ISSN 2302-5298
Lingkup Artikel Yang Dimuat Dalam Jurnal Ini Adalah Kajian Empiris dan Konseptual Kontemporer Pada Bidang Ekonomi, Bisnis & Akuntansi
Analisis Tata Kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku Andre Sapthu
Abstract
This study aims to analyze the effectiveness and efficiency of the management of Maluku Provincial Finance. In addition, this study also identifies the relationship between actual revenues and expenditures regular area of Maluku province. The data used in this study is time series data obtained period 2003-2012 Regional Development Planning Board (Bappeda), The Central Statistics Agency (BPS) and the Maluku Province Ministry of Finance (MOF) of the Republic of Indonesia in the website of the Directorate General Equilibrium http://djpk.depkeu.go.id. The method of analysis used in this study is the degree of fiscal decentralization, ability index routine, administrative performance and SWOT analysis. The results of this study indicate that the degree of fiscal decentralization under the criteria in 2007 were less with the range of values of independence regional level 8.71% - 43.26 % and after that move on a level of independence both criteria , the same thing also on the ability of the index routine. While the performance analysis, financial management was effective but not efficient. Maluku provincial government has a big opportunity to increase revenue but Key Words : has internal weaknesses that need to be addressed.
Fiscal Decentralization, Fiscal Capacity, Efficiency, Effectiveness, SWOT
Penulis adalah dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura Ambon e-mail :
[email protected]
benchmark ▪ Volume 2 ▪ No 2 ▪ Maret 2014
75
PENDAHULUAN Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi yang sesungguhnya dan desentralisasi itu sendiri mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antar daerah. Selama ini kritik yang muncul adalah terlalu dominannya peranan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah. Besarnya dominasi ini seringkali mematikan aspirasi, inisiatif dan prakarsa daerah, sehingga memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis dari pusat. Contoh klasik dari fenomena tersebut adalah penyusunan anggaran daerah yang bersifat line-item dan incrementallism. Dengan dasar seperti ini, anggaran daerah masih berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan.Selain itu istilah otonomi banyak bersifat politis. Disebutkan bahwa otonomi pada daerah tingkat II akan bersifat luas, nyata dan bertanggungjawab, tapi dalam 76
kenyataannya fleksibilitas yang diberikan bagi Pemerintah Daerah kurang memadai. Otonomi yang didengungdengungkan tidak disertai dengan pelimpahan peralatan dan perlengkapan, personal serta pembiayaan khusus dari Pemerintah Pusat. Selain Provinsi Maluku, daerah-daerah lain juga sangat tergantung pada sumber dana yang berasal dari pusat, yang sebagian besar bersifat specifik grants dan sedikit saja yang bersifat block grants. Selain tuntutan otonomi yang sangat kuat dari Pemerintah Daerah, tuntutan akan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih rasional, proposional, dan nyata tidak hanya sekedar jargon-jargon politik. Demikian pula tuntutan atas pemerintahan yang baik (good governance) dalam arti pemerintahan yang bersih (jujur), terbuka (transparan) dan bertanggungjawab (akuntabel) terhadap masyarakat. Dengan demikian perimbangan keuangan pusat dan daerah yang adil saja belum cukup, masih harus diperlukan pengelolaan atas keuangan daerah, baik yang berasal dari pusat maupun yang berasal dari Pemerintah Daerah sendiri.Kedepan diharapkan adanya pengelolaan keuangan daerah yang baik serta dapat meningkatkan ekonomis, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dan kesejahtraan masyarakat. Dalam rangka pertanggung jawaban publik, Pemerintah Daerah harus melakukan optimalisasi anggaran yang dilakukan secara ekonomi, efisiensi,
Analisis Tata Kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku
dan efektivitas (value for money) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengalaman yang terjadi selama ini menunjukan bahwa manajemen keuangan daerah masih memprihatinkan. Anggaran daerah, khususnya pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembangunan di daerah. Di sisi lain banyak ditemukan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas dan kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, karena kualitas perencanaan anggaran daerah relatif lemah. Lemahnya perencanaan anggaran juga diikuti dengan ketidakmampuan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan. Sementara itu pengeluaran daerah terus meningkat, sehingga hal tersebut meningkatkan fiscal gap. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan underfinancing atau overfinancing yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat ekonomi, efisiensi dan efektivitas Pengelolaan keuangan yang baik perlu diterapkan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan pembangunan di daerah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Penyusunan dan penetapan APBD merupakan sarana atau alat utama dalam menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, dan merupakan rencana
operasional keuangan pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan dan proyek dalam suatu anggaran tertentu, serta sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran tersebut. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya Anggaran Daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Dalam kenyataannya sampai saat ini belum tercipta suatu struktur APBD seperti yang di harapkan. Struktur APBD hanya menyajikan informasi tentang jumlah sumber pendapatan dan penggunaan dana, sedangkan informasi tentang kinerja yang ingin di capai, keadaan dan kondisi ekonomi serta potensinya tidak tergambarkan dengan jelas. Kondisi keuangan pemerintah daerah dapat dilihat pada struktur fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bersangkutan. Realitas hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah, di mana jelas terlihat dari rendahnya proporsi PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap total pendapatan daerah di bandingkan dengan besarnya subsidi pemerintah pusat (Kuncoro, 2006). Berdasarkan data-data empiris pada lampiran, memberi gambaran jelas bahwa kontribusi PAD masih sangat rendah terhadap APBD, meskipun konstribusinya mengalami peningkatan.
benchmark ▪ Volume 2 ▪ No 2 ▪ Maret 2014
77
Kondisi ini masih jauh dari harapan, di mana kondisi ideal kontribusi PAD harus di atas 50% dari total penerimaan APBD. Sebaliknya, peranan dana transfer pemerintah terhadap APBD justru semakin meningkat. Hal ini mencerminkan masih tingginya tingkat ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Maluku, sehingga tujuan dari dana transfer pemerintah sebagai “sarana edukasi” bagi pemerintah daerah belum sepenuhnya tercapai. Sesungguhnya pemerintah daerah diharapkan terdorong untuk secara intensif dan ekstensif menggali sumber-sumber penerimaannya, sehingga memenuhi kebutuhan atau menyamai, bahkan melebihi kapasitas fiskalnya, sehingga penelitian ini akan melihat lebih jauh tata kelola anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi Maluku KERANGKA TEORITIS Otonomi Daerah Menurut Ketentuan Umum UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, pemerintah pusat wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam 78
penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.Disamping itu, diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintahan Daerah: 169). Desentralisasi Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 8, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Undang-Undang Otonomi Daerah 2004: 4 dan 220). Penerimaan Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah dapat dibedakan atas penerimaan dari daerah meliputi pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, dan dari sumbangan dan bantuan. (Suparmoko, 2002: 29) Pengeluaran Daerah. Proses dan pengalokasian anggaran haruslah berorientasi kepada kepentingan publik. Hal ini berarti bahwa proses penyusunan anggaran
Analisis Tata Kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku
hendaknya melibatkan banyak pihak dimulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya. Pengeluaran anggaran (budget expenditure) dibedakan atas belanja rutin (recurrent expenditure) dan belanja modal (capital expenditure). Belanja rutin dapat diartikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya terus menerus, sedangkan belanja pembangunan merupakan pengeluaran yang sifatnya tidak terus menerus dan ada batasnya. Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah sangat ditentukan oleh proses awal perencanaannya. Semakin baik perencanaannya akan memberikan dampak semakin baik pula implementasinya di lapangan. Keterlibatan berbagai lembaga/instansi di dalam proses perencanaan memerlukan kesatuan visi, misi dan tujuan dari setiap lembaga tersebut. Dalam menentukan alokasi dana anggaran untuk setiap kegiatan biasanya digunakan metode incrementalism yang didasarkan atas perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Pendekatan lain yang umumnya dipergunakan adalah line-item budget yaitu perencanaan anggaran yang didasarkan atas item-item yang ada di masa lalu misalnya penetapan mata anggaran yang harus didasarkan pada Kepmendagri tentang penggunaan sistem digit dalam pelaksanaan APBD serta petunjuk teknis tata usaha keuangan daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang dipakai, sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Dengan demikian APBD harus benarbenar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
benchmark ▪ Volume 2 ▪ No 2 ▪ Maret 2014
79
Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah Sebelum menguraikan sistem pengelolaan keuangan daerah terlebih dahulu dikemukakan pendapat mengenai pengertian sistem itu sendiri. Adapun pengertian sistem menurut W. Gerald Cole adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu organisasi, sedangkan prosedur adalah suatu urut-urutan pekerjaan kerani (clerical), biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu
bagian atau lebih, disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi. Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah. Prinsip didalam penyusunan anggaran harus berorientasi pada hal – hal sebagai berikut: a. keadilan anggaran b. efisiensi dan efektivitas anggaran c. anggaran berimbang dan defisit d. disiplin anggaran e. transparansi dan akuntabilitas anggaran Efisiensi dan Efektivitas Efisiensi mengandung beberapa pengertian, yaitu : a. Efisiensi pada sektor usaha swasta (private sector efficiency). Efisiensi pada sektor usaha swasta dijelaskan dengan konsep input output yaitu rasio dari output dan input; b. Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat (public sector efficien). Efisiensi pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dengan pengorbanan seminimal mungkin; c. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai sasaran (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya (input) minimal diperoleh hasil (output) yang diinginkan.
80
Penelitian Terdahulu Beberapa studi tentang pengelolaan keuangan daerah telah banyak dilakukan baik oleh peneliti Indonesia maupun Manca Negara. Studi tentang pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh Mardiasmo (2000) dalam penelitiannya tentang implikasi APBN dan APBD dalam konteks otonomi daerah mengemukakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah akan mengakibatkan perubahan-perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Perubahan pada mekanisme pengelolaan keuangan daerah terletak pada perubahan porsi dan struktur, baik pada APBN maupun APBD yang disebabkan oleh dana perimbangan untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi. Satu hal pokok yang harus diingat dalam upaya pencapaian keberhasilan otonomi daerah adalah bukan semata-mata pada usaha peningkatan Pendapatan Asli Daerah, akan tetapi lebih pada bagaimana pemerintah daerah dapat memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk menggunakan dana yang ada di pemerintah daerah, baik yang berasal dari dalam (Pendapatan Asli Daerah) maupun yang berasal dari luar (misalnya dana perimbangan). Wiratmo (2000) melakukan penelitian obyek pendapatan daerah di Kabupaten Kendal mengungkapkan bahwa kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten Kendal masih relatif kecil yaitu 14,38 persen sehingga menyebabkan ketergantungannya kepada
Analisis Tata Kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku
pemerintah pusat sangat besar. Komponen PAD yang dominan adalah retribusi daerah yaitu sebesar 47,11 persen dari total PAD, disusul pajak daerah sebesar 25,59 persen, dengan tingkat efisiensi berkisar antara 9,7 sampai 16,21 persen serta efektivitas pengeloalaan PAD yang cukup baik yaitu mencapai 100 persen. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah: derajat desentralisasi fiskal, analisis kinerja dan klasifikasi pajak/retribusi daerah. Syahrul (2001) meneliti tentang anggaran belanja daerah pemerintah Kota Padang ditinjau dari proses dan pengalokasian. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa perencanaan pembangunan di Kota Padang dilakukan melalui pendekatan top down approach dan bottom up approach, dalam penyusunan APBD peranan eksekutif masih dominan. Peranan anggota DPRD dalam penyusunan anggaran tidak dimulai dari awal tetapi diawali dari hasil draft yang disusun oleh eksekutif sehingga permasalahan anggaran yang dihadapi tidak terkaji lebih mendalam. Lutfieka (2001) meneliti tentang evaluasi proses penyusunan dan pengalokasian anggaran belanja Kabupaten Aceh Tenggara. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa kebijakan penyusunan APBD di Kabupaten Aceh Tenggara belum berdasarkan kepentingan masyarakat, hal ini terbukti peran DPRD dan masyarakat belum terlibat secara aktif dan berpartisipasi secara maksimal dalam perencanaan penyusunan APBD. Proses
penyusunan APBD masih didominasi oleh pihak eksekutif dalam menentukan skala prioritas dan plafon anggaran.
benchmark ▪ Volume 2 ▪ No 2 ▪ Maret 2014
81
METODE Metode Analisis. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. 1. Analisis derajat otonomi fiskal Povinsi Maluku. (kuncoro 1995 : 9) Derajat Desentra Fiskal =
PAD TPD
x 100%
2. Analisis Indeks Kemampuan Rutin untuk mengetahui seberapa besar konstribusi PAD terhadap belanja rutin. (Tumilar 1997 :38) PAD
IKR =
Belanja Rutin
x 100%
3. Analisis kinerja administrasi penerimaan PAD (Mardiasmo dan A. Makhfatih, 2000) Re alisasiPAD x100% Efektivitas = PotensiPAD Effisiensi = Biaya pengumpulan PAD x100%
RealisasiPAD
4. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh gambaran situasi strategis dari sebuah Unit Kerja Ekonomi (UKE).. Kekuatan UKE merupakan segala sesuatu yang menjadikan UKE memiliki kemampuan untuk melakukan kewajibannya dengan baik sehingga tujuan UKE tercapai (Mardiasmo dan Makhfatih, 2000:36).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Keuangan Daerah Provinsi Maluku Kemampuan keuangan daerah mencerminkan berhasil atau tidaknya suatu daerah dalam menjalankan otonomi di daerahnya. Jika kemampuan keuangan daerahnya sangat baik maka pelaksanaan otonomi di daerah tersebut berhasil dilaksanakan. Sebaliknya apabila ketergantungan fiskalnya sangat tinggi maka daerah tersebut kurang berhasil dalam melaksanakan otonomi di daerahnya. Dari hasil analisis pada lampiran terlihat bahwa tingkat kemandirian fiskal Propinsi Maluku mengalami peningkatan menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat jelas pada derajat desentralisasi fiskal Propinsi Maluku yang dari tahun ke tahun selama 2003- 2012 mengalami peningkatan hal ini dikarenakan semakin banyak pajak serta retribusi baru bagi daerah yang dapat dikembangkan dan membawa dampak positif pada kenaikan derajat desentralisasi fiskal. Indeks Kemampuan Rutin Provinsi Maluku Indeks kemampuan rutin suatu daerah mencerminkan seberapa besar kemampuan pendapatan asli daerah dalam membiayai pengeluaran daerahnya sendiri. Untuk mengukur indeks kemampuan rutin suatu daerah dapat dilakukan dengan cara membandingkan total pendapatan asli daerah dengan total belanja. Semakin baik tingkat indeks kemampuan rutin maka semakin kecil pula tingkat ketergantungan fiskal suatu daerah. 82
Sebaliknya apabila tingkat indeks kemampuan rutinnya kurang maka tingkat ketergantungan fiskal pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin tinggi. Dari hasil analisis pada lampiran terlihat jelas bahwa kemampuan pendapatan asli daerah dalam membiayai pengeluaran rutin Propinsi Maluku dari tahun 2003 - 2012 berfluktuasi. Pada tahun 2003 -2006 Propinsi Maluku termasuk dalam daerah yang memiliki indeks kemampuan rutin yang sangat kurang yakni hanya berkisar antara 8,37% - 19,52 %. Namun pada tahun 20072012 indeks kemampuan rutin Propinsi Maluku mengalami peningkatan dari kriteria sangat kurang menjadi kurang yaitu berkisar antara 24,81 % - 37,14%. Dengan rata – rata pertumbuhan sebesar 24,43 persen pertahun. Analisis Kinerja Keuangan Daerah 1. Efektivitas Dalam menganalisis tingkat efektivitas maka formula hitungannya adalah rasio perbandingan antara realisasi penerimaan dengan target penerimaan. Di mana semakin besar rasio yang didapat semakin efektif tingkat pengelolaan keuangan daerah dan sebaliknya. Dari hasil analisis pada lampiran terlihat tingkat efektivitas dari pengelolaan keuangan Pemerintah Provinsi Maluku berkisar antara 27,41 persen sampai dengan 109,64 persen, dengan rata – rata selama tahun penelitian sebesar 69 persen. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah Provinsi Maluku didalam pengelolaan
Analisis Tata Kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku
keuangannya tidak efektif walaupun pada tahun 2008 dan tahun 2009 memiliki rasio diatas 100 persen sehingga dapat disimpulkan bahwa pegelolaan keuangan Pemerintah Provinsi Maluku selama tahun penelitian tidak efektif. Target dan realisasi PAD terkadang memiliki perbedaan yang sangat besar hal ini dikarenakan seringnya pemerintah daerah didalam menetapkan target penerimaan hanya berdasarkan prakiraan semata tanpa malakukan analisa lebih jauh terhadap objek pajak, hal lain juga menyangkut petugas penarik pajak yang didalam melakukan tugas dan fungsinya. 2. Efisiensi Berdasarkan hasil perhitungan pada lampiran dapat diketahui bahwa tingkat efisiensi pengelolaan keuangan oleh Pemerintah Provinsi Maluku selama
tahun pengamatan berkisar antara 49,20 persen sampai dengan 87,13 persen dengan nilai rata – rata pertumbuhan sebesar 67,44 persen pertahun. Berdasarkan hasil ini dapat disumpulkan bahwa pengelolaan keuangan oleh Pemerintah Provinsi Maluku tergolong efisien. 3. Analisi SWOT Berdasarkan hasil analisa dan perhitungan terhadap faktor internal dan eksternal diperoleh hasil analisa internal (kekuatan-kelemahan) adalah -0.42 dan analisis eksternal (peluang-ancaman) adalah 0.67. hasil analisa tersebut kemudian digunakan untuk menentukan letak aspek yang dianalisis pada peta/kuadran SWOT berikut.
0.67
Kelemahan/Weakness (W)
Kekuatan/Strenght (S) -0.42
Ancaman/Threath (T)
benchmark ▪ Volume 2 ▪ No 2 ▪ Maret 2014
Peluang/Oppertunity (O)
83
Berdasarkan peta SWOT tersebut dapat dilihat bahwa posisi SWOT berada pada kuadran 3, yaitu pemerintah Pemda Maluku dalam meningkatkan penerimaan PAD menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Fokus strategi yang harus dilakukan adalah meminimalkan masalah-masalah internal guna memperoleh peluang yang ada sehingga dapat mengoptimalkan penerimaan PAD. Dalam upaya mengatasi kondisi demikian, maka perlu dirumuskan strategi perencanaan berupa: 1. Strategi Intensifikasi Strategi ini menekankan terhadap usaha yang memenfaatkan sumbersumber yang ada pencapaian tujuan peningkatan penerimaan PAD 2. Strategi Ekstensifikasi Strategi ini menekankan pada upaya penjangkauan penerimaan PAD secara lebih luas daripada pada yang telah ada. PENUTUP Simpulan 1. Derajad desentralisasi fiscal Provinsi Maluku dari tahun 2003 sampai tahun 2008 sangat besar, sedangkan pada tahun 2007 keatas, tingkat ketergantungan terhadap pusat mulai menurun dengan nilai desentralisasi fiscal berada pada criteria baik sebagai akibat dari semakin membaiknya pengelolaan keuangan daerah dan juga banyaknya pajak baru yang potensial yang memberikan tambahan masukan bagi pendapatan asli daerah.
84
2. Tingkat kemandirian fiskal daerah Provinsi Maluku dari tahun 2003 sampai 2008 berada pada criteria sangat kurang, akan tetapi setelah tahun 2009 sampai tahun 2012 mulai terjadi perubahan dimana indeks kemapuan rutinnya berada pada criteria sangat kurang berpindah pada criteria kurang dengan rata – rata pertahun sebesar 24,43%. 3. Pengelolaan keuangan daerah Provinsi Maluku dapat dikatakan efektif sedangkan tingkat efisiensi dalam melakukan pungutan PAD masih kurang. 4. Posisi SWOT berada pada kuadran 3, menunjukan bahwa Provinsi Maluku dalam meningkatkan penerimaan PAD menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal. Saran Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian ini maka dapat disarankan bagi Pemerintah Provinsi Maluku sebagai berikut: 1. Perlu melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak, retribusi serta pendapatan daerah lain yang sah. 2. Membuat perencanaan yang baik serta penghematan anggaran. 3. Melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap sumber-sumber PAD untuk mencegah kebocoran 4. Strategi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah adalah intensifikasi dan ekstensifikasi dalam pemungutan PAD.
Analisis Tata Kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku
DAFTAR RUJUKAN Bratakusumah dan Solihin (2002), Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Darwanto dan Yulia Yustikasari, Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, dan DAU terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Magister Sains Ilmu-ilmu Ekonomi, Manajemen, Akuntansi UGM Yogyakarta, Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar 26-28 Juli 2007. Halim, Abdul (2004), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah Edisi Revisi, UPP UMP YKPN, Yogyakarta. Halim Abdul dan Damayanti Theresia, Pengelolaan Keuangan Daerah; Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Kedua, UPP-STIM YKPN, Yogyakarta, 2007. Harya Kuncara Wiralaga, Pengaruh Transfer antar Pemerintah terhadap Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, dan Disparitas Pendapatan Regional, Kota dan Kabupaten di Indonesia 1998-2003, Disertasi, 2005, hal. 14-15. Jaya, Wihana Kirana, 1996, “Analisis Keuangan Daerah : Pendekatan Makro” Model Program PMSES, Laporan Penelitian, Kerja Sama Ditjen PUOD Depdagri dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta. Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Mardiasmo, 2000, “Implikasi APBN dan APBD dalam Konteks Otonomi Daerah”, Kompak, No. 23, 573 – 587. benchmark ▪ Volume 2 ▪ No 2 ▪ Maret 2014
Mardiasmo dan Makhfatih.A, 2000, Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi Daerah di Kabupaten Magelang, Laporan Penelitian, PAU Studi Ekonomi UGM, Yogyakarta (tidak dipublikasikan) Rangkuti, F., 2000. Analisis SWOT Tehnik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suparmoko (2002), Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Wiratmo, M. Masykur, 2000, ”Penelitian Objek Pendapatan Daerah Kabupaten Kendal,” Laporan Penelitian, Kerjasama Bappeda Kabupaten Kendal dengan PAUSE UGM, (tidak dipublikasikan).
85
86
Analisis Tata Kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku