4 KONDISI UMUM KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH Masyarakat adalah sekelompok manusia yang tinggal di daerah tertentu dalam waktu yang relatif lama, memiliki norma-norma yang mengatur kehidupannya menuju tujuan yang dicita-citakan bersama (Setiadi dan Kolip 2011). Masyarakat mendiami daerah tertentu maka memiliki hubungan timbal balik antar sesama juga dengan lingkungannya yang membentuk sistem sosial yang dipengaruhi oleh (Ranjabar 2006): a.
Ekologi, tempat dan geografi dimana masyarakat itu berada
b.
Demografi, yaitu menyangkut populasi, susunan dan ciri-cirinya
c.
Kebudayaan, yaitu menyangkut nilai-nilai sosial, sistem kepercayaan dan norma-norma dalam masyarakat.
d.
Kepribadian, yaitu meiliputi sikap mental, semangat, temperamen dan ciriciri psikologis masyarakat.
e.
Waktu, sejarah dan latar belakang masa lampau dari masyarakat tersebut. Pemahaman perilaku masyarakat lokal dalam pengembangan wisata
penting diketahui untuk mendukung keberhasilan dan keberlanjutan kegiatan wisata (Gursoy et al. 2009). Oleh karena itu untuk mendapat gambaran yang menyeluruh tentang kehidupan masyarakat sekitar GSE sebagai pelaku dalam pengembangan wisata di kawasan GSE, perlu dilihat kondisi bio-fisik, sosial ekonomi dan budaya, sejarah pengelolaan serta pengelolaan obyek-obyek wisata oleh masyarakat. 4.1. Kondisi Bio-Fisik kawasan 4.1.1. Letak dan Luas Kawasan GSE rmasuk dalam Resort Gunung Salak II Seksi Wilayah II Bogor Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Secara geografis terletak pada 106o 36’ 30’’ BT sampai 106o 45’ 55’’ BT dan 6o 31’ 0’’ LS sampai 6º 47’ 15’’ LS.
Secara administratif pemerintahan, kawasan GSE termasuk dalam
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kawasan GSE (31.327 Ha) merupakan kawasan yang berada di bagian barat kota Bogor berupa hutan yang mempunyai udara yang bersih dan sejuk serta pemandangan indah
32
khas alam pegunungan dengan tinggi puncak Gunung Salak 2211 mdpl (Disbudpar 2008). Batas-batas Kawasan GSE secara administratif adalah : 1. Kecamatan Rancabungur di sebelah Utara 2. Kota Bogor, Kecamatan Dramaga dan Kecamatan Cijeruk di sebelah Timur 3. Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan 4. Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Cibungbulang di sebelah Barat 4.1.2. Topografi Ketinggian kawasan GSE beragam, berkisar antara 600 – 800 mdpl di Desa Gunung Sari, dan antara 700 – 1350 mdpl di Desa Gunung Bunder 2. Kemiringan lapang bervariasi mulai dari landai sampai dengan sangat curam. Kemiringan Hutan Gunung Salak berkisar 25% - 60%, dan pada Bumi Perkemahan Gunung Bunder antara 15% - 25%. 4.1.3. Iklim dan Hidrologi Sebagian besar wilayah Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder merupakan daerah berhutan. Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson 1951, kawasan GSE memiliki tipe iklim A dengan curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2000 – 4000 mm/th. Curah hujan tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan Februari sebesar 611 mm dan terendah pada bulan Juli sebesar 134 mm. Jumlah hari hujan berkisar 11- 31 hari (BPS, 2009). Suhu harian rata-rata untuk daerah Gunung Bunder 2 berkisar antara 15o – 25oC dan Desa Gunung Sari memiliki suhu harian rata-rata 22oC – 27oC. Kawasan GSE merupakan bagian hulu dari beberapa sungai besar diantaranya dilalui oleh tiga sungai yaitu Sungai Cikuluwung, Cigamea, dan Ciapus. Sungai Cigamea dan Cikuluwung keduanya bermuara di sub DAS Cianten. Sungai Cigamea banyak dimanfaatkan masyarakat Desa Gunung Sari dan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 2008). 4.1.4. Aksesibilitas Aksesibilitas yang baik merupakan syarat utama untuk menarik pengunjung datang ke kawasan wisata. Kawasan GSE dapat dicapai melalui beberapa jalur serta kondisi jalan sudah baik berupa jalan aspal, dapat ditempuh dengan
33
menggunakan angkutan umum, sepeda motor, maupun mobil pribadi dengan jarak relatif pendek jika dijangkau dari Kota Bogor dan Jakarta (Tabel 4). Tabel 4 Jalur/rute perjalanan menuju GSE dan panjang jarak tempuh No 1 2 3 4 5 6
Rute Jarak dari Bogor (Km) Bogor-Ciomas-Gunung Bunder-GSE 26 Bogor-Cinangneng-Gunung Bunder-GSE 32 Bogor-Cikampak-Gunung Bunder-GSE 29 Bogor-Cibatok-GSE 26 Bogor-Cemplang-GSE 30 Jakarta-Parung-Semplak-Darmaga-Cikampak-Gunung 76 Bunder-GSE 7 Jakarta-Tangerang-Rumpin-Cibatok-GSE 71 Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2008 dan Nurdiana, 2004
Akses untuk menuju GSE adalah jalur Cemplang-Pamijahan-GSE, akses jalur ini memiliki jarak dan waktu tempuh dari jalan raya Bogor-Leuwiliang terpendek dibanding tiga alternatif yang lain, (Cikampek-GSE-Cibatok-GSE dan Tamansari-Gunung Bunder-GSE). Kondisi fisik jalan yang meliputi kontur, kelurusan dan lebar jalan maupun lahan pengembangan secara umum lebih memadai dibanding alternatif lainnya. Usaha penataan kawasan tidak hanya dilakukan di lokasi/objek wisata, namun dilakukan pula penataan dan perbaikan pelayanan umum seperti jalan raya menuju kawasan wisata GSE, papan informasi dan penunjuk arah yang dapat membantu wisatawan mencapai kawasan GSE. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor melalui dinas terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Bina Marga, serta Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor. 4.1.5. Flora Kawasan GSE merupakan bagian dari hutan di pegunungan Salak yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang merupakan hutan primer yang tersebar pada ketinggian di bawah 1.800 m dpl. Tegakan hutan umumnya berkanopi rapat dengan tinggi 30-40 m, dengan beberapa pohon mencuat yang mencapai ketinggian hampir 50 m. Jenis-jenis utama pada tipe vegetasi ini antara lain Schima wallichii (Theaceae), Castanopsis javanica, Lithocarpus elegans (Fagaceae), Altingia excelsa (Hamamelidaceae), Acer laurinum (Aceraceae), Engelhardia spicata (Juglandaceae), Polyosma ilicifolia (Saxifagraceae) dan Prunus arborea (Rosaceae).
34
Pada ketinggian 1.200 m banyak dijumpai jenis-jenis pionir seperti Macropanax dispermus, Mallotus paniculatus dan Ficus padana dengan ketinggian pohon sekitar 10 m. Pada ketinggian 1250 mdpl, dijumpai jenis-jenis primer diantaranya Altingia excelsa, Schima wallichii, dan Castanopsis javanica. Jenis dominan di daerah ini yaitu Schima wallichii (puspa) yang berupa pohon tegak dengan tinggi sekitar 25 m, diameter batang diatas 50 cm, dengan kulit batang berwarna gelap karena pengaruh uap belerang. Tumbuhan lain yang melimpah adalah Pandanus nitidus, mempunyai daun berupa pedang memita, buah mencapai panjang 50 cm, berdiameter sekitar 15 cm, paku tiang Cyathea contaminans dan Musa acuminata (pisang). Pada bagian lantai hutan dijumpai Schefflera spp., Aralia dasyphylla, Strobilanthes, Hedychium roxburghii, Hornstedtia pininga dan Melastoma sp. Jenis liana yang banyak adalah Polygonum sp, Dissochaeta, Ficus deltoidea, Smilax ceylanica, Medinilla speciosa dan beberapa tumbuhan paku. Pada ketinggian 1360 mdpl, yaitu sekitar fumarol tercium bau belerang yang kuat (sekitar kawah ratu), namun tidak ditemukan adanya tumbuhan. Bagian bawah kawasan, karena semula adalah hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani berupa hutan tanaman. Jenis-jenis yang ditanam seperti Agathis sp., Altingia excelsa, Pinus merkusii dapat dijumpai dibagian batas tepi kawasan taman nasional; yang umumnya berumur sama dengan struktur hutan yang sederhana. Akan tetapi pada hutan tanaman Altingia excelsa yang sudah tua tinggi pohon dapat mencapai 40 m, seperti yang terlihat di dekat Bumi Perkemahan Gunung Bunder yang merupakan salah satu jalan masuk ke dalam kawasan Gunung Salak Endah. 4.1.6. Fauna Jenis-jenis fauna yang dilindungi dapat dijumpai di kawasan GSE yaitu jenis-jenis burung diantaranya adalah elang jawa (Spizeatus bartelsii), elang hitam (Ictinaetus malayensis), Spilornis cheela, Spizaetus cirrhatus serta ayam hutan merah.
Beberapa jenis mamalia yaitu macan tutul (Panthera pardus),
Prionailurus bengalensis, Paradoxurus hermaphrodites, Mydaus javanensis, Sus scrofa trenggiling (Manis javanica). Jenis-jenis primata yaitu owa jawa (Hylobates moloch) dan surili (Presbitis commata) yang merupakan spesies
35
primata endemik Pulau Jawa dan Trachypithecus auratus, Macaca fascicularis (Prawiladilaga et al. 2008). Jenis-jenis reptil, terutama kadal dan ular yang dapat dijumpai di kawasan ini diantaranya adalah bunglon (Bronchocela jubata) dan B. cristatella, kadal kebun (Maboya multifasciata), ular siput (Pareas carinatu) serta ular sanca kembang (Phyton reticulaus), serta jenis-jenis katak dan kodok diantaranya adalah Huia masonii, Bufo asper, Leptobrachium hasseltii, Megophrys montana, Fejervarya limnocharis, Limnonectes microdiscus, L. kuhlii, Rana chalconota, R. hosii, Rhacophorus margaritifer/javanus (Prawiladilaga et al. 2008).
4.2. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Penduduk merupakan sumber daya yang sangat menentukan di dalam pembangunan termasuk pengembangan pariwisata. Oleh karena itu, pengenalan terhadap kondisi sumber daya manusia di wilayah pengembangan sangat diperlukan. Kependudukan, sering juga disebut faktor demografi, dapat ditinjau dari berbagai aspek antara lain; faktor jumlah, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pencaharian. Klasifikasi umur, berkaitan erat dengan identifikasi angkatan kerja dan partisipasi angkatan kerja di wilayah desa penelitian. Jumlah penduduk Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 no
desa
1 Gunung Sari 2 Gunung Bunder 2
laki-laki Persen jumlah (%) 6475 51,7 4340 49,0
perempuan Rasio total Persen laki-laki: jumlah (%) perempuan 6061 48,3 1,07 12536 4511 51,0 0,96 8851
Sumber : BPS 2009
Komposisi
penduduk
menurut
jenis
kelamin
sangat
bermanfaat
(Brahmantyo dan Kusmayadi, 1999) di dalam melaksanakan identifikasi sumber daya manusia terutama bila dikaitkan dengan kegiatan wisata yaitu identifikasi angkatan kerja dan partisipasi angkatan kerja. Pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut normanorma, adat-istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat.
36
Agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 adalah agama Islam (Tabel 6). Ajaran agama telah meresap menjadi tuntunan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Peran agama dikedua desa dipengaruhi oleh kharisma yang dimiliki oleh sosok pemimpin pesantren sebagai pemimpin informal yang lebih dikenal dengan istilah Kyai yang cukup berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, karena dianggap memiliki derajat keilmuan agama yang lebih tinggi dari masyarakat kebanyakan. Tabel 6 Jumlah Penduduk menurut agama di Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 no
Desa
1 Gunung Sari 2 Gunung Bunder 2
Islam
12530 8845
Agama Katholik Protestan Budha
3 0
3 6
0 0
total Hindu
0 0
12536 8851
Sumber : BPS 2009
Usia penduduk, sangat terkait dengan usia produktif yaitu jumlah angkatan kerja penduduk dalam suatu wiayah tertentu. Komposisi penduduk berdasarkan usia (Tabel 7) dikedua desa menunjukkan bahwa presentase usia produktifnya (20 – 54 tahun) yang paling besar yaitu 53,3% untuk Desa Gunung Bunder 2 dan 55,1% untuk desa Gunung Sari. Jika kita melihat lebih jauh, maka terlihat bahwa usia anak sekolah (5 – 19 tahun) di Desa Gunung Bunder 2 memiliki persentase sebesar yaitu 27,9% dan harapan pendidikan sampai ke perguruan tinggi (20 – 24 tahun) 10,0%. Jumlah ini berarti bahwa beban tanggungan usia kerja di Desa Gunung Bunder 2 cukup besar. Untuk Desa Gunung Sari usia tidak produktif (7 – 19 tahun) sebesar 26,1% lebih kecil dibandingkan Desa Gunung Bunder 2. Tabel 7 Komposisi penduduk menurut umur Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 Umur No. 1 2 3 4 5 6
0–4 5 -14 15 -19 20 – 24 25 – 54 > 55 Total
Sumber : BPS 2009 (diolah)
Gn Bunder 2 Jumlah Persen (%) 833 9,4 1619 18,3 854 9,6 881 10,0 3823 43,2 841 9,5 8851 100
Gn Sari jumlah Persen (%) 985 7,9 2281 18,2 1168 9,3 1249 10,0 5659 45,1 1194 9,5 12536 100
37
Partisipasi masyarakat di dalam pembangunan salah satunya dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan yang dicapai.
Pada dasarnya semakin tinggi
pendidikan formal yang dicapai seseorang akan semakin tinggi partisipasinya di dalam pembangunan. Tingkat pendidikan dapat menjadikan orang mempunyai kreativitas tinggi dan adaptabilitas tinggi terhadap perubahan-perubahan di dalam pembangunan (Brahmantyo dan Kusmayadi, 1999). Pengembangan pariwisata, membutuhkan sumberdaya yang memadai untuk melayani wisatawan yang datang berkunjung, sehingga selain tingkat pendidikan, keterampilan untuk inovasi dan kreasi dalam pengembangan wisata sangat diperlukan. Penduduk Desa Gunung Sari memiliki tingkat pendidikan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Gunung Bunder 2 (Tabel 8). Pendidikan Starta satu dan dua sudah banyak diselesaikan oleh penduduk Gunung Sari, sedangkan di Desa Gunung Bunder 2 hanya sedikit warganya yang telah mengenyam pendidikan starta satu. Tabel 8 Jumlah penduduk menurut pendidikan Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 no. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Desa
Pendidikan
Gunung Sari
Belum sekolah tidak tamat sekolah tamat SD/sederajat tamat SMP/sederajat tamat SMA/sederajat tamat akademi/sederajat tamat perguruan tinggi/S1 tamat perguruan tinggi/S2 buta huruf
Gunung Bunder 2
2401 3274 2729 2183 196 131 2 -
2179 1980 324 26 0 9 -
Sumber : Desa Gunung Bunder 2 (2009) dan Gunung Sari (2009) Keterangan : (-) data tidak tersedia
Berdasarkan wawancara dengan kepala Desa Gunung Bunder 2, banyaknya penduduk yang tidak tamat disebabkan oleh sarana pendidikan yang minim (hanya ada Sekolah Dasar), walaupun sudah mulai diupayakan adanya SMP terbuka. Berbeda dengan Desa Gunung Sari sebagai ibukota Kecamatan Pamijahan memiliki sarana prasarana pendididkan yang lebih lengkap (Tabel 9) Tabel 9 Sarana pendidikan yang ada di masing-masing desa No
Desa
1.
Gunung Sari
2.
Gunung Bunder 2
Sumber : BPS 2009
TK 2 2
Sarana Pendidikan SD/MI SMP/MTs 6 3 6 1
SMU/MA 3 -
38
Mata pencaharian kedua desa memiliki perbedaan, di Desa Gunung Sari penduduknya memiliki mata pencaharian yang lebih beragam dibanding Desa Gunung Bunder 2 (Tabel 10). Masyarakat Desa Gunung Bunder 2 banyak yang bermata pencaharian sebagai petani/buruh tani dan memiliki satu mata pencaharian saja (Rachmawati 2010).
Pendapatannya pun lebih kecil
dibandingkan dengan masyarakat Desa Gunung Sari terutama dari Kampung Lokapurna.
Rata-rata pendapatan masyarakat Kampung Lokapurna diatas Rp
750.000,00, sedangkan Gunung Bunder 2 dibawah Rp 500.000,00. Tabel 10 Jumlah penduduk menurut jenis pekerjaan di Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 Desa Gunung Bunder 2 1 Tani/buruh tani 2780 2823 2 Petani Pemilik 265 3 Pedagang 745 63 4 PNS 45 10 5 TNI/POLRI 2 1 6 Pensiunan/Purnawirawan 32 11 7 Swasta 552 6 8 Buruh Pabrik 568 9 Pengrajin 8 10 Tukang Bangunan 150 11 Penjahit 6 2 12 Tukang Las 1 13 Tukang Ojek 72 14 Bengkel 22 7 15 Sopir Angkutan 65 13 16 Tukang Rias 3 Sumber : Desa Gunung Sari (2009) dan Desa Gunung Bunder 2 (2009) no.
Pekerjaan
Gunung Sari
Jumlah petani di kedua desa, didukung oleh pola penggunaan lahan di kedua desa didominasi oleh sawah (Tabel 11). Pola penggunaan lahan di Desa Gunung Sari memiliki prosentase hutan yang cukup besar yaitu 39,03%. Potensi hutan yang luas di Desa Gunung Sari mengundang banyak pihak untuk memanfaatkan dan mengkonversi dengan fungsi lain secara illegal, terbukti dengan banyaknya villa-villa illegal yang telah dibangun, padahal kawasan tersebut telah menjadi kawasan konservasi. Tabel 11 Pola penggunaan lahan di Desa Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 no. 1 2 3 4 5
Penggunaan lahan Sawah Pekarangan Perumahan Ladang Empang
Gunung Sari Luas (Ha) Persen (%) 349 49.86 5 0.71 44 6.29 21.2 3.03 1.5 0.21
Gunung Bunder 2 Luas (Ha) Persen (%) 201.6 6 57.2 85.3 2
46.0 1.4 13.0 19.5 0.5
39
Gunung Sari Luas (Ha) Persen (%) 1 0.14 5 0.71 273.2 39.03 699.9 100
no. 6 7 8
Penggunaan lahan Pekuburan Perkebunan Hutan Total
Gunung Bunder 2 Luas (Ha) Persen (%) 1 0.2 58.8 13.4 26.5 6.0 438.4 100.0
Sumber : BPS 2009
Tanah di Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 sebagian besar masih belum memiliki sertifikat karena statusnya merupakan tanah adat, yaitu tanah peninggalan nenek moyang yang tidak jelas kepemilikannya. Masyarakat saat ini hanya sebagai penggarap. Desa Gunung Sari terdapat tanah yang statusnya adalah miliki Negara yaitu milik Departemen Kehutanan, yaitu tanah yang berada di Kampung Lokapurna (Tabel 12). Namun demikian, saat ini tanah tersebut sudah beralih kepemilikannya, pada awalnya adalah tanah garapan masyarakat veteran yang berubah menjadi villa-villa dan resort.
Perpindahan hak garap tersebut
terjadi secara illegal. Tabel 12 Status tanah di wilayah Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 Desa Gunung Sari Gunung Bunder 2
Tanah Milik Bersertifikat
Status tanah (Ha) Tanah Milik Tanah Belum Negara Bersertifikat
Tanah Milik Adat
Tanah Engendom
22,32
404,92
265
427,24
-
6
360,450
-
360,45
20
Sumber : Desa Gunung Sari (2009) dan Desa Gunung Bunder 2 (2009)
4.3. Sejarah Pengelolaan GSE menjadi Kawasan Wisata Sejarah pengelolaan kawasan Gunung Salak Endah menjadi kawasan wisata, tidak terlepas dari perubahan fungsi kawasan Gunung Salak. Untuk itu perlu diketahui mengenai sejarah kawasan dan sejarah masyarakat yang mendiami kawasan GSE. Menurut Ranjabar (2006) waktu, sejarah dan latar belakang masa lampau perlu diketahui untuk mendukung pengelolaan. 4.3.1. Sejarah Kawasan Kawasan Gunung Salak awalnya merupakan Hutan Lindung Gunung Salak (HL-GS) yang merupakan gabungan dari lima kelompok hutan yaitu hutan Gunung Salak Utara, Gunung Salak Selatan, Gunung Salak Nanggung, Gunung Kendang Kulon, dan Ciampea. Kawasan Wisata Gunung Salak Endah masuk
40
dalam wilayah hutan Gunung Salak Utara (Doro 1994). Dengan SK Menhut No.175/KPTS II/2003, kawasan Gunung Salak Endah masuk dalam perluasan taman nasional.
Adapun sejarah penetapan kawasan GSE menjadi Taman
Nasional Halimun Salak dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sejarah penetapan kawasan hutan Gunung Salak menjadi taman nasional No. Waktu 1. 2. 3 4 5
6
7
4.3.2.
Kejadian Gunung Salak (HL1906 - Hutan lindung dikenal dengan nama Hutan Lindung 16) GS) dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda 1945 Penunjukkan kawasan Hutan Salak sebagai Hutan Produksi dan Hutan 1954 Lindung dan dikelola oleh Djawatan Kehutanan. 17) Diadakan pengukuran definitif pada tahun 1975 dan rekontruksi tata 1975, batas tahun 1985 17) 1985 Hutan produksi dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat 18) 1978 Sebagian hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani, melalui usul 1987 dari tokoh masyarakat diresmikan menjadi Kawasan Wisata Alam terbuka Gunung Salak Endah (GSE) dan dikelola oleh Pemda Kabupaten Bogor. Pemda Kabupaten Bogor mengelola obyek-obyek wisata yang berada di Kampung Lokapurna Desa Gunung Sari. Potensi wisata diantaranya Curug (Air terjun) Cigamea, Curug Ngumpet, Curug Seribu, Pemandian Air Panas, dan Kawah Ratu. Lima objek tersebut hingga saat ini dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor. 19) Perum Perhutani mengembangkan Pengelolaan Hutan Bersama 1998 Masyarakat (PHBM) dibidang wisata, dengan membuka Bumi Perkemahan (Buper) Gunung Bunder, dengan nama Wana Wisata Gunung Bunder (WWGB). WWGB terdiri dari objek wisata diantaranya Bumi Perkemahan Gunung Bunder 2, Curug Cihurang, Curug Ciampea, Curug Ngumpet 2, dan Curug Cipatat. Mengembangkan pula Wana Wisata Kawah Ratu dengan objek Kawah Mati I dan II serta Situ Hyang. Pengelolaan WWGB masih terintegrasi dengan kegiatan pengelolaan hutan yang ditangani oleh RPH Gunung Bunder BKPH Leuwiliang serta selanjutnya mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di bidang wisata. 20) Berubah fungi menjadi taman nasional dibawah Unit Pelaksana Teknis 2003 Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas + 113.357 Ha berdasarkan SK Menhut No.175/KPTS II/20038)
Sejarah Pemukiman Masyarakat Sekitar Kawasan Wilayah GSE mencakup enam desa yakni Desa Gunung Sari, Gunung
Bunder 2, Gunung Picung, Ciasmara, Ciasihan dan Pamijahan, yang termasuk dalam Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor.
Masyarakatnya merupakan
penduduk asli yang sudah mendiami kawasan sekitar hutan Gunung Salak. Di Desa Gunung Sari, terdapat juga masyarakat pendatang yang menetap di dalam kawasan wisata GSE dikenal dengan masyarakat Lokapurna yakni masyarakat yang berasal dari anggota veteran/mantan pejuang 1945.
41
Masyarakat Lokapurna mulai mendiami kawasan yang statusnya tanah negara sejak 1967, tepatnya di Kampung Lokapurna RW 08 dan 09, Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan. Kegiatan yang dilakukan yaitu menggarap lahan di Kawasan Gunung Salak seluas 256 Ha sebagai lahan pertanian.
Kronologis
terciptanya Lokapurna adalah diawali adanya surat dari Kepala Djawatan Kehutanan Bogor No.706/XV/10/Bgr. tanggal 05 Juni 1967 yang mengabulkan permohonan Seksi Legiun Veteran RI Cibungbulan untuk menggarap area seluas 70 ha sehingga berubah status pengelolaannya dari perhutani menjadi status garap oleh 75 orang anggota Legiun Veteran RI untuk ditanami dengan sistim tumpangsari.
Pada tahun 1981 terjadi perkembangan yang sangat drastis,
sebanyak 250 penggarap merambah area seluas lebih dari 600 ha dan seluas 135 ha termasuk kawasan lindung. Kondisi diatas mendorong pihak Direksi Perum Perhutani untuk melaporkan ke Menteri Kehutanan, sehingga Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 223/Menhut-VII/1983 Tanggal 28 November 1983 yang ditujukan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan menyetujui penggunaan kawasan hutan bagi proyek pertanian Veteran dan Demobilisasi RI ”Lokapurna” dengan cara tukar-menukar (ruislag) yaitu cara penyelesaian masalah tumpang tindih lahan dengan cara mengganti lahan yang digunakan dengan lahan di tempat lain (masih satu kabupaten) dengan tujuan agar kawasan hutan di suatu wilayah tidak berubah fungsi. Pada tahun 1987 melalui surat No. 268/Kpts- Tanggal 31 Agustus 1987 tentang perubahan fungsi sebagian Hutan Lindung Blok Rawalega seluas 256 Ha menjadi Hutan Produksi dan seluas 304 Ha tetap menjadi hutan lindung dan dikembalikan kepada Perum Perhutani. Persetujuan Tukar Menukar kawasan Hutan Lokapurna seluas 256,77 Ha sesuai surat Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada Direksi Perum Perhutani No. 497/Menhut-II/94 Tanggal 25 April 1994. Para veteran kemudian membentuk suatu badan pengurus yang bertugas mengurus dan mengkoordinir pelaksanaan hak garap tersebut. Untuk lebih rinci mengenai sejarah penyelesaian status lahan di Lokapurna dapat dilihat pada Tabel 14.
42
Tabel 14 Kronologis proses penyelesaian status lahan di Lokapurna No
Waktu (Tahun)
1
Kejadian
Kondisi/konflik
1967
Masyarakat veteran memohon untuk menggarap lahan di Blok Rawa Lega tanah seluas 600 Ha
Ijin menggarap dari Menteri Veteran dan Demobilisari RI untuk penggarapan lahan dengan cara tumpang sari seluas 70 Ha1).
2
19621972
Penggarapan tanah berlangsung dengan tertib
Pada tahun 1972 terjadi penyelewengan hak garapan sehingga Kepala Djawatan kehutanan Jawa Barat menganggap sebagai penyerobotan
3
1981
Menyetujui penggunaan kawasan hutan bagi proyek pertanian Veteran dan Demobilisasi RI ”Lokapurna” dengan cara tukar-menukar (Ruislag).
Pihak Perum Perhutani mengharapkan lahannya diganti dengan cara ditukar, dan jika tanah tidak digarap dalam waktu 3 bulan, maka ijin garap harus dikembalikan 2,3,4).
1983 dan 1987
4
1987
Perubahan fungsi sebagian Hutan Lindung Blok Rawalega seluas 256 Ha menjadi Hutan Produksi dan 303 Ha tetap menjadi hutan lindung dan dikembalikan kepada Perum Perhutani.
Luas garapan melebar tidak terkendali hingga mencapai 600 Ha seluas 135 Ha diantaranya berstatus hutan lindung5).
5
1994
Surat Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada Direksi Perum Perhutani tentang persetujuan tukar menukar kawasan hutan Lokapurna
Pihak Perhutani mulai menuntut kembali lahan pengganti yang dijanjikan oleh pihak Veteran6)
6
1996
Persetujuan terhadap tanah calon pengganti di Sukabumi, atas usulan pihak Badan Pelaksana pengembalian hak-hak veteran RI Provinsi Jawa Barat.
Penanganan Perum Perhutani tentang pihak yang berhak menyelesaikan proses tukar menukar lahan di Loapurna7)
7
2003
Penunjukkan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap,hutan produksi terbatas pada kelompok hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak seluas + 113.357 Ha di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi Taman Nasional Gunung Halimun – Salak.
Belum ada sosialisasi tata batas kawasan8)
8
2006
Pengendalian oleh Pemimpin Pusat
Pihak yang ditunjuk
43
Waktu (Tahun)
No
9
2007
Kejadian
Kondisi/konflik
Legiun Veteran RI terhadap Penyelesaian Pengembalian Hak-Hak Anggota LVRI atas Tanah Lokapurna di Gunung Picung Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.
sebagai penanggungjawab pelaksana pengembalian hak-hak veteran atas tanah Lokapurna Gunung Picung, Bogor belum ada sosialisasi9).
Pembentukan tim Terpadu percepatan penyelesaian tukar menukar kawasan hutan produksi seluas + 256,77 Ha untuk proyek pertanian veteran dan demobilisasi RI Lokapurna di area perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Penyelesaian tukar menukar dengan proses hukum10, 11, 12)
10
2008
Pengamanan kawasan hutan untuk proyek pertanian veteran dan demobilisasi RI Lokapurna dan kawasan sekitarnya
Pembentukan tim teknis penyelesaian tukar menukar, fasilitasi pertemuan ketiga pihak, Iventarisasi dan identifikasi penggarap dilakukan secara bersama para pihak BTNGHS, Perum Perhutani dan LVRI13, 14)
11
2009
Pembentukan tim teknis yang bertugas untuk melakukan penelitian/pengkajian atas aspek legalitas, ekologis, sosial budaya dan ekonomi untuk penyelesaian tukar menukar kawasan
Tim teknis terdiri dari Ditjen PHKA, BTNGHS, Perum Perhutani bertugas menyusun alternatif penyelesaian proses tukar menukar15)
Sumber :
1)
LVRI 1967; 2) Perhutani 1981; 3) Menhut 1983; 4) Menhut 1987; 5) Menhut 1987; 6) Menhut 1994; 7) Menhut 1996; 8) Menhut 2003; 9) BLVRI 2006; 10) Menhut 2007; 11) Menhut 2007a; 12); Mentan 2007; 13) PHKA 2008; 14) PHKA 2008a; 15) PHKA 2009
Proses penyelesaian tukar guling lahan Lokapurna Desa Gunung Sari, hingga saat ini belum ada titik terang. Status lahan yang masih belum jelas menyebabkan kesulitan pengaturan pengelolaan di lapangan. Secara hukum legal, tanah seluas 256 Ha masuk dalam perluasan kawasan TNGHS dan berada dibawah pengelolaan Resort Salak II, namun, fakta di lapangan, lahan tersebut telah diperjualbelikan kepada pihak lain dan telah berdiri berbagai fasilitas wisata baik berupa villa, resort dan fasilitas pendukung lainnya. Masyarakat Lokapurna merasa memiliki tanah ini dan beranggapan bebas mendirikan bangunan.
Pengelolaan wisata di Desa Gunung Sari lebih sulit
dikendalikan dibandingkan di Desa Gunung Bunder 2, sehingga penataan di Desa Gunung Sari belum tertata dengan baik dibandingkan Desa Gunung Bunder 2.
44
Hal ini didorong oleh sejarah pengelolaan wisata yang berbeda, salah satu penyebabnya menurut Doro (1994) adalah adanya intervensi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor yang masih kurang dan terbatas dibandingkan yang telah dilakukan oleh Perhutani dengan konsep Kelompok Tani Hutan. Kejadian ini terus berlangsung hingga saat ini, yaitu setelah pengelolaan dilakukan oleh Resort Salak II BTNGHS.
Selain itu hal lain yang juga
menyebabkan kompleknya permasalahan pengelolaan wisata di GSE adalah sejarah masyarakat Lokapurna yang sebagian besar adalah pendatang dan status lahan yang belum jelas. Sebagaimana dijelaskan oleh Galudra (2003), konflik tenurial suatu daerah diduga terjadi akibat sejarah kawasan dan perubahanperubahan kebijakan. Lebih lanjut Galudra (2006); dan Rahmawati et al. (2008) menerangkan bahwa ketidakpastian hukum yang berlaku atas penguasaan hutan berkontribusi atas konflik tenurial hingga kini. Konflik antara masyarakat Lokapurna dengan BTNGH pun berlanjut ketika lahan
tersebut
masuk
dalam
perluasan
taman
nasional,
karena
ada
ketidaksepakatan masalah status dan akses terhadap lahan. Sejak serah terima fisik kawasan dari Perhutani kepada BTNGHS tahun 2009, pihak BTNGHS mengeluarkan perintah penghentian aktivitas di dalam kawasan. Walaupun pihak Resort Salak II BTNGHS sudah melakukan upaya-upaya dengan tetap memperbolehkan terhadap akses lahan, tetapi yang menjadi akar permasalahan adalah kejelasan status lahan Lokapurna. Masyarakat Lokapurna Gunung Sari menginginkan tukar guling tetapi masih mengalami kendala.
Pratiwi (2008)
menguraikan klaim BTNGH dengan menetapkan peraturan dan perundangan yang dianggap sepihak dan membuat pemetaan kawasan tanpa melakukan verifikasi lapangan; dan kurang optimalnya komunikasi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah selaku stakeholder kunci dan pasifnya peran PEMDA dalam menyikapi persoalan di lapangan menyebabkan masyarakat berkonfrontasi langsung dengan BTNGH. Resort Salak II dalam menjalankan tugasnya mengalami keterbatasan sumberdaya seperti keterbatasan dana, sumberdaya manusia (SDM) berjumlah 3 orang PNS dan 3 orang tenaga honorer, serta minimnya sarana dan prasarana. Dibandingkan dengan luas kawasan yang harus dikelola dan diawasi sumberdaya yang tersedia saat ini tidak mencukupi. Kegiatan wisata, belum memberikan kontribusi dana swadaya yang signifikan. Persoalan yang lain adalah belum terbangunnya kerjasama yang optimal dan saling menguntungkan antara BTNGH
45
dan para pihak seperti PEMDA, masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada di kedua desa. 4.4. Pengelolaan Obyek Dan Daya Tarik Wisata di GSE Obyek wisata yang ada di kawasan Gunung Salak Endah (GSE) telah lama dikelola oleh berbagai pihak diantaranya Perum Perhutani KPH Bogor, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor dan telah melibatkan masyarakat sekitar.
Pengelolaan oleh Perum Perhutani dengan mengembangkan program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan direalisasikan dengan membentuk Kelompok Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR) Gunung Bunder 2, bekerjasama dengan Pemerintah Desa Gunung Bunder 2. Sedangkan Disbudpar Kabupaten Bogor membentuk Kelompok Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR) Gunung Sari (Doro 1994; Wulaningsih 2004; Ulfah 2007; Agustina 2009 Rachmawati 2010). Perum Perhutani sebagai pengelola hutan di RPH Gunung Bunder 2, BKPH Leuwiliang KPH Bogor pada tahun 1998 membuka lokasi perkemahan, dikenal dengan nama Wana Wisata Gunung Bunder (WWGB) dan Wana Wisata Kawah Ratu (WWKR).
Obyek yang dikembangkan di WWGB diantaranya Bumi
Perkemahan Gunung Bunder, Curug Cihurang, Curug Ciampea, Curug Ngumpet dan Curug Cipatat. Obyek yang dikembangkan di WWKR diantaranya Kawah Mati I dan II dan Situ Hyang (Lampiran 1).
Disbudpar Kabupaten Bogor
mengelola obyek-obyek wisata diantaranya Pemandian Air Panas, Curug Cigamea, Curug Seribu Curug Ngumpet 2 yang secara administratif masuk ke Kampung Lokapurna Desa Gunung Sari. Sejak tahun 2003, kawasan GSE masuk ke dalam perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS), maka pengelolaannya berada dalam tanggung jawab Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pada akhir tahun 2010 Perum Perhutani menyerahkan fisik kawasan kepada BTNGHS dan pengelolaan WWGB dan WWKR diserahkan kepada BTNGHS, sedangkan Disbudpar Kabupaten Bogor masih mengelola kawasan GSE dibagian Kampung Lokapurna. Perubahan fungsi kawasan memberikan pengaruh terhadap perubahan pihak pengelola kawasan wisata an pengelolaan obyek dan daya tarik yang ada di dalamnya. Perubahan yang signifikan terjadi pada obyek-obyek yang berada di Desa Gunung Bunder 2 (Tabel 15), setelah serah terima fisik kawasan dari Pihak
46
Perum Perhutani kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Obyek wisata yang berada di Desa Gunung Bunder 2 pengelolaannya dibawah BTNGHS, sedangkan di Desa Gunung Sari, meskipun telah berubah pengelola, tetapi Disbudpar Kabupaten Bogor masih tetap mengelola dengan menempatkan petugas yang berstatus PNS. Tabel 15 Jenis-jenis usaha yang terdapat dalam setiap obyek wisata didalam TNGHS dan pihak pengelola setelah serah terima fisik kawasan No
Nama obyek Curug (Air Terjun) Cigamea
Lokasi
2
Sumber air panas
3
4
1
Jenis usaha
Sblm tahun 2010 Terdapat jenis-jenis usaha • Disbudpar yang dilakukan oleh • Desa masyarakat, berupa Gunung warung yang berjumlah 42 Sari unit, fish spa, toko • Masyarasouvenir yang berjumlah 5 kat unit, pedagang asongan berupa gorengan 7 unit, homestay 3 unit, pengelola parkir 3 unit, pengeloa outbond 1 unit dikelola oleh 2 orang, penjaga pintu gerbang berjumlah 15 orang. Penjaga pintu gerbang dijadwalkan secara bergilir, hari biasa 3-5 orang, sedangkan sabtu mnggu dan hari libur mencapai 4-7 orang.
Stlh tahun 2010 • Disbudpar • Desa Gunung Sari • Masyarakat
Kampung Lokapurna Desa Gunung Sari
Terdapat jenis-jenis usaha • Disbudpar yang dilakukan oleh • Desa masyarakat, berupa Gunung warung yang berjumlah 15 Sari unit, toko souvenir yang • Masyaraberjumlah 1 unit, kat pedagang asongan berupa gorengan 3 unit, villa 6 unit, pondok wisata 2 unit, pengelola parkir 3 unit, penjaga pintu gerbang 4 orang.
• Disbudpar • Desa Gunung Sari • Masyarakat
Curug Seribu
Kampung Rawa Lega Desa Gunung Sari
Terdapat jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat, berupa warung yang berjumlah 6 unit, pengelola parkir 2 unit, penyewa peralatan camping, penjaga pintu gerbang 2 orang
• Disbudpar • Masyarakat
• Disbudpar • Masyarakat
Curug
Kampung Pasir
Terdapat jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh
• Disbudpar • Masyara-
• Disbudpar • Masyara-
Kampung Rawa Bogo Desa Gunung Sari
47
No
Nama obyek Ngumpet
Lokasi
Jenis usaha
Reungit
masyarakat, berupa warung yang berjumlah 2 unit, pengelola parkir 2 unit, penjaga pintu gerbang 3 orang.
Desa Gunung Sari
Sblm tahun 2010 kat
Stlh tahun 2010 kat
Pada pintu gerbang • Disbudpar komplek ini terdapat jenis- • Perum jenis usaha yang dilakukan Perhutani oleh masyarakat, berupa • Masyarawarung yang berjumlah 8 kat unit , pemandu yang berjumlah 6 orang
• Disbudpar • BTNGHS • Masyarakat • Volunteer Gunung Bunder 2
Terdapat jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat, berupa warung yang berjumlah 20 unit dan penjaga pintu gerbang Gunung Bunder 2 2 yang berjumlah 17 orang. Penjaga pintu gerbang dilakukan secara bergiliran, hari biasa dijaga oleh 4 orang, sedangkan hari libur atau sabtu minggu dapat mencapai 8 – 10 orang.
• Perum Perhutani • Masyarakat • KOMPEP AR Gunung Bunder 2 • Desa Gunung Bunder 2
• BTNGHS • Masyarakat • KOMPEP AR Gunung Bunder 2 • Desa Gunung Bunder 2
Gunung Bunder 2
Terdapat jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat, berupa warung yang berjumlah 6 unit, pengelola parkir 1 unit, volunteer 6 orang. Volunteer yang berjaga dilakukan bergiliran, pada hari biasa berjumlah 2 orang dan pada sabtuminggu/hari libur 3-5 orang.
• Perhutani • Masyarakat • KOMPEP AR Gunung Bunder 2
• BTNGHS • Masyarakat • Volunteer Gunung Bunder 2
Gunung Bunder 2
Terdapat jenis-jenis usaha yang dilakukan oleh masyarakat, berupa warung yang berjumlah 3 unit, pengelola parkir 1 unit, volunteer 6 orang. Volunteer yang berjaga dilakukan bergiliran, pada hari biasa berjumlah 2 orang dan pada sabtuminggu/hari libur 3-4 orang.
• Perhutani • Masyarakat • KOMPEP AR Gunung Bunder 2 2
• BTNGHS • Masyarakat • Volunteer Gunung Bunder 2 2
5
Komplek Kawah Ratu (Kawah mati 1 dan 2 serta Situ Sanghyang)
Kampung Pasir Reungit Desa Gunung Sari
6
Bumi Gunung Perkemahan Bunder 2
7
Curug Cihurang
8
Curug Ngumpet
Sumber : KPH Bogor-Perum Perhutani, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bogor, BTNGHS dan Survei lapang 2011
48
Unit Usaha seperti warung-warung wisata yang berada dalam kawasan BTNGHS yang masuk wilayah Desa Gunung Bunder 2 memiliki jumlah yang relative tetap. Pengaturan yang dilakukan oleh pengelola BTNGHS ditaati oleh masyarakat Desa Gunung Bunder 2. Sebaliknya di Kampung Lokapurna Desa Gunung Sari lebih sulit dikendalikan dan dikontrol oleh pengelola BTNGHS. Warga Lokapurna dapat mendirikan warung, usaha parkir dan lainnya tanpa mengindahkan peringatan dari pengelola BTNGHS. Unit usaha yang ada di Desa Gunung Sari lebih banyak jumlahnya. Hasil wawancara dengan pemilik warung menunjukkan satu rumah tangga bisa memiliki lebih dari satu warung. Walaupun warung yang didirikan tidak permanen, tetapi jika terus menerus dilakukan akan membuat pentaan yang tidak beraturan. Selain usaha yang dilakukan di dalam obyek wisata, unit usaha yang dilakukan oleh masyarakat juga dilakukan di sekitar obyek wisata baik di dalam maupun di luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Usaha sarana prasarana wisata dilakukan oleh masyarakat baik secara individu maupun kelompok diantaranya adalah sebagai berikut: 4.4.1. The Micheal Resort The Micheal Resort merupakan suatu resor milik seorang pengusaha berasal dari Jakarta. Resort ini berdiri di areal seluas 2.7 Ha dan berada di dalam kawasan TNGHS. Areal bangunan hanya menggunakan 20 -30 persen dari keseluruhan luas tanah dan memiliki fasiitas yang mewah. The Micheal Resort memiliki misi membudidayakan dan melestarikan tanaman-tanaman langka Indonesia. Berbagai jenis bunga dan tanaman asli dan langka ditanam di sini seperti berbagai jenis anggrek dan jenis mawar asli Indonesia. Selain berbagai jenis tanaman langka dan asli Indonesia resort ini ditanami tanaman eksotik seperti agathis yang membentuk hutan tanaman. Rimbunnya hutan agathis menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk jogging dengan jalur-jalur yang ditata rapih. Terdapat sebelas villa dengan nama-nama tumbuhan yaitu Puspa, Pinus, Cemara, Okaria, Kenari, Anggrek, Tanjung, Eboni, Bambu, Pakis, Dammar, Cempaka dan Kemuning (www.themichaelresort.com). ruang meeting berkapasitas 80-100 orang, café
Selain villa terdapat
dengan konsep open space,
kolam renang dan lain-lain. Banyak paket-paket yang ditawarkan seperti foto pre wedding, paket Ramadhan, convention dan lainnya. dilakukan melalui kantor di Jakarta dan situs internet.
Promosi dan pemasaran
49
Pengelola resort ini melibatkan masyarakat sekitar untuk pekerjaan kasar seperti menjaga, menata dan membersihkan taman, cleaning service dan merawat kebun sebanyak 25 orang. Sedangkan satpam yang berjumlah 3 orang dan staf resort lainnya didatangkan dari luar daerah.
Pengunjung harus melakukan
reservasi terlebih dahulu, jika tidak maka tidak akan dilayani. Resort ini sangat tertutup bagi masyarakat sekitar. 4.4.2. Tirta Endah Kolam renang Tirta Endah terdapat di Desa Gunung Sari, tetapi berada di luar kawasan TNGHS. Harga tiket masuk pada hari biasa untuk anak-anak Rp 8.000,00; dewasa Rp 10.000,00; sedangkan pada hari libur tiket masuk untuk anak-anak Rp 1.000,00 dan dewasa Rp 12.000,00. Waktu buka wahana rekreasi ini dari jam 09.00 – 17.00 WIB. Kolam renang ini dibangun oleh warga Desa Gunung Sari yang berjumlah 12 orang, dengan fasilitas cukup lengkap yaitu kolam renang sebanyak lima kolam, kamar mandi dan kamar mandi, warungwarung wisata dan cinderamata. Pengelola kolam ini telah menjalin kerjasama dengan pihak BTNGHS dengan Nomor S.27/IV-T.13/SPTNW II/2008 untuk memanfaatkan air dari dalam kawasan. Pihak TNGHS berkewajiban melakukan pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan air (non komersil) untuk masyarakat, melakukan sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat sekitar.
Pihak pengelola berhak untuk
memanfaatkan air untuk tujuan non komersil sesuai arahan dari pihak BTNGHS; melakukan rehabilitasi terhadap kawasan sekitar mata air, dengan menanam tanaman asli antara lain: puspa, rasamala, pasang, huru dan lain-lain secara bertahap; dan mendapat bimbingan dari TNGHS.
Perjanjian kerjasama ini
berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang lagi berdasarkan hasil evaluasi. Pemilik dan Pengelola wahana ini menyatakan, mereka telah melakukan penanaman dengan melibatkan siswa Sekolah Dasar di areal yang berdekatan dengan mata air, dan perbukitan di dalam kawasan.
Pihak pengelola juga
bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor untuk pengadaan bibit. Obyek wisata ini telah dibuka sejak tahun 2009, dengan jumlah pengunjung yang terus menerus mengalami peningkatan. Pengelola telah memiliki izin dari Dinas Pariwisata, IPPT dan SIUP/NPWP dari instansi terkait.
Omset obyek
cukup besar, dari pendapatan yang dihasilkan dari usaha wahana wisata air,
50
dengan rincian 51% untuk penyusutan dari Bank selama 15 tahun; 28% pengelola yang berjumlah 12 orang; 5% untuk desa; 2% tes air dan sisanya untuk menggaji karyawan dan perbaikan saluran air dan sarana prasarana. Jumlah karyawan yang mengelola kolam renang sebanyak 42 orang yang bertugas menjaga pintu gerbang, kebersihan, keamanan, menjaga warung, dan memasak. Semua karyawan berasal dari masyarakat sekitar yaitu Desa Gunung Sari dan Gunung Picung. Selain itu, tahap pembangunan sarana prasana yang hingga saat ini masih berlangung mempekerjakan 25 orang juga berasal dari masyarakat sekitar. 4.4.3. Villa Rasamala Villa Rasamala, terletak di Kp. Pasir Reungit Desa Gunung Sari dan berada di dalam kawasan TNGHS. Konsep Villa Rasamala adalah "Resort bernuansa Alam Pedesaan" yang terdiri dari villa yang terbuat dari bambu dan kayu yang sangat alami. Saat ini terdapat 11 unit villa berbagai tipe yang sangat menarik ,2 unit pendopo untuk ruang pertemuan, bale – bale, jogging track, camping ground , area outbound, kolam renang dan pemancingan. Pemilik villa Rasamala adalah orang Jakarta, sedangkan pemasaran villa dilakukan oleh Tavindo Wisata Tours and Travel yang berkantor di Jakarta dan memiliki situs: web www.pondokrasamala.com.
Pengelolaan ditingkat lokal
dilakukan oleh Bapak Erwin dengan sistem bagi hasil sebesar 20% untuk Pak Erwin dan 80% untuk pemilik. Untuk mengurus dan menata villa, Pak Erwin merekrut masyarakat sekitar yang berjumlah 5 orang sebagai pekerja tetap dan 4 orang sebagai pekerja lepas. Pekerja tetap diberikan gaji bulanan, sedangkan pekerja lepas dipekerjakan secara berkala sesuai dengan kebutuhan Pemilik dan pengelola villa menawarkan paket-paket kepada pengunjung seperti paket company gathering, paket team building outbound, paket one day trip, dengan jumlah peserta dan harga yang fleksibel. Dengan berubahnya fungsi kawasan GSE, membuat pemilik villa ini berniat untuk mengurus izin usaha sarana prasarana kepada Menteri Kehutanan. 4.4.4. Rumah Wisata Pakis Asri Rumah wisata Pakis Asri terletak di Kampung Pasir Reungit Desa Gunung Sari, terdiri dari 8 villa, dan berada di dalam kawasan TNGHS. Fasilitas yang disediakan cukup lengkap seperti taman bermain anak, lapangan, cafe, kolam renang, balai pertemuan dan fasilitas lainnya. Pemiliknya berasal dari Jakarta,
51
mereka sudah memiliki tour and travel untuk mempromosikan Pakis Asri, baik melalui leaflet, brosur, internet dan lainnya. Untuk membantu pengelolaan di lokasi, pemilik villa merekrut Pak Agus sebagai Publik Relation sekaligus pengelola yang berasal dari penduduk Desa Gunung Sari. Pengelola
menawarkan
paket-paket
wisata
seperti
company/famili
gathering, tracking ke Kawah Ratu, Painball, fun team building, flying fox/high rope dan outbond training. Mereka bekerjasama dengan TNI-AD untuk peralatan dan instruktur outbond dan bermitra dengan cheep dari penduduk lokal untuk keperluan memasak makan.
Pengelola Pakis Asri telah melibatkan 10 orang
pekerja dari mulai tukang memasak/koki, petugas kebersihan, pemandu outbond dan lain sebagainya. Saat hari libur nasional dan sekolah, villa ini telah dipenuhi pengunjung. 4.4.5. Homestay Masyarakat Lokal Desa Gunung Sari terutama di Kampung Lokapurna yang masuk dalam kawasan TNGHS, terdapat banyak rumah-rumah penduduk yang disewakan kepada pengunjung. Dari mulai rumah yang sangat sederhana yaitu berdinding bambu dan beratap asbes/rumbia sampai rumah yang cukup bagus.
Mereka
menetapkan harga sangat fleksibel dari mulai Rp 50.000,00 per hari sampai ratusan ribu rupiah. Saat ramai pengunjung harga bisa melambung hingga dua kali lipat, tetapi mereka juga memiliki batas-batas toleransi yang tinggi seperti menerapkan sistem langganan. 4.4.6. Villa Bonisha Villa terletak di Desa Gunung Bunder 2 dan berada di luar kawasan TNGHS, berdiri di atas lahan seluas 7000 m2. Fasilitas yang disediakan cukup lengkap, terdiri dari 8 villa, kolam renang, kolam ikan, taman, tempat parkir dan areal bermain anak. Pemiliknya berasal dari Manado tetapi tinggal di Jakarta. Konsep villa ini adalah rumah adat Indonesia, dan digunakan untuk nama-nama villa yang ada didalamnya seperti villa Betawi, karena bentuknya seperti rumah betawi, manado dan lain sebagainya. Villa ini menawarkan view Gunung Salak dan sejuknya suasana pegunungan. Untuk menjaga keamanan dan kebersihan, menata dan mengurus villa, pemilik merekrut lima orang penduduk Gunung Bunder 2, dan satu orang sebagai koordinator.
Villa ini dikelola oleh pemiliknya dari mulai mempromosikan,
memasarkan sampai ada pembeli. Masyarakat Gunung Bunder 2 hanya bertugas
52
menjaga dan mengurus villa saja.
Pengunjung villa dapat memesan katering
kepada pengelola villa. 4.4.7. Villa Marijo Villa terletak di Desa Gunung Bunder 2 dan berada di luar kawasan TNGHS, berdiri di atas lahan seluas 1 Ha.
Fasilitas yang disediakan cukup
lengkap, terdiri dari villa, barak, aula, rumah kaca, kolam renang, kolam ikan, taman, tempat parkir dan areal bermain anak. Pemiliknya berasal dari Jakarta. Villa ini dibangun sejak tahun 1990 dan ramai dikunjungi tahun 1995. Semasa WWGB dikelola oleh Perum Perhutani, pemilik bekerjasama dengan Perum Perhutani untuk menyediakan akomodasi bagi pengunjung dan klien Perum Perhutani. Namun sejak tahun 2005 an banyak villa mulai dibangun di dalam kawasan TNGHS, villa ini menjadi sepi pengunjung. Pemilik villa merekrut masyarakat Desa Gunung Bunder 2 sebanyak 2 orang sebagai penjaga dan pengelola villa sebagai pegawai tetap digaji dengan sistem bulanan dan 4 orang untuk membersihkan dan menata tanaman sebagai pekerja lepas. Menurut pengelola villa, walaupun sejak tahun 2005 mulai sepi pengunjung, tetapi masih ada yang menginap terutama untuk acara keluarga.