1,0 sedangkan lintas tengah, lintas barat dan penghubung lintas, lebar perkasaan sebagian besar masih 4,5 m dan lebar bahu jalan 2 x 1,0 m; e. Keterbatasan kemampuan pembiayaan. 108 3. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Pekerjaan Umum di Labuhan Batu Permasalahan umum terhadap pelaksanaan pembangunan infrastruktur dalam bidang pekerjaan umum yang terjadi di Kabupaten Labuhan batu, antara lain:
107 108
Ibid. Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Belum tersedianya master plan air bersih di seluruh daerah sesuai tuntutan peraturan pemerintah nomor 16 tahun 2005 tentang sistem pengelolaan air minum (SPAM); b. Belum terlayani seluruh penduduk dengan air bersih sesuai tuntutan air bersih sesuai tuntutan peraturan pemerintah nomor 16 tahun 2005 tentang sistem pengelolaan air minum (SPAM); c. Belum tercapainya kualitas air minum (masih kualitas air bersih) sesuai tuntutan air bersih sesuai tuntutan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM); d. Belum tersedianya master plan drainase diseluruh daerah sesuai tuntutan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang sistem pengelolaan air minum (SPAM); e. Masih luasnya daerah genangan banjir karena kondisi geografis dan topografis; f. Belum integrasinya pengelolaan persampaham antar daerah. 109 4. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Terhadap Kondisi Tata Ruang di Labuhan Batu Permasalahan umum dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur terhadap kondisi tata ruang di Kabupaten Labuhan Batu, antara lain: 110
109 110
Ibid. Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
a. Terbitnya Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pedoman penyelenggara penataan ruang, hal ini berdampak pada penyesuaian subtansi RTRW baik provinsi dan kabupaten/kota khususnya di Kabupaten Labuhan Batu dalam waktu 2 tahun untuk provinsi dan 3 tahun untuk kabupaten/kota, disisi lain banyak kabupaten/kota yang baru menyusun RTRW. b. Belum tersosialisasikan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 secara menyeluruh kepada stakeholder. c. Belum
tersedianya
Peraturan
Pemerintah
sebagai
pedoman
pelaksanaan penataan ruang sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 secara menyeluruh. d. Rencana tata ruang belum sepenuhnya menjadi acuan pembangunan di daerah Kabupaten Labuhan Batu. 5. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Perhubungan di Labuhan Batu Permasalahan umum pembangunan infrastruktur bidang perhubungan darat di Labuhan Batu, antara lain: 1) Sampai dengan saat ini pelimpahan pengelolaan angkutanangkutan Regional di daerah-daerah belum didekonsentrasikan oleh pemerintah kabupaten Labuhan Batu, sehingga Pemkab Labuhan Batu belum dapat sepenuhnya mengelola sub sektor
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
pehubungan laut sebagai pelaksanaan tugas dekonsentrasi sebagai konsekuensi otonomi daerah. 2) Pembangunan bandara perintis tambahan di daerah Labuhan Batu yang diharapkan bisa mengakselerasi kegiatan perekonomian di daerah Labuhan Batu, walaupun pembangunan tersebut hingga sekarang masih tersendat-sendat. 111 6. Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur Bidang Daerah Tertinggal di Labuhan Batu Permasalahan
umum
pembangunan
infrastruktur
bidang
daerah
tertinggal di Labuhan Batu, antara lain: a. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spesial sehingga banyak wilayah-wilayah yang masih tertinggal dalam pembangunan, yang disebabkan: 1) Sistem
jaringan
jalan
di
beberapa
wilayah
belum
semua
terhubungkan khususnya untuk mengakses sentra-sentra ekonomi masyarakat; 2) Rendahnya kondisi pelayanan prasarana jalan akibat kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan; 3) Belum terpadunya pembangunan prasarana jalan dengan sistem jaringan transportasi jalan, penataan kelas jalan dan terminal serta
111
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
pola pelayanan distribusi angkutan jalan, antarkota, perkotaan dan perdesaan; 4) Terbatasnya sarana transportasi yang belum memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. b. Terbatasnya prasarana dan sarana kualitas dan pemerataan pelayanan sosial dasar seperti pendidikan dan kesehatan; c. Masih terbatasnya prasarana dan sarana pertanian dan perikanan pada khususnya dan pedesaan pada umumnya; d. kurangnya kemampuan penyediaan air; e. Kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi; f. Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air baik air permukaan maupun air tanah. g. Kota Labuhan Batu hingga sekarang masih menghadapi krisis listrik yang parah. 112
C.
Keterlibatan DPR Daerah Keterlibatan DPR Daerah Labuhan Batu dalam penyusunan RTRW
yaitu: Apa yang diusulkan oleh DPR Daerah Labuhan Batu sering tidak dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, termasuk dalam rapatrapat Panitia Anggaran, dan
kurangnya koordinasi antara legislatif dan
eksekutif sehingga mengakibatkan tidak berjalannya RTRW Kabupaten 112
Ibid.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Labuhan Batu tersebut. DPR D Labuhan Batu tetap mempertanyakan kepada Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu tentang penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan RTRW Kabupaten Labuhan Batu, tetapi Pemerintah Kabupaten tidak bisa menjawab apa yang dipertanyakan oleh DPR Daerah Kabupaten Labuhan Batu.
D.
Masyarakat Kurang dilibatkannya masyarakat dalam hal penyusunan RUTR Labuhan
Batu, sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu sangat minim sehingga masyarakat tidak mengerti bagaimana bagaimana peraturan tentang RUTR Labuhan Batu. Contohnya banyaknya bangunan sarang burung walet yang dibangun di pinggir pantai dan di lingkungan perkampungan masyarakat dan bahkan di perkotaan. Termasuk banyaknya bangunan-bangunan yang ada di Ibukota Kecamatan hampir semuanya bertentangan dengan RUTR yang ada di Labuhan Batu. Kurangnya sosialisasi kepada 113 masyarakat, sehingga mengakibatkan kontribusi masyarakat tidak ada karena masyarakat tidak mengerti tentang RTRW Labuhan Batu.
113
Esty Pancaningdiah, Ibid
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
E.
Perangkat Daerah Wilayah Kabupaten Labuhan Batu masih terdapat Kecamatan-kecamatan
yang belum ada RUTR nya sehingga pembangunan yang dilakukan di Kecamatan itu tidak mengacu kepada RUTR yang ada yaitunRUTR 1996-2006. Perangkat
Daerah
yang
mengimplementasikan
ada
di
kecamatan
kurang
mengerti
tentang
Perda RTRW dan kurang sosialisasi ke masyarakat.
Dan regulasi mengenai RUTR belum semua ada, sebagai contoh, aparat pemerintah dalam mengeluarkan ijin untuk pembangunan, baik itu ruko, dan bangunan lainnya, mereka tidak memperhatikan perda RTRW. Jika ada permohonan ijin langsung keluar ijin, padahal banyak ijin yang tidak mengacu kepada RTRW atau bertentangan dengan RTRW.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari uraian bab-bab dimuka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pemanfaatan RTRW Kabupaten Labuhan Batu belum sesuai dengan yang diharapkan yaitu rencana dapat berfungsi secara tepat sebagai acuan spasial pembangunan dimana seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat, swasta dan pemerintah dapat mewujudkan terbentuknya tata ruang yang diinginkan. Seringkali terdapat hambatan, batasan, kendala yang disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar, sehingga menimbulkan adanya ketidaksesuaian atau penyimpangan antara rencana yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan. Faktor internal yang berasal dari wilayah kabupaten antara lain: a. Kualitas RTRW Kabupaten yang ada rendah sehingga kurang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penertiban perizinan lokasi pembangunan dan kurang dapat digunakan untuk optimasi perkembangan dan pertumbuhan aktivitas sosial ekonomi yang berlangsung cepat dan dinamis yang secara fisik terus meningkatkan kebutuhan ruang. b. Masih kurangnya pengertian dan atau komitmen aparat yang terkait dengan tugas penataan ruang, mengenai fungsi dan kegunaan RTRW Kabupaten dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga tingkat partisipasinya dalam penyusunan RTRW sendiri maupun pendayagunaannya bagi seluruh Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
pembangunan daerah rendah, bahkan seringkali penertiban izin lokasi berlawanan dengan rencana pemanfaatan dan struktur ruang yang telah ada. c. Adanya perubahan sektoral yang terjadi di wilayah kabupaten akibat adanya pergeseran penggunaan ruang dalam skala besar seperti penggunaan tanah sehingga pola pemanfaatan ruang yang ada mencakup peruntukan kawasan hutan tidak sesuai lagi dengan kondisi faktual yang ada. d. Adanya kekurangtegasan para aparat yang berwewenang dalam pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya dalam tindakan penertiban pemanfaatan ruang sehingga simpangan yang terjadi sedemikian jauh yang mengakibatkan rencana tata ruang harus diubah. e. Terjadinya pemekaran wilayah kecamatan yang semula berjumlah hanya 14 wilayah administratif menjadi 22 wilayah administratif kecamatan yang berpengaruh terhadap pusat-pusat pelayanan dan pembentukan wilayah pengembangan. Jadi berdasarkan penelitian diatas dapat dikatakan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Labuhan Batu belum berjalan sebagaimana mestinya dan belum mengacu kepada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, banyak terjadi deviasi/ penyimpangan dari UU tersebut 2. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan Tata Ruang di Wilayah Kabupaten Labuhan Batu belum berjalan sebagaimana mestinya, karena kurang sosialisasi ke masyarakat dan masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan RTRW Kabupaten Labuhan Batu, sehingga masyarakat tidak Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
mengerti tentang RTRW Labuhan Batu, padahal UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang mengatur bagaimana prosedur dan peran serta masyarakat dalam penyusunan dan pengelolaan tata ruang di daerah. 3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengelolaan tata ruang di Kabupaten Labuhan Batu yaitu: Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan yang menjadi kendala bagi pelaksanaan rencana tata ruang wilayah kabupaten Labuhan Batu, RTRW yang baru setelah RTRW 1996-2006 sudah selesai dibuat, yaitu ranperda untuk RTRW Labuhan Batu tahun 2006-2016, tetapi ranperda itu tidak sempat dibahas dan diperdalam, mengingat ranperda RUTR Provinsi Sumut belum selesai, karena untuk mensinkronkan harus sesuai dengan RUTR Provinsi Sumut. Dengan terbitnya
UU No.26 tahun 2007 juga sebagai kendala karena ranperda
harus disesuaikan dengan Undang-undang tersebut, disamping itu ada kendala infrastruktur yang belum sesuai dengan RTRW, Masyarakat juga menjadi kendala karena peran serta masyarakat hampir tidak ada dalam penyusunan
RTRW
disebabkan
kurangnya
sosialisasi
kepada
masyarakat.DPR Daerah juga sudah sering memberi masukan kepada Pemerintah
Kabupaten
Labuhan
Batu,
tapi
tidak
diakomodir
oleh
Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, disamping itu perangkat daerah juga tidak siap dalam pelaksanaan pengelolaan tata ruang di Labuhan Batu.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
B. Saran 1. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Labuhan Batu, agar segera melakukan penelitian ulang dan meninjau kembali permasalahan di Kabupaten Labuhan Batu khususnya di bidang penataan ruang agar RTRW Kabupaten Labuhan Batu yang akan datang dapat berjalan sesuai dengan ketentuan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 2. Dalam perjalanan perencanaan wilayah, perlu dilakukan berbagai upaya pendekatan
dengan
terminologi
baru
seperti
bottom
up
planning,
participatory planning, democratic planning, grass root planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan sebagainya yang menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar, yaitu demokrasi, dimana anggota masyarakat harus memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Labuhan Batu. 3. Perlunya diadakan sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan penataan ruang wilayah Labuhan Batu (UU Tata Ruang, dan sebagainya) kepada Pihak Masyarakat Labuhan Batu agar terciptanya dukungan dan peran serta dari masyarakat terhadap pelaksanaan penataan ruang di kabupaten Labuhan Batu.dan disarankan agar peraturan-peraturan yang menghambat pelaksanaaan RTRW Kabupaten Labuhan Batu dan membebani masyarakat agar segera direvisi, seperti SK Menhut RI No. 44 tahun 2005 supaya sesuai dengan kondisi dilapangan / di pemerintahan sekarang. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Akbar, Faisal, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003. Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafitti Press, 2006. Bismar Nasution, Diktat Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, 2005. Galander, Marc Modernisasi Sistem Hukum, dalam Myron Weiner (ed), Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Cet. III, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993. Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994. --------------, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni,
1991. Hasni,
Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah (Dalam Konteks UUPA-UUPR-UUPLH), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Herbert L, The Limits of the Criminal Sanction. (Stanford: Stanford University Press, 1968. J.B. Dallyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: Bekerja sama dengan APTIK Penerbit Gramedia, 1989. Kamus Tata Ruang Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum bekerja sama dengan IAP, edisi pertama, 1998. Kantaatmadja, Mieke Komar, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 1994. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Prenada Media, 1997. Kusumaatmaja, Mochtar Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat, Landasan Pikiran Pola dan Mekanisme Pelaksana Pembaharuan Hukum, Jakarta: BPHN-LIPI, 1996. Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
-------------, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Bina Cipta, 2001. Lubis, M. Solly, Sistem Nasional, Bandung: Mandar Maju, 2002. -----------, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung: CV Mandar Maju, 2000. Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005. Muchsin, dan Imam Koeswahyono, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, Jakarta: Sinar Grafika: 2008. M. Hadjon, Philipus, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrative Law) Yogyakarta, 1995 dicetak oleh: Gajah Mada University Press. Purbacaraka, Purnadi, dkk, Perihal kaedah hukum, Bandung: Alumni, 1979. Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1991. Rasjidi Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001. Ridwan, Juniarso & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Cetakan I, Bandung: Penerbit NUANSA, 2007. Sa’id, Gumbira E., Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Media Sarana Press, 1987. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, cetakan ketiga, Surabaya: Airlangga University Press, 2005. Silalahi, M. Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2001. Samekto, FX. Adjie, Studi Hukum Kritis, Kritik terhadap Hukum Modern, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Sidharta, Benard Arif, Refleksi Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1999. Soemarwoto, Otto, Pengelolaan Manfaat dan Risiko Lingkungan, Bandung: Lembaga Ekologi Unpad, 1981. Sumardjan, Selo Social Change in Jogjakarta, Jakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Suhardi, Gunarto, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2006. Suratmo, Gunawan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004.
B. Makalah Arifin, Syamsul, Penegakan Hukum Lingkungan Menuju Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan, diucapkan pada pengukuhan guru besar tetap dalam Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum USU, disampaikan di Medan, pada tanggal 5 Februari 2000. ---------, Kerangka Acuan Kerja, “Seminar mewujudkan Kawasan Perkotaan yang Berwawasan Lingkungan dalam Rangka Otonomi Daerah,” Kerja Sama Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Muhammadiyah dengan Bapedalda Dan Komite Aksi Pembangunan yang Berkelanjutan Propinsi Sumatera Utara, disampaikan di Medan, pada tahun 2003-2004. -----------, Upaya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Mewujudkan Pembangunan yang berwawasan Lingkungan di Sumatera Utara, Penerbit; Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004. Nasution, Bismar Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 17 April 2004.
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
C. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok Lingkungan Hidup.
Pokok-
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Republik Indonesia, Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1980 tentang Pembinaan Lembaga Masyarakat. Republik Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu Nomor 6 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu Tahun 1996-2006, Lembaran daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu Nomor 4 Tahun 1997, Seri D Nomor 3.
D. Internet “Daftar
Tata Ruang Kabupaten Labuhan Batu”, Dikutip dari http://bappedalabuhanbatu.com/content.php?id=17, Diakses tanggal 2 Februari 2009.
Dikutip
dari http://dammex.blogspot.com/2007/07/sk-menhut-no-44-2005sengsarakan-rakyat.html, Diakses tanggal 2 Februari 2009.
Dikutip dari http://google.com/2009/02/sk-menhut-no-44-2005-sengsarakanrakyat.html, Diakses tanggal 2 Februari 2009. Dikutip dari http://google.co.id/, Diakses tanggal 2 Februari 2009. Dikutip dari www.republika online.co.id, Analisis Hutan di Sumatera Utara, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008 Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009
Dikutip dari www.mediaindo.co.id, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008 Dikutip dari www.kompas.com, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008 Dikutip dari www.harian_waspada.co.id, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008 Dikutip dari www.jurnal_hukum.net.id, Diakses hari Sabtu, 30 Agustus 2008 Johnson, www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009 Oosthuizen, www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009 “Permasalahan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kabupaten Labuhan Batu”, Dikutip dari http://bainfokomsumut.go.id/, Diakses tanggal 20 Januari 2009 Purboyo, Heru, www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009 Yeung and Mc Gee, www.indoskripsi.co.id, Diakses tanggal 2 Februari 2009
Irwansyah Ritonga : Analisis Hukum Terhadap Pengelolaan Tata Ruang Di Wilayah Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu, 2009