73
ANALISIS KESEJAHTERAAN PETANI JAMBU METE DI KABUPATEN BUTON DAN KABUPATEN MUNA Oleh: Taane La Ola1)
ABSTRACT
Research done to assess levels of prosperity between farmers in the cashew Buton and Muna Regency. Research performed July through November 2010, respectively in the village Bombonawulu and the villages of Mone Subdistrict Gu-Lakudo to Regency Buton and the village Lahontohe and the villages of Labasa Town Tongkuno for Muna. Research purposive location selected by methodological considerations, with a second location is central to cultivation of cashew nuts in Southeast Sulawesi. Respondents weretaken insimple randomsampling200householdseachdistrictso that thetotal400 respondents.Descriptive data analysis using single frequency table of the qualitative, cross-tabulated with the goal of seeing two way welfare rates (income, education, health and consumption). The results showed that the level of welfare in cashew farmers Buton is better seen from income and fulfillment of consumption. Different as compared with the level of well-being of farmers cashew nuts on the lower Muna. However for other welfare measures such as education tends to be better for farmers Muna. The level of health of farmers in all regions of research likely to show the same concern relatively high against the service each month. Key words : welfare, income, education, health, consumption, cashew nuts
PENDAHULUAN Pada umumnya peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian sampai saat ini masih belum memuaskan. Hal ini berkaitan dengan kebijakan yang diterapkan kurang memihak pada sumberdaya dan pasar serta sosial budaya petani di pedesaan. Komoditas pertanian yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah komoditas perkebunan, mengingat Indonesia mempunyai potensi lahan perkebunan yang cukup luas terutama di luar Jawa. Pengusahaan jambu mete (Anacardium occidentale, L) dalam kerangka kepentingan atau permasalahan pembangunan mempunyai nilai strategis terutama berkenaan pemanfaatan lahan marginal, penyelamatan dan pelestarian aset sumberdaya pembangunan karena jambu mete sekaligus menjadi tanaman konservasi lahan marginal (kering dan kritis), (Ditjenbun, 1991) mengingat tanaman ini dapat tumbuh dimana tanaman lain tidak bisa tumbuh (Puryanto, 1983; 1
Abdullah, 1985; Sugiyanto, 1994). Jambu mete di Sulawesi Tenggara telah menjadi tumpuan masyarakat yang tinggal di pedesaan dalam memenuhi kelangsungan hidupnya (survival), serta membuat kehidupan yang lebih baik (a better living). Sebagai komoditas komersial, jambu mete yang diproduksi petani di Sulawesi Tenggara ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hilir. Luas areal perkebunan jambu mete (Anacardium occidentale L) di Indonesia seluas 560.813 Ha dan terluas terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara: 169.926,34 Ha (30,3%) dengan produksi pada tahun 2006 sebesar 40.325 ton (BPS Sultra, 2007). Prospek pasar jambu mete masih terus meningkat dan sumber daya agraria (lahan) yang dapat digunakan untuk mengusahakan tanaman jambu mete masih tersedia walaupun jumlahnya semakin berkurang. Gambaran penting dari keragaman usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara
)Staf Pengajar Jurusan AGRIPLUS, Agribisnis Fakultas Volume Petanian 22 Nomor Universitas : 01Januari Haluoleo, 2012, KendariISSN 73 0854-0128
74
adalah kondisi permodalan usaha jambu mete yang lemah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan keuangan internal dalam keluarga petani, sementara bantuan modal kapital eksternal seperti kredit tanpa agunan dengan bunga rendah akhir-akhir ini, baru mulai diperkenalkan. Petani lebih banyak melakukan jalan pintas dengan meminjam uang kepada pedagang pengumpul yang umumnya juga berprofesi sebagai tengkulak. Menurut data base perkebunan, Puslitbangbung (Indrawanto et al. (2003) bahwa hanya sekitar 8,35% dari pendapatan petani jambu mete di Sulawesi Tenggara dialokasikan untuk tabungan dan investasi usahatani. Fenomena yang menarik adalah perilaku sosial ekonomi petani di dua tempat yang berbatasan antara Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna dimana warganya menunjukkan kegiatan ekonomi yang oleh Scott (1983) dinamakan “etika subsistem” yang pada dasarnya menunjukkan perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal dan umumnya cenderung tidak berani mengambil resiko (ekonomi moral). Perilaku sosial ekonomi petani dalam berusahatani akan berhubungan dengan tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani. Hasil penelitian Putnam (1993) di Italia menemukan bahwa perbedaan struktur sosial yang ada di masing-masing wilayah antara Italia Utara dan Italia Selatan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Italia utara lebih sejahtera dibanding Italia Selatan hal ini disebabkan di Italia Utara terdapat struktur horizontal sedangkan di Selatan Struktur berbentuk hierarki dan akhirnya pada perbedaan modal sosial. Adapun perilaku petani dalam usaha jambu mete pada perbatasan antara dua Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna suatu lokasi pusat jambu mete Propinsi Sulawesi Tenggara, sesuai pengamatan sementara nampak perbedaan dalam kegiatan usaha jambu mete masyarakat. Padahal pada kedua tempat tersebut di diami oleh satu suku yaitu Suku Pancana (Muna), diasumsikan bahwa mereka mempunyai modal sosial yang sama tetapi kenyataannya
menunjukkan perilaku sosial ekonomi mereka berbeda. Berdasarkan beberapa pernyataan yang telah dikemukakan di atas perlu dipahami perbedaan kesejahteraan petani jambu mete di perbatasan dua Kabupaten Buton di daerah GuLakudo dan Kabupaten Muna di daerah Tongkuno. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat kesejahteraan petani jambu mete di perbatasan dua Kabupaten Buton di daerah Gu-Lakudo dan Kabupaten Muna di daerah Tongkuno. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan selama lima bulan, mulai bulan Juli sampai dengan November 2010, di Provinsi Sulawesi Tenggara masing-masing di Desa Bombonawulu dan Desa Mone Kecamatan Gu-Lakudo untuk Kabupaten Buton dan di Desa Lahontohe dan Desa Labasa Kecamatan Tongkuno untuk Kabupaten Muna. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan metodologis, yakni di kedua lokasi terpilih merupakan wilayah sentra budidaya jambu mete di Sulawesi Tenggara. Responden diambil secara acak sederhana (simple random sampling) sekitar 10% dari jumlah populasi rumah tangga 2.141 KK, yaitu masing-masing kecamatan diambil 200 KK sampel sehingga secara keseluruhan berjumlah 400 responden. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (a) Pengumpulan data dengan metode survei melalui daftar kuesioner. (b) Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan melalui pengumpulan informasi dari informan dengan teknik snowball. (c) Pengamatan berperan serta (observation participant). Penelitian ini menggunakan metode pengambilan data kuantitatif maupun kualitatif secara sekuensial. Analisis data secara deskriptif kualitatif menggunakan tabel frekuensi tunggal, tabulasi silang dua arah dengan tujuan melihat tingkat kesejahteraan (pendapatan, pendidikan, kesehatan dan konsumsi).
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
75
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Usahatani Jambu Mete di Kabupaten Buton dan Muna Sentra jambu mete di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten Buton dan Kabupaten Muna dan masih menjual mete dalam bentuk gelondongan, dan sebagian lainnya diolah menjadi produk olahan kacang mete secara tradisional. Pemerintah daerah Sulawesi Tenggara membuka peluang bagi para investor untuk berinvestasi dalam penanganan pasca panen jambu mete. Peluang investasi yang bisa dikembangkan adalah pembangunan pabrik kacang mete, pembuatan selei, sirup dan minyak CNSL (Media Indonesia.com, 2010). Petani penghasil jambu mete di Kabupaten Buton memiliki budaya mengolah mete dibandingkan dengan petani di Kabupaten Muna. Masalah dari pengolahan mete adalah petani belum mengenal luas teknologi tepat guna “pengkacipan mete” (proses pemisahan kacang mete dari biji gelondongan), keterbatasan modal dan tenaga kerja. Saat musim panen tiba, petani mete selain terdesak berbagai kebutuhan (sehingga perlu segera menjual mete), juga kekurangan tenaga kerja, karena seluruh tenaga kerja terserap dalam kegiatan pemungutan dan pengeringan mete. Implikasinya, petani terpaksa menjual mete gelondongan dengan harga murah. Beberapa bulan kemudian, saat harga mete meningkat (seiring dengan kelangkaan mete), petani mete hanya bisa pasrah diri karena seluruh mete yang mereka miliki telah dijual ke pedagang pengumpul. Idealnya petani mete mampu menyisihkan pendapatan dari hasil panennya untuk disimpan, sehingga mereka bisa dapat menjual gelondongan saat harga baik atau mengkacip mete selama menunggu musim panen berikutnya. Selanjutnya pengembangan diversifikasi dapat ditekan pada pola usahatani ganda yang saling bersinergisme dalam input-output, salah satu contoh adalah pola integrasi tanaman-ternak, dan usaha pengolahan hasil (pengkacipan mete dan pemanfaatan buah semu). Pengembangan usahatani jambu mete yang berorientasi agribisnis dan berkelanjutan diarahkan untuk mengembangkan pola industrial dan padu-padan
serta sinergisme dengan usaha lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu hingga ke hilir) (Simatupang, 2003), yang sasarannya adalah untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya melalui pengembangan usaha diversifikasi. Pola diversifikasi lain pada usahatani jambu mete adalah pola usaha tanaman sela diantara tanaman jambu mete dengan beragam varietas pada satu hamparan luas, seperti varietas jagung toleran terhadap kekeringan, varietas berumur genjah, padi gogo, kedelai dan kacang tanah serta umbi-umbian yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Oleh karena usahatani jambu mete yang berkembang di Sulawesi Tenggara umumnya usahatani keluarga skala kecil, maka usahatani yang dapat dikembangkan adalah pola usahatani intensifikasi diversifikasi yang mengintegrasikan kegiatan rumah tangga, usahatani dan kegiatan non usahatani (Kendarinews.com, 2010). Gambaran Kesejahteraan Petani Jambu Mete di Kabupaten Buton dan Muna Pendapatan Pendapatan petani jambu mete di lokasi penelitian rata-rata mencapai Rp.4.029.234 per bulan. Pendapatan ini bersumber dari pendapatan dalam usaha tani dan dari luar usahatani. Pendapatan petani dari luar usahatani mencapai Rp.3.199.932 per bulannya, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendapatan yang diperoleh dalam usahatani sendiri yaitu hanya mencapai Rp.845.302 per bulan.
Gambar 1. Pendapatan petani jambu mete di lokasi penelitian
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
76
Rincian berdasarkan wilayah kecamatan, maka pendapatan petani di Kabupaten Buton lebih tinggi (Rp.4.166.586 bulan-1), bila dibandingkan dengan pendapatan petani di Kabupaten Muna (Rp.3.891.882 bulan-1). Pendapatan petani di Kabupaten Buton dalam usahatani rata-rata Rp.1.140.582 per bulan dan dari luar usahatani mencapai Rp.3.026.005 per bulan. Sedangkan pendapatan petani dalam usahatani di Tongkuno Kabupaten Muna sebesar Rp.550.023 per bulan dan dari luar usahatani
hanya Rp.3.375.616 per bulan. Keadaan ini menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Buton lebih produktif dalam mengelola usahatani jambu mete, diversifikasi usaha pengolahan lanjut dari mete gelondongan menjadi kacang mete dan berbagai bentuk olahan kacang mete aneka rasa. Petani jambu mete di Kecamatan umumnya hanya menjual hasil jambu mete dalam bentuk gelondongan. Penggolongan pendapatan petani jambu mete di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut pendapatan per bulan yang dimiliki di daerah penelitian Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Golongan pendapatan per bulan (Rp. bln-1) < 2.285.939 2.285.939 - 5.772.530 > 5.772.530 Jumlah
Kualifikasi Kurang baik Sedang Baik
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 29 14,5 16 8 134 67 167 83,5 37 18,5 17 8,5 200 100 200 100
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa 89% petani jambu mete di kedua kabupaten lokasi penelitian mempunyai golongan pendapatan dengan kualifikasi kategori sedang sampai baik. Petani jambu mete di lokasi penelitian 75% mempunyai rata-rata pendapatan setiap bulannya mencapai antara Rp.2.285.939 – Rp.5.772.530 dengan kategori pendapatan berkualifikasi sedang. Kenyataan ini sangat menarik karena petani mete di wilayah ini ternyata 14% diantaranya mempunyai pendapatan lebih dari Rp. 5.772.530 dengan kategori baik. Pendidikan Pendidikan dipandang tidak hanya dapat menambah pengetahuan tetapi dapat juga meningkatkan keterampilan (keahlian) tenaga kerja sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas. Hal ini sejalan dengan teori human capital, bahwa kualitas
Jumlah RT 45 301 54 400
(%) 11 75 14 100
sumberdaya manusia selain ditentukan oleh tingkat kesehatan juga ditentukan tingkat pendidikan. Produktivitas dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan juga dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan penduduk. Hasil penelitian di Kabupaten Buton dan Muna menunjukkan bahwa persentase terbesar pendidikan kepala keluarga yang memiliki pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah mencapai 46%. Artinya, mayoritas responden belum mencapai tingkat pendidikan dasar yang dianjurkan oleh pemerintah yaitu pendidikan 9 tahun. Padahal tingkat pendidikan cukup berperan dalam kelancaran penerimaan dan menjalankan teknologi baru termasuk teknologi pertanian. Tingkat pendidikan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
77
Tabel 2. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut pendidikan kepala keluarga yang ditamatkan di daerah penelitian Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Pendidikan kepala keluarga yang ditamatkan SD ke bawah SLTP SLTA ke atas Jumlah
Kualifikasi Kurang baik Sedang Baik
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 148 74 37 18,5 26 13 44 22 26 13 119 59,5 200 100 200 100
Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden apabila didasarkan pada wilayah penelitian, ternyata tingkat pendidikan terendah terdapat di wilayah Kabupaten Buton. Persentase petani yang berpendidikan SD ke bawah mencapai 74%, sedangkan petani di Kabupaten Muna hanya 18,5%. Fenomena memprihatinkan ditunjukkan petani di Kabupaten Buton karena petani yang berpendidikan SLTA ke atas hanya 13%, sedangkan tingkat pendidikan SLTA ke atas petani di Muna mencapai 60%. Menurut Mubyarto (1992), bahwa tingkat pendidikan masyarakat pedesaan akan mempengaruhi cara berpikir dalam pengelolaan usahataninya, terutama kemampuan manajemen, penerimaan inovasi baru dan pengambilan keputusan dalam memperhitungkan produktivitas usahatani mereka. Senada dengan pernyataan Walker: (Suandi, 2008), bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana sehingga
Jumlah RT 185 70 145 400
(%) 46 18 36 100
diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pilihan lapangan pekerjaan yang diminati atau ditekuni. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka cenderung memilih jenis pekerjaan yang tidak memerlukan penanganan yang lebih rumit atau tingkat keterampilan tinggi, demikian pula sebaliknya. Kesehatan Biaya untuk pengeluaran pelayanan kesehatan oleh petani jambu mete di Kabupaten Buton maupun Muna rata-rata hanya sebesar Rp.42.122 setiap bulannya. Kategori pengeluaran pelayanan kesehatan dibedakan atas 3 kategori, yaitu kategori rendah apabila rata-rata pengeluaran < Rp.6.489, kategori sedang dengan rataan pengeluaran antara Rp.6.489 sampai dengan Rp.90.733 dan kategori tinggi apabila rataan pengeluaran mencapai >Rp.90.733. Pengeluaran pelayanan kesehatan di kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut golongan pengeluaran untuk kesehatan per bulan yang dimiliki di daerah penelitian Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Golongan pengeluaran untuk kesehatan per bulan (Rp. bln-1) < 6.489 6.489 - 90.733 > 90.733 Jumlah
Kualifikasi Rendah Sedang Tinggi
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 1 0,5 0 0 189 94 186 93 10 4,5 14 7 200 100 200 100
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
Jumlah RT 1 375 24 400
(%) 0,25 93,75 6,00 100
78
Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kesadaran petani terhadap pentingnya mendapatkan pelayanan kesehatan di kedua wilayah kecamatan lokasi penelitian cukup tinggi. Hal ini terlihat dari besarnya pengeluaran alokasi keuangan keluarga untuk kesehatan setiap bulannya yang mencapai 93,75% berada pada kualifikasi dengan kategori sedang dari 400 responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian, 6% dikategorikan tinggi dan hanya 0,25% berkategori rendah. Pengeluaran untuk kesehatan bila ditinjau menurut wilayah penelitian, maka petani di kedua lokasi penelitian secara umum sama-sama mempunyai kepedulian relatif tinggi terhadap pelayanan kesehatan setiap bulannya. Konsumsi pangan dan non pangan Pengeluaran petani jambu mete di lokasi penelitian setiap bulannya dari konsumsi pangan
sehari-hari meliputi konsumsi serealia, umbiumbian, pangan hewani, minyak goreng, kacangkacangan, sayuran, buah, jajanan dan lainnya (gula, teh, kopi, garam). Pengeluaran untuk konsumsi non pangan meliputi: biaya kesehatan, pendidikan, biaya dapur, perumahan, pakaian, transportasi dan lainnya. Kategori pengeluaran petani jambu mete di lokasi penelitian dari konsumsi pangan maupun non pangan setiap bulan dibedakan atas 3 kategori, yaitu kategori rendah apabila rataan pengeluaran
Rp.1.510.666. Rincian pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah rumah tangga petani dirinci menurut golongan pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan per bulan yang dimiliki di daerah penelitian Kabupaten Buton dan Muna tahun, 2010 Golongan pengeluaran konsumsi pangan dan Kualifikasi non pangan per bulan (Rp. bln-1) < 650.440 Rendah 650.440 - 1.510.666 Sedang > 1510666 Tinggi Jumlah
Kecamatan Gu-Lakudo Tongkuno Kab. Buton Kab. Muna RT (%) RT (%) 38 19 21 10,5 111 55,5 164 82 51 25,5 15 7,5 200 100 200 100
Hasil penelitian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum atau sebanyak 69% pengeluaran petani responden di Kabupaten Buton dan Muna untuk konsumsi pangan maupun non pangan terdistribusi pada kualifikasi dengan kategori pengeluaran sedang yaitu antara Rp.650.440 sampai Rp.1.510.666 setiap bulan. Pengeluaran konsumsi pangan maupun non pangan oleh petani jambu mete di Kabupaten Buton dan Muna berturut-turut 19% dan 10,5% berada pada kategori pengeluaran rendah; 55,5% dan 82% kategori sedang dan sebanyak 25,5% dan 7,5% termasuk kategori tinggi. Berdasarkan fasilitas perumahan yang dimiliki petani di lokasi penelitian secara umum
Jumlah RT 59 275 66 400
(%) 15 69 16 100
(45%) sudah baik, 43% berada pada kategori yang sedang dan hanya 12% berkategori fasilitas buruk. Petani di Kabupaten Buton mempunyai fasilitas perumahan relatif lebih baik bila dibandingkan fasilitas perumahan petani di Muna. Kualifikasi perumahan petani di Buton antara kategori sedang sampai kategori baik mencapai 96,5% dan kategori buruk hanya 7%. Sebaliknya fasilitas perumahan petani di Muna kategori sedang sampai baik sebesar 80,5% dan kualifikasi dengan kategori buruk sebesar 19,5%. Sedangkan dari segi kualitas perumahan petani mete di lokasi penelitian meliputi jenis dinding (tembok, kayu, lainnya), jenis atap (seng, genteng, asbes, rumbia), jenis lantai (keramik,
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
79
semen, kayu, lainnya) yang dimiliki petani di lokasi penelitian secara umum atau 95% berada pada kategori berkualitas sedang sampai kualitas baik dan hanya 5% berkategori kualitas buruk. Kondisi kualitas perumahan petani mete kedua kecamatan lokasi penelitian tergolong baik dan sebagian besar lainnya berkategori kualitas sedang. Rangkuman Tingkat Kesejahteraan Tingkat kesejahteraan petani jambu mete di lokasi penelitian, baik di Kabupaten Buton maupun Muna merupakan gambaran umum kondisi petani yang terdiri dari: tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan, konsumsi pangan dan non pangan. Secara umum tingkat kesejahteraan petani jambu mete di Kabupaten Buton relatif lebih baik dibandingkan dengan keberadaan petani jambu mete di Kabupaten Muna. Secara umum kondisi ini tentunya berbeda dengan tingkat kesejahteraan jambu mete di Kabupaten Muna. Petani mete di wilayah ini cenderung lebih apatis terhadap upaya diversifikasi peluang usaha dan sistem pemasaran jambu mete yang ada. Petani mete umumnya lebih tertarik untuk menjual hasil produk mete yang dihasilkan dalam bentuk gelondongan saja tanpa ada upaya pengolahan lanjut seperti yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Buton. Akibatnya harga jual jambu mete yang diterima petani di Kabupaten Muna relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan petani di Kabupaten Buton yang melakukan diversifikasi usaha agribisnis dan pengolahan lanjut terhadap jambu mete yang dihasilkan. Kondisi fasilitas dan kualitas perumahan petani di Kabupaten Buton secara umum relatif lebih baik dibandingkan petani di Kabupaten Muna. Sebaliknya tingkat pendidikan petani di Kabupaten Buton secara umum relatif lebih rendah dibandingkan petani di Muna.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan petani jambu mete di Kabupaten Buton lebih baik dilihat dari pendapatan dan pemenuhan konsumsi. Berbeda halnya bila dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan petani jambu mete di Kabupaten Muna yang lebih rendah. Namun untuk ukuran kesejahteraan yang lain seperti pendidikan cenderung lebih baik bagi petani Kabupaten Muna. Namun untuk kesehatan petani disemua wilayah penelitian sama-sama peduli terhadap kesehatanya dilihat dari kepedulian relatif tinggi terhadap pelayanan kesehatan setiap bulannya. Saran dan implikasi kebijakan yang direkomendasikan dari hasil penelitian bagi pemerintah daerah ini adalah mempertimbangkan indikator pendapatan, pendidikan, kesehatan dan konsumsi sebagai variabel penentu tingkat kesejahteraan dalam rangka perancangan dan implementasi kebijakan pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang sejahtera dan mandiri. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A., 1985. Jambu mete sebagai komoditi ekspor yang mempunyai harapan. Jurnal Litbang Pertanian. Vol 6 (1). Biro Pusat Statistik. 2007. Sulawesi Tenggara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Ditjenbun, 1991. Pengembangan Jambu Mete dan Prospeknya di Masa Mendatang. Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian RI. Jakarta. http://www.kendarinews.com/berita/content/view /16950/ (Akses Selasa, 29 Maret 2011). http://www.mediaindonesia.com/read/2010/12/1 1/187401/128/101/Produksi-JambuMete-di-Sultra-400-Ribu-Ton-perTahun2010 (Akses Sabtu, 11 Desember 2010).
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
80
Indrawanto, C., Wulandari, C., dan Wahyudi, A. 2003. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Vol. 9 (4): 141-148. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Mubiyarto. 1992. Menanggulangi Kemiskinan. Aditya Media. Yogyakarta. Puryanto, E. 1983. Rehabilitasi Tanah Pasir Kuarsa Eks Tambang Timah Pulau Bangka dengan Bahan Alamiah untuk Budidaya Tanaman. Putnam, R. 1993. The Prosperous Community Sosial Capital and Public Life. American Prospect (13): 35-42. TheWorld Bank. 1998. Hal 5-7. Scott. J.C., 1986. The Moral Economy of Peasant: Rabillian and Subsisten in Shout East Asia. Edisi terjemahan oleh Bari, Hasan., Moral Ekonomi Petani:
Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Suandi. 2008. Hubungan Modal Sosial dengan Ketahanan Pangan Keluarga di Daerah Perdesaan Provinsi Jambi Berdasarkan Agroekologi Wilayah. Makalah disajikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) IX dengan Tema “Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi Untuk Mencapai Millenium Development Goal's”. Kerjasama antara LIPI dengan Bappenas, Deptan, Depkes, Badan Pom, Ristek dan DKP RI. Hotel Bumi Karsa Bidakara Jakarta 26 - 27 Agustus 2008. Sugiyanto, 1994. Peluang Agribisnis dan Agroindustri Tanaman Jambu Mete di Kabupaten Gunung Kidul. Makalah Temu Usaha Komoditi Jambu Mete Rejosari, 31 Oktober 1994, UPP Jambu Mete Gunung Kidul.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128