244
PENGGUNAAN VERMIKOMPOS DALAM MENINGKATKAN MUTU INOKULUM FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA Oleh : Asrianti Arif 1) ABSTRCK Arbuscular mycorrhyza Fungi constitutes one of biological agent which is able to enhance the growth and productivity of plant. This is due to ability of fungi in helping nutrient and water absorbtion for the plant as well as enhancing plant resistance toward drought and disease. AMF reproduction has been frequently done as well as inoculum formulation improvement. It is done by adding other subtances like organic fertilizer which is aimed at speeding up plant growth response prior to associating with AMF and increasing more growth after associating with AMF. Thus, this research is aimed at studying the response of AMF selected types G. etunicatum and Glomus sp. toward vermicompost and test vermicompost addition in increasing AMF inoculum quality. The research is factorial experiment with RAL using two treatment factors. First factor is AMF inoculum factor which is made up of three stages : 1) Control, 2) AMF inoculum type G. etunicatum and 3) AMF inoculum type Glomus sp. The second factor is medium formulation with vermicompost of 100% zeolit, 90% zeolit combined with 10% vermicompost, 80% zeolit combined with 20%, 70% zeolit combined with 30% vermicompost, 60% zeolit combined with 40% vermicompost. The research revealed that inoculum G. etunicatum (selected) and Glomus sp. (indegenous) give different response toward vermicompost, where G. etunicatum is more tolerant on vermicompost addition compared to Glomus sp. (indegenous), the use of vermicompost on G. etunicatum result in treatment where the highest propagul is G. etunicatum with 30% vermicompost namely 7,7 x 104 propagul and the lowest is vermicompost 40 % namely 5,4 x 104 propagul and the use of Glomus sp. type tends to have the same response on each vermicompost addition. Glomus sp. type with 30% vermicompost namely 0,12 x 104 propagul and 40% vermicompost is 0,19 x 104. Key words: Vermikompost, Glomus etunicatum, Glomus sp., Arbuscular Mycorrhyza Fungi (AMF)
PENDAHULUAN Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sebagai salah satu agen hayati, termasuk kedalam tipe Endomikoriza merupakan tipe fungi yang berasosiasi dengan ± 90% jenis tanaman. FMA berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama pada lahan marjinal, meningkatkan daya hidup dan adaptif tanaman terhadap lingkungannya. Jenis FMA dapat diisolasi dari alam, kemudian diperbanyak dan diinokulasikan kembali ketanaman. Namun tidak semua isolat FMA efektif dalam meningkatkan produktivitas tanaman. Setiap tanaman memiliki preferensi yang berbeda terhadap jenis-jenis FMA yang berbeda serta setiap jenis FMA juga
1
mempunyai pengaruh yang bervariasi terhadap pertumbuhan tanaman. Pemanfaatan FMA sebagai agen hayati masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala seperti spesifikasi dari FMA itu sendiri, terbatasnya jumlah inokulum efektif untuk diaplikasikan di lapangan, ketidakkonsistenan mutu inokulum dan pengaruhnya terhadap tanaman memerlukan waktu yang lama dibandingkan pupuk anorganik. Respon yang lambat pada pertumbuhan tanaman mengakibatkan konsumen lebih tertarik menggunakan pupuk anorganik. Sehingga upaya reformulasi inokulum FMA perlu dilakukan dengan menambahkan bahan yang mengandung unsur hara sehingga mempercepat respon terhadap tanaman.
) Staf Pengajar Pada JurusanVolume Budidaya 18 Pertanian Fakultas Universitas Kendari. AGRIPLUS, Nomor : 03 Pertanian September 2008,Haluoleo, ISSN 0854-0128
244
245
Salah satu pupuk kompos yang dapat dicobakan adalah vermikompos (vermicompost). Vermikompos dihasilkan dari kemampuan beberapa cacing tanah dalam mengkonsumsi residu organik seperti limbah rumah tangga, limbah industri seperti bubur kayu, residu panen seperti sayur-sayuran, daun-daunan, dedak padi, dedak jagung, kotoran ternak, kompos dan sebagainya (Ndegwa et al. 1999). Penambahan vermikompos pada produksi FMA dilakukan untuk mendapatkan suatu formulasi yang memberikan keuntungan ganda, tidak saja berasal dari FMA akan tetapi juga dari vermikompos yang ditambahkan. Beberapa formulasi penggabungan media dan vermikompos perlu dicoba untuk menentukan dan mendapatkan formulasi media yang tepat. Penambahan bahan yang mengandung unsur hara dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sebelum FMA bersimbiosis dan lebih meningkatkan pertumbuhan setelah simbiosis terbentuk. Namun perlu diingat bahwa penambahan unsur hara yang terlalu tinggi dapat mengganggu simbiosis FMA dan akar tanaman. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji respon FMA jenis terseleksi G. etunicatum dan FMA jenis Glomus sp. (endogenous) terhadap penambahan vermikompos. METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Laboratorium Ekologi Hutan dan Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan dilakukan selama 8 bulan. Bahan dan alat Bahan yang digunakan adalah benih Pueraria javanica, inokulum FMA jenis Glomus etunicatum terseleksi (eksotik) dengan kode NPI 126 (diperbanyak dari inokulum mycofer) di Laboratorium Silvikultur, inokulum FMA jenis Glomus sp. (endogenous) yang diisolasi dari bawah
tegakan jati Muna (koleksi laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian UNHALU Kendari), vermikompos, zeolit, bahanbahan staining, larutan PVLG dan melzer, hyponex merah. Alat-alat yang digunakan adalah saringan spora (63µm, 125µm, 250µm, dan 500µm), pinset spora, sentrifuse, timbangan analitik, mikroskop binokuler Nikon YS100, mikroskop stereo binokuler Carton NSWT, Mikroskop Monookuler FCL 15 EX-N, kaca obyek dan gelas penutup. Metode kerja Perbanyakan inokulum FMA (1) Persiapan media zeolit dan benih P. javanica. (2) tanaman inang Perkecambahan benih P. javanica selama ± satu minggu atau sampai muncul 2 helai daun. (3) Persiapan media tanam zeolit dan mencampur dengan vermikompos sesuai formulasi. (4) Pemeliharaan dan penyiraman, khusus perlakuan tanaman inang dengan inokulasi FMA tanpa vermikompos pemberian larutan hara hyponex merah (25-5-20) dilakukan seminggu sekali dengan konsentrasi 1 gr l -1 air dan diberikan sebanyak 5 ml. Kultur disusun sesuai layout penelitian kemudian dipelihara selama tiga bulan di rumah kaca. (5) Penelitian ini merupakan percobaan faktorial dengan RAL menggunakan 2 faktor. Faktor pertama yaitu jenis inokulum FMA yang terdiri dari tiga taraf : 1) tanpa inokulasi FMA (Mo), 2) inokulasi FMA jenis G. etunicatum (Mb) dan 3) inokulasi FMA jenis Glomus sp. (Mk). Faktor kedua adalah formulasi media dengan vermikompos terdiri dari K0 (100% zeolit), K1 (90% zeolit dicampur 10% vermikompos), K2 (80% zeolit dicampur 20% vermikompos), K3 (70% zeolit dicampur 30% vermikompos), dan K4 (60% zeolit dicampur 40% vermikompos).
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
246
Peubah yang diamati adalah (1) Kolonisasi akar dan jumlah spora. Persentase akar yang dikolonisasi FMA dihitung berdasarkan rumus : % Kolonisasi FMA = Jumlah _bidang _ pandang _ yang _ terkolonisasi _ CMA x100% Jumlah _total _ bidang _ pandang
(Rajapakse dan Miller 1992). (2) Menghitung jumlah spora pada akhir pengamatan, pemisahan spora dilakukan dengan metode tuang saring basah (Brundrett 1994), dan dilakukan perhitungan spora dibawah mikroskop stereo binokuler carton NSWT. (3) Peubah pertumbuhan yang diamati sebagai data pendukung meliputi bobot kering akar, bobot kering akar terinfeksi dan bobot kering total tanaman. (4) Jumlah propagul FMA ditentukan berdasarkan metode MPN (The most probable number) (Porter 1979). Cara perhitungan jumlah propagul yaitu dengan memilih tiga seri pengenceran yang menghasilkan kolonisasi akar, dimana P1 infeksi tertinggi, P2 dan P3 adalah yang jumlah infeksinya berturut-turut di bawah P1. Kemudian menentukan angka pada tabel MPN berdasarkan nilai P1, P2 dan P3 dan kombinasi dari angka dikali dengan faktor pengenceran P2. Selang kepercayaan 95 % dapat dihitung berdasarkan rumus : Log Ωa,b = log MPN ± 0.326 Analisis data Data hasil pengamatan dari masingmasing peubah dilakukan analisis sidik ragam. Jika hasil analisis sidik ragam menunjukkan F hitung > dari F tabel maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% untuk membandingkan antar perlakuan (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer SAS V6.12 (Statistical Analysis Sistem). HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan inokulum FMA dengan penambahan pupuk vermikompos dilakukan untuk mendapatkan suatu inokulum yang tidak hanya menyediakan propagul FMA akan tetapi
juga didapatkan residu vermikompos. Pupuk vermikompos diberikan dalam berbagai taraf untuk mendapatkan komposisi yang seimbang dimana kolonisasi dan pembentukan spora masih dapat terjadi dengan baik. Sedangkan residu pupuk vermikompos dapat digunakan oleh tanaman sebagai sumber unsur hara awal sebelum mendapatkan suplai unsur hara secara optimal dari asosiasinya dengan cendawan mikoriza. Isolat yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu G. etunicatum (terseleksi) adalah isolat eksotik yang diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Kemudian isolat tersebut diperbanyak di Laboratorium Silvikultur IPB. Isolat kedua adalah jenis Glomus sp. yang diisolasi dari bawah tegakan jati Muna kemudian ditrapping dan diperbanyak (Koleksi laboratorium Budidaya pertanian Fakultas Pertanian UNHALU Kendari). Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa sampel tanah diambil pada bawah tegakan jati Muna di daerah Wakuru dengan pH tanah 4,6, kandungan N sebesar 0,06%, P2O5 13,07 ppm, dan K2O 0,22 cmol/kg serta ketinggian 10-15 mdpl (BALITBANGHUT dan DISHUT SULTRA 2004). Pembanding yang digunakan sebagai kontrol adalah perlakuan yang menggunakan hara hyponex merah. Pemberian hara hyponex merah sebanyak 1 gr l-1 air diberikan ketanaman seminggu sekali sesuai dengan prosedur baku yang dikembangkan oleh Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan Pusat Penelitian Bioteknologi IPB. Kolonisasi akar dan jumlah spora Hasil analisis data menunjukkan bahwa interaksi antara jenis FMA dan formulasi media vermikompos berpengaruh nyata terhadap kolonisasi akar dan jumlah spora inang P. javanica. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa jenis G. etunicatum asal Bogor cenderung lebih toleran terhadap penambahan vermikompos dibandingkan dengan jenis Glomus sp. (endogenous) asal tegakan jati Muna. Perlakuan jenis FMA G.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
247
etunicatum dengan vermikompos sekitar 30 sampai 40% cenderung menghasilkan respon yang baik. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang dialami oleh perlakuan FMA jenis Glomus sp., dimana terjadi penurunan persentase kolonisasi akar dengan pemberian vermikompos (Gambar 1 dan 2). 90 80
Kolonisasi akar (%)
70 60 50 40 30 20 10 0
G. etunicatum Glomus sp.
0%+ hyponex merah 86,11 84,45
10
20
30
40
53,15
57,78
72,77
79,45
27,78
25,55
25,56
29,89
Formulasi media vermikompos (%)
Gambar 1. Pengaruh jenis inokulum FMA dan formulasi media vermikompos terhadap kolonisasi akar tanaman inang P. javanica pada bulan ketiga
penambahan vermikompos sampai formulasi 40%. Sebaliknya jenis Glomus sp. menunjukkan respon yang berbeda, dimana terjadi penurunan kolonisasi dan jumlah spora (Gambar 1). Perbedaan respon dari kedua jenis FMA tersebut diduga karena adanya perbedaan karakter dan kebiasaan (habit) terhadap kondisi lingkungannya. Jenis Glomus sp. diduga telah teradaptasi dengan kondisi tanah yang marginal. Sedangkan jenis G. etunicatum yang diuji adalah jenis yang dapat beradaptasi pada kandungan hara tersedia dan sehingga lebih toleran terhadap kondisi media yang kandungan haranya tinggi. Hal ini selaras dengan pernyataan Johnson dan Pfleger (1992) bahwa kesuburan tanah awal berperan penting dalam memperantarai pengaruh pemupukan terhadap mikoriza. Populasi FMA alami telah beradaptasi terhadap tingkat kesuburan yang ada sehingga pemupukan bersifat mengganggu perkembangan FMA alami pada tanah-tanah yang kurang subur dari pada FMA alami pada tanah-tanah yang subur. Hifa
900 800 ra 700 o p 600 s h 500 a l m400 u J 300 200 100 0
a
0%+hyponex merah G. etunicatum 345
10 124
20 95
30 148
40 95
Glomus sp.
13
8
12
10
889
Formulasi media vermikompos (%)
Gambar 2. Pengaruh jenis inokulum FMA dan formulasi media vermikompos terhadap jumlah spora FMA tanaman inang P. javanica pada bulan ketiga Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbedaan respon antara kedua jenis FMA terhadap penambahan vermikompos. Jenis FMA G. etunicatum cenderung mampu berkolonisasi dengan baik dan terjadi peningkatan kolonisasi seiring dengan
Vesikel
b Gambar 3. Hifa (a) dan vesikel (b) akar tanaman inang P. javanica pada bulan ketiga di rumah kaca (Pengamatan menggunakan mikroskop binokuler Nikon YS100 dengan perbesaran 100x)
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
248
dalam merespon penambahan pupuk yang diberikan. FMA jenis Glomus digolongkan kedalam jenis yang agak peka dan peka terhadap tingkat pemupukan. Jenis Glomus sp. dengan penambahan vermikompos 20%, menghasilkan bobot kering akar tertinggi yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, dan bobot kering akar tanaman inang terendah dihasilkan oleh jenis G. etunicatum dengan vermikompos 40%. Jenis Glomus sp. dengan pemupukan hyponex merah menghasilkan bobot kering akar terinfeksi tertinggi, sedangkan terendah dihasilkan oleh jenis Glomus sp. dengan penambahan vermikompos 30%. Bobot kering tanaman tertinggi dihasilkan oleh perlakuan jenis Glomus sp. pada penambahan vermikompos 20% dan terendah adalah jenis Glomus sp. pada pemupukan dengan hyponex merah (Tabel 3).
Komposisi perbandingan hara yang ditambahkan juga dapat mempengaruhi kemampuan kolonisasi akar dan sporulasi dari jenis FMA. Hasil penelitian Douds dan Schenck (1990) mendapatkan bahwa terjadi perbedaan kolonisasi akar dan sporulasi pada jenis FMA A. longula, Sc. heterogama, G. intraradices dan Gi. margarita dengan perbedaan komposisi larutan hara Ca(NO3)2, KNO3, KH2PO4, dan MgSO4 yang diberikan. Pada umumnya terjadi peningkatan jumlah spora dan kolonisasi pada komposisi larutan hara yang diberikan tanpa P. Komposisi hara terbaik terdapat pada larutan Ca(NO3)2 904 mg kg-1, KNO3 606 mg kg-1 , KH2PO4 0 mg kg-1, dan MgSO4 240 mg kg-1. Namun setiap jenis FMA memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda. Hal ini dibuktikan oleh Bhadalung et al. (2005) mendapatkan bahwa jenis FMA yang berbeda juga memiliki kemampuan yang berbeda
Tabel 1. Pengaruh jenis inokulum FMA dan formulasi media vermikompos terhadap bobot kering tanaman P. javanica Jenis FMA
Formulasi media vermikompos (%) 0%+Hyponex
10
20
30
40
G.etunicatum Glomus sp.
2,74 2,98
b b
2,64 2,96
Rerata bobot kering akar (g) 2,46 bc 2,53 2,52 3,96 a
Bc Bc
2,39 2,74
bcd b
G.etunicatum Glomus sp.
2,35
ab
2,53
a
Rerata bobot kering akar terinfeksi (g) 1,39 Bcd 1,51 bcd 1,81 0,83 Cde 0,51 de 0,31
abc E
1,90 0,59
ab de
B B
Rerata bobot kering total (g) G.etunicatum 11,93 d 14,41 C 16,77 b 16,91 B 16,28 b Glomus sp. 11,33 de 15,61 Bc 16,95 B 15,41 bc 18,74 a Keterangan : Rerata sebaris dan sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95%
Menurut Douds dan Schenck (1990) dalam Johnson dan Pfleger (1992) bahwa perbedaan sensitifitas terhadap pemupukan diduga merupakan akibat dari perbedaan terhadap kebutuhan karbohidrat terlarut dari eksudat akar. Gunawan (1993) menyatakan bahwa eksudat akar diproduksi lebih banyak pada perlakuan dengan takaran fosfor yang rendah. Besarnya eksudasi berkorelasi dengan
penurunan fosfolipid pada membran sel dan penambahan permeabilitas membran akar. Hal ini diduga karena kolonisasi akar oleh FMA dihambat oleh kandungan fosfor tinggi sehingga terjadi penurunan eksudat akar. Adapun senyawa utama penyusun membran adalah protein dan lipida, dan salah satu lipida yang sering dijumpai adalah fosfolipida. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
249
fungsi dari membran adalah mengatur lalu lintas molekul air dan ion atau senyawa terlarut dalam air untuk keluar masuk sel dan organelorganel sel. Penelitian ini memperkuat simpulan Mohammad et al. (2004), bahwa pada benih gandum (Triticum aestivum var. Swift) yang diinfeksikan dengan inokulum akar G. intraradices kemudian ditaburkan pada tanah kahat P dan agak masam (pH 5,5) yang dipupuk dengan 0, 5, 10 dan 20 kg ha-1 pupuk P komersial, terjadi peningkatan kolonisasi akar pada tanaman yang diinokulasi mikoriza seiring dengan kenaikan dosis P akan tetapi terus menurun pada taraf P tertinggi. Selaras dengan hasil penelitian Tanu et al. (2004) yang mendapatkan bahwa perbedaan jenis bahan organik dan takaran masukan bahan organik berpengaruh nyata terhadap daya infeksi dan jumlah propagul FMA alam. Keseimbangan antar kandungan unsur hara yang diberikan merupakan hal penting yang juga perlu diperhatikan. Keseimbangan hara mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan kolonisasi FMA. Dalam sel-sel hidup, reaksi-reaksi biokimia terjadi secara berantai dan ada saling ketergantungan antara reaksi yang satu dengan reaksi lainnya. Oleh sebab itu bila ada satu saja hara essensial dalam keadaan kahat atau berlebih maka dapat menghambat satu reaksi enzim. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa rasio hara mempengaruhi respon mikoriza. Johnson dan Pfleger (1992) menunjukkan bahwa hara pupuk yang berimbang merangsang kolonisasi FMA pada tanaman jagung. Sedangkan pemupukan N dengan dosis yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menurunkan kolonisasi. Selang antara kategori tinggi dan rendah kemungkinan berdasarkan pada kriteria penilaian sifat kimia tanah. Johnson dan Pfleger (1992) menyatakan bahwa aplikasi pupuk P saja ternyata menurunkan kolonisasi mikoriza namun pemupukan dengan hara NPK berimbang tidak menurunkan infeksi. Selanjutnya dinyatakan juga bahwa status nitrogen tanaman inang mempengaruhi respon mikoriza terhadap P,
dimana ada korelasi negatif antara kolonisasi akar oleh FMA dengan konsentrasi N dan nisbah N:P pada tanaman Artemisia vulgari. Penelitian Bressan (2002) pada akar tanaman Anthylis vulneraria sub sp. Sampaiana (Kidney vetch) yang diinokulasi dengan FMA jenis G. etunicatum Becker & Gerdemann (121 INVAM S329) dengan tiga konsentrasi media N (5, 10 dan 50 mg L-1) pada taraf P konstan (2 mg L-1) dan tiga konsentrasi P media (2, 10 dan 20 mg L-1) pada taraf N konstan (5 mg L-1) mendapatkan bahwa panjang akar terkolonisasi G. etunicatum meningkat nyata (p = 0,05) dengan penambahan P pada taraf N rendah. Pada taraf P rendah antara 10 dan 50 mg L-1 N berbeda tidak nyata pengaruhnya terhadap panjang akar terkolonisasi. Sehingga kesimpulannya bahwa interaksi antara P dan N berpengaruh nyata terhadap perkecambahan spora, pertumbuhan akar, dan panjang akar terkolonisasi. Pengujian potensi inokulum FMA Setelah perbanyakan inokulum FMA dilakukan, tahapan selanjutnya adalah pengujian mutu inokulum dari FMA yang telah diproduksi. Hal tersebut merupakan prasyarat utama yang perlu diperhatikan dalam produksi inokulum FMA. Untuk itu perlu adanya standarisasi mutu inokulum agar tidak merugikan konsumen dan efektif dalam penggunaannya. Selama ini belum ada standar baku yang ditetapkan dalam menentukan mutu inokulum FMA di Indonesia, demikian pula dengan sistem pengawasan mutunya. Penentuannya hanya sebatas melihat jumlah propagulnya dengan asumsi semakin banyak jumlah propagul infektif maka akan semakin baik karena peluang untuk menginfeksi semakin besar. Perbanyakan inokulum harus diikuti dengan pengujian mutu inokulum yang didapatkan untuk menetapkan seberapa banyak dosis yang akan diberikan ketanaman. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam standardisasi mutu adalah menggunakan jumlah propagul sebagai ukuran untuk menyatakan potensi inokulum. Pada dasarnya dalam inokulum mengandung tidak hanya
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
250
mengandung spora akan tetapi juga beberapa jenis propagul infektif lainnya seperti vesikel (khusus Glomus), dan hifa dari mikoriza yang memiliki kemampuan untuk mengkolonisasi akar. Pengujian potensi inokulum dilakukan dengan menggunakan test MPN (The Most Probable Number), test ini untuk menentukan
jumlah propagul infektif dengan beberapa pengenceran yang berbeda. Jenis Glomus sp. menghasilkan jumlah propagul terbanyak yaitu 10120 x 104 propagul dan terendah dihasilkan oleh Glomus sp. dengan vermikompos 30% yaitu 0,12 x 104 propagul (Tabel 2).
Tabel 2. Potensi inokulum cendawan mikoriza arbuskula per 100 g media zeolit Jumlah propagul infektif (KA 10%)
Perlakuan
Jumlah/100 g zeolit
G. etunicatum G. etunicatum dengan vermikompos 30% G. etunicatum dengan vermikompos 40% Glomus sp. Glomus sp. dengan vermikompos 30% Glomus sp dengan vermikompos 40%
308 x 104 7,7 x 104 5,4 x 104 10120 x 104 0,12 x 104 0,19 x 104
Keterangan : *) Kisaran jumlah propagul pada selang kepercayaan 95 %
Hasil pengujian potensi formulasi inokulum FMA pada perlakuan kontrol Glomus sp. menghasilkan jumlah propagul terbanyak yaitu 10120 x 104 propagul dan Glomus etunicatum 308 x 104 propagul. Sedangkan pada perlakuan pemberian vermikompos perlakuan yang menghasilkan jumlah propagul tertinggi adalah jenis G. etunicatum dengan vermikompos 30% dan terendah dihasilkan oleh Glomus sp. dengan vermikompos 30% yaitu 0,12 x 104 propagul (Tabel 2). Fenomena ini mengindikasikan bahwa pemberian hara dengan menggunakan pupuk hyponex merah memberikan respon yang baik terhadap jumlah propagul. Namun dengan penambahan vermikompos masih memberikan jumlah propagul yang relatif baik dan sekaligus menghasilkan residu vermikompos dari inokulum tersebut, kondisi inilah yang memberikan nilai tambah bagi perlakuan yang menggunakan vermikompos. Penelitian Basrudin (2005) mendapatkan bahwa perlakuan pemberian asam humat 0,1% dengan tanaman inang S. vulgare menghasilkan jumlah propagul
Kisaran jumlah propagul *) 145 – 652 x 104 3,6 – 16,3 x 104 0,50 – 2,50 x 104 4770 – 21440 x 104 0,41 – 0,57 x 104 0,88 – 3,96 x 104
terbesar yaitu 1277 (9598-2729) per 100 g media uji. Demikian pula Feldmann dan Idczak (1992) menyatakan bahwa 30-50 propagul sudah dapat menghasilkan infeksi pada akar tanaman. Hasil yang didapat dari pengujian potensi inokulum menginformasikan bahwa jumlah propagul dari inokulum yang diujikan relatif masih cukup tinggi termasuk perlakuan penambahan vermikompos. Walaupun dari perhitungan kolonisasi akar dan jumlah spora relatif lebih rendah dibanding perlakuan pemberian hara hyponex merah. Hal ini disebabkan karena nilai MPN tidak hanya ditentukan oleh kedua faktor tersebut, akan tetapi diduga lebih dipengaruhi oleh hifa eksternalnya. Selaras dengan penemuan Basrudin (2005) yang mendapatkan bahwa infeksi akar dan jumlah spora tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap nilai MPN.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
251
KESIMPULAN DAN SARAN Merujuk dari hasil penelitian dan pembahasan di atas maka disimpulkan: (1) Jenis inokulum G. etunicatum (terseleksi) dan Glomus sp. (indogenous) memberikan respon yang berbeda terhadap penambahan kascing, dimana jenis G. etunicatum lebih toleran terhadap penambahan kascing dibanding jenis Glomus sp. (indogenous). (2) Pemberian vermikompos pada jenis G. etunicatum menghasilkan perlakuan dengan jumlah propagul tertinggi adalah jenis G. etunicatum dengan vermikompos 30% yaitu 7,7 x 104 dan terendah adalah dengan vermikompos 40% yaitu 5,4 x 104. (3) Pemberian vermikompos Glomus sp. cenderung pada jenis menghasilkan respon yang sama pada tiap penambahan vermikompos yang diberikan. Jenis Glomus sp. dengan vermikompos 30% yaitu 0,12 x 104 propagul dan vermikompos 40% adalah 0,19 x 104. (4) Penambahan vermikompos masih memberikan jumlah propagul yang relatif baik dan sekaligus menghasilkan residu vermikompos sebagai suplai hara awal bagi tanaman. Disarankan bahwa penambahan vermikompos dapat dilakukan pada jenis G. etunicatum asal Bogor untuk mendapatkan formulasi inokulum baru yang lebih baik dan aplikasi inokulum perlu diberikan dalam keadaan segar agar lebih efektif. Perlu adanya uji lanjut dengan jenis isolat FMA yang lebih bervariasi untuk melihat respon masingmasing jenis FMA terhadap penambahan vermikompos. DAFTAR PUSTAKA Bagyaraj DJ. 1991. Ecology of vesicular-arbuscular mycorrhizae; In. Dilip KA et al. 1991. editor. Mycorrhizae and endophytic fungi. Soil and plants handbook of applied mycology. New York.Marcell Dekker Inc. Balitbanghut dan Dishut Sultra. 2004. Hasil eksplorasi dan eksploitasi benih jati. Kendari.
Basrudin. 2005. Pengaruh inang, media tumbuh dan trigger terhadap peningkatan kualitas inokulum cendawan mikoriza arbuskula. Thesis. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bhadalung NN, Suwanarit A, Dell B, Nopamornbodi O, Thamchaipenet A, Rungchuang J. 2005. Effects of long-term NP-fertilization on abundance and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi under a maize cropping system. Plant and Soil 270(1-2):371-382. Bressan W. 2002. The interactive effect of phosphorus and nitrogen on in vitro spore germination of G. etunicatum Becker & Gerdemann, root gowth and mycorrhizal colonization. Brazilian Journal of Microbiology 32(4):276-280. Brundrett M, Boucher N, Dell NB, Gove T, Malajczuk N. 1994. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agiculture. Kaiping Cina. dalam: International Mycorrhizal Workshop. Douds DD JR, Schenck NC. 1990. Increased sporulation of vesicular-arbuskular mycorrhizal fungi by manipulation of nutrient regimens. Applied and Environmental microbiology. 52:413-418.. Feldmann F, Idczak E. 1992. Inoculum production of vesicular-arbucular mycorrhizal fungi for use in tropical nurseries; di dalam Norris JK, Read DJ, Varma AK. editor. Methods in microbiology. Vol; 24.Technique for the study of mycorrhiza. London. Academic Press Limited. Gunawan AW. 1993. Mikoriza arbuskula. Bogor: IPB. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Johnson NC, Pfleger FL. 1992. Vesiculararbuscular mycorrhizae and cultural stresses; In. Bethlenfalvay GJ, Linderman RG. Editor. USA. Mycorrhizae in sustainable agriculture. ASA Publication.Inc. Madison. Wisconsin. Mycorrhizae in Sustainable Agriculture 54:71-99.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
252
Marschner. 1992. Nutrient dynamics at the soil-root interface (Rhizosphere); In. Read DJ, Lewis DH, Fitter AH, Alexander IJ. 1992. Editor. Mycorrhizas in ecosystems. Singapore. CAB International.
Smith
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Bogor. IPB PRESS.
Sieverding E. 1991. Vesicular-arbuscular mycorrhiza management in tropical agosystem. Eschborne. Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH.
Mohammad A, Mitra B, Khan AG. 2004. Effects of sheared-root inoculum of Glomus intraradices on wheat grown at different phosphorus levels in the field. Agiculture Ecosystems and Environment 103(1):245249. Ndegwa PM, Thompson SA, Das KC. 1999. Effects of stocking density and feeding rate on vermicompost of biosolid. Bioresource Technology. 7(2000):5-12. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung. ITB Bandung Sáinz MJ, Taboada MT, Vilarino A. 1998. Growth, mineral nutrition and mycorrhizal colonization of red clover and cucumber plants grown in a soil amended with composted urban waste. Plant and soil journal. 205:85-92
SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal symbiosis. Two edition. Harcourt brace and company publisher. San Diego. London. New York. Boston. Sidney. Tokyo. Toronto. Academic press
Simanungkalit RDM. 2004. Standardisasi mutu inokulum cendawan mikoriza arbuskula. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agoklimat. Lembang. Makalah disampaikan pada Workshop Teknik produksi inokulan pupuk hayati mikoriza. 22-23 Juli 2004 Tanu, Prakash A, Adholeya A. 2004. Effect of different organic manures / composts on the herbage and essential oil yield of Cymbopogon winterianus and their influence on the native AM population in a marginal alfisol. Bioresource Technology 92(3):311-319.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
253
EFEK EKSTRAK BUAH PINANG TERHADAP PENYAKIT MOSAIK KACANG PANJANG Oleh: Syair, Nurwati dan La Ode Santiaji Bande 1) ABSTRACT The objective of research to understand the effect of areca nut extract in inhibition of cowpea mosaic disease. The research was conducted in green house Faculty of Agriculture Haluoleo University. Research method was used Group Randomized Design, with five level treatments ie: not extract areca nut (E0), 200 g extract areca nut (E1), 400 g extract areca nut (E2), 600 g extract areca nut (E3), and 800 g extract areca nut (E4). Variable recorded to the research is mosaic symptom type and incubation period. The result showed that application of areca nut extract the not of ability for inhibition of cowpea mosaic disease but the longer incubation period and mild mosaic. The higher applied the concentration of the areca nut extract being the longer of incubation period and mosaic symptom. Key words: mosaic disease, symptom, cowpea, areca nut extract.
PENDAHULUAN Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman sayuran yang sangat dikenal oleh masyarakat dan memiliki peranan penting dalam upaya peningkatan gizi keluarga karena banyak mengandung vitamin A, vitamin B, vitamin C, protein dan mineral (Sutarya dan Grubben, 1995). Nilai prospek ekonomi dari kacang panjang yang cukup baik menyebabkan budidaya tanaman ini cukup intensif dilakukan petani. Dalam upaya budidaya tanaman kacang panjang ini, hambatan utama yang dihadapi petani adalah gangguan hama dan penyakit. Banyak macam penyakit yang dapat ditemukan pada pertanaman kacang panjang baik itu disebabkan oleh jamur, bakteri, maupun virus. Penyakit virus merupakan hambatan penting dalam budidaya kacang panjang karena dapat menurunkan produksi secara drastis. Infeksi virus ini dapat terjadi sewaktu tanaman masih kecil sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Salah satu penyakit virus tersebut adalah penyakit mosaik kacang panjang (Sulyo, 1984) yang terutama disebabkan oleh Cowpea Aphid-borne Mosaic
Virus anggota Potyvirus (Brunt et al., 1995). Dengan intensifnya budidaya kacang panjang maka intensitas penyakit ini semakin meningkat. Peningkatan intensitas penyakit ini sangat ditunjang oleh keberadaan vektor dari virus tersebut yaitu beberapa spesies kutu daun. Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan untuk mencegah infeksi penyakit mosaik kacang panjang seperti pergiliran tanaman, penggunaan varietas tahan, dan penggunaan pestisida. Pilihan yang banyak dilakukan petani adalah penggunaan insektisida untuk mengendalikan vektornya. Penggunaan insektisida dalam mengendalikan vektor penyakit ini hasilnya sangat memuaskan, namun jika digunakan secara berlebihan dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu perlu alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan yang dapat mencegah masuknya virus di lapangan seperti penggunaan bahanbahan yang dapat menginaktifkan virus. Alternatif yang perlu dicobakan seperti penggunaan pestisida nabati yang mengandung zat penyamak (tanin) sebagai bahan disinfeksi yang dapat menyebabkan inaktivasi virus. Semangun (1996) menyatakan bahwa zat-zat
) Staf Pengajar Pada Jurusan Budidaya18 Pertanian Fakultas Universitas Kendari. AGRIPLUS, Volume Nomor : 03 Pertanian September 2008, Haluoleo, ISSN 0854-0128
1
214
254
penyamak dari batang Acacia decurrens terbukti paling baik dapat menginaktifkan virus sehingga dapat menekan infeksi virus mosaik tembakau. Bahan lain yang mengandung tanin adalah buah pinang dengan kadar tanin 15% (Lutony, 1992). Efektivitas tanin yang dikandung buah pinang ini dalam menginaktifkan virus belum diketahui secara pasti, oleh karena itu sangat dibutuhkan penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak buah pinang tersebut terhadap penyakit mosaik virus kacang panjang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efek berbagai konsentrasi ekstrak buah pinang dalam menekan penyakit mosaik kacang panjang.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini berlangsung selama 5 (lima) bulan dimulai sejak bulan November 2005 sampai Maret 2006. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu benih kacang panjang, media tanam (pupuk kandang, pasir, dan tanah), daun tanaman kacang panjang yang terinfeksi mosaik virus, buffer fosfat 0,01 M, buah pinang, polybag ukuran 15 x 20 cm, kertas label, carborundum 600 mesh, dan aquadest. Alat yang digunakan yaitu mortar, tusuk gigi, kapas, pacul, parang, gelas ukur, cawan petri, gelas piala, dan alat tulis menulis. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri atas 5 (lima) perlakuan. Tiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 15 unit perlakuan dan setiap unit terdapat 3 tanaman. Perlakuan yang dicobakan adalah: tanpa ektrak buah pinang (E0), ekstrak dari 200 g buah pinang per liter aquadest (E1), ekstrak dari 400 g buah pinang per liter aquadest (E2), ekstrak dari 600 g buah pinang per liter aquadest (E3), dan ekstrak dari 800 g buah pinang per liter aquadest (E4). Benih kacang panjang ditumbuhkan dalam polybabg yang telah diisi median tanam
(tanah, pupuk kandang, dan pasir dengan perbandingan 1:1:1). Polybabg diletakkan di rumah kaca dengan jarak 0,5 m untuk menghindari persinggungan antara tanaman yang dapat memindahkan virus dari tanaman satu ke tanaman lainnya. Bibit tanaman yang siap diinokulasi virus umur 10 hari setelah tanam. Tanaman disiram setiap hari (pagi dan sore) dan dilakukan pengendalian hama dengan menggunakan insektisida Decis 2,5 EC agar tidak terjadi penularan virus yang disebabkan oleh serangga vektor (kutu daun). Sumber inokulum virus diperoleh dari kacang panjang sakit mosaik yang diperoleh di lapangan. Daun kacang panjang yang menunjukkan gejala mosaik dibersihkan dan digerus dengan menggunakan mortar. Hasil gerusan ditambahkan buffer fosfat sebanyak 10 ml. Dari hasil gerusan tersebut didapatkan sap tanaman sakit sebagai inokulum virus dan siap ditularkan ke tanaman uji. Ekstrak buah pinang dilakukan dengan menggunakan metode Winarto (1995) dalam Winarto dan Primawaty (1999) yaitu 600 g biji pinang yang telah tua ditumbuk, kemudian ditambahkan 1 liter aquadest dan dipanaskan hingga mendidih dan didiamkan selama 4 hari. Setelah itu cairan perasan disaring dan siap untuk diaplikasikan. Hal yang sama juga dilakukan untuk perlakuan 200, 400 dan 800 g buah pinang/liter aquadest. Sebelum inokulasi virus dilakukan pada tanaman uji, terlebih dahulu sap tanaman sakit dengan ekstrak buah pinang dicampur sesuai perlakuan yang dicobakan dengan perbandingan 10 ml : 10 ml, kemudian didiamkan selama 20 enit yang bertujuan untuk menginaktifkan virus yang terdapat dalam sap tanaman sakit. Permukaan daun yang akan diinokulasi ditaburi karborundum 600 mesh kemudian diolesi dengan campuran antara sap tanaman sakit dengan ekstrak buah pinang kecuali perlakuan kontrol (hanya sap tanaman sakit) dengan menggunakan lilitan kapas pada tusuk gigi. Pengolesan dilakukan satu arah secara hati-hati dengan sedikit tekanan yang kira-kira hanya menimbulkan luka mikroskopik yang tidak sampai mematikan sel atau jaringan. Daun tanaman
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
255
yang dipilih untuk inokulasi adalah 2 daun pertama yang sudah membuka sempurna pada setiap tanaman kacang pnjang (+ umur 10 hari) karena daun yag tua kurang rentan. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) Sifat/tipe gejala mosaik yang muncul pada tanaman uji. (2) Periode inkubasi, yang diamati setiap hari dimulai saat inokulasi patogen sampai munculnya gejala awal secara eksternal. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap komponen periode inkubasi dilakukan dengan analisis sidik ragam dan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dilakukan untuk melihat perbedaan perlakuan pada tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan data sifat/tipe gejala dibuat dalam bentuk tabulasi sederhana dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala mosaik yang bervariasi yang muncul pada perlakuan yang dicobakan. Menurut Semangun (1994) gejala mosaik pada kacang panjang mempunyai beberapa corak seperti klorosis, kerdil, belang, dan mengeriting dalam satu tanaman. Hasil pengamatan terhadap gejala mosaik yang timbul pada tanaman kacang panjang yang diberi ekstrak buah pinang pada berbagai perlakuan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa sifat gejala yang muncul sama pada semua perlakuan dengan sifat gejala sistemik. Indikasi dari gejala sistemik ini yaitu pada daun yang tumbuh berikutnya yang tidak diinokuasi sap tanaman sakit ditemukan juga
gejala mosaik (klorosis). Sedangan tipe gejala yang ditemukan secara umum terbagi dua yaitu mosaik berat dengan ciri daun klorosis/belang/kerdil/ mengeriting dan mosaik ringan dengan ciri daun klorosisi, kerdil dan keriting. Mosaik berat ditemukan pada perlakuan tanpa ekstrak buah pinang (E0) dan ekstrak 200 g buah pinang (E1). Mosaik ringan ditemukan pada perlakuan ekstrak 400 g buah pinang (E2), ekstrak 600 g buah pinang (E3), dan ekstrak 800 g buah pinang (E4). Terjadinya mosaik berat pada perlakuan E0 disebabkan jumlah inokulum virus cukup banyak dan bebas melakukan infeksi tanpa hambatan, sedangkan pada perlakuan E1 menunjukan bahwa ekstrak buah pinang yang dicobakan belum mampu menyebabkan inaktivasi virus atau mengurangi jumlah inokulum virus. Sumardyono at al., (1997) melaporkan bahwa perkembangan penyakit mosaik kacang panjang sangat dipengaruhi oleh jumlah sumber inokulum yakni semakin tinggi jumlah inokulum virus yang ditularkan oleh vektor maka intensitas penyakit mosaik kacang panjang semakin tinggi. Sedangkan penyebab terjadinya mosaik ringan pada perlakukan E2, E3, dan E4 diduga disebabka oleh konsentrasi virus dalam sap yang diinokulasikan rendah akibat adanya sebagian virus yang mengalami inaktif akibat pengaruh tanin yang terdapat dalam ekstrak buah pinang. Kandungan tanin pada perlakuan tersebut tidak mampu menyebabkan inaktif virus secara keseluruhan tetapi hanya sebagian saja. Dengan demikian konsentrasi virus menjadi rendah sehingga hanya menyebabkan gejala mosaik ringan.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
256
Tabel 1. Sifat/tipe gejala mosaik yang timbul pada daun kacang panjang Perlakuan
Sifat Gejala
Tipe Gejala
Tanpa ekstrak buah pinang (E0)
Sistemik
Ekstrak 200 g buah pinang (E1)
Sistemik
Ekstrak 400 g buah pinang (E2)
Sistemik
Ekstrak 600 g buah pinang (E3)
Sistemik
Ekstrak 800 g buah pinang (E4)
Sistemik
Mosaik berat dengan ciri: -klorosis: daun mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat atau kuning (yellowing). -kerdil: daun tanaman tumbuh kerdil. -belang: terdapat penebalan pada daun yang tidak merata dan warnanya menjadi hijau bercampur hijau tua (belang). -mengeriting: daun pada bagian pucuk menjadi keriting (leaf curl). Mosaik berat dengan ciri: -klorosis: daun mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat atau kuning (yellowing). -kerdil: daun tanaman tumbuh kerdil. -belang: terdapat penebalan pada daun yang tidak merata dan warnanya menjadi hijau bercampur hijau tua (belang). -mengeriting: daun pada bagian pucuk menjadi keriting (leaf curl). Mosaik ringan dengan ciri: -klorosis: daun mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat atau kuning (yellowing). -kerdil: daun tanaman tumbuh kerdil. -mengeriting: daun pada bagian pucuk menjadi keriting (leaf curl). Mosaik ringan dengan ciri: -klorosis: daun mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat atau kuning (yellowing). -kerdil: daun tanaman tumbuh kerdil. -mengeriting: daun pada bagian pucuk menjadi keriting (leaf curl). Mosaik ringan dengan ciri: -klorosis: daun mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat atau kuning (yellowing). -kerdil: daun tanaman tumbuh kerdil. -mengeriting: daun pada bagian pucuk menjadi keriting (leaf curl).
Perbedaan tipe gejala yang muncul juga sangat dipengaruhi oleh periode inkubasi dari penyakit mosaik kacang panjang. Hasil pengamatan rata-rata periode inkubasi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Periode Inkubasi Penyakit Mosaik Kacang Panjang Perlakuan
Rata-rata Periode Inkubasi (Hari)
Tanpa ekstrak buah pinang (E0) 4,22 a Ekstrak 200 g buah pinang (E1) 8,88 ab Ekstrak 400 g buah pinang (E2) 13,11 bc Ekstrak 600 g buah pinang (E3) 14,00 bc Ekstrak 800 g buah pinang (E4) 17,45 c Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf kepercayaan 95%, BNJ = 6,60
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
257
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak buah pinang maka periode inkubasi semakin lama. Periode inkubasi tercepat terdapat pada perlakuan E0 (4,22 hari) yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan E1 (8,88 hari) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan E2 (13,11 hari), E3 (14,00 hari), dan E4 (17,45 hari). Sedangkan rata-rata masa inkubasi terlama terdapat pada perlakuan E4 yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan E2 dan E3, serta berbeda nyata dengan perlakuan E0 dan E1. Perbedaan periode inkubasi ini diduga dipengaruhi oleh kandungan tanin dalam perlakuan yang dicobakan. Semakin rendah tanin yang dicobakan menujukkan waktu muncul gejala mosaik semakin cepat. Suseno (1990) menyatakana bahwa tanin yang merupakan senyawa fenol dapat menginaktifkan protein virus dengan cara mengendapkannya (merusak). Protein pada virus mempunyai peran utama sebagai pelindung yang menyelubungi asam nukleat, dan bila selubung protein rusak maka kemungkinan besar asam nukleat yang merupakan komponen terpenting suatu virus juga mengalami kerusakan atau menjadi inaktif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tanin pada buah pinang yang dicobakan tidak cukup untuk menginaktifkan virus tetapi hanya memperpanjang periode inkubasi yang dapat diketahui dari masih munculnya gejala mosaik pada tanaman kacang panjang walaupun dengan waktu yang lebih lama. Lamanya waktu muncul gejala (periode inkubasi yang lama) pada perlakuan ekstrak 800 g buah pinang (Tabel 2) ini menyebabkan gejala mosaik yang terjadi pada daun menjadi mosaik ringan (Tabel 1). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin cepat periode inkubasi maka gejala mosaik yang terjadi semakin berat.
KESIMPULAN DAN SARAN
mencegah terjadi penyakit mosaik pada kacang panjang tetapi dapat mengurangi beratnya gejala dan memperpanjang periode inkubasi. Semakin tinggi ekstrak buah pinang yang diberikan maka gejala penyakit semakin lama muncul dan periode inkubasi semakin lama terjadi. Disarakan agar penelitian lanjutan dengan menggunakan jenis tanaman yang mempunyai potensi sebagai pestisida nabati untuk menekan gejala mosaik pada kacang panjang. DAFTAR PUSTAKA Bos. L., 1990. Pengantar Virologi Tumbuhan. Gadjah Mada Universty Press. Yogyakarta. Brunt, A.A., Crabtree, K., Dallwitz, M.J., Gibbs, A.J. and Watson L., 1995. Viruses of Plants. CAB International, Wallingford, UK. Lutony, T.L., 1992. Pinang Sirih. Kanisius. Jakarta Semangun H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sulyo, Y., 1984. Pengaruh Perbedaan Waktu Inokulasi Cowpea Aphid-borne Mosaic Virus (CAMV) terhadap Produksi Kacang Panjang. Bul. Penel. Hort. 9(4). Sumardyono, Y.B., Supratoyo, dan Samsuri., 1997. Penularan Penyakit Mosaik Kacang Panjang Oleh Aphis craccivora. Perlindungan Tanaman Indonesia. 3(1). Suseno, 1990. Virologi Tumbuhan. IPB. Bogor. Sutarya, R., dan G.Grubben, 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Winarto, L. dan N. Primawati, 1999. Keefektifan Ekstrak Buah Pinang untuk Mengendalikan Penyakit Busuk Daun pada Tanaman Kentang. Hortikultura. 9(1).
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa ekstrak buah pinang tidak dapat
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128