240
PENULARAN CITRUS VEIN PHLOEM DEGENERATION (CVPD) DENGAN TEKNIK PENYAMBUNGAN Oleh: Muhammad Taufik1) ABSTRACT One way of transmission CVPD is through vegetative propagation. Scion was infected by CVPD can be transmited the pathogen to citrus seedlings that have been connected. Therefore the aim of research is proving that the CVPD can be transmitted through vegetative. The results showed that the CVPD can be transmitted through grafting technique with entries from Konda. Disease incidence entries from Konda is 5%. Grafting technique is more successfully connecting between entries and rootstock with the connection success rate of 90%, shoot length 6,32 cm and shoots number 0.55 pieces. Key words: CVPD, citrus, grafting
PENDAHULUAN Tanaman jeruk adalah komoditas hortikultura yang cukup penting di Sulawesi Tenggara. Hal ini disebabkan jeruk memberikan manfaat yang cukup banyak diantaranya kandungan vitamin C, dapat dibuat olahan jus serta buahnya yang dapat dikonsumsi secara langsung. Selian itu harganya yang cukup baik. Jeruk mengandung 50 mg per 100 ml sari buah, vitamin C, vitamin A dan protein (Lelly, 2004). Jeruk juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pertanian, obat-obatan, produk pembersih, pewangi dan sebagainya (Pracaya, 2003). Perkembangan pertanaman jeruk Siam di Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, jumlah tanaman jeruk tercatat lebih dari 1,5 juta pohon (BPTPH, 2004). Menurut data terakhir dari Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Horikultura (2007) tanaman jeruk mengalami peningkatan sebanyak 2.300.000 pohon. Adanya ekstensifikasi yang tinggi telah memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan petani di Sulawesi Tenggara khususnya petani jeruk. Sehingga tidaklah mengherankan jika saat ini Sulawesi Tenggara telah menjadi penyangga nasional untuk memenuhi kebutuhan jeruk di dalam negeri saat itu. Tetapi akhir-akhir ini populasi jeruk di daerah
mungkin telah mengalami penurunan yang diindikasikan kurangnya buah jeruk dijual di tepi jalan di Kota Kendari. Patut diduga penyakit Citrus Vein Phloem Degenaration (CVPD) telah terbukti positif dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) di Sulawesi Tenggara sejak tahun 2007 (Taufik et al., 2010). Seperti yang telah dilaporkan oleh Wirawan et al. (2004) bahwa CVPD menginfeksi tanaman jeruk hampir seluruh Propinsi (Wirawan et al., 2004). Infeksi CVPD di Tulungagung sampai 62,34% dan Bali Utara sampai 60% dengan kerugian mencapai puluhan milyar rupiah pertahun (Dwiastuti, 2001). Sementara itu gejala CVPD pada pertanaman jeruk Di Sulawesi Tenggara telah mencapi 70% (Taufik et al., 2010). Penyakit CVPD disebabkan oleh patogen bakteri (Liberobacter asiaticum). Sebelumnya penyebab penyakit CVPD disebut sebagai Bacterial Like Organisme (BLO). CVPD ditularkan oleh serangga vektor yaitu Diaphorina citri Kuwayama. Selain sebagai vector D. citri juga merupakan hama (Hoy dan Nguyen, 1998; Mead, 2006). Di Sulawesi Tenggara, hasil survei lapang yang dilakukan oleh Taufik et al. (2010) belum ditemukan serangga D. Citri di pertanaman jeruk. Oleh karena itu, diduga kuat penyebaran CVPD melalui perbanyakan vegetatif. Menurut beberapa catatan penularan dengan mata
AGRIPLUS, 20 Fakultas NomorPertanian : 03 September 2010, ISSN 0854-0128 ) Staf Pengajar Pada JurusanVolume Agroteknologi Universitas Haluoleo, Kendari.
1
240
241
tempel lebih penting dibandingkan dengan penyambungan (Da Grace, 1991 dalam Taufik et al., 2007). Berdasarkan hal tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah melakukan studi mengenai penularan penyakit CVPD dengan teknik penyambungan. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Konda Kabupaten Konawe Selatan, yang dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai bulan September 2009. Prosedur Penelitian Persiapan tanaman uji Tanaman jeruk yang akan digunakan sebagai tanaman uji berasal dari biji, yang disemaikan dalam baki semai yang berisi dengan campuran tanah, dan sekam dengan perbandingan 1:1. Setelah berumur 4 bulan bibit dipindahkan ke polybag yang berukuran 20x20 cm yang telah berisi tanah serta pupuk kandang yang steril dengan perbandingan 2:1. Tanaman yang telah berumur 6 bulan siap untuk digunakan sebagai tanaman uji. Sumber inokulum Sumber inokulum (entris) berasal dari tanaman jeruk yang menunjukkan gejala khas CVPD dan terdeteksi positif dengan teknik PCR khusus untuk entris asal Konda. Entris tersebut diperoleh dari pertanaman jeruk di Kecamatan Konda dan Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, yang menunjukkan gejala khas CVPD. Persiapan media tanam Sebanyak 200 polybag bibit jeruk yang telah berumur 6 bulan disiapkan untuk dijadikan bahan tanaman uji. Penyambungan dilakukan secara vegetatif yaitu okulasi, sambung pucuk dan sambung samping. Setiap metode penyambungan menggunakan 40 bibit jeruk. Teknik penyambungan Okulasi. Pangkal bawah pohon yang akan ditempel terlebih dahulu dibersihkan,
kulit pohon pangkal bawah dipotong melintang atau diiris seperti bentuk huruf U terbalik. Bagian kulit yang telah dipotong dan ditoreh, diangkat dan dikelupas ke bawah sepanjang 3 cm. Kulit dahan yang bermata tunas (entris) diiris tipis beserta kayunya sepanjang 3 cm, kemudian dipotong. Irisan kulit bermata/bertunas dicongkel dan dilepaskan dengan ujung pisau. Kulit tempelan segera diletakkan pada celah batang bawah yang telah disiapkan hingga benar-benar pas dan dijepit dengan bagian kulit yang disisakan. Setelah kulit calon batang atas menempel, tempelan diikat dengan tali plastik transparan. Setelah penyambungan berumur 3 minggu tali ikatan dibuka dan diperiksa. Apabila keadaannya tetap hijau berarti tempelan berhasil dan bila warnanya coklat atau kuning berarti penempelan gagal. Jika tempelan berhasil, batang bawah dilengkungkan atau dipatahkan pada ketinggian 2-3 cm di atas tempelan. Sambung pucuk (Top Grafting). Sambung pucuk adalah cara penyambungan batang atas pada bagian atas atau pucuk dari batang bawah dengan cara sebagai berikut: Batang bawah yang dipilih yang berdiameter sama dengan batang atas. Batang bawah dipotong setinggi 20-25 cm di atas permukaan tanah dengan menggunakan pisau okulasi atau gunting stek. Batang bawah dibelah membujur se dalam 2-2,5 cm sehingga irisannya membentuk mata kampak. Selanjutnya batang atas dimasukkan ke dalam belahan batang bawah dan diikat dengan tali plastik. Sambungan yang telah berumur 2-3 minggu akan berhasil jika tumbuh tunas. Sebaliknya sambungan yang gagal akan berwarna hitam dan kering. Sambung samping (Side Grafting). Sambung samping adalah cara penyambungan batang atas pada bagian samping batang bawah. Caranya sebagai berikut: pada batang bawah jeruk dibuat irisan belah dengan mengupas bagian kulit. Irisan kulit batang bawah dibiarkan atau tidak dipotong. Batang atas dibuat irisan meruncing pada kedua sisinya. Sisi irisan yang menempel pada batang bawah dibuat lebih panjang
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 03 September 2010, ISSN 0854-0128
242
menyesuaikan irisan di batang bawah dari sisi luarnya. Kemudian batang atas tersebut disisipkan pada irisan belah dari batang bawah. Dengan demikian, batang bawah dan batang atas akan saling berhimpitan. Kedua lapisan kambium harus saling bersentuhan dan diikat dengan tali plastik. Setelah batang atas menunjukkan pertumbuhan tunas, kurang lebih 2-3 minggu setelah penyambungan, tali plastik yang mengikat langsung tempelan batang atas dan kulit batang bawah dibiarkan, sampai tautan sambungan cukup kuat kemudian bagian batang di atas sambungan dipotong. Pemotongan perlu dilakukan agar tidak terjadi kompetisi kebutuhan zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan. Pemeliharaan Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara disiram setiap pagi dan sore serta rumput yang tumbuh di sekitarnya dibersihkan. Penyemprotan dengan menggunakan insektisida dan fungisida. Pemupukan dengan NPK sebanyak 0,5 g/pohon yang diberikan setiap dua bulan. Pengamatan a. Tingkat keberhasilan sambungan: persentase keberhasilan sambungan diamati dengan menghitung jumlah sambungan yang hidup dari 40 sampel sambungan. b. Jumlah dan panjang tunas: jumlah tunas diamati dengan cara menghitung tunastunas yang tumbuh pada tanaman entries, sedangkan panjang tunas dihitung dengan cara mengukur tinggi tanaman (entris) setiap sekali seminggu dengan menggunakan mistar ukur. c. Gejala: tanaman diamati dengan cara melihat gejala CVPD yang muncul pada tanaman percobaan, menggunakan rumus :
KP =
A x 100% B
Keterangan: KP = Persentase kejadian penyakit; A = Jumlah tanaman yang terserang CVPD; B = Jumlah tanaman yang diamati d. Periode laten: pengamatan periode laten dilakukan sejak dimulai penyambungan sampai munculnya. Data persentase penularan penyakit CVPD (Citrus vein phloem degeneration) pada tanaman jeruk ditabulasi sederhana dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Entris yang berasal dari Kecamatan Konda menunjukkan tingkat keberhasilan sambungan 90% dengan teknik okulasi, 5% untuk teknik sambung pucuk dan sambung samping. Rata-rata panjang tunas pada teknik okulasi 6,32 cm, sambung samping 0,24 cm dan sambung pucuk 0,36 cm. Rata-rata jumlah tunas pada teknik okulasi 0,55, sambung samping 0,06 dan sambung pucuk 0,05 helai. Kejadian penyakit pada teknik okulasi 5% dengan periode inkubasi 114 hari dan tidak ada kejadian penyakit pada teknik yang lain. Sementara Entris asal Tinanggea menunjukkan tingkat keberhasilan sambungan mencapai 62,50% dengan teknik okulasi, 30% untuk teknik sambung samping 30% dan 0% sambung pucuk. Rata-rata panjang tunas pada teknik okulasi 5,31, sambung samping 2,60 cm dan sambung pucuk tidak ada tunas yang terbentuk. Rata-rata jumlah tunas pada teknik okulasi 0,38 sambung samping dan sambung pucuk tidak ada tunas yang terbentuk. Tidak ada kejadian penyakit pada entries yang berasal dari Tinanggea (Tabel 1).
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 03 September 2010, ISSN 0854-0128
243
Tabel 1. Persentase keberhasilan sambungan entries, rata-rata panjang dan jumlah tunas asal Kecamatan Konda dan Tinanggea serta persentase kejadian penyakit CVPD Asal entries
Variabel pengamatan Keberhasilan sambungan (%)
Kecamatan Konda
Kecamatan Tinanggea
Teknik penyambungan Sambung Sambung Okulasi samping pucuk 90,00 5,00 5,00
Rata- rata panjang tunas (cm)
6,32
0,24
0,36
Rata- rata jumlah tunas (helai)
0,55
0,06
0,05
Kejadian penyakit (%)
5,00
0,00
0,00
Periode inkubasi (hari)
114
Keberhasilan sambungan (%)
62,50
30,00
0,00
Rata- rata panjang tunas (cm)
5,31
2,60
0,00
Rata- rata jumlah tunas (helai)
0,38
0,30
0,00
Kejadian penyakit (%)
0.00
0.00
0,00
Sumber: Data primer diolah, 2009
Telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu cara penularan atau penyebaran CVPD adalah melalui perbanyakan tanaman secara vegetatif. Telah dibuktikan secara empiris bahwa daerah yang mengalami endemik CVPD disebabkan kurangnya pengetahuan petani tentang penggunaan bibit jeruk sehat bebas CVPD. Sehubungan dengan itu hasil penelitian berhasil membuktikan jika entris yang digunakan mengandung CVPD dan disambungkan dengan batang bawah maka bibit yang dihasilkan adalah bibit yang tidak sehat karena bibit tersebut juga telah terinfeksi. Diduga kuat kurangnya pengetahuan petani atau penangkar jeruk sehingga CVPD telah menimbulkan gejala sampai 70% (Taufik et al., 2010). Hal yang sama telah dilaporkan oleh Wirawan et al. (2004) bahwa bibit tanaman yang dihasilkan dari sistem okulasi berperan lebih besar dalam penyebaran penyakit, seperti yang terjadi di daerah Bali dimana berdasarkan hasil penelitian diketahui 83% bibit hasil okulasi yang disebarkan ke lapangan telah terinfeksi penyakit CVPD. Perbanyakan vegetatif dengan berbagai teknik juga memberikan respon yang
berbeda-beda baik pada tingkat keberhasilan sambungan, panjang tunas, jumlah tunas dan kejadian penyakit CVPD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik okulasi menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan dengan teknik lainnya. Tingkat keberhasilan sambungan teknik okulasi dengan menggunakan entris asal Konda mencapai 90% dan entris asal Tinanggea 62,50%. Menurut Wibowo (2006) bahwa berdasarkan tingkat kecocokan atau kompatibilitas antara entries dan under stump, teknik dengan chip budding (okulasi) atau mata tempel memiliki tingkat keberhasilan tertinggi sebesar 95,83%, sedangkan yang terendah pada teknik grafting 66,66%. Agrios (2005) telah menguraikan bahwa patogen dapat melakukan penetrasi ke jaringan tanaman melalui berbagai cara diantaranya adalah melalui luka mekanis. Luka mekanis yang ditimbulkan menjadi jalan masuk bagi patogen. CVPD dapat menyebar dari jaringan floem bagian atas ke jaringan floem batang bawah. Teknik sambung samping masih lebih baik karena batang bawah pada teknik sambung samping masih memiliki tajuk yang lengkap sehingga proses
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 03 September 2010, ISSN 0854-0128
244
fotosintesis untuk menghasilkan zat-zat makanan dapat berlangsung dengan baik. Tingkat keberhasilan sambungan juga ditunjukkan dari hasil pengamatan panjang tunas dan jumlah tunas yang terbentuk pada entries yang telah disambung. Panjang tunas yang terbentuk pada entries asal Kecamatan Konda dan Tinanggea dengan teknik okulasi mencapai 6,32 cm dan 5,31 cm dibanding dengan teknik sambung samping yang hanya 0,24 cm dan 2,60 cm. Hal yang sama pada pengamatan jumlah tunas menunjukkan ratarata jumlah tunas yang lebih banyak pada teknik okulasi yaitu 0,55 helai dan 0,38 helai dibanding dengan teknik sambung samping yang hanya 0,06 helai dan 0,30 helai. Nampaknya lokasi pengambilan mungkin berpengaruh pada tingkat keberhasilan sambungan. Entris asal Konda memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik (90%) dibandingkan dengan entris asal Tinanggea (62%). Hal ini berhubungan erat dengan kesegaran entris dimana entris asal Tinanggea tidak langsung disambung ke batang bawah. Sebaliknya entris asal Konda sesaat setelah diambil langsung digunakan. Menurut Anonim (2008) bahwa cabang entris harus dalam kondisi segar saat disambungkan atau ditempelkan di batang bawah. Oleh karena itu, setelah dipotong harus segera disambungkan atau ditempelkan ke batang bawah yang telah disiapkan. Teknik okulasi menggunakan entris asal Konda memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik dibandingkan dengan teknik lainnya. Telah diuraikan oleh Suwandi (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan sambungan adalah scion yang dijadikan bahan sambungan tersebut tidak cacat dan masih dalam keadaan segar, tidak terlalu tua, tidak terlalu muda dan berbatang bulat, grafting tidak terkena sinar matahari langsung, kambium harus secepat mungkin menempel, dikerjakan secepat mungkin, hasil sambungan dijaga agar tidak kering dan pisau yang digunakan tajam. Gejala CVPD pada tanaman ditandai dengan munculnya gejala khas yaitu warna daun menjadi hijau pucat sampai kuning, tipis
dan tulang daun kelihatan menonjol. Lebih lanjut, Planck (1999) dalam Wirawan et al. (2004) menjelaskan bahwa pada gejala yang berat, daun menjadi lebih kaku, kecil, menebal, tulang daun primer dan sekunder mengeras, dan dapat menguning pada keseluruhan kanopi, letaknya tersebar dan mengalami dieback yang parah. Infeksi pada tanaman muda mengakibatkan kuncup berkembang lebih lambat, pertumbuhan daun mencuat ke atas seperti sikat, lebih kecil dan berbercak, sedangkan pada pohon yang telah berproduksi, buah menjadi lebih kecil, tidak simetris, banyak yang jatuh secara prematur dan rasanya masam karena kadar keasaman lebih tinggi dan kadar gula lebih rendah (Wirawan et al., 2004). Rendahnya kejadian penyakit yang menunjukkan gejala CVPD diduga disebabkan oleh teknik pengamatan yang digunakan pada penelitian ini hanya berdasarkan pada munculnya gejala. Sementara tanaman yang tidak menunjukkan gejala dilaporkan tidak terinfeksi. Tetapi tidak munculnya gejala tidak menjamin bahwa tanaman tersebut bebas CVPD. Hal ini disebabkan CVPD dapat berada dalam tanaman tanpa menimbulkan gejala yang mudah dilihat. Untuk itu diperlukan teknik lain untuk mendeteksi CVPD dalam jaringan tanaman seperti menggunakan uji ELISA atau teknik PCR. Diduga kuat jika menggunakan teknik tersebut tanaman yang tidak menunjukkan gejala mungkin juga sudah terinfeksi oleh patogen. SIMPULAN Hasil penelitian berhasil membuktikan bahwa penyakit CVPD dapat ditularkan melalui teknik okulasi khususnya entris asal Konda dengan kejadian penyakit 5%. Teknik okulasi lebih berhasil menyambungkan antara entris dan batang bawah. DAFTAR PUSTAKA Agrios G N. 2005. Plant Pathology, fifth edition. Elsevier. Academic Press. Tokyo.
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 03 September 2010, ISSN 0854-0128
245
Anonim,
2008. Hama Penyakit. http://www.citrusindo.org. Diakses pada tanggal 26 Januari 2009.
(Grafting). Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH), 2007. Laporan tahunan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura. Sulawesi Tenggara.
Taufik M, Khaeruni A, Pakki T, dan Giyanto. 2010. Deteksi Keberadaan Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) Dengan Chain Teknik PCR (Polymerase Reaction) Di Sulawesi Tenggara. Jurnal HPT Tropika Vol 10. N0 1: 73-79.
Dwiastuti M E. 2001. Pengembangan Deteksi Penyakit CVPD Jeruk di Indonesia Aplikai dan Implikai Pengendaliannya. Makalah Seminar dan Pameran Nasional dan Hortikultura, Universitas Brawijaya. (7-11 Nov 2001). Hoy MA, Nguyen R. 1998. Cytrus psylla. Here Florida. http:/extlab7. entnemufl.edu/ PestAlert. Diakses tanggal 27 Oktober 2007. Lelly, S. 2004. Teknik Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jeruk Manis (Citrus sinensis (L) Osbeck). Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Pracaya. 2004. Jeruk Manis: Varietas, budidaya dan pascapanen. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tirtawidjaja, 1990 . Penyakit CVPD merupakan bahaya laten bagi tanaman jeruk di Indonesia. Wibowo SH. 2006. Studi Komparatif Teknik Penyambungan pada Pembibitan Tanaman Jeruk Keprok (Citrus nobilis Lour) dengan Tanaman Jeruk Lemon (Citrus Limon (L) Burn.) Varietas Japane Citrun sebagai Batang Bawah (Under Stump). [Skripsi]. FMIPA UNISMA. Wirawan IGP, Sulisyowati L, Wijaya IN. 2004. Penyakit CVPD pada Tanaman Jeruk Analisis Baru Berbasis Bioteknologi. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian.
Suwandi 2003. Petunjuk Teknis Perbanyakan Tanaman dengan Cara Sambungan
AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 03 September 2010, ISSN 0854-0128