AGAMA SPIRIT, MORAL DAN ETIK PEMBANGUNAN? Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag./ Dekan FTK IAIN Imam Bonjol Selasa, 18 Maret 2014 07:13
AGAMA SPIRIT, MORAL DAN ETIK PEMBANGUNAN?
OLEH:
DUSKI SAMAD
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Padang
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, pasal 29 UUD 1945. Sebelumnya, dalam UUD 1945 Amandemen, bab X A tentang Hak-Hak Azazi Manusia pasal 28 E diterakan bahwa (1) setiap berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali, (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dn sikap, sesuai dengan nuraninya.
1/6
AGAMA SPIRIT, MORAL DAN ETIK PEMBANGUNAN? Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag./ Dekan FTK IAIN Imam Bonjol Selasa, 18 Maret 2014 07:13
Norma hukum dasar yang sudah dibakukan di atas menjadi patut untuk ditelisik, apakah masyarakat bangsa dan pemegang amanah di negara ini menempatkannya sebagai panduan, norma pokok dan acuan dalam program pembangunannya? Apakah juga kehendak reformasi yang tercermin dalam amandemen UUD 1945 disahuti dan dilakukan sebagaimana diperjuangan di awal abad 21 yang menghebohkan jagat kehidupan bangsa? Patut juga dilakukan refleksi menyeluruh, apakah garis sejarah bangsa Indonesia ke depan sudah berada di jalan yang benar?
Patut juga ditelisik lebih dalam ke ruang pikiran, hati dan kesadaran semua anak bangsa, apakah pidato pemegang amanah di negara ini setiap kali menyampaikan sambutan yang menyatakan bahwa agama adalah sumber dan landasan moral, etik dan siprit pembangunan masih juga diperhatikan atau hanya sekedar penghias bibir?. Apakah agama masih mendapat tempat di dalam nurani dan pikiran jernih penyelenggara negara – eksekutif, legeslatif, dan yudikatif- dari jajaran puncaknya sampai ke lapis paling bawah? Begitu juga patut direnungkan apakah pemegang kendali ekonomi – pemerintah dan dunia swasta – masih care pada amanat sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
KEBANGRUTAN NILAI, MORAL DAN SIPRITUAL.
Sepanjang tahun 2013 yang akan segera berakhir, siapapun yang jernih pikiran dan sehat nuraninya, jelaskan akan merasakan bahwa di negara yang pandangan hidup (way of life) dan berlandaskan ideologi Pancasila, penduduknya menganut agama dan memiliki rumah ibadah jutaan jumlahnya, sayang moral, etik dan nilai begitu tajam penurunnya. Pengerusan nilai, moral dan spiritual terjadi secara sistimik, fenomenal dan menyeluruh dalam semua sisi kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.
Dalam lapangan kehidupan moral universal yang diyakini berbahaya dan merusak semua peradaban dunia, yaitu dunia pelacuran, Indonesia nyata sekali betapa menyedihkannya. Kebangkrutan nilai, moral, etik dan spiritual khususnya dalam hal pelacuran dan dampak ikutan yang dibawanya, simak saja data UNDP sebuah badan di bawah PBB, pada tahun 2012, jumlah pelacur wanita di Indonesia sebanyak 324.000 orang dengan rasio pelacur dan hidung belang 1:37 orang berarti jumlah pelacur pria sebanyak 12.000.000 (dua belas juta orang). Jika diasumsikan biaya pelacuran 1 juta perorang perbulan, maka volume bisnis pelacuran bisa mencapai Rp.144. triliyun pertahun. [1] [1]
2/6
AGAMA SPIRIT, MORAL DAN ETIK PEMBANGUNAN? Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag./ Dekan FTK IAIN Imam Bonjol Selasa, 18 Maret 2014 07:13
Data yang diinformasikan media di atas sungguh menyedihkan dan mencemaskan, karena betapa nilai-nilai fundamental yaitu kesucian keturunan (hifzul nasl) sudah tercemar sedemikian rupa. Dampak kebebasan dan pelacuran yang merajalela di pusat-pusat keramaian dan komunitas adalah meningkatkan korban penyakit mematikan HIV/AIDS. Dalam kasus Propinsi Sumatra Barat saja baca laporan jurnalis. Tahun ini ditemukan 47 kasus baru HIV / AIDS di Sumbar. Sedangkan total kumulatif pengidap AIDS di Sumbar sejak tahun 1992 hingga juni 2013 berjumlah 843 kasus, pemrov Sumbar mengajak masyarakat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pencegahan dan penanggulangan AIDS. Dengan begitu mata rantai penularan HIV/AIDS dapat diputus. [2] [2]
Kerisauan tentang bahaya HIV/AIDS ini justru diatasi dengan cara mengundang masalah baru. Pekan Kondom Nasional yang harusnya digelar hingga Sabtu, (97/12) dihentikan sejak kemaren. Pemerintah sebaiknya tidak lagi mengizinkan kampanye kondom untuk memperingati Hari HIV/AIDS dengan cara vulgar… seharunya, pemerintah melakukan edukasi generasi muda terkait bahaya penyakit HIV/AIDS dengan cara diskusi dan mensitimulus aspek kognisi, emosional, sosial dan spiritual, yang jauh lebih produktif ketimbang bagi-bagi kondom [3] [3].
AROGANSI KUASA.
Arogansi adalah kesombongan yang tak terkendali. Prestasi dan kedudukan yang dimiliki memerlukan kebangaan, bukan kesombongan. Bangga atas capaian, prestasi dan keberhasilan adalah lumrah dan manusiawi. Akan tetapi, bila kebangaan melampuai kepatutan dan tidak dikonstribusikan bagi kemanfataan orang banyak, maka ia akan membawa arogansi dan kerusakan yang luar biasa.
Uforia reformasi yang membawa angin perubahan, kebebasan dan keterbukaan adalah wajar dan patut dihargai. Sayang, oleh sementara pihak ini justru mendatangkan kemudaratan bagi komunitas. Pengiat politik, bisa juga disebut politisi, di era reformasi yang sudah berlangsung satu dasawarsa ini, jutsru terseret jauh kearah prilaku arogansi (kesombongan) yang menelantarkan konstituennya. Kewenangan dan hak pengawasan, budget, legeslasi yang melekat pada dirinya dimaksudkan untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, justru terbalik untuk mensejahterakan dirinya, keluarga, konco, partai dan kelompoknya.
Ujung dari arogansi dan ketidaksadaran akut yang menyerang saraf “anggota dewan yang
3/6
AGAMA SPIRIT, MORAL DAN ETIK PEMBANGUNAN? Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag./ Dekan FTK IAIN Imam Bonjol Selasa, 18 Maret 2014 07:13
terhormat” itu membuat mereka pindah alamat – untuk tidak menyebut masuk bui dan jadi narapidana - ke penjara Cipanang di Jakarta, Sukamiskin di Bandung, dan rumah tanahan lainnya di seantro tanah air. Hal yang tak kalah sengitnya juga dilakukan oleh pejabat negara –Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati, Walikota dst- puluhan jumlahnya penentu kebijakan itu menjadi pasien aparat hukum – polri, kejaksaaan dan KPK – karena kasus korupsi yang mereka lakukan.
Maraknya operasi tangkap tangan oleh KPK dan berlipat gandanya temuan korupsi, panjangnya laporan PPATK terhadap rekening gendut aparat hukum dan aparatur negara, meningkatnya kasus-kasus kejahatan krah putih yang ditangani aparat hukum Polri, kejaksaan dan KPK adalah virus ganas yang tengah merusak sistim birokrasi, dan sistim hidup bernegara. Kondisi berbahaya dan mengancam kestabilan negara dan masyarakat tersebut, jika diamati penyebabnya adalah karena lemahnya moral, etik dan iman yang hanya diucapkan tapi tak mampu ditaati.
Tanpa harus menyesali, saat politik menjadi panglima seperti yang dibawa era reformasi ini, tidaklah terlalu sulit menunjukkan bahwa telah terjadi pencideraan moral, etik dan spiritual. Adigium politik bahwa politik adalah kepentingan, sering dipahami dengan salah kaprah dan salah dalam penerapannya. Logisnya, kepentingan politik kelompok, clan, dan partai adalah harus tunduk dan patuh pada kepentingan rakyat yang lebih luas. Namun, realitasnya, politisi picisan dan berwawasan sempit tidak mengindahkannya. Korupsi dalam jumlah besar dan fantastis justru terjadi karena politisi yang loyal pada partainya yang sesat dan menyesatkan.
Kecemasan dan ketidaknyaman yang lebih menyakitkan yang disebabkan oleh arogansi kekuasaan adalah penjualan nama agama tertentu untuk kepentingan politik sesaat. Atas nama agama, organisasi agama, untuk umat, kesejahteraan masyarakat dan symbol yang menyertainya, politikus mengelap uang negara yang akhirnya merusak kesucian agama tersebut. Adalah juga menyedihkan, ketika kejahatan korupsi dilakukan oleh mereka yang namanya kuat dan sarat dengan pesan keagamaan. Sulit menjelaskan mengapa ada nama –nama mereka yang berhadapan dengan aparat hukum di meja sidang itu adalah symbol-simbol keagamaan. Sekali lagi, itulah dampak tak sengaja dari prilaku politisi, dan aktivis yang hadir bukan untuk pencerah justru menjadi biang kegelapan.
ATAS NAMA KESEJAHTERAAN
Patut untuk ditelisik lebih dalam adalah mengapa rakyat masih saja menjadi dagangan
4/6
AGAMA SPIRIT, MORAL DAN ETIK PEMBANGUNAN? Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag./ Dekan FTK IAIN Imam Bonjol Selasa, 18 Maret 2014 07:13
pemimpinnya? Atas nama kesejahteraan rakyat, pemerintah cendrung jadi penguasa mengundang investasi asing ataupun dalam negeri tanpa harus mempertimbangkan keuntungannya untuk rakyat. Ada investasi asing yang menjarah kekayaan tanah air, sementara rakyat jadi penonton. Penambangan biji besi, biji timah, batu bara dan galian tambang berharga lainnya oleh perusahaan besar, kasat mata melindas tambang rakyat yang kecil modal dan terbatas teknologi.
Adanya aksi penolakan investasi oleh masyarakat pada dasarnya ada yang tidak benar proses atau dampak yang dibawa investasi tersebut. Beberapa kasus di Pulau Jawa penolakan investasi terjadi karena masyarakat dirugikan, lahan tempat berdirinya pabrik adalah tempat bersejarah atau milik masyarakat yang dikuasai tanpa ganti rugi yang wajar. Beberapa kota lain, penolakan terhadap investasi karena ditengarai ada muatan dan misi tertentu yang dalam waktu panjang akan merusak tatanan sosial budaya dan agama masyarakatnya. Kasus investasi LIPPO GROUP Super Blok Mall, Sekolah dan Rumah Sakit Siloam di Kota Padang adalah bahan ajar yang harus diperhatikan di masa depan.
Inefensiensi atau kemubaziran oleh aparatur negara setiap akhir tahun masih saja pemandangan yang menyedihkan. Berlabelkan studi banding, kunjungan kerja dan jenis kegiatan yang bersifat massal dilakukan di luar daerah, luar negeri dengan biaya yang jutaan rupiah adalah agenda kerja yang tidak membawa keuntungan banyak bagi masyarakat. Begitu juga rapat-rapat membicarakan kerja rutin dilakukan di hotel berbintang pada hari kerja lagi adalah juga fenomena kuatnya arus inefesiensi dilikungan legeslatif, eksekutif dan aparatur negara lainnya. Budaya karangan bunga, iklan di media bagi naik jabatan dan kegiatan pesta adalah bentuk lain belum kuatnya kesadaran aparat negara tentang uang negara yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat, lalu dipakai untuk yang tidak bermanfaat banyak bagi rakyat.
Akhirnya, ingin disampaikan bahwa pembangunan yang menjadi amanat rakyat yang harus dilakukan aparat negara dipastikan sulit berjalan di rel yang benar jika pemimpin, aparat dan siapa saja yang terlibat dalamnya tidak lagi menjadikan agama sebagai spirit, moral dan etik dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasinya. Semoga Allah SWT menunjukki pemimpin, aparat dan penjaga amanah bangsa dan menyadarkan rakyat bangsa ini untuk bangkit meluruskan yang bengkok, memperbaiki yang salah dan berani berbuat untuk kebaikan yang lebih luas. Amin. Ds.170122013.
5/6
AGAMA SPIRIT, MORAL DAN ETIK PEMBANGUNAN? Ditulis oleh Prof. Dr. H. Duski Samad, M.Ag./ Dekan FTK IAIN Imam Bonjol Selasa, 18 Maret 2014 07:13
[1] [1][1][1] Didin Hafiduddin, Mempermainkan Norma Agama, Refleksi Harian Republika, Ahad, 8 Desember 2013.hal.1
[2] [2] Harian, Padang Eskpres, Kamis, 5 Desember 2013. hal. 20
[3] [3] Berita Jangan ada lagi kampanye kondom secara vulgar, Harian Republika, Rabu, 4 Desember 2013. H.1
800x600
Normal 0
false false false IN X-NONE X-NONE
MicrosoftInternetExplorer4
/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";}
6/6