137
ANALISIS KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA HABITAT HUTAN LINDUNG NANGA-NANGA KOTA KENDARI Oleh: Nuriadi1) dan Gusnawaty HS1)
ABSTRACT This study to determine the diversity of insects in the context of conservation and development of Nanga - Nanga as Region Agroforestry in Kendari. In the study conducted from June to July 2011 in the area of Nanga-Nanga Forest Preserve Kendari. Determine differences in diversity and abundance between morphospecies diversity plot analysis used one-way classification (one-way ANOVA) and if there is a difference between a plot carried out Duncan multiple range test (DNMRT) real level 5% using CoStat program for Windows version 6.311 (Cohort 2005). As for determining differences in diversity and abundance morphospecies across habitats used student t-test with the real level 5% (Steel & Torrie 1989). The results indicate open and close Habitats showed no effect on diversity (H’), evenness (E), and abundance (D) morphospecies in the protected forest area Nanga-Nanga. Open and close habitats dominated by the Hymenoptera morphospecies sp.01. Key words: analysis diversity, insects, habitat forest
PENDAHULUAN Serangga merupakan kelas terbesar dari filum Arthropoda. Jumlah serangga diperkirakan mencapai lebih dari 11 kali jumlah spesies Arthropoda yang ada. Sekitar 950.000 spesies telah teridentifikasi sebagai serangga dari 1.956.000 total spesies Arthropoda yang ada atau sekitar 59,5% dari 67,4% total spesies Arthropoda dunia (Borror et al. 1981). Speight et al. (1999) menyebutkan 77% dari kelompok binatang Metazoa adalah insekta dan dapat dijumpai hampir di seluruh permukaan bumi yang meliputi daratan, perairan, dan udara. Keanekaragaman serangga merupakan bagian yang sangat penting dalam keharmonisan ekosistem melalui berbagai peran ekologi yang dimainkan seperti dekomposisi, polinasi, herbivory, parasitasi dan predasi. Berbagai aktivitas manusia saat ini telah sedikit banyak mengubah dan bahkan dapat mengganggu keharmonisan ekosistem melalui berbagai cara misalnya konversi lahan, penebangan hutan dan pemanfaatan teknologi intensif dalam pengelolaan pertanian. Konflik antara manusia dan keanekaragaman hayati telah memicu banyak peneliti untuk melihat berbagai dampak 1
kegiatan manusia, misalnya pertanian terhadap keanekaragaman serangga. Selain itu banyak yang kemudian mempelajari apakah terdapat perbedaan keanekaragaman serangga pada ekosistem yang relatif tidak terganggu yang biasanya diwakili oleh hutan dengan ekosistem terganggu seperti lahan pertanian. Beberapa teknik koleksi serangga dapat digunakan untuk mendapatkan spesimen serangga contoh dari lapangan, diantaranya dengan metode pitfall trap untuk serangga yang bergerak dipermukaan tanah, seperti semut belalang dsb (Maguran, 1988). Beberapa aspek-aspek kuantitatif yang dapat digunakan dalam rangka mengukur keanekaragaman hayati antara komunitas yang berbeda-beda. Nilai kuantitatif tersebut biasanya dinyatakan dalam indeks matematis yaitu indeks kekayaan spesies, kelimpahan relatif, distribusi dan variasi spesies dalam suatu habitat dan ekosistem (Magurran 1988; Spellberg 1991; Krebs 1999). Indeks matematis tentang keanekaragaman hayati sudah dikembangkan untuk menjelaskan keanekaragaman spesies pada skala geografik yang berbeda-beda yaitu keanekaragaman alfa, keanekaragaman beta, dan
)Staf Pengajar Pada Fakultas PertanianVolume Universitas AGRIPLUS, 22Haluoleo,Kendari. Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
137
138
keanekaragaman gamma (Spellberg 1991, Primack et al. 1998). Keberadaan serangga masih dianggap oleh sebagaian besar petani kita sebagai komponen kehidupan yang selalu menimbulkan kerugian sehingga harus dimusnahkan (Untung, 1992; Oka, 1995). Padahal hanya sekitar 10% saja serangga yang berperan sebagai hama tanaman dan selebihnya adalah serangga yang berperan nyata terhadap kemaslahatan manusia (Borror et al., 1981; Ross et al., 1982). Perubahan ekosistem dan habitat akibat perlakuan yang tidak tepat dapat mengakibatkan perubahan komposisi ekologis dan berpengaruh terhadap kekayaan jenis spesies serangga (Fermon et al., 2001). Keanekaragaman spesies serangga dalam satu habitat dapat diukur dengan indeks ShanonWienner dan indeks Simpson. Indeks ShanonWienner menekankan kepada kekayaan spesies, yang nilainya berkisar antara 1,5 hingga 3,5. Sedangkan indeks Simpson lebih menekankan pada kelimpahan spesies. yang dominan dari kekayaan spesies. Asumsi yang digunakan untuk mengukur indeks Shanon-Wienner ialah bahwa individu terambil secara acak dari suatu populasi besar dan semua spesies terwakili dalam contoh. Semakin tinggi indeks keragaman berarti semakin tinggi pula keanekaragaman (Magguran, 2004). Keanekaragaman serangga perlu diketahui untuk tujuan evaluasi pengendalian dan Plot P01 P02 P03 P04 P05 P06 P07 P08 P09 P10 P11 P12 P13
P01 0 24 81 194 201 285 301 268 124 146 87 67 99
P02 0 62 178 188 280 297 266 112 127 73 59 91
pemanfaatannya sebagai bagian dari ekosistem yang pada tahap selanjutnya dapat mencegah besarnya biaya yang harus dikeluarkan pada tingkat pengendalian yang tidak tepat (Tarumingkeng, 1992; Sosromarsono dan untung, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman serangga dalam rangka Konservasi dan pengembangan Nanga – Nanga sebagai Kawasan Agrowisata Kota Kendari.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan dari Bulan JuniJuli 2011 di area Hutan Lindung Nanga-Nanga Kota Kendari. Pelaksanaan Penelitian 1. Lokasi sampling yang dipilih pada Penelitian ini adalah area Hutan Lindung Nanga-Nanga Kota Kendari. 2. Ada beberapa tipe patch habitat, setiap patch habitat minimal terdiri dari tiga plot dengan ukuran 5 m x 5 m. Jarak antar plot dalam patch habitat minimal 50 m. Jumlah plot yang digunakan adalah 13 dan matriks jarak antar plot dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Matriks jarak antar plot (m).
P03
P04
P05
P06
P07 P08 P09 P10 P11 P12 P13
0 116 130 235 254 225 60 66 26 38 53
0 37 160 184 167 77 52 108 131 107
0 123 147 130 77 75 115 134 105
0 24 34 175 194 212 222 189
0 35 195 216 231 239 207
0 167 194 201 207 176
0 47 39 57 30
0 63 87 72
0 24 27
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
0 33
0
139
3.
4.
5.
Pifall trap dipasang pada setiap plot sebanyak empat buah dengan jarak antar pifall trap 5 m. Setiap pifall trap dimasukkan larutan air sabun sebagai perangkap untuk serangga yang terjatuh. Pifall trap tersebut dipasang selama tiga hari dan setiap 24 jam serangga yang terjatuh di dalam pifall trap dikoleksi serta air sabun diganti dengan yang baru. Semua spesimen di bawa ke laboratorium dan disimpan dalam botol film yang telah diisi dengan alkohol 70% yang telah diberikan lebel. Identifikasi dilakukan Indeks Persamaan s
H′ = −
Shannon-Wiener
pi ln pi
7.
H pi
i=1
H′ E= ln S s
Simpson`s
6.
pi 2
D=
E H S D pi
i=1
JN Sorensen
CN =
2JN (aN + bN)
Untuk menentukan perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan (abundance) morfospesies antar plot digunakan analisis ragam klasifikasi satu arah (one way ANOVA) dan jika terdapat perbedaan antar plot dilakukan uji jarak berganda Duncan (DNMRT) taraf nyata 5% dengan menggunakan program CoStat for Windows versi 6.311 (CoHort 2005). Sedangkan untuk menentukan perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan (abundance) morfospesies antar habitat digunakan uji t-student dengan taraf nyata 5% (Steel & Torrie 1989).
aN bN
sampai pada tingkat ordo dan pemilahan dilakukan sampai morfospesies. Data morfospesies yang terkumpul dianalisis untuk mendapatkan kurva akumulasi spesies, keanekaragaman alfa, dan perbandingan kekayaaan spesies antar patch habitat dengan analisis ragam. Analisis indeks keanekaragaman spesies pada area sampling yang disarikan dari Magurran (1988), Spellberg (1991), dan Krebs (1999).
Keterangan = indeks Shannon Wiener = proporsi spesies ke i dalam komunitas = nilai sebaran indeks = indeks Shannon Wiener = jumlah morfospesies = indeks Simpson`s = proporsi spesies ke i dalam komunitas = jumlah dari individu yang lebih rendah dari kedua lokasi = jumlah individu di lokasi A = jumlah individu di lokasi B
HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi Morfospesies Serangga Pada kurva terlihat adanya peningkatan spesies dari semua titik sampel yang dikumpulkan (Gambar 1). Menurut Krebs (1999) jumlah spesies tertinggi yang diestimasi oleh Jacknife Estimator adalah dua kali jumlah spesies yang diperoleh. Estimasi Jacknife Estimator dipengaruhi oleh total jumlah spesies, ukuran sampel, dan jumlah spesies unik. Ketidakoptimalan jumlah morfospesies serangga yang dikumpulkan disebabkan oleh perbedaan jarak matriks antar plot yang saling berdekatan dan jumlah sampel yang belum optimal.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
140
keanekaragaman Shannon (E) yang tinggi yaitu 0,61094, nilai sebaran keanekaragaman tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan plot lainnya. Namun pada plot 7 memiliki kelimpahan spesies (abundance) (D) yang lebih rendah yaitu 0,08120 dibandingkan dengan plot lainnya.
80 70
Jumlah Spesies
60 50 40 30 20
Sobs Mean (runs)
10 0 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 Titik Sampel
Gambar 1. Kurva akumulasi morfospesies serangga pada area hutan lindung nanga-nanga berdasarkan data hasil pengacakan dengan program EstimateS versi 7.5.0.
Keanekaragaman, Kemerataan, Kelimpahan, dan Kemiripan Morfospesies Hasil penelitian diperoleh jumlah spesies individu yang dikumpulkan dari dari area hutan lindung nanga-nanga sebanyak 1308 individu yang terdiri dari 16 ordo dan 64 morfospesies. Nilai indeks keanekaragaman Shannon (H) paling tinggi dijumpai pada plot 7 yaitu 2,54108 dengan 162 individu dan 32 morfospesies, sedangkan nilai indeks keanekaragaman Shannon paling rendah dijumpai pada plot 6 yaitu 0,31196 dengan 44 individu dan 7 morfospesies. Tingginya keanekaragaman serangga pada plot 7 juga ditunjukkan dengan nilai sebaran
Tingginya nilai sebaran keanekaragaman Shannon (E) pada plot 7 karena distribusi jumlah pacth tiap-tiap kelas elemen relatif merata jika dibandingkan dengan plot 8. Nilai sebaran keanekaragaman Shannon berkisar dari nol sampai satu, jika sebaran keanekaragaman Shannon mendekati nol, maka distribusi pacth dalam plot tidak merata, tetapi jika mendekati satu, maka distribusi pacth lebih merata (Elkie et al. 1999). Nilai sebaran keanekaragaman Shannon akan mempengaruhi keanekaragaman spesies komunitas (Ludwig & Reynodls 1988). Di Areal Hutan Lindung Nanga-Nanga kemiripan morfospesies serangga berdasarkan indeks Sorensen tercantum pada Tabel 2. Besarnya kemiripan morfospesies antar plot beragam, misalnya kemiripan morfospesies plot 1 dengan plot 2 sebesar 53%, plot 3 sebesar 40%, plot 4 sebesar 29%, plot 5 sebesar 35%, plot 6 sebesar 27%, plot 7 sebesar 20%, plot 8 sebesar 26%, plot 9 sebesar 12%, plot 10 sebesar 12%, plot 11 sebesar 13%, plot 12 sebesar 22%, dan plot 13 sebesar 27%. Kemiripan morfospesies plot 1 dengan 9, 10, 11, 12, dan 13 lebih rendah, perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan habitat. Pada plot 1 merupakan habitat yang tertutup dan plot 9, 10, 11, 12, dan 13. Perbedaan habitat menunjukkan perbedaan vegetasi yang tumbuh pada habitat tersebut, sehingga menyebabkan perbedaan morfospesies serangga.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
141
Tabel 2. Indeks kemiripan Sorensen untuk morfospesies serangga di area hutan lindung nanga-nanga. Sørensen P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13
Tabel 3.
P1 1.00
P2 0.53 1.00
P3 0.40 0.33 1.00
P4 0.29 0.22 0.49 1.00
P5 0.35 0.36 0.38 0.57 1.00
P6 0.27 0.29 0.17 0.15 0.18 1.00
P7 0.20 0.26 0.41 0.54 0.51 0.21 1.00
P8 0.26 0.27 0.44 0.57 0.60 0.18 0.55 1.00
P9 0.12 0.19 0.48 0.44 0.40 0.13 0.49 0.45 1.00
P10 0.12 0.19 0.29 0.53 0.55 0.19 0.70 0.40 0.44 1.00
P11 0.13 0.13 0.24 0.21 0.26 0.27 0.20 0.26 0.30 0.18 1.00
P12 0.22 0.35 0.22 0.40 0.40 0.24 0.48 0.40 0.29 0.51 0.33 1.00
P13 0.27 0.29 0.32 0.47 0.41 0.19 0.39 0.48 0.36 0.46 0.45 0.42 1.00
Rata-rata keanekaragaman, kemerataan, dan kelimpahan morfospesies serangga di area hutan lindung nanga-nanga. Plot P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 P13
Keanekaragaman (H) 0,76172 ef 1,34493 cd 1,82877 bc 1,68021 bc 1,10161 de 0,31196 f 2,54103 a 1,47383 bcd 1,93358 b 1,89062 b 1,65462 bc 1,33139 cd 1,87846 b
Perbedaan antar plot pengamatan akan mempengaruhi keanekaragaman (H), kemerataan (E), dan kelimpahan (D) morfospesies serangga diarea hutan lindung nanga-nanga. Keanekaragaman dan kemerataan morfospesies lebih tinggi dijumpai pada plot 7 dibandingkan plot lainnya, namun nilai kelimpahannya lebih rendah dibandingkan plot lainnya (Tabel 3). Perbedaan keanekaragaman morfospesies antar plot dapat terjadi disebabkan perbedaan struktur lanskap. Bell et al. (1991) mengatakan bahwa populasi dari komunitas
Kemerataan (E) 0,25870 cd 0,42894 abc 0,51860 ab 0,44672 abc 0,32715 bcd 0,16032 d 0,55421 a 0,36948 abc 0,50503 ab 0,45291 abc 0,46921 ab 0,38771 abc 0,47776 ab
Kelimpahan (D) 0,48627 b 0,22879 cd 0,06389 d 0,23443 cd 0,45495 bc 0,82336 a 0,08120 d 0,30063 bcd 0,14615 d 0,19665 d 0,15108 d 0,28086 bcd 0,14708 d
organisme dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan struktur lanskap. Keanekaragaman (H) morfospesies pada habitat terbuka lebih tinggi yaitu rata-rata 1,73773 dibandingkan pada habitat tertutup yaitu rata-rata 1,38051. Tingginya nilai keanekaragaman menyebabkan tingginya nilai kemerataan pada habitat terbuka. Ludwig & Reynolds (1988) menyatakan bahwa nilai keanekaragaman spesies merupakan resultante dari nilai kekayaan dan kemerataan spesies. Kemerataan morfospesies pada habitat terbuka
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
142
lebih tinggi yaitu rata-rata 0,74607 dibandingkan habitat tertutup yaitu 0,38301. Hasil ini menunjukkan bahwa kelimpahan morfospesies pada habitat terbuka lebih rendah yaitu rata-rata 0,18436 dibandingkan habitat tertutup yaitu ratarata 0,33419. Kelimpahan morfospesies pada habitat terbuka tidak merata, dengan kata lain ada satu atau dua morfospesies yang sangat dominan pada habitat tersebut. Magurran (1988) menyatakan bahwa indeks kemerataan spesies (E) sangat sensitif terhadap kelimpahan spesies di dalam sampel. Nilai kemerataan spesies akan cenderung menuju nol apabila komunitas tersebut didominasi oleh satu spesies (Heong et al. 1991). Berdasarkan hasil analisis uji t menunjukkan perbedaan habitat tidak mempengaruhi keanekaragaman (H), kemerataan (E), dan kelimpahan (D) morfospesies serangga di area hutan lindung nanga-nanga. Nilai t hitung untuk keanekaragaman (H), kemerataan (E), dan kelimpahan (D) morfospesies serangga adalah berturut-turut 1,11030; 1,58877; dan -1,32617. Nilai-nilai tersebut lebih kecil dibandingkan nilai t tabel = 2,201 (derajat bebas = n1 + n2 - 2 = 11, pada taraf 5%). Pada ekosistem lanskap terbuka dan tertutup didominasi oleh satu morfospesies yaitu morfospesies Hymenoptera sp.01 yang merupakan serangga dari famili Formicidae dan mengakibatkan distribusi individu dalam komunitas tidak merata. Teknik pengumpulan serangga juga dapat mempengaruhi dominasi individu dalam komunitas, pada penelitian yang dilakukan teknik pengumpulan serangga yang digunakan adalah perangkap jebak (pitfall trap). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa famili Formicidae merupakan salah satu kelompok serangga yang dominan di ekosistem terestrial. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: (1) keanekaragaman morfospesies antar plot terjadi disebabkan perbedaan struktur lanskap pada masing-masing plot dengan adanya
perbedaan antar plot terdapat keanekaragaman, kemerataan dan kelimpahan morfospesies di Hutan lindung nanga-nanga, (2) habitat terbuka dan tertutup tidak menunjukkan pengaruhnya terhadap keanekaragaman (H), kemerataan (E), dan kelimpahan (D) morfospesies di area hutan lindung nanga-nanga, dan (3) habitat terbuka dan tertutup didominasi oleh ordo Hymenoptera yaitu morfospesies Hymenoptera sp.01.
DAFTAR PUSTAKA Altieri MA, Nicholls CI. 2004. Biodiversity and Pest Management in agroecosystem. Second Edition. New York: Food Product Press. Bell SS, McCoy ED, Mushinsky HR. 1991. Habitat Structure: The Physical Arrangement of Objects in Space. New York: Chapman and Hall. Borror DJ, Delong D, Triplehorn CA. 1981. An th
Introduction to the Study of Insects. 5 . Ohio: Saunder College Publ. Elkie PC, Rempel RS, Carr AP. 1999. Pacth Analyst User’s Manual: A Tool for Quantifiying Landscape Structure. Ontario: Queen’s Printer for Ontario. Fermon, H., C.H. Schulze, M. Waltert, and Muhlenberg. 2001. The butterfly fauna of the noyau central, lama forest (Republic of Benin), With notes on its ecological composition and gegraphic distribution. African Entomol, 9(2)00-00. Heong KL, Aquino GB, Barrion AT. 1991. Arthropod community structure of rice ecosystem in the Philippinies. Bull of Entomol Research *!: 407-416. Krebs CJ. 1999. Ecological Metodology. Second Edition. New York: An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. New York: Jhon Wiley & Sons.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
143
Magurran AE. 1998. Ecologycal Diversity and Its Measurement. London: Chapman and Hall. Meffe GK, Carroll CR. 1997. Princples of Conservation Biology. Second Edition. Mssachusets: Sinauer associates, Inc. Publisher. Primack RS. 1998. Biologi Konservasi. Alihbahasa: Supriatna J. Indrawan M, Kramadibrata P. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insect Concepts and Application. London: Blackwell Science. Spellerberg IF. 1995. Monitoring Ecological Change. Melbourne: Cambridge University Press. Steel RGD & Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Alihbahasa: B. Sumantri. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Untung, K. 1992. Konsep dan strategi PHT. Simposium penerapan PHT. PEI Cabang Bandung, Sukamandi, 3-4 September 1992.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128