AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN

231

NILAI PENTING DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI HUTAN LINDUNG WAKONTI DAS BAUBAU Oleh : Safril Kasim1) ABSTRACT Wakonti Protected forest is located upland area of Baubau Watershed. This forest has an abundance flora and fauna endemic, and it is therefore has an important both hidroorological and ecological roles for Baubau Watershed area. This research has goals (1) To inventarize flora species in Wakonti Forest Area; (2) To determine the Importance of Value Index (IoVI) and (3) To analyze Biodevirsity index (BI) using Shanon Indeks of General Diversity. The results show that there 40 species found in study area, 23 family and 33.333 individu. Wakirasa ( Magnolia) is the highest IVI at the tree level, whereas Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Si(ga)) is the lowest. At the pole level, the highest IVI is Kase (Pometia pinnata Forst), whereas the lowest is Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Si(ga)). Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq) is the highest IVI at the sapling level, whereas the lowest is bele-bele (Eugenia), and at the seedling level, the highest IVI is Bebenu, and the lowest is Bellu. Biodeversity Indeks Analysis shows that the tree level has 1,21 BI (Middle-Abundance), the poles level has 1,73 (Middle-Abundance), the Sapling level has 1,19 (Middle-Abundance), and the seedling level has 1,28 (Middle-Abundance). In general, the diversity of Wakonti Protected Forest Ecosystem still be well managed which is indicated by the rate of IoVI and BI are still in the rate from Middle until Abundance Level. Keywords: the importance of value index, biodiversity index, wakonti protected forest, Baubau watershed.

PENDAHULUAN Degradasi dan deforestasi telah mengakibatkan berkurangnya total penutupan lahan di Indonesia termasuk dalam kawasa hutan lindung, seperti Kawasan Hutan Lindung Wakonti di bagian tengah Daerah Aliran Sungai (DAS) Baubau. Aktivitas manusia berupa penebangan liar dan konversi lahan menjadi kawasan perkebunan, pertanian, permukiman dan sarana pelayanan umum adalah beberapa contoh penyebab terjadinya kerusakan hutan di wilayah DAS Bau-bau. Padahal kawasan hutan ini yang mempunyai jenis vegetasi beranekaragam, memegang perananpenting didalam menyediakan iklim mikro, pengatur tata air (hidroorologis), penghasil oksigen (oxygen supplier) bagi Kota Bau-Bau, dan penyerap karbon dioksida dan gas-gas cemaran lain yang dihasilkan oleh transportasi, industri dan gas-gas cemaran domestik.

1

Sebagai salah ekosistem hutan di daerah tropis, Kawasan Hutan Lindung Wakonti memiliki potensi vegetasi yang masih cukup baik. Kawasan hutan ini tersusun oleh berbagai jenis vegetasi dengan tingkat keanekaragaman diduga cukup tinggi serta memiliki kemampuan menyerap karbon yang baik. Potensi vegetasi hutan yang masih cukup baik tersebut berimplikasi secara langsung terhadap membaiknya fungsi hidroorologis kawasan hutan ini terhadap DAS Bau-Bau. Meskipun demikian, tekanan terhadap kawasan ini cukup berat dengan tingginya aktivitas perambahan kawasan dan trend perubahan penggunaan lahan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan uraian di atas, maka dianggap perlu melakukan penelitian mengenai keanekaragaman vegetasi di Kawasan Hutan Lindung Wakonti. Tujuan penelitian ini adalah: a) Mengiventarisasi jenis-jenis vegetasi dalam kawasan Hutan Lindung Wakonti, baik pada tingkat semai,

AGRIPLUS, Volume 22 Nomor 03 September 2012, ISSN 0854-0128 )Staf Pengajar Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian: Universitas Haluoleo, Kendari

231

232

pancang, tiang, dan pohon; b) Menghitung NilaiPenting (INP) vegetasi dalam kawasan Hutan Lindung Wakonti; c) Menganalisis Tingkat keanekaragaman vegetasi Hutan Lindung Wakonti. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian bertempat di Hutan Lindung Wakonti DAS Bau-bau. Dipilih beberapa area yang representatif secara purposive untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi dalam kawasan Hutan Lindung Wakonti. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis-jenis yang ada di hutan wilayah DAS Bau-bau dengan ukuran diameter bervariasi. Pohon yang ditunjuk sebagai sampel merupakan jenis kayu yang tumbuh dengan baik berdasarkan kelas pertumbuhan pohon yakni sapihan (seedling) : sejak berkecambah-tinggi 150 cm, pancang (sapling) : tinggi > 150 cm, Ø < 10 cm, tiang (pole) : Ø 10 – 19 cm, dan pohon (tree) : Ø > 19 cm menurut ketetapan TPTI tahun 1989/1993 (Suginingsih et al., 2005). Pengambilandata dilakukanpada bulan Maret-April tahun 2012. Analisis data lapangan dan hasil pengukuran terhadap sampel tegakan hutan dilaksanakan pada bulan Mei–Juni tahun 2012. Adapun

penyusunan laporan dan publikasi dapat dilaksanakan mulai bulan Juli-Agustus 2012. Prosedur Penelitian a. Penempatan Petak Ukur (PU) Penempatan PU ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dengan metode kombinasi sehingga dapat mewakili kondisi tegakan pada hutan lindung. Metode kombinasi yang dimaksud adalah kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak. Jumlah petak ukur ditentukan dari hasil survei pendahuluan. Pada survei awal dibuat masing-masing 4 (empat) petak ukur (PU). Dimana kawasan Hutan Lindung (HL) dengan luasan tertentu.Kesalahan yang diperkenankan (allowable error) dalam survei ini adalah 15% dengan tingkat kecermatan 95%. Berdasarkan itulah, maka jumlah PU yang akan diukur pada penelitian ini adalah 15 PU denganintensitas sampling (IS)nya 0,1 %. b. Pembuatan Petak Ukur Petak ukur yang dibuat berbentuk bujur sangkar dengan luas 1 Petak Ukur (PU) 0,04 hektar (20 m x 20 m). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

A D

arah rintis

C

B

Gambar 3.1. Desain petak contoh di lapangan dengan metode kombinasi (Kusmana, 1997 dalam Indriyanto, 2006).

Keterangan : Petak A Petak B Petak C Petak D

= = = =

petak ukur berukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan pohon petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengamatan poles petak berukuran 5 x 5 m untuk penamtan sapling petak ukur 2 m x 2 m untuk pengamatan seedling dan tumbuhan bawah

c. Pengukuran Sampel Pohon 1. Pengukuran obyek

-

Pengukuran DBH breast heigh)

AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 02 Mei 2012, ISSN 0854-0128

(diameter

at

233

Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan pita meter untuk mengukur keliling pohon. Dari pengukuran keliling pohon selanjutnya dikonversi kedalam diameter setinggi dada. Pengukuran dimeter ini dilakukan untuk semua pohon yang terdapat dalam petak ukur. - Pengukuran tinggi pohon Pengukuran tinggi pohon menggunakan hagameter. Semua pohon-pohon yang terdapat dalam petak ukur dilakukan pengukuran. Mekanisme pengukurannya adalah pengamat berdiri kurang lebih 5-10 meter dari pohon yang akan dibidik. Setelah itu hagameter diarahkan diujung tertinggi pohon dengan mendapat nilai tertentu yang merupakan tinggi pohon. Hal ini hanya berlaku jika pengamat dan KR – i =

AnalisisData a. Densitas Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan,istilah yang mempunyai arti samadengan densitas dan sering digunkan adalah kerapatan diberi notasi K. jumlah individu contoh

K = luasseluruhpetak

Dengan demikian, densitas spesies ke-i dapat dihitung sebagai K-i, dan densitas relatif setiap spesies ke-i terhadap kerapatan total dapat dihitung sebagai KR-i. K–i=

jumlah individu untuk spesies ke −i luas seluruh petak conto h

kerapatan spesies ke −i jumlah seluruh spesies pada petak contoh

b. Frekuensi Frekuensi adalah merupakan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan keberadaan organisme pada komunitas atau ekosistem. Apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, makin banyak petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, berarti makin besar frekuensi F=

obyek berada pada posisi yang sama datar.

x 100 %

spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, makin kecil frekuensi spesies tersebut. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, frekuensi spesies (F), frekuensi spesies ke-i (F-i) dan frekuensi relatif spesies ke-i (FR-i) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies Jumlah seluruh petak contoh Jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies ke −i Jumlah seluruh petak contoh

F–i=

FR – i =

frekuensi suatu spesies ke −i Frekuensi seluruh spesies

c. Luas Penutupan Luas penutupan (coverage) adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan, luas penutupan spesies (C), luas penutupan spesies ke-i (C-i) dan luas penutupan

x 100 % relatif spesies ke-i (CR-i) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut. Jika berdasarkan luas basal area atau luas luas bidang dasar, maka : C = luas

luas basal area seluruh petak contoh

AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN 0854-0128

234

C-i =

total luas basal area spesies ke −i luas seluruh petak contoh penutupan spesies ke −i seluruh spesies

CR-i =penutupan

x 100%

d. Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting (importance value index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi (tingkat penguasaan) spesiesspesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto, 2006). Dengan demikian, indeks nilai penting (INP) dan indeks nilai penting untuk spesies ke-i (INP-i) dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: INP = KR + FR + CR INP-i = KR-i + FR-i + CR-i e.

Indeks Keanekaragaman Keanekaragaman spesies merupakan ciri tingkatan komunitas berdasarkan organisasi Biologinya. Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas.Keanekaragaman spesies juga dapat digunakan untuk mengukur stabilitas komunitas, yaitu kemampuan suatu komunitas untuk menjaga dirinya tetap stabil meskipun ada gangguan terhadap komponen-komponennya (Soegianto, 1994 dalam Indriyanto, 2006).Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Untuk memperkirakan keanekaragaman spesies ada beberapa indeks keanekaragaman yang dapat dipilih untuk dipakai dalam analisis komunitas. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah Indeks Shannon atau Shannon index of general diversity (H) yaitu : H=-

n.i N

n.i

log( N )

Keterangan :H = indeks Shannon = indeks keanekaragaman Shannon, n.i = nilai penting dari tiap spesies; N = total nilai penting

HASIL DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi Jenis Vegetasi pada Kawasan Hutan Lindung Wakonti Hasil tabulasi jenis vegetasi berkayu pada Kawasan Hutan Lindung Wakonti diperoleh 40 jenis dengan famili 20 dan total individu 682 dalam 15 Petak Ukur yang dibuat dengan luas 0,6 Ha sebagai Unit Pengamatan. Jumlah jenis tertinggi adalah jenis Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.) dan Kase (Pometia pinnata Forst.) dengan masing-masing berjumlah 82 dan 59. Dari sisi sebaran jenis, Jenis Hurupi dan Kase tersebar merata pada berbagai kategori jenis Pohon, Tiang, Pancang, dan Semai. Selain kedua jenis tersebut, jenis Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl. (ga.)) dan Korukoru (Horsfieldia) ternyata juga tersebar merata pada semua kategori jenis pohon, tiang, pancang dan semai meskipun dalam jumlah tidak signifikan. Data ini menunjukan Jenis Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.) dan Kase (Pometia pinnata Forst.) merupakan dua jenis tanaman yang memiliki adaptasi yang baik terhadap lingkungan, baik lingkungan edapis (tanah) dan klimatis (iklim). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa jumlah jenis vegetasi berkayu pada petak ukur teramati yang paling kecil adalah jenis masing-masing Beringin (Ficus Benyamina) dalam kategori pohon dan Kassilupi (Adinandra) dalam kategori Tiang. Data ini sangat penting karena mengindikasikan bahwa kedua jenis ini hampir mengalami kepunahan yang diindikasikan tidak adanya lagi regenerasi pada kategori semai dan pancang. Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa komunitas dunia tumbuhan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang disebabkan oleh adanya aktivitas alam maupun manusia. Perubahan pada lingkungan alam dapat disebabkan oleh adaptasi terhadap kondisi lingkungan tanah,


235

topografi, geologi dan iklim, melalui perubahan pada tubuh atau fungsinya, sedangkan lingkungan juga mengalami perubahan melalui proses fisik atau biogeokimia untuk mempertahankan kualitas penunjang kehidupan dan keseimbangan sistem komunitas. Komposisi Vegetasi Lindung Wakonti

Kawasan

Hutan

Tingkat Pohon A. Kerapatan Kerapatan merupakan jumlah suatu individu jenis per unit luas atau per unit volume. Hasil analisis memperlihatkan bahwa untuk kategori pohon kerapatan tertinggi dijumpai berturut-turut pada jenis Ntokulo, Wakirasa, Bele-Bele (Eugenia)dan Kase (Pometia pinnata Forst) dengan nilai kerapatan masing-masing32 individu/ha, 32 individu/ha, 28 individu/ha dan 25 individu/ha. Data diatas menggambarkan bahwa jenis-jenis inilah yang banyak ditemukan dilokasi penelitian dengan tingkat pertumbuhan yang baik dan mengindikasikan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Fandeli (1992) mengkategorisasi kerapatan dalam 4 (empat) kategori yaitu kategori buruk dengan nilai 12-50, sedang dengan nilai 51-100, cukup dengan nilai 101-200, dan baik dengan nilai > 201. Berdasarkan kategori ini, maka secara umum tingkat densitas vegetasi pohon dalam Kawasan Hutan Lindung Wakonti berada dalam kondisi baik. Data kerapatan vegetasi pohon ini berimplikasi pada pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Wakonti bersifat mendesak karena fungsinya yang strategis sebagai kawasan penyanggah Kota Baubau dan pengatur tata air bagi Kota Baubau dan sekitarnya. B. Dominansi Nilaidominansi (D) ditunjukan dengan nilai dominansi relatif tertinggi adalah jenis Wakirasa yaitu sebesar 16, 38%, disusul Ntokulo, dengan nilai 10,87 % dan Beringin (Ficus Benyamina) dengan nilai 9,13 %. Hal ini ditunjukkan oleh fakta

bahwa jenis ini terdapat paling banyak dan menempati ruang tumbuh yang baik, serta memiliki diameter yang cukup besar sehingga luas bidang dasar yang dihasilkan pun besar. Jenis vegetasi dengan dominansi tinggi juga bermakna bahwa jenis-jenis ini sangat berpeluang besar untuk mendominansi jenis-jenis lainnya dalam kawasan Hutan Lindung Wakonti. Demikian sebaliknya, jenis terendah juga berarti bahwa peluang jenis-jenis ini sangat rendah peluangnya untuk mendominansi jenis lainnya. C. Frekuensi Frekuensi adalah jumlah petak contoh tempat diketemukannya suatu spesies dari jumlah petak contoh yang dibuat. Nilai frekuensi tertinggi ditunjukkan pada jenis Ntokulodan Wakirasa dengan nilai masing-masing 0,73, disusul dengan Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq) .0,67. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis ini paling sering ditemui disekitar plot pengamatan. Sedangkan nilai terendahnya terdapat pada jenis Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl). (ga.) dengan nilai yaitu 0,07 atau dapat dikatakan frekuensinya tidak stabil dengan nilai yang sangat rendah. D. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting vegetasi tertinggi pada tingkat pohon di kawasan Hutan Lindung Wakonti adalah jenis Wakirasa dengan INP 39,39 %. Hasil analisis vegetasi jenis Wakirasa memegang peranan yang sangat tinggi terhadap komunitas Kawasan Hutan Lindung Wakonti, baik secara individual memiliki nilai kerapatan relatif, nilai frekuensi relatif relatif, dan nilai dominansi yang tinggi sehingga secara totalitas menghasilkan indeks nilai penting yang tinggi dari jenis ini. Sedangkan nilai INP terendah ditemukan pada jenis Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl). (ga.) dengan nilai 1,84 %. Menurut Fahrul (2007) menyatakan bahwa besarnya nilai INP juga menggambarkan tingkat pengaruh suatu jenis vegetasi terhadap stabilitas ekosistem. Dalam hal ini, nilai INP untuk tingkatan


236

pohon dalam penelitian ini diperoleh 39,39 %. Nilai ini termasuk dalam kategori sedang. Menurut Fahrul (2007) kategorisasi nilai INP adalah sebagai berikut : INP > 42, 66 dikategorikan tinggi, INP 21, 96 -42, 66 sedang, dan INP < 21, 96 dikategorikan rendah.

Jumlah total tumbuhan pada tingkat tiang (pole) di lokasi penelitian adalah 1127 ind/Ha. Bila ditinjau berdasarkan kriteria kerapatan atau densitas menurutketentuan Fandeli (1992),maka jumlah tiang perhektar tergolong baik, karena jumlah total individu perhektar lebih besar dari 201 ind/Ha.

E.

Indeks Keragaman (H’) Hasil analisis data menunjukkan bahwa Keanekaragaman jenis adalah 1,21. Menurut Shanon-Wiener dalam Melati (2007), kriteria keragaman jenis menunjukkan, jika H > 3 berarti keanekaragaman spesies tinggi/melimpah. Jika nilai H‟ 1 ≤ H ≤ 3 berarti tingkat kenakeragaman kategori sedang-melimpah, sedangkan jika H < 1 berarti tingkat keanekaragaman sedikit atau rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Keanekaragaman Hayati di Hutan Lindung Wakonti tergolong dalam kategori sedang melimpah.

B.

Tingkat Tiang A. Kerapatan Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk kategori tumbuhan tingkat poles (tiang) dengan kerapatan tertinggi dijumpai pada empat jenis tumbuhan yakni Kase (Pometia pinnata Forst.) dengan nilai 160 individu/Ha, Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.)dan Koru-koru (Horsfieldia) dengan masing-masing nilainya adalah 120individu/ha. Adapun jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan tertinggi ketiga adalah jenis Kasempe-sempe (Mimusops elengi L., ver. Parvifolia H.J.L.) dengan nilainya sebesar 100 individu/ha. Data diatas mengindikasikan bahwa ketiga jenis tersebut mampu berdaptasi dengan baik terhadap lingkungan tempat tumbuhnya dan mampu melakukan persaingan, baik adaptasi klimatis (curah hujan, suhu, kelembaban, dll), maupun adaptasi edapis (kesuburan tanah, pH tanah, jenis tanah, topografi, geologi, dll). Sehingga, jenis-jenis tersebut diatas dalam beberapa tahun kedepan dapat menjadi sumber plasmanutfah dan pelindung bagi jenis tumbuhan di bawahnya dengan dominasi tajuk yang dimiliki.

C. Frekuensi Frekuensi adalah jumlah petak contoh tempat diketemukannya suatu spesies dari jumlah petak contoh yang dibuat. Nilai frekuensi tertinggi ditunjukkan pada jenisKase (Pometia pinnata Forst.) dengan nilai 0,93. Hal tersebut

Dominansi Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan diperoleh nilai dominansi (D) tertinggi untuk fase tiang (pole) masih berada pada jenis Kase (Pometia pinnata Forst.) yaitu sebesar2,7636 m2/Ha. Kemudian disusul oleh jenis Koru-koru (Horsfieldia) dan Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.) masing-masing sebesar 2,3497m2/ha dan 2,2594 m2/ha. Hal ini mengindasikan bahwajenis-jenis tersebut selain memiliki jumlah individu relatif tinggi perhektarnya juga didukung oleh besarnya luas bidang dasar yang dimiliki masing-masing jenis tersebut. Dengan demikian jenis-jenis tersebut menempati penguasaan ruang yang cukup besar di hutan Lindung Wakonti pada fase tiang (pole).Sehingga, tentunya hal ini lebih memperkuat argmentasi sebelumnya bahwa jenis-jenis ini mempunyai adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan melakukan persaingan memperoleh sumber unsur hara dan sumber energi cahaya. Total nilai dominansi untuk fase tiang (pole) sebesar 19,2640 m2/ha. Bila kita merujuk pada kriteria kerapatan tegakan menurut Djuwadi (2002) dimana untuk LBDS 0 – 4 m2/ha tergolong tegal, 4 – 8 m2/ha termasuk jarang, 8 – 12 m2/ha adalah sedang, 12 – 16 kategori rapat, > 16 tergolong sangat rapat. Sehingga bisa disimpulkan kerapatan tegakan di hutan lindung Wakonti termasuk kategori sangat rapat.


237

menunjukkan bahwa jenis ini paling sering ditemui disekitar plot pengamatan yang memiliki tingkat kemunculan atau frekuensi yang tinggi. Sedangkan nilai frekuensi terendahnya terdapat pada jenisHontobani, Saungkolaki (Knema), Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl. (ga.)) danWakata (Haplolobus celebicus H.J.L) dengan masing-masing nilai yaitu 0,07 atau dapat dikatakan kemuculannya pada setiap petak contoh tergolong rendah.Hal ini dipengaruhi oleh jumlah jenis ini pada tingkatan tiang (pole) tergolong sedikit, selain itu perseberannya pula rendah. D. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting vegetasi tertinggi pada kawasan Hutan Lindung Wakonti adalah jenisKase (Pometia pinnata Forst.) dengan nilai INP sebesar 39,75 %.Hal tersebut lebih ditunjang oleh nilai kerapatan relatif, dominansi relatif, dan frekuensi relatif yang paling tinggi disbanding dengan jenis-jenis yang ada pada tingkat tiang (pole) di hutan Lindung Wakonti. Kemudian disusul oleh jenis Koru-koru (Horsfieldia) dan Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.) dengan masing-masing nilai INP adalah 30.85 % dan 25,83 %. Sedangkan nilai INP terendah ditemukan pada jenisTombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl. (ga.)) danWakata (Haplolobus celebicus H.J.L).dengan nilai masing-masing yaitu 1,7 %. Hal itu wajar saja terjadi karena sejak awal kedua jenis tersebut mempunyai nilai kerapatan, dominasi, dan frekuensi terendah. Indeks Keragaman (H’) Berdasarkan hasil analisis data pada tabel 5.4. di atas menunjukkan bahwa keragaman jenis dengan nilai indeks Shannon adalah 1,27. Angka ini mengandung makna bahwa keanekaragaman jenis di hutan lindung Wakonti tergolong sedang melimpah untuk kelas tiang (pole) karena nilai H berkisar antara 1 ≤ H ≤3. E.

Tingkat Pancang A. Kerapatan Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk kategori pancang dengan kerapatan tertinggi dijumpai pada jenis Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.)dengan nilai sebesar 587 ind/ha. Disusul oleh jenis Torukende (Gynotroches)dengan nilai masing-masing adalah 373ind/ha. Berdasarkan data di atas terlihat bahwajenis Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.) mempunyai angka densitas yang cukup tinggi di Kawasan Hutan Lindung Wakonti.Hal ini mengindikasikan bahwa jenis(Artocarpus dasyphylla Miq.)tersebut mampu melakukan adaptasi yang baik terhadap faktor-faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangannya, karena jenis ini memiliki nilai paramater vegetasi yang relatif baik dari kategori pohon, tiang dan pancang, Dominansi Nilai Dominansi identik dengan nilai luas bidang dasar tegakan dalam setiap hektarnya.Dimana, besarnya dominansi ditentukan oleh besarnya luas bidang dasar perindividu dan jumlah individu yang menempati suatu kawasan tertentu perhektarnya. Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan diperoleh nilai dominansi (D) tertinggi untuk fase pancang (sapling) masih berada pada jenis Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.)yaitu sebesar2.3738 m2/Ha. Kemudian disusul oleh jenis Bangkudu (Weinmannia simplicifolia Merr.) dan Kambahu (Barringtonia racemosa Bl.)masing-masing sebesar 1.0606 m2/ha dan 1.0496 m2/ha. Total nilai dominansi untuk fase tiang (pole) sebesar 12.0454 m2/ha. Berdasarkan pada kriteria kerapatan tegakan menurut Djuwadi (2002), maka secara umum tingkat kerapatan tegakan sebesar tergolog rapat. Karena inila LBDS perhektar berada pada kisaran 12 – 16 m2/ha, masuk kategori rapat. B.

Frekuensi Nilai frekuensi tertinggi untuk tingkat pancang di Hutan Lindung Wakonti adalah sebesar 0.67 ditunjukkan pada


238

jenisKoru-koru (Horsfieldia) dan Torukende (Gynotroches).Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis ini paling sering ditemui disekitar plot pengamatan yang memiliki tingkat kemunculan atau frekuensi yang tinggi. Nilai frekuensi terendahnya terdapat pada jenisBele-bele (Eugenia), Bellu (Urandra celebica Howard), Hontobani, Kaise-ise (Dysoxylum densiflorum Miq.)dengan masing-masing nilai yaitu 0,2. Dapatdikatakan kemuculannya pada setiap petak contoh tergolong rendah.Hal ini dipengaruhi oleh jumlah jenis-jenis tersebut pada tingkatan pancang (sapling) tergolong sedikit, selain itu perseberannya pula kurang. C. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) atau Important Value Index merupakan indeks yang menggambarkan pentingnya peranan suatu vegetasi dalam suatu ekosistem. Apabila INP suatu spesies bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut. INP sangat bermanfaat dalam menentukan seberapa besar peranan suatu jenis dalam membentuk ekosistem kawasan hutan. Dalam suatu komunitas tumbuhan yang heterogen, data parameter vegetasi secara sendiri-sendiri (Nilai Kerapatan, Frekuensi dan Dominansi) tidak dapat menggambarkan secara menyeluruh peran vegetasi tersebut terhadap ekosistemnya. Indeks Nilai Penting vegetasi tertinggi pada kawasan Hutan Lindung Wakonti adalah jenisHurupi (Artocarpus dasyphylla Miq.)dengan nilai INP sebesar 42,74 %.Hal tersebut lebih ditunjang oleh nilai kerapatan relatif dan dominansi relatif yang paling tinggi, meskipun frekuensi relatifnya berada pada posisi kedua tertinggi.Kemudian jenis Kambahu (Barringtonia racemosa Bl.)memiliki nilai INP sebesar 25,86 %. F. Indeks Keragaman (H’) Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa Keanekaragaman jenis untuk hutan lindung Wakonti pada tingkat pancang dapat dikatakan memiliki tingkat

keanekaragaman sedang sampai melimpah dengan nilai 1,19. Karena bila merujuk pada kriteria indeks Shannon nilai tersebut berkisar pada 1≤ H ≤ 3 yang berarti sedang melimpah. Tingkat Semai A. Kerapatan Kerapatan merupakan jumlah suatu jenis tegakkan dalam suatu unit area dengan luasan tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwauntuk kategorisemaikerapatan tertinggi dijumpai pada jenis hurupi dengan nilai 5.333 ind/ha, disusul oleh bebenu dengan indeks kerapatan 4.833 ind/ha. Data diatas menggambarkan bahwa jenis-jenis inilah yang banyak ditemukan dilokasi penelitian dengan tingkat pertumbuhannya sangat baik dan jenis tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Sedangkan kerapatan terendah ditunjukkan oleh jenis bellu dan ntobori dengan kerapatan 333 individu/ha. Berdasarkan kriteria kerapatan dalam Fandeli (1992) menyatakan bahwa kategori buruk dengan nilai 12-50, sedang dengan nilai 51-100, cukup dengan nilai 101-200, dan baik dengan nilai > 201. Untuk kerapatan total tingkatan semai pada lokasi penelitian tegolong sangat rapat dengan ukuran jarak antar pohon 0,5 x 0,5 m2. B.

Dominansi Dominansi menyatakan suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran maupun pertumbuhannya yang dominan, bisa juga dikatakan dominansi adalah penguasaan atau dominansi spesies dalam komunitas bisa terpusat pada satu spesies.Untuk menentukan dominansi dapat menggunakan parameter basal area dan canopy area.Karena pengukuran dilakukan pada tingkat semai, maka penentuan dominansi ditentukan berdasarkan tajuknya. Nilaidominansi (D) tertinggi masih berada pada jenis bebenu yaitu sebesar 1452,94 m2/Ha. Hal ini ditunjukkan oleh


239

fakta bahwa jenis ini terdapat paling banyak dan menempati ruang tumbuh yang baik, serta memiliki diameter yang cukup besar sehingga luas bidang dasar yang dihasilkan pun besar. Berdasarkan nilai dominansi diatas dapat digambarkan bahwa jenis-jenis tersebut merupakan spesies pada tingkat semai yang menguasai kawasan hutan pada lokasi penelitian. Sedangkan jenis tumbuhan yang memiliki dominansi terendah adalah jenis Libongkowulu dengan nilai 36,67 m2/ha. Jenis bebenu merupakan jenis dengan dominansi tertinggi juga bermakna bahwa jenis ini sangat berpeluang besar untuk mendominansi jenis lainnya dalam kawasan Hutan Lindung Wakonti. Demikian sebaliknya, jenis libongkowulu memiliki nilai dominansi terendah yang juga berarti bahwa peluang jenis ini sangat rendah peluangnya untuk mendominansi jenis lainnya. Untuk nilai Dominansi Relatif (DR) nilai tertinggi terdapat pada jenis bebenu dengan nilai 13,90 %. Sedangkan nilai dominansi relatif terendah ditunjukkan oleh libongkowulu dengan nilai 0,35 %. C. Frekuensi Frekuensi adalah jumlah petak contoh tempat diketemukannya suatu spesies dari jumlah petak contoh yang dibuat. Nilai frekuensi tertinggi ditunjukkan pada jenis Hurupi dengan nilai 0,87. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis ini paling sering ditemui disekitar plot pengamatan. Sedangkan nilaiterendah frekuensi terdapat pada jenis bellu dan ntoburi dengan masingmasing nilai yaitu 0,13atau dapat dikatakan frekuensinya tidak stabil dengan nilai yang sangat rendah. D. Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting vegetasi tertinggi pada kawasan Hutan Lindung Wakonti untuk tingkat semai adalah jenis bebenu dengan INP 36,21 % Walaupun nilai kerapatan relatif dan frekuensi relatif berada pada posisi kedua tertinggi, namun jenis ini memiliki nilai dominansi relatif yangpaling tinggi, sehingga menghasilkan nilai penting tertinggi tinggi dari jenis lain yang ada.

Sedangkan nilai INP terendah ditemukan pada jenis bellu dengan nilai 3,14 %. Menurut Fahrul (2007) menyatakan bahwa besarnya nilai INP juga menggambarkan tingkat pengaruh suatu jenis vegetasi terhadap stabilitas ekosistem. Dalam hal ini, nilai INP tertinggi untuk tingkatan semai dalam penelitian ini diperoleh36,21 %. Nilai ini termasuk dalam kategori sedang. Lanjut lagi Fahrul (2007) menyebutkan bahwa kategorisasi nilai INP adalah sebagai berikut : INP > 42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96 - 42,66 sedang, dan INP < 21,96 dikategorikan rendah. Indeks Keragaman (H’) Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa nilai indeks Keanekaragaman jenis di hutan lindung Wakonti adalah 1,28. Bila merujuk pada Shanon-Wiener dalam Melati (2007), kriteria keragaman jenis menunjukkan, jika H > 3 berarti keanekaragaman spesies tinggi/melimpah. Jika nilai H‟, 1 ≤ H ≤ 3 berarti tingkat kenakeragaman kategori sedang-melimpah, sedangkan jika H < 1 berarti tingkat keanekaragaman sedikit atau rendah. Berdasarkan analisis data penelitian ini menunjukkan bahwa Tingkat Keanekaragaman Hayati tergolong dalam kategori sedang-melimpah. E.

KESIMPULAN 1. Komposisi Kawasan Hutan Lindung Wakonti ditemukan 40 jenis, 23 family dan total individu 33.333 individu, dimana family Mortaceae merupakan family yang lebih banyak ditemukan 2. INP tertinggi pada tingkat pohon ditemukan pada jenis Wakirasa (Magnolia) dengan nilai 39,39 dan INP terendah pada jenis Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl.(ga)) dengan nilai 1,94. Untuk tingkat tiang INP terbesar ditemukan pada jenis Kase (Pometia pinnata Forst) dengan nilai 39,75 dan INP terendah pada jenis Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl.(ga)) dan Wakata (Haplolobus


240

celebicus H.J.L) dengan nilai masingmasing 1,73. INP tertinggi pada tingkat pancang adalah jenis Hurupi (Artocarpus dasyphylla Miq) dengan nilai 42,74 dan INP terendah adalah jenis Bele-bele (Eugenia) dengan nilai 6.00. Sementara untuk tingkat Semai, INP tertinggi ditemukan pada jenis Bebenu dengan nilai 36,21 dan INP terendah adalah jenis Bellu dengan nilai 3,14. 3. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil Indeks Keragaman Jenis (H) pada tingkat pohon sebesar 1,21 (sedang melimpah), tingkat tiang sebesar 1,73 (sedang melimpah), tingkat pancang sebesar 1,19 (sedang melimpah), dan tingkat semai sebesar 1,28 (sedang melimpah). 4. Secara umum dapat dikatakan bahwa kelestarian Kawasan Hutan Lindung Wakonti masih baik yang ditunjukkan oleh rata-rata INP vegetasi berada pada kisaran sedang sampai baik, dan nilah keragaman sedang sampai melimpah. Meskipun demikian, nilai-nilai INP dan Keragaman tersebut menjadi indikasi pengelolaan kawasan perlu ditingkatkan lagi sehingga Indeks Nilai Penting vegetasi dan Indeks Keragaman berada dalam kondisi yang tinggi dan melimpah, mengingat fungsi Hutan Lindung Wakonti, selain sebagai sumber plasma nutfah, juga berfungsi sebagai pengatur tata air dan kawasan penyanggah bagi Kota Baubau. 5. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa jenis-jenis vegetasi pohon berkayu yang bernilai ekonomi, seperti (Wola Vitex cofasus Rainw) dan beberapa jenis tanaman berbuah, seperti Tombo Hutan (Vatica flavovirens V.Sl.(ga)) sudah hampir punah yang ditunjukkan oleh angka INP dan Keragaman yang sangat rendah. Hal ini mengindikasikan masih adanya perambahan kawasan oleh masyarakat sekitar yang perlu penanganan segera oleh instansi terkait. DAFTAR PUSTAKA Djuwadi. 2002. Pengusahaan Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan

Universitas Yogyakarta.

Gadjah

Mada.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan oleh Usman Tanuwidjaja. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Fachrul, M., 2007. Bioekologi. Indonesia.

Metode Bumi

Sampling Aksara.

Gopal, B, dan N. Bhardwaj. 1979. Elements of Ecology. Departement of Botany. Rajasthan University Jaipur, India. Hamilton, L.S. dan S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Management. Commission on Ecology, IUCN, Paris, France. Hamilton, L.S. dan HLM. N. King. 1988. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika. Diterjemahkan oleh Krisnawati Suryanata. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Irwanto. 2006. Struktur dan Komposisi. http // www.irwantoshut.4t.com/-42k. diakses tanggal 18 Februari 2011. Kormandy, E.J. 1991. Concept of Ecology. Third Edition. Pentice-Hall of India Private Limeted. New Delhi. Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. __________. 1997. Metode Vegetasi. PT Penerbit Pertanian Bogor. Bogor. Odum,

Survey Insititut

E. HLM. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku Fundamentals of Ecology. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suginingsih, Ibrahim Edris, Moch. Gunawan Wibisono, Priyono Suryanto, Eny Faridah. 2004. Bahan Ajar Silvika. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.


AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 03 September 2012, ISSN

Recommend Documents