185
EFEKTIVITAS KUMBANG Haltica cyanea Weber TERHADAP GULMA Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell Oleh : Halim1 ABSTRACT Research of the effectiveness of Haltica cyanea Weber to Ludwigia hyssopifolia has carried out in Laboratory of Pest and Desease Plant, Faculty of Agriculture, Padjadjaran University Bandung. The research has been done on April untill August 2004 to know the effectiveness of H.cyanea to L.hyssopifolia of weed. The density of H.cyanea are 0, 5, 10 and 15 tail polybag-1. The density of L.hyssopifolia are 1, 2, 3, and 4 plant polybag-1. The variable was observated were percentage of leaves damage, wet weight of weed and ability consumption of H.cyanea. The result showed that’s application 5 tails of H.cyanea on 1 L.hyssopifolia has percentage of leaves damage higthest end in research is 100%. Application 15 tails H.cyanea to 1 L.hyssopifolia has lighth in weigth as 2,53 grams with higthest ability consumption of H.cyanea as 26,80 grams. Key words: Haltica cyane, Ludwigia hyssopifolia, weed
PENDAHULUAN Rendahnya produksi pertanian antara lain disebabkan oleh organisme pengganggu yang meliputi hama, penyakit dan gulma. Kehilangan hasil akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman budidaya dapat dilihat secara langsung, sedangkan kehilangan hasil yang diakibatkan oleh gulma tidak dapat dilihat secara langsung. Hal ini terjadi karena gulma selalu ada pada areal tanaman sehingga dapat menyebabkan kehilangan hasil melalui persaingan dalam memperoleh air, unsur hara, cahaya matahari, CO2, dan tempat tumbuh. Selain itu kehadiran gulma dapat mengganggu irigasi, menyebabkan kehilangan air lewat evapotranspirasi serta sebagai inang alternatif bagi hama, nematoda, dan penyakit tertentu. Jenis gulma yang dapat menurunkan hasil tanaman antara lain adalah gulma Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell. Hal ini sesuai dengan pendapat Soerjani dkk. (l987), bahwa gulma L. hyssopifolia merupakan gulma air yang penting pada tanaman padi sawah dan pada tingkat kepadatan yang tinggi dapat menyaingi tanaman. Gulma L. hyssopifolia selalu tumbuh bersama-sama dengan gulma lain pada areal 1
tanaman padi sawah seperti Ageratum conyzoides, Synedrella nodiflora, Salvinia molesta, Monochoria vaginalis, Marsilia crenata, Rotala indica, Limnocharis flava, Melochia corchorifolia, Cleome rutidosperma, Echinocloa colonum, Paspalum ditichum, Isahaemum timorense, Leearsia hexandra, Fimristylis miliaceae, Cyperus flavidus, Eleusine indica serta Cyperus rotundus (Soerjani dkk., 1987). Kehilangan hasil pada tanaman padi akibat adanya kompetisi dengan gulma adalah 10% - 13% (De Datta, 1980; Smith, 1983), 20% - 40% (Madkar dkk., 1986) dan bahkan dapat mencapai 70 % bergantung kepada jenis, kerapatan gulma, dan keadaan lingkungan (Mercado, 1979). Pengendalian gulma yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida dapat memberikan banyak manfaat dalam pengelolaan gulma karena mampu menekan pertumbuhan gulma dengan efektif dan relatif efisien. Hal ini sesuai dengan pendapat Kropf dan Moody (l992), bahwa pengendalian gulma dengan herbisida lebih efektif dibandingkan dengan teknik pengendalian lainnya. Akan tetapi apabila penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma tidak dilakukan secara
) Staf Pengajar AGRIPLUS, Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian :Universitas Haluoleo,2011, Kendari. Volume 21 Nomor 03 September ISSN 0854-0128
185
186
bijak, maka dapat menimbulkan dampak negatif terhadap manusia, ternak, lingkungan serta organisme bukan sasaran (Alwi, l996). Selain dampak negatif dari herbisida tersebut, aplikasi herbisida membutuhkan biaya yang cukup mahal, karena harga herbisida terus meningkat seiring dengan bertambahnya kebutuhan pangan bagi penduduk dunia (Rao, 2000). Adanya bahaya herbisida dan harga herbisida yang tinggi tersebut maka perlu mencari alternatif teknik pengendalian yang lain. Teknik pengendalian tersebut antara lain dengan pengendalian biologi. Pengendalian biologi adalah pengendalian gulma dengan menggunakan organisme hidup lainnya. Salah satu jenis organisme tersebut adalah serangga. Serangga yang telah berhasil dalam mengendalikan gulma antara lain ordo Lepidoptera, Hemiptera, Coleoptera, Diptera, Hymenoptera dan Thysanoptera (Rao,2000). Pengendalian gulma secara biologi dengan menggunakan serangga mempunyai keuntungan sebagai berikut : serangga mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan inangnya, tidak mempunyai efek yang merugikan bagi keselamatan manusia dan lingkungan, mempunyai tingkat reproduksi yang tinggi, mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrim, mempunyai kemampuan menyebar yang tinggi, kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya, serta pengendalian dengan menggunakan serangga dapat merusak berbagai komponen tumbuh gulma sehingga gulma tersebut menjadi mudah dikendalikan dengan teknik pengendalian lainnya (Guenette, 2000). Pengendalian biologi mempunyai kelebihan antara lain pengendalian dapat berjalan secara alamiah, relatif lebih murah dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap manusia, ternak, tanaman budidaya, dan lingkungan (Guenette, 2000). Selain itu keuntungan pengendalian biologi adalah bersifat selektif, perkembangan agensia pengendalian biologi sangat cepat, pengendalian dapat dilakukan pada daerah yang lebih luas serta agensia pengendalian biologi sangat efektif pada daerah-daerah yang susah dijangkau oleh manusia (McClay dan Hughes, 2000).
Keberhasilan pengendalian gulma secara biologi pertama kali terjadi di Amerika Selatan dengan menggunakan kutu Dactylopius coccus untuk mengendalikan spesies kaktus berduri (Opuntia vulgaris). Selanjutnya keberhasilan tersebut juga terjadi di India, Australia, dan Fiji dengan menggunakan larva dari serangga Crocidosema lantana, Agromyza lantanae, Thecla echion, dan Thecla bazochi untuk mengendalikan gulma Lantana camara. Keberhasilan lain yang sangat penting adalah pengendalian gulma Eupatorium adenophorum dengan menggunakan serangga Procecidochares utilis (Rao, 2000). Chicwenhere dan Keswani (l997), melaporkan bahwa di Zimbawe keberhasilan dari serangga penggerek (Cyrtobagous salviniae) untuk mengendalikan gulma Salvinia molesta mencapai 99%. Keberhasilan pengendalian gulma secara biologi juga terjadi di Indonesia dengan mengintroduksi jenis kutu (Dactylopius tomentosus) dari Australia ke Sulawesi untuk mengendalikan kaktus liar (Opuntia elatior) (Kalshoven, 1981). Mangoendihardjo (1982), melaporkan bahwa serangga Oerseolella javanica dapat mengendalikan gulma Imperata cylindrica dan serangga Bactra vermosana untuk mengendalikan Cyperus rotundus. Hasil penelitian Sriyani dkk. (l996), menunjukkan bahwa serangga Pareuchaetes pseudoinsulata dapat mengendalikan gulma Chromolaena odorata dan Ageratum conyzoides. Keberhasilan serangga dalam mengendalikan gulma inangnya disebabkan serangga sudah bersifat endemik sehingga populasi gulma yang tinggi maupun rendah tidak mempengaruhi kehadiran dan kemampuan berkembang biak dari serangga tersebut. Jenis serangga lain yang dapat dimanfaatkan sebagai pengendali gulma adalah kumbang Haltica cyanea Weber. Jenis serangga ini selalu ditemukan pada gulma L.hyssopifolia. Akan tetapi jenis serangga ini belum banyak mendapat perhatian untuk dimanfaatkan sebagai pengendali gulma L.hyssopifolia. Tanaman dan gulma dapat digunakan oleh serangga sebagai inang utama, inang alternatif, tempat meletakkan telur dan tempat
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
187
istirahat. Sifat yang dimiliki oleh serangga sebagai pemakan gulma dalam menyerang inangnya meliputi monofag (mempunyai satu spesies inang), oligofag (mempunyai lebih dari satu spesies inang), dan polifag (mempunyai banyak spesies inang. Hal ini dapat menunjang keberhasilan pengendalian gulma secara biologi karena serangga mempunyai kisaran inang yang berbeda-beda. Sifat ini memungkinkan serangga tertentu hanya menyerang satu spesies atau bahkan banyak spesies inang. Menurut Rao (2000), bahwa keberhasilan pengendalian gulma secara biologi dengan menggunakan serangga bergantung pada kekhususan inang dari serangga tersebut, karena serangga tidak akan menyerang tumbuhan di luar kisaran inangnya. Kekhususan inang ini menyebabkan serangga dapat membedakan inangnya dan yang bukan inangnya. Selanjutnya Courtney dan Kibota (1990), mengemukakan bahwa penolakan dan kecocokan inang serangga dapat dipengaruhi oleh kandungan kimia dan morfologi gulma inang, lingkungan abiotik, interaksi berbagai lingkungan biotik serta fisiologi serangga. Untuk mengetahui kisaran inang serangga maka perlu dilakukan pengujian pada beberapa jenis gulma yang masih mempunyai kekerabatan dekat (satu famili). Pengujian kisaran inang dilakukan dengan dua cara yaitu (1) uji tanpa pilihan (no-choice) dan (2) uji pilihan (choice). Uji tanpa pilihan yaitu agensia pengendalian biologi hanya diberikan gulma sasaran. Sedangkan pada uji pilihan, agensia pengendalian biologi diberikan dua atau lebih spesies gulma dan biasanya termasuk spesies gulma sasaran (Van Drieshche dan Bellows, 1996). METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman dan Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor mulai bulan April sampai Agustus 2004. Serangga direaring di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman,
sedangkan tahap pengujian dilaksanakan di Rumah Kaca. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kumbang Haltica cyanea, gulma L. hyssopifolia, tanah, air, pupuk kandang, bambu, kertas label, sungkup, dan tali rafia. Sedangkan alat yang digunakan yaitu pacul, oven, ember, polybag (ukuran 40 cm x 50 cm), parang, loup, kuas kecil, kamera, timbangan, dan alat tulis menulis. Prosedur Penelitian Perbanyakan Kumbang Haltica cyanea Weber Kumbang H.cyanea yang diambil dari sawah di bawa ke Laboratorium untuk direaring secara berpasang-pasangan dalam wadah yang diberi sungkup dan dibiarkan sampai bertelur. Telur yang dihasilkan dipindahkan dalam wadah yang lain sampai menetas. Selanjutnya dibiarkan sampai menjadi imago yang akan dijadikan sebagai keperluan investasi. Jumlah imago kumbang H.cyanea yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 360 ekor. Umur imago kumbang yang digunakan adalah seragam. Pakan yang digunakan pada saat merearing kumbang adalah gulma L. hyssopifolia. Persiapan Gulma Ludwigia hyssopifolia (G. Don) Exell Biji gulma L. hyssopifolia terlebih dahulu disemaikan, setelah tumbuh dengan baik maka dipindahkan pada polybag yang telah diisi dengan campuran tanah dan pupuk kandang sesuai dengan jumlah populasi pada masingmasing perlakuan. Jumlah daun dan umur gulma yang digunakan adalah seragam. Jumlah masing-masing gulma yang diperlukan sebanyak 93 batang. Jadi jumlah keseluruhan gulma yang digunakan adalah 186 batang. Investasi Kumbang Haltica cyanea Weber Setelah gulma dipindahkan pada polybag, maka semua polybag tersebut diberi sungkup dengan ukuran 30 cm x 100 cm. Setelah itu dilakukan investasi serangga uji ke dalam polybag tersebut. Menurut
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
188
Unterstenhover (1963) dalam Sastrosiswojo (1987), bahwa sebelum dilakukan investasi maka serangga yang digunakan terlebih dahulu dipuasakan selama 24 jam. Rancangan Percobaan Rancangan lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat kepadatan kumbang H. cyanea yang diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan pada percobaan ini menggunakan kumbang H. cyanea stadia imago yang diinvestasikan pada gulma L.hyssopifolia. Tingkat kepadatan kumbang H. cyanea terdiri dari 0, 5, 10 dan 15 ekor/polybag. Sedangkan kepadatan gulma L. hyssopifolia 1, 2, 3, dan 4 tumbuhan/polybag. Secara rinci perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : A = kontrol, 0 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia, B = 5 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia, C = 5 ekor imago H.cyanea pada 2 gulma L.hyssopifolia, D = 5 ekor imago H.cyanea pada 3 gulma L.hyssopifolia E = 5 ekor imago H.cyanea pada 4 gulma L.hyssopifolia, F = 10 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia, G = 10 ekor imago H.cyanea pada 2 gulma L.hyssopifolia, H = 10 ekor imago H.cyanea pada 3 gulma L.hyssopifolia, I = 10 ekor imago H.cyanea pada 4 gulma L.hyssopifolia, J = 15 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia, K = 15 ekor imago H.cyanea pada 2 gulma L. hyssopifolia, = 15 ekor imago H.cyanea pada 3 gulma L.hyssopifolia, M =15 ekor imago H.cyanea pada 4 gulma L.hyssopifolia. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali.
Variabel Pengamatan Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) Persentase kerusakan daun gulma oleh kumbang H.cyanea dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Unterstenhover (1963) dalam Sastrosiswojo (1987) :
P
a x 100 % b
Keterangan: P = Persentase kerusakan daun; a = Jumlah daun yang terserang; b = Jumlah daun yang tidak terserang; Z = Nilai tertinggi dari skala kategori serangan. (2) Bobot basah gulma dan daya konsumsi kumbang. Bobot basah gulma diperoleh dengan cara melakukan penimbangan pada akhir penelitian. Daya konsumsi kumbang dihitung dengan cara : bobot basah kontrol (A) - bobot basah setiap perlakuan lainnya. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dilakukan analisis statistik (analisis ragam). Apabila hasil analisis terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 95% (Gaspersz, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Kerusakan Daun Gulma Persentase kerusakan daun gulma L.hyssopifolia yang disebabkan oleh serangan kumbang H.cyanea terjadi peningkatan pada semua perlakuan, kecuali pada kontrol sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
189
Tabel 1. Rata-rata persentase kerusakan daun gulma akibat serangan kumbang H.cyanea pada umur 5-25 Hari Setelah Aplikasi (HSA) Perlakuan A B C D E F G H I J K L M
5 HSA 0,00 a 76,62 b 59,12 b 56,11 b 39,71 b 73,81 b 69,87 b 71,44 b 61,71 b 74,99 b 66,19 b 49,12 b 48,05 b
Rata-rata Kerusakan daun gulma (%) 10 HSA 15 HSA 20 HSA 0,00 a 0,00 a 0,00 a 87,03 b 93,52 b 98,04 b 69,83 b 75,99 b 84,71 b 76,21 b 75,63 b 89,20 b 55,94 b 73,76 b 84,63 b 85,71 b 90,47 b 92,86 b 76,13 b 85,69 b 96,20 b 70,91 b 88,15 b 94,69 b 84,51 b 79,62 b 87,13 b 88,89 b 91,67 b 97,22 b 83,25 b 86,98 b 91,39 b 72,71 b 80,12 b 85,94 b 59,29 b 78,52 b 90,58 b
25 HSA 0,00 a 100,00 b 91,08 b 93,58 b 92,63 b 97,62 b 97,57 b 96,54 b 64,14 b 100,00 b 98,61 b 94,54 b 96,73 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yangsama berbeda tidak nyata menurut uji Skott-Knott pada taraf 0,05 %.
Tampak bahwa pada pengamatan 5 HSA, 15 HSA, 20 HSA dan 25 HSA, pemberian 5 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia (perlakuan B) memiliki persentase kerusakan daun yang tertinggi yaitu masing-masing 76,26%, 93,52%, 98,04% dan 100%. Walaupun tidak terjadi perbedaan diantara semua perlakuan yang diuji, namun dalam prakteknya perlu dipertimbangkan jumlah kumbang yang akan dibutuhkan untuk mengendalikan gulma. Hal ini terlihat pada hasil penelitian, dimana perlakuan B merupakan perlakuan yang terbaik karena hanya membutuhkan 5 ekor kumbang untuk mengendalikan 1 pohon gulma sampai menimbulkan persentase kerusakan daun 100%. Peningkatan persentase kerusakan daun gulma terjadi pada saat kumbang mulai memasuki umur dewasa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haris (2003), bahwa peningkatan kerusakan pada gulma akibat serangan serangga berhubungan langsung dengan bertambahnya umur serangga, dimana semakin dewasa suatu serangga maka semakin tinggi pula kebutuhan makanan yang diperlukan untuk beraktivitas dan berkembang biak. Imago yang sudah dewasa lebih aktif menyebar untuk menemukan
inang yang lebih cocok serta dapat membedakan rasa dari kandungan nutrisi yang ada di dalam tumbuhan inang (Moschetti, 1999). Bobot Basah Gulma dan Daya Konsumsi Kumbang Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian 15 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia (perlakuan J) menghasilkan nilai rata-rata bobot basah gulma yang lebih ringan (2,53 gram) dengan daya konsumsi kumbang H.cyanea yang lebih tinggi (26,80 gram). Perlakuan J menghasilkan bobot basah gulma terkecil jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pada populasi kumbang yang tinggi, maka daya konsumsi dari kumbang tersebut menjadi lebih besar yang secara langsung dapat menyebabkan tingginya penurunan bobot gulma (Moschetti, 1999).
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
190
Tabel 2.
Perlakuan A B C D E F G H I J K L M
Rata-rata bobot basah gulma L.hyssopifolia dan daya konsumsi kumbang H.cyanea Rata-rata bobot basah gulma (gram) 29,33 c 10,67 a 14,22 a 11,83 a 11,13 a 5,70 a 19,03 b 9,30 a 18,50 b 2,53 a 5,10 a 5,73 a 5,20 a
Daya konsumsi kumbang (gram) 0,00 18,66 15,10 17,50 18,20 23,63 10,30 20,03 10,83 26,80 24,23 23,60 24,20
Keteranga: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yangsama berbeda tidak nyata menurut uji Skott-Knott pada taraf 0,05 %.
Gulma yang terserang oleh kumbang ditandai dengan adanya penampakan gulma seperti kerdil, daun-daunnya berlubang, mudah berguguran serta daun bagian pucuk menjadi keriting. Keadaan tersebut mengakibatkan pertumbuhan gulma menjadi terhambat yang secara langsung mengurangi bobot biomassa gulma. Sitompul dan Guritno (1995), mengemukakan bahwa kehilangan bagianbagian dari tumbuhan tertentu dapat mengakibatkan rendahnya bobot biomassa yang dinyatakan secara kuantitatif. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang efektivitas kumbang Haltica cyanea Weber terhadap gulma Ludwigia hyssopifolia (G.Don), maka dapat simpulkan sebagai berikut : (1) Aplikasi 5 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia memiliki persentase kerusakan daun yang tertinggi pada akhir penelitian yaitu sebesar 100%, (2). Aplikasi 15 ekor imago H.cyanea pada 1 gulma L.hyssopifolia
menghasilkan nilai rata-rata bobot basah gulma L.hyssopifolia yang lebih ringan (2,53 gram) dengan daya konsumsi kumbang H.cyanea yang lebih tinggi (26,80 gram). DAFTAR PUSTAKA Alwi.A., l996. Efek Samping Sistem Pengendalian Gulma Terhadap Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal) dan Predatornya. Pros. I. Konferensi Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Bandar Lampung. Chicwenhere.G.P and Keswani.C., 1997. Economic of Biological Control of Kariba Weed (Salvinia molesta) Mitchell at Tengwe in North-Western Zimbawe-a Case Study. International Journal of Pest Management. Courtney.S.P. and Kibota. T.T., l990. Mother doesn’t Know Best Selection of Hosts by Ovipositing Insects. Boca Raton. Florida. De Datta.S.K., 1980. Weed Control in Rice in South and Southest Asia. Food and Fert Tech Centre. Ekt bull. Taipe City. Gaspersz.V., 1991. Metode Perancangan Percobaan. Untuk Ilmu-Ilmu Pertanian, Ilmu-Ilmu Teknik, dan Biologi. CV. Armico. Bandung. Guenette.M., 2000. Biological Control of Weeds with Insects. Agricultural Food and Rural Development.http://www. agric.wa.gov.au./programs/app/weeds/bio cont. Harris.P., 2003. Classical Biological Control of Weeds. The Hystory Host Range Testing for Classical Weed Biocontrol Agents. Agriculture and Agri-Food. Canada. Kalshoven.L.G.E., 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. Kropf. M.J. and Moody. K., l992. Weed Impact on Rice and Other Tropical Crops. Proc.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
191
of the First International Weed Control Congress. Madkar.O.R.,Kuntohartono.T, dan Mangoensoekardjo.S., 1986. Masalah Gulma dan Cara Pengendalian. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Bandung. Mangoendihardjo.S., l982. Serangga Pemakan Tumbuhan Pada Beberapa Jenis Gulma Air di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. McClay.A. and Hughes.R.B., 2000. Biological Control of Weeds on the Prairies. Agricultural Food and Rural Development. http://www.agric.gov.ab.ca/agdex. Mercado.B.L., 1979. Introduction to Weed Science. Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture. SEARCA, College. Laguna. Philippines. Moschetti.R., 2003. Biological Control in Alaska Greenhouse. Integrated Pest Management of Alaska. http://www.ipmofalaska.com. Rao.V.S., 2000. Principles of Weed Science. Second Edition. International Consultant, Weed Science Santa Clara. California. USA.
Sastrosiswojo.S., 1987. Perpaduan Pengendalian Secara Hayati dan Kimiawi Hama Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella L.) Pada Tanaman Kubis. Disertasi Universitas Padjadjaran. Bandung. Sitompul.S.M dan Guritno B., 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Smith.J.R., 1983. Weed and Major Economic Importance in Rice and Yield Losses to Weed Competition. Prociding of the Confrence on Weed Control in Rice. IRRI Los Banos. Philippines. Soerjani.M., Kostermans.A.J.G.H. and Tjitrosoepomo.G., 1987. Weeds of Rice in Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Sriyani.N., Suwandi.A, dan Kustaryo.R., 1996. Uji Preferensi Makan Pareuchaetes Terhadap Kirinyuh pseudoinsulata (Chromolaena odorata) dan Babadotan (Ageratum conyzoides). Pros. I. Konferensi Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Himpunan Ilmu Gulma Indonesia. Bandar Lampung. Van Driesche.R.G. and Bellows.T.S., l996. Biological Control. An International Thomson Publishing Company. Chapman and Hall Dept.BC. New York.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128