196
EVALUASI KONDISI VEGETASI HUTAN PADA LAHAN TAMBANG NIKEL (Studi Kasus PT. Starget Pasific Resources Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara) Oleh: Zulkarnain1)
ABSTRACT This study aimed to evaluate the condition of the forest vegetation in the IUP PT. Starget Pacific Resources as a result of mining activities. This study lasted for one year from January to December 2011, in the Region IUP PT. Starget Pacific Resources Molore Village, District Langgikima, North Konawe. This study used survey methods, sampling location determination using purposive sampling and sample plot line shape puzzle. The research variables in this study are Number of species, density, frequency, dominance, importance value index and species diversity. The data were analyzed using quantitative descriptive analysis. The results showed that the mining activity carried out during the period in 2011 has resulted in decreasing the number of significant species are 26 types of vegetation. The largest decrease occurred primarily at the level of trees and poles that indicate the amount of pressure on both levels of vegetation. In the aspect of vegetation density, activity in the study area has led to a significant reduction in quantitative found mainly at the level of trees, poles and seedlings, while at stake though not significantly increased. While the diversity of vegetation in a qualitative level remained at the same grade criteria (fixed), but the quantitative continued to decline, which could potentially degrade the stability of the ecosystem as a whole. From these results it is advisable to undertake revegetation or replanting as soon as possible in open areas that have completed mining and manufacturing activities arboretum for the purpose of preservation of the vegetation types that exist in the location of the study, as a solution to prevent the loss of species due to mining activities. Keywords: evaluation, nickel mine, forest vegetation
PENDAHULUAN Pertambangan merupakan salah satu sektor yang menghasilkan devisa besar bagi negara. Namun selain devisa, industri pertambangan (terutama dengan metode pertambangan terbuka) telah menghasilkan dampak ikutan berupa kerusakan lingkungan yang sangat parah terutama pada vegetasi hutan yang merupakan dominasi lapisan penutup dari permukaan bentang lahan yang ditambang. Proses land clearing pada saat operasi pertambangan dimulai, menghasilkan dampak lingkungan yang sangat signifikan yaitu hilangnya vegetasi alami. Hal ini akan memberi akses kerusakan kondisi ekologis yang lebih luas. Misalnya rusaknya kondisi hidrologi akibat hilangnya vegetasi yang merupakan salah
satu kunci dalam siklus hidrologi. Selain itu juga akan membuat tanah rentan terhadap erosi, ditambah lagi mobilitas operasi alat berat mengakibatkan terjadinya pemadatan tanah. Kondisi tanah yang sangat padat menyebabkan buruknya sistem tata air (water infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) tanah. Dampak lain yang juga sangat krusial adalah berkurangnya bahkan hilangnya habitat satwa dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang merupakan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya. Salah satu perusahaan tambang di Provinsi Sulawesi Tenggara yang cukup aktif melakukan kegiatan pertambangan sejak tahun 2007 adalah PT. Starget Pasific Resources. Ini jugalah yang menjadi alasan memilih perusahaan tersebut menjadi lokasi dalam penelitian ini. Perusahaan tersebut
AGRIPLUS, 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN )Staf Pengajar Jurusan KehutananVolume Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari0854-0128
1
196
197
beroperasi di wilayah Kabupaten Konawe Utara yang memperoleh Izin Eksplorasi melalui SK Bupati Kowe Utara, No : 223 dan 225 tahun 2007 tanggal serta Izin Eksploitasi melalui SK Bupati Konawe Utara, No : 418 & 421 th 2008. Hingga saat ini perusahaan tersebut telah melakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan terbuka dan telah melakukan penjualan hasil tambangnya. Dengan metode penambangan terbuka yang umum di gunakan pada pertambang nikel, maka hampir dapat dipastikan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. Starget Pasific resources berpotensi besar mengakibatkan rusaknya vegetasi hutan pada wilayah konsesinya yang dapat menyebabkan kerusakan ekologi yang lebih luas seperti yang telah dikemukakan di atas. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 1 tahun yang di bagi dalam 4 periode pengamatan yang dilakukan setiap 3 bulan. Dengan demikian penelitian ini di harapkan mampu memberikan gambaran tentang perubahan kondisi vegetasi hutan pada wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Starget dalam kurun waktu 1 tahun, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihakpihak terkait untuk melakukan upaya-upaya antisipatif terhadap kerusakan lingkungan dan menghindarkan bencana ekologi yang lebih luas.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada wilayah IUP PT. Starget Pasific Resources (KW 07 STP 013) di Desa Molore dan Desa Lameruru Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara. , dengan luas 2.000 Hektar. Penelitian ini berlangsung selama satu tahun mulai bulan Januari hingga Desember 2011, untuk melihat perubahan kondisi vegetasi akibat aktifitas tambang selama kurun waktu 1 tahun di wilayah tersebut.
Bahan dan Alat Bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam dalam penelitian ini terdiri dari : Tali rafia, Alat tulis menulis, Meteran, Tallysheet, Kompas, Pita meter, Buku petunjuk identifikasi pohon, Peralatan pembuatan herbarium, GPS (Global Positioning System) dan Peta RBI lembar lokasi penelitian Skala 1 : 50.000. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode Survey, yaitu menyelidiki kondisi ekosistem hutan berdasarkan apek vegetasi yang dilakukan secara berkala pada periode tertentu dalam kurun waktu 1 tahun untuk mendapatkan gambaran tentang perubahan kondisi vegetasi yang diakibatkan oleh kegiatan pertambangan dalam kurun waktu 1 tahun. Pengambilan sampel menggunakan metode garis berpetak/tansek (transect line). Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis vegetasi pada semua tingkatan vegetasi, yang terdapat di wilayah IUP PT. Starget. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah jenis vegetasi yang diukur meliputi semua tingkatan vegetasi yang terdapat dalam plot atau petak pengamatan. Tingkatan vegetasi yang dimaksud dikelompokkan sebagai berikut : Tingkat pohon (trees) yaitu individu yang mempunyai diameter batang lebih dari 20 cm, Tingkat tiang (poles) yaitu individu yang mempunyai diameter batang lebih dari 10 cm tetapi lebih kecil dan atau sama dengan 20 cm, Tingkat sapihan (saplings) yaitu individu yang mempunyai diameter batang lebih dari 1 cm tetapi lebih kecil dan atau sama dengan 10 cm, Tingkat semai (sedling) yaitu individu yang mempunyai diameter batang lebih kecil dari atau sama dengan 1 cm atau sejak perkecambahan sampai tinggi 1,5 meter (Hardjosuwarno,1994) Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer yaitu hasil inventarisasi jenis vegetasi pada setiap petak ukur yang diamati. Sedangkan data sekunder meliputi peta Rupa Bumi (1:50.000) Bakosurtanal 1992 dan data-data sekunder lainnya dari pihak perusahaan.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
198
Penentuan transek dan titik awal pembuatan garis transek ditentukan secara purposive berdasarkan keterwakilan vegetasi yaitu dari lahan bertopografi datar memanjang dan memotong bukit ke arah bukit. Titik koorodinat setiap transek adalah (1) -3.3143610, 122.2901940, (2) -3.315333, 122.2858610, (3) -3.2738060, 122.2867780, (4) 3.3351110, 122.2788890, (5) -3.3309720, 122.2802220, (6) -3.2950560, 122.2820830, .
(7) -3.3072500, 122.2820280. Pada setiap transek dibuat sebanyak 3 buah petak ukur berukuran 20 m x 20 m, dengan jarak setiap petak ukur adalah 50m. Selanjutnya petak ukur dibagi dalam 4 bagian yaitu ukuran 20 m x 20 m (D) untuk vegetasi tingkat pohon, 10m x 10m untuk pengamatan vegetasi tingkat tiang, 5m x 5m untuk pengamatan vegetasi tingkat pancang dan 1m x 1m untuk semai.
10m 5m 2m
A 50m
D
50m
C B
20m
Gambar 1. Desain jalur pengamatan vegetasi Keterangan gambar : A ; Plot pengamatan untuk tingkatan pohon (berukuran 20 x 20 meter) B ; Plot pengamatan untuk tingkatan tiang (berukuran 10 x 10 meter) C ; Plot pengamatan untuk tingkatan pancang (berukuran 5 x 5 meter) D ; Plot pengamatan untuk tingkatan semai (berukuran 2 x 2 meter) Cara pengukuran. Pengumpulan data vegetasi dilakukan dengan mencatat jumlah spesies, jumlah individu pada setiap spesies, dan mengukur lingkar batang setinggi dada untuk menentukan diameternya yang berfungsi untuk menentukan Luas Bidang Basal (LBD) pada setiap individu. LBD dihitung dengan rumus: ¼ Π d2, dan d = diameter batang (d = keliling / Π). Nama tumbuhan terlebih dahulu dicatat dalam bahasa daerah setempat, kemudian disesuaikan dengan daftar nama pohon
dalam bahasa daerah dan bahasa Latin Selebes dan Jajahannya “Reeds verschenen boomnamenlijsten / Lists of tree names already issued” (Direktur Balai Penyelidikan Hutan Bogor, 1942). Pada tumbuhan yang tidak tercantum dalam buku tersebut penamaannya digunakan bahasa daerah. Variabel Pengamatan. Variabel yang diukur dalam penelitian ini meliputi :
Jumlah jenis, data jumlah jenis diperoleh dengan melakukan pencacahan terhadap anggota populasi yang ditemukan pada plot pengamatan kemudian ditabulasi. Kerapatan dan kerapatan relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Kerapatan spesies ke-i
Jumlah individu KR-i =
K =
x 100% Kerapatan seluruh spesies
Luas seluruh petak contoh
Frekuensi dan frekuensi relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Frekuensi spesies ke-i
Jml petak cnth ditemukannya suatu spesies FR-i =
F = Jumlah seluruh petak contoh
x 100% Frekuensi seluruh spesies
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
199
Dominansi dan Dominansi Relatif dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Penutupan spesies ke-i
Luas basal area CR-i =
C = Luas seluruh petak contoh
x 100% Penutupan seluruh spesies
Indeks Nilai Penting ; dihitung dengan persamaan sebagai berikut : INP-i = KR-i + FR-i + CR-i Keanekaragaman spesies, dihitung dengan persamaan Indeks Keanekaragaman Shanon Wiener, sebagai berikut : H‟ = -∑{ (ni/N) ln (ni/N)} Dimana ; Jika ; H‟ = Indeks Shanon-Whiener H‟ > 3 ; tingkat keanekaragaman melimpah n1 = Nilai penting dari tiap spesies tinggi N = Total nilai penting H‟ 1 - 3 ; tingkat keanekaragaman melimpah sedang H‟ < 1 ; tingkat keanekaragaman sedikit atau rendah (Melati, 2007)
Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh di lapangan ditabulasi dan diolah untuk menghitung besaran dari veriabel komposisi vegetasi yakni jumlah jenis, kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominansi, dominansi relatif dan indeks nilai penting serta variabel tingkat keanekaragaman vegetasi. Selanjutnya di analisis dengan Analisis deskriptif kuantitatif yang memaparkan dan mendeskripsikan data penelitian kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Adapun data-data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Tabel 1.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah PT. Stargate Pasific Resources telah memiliki izin eksplorasi melalui Surat Keputusan Bupati Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 223 Tahun 2007 tanggal 29 September 2007 seluas 2.000 Hektar (KW 07 STP 012) di Desa Tobimeita Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara dan Nomor 225 Tahun 2007 tanggal 29 September 2007 seluas 2.000 Hektar (KW 07 STP 013) di Desa Molore dan Desa Lameruru Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara.
Titik Koordinat Kuasa Pertambangan Eksplorasi Nikel PT. Stargate Pasific Resources, KW 07 STP 012 dan Nomor KW 07 STP 013 tahun 2007, Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara KW 07 STP 012 KW 07 STP 013 x Y X y 122.24200278 -3.33143056 122.27894444 -3.28944444 122.26472222 -3.33143056 122.29513333 -3.28944444 122.26472222 -3.34416667 122.29513333 -3.37083333 122.27055556 -3.34416667 122.28500000 -3.37083333 122.27055556 -3.36500000 122.28500000 -3.36500000 122.28500000 -3.36500000 122.27055556 -3.36500000 122.28500000 -3.37083333 122.27055556 -3.34416667 122.27121111 -3.37083333 122.26472222 -3.34416667 122.27121111 -3.38250000 122.26472222 -3.33143056
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
200
No 10 11 12 13 14
KW 07 STP 012 x 122.26611111 122.26611111 122.25531111 122.25531111 122.24200278
KW 07 STP 013
Y -3.38250000 -3.39166667 -3.39166667 -3.38846944 -3.38846944
X 122.27895000
y -3.33143056
Sumber : Data sekunder , Eenviro Corp, 2010.
Kawasan Hutan Berdasarkan hasil interpretasi peta, maka cakupan wilayah IUP Nikel PT. Starget meliputi Desa Molore dan Desa Lameruru Kecamatan Langgikima Kabupaten Konawe Utara. Dengan total luas ± 2000 Ha.. Berdasarkan peta kawasan hutan dan dihubungkan dengan patok dan titik koordinat Izin Pertambangan, wilayah IUP Nikel PT. Starget ini seluas 252.96 ha yang berada dalam kawasan APL, 1064.05ha masuk ke dalam Hutan Produksi dan 683.01 ha Berada di dalam kawasan Hutan Lindung (Analisi SIG, 2011). Geomorfologi Bentang alam daerah eksplorasi secara umum dapat dibagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu perbukitan landai, terjal dan pedataran. Perbukitan terjal menempati sebagian daerah dicirikan oleh lereng yang terjal dan berpuncak tajam dengan ketinggian 100 – 500 meter dpl dengan titik tertinggi 544 meter dengan tutupan hutan (Enviro cor., 2010). Perbukitan landai terdapat di bagian tengah hingga utara molore, dicirikan oleh puncak-puncak landai dengan lebar, memiliki ketinggian 100 – 300 meter dpl dengan kemiringan 100 – 300. Sebagian besar merupakan hutan yang tidak begitu lebat. Daerah pedataran pada bagian barat dan selatan Molore dengan ketinggian 0 – 100 meter dpl, dengan kemiringan 00 – 100. Setempatsetempat terdapat bukit sisa dari hasil denudasi. Daerah ini ditempati oleh laterit hasil erosi Dan sebagian berupa endapan rawa-rawa. (Enviro Corp., 2010)
Tipe Iklim Seperti daerah-daerah lain di Indonesia, di kabupaten Konawe Utara dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan klasifikasi Schimedt dan Ferguson, lokasi tambang termasuk daerah basah dimana rata-rata curah hujan > 100mm/bulan., dengan nilaiQ = 23.1 – 24.4%. Menurut klasifikasi oldeman, daerah ini termasuk tipe iklim E1 tau termasuk lembab (curah hujan = 100 – 200mm/bulan). Menurut data yang diperoleh dari pangkalan udara Wolter Monginsidi Kendari, selama tahun 2007 suhu udara maksimum 320C dan minimum 210C atau rata-rata 270C. Tekanan udara 1010.6 milibar dengan kelembaban udara 78.0%. Kecepatan angin pada umumnya berjalan normal yaitu di sekitar 3.75 m/sec (Enviro Corp., 2010). Keadaan Vegetasi Penyusun Hutan Variabel Jumlah Jenis vegetasi Jumlah jenis merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas lingkungan hutan. Banyak atau sedikitnya jumlah jenis yang ditemukan akan memberikan gambaran tingkat kompleksitas interaksi yang terjadi dalam ekosistem hutan. Rekapitulasi hasil pemantauan kondisi vegetasi hingga akhir tahun 2011 berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan pada parameter Jumlah total jenis, disajikan pada Tabel 2.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
201
Tabel 2. Rekapitulasi Jumlah total Jenis Vegetasi Hutan yang ditemukan di lokasi studi. Waktu Jumlah Total Skala Kualitas Kriteria Pengamatan Jenis Lingkungan *) Maret 2011 44 5 Sangat Baik Juni 2011 42 5 Sangat Baik September 2011 36 5 Sangat Baik Desember 2011 28 4 Baik *) Kepmen KLH No.2 tahun 1988 tentang standar baku kualitas lingkungan Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011 - 2012.
Berdasarkan hasil rekapitulasi yang disajikan pada Tabel 2 maka diperoleh gambaran bahwa untuk kriteria jumlah total jenis, secara kuantitatif dan kualitatif terus mengalami penurunan pada setiap periode pengamatan. Penurunan jumlah spesies pada periode I – II disebabkan telah terbukanya 1 stasiun pengamatan yaitu stasiun 3. Dari total 7 stasiun pengamatan yang diinventarisasi pada bulan Maret, pada pengamatan bulan Juni 1 stasiun pengamatan yang sebelumnya bervegetasi telah mengalami pembukaan untuk tujuan perluasan stock pile, perubahan tersebut menyebabkan terjadinya penurunan jumlah spesies sebanyak 2 jenis. Pada periode Juni September juga terjadi penurunan bahkan jumlah kehilangan spesiesnya lebih besar dari periode sebelumnya yakni 6 speses dari sebelumnya 42 spesies menjadi 36 spesies. Hal ini jelas terlihat oleh adanya gangguan vegetasi di sekitar stasiun 7 untuk tujuan pembuatan jalan, hal ini juga didukung oleh penyebab lain yaitu adanya kegiatan penebangan di lokasi studi yang dilakukan oleh oknum tertentu, hal ini diperkuat dengan ditemukannya bekas kayu gergajian dan tunggak-tunggak pohon di lokasi studi. Pada saat pengamatan Desember 2011, aktifitas pembuatan jalan dan pembukaan lahan pada stasiun 4 yang diduga untuk keperluan tempat penimbunan top soil, telah mengakibatkan hilangnya vegetasi. Kondisi ini menyebabkan penurunan jumlah jenis yang sangat signifikan pada lokasi studi, yakni sebanyak 8 spesies. Selanjutnya, secara grafis gambaran jumlah spesies
setiap peride pengamatan disajikan di bawah ini : 50 47 44 41 38 35 32 29 26 23 20
JUMLAH TOTAL JENIS 44
42 Maret
36 28
Juni Sept Des
Maret Juni Sept
Gambar 1.
Des
Grafik Jumlah Total Jenis Vegetasi yang ditemukan di Lokasi Studi
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan untuk variabel jumlah total spesies yang ditemukan dilokasi penelitian selama periode tahun 2011 baik secara kualitatif maupun kuantitatif telah mengalami penurunan oleh adanya aktifitas pertambangan di wilayah studi. Hal ini sangat perlu mendapat perhatian serius, karena berkurangnya jenis vegetasi yang ada merupakan salah satu indikator kuat bahwa lingkungan sudah mulai mengalami kerusakan yang berakibat pada ketidaksatbilan ekosistem hutan pada lokasi tersebut. Selanjutnya rekapitulasi Jumlah Jenis yang ditemukan berdasarkan tingkat pertumbuhan vegetasi di sajikan pada Tabel 3.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
202
Tabel 3.
Rekapitulasi Jumlah Jenis Vegetasi Hutan Pada Tiap Fase Pertumbuhan Yang Ditemukan Di Lokasi Studi. JUMLAH JENIS TIAP TINGKAT VEGETASI TAHUN 2011
Waktu Pengamatan
Maret 2011 Juni 2011 September 2011 Desember 2011
Pohon
Tiang
Pancang
Semai
Jml jenis
Skala
kriteria
Jml jenis
Skala
kriteria
Jml jenis
Skala
kriteria
Jml jenis
Skala
kriteria
10 8
2 2
Buruk Buruk
25 20
4 3
Baik Sedang
30 29
4 4
Baik Baik
14 13
3 3
Sedang Sedang
5
2
Buruk
13
3
Sedang
29
4
Baik
14
3
Sedang
1
Sangat Buruk
10
2
Buruk
24
4
Baik
12
3
Sedang
4
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011-1012.
JUMLAH JENIS TIAP FASE PERTUMBUHAN 35 30 25 20 15 10 5 0
30 29 29 25
24 20
10
13 8
14 13 14
10
12
5 4
Pohon
Tiang
Pancang
Maret Juni Sept Des
Semai
Gambar 2. Grafik Jumlah Jenis pada Tiap Fase Pertumbuhan
Untuk variabel pengamatan Jumlah jenis yang ditemukan pada tiap tingkatan vegetasi, memeprlihatkan pola penurunan yang sangat signifikan terutama ditemukan pada tingkatan pohon dan tiang, sedangkan pada tingkat pancang dan semai dapat dikatakan tidak terjadi perubahan yang signifikan. Kondisi ini sangat relefan dengan adanya fenomena bukaan lahan dan penebangan, yang target utamanya adalah vegetasi pada tingkatan pohon dan tiang. Selain itu secara ekologi fase pertumbuhan vegetasi untuk mencapai tingkatan semai dan pancang butuh waktu yang lebih singkat dibandingkakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat tiang dan pohon. Sehingga terlihat bahwa jumlah jenis pada kedua tingkatan ini relatif tidak terjadi perubahan yang signifikan pada setiap periode pengamatan. Dari uraian di atas maka dapat dikemukakan bahwa untuk variabel jumlah spesies pada setiap tingkat vegetasi yang
ditemukan dilokasi pengamatan selama periode tahun 2011 pada vegetasi tingkat pohon dan tiang telah mengalami penurunan jumlah jenis oleh adanya aktifitas di wilayah studi, sedangkan untuk tingkat pancang dan semai relatif tidak terjadi perubahan atau relatif stabil.
Variabel Kerapatan vegetasi Nilai kerapatan dapat memberikan informasi mengenai banyaknya jumlah individu setiap jenis, dan juga memberikan informasi penciri komunitas hutan. Bertambah dan berkurangnya jumlah individu dapat memberikan gambaran besarnya tekanan aktifitas di lokasi studi terhadap vegetasi yang ada. Oleh karena itu tingkat kerapatan dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam menilai kualitas lingkungan. Berikut disajikan data tingkat kerapatan di lokasi studi.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
203
Tabel 4. Kualitas Lingkungan Vegetasi Hutan Berdasarkan Tingkat Kerapatan KERAPATAN TIAP TINGKAT VEGETASI PADA LOKASI STUDI Fase Pertumbuhan Tahun
Pohon K (ind/ha)
Tiang
Skala
kriteria
K (ind/ha)
Pancang
Skala
kriteria
K (ind/ha)
Semai
Skala
kriteria
K (ind/ha)
Skala
kriteria
Maret 2011
67.86
3
Sedang
182.14
4
Cukup
439.29
5
Baik
33571.43
5
Baik
Juni 2011
46.43
2
Kurang
150
4
Cukup
425
5
Baik
31071.43
5
Baik
32.14
2
Kurang
53.57
3
Sedang
610.71
5
Baik
29285.71
5
Baik
28.57
2
Kurang
42.86
2
Kurang
546.43
5
Baik
26428.57
5
Baik
September 2011 Desember 2011
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011-2012.
Untuk kriteria kerapatan vegetasi, penurunan jumlah individu per hektarnya ditunjukkan oleh vegetasi tingkat pohon dan tiang pada setiap periode pengamatan. Pada tingkat pancang terlihat adanya peningkatan yang cukup signifikan terutama pada pengamatan 3 di bulan September, hal ini karena perbedaan tingkat semai dan pancang lebih pada aspek tinggi ketimbang aspek diameter sehingga waktu yang dibutuhkan tingkat semai untuk menjadi pancang relatif lebih singkat. Pertumbuhan ini berimplikasi pada naiknya jumlah individu tingkat pancang yang dulunya berada di tingkatan semai, sehingga meningkatkan jumlah individu tingkat pancang per hektarnya, yang berimplikasi pada peningkatan kerapatan vegetasi tingkat pancang terutama pada periode ke 3 pengamatan. Fenomena seperti diatas sangat sulit ditemukan pada tingkat pohon dan tiang 700
dikarenakan rentang besaran diameter yang di butuhkan dari tingkat pancang menjadi tingkat tiang ataupun dari tingkat tiang menjadi pohon cukup besar. Apalagi umumnya vegetasi hutan rata-rata memiliki riap pertumbuhan yang relatif kecil, yang umumnya nyata terlihat pada periode 1 tahunan. Pada tingkat semai secara kualitatif dapat dikatakan relatif tidak terjadi perubahan pada veriabel kerapatan pada setiap periode pengamatan. Namun jika dianalisis lebih jauh, pada aspek kuantitatif sesungguhnya juga terjadi penurunan yang cukup besar disebabkan oleh aktifitas land clearing, dan pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan lainnya. Hal ini mengindikasikan perlunya perhatian yang serius karena tingkat semai sangat berperan dalam proses regenerasi
610.71
600
40000.00
546.43
500
439.29
400
200 67.8646.43 32.1428.57
53.57 42.86
Tiang
25000.00
26428.57
20000.00
Maret Juni Sept Des
15000.00 10000.00
0 Pohon
29285.71
Maret Juni Sept Des
182.14 150
33571.43 31071.43
30000.00
425
300
100
35000.00
Pancang
5000.00 0.00
TINGKAT KERAPATAN VEGETASI TAHUN 2011
Gambar 3. Grafik tingkat Kerapatan Vegetasi Vegetasi
Semai
(Indv/ha) pada Tiap Tingkat Pertumbuhan
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
204
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka untuk variabel tingkat kerapatan pada setiap tingkat vegetasi telah terjadi penurunan kualitas lingkungan khususnya untuk vegetasi pada tingkat pohon dan tiang oleh adanya aktifitas di wilayah studi. Sedangkan untuk tingkatan vegetasi lainnya secara kualitatif dapat dikatakan tidak terjadi penurunan ataupun peningkatan kualiatas lingkungan (tetap). Namun meskipun demikian, secara kuantitatif seluruh tingkatan vegetasi kecuali tingkat pancang menunjukkan penurunan kerpatanan yang cukup signifikan. Sehingga dapat dikatakan secara umum pada aspek kerapatan setiap tingkat vegetasi hingga pemantauan Desember 2011 telah mengalami Penurunan Kualitas Lingkungan.
Tabel 5.
Variabel Keanekaragaman vegetasi Keanekaragaman merupakan karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya, dan dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Menurut Soegianto (1994) dalam Indriyanto (2006) bahwa keanekaragaman dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas pada suatu habitat dalam menyeimbangkan komponennya dari berbagai gangguan yang timbul. Stabilitas komunitas adalah kemampuan komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya. Semakin tinggi indeks keanekaragaman suatu ekosistem berarti semakin stabil ekosistem tersebut begitu pula sebaliknya.
Kondisi Vegetasi Hutan berdasarkan berdasarkan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. KEANEKARAGAMAN TIAP TINGKAT VEGETASI PADA LOKASI STUDI
Fase Pertumbuhan
Pohon
Tiang
Pancang
Semai
Tahun
H'
Skala
kriteria
H'
Skala
kriteria
H'
Skala
kriteria
H'
Skala
kriteria
2011 (I)
2.06
4
Baik
2.88
4
Baik
2.89
4
Baik
2.24
4
Baik
2011 (II)
1.89
3
Sedang
2.67
4
Baik
2.85
4
Baik
2.13
4
Baik
2011 (III)
1.52
3
Sedang
2.52
4
Baik
2.77
4
Baik
2.17
4
Baik
2012 (I)
1.32
3
Sedang
2.25
4
Baik
2.62
4
Baik
2.03
4
Baik
Sumber : Data Primer setelah diolah, 2011-2012.
3.5 2.88
3
2.89 2.85 2.67
2.77
2.52
2.5
2.62
2.25
2.24
2.06
2
2.13 2.17
1.89
Maret Juni
1.52
1.5
2.03
1.32
Sept
1
Des
0.5 0 Pohon
Tiang
Pancang
Semai
KEANEKARAGAMAN
Gambar 4. Grafik ingkat keanekaragaman vegetasi Pada Lokasi Studi
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128
205
Keanekaragaman vegetasi pada semua tingkatan umumnya tergolong kategori melimpah sedang yang menggambarkan kemampuan pulih (daya lenting) ekosistem tergolong sedang pula. Berdasarkan data kuantitatif di atas, keanekarangan pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi mengalami penurunan. Penurunan yang terbesar terlihat pada tingkatan pohon, hal ini disebabkan besarnya tekanan terhadap tingkatan tersebut, yang ditandai oleh menurunnya jumlah jenis dan jumlah individu per hektarnya. Nilai Indeks keanekaragaman tingkat pohon juga menunjukkan bahwa tingkat pohon disusun oleh jumlah spesies (jenis) yang relatif paling sedikit diantara tingkatan yang lain, meskipun masih masuk dalam klasifikasi yang sama dengan tingkatan yang lain yakni melimpah sedang. Pada tingkatan vegetasi yang lain indeks vegetasi menunjukkan angka diatas 2. Dari gambar grafik di atas menunjukkan bahwa diantara semua tingkatan, tingkat vegetasi pancang merupakan tingkatan yang paling stabil. Kondisi ini mengindikasikan adanya aktifitas pertambangan di lokasi studi telah menyebabkan gangguan terhadap semua vegetasi yang ada yang berimplikasi pada penurunan tingkat keanekaragaman, yang pada akhirnya akan menurunkan kestabilan ekosistem secara keseluruhan, karena kondisi ini terjadi pada semua tingkat vegetasi. Hal ini perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius. Karena jika ini terus berlanjut tentu akan menyebabkan kerusakan ekosistem hutan yang lebih serius. Selain itu kerusakan tersebut akan berpengaruh pula terhadap habitat atau “home range” bagi fauna daratan (satwa liar) serta siklus hidroologis terutama cadangan iar tanah ada.
terutama terjadi pada tingkat pohon dan tiang yang mengindikasikan besarnya tekanan terhadap kedua tingkat vegetasi tersebut. (2) Pada variabel kerapatan vegetasi, aktifitas di wilayah studi telah menyebabkan penurunan kuantitatif yang sangat signifikan terutama ditemukan pada tingkat pohon, tiang dan semai, sedangkan pada tingkat pancang terjadi peningkatan meskipun tidak signifikan. (3) Tingkat keanekaragaman vegetasi secara kualitatif masih berada pada kelas kriteria yang sama (tetap), namun secara kuantitatif nilai Indeks keanekaragaman mengalami penurunan, yang mengindikasikan aktifitas pertambangan di lokasi studi telah menyebabkan gangguan terhadap semua vegetasi yang ada yang berimplikasi pada penurunan tingkat keanekaragaman, yang pada akhirnya akan menurunkan kestabilan ekosistem secara keseluruhan. Melakukan reboisasi atau penanaman kembali sesegera mungkin pada daerah terbuka yang telah selesai kegiatan penambangannya dan pembuatan arboretum untuk tujuan pengawetan terhadap jenisjenis vegetasi yang ada dilokasi studi, dapat dijadikan salah satu solusi untuk mencegah hilangnya spesies tertentu akbiat kegiatan pertambangan. Selain bermanfaat dari aspek konservasi, pada tahapan yang lebih jauh juga akan memberikan manfaat edukasi dan ekowisata.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan RI, 1999. UndangUndang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta Enviro
Corp. Environmental Research, 2010. Kerangka Acuan (KA ANDAL) Penambangan Bijih Nikel PT. Starget Pasific Resources. Kendari.
Fandeli,
C. 2000. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Prinsip Dasar dan Pemaparannya dalam Pembangunan. Edisi Ke dua. Liberti offset. Yogyakarta
KESIMPULAN Kesimpulan penelitian ini adalah : (1) Aktifitas pertambangan yang dilakukan di lokasi studi selama kurun waktu tahun 2011 telah mengakibatkan penurunan jumlah Spesies yang cukup signifikan yaitu 26 jenis vegetasi. Penurunan terbesar
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128
206
Ferianita Fachrul M., 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta. Forum Tata Ruang Wilayah Sulawesi Tenggara, 2010. Kertas Posisi (Positioning Paper). Kendari.
ISSn : 0216-0439. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor indonesia Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta.
Hardjosuwamo, S. 1994. Ekologi Tumbuhan Jilid I. Fakultas Biologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Otto
Soemarwoto, 2001 . Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Herianto, NM. 2004. Suksesi hutan bekas Tebangan di Kelompok Hutan Sungai Lekawai_Sungai Jengonoi, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat Jurnal Penelitian Kehutanan dan Konservasi Alam. . Vol 1 No.2.
Soegianto A., 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Usaha Nasional, Surabaya. Smith, RL. 1977. Element of Ecology. Harper and Row Publisher, New York.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128