LAPORAN
AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH TAHUN ANGGARAN 2016
PUSAT TEKNOLOGI PRODUKSI PERTANIAN
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang atas rahmat-Nya, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tahun 2016 Pusat Teknologi Produksi Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan Akuntabilitas Kinerja merupakan salah satu dari lima komponen dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Sistem AKIP) yang berlaku dan diwajibkan kepada seluruh instansi pemerintah secara nasional baik untuk pemerintah Pusat (Kementerian dan Lembaga) maupun Daerah.
Kewajiban menyusun laporan akuntabilitas kinerja ini merupakan amanat pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, peraturan kementerian PAN dan RB No. 29 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, dan peraturan pemerintah (PP) No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Laporan kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP) merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban kepada Kepala BPPT dan masyarakat/publik atas pelaksanaan tugas pokok melalui program dan kegiatan yang ditetapkan dalam dokumen Penetapan Kinerja PTPP Tahun 2016. Laporan Kinerja PTPP Tahun 2016 ini berisi tentang pencapaian sasaran kinerja di tingkat PTPP.
Secara umum realisasi/capaian atas sasaran kinerja PTPP pada akhir tahun 2016 terpenuhi dengan baik. Kami berharap laporan ini dapat dipergunakan oleh para pemangku kepentingan di BPPT. Jakarta, 16 Januari 2017 Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian,
Ir. Arief Arianto Hidayat, M.Sc. Agr.
RINGKASAN EKSEKUTIF Berdasarkan Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998, Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, dan Inpres Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) maka setiap Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) wajib membuat pertanggungjawaban pelaksanaan atas tugas pokok dan fungsi dan Rencana Strategis yang telah ditetapkan.
Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP) sebagai salah satu unit kerja BPPT tidak lepas dari kewajiban menyampaikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Laporan ini merupakan LAKIP Pusat Teknologi Produksi Pertanian untuk Tahun 2016
dan
berisi
rencana dan capaian atas target kinerja PTPP selama tahun 2016 yang disusun dengan semangat akuntabel, obyektif dan transparan.
Pengukuran Kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian Tahun 2016 didasarkan pada pelaksanaan Program Kegiatan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Produksi Pertanian sebagai berikut : 1. Inovasi Teknologi Peningkatan Daya Saing Industri Kakao, Karet dan Sawit Output :
Prototipe formula pemercepat penyambungan pada metode grafting kakao
Prototipe bibit karet hasil propagasi yang terverifikasi
Paket informasi gen-gen potensial untuk produk bernilai tinggi (Tocoperol) pada kelapa sawit
2. Inovasi Teknologi Peningkatan Produksi Pangan Sumber Protein Output :
Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk Udang Galah
Kandidat prototype-e pakan sapi komplit berbahan limbah sawit
3. Kawasan Technopark Output :
Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan organisasi, review
site
plan,
logo/identitas,
diseminasi/alih
Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng
teknologi
perbenihan,
Dalam pelaksanaan Sistem AKIP BPPT pada Tahun 2016, BPPT memperhatikan dan menjadikan rujukan peraturan terkait sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN) dan sejumlah ketentuan/ pedoman terkait Sistem AKIP khususnya ketentuan/ pedoman yang diatur oleh kementerian PAN dan RB. Secara keseluruhan capaian kinerja PTPP tahun 2016 dapat tercapai /terpenuhi dengan baik.
DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF
ii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
I-1
1.1. Penjelasan Umum Organisasi
I-1
1.2. Tugas dan Fungsi Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP)
I-2
1.3. Struktur Organisasi
I-3
1.4. Profil Sumberdaya Daya Manusia
I-7
1.5
Aspek Strategis Organisasi
I - 11
1.6
Potensi dan Permasalahan
I - 13
1.7
Sistematika Penyajian
I - 18
PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA
II - 19
2.1. Rencana Strategis
II - 19
2.1.1. Visi Pusat Teknologi Produksi Pertanian
II - 20
2.1.2. Misi Pusat Teknologi Produksi Pertanian
II - 20
2.1.3. Tujuan Strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian
II - 21
2.1.4. Sasaran strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian
II - 22
2.2. Keterkaiatan Renstra Pusat TPP dengan Resntra Kedeputian
II - 22
TAB 2.3. Rencana Kinerja Tahun (RKT) 2016
II - 24
2.4. Penetapan Kinerja Tahun 2016
II - 24
2.5. Pelakasanaan Rencana Aksi
II - 27
2.6. Evaluasi Kinerja
II - 27
BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA PTPP
III - 28
3.1. Uraian Kegiatan
III - 28
3.1.1. Inovasi Teknologi Peningkatan Daya Saing Industri
III - 28
Kakao, Karet dan Sawit 3.1.2. Inovasi
Teknologi
Peningkatan
Produksi
Pangan
III - 82
Sumber Protein 3.1.2. Pengembangan Kawasan Technopark Bantaeng
III - 118
3.2. Tabel Ringkasan
III - 169
3.3. Capaian Kinerja Organisasi
III - 175
3.3.1. Perbandingan Antara Target dengan Realisasi Kinerja
III - 177
Tahun Ini 3.3.2. Perbandingan Antara Realisasi Kinerja serta Capaian
III - 180
Kinerja Tahun Ini dengan Tahun Lalu dan Beberapa Tahun Terakhir 3.3.3. Perbandingan Realisasi Kinerja Sampai dengan Tahun
III - 183
Ini dengan Target Jangka Menengah yang Terdapat dalam Dokumen Perencanaan Strategis 3.3.4.
Analisis
Penyebab
Keberhasilan/Kegagalan
atau
Peningkatan/ Penurunan Kinerja Serta Alternative Solusi yang Telah Dilakukan 3.3.5.
Analisis
Program
yang
Menunjang
Keberhasilan
III - 187
Ataupun Kegagalan Pencapaian Pernyataan Kinerja
BAB IV
3.4. Realisasi Anggaran
III - 188
PENUTUP
IV - 190
LAMPIRAN Lampiran 1: Form Rencana Aksi
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jenis kelamin per Desember 2016
I-7
Tabel 1.2. Komposisi SDM PTPP berdasarkan rentang usia per Desember 2016
I-8
Tabel 1.3. Komposisi SDM PTPP berdasarkan tingkat pendidikan per Desember 2016
I-9
Tabel 1.4. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jabatan fungsional per Desember 2016
I - 10
Tabel 1.5. Faktor-faktor kunci Pusat Teknologi Produksi Pertanian
I - 17
Tabel 2.1. Rencana Kinerja Tahunan Tingkat Eselon II - Pusat Teknologi Produksi
II - 24
Pertanian, Tahun Anggaran 2016 Tabel 3.1. Komposisi 6 varian ZPT yang akan diuji (ppm)
III - 33
Tabel 3.2. Perlakuan pengujian stimulan grafting kakao
III - 33
Tabel 3.3. Jumlah bibit tumbuh normal, berkecambah, abnormal dan mati umur 1 bulan setelah semai
III - 39
Tabel 3.4. Klon dan jumlah bibit yang dibagikan ke petani penangkar
III - 43
Tabel 3.5. Formulasi pembuatan cokelat
III - 58
Tabel 3.6. Primer SSR untuk amplifikasi DNA (Saha et al, 2005)
III - 71
Tabel 3.7. Komposisi reagen yang digunakan untuk amplifikasi DNA
III - 72
Tabel 3.8. Kelompok Tani Peternak yang dijadikan target observasi
III - 93
Tabel 3.9. Hasil perhitungan dan analisis LQ statis tahun 2013 s/d 2015
III - 128
Tabel 3.10. Bahan pelapisan untuk 1 kg umbi (± 40 umbi kecil)
III - 142
Tabel 3.11. Hasil deteksi virus kentang menggunakan antiserum terhadap PLRV dan
III - 147
PVY Tabel 3.12. Potensi limbah sebagi bahan pakan ternak di Kabupaten Bantaeng
III - 162
Tabel 3.13. Tabel ringkasan Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV
III - 169
(Sulawesi Selatan) Tabel 3.14. Tabel ringkasan Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk
III - 169
dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex Vitro Tabel 3.15. Tabel ringkasan Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan
III - 170
Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Tabel 3.16. Tabel ringkasan Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina dan Marine Tilapia)
III - 170
Tabel 3.17. Tabel ringkas Teknologi Peternakan Sapi Terpadu di Perkebunan
III - 172
Sawit Tabel 3.18. Tabel ringkasan Pengembangan Kawasan Technopark Bantaeng
III - 173
Tabel 3.19. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1
III - 177
Tabel 3.20. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1
III - 177
Tabel 3.21. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1
III - 178
Tabel 3.22. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1
III - 178
Tabel 3.23. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 2
III - 179
Tabel 3.24. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 2
III - 179
Tabel 3.25. Perbandingan capaian kinerja PTPP tahun ini dengan beberapa tahun
III - 180
terakhir
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1. Tata Laksana Utama BPPT (Proses Bisnis Utama)
I-1
Gambar 1.2. Struktur Organisasi BPPT
I-4
Gambar 1.3. Struktur Organisasi Kedeputian Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi
I-5
(TAB). Gambar 1.4. Struktur Organisasi Pusat Teknologi Produksi Pertanian
I-6
Gambar 1.5. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jenis kelamin per Desember 2016
I-7
Gambar 1.6. Komposisi SDM PTPP berdasarkan rentang usia per Desember 2016
I-8
Gambar 1.7. Komposisi SDM PTPP berdasarkan tingkat pendidikan per Desember
I-9
2016 Gambar 1.8. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jabatan fungsional per Desember
I - 10
2016 Gambar 2.1. Alur keterkaitan RPJMN, Renstra (BPPT, TAB, PTPP), Rencana Kerja
II - 23
(Renja), RKT dan Penetapan Kinerja (PK) Gambar 2.2. Pernyataan Perjanjian Kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian
II - 25
Tahun 2016. Gambar 2.3. Perjanjian Kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian Tahun 2016
II - 26
Gambar 3.1. Peta Sebaran Wilayah Perkebunan Kakao di Indonesia
III - 28
Gambar 3.2. Buah kakao yang terserang hama PBK
III - 29
Gambar 3.3. Penyiapan tanaman rootstock untuk pengujian stimulan
III - 32
Gambar 3.4. teknik penyambungan V
III - 34
Gambar 3.5. Penyambungan tanaman dan aplikasi stimulan grafting
III - 35
Gambar 3.6. persiapan pembangunan rumah naungan
III - 38
Gambar 3.7. Benih kakao bersertifikat dan media tanam untuk tanaman rootstock
III - 39
Gambar 3.8. Bibit berkecambah dan bibit tumbuh normal
III - 40
Gambar 3.9. Kondisi bibit rootstock dalam bedengan
III - 40
Gambar 3.10. Penyiapan tugal dan alat takar
III - 41
Gambar 3.11. Proses aplikasi Technofert
III - 41
Gambar 3.12. Kondisi bibit rootstock ketika berumur 2 bulan setelah tanam
III - 41
Gambar 3.13. Penyambungan rootstock dan scion
III - 42
Gambar 3.14. Aplikais stimulan Mulako pada bibit sambung
III - 42
Gambar 3.15. Penyerahan bibit kakao kepada penangkar
III - 43
Gambar 3.16. Pengujian biofungisida berbahan aktif T. asperellum secara in vivo
III - 49
Gambar 3.17. Pengujian bioefikasi bioinsektiasida berbahan aktif B. bassiana di
III - 52
Laboratorium Lapangan Dinas Perkebunan Maros, Sulawesi Selatan Gambar 3.18. Sambutan Bupati Soppeng dan serah terima hasil riset
III - 52
Gambar 3.19. Penyiapan bibit garut
III - 56
Gambar 3.20. Penyerahan produk penelitian dan foto bersama peserta pelatihan
III - 56
dengan pejabat BPPT dan pemerintah provinsi dan kabupaten Gambar 3.21. Prosedur pembuatan coklat
III - 58
Gambar 3.22. Proses tempering berlangsung
III - 59
Gambar 3.23. Coklat bar dalam cetakan dan setelah dikeluargakn dari cetakan
III - 60
Gambar 3.24. Pengemasan coklat bar dan coklat bar yang telah dikemas
III - 60
Gambar 3.25. Negara penghasil karet alam di dunia
III - 63
Gambar 3.26. Prosedur isolasi DNA tanaman karet
III - 69
Gambar 3.27. Prosedur amplifikasi DNA tanaman karet dengan mesin PCR
III - 71
Gambar 3.28. Siklus PCR untuk amplifikasi DNA tanaman karet
III - 72
Gambar 3.29. Persiapan sarana untuk melakukan perekayasaan bioreproduksi
III - 84
Udang Galah di LAPTIAB Puspiptek Serpong Gambar 3.30. Indu-induk pembentuk ikan nila Salina
III - 87
Gambar 3.31. Penebaran benih nila laut secara bertahap di KJA
III - 87
Gambar 3.32. Skema analisis proximat dan van soest bahan pakan
III - 94
Gambar 3.33. Skema analisis kandungan unsur nutrisi C, H, O bahan pakan limbah
III - 95
sawit Gambar 3.34. Identifikasi bentuk sel bakteri rumen
III - 102
Gambar 3.35. Uji urease, warna kuning (lingkungan asam), positif warna pink,
III - 104
negatif tidak bertubah warna Gambar 3.36. Skema pengukuran regrowth hijauan di kebun kelapa sawit
III - 109
Gambar 3.37. Persiapan uji coba penggembalaan dengan electric fencing
III - 110
Gambar 3.38. Kegiatan pengambilan sampel kepadatan tanah di kebun sawit
III - 111
Gambar 3.39. Kodisi eksisting lokasi kawasan manajemen Technopark
III - 122
Gambar 3.40. Siteplan kawasan manajemen Technopark
III - 123
Gambar 3.41. SK dan Peraturan Bupati Bantaeng tentang Technopark
III - 124
Gambar 3.42. Logo Technopark Bantaeng
III - 129
Gambar 3.43. Deskripsi desain logo Technopark Bantaeng
III - 129
Gambar 3.44. Pengadaan peralatan laboratorium tahun 2016
III - 131
Gambar 3.45. Pemeriksaan pengadaan barang tahun 2016 oleh Tim Biro Umum
III - 132
Gambar 3.46. Penandatanganan penempatan peralatan dan mesin tahun 2016
III - 132
Gambar 3.47. Layout peralatan di ruang preparasi inokulum
III - 133
Gambar 3.48. Layout peralatan di ruang granulasi pupuk hayati organik
III - 134
Gambar 3.49. Proses pemasangan/penginstalan peralatan
III - 135
Gambar 3.50. Instalasi peralatan di ruang preparasi inokulum
III - 135
Gambar 3.51. Instalasi peralatan di ruang granulasi pupuk hayati organik
III - 135
Gambar 3.52. Diagram alir perbanyakan bibit talas secara kultur ex vitro
III - 136
Gambar 3.53. Perbedaan empat morfologi daun talas satoimo
III - 137
Gambar 3.54. Tanaman talas dengan morfologi daun runcing, tidak menghasilkan
III - 138
umbi Gambar 3.55. Aksesi no. 20.12 hasil uji lapang tahap 1 dengan bobot panen 3.2 kg
III - 138
Gambar 3.56. Bibit talas satoimo umur 1 bulan pada bedengan
III - 139
Gambar 3.57. Bibit talas satoimo hasil perbanyakan ex vitro di Tanal Loe
III - 140
Gambar 3.58. Kegiatan magang untuk ex vitro satoimo
III - 140
Gambar 3.59. Prosedur pelapisan umbi
III - 143
Gambar 3.60. Umbi dengan perlakuan perlambatan masa dormansi
III - 143
Gambar 3.61. Lahan pembibitan satoimo di Bontodaeng (kiri-kanan) : pertanaman
III - 144
dengan asal bibit berupa umbi, pertanaman dari umbi belah, dan pertanaman dari ex vitro Gambar 3.62. Aplikasi media induksi umbi mikro pada plantlet kentang (kiri);
III - 146
Plantlet kentang yang telah diberi media induksi umbi mikro (kanan) Gambar 3.63. Grafik produktivitas jagung hibrida setiap perlakuan
III - 148
Gambar 3.64. Pelatihan produsen benih jagung hibrida di Technopark Bantaeng
III - 150
Gambar 3.65. Pelatihan produsen benih padi untuk mendukung pengembangan
III - 152
kawasan Technopark Gambar 3.66. Nilai beberapa parameter uji organoleptic rasa nasi beberapa varietas
III - 153
padi hasil panen uji preferensi varietas padi Gambar 3.67. Pelatihan perbanyakan Trichoderma spp untuk produksi benih
III - 154
Gambar 3.68. Pengukuhan koperasi benih Errematika oleh Sekda Bantaeng
III - 154
Gambar 3.69. Sosialisasi e-commerce oleh Direktur PTPP-BPPT
III - 155
Gambar 3.70. Proses penyiapan dan pelaksanaan Gerakan Penebaran Benih Ikan
III - 156
Serentak pada 1000 titik se Sulawesi Selatan Gambar 3.71. Perkembangan rumput laut Cottonii (warna olive)
III - 157
Gambar 3.72. Perubahan warna rumput laut akibat perubahan musim
III - 158
Gambar 3.73. Pemeriksaan kebuntingan dengan USG
III - 161
Gambar 3.74. Diagram alir proses produksi “Chrispy Bandeng”
III - 163
Gambar 3.75. Pelatihan diseminasi teknologi pengolahan pasca panen
III - 166
Gambar 3.76. Pengolahan produk inovatif pati ganyong/Ta’sabbe dan Produk (Stick
III - 166
Bandeng) dalam kemasan Gambar 3.77. Disain 10 (sepuluh) kemasan dengan berbagai macam ukuran dan
III - 168
bahan anan) Gambar 3.78. Peningkatan capaian kinerja output kegiatan produksi kakao dalam
III - 183
rangka MP3EI koridor 4 (Sulawesi Selatan) menuju target akhir sesuai renstra Gambar 3.79. Peningkatan capaian kinerja output kegiatan Prototipe Pakan Ternak Untuk Produksi Pangan Sumber Protein
III - 185
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Penjelasan Umum Organisasi
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merupakan lembaga pemerintah non kementerian dibawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang memiliki peran sebagai intermediasi teknologi, Technology Clearing House (TCH), pengkajian teknologi, audit serta solusi teknologi yang kesemuanya dilakukan untuk mendukung pembangunan nasional agar mampu meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa Indonesia. Kelima peran BPPT tersebut merupakan kinerja lembaga yang dihasilkan dari program/ kegiatan. Hubungan peran BPPT dengan program/kegiatan yang berada didalamnya ditampilkan dalam Gambar 1.1.
Tata Laksana BPPT SISTEM PASAR OUTCOME INPUT A D M I N I S T R A S I D A N P E R E K AYA S A A N PROSES INTI Teknologi Awal
R
D
S U M B E R D AYA
E
O
P E N D U K U N G
Layanan Teknologi
PROSES
S U M B E R D AYA
Peningkatan Layanan Teknologi (Pematangan, Komersialisasi )
KO M P E T E N S I
Teknologi yang didifusikan ke pengguna/ pasar
-Teknologi State of the art - Daya Saing Industri - Kemandirian Bangsa
D U K U N G A N
IMPACT
PROSES
VALUE PROPOSITION
OUTPUT INPUT
PROSES
INPUT
SISTEM BISNIS
PENERAPAN SISTEM INOVASI MELALUI 5 PERAN BPPT
PEREKAYASAAN TEKNOLOGI
T E K N I S
T U P O K S I
Gambar 1.1. Tata Laksana Utama BPPT (Proses Bisnis Utama) Dalam menjalankan perannya BPPT memiliki struktur organisasi yang mendukung program utama salah satunya adalah Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP) dibawah Kedeputian Teknologi Agroidustri dan Bioteknologi (TAB). Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP) mempunyai peran untuk melaksanakan kegiatan intermediasi, kajian teknologi dan solusi teknologi dalam bidang teknologi produksi pertanian yang terdiri atas tanaman, peternakan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
1
dan perikanan. Kegiatan penelitian pengembangan dan kerekayasaan teknologi PTPP tahun 2016 difokuskan pada: 1. Inovasi teknologi peningkatan daya saing industri kakao, karet dan sawit 2. Inovasi teknologi peningkatan produksi pangan sumber protein hewani 3. Pengembangan kawasan technopark di Kabupaten Bantaeng
Inovasi teknologi peningkatan daya saing industri kakao dilakukan untuk mendapatkan prototype formula yang dapat mempercepat penyambungan pada metode grafting kakao. Inovasi teknologi pada tanaman karet dilakukan untuk mendapatkan prototype bibit karet hasil propagasi yang telah terverifikasi kualitasnya, sedangkan pada sawit dilakukan untuk mendapatkan informasi gen-gen potensial untuk Tocoferol pada kelapa sawit.
Inovasi teknologi peningkatan produksi pangan sumber protein terbagi ke dalam dua sektor yaitu sektor perikanan dan sektor peternakan. Peningkatan produksi pangan sumber protein di sektor perikanan dilakukan dengan perekayasaan genetic untuk menghasilkan neo female udang galah.
Pada kegiatan pengembangan kawasan technopark Bantaeng dilakukan untuk memperoleh paket inovasi teknologi pada technopark yang meliputi pembentukan kelembagaan dan organisasi, penyusunan site plan gedung technopark, perolehan logo technopark, diseminasi teknologi perbenihan serta terbentuknya pengusaha pemula berbasis (PPBT).
1.2 Tugas dan Fungsi Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP) Berdasarkan Peraturan Kepala BPPT Nomor 009 Tahun 2015, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, tanggal 27 Oktober 2015:
Tugas PTPP Pusat Teknologi Produksi Pertanian mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan penerapan di bidang teknologi produksi pertanian.
Fungsi PTPP Dalam melaksanakan tugasnya, Pusat Teknologi Produksi Pertanian menyelenggarakan fungsi: a. pelaksanaan pengkajian dan penerapan di bidang teknologi produksi tanaman b. pelaksanaan pengkajian dan penerapan di bidang teknologi produksi peternakan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
2
c. pelaksanaan pengkajian dan penerapan di bidang teknologi produksi perikanan d. menyiapkan bahan rumusan kebijakan teknologi produksi pertanian; dan e. pelaksanaan perencanaan, monitoring, evaluasi program dan anggaran di lingkungan pusat Teknologi Produksi Pertanian
1.3 Struktur Organisasi Struktur organisasi Kedeputian TAB sesuai dengan Peraturan Kepala BPPT Nomor Nomor 009 Tahun 2015, Tanggal 27 Oktober 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ditampilkan pada Gambar dapat dilihat pada Gambar 1.2 dan 1.3. Sedangkan susunan organisasi PTPP yang terdiri dari Kepala Unit Kerja, bagian Program dan Anggaran dan Kelompok Jabatan Fungsional ditampilkan pada Gambar 1.4.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
3
Struktur Organisasi Deputi Bidang TAB (Peraturan Kepala BPPT Nomor 009 Tahun 2015, Tanggal 27 Oktober 2015)
Gambar 1.2. Struktur Organisasi BPPT 4
Struktur Organisasi Kedeputian Bidang TAB (Peraturan Kepala BPPT Nomor 009 Tahun 2015, Tanggal 27 Oktober 2015)
Gambar 1.3. Struktur Organisasi Kedeputian Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
5
Struktur Organisasi Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP)
Gambar 1.4. Struktur Organisasi Pusat Teknologi Produksi Pertanian
LAKIP PTPP TAHUN 2016
6
1.4 Profil Sumberdaya Daya Manusia Pusat Teknologi Produksi Pertanian mempunyai jumlah sumber daya manusia (SDM) sebanyak 64 orang per 31 Desember 2016 dengan jumlah SDM laki-laki sebanyak 40 orang dan SDM perempuan berjumlah 24 orang. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jenis kelamin ditampilkan pada Tabel 1.1 dan ilustrasi Gambar 1.5.
Tabel 1.1. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jenis kelamin per Desember 2016 No
JENIS KELAMIN
JUMLAH
Persentase
1
Laki-laki
40
63%
2
Perempuan
24
38%
64
100%
JUMLAH
Gambar 1.5. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jenis kelamin per Desember 2016
LAKIP PTPP TAHUN 2016
7
PTPP mempunyai SDM dengan rentang usia antara 25 – 65 tahun dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah terbesar SDM yang dimiliki adalah pada rentang usia 31 – 35 tahun yaitu sebesar 27%. Komposisi SDM PTPP berdasarkan rentang usia ditampilkan pada Tabel 1.2 dan ilustrasi Gambar 1.6.
Tabel 1.2. Komposisi SDM PTPP berdasarkan rentang usia per Desember 2016 No
Rentang Usia
Jumlah
Persentase
1
25-30 Tahun
9
14%
2
31-35 tahun
17
27%
3
36-40 tahun
3
5%
4
41-45 tahun
6
9%
5
46-50 tahun
4
6%
6
51-55 tahun
13
20%
7
56-60 tahun
7
11%
8
61-65 tahun
5
8%
64
100%
JUMLAH
Gambar 1.6. Komposisi SDM PTPP berdasarkan rentang usia per Desember 2016
LAKIP PTPP TAHUN 2016
8
Pusat Teknologi Produksi Pertanian mempunyai SDM sebanyak 64 orang dengan tingkat pendidikan yang beragam, mulai dari jenjang Sekolah Menengah Atas hingga Pasca Sarjana. Secara umum tingkat pendidikan SDM di PTPP sebagian besar adalah sarjana sebanyak 42%, dan S2 sebanyak 34%. Sedangkan jumlah SDM yang telah menempuh pendidikan S3 baru 9%. Komposisi SDM PTPP berdasarkan tingkat pendidikannya ditampilkan pada Tabel 1.3 dan ilustrasi Gambar 1.7.
Tabel 1.3. Komposisi SDM PTPP berdasarkan tingkat pendidikan per Desember 2016 No
PENDIDIKAN
JUMLAH
%
1
S3
6
9%
2
S2
22
34%
3
S1
27
42%
4
< S1
9
14%
64
100%
JUMLAH
Gambar 1.7. Komposisi SDM PTPP berdasarkan tingkat pendidikan per Desember 2016
LAKIP PTPP TAHUN 2016
9
Berdasarkan jenis jabatan fungsional, mayoritas SDM di PTPP memiliki jabatan fungsional perekayasa. Total jumlah SDM yang menjadi perekayasa pertama, perekayasa muda dan perekayasa madya adalah sebanyak 45% dari jumlah SDM di PTPP. Jumlah peneliti madya, peneliti utama dan perekayasa utama sama besarnya masing-masing 5% dan fungsional umum sebesar 10%. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jabatan fungsional per Desember 2016 ditampilkan pada Tabel 1.4 dan ilustrasi Gambar 1.8.
Tabel 1.4. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jabatan fungsional per Desember 2016 No
JABATAN FUNGSIONAL
JUMLAH
Persentase
1
Peneliti Madya
3
5%
2
Peneliti Utama
3
5%
3
Perekayasa Madya
15
23%
4
Perekayasa Utama
3
5%
5
Perekayasa Muda
16
25%
6
Perekayasa Pertama
14
22%
7
Fungsional Umum
10
16%
64
100%
JUMLAH
Gambar 1.8. Komposisi SDM PTPP berdasarkan jabatan fungsional per Desember 2016
LAKIP PTPP TAHUN 2016
10
1.5 Aspek Strategis Organisasi Kebijakan Strategi dan Program Nasional di dalam RPJMN 2015-2019 dalam program pembangunan Kabinet Kerja dengan arah pembangunan untuk mewujudkan Bangsa yang berdaya saing. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, BPPT ditugaskan untuk menjalankan tugas pemerintah di bidang pengkajian dan penerapan teknologi untuk mendukung 7 bidang prioritas nasional (Pangan, Informasi dan Komunikasi, Energi, Kesehatan dan Obat, Hankam, Transportasi dan Material Maju). Secara ringkas di dalam UUD 45 amandemen ke 4 menegaskan bahwa “Pemerintah memajukan Iptek dengan menjunjung tinggi agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia” Namun demikian pembangunan IPTEK akan dapat memberikan kontribusi nyata bila produk yang dihasilkan dapat didayagunakan dan menjadi solusi permasalahan. Untuk itu diperlukan suatu perumusan terhadap arah dan strategi di dalam pembangunan bidang IPTEK.
Stategi pembangunan di Bidang IPTEK
dilaksanakan melalui 2 (dua) prioritas pembangunan, yaitu: a. Penguatan Sistem Inovasi Nasional (SIN), yang berfungsi sebagai wahana pembangunan IPTEK menuju visi pembangunan IPTEK dalam jangka panjang b. Penguatan Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK (P3 IPTEK) yang dilaksanakan sesuai dengan arah yang digariskan dalam RPJPN 2005 -2025
Dalam unsur SIN terdiri atas 3 (tiga) fokus pembangunan sebagai berikut: a. Kelembagaan Iptek (menguatnya kelembagaan Iptek): Perguruan Tinggi, Lembaga Litbang, dan Badan Usaha. b. Sumberdaya Iptek (menguatnya Sumberdaya Iptek): terdiri atas keahlian, kompetensi dan pengoperasannya, kekayaan inteletual, dan sarpras iptek, dimana masing-masing bertanggungjawab meningkatkan terus menerus daya guna dan
nilai guna
sumberdaya. c. Jaringan Iptek (menguatnya Jaringan Iptek): membentuk jalinan hubungan interaktif yang memadukan unsur-unsur kelembagaan iptek untuk menghasilkan kinerja dan manfaat yang lebih besar dari keseluruhan yang dapat dihasilkan.
Dalam unsur penguatan P3 Iptek fokus pembangunan dijabarkan dalam bentuk gugus (cluster) pusat-pusat litbang yang setingkat dengan eselon II, yaitu sebagai berikut:
LAKIP PTPP TAHUN 2016
11
a. Biologi Molekuler, Bioteknologi, dan Kedokteran b. Ilmu Pengetahuan Alam c. Energi, Energi Baru dan Terbarukan d. Material Industri dan Material Maju. e. Industri, Rancang bangun, dan Rekayasa. f.
Informatika dan Komunikasi.
g. Ilmu Kebumian dan Perubahan Iklim. h. Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan. i.
Ketenaganukliran dan Pengawasannya.
j.
Penerbangan dan Antariksa.
k. Gambar Fokus Pembangunan Iptek
Berdasarkan pemaparan tersebut, program dan kegiatan BPPT diorientasikan pada 13 Bidang Teknologi, Kebijakan Teknologi, Sumberdaya dan Kelembagaan, Sarana dan Prasarana. Sedangkan kebijakan Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi diarahkan pada: a. Pengkajian dan Penerapan Teknologi Energi Bersih. b. Pengkajian dan Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pemerintahan dan Industri. c. Pengkajian dan Penerapan Teknologi untuk Ketahanan Pangan Nasional. d. Pengkajian dan Penerapan Teknologi Transportasi Massal. e. Pengkajian dan Penerapan Teknologi Produksi Obat Generik dan Obat Herbal. f.
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertahanan, Keamanan dan Keselamatan.
g. Pengkajian dan Penerapan Teknologi Material untuk Energi, Transportasi, Kesehatan dan Hankam. h. Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan dan Kebumian untuk mendukung Energi, Pangan, dan Penanggulangan Bencana. i.
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Manufaktur untuk Teknologi Energi, Pangan, Transportasi, Kesehatan dan Hankam.
j.
Pengkajian dan Penerapan Kebijakan Teknologi.
k. Peningkatan Pelayanan Jasa Teknologi. l.
Peningkatan dan Pengembangan Sumberdaya.
m. Peningkatan dan Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Iptek.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
12
1.6 Potensi dan Permasalahan Pusat Teknologi Produksi Pertanian merupakan salah satu unit kerja di Badan Pengkajian dan
Penerapan
Teknologi
(BPPT) yang
berperan
sebagai
lembaga
pengkajian
teknologi, solusi teknologi, intermediasi, audit teknologi dan technology clearing
house (TCH) dalam bidang pertanian agar mampu meningkatkan daya saing industri pertanian dan kemandirian bangsa Indonesia. Kelima peran merupakan kinerja lembaga (Hasil/outcome atau dampak) yang dihasilkan dari program/kegiatan
Untuk mengatasi permasalah bangsa dalam menghadapi tantangan global dan persaingan antar bangsa, kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia, telah menggariskan visi Iptek 2025, yaitu: “iptek sebagai kekuatan utama peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan dan peradaban bangsa”. Berdasarkan visi tersebut, selanjutnya Kementerian Ristek telah merumuskan kebijakan strategis nasional (Jaktstranas) iptek, dan selanjutnya Dewan Riset Nasional (DRN) bersama-sama kementerian Ristek telah merumuskan Agenda Riset Nasional (ARN), yang berlandaskan kepada UU No.18 tahun 2002 tentang sistim nasional penelitian, pengembangan dan penerapan Iptek dan UU No.17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005 – 2025.
Kebijakan pembangunan iptek nasional yang telah digariskan oleh kementerian Ristek dijabarkan dalam arahan sebagai berikut: a. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumberdaya iptek untuk menghasilkan produktivitas litbang yang berdayaguna bagi sector produksi nasional; b. Meningkatkan
kapasitas
dan
kapabilitas
kelembagaan
litbang
dan
lembaga
pendukung untuk mendukung proses transfer dari ide-prototipe, lab prototype industri produk komersial (penguatan sistim inovasi nasional); c.
Mengembangkan dan memperkuat jejaring kelembagaan maupun peneliti di lingkup nasional maupun internasional untuk mendukung peningkatan produktifitas litbang dan pendayagunaan litbang nasional;
d. Meningkatkan kreatifitas dan produktifitas litbang nasional untuk memenuhi kebutuhan teknologi di sector produksi dan meningkatkan daya saing produk-produk nasional dan budaya inovasi; e. Meningkatkan
pendayagunaan
iptek
nasional
untuk
pertumbuhan
ekonomi,
pencuiptaan lapangan kerja baru untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
13
pentingnya iptek; f.
Memberikan prioritas pada 7 (tujuh) bidang focus pembangunan iptek seperti tercantum pada RPJPN 2005 – 2025 dan RPJMN 2015 – 2019 yaitu: (i). bidang ketahanan pangan, (ii). Bidang energi, (iii). Bidang teknologi informasi dan komunikasi, (iv). Bidang teknologi dan manajemen transportasi, (v). Bidang teknologi pertahanan dan keamanan, (vi). Bidang teknologi kesehatan dan obat, (vii). Bidang material maju untuk menopang pengembangan teknologi di masing-masing bidang focus.
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, Pusat Teknologi Produksi Pertanian - Deputi Bidang Teknologi Industri dan Bioteknologi (TAB), sebagai salah satu unit kerja di lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi, dalam merencanakan dan mengimplementasikan pelaksanaan program kegiatannya harus senantiasa mengacu kepada kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta wewenang yang melekat di dalamnya.
Mengacu kepada peran BPPT sebagai lembaga pemerintah yang berperan sebagai lembaga intermediasi, technology clearing house, pengkajian teknologi, audit teknologi dan solusi teknologi dalam meningkatkan kemampuan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional sehingga mampu meningkatkan standar kehidupan bangsa, kemandirian dan daya saing
bangsa
Indonesia.
Kemampuan
Pusat
Teknologi
Produksi
Pertanian
dalam
melaksanakan peran tersebut akan tercermin dari program dan kegiatan di masa yang akan datang yang tertuang dalam Rencana Strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian Tahun 2015 – 2019.
Adapun rencana strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian pada tahun 2016 adalah terlaksananya pengkajian dan penerapan teknologi produksi pertanian, yang terdiri dari: a. Prototipe formula pemercepat penyambungan pada metode grafting kakao b. Prototipe bibit karet hasil propagasi yang terverifikasi c. Paket informasi gen-gen potensial untuk produk bernilai tinggi (Tocoferol) pada kelapa sawit d. Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk Udang Galah e. Kandidat prototype-e pakan sapi komplit berbahan limbah sawit
LAKIP PTPP TAHUN 2016
14
f.
Paket
inovasi teknologi
pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan
organisasi, review site plan, logo/identitas, diseminasi/alih teknologi perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng
Analisis Kekepan Pusat Teknologi Produksi Pertanian Pemetaan potensi dan permasalahan di lingkungan PTPP dilakukan berdasarkan identifikasi dan analisis lingkungan yang berpengaruh berupa analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman (Kekepan). Analisis Kekepan dan lingkungan berpengaruh tersebut seperti dirinci dibawah ini:
Kekuatan 1. Pusat Teknologi Produksi Pertanian memiliki SDM dengan tingkat pendidikan yang tinggi dari berbagai disiplin ilmu dan bidang keahlian. 2. Pusat Teknologi Produksi Pertanian memiliki infrastruktur (laboratorium, workshop, pilot plant) yang cukup lengkap. 3. Pusat Teknologi Produksi Pertanian telah menerapkan sistem dan tata kerja kerekayasaan yang bercirikan team work, well structured and well documented. 4. Pusat Teknologi Produksi Pertanian memilik tupoksi dan mandat khusus di bidang perekayasaan teknologi, technology clearing house, intermediasi teknologi, dan solusi teknologi khususnya di bidang teknologi produksi pertanian. 5. Dengan pengalaman lebih dari 25 tahun dalam melaksanakan program litbangyasa, Pusat Teknologi Produksi Pertanian telah mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk menghasilkan produk dan jasa di bidang teknologi produksi pertanian. 6. Pusat Teknologi Produksi Pertanian memiliki networking yang luas dengan mitra, stakeholder, dan pengguna teknologi
Kelemahan 1. Pendekatan pelaksanan kerja di Pusat Teknologi Produksi Pertanian masih bersifat individual yang belum sesuai dengan Sistem Tata Kerja Kerekayasaan. 2. Rendahnya technopreneurship SDM di Pusat Teknologi Produksi Pertanian, sehingga kurang memperhatikan aspek keekonomian dan komersialisasi produk. 3. Tingginya kesenjangan komposisi usia pegawai di Pusat Teknologi Produksi Pertanian. 4. Reward dan punishment belum diterapkan secara memadai. 5. Program dan kegiatan di Pusat Teknologi Produksi Pertanian masih bersifat inward
LAKIP PTPP TAHUN 2016
15
looking dan belum berorientasi pada kebutuhan dan permintaan pengguna/market (dunia usaha & masyarakat). 6. Kepemilikan HKI Pusat Teknologi Produksi Pertanian masih relatif rendah. 7. Publikasi hasilhasil kegiatan dalam sebuah jurnal nasional dan internasional masih renda. 8. Produk teknologi dan jasa layanan Pusat Teknologi Produksi Pertanian belum dikenal luas akibat kurangnya sosialisasi dan promosi. 9. Hasil-hasil litbangyasa Pusat Teknologi Produksi Pertanian belum dikelola dengan optimal.
Peluang 1. Kompetensi Pusat Teknologi Produksi Pertanian meliputi bidang ketahanan pangani yang merupakan prioritas nasional. 2. Adanya kebijakan pada industri untuk meningkatkan kandungan teknologi dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing dan kemandirian. 3. Meningkatnya permintaan terhadap produk dan jasa layanan teknologi Pusat Teknologi Produksi
Pertanian
oleh
pihak
pengguna
(dunia
usaha,
masyarakat
dan
pemerintah/pemda). 4. Adanya kebutuhan untuk peningkatan kapasitas iptek nasional, dan kemandirian serta daya saing bangsa khususnya pada bidang ketahanan pangan. 5. Adanya otonomi daerah yang mendorong permintaan teknologi untuk UMKM dan daya saing daerah 6. Tuntutan peran Pusat Teknologi Produksi Pertanian pada pola kerja jejaring (networking) dalam beragam aktivitas produktif, baik di sektor publik dan bisnis, maupun dalam masyarakat secara umum.
Ancaman 1. Anggaran yang tersedia terbatas, tidak fleksibel, tidak dapat dilaksanakan secara
multi years sehingga membatasi pengembangan kegiatan Pusat Teknologi Produksi Pertanian. 2. Penggunaan jasa layanan teknologi Pusat Teknologi Produksi Pertanian masih terbatas. 3. Globalisasi menuntut agar Pusat Teknologi Produksi Pertanian mampu berhadapan dengan pesaing dari LN dan DN.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
16
4. Kontribusi teknologi terhadap perekonomian nasional belum diukur dengan jelas sehingga terkesan Pusat Teknologi Produksi Pertanian belum banyak berperan dalam kancah pembangunan nasional. 5. Koordinasi dan harmonisasi pada tataran regulasi/kebijakan, antar institusi, program sangat lemah.
Secara ringkas analisis Kekepan dari PTPP tertuang dalam Tabel 1.9
Tabel 1.5. Faktor-faktor kunci Pusat Teknologi Produksi Pertanian KEKUATAN Memiliki SDM unggul Memiliki infrastruktur cukup lengkap Menggunakan sistem dan tata kerja kerekayasaan yang bercirikan team work Institusi yang learning and growth Mempunyai net-working luas
KELEMAHAN Komitmen dan motivasi kurang kuat Technopreneurship rendah Reward and punishment belum memadai
PELUANG Program Nasional dan Daerah yang memerlukan Dep.TAB
ANCAMAN
Peningkatan produk dan jasa teknologi
Hasil HAKI rendah Promosi, sosialisasi dan manajemen perekayasaan masih rendah
Peningkatan pesaing dan globalisasi Koordinasi dan harmonisasi kebijaka dan program antar institusi lemah
Perubahan ekonomi dunia Tuntutan pola kerja jejaring
LAKIP PTPP TAHUN 2016
17
1.6 Sistematika Penyajian LAKIP PTPP Tahun 2016 terdiri dari 4 Bab yaitu: Bab I.
Pendahuluan Menyajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issued) yang sedang dihadapi organisasi.
Bab II.
Perencanaan dan Perjanjian Kinerja Menguraikan
ringkasan/ikhtisar
perjanjian
kinerja
tahun
yang
bersangkutan
Bab III.
Akuntabilitas Kinerja A. Capaian Kinerja Organisasi B. Realisasi Anggaran
Bab IV.
Penutup Menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
18
BAB II. PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA 2.1. Renc ana Strate gis
Rencana Strategis disusun mengacu pada Rencana Strategis BPPT yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis terakhir serta mengacu pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, khususnya Rencana Pembangunan Bidang Iptek. RPJP 2005-2025, yang mengamanatkan bahwa Penguasaan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Iptek difokuskan pada 7 (tujuh) bidang prioritas yaitu: (i) pembangunan ketahanan pangan, (ii) penciptaan dan pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (iii) pembangunan teknologi transportasi, (iv) penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, (v) pengembangan teknologi pertahanan, (vi) pengembangan teknologi kesehatan dan obat-obatan, dan (vii) pengembangan teknologi material maju. Penyusunan Rencana Strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian-Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi, mengacu kepada dokumen RPJM Nasional 2010 – 2014 dan RPJP 2005 – 2015 sebagaimana tersebut di atas. Visi pembangunan bidang Iptek adalah “Terwujudnya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kekuatan utama kesejahteraan berkelanjutan dan peradaban bangsa”, sedangkan Misi Iptek adalah : a. Menempatkan Iptek sebagai landasan kebijakan pembangunan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan berkelanjutan. b. Memberikan landasan etika pada pengembangan dan penerapan Iptek. c. Mewujudkan sistem nasional inovasi yang tangguh guna meningkatkan daya saing global. d. Meningkatkan difusi Iptek melalui pemantapan jaringan pelaku dan kelembagaan Iptek, termasuk pengembangan mekanisme dan kelembagaan intermediasi Iptek e. Mewujudkan SDM, sarana dan prasarana serta kelembagaan iptek yang berkualitas dan kompetitif. f.
Mewujudkan masyarakat Indonesia yang cerdas, kreatif dan kompetitif dalam suatu peradaban berbasis pengetahuan (Knowledge-Based Society).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
19
2.1.1. Visi Pusat Teknologi Produksi Pertanian Visi dari Pusat Teknologi Produksi Pertanian adalah “Menjadi Pusat Unggulan Teknologi di bidang Produksi Pertanian yang mengutamakan kemitraan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi secara maksimum (100, 50, 2025).”
2.1.2. Misi Pusat Teknologi Produksi Pertanian Dalam mencapai visi tersebut, maka misi yang akan dilaksanakan Pusat Teknologi Produksi Pertanian adalah : a. Memacu perekayasaan teknologi di bidang produksi pertanian untuk meningkatkan daya saing industri. Kontribusi teknologi dalam sektor produksi di bidang pertanian relative rendah. Oleh karena itu Pusat Teknologi Produksi Pertanian BPPT harus mampu meningkatkan kontribusi teknologi di dunia industri pertanian, sehingga semua hasil kegiatan BPPT harus ditindaklanjuti dengan pemanfaatan oleh industri. Hal ini dapat dicapai apabila rencana kegiatan berorientasi pada kebutuhan (demand driven). Dengan demikian setiap kegiatan dapat dilakukan dengan orientasi :
Menghasilkan produk/proses/rekomendasi di bidang teknologi produksi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas industri, daerah, dan nasional.
Menghasilkan teknologi di bidang produksi pertanian yang dapat meningkatkan potensi industri,daerah, dan nasional.
Menghasilkan teknologi di bidang produksi pertanian yang dapat mendorong peningkatan pangsa pasar dan pengguna.
Menghasikan produk/proses teknologi di bidang produksi pertanian yang unik/khas.
Menghasilkan nilai tambah suatu potensi/produk/proses produksi pertanian.
b. Memacu perekayasaan teknologi di bidang produksi pertanian untuk meningkatkan pelayanan publik instansi pemerintah. Meningkatkan pelayanan publik instansi pemerintah yang terkait dengan penggunaan teknologi dan produk teknologi yang State
of the Art dengan orientasi untuk :
Mengembangkan teknologi atau metodologi baru (one step ahead) di bidang produksi pertanian dalam tingkat industri, daerah, dan nasional.
Menggunakan teknologi atau metodologi mutakhir untuk mendukung produksi pertanian atau yang digunakan oleh lembaga terkemuka di dunia.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
20
Memberikan solusi atau rekomendasi kebijakan teknologi di bidang produksi pertanian dengan isu strategis industri, daerah, dan nasional.
c.
Belum ada atau belum banyak yang menguasai.
Memacu perekayasaan teknologi di bidang produksi pertanian untuk meningkatkan kemandirian bangsa dengan berorientasi untuk :
Menghasilkan produk/proses/rekomendasi untuk peningkatan ekspor hasil pertanian dan atau subtitusi impor.
Menghasilkan produk/proses/rekomendasi untuk peningkatan kandungan lokal (TKDN).
Menghasilkan sesuatu inovasi, penguasaan kemampuan teknologi (technological
capabilities) bidang produksi pertanian di tingkat industri daerah dan nasional.
Menghasilkan
produk/proses/rekomendasi
yang
mendorong
tumbuhnya
perekonomian daerah dan nasional.
2.1.3. Tujuan Strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian Dalam rangka mewujudkan visi dan misi BPPT ke dalam program-program yang akan dilaksanakan maka tujuan strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian adalah: a. Memastikan peningkatan jumlah proposal terseleksi untuk mendukung pelaksanaan pengkajian dan penerapan teknologi di bidang Produksi Pertanian. b. Memastikan dukungan Resources Sharing dalam biaya operasi penyelenggaraan Pelayanan Teknologi menuju Visi ‘Mengedepankan Kemitraan’ (100, 50, 2025)’. c. Memastikan manfaat produk layanan teknologi menuju Visi ‘Pemanfaatan Hasil Rekayasa Teknologi di Bidang produksi Pertanian secara Maksimum’ (100, 50, 2025)’. d. Memastikan peningkatan penerimaan pasar atas produk layanan teknologi produksi pertanian dalam rangka pelaksanaan Misi ‘Pelayanan Publik untuk meningkatkan Daya Saing Industri Nasional dan Kemandirian Bangsa’. e. Memastikan dukungan Sumberdaya Manusia yang memiliki integritas dan profesionalitas dalam menghasilkan layanan teknologi di bidang produksi pertanian f. Memastikan tingkat akuntabilitas organisasi dalam mendukung Pelayanan Publik Instansi Pemerintah. g. Memastikan kemampuan internal Sumberdaya Manusia yang memiliki integritas dan profesionalitas dalam menghasilkan layanan teknologi di bidang produksi pertanian.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
21
2.1.4. Sasaran Strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian Sasaran strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian tahun 2016 adalah “Terlaksananya Pengkajian dan Penerapan Teknologi Produksi Pertanian”.
2 .2. Keterkaitan Renstra Pusat TPP dengan Renstra Kedeputian TAB Pasal 31 Ayat 5 UUD 1945 hasil Amandemen ke-4 menyebutkan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Amandemen ini, maka sektor ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mempunyai peran penting bagi upaya pencapaian kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi, pembangunan iptek hanya akan memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan nasional dalam meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat jika produk yang dihasilkan bisa didaya gunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau dapat menjadi solusi bagi permasalahan nyata baik yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat.
Dalam Buku II Bab IV Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahap II dijelaskan bahwa Pembangunan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) diarahkan untuk memantapkan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan iptek dan memperkuat daya saing perekonomian.
Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energy, penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, penyediaan
teknologi
transportasi,
kebutuhan
teknologi
pertahanan
dan
teknologi
kesehatan, serta peningkatan jumlah penemuan dan pemanfaatannya dalam sektor industri. Untuk mencapai hal diatas, dalam RPJMN telah diarahkan strategi pembangunan iptek melalui dua prioritas pembangunan yakni, penguatan Sistem Inovasi Nasional (SIN) dan Peningkatan Penelitian, Pengembangan dan Penerapan iptek (P3Iptek).
Terkait dengan UUD 1945 khususnya pasal 31 ayat 5 dan RPJMN 2010–2014, BPPT selaku lembaga pemerintah membuat visi dan misi yang berorientasi kepada pembangunan teknologi lima tahun kedepan untuk diwujudkan. BPPT telah membuat suatu perencanaan kinerja sehingga terdapat keterkaitan yang errat antara program-program yang dihasilkan dengan semangat yang ada dalam RPJM dalam membangunan negara ini.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
22
BPPT telah membuat suatu perencanaan jangka menengah yaitu Rencana Strategik 20102014 yang sesuai dengan tupoksi dan mengacu pada RPJMN2010-2014. Terkait dengan perencanaan kinerja untuk memenuhi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, BPPT menggunakan Renstra sebagai acuan dalam membuat Rencana Kinerja Tahunan (RKT). Renstra BPPT merupakan acuan dalam penyusunan Renstra Kedeputian. Renstra Kedeputian TAB kemudian akan dijabarkan kedalam renstra unit kerja (pusat) seperti PTPP. Selain itu antara RPJMN, Renstra, Rencana Kerja (Renja), RKT dan Penetapan Kinerja (PK) BPPT hingga ke tingkat unit kerja terdapat saling keterkaitan sebagai satu alur pemikiran (Gambar 2.1).
Renstra Pusat TPP
Renstra Kedeputian
Gambar 2.1. Alur keterkaitan RPJMN, Renstra (BPPT, TAB, PTPP), Rencana Kerja (Renja), RKT dan Penetapan Kinerja (PK)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
23
2.3. Rencana Kinerja Tahun (RKT) 2016 Perencanaan Kinerja Tahunan merupakan penjabaran dari sasaran dan program yang telah ditetapkan dalam rencana strategis yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah melalui berbagai kegiatan tahunan. Rencana Kinerja PTPP Tahun 2015 (Tabel 2.1).
2.4. Penetapan Kinerja Tahun 2016 Dokumen Penetapan Kinerja (PK) merupakan suatu dokumen pernyataan kinerja atau kesepakatan kinerja atau perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan kinerja tertentu berdasarkan pada sumberdaya yang dimiliki oleh instansi. Adapun fungsi dokumen Penetapan Kinerja selain digunakan sebagai alat komunikasi antara atasan dan bawahan yang bersifat top-down juga dijadikan sebagai alat untuk menggabungkan pengukuran kinerja dengan strategi organisasi. Dokumen penetapan kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian berisi sasaran strategis, indikator kinerja unit dan target (Gambar 2.2 dan Gambar 2.3).
Tabel 2.1. Rencana Kinerja Tahunan Tingkat Eselon II - Pusat Teknologi Produksi Pertanian, Tahun Anggaran 2016 Sasaran Kegiatan
Indikator Kinerja Unit
Target
Inovasi Teknologi
Prototipe formula pemercepat penyambungan pada
Peningkatan Daya
metode grafting kakao
Saing Industri Kakao,
Prototipe bibit karet hasil propagasi yang terverifikasi
1
Karet dan Sawit
Paket informasi gen-gen potensial untuk produk bernilai
1
1
tinggi (Tocoperol) pada kelapa sawit Inovasi Teknologi
Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded
Peningkatan Produksi
Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland)
Pangan Sumber
untuk Udang Galah
Protein
Kandidat prototype-e pakan sapi komplit berbahan
1
1
limbah sawit Kawasan Technopark
Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan
1
kelembagaan dan organisasi, review site plan, logo/identitas, diseminasi/alih teknologi perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
24
Gambar 2.2. Pernyataan Perjanjian Kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian Tahun 2016
LAKIP PTPP TAHUN 2016
25
Gambar 2.3. Perjanjian Kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian Tahun 2016
LAKIP PTPP TAHUN 2016
26
2.5. Pelaksanaan Rencana Aksi Untuk memantau dan memastikan bahwa target kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen Penetapan Kinerja (PK) maka BPPT menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi setiap Triwulan, yang berisi hal-hal sebagai berikut: a) Sasaran Strategis; b) Indikator Kinerja Utama; c) Target; d) Program/ Kegiatan; e) Rencana dan Capaian Kinerja; f) Anggaran dan realisasinya.
2.6. Evaluasi Kinerja Evaluasi kinerja yang merupakan salah satu komponen SAKIP dilakukan dalam 4 (empat) cara sebagai berikut: a. Evaluasi SAKIP BPPT, yang dilaksanakan oleh Inspektorat menggunakan panduan yang ditetapkan oleh Kementerian PAN dan RB. b. Evaluasi capaian target kinerja program/kegiatan, yang dilakukan oleh Biro Perencanaan melalui cara pembandingan capaian kinerja Tahun 2016 terhadap :
Capaian kinerja tahun sebelumnya;
Target/sasaran kinerja pada akhir jangka menengah.
Standar lain yang diakui pada tingkat Nasional atau Internasional sesuai dengan bidangnya.
c. Evaluasi program/kegiatan dengan menggunakan (a) pengukuran dan evaluasi kinerja atas pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran (PMK 249 Tahun 2011), dan (b) metode Technology Readiness Level (TRL) dengan rentang nilai 1 sampai dengan 9 oleh Biro Perencanaan sesuai dengan Keputusan Kepala BPPT Nomor 58 Tahun 2013. d. Review atas Renstra BPPT Tahun 2015-2019 yang ada dalam dokumen amandemen Renstra BPPT Tahun 2015-2019, meliputi penyelarasan/penyesuaian tujuan, sasaran stratetgis dan indikator kinerja (versi 1 menjadi versi 2).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
27
BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA PTPP
3.1. URAIAN KEGIATAN 3.1.1. INOVASI TEKNOLOGI PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI KAKAO, KARET DAN SAWIT A. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO DALAM RANGKA MP3EI KORIDOR IV (SULAWESI SELATAN) Indonesia merupakan produsen kakao kedua terbesar dunia, dengan menyumbang 18 % dari pasar global. Secara nasional, komoditas kakao menghasilkan devisa terbesar keempat setelah kelapa sawit, kopi, dan karet. Devisa dari kakao pada tahun 2009 mencapai US $ 1,38 miliar (berasal dari biji dan kakao olahan). Biji kakao olahan menghasilkan cocoa butter (lemak kakao) dan cocoa powder (bubuk kakao) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dunia terutama di Amerika dan Eropa, dimana permintaan kakao mencapai 2,5 juta ton per tahun. Indonesia mentargetkan pada tahun 2025 mampu memproduksi 2,5 juta ton biji kakao dengan nilai ekspor US $ 6,25 miliar. Menurut data ICCO (International Coffee and Cocoa Organization) permintaan kakao dunia terus tumbuh sekitar 2-4 % per tahun bahkan dalam lima tahun terakhir tumbuh 5 % per tahun (3,5 juta ton/tahun). Negara China dan India dengan penduduk yang besar menjadi potensi pasar kakao dari Indonesia.
Gambar 3.1. Peta Sebaran Wilayah Perkebunan Kakao di Indonesia
LAKIP PTPP TAHUN 2016
28
Koridor Ekonomi Sulawesi mempunyai potensi besar bagi pengembangan kegiatan kakao, baik perkebunan maupun industri pengolahan kakao. Total luas lahan kakao di Sulawesi mencapai 838.037 ha atau 58 % dari total luas lahan di Indonesia. Sebagian besar lahan tersebut dimiliki oleh petani mencapai sekitar 96 %. Namun, pengembangan kakao di Indonesia, khususnya di Koridor IV Sulawesi menghadapi tantangan berupa kendala produksi, teknologi, kebijakan, dan infrastruktur. Kurang tersedianya infrastruktur jalan, pelabuhan, listrik, dan gas di provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat menyebabkan pula kehilangan peluang pasar sebesar 600 ribu ton yang setara dengan US $ 360 juta.
Lebih lanjut meskipun Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar untuk pengembangan kakao namun banyak masalah yang dihadapi antara lain adalah produktivitas yang rendah. Produksi kakao terutama di Sulawesi cenderung menurun, walaupun luas areal tanam meningkat. Penyebab utamanya adalah penurunan produktivitas petani kakao yang saat ini hanya 0,4-0,6 Juta Ton/Ha, dibandingkan dengan potensi produktivitasnya sebesar 1-1,5 juta ton/ha. Penurunan produktivitas kakao berhubungan erat dengan kondisi tanaman yang sudah tua, tingginya serangan hama dan penyakit, minimnya penerapan teknik budidaya sesuai anjuran, kurangnya pemeliharaan tanaman, serta keterbatasan infrastruktur pendukung bagi kegiatan perkebunan dan industri pengolahan kakao.
Gambar 3.2. Buah kakao yang terserang hama PBK
Saat ini Sulawesi menyumbang 63 % produksi kakao nasional. Namun, produksi kakao di Sulawesi cenderung menurun, walaupun luas areal tanam meningkat. Penyebab utamanya adalah penurunan produktivitas petani kakao yang saat ini hanya 0,4-0,6 juta ton/ha, dibandingkan
dengan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
potensi
produktivitasnya
sebesar
1-1,5
juta
ton/ha.
Turunnya 29
produktivitas kakao tersebut antara lain disebabkan oleh: (a). penggunaan bibit yang asalasalan atau belum banyak menggunakan bibit unggul, (b). masih tingginya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) yang hingga saat ini belum ditemukan klon kakao yang tahan terhadap hama PBK ini, (c). sebagian besar perkebunan masih dikelola secara tradisional, dan (d). umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, diatas 25 tahun sehingga jauh diatas usia produktif yang berumur antara 13-19 tahun (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).
Untuk mendukung peningkatan mutu dan hilirisasi produksi kakao, diperlukan dukungan terkait regulasi dan kebijakan, diantaranya: (1). menyediakan dukungan aktif saat rehabilitasi dan peremajaan tanaman, penyediaan bibit kakao klon unggul, serta pengendalian organisme pengganggu tanaman kakao berupa hama dan penyakit tanaman, (2). melakukan peningkatan implementasi fermentasi kakao agar mampu menghasilkan kakao berkualitas sebagai bahan olahan (butter, powder, cake) yang memiliki daya saing ekspor produk kakao Indonesia yang tinggi.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang salah satu misinya adalah memacu perekayasaan teknologi untuk kemandirian bangsa, memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam penanganan masalah yang menimpa pengusahaan kakao di Indonesia, terutama dalam hal meningkatkan mutu dan kualitas kakao, melalui melalui pengembangan teknologi produksi tanaman kakao. Hasil riset tersebut diharapkan akan bermuara dalam meningkatkan produktivitas, kualitas dan kontinyuitas produksi kakao dan meningkatkan volume dan kualitas produksi dari industri pengolahan kakao dalam negeri yang akan mampu bersaing di pasar global yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani.
Kegiatan Optimasi Teknologi Produksi Tanaman Kakao, yang merupakan bagian dari Program Teknologi Produksi Kakao Dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan) yang merupakan kerjasama antara BPPT dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulawesi Selatan. Kegiatan Optimasi Teknologi Produksi Tanaman Kakao terdiri dari tiga sub kegiatan yaitu : 1).Teknologi Pengembangan Bibit Kakao, dengan fokus utama kajian memperoleh formula dan dosis Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) untuk pemulihan (recovery) penyambungan dan pertumbuhan bibit kakao, diperoleh bibit tanaman kakao unggul menggunakan teknik sambung pucuk dengan penggunaan stimulant/Zat Pengatur Tumbuh
LAKIP PTPP TAHUN 2016
30
(ZPT), dan sosialisasi penggunaan stimulan untuk penyambungan bibit kakao kepada petani; 2). Aplikasi Good Agricultural Practices (GAP) Budidaya Tanaman Kakao, dengan fokus utama adalah kajian pupuk organik dari bahan baku lokal (Bokashi), memperoleh prototipe dan aplikasi Biopestisida berbahan baku Beauveria bassiana dan Trichoderma asperrelum, dan sosialisasi pembuatan biopestisida berbahan aktif Beauveria bassiana dan Trichoderma
asperrelum kepada petani; serta 3). Pengolahan Produk Hilir Kakao, dengan fokus memperoleh prototipe produk hilir cokelat dan sosialisasi pengolahan produk hilir cokelat kepada UMKM.
A. 2. Metodologi Pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui sistem kerekayasaan dengan pembentukan organisasi program kerekayasaan “TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO DALAM RANGKA MP3EI KORIDOR IV (SULAWESI SELATAN)l” yang terdiri dari tiga struktur kerja rinci (Work Breakdown Structure/ WBS) dan delapan paket pekerjaan (Work Package/ WP) : A. 2. 1. WBS 1 : Teknologi Pengembangan Bibit Kakao WP 1.1. Formulasi Melaksanakan pengujian formulasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) untuk recovery, percepatan pertautan dan stimulan pertumbuhan bibit kakao hasil Sambung Pucuk, baik dari aspek komposisi maupun teknik aplikasinya. Luaran dari kegiatan ini diharapkan diperoleh formula ZPT sebagai prototipe-1 dan rekomendasi teknik aplikasinya. Tahapan pengujian di
WP Formulasi dimulai dengan penyediaan tanaman rootstock,
pembuatan larutan stimulan, penyambungan tanaman, aplikasi pengujian, pencatatan dan pengolahan data pertumbuhan. Terdapat dua pengujian yaitu : 1. Pengujian formula stimulan dengan teknik penyemprotan pada entres/scion 2. Pengujian formula stimulan dengan teknik penyiraman pada media tanam.
Penyediaan tanaman rootstock Pengujian diawali dengan penyiapan tanaman batang bawah (rootstock). Tanaman batang bawah berasal dari benih (biji) kakao Hybrida F1 bersertifikat varietas Lindak
yang
diperbanyak dan didatangkan dari kebun pembenihan bersertifikat yang berlokasi di Wonuambuteo Kec. Lambandia Kab. Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Adapun proses penyemaian sebagai berikut : 1.
Benih dipisahkan dari serbuk gergaji.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
31
2.
Benih direndam dalam air selama 2 jam dan digosok supaya bersih dari fungisida yang melekat pada permukaan benih.
3.
Selanjutnya benih dihamparkan di atas dan ditutup dengan karung goni yang selalu basah (lembab), untuk itu dilakukan penyiraman 2-3 kali sehari selama 2 hari sehingga benih berkecambah 2-3 mm.
4.
Benih siap ditanam di polybag yang telah berisi media tanam campuran tanah dan pupuk kandang 1:1. Sebelum benih ditanam, media disiram terlebih dahulu. Penamananh dilakukan dengan menancapkan benih dengan radikal di bagian bawah atau sisi benih yang lebih lancip di bagian atas.
5.
Tanaman siap disambung saat berumur 3 bulan.
Gambar 3.3. Penyiapan tanaman rootstock untuk pengujian stimulan
Pembuatan larutan stimulan Pembuatan larutan stimulan dilaksanakan di Laboratorium PTPP-Laptiab. Larutan disiapkan dalam bentuk stok dengan volume sesuai dengan kebutuhan untuk pengujian di rumah kaca. Stimulan yang diuji terdiri dari 6 varian formula. Varian A1 merupakan varian hasil uji tahun 2015. Lima varian lainnya yaitu A3, M, N, O, P merupakan varian baru hasil modifikasi. Adapun komponen stimulan meliputi zat pengatur tumbuh yang dapat mendorong pertumbuhan tajuk tanaman, hara makro magnesium yang dibutuhkan untuk memperlancar
LAKIP PTPP TAHUN 2016
32
proses fotosintesis, hara mikro Iron sebagai katalisator pembentukan klorofil daun serta vitamin B1 yang dapat mengurangi tingkat stress tanaman akibat proses penyambungan. Tabel 3.1. Komposisi 6 varian ZPT yang akan diuji (ppm) No Varian Sitokinin Fe 1 A1 200 2 A3 200 5 3 M 10 5 4 N 20 5 5 O 30 5 6 P 40 5
Mg
Vit B1
40 40 40 40 40
2 2 2 2 2
Rancangan statistik Terdapat dua percobaan untuk menguji efektivitas varian stimulan. Percobaan pertama adalah menguji efektivitas stimulan dengan teknik apliksi penyemprotan dan frekuensi semprot. Percobaan kedua adalah menguji efektivitas stimulan dengan teknik apliksi penyiraman dan frekuensi penyiraman. Masing-masing percobaan menggunakan rancangan statistik acak kelompok lengkap dengan 19 perlakuan dan tiga kelompok ulangan (Tabel 3.2). Masing-masing perlakuan terdiri dari 10 tanaman hasil sambung sehingga terdapat 570 tanaman pada tiap pengujian.
Tabel 3.2. Perlakuan pengujian stimulan grafting kakao Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Teknik Penyemprotan 1 (A1S1) 2 (A1S2) 3 (A1S3) 1 (A3S1) 2 (A3S2) 3 (A3S3) 1 (M-S1) 2 (M-S2) 3 (M-S3) 1 (N-S1) 2 (N-S2) 3 (N-S3)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
Teknik Penyiraman 1 (A1P1) 2 (A1P2) 3 (A1P3) 1 (A3P1) 2 (A3P2) 3 (A3P3) 1 (M-P1) 2 (M-P2) 3 (M-P3) 1 (N-P1) 2 (N-P2) 3 (N-P3)
Varian stimulan yang diuji A1
A3
M
N
33
Perlakuan
13 14 15 16 17 18 19
Teknik Penyemprotan 1 (O-S1) 2 (O-S2) 3 (O-S3) 1 (P-S1) 2 (P-S2) 3 (P-S3) K
Teknik Penyiraman 1 (O-P1) 2 (O-P2) 3 (O-P3) 1 (P-P1) 2 (P-P2) 3 (P-P3) K
Varian stimulan yang diuji O
P Kontrol
Keterangan : S1 = penyemprotan 1 kali, S2 = penyemprotan 2 kali, S3 = penyemprotan 3 kali P1 = penyiraman 1 kali/minggu, P2 = penyiraman 2 kali/minggu, P3 = penyiraman 3 kali/minggu Penyambungan tanaman dan aplikasi larutan stimulan Penyambungan dilakukan saat tanaman batang bawah berumur 3 bulan. Batang atas yang digunakan adalah entres kakao klon S1 yang merupakan tanaman koleksi yang ditanam di lingkungan Laptiab. Metode penyambungan menggunakan teknik V (Gambar 3.4).
Gambar 3.4. Teknik penyambungan V Aplikasi stimulan dengan cara penyemprotan dilakukan terhadap entres dua jam sebelum proses penyambungan sesuai dengan perlakuan hingga entres basah merata. Penyemprotan entres (scion) dilakukan kembali ketika penyambungan berumur 1 bulan (untuk perlakuan 2 kali penyemprotan) dan kembali disemprot ketika berumur 2 bulan setelah sambung (untuk perlakuan 3 kali penyemprotan).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
34
Aplikasi stimulan dengan penyiraman media tanam sebanyak 50 ml/tanaman dilakukan setelah tanaman disambung sesuai dengan perlakukan. Penyiraman dilakukan satu minggu sekali (untuk perlakuan 1 kali penyiraman/minggu), dua kali seminggu (untuk perlakuan 2 kali
penyiraman/minggu)
dan
tiga
kali
seminggu
(untuk
perlakuan
3
kali
penyiraman/minggu).
Gambar 3.5. Penyambungan tanaman dan aplikasi stimulan grafting
WP 1.2. Seleksi Melaksanakan seleksi varian kakao yang memiliki keunggulan: tingkat produktivitas tinggi, kualitasnya bagus, dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
Untuk
mengidentifikasi keunggulan kualitas kakao secara lebih cepat maka dilakukan dengan bantuan marka molekuler. Teknik molekuler yang akan digunakan untuk mendeteksi keragaman dan membantu proses seleksi tanaman adalah marka SNAP (Single Nucleotide Amplified Polimorphism). Dari kegiatan ini diharapkan diperoleh informasi keragaman mutu kakao hasil eksplorasi berdasarkan marka SNAP yang sela njutnya dikembangkan untuk mendeteksi dan menseleksi mutu varian kakao Isolasi DNA Isolasi
DNA
daun
dilakukan
menggunakan
kit
isolasi
DNA
tanaman
Geneaid
(www.geneaid.com). Adapun tahapan isolasi DNA dilakukan sebagai berikut: 1.
Tahap 1 : disosiasi jaringan Potong 50 mg jaringan segar tanaman (daun) Bekukan dengan nitrogen cair di cawan petri Gerus daun sampai menjadi bubuk halus dan dipindahkan ke tabung mikrosentrifuse 1.5 ml
2.
Tahap 2 : lisis jaringan Tambahkan 400 ul buffer GP1 dan 5 ul RNAse A ke tabung dan campur dengan vortex
LAKIP PTPP TAHUN 2016
35
Inkubasi pada 60 oC selama 10 menit. Selama inkubasi, balik tabung tiap 5 menit Pada tahap ini, panaskan buffer elution (50 ul per sample) pada suhu 60 oC (untuk digunakan pada tahap akhir) Tambahkan 100 ul buffer GP2 dan campur dengan vortex lalu inkubasi di dalam es selama 3 menit Tempatkan kolom filter di atas tabung koleksi 2 ml lalu pindahkan campuran tadi ke kolom filter Sentrifuse selama 1 menit pada 1000 x g lalu buang kolom filter Secara hati-hati pindahkan cairan dari tabung koleksi 2 ml ke tabung mikrosentrifuse 1.5 ml yang baru 3.
Tahap 3 : DNA binding (pengikatan DNA)
Tambahkan 1.5 volume buffer GP3 lalu vortex segera selama 5 detik Jika ada padatan, hancurkan dengan pipet Tempatkan kolom GD di atas tabung koleksi 2 ml Pindahkan 700 ul campuran ke kolom GD Sentrifuse pada kecepatan 14.000-16.000 x g selama 2 menit Buang cairan di bagian bawah lalu tempatkan kembali kolom GD di atas tabung koleksi 2 ml Tambahkan sisa campuran ke kolom GD lalu sentrifuse pada kecepatan 14.00016.000 x g selama 2 menit Buang cairan di bagian bawah lalu tempatkan kembali kolom GD di atas tabung koleksi 2 ml 4.
Tahap 4 : pencucian
5.
Tambahkan 400 ul buffer W1 ke kolom GD lalu sentrifuse pada kecepatan 14.00016.000 x g selama 30 detik Buang cairan di bagian bawah lalu tempatkan kembali kolom GD di atas tabung koleksi 2 ml Tambahkan 600 ul buffer W1 ke kolom GD lalu sentrifuse pada kecepatan 14.00016.000 x g selama 30 detik Buang cairan di bagian bawah lalu tempatkan kembali kolom GD di atas tabung koleksi 2 ml Sentrifuse pada kecepatan 14.000-16.000 x g selama 3 menit untuk mengeringkan matrix secara sempurna
Tahap 5 : elusi DNA
Tambahkan 50 ul buffer elusi yang sudah dipanaskan ke bagian tengah kolom matrix Biarkan selama 3-5 menit untuk memastikan larutan elusi diserap secara sempurna
LAKIP PTPP TAHUN 2016
36
Sentrifuse pada kecepatan 14.000-16.000 x g selama 30 detik untuk melarutkan DNA yang telah dipurifikasi Konsentrasi dan kemurnian larutan DNA kemudian diukur pada tingkat absorbansi 260 nm dan 280 nm dengan menggunakan nanodrop.
Desain Primer Spesifik Disain primer spesifik dilakukan dengan mengakses data sekuenss gen penentu mutu kakao dari aksesi tanaman kakao yang terdeposit di NCBI. Dari aksesi-aksesi yang diperoleh di NCBI, akan dipilih fragmen gen mutu kakao terpanjang. Daerah yang sama diidentifikasi menggunakan software Geneious, sedangkan primer dirancang menggunakan software Primer3plus.
Amplifikasi DNA dengan Primer Spesifik Sampel DNA yang akan digunakan sebagai template PCR dicek konsentrasi dan kemurniannya terlebih dahulu dengan nanodrop, kemurnian DNA yang digunakan pada panjang gelompang 260/280 berkisar antara 1.8 - 2.0. Total volume mixed PCR adalah 20μL. Reaksi PCR dilakukan dengan terlebih dahulu mengoptimasi siklus, suhu dan waktu yang digunakan. Sebagai panduan digunakan reaksi PCR menurut Bhattacharjee et al. (2004) sebagai berikut: denaturasi pada 95°C selama 5 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus pada suhu 94°C selama 30 detik, annealing pada suhu 51°C selama 1 menit, dan 72°C selama 1 menit kemudian dilanjutkan dengan pemanjangan primer pada 72°C for 7 min. Hasil PCR kemudian disimpan pada suhu 4°C.
Elektroforesis hasil amplifikasi PCR menggunakan 0.8% gel agarose. Agarose ditambahkan ke dalam larutan TAE 1x, kemudian dihomogenkan menggunakan microwave. Sampel DNA dicampur loading dye dengan perbandingan 5:2 kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel dalam tank elektroforesis. Elektroforesis dilakukan dengan tegangan 120 volt selama 30 menit, kemudian dilihat hasilnya menggunakan UV illumination. Hasil PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik sesuai ukuran primer.
Perunutan nukleotida dan analisis sekuen produk PCR Produk PCR (single band) dipurifikasi menggunakan PCR DNA fragments Extraction kit. Hasil purifikasi digunakan sebagai bahan untuk perunutan nukleotida menggunakan DNA
LAKIP PTPP TAHUN 2016
37
sequenser. Hasil runutan DNA dianalisis menggunakan software BLAST yang tersedia secara online di situs NCBI (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi) untuk mengetahui identitas fragmen genomik DNA yang didapatkan serta tingkat kemiripannya dengan gen mutu tanaman lain.
Analisis Data Keragaman Analisis similaritas dihitung berdasarkan rumus Nei dan Li, kemudian analisis pengelompokan dilakukan menggunakan Sequential, Agglomerative, Hierarchical and Nested (SAHN) UPGMA (Unweighted pair-group method, arithmetic average). Analisis clustering dilakukan dengan bantuan software DARWIN.
WP 1.3. Propagasi Melaksanakan propagasi bibit untuk tujuan peremajaan tanaman kakao yang sudah tua.Adapun kegiatan yang dilakukan secara garis besar adalah pembuatan screen house, penyiapan tanaman batang bawah (dari persemaian benih), penyiapan entres yang tersertifikasi, penyambungan dan pemeliharaan. Target bibit yang dhasilkan sebanyak 10.000 tanaman dan telah disitribusikan ke petani pada bulan Oktober 2016.
Penyiapan Rumah Naungan Kegiatan propagasi bibit kakao dilaksanakan di Kelurahan Tetikengrarai, Kecamatan Mario Riwawau, Kabupaten Soppeng. Di lokasi pembibitan dibangun rumah naungan yang berukuran 12 m x 21 m yang dilengkapi dengan saluran pengairan berupa pipa dan sprinkle dari sumber air sumur bor (Gambar 3.6).
Gambar 3.6. Persiapan pembangunan rumah naungan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
38
Penyiapan benih dan tanaman rootstock Benih kakao untuk tanaman rootstock adalah benih kakao hibrid F1 bersertifikat, PT. Hashfarm (Gambar 3.7). Dari 15.000 benih yang didatangkan setelah diseleksi hanya 11.178 benih yang bernas dan layak disemai. Pada 1 bulan setelah semai dilakukan pendataan dan penyortiran tanaman rootstock yang tumbuh normal, berkecambah, abnormal dan mati (Tabel 3.3, Gambar 3.8). Tanaman yang tumbuh normal sebanyak 9.926 sedangkan diperlukan batang bawah sebanyak 15.000 untuk memenuhi kebutuhan bibit hasil sambung sebanyak 10.000
bibit. Untuk kebutuhan tersebut dilakukan penambahan benih
(penyemaian susulan) sehingga mencukupi kebutuhan tanaman batang bawah.
Gambar 3.7. Benih kakao bersertifikat dan media tanam untuk tanaman rootstock
Tabel 3.3. Jumlah bibit tumbuh normal, berkecambah, abnormal dan mati umur 1 bulan setelah semai Kondisi Pertumbuhan Root stock
Jumlah total
Normal
Berkecambah
Abnormal
Mati
Jml tanaman
9,926
903
91
258
11,178
Persentase
88.80
8.08
0.81
2.31
100
Note. Untuk kebutuhan penyediaan 10.000 bibit hasil sambung dilakukan penyemaian susulan tanaman rootstock.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
39
Gambar 3.8. Bibit berkecambah dan bibit tumbuh normal
Gambar 3.9. Kondisi bibit root stock dalam bedengan
Bersamaan dengan pendataan tanaman root stock umur 1 bulan setelah tanam dilakukan juga aplikasi pupuk Technofert (berbahan aktif Mikoriza). 1. Media tanam untuk bibit kakao, terdiri dari campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Kompos terbuat dari : kotoran ayam, sekam bakar, dedak halus dan cacakan daun jerami/daun kakao + Decomposer 2. Polibag yang digunakan berukuran tebal=0.04 mm, lebar=17x25 cm, panjang=100 cm 3. Aplikasi Technofert 4. Menyiapkan alat (tugal dan takaran pupuk). Takaran pupuk dibuat untuk mencukupi dosis per bibit/polybag sebanyak 5 gr. 5. Membuat 2 lubang pada kanan dan kiri tanaman dengan menggunakan tugal sedalam ± 5 cm dengan mengarah ke perakaran tanaman
LAKIP PTPP TAHUN 2016
40
6. Mengaplikasikan Technofert pada kedua lubang tersebut dan menutup kembali lubang dengan media tanam
Gambar 3.10. Penyiapan tugal dan alat takar
Gambar 3.11. Proses aplikasi Technofert
Gambar 3.12. Kondisi bibit root stock ketika berumur 2 bulan setelah tanam
LAKIP PTPP TAHUN 2016
41
Penyambungan dan aplikasi stimulan Mulako Penyambungan batang atas (entres) dilakukan ketika tanaman batang bawah telah berumur 3 bulan (Gambar 3.13). Batang atas yang digunakan adalah klon Sulawesi-1, Sulawesi-2 dan M45 (MCC-02). Penyambungan menggunakan metode V. Setelah bibit disambung tanaman disiram dengan stimulan MULAKO dengan dosis 100 ml/200 L air sebanyak 50 ml/tanaman dan dilakukan 1-2 kali/minggu selama 2 bulan.
Gambar 3.13. Penyambungan rootstock dan scion
Gambar 3.14. Aplikasi stimulan Mulako pada bibit sambung
Sertifikasi dan penyerahan bibit ke petani penangkar Bibit hasil sambung disertifikasi oleh petugas sertifikasi dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan. Sertifikasi dilakukan ketika bibit telah berumur 3 bulan sejak proses penyambungan.
Pengelompokkan bibit didasarkan pada klon scion (entres)
yang digunakan untuk penyambungan yang ditampilkan pada Tabel 3.4. Total bibit dibagikan kepada petani penangkar sebanyak 10.280 bibit.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
42
Tabel 3.4. Klon dan jumlah bibit yang dibagikan ke petani penangkar No Klon bibit Jumlah 1 Sulawesi-1 3100 2 Sulawesi-2 3180 3 MCC-02 4000 Total 10.280
Gambar 3.15. Penyerahan bibit kakao kepada penangkar
A. 2. 2. WBS 2 : Aplikasi GAP Budidaya Tanaman Kakao WP 2.1. Pengkajian Pemupukan Melaksanakan pengkajian pemupukan, yang meliputi jenis dan cara pemupukan tanaman kakao. Hasil kegiatan WP ini adalah analisis dan rekomendasi pemupukan untuk kakao.
Bahan yang digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah adalah pupuk. Biasanya, pupuk yang dimaksudkan adalah pupuk kimia (urea, TSP, KCl), pupuk organik (kompos, pupuk kandang). Berdasarkan kebutuhan tanaman, pupuk dikelompokkan menjadi: pupuk makro dan pupuk Mikro. Pupuk Makro dalah pupuk yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar, terdiri dari unsur makro primer dan sekunder. Unsur makro primer meliputi Nitrogen (N), Pospat (P), dan Kalium (K), sedangkan makro sekundernya meliputi Kalsium (Ca), 43
LAKIP PTPP TAHUN 2016
Magnesium (Mg), dan Sulfur (S). Pupuk Mikro adalah pupuk yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah relatif kecil. Sekalipun dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun mutlak diperlukan tanaman, meliputi Klor (Cl), Besi(Fe), Mangan (Ma), Tembaga (Cu), Boron (B), Molibdenum (Mo), dan Seng (Zn).
Salah satu upaya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemupukan dapat dilakukan dengan memodifikasi produk pupuk urea maupun pupuk majemuk NPK dalam bentuk slow release fertilizer (SRF). SRF diformulasikan dalam bentuk granul dengan menggunakan zeolit alam sebagai matrik dan binder yang bersifat biodegradable. Zeolit mempunyai sifat-sifat : higroskopis, luas permukaan yang tinggi, KTK dan daya adsorpsi-desorpsi. Efisiensi diperoleh karena urea dalam bentuk SRF akan melepaskan urea ke dalam tanah secara lambat dan terkontrol. Dengan melepaskan urea secara lambat dan terkontrol diharapkan efisiensi bisa diperoleh berdasarkan tanggap tanah atas pemupukan dan tanggap tanaman atas hara yang tersedia dalam tanah. Urea yang dilepaskan ke dalam tanah masih berada dalam kapasitas dan kemampuan tanaman untuk menyerap, sehingga urea yang hilang karena penguapan, perlindian dan lain-lain sangat berkurang.
Pembuatan Pupuk Bokashi Bokashi adalah suatu metode pengomposan cepat dan efektif yang dapat menggunakan starter aerobik maupun anaerobik untuk mengkomposkan bahan organik, yang biasanya berupa campuran molasses, air, starter mikroorganisme, dan sekam padi. Sebagian kompos (pupuk bokashi) yang sudah jadi dapat digunakan untuk proses starter pengomposan berikutnya, sehingga proses ini dapat diulang dengan cara yang lebih efisien. Starter yang digunakan amat bervariasi, dapat diinokulasikan dari bahan sederhana seperti kotoran hewan, jamur, spora jamur, cacing, ragi, acar, asalkan material tersebut mengandung organisme yang mampu melakukan proses pengomposan.
Pada pengomposan tingkat rumah tangga, sampah dapur menjadi material yang dikomposkan, bersama starter dan bahan tambahan yang menjadi pembawa starter tersebut, seperti sekam padi, sisa gergaji kayu, ataupun kulit gandum dan batang jagung. Mikroorganisme starter memfermentasikan sampah dapur dan mempercepat pembusukan materi organik.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
44
Umumnya pengomposan berlangsung selama 10-14 hari. Kompos yang dihasilkan akan terlihat berbeda dengan kompos pada umumnya; kompos bokashi akan terlihat hampir sama dengan sampah aslinya namun lebih pucat. Pembusukan akan terjadi segera setelah pupuk kompos ditempatkan di dalam tanah. Pengomposan bokashi hanya berperan sebagai pemercepat proses pembusukan sebelum material organik diberikan ke alam.
Pupuk Bokashi dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, meningkatkan produksi tanaman dan menjaga kestabilan produksi tanaman, serta menghasilkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian yang berwawasan lingkungan. Pupuk bokashi tidak meningkatkan unsur hara tanah, namun hanya memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, sehingga pupuk anorganik masih diperlukan. Pupuk bokashi, seperti pupuk kompos lainnya, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kandungan material organik pada tanah yang keras seperti tanah podzolik sehingga dapat meningkatkan aerasi tanah dan mengurangi bulk density tanah.
Hal pertama yang harus dilakukan untuk membuat pupuk bokashi adalah menyiapkan mikroorganisme dekomposernya. Salah satu dekomposer bokashi yang paling populer adalah EM4. Larutan EM4 terdiri dari mikroorganisme yang diisolasi secara khusus untuk menguraikan sampah organik dengan cepat. Mikroorganisme yang terkandung dalam EM4 terdiri dari bakteri fotosintesis, bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), Actinomycetes dan ragi. EM4 dijual di pasaran dalam bentuk cairan kental yang telah dikemas dalam berbagai ukuran. Untuk membuat dekomposer bokashi, cairan EM4 tersebut diencerkan, lalu dicampur dengan bahan baku bokashi.
Pelaksanaan Kegiatan Pemupukan Di Lokasi demfarm dilaksanakan penerapan pemupukan dengan tiga perlakuan, yaitu: a. Rekomendasi dari kegiatan pemupukan tahun lalu b. Pupuk yang memberikan hasil paling optimum pada hasil pengamatan selama bulan November 2014 – Oktober 2015 adalah pada perlakuan P0M2 (Petroganik 4 kg/tanaman + Boron 2000 ppm/tanaman c. Bokashi
LAKIP PTPP TAHUN 2016
45
d. Rekomendasi Cacao Care, yaitu tiap pohon dipupuk 100gr ure + 350 gr phonska + 100 gr fosfat + 500 gr dolomit, ditambah Foliar 1 kemasan/ 30 tanaman.
Di lokasi luar demfarm semula direncanakan penelitian untuk pengujian dengan 7 (tujuh) perlakuan. Tetapi, sarana (lahan dan tanaman kakao) dan pelaksana (petani dan pengamat) tidak bisa memenuhi standar untuk penelitian karena keterbatasan dana dan waktu untuk mencari sarana dan pelaksana terbatas. Pemupukan untuk kedua perlakuan telah dilaksanakan, yaitu rekomendasi dari kegiatan tahun lalu dan rekomendasi lokal. Untuk perlakuan bokashi belum bisa dilaksanakan karena terkendala dana. Pengamatan hasil panen belum bisa dilaksanakan karena kegiatan ini belum musim panen.
WP 2.2. Pengembangan Biopestisida Melaksanakan kegiatan pengkajian aplikasi GAP Budidaya melalui pengembangan prototipe biopestisida untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman yang banyak menyerang tanaman kakao. Ruang lingkup kegiatan WP 2.2
meliputi:
(a).
Pengembangan biofungisida berbahan aktif Trichoderma asperellum untuk pengendalian penyakit busuk buah kakao, dan (b). Pengembangan bioinsektisida berbahan aktif Beauveria bassiana untuk pengendalian hama Penggerek Buah Kakao (PBK).
Kegiatan formulasi biopestisida terdiri atas: (a) persiapan media/ substrat; (b) perbanyakan mikroba; (c) inokulasi mikroba, (d) pengeringan, (e) penghalusan; (f) pengujian biopestisida. 1.
Tahap penyiapan substrat, - Beras ditimbang kemudian dicuci bersih, direndam selama 3 jam, ditiriskan. - Beras tersebut dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL (atau plastik tahan panas) dan disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121oC tekanan 15 atm selama 1 jam, didinginkan
2.
Tahap inkubasi: - Substrat beras yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu kamar dalam kondisi gelap selama 15 hari (seluruh permukaan biji ditumbuhi oleh miselium cendawan) - Pengadukan dilakukan setiap hari yang dimulai pada hari ke-3 atau setelah secara visual cendawan tumbuh di permukaan substrat secara penuh.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
46
- Pengadukan bertujuan untuk meratakan pertumbuhan cendawan sehingga tidak hanya terjadi di bagian permukaan substrat, memberikan pertukaran oksigen bebas dan memelihara kelembaban. - Kondisi tempat gelap juga bertujuan untuk menginduksi pembentukan spora karena hasil akhir yang akan dipanen adalah spora dengan jumlah yang mencukupi. 3.
Tahap Pengeringan: - Substrat (beras) pada berbagai macam perbandingan yang telah ditumbuhi oleh cendawan kemudian dikeluarkan dari dalam labu Erlenmeyer (plastik) - kemudian dikeringkanginkan selama kurang lebih 5 hari. Pengeringanginan dilakukan di dalam drying chamber atau lemari pengering. - Pada proses pengeringan kondisi lingkungan dijaga agar tidak terjadi kontaminasi dari mikroorganisme lain, terutama di awal proses pengeringan ketika kadar air masih cukup tinggi
4.
Tahap Penghalusan: - Setelah kering, substrat yang ditumbuhi miselium serta berisi spora cendawan tersebut dihaluskan menggunakan blender, disaring - Proses penghalusan dengan blender diusahakan tidak terlalu lama untuk menghindari hancurnya spora.
5.
Tahap Aplikasi: - biopestisida dicampur dengan air lalu diaduk. - larutan tersebut disaring dengan kain, sehingga partikel dari pencampur (carrier) yang ukurannya lebih besar dari nozle semprotan punggung (knapsack sprayer) tersaring. - Larutan dimasukan sprayer, kemudian disemprotkan pada buah kako yang terserang. - Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap kejadian dan intensitas penyakit pada tanaman contoh.
Kegiatan tahun 2016 WP 2.2 Pengendalian OPT kakao pada 2016 adalah: -
Kajian eksplorasi cendawan lokal yang berpotensi APH Pengujian biofungisida berbahan aktif T. asperellum secara in vitro. Pengujian biofungisida berbahan aktif T. asperellum secara in vivo Uji bioefikasi bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana skala laboratorium.
Eksplorasi cendawan lokal dari perkebunan kakao perlu dilakukan untuk mendapatkan cendawan yang lebih adaptif apabila cendawan tersebut akan diaplikasikan di perkebunan kakao. Pengujian biofungisida secara in vitro diperlukan untuk mengetahui konsentrasi yang LAKIP PTPP TAHUN 2016 47
sesuai sebelum diaplikasikan ke perkebunan. Kedua produk yang telah dihasilkan perlu diuji Efektivitasnya terhadap hama dan penyakit kakao pada skala laboratorium.
Eksplorasi Biofungisida Trichoderma Trichoderma spp. adalah cendawan saprofit tanah yang secara alami dapat dimanfaatkan sebagai
agen
hayati,
karena memiliki sifat antagonisme terhadap patogen berupa
kompetisi ruang dan nutrisi, mikoparasit dan antibiosis. Cendawan Trichoderma sp. Memiliki beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi, daya adaptasi luas, mudah ditemukan di tanah areal pertanaman, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat, memiliki kisaran mikroparasitisme yang luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman (Gusnawaty et al. 2014).
Tahapan kegiatan eksplorasi cendawan antagonis Trichoderma spp. Adalah: (a)
isolasi
cendawan antagonis dari serasah daun kakao (Efendi et al. 2014) atau isolasi cendawan antagonis dari tanah, (c) iIdentifikasi dan karakterisasi secara morfologi, (d) identifikasi dan karakterisasi secara molekuler.
Pengujian biofungisida berbahan aktif T. asperellum secara in vitro Pengujian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi PTPP .Biakan murni T. asperellum ditumbuhkan pada media PDB dan diinkubasi pada shaking incubator dengan suhu 25oC30oC selama 4 hari. Biakan murni diinokulasikan pada beras sebagai substrat pembawa dengan formulasi 1:4 (v/w), diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari, dikeringkan, dan dihaluskan. Kerapatan spora biofungisida dihitung menggunakan haemocytometer dan diuji efektivitasnya menggunakan metode Tondje et al.(2007) dengan perlakuan 10 gr/ml; 1 gr/ml; 0.1 gr/ml. Perlakuan diinkubasi selama 7x24 jam, kemudian pertumbuhan patogen diamati dan dicatat dari presentase penghambatan pertumbuhan jejari dengan rumus Royse dan Ries (1977).
Pengujian biofungisida berbahan aktif T. asperellum secara in vivo Biakan murni T. asperellum ditumbuhkan pada media PDB dan diinkubasi pada
shaking incubator dengan suhu 25oC-30oC selama 4 hari. Biakan murni diinokulasikan pada beras sebagai substrat pembawa dengan formulasi 1:4 (v/w), diinkubasi pada suhu ruang
LAKIP PTPP TAHUN 2016
48
selama 7 hari, dikeringkan, dan dihaluskan. Kerapatan spora biofungisida dihitung menggunakan haemocytometer. Efektivitas diuji menggunakan metode Umrah et al. (2009). Rancangan percobaan yang digunakan merupakan Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan K0 = Kontrol (infeksi P. palmivora tanpa biofungisida); K1 = 10 gr/ml; K2 = 1 gr/ml; K3 = 0.1 gr/ml; K4 = air steril. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Parameter yang diamati adalah jejari busuk buah.
K1
K2
K4
K3
K5
Gambar 3.16. Pengujian biofungisida berbahan aktif T. asperellum secara in vivo
Bioinsektisida Salah satu biopestisida untuk mengendalikan hama serangga adalah bioinsektisida berbahan aktif cendawan Beauveria bassiana dan Verticillium lecanii. Mekanisme pengendalian serangga hama oleh B. bassiana dan V. lecanii adalah melalui infeksi langsung hifa atau spora B. bassiana dan V. lecanii ke dalam kutikula melalui kulit luar serangga. Pertumbuhan hifa akan mengeluarkan enzim yang menyerang dan menghancurkan kutikula, sehingga hifa
LAKIP PTPP TAHUN 2016
49
tersebut mampu menembus dan masuk serta berkembang di dalam tubuh serangga. Pada perkembangannya di dalam tubuh serangga, B. bassiana akan mengeluarkan racun yang disebut bauvericin sedangkan V. lecanii akan mengeluarkan dua senyawa metabolit yaitu
dipicolinic acid dan cyclodepsipeptide. Racun-racun tersebut akan menyebabkan terjadinya paralisis pada anggota tubuh serangga. Paralisis menyebabkan serangga kehilangan koordinasi sistem gerak, sehingga gerak serangga tidak teratur dan lama-kelamaan melemah, kemudian berhenti sama sekali. Setelah lebih kurang lima hari terjadi kelumpuhan total dan kematian. Toksin juga menyebabkan kerusakan jaringan, terutama pada saluran pencernaan, otot, sistem saraf, dan sistem pernafasan serangga.
Proses produksi biomassa aktif cendawan entomopatogen B. bassiana dan V. lecanii sebagai bahan aktif bioinsektisida pada kegiatan ini akan dilakukan melalui proses fermentasi cair yang kemudian akan diformulasi menggunakan substrat pembawa berupa soluble starch. Tujuan formulasi adalah untuk mempertahankan viabilitas dari cendawan melalui serangkaian langkah perbanyakan spora sehingga jumlah spora cendawan B. bassiana dan
V. lecanii dapat stabil dan virulen hingga saat penggunaan. Kajian Eksplorasi Cendawan Lokal Berpotensi APH
B. bassiana dapat diisolasi dari serangga yang mati karena terinfeksi B. bassiana (Hasyim dan Azwana 2003). Metode yang direkomendasikan
untuk
mengisolasi
cendawan
entomopatogen dari populasi asli atau lokal adalah metode pemancingan dengan serangga (insect bait method), yaitu metode yang digunakan untuk mengisolasi cendawan dari tanah (Meyling 2007).
Isolat B. bassiana yang diaplikasikan di lapangan dapat diperoleh dari eksplorasi B. bassiana pada berbagai lokasi, kemudian dikarekterisasi secara morfologi (warna koloni, ukuran konidia, dan kerapatan hifa) serta ditinjau viabilitas setiap isolat. Efektivitas setiap isolat untuk mengendalikan hama serangga juga perlu diuji sebelum diformulasikan menjadi bioinsektisida (Utami et al. 2014). Tahapan kegiatan penelitian untuk eksplorasi cendawan entomopatogen B. bassiana adalah: (a) isolasi B.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
bassiana
menggunakan
metode 50
pemancingan serangga atau insesct bait method, (b) identifikasi dan karakterisasi secara morfologi, (c) identifikasi dan karakterisasi secara molekuler.
Uji bioefikasi bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana skala laboratorium Pengujian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan di Maros dengan pertimbangan lokasi tersebut dekat dengan perkebunan kakao. Imago
Conopomorpha caramerella meletakkan telur di kulit buah kakao. Larva keluar dari telur dan menembus kulit buah kakao. Fase larva ini yang menjadi hama penggerek pada buah kakao.
Pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan menguji efektivitas bioinsektisida pada pupa PBK untuk memutuskan siklus perkembangbiakan Conopomorpha
caramerella. Buah kakao yang terserang PBK dikumpulkan di laboratorium dan diletakkan pada kotak yang tertutup kain kasa. Buah kakao dilapisi dengan daun kakao di bagian atas dan bagian bawah. Pupa PBK yang menempel pada daun diletakkan pada toples yang ditutup kainkasa sesuai dengan perlakuan.Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 14 perlakuan sebagai berikut: P0 : Kontrol P1 : Bb_P konsentrasi 108 cfu/ml P2 : Bb_P Konsentrasi 107 cfu/ml P3 : Bb_K Konsentrasi 108 cfu/ml P4 : Bb_K Konsentrasi 107 cfu/ml P5 : Bb_P0 Konsentrasi 107 cfu/ml P6 : Bb_P0 Konsentrasi 106 cfu/ml P7 : Bb_P1 Konsentrasi 107 cfu/ml P8 : Bb_P1 Konsentrasi 106 cfu/ml P9 : Bb_P2 Konsentrasi 107 cfu/ml P10 : Bb_P2 Konsentrasi 106 cfu/ml P11 : Bb_P3 Konsentrasi 107 cfu/ml P12 : Bb_P3 Konsentrasi 106 cfu/ml P13 : Kontrol pelarut (air)
Setiap perlakuan diulang tiga kali. Penelitian ini hanya diuji pada pupa PBK karena imago PBK
sulit
untuk
didapatkan
sampai
dengan
waktu
pengujian
akan
dilaksanakan.Sebanyak1000 µl perlakuan disemprotkan pada masing-masing toples
LAKIP PTPP TAHUN 2016
51
perlakuan. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah presentase pupa terinfeksi, presentase pupa menjadi imago, dan deskripsi pupa terinfeksi.
Gambar 3.17. Pengujian bioefikasi bioinsektiasida berbahan aktif B. bassiana di Laboratorium Lapangan Dinas Perkebunan Maros, Sulawesi Selatan Pengenalan Pembuatan Biopestisida Pada 11 November 2016 telah dilakukan pengenalan pembuatan biopestisida di kabupaten Soppeng. Pesertanya adalah para petani, penyuluh pertanian, dan pejabatn kecamatan di Takalala, Soppeng. biopestisida. Kegiatan pengenalan dan pelatihan pembuatan biopestisida dilaksanakan di Ruang Pola Kantor Pemerintah Kabupaten Soppeng. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara untuk menutup kegiatan program kakao di Sulawesi Selatan tahun 2016. Berikut gambar kegiatan pengenalan pembuatan biopestisida.
Gambar 3.18. Sambutan Bupati Soppeng dan serah terima hasil Riset
LAKIP PTPP TAHUN 2016
52
WP 2.3. Desiminasi Teknik Budidaya Melaksanakan pengkajian budidaya kakao mulai persiapan, pemeliharaan, sampai panen. Budidaya kakao yang diperkenalkan antara lain tumpang sari tanaman kakao dengan tanaman garut
yang ditanam di antara tanaman kakao. Kegiatan diseminasi
teknologi meliputi: Penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat dalam budidaya kakao, pembuatan
pupuk
bokashi,
dan
pembuatan
bipestisida
hasil
penelitian
dan
pengembangan teknologi.
Pelaksanaan Demfarm Program Kakao BPPT membuat Demfarm kakao di kabupaten Soppeng yang bertujuan untuk mempercepat alih teknologi dan mengingat terbatasnya waktu serta jarak yang jauh maka pembuatan demfarm akan bekerjasama dengan kelompok tani/petani. Demfarm tersebut pada akhirnya menjadi milik kelompok tani/petani dengan asupan sarana produksi pertanian dan dibawah bimbingan Program Kakao BPPT. Tujuan Demfarm kakao adalah untuk (a) meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap petani dalam penerapan inovasi teknologi budidaya kakao sesuai rekomendasi, (b) meningkatkan kinerja penyuluh perkebunan dalam pengawalan dan pendampingan program perkebunan kakao. Pelaksanaan Pemberdayaan Petani Melalui Demfarm Kakao meliputi: a. Pelaksanaan pemberdayaan petani
melalui demfarm terlebih dahulu oleh Pusat
Teknologi Produksi Pertanian (PTPP) – BPPT; b. PTPP akan mengelola <5 ha melalui demfarm kakao; c. Pemberdayaan petani melalui demfarm difasilitasi saprotan (bibit, pupuk, pestisida); d. Lokasi pemberdayaan petani melalui demfarm kakao dilakukan di lahan petani; e. Proses pembelajaran dapat dilakukan di lahan demfarm, saung atau balai desa; f.
Paket teknologi kakao di lokasi demfarm sesuai yang direkomendasikan oleh BPPT;
g. Fasilitas demfarm untuk bahan pembelajaran antara lain; bibit, pupuk, dan pestisida; h. Penyediaan bahan pembelajaran demfarm diharapkan juga mendapat bantuan dari Pemerintah Daerah setempat, sadaya masyarakat atau sumber lain yang tidak mengikat.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
53
Survei dan Penentuan Lokasi Demfarm Langkah awal dalam kegiatan pencarian lahan untuk kegiatan pengkajian kakao adalah melakukan koordinasi dengan Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Soppeng. Demonstrasi Farm dilakukan secara terpadu meliputi budidaya dan pengolahan pasca panen. Dalam koordinasi tersebut juga disampiakan tentang rencana puncak kegiatan kakao tahun 2016, yaitu soft launching yang meliputi peresmian demfarm kakao, pelatihan (budidaya, biopestisida dan pengolahan), pengenalan biopestisida, pengenalan produk hilir cokelat, pembagian bibit kakao. Survei pencarian lahan demfarm dilakukan oleh tim dengan berpedoman pada persyaratan sebagai berikut: a.
Lahan telah ditanami kakao dan berumur produktif;
b.
Lahan milik satu orang atau beberapa orang petani
c.
Letak lahan di pinggir jalan dan aksesnya mudah
d.
Ada aliran listrik
e.
Ada sumber air
f.
Topografi datar sampai landai atau kemiringan lahan<25ᵒ
g.
Pemilik kebun mau bekerja sama dengan BPPT.
Survai pencarian lahan telah dilakukan di beberapa lokasi yang meliputi 4 Kecamatan yaitu kecamatan: Mario Lirilau, Citta, Mario Riwawau dan Lamuru Bone.
Pembuatan Pupuk Bokashi Pembuatan pupuk Bokashi pada kegiatan ini memanfaatkan limbah dari kakao. Persiapan bahan-bahan untuk membuat pupuk organik bokashi antara lain: (a) pupuk kandang ayam, (b) sekam padi/arang sekam, (c) jerami padi, (d) EM4, (e) Kulit dan daun kakao, (f) terpal plastik, (g) gula, (h) Alat crusser/mesin penghacur daun/kulit kakao. Tahapan pembuatan Bokashi adalah sebagai berikut: -
Buat lubang berbentuk persegi panjang di atas lahan tersebut dengan lebar 2 meter, panjang 2 meter dan dalam 20-30 cm, atau sesuaikan ukuran lubang dengan banyaknya bahan baku.
-
Jerami dihancurkan lebih dahulu; kulit buah kakao dihancurkan. Campurkan bahanbahan organik yang telah disiapkan, aduk hingga merata dengan cangkul atau
LAKIP PTPP TAHUN 2016
54
sekop. Bila perlu (jika tanah asam), tambahkan abu (Mg) dan kapur pertanian (Ca) untuk memperkaya kandungan hara pupuk bokashi yang dihasilkan; -
Encerkan larutan EM4. Ambil 1 liter larutan, campurkan dengan 200 liter air bersih dan 1 kg gula pasir. Kemudian, siramkan/semprotkan kedalam adonan/ campuran bahan organik.
-
Atur kelembaban hingga mencapai 30-40%. Untuk memperkirakan tingkat kelembaban, kepalkan campuran hingga bisa menggumpal tapi tidak sampai mengeluarkan air. Apabila kelembabannya kurang, tambahkan air secukupnya.
-
Tutup rapat lubang fermentasi dengan plastik atau terpal, diamkan hingga 7-14 hari. Kontrol suhu fermentasi hingga maksimal 45oC. Apabila melebihi suhu tersebut, aduk dengan cangkul agar suhunya turun.
-
Setelah 14 hari, biasanya pupuk bokashi sudah terbentuk dan bisa diaplikasikan langsung atau disimpan.
-
Untuk tanaman kakao, tanah digali di keliling batang pohon kakao ± 1 m – 1 ½ m, kedalaman ± 10 – 15 cm. Kemudian, bokashi disebar merata ke dalam lubang, lalu ditutup kembali
lubang dengan tanah. Penyiraman dengan EM 4 (2 cc EM4/Liter )
dilakukan tiap 2 minggu sekali.
Pemeliharaan Tanaman Kakao Pemeliharaan tanaman kakao pada lahan demfarm meliputi: 1.
Pemangkasan: mengurangi sebagian daun yang rimbun pada tajuk tanaman dengan cara memotong ranting-ranting yang terlindung dan menaungi, serta mengurangi daun yang menggantung dan menghalangi aliran udara di dalam kebun, sehingga cabang kembali terangkat.
2.
Pemupukan: melakukan aplikasi pemupukan pada tanaman kakao denga pemberian dolomit, Urea, Phonska, dan Fosfat.
3.
Pemberian Pupuk daun: aplikasi penyemprotan pupuk pada daun kakao.
Tumpangsari Tanaman Garut Pada lahan demfarm, di sela-sela tanaman kakao dilakukan penanaman tanaman Garut. Tahapan penanaman garut adalah sebagai berkut:
LAKIP PTPP TAHUN 2016
55
1.
Persiapan lahan sebelum penanaman dilakukan dengan penggemburan tanah terlebih dahulu di bagian lahan yang akan ditanami.
2. 3.
Setelah itu, dibuat bedengan dengan panjang 10 m, lebar 1 m dan tinggi 30 cm. Setelah itu, buat lubang tanam dengan ukuran 20 x 20 cm. Sebelum ditanam, lubang terlebih diberi pupuk kandang. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 40 x 40 cm.
Gambar 3.19. Penyiapan bibit garut
Penyerahan Produk Penelitian Dan Pelatihan Pada tanggal 11 November 2016 telah dilaksanakan penyerahan produk riset dan pelatihan teknologi Produksi Kakao bertempat di Gedung Pola Kabupaten Soppeng dibuka oleh Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Prof. Dr. Eniya Listiyani dan yang dihadiri oleh Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian Ir. Arief Arianto, MSc., Kepala Litbang Provinsi Sulawesi Selatan, Bupati Soppeng yang diwakili oleh Asisten III bidang Perekonomian Bupati Soppeng, Kepala Dinas Kehutanan, Perkebunan Kabupaten Soppeng dan pejabat yang ada di Kabupaten Soppeng, dan petanipetani yang tergabung dalam kelompok tani.
Gambar 3.20. Penyerahan produk penelitian dan foto bersama peserta pelatihan dengan pejabat BPPT dan pemerintah provinsi dan kabupaten
LAKIP PTPP TAHUN 2016
56
Pelatihan dimaksudkan untuk transfer teknologi dari para peneliti dan perekayasa BPPT kepada para petani di daerah Kabupaten Soppeng agar petani dalam membudidayakan kakao dapat menerapkan teknologi-teknologi yang sudah maju dari pembibitan sampai dengan pasca panen.
A. 2. 3. WBS 3 : Penerapan Teknologi Pengolahan Produk Hilir WP 3.1. Pengembangan Prototipe Produk Hilir Cokelat Melaksanakan kegiatan pengkajian pengolahan produk hilir kakao sampai produk pasta. Teknologi yang diterapkan merupakan suatu solusi bagi UMKM untuk dapat berproduksi secara efisien dan menguntungkan.
Pembuatan Cokelat Olahan Berbasis Pasta Kakao Pada penelitian ini dipelajari proses tempering dengan menggunakan viscometer dengan pengaturan suhu pada lemak kakao dan campuran sebelum pencetakan, Perlakuan penelitian mencakup tempering dan tanpa tempering pada produk cokelat yang dihasilkan, serta perlakuan tempering pada campuran sebelum pencetakan dan tanpa tempering sebelum pencetakan dalam pembuatan cokelat batangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan titik leleh cokelat batang dan memperbaiki mutu serta melihat sifat fisik dan organoleptik yang baik. Selain proses tempering, kestabilan cokelat olahan juga ditentukan oleh proses mixing dan conching. Proses pembuatan cokelat susu batangan pada penelitian ini terdiri dari dua formulasi yaitu dengan komponen lemak lebih tinggi (40%) (Mulato dan Handaka, 2002) dan rendah (21,5%) (Minifie, 1999) dan komponen lain (pasta kakao, susu bubuk skim, gula) untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kestabilan cokelat susu batangan yang dihasilkan. Kegiatan yang dilakukan dalam pembuatan cokelat olahan berbasis pasta kakao, adalah sebagai berikut : Mixing Tempering Pencetakan Pengemasan Bahan Baku :
Cokelat Pasta Soda kue Lesitin
LAKIP PTPP TAHUN 2016
57
Ekstrak vanili Gula Susu bubuk Prosedur pembuatan cokelat terlihat pada Gambar 3.21 di bawah ini:
Gambar 3.21. Prosedur pembuatan cokelat
Tabel 3.5. Formulasi pembuatan cokelat Formulasi
Jumlah per Komponen, %berat Cokelat “dark”
Cokelat “susu”
Pasta Kakao
38,69
24,80
Lemak Kakao
30,75
27,28
Gula halus
18,35
24,80
Susu bubuk
11,41
22,32
Lesitin
0,30
0,30
Vanila
0,10
0,10
Soda kue
0,40
0,40
Bahan sesuai formula Tabel 3.5 diatas dimasukan ke mesin mixing, proses mixing dilakukan kurang lebih selama 3 sampai 4 jam. Setelah proses mixing berlangsung 2 jam, adonan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
58
formula perlu dilakukan pengecekan untuk mengetahui tingkat kehalusan, apabila tingkat kehalusan dirasa belum sesuai dengan keinginan maka proses mixing dilanjutkan. Pada produk dark chocolate setelah mixing berlangsung selama 4 jam, dilakukan pengukuran tingkat kehalusan menggunakan grindometer dengan cara meletakkan couverture yang sudah mengalami proses mixing pada posisi angka 100 yang terdapat pada grindometer kemudian ditarik ke arah angka menurun menggunakan bilah yang merupakan rangkaian dari alat tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa mixing terhadap couverture selama 4 jam tingkat kehalusannya 35 µm.
Proses tempering dilakukan dengan tujuan untuk memberikan perubahan bentuk kristal pada lemak karena jika tidak dilakukan tempering maka bentuk kristal lemak tidak stabil sehingga cokelat
yang dihasilkan akan mudah meleleh (Minifie, 1999). Tempering sangat
mempengaruhi cokelat karena jika tempering kurang baik maka dapat menyebabkan cokelat melekat pada cetakan, memiliki warna yang buram serta terbentuk blooming dikarenaan bentuk kristal lemak pada cokelat belum stabil. Selain itu tempering juga berfungsi untuk mendistribusikan kristal lemak secara menyeluruh pada campuran bahan (Ketaren, 1986). Proses tempering dapat meningkatkan titik leleh, beberapa studi tentang proses pembuatan cokelat telah diteliti tentang efek pergeseran kristal pada lemak kakao dan olahan cokelat tempering pada sejumlah aliran geometri yang berbeda (Bolliger, et. al., 1999).
Gambar 3.22. Proses tempering berlangsung Untuk dark chocolate tempering dilakukan pada suhu 46o C selama 20 menit,
setelah suhu
mencapai 46o C, kemudian suhu diturunkan ke posisi 29o C dan biarkan selama 2 – 3 menit, kemudian suhu dinaikkan lagi ke 33o C, biarkan selama 3 menit, selanjutnya dilakukan pencetakan. Sedangkan untuk milk chocolate tempering dilakukan pada suhu 46o C selama
LAKIP PTPP TAHUN 2016
59
20 menit, setelah itu suhu diturunkan pada posisi 29o C dan biarkan selama 2 – 3 menit, kemudian suhu dinaikkan lagi ke 30o C, biarkan selama 3
menit, selanjutnya dilakukan
pencetakan. Proses tempering antara dark chocolate dengan milk chocolate ada sedikit perbedaan yaitu pada suhu terakhir proses tempering, yaitu 33o C untuk dark chocolate sedangkan 30o C milk chocolate.
Pencetakan untuk cokelat bar hasil proses tempering dilakukan agar cokelat bar yang diproduksi mempunyai bentuk yang menarik, cetakan yang digunakan adalah cetakan yang berisi 5 keping @ 87 gram dan cetakan yang berisi 16 keping @ 7 gram. Cetakan cokelat bentuknya bermacam-bermacam dan sangat bervariasi tergantung selera atau bisa juga disesuaikan dengan selera konsumen.
Gambar 3.23. Cokelat bar dalam cetakan dan setelah dikeluarkan dari detakan
Setelah cokelat dikeluarkan dari cetakan, selanjutnya dilakukan pemberian kemasan agar cokelat tetap higienis, kemasan meliputi 2 tahapan, yaitu :
Cokelat dikemas menggunakan allumunium foil.
Setelah dikemas menggunakan allumunium foil selanjutnya dikemas menggunakan
kertas yang sudah di desain sedemikian rupa.
Gambar 3.24. Pengemasan cokelat bar dan coklat bar yang telah dikemas
LAKIP PTPP TAHUN 2016
60
WP 3.2. Diseminasi Pengolahan Produk Hilir Cokelat Melaksanakan kegiatan sosialisasi agar manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini dapat berkembang
di
masyarakat
pada
skala
UMKM
sebagai
Model
Bisnis
yang
menguntungkan. Peralatan Pengolahan Produk Hilir Skala UMKM Peralatan untuk proses pembuatan cokelat yang digunakan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah
adalah : mesin roasting, mesin
pemasta, ball mill, mesin tempering dan alat pencetakan. Alat atau mesin pengolahan cokelat sebagaimana tersebut diatas mempunyai fungsi yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya yang merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam rangka mewujudkan suatu produk olahan cokelat yang mempunyai nilai tambah tinggi. Peralatan untuk proses pembuatan cokelat yang digunakan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
adalah : mesin roasting, mesin pemasta, ball mill, mesin
tempering dan alat pencetakan.
A.3. Personil Pelaksana Organisasi ini dipimpin oleh Kepala Program yang sekaligus bertindak sebagai Chief Engineer dengan dibantu oleh Program Manager. Kepala Program bertanggung jawab kepada Direktur Pusat Teknologi Pertanian BPPT. Para pelaksana merupakan staf Pusat Teknologi Produksi Pertanian yang kompetensi nya di bidang tanaman. A.4. Target akhir kegiatan Target akhir dari kegiatan ini adalah: WBS 1: Teknologi Pengembangan Bibit Kakao a. Prototipe Stimulan Grafting (Mulako) untuk mempercepat recovery penyambungan dalam penangkaran bibit kakao b. Sosialisasi penerapan teknologi penangkaran bibit kakao dengan menggunakan Stimulan Grafting WBS 2: Aplikasi GAP Budidaya Tanaman Kakao a. Prototipe Biofungisida berbahan aktif Trichoderma asperellum untuk pengendalian penyakit busuk buah kakao b. Prototipe Bioinsektisida berbahan aktif Beauveria bassiana untuk pengendalian hama Penggerek Buah Kakao (PBK)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
61
c. Rekomendasi pengendalian HPT kakao d. Rekomendasi penerapan GAP budidaya kakao e. Sosialisasi penerapan GAP budidaya tanaman kakao WBS 3: Pengolahan Produk Hilir Kakao a. Prototipe produk hilir cokelat b. Model Bisnis pengolahan produk hilir kakao c. Sosialisasi pengolahan produk hilir cokelat A.5. Rencana tindak lanjut di masa yang akan datang Program Pengembangan Teknologi Produksi Kakao Dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan) telah selesai pada tahun 2016.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
62
B. KAJIAN PENANDA DNA UNTUK IDENTIFIKASI TANAMAN INDUK DAN VARIASI EPIGENETIK TANAMAN KARET HASIL PROPAGASI SECARA IN VITRO DAN EX
VITRO B.1. PENDAHULUAN Karet alam adalah salah satu bahan baku pembuatan berbagai keperluan seperti untuk industri manufatur, industri perkapalan, industri pesawat terbang dan kendaraan bermotor, alat-alat kesehatan, dan lain-lain. Karet alam yang berasal dari tanaman karet (Hevea brasiliensis) adalah karet alam yang diproduksi secara komersial (Chotigeat, et al. 2010), mempunyai kualitas yang paling bagus dan paling banyak digunakan di Industri. Karet alam yang berasal dari tanaman karet tidak dapat digantikan oleh karet sintetis dalam berbagai pemanfaatannya. Hal ini disebabkan karena karet ini mempunyai sifat yang unik, seperti elastisitas dan fleksibilitas tinggi, dampak dan ketahanan abrasi, kedap cairan, dispersi panas yang efisien dan kelenturannya pada suhu dingin (Nayanakantha and Seneviratne, 2007).
Gambar 3.25. Negara penghasil karet alam di dunia (Gapkindo, 2013)
Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organisation (FAO), Indonesia merupakan Negara produsen karet ke dua di dunia setelah Thailand (Kementan, 2015). Sekitar 70% dari produksi karet global berasal dari negara Thailand, Indonesia dan Malaysia. Di Indonesia, perkebunan karet menjadi salah satu komoditas penting yang berkontribusi besar pada ekspor non migas. Sekitar 85% dari produksi karet Indonesia diekspor. Hampir setengah dari karet yang diekspor ini dikirimkan ke negara-negara Asia, diikuti oleh negara-negara di Amerika Utara dan Eropa. Lima negara yang paling banyak mengimpor karet dari Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, Singapura, dan Brazil.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
63
Konsumsi karet domestik kebanyakan diserap oleh industri-industri manufaktur Indonesia (terutama sektor otomotif). Pada tahun 2011, sekitar 85-95% dari produksi karet Indonesia diekspor dengan nilai eksport sebesar US $11.700.000.000 (Statistik Perkebunan, 2011-2013) atau 2,5 juta ton (Gapkindo, 2013). Hampir setengah dari ekspor ini dikirim ke negara-negara Asia lainnya, diikuti oleh Amerika Utara dan Eropa.
Dibandingkan dengan negara-negara kompetitor penghasil karet yang lain, Indonesia memiliki level produktivitas per hektar yang rendah. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa usia pohonpohon karet di Indonesia yang umumnya sudah tua dan dikombinasikan dengan kemampuan investasi yang rendah dari para petani kecil, sehingga mengurangi hasil panen. Sementara Thailand memproduksi 1.800 kilogram (kg) karet per hektar per tahun, Indonesia hanya berhasil memproduksi 1.080 kg/ha. Baik Vietnam (1.720 kg/ha) maupun Malaysia (1.510 kg/ha) memiliki produktivitas karet yang lebih tinggi.
Sebagai negara produsen karet kedua terbesar dan luas areal terbesar di dunia, Indonesia berpotensi besar untuk menjadi produsen utama dalam dekade mendatang. Prediksi dari Gapkindo (2013) bahwa pada tahun 2025, Indonesia diharapkan menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia dengan produksi 3,8-4,0 juta ton per tahun. Namun demikian Indonesia masih menghadapi beberapa kendala, yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua (berumur > 25 tahun), rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul, adanya serangan penyakit serta kondisi kebun yang menyerupai hutan. Oleh karena itu perlu upaya percepatan peremajaan karet rakyat dan pengendalian penyakit utama tanaman karet untuk mempercepat pengembangan industri hilir karet nasional.
Analisa variasi genetik dan pemuliaan secara konvensional pada tanaman karet sangatlah sulit dilakukan karena panjangnya siklus seleksi (20-30 tahun), terbatasnya informasi genom, dan biaya yang mahal. Penanda DNA merupakan salah satu alat yang sangat kuat yang bisa meningkatkan kecepatan dan efektivitas analisa genetik dan pemuliaan tanaman karet. Penanda DNA dapat berkontribusi untuk mengetahui secara cepat hubungan kekerabatan antar
LAKIP PTPP TAHUN 2016
64
klon unggul karet, keaslian klon dan juga distribusi klon. Penanda DNA juga dapat digunakan untuk mengevaluasi plasma nutfah dan karakterisasi genetik dari sifat tanaman dengan sifat agronomi yang diinginkan. Pada kajian ini akan dilakukan identifikasi secara molekuler klon induk karet, dan identifikasi stabilitas genetik pada bibit tanaman hasil perbanyakan secara in
vitro dan ex vitro, sebagai salah satu langkah awal untuk program penyedian bibit klon unggul karet dan untuk tahap perbaikan mutu karet dengan pendekatan molekuler.
Rumusan masalah yang menjadi acuan dilaksanakannya kegiatan Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara in
vitro dan ex vitro ini antara lain: (1) 40% perkebunan rakyat menggunakan bibit yang tidak terseleksi dengan kualitas yang rendah dan bukan klon unggul, (2) Penyediaan bibit klon unggul karet yang tidak memenuhi untuk replanting tanaman yang sudah tua dan berkurang produktivitasnya serta terbatasnya akses untuk mendapatkan bibit bermutu dan (3) Mempercepat proses sertifikasi bibit karet, penyediaan bibit karet klon unggul dan program perbaikan mutu tanamam karet untuk mendapatkan bibit karet dengan produktifitas tinggi.
B. 2. Metodologi Pelaksanaan kegiatan dilakukan melalui sistem kerekayasaan dengan pembentukan organisasi program kerekayasaan “KAJIAN PENANDA DNA UNTUK IDENTIFIKASI TANAMAN INDUK DAN VARIASI EPIGENETIK TANAMAN KARET HASIL PROPAGASI SECARA IN VITRO DAN EX VITRO” yang terdiri dari struktur kerja rinci (Work Breakdown Structure/ WBS) dan dua paket pekerjaan (Work Package/ WP) :
WP 1. Koleksi, Seleksi, dan Identifikasi Tanaman Induk Karet Tugas dari WP 1 yaitu melaksanakan kerekayasaan untuk koleksi, seleksi dan identifikasi tanaman induk karet. Adapun ruang lingkup dari kegiatan WP1 adalah: 1.
Koleksi dan sampling klon tanaman induk karet
2.
Observasi dan identifikasi secara morfologi tanaman induk karet dan tanaman hasil perbanyakan secara in vitro dan ex vitro
LAKIP PTPP TAHUN 2016
65
Tahapan Kegiatan a. Koleksi dan Sampling Klon Tanaman Induk Karet Koleksi dan sampling klon tanaman karet dilakukan dibeberapa perkebunan karet di Indonesia, tujuannya adalah untuk mendapatkan sampel tanaman induk yang berasal dari beberapa perkebunan karet di Indonesia sebagai kontrol untuk verifikasi tanaman hasil propagasi. Adapun perkebunan yang menjadi tujuan sampling adalah di 3 tempat yaitu di PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) di Cikumpay Purwakarta, Perkebuna n Karet di Pusat Penelitian Karet Sungei Putih Sumatera Utara dan Perkebunan Karet di Pusat Penelitian Karet di Sembawa Sumatera Selatan. Sampling juga dilakukan pada tanaman hasil propagasi baik yang dilakukan secara in vitro maupun ex vitro yang telah dihasilkan di Balai Bioteknologi BPPT sejak tahun 2013 baik yang sudah ditanam atau yang masih dalam pot. Tanaman induk yang digunakan untuk perbanyakan di Balai Bioteknologi BPPT berasal dari perkebunan karet milik PTPN VIII. Untuk itu sampling di lokasi perkebunan ini digunakan sebagai kontrol untuk mem-verifikasi bibit tanaman karet yang telah diperbanyak secara in vitro dan ex vitro. Sampling yang dilakukan di Pusat Penelitian Karet baik di Sungai Putih Sumatera Utara maupun di Sembawa Sumatera Selatan sebagai pusat perkebunan karet adalah untuk membandingkan data tanaman induk dari PTPN VIII dan juga untuk observasi dan identifikasi klon tanaman karet.
Klon tanaman karet unggul yang telah dihasilkan oleh Balai Bioteknologi BPPT dan menjadi target sampling adalah klon PB 260. Klon PB 260 adalah salah satu klon karet yang dihasilkan oleh Perang Besar (PB) Malaisya yang saat ini menjadi salah satu klon yang banyak ditanam di perkebunan karet di Indonesia. Potensi klon PB 260 adalah sebagai penghasil lateks dengan pertumbuhan jagur dan resisten terhadap penyakit Corynespora Colletotrichum & Oidium. Produksi lateks berkisar antara 1.5-2.5 ton/ha/th dengan warna lateks adalah putih kekuningan dan kebanyakan diolah sebagai sheet. Kemudahan untuk mendapatkan bibit karet klon ini juga relatif lebih gampang dibanding klon lain karena memang sudah tersebar luas di Indonesia (http://jambi.litbang.pertanian.go).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
66
Selain keunggulannya, klon unggul asal Malaysia ini rentan dengan tiupan angin kencang sehingga tidak cocok ditanam di daerah berangin kencang. Klon ini juga tidak cocok di tanam di daerah dengan kelembaban tinggi karena bila kondisi lingkungan lembab mudah diserang penyakit jamur upas. Klon PB 260 tidak memerlukan/sensitif terhadap stimulan (populer dengan brand ethrel) dalam kadar normal, bahkan dapat rusak karena menyebabkan panel sadap mudah kering. (http://www.karetpedia.com/2014/08/macam-dan-performa-klon-karet-unggul.html)
b. Observasi dan Identifikasi Secara Morfologi Tanaman Induk Karet dan Tanaman Hasil Perbanyakan Secara In Vitro dan Ex Vitro Observasi dan identifikasi dilakukan dengan tujuan untuk melakukan pengamatan morfologi klon PB 260, pada tanaman induk dibandingkan dengan pada tanaman karet hasil propagasi di Balai Bioteknologi yang telah ditanam sejak tahun 2013 dan pada tanaman karet hasil irradiasi. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui perbedaan morfologi dari tanaman hasil propagasi dengan tanaman induk.
Untuk observasi dan identifikasi tanaman induk klon tanaman karet PB 260 dilakukan di Perkebunan Karet di PTPN VIII, Pusat Penelitian Karet di Sungai Putih dan Pusat Penelitian Karet Sembawa. Hasil observasi dan identifikasi menjadi acuan untuk observasi dan identifikasi morfologi tanaman dari hasil propagasi.
WP 2. Observasi, Optimasi, dan Verifikasi Penanda DNA Tugas dari WP 2 yaitu melaksanakan kerekayasaan untuk kegiatan observasi, optimasi dan verifikasi penanda DNA. Adapun ruang lingkup dari kegiatan WP2 adalah: 1.
Optimasi isolasi DNA dari tanaman induk dan tanaman hasil perbanyakan secara in vitro dan ex vitro,
2.
Seleksi dan optimasi penanda DNA pada tanaman induk dan tanaman hasil perbanyakan secara in vitro dan ex vitro
3.
Amplifikasi DNA dan analisa hasil
LAKIP PTPP TAHUN 2016
67
Tahapan Kegiatan a. Optimasi Isolasi DNA dari Tanaman Induk dan Tanaman Hasil Perbanyakan Secara In Vitro dan Ex Vitro Isolasi DNA dilakukan dengan tujuan untuk mengekstraksi DNA dan mendapatkan DNA yang murni dengan memisahkannya dari protein, RNA dan lemak serta pengotor yang lain. Prinsip dari Isolasi DNA adalah 1). Lisis dinding dan mebram sel untuk melepaskan DNA dalam larutan, 2). Purifikasi DNA dengan melakukan presipitasi protein dan polisakarida, dan 3). Presipitasi DNA dan resuspensi DNA dalam larutan bufer. Tahapan umum dalam isolasi DNA genom pada tanaman (Wilkie, S. 1997), terdiri dari: Dinding sel harus dipecah atau dilisis untuk mendapatkan materi intraselular termasuk DNA. Biasanya, isolasi untuk mendapatkan DNA genom tanaman memerlukan proses dehidrasi jaringan tanaman dan penggerusan untuk mendapatkan serbuk halus tanaman. Cara lain dengan menggunakan tanaman segar ditambahkan nitrogen cair dan digerus sampai mendapatkan serbuk. Untuk mencegah rusaknya membran sel biasanya penggerusan dilakukan pada suhu 4oC dan menggunakan dapar lisis yang mengandung pengatur osmolaritas. Membran sel dipecah untuk mendapatkan DNA genom menggunakan dapar ekstraksi dan penggerusan. Biasanya menggunakan diterjen seperti Sodium Dodesil Sulfat (SDS) atau Cetrimonium bromide [(C16H33)N(CH3)3B (CTAB). EDTA ditambahkan dalam dapar ekstraksi untuk mengikat ion magnesium yang berfungsi sebagai kofaktor aktivitas enzim nuklease.
DNA bisa pecah karena pengaruh turbulensi, seperti saat vorteks atau spin down. Saat ekstraksi genom DNA banyak pengotor seperti RNA, protein, polisakarida, tanin, dan pigmen yang dalam beberapa kasus dapat mengganggu proses purifikasi DNA genom. Protein dapat dihilangkan dengan cara denaturasi dan pengendapan menggunakan kloroform dan atau fenol. Pemanasan dan penambahan RNAse A digunakan untuk menghilangkan RNA. Polisakarida sangat sulit dihilangkan dan dalam konsentrasi tinggi polisakarida akan membentuk gel.
Beberapa metode untuk isolasi DNA tanaman telah banyak dilaporkan untuk mendapatkan DNA dengan kemurnian tinggi dan kuantitas yang diinginkan. Salah satu metode isolasi DNA yang banyak dilaporkan adalah dengan menggunakan bufer CTAB
LAKIP PTPP TAHUN 2016
68
atau biasa disebut dengan metode CTAB yang pertama kali dikenalkan oleh Doyle & Doyle (1987). Pada isolasi DNA tanaman karet dilakukan dengan menggunakan metode CTAB ini yang telah dimodifikasi untuk mendapatkan hasil yang optimal. Bufer ekstraksi yang digunakan mengandung 10% CTAB, 5M NaCl, 0.5M EDTA pH 8.0, 1M Tris HCl pH 8.0 dan air bebas DNAse.
Secara garis besar, prosedur isolasi DNA tanaman karet dapat dilihat pada Gambar 3 diatas. Sampel yang digunakan untuk isolasi DNA adalah daun muda tanaman karet yang berasal dari sampling tanaman induk, tanaman hasil propagasi secara in vitro dan
ex vitro serta tanaman hasil irradiasi. Cara kerjanya adalah daun diambil dan ditimbang sebanyak 200 mg dan dicuci bersih, dipotong kecil-kecil dan digerus dalam mortal dengan nitrogen cair. Kemudian di isolasi mengikuti prosedur untuk isolasi DNA daun tanaman Karet. Hasil isolasi DNA kemudian dipurifikasi untuk mendapatkan DNA genom.
Uji kualitas dan kuantitas DNA hasil isolasi dilakukan menggunakan elektroforesis dengan 1% agarose dan nanodrop spektrofotometri pada panjang gelombang 260/280. Hasil elektroforesis didokumentasikan dengan menggunakan Gel Documentation System (GELDOC) dan hasil nanodrop disimpan dalam file komputer sebagai data untuk kuantitas DNA yang diperoleh.
Gambar 3.26. Prosedur isolasi DNA tanaman karet
LAKIP PTPP TAHUN 2016
69
b.
Seleksi dan Optimasi Penanda DNA
Seleksi dan optimasi penanda DNA dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan primer dan kondisi PCR yang tepat yang dapat optimal mengamplifikasi DNA tanaman karet dan dapat menunjukkan pita-pita DNA, baik yang berupa pita monomorfik maupun pita yang polimorfik. Seleksi ini merupakan salah satu tahapan awal untuk proses selanjutnya dalam penelitian ini.
Ada banyak pilihan penggunaan penanda DNA untuk identifikasi dan verifikasi tanaman. Masing-masing penanda DNA mempunyai kelebihan dan kekurangan untuk dapat digunakan menverifikasi tanaman. Salah satu penanda DNA yang banyak digunakan adalah penanda
Simple Sequence Repeat (SSR) atau disebut sebagai mikrosatelit. Mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 1 sampai 6 unit nukleotida yang tersebar dan meliputi seluruh genom baik pada daerah koding maupun daerah non koding (Miah, et al. 2013). Pasangan primer mikrosatelit (forward dan reverse) diamplifikasi dengan PCR berdasarkan hasil konservasi daerah yang diapit (flanking-region) marka untuk suatu gen pada kromosom.
Beberapa pertimbangan untuk penggunaan penanda mikrosatelit dalam studi genetik di antaranya (1) penanda terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), sifatnya kodominan dan lokasi genom dapat diketahui; (2) merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi; (3) merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan; (4) studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik. Kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer baru membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal (Garcia, 2004; Semagn, et al. 2006, Miah; et al. 2013).
Pada seleksi dan optimasi penanda DNA yang akan digunakan untuk verifikasi stabilitas genetik tanaman hasil propagasi secara in vitro dan ex vitro dilakukan dengan menggunakan 4 primer dari penanda DNA Simple Sequence Repeat (Tabel 3). Primer-primer ini dipilih dikarenakan telah teruji dapat mengamplifikasi DNA tanaman karet dari beberapa klon tanaman karet yang diuji (Saha, 2005). Selain pengoptimalan primer-primer yang digunakan, beberapa faktor yang juga berpengaruh pada keberhasilan dari amplifikasi DNA, adalah penggunaan taq polymerase
LAKIP PTPP TAHUN 2016
70
yang cocok dan bagus untuk amplifikasi DNA tanaman karet, optimasi suhu yang digunakan untuk PCR, konsentrasi gel agarose yang digunakan, dan lain sebagainya.
Table 3.6. Primer SSR untuk amplifikasi DNA (Saha et al, 2005) Primer
hmac4
Sekuen 5’-gttttcctccgcagactcag-3’ (L)
Ukuran (bp) 216-272
5’-atccaccaaataaggcatga-3’ (R)
hmac5
5’-tcggttggtttaccatgaca-3’ (L)
270-286
5’-acatcacatgagtgtatctgatctc-3’(R)
hmct1
5’-aaccagaagggtgtcatgct-3’ (L)
196,198
5’-ggaatcccatgacaatccac-3’ (R)
hmct5
5’-atgtatgtgtgcgcaggaag-3’ (L)
187-211
5’-ctgtagtcatggcagcagga-3’ (R)
Gambar 3.27. Prosedur amplifikasi DNA tanaman karet dengan mesin PCR
c. Amplifikasi DNA dan Analisa Data Amplifikasi DNA adalah suatu proses perbanyakan DNA secara in vitro dengan melalui suatu mesin Polymerase chain reaction atau reaksi berantai dari polimerase. Amplifikasi DNA dan analisa data dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pita-pita DNA yang dapat dianalisa dan dapat mem-verifikasi tanaman hasil propagasi dan hasil irradiasi dari tanaman induk.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
71
Kondisi PCR yang digunakan untuk amplifikasi DNA tanaman karet sesuai dengan metode dari Srichuay et al (2015) meliputi tahap denaturasi awal selama 1 menit pada suhu 95oC, diikuti dengan tahap elongasi dengan 35 siklus pada suhu 94°C selama 30 detik, 52°C selama 60 detik dan 72°C selama 120 detik dan tahap elongasi akhir pada 72°C selama 8 menit (Gambar ). Komposisi reagen yang digunakan dan konsentrasi akhir dari larutan yang digunakan untuk amplifikasi DNA tanaman karet dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini. Table 3.7. Komposisi reagen yang digunakan untuk amplifikasi DNA No. 1. 2. 3. 4. 5. Total Volume
Reagen Taq Polymerase Mix, 2X Forward Primer Reverse Primer Template DNA Purified water
Konsentrasi akhir 1X 0,1-1,0µM 0,1-1,0µM 0,3 µM 0,3 µM 25µL
Gambar 3.28. Siklus PCR untuk amplifikasi DNA tanaman karet
Profil pita DNA yang didapatkan dari hasil amplifikasi tanaman hasil propagasi kemudian dianalisa dan dibandingkan dengan pita DNA tanaman karet dari hasil sampling pada tanaman induk. Jika data profil DNA sangat polimorfik maka data dianalisa dengan menggunakan program NTSYS Version 2.2 for Windows untuk mengetahui jarak genetik dari masing-masing profil pita. Tetapi jika data profil DNA yang didapat monomorfik maka tidak perlu menggunakan program NTSYS. Pada kondisi verifikasi tanaman hasil propagasi, jika pita DNA yang dihasilkan adalah monomorfik jika dibandingkan dengan tanaman induk, artinya tanaman hasil propagasi baik yang dilakukan secara in vitro maupun ex vitro secara genetik stabil dan tidak terjadi variasi genetik.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
72
B.3. Target Akhir Kegiatan Target akhir dari kegiatan ini adalah: WP1. Koleksi, Seleksi dan Identifikasi Tanaman Induk Karet 1.
Diperoleh 3 (tiga) koleksi klon tanaman induk karet hasil seleksi
2.
Diperoleh 1 (satu ) data informasi genetik klon tanaman induk karet
WP2. Observasi, Optimasi dan Verifikasi Penanda DNA 1.
Diperoleh 2 (dua) prototipe klon tanaman karet hasil propagasi in vitro dan ex vitro yang terverifikasi stabilitas genetiknya
2.
Diperoleh 1 (satu) metoda identifikasi dan verifikasi penanda DNA
A.4. Rencana tindak lanjut di masa yang akan datang Program Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex Vitro telah selesai pada tahun 2016.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
73
C. IDENTIFIKASI SELURUH GEN YANG TEREKSPRESI DAN PEMBUATAN LIBRARY cDNA SEBAGAI BAHAN TRANSFORMASI GENETIKA PADA KELAPA SAWIT (Elaeis
guineensis Jacq.) C.1. Pendahuluan Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman penghasil minyak yang paling efisien dengan produktivitas tertinggi di dunia dan memiliki potensi sebagai pensuplai utama bagi industri minyak nabati dan produk turunannya. Saat ini tanaman kelapa sawit telah menjadi salah satu komoditas perkebunan primadona di negeri ini dan merupakan kontributor penerimaan devisa negara yang dapat diandalkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai ekspor produk kelapa sawit dan turunannya pada tahun 2012 yang mencapai US$ 19.38 milyar, naik 27.5% dari tahun sebelumnya. Walaupun mengalami sedikit penurunan nilai ekspor pada tahun 2013, tetapi nilainya masih di atas US$ 15 milyar (Dirjen Perkebunan, 2013). Melihat kecenderungan kenaikan produksi dan ekspor setiap tahunnya, maka dapat diperkirakan bahwa ekspor produk kelapa sawit dan turunannya masih akan terus meningkat, baik volume maupun nilainya, pada tahun-tahun mendatang. Peningkatan ini seiring dengan meningkatnya kebutuhan CPO (Crude Palm Oil) global semenjak naiknya harga minyak mentah dunia, menjadikan CPO sebagai pilihan untuk bahan baku pembuatan bioenergy sebagai alternatif bahan bakar. Peningkatan produksi ini terutama didukung oleh bertambahnya luas lahan perkebunan secara nasional sejak tahun 2003. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia kini mencapai 10.96 juta hektar, yang tersebar di hampir seluruh provinsi. Pulau Sumatera memiliki perkebunan terluas, yaitu lebih dari 6.63 juta hektar. Menurut data BPS tahun 2013, produksi CPO nasional mencapai 25.17 juta ton.
Dengan nilai perdagangan dan investasi kelapa sawit yang besar, menjadi hal yang penting bagi dunia industri kelapa sawit Indonesia, terutama perkebunannya, untuk dapat bersaing pada pasar bersama ASEAN 2015 maupun pasar global, dengan meningkatkan produktivitas per unit area dan meningkatkan nilai tambah terutama pada kualitas minyaknya. Peningkatan tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan mutu tanaman dengan pemuliaan tanaman. Namun pemuliaan tanaman dengan cara mengawin-silangkan tanaman kelapa sawit membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Rekayasa genetika melalui transformasi genetika dengan memanfaatkan metode kultur jaringan, merupakan salah satu cara perbaikan mutu tanaman
LAKIP PTPP TAHUN 2016
74
yang dapat memotong waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman. Sejak tahun 2011, Balai Pengkajian Bioteknologi telah menjalin kerjasama penelitian dengan Fuji Oil Co. Ltd untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman kelapa sawit dengan menggunakan teknologi DNA dan rekayasa genetika sehingga dapat diaplikasikan dalam peningkatan hasil perkebunan di hulu hingga proses industri di hilir. Ruang lingkup kegiatan adalah memantapkan sistem transformasi genetika pada kelapa sawit dengan menggunakan vektor alami Agrobacterium maupun alat Particle Bombardment. Transformasi genetika dilakukan pada jaringan kelapa sawit yang diperoleh dari kultur jaringan, yaitu embrio somatik.
Melalui kajian yang panjang, perekayasa di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT telah berhasil melakukan perbanyakan bibit tanaman kelapa sawit melalui metode kultur jaringan. Beberapa tanaman hasil kultur jaringan telah ditanam di lapang untuk pengujian adaptasi terhadap lingkungan dan produktivitas. Proses kultur jaringan tanaman kelapa sawit dimulai dengan menginduksi kalus dari eksplan daun muda. Kalus yang diperoleh selanjutnya dipindahkan ke media baru yang mengandung hormon pertumbuhan untuk merangsang pertumbuhan ke arah embrio somatik. Pada tahap ini biasanya embrio somatik dapat diperbanyak jumlahnya sebelum ditumbuhkan menjadi tunas yang kemudian merangsang pertumbuhan akar. Setelah perakaran terbentuk maka planlet kelapa sawit ini siap untuk dipindahkan ke lapang.
Kultur jaringan memiliki keuntungan dalam menghasilkan bibit tanaman secara vegetatif, sehingga semua keunggulan karakteristik pohon induk akan diturunkan kepada bibit-bibitnya. Selain itu, bibit yang dihasilkan juga seragam. Sifat seragam ini tidak dijumpai pada bibit yang dihasilkan dari biji, karena adanya segregasi gen yang memunculkan variasi genetika dari masing-masing individu bibit. Menurut Ginting et al. (1991), sifat keseragaman yang dihasilkan oleh tanaman hasil kultur jaringan telah meningkatkan produksi Tandan Buah Segar (TBS) hingga 20% dibanding dengan tanaman yang berasal dari biji.
Keraguan beberapa pihak akan timbulnya abnormalitas pada tanaman kelapa sawit hasil kultur jaringan kini telah mulai reda. Hal ini karena penyebab munculnya abnormalitas tersebut telah diketahui sehingga dapat diantisipasi langkah-langkah pencegahannya. Beberapa penyebab abnormalitas tanaman di lapang adalah epigenetik (Rao dan Danaough, 1990; Tregear et al.,
LAKIP PTPP TAHUN 2016
75
2002), terlalu lamanya paparan fitohormon yang diterima oleh sel dan jaringan tanaman untuk menginduksi pembentukan kalus (Jones, 1991) dan dilakukannya subkultur berulang kali untuk mendapatkan embrio somatik dalam jumlah banyak (Paranjothy et al., 1993). Selanjutnya adalah karena struktur kalus remah yang disebut sebagai kalus sekunder (Marmey et al. 1991; Duran-Gasselin et al., 1993). Untuk mencegah timbulnya abnormalitas maka pada tahap multiplikasi embrio somatik harus dibatasi maksimal sebanyak 10 kali subkultur, yang sebelumnya dilakukan lebih dari 30 kali. Seleksi kalus juga perlu dilakukan sebelum pemindahan ke media yang baru. Upaya berikutnya adalah aplikasi marker-marker DNA yang digunakan untuk menyeleksi secara dini planlet-planlet yang sehat dan normal sebelum ditanam ke lapang (Rival et al., 1998; Toruan et al., 2001; Toruan et al., 2005).
Untuk memudahkan transformasi genetika pada embrio somatik kelapa sawit, beberapa plasmid telah berhasil dikonstruksi yang berisi gen-gen penanda sebagai sarana seleksi untuk mendapatkan sel atau jaringan transgenik, yaitu sel atau jaringan yang telah mengandung gen yang mampu berekspresi setelah ditransformasi. Gen-gen penanda tersebut dapat berupa gen yang mengekspresikan warna biru (GUS), atau hijau (GFP), maupun ketahanan terhadap antibiotik atau herbisida. Sel dan jaringan yang membentuk warna biru atau hijau akan terseleksi sebagai transgenik. Begitu pula dengan sel dan jaringan yang mampu tumbuh dan berkembang pada media seleksi yang mengandung antibiotik atau herbisida tertentu, adalah sebagai transgenik. Hal ini untuk membedakan dengan sel dan jaringan non-transgenik yang tidak mampu tumbuh, bahkan mati pada media tersebut.
Tahap penting selanjutnya adalah melakukan transformasi genetika dengan gen-gen fungsional yang berasal dari genom kelapa sawit sendiri. Transformasi genetika dilakukan dengan gen-gen potensial ini untuk meningkatkan ekspresinya beberapa kali lipat, maupun dilakukan secara antisense untuk mengurangi atau bahkan menghentikan ekspresi gen yang tidak disukai pada tanaman kelapa sawit. Dengan demikian bibit-bibit unggul kelapa sawit dengan karakterkarakter spesifik dapat diproduksi. Tocochromanols dikenal sebagai vitamin E, adalah lemak terlarut yang esensial dalam nutrisi manusia, yang secara khusus disintesis oleh tanaman. Kandungan vitamin E terdiri dari delapan bentuk tokoferol dan tokotrienol yang secara struktural mirip (α-, -, -, dan δ-tokoferol dan α-, -, -, dan δ-tocotrienol). Tocotrienols secara struktural berbeda dengan tokoferol dengan adanya tiga ikatan ganda trans di ekor
LAKIP PTPP TAHUN 2016
76
hidrokarbon, sedangkan 5 ekor alifatik tokoferol bersifat jenuh (Kamal-Eldin dan Appelqvist, 1996). Vitamin E diketahui sebagai antioksidan alami yang paling efektif dalam memecah rantai kimia untuk mencegah degradasi asam lemak tak jenuh di dalam membran. Diduga bahwa tocotrienol memiliki daya pelindung saraf yang kuat, antioksidan, anti-kanker dan menurunkan kadar kolesterol, sifat yang tidak dimiliki oleh tokoferol (Sen et al., 2006). Keunggulan karakter farmaseutikal tocotrienol ini membuat tanaman yang mengandung tocotrienol menjadi berpotensi sangat menguntungkan bagi kesehatan manusia. Tocochromanols juga berperan penting bagi tanaman itu sendiri, sebagai perlindungan kloroplas dari kerusakan akibat oksidasi cahaya (Munné-Bosch dan Alegre, 2002). Sebagai antioksidan yang kuat, vitamin E bermanfaat dalam menjaga stabilitas oksidasi dari minyak nabati dan juga dalam meningkatkan nilai gizi dari tanaman untuk diet manusia dan pakan ternak (Hunter dan Cahoon, 2007).
Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa tokoferol ditemukan dalam jumlah sangat rendah dalam berbagai jaringan tanaman terutama di daun dan biji umumnya tanaman dikotil dan juga ditemukan pada mikroba fotosintetik seperti Synechocystis. Sebaliknya tocotrienol, jarang ditemukan pada jaringan vegetatif tanaman. Walaupun demikian vitamin E dalam bentuk khusus ditemukan dalam endosperm biji dari tanaman monokotil, termasuk biji-bijian sereal penting seperti gandum, beras dan barley (Kamal-Eldin dan Appelqvist, 1996). Minyak kedelai dan minyak sawit merupakan sumber utama tokoferol dan tokotrienol yang diproduksi secara komersial. Produk lipid-terlarut ini ditemukan sebagai komponen minyak nabati (Hunter dan Cahoon, 2007). Minyak kelapa sawit menjadi unik di antara minyak-minyak nabati lainnya karena mengandung kadar tokotrienol (α,
, dan δ) yang lumayan tinggi dan merupakan
komponen utama, yaitu 70% dalam kandungan vitamin E. Tocochromanols ditemukan sebanyak 600-1000 ppm dalam minyak sawit mentah (Sen et al., 2006).
Sifat-sifat gizi dan manfaat kesehatan vitamin E kelapa sawit telah dipelajari dengan sangat intensif, terutama karena kandungan tocotrienol-nya yang tinggi. Hal ini telah menyebabkan kelapa sawit memiliki keunggulan yang lebih besar dibandingkan dengan tanaman-tanaman lain, terutama untuk tujuan memanipulasi vitamin E secara genetika. Walaupun demikian, pengetahuan tentang jalur biosintesis vitamin E dalam minyak sawit sebagai salah satu prasyarat dasar untuk melakukan manipulasi secara genetika, masih sangat terbatas. Kondisi ini yang menjadi halangan utama dalam meningkatkan kandungan vitamin E di dalam minyak
LAKIP PTPP TAHUN 2016
77
kelapa sawit melalui rekayasa genetika, pengembangan penanda molekuler untuk pemuliaan tanaman serta pendekatan bioteknologi lainnya.
Pada kegiatan ini, gen-gen yang terkait dengan tocoferol pada genom kelapa sawit akan diidentifikasi dan dibuat library cDNAnya. Banyak gen-gen yang berguna dapat ditingkatkan ekspresinya, sebaliknya gen-gen yang kurang bermanfaat atau tidak diinginkan dapat dikurangi atau dihentikan ekspresinya. Dengan demikian identifikasi dan pemilihan gen-gen fungsional yang potensial pada kelapa sawit sangat diperlukan untuk mendukung pembuatan bibit unggul dengan karakter yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas dan produktivitas. Kegiatan riset ini dapat memperkuat Sistem Inovasi Nasional melalui penguatan bidang ketahanan pangan dengan menghasilkan bibit-bibit unggul dan meningkatkan produktivitas maupun kualitas minyak sawit serta produk turunannya, kemudian mempublikasi hasil kegiatan ini pada jurnal bertaraf internasional.
Kegiatan ini mempunyai daya ungkit (leverage) tinggi bagi peningkatan produksi dan kualitas tanaman kelapa sawit dengan transformasi genetika melalui pemilihan gen-gen yang potensial. Kegiatan ini juga mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional dengan perbanyakan bibit unggul tanaman perkebunan dan pengembangan bibit dengan karakter tertentu, khususnya kelapa sawit. Rekayasa genetika melalui metode kultur jaringan, seperti transformasi genetika, fusi protoplast, seleksi mutan dalam lingkungan terkendali dan lain lain, akan lebih mudah dilakukan.
Diperolehnya data transkripsi RNA pada tanaman kelapa sawit akan menambah wawasan dan info yang menarik bagi pengembangan kualitas kelapa sawit nasional. Informasi dari analisis data bioinformatika yang diperoleh dari sekuensing akan menjadi hasil yang orisinil dan bernilai ilmiah tinggi, sehingga sangat potensial untuk dipublikasi pada jurnal ilmiah internasional. Dengan menyandingkan data analisis dari kegiatan ini dan data genom kelapa sawit, yang sedang dilakukan oleh beberapa institusi di Indonesia, akan memudahkan dan mempercepat pembuatan peta genetika tanaman kelapa sawit yang berisi gen-gen fungsional. Manfaat lain dari kegiatan ini adalah untuk lebih mendorong penerapan ilmu dan teknologi dalam meningkatkan mutu bibit tanaman kelapa sawit, dan selanjutnya dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas minyak sawit nasional.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
78
C.2. Metodologi Outline Riset
Koleksi sampel daun, bunga dan buah kelapa sawit. Isolasi RNA dari sampel kelapa sawit dan pengecekan kualitas RNA. Persiapan dan konstruksi Library cDNA yang diperoleh dari mRNA kelapa sawit. Sekuensing cDNA. Analisis transkrip untuk mengetahui dan identifikasi semua gen-gen yang terkait dengan kandungan vitamin E dan terekspresi.
Isolasi Total RNA Sampel segar berupa daun, bunga dan buah dicuci bersih menggunakan ddH2O steril. Setelah dipotong-potong halus dan dibekukan dengan disiram Nitrogen cair, sampel digerus sampai menjadi serbuk halus. Selanjutnya sampel serbuk dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dengan ukuran 1,5 mL (±200mg). Ambil sampel sebanyak 50 – 100 mg dan tambahkan 1mL trizol, dan kemudian sampel tersebut dihomogenisasi.
Sampel yang sudah dihomogenisasi selanjutnya diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang, dan ditambahkan 0,2 mL chlorofom. Tutup segera tabungnya, serta dikocok sebentar dengan tangan selama 15 detik, selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 3 – 10 menit. Setelah disentrifuse pada kecepatan 12.000 g dan suhu 4oC selama 15 menit, supernatan dipindahkan ke dalam tabung yang baru. Tambahkan 0,5 mL isopropanol pada supernatan, dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang, kemudian disentrifuse kembali pada kecepatan 12.000 g dan suhu 4oC selama 10 menit. Supernatan selanjutnya dibuang, dan didapatkan pellet RNA. Tambahkan 1mL etanol 75%, dan dikocok dengan vortex sebentar, kemudian disentrifuse pada kecepatan 7.500 g selama 5 menit. Setelah supernatan dibuang, pellet RNA dalam tabung divakum selama 5 – 10 menit. Tambahkan Rnase free water, dan RNA inkubasi pada suhu 55 – 60oC selama 10 – 15 menit. Akhirnya tambahkan RNA inhibitor sebanyak 0,1 µl dan total RNA disimpan dalam freezer pada suhu -70oC untuk penyimpanan yang lama.
Total RNA dari masing-masing sampel digabung bersama untuk mendapatkan 3 library transkrip (daun, bunga dan buah). Untai tunggal cDNA dibentuk dari gabungan total RNA yang kemudian dilakukan sekuensing. Hasil sekuensing selanjutnya dianalisis dengan ESTtik tool (Expressed Sequence Taq Treatment and Investigation Kit), setelah sebelumnya dimurnikan untuk
LAKIP PTPP TAHUN 2016
79
menghindari salah perakitan dengan membuang sekuen yang pendek (< 120 bp) dan yang kompleksitasnya rendah. Sekuen non-coding juga disisihkan, setelah membandingkan hasil sekuensing dengan database fRNAdb menggunakan algoritma Megablast. Setelah diperoleh hasil sekuensing yang bersih, dilakukan perakitan contig menggunakan proram TGICL (Pertea et al., 2003). Pengelompokan disusun pada hasil sekuensing dengan overlapping lebih besar dari 60 bp dan kesamaan identitas antar sekuen sebesar 94%.
Langkah kedua adalah perakitan hasil sekuensing dari masing-masing kelompok dengan nilai kesamaan identitas antar sekuen yang lebih tinggi. Menggunakan algoritma blast, dicari sekuen yang mirip setelah membandingkan dengan database Tair9, Swissprot, TrEMBL dan sekuen nukleotida dari GeneBank, dan selanjutnya diinterpretasikan menggunakan InterProScan (Hunter et al., 2012). Contig-contig kemudian disusun untuk menghasilkan sekuen total, dan disandingkan dengan metode progresif ganda menggunakan perangkat lunak Muscle (Edgar, 2004) dan Gblocks (Talavera dan Castresana, 2007). Konstruksi pohon filogenetik disusun menggunakan perangkat lunak PhyML (Guindon et al., 2010).
Kualitas dan integritas total RNA dicek menggunakan elektroforesis. Primer spesifik didisain pada ujung 3’ RNA dari setiap sekuen untuk mengurangi resiko kekeliruan ekspresi karena terjadinya pembentukan untai cDNA yang pendek. Gabungan cDNA dari berbagai sampel diamplifikasi dengan RT-PCR, demikian juga halnya untuk analisis ekspresi gen secara kuantitatif. Sintesis cDNA dilakukan dari 2 µg total RNA sehingga reaksi campuran akhir menjadi 20 µL dengan Reverse Transcriptase (RT) kit. Campuran reaksi RT-PCR adalah sebagai berikut: 2 µL cDNA, 0.6 µL setiap primer 5 µM, dan 3 µL 2x SYBR green PCR master mix dalam volume 6 µL. Kondisi PCR adalah sebagai berikut: 1 siklus denaturasi pada 95oC selama 5 menit, 45 siklus amplifikasi (pada 95oC selama 20 detik, 60oC selama 15 detik, dan 72oC selama 20 detik). Analisis statistik terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan ANOVA dan pengujian lanjutan dengan Student T test.
C.3. Target Akhir Kegiatan Target akhir dari kegiatan ini adalah: 1.
Diperoleh Library cDNA kelapa sawit.
2.
Diperoleh data sekuen transkripsi RNA total dari kelapa sawit.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
80
3.
Diperoleh informasi mengenai gen-gen yang terkait dengan kandungan vitamin E dan terekspresi pada genom kelapa sawit.
B.4. Rencana tindak lanjut di masa yang akan datang Program Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) telah selesai pada tahun 2016.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
81
3.1.2.
A.
INOVASI TEKNOLOGI PROTEIN
PENINGKATAN
PRODUKSI
PANGAN
SUMBER
PEREKAYASAAN TEKNOLOGI STRAIN UNGGUL UDANG GALAH TEKNOLOGI NEOFEMALE DAN NILA (SALINA DAN MARINE TILAPIA)
MELALUI
A.1. Perekayasaan Teknologi Dan Sistem Produksi Udang Galah Unggul Pengembangan teknologi pangan protein hewani di sektor perikanan antara lain perekayasaan genetik udang galah. udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan spesies udang perairan tawar (sungai) yang potensial dikembangkan untuk mendukung program kemandirian dan ketahanan pangan nasional berbasis protein hewani. Udang galah atau giant freshwater
prawn (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang bernilai ekonomis tinggi baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Pasar yang digarap masih terbatas untuk pemenuhan konsumsi di dalam negeri terutama dari restoran seafood, restoran papan atas dan hotel berbintang. Permintaan ekspor dari Jepang, Amerika
Serikat
dan
negara-negara
Eropa
serta
Singapura
belum
dapat
dipenuhi.
Perkembangan budidaya udang galah di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain seperti China, Vietnam, India, Thailand dan Bangladesh.
Produksi udang galah pada tahun 2014 mencapai 1.809 ton yang berasal dari budidaya udang galah di kolam dan mina padi (Statistik Perikanan Budidaya Tahun 2014), mengalami penurunan dibandingkan dengan produksi udang galah tahun 2013 yang mencapai 3.387 ton. Pasokan benih yang masih tergantung dari alam dan belum berfungsinya Balai Benih Udang Galah dalam penyediaan benih udang galah merupakan masalah dalam budidaya udang galah. Peningkatan produksi udang galah hasil budidaya dapat dilakukan dengan memperbaiki teknologi budidayanya, yang mencakup teknologi pembenihan, pendederan dan pembesaran. Sama halnya dengan ikan nila, udang galah jantan tumbuh lebih cepat dibandingkan betinanya, karenanya budidaya udang galah monoseks jantan dapat memberikan keuntungan pada petani. Populasi monoseks jantan udang galah dapat dihasilkan dengan mengawinkan neofemales (sex-reversed males) dengan jantan normal. Neofemale udang galah dapat dihasilkan dengan meng-inaktifkan gen Mr-IAG melalui teknik RNA interferen. Gen Mr-IAG diisolasi dari kelenjar androgen udang galah jantan. Kombinasi persilangan dan pembentukan neofemale untuk menghasilkan hibrid udang galah jantan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas budidaya udang galah di Indonesia, yang telah tertinggal jauh dibandingakn budidaya udang galah di Thailand, Vietnam dan Philipina.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
82
Untuk mendukung program pengembangan udang galah perlu diawali dengan penyusunan konsep desain perekayasaan pengembangan strain unggul udang galah melalui produksi udang galah betina hasil sex reversal. Proses sex reversal dilakukan dengan meng-inaktifkan gen Mr-IAG melalui RNA interferen. Selanjutnya juga dilakukan koleksi strain/populasi alam udang galah dari wilayah Indonesia bagian barat, tengah dan timur untuk memperkaya keragaman genetiknya sehingga dapat dihasilkan benih dan udang galah hibrid monosex jantan yang cepat pertumbuhannya.
Pengembangan budidaya ikan nila SALINA agar dapat
segera dimanfaatkan dalam
mengembangkan usaha budidaya laut secara komersial baik oleh masyarakat maupun industri, sedangkan ikan nila laut (Marine Tilapia)masih tahap uji performans. Untuk mendukung pengembangan Ikan Nila SALINA dan secara nasional dilakukan sosialisasi dan diseminasi di beberapa daerah melalui kegiatan pembuatan demplot, pelatihan, seminar dan pengembangan kerjasama kemitraan baik dengan masyarakat pembudidaya, pemerintah daerah maupun swasta/industri yang didukung oleh kegiatan pengelolaan, pengembangan dan perbanyakan induk serta penyediaan benih Ikan Nila SALINA dan Ikan Nila Laut (Marine Tilapia) secara kontinyu dan berkualitas. Untuk mendukung pengembangan usaha budidaya Ikan Nila SALINA dan Ikan Nila Laut (Marine Tilapia) perlu dikembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dalam bentuk Usaha Kecil Menengah (UKM) agar terbentuk usaha pengembangan Ikan Nila SALINA dan Ikan Nila Laut (Marine Tilapia) dari hulu ke hilir yang akan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan terciptanya lapangan kerja baru.
Pengembangan strain unggul udang galah melalui pengembangan produksi udang galah neofemale untuk menghasilkan udang galah hibrid monosex jantan yang cepat tumbuh dibagi ke dalam 2 WP, yaitu WP1. Sistem Bioreproduksi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) dan WP.2.
Teknologi Produksi Udang
Galah Neofemale melalui Aplikasi RNAi. Kegiatan Sistem
Bioreproduksi Udang Galah meliputi koleksi induk udang galah dari beberapa lokasi, pemeliharaan dan seleksi induk, pemijahan, produksi larva, pemeiharaan benih, pemeliharaan tokolan, dan pembesaran sampai siap untuk dipijahkan kembali, selanjutnya dilakukan persilangan antar populasi udang galah agar didapatkan udang galah hibrid yang baik pertumbuhannya.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
83
Kegiatan Teknologi Produksi Udang Galah Neofemale melalui Aplikasi RNAi dimulai dengan mengembangkan dsRNA Mr-IAG, pembentukan udang galah betina (neofemale) hasil aplikasi dsRNA-Mr-IAG pada udang galah jantan, pengamat performan udang galah neofemale, uji coba produksi udang galah monosex jantan (ZZ) hasil perkawinan udang galah betina neofemale (“ZZ”) dan induk udang galah jantan (ZZ). Data hasil hibridisasi dari WP1 selanjutnya akan dilakukan pada produksi benih udang galah monosex jantan untuk menghasilkan efek heterosis yang positif. Pada tahap akhir akan dilakukan pilot projek budidaya udang galah monosex jantan, sosialisasi dan diseminasi. Kegiatan Pengembangan strain unggul udang galah dilaksanakan di Laboratoria Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) BPPT di Puspiptek Serpong dengan memanfaatkan fasilitas laboratorium Indoor Akuakultur dan Outdoor Akuakultur yang dilengkapi dengan fasilitas bak-bak fiber dan akuarium pemeliharaan ikan. Studi banding dilakukan ke Unit Pembenihan Udang Galah di Pelabuhan Ratu yang merupakan stasiun pembenihan udang galah milik Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar Sukabumi – KKP.
Gambar 3.29. Persiapan sarana untuk melakukan perekayasaan bioreproduksi Udang Galah di LAPTIAB Puspiptek Serpong
LAKIP PTPP TAHUN 2016
84
Pelaksanaan kegiatan Perekayasaan Teknologi Produksi Strain Unggul Udang Galah Tahun 2016 ini merupakan tahun kedua, dan sampai dapat dimanfaatkan oleh masyarakat akan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Penyusunan desain konseptual teknologi produksi neofemale untuk menghasilkan prototipe udang galah neofemale dan udang galah monosex jantan b. Isolasi gen Mr-IAG, c. Pembentukan udang galah neofemale melalui aplikasi dsRNA-Mr-IGA pada udang galah jantan d. Performan udang galah neofemale, e. Uji lapang budidaya udang galah monosex jantan dan f.
Pilot project pengembangan dan penerapan teknologi produksi udang galah monosex jantan.
Desain konseptual teknologi produksi neofemale untuk menghasilkan prototipe udang galah neofemale dan udang galah monosex jantan merupakan hasil perekayasaan tahun 2015. Kegiatan Pengembangan strain unggul udang galah dilaksanakan di Laboratoria Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) BPPT di Puspiptek Serpong dengan memanfaatkan fasilitas laboratorium Indoor Akuakultur dan Outdoor Akuakultur yang dilengkapi dengan fasilitas bak-bak fiber dan akuarium pemeliharaan ikan/udang galah.
Uraian output 2016 Kegiatan pengembangan strain unggul udang galah di tahun 2016 telah menghasilkan : 1.) Larva dan Juvenil udang galah telah dihasilkan untuk mendukung aplikasi RNAi dsRNA MrIAG, tetapi tingkat kelangsungan hidupnya masih sangat rendah. 2.) Koleksi populasi udang galah dari 3 lokasi yaitu
Sungai Peurlak (Aceh) untuk selanjutnya disebut populasi Aceh, strain
SIRATU dari Pelabuhan Ratu dan Bengawan Solo (diperoleh dari BBUG Probolinggo) selanjutnya disebut populasi Bengawan Solo. 3.) Isolasi gen MrIAG telah berhasil diisolasi dari gen androgen udang galah SIRATU, 4.) Prototype dsRNA MrIAG yang berasal dari gen androgen udang galah jantan. 5.) Sekuen partial gen MrIAG telah disubmit ke bank gene dengan website www.ncbi.nlm.nih.gov, dengan nomor bankit 1964614 dan nomor aksesi KY074553.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
85
Target akhir Kegiatan Target akhir dari kegiatan Perekayasaan Teknologi Produksi Strain Unggul Udang Galah adalah 1) Pembentukan udang galah neofemale melalui aplikasi dsRNA-Mr-IAG pada udang galah jantan 2) Pilot project pengembangan dan penerapan teknologi produksi udang galah monosex jantan.
Rencana Tindak Lanjut Kegiatan Rencana tindak lanjut kegiatan Perekayasaan Teknologi dan Sistem Produksi Udang Galah Unggul adalah layanan teknologi produksi perikanan udang galah neofemale dan udang galah unggul monosek jantan. Target akhir ini akan dicapai pada tahun 2019.
A.2. Perekayasaan Teknologi dan Sistem Produksi Ikan Nila SALINA dan Nila Laut (Marine Tilapia) Perekayasaan Teknologi dan Sistem Produksi Ikan Nila SALINA an Nila Laut dalam pelaksanaannya dibagi dalam dua WP, yaitu WP. B.1. Sistem Pengelolaan Genetik dan Perbanyakan Strain Pembentuk Ikan nila SALINA dan WP. B.2. Sistem Budidaya Ikan Nila SALINA dan Nila Laut.
Kegiatan WP.B.1. meliputi kegiatan pengelolaan genetik induk-induk dari strain-strain pembentuk ikan nila SALINA yaitu strain nila Red NIFI dan strain Sultana serta perbanyakan dari masing-masing strain tersebut. Pengelolaan genetik induk-induk ikan nila yang dimaksud adalah pengelolaan keragaman genetiknya pada tingkat molekuler. Keragaman genetik yang tinggi akan mempengaruhi “fitness” suatu populasi. Populasi yang fit adalah populasi yang tumbuh dan berkembang biak dengan baik, tahan terhadap penyakit dan stres lingkungan. Keragaman genetik mendeteksi dan dianalisa melalui keragaman mtDNAnya. Selanjutnya dilakukan perbanyakan induk-induk pembentuk nila SALINA ini agar benih nila SALINA dapat diproduksi dan didistribusikan setiap saat. Induk-induk pembentuk nila SALINA ini memiliki masa reproduksi sekitar 2 tahun. Sehingga kegiatan perbanyakan induk-induk mutlak harus dilakukan. Selain memantau performan induk-induk pembentuk ikan nila SALINA, pemantauan kualitas air secara fisika, kimia dan biologi dilakukan untuk mendapatkan pola tahunannya sehingga efisiensi kegiatan perbanyakan induk dapat dilakukan. Kegiatan WP.B.2. meliputi kegiatan pembesaran ikan nila di tambak dan uji coba pembesaran ikan nila SALINA di KJA
LAKIP PTPP TAHUN 2016
86
laut. Pembesaran ikan nila SALINA di tambak skala pilot telah dilaksanakan sejak tahun lalu, tetapi karena kendala dana, fasilitas dan kondisi alam, kegiatan ini dilanjutkan pada tahun 2016. Hasil pembesaran ikan nila SALINA dianalisa untuk mengetahui nilai ekonomisnya. Kegiatan pembesaran ikan nila SALINA di laut masih dalam tahapan uji coba. Perfoman pertumbuhan ikan Salina di laut diperlukan untuk optimasi kegiatan budidayanya.
Gambar 3.30. Induk-induk pembentuk ikan nila Salina
Gambar 3.31. Penebaran benih nila laut secara bertahap di KJA
Uraian Output 2016 Kegiatan Perekayasaan Teknologi dan Sistem produksi ikan nila SALINA dan ikan nila Laut, pada Tahun 2016 ini melanjutkan kegiatan diseminasi dan sosialisasi pengembangan budidaya Ikan Nila SALINA dan ikan nila laut (Marine Tilapia) di beberapa daerah melalui kegiatan a) pembuatan demplot, b) pelatihan, c) seminar d) pengembangan kerjasama kemitraan baik
LAKIP PTPP TAHUN 2016
87
dengan masyarakat pembudidaya, pemerintah daerah maupun swasta/industri dan e) pengelolaan, pengembangan, perbanyakan induk dan penyediaan benih Ikan Nila SALINA dan Ikan Nila Laut (Marine Tilapia), secara kontinyu dan berkualitas.
Kegiatan diseminasi Ikan Nila Laut (Marine Tilapia/Maharsi) dilakukan di Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) bekerjasama dengan PT. Nusa Ayu Karamba. Selanjutnya, kegiatan perbanyakan induk dan penyediaan benih Ikan Nila SALINA dan Ikan Nila Laut (Marine Tilapia), akan dilakukan di Karawang bekerjasama dengan Balai Pengembangan Budidaya Air Payau dan Laut (BPBAPL) Provinsi Jawa Barat dan Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta di Laboratoria Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) BPPT di Puspiptek Serpong.
Rencana Tindak Lanjut Rencana tindak lanjut Perekayasaan Teknologi dan Sistem Produksi Ikan Nila SALINA dan Nila Laut (Marine Tilapia) adalah alih teknologi budidaya ikan Nila SALINA, rekomendasi teknologi dan sistem produksi nila laut (MAHARSI) , Perbanyakan induk pembentuk ikan nila SALINA.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
88
D. PROTOTIPE PAKAN TERNAK BERBASIS LIMBAH INDUSTRI SAWIT
Peningkatan produksi bibit ternak ruminansia merupakan salah satu kegiatan prioritas nasional pembangunan pemerintah Republik Indonesia saat ini untuk mengatasi permasalahan kurangnya populasi ternak sebagai sumber kebutuhan protein hewani masyarakat. Kebutuhan protein hewani mewujudkan ketahanan pangan yang menjadi prioritas nasional dalam RPJMN pemerintah. Ketahanan pangan menjamin ketersediaan bahan pangan untuk mencapai kesejahteraan bangsa. Terwujudnya ketahanan pangan nasional sangat penting karena menyangkut penyediaan kebutuhan primer bagi 225 juta penduduk Indonesia, sehingga kegagalan dalam memenuhinya dapat mempengaruhi stabilitas nasional.
Kebutuhan ternak ruminansia yaitu ternak sapi untuk memenuhi permintaan daging di Indonesia mencapai 3,66 juta ekor/tahun pada tahun 2015, sedangkan produksi sapi lokal baru sebesar 2,34 juta ekor yang artinya masih terdapat kekurangan sebanyak 1,38 jutaekor/tahun sehingga Indonesia harus melakukan impor dari luar negeri. Guna mengurangi impor ternak sapi tersebut perlu dilakukan upaya peningkatan produksi daging sapi lokal melalui peningkatan bibit ternak ruminansia sapi. Kerbau, kambing dan domba. Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara nasional cenderung meningkat. Konsumsi daging segar pada tahun 2011 sebesar 5,11 kg mengalami peningkatan sebesar 5,38% dibandingkan tahun 2010 yang hanya 4,85 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging sapi juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, dimana tahun 2009 nilainya 0,006 kg/kapita/tahun menjadi 0,007 dan 0,008 kg/kapita/tahun pada tahun 2010 dan 2011.
Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari tiga sumber yaitu: sapi lokal, sapi impor, dan daging impor (Hadi dan Ilham, 2000). Berdasarkan road map pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014, ditargetkan penyediaan daging sapi produksi lokal sebesar 420,3 ribu ton (90%) dan dari impor sapi bakalan setara daging serta impor daging sebesar 46,6 ribu ton (10%) (Blue Print P2SDS 2014).
Saat ini 78,25% populasi ternak sapi terkonsentrasi di wilayah non sentra sawit seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi, sedangkan 21,75% berada di wilayah sawit (Kalimantan dan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
89
Sumatera) di sisi lain Indonesia memiliki 9,1 juta Ha perkebunan sawit (Ditjenbun, 2013) yang berpotensi untuk mendukung perkembangan populasi sapi nasional melalui sistem integrasi sapi – sawit. Setiap hektar perkebunan sawit memiliki biomassa yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi (pakan) 1 ekor ternak sapi dewasa selama setahun penuh. Apabila diasumsikan hanya 30% lahan kelapa sawit yang dapat digunakan untuk program integrasi ternak sapi, maka ada sekitar 3 juta Ha yang dapat menampung 3 juta ekor ternak sapi potong.
Teknologi Peternakan sistem integrasi antara produksi peternakan ruminansia dengan industri kepala sawit merupakan salah satu alternatif usaha pengembangan jumlah populasi ternak ruminansia di Indonesia melalui peningkatan bibit ternak yang dapat di kembangkan pada luasan areal perkebunan sawit. Beberapa inovasi tekno logi produksi peternakan pada sistem intgerasi tersebut saling berhubungan membentuk suatu model sistem integrasi yang dapat meningkatkan produktifitas ternak. Disamping itu teknologi sistem integrasi yang di apliksikan juga melingkupi dampak kegiatan sist em integrasi pada usaha perkebunan, sehingga manajemen pengelolaan dampak integrasi juga merupakan sebuah inovasi untuk mendapatkan usaha integrasi yang saling menguntunngkan antara kedua sekotr pertanian dan peternakan.
Hubungan antara inovasi teknologi peternakan pada sistem integrasi tersebut dapat dijelaskan dalam rangkaian state the art of technology seperti pada gambar dibawah ini. State the art of tehcnologi sistem integrasi pada teknologi produksi peternakan menghasilkan beberapa inovasi teknologi beberapa bidang keilmuan yang dapat di aplikasikan pada sistem integrasi dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas kedua usaha yang terlibat (usaha peternakan dan perkebunan).
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melalui unit Pusat Tekno logi Produksi Pertanian (PTPP-TAB) mempunyai salah satu kegiatan Teknologi Produksi Peternakan yang direncanakan dalam rencana stragetis (RENSTRA 2015 -2019) BPPT, Renstra TAB dan dijabarkan dalam Rencana Kegiatan unit PTPP.
Kegiatan Pengkajian dan Penera pan
produksi Teknologi mempunyai kegiatan Inovasi teknologi produksi pangan sumber protein hewani dengan sub kegiatan Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Pakan Ternak Berbasis Limbah Industri kelapasawit. Pada tahun 2016, pelaksanaanya kegiatan inovasi ini
LAKIP PTPP TAHUN 2016
90
dilakukan melalui beberapa paket kerja (WP) yang disusun dalam sebuah organisasi keperekayasaan dalam 2 struktur kerja (WBS). WBS 1, yaitu Perekayasaan teknologi produksi peternakan yang terdiri dari WP 1.1 (Pengembangan teknologi pakan komplit), WP 1.2 (Pengembangan pakan probiotik dan WP 1.3 (Pengembangan teknologi produksi dan
kesehatan
penggembalaan
ternak). terkontrol
Sedangkan dan
WBS
dampak
2
yaitu
integrasi
Pengembangan yang
terdiri
desain
dari
2
sistem
WP
2.1
(Pengembangan model penggembalaan terkontrol dan WP 2.2 (Pengelolaan dampak integrasi).
Metodologi Pelaksanaan masing masing paket kerja dan kontribusinya dalam kegiatan ini menghasilkan output berupa prototipe dan rekomendasi. Kontribusi WP 1.1 yaitu prototipe pakan lengkap PowerFeed untur ternak sapi grower, WP 1.2 menghasilkan pengujian awal probotik untuk mendapatkan isolat yang diperoleh dari trnak yang teradaptasi dengan pakan berbasis limbah sawit, WP 1.3 memberikan kontribusi berupa rekomendasi teknologi reproduksi dan kesehatan ternak pada sistem integrasi. Sedangakan paket kerja WP 2.1 menghasilkan hasil analisis kualitas cover crop sebagai sumber hijauan, kapasitas regrowth cover crop dan potensi pemadatan tanah pada lahan penggembalaan kebun sawit sebagai dasar pembentukan desain penggembalaan terkontrol. WP 2.2 juga memberikan hasil analisa dari deteksi keberadaan cendawan ganoderma sebagai dampak negatif dan metode pengelolaannya melalui agen penghambat hayati secara in vitro serta metode pengelolaan dampak positifnya.
Work Package 1.1. Pengembangan Teknologi Pakan Komplit Pemanfaatan limbah sawit sebagai pakan ternak sudah banyak dilakukan oleh perusahaan peternakan dan pabrik-pabrik pakan di Indonesia, namun sayangnya informasi pemanfatan limbah industri sawit ini belum banyak diketahui oleh peternakan rakyat yang berada dekat dengan lokasi industri sawit. Salah satu contoh di kabupaten Pelalawan yang merupakan penghasil CPO para peternak belum banyak mengetahui pemanfaatan bungkil sawit dan solid decanter untuk dijadikan pakan tambahan bagi ternaknya. Bungkil sawit dan solid decanter yang diperoleh dari hasil pengilahan minyak inti sawit dan CPO memiliki potensi besar sebagai pakan ternak karena memiliki nilai nutrisi yang sangat baik yang dibutuhkan ternak.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
91
Pemahaman masyarakat akan butuhnya pakan tambahan bagi ternaknya untuk meningkatkan produktivitas ternak perlu dilakukan. Hijauan pakan ternak yang menjadi sumber pakan bagi ternak sapi terkadang belum mencukupi kebutuhan nutrisi ternak sehingga produktivitas ternak terganggu, apalagi pada musim kemarau rumput di sekitar perkebunan sawit menjadi kering sehingga menjadi masalah bagi pemenuhan pakan . Pakan yang murah, mudah diperoleh dan memenuhi standard kebutuhan ternak dapat diperoleh dari pemanfaatan limbah industri sawit baik dari kebun swait (cover crop dan daun sawit), pabrik CPO dan kernel oil.
Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan merupakan penyebab utama rendahnya tingkat produktivitas ternak di daerah tropis (Chan, 1990). Oleh karena itu penggunaan bahan bahan pakan dari produk samping limbah pengolahan industry sawit dan kebun sawit juga memerlukan strategi formulasi dan pengolahan untuk mendapatkan komposisi yang tepat dengan kandungan nitrisi yang sesuai dengan kebutuhannya. Batasan nutrisi yang melebih dari batasan nutrisi yang seharusnya pada bahan pakan limbah sawit adalah tingginya kandungan lemak dan serat yang tidak dapat di cerna. Oleh karena itu juga memerlukan pengolahan pakan yang tepat.
Pakan ternak berbasis limbah sawit yang diformulasikan untuk memenuhi kebutuhan harian ternak dengan produktivitas yang tinggi sangat dibutuhkan oleh peternak guna meringankan beban harian serta meningkatkan pendapatan keluarga dari sektor peternakan. pada tahun 2015 telah dilakukan kegiatan invivo dan invitro pakan komplit berbasis limbah sawit yang diramu dari tiga bahan utama yang dihasilkan dari industri sawit yaitu bungkil sawit, solid decanter dan tambahan hijauan yang berasal dari tanaman cover crop atau hijauan lainya yang mudah didapat dan dimanfaatkan. Formulasi pakan yang digunakan adalah konsentrat yang terdiri dari bungkil sawit : solid decanter : 70% : 30% ; 50% :50% dan 30% : 70% yang dikombinasikan dengan pakan hijauan dengan formula yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Hasil tahun lalu menunjukan adanya perbedaan yang nyata pada pemberian pakan 50% : 50% terhadap pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan.
Kegiatan tahun 2016 ini meliputi : observasi, rencana dan pelaksanaan kegiatan uji multi lokasi formulasi pakan
SB 55 dan SB 73 dengan pemberian hijauan sesuai dengan kebiasaan
peternak. Uji multi lokasi sendiri bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian pakan komplit
LAKIP PTPP TAHUN 2016
92
berbasis limbah sawit terhadap performa ternak dengan pemberian hijauan yang disesuaikan dengan kebiasaan peternak, kesiapan peternak/ kelompok ternak dalam mengaplikasikan teknologi/informasi pakan komplit. Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan pakan lengkap bernasis limbah industri sawit terdiri dari : -
Observasi lokasi Observasi bahan pakan Formulasi Pakan Kajian Pakan suplemen Nutritech
Observasi Lokasi Observasi dilakukan dengan mendatangi langsung kepada peternak atau kelompok ternak sapi di wilayah kabupaten Pelalawan untuk mencari kandidat peternak yang akan dijadikan demplot kajian pemanfaatan limbah sawit sebagai pakan, adapun yang menjadi kriteria untuk dinilai kelayakannya adalah:
Kepemilikan ternak, ternak menjadi milik pribadi atau kelompok yang diperbolehkan untuk diberikan perlakuan pakan, sehingga kegiatan tidak berhenti di tengah jalan Kandang ternak, kandang dinilai memadai untuk dilakukan kajian, bersih, mudah dalam penanganan dan tidak dalam sengketa. Jumlah ternak yang cukup untuk kajian Kesiapan peternak dalam mengadopsi teknologi pakan komplit Tersedia hijauan sepanjang hari Peternak siap malakukan pencatatan/ recording terhadap ternaknya Observasi dilakukan pada 6 kelompok di tiga kecamatan yaitu kecamatan Ukui, kecamatan Pangkalan Lesung dan Kecamatan Kerumutan. Tabel 3.8. Kelompok Tani Peternak yang dijadikan target observasi Nama Kelompok Tani Peternak Karya Lestari Kelompok Usaha Mulya Kelompok Ternak Sarwo Sari Kelompok Ternak Pangkalan Lesung Sakti Kelompok Jaya Bersama Kelok Bina usaha
LAKIP PTPP TAHUN 2016
Alamat Kelurahan Kerumutan Kecamatan Kerumutan Kabupaten Pelalawan – Riau Kelurahan Bringin Makmur Kecamatan Kerumutan Kabupaten Pelalawan – Riau Desa Sari Makmur, Kecamatan Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan – Riau Kelurahan Pangkalan Lesung, Kecamatan Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan – Riau Sp 3/A, kecamatan Ukui kab. Pelalawan Desa lubuk kembang sari, kecamatan Ukui. Kab. Pelalawan
Telephon 081371633071 081365670947 081279963425 085356040833
93
Observasi Bahan Pakan Observasi bahan pakan dilakukan dengan menganalisia kandungan nutrisi bahan yang akan di gunakan dalam kajian invivo multi lokasi. Metode yang digunakan adalah Analisis proximat dilakukan sesuai dengan metode AOAC 1980, analisis fraksi serat melalui metode ANKOM menggunakan Fiber Analyzer, analisis mineral menggunakan AAS sesuai dengan metode yang telah ditentukan.Analisis komposisi asam amino protein disusun berbagai asam amino yang antara asam amino satu dan lainnya di hubungkan oleh ikatan peptida. Untuk mengetahui jenis dan jumlah asam amino penyusun protein maka protein diisolasi dari bahan kemudian dihidrolisa, hidrolisa protein mmerlukan waktu 20-40 jam pada suhu 110oC. hidrolisat ini kemudian diinjeksikan pada HPLC dengan kolom penukar kation spherogel amino acid 40% 250mm. Identifikasi
asam
lemak
dilakukan
dengan
menginjeksikan metil ester sample pada alat kromatografi gas-spektroskopi (GC).
Gambar 3.32. Skema analisis proximat dan van soest bahan pakan (crudeprotein : protein kasar, ether extract : lemak kasar, Ash : abu, Nitrogen free extract: bahan ekstrak tanpa nitrogen, NPN : non protein nitrogen,).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
94
FEED 100-CP-Ash-Fat CP, Ash, Fat Total Carbohydrate
SC B2
NSC C
B1
NSC = non structural carbohydrate 100-CP-(NDF-NDFIP) Ash-lipids A = Sugars B1 = Starch and Pectin
A SC = structural carbohydrate B2 = Available SC NDF’ash free’ - C C = unvailable SC lignin x 2.4
Gambar 3.33. Skema analisis kandungan unsur nutrisi C, H, O bahan pakan limbah sawit
Formulasi Pakan Pakan Powerfeed untuk ternak sapi grower berbahan baku limbah industri kepala sawit di formulasikan menggunakan beberapa bahan baku pakan dengan menggunakan program perangkat lunak Ms. Exel (Microsoft Office) dengan memperhitungkan kebutuhan ternak sapi dan kandungan protein yang sama antara perlakuan (iso protein) dan Energi. Formulasi menggunakan data nutrisi hasil analisis yaitu data fraksinasi proksimat, frkasinasi serat Van soest modifikasi serta estimasi nilai energi pada setiap bahan baku pakan untuk mendapatkan nilai Total Digestible Nutrient (TDN) dan nilai estimasi energi metabolisme menggunakan kecernaan in vitro DaisyII. Formulasi pakan komplit limbah sawit dilakukan pada formuali pakan A SB 55 dan pakan B SB 73 menggunakan bahan baku limbah sawit dan silase pelepah daun sawit.
Observasi Bahan Alternatif Feed aditif
Feed aditive
yang dikembangkan oleh BPPT menggunakan bahan aktif saponin dan tanin
sebagai agen defaunasi untuk menekan jumlah mikroba yang menghasilkan CH4 dan melindungi protein yang bermanfaat bagi ternak (protein bypass). Salah adu bahan yang cukup potensial sebagai penghasil tanin adalah limbah kertas dari perusahaan RAPP ( Riau Andalan Pulp and Paper). Jumlah limbahkulit kayu di RAPP sangat besar yang saat ini digunakan sebagai bahan bakar. Bahan bahan tersbut merupakan bahan alternatif sebagai bahan untuk pakan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
95
tambahan (feed aditif) yang dapat memanipulasi rumen ternak sapi untuk beberapa tujuan yaitu peningkatan performans ternak, mengurangi produk metan fermentasi rumen serta sebagai bahan obat alami (nutraceutical). Fungsinya dari bahan alternaitf feed aditif tersebut tergantung pada hasil analisis komponen aktif yang benyak terkandung didalamnya.
Observasi Pengembangan Kajian Feed Additive Nutritech Teknologi yang telah dikembangkan oleh BPPT adalah suplemen pakan ternak yang kaya nutrient (Nutritech). Nutritech merupakan feed aditif yang mengandung beberapa bahan yang mempunyai komponen bioaktif yang disesuaikan. Teknologi ini mempunyai multiple effect dalam pengembangan pakan ternak yaitu pemanfaatan pakan lokal dan peningkatan kualitas pakan lokal. Saat ini faktor pembatas dalam pemanfaatan bahan baku pakan lokal adalah kualitas nutrisi yang rendah. Melalui penerapan teknologi suplemen dapat meningkatkan kualitas pakan (ransum), sehingga dapat meningkatkan penyerapan bahan baku pakan lokal oleh peternak. Menurut Suryahadi (2003), suplementasi bermanfaat dalam mengatasi masalah defisiensi, meningkatkan kapasitas mencerna pakan karena adanya perbaikan metabolisme dan kemampuan mikroba rumen. Suplemen pakan ternak yang kaya nutrient selain didesain untuk mencukupi kebutuhan nutrisi ternak juga mengandung bahan yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan oleh ternak. Suplemen pakan ternak mengandung beberapa bahan pakan yang mengandung tanin (protein bypass), NPN slow release, protein sel tunggal dan mineral.
Kajian Silase Pakan Komplit Berbeda dengan silase berbahan baku tunggal seperti silase rumput atau jerami jagung, silase ransum komplit mempunyai beberapa keuntungan diantaranya: 1) tersedianya substrat yang mendukung terjadinya fermentasi yang baik, sehingga mempunyai tingkat kegagalan yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan silase berbahan tunggal. 2) mengandung nutrien yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Sumber hijauan pada masing-masing perlakuan terlebih dahulu dipotong 3 − 5 cm dengan menggunakan chopper. Kemudian dilayukan selama 12 jam (satu malam) pada ruang terbuka. Masing-masing hijauan selanjutnya dicampur. Hasil campuran ransum tersebut dimasukkan ke dalam silo (tong plastik volume 50 liter), dipadatkan, ditutup rapat dan diinkubasi dalam kondisi anaerob selama periode pengamatan 0,7,14 dan 21
LAKIP PTPP TAHUN 2016
96
hari. Sampel silase dari masing-masing perlakuan diambil untuk analisa kualitas karakteristik fisik.
Perlakuan silase komplit terdiri dari 4 perlakuan dan 3 ulangan: P1 : Silase pelepah sawit 100% P2 : Silase pelepah sawit + 0.4% urea P3 : Silase SB 55 P4 :Silase SB73 Parameter yang diamati adalah kualitas fisik silase komplit selama beberapa waktu fermentasi, keberadaan jamur serta perubahan nilai keasaman (pH) silase.
Kajian invivo PowerFeed PowerFeed (Palm oil waste enrichment Feed) merupakan pakan komplit yang dibuat sebagai solusi pakan ternak yang berkualitas yang diformulasikan untuk pakan ternak sapi pada masa grower. PowerFeed dibuat dari campuran bahan pakan yang bersumber dari hasil samping industri kelapa sawit (perkebunan kelapa sawit dan pengolahan minyak sawit) yang diperkaya dengan suplemen pakan dan telah diramu untuk memenuhi kandungan nutrisi ternak. Dalam kajian awal Powerfeed sebagai pakan ternak terbukti telah mampu memberikan performa maksimal pada ternak sapi bali pada masa grower dengan memberikan pertambahan bobot badan 0.5 -0.7 kg/ekr/hari dengan bobot rata-rata sapi 150 kg. Pemanfaatan PowerFeed sebagai pakan telah diimplementasikan di Kabupaten Pelalawan. Kajian kualitasnya perlu dilakukan kembali pada beberapa lokasi (uji multilokasi) di beberapa kelompok hasil observasi lokasi.
Kajian invivo multilokasi PowerFeed dilakukan di 3 kelompok ternak berbeda dengan membandingkan dua formulasi FowerFeed SB-55 dan SB-73. Kelompok yang terpilih sebagai lokasi kajian adalah : 1. Kelompok Usaha Mulya 2. Kelompok Pangkalan Lesung Sakti 3. Kelompok Sarwo Sari Parameter yang diamati adalah tingkat konsumsi dan pertambahan bobot badan ternak. Perlakuannya Pakan A dan PAKAN B
LAKIP PTPP TAHUN 2016
97
Work Package 1.2. Pengembangan Pakan Probiotik Paket kegiatan pakan probiotik meruapakan paket kerja yang mempunyai target untuk menghasilkan pakan probotik spesifik limbah sawit atau pakan probiotik yang diproleh dari mikroba ternak sapi potong yang teradaptasi dengan pakan limbah sawit. Ternak sapi potong yang terbiasa konsumsi pakan bebrbahan baku limbah sawit akan teradaptasi pada dominasi kandungan nutrisi dan bahan lain dari tupe pakan berbahan baku limbah sawit. Pakan berbahan baku limbah sawit umumnya mengandung kandungan fraksi serat yang tidak dapat di cerna dalam jumlah besar, kandungan lemak yang tinggi serta kandungan bahan bioaktif lainnya yang berpotensi memanipulasi metabolisme rumen ternak sapi.
Sapi merupakan hewan ruminansia memiliki rumen yang digunakan sebagai tempat fermentasi. Rumen merupakan ekosistem yang mengandung komponen biotic dan abiotik. Komponen Biotik adalah mikroba rumen dengan populasi berkisar antara 1010 sampai 1012 sel/ml cairan rumen. Mikroba Rumen sangat diperlukan dalam proses pencernaan. Fermentasi makanan yang dibantu oleh mikroba untuk memecahkan pakan berserat tinggi dan berkualitas rendah. Rumen merupakan habitat yang baik untuk perkembangan mikroba rumen karena memilki ekosistem yang menunjang dengan suhu anatara 38-420C dengan pH netral (6-7) dan kelembaban relatif konstan dan anaerob. Mikroba memegang peranan penting dalam proses pemecahan makanan. Pernan mikroba dalam proses pencernaan diperkirakan sekitar 70-85% dari bahan kering yang dikonsumsi oleh ternak yang dapat dicerna dalam rumen. Ada 3 macam mikroba yang berperan dalam proses fermentasi yaitu bakteri, protozoa, dan jamur.
Ekosistem rumen ditempati oleh populasi mikroba yang sangat beragam terdiri dari protozoa, fungi, bakteri, dan archaea yang memungkinkan ternak dapat memanfaatkan tanaman serat sebagai sumber energi serta meningkatkan metabolismenya menjadi lebih baik. Efisiensi ruminansia untuk memanfaatkan pakan bervariasi yang disebabkan oleh diversitas ekosistem dari mikroba rumen. Fungsi utama dari komunitas mikroba adalah mengubah bahan tanaman menjadi senyawa yang dapat dicerna dan digunakan. Fungsi ini sangat penting yang memungkinkan mengubah energi matahari yang tersimpan dalam serat tanaman menjadi produk makanan, seperti susu dan daging (Al-Saiady, M.Y, 2010). Selain itu microbiome dalam rumen mengalami seleksi dan evolusi dalam jangka panjang, mikroba dan inang membentuk hubungan keseimbangan saling menghambat dan ketergantungan dimana memiliki peran
LAKIP PTPP TAHUN 2016
98
penting dalam menjaga kesehatan inang, meningkatkan kinerja, mengurangi pencemaran lingkungan, dan memastikan keamanan makanan dan produk hewani. Oleh karena itu, studi mikroba rumen merupakan bidang kunci dari riset nutrisi pada ruminansia, dan hal itu penting untuk meningkatkan pemahaman kita tentang populasi mikroba yang komplek dan interaksinya, serta meningkatkan aktivitasnya untuk meningkatkan produktivitas sapi.
Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan teknologi pakan ternak berbasis industri limbah, salah cara untuk meningkatkan produktivitas ternak yang dikatkan dengan pemanfaatan limbah sawit yaitu dengan mengembangkan probiotik spesifik sawit yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kecernaan sapi terhadap pakan. Probiotik spesifik sawit merupakan mikroba yang berperan sebagai probiotik yang sudah teradaptasikan dengan sawit yang diharapkan mempunyai kemampuan yang lebih dalam mencerna khususnya pakan serat limbah sawit atau serat lainnya.
Kegiatan pengembangan pakan probiotik dilakukan sejak tahun 2015 melalui uji coba awal mencari preservasi yangs sesuai untuk melakukan pengambilan contoh bahan cairan rumen dalam waktu yang cukup lama didalam perjalanan. Beberapa tahapan dimulai setelah melakukan prservasi yaitu (1) koleksi dan preservasi cairan rumen sapi teradaptasi limbah sawit (2) isolasi dan identifikasi morfologi bakteri rumen (3) pengujian biokimia bakteri rumen sebagai kandidat probotik
Koleksi dan Preservasi Cairan Rumen Sapi Sawit Tahap awal untuk untuk mendapatkan kandidat probiotik yaitu melakukan isolasi dan seleksi mikroba dari rumen sapi yang sudah teradaptasi dengan pakan sawit. Dalam tahap ini diperlukan suatu metoda sampling dan preservasi sampe rumen yang tidak mengganggu hewan ternak dan viablitas mikroba tetap terjaga dengan baik. Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) mendapatkan koleksi sampel cairan rumen sapi yang sudah teradaptasikan dengan pakan sawit serta (2) mendapatkan metoda dan media preservasi untuk cairan rumen.
Preservasi adalah kegiatan untuk melestarikan sesuatu untuk tujuan tertentu. Pada kegitan ini dilakukan preservasi cairan rumen dengan tujuan untuk menyimpan dan memelihara mikroba rumen yang akan diisolasi dan digunakan untuk studi diversitas. Pembuatan dan penyimpanan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
99
koleksi (preservasi) harus sesuai untuk menjaga agar biakan mikroba tetap hidup, ciri-ciri genetiknya tetap stabil dan tidak berubah, serta hemat biaya dan tenaga. Metode yang dipilih sangat tergantung pada sifat mikroba dan tujuan preservasi. Sifat mikroba tercermin dalam (1) ciri-ciri morfologi mikroba yang beragam (virus, bakteri, jamur, nematoda, algae, khamir, dan protozoa), (2) ciri-ciri fisiologi dan biokimia mikroba, dan (3) kemampuan mikroba bertahan hidup baik dalam lingkungan alaminya maupun lingkungan buatan. Tujuan koleksi dan preservasi meliputi tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Preservasi jangka pendek dilakukan untuk keperluan rutin penelitian yang disesuaikan dengan kegiatan program atau proyek tertentu. Preservasi jangka panjang dilakukan dalam kaitannya dengan koleksi dan konservasi plasma nutfah mikroba, sehingga apabila suatu saat diperlukan, dapat diperoleh kembali atau dalam keadaan tersedia.
Pada kegiatan ini pengambilan sampel dilakukan untuk mempelajari diversitas mikroba rumen dan isolasi mikroba kandidat probiotik spesifik sawit. Pengambilan cairan rumen dilakukan di Kabupaten Pelalawan dimana sapi sudah biasa makan sawit dan dilakukan beberapa perlakuan preservasi mikroba rumen untuk menentukan metoda yang paling baik untuk digunakan yang dapat menjaga viabilitas dan materi genetik mikrobanya.
Kegiatan sampling pengambilan cairan rumen dilakukan di Kecamatan Kerumutan Kabupaten Pelalawan, Riau. Sampel diambil dari 3 kelompok tani masing-masing 1 ekor sapi. Cairan rumen diambil melalui rongga mulut, dialirkan dengan selang plastik dan Sampel cairan rumen ditampung didalam botol schoot steril. Pengambilan sampel dilakukan untuk beberapa tujuan yaitu; - Pengujian metoda preservasi - Sebagai sumber untuk isolasi bakteri. Metode untuk mendapatkan cairan rumen sebagai bahan isolasi adalah sebagai berikut : - Pembuatan inokulum mikroba pada larutan Nutrient broth dan MRS brorth untuk menumbuhkan mikroba yang selanjutnya dilakukan isolasi khususya bakteri - Penyimpanan sampel pada larutan NaCl fisiologis dan PBS untuk dilakukan isolasi bakteri secara langsung pada media pertumbuhan di dalam petridish dengan metoda pengenceran. - Cairan rumen langsung di plating pada media di dalam petridish tanpa pengenceran
LAKIP PTPP TAHUN 2016
100
Kajian metode preservasi cairan rumen dilakukan dengan
beberapa perlakuan caraa
menyimpan cairan rumen pada dalam larutan sebagai berikut: -
Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan Perlakuan
1 2 3 4 5
: : : : :
Ethanol 70% Glyserol 20% Posfat Bufer Saline (PBS) + Glyserol 20% Posfat Bufer Saline (PBS) + Glyserol 30% Cairan rumen tanpa pemberian larutan laiinnya (sebagai control)
Parameter yang diukur adalah viabilitas mikrob rumen. Parameter viabilitas dan materi genetik mikroba rumen, diukur dengan cara mengkultur mikroba dan mengisolasi DNA genomik dari cairan rumen yang dipreservasi. Isolasi DNA dilakukan dengan pendekatan metagenomik menggunakan Highpure PCR Template Preparation Kit (Roche Life Science). Parameter DNA diukur berdasarkan konsentrasi DNA yang dapat terekstraksi dari cairan rumen dan juga dilihat tingkat kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer NanoDrop1000.
Isolasi dan Identifikasi Morfologi Bakteri Rumen Tahap isolasi dan identifkasi mempunyai tujuan untuk mendapatkan isolat bakteri rumen sapi sebagai kandidat probiotik serta mendapatkan data karakterisasi morfologi isolat bakteri rumen. Kegiatan isolasi Kegiatan isolasi dan identifikasi mikroba probiotik ini bertujuan untuk mendapatkan mikroba probiotik dari cairan rumen sapi yang dapat mendegradasi limbah sawit menjadi pakan ternak. Kegiatan ini meliputi pengambilan 3 (Tiga) sampel cairan rumen sapi dari tiga (tiga) kelompok ternak daerah Kabupaten Pelelawan Propinsi Riau yaitu (1) Kelompok Beringin Makmur, Kecamatan Kerumutan (2) Kelompok Ternak Karya Lestari, dan (3) Kelompok Sarwo Sari, Sari Makmur, Kecamatan Pangkalan Lesung.
Ternak Sapi Kelompok Beringin
Makmur, sudah makan limbah sawit sejak 5 tahun, limbah sawitnya tidak difementasi, ternak sapi kelompok Pa beni baru 1 minggu makan limbah sawit sedangkan sapi kelompok Sarwo Sari sudah makan limbah sawit yang difermentasi sejak 6 bulan. Ketiga sampel cairan rumen kemudian diisolasi dengan media MRSA, TSA dan NA, kemudian dimurnikan dan diidentifikasi secara morfologi dan uji biokimia bakteri. Uji biokimia adalah pengujian larutan atau zat-zat kimia dari bahan-bahan dan proses-proses yang terjadi dalam tubuh makhluk hidup, sebagai upaya untuk memahami proses kehidupan dari sisi kimia (Lehninger, 1995).Isolat bakteri rumen diisolasi untuk mendapatkan isolat murni dari lingkungan rumen dan ditumbuhkan pada media sintetis. Isolasi dilakukan dengan metoda pengenceran berseri seperti pada gambar di bawah ini.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
101
Identifikasi morfologi berdasarkan bentuk sel bakteri dilakukan berdasarkan metoda pewarnaan yang diamati dibawah mikroskop. Pewarnaan Gram digunakan untuk menentukan jenis bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Cara : kaca objek dibersihkan dengan alkohol sehingga bebas dari lemak, difiksasi di atas lampu spiritus sampai kering, beri satu tetes NaCl fisiologis. Bakteri dari media NA diambil dengan jarum ose, diletakkan pada tetesan NaCl fisiologis, campur hingga merata. Biarkan mengering diudara sebentar dan fiksasi diatas api. Tetesi 2-3 tetes larutan Kristal violet, biarkan selama 1 menit, bilas dengan air mengalir. Tetesi larutan lugol satu tetes dan dibiarkan selama 1 menit, dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan, preparat dibilas dengan alkohol 96% selama 30 detik, cuci dengan air mengalir dan keringkan. Terakhir ditetesi dengan safranin dan dibiarkan selama 1 menit lalu dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Amati di bawah mikroskop. Warna ungu untuk bakteri gram positif dan warna merah untuk bakteri gram negatif.
Bakteri yang sudah dilakukan pewarnaan gram dan uji
biokimia yang diduga merupakan keompok bakteri Lactobacillus spp., kemudian di identifikasi secara morfologi meliputi bentuk koloni, tepian, permukaan,dan warna koloni.
Gambar 3.34. Identifikasi bentuk sel bakteri rumen
Pengujian Biokimia Bakteri Kandidat Probiotik Uji biokimia bakteri merupakan salah satu metoda untuk mengidentifikasi dan mendeterminasi suatu biakan murni hasil isolasi melalui sifat-sifat fisiologinya. Proses biokimia erat kaitannya dengan metabolism sel, yaitu reaksi kimiawi yang dilakukan oleh sel yang menghasilkan energy maupun yang menggunakan energi untuk sintesis komponen-komponen sel dan untuk kegiatan seluler, seperti pergerakan.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
102
Bakteri tidak dapat diterminasi hanya berdasarkan sifat-sifat morfologinya saja, sehingga perlu diteliti sifat-sifat biokimia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Ciri fisiologi ataupun biokimia merupakan kriteria yang amat penting di dalam identifikasi spesimen bakteri yang tidak dikenal karena secara morfologis biakan ataupun sel bakteri yang berbeda dapat mempunyai bentuk yang serupa.
Pengujian biokimia merupakan salat satu metoda untuk menyeleksi bakteri kelompok
Lactobacillus spp. sebelum dilkukan identifikasi molekular untuk memastikan spesies dari kelompok bakteri tersebut. Tujuan dari tahap pengujian ini adalah untuk menyeleksi isolat-isolat bakteri rumen sapi sawit dan mendapatkan isolat bakteri kelompok Lactobacillus spp. Beberapa uji biokimia yang dilakukan adalah : a. Uji katalase Uji katalase berguna dalam mengidentifikasi kelompok bakteri yang dapat menghasilkan enzim katalase. Dilakukan dengan cara : di atas kaca objek ditetesi satu tetes H2O2 3%, ditambahkan koloni bakteri dan langsung diamati terjadinya penguraian hidrogen peroksida. Dinyatakan positif bila menghasilkan enzim katalase yang ditandai dengan terbentuknya gelembung udara dan negatif bila tidak ada gelembung udara. Ini terjadi karena bakteri yang apabila ditambahkan hidrogen peroksida menghasilkan peroksida. b. Uji KOH Pengujian KOH digunakan untuk mengetahui apakah bakteri tersebut termasuk bakteri gram negatif atau gram positif ditandai dengan terbentuknya lender atau tidak. c. Uji Sitrat Pengujian dilakukan untuk melihat kemampuan bakteri menggunakan sitrat sebagai satusatunya sumber karbon. 1 ose bakteri dan diinokulasikan ke dalam media Simmon Citrate Agar, dan inkubasi pada suhu 35⁰ C selama 48-96 jam, warna biru menunjukkan reaksi positif sedangkan warna hijau menunjukkan reaksi negatif. d. Uji Triple Sugar Iron Agar (TSIA) Tujuannya
untuk
membedakan
organisme
enterik
berdasarkan
kemampuannya
memfermentasikan glukosa, sukrosa dan laktosa pada medium. Koloni isolat bakteri diinokulasikan pada agar miring TSIA dengan cara menggores bagian miringnya dan menusuk bagian tegaknya dan diinkubasi pada suhu 37⁰ C selama 24-48 jam.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
103
e. Uji pada media urea agar Tujuannya mendeteksi bakteri yang dapat mendegradasi dengan cepat “rapid urease- positive”. Pengujian dilakukan dengan menginokulasikan 1 ose bakteri pada media Urea Agar dan inkubasi pada suhu 35⁰ C selama 48-96 jam, warna merah muda menunjukkan reaksi positif sedangkan warna tidak berubah menunjukkan reaksi negative Seperti pada gambar di bawah ini
Gambar 3.35. Uji urease, warna kuning (lingkungan asam), positif warna pink, negatif tidak bertubah warna
f. Uji motilitas Uji motilitas digunakan untuk melihat pergerakan dari bakteri. Pengujian dilakukan dengan cara menginokulasikan satu ose bakteri ditusuk secara tegak lurus di tengah Medium SIM (sulfit indol motility) dan diinkubasi pada suhu 37⁰ C selama 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan mengamati kekeruhan yang timbul seperti kabut yang menandakan bakteri bergerak. g. Uji fermentasi karbohidrat Pengujian dilakukan pada 6 jenis karbohidrat yaitu glukosa, laktosa, xilosa, arabinosa, manitol, dan sukrosa. Tujuan untuk melihat adanya pembentukan asam yaitu dengan adanya perubahan warna indikator (merah fenol) yang terdapat dalam media sebelum diinokulasi berwarna merah menjadi kuning.
Work Package 1.3. Pengembangan Teknologi Reproduksi dan Kesehatan Hewan Teknologi reproduksi pada ternak sapi terintegrasi kelapa sawit merupakan teknologi spesifik yang mendukung keberhasilan dan menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan. Pada sistem penggembalaan terkontrol, teknologi Intensifikasi Kawin Alam (INKA) merupakan teknologi yang tepat diaplikasikan. Kulitas pejantan menjadi salah satu faktor LAKIP PTPP TAHUN 2016 104
penentu kebehasilan teknologi INKA.Menurut hasil penelitian terdapat 36 jenis penyakit hewan menular yang perlu diwaspadai karena agen penyebabnya sebagian besar (23 jenis) diketahui positif ada dalam semen pejantan dan 4 jenis lagi boleh jadi ada dalam semen . Di samping itu, 11 jenis dari yang 23 jenis penyakit-penyakit tadi, yaitu: penyakit mulut dan kuku (FMD), bluetongue, brucellosis, vibriosis, tuberkulosis, IBR/IPV, trichomoniasis, leptospirosis, diare ganas, infeksi Haemophilus dan mycoplasmosis, telah dibuktikan selain ada dalam semen sekaligus juga dapat dipindahkan melalui semen sapi pejantan penderita (HARE, 1985) . Lebih jauh, bila kita kelompokkan agen-agen penyebab penyakit berdasarkan disiplin ilmu veteriner, maka dari 36 jenis penyakit tadi hampir sebagian (17 jenis) termasuk kelompok virus, disusul dengan kelompok bakteri (8 jenis), kemudian kelompok parasit (5 jenis) dan sisanya (masingmasing 3 jenis) adalah mycoplasma dan rickettsia.
Performa reproduksi betina juga mentukan keberhasilan pengembangbiakan ternak sapi. Faktor yang mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi sering kali sulit diidentifikasi. Rendahnya efisiensi reproduksi antara lain calving interval yang panjang, service per conception yang rendah dan conception rate yang rendah sering terjadi di peternakan sapi. Hal tersebut dapat terjadi karena kualitas estrus yang tidak baik. Untuk pemecahan permasalahan tersebut, peternak umumnya menggunakan hormon sebagai penggertak munculnya estrus dan untuk mensinkronkan estrus. Tetapi hasil yang diperoleh tidak maksimal akibat penggunaan jenis hormon yang tidak sesuai dengan status ovarium yang sedang terjadi. Kondisi diatas diperparah dengan kemampuan para peternak yang kurang cakap dalam mendeteksi gejala berahi dan kekurangan jumlah petugas lapang sehingga terjadi keterlambatan dalam melakukan inseminasi buatan.
Penyakit menjadi salah satu hambatan dalam usaha peternakan sapi sehingga manajemen kesehatan hewan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem usaha tani-ternak modern. Pengendalian penyakit hewan mutlak dilakukan dalam rangka mencegah kerugian akibat: (a) gangguan pertumbuhan (pertambahan berat badan harian rendah), (b) dewasa kelamin atau umur beranak pertama terlambat, (c) daya reproduksi terganggu, (d) efisiensi pakan rendah, dan (e) kematian ternak. Berdasarkan penyebabnya, penyakit ternak dapat dikelompokkan menjadi (1) penyakitpenyakit infeksius, dan (2) penyakit-penyakit non infeksius. Penyakit-penyakit infeksius disebabkan oleh agen penyakit yang berasal dari (a) bakterial, (b)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
105
viral, dan (c) parasiter, sedangkan yang non infeksius umumnya disebabkan oleh (a) senyawa toksik/racun, (b) gangguan metabolisme tubuh, (c) defisiensi mineral, dan (d) lain-lain.
Penyakit parasit gastrointestinal masih menjadi masalah kesehatan yang paling banyak dijumpai pada
peternakan
rakyat.
Walaupun
penyakit
parasit
gastrointestinal
tidak
langsung
menyebabkan kematian, namun secara ekonomi dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Oleh karena itu tidak heran kalau penyakit cacingan ini sering disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian ekonomi yang ditimbukan antara lain penurunan berat badan, terhambatnya pertumbuhan pada sapi muda, penurunan kualitas daging, kulit dan jeroan pada ternak potong, penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia.
Hasil
suatu
penelitian
menyatakan
bahwa
kasus
cacingan
menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan berat badan per hari sebanyak 40% pada sapi potong dan penurunan produksi susu sebesar 15% pada sapi perah (Siregar, 2013).
Work Package 2.1. Pengembangan Teknologi Reproduksi dan Kesehatan Hewan Pelaksanaan kegiatan analisis dan intepretasi data hasil bertujuan untuk: -
Mengetahui kemampuan regrowth dan identifikasi vegetasi yang palatable (disukai ternak) di kebun sawit
-
Mengetahui dampak penggembalaan ternak terhadap pemadatan tanah di kebun sawit
-
Pengujian penggembalaan terkontrol sistem rotasi di kebun sawit
Konsep sistem integrasi sawit-sapi adalah saling memanfaatkan dari sub sistem perkebunan kelapa sawit dan/pabrik kelapa sawit dengan sub sistem usaha ternak sapi, sehingga dihasilkan manfaat ganda (Balitbangtan, 2014). Integrasi ternak sapi dengan perkebunan kelapa sawit memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 52,92 yang berarti kegiatan crop livestoctk
system memiliki tingkat berkelanjutan yang cukup dibandingkan bila dilakukan usaha tani monokultur (Syarifuddin, 2010).
Alternatif pengembangan sistem integrasi sawit-sapi untuk usaha perkembangbiakan dan penggemukan dapat dilakukan melalui pola digembalakan (grazing) atau dikandangkan. Grazing secara terbatas dan terkendali hanya dapat dilakukan bila dapat dipastikan sapi tidak merusak tanaman dan tidak menimbulkan penyebaran penyakit pada lahan sawit dengan tanaman yang
LAKIP PTPP TAHUN 2016
106
sudah menghasilkan. Daya dukung vegetasi hijauan dari kebun kelapa sawit sebagai sumber pakan maksimum 2 ST per ha. Sistem ini sangat efektif dan efisien, karena biaya pemeliharaan sapi sangat minimum bahkan dapat mendekati "zero cost". Adapun pola pengandangan ternak dapat memudahkan dalam pengelolaan kotoran dan urine sapi, serta tidak berdampak negatif terhadap kelestarian kebun (Balitbangtan, 2014). Pola penggembalaan sapi di kebun sawit harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi berdampak buruk terhadap kondisi kebun kelapa sawit seperti over grazing, pemadatan lahan, kerusakan tanaman kelapa sawit serta penyebaran jamur ganoderma (Prawiradiputra, 2012).
Penggembalaan sapi pada kebun sawit dapat dilakukan dengan sistem penggembalaan yang terkendali. Penggembalaan dengan sistem rotasi dilakukan menggunakan electric fencing setiap hari berpindah blok (Waskito, 2015). Permentan No. 105/2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa sawit dengan Usaha Budi Daya Sapi Potong telah mengatur sistem penggembalaan yang terkendali. Yang dimaksud dalam hal ini adalah sapi digembalakan melalui sistem rotasi dengan jeda waktu paling singkat 60 hari. Model penggembalaan tersebut mampu mengendalikan gulma yang ada. Hal ini bertujuan agar vegetasi alam di bawah tanaman sawit dapat tumbuh kembali, sehingga setelah 60 hari sapi akan kembali ke blok pertama. Satu blok berukuran 30 hektar dengan daya tampung 2 ekor/ha/tahun (Matondang dan Talib, 2015).
Permasalahan utama sistem integrasi sapi-sawit belum berkembang adalah karena pemahaman sistem integrasi sapi sawit masih rendah, ditambah lagi muncul kekhawatiran bahwa adanya sapi di kebun sawit akan menyebabkan kerusakan tanaman kelapa sawit (Setiadi et al., 2012). Sharun and Noor (2003) menambahkan bahwa beberapa faktor penghambat pelaksanaan kegiatan integrasi sapi dengan kelapa sawit antara lain kekurangan tenaga ahli, pengalaman dan pemahaman sehingga pemilik/ manajemen kebun kelapa sawit ragu untuk melaksanakan program integrasi, kekahawatiran terjadi pemadatan tanah, kesulitan dalam pemasaran ternak dan daging ternak serta kekurangan suplai bakalan dan induk produktif.
Akibat dari belum sepenuhnya pelaksanaan integrasi sapi sawit ini adalah produksi bakalan sapi juga masih rendah, padahal biomassa dari kebun ataupun industri kelapa sawit berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan karena ketersediaanya yang melimpah serta kandungan nutrisinya
LAKIP PTPP TAHUN 2016
107
yang cukup tinggi. Disamping itu banyaknya penelitian dan kajian mengenai integrasi sapi sawit baik didalam negeri maupun luar negeri sudah banyak dilakukan dengan hasil yang cukup baik merupakan nilai tambah untuk melakukan kegiatan integrasi sapi dengan sawit (Setiadi et al., 2012).
Peran serta dari pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini sangat diharapkan, seperti pemerintah melalui kebijakan dan aturan yang berpihak terhadap pelaksanaan kegiatan integrasi sapi sawit, pemilik kebun kelapa sawit (perkebunan rakyat, perkebunan swasta ataupun perkebunan milik negara), pemilik ternak disekitar areal kebun sawit baik itu yang memiliki lahan sawit ataupun tidak untuk mau dan sanggup menerapkan integrasi sapi sawit sesuai peraturan dan kebijakan yang ada serta pihak lain yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan kegiatan integrasi sapi sawit. Diperlukan pemahaman yang sama antar pihak yang terlibat dalam sistem integrasi sapi sawit agar hasil yang diharapkan dapat tercapai.
Berdasarkan data yang telah diperoleh maka dapat kita gunakan sebagai dasar/ pedoman penyusunan model penggembalaan terkontrol ternak sapi di kebun kelapa sawit. Ruang lingkup kegiatan yang dilakukan pada pengembalaan terkontrol ternak sapi di lahan kebun sawit antara lain: 1. Pendataan ulang analisis vegetasi covercrop lahan kebun sawit baik secara kuantitas dan kualitasnya pada musim kemarau dan musim hujan 2. Pengukuran kemampuan regrowth hijauan dan seleksi vegetasi palatable melalui aplikasi awal paddock ternak sapi dilahan kebun sawit. 3. Ujicoba penggembalaan terkontrol sistem rotasi 4. Pengukuran pemadatan tanah
Kegiatan dilakukan di Kabupaten Pelalawan propinsi Riau dan PUSPIPTEK Serpong. Kegiatan uji coba dan pengukuran dilakukan di kebun sawit yang ada di Kecamatan Kerumutan Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau baik itu yang belum pernah ataupun yang sering digunakan sebagai lokasi penggembalaan ternak sapi. Pengukuran menggunakan sampling pada lahan sawit dengan beberapa umur sesuai kondisi yang ditemui dilapangan, dari pengukuran yang dilakukan dapat diperkirakan produksi hijauan yang ada di kebun sawit.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
108
Pendataan ulang analisis vegetasi covercrop lahan kebun sawit Pendataan ulang analisis vegetasi cover crop baik secara kuantitas dan kualitasnya pada musim kemarau dan musim hujan. Analisis kandungan nutrisi dilakukan di Puspiptek Serpong dan Bogor. Pengukuran kualitas nutrisi vegetasi dilakukan melalui analisis proksimat, Van Soest dan serat kasar pada covercrop yang terdiri dari campuran beberapa vegetasi yang ada di kebun kelapa sawit. Hasil analisis kandungan nutrisi ini selanjutnya dijadikan pedoman dalam penyusunan kebutuhan pakan, penentuan komposisi jenis hijauan yang tetap dipertahankan di areal penggembalaan kebun sawit dan program penggembalaan yang akan dilakukan.
Pengukuran kemampuan regrowth dari hijauan Pengukuran kemampuan regrowth dari hijauan yang tumbuh di kebun kelapa sawit merupakan hal yang penting dilakukan sebelum dimulainya kegiatan penggembalaan ternak sapi di kebun kelapa sawit. Dengan mengetahui lama regrowth hijauan yang ada kita dapat dengan pasti menentukan lamanya rotasi penggembalaan, selain itu regrowth juga berpengaruh terhadap kandungan
nutrisi
hijauan,
daya
cerna
dan
konsumsi
ternak
(berkaitan
dengan
ketersediaannya).
Pengambilan sampel regrowth dilakukan secara sampling menggunakan kuadran ukuran 1 x 1 m di lima titik, yaitu tiap sudut kebun dan bagian tengah kebun sawit pada beberapa umur tanaman kelapa sawit (gambar 1). Titik sampling yang telah ditentukan ini selanjutnya ditandai dengan patok kayu yang sekelilingnya diberi jaring agar tidak diganggu binatang/ternak serta agar tetap terkena sinar matahari. Pengukuran regrowth hijauan dilakukan pada hari ke 45 dan 70 setelah pemotongan pertama dilakukan.
Gambar 3.36. Skema pengukuran regrowth hijauan di kebun kelapa sawit
LAKIP PTPP TAHUN 2016
109
Ujicoba penggembalaan sistem rotasi Uji ini akan direncanakan di perkebunan rakyat yang ada di Kecamatan Kerumutan Kabupaten Pelalawan Riau. Penggembalaan ternak di kebun rakyat akan sedikit berbeda dengan pelaksanaan penggembalaan di kebun perusahaan. Apabila di perkebunan swasta kita bisa menentukan dari awal lokasi penggembalaan, rotasinya dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan penggembalaan karena keputusan ada di satu manajemen, sedangkan di perkebunan rakyat karena kepemilikannya tidak begitu luas dan dimiliki oleh beberapa orang yang berbeda maka tentunya membutuhkan penyesuaian di lapangan.
Gambar 3.37. Persiapan uji coba penggembalaan dengan elektric fencing
Pengukuran Pemadatan Tanah Pengukuran pemadatan tanah dilakukan di perkebunan rakyat yang sudah pernah digunakan sebagai lokasi penggembalaan dan sebagai pembanding juga dilakukan di lahan yang belum pernah digunakan sebagai lokasi penggembalaan ternak. Lahan yang belum pernah digunakan sebagai lokasi penggembalaan dijadikan dasar kondisi kepadatan tanah awal sebelum ada aktivitas penggembalaan ternak sapi. Perbandingan awal ini untuk melihat pengaruh adanya kegiatan penggembalaan sapi di lahan kelapa sawit.
Pengambilan sampel kepadatan tanah dilakukan pada kedalaman 0-5 cm, 5-10 cm dan 10-15 cm dari permukaan tanah. Lokasi pengambilan sampel di tiga titik yaitu piringan, jalur angkong dan jalur mati. Piringan adalah lokasi disekitar pokok pohon sawit yang biasanya tempat
LAKIP PTPP TAHUN 2016
110
menaburkan pupuk, yang berjarak 1 meter dari pokok sawit. Jalur angkong adalah jalur yang biasa digunakan untuk aktivitas pekerja seperti panen, tempat lewat kendaraan untuk pengangkutan hasil panen ataupun aktivitas kebun lainnya. Sedangkan jalur mati adalah tempat menaruh bekas pruning daun dan pelepah sawit. Pengambilan sampel dalam satu kawasan/areal kebun sawit diulang sebanyak 3 kali (Lestariningsih et al., 2013). Sampling tanah menggunakan ring tanah yang terbuat dari stainless steel tebal 1 mm dengan ukuran tinggi 3,4 cm dan diameter dalam 7,4 cm. Alat bantu lain yang digunakan dalam pengambilan sampel kepadatan tanah adalah cangkul, parang, pemukul, papan kayu, timbangan digital, kertas label, spidol dan buku catatan. Semua sampel dibawa ke laboratorium untuk ditimbang lalu dioven pada suhu 1050 C selama semalam sampai diperoleh berat keringnya lalu hasilnya ditimbang.
Gambar 3.38. Kegiatan pengambilan sampel kepadatan tanah di kebun sawit
Work Package 2.2. Pengelolaan Dampak Integrasi Kegiatan ini mempunyai tujuan sebagai berikut : - Mendeteksi keberadaan cendawan Ganoderma spp pada sampel tanah dan feses sapi sebelum penggembalaan - Mengkaji metode pengelolaan dampak negatif menggunakan agen pengendali hayati (APH) terhadap cendawan Ganoderma spp - Mengkaji metode pengelolaan dampak positif integrasi sapi-sawit melalui pemanfaatan limbah sapi dan limbah kelapa sawit menjadi penambah unsur hara pada lahan sawit
LAKIP PTPP TAHUN 2016
111
Pemeliharaan sapi dengan sistem penggembalaan pada sistem integrasi sapi-sawit masih dalam perdebatan para ahli dan praktisi perkebunan dan peternakan di Indonesia. Pihak peneliti perkebunan dan sebagian praktisi perkebunan tidak menganjurkan menggembalakan sapi di lahan perkebunan sawit dengan alasan sapi dapat menyebarkan penyakit busuk batang pada tanaman kelapa sawit yang disebabkan oleh Ganoderma. Namun, belum adanya bukti serangan
Ganoderma pada tanaman kelapa sawit yang digembalakan sapi dan dengan tujuan untuk menekan biaya produksi, maka pemeliharaan sapi dengan sistem penggembalaan di lahan kebun kelapa sawit sangat dianjurkan untuk dikembangkan (Ilham 2015).
Rosli dan Shariffhudin (2003) melaporkan bahwa sejak tahun 1997-2002 ada 58 perkebunan sawit di Malaysia yang mengimplementasikan integrasi kelapa sawit-sapi dengan system penggembalaan, sedang di Indonesia baru dilakukan beberapa tahun terakhir dengan beberapa kontroversi. Menurut Purwantari et al. (2015) sistem pemeliharaan sapi dengan cara dilepas (digembala) di areal perkebunan kelapa sawit dan pengaruhnya terhadap tanaman kelapa sawit masih diperdebatkan. Permasalahan yang muncul dengan adanya penggembalaan ternak di lahan sawit antara lain kekhawatiran bahwa kotoran sapi akan menjadi agen penularan jamur
Ganoderma. Menurut Ilham (2015) pemeliharaan sistem penggembalaan sapi pada kebun sawit masih dalam perdebatan para ahli dan praktisi perkebunan dan peternakan di Indonesia. Pihak peneliti perkebunan dan sebagian praktisi perkebunan tidak menganjurkan menggembalakan sapi di lahan perkebunan sawit dengan alasan sapi dapat menyebarkan penyakit busuk batang pada tanaman kelapa sawit yang disebabkan jamur Ganoderma. Pada pihak lain belum adanya bukti serangan Ganoderma pada tanaman kelapa sawit yang digembalakan sapi dengan tujuan untuk menekan biaya produksi, maka pemeliharaan sapi dengan system penggembalaan di lahan kebun kelapa sawit sangat dianjurkan untuk dikembangkan. Beberapa faktor yang dianggap dapat menurunkan produktivitas tanaman sawit seperti defoliasi tanaman sawit oleh ternak, penyebaran penyakit (Ganoderma boninense), meningkatnya kepadatan tanah atau kemungkinan terjadinya suksesi gulma yang tidak menguntungkan bagi tanaman sawit (Rahutomo et al. 2012).
Jamur Ganoderma boninense merupakan jamur penyebab penyakit busuk pangkal batang (basal stem rot, BSR) pada kelapa sawit di Indonesia maupun Malaysia (Arifin et al. 2000). Penyakit ini disebabkan oleh cendawan pelapuk putih Ganoderma spp. Sampai saat ini ada 15
LAKIP PTPP TAHUN 2016
112
spesies yang dilaporkan berasosiasi dengan Busuk Pangkal Batang diantaranya Ganoderma
boninense, G. Chalceum, G. miniactocinctum, G. tornatum dan G. zonatum. G. boninense lebih virulen daripada spesies lainnya sebagai penyebab BPB pada beberapa kasus (Ho and Nawawi 1985; Elliott dan Broschat 2001; Utomo et al. 2005; Zakaria et al. 2005; Cooper et al. 2011). Secara nasional tingkat serangan Ganoderma spp. mencapai 20% yang diperkirakan menyebabkan kerugian lebih dari Rp 40 trilyun setiap tahun. Infeksi atau penularan penyakit akibat Ganoderma sp. terjadi melalui kontak akar tanaman sehat dengan sumber infeksi di dalam tanah seperti potongan akar padat dan batang yang mengandung koloni patogen (Haryono dan Widyastuti 2001).
Pendeteksian keberadaan cendawan Ganoderma spp pada sampel tanah dan feses sapi sebelum penggembalaan Pendeteksian menggunakan metode media seleksi menggunakan Ganoderma Selective Medium (GSM) dilakukan untuk mengetahui keberadaan cendawan Ganoderma pada sample tanah dan feses sapi. Menurut Jee dan Chong (2014) GSM dapat digunakan sebagai alat untuk isolasi Ganoderma dari jaringan kelapa sawit terinfeksi penyakit. GSM secara luas telah dieksploitasi untuk mengidentifikasi Ganoderma spp. sebagai larutan yang cepat dan ekonomis untuk mengeliminasi bakteri dan cendawan saprofit yang tidak diinginkan dari area kelapa sawit terinfeksi (Ariffin dan Idris 1992). Metode media seleksi GSM dimodifikasi dengan beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan sampel tanah dan sampel feses sapi Sampel yang diambil adalah sampel tanah perkebunan sawit dan feses sapi sebelum diaplikasikan pola integrasi sapi-sawit. Sampel tanah diambil dari lima titik dengan dua kedalaman 0 cm dan 15 cm. Menurut Jee dan Chong (2014) kedalaman ± 15 cm merupakan aktif area Ganoderma spp. 2. Persiapan media PDA dan GSM Media yang digunakan untuk deteksi adalah media Potato Dextro Agar (PDA) dan media GSM (Ganoderma Selective Medium). Media PDA dibuat berdasarkan prosedur PDA Himedia. GSM dibuat berdasarkan prosedur Ariffin dan Idris (1992). 3. Isolasi Ganoderma spp. dari sampel tanah dan feses sapi
LAKIP PTPP TAHUN 2016
113
Isolasi Ganoderma spp. dilaksanakan dengan teknik pengenceran bertingkat. 5 gram sampel tanah atau feses pada 100 ml aquades steril, kemudian diinkubasi shaker overnight. Ambil 1 ml suspensi tanah, diencerkan pada 9 ml air steril kemudian dihomogenkan, suspensi ini menjadi 10-1. Suspensi diencerkan sampai 10-3. Suspensi dari masing-masing pengenceran
diambil
100
µl,
ditanam
di
media
PDA
yang
telah
ditambahkan
chloramphenicol, kemudian diinkubasi ± 3 hari pada suhu 25 oC - 30 oC. 4.
Pemurnian Cendawan Pemurnian cendawan dilakukan untuk memastikan cendawan yang diduga Ganoderma spp. benar-benar telah murni. Pemurniaan dilakukan pada media PDA.
5.
Deteksi Cendawan Ganoderma spp pada media seleksi Cendawan yang memiliki morfologi yang sama dengan Ganoderma spp ditanam di media seleksi GSM selanjutnya diinkubasi pada suhu 25 oC - 30 oC. Cendawan yang tumbuh pada media ini diduga adalah cendawan Ganoderma spp.
Kajian Pengelolaan Dampak negatif Sistem Integrasi Sapi-Sawit Pengkajian penyebaran Ganoderma yang diduga disebabkan oleh masuknya sapi ke perkebunan sawit. Meskipun isu penyebaran Ganoderma oleh sapi di perkebunan sawit sudah berkembang luas namun penelitian yang mengkaji hubungan antara sapi dan Ganoderma masih belum dilakukan, hal ini terbukti masih belum ditemukannya bukti ilmiah mengenai sapi yang ikut berperan menyebarkan Ganoderma. Cendawan Ganoderma spp merupakan cendawan patogen tanaman yang menyebabkan penyakit busuk pangkal batang (Basal steam root) dan upper steam root pada kelapa sawit. Penyakit ini menyebabkan penurunan produksi kelapa sawit yang cukup signifkan bahkan menyebabkan kematian pada pohon kelapa sawit. Penelitian deteksi Ganoderma spp pada tanah dan feses sapi di perkebunan sawit diharapkan dapat menjawab pertanyaan mengenai dampak negatif sapi pada pola integrasi sapi sawit. Pengelolaan dampak negatif yang dapat dilakukan dari pola integrasi sapi-sawit adalah pemanfaatan cendawan yang berpotensi sebagai APH untuk mengendalikan Ganoderma spp. Cendawan antagonis berpotensi yang digunakan adalah Trichoderma asperellum, Trichoderma
harzianum, Trichoderma viridae, dan Aspergilus niger koleksi Laboratorium Proteksi PTPP. Selanjutnya cendawan yang berpotensi APH diharapkan dapat diperoleh dari perkebunan sawit. Cendawan yang berpotensi sebagai APH diuji antagonis dengan Ganoderma spp dengan metode dual culture (Benhamou dan Chet 1993) sebagai berikut:
LAKIP PTPP TAHUN 2016
114
- Memotong cendawan G. boninense dan cendawan antagonis pada media PDA koleksi Laboratorium Proteksi PTPP berumur 5 – 10 hari dengan cork borer berdiameter 5 mm - Menanam potongan cendawan G. boninense dan cendawan antagonis pada media PDA
dual culture masing-masing dengan jarak 2 cm dari tepi cawan petri dengan arah yang berlawana Menginkubasi pengujian dual culture pada suhu 25oC-30oC selama tujuh hari. Setiap perlakuan diulang lima kali. Pengamatan yang dilakukan adalah penghambatan pertumbuhan jejari patogen. Uji antagonis cendawan yang berpotensi menjadi agen Pengendali Hayati (APH) Untuk Pengendalian Ganoderma boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit dilaksanakan di Laboratorium Proteksi, PTPP. Cendawan patogen yang digunakan adalah
G. boninense, sedangkan cendawan antagonis yang digunakan adalah T. asperellum, T. viridae, T. harzianum dan Aspergillus niger yang merupakan koleksi dari Laboratorium Proteksi, PTPP. Kajian Pengelolaan Dampak Positif Sistem Integrasi Sapi-Sawit Dampak positif integrasi menjadi salah satu solusi permasalahan peningkatan produksi daging sapi dengan memanfaatkan potensi yang ada di lahan perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan limbah sapi dan limbah kelapa sawit menjadi penambah unsur hara pada lahan sawit dapat dipertimbangkan sebagai upaya untuk penerapan pertanian berkelanjutan. Limbah sapi yang dapat dimanfaatkan sebagai penambah unsur hara tanaman adalah kotoran dan urin sapi, oleh karena itu limbah sapi perlu dianalisis untuk mengetahui potensinya terhadap pertumbuhan dan produksi sawit.
Sampel yang diambil pada kegiatan ini adalah tanah, urin sapi, kompos (kotoran sapi yang telah difermentasi) dan solid (padatan limbah sawit yang telah difermentasi). Sampel kotoran, urin sapi dan tanah diambil dari dua lahan perkebunan sawit sebelum penerapan sistem integrasi sapi-sawit di Pangkalan Lesung dan Sarwo Sari, Pelalawan. Perhitungan kebutuhan unsur hara berdasarkan perangkat lunak soil fertilizer calculator yang sedang dikembangkan oleh PTPPBPPT.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
115
Uraian output tahun 2016 Uraian output kegiatan untuk prototype model integrasi sapi sawit adalah : WP 1.1. Teknologi Pakan Komplit dan pakan tambahan berbasis limbah sawit -
Observasi lokasi uji multilokasi dan bahan baku limbah sawit yang tersedia Formulasi Pakan komplit A dan B hasil uji fin vitro di tahun 2015 dan uji in vivo pada satu lokasi (CK Karya Makmur Lestari) Uji Multilokasi Pakan komplit pada 3 kelompok peternak untuk mendapatkan keunggulan prototipe pakan alpha PowerFeed untuk penggemukan (TRL 7) Observasi alternatif bahan baku pakan suplemen dari limbah industri kertas dan cover crop kenbun sawit sebagai pelengkap pakan suplemen BPPT Nutritech Prototipe pakan komplit A dan B hasil uji coba multilokasi dengan kualitasnya
WP 1.2.Teknologi Probiotik Spesifik Sawit -
Telah diperoleh metode terbaik preservasi cairan rumen untuk isolasi kandidat probiotik dengan Gliserol 20 % (2015) Isolasi beberapa mikroba kandidat probiotik dari rumen sapi teradaptasi pakan limbah sawit Uji Biokimia Isolat terseleksi untuk kandidat probiotik 55 isolat Rekomendasi jumlah isolat yang akan di uji dan selekssi sebagai kandidat probotik
WP 1.3. Teknologi Kesehatan dan Reproduksi -
Pengujian identifikasi penyakit reproduksi pada pejantan ternak sapi (lanjutan tahun 2015) Optimalisasi penggunaak Pour on untuk mengurangi jumlah parasit cacing yang ditemukan dan diidentifkasi pada kagiatan tahun 2015 Rekomendasi awal manajemen reproduksi dan kesehatan ternak pada sistem integrasi sapi sawit
WP 2.1. Penggembalaan terkontrol Integrasi Sapi Sawit -
-
Pengujian ulang beberapa bahan aktif komponen dalam tanaman cover crop kebun sawit Pengujian kapasitas regrowth tanaman cover crop pada kebun sawit Pengujian pemadatan tanah pada lahan yang akan digembalakan di lahan perkebunan sawit rakyat di kabupaten Pelalawan, sebagai pembading dari nilai pemadatan tanah pada lahan perkebunan swasta yang digembalakan sapi tahun 2015 Rekomendasi awal desain penggemabalaan terkontrol yang akan di uji cobakan pada tahun 2017.
WP 2.2. Manajemen Dampak Integrasi Pengujian identifikasi cendawan Ganoderma pada lahan dan feses ternak sapi di LAKIP PTPP TAHUN 2016 116
-
-
perkebunan sawit rakyat Pelalawan Pengujian pengendalian dampak negatif integrasi melalui agen pengendali hayati (APH) cendawan ganoderma Pengujian pengendalian dampak positif inetgrasi melalui uji kualitas pupuk organik hasil limbah sapi yang dipeleiharan diperkebunan sawit Rekomendasi awal pengendalian dampak inetgrasi dan tahapan uji idinetfikasi ganoderma
Target akhir kegiatan Pengembangan dan pemanfaatan teknologi pakan berbasis limbah industri sawit mempunyai target akhir kegiatan yaitu : 1. Dihasilkannya 2 prototipe pakan ternak sapi berbasis limbah industri sawit untuk penggemukan dan pembibitan (PowerFeed) 2. Dihasilkannya 1 prototipe pakan probiotik beta dari rumen ternak sapi teradaptasi pakan limbah sawit (Probiotech) 3. Dihasilkannya 1 prototipe pakan suplemen mineral (Minetech) 4. Dihasilkannya 1 prototipe suplemen pakan Nutrietch beta 5. Dihasilkannya 1 prototipe software rekording ternak “Sipinter” 6. Dihasilkannya 1 prototipe software formulasi pakan dan data basenya “Sipandai” 7. Dihasilkannya 1 rekomendasi pengelolaan dampak integrasi terhadap dampak negatif dan positifnya 8. Dihasilkannya 1 desain penggembalaan terkontrol sistem integrasi sapi sawit Rencana tindak lanjut di masa yang akan datang Pengembangan dan Pemanfaatan teknologi Pakan Ternak berbasis limbah industri sawit mempunyai rencana tindak lanjut 2017 sebagai berikut : WP 1.1. Pakan komplit : Menghasilkan Prototipe 1 pakan beta penggemukan (Powerfeed for fattening), 1 prototipe alfa pakan suplemen WP 1.2. Penggembalaan terkontrol : Desain awal penggembalaan terkontrol WP 1.3. Dampak Integrasi : Rekomendasi dampak integrasi sapi sawit WP 2.1. Pakan Suplemen : 1 prototipe alpha pakan probiotik dan pakan suplemen WP 2.2. Sistem informasi : 2 prototipe alpha Sipinter dan Sipandai WP 3.1. Seleksi Hijauan pakan ternak : 1 protipe alpha hiajaun pakan sumber protein tahan naungan WP 3.2. Budidaya Hijauan pakan ternak : 1 rekomendasi budidaya hijauan pakan sumber protein pada lahan marjinal WP 4.1. Kebijakan sapi Sawit : 1 rekomendasi kebijakan mengenai integrasi sapi sawit melalui pembentukan forum pelaku integrasi sapi sawit WP 4.2. Outlook protein hewani asal ternak : 1 buku outlook protein hewani asal ternak
LAKIP PTPP TAHUN 2016
117
3.1.3. PENGEMBANGAN KAWASAN TECHNOPARK BANTAENG Pembangunan technopark adalah salah satu upaya penguatan sistem inovasi dengan cara meningkatkan interaksi dan kolaborasi di antara sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dengan gerakan masyarakat untuk peningkatan daya saing daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya pembangunan daerah yang lebih progresif, inklusif, dan berkelanjutan. Adanya technopark diharapkan dapat mempercepat pengembangan produk dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mentransfer inovasi ke produk yang dapat dipasarkan serta menguntungkan. Kabupaten Bantaeng merupakan kabupaten terkecil se pulau Sulawesi dan menempati urutan ke 4 dari 10 kabupaten terkecil di Indonesia dengan total luas wilayah hanya 539,83 km2, yang terdiri dari 395,83 km2 berupa daratan dan 144 km2 berupa lautan, selain itu Kabupaten Bantaeng termasuk daerah yang memiliki keanekaragaman agroklimat, sehingga boleh dibilang wilayah ini mampu menghasilkan hampir semua jenis tanaman tropis dan sub tropis. Visi dan Misi Kabupaten Bantaeng adalah menjadi pusat perbenihan untuk Sulawesi Selatan, bahkan jika memungkinkan untuk Indonesia Bagian Timur. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut maka dibutuhkan suatu Kawasan Teknologi perbenihan yang didalamnya mencakup kegiatan-kegiatan seperti pengembangan varietas, pelepasan varietas, produksi benih dan pengolahan hasil (pasca panen).
Wilayah Kabupaten Bantaeng dibagi menjadi tiga zona ekonomi yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan technopark yang telah kembangkan oleh Pemerintah Pusat melalui BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Ketiga zona ekonomi tersebut adalah: 1. Zona I, merupakan zona untuk pengembangan penataan kota, pelabuhan, gudang, Rumah Sakit Modern, revitalisasi, rumput laut, industri, dan korong batu. 2. Zona II, merupakan zona pengembangan komoditas padi, jagung dan talas. 3. Zona III, merupakan zona pengembangan hutan, pertanian dataran tinggi (terutama hortikultura), dan agrowisata.
Pada tahun 2015, BPPT bersama Pemerintah Kabupaten .Banteng melakukan kerja sama dalam pembangunan kawasan Technopark di Bantaeng yang merupakan salah satu dari sembilan lokasi pembangunan Technopark di Indonesia yang mendapat pendampingan dari BPPT.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
118
Pembangunan Technopark pada dasarnya adalah untuk meningkatkan performa inovasi, kesiapan teknologi dan daya saing dalam menghadapi persaingan global. Technopark melalui upaya penguatan sistem inovasi dengan cara meningkatkan interaksi dan kolaborasi di antara sentra kegiatan iptek, kegiatan produktif dan gerakan masyarakat untuk peningkatan daya saing daerah. Upaya peningkatan daya saing daerah dapat dilakukan melalui pembangunan daerah yang lebih progresif, inklusif, dan berkelanjutan dalam penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan IPTEKIN (ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi). Diharapkan pembangunan kawasan Technopark ini dapat mewujudkan cita cita Kab.Bantaeng yaitu sebagai pusat perbenihan di wilayah Indonesia bagian timur, mampu memberikan daya ungkit tinggi bagi perekonomian daerah, menghasilkan produk inovatif (benih) berbasis teknologi terkini/unggul, siap dikomersialisasikan (harga kompetitif) dan mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru yang inovatif.
Penerapan teknologi di kawasan Technopark di Kab.Bantaeng tidak hanya dilihat dari kecanggihannya tetapi harus tepat sasaran agar tingkat keberhasilannya tinggi, untuk itu diperlukan beberapa pendekatan antara lain : 1. Pendekatan Agroekosistem Pengembangan sistim usaha pertanian di Technopark Bantaeng (TP Bantaeng) yaitu sebagai
pusat
perbenihan,
disesuaikan
dengan
zona
agroekosistem
sehingga
memungkinkan keunggulan atau kekhasan sumber daya alam dan kondisi sosial ekonomi setempat menjadi penggerak usaha pertanian. Sumber daya lokal dapat dimanfaatkan secara optimal dan meminimalkan penggunaan input dari luar lokasi . 2. Pendekatan Usaha Agribisnis Berbagai kegiatan budidaya pertanian di TP Bantaeng adalah saling terkait / tak terpisahkan antara industri hulu, hilir dan sektor penyedia jasa. Salah satu komponen usaha agribisnis adalah peningkatan produktivitas melalui peningkatan kualitas tanah/lahan (pemupukkan), kesehatan tanaman (penanganan OPT) dan peningkatan kemampuan pelaksana di lapangan tentang teknik budidaya 3. Pendekatan Partisipatif Melibatkan seluruh pelaku pembangunan pertanian di wilayah Kab.Bantaeng termasuk para petani yang dilibatkan sejak awal indentifikasi kondisi dan masalah wilayah. Sedangkan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
119
untuk mempercepat adopsi inovasi teknologi produksi dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan aplikasi teknologi (diseminasi) 4. Penetapan Prioritas Kegiatan Prioritas kegiatan Technopark di Kab.Bantaeng adalah produksi benih yang optimal dan ekonomis (menguntungkan) sehingga mampu menciptakan peluang bisnis baik pada industri hulu maupun hilir. 5. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Keberadaan Technopark dalam lingkungan global mau tidak mau harus memanfaatkan TIK untuk melewati kendala ruang dan waktu agar tidak tertinggal/kalah dalam persaingan global.
Teknologi Yang Digunakan Adapun teknologi/metode yang diaplikasikan BPPT untuk mempercepat terwujud dan berfungsinya kawasan Technopark perbenihan di Kab.Bantaeng : Perbanyakan bibit jagung hibrida, teknologi yang digunakan adalah persilangan antara para tetua (galur murni) yang sudah dimiliki oleh BPPT yaitu BI-3 dan BR-4. Dibidang perbanyakan benih pada komoditas
talas satoimo dan kentang , diterapkan teknologi perbanyakan benih baik melalui teknologi kultur jaringan (kentang bebas virus), teknologi ex vitro (bibit talas satoimo) maupun teknologi perlambatan masa dormansi (umbi bibit sataoimo) adalah teknologi untuk
menyiasati
penundaan penanaman (musim kemarau). Pada komoditas benih ikan nila diterapkan teknologi untuk menciptakan Induk ikan nila GESIT (Genetically Supermale Indonesia Tilapia) berkelamin jantan yang diperoleh melalui penerapan teknik sex reversal (feminisasi) dan uji progeny (uji keturunan).IIkan nila salina (ikan hibrida) yang tubuhnya berwarna merah , dengan teknik adaptasi mampu hidup di salinitas 32 ppt yang natinya akan di tingkatkan menjadi Nila laut
(marine tilapia). Perbanyakan bibit rumput laut di gunakan teknologi seleksi bibit rumput laut dan pembuatan kebun bibit rumput laut.
Di tahun 2016 ini, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) melaksanakan Program Pengembangan Kawasan Technopark Bantaeng yang sebelumnya di laksanakan oleh Deputi Bidang Kebijakan Teknologi (PKT). Program ini merupakan bagian dari Program Pengembangan Technopark di Indonesia, yang dalam pelaksanaannya, dipecah menjadi beberapa bagian struktur dan paket kerja. Secara struktur, Program
LAKIP PTPP TAHUN 2016
120
Pengembangan Kawasan Technopark Bantaeng dibagi menjadi enam struktur kerja atau yang biasa dikenal dalam tata kerja kerekayasaan adalah enam Work Breakdown Structure (WBS), yakni: WBS.1. Pengembangan Ekosistim Inovasi Dan Technopreneur WBS.2. Pemenuhan Kebutuhan Dasar (Infrastruktur) WBS.3. Teknologi Produksi Benih Tanaman Unggul WBS.4. Penerapan Teknologi Produksi Benih Ikan Nila Unggul Dan Bibit Rumput Laut WBS.5. Teknologi Reproduksi Dan Pakan Ternak Ruminansia WBS.6. Pengolahan Hasil (Pasca Panen)
WBS.1. PENGEMBANGAN EKOSISTIM INOVASI DAN TECHNOPRENEUR WP 1.1. Pengembangan Kapasitas Inovatif a. Review Masterplan Kawasan Technopark Kab.Bantaeng Kegiatan review Masterplan Kawasan Techno Park Benih Kabupaten Bantaeng dilakukan mengingat adanya perubahan kebijakan penyediaan yang diperuntukkan sebagai kawasan manajemen Techno Park oleh Pemerintah Daerah. Perubahan kebijakan tersebut adalah dipindahkannya lokasi kawasan manajemen Techno Park yang semula ditentukan di Kecamatan Pa’jukukang menjadi Kecamatan Bantaeng.
Sebagai tindak lanjut penetapan lokasi tersebut sebagai kawasan manajemen techno park benih Kabupaten Bantaeng, maka pada tahun 2016 telah dikeluarkan Surat Keputusan Bupati Bantaeng No. 050/288/VI/2016 Tentang Penetapan Lokasi Kawasan Manajemen Technopark Benih Kabupaten Bantaeng. Dengan telah dikeluarkannya SK Bupati ini, maka kegiatan pembangunan dan pengembangan kawasan manajemen techno park yang berfungsi sebagai
hub dari seluruh kegiatan perbenihanyang tergabung dalam techno park Kabupaten Bantaeng telah memiliki landasan hukum.
Sebagaimana tercantum dalam SK Bupati tersebut, kawasan manajemen technopark benih Kabupaten Bantaeng berada di Kelurahan Lamalaka, Kecamatan Bantaeng dengan lahan seluas kurang lebih 50.000 m2 atau 5 Hektar. Lahan tersebut merupakan lahan milik Pemerintah Daerah yang saat ini dikelola oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian. Lokasi lahan yang terletak tepat di tepi jalan provinsi yang menghubungkan dengan kabupaten di sekitarnya
LAKIP PTPP TAHUN 2016
121
menjadikan lokasi ini sangat strategis dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Selain itu lokasi kawasan ini berada dekat dengan kawasan pemerintahan Kabupaten Bantaeng. Berikut beberapa gambar yang memberikan gambaran lebih jelas mengelai lokasi kawasan manajemen technopark benih Kabupaten Bantaeng.
Gambar. 3.39. Kondisi eksisting lokasi kawasan manajemen Technopark
Dalam penyusunan revisi siteplan kawasan manajemen techno park Bantaeng ini, terdapat 2 (dua) kegiatan utama yang dilakukan, yaitu: 1. Identifikasi fungsi dan kebutuhan ruang Dalam mengidentifikasi fungsi dan kebutuhan ruang, terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan sebagai pertimbangan, yaitu sebagai berikut. a. Fungsi kawasan manajemen techno park Kabupaten Bantaeng b. Struktur lembaga pengelola c. Fasilitas laboratorium pendukung riset benih; dan d. Fasilitas Penunjang 2. Penyusunan konsep desain pengembangan Dalam menyusun desain pengembangan kawasan manajemen techno park, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi ide konsep pengembangan. Adopsi desain dilakukan dengan tetap mengutamakan konsep bangunan yang modern namun tetap memiliki citra bangunan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
122
tradisional. Dengan perpaduan material kayu dan beton sehingga kesan tradisional dan modern dapat berdampingan dan menimbulkan kesan lokalitas.
Desain bangunan tradisional Balla Lompoa di adopsi dalam bentuk bukaan (jendela) pada tampak banguna. Desain segitiga memberika kesan yang kokoh serta keterbukaan. Memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi bagian dari Techno Park Benih Kabupaten Bantaeng. Masyarakat sebagai salah satu aktor pengembangan Techno Park yaitu ABG+C dimana C adalah Community yang berakar pada komunitas masyarakat yang ada di Kabupaten Bantaeng.
Gambar 3.40. Siteplan kawasan manajemen Technopark
LAKIP PTPP TAHUN 2016
123
b. Pembentukan Lembaga Pengelola Kawasan Techno Park Sebagai tindak lanjut dalam sektor kelembagaan, pada tahun 2016 tim juga melakukan pendampingan dalam pembentukan lembaga pengelola kawasan techno park Bantaeng. Lembaga pengelola penting untuk segera dibentuk karena pengelola tersebutlah yang akan menjadi aktor penting dalam operasionalisasi dan keberlanjutan techno park Bantaeng. Sebagai hasil dari pendampingan yang dilakukan, telah ditandatanganinya : a.
Peraturan Bupati Kabupaten Bantaeng No. 22 Nomor 2016 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Technopark Kabupaten Bantaeng pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bantaeng
b.
Keputusan Bupati Kabupaten Bantaeng No. 050/289/VI/2016 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengembangan Technopark Kabupaten Bantaeng Tahun Anggaran 2016
Gambar 3.41. SK dan Peraturan Bupati Bantaeng tentang Technopark
c. Kajian Businessplan Kawasan Technopark Kajian businessplan Kawasan Techno Park Kabupaten Bantaeng disusun dengan melakukan analisis terhadap hal-hal berikut ini. 1. Visi dan misi Kabupaten Bantaeng 2. Kekuatan,
Peluang,
Kelemahan
dan
Ancaman
yang
mungkin
dihadapi
dalam
pengembangan kawasan techno park Kabupaten Bantaeng 3. Kompetensi utama yang dimiliki 4. Strategi Pemasaran Techno Park Bantaeng, yaitu terdiri dari a. Strategi produk
LAKIP PTPP TAHUN 2016
124
b. Strategi harga c. Strategi penempatan d. Strategi promosi 5. Model bisnis 6. Organisasi dan Manajemen; serta 7. Perkiraan keuangan pengelola Techno Park Bantaeng
d. Peta Potensi Investasi Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk membuat peta potensi lahan dalam mendukung investasi di kabupaten Bantaeng (khususnya lahan pertanian dan kawasan techno park). Sementara sasaran yang ingin dicapai dalam kegiatan pembuatan profil kawasan techno park ini adalah : 1.
Terpetakannya potensi lahan pertanian yang ada di kabupaten Bantaeng;
2.
Terpetakannya potensi lahan kawasan techno park di kabupaten Bantaeng; dan
3.
Tersusunnya informasi peluang investasi di kabupaten Bantaeng
Dalam menyusun peta persebaran komoditas, perlu dilakukan tekni layover dengan karakteristik lahan. Dalam menilai karakteristik lahan, hal-hal yang perlu diidentifikasi dapat dikelompokkan ke dalam 3 faktor utama, yaitu : a. topografi, b. tanah (drainase tanah, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, alkalinitas, bahaya erosi, bahaya banjir/genangan, dan kemasaman tanah); dan c. iklim (suhu udara, curah hujan). Karakteristik lahan tersebut (terutama topografi dan tanah) Berdasarkan data yang telah diperoleh, disusun peta persebaran komditas sebagaimana telah dimuat dalam profil kawasan Technopark Bantaeng. Berikut daftar peta persebaran komoditas yang telah disusun. a) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Kabupaten Bantaeng b) Peta Sebaran Luas Lahan Perikanan Kabupaten Bantaeng c) Peta Sebaran Luas Lahan Perkebunan Kabupaten Bantaeng d) Peta Sebaran Luas Lahan Hortikultura Kabupaten Bantaeng e) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Tanaman Padi Kabupaten Bantaeng f) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Kopi Kabupaten Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
125
g) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Lada Kabupaten Bantaeng h) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Kemiri Kabupaten Bantaeng i)
Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Kelapa Kabupaten Bantaeng
j) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Kapuk Kabupaten Bantaeng k) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Cengkeh Kabupaten Bantaeng l)
Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Kakao Kabupaten Bantaeng
m) Peta Sebaran Luas Lahan Komoditi Kapas Kabupaten Bantaeng
WP. 1.2. Pengembangan Kebijakan dan Kelembagaan Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk menjembatani terbentukanya lembaga sertifikasi benih mandiri yang akan dikembangkan dalam Technopark Bantaeng. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain : kajian literatur tentang sertifikasi benih, survey dan inisiasi pembentukan lembaga sertifikasi benih mandiri ke lembaga sertifkasi benih milik pemerintah maupun swasta.
Beberapa lembaga yang menjadi acuan dalam kegiatan pembentukan lembaga sertifikasi benih mandiri adalah: 1. Badan Benih Nasional (BBN) 2. Balai Benih Daerah yang ada di pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota 3. Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih di provinsi. 4. Lembaga Produsen dan Pemasaran Benih.Produsen Benih 5. Lembaga Sertifikasi Sistim Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (LSSM-BPTPH)
WP. 1.3. Pengembangan Sistem Inovasi Tekno Industri a. Analisis Sektor Ekonomi Potensial Kabupaten Bantaeng Secara matematis, persamaan LQ statis ditunjukkan sebagai berikut:
dimana yij adalah nilai tambah produksi dan usaha sektor i di wilayah j, yang dinyatakan dengan data PDRB suatu wilayah. Dan secara matematis pula, persamaan LQ dinamis ditunjukkan sebagai berikut:
LAKIP PTPP TAHUN 2016
126
dimana g merupakan rata-rata laju pertumbuhan PDRB suatu Kota atau Kabupaten dan G merupakan rata-rata laju pertumbuhan PDRB suatu Provinsi.
Selanjutnya, kriteria penentuan sektor-sektor ekonomi potensial berdasarkan hasil perhitungan LQ statis dan dinamis adalah sebagai berikut:
Sektor unggulan memiliki nilai SLQ > 1 dan DLQ > 1, yang berarti bahwa sektor tersebut (pada saat dilakukan analisis) merupakan sektor yang unggul dan akan tetap menjadi sektor unggul untuk beberapa tahun ke depan;
Sektor andalan memiliki nilai SLQ < 1 dan DLQ > 1, yang berarti bahwa sektor tersebut (pada saat dilakukan analisis) bukan merupakan sektor yang unggul atau belum menjadi sektor yang unggul namun untuk beberapa tahun ke depan berpotensi menjadi sektor yang unggul;
Sektor prospektif memiliki nilai SLQ > 1 dan DLQ < 1, yang berarti bahwa sektor tersebut (pada saat dilakukan analisis) merupakan sektor yang unggul namun dalam beberapa tahun ke depan bukan merupakan sektor yang unggul atau tidak berpotensi menjadi sektor yang unggul;
Sektor tertinggal memiliki nilai SLQ < 1 dan DLQ > 1, yang berarti bahwa sektor tersebut (pada saat dilakukan analisis) bukan merupakan sektor yang unggul atau belum menjadi sektor yang unggul dan untuk beberapa tahun ke depan juga akan tetap menjadi sektor yang tidak berpotensi untuk menjadi sektor unggulan.
Lapangan usaha yang merupakan sektor basis memiliki tingkat spesialisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapangan usaha yang sama di tingkat provinsi, dimana lapanganlapangan usaha tersebut mampu mencukupi kebutuhan masyarakat Kabupaten Bantaeng dan masyarakat di luar Kabupaten Bantaeng di Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan kata lain, lapangan-lapangan usaha yang masuk ke dalam sektor basis tersebut merupakan sumber pertumbuhan ekonomi atau merupakan sektor unggulan Kabupaten Bantaeng karena tingkat produksinya melebihi tingkat konsumsi masyarakat Kabupaten Bantaeng dan dapat diekspor ke luar wilayah Kabupaten Bantaeng dalam Provinsi Sulawesi Selatan.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
127
Sebaliknya dengan lapangan-lapangan usaha yang masuk ke dalam sektor non basis. Lapangan-lapangan usaha yang masuk ke dalam sektor non basis merupakan lapanganlapangan usaha yang bukan merupakan sumber pertumbuhan ekonomi atau bukan merupakan sektor unggulan Kabupaten Bantaeng karena tingkat produksinya tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Kabupaten Bantaeng sehingga memerlukan pasokan dari luar Kabupaten Bantaeng di Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 3.9. Hasil perhitungan dan analisis LQ statis tahun 2013 s/d 2015
Sektor basis 2013 s/d 2015 adalah sama yaitu : Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; Pengadaan Listrik dan Gas; Konstruksi/Bangunan; Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor; Real Estate; Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib; Jasa Pendidikan; Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial; dan Jasa Lainnya. Sektor non basis 2013 s/d 2015 adalah sama yaitu : Pertambangan dan Penggalian; Industri Pengolahan; Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang; Transportasi dan Pergudangan; Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum; Informasi dan Komunikasi; Jasa Keuangan dan Asuransi; dan Jasa Perusahaan.
b. Hasil Desain Logo Technopark Hasil desain logo (merek) Technopark Bantaeng merupakan karya desainer Wija Topeddii tahun 2016. Adapun logo (merek) tersebut merupakan hasil kontes desain logo dengan menggunakan jasa PT. Sribu Digital Kreatif selaku pemilik situs www.sribu.com, yang diadakan dari tanggal 24 Agustus 2016 hingga tanggal 02 September 2016. Logo (merek) Technopark Bantaeng yang telah dihasilkan, hasilnya ditunjukkan sebagai berikut:
LAKIP PTPP TAHUN 2016
128
Gambar 3.42. Logo Technopark Bantaeng
Gambar 3.43. Deskripsi desain logo Technopark Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
129
WP 1.5. Pengembangan Technopreneur Kegiatan yang dilakukan oleh WP 1.5 mencakup kegiatan sebagai berikut : 1. Pendampingan Manajemen Pemasaran 2. Pendampingan Manajemen Keuangan 3. Pendampingan Manajemen Sumberdaya Manusia, dan 4. Pendampingan dalam mewujudkan PPBT
Secara garis besar, pendampingan diatas adalah upaya melaksanakan inkubasi bisnis teknologi untuk menciptakan Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) melalui tahapan proses membangun
sinergi
kemitraan,
melaksanakan
kerjasama
teknik
dan
kelembagaan,
melaksanakan layanan pendampingan inkubasi teknologi dan bisnis, melaksanakan layanan pendampingan aksesibilitas usaha, mengelola Sistem Informasi Manajemen, dan melaksanakan administrasi umum inkubasi teknologi. Proses yang harus dilalui dalam inkubasi bisnis adalah : 1. Proses Utama Bisnis Inkubasi 2. Sub Proses Bisnis Pra-inkubasi 3. Sub Proses Bisnis Inkubasi 4. Sub Proses Bisnis Pasca Inkubasi
Berdasarkan target yang telah ditetapkan dan berbagai kendala adminstrasi maupun dilapangan, target pencapaian 2 PPBT akhirnya dapat dicapai. Namun perlu digaris-bawahi bahwa pencapaian ini terpaksa dilakukan secara menyimpang, dan tidak sesuai dengan prosedur tetap yang telah digariskan di awal. Langkah ini terpaksa dilakukan sebagai maneuver dalam mengatasi kendala yang ada. Beberapa kaidah yang dilanggar adalah tidak dilakukannya Proses Utama Bisnis Inkubasi dan PPBT yang dihasilkan adalah Koperasi Serba Usaha dimana anggotanya adalah para tenant hasil technocamp. Dua koperasi yang dimaksud adalah Koperasi Serba Usaha dan Koperasi Perbenihan Jagung
WBS.2 PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR (INFRASTRUKTUR) WP 2.1 Implementasi Pupuk Hayati Organik Telah dilakukan realisasi pengadaan peralatan untuk melengkapi peralatan yang sudah diadakan sebelumnya tetapi masih kurang. Peralatan yang diadakan pada tahun 2016 seluruhnya untuk
LAKIP PTPP TAHUN 2016
130
ditempatkan di ruang preparasi inokulum, yaitu: 2 unit AC 2 pk, 1 buah trolley 2 rak, 2 buah lemari penyimpan bahan kimia (pintu sliding plat), 2 buah lemari penyimpan alat gelas (pintu sliding kaca), 6 buah kursi laboratorium dan 1 unit pH meter (Gambar.36). Peralatan yang diadakan tersebut telah diperiksa oleh Tim Pemeriksa barang dari Biro Umum BPPT dan dinyatakan lengkap sesuai dengan spesifikasinya (Gambar.37). Selain itu, telah dilakukan penandatanganan surat keterangan penempatan peralatan dan mesin hasil pengadaan tahun 2016 dari pihak BPPT ke Pemerintah daerah Kabupaeten Bantaeng, dalam hal ini diserahkan oleh Group Leader WBS 2 (Drs. R. Bambang Sukmadi, M.Si) kepada Kepala BAPPEDA Kabupaten Bantaeng (Prof. Dr. Syamsu Alam) yang diketahui oleh Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian BPPT (Ir, Arief Arianto, M.Sc).
Pengadaan bahan juga telah dilakukan meliputi: bahan kimia untuk produksi inokulum mikroba, bahan gelas untuk laboratorium, bahan bantu penelitian dan bahan baku untuk granulasi pupuk hayati organik.
Gambar 3.44. Pengadaan peralatan laboratorium tahun 2016
LAKIP PTPP TAHUN 2016
131
Gambar 3.45. Pemeriksaan pengadaan barang tahun 2016 oleh Tim Biro Umum
Gambar 3.46. Penandatanganan penempatan peralatan dan mesin tahun 2016 Pembuatan Ruang dan Sekat Pembatas, Inventarisasi dan Layout Peralatan Produksi Pupuk Hayati Organik Ruang laboratorium untuk preparasi inokulum dan sekat pembatas antara “ruang preparasi inokulum” dan “ruang granulasi” telah dibangun oleh Pemda Kabupaten Bantaeng. Pembangunan dilaksanakan sejak bulan September 2016 dan selesai pada bulan November 2016. Ruang preparasi inokulum yang dibangun terdiri dari ruang inokulasi, ruang laboratorium dan preparasi, ruang autoklaf, dan ruang fermentor. Ruang-ruang yang telah dibangun cukup bagus tetapi masih terdapat beberapa kekurangan seperti stop kontak listrik dalam ruangan terlalu sedikit padahal peralatan yang ditempatkan cukup banyak. Telah dilakukan inventarisasi peralatan untuk persiapan pelaksanaan instalasi peralatan produksi pupuk hayati organik. Hasil inventarisasi alat-alat yang akan ditempatkan di ruang preparasi inokulum.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
132
Telah dibuat layout/tata letak peralatan baik di ruang preparasi inokulum maupun di ruang granulasi pupuk hayati organik. Prinsip dasar yang digunakan dalam penyusunan layout pilot project produksi hayati-organik adalah: Integrasi dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi proses produksi sehingga seluruh fasilitas dapat terintegrasi dengan baik untuk mendukung keberhasilan produksi. Dalam kegiatan ini ada dua integrasi tata letak peralatan produksi yaitu peralatan di ruang preparasi inokulum dan peralatan di ruang granulasi produk hayati organik. Jarak perpindahan bahan terjadi paling minimum. Waktu pemindahan bahan dari satu proses ke proses yang lain dalam industri dapat dihemat dengan cara mengurangi jarak perpindahan bahan. Selain itu, perlu diperhatikan juga tata letak alat berat dari dinding rumah produksi untuk memudahkan proses pemeliharaan alat dan lalu lintas tenaga kerja.
Aliran kerja diupayakan berjalan dengan lancar untuk menghindari gerakan balik (back
tracking), gerakan memotong (cross movement), dan gerak macet (congestion), dengan kata lain material diusahakan bergerak terus tanpa adanya interupsi oleh gangguan jadwal kerja. Memperhatikan keselamatan
kerja,
sehingga
memberikan
suasana
kerja yang
nyaman dan menyenangkan. Ruang preparasi inokulum berukuran 6 m x 18 m. Peralatan yang ditempatkan di dalam ruang ini terdiri dari alat-alat yang digunakan untuk produksi inokulum (sel bakteri) sebagai bahan aktif pupuk hayati. Layout ruang preparasi inokulum dapat dilihat pada Gambar 7. Sedangkan ruang granulasi pupuk hayati organik berukuran 18 m x 18 m. Peralatan yang ditempatkan di ruang ini terdiri dari alat-alat yang digunakan untuk membentuk pupuk hayati-organik menjadi bentuk granul.
Gambar 3.47 Layout peralatan di ruang preparasi inokulum
LAKIP PTPP TAHUN 2016
133
Gambar 3.48. Layout peralatan di ruang granulasi pupuk hayati organik
Instalasi Peralatan Beberapa peralatan baik di ruang preparasi inokulum maupun di ruang granulasi telah dipasang/diinstall berdasarkan layout yang telah dibuat. Tahapan proses pemasangan/install peralatan dilakukan sebagai berikut: Proses pembersihan ruangan dan peralatan.
Kegiatan ini dilakukan dengan cara
membersihkan ruang preparasi inokulum dan ruang granulasi dari dari kotoran dan debu. Pembersihan ruangan dan peralatan dapat dilihat pada (Gambar.43). Proses pemasangan/penginstalan peralatan. Alat-alat dan mesin ditempatkan dan diinstall pada posisinya sesuai dengan layout peralatan yang telah dibuat baik di ruang preparasi inokulum maupun di ruang granulasi (Gambar.44). Peralatan yang sudah dipasang/diinstall dalam ruang preparasi inokulum dapat dilihat pada (Gambar.45), sedangkan hasil instalasi peralatan di ruang granulasi dapat dilihat pada (Gambar. 46).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
134
Gambar 3.49. Proses pemasangan/penginstalan peralatan
Gambar 3.50. Instalasi peralatan di ruang preparasi inokulum
Gambar 3.51. Instalasi peralatan di ruang granulasi pupuk hayati organik
Rekomendasi Tindak Lanjut Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : a. Ruang preparasi inokulum telah selesai dibangun, perlu dijaga kebersihannya dan tetap dalam kondisi aseptik, sehingga tidak terjadi kontaminasi terhadap isolat mikroba yang diproduksi sebagai bahan aktif pupuk hayati.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
135
b. Beberapa peralatan dan fasilitas laboratorium di ruang preparasi inokulum gagal diadakan pada tahun 2016, perlu diadakan pada tahun 2017 untuk kesempurnaan proses produksi. c. Pihak Pemda Kabupaten Bantaeng perlu menyiapkan SDM pelaksana/ teknisi untuk dilatih dalam rangka kesinambungan operasional proses produksi pupuk hayatiorganik di Kabupaten Bantaeng. d. Dalam ruangan granulasi perlu dipasang alat penyedot debu (dust collector) atau exhouse blower untuk mengurangi debu di dalam ruangan granulasi yang dapat mengganggu kesehatan manusia.
WBS.3 TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH TANAMAN UNGGUL WP 3.1 Teknologi Perbanyakan Satoimo Melalui Kultur Ex Vitro Target kegiatan perbanyakan bibit satoimo secara ex vitro pada tahun 2016 adalah mendapatkan SOP perbanyakan bibit satoimo secara ex vitro serta melakukan pendampingan pada petani tenant untuk dapat menjadi calon PPBT.
Adapun beberapa hasil kegiatan yang terlaksana pada tahun 2016 adalah : 1. Tersusunnya SOP penanaman bonggol serta SOP penanaman tunas hasil pemisahan dari bonggol. Perbanyakan bibit satoimo secara ex vitro dilakukan dengan alur sbb :
Gambar 3.52. Diagram alir perbanyakan bibit talas secara kultur ex vitro
LAKIP PTPP TAHUN 2016
136
2. Pengamatan fenotipe bibit satoimo hasil perbanyakan secara kultur ex vitro pada lahan uji Pengamatan karakter fenotipe dari tanaman talas dilakukan untuk melakukan seleksi tanaman induk yang memiliki produktivitas tinggi untuk dijadikan sebagai sumber bonggol tanaman induk terseleksi. Pengamatan fenotipe karakter morfologi talas hasil perbanyakan secara kultur
ex vitro pada uji lapang tahap 1 dan seleksi bonggol tanaman induk sebagai sumber eksplan baru dilakukan pada bulan ke lima setelah tanam. Lokasi penanaman bertempat di desa Eremerasa, Kabupaten Bantaeng. Karakter morfologi yang diamati antara lain tinggi tanaman, bentuk daun, berumbi atau tidak. Dari informasi yang diperoleh selama ini, bentuk daun dan warna tulang daun dapat menjadi petunjuk bentuk umbi talas yang dihasilkan dan produktivitasnya (Gambar.50.) .
Gambar 3.53. Perbedaan empat morfologi daun talas satoimo
3. Pengamatan karakter morfologi umbi & produksi satoimo hasil uji lapang tahap 1 a. Pengamatan Karakter Morfologi Umbi Hasil Uji Lapang Tahap 1 di Kayu Loe Hasil pengamatan terhadap karakter morfologi talas satoimo hasil uji lapang tahap 1 di Kayu Loe menunjukkan, tanaman ini merupakan herba bergetah, dengan batang di bawah tanah yang berbentuk umbi, tinggi 0.4 – 0.7 cm, daun 2-5 helai; dengan tangkai berwarna hijau, bergaris-garis tua, atau keunguan, pangkalnya berbentuk pelepah; helaian daun bundar telur, jorong, atau lonjong, dengan ujung membulat, keunguan di sekitar menancapnya tangkai, sisi bawahnya berlilin, tajuk pangkalnya membulat.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
137
Gambar 3.54. Tanaman talas dengan morfologi daun runcing, tidak menghasilkan umbi
b. Pengamatan Produktivitas Umbi Hasil Uji Lapang Tahap 1 di Eremerasa Kegiatan pemanenan bibit talas hasil ex vitro di Eremerasa diperoleh hasil : 1. Bobot umbi yang dihasilkan berkisar antara 400 gram hingga 3.400 gram per rumpun nya, dengan rata-rata bobot umbi yang dihasilkan sebesar 1.500 gram. 2. Sebanyak 50 tanaman talas hasil seleksi dengan bobot umbi diatas 1.500 gram akan dikoleksi di Balai Bioteknologi sebagai tanaman induk. 3. Diperoleh aksesi dengan kode 20.12.1 dengan bobot 3.2 gram (Gambar 3.9) 4. Tanaman hasil seleksi untuk tenant sebanyak 77 tanaman dengan berat 70 kg 5. Total panen keseluruhan sebanyak 1000 kg (Gambar 3.10).
Gambar 3.55. Aksesi no 20.12. hasil uji lapang tahap 1 dengan bobot panen 3.2 Kg
LAKIP PTPP TAHUN 2016
138
2. Kajian teknik pengemasan bibit talas satoimo hasil perbanyakan secara kultur
ex vitro Telah dilakukakan kajian teknik pengemasan bibit talas satoimo hasil perbanyakan secara kultur
ex vitro, untuk aksesi talas asal Bantaeng dan Magetan, masing-masing 50 bibit tanaman. Bibit talas satoimo yang telah dikemas, selanjutnya dikirim dan ditanam di desa Kayu Loe. Bibit talas satoimo ditanam 5 hari setelah pengemasan dilakukan. Dari masing-masing aksesi, 50 bibit talas satoimo yang dikemas tanpa media tanam, 100 % dapat hidup dan tumbuh subur setelah ditanam pada bedengan di desa Kayu Loe.
Gambar 3.56. Bibit talas satoimo umur 1 bulan pada bedengan 3. Uji lapang ke-2 bibit talas satoimo hasil perbanyakan secara kultur ex vitro dari induk terseleksi Uji lapang ke-2 dari bibit talas satoimo yang diperbanyak secara kultur ex vitro dilakukan untuk mendapatkan bibit talas satoimo berkualitas dengan pertumbuhan yang seragam dan produktivitas yang tinggi, dilakukan pada dua lokasi berbeda yaitu di desa Tanah Loe dan di desa Bonto Daeng Lokasi penanaman 1 di desa Tanah Loe terletak pada ketinggian 186 m/610f dengan koordinat 5°33’8”S, 119°57’40”E. Kebun milik pak Iskandar yang telah menjadi petani talas satoimo sejak lama di Bantaeang
LAKIP PTPP TAHUN 2016
139
Telah ditanam sebanyak 3.500 bibit talas hasil perbanyakan kultur ex vitro yang berasal dari pembibitan di Eremerasa (tenant Nawir dan Gunawan) dan di Kayu Loe (tenant Israk) (Gambar 3.19 s.d 3.21)
Gambar 3.57. Bibit talas satoimo hasil perbanyakan ex vitro di Tanah Loe
2. Pendampingan calon tenant penangkar bibit talas satoimo secara kultur ex vitro Pendampingan teknis kepada calon tenant dilakukan melalui beberapa cara diantaranya adalah melalui bimbingan teknis secara langsung di lapangan dan tidak langsung (komunikasi via telpon). Bimbingan teknis kepada calon tenant juga dilakukan dalam bentuk magang di Balai Bioteknologi. Dua orang tenant (Nawir dan Gunawan) telah melakukan magang selama 7 hari di Balai Bioteknologi. Selain mempelajari teknik perbanyakan bibit tanaman secara kuktur ex vitro untuk talas satoimo, mereka juga belajar teknik ex vitro untuk komoditas tanaman potensial lainnya.
Gambar 3.58. Kegiatan magang untuk ex vitro satoimo Bimbingan teknis dan penyediaan fasilitas pembibitan diberikan kepada 4 calon tenant, yaitu Israk (di desa Kayu Loe), Gunawan dan Nawir (di desa Eremerasa) dan Hamzah (di desa Batu
LAKIP PTPP TAHUN 2016
140
Labbu). Pada tiap lokasi tenant, di lakukan juga evaluasi kemajuan pekerjaan dan hambatan yang dihadapi dalam melakukan pembibitan talas.
WP 3.2 Teknologi Perlambatan Masa Dormansi Umbi Bibit Satoimo Penelitian perlambatan masa dormansi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tunas dan memperpanjang masa penyimpanan umbi sehingga umbi dapat lebih mudah untuk didistribusikan ke wilayah lain. Teknologi perlambatan masa dormansi diharapkan dapat mendukung petani satoimo untuk menjadi produsen bibit. Teknologi perlambatan masa dormansi yang dilakukan pada penelitian ini adalah melapisi umbi dengan bahan pelapis organik untuk mengurangi proses metabolisme umbi, sehingga pertumbuhan tunas terhambat. Umbi yang telah dilapis selanjutnya diperlakukan dengan perlakuan hampa udara.
Pengujian perlambatan masa dormansi dilaksanakan di Desa Bontodaeng, Kecamatan Ulurere dengan ketinggian antara 700 – 1000 mdpl. Daerah ini sesuai untuk budidaya talas satoimo. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan sebagai berikut : P1 : Abu ayak vakum
P2 : Abu ayak non vakum
P3 : Abu tanpa ayak vakum
P4 : Abu tanpa ayak non vakum P5 : Arang ayak vakum
P6 : Arang ayak non vakum
P7 : Arang tanpa ayak vakum
P8 : Arang tanpa ayak non vakum P9 : tanpa pelapisan vakum
P10 : tanpa pelapisan non vakum Detail perlakuan tercantum dalam Tabel 2 dengan setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, jumlah umbi kempes, jumlah umbi busuk. Pengamatan dilakukan dari 1 bulan setelah perlakuan sampai 4 bulan setelah perlakuan.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
141
Tabel 3.10. Bahan pelapisan untuk 1 kg umbi (± 40 umbi kecil) Bahan
Berat
Perekat
1,4 gram
Gula
5,6 gram
Arang tanpa ayak
500 gram
Arang ayak
500 gram
Abu tanpa ayak
500 gram
Abu ayak
500 gram
Dithane
15 gram
Prosedur pelapisan umbi adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan umbi
Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi penyimpanan umbi adalah ukuran umbi (Modi 2007) dan umur panen umbi (Rusmin et al. 2015). Ukuran umbi yang digunakan untuk perlakuan adalah umbi yang besar (± 18 umbi) dan umbi kecil (± 40 umbi) untuk berat 1 kg umbi. Umbi satoimo yang akan diperlakukan merupakan umbi yang cukup umur panennya. Umbi satoimo dipanen kira-kira umur 5 bulan setelah tanam.
Gambar 8. Pemilihan umbi untuk perlakuan
2. Perlakuan awal
Umbi yang telah dipilih kemudian dicuci bersih, dibersihkan menggunakan air mengalir,
kemudian
direndam
dalam
larutan
disinfektan
selama
15
menit
dan
dikeringanginkan sampai kering.
Gambar 9. Perendaman umbi dengan disinfektan
3. Prosedur pelapisan umbi a. Melarutkan CMC dan gula dengan air sampai menjadi larutan kental
b. Masukkan umbi pada larutan kental sampai umbi terlapis semua
c. Melapisi umbi yang telah terlapisi larutan kental dengan arang & abu sesuai perlakuan
d. Mengeringanginkan umbi
e. Memberi perlakuan vakum pada umbi yang telah dilapisi sesuai dengan perlakuan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
142
Gambar 3.59. Prosedur pelapisan umbi
Saat ini telah ditanam tiga perlakuan pada produksi umbi bibit yaitu tanaman yang berasal dari umbi utuh, umbi belah dan bibit ex vitro. Umbi yang dihasilkan dari penanaman ini akan dijadikan bahan uji verifikasi metode perlambatan dormansi yang telah dihasilkan tahun 2016 yaitu pelapisan umbi menggunakan bahan arang sekam dan perlakuan vakum. Pelapisan umbi menggunakan abu sekam dan vakum mampu memperlama masa dormansi yang umumnya 2 bulan menjadi + 4 bulan.
Gambar 3.60. Umbi dengan perlakuan perlambatan masa dormansi
LAKIP PTPP TAHUN 2016
143
Beberapa jenis umbi yang saat ini ditanam di lahan percobaan calon tenant produsen benih satoimo yaitu : Umbi utuh Merupakan umbi dalam bentuk bulat utuh dan digunakan sebagai umbi bibit. Umbi bibit jenis ini diperoleh dari umbi anak yang telah lulus sortir yaitu masak sempurna, bebas hama penyakit, tidak busuk, kempes maupun terluka saat panen. Umbi yang telah dipilih kemudian disemai pada lahan persemaian dan setelah muncul dua daun siap ditanam Umbi belah Merupakan umbi utuh yang dibelah-belah sesuai dengan besarnya umbi dan keberadaan mata tunas pada umbi tersebut umumnya dihasilkan 4-5 umbi belah sebagai calon bibit. Umbi utuh yang telah dibelah sesuai dengan mata tunasnya kemudian dicampur dengan dithane M-45 berbentuk pasta hingga rata. Selanjutnya umbi dikering-anginkan hingga + 2 hari dan dimasukkan ke dalam plastik gelap selama 5-7 hari. Apabila telah muncul calon akar/mata tunas maka umbi siap dipindah tanam ke lahan Bibit ex vitro Bibit ex vitro tunas dari tanaman induk secara berkala menggunakan zat pengatur tumbuh untuk memicu munculnya tunas secara maksimum. Bibit yang telah dipisahkan dari induk kemudia dihasilkan dengan cara melakukan seleksi, induksi tunas dan pemisahan diaklimatisasi dan dirangsang perakarannya hingga menjadi tanaman sempurna dan siap tanam di lapang
Gambar 3.61. Lahan pembibitan satoimo di Bontodaeng (kiri-kanan) : pertanaman dengan asal bibit berupa umbi, pertanaman dari umbi belah, dan pertanaman dari ex vitro
LAKIP PTPP TAHUN 2016
144
WP 3.3 Teknologi Produksi Umbi Bibit Kentang Bebas Virus Induksi umbi mikro dilakukan utuk mendapatkan sumber perbanyakan baru selain plantlet dan eksplan asal umbi mini. Induksi umbi mikro dilakukan dengan menambahkan media cair yang kaya sukrosa pada plantlet kentang yang telah berumur 2 bulan dalam media in vitro (Gambar 4). Adapun SOP aplikasi media induksi umbi mikro adalah sebagai berikut 1.
Pembuatan media induksi umbi mikro Pipet larutan stok untuk membuat 1 liter media MS0 pada labu ukur besar Tambahkan gula sebanyak 90 g/L Tambahkan air kelapa (yang tuanya sedang) sebanyak 10% Aduk media pada stirrer Lakukan presisi media menggunakan kertas lakmus (pH 5.8 – 6) Tempatkan media pada 8 erlenmeyer ukuran 250 ml @125 ml Autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 17.5 Psi selama 15 menit Diamkan media pada suhu kamar hingga dingin
2.
Aplikasi media induksi umbi mikro pada plantlet kentang in vitro Pilih tanaman yang telah memnuhi syarat untuk dilakukan induksi umbi mikro yaitu bebas dari cendawan dan bakteri, telah berumur 2 bulan dalam media perbanyakan, pertumbuhan tanaman telah sempurna (daun dan batang yang tumbuh dengan optimal), telah mencapai tinggi yang maksimal (biasanya hingga menyentuh bagian tutup botol) Siapkan laminar air flow cabinet, media induksi umbi mikro, bunsen, sprayer berisi alcohol, plastic wrapping, label dan alat tulis Sterilisasi laminar menggunakan alcohol sebelum mulai memasukkan semua peralatan bahan dan perlatan tersebut diatas Masukkan tanaman, media dan semua peralatan diatas dengan terlebih dahulu menyemprotkan alcohol pada permukaan bahan/alat Streilkan tangan kita dengan menyemprotkan alcohol sebelum memulai pekerjaan dalam laminar Tuang media cair dalam plantlet tanaman yang telah disipkan Seal tanaman yang telah dituang media cair menggunakan plastic wrapping kemudian tambahkan label untuk menuliskan tanggal aplikasi media Simpan media pada suhu 18-23oC dalam kondisi gelap (ditutup dengan kain hitam)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
145
Pengamatan induksi umbi mikro dapat dilakukan setiap pecan dengan mencatat jumlah umbi yang terbentuk pada setiap botol kultur Keberhasilan induksi umbi mikro ditandai dengan munculnya umbi kecil dari stolon yang tumbuh diantara buku tanaman
Gambar 3.62. Aplikasi media induksi umbi mikro pada plantlet kentang (kiri); Plantlet kentang yang telah diberi media induksi umbi mikro (kanan)
Metode DIBA untuk mendeteksi virus pada plantlet kentang in vitro Banyaknya penyakit pada kentang yang terbawa benih akibat penggunaan benih secara turuntemurun menjadi penyebab tingginya intensitas serangan penyakit khususnya oleh virus. Penyakit tersebut bisa menyebabkan daya hasil atau produksi kentang menurun hingga 100% (Setiadi dan Nurulhuda, 2005). Salah satunya adalah Potato Virus Y (PVY) yang merupakan virus paling penting pada kentang yang dapat menurunkan produksi kentang 40-80% (Afiyanti, 2008).
Untuk mengurangi resiko penurunan produktivitas hasil akibat serangan virus maka perlu pencegahan penggunaan bibit yang terinfeksi virus. Oleh karena itu diperlukan suatu metode analisa yang dapat mendeteksi keberadaan virus dalam bibit. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode DIBA dimana keberadaan virus dapat diketahui
dengan
membandingkan warna substrat antar sampel, kontrol positif, kontrol negatif, dan larutan penyangga. Metode ini dapat dilakukan dengan mudah, hanya memerlukan sampel dalam jumlag sedikit, akurat serta biaya yang relative murah (Kartiningtyas et al. 2006).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
146
Pengujian deteksi virus terhadap plantlet kentang dari laboratorium Loka dilakukan terhadap PLRV dan PVY pada kentang varietas Granola dan Margahayu. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa kedua varietas kentang tersebut positif mengandung PLRV dan virus Y (PVY) dengan tingkat reaksi agak kuat. Tabel 3.11. Hasil deteksi virus kentang menggunakan antiserum terhadap PLRV dan PVY
Keterangan : (-) negatif; (+) lemah; (++) agak kuat; (+++) kuat; (++++) sangat kuat Berdasarkan data pada Tabel 1 diektahui bahwa plantlet kentang varietas Granola maupun Margahayu terdeteksi mengandung virus potato leafroll virus (PLRV) dan potato virus Y (PVY) dengan intensitas reaksi agak kuat (++). Keberadaan virus dalam jumlah yang relatif rendah kadangkala tidak menimbulkan gejala atau bersifat laten dan tidak dapat dilihat sehingga pada saat penanaman di lapangan gejalanya barulah terlihat (Thomas dan Geering, 2005). Oleh karena itu perlu dipertimbangkan tentang proses perbanyakan tanaman dimulai dari pembenihan hingga perbanyakan di lapangan karena menurut Hans (1994) infeksi oleh virus akan terakumulasi dan dapat menyebabkan penurunan bahkan kehilangan hasil sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas produksi.
Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran virus tersebut maka perlu dilakukan screening pada tanaman, isolasi, pemusnahan tanaman terinfeksi virus, pengadaan tanaman baru yang bebas virus serta sterilisasi peralatan tanam. Hal ini dilakukan karena sampai saat ini belum terdapat insektisida yang dapat membasmi virus pada tanaman.
WP 3.4 Teknologi Produksi Benih Jagung Hibrida a. Uji Produktivitas Benih Jagung Hibrida Dilakukan melalui uji produktivitas beberapa benih jagung hibrida yaitu BR-1, BI-3 dan Bima URI-19, serta 2 jenis pemupukan yaitu pemupukan dengan dosis petani dan pemupukan rekomendasi dari BPPT. Setiap perlakuan terdiri atas 3 varietas jagung hibrida yaitu BI-3 (V1),
LAKIP PTPP TAHUN 2016
147
BR-4 (V2), dan BIMA 19-URI (V3). Sehingga banyaknya pengujian berjumlah enam (6), yaitu V1P1, V1P2, V2P1, V2P2, V3P1, dan V3P2 dan masing-masing dilakukan pengulangan 3 kali.
Parameter Pengamatan Uji Produktivitas Jagung Hibrida meliputi : Bobot Tongkol dan Pipilan Kering (KA 15%), Bobot 1.000 butir biji, Pengamatan Hasil Panen . Perhitungan berat tongkol basah menunjukkan bahwa perlakuan V1P1 memiliki rata-rata tongkol basah terberat dibandingkan perlakuan lainnya. Walaupun V1P1 memiliki rata-rata klobot basah terberat, hasil uji uji ANOVA dilanjutkan DMRT menunjukkan tidak beda nyata diantara semua perlakuan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada data rata-rata berat tongkol kering menujukkan tidak beda nyata diantara semua perlakuan. Akan tetapi perlakuan V2P2 memiliki tongkol kering yang paling berat.
Rata-rata berat pipilang kering menunjukkan tidak beda nyata diantara semua perlakuan. Perlakuan V2P2 memiliki pipilan kering terberat dibandingkan perlakuan lainnya. Data berat pipilan kering jika dikonversi kedalam satuan ton/ha maka perlakuan V2P2 memiliki produktivitas tertinggi yaitu 5,17 ton/ha (Tabel 2). Hal tersebut menyimpulkan bahwa jagung hibrida varietas BR-4 dengan perlakuan pemupukan berdasarkan rekomendasi BPPT memiliki produktivitas tertinggi dibandingkan lima variasi perlakuan lain. Akan tetapi berbeda dengan data berat 1.000 biji yang menunjukkan bahwa perlakuan V3P2 memiliki jumlah 1.000 biji terberat (Gambar 5). Berat biji tersebut tergantung proses pengisian biji pada tongkol dan luas permukaan biji tersebut.
Gambar 3.63. Grafik produktivitas jagung hibrida setiap perlakuan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
148
Pelatihan Produsen Benih Jagung Hibrida Ketersediaan benih berkualitas dengan jumlah cukup, tepat waktu, dan mudah diperoleh petani memegang peranan penting, dan hal ini tidak terlepas dari peranan para produsen benih. Sehingga terjalin kesinambungan yang berkelanjutan antara penghasil dengan pengguna teknologi, utamanya varietas maka penyediaan benih sumber yang berkelanjutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan ini merupakan langkah awal untuk pengembangan varietas. Pelatihan bagi produsen benih padi dan jagung hibrida ini bertujuan untuk : 1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terkait proses sertifikasi benih bina tanaman pangan; 2. Mempelajari pemanfaatan agen pengendali hayati untuk mengendalikan hama dan penyakit jagung; 3. Meningkatkan kemampuan teknik produksi dan pengelolaan benih jagung hibrida; 4. Meningkatkan kemampuan processing benih jagung hibrida 5. Meningkatkan kemampuan pengemasan, penyimpanan, dan pemasaran benih jagung hibrida
Materi dan Narasumber Materi dan narasumber dalam kegiatan pelatihan ini adalah : 1. Ir. Titiek Salmawati, MP (BPSBTPH Sulawesi Selatan) 2. Winda Nawfetrias, SP, M.Si (BPPT) 3. Dr. Andi Takdir Makkulawu, MP (Balit Serealia Sulawesi Selatan) 4. Dr. Ramlah Arief, MP (Balit Serealia Sulawesi Selatan) 5. Fauziah Koes, SP, MP (Balit Serealia Sulawesi Selatan) 6. Dr. Ir. Novaty Eny Dungga, MP (Universitas Hasanuddin)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
149
Gambar 3.64. Pelatihan produsen benih jagung hibrida di Technopark Bantaeng
WP 3.5 Uji Preferensi Varietas Padi a. Uji Preferensi Varietas Padi di Bombong dan Lembang Uji preferensi padi di lakukan di Bombong dengan luas 100 m2 per satuan percobaan dan di Lembang dengan luas 25 m2 per satuan percobaan. masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Penanaman dilakukan dengan sistem jajar legowo 2:1 dimana setiap dua baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar baris sedangkan jarak tanaman dalam barisan adalah setengah kali jarak tanam antar barisan. Dengan jarak tanamam (20 cm x 10 cm) x 40 cm maka total tanaman dalam 1 ha lahan akan berkisar 333.300 tanaman/ha dimana pada percobaan ini ditanam 2 benih per lubang sehingga terdapat 666.666 tanaman/ha. Pemupukan yang dilakukan dengan dosis yang sama terhadap semua petak tanaman yaitu : Umur 5 – 7 hari setelah tanam (HST) dipupuk 150 kg NPK 15-15-15/ha + 100 kg Urea/ha. Umur 21 HST dipupuk 100 kg NPK 15-15-15/ha + 50 kg Urea/ha. Umur 35 HST dipupuk 100 kg NPK 15-15-15/ha.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
150
Pengamatan dilakukan terhadap 10 rumpun dari setiap petak yang diulang 3 kali sehingga terdapat total 30 rumpun dalam satu perlakuan varietas. Parameter panen yang dijadikan tolok ukur pada pengamatan panen adalah bobot gabah kering panen (GKP), bobot gabah kering giling (GKG) serta bobot 1000 butir benih.
Gabah kering panen merupakan berat gabah saat panen per satuan percobaan
Gabah kering giling adalah berat gabah setelah dikeringkan (diturunkan kadar airnya menjadi kurang lebih 12%) dan siap untuk digiling atau dijadikan benih kembali
Bobot 1000 butir benih adalah berat 1000 butir benih yang isi (bernas) dari satu varietas dalam satu satuan percobaan
Data panen lokasi Bombong pada menunjukkan bahwa bobot gabah kering panen (GKP) tertinggi adalah pada varietas Diah Suci sebesar 7.12 ton/ha, sedangkan bobot gabah kering giling (GKG) tertinggi adalah pada varietas Memberamo sebesar 5.22 ton/ha dan berat 1000 butir benih tertinggi adalah pada varietas IPB 3S sebesar 34 gram. Varietas Diah Suci menghasilkan bobot GKP tertinggi (7.12 ton/ha) namun tidak memberikan nilai bobot GKG yang paling tinggi, dimana hal ini disebabkan karena kadar air yang tinggi pada saat panen.
Hasil analisis data panen uji preferensi varietas padi di lokasi Desa Lembang, Kec. Bantaeng menunjukkan bahwa bobot GKP dan GKG tertinggi dihasilkan oleh varietas Diah Suci yaitu 7.59 ton/ha dan 6.93 ton/ha; sedangkan bobot 1000 butir benih tertinggi adalah pada varietas Inpari 23 yaitu 35 gram
b. Pelatihan Produsen Benih Padi Kegiatan pelatihan ini bertujuan untuk : 1. Memberikan pembekalan pada produsen benih padi tentang peraturan sertifikasi benih padi 2. Memberikan pembekalan tentang produksi dan pengeloalaan benih padi yang baik dan benar 3. Memberikan pembekalan tentang pengemasan, penyimpanan dan pemasaran benih padi yang tepat 4. Mengenalkan produk inovasi BPPT yang telah dilakukan dalam rangka mendukung peningkatan produksi benih padi di Technopark Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
151
Materi dan Narasumber Materi dan narasumber dalam kegiatan pelatihan ini adalah : 1. Sertifikasi benih padi oleh Ir. Titiek Salmawati (BPSBTPH Sulawesi Selatan) 2. Produksi benih padi oleh Ir. Ramlan, MSi (BPTP Sulawesi Selatan) 3. Pengelolaan benih padi oelh Ir. Arafah, MP (BPTP Sulawesi Selatan) 4. Fieldtrip produksi benih padi oleh Ir. Muhammad Amin (BPTP Sulawesi Selatan) 5. Fieldtrip pengelolaan benih padi oleh Muh. Herman Nur (UPTD BBD Kab. Bantaeng) 2. Pengemasan, penyimpanan dan pemasaran benih padi oleh Dr. Ir. Novaty Eny Dungga (Unhas) 3. Inovasi BPPT untuk mendukung peningkatan produksi benih padi di Technopark Bantaeng oleh Dwi Pangesti Handayani, SP MSi (BPPT)
Gambar 3.65. Pelatihan produsen benih padi untuk mendukung pengembangan kawasan Technopark
LAKIP PTPP TAHUN 2016
152
c. Uji Organoleptik Pengujian organoleptic dilaksanakan bersamaan dengan pelatihan produsen benih padi dan jagung hibrida yang terdiri dari 60 orang panelis. Adapun panelis yang ikut dalam pengujian terdiri dari petani, dosen, pegawai pemda Bantaeng, pegawai Dinas Pertanian Kab. Manggarai Timur (Gambar.92). Uji organoleptic dilakukan terhadap nasi dari 7 varietas padi yang telah diujikan yaitu Mugibat, Memberamo, IPB 3S, IPB 4S, Inpari, Diah Suci dan Bestari. Adapun indikator yang menjadi parameter penilaian adalah warna, aroma, tekstur dan rasa dengan kriteria nilai 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (suka) dan 4 (sangat suka). Data yang diperoleh dari pengujian tersebur selanjutnya diolah menggunakan analisis SAS.
Gambar 3.66. Nilai beberapa parameter uji organoleptic rasa nasi beberapa varietas padi hasil panen uji preferensi varietas padi Secara keseluruhan terdapat 3 kategori nilai dari varietas yang diujikan yaitu suka kuat (3.4) pada varietas inpari 23; suka (3,0) pada varietas IPB 3S; dan tidak suka lemah (2,9) pada varietas Mugibat, Memberamo, IPB 4S, Diah Suci dan Bestari (Gambar 91). Nilai tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 23 yaitu 3.44 (suka). Berdasarkan wawancara yang dilalukan terhadap beberpa panelis diperoleh informasi bahwa terdapat aroma wangi, warna yang bersih serta rasa yang enak. Inpari 23 Bantul yang dilepas oleh Balitbangtan pada tahun 2012, selain beraroma wangi, juga memiliki tekstur nasi pulen dengan kadar amilosa rendah (17%)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
153
d. Pelatihan Perbanyakan Trichoderma pelatihan perbanyakan trichoderma bertujuan agar petani dapat memperbanyak Trichoderma spp menggunakan beras. Pelatihan diikuti oleh 30 orang peserta yang terdiri dari 10 orang petani produsen benih padi dan jagung, 5 orang penyuluh pertanian kecamatan dan 15 orang pendamping produsen benih padi dan jagung hibrida yang juga staf di UPTD BBD Kab. Bantaeng.
Gambar 3.67. Pelatihan perbanyakan Trichoderma spp untuk produksi benih
e. Pendampingan Pengukuhan Koperasi Pengukuhan koperasi produksi benih tanaman pangan dilakukan di Dinas Koperasi dan UKM Kab. Bantaeng oleh Sekda Kab. Bantaeng Ir. Abdul Wahab, MSi terhadap Koperasi Tani Errematika dari Desa Biangloe. Koperasinya yang dipimpin oleh Jumadil Awal, SP beranggotakan 26 orang (anggota dan pengurus) yang kesemuanya adalah produsen benih tanaman pangan (utamanya padi dan jagung hibrida).
Gambar 3.68. Pengukuhan koperasi benih Errematika oleh Sekda Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
154
Sosialisasi e-commerce Technopark Bantaeng disampikan oleh Direktur Pusat Teknologi Produksi Pertanian Ir. Arief Arianto, MSc. Sosialisasi e-commerce ditujukan pada semua tenant Technopark Bantaeng dan instansi terkait yang nantinya akan menjual produk tenantnya melalui Technopark Bantaeng. Diharapkan dengan adanya e-commerce ini akan memudahkan tenant Technopark Bantaeng dan konsumen untuk bertransaksi melalui media online.
Gambar 3.69. Sosialisasi e-commerce oleh Direktur PTPP-BPPT
WBS.4 TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH IKAN NILA SALIN (UNGGUL) & RUMPUT LAUT WP 4.1 Teknologi Produksi Benih Ikan Nila Salin (Unggul) Produksi Induk Nila Unggul Menyediakan induk unggul, produksi benih ikan nila GMT, produksi benih ikan nila SALINA dan nila Laut. Produksi benih ikan GMT (Genetically Male Tilapia) dan benih Salina dilakukan di BBI Rappoa, sedangkan benih nila laut dikondisikan di hatchery. Uji coba pembesaran ikan nila laut dilakukan di KJA Laut yang berada di kawasan pantai Marina Kabupaten Bantaeng. Menyiapkan calon Pengusaha Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) yang mampu melakukan produksi benih ikan nila secara mandiri.
Sampai awal Nopember 2016, 463.698 ekor benih ikan nila GMT dan salina telah disalurkan ke beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Bantaeng, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai, Wajo, Pangkep, Maros, Makassar, Pinrang, Majene dan Mamuju Tengah. Saat ini masih tersisa benih ukuran 1 – 4 cm sebanyak 150.000 ekor di BBI Rappoa.
Dalam rangka
sosialisasi/pemasaran produksi benih ikan nila unggul produksi BBI Rappoa, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten ikut serta pada expo di Makassar dalam rangka HUT RI ke 71 Tahun (Gambar 98 A). Pengenalan benih ikan nila unggul juga dilakukan sampai Kabupaten Pinrang,
LAKIP PTPP TAHUN 2016
155
Majene dan Mamuju Tengah (Gambar 98 B dan 98C). Dalam rangka Hari Jadi Propinsi Sulawesi Selatan tanggal 19 Oktober 2016, telah dilakukan “Gerakan Penebaran Benih Ikan Serentak pada 1000 titik se Sulawesi Selatan” (Gambar 99 A). Penebaran antara lain dilakukan
di
Kabupaten Bulukumba 15000 ekor, Jeneponto 6000 ekor (Gambar 99 B), Bantaeng 20,000 dan SMKN 2 bantaeng 15000 ekor (Gambar 99 C). BBI Rappoa dapat memproduksi benih ikan, khususnya ikan nila sepanjang tahun. Balai benih milik pemerintah kota ata kabupaten yang berada di sekitar Bantaeng umumnya membeli benih ikan ukuran kecil, 1 – 2 cm untuk didederkan. Balai benih lainnya membeli ukuran 1- 2 cm utk didederkan di balainya. Saat ini BBI Rappoa sedang menyiapkan benih ikan nila sebanyak 300 ribu ekor untuk Kalimantan Utara. ada permintaan benih nila GMT dari Propinsi Kalimantan Utara sebanyak 300 ribu ekor, sementara pesanan benih untuk Kabupaten Pangkep, Maros, Sinjai, Makassar, Bulukumba dan masyarakat Bantaeng belum dapat dipenuhi. Karena BBI Rappoa sudah berproduski, pada tahun 2017 akan dikenakan PAD sebesar 500 ribu ekor benih ukuran 3 sampai 8 cm.
Gambar 3.70. Proses penyiapan dan pelaksanaan Gerakan Penebaran Benih Ikan Serentak pada 1000 titik se Sulawesi Selatan Adanya peningkatan permintaan benih ikan nila, diharapkan BBI Rappoa tetap mengikuti SOP pembenihan ikan nila agar predikat penghasil benih bermutu tetap melekat dan selanjutnya untuk mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan status BBI Rappoa sebagai balai benih bersertifikat CPIB ikan nila yang memiliki masa berlakuknya hanya 2 tahun. Program peremajaan induk ikan nila mutlak harus dilakukan karena umur produktif hanya sekitar 2 tahun. Program BPPT ke depan akan difokuskan pada kegiatan perbanyakan/premajaan induk
LAKIP PTPP TAHUN 2016
156
dan mengawasi berjalan SOP produksi benih ikan nila. Selanjutnya akan dilakukan pula pembinaan terhadap para pembenih ikan pemula di Kabupaten Bantaeng WP 4.2 Teknologi Produksi Bibit Rumput Laut 1. Perbanyakan Bibit ke 1 (P-1). Tahapan perbanyakan bibit merupakan tahapan akhir dari seleksi varietas/strain mulai bibit awal dari masyarakat atau generasi awal (G-0) sampai dengan seleksi generasi ke 3 (G-3). Bibit hasil pemetikan dari G-3 ini selanjutnya dipelihara sebagai Perbanyakan ke 1 (P-1) selama 30 hari pada bulan September 2016. Pada prinsipnya metode perbanyakan bibit ini sama dengan tahapan pengembangan bibit dari G-0 sampai dengan G-3 yaitu memilih bibit yang tumbuhnya bagus dari tiap bentang selanjutnya dipilih sebagai bibit untuk tahap berikutnya. Sedangkan bibit yang tumbuhnya kurang bagus tidak digunakan untuk tahap selanjutnya atau di afkir. Hasil
Perbanyakan ke 1 secara umum hasilnya cukup baik dilihat dari laju pertumbuhan
harian/SGR . Bibit hasil pengembangan generasi ke 3 (G-3) yang ditanam dari thallus yang beratnya lebih dari 100 gram per rumpun,laju pertumbuhan harian dari rumpun yang lebih besar dari 100 grammencapai tertinggi 4,06 % perhari dan pada tali lainnya hampir sama yaitu dengan SGR berkisar 3% perhari
2. Perbanyakan Bibit Ke 2 (P-2). Perbanyakan bibit ke 2 sebanyak 7 tali bentang rumput laut dilakukan pada bulan Oktober 2016, merupakan hasil pemetikan dari P-1 yang telah dipelihara selama 30 hari. Secara umum perkembangan rumput laut cukup baik terlihat dari percabangan rumput laut yang rimbun dan lebat, warna thallus pekat dan cerah, ujung thallus terlihat runcing sebagai tanda pertunbuhan yang baik.
Gambar 3.71. Perkembangan rumput laut Cottonii (warna olive)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
157
Laju pertumbuhan harian (SGR) P-1 yang dikembangkan menjadi P-2 sangat baik yaitu mencapai 4,10 – 4,65 % perhari dilihat dari rumpun rumput laut yang beratnya lebih dari 100 gram
3. Seleksi Bibit Rumput Laut Tahap II musim Penghujan. Kegiatan seleksi bibit rumput laut tahap ke II dilakukan selain untuk mengulang kegiatan pelatihan dan pendampingan pembuatan kebun bibit rumput laut bagi petani
juga
untuk
mengetahui sejauhmana pengaruh musim hujan terhadap pertumbuhan bibit rumput laut. Penanaman bibit awal (G-0) dilakukan pada awal bulan Oktober dan telah dikembangkan menjadi generasi ke 1 (G-1). Secara umum perkembangan rumput laut pada awal musim hujan mengalami hambatan, terlihat dari warna rumput laut yang sangat pucat mendekati warna putih.
Gambar 3.72. Perubahan warna rumput laut akibat perubahan musim
Warna rumput laut merupakan salah satu ekspresi dari kesehatan rumput laut, apabila warnanya pucat memperlihatkan terjadinya perubahan lingkungan yang kurang baik dan mendukung bagi pertumbuhannya. Warna pucat ini kemungkinan besar diakibatakan oleh faktor kekurangan nutrisiataupun perubahan lingkungan terutama kurangnya pergerakan air laut sehingga suplai nutrisi makanan tidak tercukupi. Pertumbuhan rumput laut akan kembali normal apabila pergerakan air terutama arus sudah cukup melalui areal budidaya.Pemeliharaan G-1 akan dilanjutkan sesuai dengan protokol seleksi bibit seperti pada tahap I yang sudah dilakukan pada musim kemarau.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
158
WBS.5 TEKNOLOGI REPRODUKSI DAN PAKAN TERNAK RUMINANSIA Wp 5.1 Teknologi Reproduksi Singkronisasi Estrus Pada aplikasi teknologi sinkronisasi estrus, inseminasi buatan dan pemeriksaan kebuntingan pada ternak kambing telah dilakukan pemerikasaan kebuntingan pada diperoleh hasil 80% ternak yang diprogram bunting. Sedangkan pada ternak sapi belum dilakukan pemeriksaan kebuntingan karena waktu Ib yang masing kurang dari 60 hari. Keberhasilan IB pada ternak ditentukan oleh beberapa faktor yaitu kualitas semen beku (straw), keadaan ternak betina sebagai akseptor IB, ketepatan IB, dan keterampilan tenaga pelaksana (inseminator). Faktor ini berhubungan satu dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil IB juga akan rendah, dalam pengertian efisiensi produksi dan reproduksi tidak optimal
Permasalahan utama dari semen beku kambing adalah rendahnya kualitas semen setelah dithawing, yang ditandai dengan terjadinya kerusakan pada ultrastruktur, biokimia dan fungsional spermatozoa yang menyebabkan terjadi penurunan motilitas dan daya hidup, kerusakan membran plasma dan tudung akrosom, dan kegagalan transport dan fertilisasi. Ada empat faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya kualitas semen beku kambing, yaitu (1) perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang bertalian dengan pembentukan kristal-kristal es; (2) cold-shock (kejutan dingin) terhadap sel yang dibekukan; (3) plasma semen mengandung egg-yolk coagulating enzyme yang diduga enzim fosfolipase A yang disekresikan oleh kelenjar bulbourethralis; dan (4) triglycerol lipase yang juga berasal dari kelenjar bulbourethralis dan disebut SBUIII. Pengaruh yang ditimbulkan akibat fenomena di atas adalah rendahnya kemampuan fertilisasi spermatozoa yang ditandai oleh penurunan kemampuan sel spermatozoa untuk mengontrol aliran kalsium. Padahal ion kalsium memainkan peranan penting dalam proses kapasitasi dan reaksi akrosom spermatozoa. Kedua proses ini harus dilewati oleh spermatozoa selama dalam saluran reproduksi betina sebelum membuahi ovum.
Permasalahan pada kambing betina (akseptor IB) dalam kaitannya dengan kinerja reproduksi adalah: (1) variasi dalam siklus berahi dan lama berahi, (2) variasi dalam selang beranak (kidding interval) yang berkaitan dengan involusi uterus; dan (3) gejala pseudopregnancy (kebuntingan semu).
LAKIP PTPP TAHUN 2016
159
Aktivitas berahi ternak kambing tergolong poliestrus artinya berahi terjadi beberapa kali dalam satu tahun, tetapi siklus dan lama berahi bervariasi. Siklus berahi kambing Kacang antara 19-50 hari dengan lama berahi 32-45 jam. Sedangkan siklus berahi dan lama berahi pada kambing PE masing-masing 18-22 hari dan 25-40 jam. Sebagai pembanding, siklus berahi dan lama berahi pada kambing Boer masing-masing 20,7 hari (13-25 hari) dan 37 jam. Hal ini kemungkinan disebabkan selain oleh adanya perbedaan bangsa dan tatalaksana pemeliharaan terutama pengelolaan reproduksi, juga oleh faktor gelombang pertumbuhan folikel (follicle development
wave). Gelombang pertumbuhan folikel dalam satu siklus berahi pada kambing saat ini belum diketahui dengan pasti, sehingga sangat sulit untuk menentukan dengan tepat aplikasi hormonal untuk program penyerentakan berahi dan waktu inseminasi karena waktu ovulasi tidak diketahui. Padahal kontrol gelombang pertumbuhan folikel sangat penting dalam program superovulasi dan sinkronisasi berahi, yaitu mempengaruhi lama siklus estrus dan panjang fase luteal.
Cepat atau lambatnya ternak betina untuk berahi kembali setelah beranak akan berpengaruh terhadap selang beranak. Semakin panjang selang beranak akan menurunkan efisiensi reproduksi. Selang beranak kambing Kacang berkisar antara 8-11 bulan, sedangkan pada kambing PE berkisar 7-10 bulan. Penyebab beragamnya selang beranak kemungkinan berkaitan dengan lambatnya aktivitas uterus kembali ke ukuran normal setelah melahirkan. Semakin lambat uterus kembali ke ukuran normal (involusi uterus) akan semakin lambat ovarium untuk beraktivitas kembali sehingga pada akhirnya ternak betina akan tertunda masuk ke siklus berahi berikutnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi involusi uterus adalah suckling (menyusui), kualitas dan kuantitas pakan, serta aktivitas hormonal. Semakin lama periode menyusui, kualitas dan kuantitas pakan yang tidak optimal dan kurangnya rangsangan hormonal terutama prostaglandin, akan memperlama involusi uterus dan akibatnya selang beranak akan semakin panjang. Pelepasan PGF-2α setelah melahirkan diperlukan untuk meningkatkan tonus uterus dan selanjutnya merangsang involusi. Involusi uterus pada kambing berkisar antara 20-40 hari dan pada kambing Boer 28 hari.
Kebuntingan semu dicirikan dengan adanya korpus luteum menetap dan adanya akumulasi cairan dalam uterus (hydrometra). Gejala kebuntingan semu pada kambing ditandai dengan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
160
pembesaran perut, dan kegagalan perkembangan fetus dan kelahiran. Walaupun gejala kebuntingan semu belum banyak dilaporkan pada kambing di Indonesia, namun pada kambing perah akseptor IB di Perancis, gejala ini bisa mencapai 20%. Bila gejala ini muncul akan menurunkan daya fertilitas kambing sesudah perlakuan hormon maupun IB.
Kendala utama dalam pelaksanaan IB metode konvensional pada ternak ruminansia kecil ialah upaya pendeposisian semen sejauh mungkin di dalam lumen cervix. Hasil penelitian Rizal (2006) melaporkan bahwa lumen cervix domba garut hanya dapat ditembus oleh insemination
gun sejauh 1,5 cm, sementara panjang cervix domba umumnya lebih dari 5 cm. Metode bedah atau metode intrauterine dilakukan dengan mendeposisikan semen di bagian tanduk (cornua) uterus. Metode intrauterine dilakukan dengan cara membedah bagian lekuk lapar sehingga uterus dapat terlihat. Metode intrauterine memungkinkan semen dapat langsung disuntikkan di bagian tanduk uterus menggunakan spuit jarum suntik.
Teknik IB dengan deposisi semen secara intrauterine dapat dilakukan dengan memanfaatkan alat bantu berupa laparoskopi. Tetapi aplikasi metode IB secara intrauterine sulit diterapkan di lapang dengan jumlah akseptor yang banyak,
karena dibutuhkan alat khusus (laparoskopi)
yang mahal dan tenaga terampil dalam mengoperasikan alat serta tenaga ahli bedah. Biaya pelaksanaan IB per ekor menjadi lebih mahal dan memerlukan waktu lebih lama dalam pelaksanaannya.
Gambar 3.73. Pemeriksaan kebuntingan dengan USG
LAKIP PTPP TAHUN 2016
161
FORMULASI PAKAN Formulasi pakan perlu dilakukan menggunakan kombinasi berbagai komponen sehingga di samping pemenuhan bahan kering, kebutuhan protein tercerna, energi metabolis, vitamin, dan mineral juga dapat terpenuhi (Prawirodigdo, 2008). Hasil analisa kandungan nutrisi bahan pakan yang sudah dilakukan selanjutnya dijadikan dasar penyusunan formulasi pakan sapi potong di Kabupaten Bantaeng. Dasar formulasi pakan menggunakan acuan kebutuhan untuk ternak sapi Bali, hal ini dikarenakan populasi sapi Bali di Kabupaten Bantaeng lebih banyak dibandingkan
jenis
sapi
potong
lainnya
(tabel
7).
Sedangkan
kandungan
nutrisi
konsentrat/pakan komplit yang adalah kadar air maks 15%; protein kasar 9-12%; lemak kasar maks 4%; serat kasar 20%; abu maks 10%; TDN min 60%; Ca 1,0% dan P 0,5% (Puslitbangtan, 2007
Hasil formulasi pakan sapi potong menggunakan bahan pakan lokal yang ada di Kabupaten Bantaeng disajikan dalam tabel 8 dan 9 di bawah ini. Hasil formulasi ini dihitung berdasarkan standar kebutuhan ternak sapi potong dengan harga yang relative lebih murah dibandingkan konsentrat sapi potong yang banyak dijual di pasaran. Pemanfaatan bahan pakan lokal sebagai pakan ternak sangat potensial dikembangkan setelah sebelumnya dilakukan identifikasi potensi ketersediaannya dan kandungan nutrisinya.
Tabel 3.12. Potensi limbah sebagi bahan pakan ternak di Kabupaten Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
162
WBS.6 TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL (PASCA PANEN) Wp 6.1 Peningkatan Mutu Hasil Perikanan Inovasi Produk Olahan 1. Uji Coba produk inovatif olahan ikan Uji coba proses produksi produk inovatif olahan ikan yang dilakukan adalah membuat produk olahan dari ikan bandeng dan diberi nama “Crispy Bandeng”.
Gambar 3.74. Diagram alir proses produksi “Chrispy Bandeng”
Dari proses pembuatan chrispy bandeng dapat disimpulkan bahwa : Perlakuan penambahan tepung tulang bandeng yang dilakukan yaitu kadar 0%, 5%, 10% dan 15%. Penambahan tepung tulang bandeng dilakukan sejak pencampuran awal bersamaan dengan bahan-bahan penyusun crispy bandeng yang lain. Penambahan tepung tulang bandeng bertujuan untuk lebih meningkatkan cita rasa dan aroma yang khas dari ikan bandeng, serta pemanfaatan tulang-tulang bandeng sebagai limbah sehingga produk crispy bandeng ini bersifat zero waste.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
163
Proses pencetakan dilakukan secara manual dengan menggunakan alat pencetak. Bentuk chrispy bandeng bisa juga di variasi, misalkan berbentuk chip, atau bisa juga berbentuk stik. Rasa produk chrispy bandeng sangat kental dengan rasa ikan bandeng, karena di perkuat oleh tepung tulang bandeng. Namun, bisa dibuat variasi rasa, seperti rasa pedas dan rasa keju. Tentu saja hal ini bisa memberikan alternatif bagi konsumen.
2. Uji Coba produk inovatif olahan pangan berbahan tepung jagung Bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan produk olahan berbasis bahan baku lokal ini adalah tepung jagung yang dibuat dari jagung pipil. Untuk mendapatkan tepung jagung maka jagung pipil terlebih dahulu harus dibuat menjadi tepung. Metoda yang dilakukan adalah dengan melaksanakan percobaan-percobaan sampai didapatkannya suatu formula dan proses yang tepat untuk menghasilkan produk – produk olahan berbahan baku lokal di Kabupaten Bantaeng.
Secara singkat pembuatan tepung jagung meliputi tahapan sebagai berikut : Tahap pembuangan kulit ari (penyosohan), tahap pemecahan jagung pipil dengan menggunakan disk mill, tahap perendaman, tahap penggilingan, tahap pengayakan, pengeringan, pengemasan. Hampir semua produk makanan dapat dibuat dari tepung jagung (sebagai pengganti terigu), kecuali jenis produk roti. Beberapa produk yang diuji cobakan pembuatannya antara lain : tortila, cake jagung, cireng dan cookies jagung. Pelaksanaan uji coba pembuatan produk dilakukan di Laptiab, Puspiptek pada bulan Agustus 2016.
Diseminasi/Pelatihan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Pelaksanaan kegiatan pelatihan ini bertujuan untuk : Meningkatkan kemampuan teknis pengolahan, pembuatan/pengembangan produk, dan kemampuan pengolahan usaha (bisnis) untuk pengembangan usaha. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta pelatihan dalam membuat dan memproduksi produk olahan secara baik dan benar yang memenuhi prinsip sanitasi dan higienis. Memperkaya pilihan jenis olahan bagi konsumen dengan tersedianya diversifikasi produk.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
164
Meningkatkan nilai tambah produk olahan ikan sehingga berdampak pula pada pendapatan pelaku usaha (POKLAHSAR) perikanan. Mengetahui cara pembuatan diversifikasi olahan hasil perikanan dan olahan pangan berbahan baku lokal. Sasaran secara umum dari kegiatan ini adalah terlaksananya pelatihan diversifikasi produk olahan hasil perikanan dan olahan pangan berbahan baku lokal, Program Pengembangan Kawasan Technopark Kabupaten Bantaeng, Tahun Anggaran 2016. Sasaran khusus dari pelaksanaan diseminasi / pelatihan ini antara lain adalah : Peserta mendapatkan pemahaman tentang cara membuat produk yang murah dan disukai konsumen (laris). Peserta mendapatkan pemahaman mengelola usaha (bisnis) yang efektif hingga usahanya dapat berkembang menjadi besar. Peserta kegiatan Diseminasi Teknologi Pengolahan Hasil perikanan dan Pangan Lokal ini diikuti oleh 22 orang peserta (dari 25 orang/kelompok yang diundang), dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) pengolahan ikan/rumput laut, serta dari Kelompok Wanita Tani (KWT) Pengolahan Pangan, dan 5 orang peserta diluar undangan yang merupakan kelompok mahasiswa yang sedang melakukan PKL di Sentra Pengolahan. Daftar hadir peserta kegiatan Diseminasi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Pangan Lokal (terlampir) Penyelenggara Kegiatan Diseminasi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan dan Pangan Lokal, Program Teknopark Kabupaten Bantaeng adalah kerjasama antara Pusat Teknologi Agroindustri BPPT dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
165
Gambar 3.75. Pelatihan diseminasi teknologi pengolahan pasca panen
Kegiatan diseminasi/pelatihan dihadiri oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bantaeng, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bantaeng dan Kepala Bappeda Sekaligus Ketua Tim Koordinator Kegiatan Technopark Bantaeng 2016.
Dalam pelaksanaan pelatihan ini disampaikan 3 jenis produk
berbahan baku hasil perikanan dan pangan lokal. 3 Produk tersebut adalah Stick Bandeng, Kue Lapis Ganyong (Ta’sabbe) dan Olahan Tapioka. Bahan baku lokal yang digunakan antara lain mengangkat potensi lokal Kabupaten Bantaeng yaitu Pati Ganyong (Ta’sabbe) dan Tapioka.
Gambar 3.76. Pengolahan produk inovatif pati ganyong/Ta’sabbe dan Produk (Stick Bandeng) dalam kemasan
LAKIP PTPP TAHUN 2016
166
DISAIN KEMASAN PRODUK OLAHAN Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam membuat desain kemasan antara lain:
Aspek visual yang mencangkup rana estetika seperti ide, konsep, desain, persepsi dan psikologi warna, serta karakter yang ingin ditampilkan atau disampaikan dalam media komunikasi Visual atau informa siapa yang akan disampaikan.
Aspek fungsionalnya seperti daya tarik dalam keefektifitasan dan efisiensi sebuah kemasan yang di tujukan terhadap pihak konsumen serta distributor. Seperti dapat melindungi produk yang diinginkan, praktis baik dalam bentuk fisik maupun segi fungsinya, porsi yang sesuai terhadap jenis maupun quantity produk.
Aspek keunikan untuk menonjolkan keunggulan poin dari segi bentuk maupun desain yang memudahkan untuk bersaing dengan kompetitor produk.
Aspek kesesuaian sebuah kemasan harus sesuai dengan produk yang akan dikemas.
Pada kegiatan ini disain kemasan Snack Kakatus, Narutop, Rulika, Sarang Rumput, Stik Arla, dan Chesstick, dikemas dengan menggunakan kemasan dari bahan aluminium foil full printing. Kemasan dibuat model center seal.
Pemilihan bahan kemasan ini untuk kemasan primer
dianggap sebagai bahan pengemas yang mempunyai keunggulan lebih dibanding dengan pengemas lain karena sifatnya yang ringan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, C02. kemasan berisikan data tentang merek, izin PIRT, info komposisi produk, kandungan nilai gizi, tanggal kadaluarsa dan berat/isi. Ukuran yang digunakan untuk produk ini adalah 15 x 22 cm.
Kemasan Bandeng asap, Bahan sekunder yang digunakan adalah kertas dupleks yang berwarna abu-abu.
Gramasi yang digunakan adalah 250gr, dengan finishing double laminasi untuk
antisipasi kerusakan kemasan pada proses penyimpanan, mengingat suhu penyimpanan produk bandeng asap adalah suhu dingin.
Kemasan Bakso ikan, bahan primer yang digunakan adalah plastik, dan kemasan sekunder yang digunakan adalah kertas duplek yang berwarna putih. Gramasi yang digunakan adalah 250 gr, dengan finishing double laminasi untuk
antisipasi kerusakan kemasan pada proses
penyimpanan, mengingat suhu penyimpanan produk bakso ikan adalah suhu beku.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
167
Gambar 3.77. Disain 10 (sepuluh) kemasan dengan berbagai macam ukuran dan bahan
Bentuk dan ukuran kemasan telah sesuai sehingga memudahkan untuk cara penaganan dan pemasarannya.
Bahan kemasan yang dipilih tidak mengandung bahan kimia yang dapat
bereaksi dengan bahan yang dikemas atau mengandung racun yang dapat membahayakan konsumen.
Pada kemasan juga terdapat penggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami, sehingga informasi tentang komposisi, saran penyimpanan, kadaluarsa dapat diketahui dengan sangat mudah oleh konsumen, selain itu juga terdapat cara untuk menyajikan produk, sehingga sangat memudahkan konsumen dalam penyajiannya.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
168
3.2. Tabel Ringkasan A.
TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO DALAM RANGKA MP3EI KORIDOR IV (SULAWESI SELATAN) Tabel 3.13. Tabel ringkasan Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan) Sasaran Strategis: Pengkajian dan penerapan teknologi produksi pertanian Indikator Kinerja Utama: Prototipe formula pemercepat penyambungan pada metode grafting kakao Penjelasan Indikator Kinerja: Prototipe formulas pemercepat penyambungan pada metode grafting kakao untuk mendukung kompatibilitas batang kakao pada produksi bibit kakao dalam jumlah besar dengan sambung pucuk Capaian Kinerja Program/kegiatan Bukti Pendukung Mitra Output Pengembangan Satu Prototipe formula Data ilmiah uji Balitbangda Teknologi Produksi pemercepat kompatibilitas Sulawesi Selatan Kakao dalam Rangka penyambungan pada sambungan kakao dan MP3EI Koridor IV metode grafting kakao formulasi pemercepat (Sulawesi Selatan) sambungan kakao `Mulako` B. KAJIAN PENANDA DNA UNTUK IDENTIFIKASI TANAMAN INDUK DAN VARIASI EPIGENETIK TANAMAN KARET HASIL PROPAGASI SECARA IN VITRO DAN EX
VITRO Tabel 3.14. Tabel ringkasan Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex Vitro Sasaran Strategis: Pengkajian dan penerapan teknologi produksi pertanian Indikator Kinerja Utama: Prototipe bibit karet hasil propagasi yang terverifikasi Penjelasan Indikator Kinerja: Prototipe bibit karet hasil propagasi in vitro dan ex vitro yang diverifikasi adanya gen-gen unggul untuk karet dengan menggunakan penandan DNA tertentu sehingga menghasilkan klon karet sesuai dengan yang diharapkan Program/kegiatan Capaian Kinerja Output Bukti Pendukung Mitra Kajian Penanda DNA Kajian literatur penanda Data primer SSR untuk Identifikasi DNA pada identifikasi PCR untuk Tanaman Induk dan tanaman karet kegiatan Variasi Epigenetik menggunakan mikrosatelit amplifikasi DNA Tanaman Karet Hasil (kegiatan tidak berlanjut karet Propagasi Secara In karena pemotongan Vitro dan Ex Vitro anggaran)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
169
C. IDENTIFIKASI SELURUH GEN YANG TEREKSPRESI DAN PEMBUATAN LIBRARY cDNA SEBAGAI BAHAN TRANSFORMASI GENETIKA PADA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) Tabel 3.15. Tabel ringkasan Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Sasaran Strategis: Pengkajian dan penerapan teknologi produksi pertanian Indikator Kinerja Utama: Paket informasi gen-gen potensial untuk produk bernilai tinggi (Tocoperol) pada kelapa sawit Penjelasan Indikator Kinerja: Informasi tentang gen-gen potensial untuk produk yang bernilai tinggi dalam hal ini tocoferol dibutuhkan untuk dapat mengetahui keberadaan gen pendukung keberadaan tocoferol pada bibit kelapa sawit. Adanya pemetaan gen-gen potensial pada bibit kelapa sawit akan memudahkan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit Program/kegiatan Capaian Kinerja Output Bukti Pendukung Mitra Identifikasi Seluruh Gen yang Kajian literatur proses Kajian literatur Terekspresi dan Pembuatan isolasi RNA pada kelapa tokoferol dan Library cDNA sebagai Bahan sawit (kegiatan tidak tahapan isolasi Transformasi Genetika pada berlanjut karena RNA dari kelapa Kelapa Sawit (Elaeis pemotongan anggaran) sawit Guineensis Jacq.) D.
PEREKAYASAAN TEKNOLOGI STRAIN UNGGUL UDANG GALAH MELALUI TEKNOLOGI NEOFEMALE DAN NILA (SALINA DAN MARINE TILAPIA) Tabel 3.16. Tabel ringkasan Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina dan Marine Tilapia) Sasaran Strategis: Pengkajian dan penerapan teknologi produksi pertanian Indikator Kinerja Utama: Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk Udang Galah Penjelasan Indikator Kinerja: Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk diperlukan untuk menghasilkan neofemale dalam rangka produksi benih udang galah. Udah galah monosex jantan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dapat dihasilkan dari perkawinan neofemale dengan jantan normal.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
170
Program/kegiatan Capaian Kinerja Output Perekayasaan 1) Larva dan Juvenil Teknologi Strain udang galah telah Unggul Udang Galah dihasilkan untuk Melalui Teknologi mendukung aplikasi RNAi Neofemale dan Nila dsRNA MrIAG, tetapi (Salina dan Marine tingkat kelangsungan Tilapia) hidupnya masih sangat rendah. 2.) Koleksi populasi udang galah dari 3 lokasi yaitu Sungai Peurlak (Aceh) untuk selanjutnya disebut populasi Aceh, strain SIRATU dari Pelabuhan Ratu dan Bengawan Solo (diperoleh dari BBUG Probolinggo) selanjutnya disebut populasi Bengawan Solo. 3.) Isolasi gen MrIAG telah berhasil diisolasi dari gen androgen udang galah SIRATU, 4.) Prototype dsRNA MrIAG yang berasal dari gen androgen udang galah jantan. 5.) Sekuen partial gen MrIAG telah disubmit ke bank gene dengan website www.ncbi.nlm.nih.gov, dengan nomor bankit 1964614 dan nomor aksesi KY074553
LAKIP PTPP TAHUN 2016
Bukti Pendukung Mitra Sekuen partial gen MrIAG telah disubmit ke bank gene dengan website www.ncbi.nlm.nih.gov, dengan nomor bankit 1964614 dan nomor aksesi KY074553
171
E. TEKNOLOGI PETERNAKAN SAPI TERPADU DI PERKEBUNAN SAWIT Tabel 3.17. Tabel ringkas Teknologi Peternakan Sapi Terpadu di Perkebunan Sawit Sasaran Strategis: Terlaksananya pengkajian dan penerapan teknologi produksi pertanian. Indikator Kinerja Utama: Kandidat prototype-e pakan sapi komplit berbahan limbah sawit Penjelasan Indikator Kinerja: Prototipe pakan ternak berbasis limbah industri sawit meruapakan prototipe pakan ternak sapi yang diformulasikan menggunakan bahan baku limbah industri sawit menggunakan software SiPandai yang dilengkapi dengan suplementasi pakan (Mintech, Probiotech dan Nutritech) sebagai pakan kompplit ternak sapi penggemukan dan pembibitan Program/kegiatan Capaian Kinerja Bukti Pendukung Mitra Output Pengembangan dan Pemanfaatan teknologi pakan sapi berbasis limbah industri kelapa sawit
LAKIP PTPP TAHUN 2016
1. Dihasilkannya 2 prototipe pakan lengkap sapi berbasis limbah industri sawit 2. Dihasilkannya 1 prototipe pakan probiotik (beta) 3. Dihasilkannya 1 protoitpe software Sipinter 4. Dihasilkannya 1 prototipe software SipAndai 5. Dihasilkannnya 1 prototipe pakan suplemen 6. Dihasilkannya 1 desain penggembalaan terkontrol 7. Dihasilkannya 1 prototipe hijauan makanan ternak protein tinggi pada lahan marjinal 8. Dihasilkannya rekomendasi perbanyakan benih HMT protein tinggi
-
Data uji kualitas pakan terhadap performans ternak (penggemukan dan pembibitan) beserta data nutrisinya
-
Data pengujian probiotik pada ternak secara in vitro dan in vivo
-
Terkumpulnya database bahan pakan secara digital dan formulasi pakan hasil formulasi sipandai
-
Terkumpulnya database ternak produktifitas dalam 1 rekaman produktifitas
1. Dinas Peternakan kabupaten pelalawan 2. Kelompok Ternak Karya Lestari, Krumutan 3. PT. Sulung ranch 4. PT Medco
172
9. Dihasilkannya rekomendasi pengelolaan dampak inetgrasi sapi sawit
-
Data hasil uji antagonistik APH terhadap Ganoderma
-
Data identifikasi Ganoderma secara manual dan biomolekuler pada kebun sawit yang akan dilakukan penggembalaan
-
Data produktifitas penggembalaan terkontrol melalui desain yang diterapkan
F. PENGEMBANGAN KAWASAN TECHNOPARK BANTAENG Tabel 3.18. Tabel ringkasan Pengembangan Kawasan Technopark Bantaeng Sasaran Strategis: Pengkajian dan penerapan teknologi produksi pertanian Indikator Kinerja Utama: Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan organisasi, review site plan, logo/identitas, diseminasi/alih teknologi perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng Penjelasan Indikator Kinerja: Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan organisasi, review site plan, logo/identitas, diseminasi/alih teknologi perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng untuk meningkatkan daya saing daerah dan menjadikan Bantaeng sebagai sentra produksi benih di Sulawesi Selatan dan Indonesia Bagian Timur. Program/kegiatan Capaian Kinerja Output Bukti Pendukung Mitra Pengembangan 1. Siteplan kawasan 1. Dokumen 1. Pemda Kawasan manajemen Technopark masterplan Kabupaten Technopark Bantaeng Technoaprk Bantaeng Bantaeng Bantaeng 2. Institut 2. Peraturan Bupati Pertanian Bogor Bantaeng tentang 2. SK Bupati pembentukan organisasi Bantaeng 3. Program dan tata kerja UPT Diploma IPB 3. Data analisis
LAKIP PTPP TAHUN 2016
173
Technopark Bantaeng 3.
ekonomi Bantaeng
Analisis potensi ekonomi Kab. Bantaeng untuk 4. Logo mendukung keberhasilan Technopark Technopark Bantaeng Bantaeng
4.
Logo Technopark
5.
Pembentukan PPBT bidang perbenihan dengan terbentuknya Koperasi Produsen Benih 6. Data dan calon Tanaman Pangan tenant bidang pertanian, Instalasi pabrik pupuk perikanan dan hayati organik peternakan
6. 7.
Implementasi teknologi dan pendampingan tenant pada produksi benih padi, satoimo, jagung dan kentang
8.
implementasi teknologi produksi benih ikan nila gesit, salina dan nila laut
9.
Pendampingan pembuatan kebun bibit rumput laut
4. Kementerian Ristekdikti 5. BPSB-TPH Sulawesi Selatan
5. Sertifikat pembentukan PPBT Kab. Bantaeng
7. Desain kemasan produk UKM Kab. Bantaeng
10. Aplikasi teknologi sinkronisasi estrus dn IB pada kambing dan sapi 11. Peningkatan kapasitas pengolahan hasil perikanan dan desain kemasan untuk produk UKM Kab. Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
174
3.3. Capaian Kinerja Organisasi Sasaran strategis dari Pusat Teknologi Produksi Pertanian adalah Inovasi dan layanan teknologi produksi pertanian. Sedangkan Indikator kinerja utama dari PTPP tahun 2016 adalah: Inovasi Teknologi Peningkatan Daya saing industri kakao karet dan sawit -
Protipe formula pemercepat penyambungan pada metode grafting kakao
-
Protitpe bibit karet hasil propagasi yang terverifikasi
-
Paket informasi gen-gen potensial untuk produk bernilai tinggi (tokofderol) pada kelapa sawit
Inovasi teknologi peningkatan produksi pangan sumber protein -
Prototipe formula dsRNAi-IAG(Double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk udang galah
-
Kandidat 2 prototpipe pakan sapi berbahan limbah sawit
Kawasan technopark -
Paket inovasi teknologi pada technopark (Pembentukan kelembagaan dan organisasi, review site plan, logo/identittas, dismeniasi/alih teknologi pembenihan, technopreuner/ PPBT) di kabupaten Bantaeng.
Dalam penetapan indicator kinerja tingkat lembaga sampai Unit Kerja/ Satuan Kerja, BPPT selalu berupaya memenuhi kriteria: a) Spesifik
LAKIP PTPP TAHUN 2016
: Sifat dan tingkat kinerja dapat diidentifikasi dengan jelas; 175
b) Dapat diukur
: Target Kinerja dinyatakan dengan jelas dan terukur bai bagi indicator yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan biaya;
c) Dapat dicapai
: Target Kinerja dapat dicapai terkait dengan kapasitas dan sumberdaya yang ada;
d) Relevan
: Mencerminkan keterkaitan (relevansi) antara target output dalam rangka mencapai target outcome yang ditetapkan; serta antara target
outcome dalam rangka mencapai target impact yang ditetapkan; dan e) Kurun waktu
: Waktu/ periode pencapaian kinerja yang ditetapkan
Contoh salah satu pemenuhan kriteria indicator kinerja untuk IKU PTPP adalah dari kegiatan pengembangan integrasi sapi sawit dalam menghasilkan model integrasi yang terdiri dari beberapa output yaitu prototip, pengujian dan rekomendasi. Tabel 3.3. Contoh kriteria indicator kinerja untuk pengembangan dan pemanfaatan teknologi pakan ternak berbasis limbah industri sawit yang output prototipe pakan Kriteria Penjelasan Prototipe pakan lengkap sapi berbasis limbah indsutri sawit adalah pakan lengkap Spesifik ternak sapi berbahan baku limbah sawit dan keun sawit yang dilengkapi dengan pakan suplemen spesifik lokasi (mineral, vitamin, dll). Keunggulan dari prototype pakan sapi komplit berbahan limbah sawit yaitu mempunyai kandungan nutrisi sesuai dengan kbuetuhan ternak sapi potong untuk Dapat penggemukan (Protein > 12%, Energi TDN > 60%). Dapat meningkatkaan satu diukur satuan pertambahan bobot badan per konsumsi pakan (Kg PBB/Kg konsumsi pakan) Dapat dicapai Relevan Kurun waktu
Pelaksanaan implementasi pada mitra dengan dimanfaatkannya prootipe pakan tertsebut oleh indutri kecil menengah (IKM) di kabupaten Pelalawan sebagai wilayah percontohan Untuk mendapatkan prootipe pakan sapi bali berbahan baku limbah sawit yang mampu meningkatkan pertambahan bobot badan 0,5 – 0.7 Kg/hari Prototipe pakan mulai dikerjakan pada tahun 2015 untuk prootipe-alpha uji 1 lokasi dan 2016 untuk protoitpe alpha uji multilokasi.
Capaian kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian untuk seluruh indikator kinerja utama, adalah sebagai berikut:
LAKIP PTPP TAHUN 2016
176
3.3.1. Perbandingan antara target dengan realisasi kinerja tahun ini A. Jumlah Prototype Teknologi Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan) (Prototipe Biopestisida) Prosentase capaian kinerja =
x 100%
Prosentase capaian kinerja =
x 100% = 100%
Tabel 3.19. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1 Indikator kinerja Jumlah Prototipe formula pemercepat penyambungan pada metode grafting kakao
Target
Realisasi
%
1
1
100
Program/kegiatan Pengembangan Teknologi Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan)
Mitra Balitbangda Sulawesi Selatan
B Jumlah Prototipe Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex Vitro (Prototipe Bibit Karet yang Terverifikasi) Prosentase capaian kinerja =
Prosentase capaian kinerja =
x 100%
x 100% = 100%
Tabel 3.20. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1 Indikator kinerja Jumlah Prototipe bibit
LAKIP PTPP TAHUN 2016
Target Realisasi 1 0
% 0
Program/kegiatan Kajian Penanda DNA
Mitra
177
karet hasil propagasi yang terverifikasi
(pemotongan anggaran)
untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex Vitro
C Jumlah Prototype Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) (Paket Informasi Gen dalam Kelapa Sawit) Prosentase capaian kinerja =
Prosentase capaian kinerja =
x 100%
x 100% = 100%
Tabel 3.21. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1 Indikator kinerja Paket informasi gengen potensial untuk produk bernilai tinggi (Tocoperol) pada kelapa sawit
Target Realisasi
1
%
0 (pemotongan 0 anggaran)
Program/kegiatan Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.)
Mitra
D. Jumlah Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina dan Marine Tilapia (Prototipe formula dsRNAi-IAG) Prosentase capaian kinerja =
Prosentase capaian kinerja =
x 100%
x 100% = 100%
Tabel 3.22. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 1
LAKIP PTPP TAHUN 2016
178
Indikator kinerja Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk Udang Galah
Target
Realisasi
%
1
1
100
Program/kegiatan Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina dan Marine Tilapia)
Mitra
E. Jumlah Prototipe Teknologi Produksi Pangan Sumber Protein dari Unggulan Perikanan Budidaya dan Peternakan (Prototipe Pakan) x 100%
Prosentase capaian kinerja =
Prosentase capaian kinerja =
x 100% = 100%
Tabel 3.23. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 2 Indikator kinerja Jumlah Kandidat prototype-e pakan sapi komplit berbahan limbah sawit
Target Realisasi
%
1
100
1
Program/kegiatan Teknologi Peternakan Sapi Terpadu di Perkebunan Sawit
Mitra Dinas Peternakan Kabupaten Pelalawan
F. Jumlah Paket Inovasi Teknologi Pengembangan Kawasan Teknopark Bantaeng (Paket Inovasi Teknologi) Prosentase capaian kinerja =
Prosentase capaian kinerja =
x 100%
x 100% = 100%
Tabel 3.24. Perbandingan antara target dan realisasi kinerja IKU 2
LAKIP PTPP TAHUN 2016
179
Indikator kinerja Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan organisasi, review site plan, logo/identitas, diseminasi/alih teknologi perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng
Target Realisasi %
1
1
Program/kegiatan Pengembangan Kawasan Teknopark Bantaeng
Mitra Pemda Kabupaten Bantaeng
100
3.3.2. Perbandingan Antara Realisasi Kinerja Serta Capaian Kinerja Tahun Ini dengan Tahun Lalu dan Beberapa Tahun Terakhir Tabel 3.25. Perbandingan capaian kinerja PTPP tahun ini dengan beberapa tahun terakhir Capaian Tahun Indikator Kinerja Target Realisasi (%) Jumlah Prototipe 3 3 100 2016 Jumlah Paket Inovasi Teknologi 1 1 100 2015 Jumlah Prototipe 2 2 100 2104 Jumlah Rekomendasi 1 1 100 Jumlah Rekomendasi 4 4 100 2013 Jumlah prototype 1 1 100
A. Jumlah Prototype Teknologi Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan) -
Relisasi serta capaian kinerja tahun 2016 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu 1 prototipe formula pemercepat penyambungan pada metode grafting kakao
-
Relisasi serta capaian kinerja tahun 2015 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu 1 prototipe teknologi produksi biopestisida berbahan baku
Beauveria bassiana dan biofungisida berbahan baku Trichoderma asperellum untuk untuk peningkatan produktivitas Kakao yang teruji secara in vitro.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
180
-
Relisasi serta capaian kinerja tahun 2014 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu 1 Rekomendasi teknologi produksi kakao melalui perbaikan teknik budidaya.
-
Realisasi serta capaian kinerja tahun 2013 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu dihasilkannya 4 rekomendasi (Penyediaan Bibit Tanaman Kakao Secara Ex vitro, Optimasi Teknik Budidaya Kakao, Penerapan Teknologi Pengolahan Pasca Panen dan Produk Antara dan Produk Hilir Kakao, dan Kebijakan Pengembangan Industri Kakao Nasional) dan 1 prototype roodstock bibit kakao in vitro.
B. Jumlah Prototype Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex
Vitro -
Relisasi serta capaian kinerja tahun 2016 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu 1 kajian literatur penanda DNA pada identifikasi tanaman karet menggunakan mikrosatelit (kegiatan tidak berlanjut karena pemotongan anggaran).
C. Jumlah Prototype Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis
Guineensis Jacq.) -
Relisasi serta capaian kinerja tahun 2016 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu 1 kajian literatur proses isolasi RNA pada kelapa sawit (kegiatan tidak berlanjut karena pemotongan anggaran)
D. Jumlah Prototype Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina dan Marine Tilapia) -
Relisasi serta capaian kinerja tahun 2016 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu 1 prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk Udang Galah.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
181
E. Jumlah Prototipe Teknologi Pakan Ternak Berbasis Limbah Industri Sawit
Realisasi serta capaian kinerja tahun 2016 terkait kegiatan pengembangan dan pemanfaatan teknologi pakan ternak berbasis limbah industri kelapa sawit yaitu 100%, yaitu 1 Prototipe-1 pakan ternak sapi potong berbahan baku limbah sawit alpha fase grower.
Realisasi serta capaian kinerja tahun 2015 terkait kegiatan pengembangan integrasi sawit yaitu 100%, yaitu 1 Prototipe-1 pakan ternak sapi potong berbahan baku limbah sawit.
Realisasi serta capaian kinerja tahun 2014 terkait kegiatan pengembangan integrasi sapi sawit yaitu 100%, yaitu dihasilkannya 1 rekomendasi teknologi teknologi produksi peternakan dalam system integrasi sapi sawit yang perlu di kembangkan.
F. Jumlah Paket Inovasi Teknologi Pengembangan Kawasan Technopark Bantaeng -
Relisasi serta capaian kinerja tahun 2016 terkait kegiatan teknologi produksi kakao adalah 100%, yaitu 1 Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan organisasi, review site plan, logo/identitas, diseminasi/alih teknologi perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng
LAKIP PTPP TAHUN 2016
182
3.3.3. Perbandingan Realisasi Kinerja Sampai dengan Tahun Ini dengan Target Jangka Menengah Yang Terdapat dalam Dokumen Perencanaan Strategis A. Jumlah Prototype Teknologi Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan) (Prototipe Biopestisida)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
183
Gambar 3.78. Peningkatan capaian kinerja output kegiatan produksi kakao dalam rangka MP3EI koridor 4 (Sulawesi Selatan) menuju target akhir sesuai renstra
B. Jumlah Prototipe Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex Vitro Tahun 2016 : Prototipe bibit karet hasil propagasi yang terverifikasi (Kegiatan telah selesai tahun 2016 karena pemotongan anggaran)
LAKIP PTPP TAHUN 2016
184
C. Jumlah Prototype Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Tahun 2016 : Prototipe paket informasi gen-gen potensial untuk produk bernilai tinggi (Tocoperol) pada kelapa sawit Kegiatan telah selesai tahun 2016 karena pemotongan anggaran)
D. Jumlah Prototipe Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina dan Marine Tilapia) Tahun 2016 : Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk Udang Galah
E. Jumlah Prototipe Teknologi Peternakan Sapi Terpadu di Perkebunan Sawit Tahun 2015 : prototpe-1 : prototipe pakan komplit ternak sapi teruji invitro dan in vivo satu lokasi Tahun 2016 : prototipe-2 : prototipe 1 yang teruji multi lokasi Tahun 2107 : protipe beta : prorotipe pakan berbasis limbah idustri sawit untuk penggemukan yang sudah mencapai TRL 7
LAKIP PTPP TAHUN 2016
185
PROTOTIPE-1 PAKAN LENGKAP LIMBAH SAWIT BPPT
Teknologi Pengolahan Pakan Pellet, Cube dan Wafe
2015 Uji Fisik Ketahanan Bentuk
Uji In Vitro
Uji In Vivo Performans
Uji In Vivo Metabolisme
Performans Ternak
Emisi gas Methane
Daya Cerna in Vivo
PROTIPE-2 PAKAN LENGHKAP BPPT
2016
Gambar 3.79. Peningkatan capaian kinerja output kegiatan Prototipe Pakan Ternak Untuk Produksi Pangan Sumber Protein
F. Jumlah Paket Inovasi Teknologi Pengembangan Kawasan Teknopark Bantaeng Tahun 2016 : 1 Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan organisasi,
review
site
plan,
logo/identitas,
diseminasi/alih
teknologi
perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng Tahun 2017 : 5 tenant PPBT berbadan hukum dalam bidang perbenihan dan pasca panen
LAKIP PTPP TAHUN 2016
186
3.3.4. Analisis Penyebab Keberhasilan/Kegagalan atau Peningkatan/ Penurunan Kinerja Serta Alternative Solusi yang Telah Dilakukan a. Faktor penyebab keberhasilan kinerja:
PTPP memiliki teknologi dan peralatan yang memadai untuk melakukan kegiatan pengembangan teknologi produksi pertanian (tanaman kakao, udang galah, ikan dan ternak sapi).
PTPP memiliki SDM yang kompeten dalam bidang teknologi produksi pertanian (tanaman kakao, perikanan dan ternak sapi).
Dukungan para mitra terhadap kegiatan pengembangan teknologi produksi pertanian yang dilakukan PTPP
b. Faktor penyebab kegagalan kinerja:
Adanya kebijakan pemerintah pusat mengenai pemotongan anggaran penghematan dan lainnya menyebabkan pencapaian kinerja terlambat dari waktu yang telah ditentukan
c. Faktor penyebab penurunan kinerja:
Jumlah sumberdaya manusia yang tersedia di bidang peternakan masih kurang apabila dibandingkan dengan jenis dan kuantitas pekerjaan yang dilakukan. Kurangnya jumlah SDM ini disebabkan oleh beberapa staf yang telah purna bakti dan/atau diperbantukan di instansi lain.
Anggaran cair sering tidak tepat waktu, produksi pakan dan uji secara in vivo terhadap ternak terlambat dilakukan sehingga dilakukan pada batas minimal periode uji in vivo yang dapat diterima secara ilmiah (3 bulan).
Anggaran tidak bisa cair di awal tahun (Februari-Maret) untuk mengakomodir pengambilan sampel dan pengukuran produksi vegetasi cover crop di perkebunan sawit ketika musim hujan
d. Alternatif solusi yang telah dilakukan:
Mengusulkan kebutuhan SDM peternakan untuk perekrutan staf baru BPPT.
Merencanakan dan mengusulkan pencairan dana di bulan Februari tahun 2016 untuk memperoleh sampel dan data produksi vegetasi cover crop di perkebunan sawit.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
187
a. Analisis efisiensi penggunaan sumberdaya manusia:
Untuk menunjang keberhasilan kegiatan maka direncanakan untuk penambahan 2 orang staf pada tahun 2016 namun realisasinya tidak ada rekruitmen staf baru. Meskipun demikian kegiatan berhasil dilaksanakan sesuai target yang telah ditetapkan.
b. Analisis efisiensi penggunaan anggaran:
Anggaran yang direncanakan untuk melaksanakan kegiatan Pengembangan Teknologi Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI koridor IV (Sulawesi Selatan) adalah sebesar Rp 1.799.236.000, namun realisasi alokasi anggaran adalah sebesar Rp 1.799.236.000, sehingga kegiatan berhasil dilaksanakan sesuai target yang ditetapkan
Anggaran yang dialokasikan untuk mendukung program kegiatan adalah sebesar Rp. 1.521.064.000,- dengan rincian penggunaan untuk mendukung kegiatan Perekayasaan Teknologi dan Sistem Produksi Udang Galah Unggul (WBS 1) sebesar Rp 155.917.000,- dan kegiatan Perekayasaan Teknologi dan Sistem Produksi Ikan Nila SALINA dan Nila Laut (Marine Tilapia) (WBS 2) sebesar Rp 1.311.478.000,-
Anggaran yang direncanakan untuk melaksanakan kegiatan Pengembangan dan pemanfaatan teknologi pakan ternak berbasis limbah industri sawit adalah sebesar Rp. 1.845.713.000, dengan realisasi alokasi pagu akhir anggaran adalah sebesar Rp 1.495.000.000,- dan Rp. 350.713.000 (pemotongan) (100% dengan pemotongan anggran sebesar 19%)
sehingga menunjang keberhasilan kegiatan yang
dilaksanakan sesuai target yang ditetapkan
3.3.5. Analisis
program
yang
menunjang
keberhasilan
ataupun
kegagalan
pencapaian pernyataan kinerja Dalam
pencapaian
pernyataan
kinerja,
terdapat
beberapa
program/kegiatan
yang
dilaksanakan, yang meliputi:
Pengembangan Teknologi Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan)
Kajian Penanda DNA Untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propagasi Secara In Vitro dan Ex Vitro
LAKIP PTPP TAHUN 2016
188
Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika pada Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina Dan Marine Tilapia)
Pengembangan dn Pemanfaatan Teknologi Pakan Ternak Berbasis Limbah Industri Kelapa Sawit
Pengembangan Kawasan Teknopark Bantaeng
a) Program/ kegiatan yang menunjang keberhasilan pencapaian pernyataan kinerja:
Pengembangan Teknologi Produksi Kakao dalam Rangka MP3EI Koridor IV (Sulawesi Selatan)
Kajian Penanda DNA untuk Identifikasi Tanaman Induk dan Variasi Epigenetik Tanaman Karet Hasil Propoagasi Secara in Vitro dan Ex Vitro
Identifikasi Seluruh Gen yang Terekspresi dan Pembuatan Library cDNA Sebagai Bahan Transformasi Genetika Pada Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.)
Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina Dan Marine Tilapia)
Pengembangan dn Pemanfaatan Teknologi Pakan Ternak Berbasis Limbah Industri Kelapa Sawit
Pengembangan Kawasan Teknopark Bantaeng
b) Program/kegiatan yang menyebabkan kegagalan pencapaian pernyataan kinerja:
Tidak Ada.
3.4. Realisasi Anggaran A. Inovasi Teknologi Peningkatan Daya Saing Industri Kakao, Karet dan Sawit Pagu anggaran awal: Rp. 1.799.236.000, Pagu anggaran akhir: Rp. 1.799.236.000, Realisasi penggunaan anggaran: Rp. 1.799.236.000, - (100%)
B. Perekayasaan Teknologi Strain Unggul Udang Galah Melalui Teknologi Neofemale dan Nila (Salina Dan Marine Tilapia) Anggaran awal: Rp. 1.845.713.000,-
LAKIP PTPP TAHUN 2016
189
Pagu anggaran akhir: Rp. 1.495.000.000, Realisasi penggunaan anggaran: Rp. 1.495.000.000, - (100%)
C. Pengembangan dn Pemanfaatan Teknologi Pakan Ternak Berbasis Limbah Industri Kelapa Sawit Anggaran awal: Rp. 1.521.064.000, Pagu anggaran akhir: Rp. 1.521.064.000, Realisasi penggunaan anggaran: Rp. 1.521.064.000, - (100%)
D. Kawasan Technopark Anggaran awal: Rp. 7.235.660.000, Pagu anggaran akhir: Rp. 3.318.309.000, Realisasi penggunaan anggaran: Rp. 3.156.652.726, - (95.12%)
Secara keseluruhan besarnya pagu anggaran awal untuk semua kegiatan di PTPP adalah sebesar Rp. 12.401.673.000,- setelah beberapa kali revisi (pemotongan dana) maka pagu anggaran akhir menjadi Rp. 8.133.609.000,-. Dari pagu anggaran akhir tersebut terlaksana realisasi anggaran sebesar Rp. 7.971.952.726,- (98.01%). Berdasarkan data ini diketahui bahwa penyerapan anggaran dana PTPP cukup baik yaitu 98.01% dari total pagu anggaran akhir.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
190
BAB IV. PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang telah diuraian dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Pusat Teknologi Produksi Pertanian Tahun 2016 dapat disumpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Hasil pengukuran indikator kinerja utama PTPP sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kinerja 2016 maka diketahui pencapaian sasaran strategis Pusat Teknologi Produksi Pertanian adalah sebesar 100% dengan rincian sebagai berikut : a. Prototipe formula permercepat penyambungan pada metode grafting kakao (100%) b. Prototipe bibit karet hasil propagasi yang terverifikasi (100%) c. Paket informasi gen-gen potensial untuk produk bernilai tinggi (Tocoperol) pada kelapa sawit (100%) d. Prototipe formula dsRNAi-IAG (double stranded Macrobrachium rosenbergii insulin like androgen gland) untuk Udang Galah (100%) e. Kandidat prototype-e pakan sapi komplit berbahan limbah sawit (100%) f.
Paket inovasi teknologi pada Technopark (pembentukan kelembagaan dan organisasi, review site plan, logo/identitas, diseminasi/alih teknologi perbenihan, Technopreneur/PPBT) di Kabupaten Bantaeng (100%)
2. Berdasarkan pelaksanaan anggaran pada tahun 2016 diketahui bahwa pagu anggaran awal sebesar Rp. 12.401.673.000,- setelah beberapa kali revisi (pemotongan dana) maka pagu anggaran akhir menjadi Rp. 8.133.609.000,-. Dari pagu anggaran akhir tersebut terlaksana realisasi anggaran sebesar Rp. 7.971.952.726,- (98.01%). Berdasarkan data ini diketahui bahwa penyerapan anggaran dana PTPP cukup baik yaitu 98.01% dari total pagu anggaran akhir.
3. Perbedaan anggaran yang cukup besar dari pagu awal sampai dengan pagu revisi akhir disebabkan oleh pemotongan dana sebanyak 4 kali selama berjalannya kegiatan di tahun 2016.
Demikian laporan ini disusun dalam rangka pertanggungjawaban atas pelaksanaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Pusat Teknologi Produksi Pertanian, BPPT Tahun 2016.
LAKIP PTPP TAHUN 2016
190