60 ANALISIS BREAK EVEN POINT (BEP) USAHA PEMASARAN KACANG METE DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Oleh: Wa Ode Farida S. Djarudju1
ABSTRACT The research aims to identify and analyze the volume and price of Break Even Point (BEP) on cashew nut marketing efforts in Southeast Sulawesi Province. Research conducted in Southeast Sulawesi province from May to July of 2011. Determination of the respondents were snowball sampling, the number of respondents as many as 12 people consisting of 6 local traders, 4 district collectors, traders and 2 provinces. Data was collected through direct interviews and data were analyzed using analysis of Break Even Point (BEP). The results showed that the cashew nut marketing efforts undertaken local traders, merchants districts and provinces to reach break-even point (Break Even Point) respectively in sales volume average of 77.50 kg, 225.95 kg, 160.30 kg, and the average price of Rp 59622.51 kg-1, USD 76612.38 kg-1, and USD 84011.48 kg-1. Keywords: Break Even Point (BEP), business, marketing, cashew nuts
PENDAHULUAN Jambu mete merupakan salah satu komoditas perkebunan yang termasuk mata dagangan yang mempunyai peranan penting dalam perolehan devisa dan penciptaan lapangan kerja bagi sebagian penduduk di beberapa provinsi. Produk utama tanaman jambu mete, yaitu kacang mete dengan harga yang cukup tinggi dan buah semu yang dapat diolah menjadi sari buah, selai, cuka, sirup dan manisan. Sedangkan cairan kulit biji mete yaitu CNSL (Cashew Nut Shell Liquid) merupakan bahan baku industri cat, minyak rem dan lain-lain. Kabupaten Buton merupakan salah satu daerah sentra produksi jambu mete di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tanaman jambu mete diusahakan di 19 kecamatan dari 21 kecamatan yang ada di Kabupaten Buton. Produksi jambu mete di Kabupaten Buton pada tahun 2009 sebanyak 7.208 ton dan 2.456,73 ton atau 34,08% dari jumlah produksi tersebut dihasilkan petani jambu mete di Kecamatan Gu dan Lakudo (Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, 2010). Selain itu kedua kecamatan tersebut merupakan daerah sentra pengolahan kacang mete di Kabupaten Buton. Hal yang penting dikaji sehubungan dengan usaha pemasaran kacang mete oleh
pedagang adalah kondisi pulang pokok (break Dalam even point) dari usaha tersebut. melakukan usaha pemasaran kacang mete, para pedagang mengeluarkan biaya pemasaran yang besar, baik biaya tetap maupun biaya variabel. Biaya tetap yang dikeluarkan meliputi: biaya penyusutan bangunan dan berbagai peralatan yang digunakan dalam menjalankan usaha serta pajak. Sedangkan biaya variabel meliputi: pembelian kacang mete dan bahan penunjang yang jumlahnya cukup besar. Selama ini para pedagang menjalankan kegiatan usahanya tanpa mengetahui berapa banyak jumlah kacang mete yang harus dipasarkan agar tidak mengalami kerugian akibat dari besarnya biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu agar pedagang kacang mete tidak menderita kerugian, maka penting untuk dilakukan analisis break even point. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka pedagang dapat mengetahui seberapa banyak jumlah kacang mete yang dipasarkan untuk mencapai titik pulang pokok dan selanjutnya dapat merencanakan jumlah kacang mete yang harus dijual untuk mencapai tingkat keuntungan yang diinginkan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis volume dan harga penjualan kacang mete yang dilakukan pedagang mencapai titik pulang pokok (break even point).
Volume NomorUniversitas : 01Januari 2012, Kendari ISSN 0854-0128 ) Staf Pengajar pada AGRIPLUS, Jurusan Agribisnis Fakultas22 Pertanian Haluoleo,
1
60
61 METODE PENELITIAN
Py
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Mei sampai Juli tahun 2011. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja pada tiga kabupaten/kota yakni Kabupaten Buton, Kota Baubau, dan Kota Kendari. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa pada ketiga daerah tersebut terdapat pedagang yang melakukan usaha pemasaran kacang mete di Provinsi Sulawesi Tenggara. Populasi dan Responden Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua pedagang pengumpul yang melakukan usaha pemasaran kacang mete di lokasi penelitian dengan jumlah anggota populasi sebanyak 12 orang. Penentuan responden dilakukan secara snowball sampling, yaitu menelusuri pedagang yang melakukan usaha pemasaran kacang mete yang membeli kacang mete langsung dari pengolah. Responden penelitian terdiri atas: 6 orang pedagang pengumpul lokal, 4 orang pedagang pengumpul kabupaten, dan 2 orang pedagang pengumpul provinsi.
vc
Variabel Penelitian 1. Identitas responden, meliputi: umur, tingkat pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, pengalaman mengelola usaha, dan luas lahan usahatani jambu mete. 2. Biaya tetap dan biaya variabel. 3. Volume dan harga kacang mete yang dipasarkan. Teknik Analisis Data Volume BEP penjualan kacang mete oleh pedagang dianalisis dengan menggunakan analisis BEP unit menurut Firdaus (2009) sebagai berikut: TFC BEP (Q) = ------------Py – vc Keterangan: BEP (Q) = Volume penjualan saat terjadi kondisi pulang pokok (kg) TFC = Biaya tetap total usaha pemasaran kacang mete (Rp)
TVC Y
= Harga penjualan per kilogram kacang mete (Rp/kg) = Biaya variabel per kilogram kacang mete yang dihitung dengan rumus: vc = TVC/Y = Biaya variabel total usaha pemasaran kacang mete (Rp) = Jumlah penjualan kacang mete (kg)
Dengan kriteria sebagai berikut: Jika BEP (Q) = Q aktual berarti pulang pokok Jika BEP (Q) > Q aktual berarti tidak efisien (rugi) Jika BEP (Q) < Q aktual berarti efisien (untung) Sedangkan harga BEP penjualan kacang mete oleh pedagang dianalisis dengan menggunakan analisis BEP menurut Suratiyah (2009) sebagai berikut: TC BEP (P) = ------Q Keterangan: BEP (P) = Harga penjualan saat terjadi kondisi pulang pokok (Rp/kg) TC = Biaya total usaha pemasaran kacang mete (Rp/tahun) Q = Jumlah penjualan kacang mete (kg/tahun) Dengan kriteria sebagai berikut: Jika BEP (P) = P aktual berarti pulang pokok Jika BEP (P) > P aktual berarti tidak efisien (rugi) Jika BEP (P) < P aktual berarti efisien (untung)
HASIL DAN PEMBAHASAN Identitas Responden Identitas responden merupakan gambaran mengenai keadaan sosial ekonomi responden yang turut mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengelola usahanya. Identitas responden yang diuraikan dalam penelitian meliputi: umur, tingkat pendidikan formal, jumlah anggota keluarga, dan pengalaman mengelola usaha. 1. Umur
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128
62 Umur dapat mempengaruhi kemampuan seseorang, baik fisik maupun cara berpikir dalam mengelola kegiatan usaha. Pedagang yang berumur muda dan sehat memiliki kemampuan fisik lebih kuat, cepat mengadopsi teknologi dan informasi serta lebih tanggap dan berani menerima risiko dalam upaya memajukan usahanya, namun minim dalam pengalaman. Sedangkan pedagang yang berusia tua umumnya lebih matang dalam mengelola usahanya, karena pengalaman mereka lebih banyak, namun kemampuan fisiknya sudah mulai menurun. Pengelompokan umur dalam penelitian ini berdasarkan klasifikasi dari Badan Pusat Statistik (2002), yakni penduduk usia kerja yaitu penduduk yang berumur antara 10 – 64 tahun dan penduduk bukan usia kerja yaitu penduduk yang berumur dibawah 10 tahun dan lebih dari 64 tahun. Hasil penelitian menunjukkan umur pedagang responden berkisar antara 40 – 56 tahun dengan rata-rata 47,75 tahun. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa seluruh responden termasuk dalam kategori penduduk usia kerja. 2. Tingkat Pendidikan Formal Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu aspek yang menentukan kemampuan dan cara berpikir pedagang dalam mengelola usahanya. Semakin tinggi pendidikan formal responden, maka pengetahuan dan wawasannya semakin luas serta cara berpikirnya akan semakin rasional. Dengan demikian akan mempercepat proses adopsi inovasi dan informasi dalam upaya mengembangkan usaha yang dikelolanya. Hasil penelitian menunjukkan pedagang responden memiliki tingkat pendidikan formal berkisar antara tamat Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Jumlah pedagang responden yang paling banyak adalah tamat SMA (83,34%). 3. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang dalam satu rumah tangga yang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya berada dalam satu unit pengelolaan. Pengelompokan jumlah anggota keluarga dilakukan berdasarkan klasifikasi dari Badan Pusat Statistik (2002), yakni keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga 1 - 3 orang, keluarga sedang dengan
jumlah anggota keluarga 4 - 6 orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 6 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga pedagang responden berkisar antara 4 – 7 orang dengan rata-rata 5,25 orang. Dengan jumlah anggota keluarga yang demikian, maka diharapkan sebagian anggota keluarga sudah berada pada usia produktif, sehingga dapat menjadi sumber tenaga kerja untuk membantu pedagang responden dalam mengelola usahanya. 4. Pengalaman Berusaha Pengalaman pedagang dalam berusaha dapat dilihat dari lamanya pengolah dan pedagang tersebut melakukan kegiatan usaha yang ditekuninya. Semakin lama pengalaman dalam berusaha, maka pengolah dan pedagang tersebut semakin matang dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam usahanya, sehingga mampu menentukan alternatif yang tepat sebagai solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi. Pengelompokkan pengalaman berusaha dilakukan berdasarkan pendapat Soehardjo dan Patong (1984) bahwa kategori kurang berpengalaman apabila menggeluti bidang pekerjaannya kurang dari 5 tahun, cukup berpengalaman apabila 5 – 10 tahun, dan berpengalaman apabila diatas 10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman pedagang responden berkisar antara 6 – 24 tahun dengan rata-rata 12,75 tahun (berpengalaman). Analisis Break Even Point (BEP) Break Even Point (BEP) merupakan suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui pada saat kapan suatu usaha mengalami titik impas (pulang pokok). Impas dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana suatu usaha tidak memperoleh keuntungan dan tidak menderita kerugian atau keuntungan sama dengan nol. Oleh karena itu suatu usaha dikatakan impas jika jumlah penerimaan (revenue) sama dengan jumlah biaya (cost). Analisis BEP dalam penelitian ini dibagi atas tiga, yaitu: (1) analisis BEP untuk usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan pedagang pengumpul lokal, dan (2) analisis BEP untuk usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan pedagang kabupaten dan provinsi.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128
63 Hasil perhitungan mengenai besarnya volume dan harga penjualan yang menghasilkan kondisi pulang pokok dibandingkan dengan volume dan harga penjualan aktual yang diterima pedagang. Hal ini perlu diketahui oleh pedagang agar tidak melakukan penjualan kacang mete di bawah kondisi titik pulang pokok yang dapat
mengakibatkan usaha mengalami kerugian. Berdasarkan rumus BEP pada metode penelitian maka dapat dihitung volume dan harga BEP penjualan masing-masing pedagang. Gambaran mengenai rata-rata volume dan harga BEP penjualan kacang mete oleh pedagang responden disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-Rata Volume dan Harga Break Even Point (BEP) Penjualan serta Volume dan Harga Penjualan Aktual Usaha Pemasaran Kacang Mete di Provinsi Sulawesi Tenggara, 2011 No
Uraian
Jenis Produk
Volume (kg)
Harga (Rp/kg)
BEP
Aktual
BEP
Aktual
Keterangan
1
Pedagang Pengumpul Lokal
Kacang Mete
77,50
2.589,50
59.622,51
70.500
Untung
2
Pedagang Kabupaten dan Provinsi
Kacang Mete
225,95
4.039,17
76.612,38
89.333,33
Untung
Tabel 1 menunjukkan bahwa volume penjualan kacang mete oleh pedagang pengumpul lokal mengalami pulang pokok pada volume penjualan kacang mete sebanyak 77,50 kg. Dengan demikian maka kondisi dimana jumlah biaya yang dikeluarkan sama dengan jumlah penerimaan yang diperoleh (pulang pokok) terjadi pada saat volume penjualan kacang mete sebanyak 77,50 kg. Jika volume penjualan kacang mete pada saat terjadi kondisi pulang pokok yaitu sebesar 77,50 kg dibandingkan dengan volume penjualan aktual yang telah dicapai yaitu sebesar 2.589,50 kg, maka dapat disimpulkan bahwa volume penjualan kacang mete yang dilakukan pedagang pengumpul lokal telah melampaui titik pulang pokok. Hal tersebut berarti pula bahwa dengan jumlah penjualan kacang mete aktual yang dicapai sebanyak 2.589,50 kg, maka penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, sehingga usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan akan memperoleh sejumlah keuntungan. Harga penjualan kacang mete oleh pedagang pengumpul lokal mencapai kondisi pulang pokok pada harga rata-rata sebesar Rp 59.622,51/kg. Data ini menunjukkan bahwa kondisi dimana jumlah biaya yang dikeluarkan sama dengan jumlah penerimaan yang diperoleh
terjadi pada harga penjualan kacang mete sebesar rata-rata Rp 59.622,51/kg. Jika harga rata-rata penjualan kacang mete tersebut dibandingkan dengan harga rata-rata penjualan aktual yang terjadi di pasar, yaitu sebesar Rp 70.500/kg, maka dapat disimpulkan bahwa harga penjualan kacang mete oleh pedagang pengumpul lokal telah melampaui titik pulang pokok. Hal tersebut berarti pula bahwa dengan harga penjualan kacang mete aktual yang dicapai sebesar Rp 70.500/kg, maka penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, sehingga usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan akan memperoleh sejumlah keuntungan. Kondisi pulang pokok untuk usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan pedagang kabupaten dan pedagang provinsi terjadi pada volume penjualan kacang mete sebanyak 225,95 kg. Dengan demikian maka kondisi dimana jumlah biaya yang dikeluarkan sama dengan jumlah penerimaan yang diperoleh (pulang pokok) terjadi pada saat volume penjualan kacang mete sebanyak 225,95 kg. Jika volume penjualan kacang mete pada saat terjadi kondisi pulang pokok yaitu sebesar 225,95 kg dibandingkan dengan volume penjualan aktual yang telah dicapai sebesar 4.039,17 kg, maka dapat disimpulkan bahwa volume penjualan kacang mete yang dilakukan
AGRIPLUS, Volume 23 Nomor : 01 Januari 2013, ISSN 0854-0128
64 pedagang kabupaten dan pedagang provinsi telah melampaui titik pulang pokok. Hal tersebut berarti pula bahwa dengan jumlah penjualan kacang mete aktual yang dicapai sebanyak 4.039,17 kg, maka penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, sehingga usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan akan memperoleh sejumlah keuntungan. Tabel 1 menunjukkan pula bahwa harga penjualan kacang mete oleh pedagang kabupaten dan pedagang provinsi mencapai kondisi pulang pokok pada harga rata-rata sebesar Rp 76.612,38/kg. Data ini menunjukkan bahwa kondisi dimana jumlah biaya yang dikeluarkan sama dengan jumlah penerimaan yang diperoleh terjadi pada harga penjualan kacang mete sebesar rata-rata Rp 76.612,38/kg. Jika harga rata-rata penjualan kacang mete tersebut dibandingkan dengan harga rata-rata penjualan aktual yang terjadi di pasar, yaitu sebesar Rp 89.333,33/kg, maka dapat disimpulkan bahwa harga penjualan kacang mete oleh pedagang kabupaten dan pedagang provinsi telah melampaui titik pulang pokok. Hal tersebut berarti bahwa dengan harga penjualan kacang mete aktual yang dicapai sebesar Rp 89.333,33/kg maka penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, sehingga usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan akan memperoleh sejumlah keuntungan. Uraian di atas menunjukkan bahwa volume penjualan kacang mete yang dilakukan oleh pedagang pengumpul lokal, pedagang kabupaten, dan pedagang provinsi telah melampaui titik pulang pokok, artinya bahwa usaha pemasaran yang dilakukan mampu memberikan sejumlah keuntungan. Walaupun demikian jika volume penjualan terus ditambah dengan tidak diikuti dengan proses manajemen usaha yang baik, maka biaya yang dikeluarkan akan lebih besar dari penerimaan yang diperoleh. Hal ini mengakibatkan usaha pemasaran kacang mete yang dilakukan akan menderita kerugian. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha
pemasaran kacang mete yang dilakukan pedagang pengumpul lokal, pedagang kabupaten dan provinsi mencapai titik pulang pokok (Break Even Point) masing-masing pada volume penjualan rata-rata sebanyak 77,50 kg, 225,95 kg, 160,30 kg, dan pada harga rata-rata sebesar Rp 59.622,51/kg, Rp 76.612,38/kg, dan Rp 84.011,48/kg. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka saran yang dapat diajukan adalah sebaiknya pedagang melakukan usaha pemasaran dengan menjual kacang mete pada volume dan harga di atas titik pulang pokok atau Break Even Point (BEP) agar tidak mengalami kerugian. DAFTAR PUSTAKA Badan
Pusat Statistik, 2002. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Kendari.
_________________, 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka. Kendari. _________________, 2010. Kabupaten Buton Dalam Angka. Pasarwajo. Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2000. Budidaya Tanaman Kakao dan Jambu Mete. Kendari. _______________________________________, 2004. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2003. Kendari. Firdaus M, 2009. Manajemen Agribisnis. Bumi Aksara. Jakarta. Hernanto F, 1999. Ilmu Usahatani. Swadaya. Jakarta.
Penebar
Rianse U dan Abdi, 2008. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi (Teori dan Aplikasi). Penerbit CV. Alvabeta. Bandung. Soeharjo A dan Patong D, 1984. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Suratiyah K, 2009. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN 0854-0128