195
IKLIM MIKRO DAN PRODUKSI TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.) YANG DIBERI PUPUK BOKASHI KOTORAN SAPI 1) Oleh: Edi Siswanto 2), Aminuddin Mane Kandari 3), Made Widana Arsana4)
ABSTRACT The research was conducted on the field of the South-East Sulawesi’s Horticultural Crop Seed Institution that is geographically located at 04o01’S and 122o31’E, and with an altitude of 24 m above sea level and administratively located in Kelurahan Anduonohu, Kecamatan Poasia, Kendari. The objectives of the research, which was conducted from December 11, 2007 to January 21, 2008, were to study micro climate conditions formed under mustard greens crop canopies and the yield of the crop which were treated with different levels of cow manure bokhasi. The research consisted of seven levels of cow manure bokhasi, namely, without bokhasi, 0.224 kg of bokhasi per plot which is equivalent to 2 tons of bokhasi per ha, 0.448 kg of bokhasi per plot equivalent to 4 tons of bokhasi per ha, 0.672 kg of bokhasi per plot equivalent to 6 tons of bokhasi per ha, 1.896 kg of bokhasi per plot equivalent to 8 tons of bokhasi per ha, 1.120 kg of bokhasi per plot equivalent to 10 tons of bokhasi per ha, and 1.344 kg of bokhasi per plot equivalent to 12 tons of bokhasi per ha. Each treatment was applied on each experimental unit whose position was arranged based on the randomized block design. Each treatment was replicated 3 times, therefore, overall there were 21 experimental units. The results showed that the micro climate conditions formed under the mustard greens crop canopies varied somewhat greatly with treatments and this macro climate variation was mainly in concomitant with the significantly varying crop yields. The ANOVA and DMRT showed that application of 10 tons of cow manure bokhasi resulted in the highest manure greens crop yield, namely, 1677.31 g of fresh weight or 12.36 g of dry weight per plant. Key words : Brassica juncea L., Manure Bokashi, Micro Climate, Production.
PENDAHULUAN Produksi pertanian khususnya tanaman hortikultura merupakan produksi yang tidak ada batasnya karena bagaimanapun majunya tekhnologi kebutuhan pangan berupa sayuran menjadi kebutuhan pokok bagi manusia. Tanaman sawi (Brassica juncea L.) sebagai salah satu tanaman hortikultura yang penting karena bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan, dimana menurut Haryanto (2003) setiap 100 g daun sawi mengandung 1,9 g vitamin A, 0,09 mg vitamin B dan 102 mg vitamin C, 2,3 g protein, 0,3 g lemak, 4,0 g karbohidrat, 220,0 mg Ca, 38,0 mg P, dan 2,9 mg Fe sehingga sangat baik untuk memenuhi kebutuhan gizi
Tanaman sawi merupakan jenis sayuran yang digemari oleh masyarakat. Permintaan konsumen terhadap tanaman sawi selalu meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran akan kebutuhan gizi, smentara dilain pihak hasil sawi belum mencukupi kebutuhan dan permintaan masyarakat karena disamping luas areal sempit dan produktivitasnya masih relatif rendah dibanding produksi nasional yang mencapai 8-9 t ha-1, dimana luas panen tanaman sawi di Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni 136,6 ha dengan produksi rata-rata 0,59 t ha-1 (BPS Sultra, 2004). Rendahnya produksi tanaman sawi di Sultra antara lain disebabkan oleh kondisi iklim yang kurang bersahabat dan tingkat
AGRIPLUS, 18 Nomor 03 September 2008, ISSN 0854-0128 ) Masing-Masing Staf PengajarVolume Pada Fakultas Pertanian: Universitas Haluoleo, Kendari.
1
195
196
kesuburan tanah yang rendah serta aplikasi pupuk yang belum optimal. Kondisi iklim mikro di lingkungan tanaman merupakan kompoinen dari faktor abiotik yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman sehingga parameter iklim perlu diperhatikan dalam budidaya tanaman sawi agar hasil yang diharapkan sesuai dengan kemampuan produktivitasnya secara maksimal karena iklim memegang peranan penting mulai saat pengolahan tanah, persemaian, penanaman, pemeliharaan, pemanenan sampai penyimpanan hasil. Tanaman sawi dapat tumbuh baik di daerah dataran tinggi dan rendah, terutama di daerah ketinggian 100 m dpl baik di tempat yang berudara panas maupun berudara dingin (Setiawan, 1994). Untuk tumbuh dan berkembang dengan baik tanaman ini membutuhkan cahaya matahari dengan penyinaran yang merata, Suhu optimum 27-32oC (Haryanto, 2003), curah hujan yang merata antara 8001200 mm tahun-1. Tanaman ini tahan terhadap kekurangan air sehingga dapat ditanam sepanjang tahun, bahkan pada musim kemaraupun dapat tumbuh sebaik pada musim penghujan jika penyiraman dilakukan dengan teratur dengan air yang cukup. Tanaman sawi untuk mencapai pertumbuhan dan produksi yang maksimal membutuhkan tanah yang gembur, subur, kaya akan humus, lempung berpasir, mempunyai kemampuan menahan air yang baik dengan kisaran pH 6-7 (Setiawan, 1994), namun demikian ternyata tanaman ini toleran terhadap kisaran pH 5,9-8,2 (Rukmana, 1994). Tanaman sawi memerlukan unsur hara dalam pertumbuhannya, baik unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Unsur hara makro dibutuhkan dalam jumlah banyak, meliputi unsur N, P, K, Ca, S dan Mg, sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah yang sangat sedikit, meliputi unsur Bo, Fe, Mn, Cu, Zn, Mo, Co dan Cl (Danarti dan Najiyati, 1992). Menurut Sutedjo dan Kartasoeputra (1995) bagian tanaman sawi yang bernilai
ekonomi adalah daun, karena itu untuk mendapatkan produksi daun yang optimal perlu penambahan unsur hara yang mempercepat pertumbuhan daun, seperti nitrogen karena unsur ini berfungsi dalam meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman, sehingga daun tanaman menjadi lebih lebar, berwarna lebih hijau dan lebih berkualitas. Sehubungan dengan itu, salah satu upaya dalam meningkatkan ketersediaan hara tanah, umumnya dilakukan melalui aplikasi pupuk-pupuk kimia, namun di lain pihak aplikasi pupuk kimia secara terus menerus dinilai kurang efektif karena disamping kurang ekonomis (harganya tinggi), juga tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, penambahan bahan organik ke dalam tanah merupakan alternatif lain yang dinilai lebih memungkinkan dari segi teknis, ekonomis, sosial dan juga lebih menguntungkan bagi lingkungan. Salah satu bahan organik yang dapat ditambahkan ke dalam tanah untuk memperbaiki tingkat kesuburan tanah adalah kotoran sapi. Namun demikian Sutanto (2002) mengemukakan bahwa penggunaan kotoran sapi segar secara langsung pada tanaman selalu tidak menguntungkan karena adanya kandungan senyawa-senyawa yang toksik bagi tanaman serta kadar hara yang rendah. Dengan demikian, penggunaan bokashi kotoran sapi adalah salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut karena melalui proses pengomposan kotoran sapi dengan EM4 terjadi perubahan senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi senyawa-senyawa anorganik yang dapat diserap tanaman. Indriani (2004) menyatakan bahwa bokashi merupakan pupuk organik yang dapat memperbaiki kesuburan tanah sebab akan meningkatkan aktivitas jasad renik dan unsur hara N dan P menjadi lebih tersedia bagi tanaman dan absorbsi Mo dan Mg akan meningkat sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman juga meningkat. Sementara itu, Sarief (1986) mengemukakan bahwa pengaruh bokashi terhadap unsur hara
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
197
tersedia dalam tanah adalah sebagai unsur N, P dan K serta unsur-unsur mikro, menambah kelarutan P dengan mengurangi jerapan Al dan Fe dalam tanah sehingga P dalam keadaan bebas dan tersedia bagi tanaman. Berdasarkan uraian di atas, telah dilaksanakan penelitian dengan tujuan mempelajari kondisi iklim mikro yang tercipta di lingkungan pertanaman sawi dan mengetahui pengaruh pupuk bokashi kotoran sapi terhadap produksi tanaman sawi. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Balai Benih Tanaman Hortikultura Sultra, posisi geografis 04o01’ LS d dan 122o31’ BT dan engan ketinggian 24 m dpl, dimana secara administratif termasuk Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia Kota Kendari. Waktu Penelitian dari dekade dua bulan Desember 2006 sampai dekade tiga bulan Januari 2007. Bahan-bahan yang digunakan yaitu bokashi kotoran sapi, benih sawi hijau Varietas Choi Sim dan label, sedangkan peralatan yang digunakan yaitu pacul, parang, sabit, ember, gembor, terpal, timbangan, patok, kamera, digital light meter tipe extech 40725 (pengukur intensitas radiasi surya), higrometer (pengukur suhu udara dan kelembaban udara), dan alat tulis menulis. Penelitian terdiri atas tujuh perlakuan pupuk bokashi kotoran sapi, yaitu : tanpa pupuk bokashi kotoran sapi (B0) sebagai kontrol; 0,22 kg petak-1 setara 2 t ha-1 (B1); 0,45 kg petak-1 setara 4 t ha-1 (B2); 0,67 kg petak-1 setara 6 t ha-1 (B3); 0,90 kg petak-1 setara 8 t ha-1 (B4); 1,12 kg petak-1 setara 10 t ha-1 (B5); 1,34 kg petak-1 setara 12 t ha-1 (B6). Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dalam tiga kelompok sekaligus sebagai ulangan sehingga terdapat 21 unit percobaan. Pengamatan Iklim mikro dilakukan sebagai salah satu variabel pendukung bervariasinya produksi tanaman, dimana
masing-masing unsur iklim diukur 3 kali setiap hari selama penelitian pada jam 07.00, 12.00 dan 16.00 (Wita) mulai satu minggu setelah tanam sampai panen, meliputi : Radiasi surya global dan radiasi transmisi (cal. cm-2 hari-1), Suhu udara global dan suhu udara mikro (0C), Kelembaban udara global dan kelembaban udara mikro (%). Khusus curah hujan (mm) diamati mulai 15 hari sebelum tanam sampai dengan 15 hari sesudah panen yang datanya diperoleh dari Stasiun Meteorologi Lanud Wolter Monginsidi Kendari. Pengamatan Produksi tanaman sawi dilakukan pada tanaman sampel yang ditentukan secara purposif dari masingmasing petak percobaan dengan variabe pengamatan meliputi berat segar panen (g) yang ditimbang pada saat panen dan berat kering panen (g) yang ditimbang setelah di kering ovenkan pada temperatur 80oC selama 2 x 24 jam. Hasil pengamatan iklim mikro dianalisis secara grafik untuk mengetahui fluktuasi unsur-unsur iklim selama penelitian sebagai gambaran kondisi yang mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan serta produksi tanaman. Sedangkan hasil pengamatan produksi tanaman dianalisis menggunakan metode sidik ragam pada taraf kepercayaan 95%, dimana hasil yang menunjukkan F hitung > F Tabel taraf 95% dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% untuk mendapatkan perlakuan yang lebih baik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Iklim Radiasi Surya global dan radiasi tertransmisi (Cal cm-2 hari-1). Hasil pengamatan radiasi surya global dan radiasi tertransmisi selama penelitian dianalisis secara rata-rata dan digambarkan dalam bentuk grafik yang disajikan pada Gambar 1.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
198
Gambar 1. Fluktuasi rata-rata radiasi surya global dan radiasi tertransmisi (cal cm-2 hari-1) selama penelitian pada lingkungan pertanaman sawi yang diberi berbagai takaran pupuk bokashi kotoran sapi
Pada Gambar 1, tampak intensitas radiasi surya global selama penelitian secara rata-rata cukup berfluktuasi dan menunjukkan pola yang sama dengan rata-rata radiasi tertransmisi pada masing-masing perlakuan namun menunjukkan radiasi tertransmisi yang semakin rendah seiring dengan bertambahnya umur tanaman sebagai konsekuensi daun tanaman yang semakin lebar. Disamping itu, tampak pula bahwa setiap perlakuan mencapai rata-rata radiasi tertransmisi yang berbeda-beda walaupun relatif kecil selisihnya mulai 9 HST – 26 HST sebagai konsekuensi pertumbuhan tanaman yang berbeda karena pengaruh perlakuan. Intensitas radiasi surya global tertinggi 354.2 cal. cm-2 hari-1 (7 HST), terendah
74.2 cal. cm-2 hari-1 (27 HST) dengan rata-rata selama penelitian 187.8 cal. cm-2 hari-1. Dari kondisi tersebut, ternyata rata-rata radiasi tertransmisi tertinggi dicapai oleh perlakuan B0 (tanpa pupuk bokashi) yakni 163.61 cal cm-2 hari-1, sementara rata-rata radiasi tertransmisi terendah dicapai pada perlakuan B5 (1,12 kg petak-1 setara 10 t ha1) yakni 107.61 cal. cm-2 hari-1. Suhu Udara. Hasil pengamatan suhu udara global (oC) dan suhu udara mikro (oC) selama penelitian pada pertanaman sawi yang diberi berbagai takaran pupuk bokashi kotoran sapi dianalisis secara rata-rata dan digambarkan dalam bentuk grafik yang disajikan pada Gambar 2.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
199
Gambar 2. Fluktuasi rata-rata suhu udara global dan suhu udara mikro (oC) selama penelitian pada lingkungan pertanaman sawi yang diberi berbagai takaran pupuk bokashi kotoran sapi Pada Gambar 2, tampak rerata suhu udara mikro selama penelitian menunjukkan fluktuasi yang cukup tinggi dan memiliki pola yang sama dengan fluktuasi suhu udara global, namun secara umum suhu udara mikro lebih rendah dibanding suhu udara global sebagai konsekuensi bervariasinya energi tersedia dari radiasi tertransmisi. Disamping itu, juga tampak bahwa suhu udara mikro relatif berbeda antar perlakuan namun semuanya menunjukkan nilai yang semakin rendah seiring dengan pertumbuhan tanaman, dimana suhu udara mikro tertinggi dicapai pada awal pertumbuhan yakni 33oC
Gambar 3.
dan terendah 25oC di tahap akhir pertumbuhan dengan rata-rata suhu udara mikro tertinggi 29,9oC dicapai oleh B0 (tanpa pupuk bokashi), terendah 28,29oC dicapai oleh perlakuan B5 (1,12 kg petak-1 setara 10 t ha-1). Kelembaban Udara. Hasil pengamatan kelembaban udara global dan kelembaban udara mikro (%) selama penelitian pada pertanaman sawi yang diberi berbagai takaran pupuk bokashi kotoran sapi dianalisis secara rata-rata dan digambarkan dalam bentuk grafik yang disajikan pada Gambar 3.
Fluktuasi rata-rata kelembaban udara global dan kelembaban udara mikro (%) selama penelitian pada lingkungan pertanaman sawi yang diberi berbagai takaran pupuk bokashi kotoran sapi
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
200
Pada Gambar 3, tampak bahwa pola fluktuasi kelembaban udara baik global maupun kelembaban udara mikro relatif beragam selama penelitian, namun perubahannya relatif sama antar perlakuan, dimana di awal pertumbuhan kelembaban udara (global dan mikro) relatif rendah sedangkan di akhir pertumbuhan kelembaban udara (global dan mikro) relatif tinggi. Ratarata kelembaban udara global tertinggi selama penelitian yaitu 78% dicapai pada umur 20 HST sedangkan terendah 60.0% dicapai pada umur 7 HST. Sedangkan rata-
rata kelembaban udara mikro yang tercipta dari berbagai petak percobaan, tertinggi yaitu 74.46% dicapai dari B5 (1,12 kg bokashi petak-1 setara 10 t ha-1), terendah yaitu 70.92% dicapai dari perlakuan B0 (tanpa pupuk bokashi). Curah Hujan. Hasil analisis curah hujan (mm) pada 15 hari sebelum tanam sampai dengan 15 hari setelah panen yang diperoleh dari stasiun hujan Lapter Wolter Monginsidi, dibuat dalam bentuk histogram yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Distribusi Curah Hujan (mm) selama Penelitian pada Pertanaman Sawi yang diberi Berbagai takaran pupuk bokashi kotoran sapi Pada Gambar 4, tampak bahwa distribusi curah hujan sebelum tanam sampai dengan setelah panen tidak merata, namun dapat dikemukakan bahwa curah hujan yang terjadi relatif mendukung pengaruh positif perlakuan yang diberikan karena 15 hari sebelum tanam terjadi hujan sehingga dapat membantu proses pelarutan dan reaksi pupuk yang diberikan. Demikian juga saat tanam masih terjadi hujan hingga pertumbuhan vegetatif dan relatif tidak hujan pada akhir-akhir pertumbuhan dimana kondisi ini berindikasi bahwa radiasi surya relatif tinggi sehingga pertumbuhan daun yang berakhir pada berat segar dan berat kering tanaman sawi relatif lebih baik. Selanjutnya justru 10-15 hari setelah panen terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi dimana secara ekonomis dapat dilakukan penanaman yang kedua.
Kondisi sebagaimana uraian di atas, mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal dimana proses fisiologis tanaman akan berlangsung baik sehingga komponenkomponen pertumbuhan seperti daun menjadi lebih lebar dan jumlahnya lebih banyak yang pada akhirnya dapat menaungi permukaan tanah di bawahnya secara lebih baik sehingga laju evaporasi berkurang. Pertumbuhan tanaman yang berbeda setiap perlakuan menyebabkan kondisi iklim mikro (suhu dan kelembaban udara di bawah permukaan daun) menjadi berbeda dimana ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Pada kondisi dimana Suhu udara mikro relatif lebih rendah dan kelembaban udara mikro relatif lebih tinggi karena radiasi
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
201
transmisi menjadi berkurang, menyebabkan laju transpirasi tanaman sawi menjadi relatif lebih rendah. Oleh karena itu, selain karena kadar bahan organik yang lebih tinggi, juga terjadinya kadar air tanah yang tinggi merupakan konsekuensi dari laju evapotranspirasi yang relatif lebih rendah. Hal ini sangat menguntungkan di dalam mengkonservasi air tanah khususnya pada bulan Desember yang memiliki curah hujan sangat rendah. Bey dan Las (1991) menjelaskan bahwa pada intensitas radiasi tinggi dapat meningkatkan suhu di sekitar tanaman sehingga mempercepat laju evapotranspirasi, dan jika proses tersebut tidak diimbangi dengan laju penyerapan air
Tabel 1.
oleh akar maka tanaman akan kekurangan air. Kadar air tanah yang rendah menyebabkan proses metabolisme tanaman terganggu sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman sawi pada perlakuan ini tidak optimal. Komponen Produksi Tanaman Sawi Berat Segar Panen (g). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk bokashi kotoran sapi berpengaruh sangat nyata terhadap berat segar panen tanaman sawi, dimana setelah dilanjutkan uji DMRT taraf 95% diketahui perbedaan pengaruh masing-masing perlakuan yang disajikan pada Tabel 1.
Pengaruh Pupuk Bokashi Kotoran Sapi terhadap Rata-Rata Berat Segar Panen (g) Tanaman Sawi
Perlakuan
Rata-Rata Berat Segar Panen (g)
B0 = (kontrol)
33,28f
B1 = 2 t ha-1
38,64f
2=12,94
B2 = 4 t ha-1
58,90e
3=13,57
-1
d
4=13,99
c
5=14,11
B3 = 6 t ha
-1
79,90
DMRT 0,05
B4 = 8 t ha
99,19
B5 = 10 t ha-1
167,31a
6=14,28
-1
b
7=14,37
B6 =12 t ha Keterangan :
125,13
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 1 tampak bahwa rata-rata berat segar panen tertinggi dicapai oleh perlakuan 10 t ha-1 pupuk bokashi kotoran sapi (167,31 g tan-1) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan terendah dicapai oleh perlakuan tanpa pupuk bokashi kotoran sapi (33,28 g tan-1) dan berbeda dengan perlakuan lainnya kecuali dengan perlakuan 2 t ha-1 (38,64 g tan-1) tidak berbeda nyata. Disamping itu,
dapat dikemukakan bahwa berat segar panen tanaman sawi meningkat seiring peningkatan pupuk bokashi kotoran sapi yang diberikan, namun setelah mencapai berat segar panen maksimum pada dosis 10 t ha-1 produksi kembali menurun pada pemberian 12 t ha-1 pupuk bokashi kotoran sapi yakni 125,13 g tan-1. Berat Kering Panen (g). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk bokashi kotoran sapi berpengaruh sangat
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
202
nyata terhadap berat kering panen tanaman sawi, dimana setelah dilanjutkan uji DMRT taraf 95% diketahui perbedaan pengaruh Tabel 2.
masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2.
seperti
yang
Pengaruh Pupuk Bokashi Kotoran Sapi terhadap Rata-Rata Berat Kering Panen (g) Tanaman Sawi Perlakuan
Rata-Rata Berat Kering (g)
DMRT 0,05
B0 = (kontrol) B1= 2 t ha-1 B2 = 4 t ha-1 B3 = 6 t ha-1 B4 = 8 t ha-1 B5 =10 t ha-1 B6 =12 t ha-1
2,01g 3,39f 4,09e 5,42d 7,00c 12,36a 9,03b
2=0,68 3=0,71 4=0,74 5=0,74 6=0,75 7=0,76
Pada Tabel 2 tampak bahwa rata-rata berat kering panen tertinggi dicapai oleh perlakuan 10 t ha-1 pupuk bokashi kotoran sapi yakni 12,36 g tan-1 dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan terendah dicapai oleh perlakuan tanpa pupuk bokashi kotoran sapi yakni 2,01 g tan-1 juga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Disamping itu, seperti halnya berat segar panen, berat kering panen meningkat seiring peningkatan pupuk bokashi kotoran sapi yang diberikan, namun setelah mencapai berat maksimum pada dosis 10 t ha-1 berat kering kembali menurun pada pemberian 12 t ha-1 pupuk bokashi kotoran sapi 9,03 g. Semakin tingginya produksi bahan kering seiring peningkatan takaran pupuk bokashi yang diberikan hingga 10 t ha-1 didukung oleh penjelasan Buckman dan Brady (1969) bahwa dengan pemberian bahan organik dalam hal ini bokashi kandang sapi maka tanah menjadi lebih gembur sehingga drainase dan aerasi tanah menjadi lebih baik. Hal tersebut sejalan pula dengan pernyataan Killham (1995) bahwa pemberian bahan organik meyebabkan kapasitas memegang air tanah akan meningkat sehingga tanah menjadi lebih lembab (kadar air tanah lebih tinggi). Lebih lanjut Killham (1995) menjelaskan bahwa perbaikan sifat kimia dan fisik tanah akibat pemberian bahan
organik akan lebih memacu aktivitas mikroba pengurai dalam mendekomposisi bahan organik (baik bahan organik kotoran sapi yang belum termineralisasi maupun bahan organik lainnya yang terdapat di dalam tanah) sehingga laju mineralisasi meningkat dan hara yang tersedia bagi tanaman sawi meningkat. Disamping perbaikan sifat fisik dan kimia tanah, pemberian pupuk bokashi kotoran sapi diharapkan menciptakan ketersediaan unsur hara yang seimbang. Hal ini sangat penting karena Setyati (1998) menyatakan bahwa ketersediaan unsur hara yang seimbang akan mempengaruhi perkembangan sel dalam jaringan tanaman sehingga laju pertumbuhan berjalan cepat. Aktivitas meristem pada pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun sangat ditentukan oleh unsur hara N, P, K dan Ca. Lebih lanjut Wanti et. al., (1992) menyatakan bahwa dengan absorpsi unsur-unsur N, P dan K yang lebih tinggi maka tanaman mampu memberikan pertumbuhan vegetatif yang lebih tinggi. Menurut Salisbury dan Ross (1978) drainase dan aerasi tanah yang lebih baik memungkinkan perakaran tanaman sawi untuk melakukan respirasi aerobik untuk menghasilkan ATP yang sangat dibutuhkan dalam mengabsorpsi hara dan air dari dalam tanah (jika potensial air tanah lebih rendah dari potensial air akar) dan untuk melakukan
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
203
metabolisme di dalam akar Kelembaban tanah yang lebih tinggi (sebagai akibat dari kapasitas memegang air bahan organik), menyebabkan stomata tanaman sawi lebih terbuka sehingga laju difusi CO2 ke dalam daun lebih tinggi, kemudian laju fotosintesis menjadi meningkat, dan pada gilirannya, fotosintat yang dapat ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman dan untuk pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tanaman sawi juga meningkat. Sebaliknya, peningkatan dosis bokashi menjadi 12 t ha-1 menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman sawi menjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan dosis 10 t ha-1, diduga disebabkan oleh ketersediaan unsur hara mikro menurun karena menjadi terikat oleh asam-asam organik yang juga terbentuk ketika proses dekomposisi bahan organik berlangsung (Killham, 1995). Berat kering panen tertinggi yang dicapai oleh perlakuan pupuk bokashi 10 t ha1 berindikasi bahwa pada dosis tersebut rhizospher tanaman sawi lebih menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman sawi itu sendiri, dalam arti ketersediaaan unsur hara makro dan mikro lebih baik (Killham, 1995), pH tanah meningkat (Buckman dan Brady, 1969), keracunaan Al, Fe dan Mn lebih rendah (Killham, 1995), drainase, aerasi dan kelembaban (kadar air) tanah lebih tinggi (Buckman dan Brady, Rhizospher yang lebih 1969). menguntungkan ini menyebabkan tanaman sawi mampu mengabsorpsi hara dan air yang dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, laju difusi CO2 ke dalam daun lewat stomata dan kemudian ke dalam kloropas juga meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air tanah, dan pada gilirannya, laju fotosintesis adalah meningkat (Salisbury dan Ross, 1992). Selanjutnya, lebih banyak jumlah fotosintat yang dapat ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman untuk digunakan dalam pembentukan sel-sel baru (pembentukan struktur tanaman) dan untuk metabolisme tanaman lainnya (Salisbury dan Ross, 1978), dan sisa fotosintat yang tidak digunakan
dapat proses metabolisme tersebut kemudian disimpan sebagai cadangan makanan (Gardner et. al., 1991). Oleh karena itu, berat kering tanaman pada dosis ini lebih tinggi dibandingkan dengan dosis lainnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Rerata intensitas radiasi global selama penelitian 483.02 cal. cm-2 hari-1, tertinggi 628.1 cal. cm-2 hari-1 (45 HST) dan terendah 258.4 cal. cm-2 hari-1 (15 HST). Rerata radiasi terintersep tertinggi dicapai mulsa plastik merah yaitu 334.89 cal cm-2 hari-1, terendah dicapai mulsa plastik hitam yaitu 292.05 cal cm-2 hari-1; (2) Hujan hanya terjadi pada fase vegetatif dan tidak terjadi selama fase generatif dan pembuahan; (3) Pola fluktuasi radiasi tertransmisi relatif berbeda antar perlakuan dari umur 15 HST – 45 HST, namun relatif sama pada umur 50 HST – 75 HST. Rerata radiasi tertransmisi tertinggi dicapai mulsa plastik biru yaitu 190.97 cal cm-2 hari-1, sementara rerata radiasi tertransmisi terendah dicapai mulsa plastik putih yaitu 148.13 cal cm-2 hari-1; (4) Fluktuasi radiasi surya global. Rerata intensitas radiasi terabsorbsi tertinggi dicapai mulsa plastik hitam yaitu 284.66 cal cm-2 hari-1, sementara rerata radiasi terabsorbsi terendah dicapai dari mulsa plastik biru yaitu 248.24 cal cm-2 hari-1; (5) Perlakuan pupuk bokashi kotoran sapi berpengaruh posistif terhadap berat segar dan berat kering tanaman; dan (6) Perlakuan pupuk bokashi kotoran sapi dengan dosis dengan 10 t ha-1 memberikan produksi tanaman sawi yang lebih baik dari perlakuan lainnya yakni 167,31 g petak-1. Saran Perlu penelitian lebih lanjut penggunaan bokashi kotoran sapi dengan dosis dan lokasi yang berbeda untuk
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128
204
mempelajari pertumbuhan dan produktivitas tanaman sawi.
Killham, K., 1995. Soil Ecology. Cambridge University Press. Cambridge. Mansur, I., 2003. Tehnik Pembuatan Bokashi. Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Bey, A. dan I. Las. 1991. Strategi Pendekatan Iklim dalam Sistem Usaha Tani. dalam A. Bey (ed). Kapita Selekta dalam Agrometeorology. Dirjen. Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. BPS
Sulawesi Tenggara, 2004. Produksi Tanaman Padi, Palawija, Sayuran dan Buah-Buahan. Sulawesi Tenggara.
Buckman, H.O. and N.C. Brady. 1969. The Nature and Properties of Soils. 7th Edition. The Mac Millan Company. New York. 591p. Danarti dan Najiyati, 1992. Palawija Budidaya dan Analisis Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Gardner, F.P.,R.B. Pearce dan R. L., Mitchell, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan Herawati Susilo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Haryanto, 2003. Sawi dan Selada. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Indriani, 2004. Membuat Kompos Secara Kilat. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rossenberg, N.J. 1969. Microclimate the Biological Environtment. John Wiley and Sons. New York. 315p. Rozari, M. BI. De. 1996. Iklim mikro. Diktat Kuliah Mikroklimatology. Program Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rukmana, 1994. Bertanam Petsai dan Sawi. Kanisius. Yogyakarta. Salisbury, F.B., and C.W. Ross. 1978. Plant Physiology 2nd ed. Wodsworth Pub lishing Co. Inc. Belmont, California. Sarief, E.S., 1986. Kesuburan dan Teknologi Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana. Bandung Setiawan, 1994. Jakarta.
Sayuran Daun.
Bumi Resta.
Styati, S. M. H. 1998. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia. Yakarta. Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta. Sutedjo, M.M. dan A.G., Kartasapoetra, 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.
AGRIPLUS, Volume 18 Nomor : 03 September 2008, ISSN 0854-0128