PERSEPSI GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR
RESTI MEILANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Resti Meilani NRP E051050131
ABSTRACT RESTI MEILANI. The Perception of Teachers in relation to the Implementation of Environmental Education at Elementary Schools of Forest Margin Area, Gunung Salak Endah, Bogor Regency. Under direction of E.K.S. HARINI MUNTASIB and SOERYO ADIWIBOWO. This research aimed at identifying teacher’s perception of the environment, teacher’s perception of Environmental Education (EE) implementation, and the influencing factors. Data were collected through structured questionnaire, guided interview, field observation, as well as archives and secondary documents. Factor analysis, Spearman correlation, Kruskal-Wallis test, and Mann-Whitney test were used to analyse the data. The results showed that, first, according to the result of the Draw-An-Environment-Test (DAET), teachers from forest margin area have limited environmental perception due to lack of capacity in expressing their thoughts in drawings and writings. However, since writing and drawing are not yet internalized as an important behavior in education, the DAET instrument should be critically improved or revised to make it fits for developing countries such as Indonesia. Second, according to the result of Factor Analysis, the perception of teachers toward EE is constructed from three major factors, i.e. the EE teaching effectiveness, its benefits, and outcome expectancy. The first factor – the EE teaching effectiveness – is formed by four variables i.e. perceived competence, self-efficacy, pressure/tension and perceived choice. Further analysis shows that the teacher often views him or herself as having low competence and self-efficacy due to the EE course experience and his/her educational level. The second factor resulted from Factor Analysis – the EE benefits – is formed by three variables, i.e. interest/enjoyment, efforts, and usefulness of the EE course. The EE benefits itself, according to Kruskal-Wallis test, are determine by EE training course received, level of grade taught and the nature-based organizational experienced by the teachers. Third, in order to reach effective EE teaching, the capacity, motivation, perceived competence and selfefficacy of the teachers should be strengthen. This includes but not limited to the mastery of environment-related subjects particularly forest conservation topics, strengthen skills for outdoor teaching and increased compassion on the environmental issues and/or forest related problems.
Keywords: teacher, perception, environmental education implementation, elementary school, forest margin area, Gunung Salak Endah
RINGKASAN RESTI MEILANI. Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan SOERYO ADIWIBOWO.
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan, termasuk permasalahan hutan, dengan mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan untuk mengelola dengan baik. PLH dapat diterapkan melalui jalur pendidikan non formal di luar sekolah maupun jalur pendidikan formal di sekolah. Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Letak yang berdekatan dengan kawasan hutan memungkinkan guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan hutan, memuaskan rasa ingin tahu siswa sekaligus memupuk motivasi belajar siswa tentang hutan dan permasalahannya. Interaksi langsung dengan hutan akan meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan dan meningkatkan motivasinya untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Anak usia sekolah dasar (SD) umumnya memiliki inisiatif, imajinasi, rasa ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak produktif dan ketidakmampuan. Tahap perkembangan anak usia SD menjadikan masa SD sebagai masa yang ideal dan penting untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam mengembangkan potensi positif anak dan menjaga agar anak tidak berkembang ke arah negatif. Penerapan PLH di sekolah masih belum optimal, baik dari sisi ranah pendidikan maupun praktek pengajaran yang digunakan oleh guru. Umumnya guru merasa bahwa hambatan dalam melaksanakan PLH adalah keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa persepsi guru tentang lingkungan/hutan dan PLH mempengaruhi cara/praktek pengajaran dan peran serta guru dalam program-program PLH, namun penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan PLH khususnya di sekolah sekitar hutan di Indonesia masih sangat terbatas. Persepsi guru SD di sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH perlu diketahui untuk dapat menentukan upaya pengembangan profesionalitas yang dibutuhkan guru agar dapat menerapkan PLH secara optimal. PLH yang optimal akan dapat menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah sekitar hutan, yang meliputi persepsi tentang lingkungan, persepsi tentang penyelenggaraan PLH, dan faktor yang mempengaruhi persepsi. Penelitian dilakukan pada 4 SD contoh di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. SD dipilih dengan metode purposive sampling berdasarkan kriteria utama jarak
sekolah yang dekat dengan hutan (≤2 km). Responden guru berjumlah total 31 orang berasal dari SD contoh. Persepsi guru tentang lingkungan diukur menggunakan Draw-An-Environment Test (DAET) dan dianalisis menggunakan DAET Rubric (DAET-R) yang dikembangkan oleh Moseley dan Desjean-Perrotta (2010). Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi dan sikap guru terhadap PLH, menggunakan modifikasi skala Intrinsic Motivation Inventory (IMI, dikembangkan oleh Ryan 1982) dan adaptasi Environmental Education Efficacy Belief Instrument (EEEBI, dikembangkan oleh Sia 1992). Data juga dikumpulkan melalui wawancara terpandu, wawancara tidak terstruktur, pengamatan lapang, pengumpulan arsip dan dokumen, serta studi pustaka. Analisis dilakukan menggunakan statistik deskriptif, analisis faktor untuk merangkum kedelapan peubah motivasi dan sikap menjadi beberapa faktor/variate baru, serta korelasi Spearman, uji Mann-Whitney, dan Uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi persepsi guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, berdasarkan hasil DrawAn-Environment-Test (DAET), guru dari sekolah dasar sekitar hutan memiliki persepsi lingkungan terbatas yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru untuk mengekspresikan/mengungkapkan pemikiran atau gagasan yang dimilikinya dalam bentuk gambar dan tulisan. Hal ini dapat terjadi karena instrumen DAET yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya lebih terbiasa mengungkapkan pemikiran melalui gambar dan tulisan, sedangkan penggunaan gambar dan tulisan untuk mengungkapkan pemikiran masih belum membudaya sebagai perilaku yang penting dalam pendidikan di Indonesia. Instrumen DAET perlu diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut agar penggunaannya dapat sesuai dengan Negara berkembang seperti Indonesia. Kedua, hasil Analisis Faktor menunjukkan bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH dibangun dari tiga faktor utama, yaitu efektivitas pengajaran PLH, manfaat PLH dan luaran pengajaran PLH yang diharapkan. Faktor pertama – efektivitas pengajaran PLH – dibentuk dari empat peubah, yaitu kompetensi, efektivitas-diri, beban/tekanan, dan pilihan. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa guru seringkali memandang dirinya memiliki kompetensi dan efektivitas diri yang rendah dalam mengajar PLH yang dipengaruhi oleh PLH formal dan tingkat pendidikan yang dimiliki guru. Faktor kedua yang dihasilkan dari Analisis Faktor – manfaat PLH – dibentuk oleh tiga peubah, yaitu minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat PLH. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa faktor manfaat PLH ditentukan oleh PLH non formal yang diterima oleh guru, tingkat kelas yang diajar, dan pengalaman yang dimiliki oleh guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Faktor ketiga – luaran pengajaran PLH– terbentuk dari satu peubah, yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan oleh guru. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Analisis statistik lebih lanjut tidak menunjukkan ada nilai yang berbeda nyata, sehingga faktor yang mempengaruhi persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH tidak dapat ditentukan. Ketiga, guru membutuhkan peningkatan/penguatan kapasitas, motivasi, kompetensi dan efektivitas diri melalui berbagai kegiatan PLH agar dapat melakukan pengajaran PLH yang efektif. Kegiatan PLH bagi guru sebaiknya
tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan guru akan materi yang berkaitan dengan lingkungan, khususnya hutan dan konservasinya, tetapi juga sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan konservasi hutan, meningkatkan penguasaan guru akan metode pengajaran di luar kelas, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap lingkungan/hutan dan permasalahannya.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERSEPSI GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SEKOLAH DASAR SEKITAR HUTAN KAWASAN GUNUNG SALAK ENDAH KABUPATEN BOGOR
RESTI MEILANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Nurwanto, MM
Judul Tesis
Nama NRP
: Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor : Resti Meilani : E051050131
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS Ketua
Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 14 Desember 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini adalah persepsi, dengan judul Persepsi Guru dalam Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar Sekitar Hutan Kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS dan Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Nurwanto, MM selaku penguji luar komisi, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MSi selaku pimpinan sidang pada ujian tesis yang telah banyak memberi saran. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Kepala UPTK Dinas Pendidikan Kecamatan Pamijahan serta Para Kepala Sekolah dan Guru dari SDN Gunung Bunder 04, SDN Gunung Bunder 03, SDN Gunung Sari 01, dan SDN Gunung Picung 06 yang telah meluangkan waktu untuk menerima penulis dalam melaksanakan penelitian, Eva dan Tri yang telah memberikan semangat, dorongan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini, serta adik-adik alumni dan mahasiswa (Muthe, Arman, Wani, Panda, Jadda, Abay dan Robinson) yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami (Ismail) dan anak-anak (Sanabel dan Yadzka) tercinta, serta seluruh keluarga, atas segala pengertian, do’a, kasih sayang dan semangatnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2011
Resti Meilani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 14 Mei 1977 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Syaeful Bathir dan Ika Kartika (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dan mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis telah mengabdi sebagai asisten pengajar di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) Fakultas Kehutanan IPB sejak tahun 2000. Penulis diangkat sebagai staf pengajar tetap di DKSHE Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2005 dan sejak saat itu menjadi staf pengajar dari Bagian Rekreasi Alam dan Ekowisata.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi 1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) 2.1.1 Definisi, tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH ................... 7 2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH ........................................... 9 2.2 Persepsi Guru dalam Penerapan PLH 2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi ............................... 10 2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya ........... 11 2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya ......................................................................... 13
3
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 23 3.2 Hipotesis ........................................................................................... 24
4
BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu ............................................................................ 25 4.2 Bahan dan Alat ................................................................................. 25 4.3 Definisi Operasional .......................................................................... 25 4.4 Metode Penelitian ............................................................................. 26 4.4.1 Pemilihan Sekolah Contoh ....................................................... 26 4.4.2 Pemilihan Responden Guru ...................................................... 27 4.4.3 Pengumpulan Data ................................................................... 27 4.4.4 Pengolahan Data ...................................................................... 30 4.4.5 Analisis Data ............................................................................ 33
5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru ........................................ 35 5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi Persepsi ........................................................... 35 5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi Guru tentang PLH ............................................................................. 43
5.1.3 Faktor Situasi ........................................................................... 46 5.2 Persepsi Guru mengenai Lingkungan................................................. 49 5.3 Persepsi Guru mengenai Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) ......... 54 5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH ................. 54 5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH ....................... 65 5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor yang Mempengaruhinya ........................................................... 73 5.4 Upaya untuk Peningkatan Persepsi Guru tentang PLH ....................... 77 6
SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan .......................................................................................... 85 6.2 Saran ................................................................................................. 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 89 LAMPIRAN .................................................................................................. 95
DAFTAR TABEL Halaman 1
Jenis data dan metode pengumpulan data ................................................. 27
2
Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan ............. 36
3
Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh ................ 37
4
PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru ............................. 40
5
Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam 40
6
Pengalaman guru berinteraksi dengan alam .............................................. 41
7
Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana, dan pelaksanaan PLH di sekolah ..................................................................... 42
8
Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru ............. 45
9
Kondisi umum sekolah contoh ................................................................. 47
10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru .............................................. 50 11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru ............................ 51 12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala interest/enjoyment .......................................... 54 13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived competence .................................... 56 14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala effort/importance ........................................... 58 15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala pressure/tension............................................. 59 16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived choice ............................................ 60 17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala value/usefulness ............................................. 62 18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala self-efficacy belief/ personal EE teaching efficacy (PETE) ..................................................... 67 19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala outcome expectancy/ EE teaching outcome expectancy (ETOE) ................................................ 71
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003) .................... 10
2
Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001) .................................... 15
3
Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam Triandis 1971) ......................................................................................... 18
4
Skema kerangka penelitian persepsi guru dalam penerapan pendidikan lingkungan hidup di sekolah ................................................... 24
5
Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06 ...... 47
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4
Analisis Faktor ......................................................................................... 97 Analisis Nonparametrik (Nonparametric Correlations) ............................ 101 Uji Kruskal-Wallis ................................................................................... 102 Uji Mann-Whitney ................................................................................... 123
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kemerosotan kondisi lingkungan telah menjadi sorotan dunia internasional
selama beberapa dekade terakhir. Isu-isu lingkungan seperti kepunahan berbagai jenis keanekaragaman hayati, deforestasi, pencemaran lingkungan, penipisan ozon dan perubahan iklim global, telah mendorong berbagai pihak untuk melakukan upaya-upaya perbaikan.
Pendidikan merupakan sarana untuk mempersiapkan
sumberdaya manusia berkualitas yang akan mengelola lingkungannya. Undangundang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menguraikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak manusia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dikembangkan sebagai salah satu upaya
untuk
mengatasi
berbagai
permasalahan
lingkungan
dengan
mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk mengelola lingkungan dengan baik. Perkembangan PLH mulai didorong sejak diselenggarakannya konferensi PBB mengenai lingkungan manusia di Stockholm, Swedia yang merekomendasikan dibangunnya suatu program PLH internasional (Brauss dan Wood 1994). Lokakarya internasional diadakan pada tahun 1975di Belgrade, Yugoslavia untuk merumuskan definisi dan tujuan PLH yang dituangkan dalam Belgrade Charter (Brauss dan Wood 1994; Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya ditujukan untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat menjadi perilaku yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat meminimalkan dampak kegiatan manusia yang merugikan lingkungan (McKeown dan Hopkins 2005 diacu dalam Darner 2009). Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KLH 2004) dalam kebijakannya mendefinisikan PLH sebagai upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk
2 meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. KLH (2004) juga menyebutkan bahwa PLH dapat disampaikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan nonformal dan informal di luar sekolah, serta jalur pendidikan formal di sekolah. Zelezny (1999) diacu dalam Darner (2009) menyatakan bahwa PLH melalui jalur pendidikan formal di sekolah secara umum lebih efektif dibandingkan PLH melalui jalur pendidikan informal.
Sekolah
memiliki potensi yang besar untuk dapat membentuk SDM yang berkualitas dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Sekolah di sekitar hutan memiliki potensi untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Letak sekolah yang berdekatan dengan kawasan hutan memungkinkan guru untuk membawa siswanya berinteraksi langsung dengan hutan. Interaksi langsung dengan hutan akan memuaskan rasa ingin tahu siswa tentang hutan, meningkatkan kepekaan siswa terhadap hutan, sekaligus memupuk motivasi belajar siswa tentang hutan dan permasalahannya dan meningkatkan motivasinya untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Peran strategis sekolah dalam membentuk SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk melakukan upaya konservasi dapat dipenuhi dengan pengembangan PLH yang lebih ditekankan pada program Pendidikan Konservasi. Program Pendidikan Konservasi yang dikembangkan sebaiknya memuat berbagai materi berkaitan dengan konservasi hutan dalam ketiga ranah pendidikan, yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) maupun psikomotorik (keterampilan). Teori perkembangan rentang hidup yang dikembangkan oleh Erikson menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar (SD) memiliki inisiatif, imajinasi, rasa ingin tahu yang besar, serta semangat belajar dan motivasi mengerjakan tugas yang tinggi, namun pada masa ini pula muncul perasaan rendah diri, tidak produktif dan ketidakmampuan (Santrock 2008). Potensi yang dimiliki anak usia SD menyebabkan masa SD merupakan masa yang ideal dan penting untuk mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan, dan guru SD memegang peran penting dalam
3 mengembangkan potensi positif anak/siswa dan menjaga agar anak/siswa tidak berkembang ke arah negatif. Muntasib et al. (2009) menguraikan bahwa ada lima faktor kunci dalam model pendidikan hutan dan lingkungan (PHL) di sekolah (pendidikan hutan dan lingkungan merupakan bagian dari PLH yang dikembangkan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan materi pembelajaran yang lebih difokuskan pada hutan), yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua dan sarana pendidikan. Meskipun paradigma pendidikan telah mengalami pergeseran dari pendidikan yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa, namun tidak dapat dipungkiri bahwa guru masih memegang peranan yang sangat penting dalam dunia pendidikan.
Guru merupakan pribadi yang menjadi model dan
teladan bagi para siswanya.
Siagian (2004) menyatakan bahwa peran guru
terhadap sikap seorang anak merupakan pengaruh yang paling kuat, karena masa sekolah merupakan masa peletakan dasar bagi pengembangan kepribadian, nilai, dan sikap seseorang yang akan dianut sepanjang hidupnya.
Guru sebagai
motivator, inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk PLH, sehingga wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian (Muntasib 2002). KLH (2004) mengidentifikasi berbagai faktor yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan PLH di Indonesia terkait dengan pelaku pendidikan (guru), antara lain kurangnya pemahaman para pelaku pendidikan mengenai PLH, kurangnya komitmen pelaku pendidikan dalam memberikan PLH, penggunaan materi dan metode yang kurang memadai, serta sarana dan prasarana yang kurang memadai yang menjadi faktor penghambat motivasi dalam pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup.
Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan
memang dirasakan oleh guru sebagai masalah yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan PLH di sekolah. Namun penelitian Muntasib et al. (2009) menunjukkan bahwa faktor sarana dan prasarana tampaknya tidak menjadi penghambat bagi guru di SDN Gunung Bunder 04 dengan kondisi fisik dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang minim dibandingkan sekolah
4 contoh lainnya, yang ditunjukkan oleh metode pengajaran yang digunakan guru dan respon siswa yang lebih baik.
Lebih lanjut Muntasib et al. (2009)
menyatakan bahwa guru dengan persepsi dan motivasi yang baik terhadap pendidikan hutan dan lingkungan (sebagai bagian dari PLH yang dikembangkan oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor), serta memiliki penguasaan terhadap materi dan keterampilan mengajar yang memadai, akan dapat menyampaikan materi dengan baik kepada siswa. Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan semestinya tidak menjadi penghambat bagi guru dalam melaksanakan PLH di sekolah.
Persepsi guru
tentang penyelenggaraan PLH yang lebih berperan dalam mempengaruhi praktek pengajaran PLH oleh guru kepada siswa dan pada akhirnya mempengaruhi respon siswa.
Guru juga meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah,
sehingga persepsi/pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang penting untuk diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Persepsi guru tentang lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi praktek pengajaran PLH oleh guru kepada siswa, sehingga akan diteliti mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH. 1.2
Perumusan Masalah Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada dasarnya bertujuan untuk
merubah perilaku individu menjadi perilaku yang positif terhadap lingkungan (perilaku ramah lingkungan). Kenyataannya upaya pelaksanaan PLH di sekolahsekolah secara umum baru sampai pada tahap peningkatan pengetahuan, belum mampu mendorong terjadinya perubahan perilaku siswa menjadi lebih ramah lingkungan. Para guru umumnya merasa bahwa keterbatasan sarana dan prasarana, seperti fasilitas pendidikan dan buku sumber/ajar mengenai PLH, menjadi faktor yang menghambat pelaksanaan PLH di sekolah, sehingga pelaksanaan PLH di sekolah menjadi terbatas pada materi yang ada pada mata ajaran inti. Metode yang digunakan oleh guru juga masih terbatas pada metode ceramah dan diskusi. Namun demikian penelitian yang dilakukan oleh Muntasib et al. (2009) menunjukkan bahwa pada sekolah-sekolah, ada guru yang dapat melaksanakan
5 PLH dengan baik dalam kondisi sekolah yang serba terbatas, yang telah menggunakan berbagai metode dan media untuk mengajarkan PLH kepada siswanya, melalui kegiatan observasi lapang dengan interaksi yang intensif dengan alam sekitar, serta menuangkannya dalam nyanyian tentang alam tersebut. Perbedaan praktek pengajaran guru tersebut menunjukkan adanya pengaruh suatu faktor dalam diri guru. Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya pengaruh persepsi guru tentang praktek pengajaran dan peran serta guru dalam kegiatan pengajaran. Smith-Sebasto (2007) menunjukkan bahwa peran serta guru dalam program PLH residensial, yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada peserta untuk berinteraksi dengan alam, dipengaruhi oleh persepsi guru bahwa program PLH residensial tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya. Hardre dan Sullivan (2008) telah merangkum dari berbagai penelitian bahwa perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar dan memotivasi siswa sehingga mempengaruhi respon siswa. Desjean-Perrotta et al. (2008) menyatakan bahwa konsepsi yang dimiliki oleh calon guru mengenai lingkungan
akan
mempengaruhi
pengajarannya
mengenai
lingkungan.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa praktek dan peran serta guru dalam pengajaran PLH di sekolah dipengaruhi oleh persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH. Kondisi tersebut menimbulkan pemikiran bahwa pelaksanaan/penerapan PLH di sekolah saat ini masih belum dapat mendorong timbulnya perilaku ramah lingkungan pada siswa karena sebetulnya guru belum memiliki persepsi yang baik/tinggi tentang lingkungan maupun penyelenggaraan PLH, bukan sematamata karena keterbatasan sarana prasarana seperti yang selama ini banyak dijadikan alasan.
Penelitian mengenai persepsi guru tentang lingkungan dan
penyelenggaraan PLH masih sangat terbatas, terutama pada sekolah-sekolah dasar yang terletak di sekitar hutan. Pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH masih belum terjawab, sedangkan upaya penerapan PLH di sekolah tentunya perlu dioptimalkan agar dapat membentuk generasi penerus berkualitas, yang memiliki kesadaran, pengetahuan, sikap dan keterampilan memadai untuk mengelola
6 lingkungan dan melakukan upaya konservasi hutan, serta memiliki motivasi dan peran serta dalam pengelolaan lingkungan dan konservasi hutan. Persepsi guru SD di sekitar hutan tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH
perlu
diketahui
untuk
dapat
menentukan
upaya
pengembangan
profesionalitas yang dibutuhkan guru agar dapat menerapkan PLH secara optimal, sehingga dapat menghasilkan siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah dasar sekitar hutan sebagai salah satu upaya awal untuk mengoptimalkan penyelenggaraan PLH di Indonesia dan mempersiapkan SDM yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk ikut serta dalam upaya konservasi hutan. 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persepsi guru sekolah dasar
di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah Kabupaten Bogor dalam penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup. Secara rinci penelitian ini dilakukan untuk: 1.
Mengidentifikasi
faktor
obyek/sasaran,
situasi
dan
individu
yang
mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH, 2.
Mengidentifikasi persepsi guru tentang lingkungan,
3.
Mengidentifikasi persepsi guru tentang penerapan/penyelenggaraan PLH.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian akan dapat memberikan masukan dalam membangun
persepsi
guru
tentang
lingkungan
dan
penyelenggaraan
PLH
untuk
penyempurnaan penerapan/penyelenggaraan PLH di sekolah, sehingga dapat membentuk SDM yang tidak hanya memiliki kemampuan, namun juga motivasi untuk ikut serta dalam penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan, khususnya upaya konservasi hutan.
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)
2.1.1 Definisi, Tujuan, Sasaran dan Perkembangan PLH Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) berawal dari dua program pendidikan yang lebih banyak dilakukan di alam dengan tujuan untuk latihan, pengamatan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan kesenangan (Ford 1981). PLH didefinisikan sebagai suatu proses untuk membangun/mengembangkan populasi dunia yang sadar dan memiliki keprihatinan akan lingkungan secara keseluruhan beserta permasalahan terkait, dan yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan bersama dalam memecahkan permasalahan yang ada dan mencegah timbulnya permasalahan baru (UNESCO 1978 diacu dalam Monroe, Day dan Grieser 2000; Braus dan Wood 1994). Rekomendasi No. 1 dari Konferensi Antar-Pemerintah mengenai PLH yang diadakan di Tbilisi, USSR, pada Oktober 1977 (UNESCO 1980 diacu dalam Biswas dan Biswas 1982) menyatakan bahwa tujuan dasar PLH adalah keberhasilan dalam membuat individu dan masyarakat memahami sifat alamiah lingkungan alam dan buatan yang kompleks yang dihasilkan dari interaksi aspekaspek biologis, fisik, sosial, ekonomi dan budaya, dan agar individu dan masyarakat tersebut mendapatkan pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan praktis untuk berperan serta secara bertanggungjawab dan efektif dalam mengantisipasi dan memecahkan masalah-masalah sosial dan mengelola kualitas lingkungan. PLH pada dasarnya ditujukan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan yang dibutuhkan agar masyarakat dapat mengelola lingkungan hidupnya secara berkelanjutan. Ada lima sasaran PLH yang diidentifikasi dalam Konferensi Antarpemerintah Persatuan Bangsa-Bangsa mengenai PLH (Unesco 1978 diacu dalam Monroe, Day, dan Grieser 2000 dan Brauss dan Wood 1994), yaitu: 1.
Kesadaran – membantu peserta didik untuk mendapatkan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan secara keseluruhan dan permasalahan terkait.
8 2.
Pengetahuan – untuk mendapatkan beragam pengalaman dan pemahaman mendasar mengenai lingkungan dan permasalahan terkait.
3.
Sikap – untuk mendapatkan serangkaian nilai dan rasa keprihatinan akan lingkungan dan motivasi untuk berperan secara aktif dalam pengembangan dan perlindungan lingkungan.
4.
Keterampilan – untuk mendapatkan keterampilan dalam mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan lingkungan.
5.
Partisipasi – untuk mendorong warga masyarakat agar terlibat aktif pada semua level dalam mencari resolusi permasalahan lingkungan. Perkembangan PLH di Indonesia tidak terlepas dari Konferensi PBB tentang
lingkungan hidup sedunia yang dikenal dengan Konferensi Stockholm, Juni 1972 (Pokja PKSDHL 1998). Pokja PKSDHL (1998) menguraikan bahwa berbagai usaha telah dilakukan sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap deklarasi Stockholm, antara lain pengembangan Lembaga Ekologi oleh Universitas Padjajaran Bandung, berbagai kebijakan pemerintah, penyusunan Garis-garis Besar
Program
Pengajaran
Pendidikan
Lingkungan
Hidup.
Dalam
perkembangannya PLH terwujud dalam berbagai bentuk, seperti Pendidikan Hutan dan Lingkungan (PHL), Pendidikan Konservasi (PK), Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH), serta Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (PuPB). Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2004 menerbitkan Kebijakan PLH yang menguraikan bahwa PLH dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, non-formal maupun informal. Zelezny (1999) diacu dalam Darner (2009) menyatakan bahwa umumnya PLH formal lebih efektif daripada PLH informal. PLH formal adalah kegiatan pendidikan di bidang lingkungan hidup yang diselenggarakan melalui sekolah, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi dan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang dengan metode pendekatan kurikulum yang terintegrasi maupun kurikulum yang monolitik/tersendiri (KLH 2004). Pada tahun 2007 Gubernur Jawa Barat telah menerbitkan kebijakan yang mendorong pelaksanaan PLH formal di sekolah secara lebih intensif, sehingga semakin meningkatkan peran guru dalam penerapan PLH di sekolah.
9 2.1.2 Peran Guru dalam Penerapan PLH UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menempatkan guru sebagai pendidik, yaitu tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 ayat (2) UU Sisdiknas tersebut menguraikan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban untuk (a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis, (b) mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Guru adalah orang yang menterjemahkan filosofi dan tujuan pendidikan menjadi pengetahuan dan keterampilan dan mentransfernya kepada siswa (Ofoegbu 2004). Muntasib (2002) menyebutkan bahwa guru sebagai motivator, inisiator, dinaminator, fasilitator serta transformator pengetahuan, keterampilan dan sikap peserta didik merupakan salah satu unsur penting yang menentukan berhasil-tidaknya penyelenggaraan program pendidikan, termasuk PLH, sehingga wawasan dan kesiapan guru perlu mendapat perhatian. Guru memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk sikap anak (sebagai siswanya), karena masa sekolah merupakan masa peletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pengembangan kepribadian, nilai dan sikap seseorang (Siagian 2004). Muntasib et al. (2009) menyatakan bahwa guru merupakan salah satu faktor kunci dalam penerapan PLH melalui jalur formal di sekolah (Muntasib et al. 2009). Kurangnya tenaga guru yang terlatih merupakan salah satu hal yang menghambat pelaksanaan PLH di sekolah pada Negara-negara Asia Pasifik (Nirarita 2003), sedangkan pelaksanaan PLH di sekolah sangat dipengaruhi oleh keterampilan dan komitmen guru serta dukungan yang didapat guru dari kepala sekolah dan sesama rekan guru. Sedemikian besar peran guru dalam penerapan PLH di sekolah sehingga guru perlu mendapatkan perhatian besar, terutama dalam hal peningkatan kemampuan guru untuk menerapkan PLH.
10 2.2
Persepsi Guru dalam Penerapan PLH
2.2.1 Definisi dan Proses Pembentukan Persepsi Persepsi berhubungan dengan pendapat dan penilaian individu terhadap suatu stimulus, baik berupa benda, isyarat, informasi maupun situasi dan kondisi tertentu, yang akan berakibat terhadap motivasi, kemauan, dan perasaan individu terhadap stimulus tersebut (Langevelt 1966 diacu dalam Harihanto 2001). Persepsi dapat dipahami dengan melihatnya sebagai suatu proses aktif yang dilakukan seseorang untuk memberikan makna tertentu kepada lingkungannya (manusia, obyek, peristiwa, situasi dan fenomena-fenomena lainnya) dengan memilih,
mengorganisasikan dan
menginterpretasikan lingkungan tersebut
(Robbins 2003; Siagian 2004; Robbins 2005; Wood 2007). Proses aktif tersebut terdiri dari tiga proses yang kontinyu dan saling berpadu, yaitu seleksi/pemilihan, pengorganisasian, dan interpretasi stimulasi terhadap sensori/indera sehingga menjadi suatu gambaran dunia yang bermakna dan koheren (Berelson dan Steiner 1964 diacu dalam Severin dan Tankard 1979; Wood 2007). Faktor Individu: Sikap Motif Minat/keinginan Pengalaman Harapan Faktor Situasi: Waktu Suasana/Kondisi kerja Kondisi Sosial
Persepsi
Faktor Obyek/Sasaran: Kebaharuan/Novelty Pergerakan Suara Ukuran Latarbelakang Kedekatan Kemiripan Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins 2003).
11 Persepsi (kognisi/pandangan) terbentuk saat seseorang melihat obyek yang terorganisasi dan mengenalinya sebagai obyek yang bermakna, memilih obyek, dan memilih karakteristik obyek yang sesuai dengan konsepsinya mengenai dunia (Krech et al. 1965). Severin dan Tankard (1979) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi sejumlah faktor psikologis yang meliputi asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman masa lalu (yang seringkali bekerja pada suatu tingkatan yang hampir tidak disadari), harapan-harapan budaya, motivasi (kebutuhan), mood/suasana hati, dan sikap. Robbins (2003, 2005) dan Siagian (2004) menguraikan bahwa persepsi dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait dengan karakteristik individu, obyek atau sasaran, dan situasi (Gambar 1). Wood (2007) menjelaskan bahwa individu-individu berbeda dalam menangkap suatu situasi dan orang, dan perbedaan tersebut antara lain dipengaruhi oleh faktor fisiologis (kemampuan alat indera dan kondisi fisiologis), umur (dan pengalaman), budaya, peran dalam masyarakat (pengaruh sosial), kemampuan kognitif, dan kepribadian individu. Dengan demikian, semua persepsi selalu parsial dan subyektif; parsial karena individu tidak mampu menangkap semua hal, dan subyektif karena persepsi dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut. Guru membawa dua persepsi dalam dirinya di dalam penerapan PLH di sekolah, yaitu persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran. Persepsi guru tentang lingkungan akan diteruskan kepada siswanya, sedangkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH sebagai sebuah program pengajaran akan mempengaruhi guru dalam memilih metode dan media untuk menyampaikan materi kepada siswa, yang selanjutnya akan mempengaruhi hasil belajar siswa. 2.2.2 Persepsi Guru tentang Lingkungan dan Pengukurannya Ilmu lingkungan mengenal konsep “persepsi mengenai lingkungan (environmental perception)”, yang didefinisikan sebagai cerminan penglihatan, kekaguman, kepuasan, serta harapan individu terhadap lingkungan (Edmund dan Letey 1973 diacu dalam Harihanto 2001). Haryadi dan Setiawan (1995) diacu dalam Harihanto (2001) menguraikan persepsi tentang lingkungan adalah interpretasi tentang suatu seting (lingkungan) oleh individu, yang didasarkan pada latar belakang budaya, nalar dan pengalaman, sehingga setiap individu dapat
12 memiliki persepsi lingkungan yang berbeda meskipun dimungkinkan beberapa kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip. Persepsi tentang lingkungan juga diuraikan sebagai model mental atau gambaran yang dimiliki oleh seseorang mengenai lingkungan yang digunakannya untuk memberikan makna bagi peristiwa yang terjadi di sekitarnya (Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungannya. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar tentang lingkungan, kemungkinan besar orang tersebut berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan (Surata 1993 diacu dalam Muntasib 2002).
Hal tersebut dapat
dijelaskan dengan pernyataan Heathcote (1980) bahwa persepsi tentang lingkungan tidak hanya mencerminkan skala peristiwa dan hubungan individu dengan peristiwa tersebut, namun juga mencerminkan beragam motif yang tersirat dalam sikap individu terhadap lingkungan. Siagian (2004) juga menyatakan bahwa persepsi seseorang mengenai lingkungan akan sangat berpengaruh pada perilakunya dan akan menentukan faktor-faktor apa yang dipandang sebagai faktor motivasional yang kuat. Edmund & Letey (1973) diacu dalam Muntasib (2002) menyampaikan bahwa salah satu sebab timbulnya masalah lingkungan adalah kegagalan untuk memiliki persepsi-persepsi yang benar tentang lingkungan sebagai suatu keseluruhan dan untuk memahami serta menerima ketergantungan dasar dalam sistem ekologi termasuk manusia. Asngari (1984) diacu dalam Harihanto (2001) mengatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungannya merupakan faktor penting, karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Guru meneruskan persepsi mereka kepada siswanya di sekolah, sehingga pemahaman guru mengenai lingkungan menjadi hal yang penting untuk diidentifikasi (Desjean-Perotta et al. 2008). Potensi terjadinya kesalahpahaman dan pembentukan konsepsi yang salah mengenai lingkungan pada siswa akan dapat diidentifikasi dengan memahami persepsi guru tentang lingkungan. Guru yang memiliki persepsi yang benar/positif mengenai lingkungan kemungkinan besar akan berperilaku positif terhadap lingkungan, yaitu perilaku yang ramah lingkungan.
Perilaku yang positif/ramah lingkungan ini akan dapat menjadi
teladan/contoh yang baik dan tepat bagi siswa. Keteladanan dari guru merupakan
13 salah satu cara yang baik dalam mengajarkan PLH kepada siswa, karena belajar PLH juga belajar melalui keteladanan. Penelitian ini menggali persepsi guru tentang lingkungan yang dibatasi pada gambaran mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan. Persepsi guru tentang lingkungan tersebut digali dengan menggunakan metode survey Draw-AnEnvironment Test (DAET) yang terdiri dari dua bagian, yaitu (1) guru diminta untuk membuat gambar lingkungan, dan (2) guru diminta menuliskan definisi mereka mengenai lingkungan dengan melengkapi sebuah kalimat terbuka (Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010).
Tulisan
merupakan refleksi/cerminan dari persepsi dan pengetahuan guru mengenai lingkungan (Desjean-Perrotta et al. 2008) sedangkan gambar merupakan representasi atau gambaran model mental atau citra seseorang sebagai salah satu cara untuk menganalisa kepercayaan pribadi (Thomas, Pederson dan Finson 2001 diacu dalam Moseley dan Desjean-Perrotta 2010) guru terhadap lingkungan. Penilaian DAET didasarkan pada konsep mengenai lingkungan dalam NAAEE Guidelines, yaitu interdependensi, pendekatan sistem dan interaksi empat faktor pembentuk lingkungan, yaitu: manusia, organisme hidup/biotik lainnya, lingkungan fisik/abiotik dan lingkungan buatan (Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). 2.2.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Pengukurannya Perbedaan individu dan persepsi guru dapat mempengaruhi cara guru mengajar dan memotivasi siswa (Brophy dan Good 1974; Skinner dan Belmont 1993; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Motivasi yang terbentuk pada siswa selanjutnya akan mempengaruhi luaran-luaran penting terkait sekolah, seperti misalnya perhatian, upaya, tujuan, kualitas kerja, perilaku, kesejahteraan, skor ujian, peringkat, dan penyelesaian sekolah (Hidi dan Harackiewicz 2000; Linnenbrink dan Pintrich 2002a; Pintrich 2003; Reeve 1996; diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Perbedaan individu guru (seperti umur, gender, pengalaman mengajar) dan perbedaan kontekstual guru (seperti mata ajaran dan tingkat kelas yang diajar) dapat mempengaruhi praktek pengajaran guru (Hardre dan Sullivan 2008). Umur dan gender telah terbukti relevan terhadap seberapa dekat guru mendukung dan
14 menjalin hubungan interpersonal dengan siswanya (Jacobs et al. 1998 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Pengalaman mengajar terkait dengan fleksibilitas dan kepercayaan diri guru, yang mempengaruhi praktek kelas (Bransford, Brown, dan Cocking 1999 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Mata ajaran dan tingkat kelas yang diajarkan dapat mempengaruhi upaya dan investasi guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan kisaran yang sempit ataupun lebar (Lemke 1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008). Penelitian mengenai persepsi guru tentang program PLH residensial (yaitu program PLH menginap yang memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk berinteraksi dengan alam) di New Jersey School of Conservation mengungkapkan bahwa para guru merasa bahwa pendidikan lingkungan seharusnya dimasukkan dalam persiapan akademik para siswanya karena memiliki pengaruh positif, dan para guru yang terlibat langsung memandang program PLH residensial tersebut sebagai suatu tuntutan pekerjaan (Smith-Sebasto 2007). Simmons (1988) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) menyatakan bahwa para guru ikut serta dalam program PLH residensial karena memiliki persepsi bahwa program tersebut memberikan pengaruh positif bagi siswanya; karena percaya bahwa program tersebut memberikan siswa kesempatan pertumbuhan personal dan sosial serta memberi kesempatan untuk lebih mempelajari lingkungan dan diri mereka sendiri; para siswa menikmati keberadaan mereka di alam dan menikmati pengalaman itu sendiri. Schartner (2000) diacu dalam Smith-Sebasto (2007) mengungkapkan bahwa para guru mengikuti program PLH residensial karena merasa bahwa mereka diharapkan untuk mengikuti program tersebut jika mengajar pada tingkat kelas tertentu, yang berdasarkan keputusan administratif atau lingkup sekolah, sesuai untuk mendapatkan pengalaman di alam. Penelitian Muntasib et.al. (2009) yang dilaksanakan di 2 Sekolah Dasar (SD) contoh (SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Picung 05) dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMPN I Pamijahan) di Kabupaten Bogor, serta 2 SD (SDN Lembur Sawah 03 dan SDN Bojongwaru) di Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa persepsi guru dari SDN Gunung Bunder Kabupaten Bogor yang memandang PLH/PHL bukan hanya sebagai beban tugas namun juga sebagai sesuatu hal yang penting dan bernilai positif bagi siswanya serta motivasi yang baik dari guru di
15 SDN tersebut untuk menerapkan PLH/PHL di sekolahnya telah memberikan hasil pengetahuan dan pemahaman siswa yang relatif lebih luas dibandingkan empat sekolah contoh lainnya. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH akan mempengaruhi peran serta guru dalam kegiatan PLH dan cara guru mengajarkan PLH kepada siswanya, dan pada akhirnya mempengaruhi respon siswa. Artinya bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH merupakan hal yang penting untuk diidentifikasi sebagai langkah awal untuk mencapai efektivitas pengajaran PLH. Robbins (2003) menguraikan bahwa motif/motivasi dan sikap merupakan bagian dari faktor individu yang mempengaruhi terbentuknya persepsi. Dengan demikian, persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH dapat diidentifikasi berdasarkan motivasi guru dalam mengajar PLH dan sikap guru terhadap PLH. Motivasi guru dalam mengajar PLH Motivasi guru secara alamiah berkaitan dengan sikap guru terhadap pekerjaannya, yaitu hasrat/keinginan untuk berperan serta dalam proses-proses pedagogis (pembelajaran) di dalam lingkungan sekolah, minat/perhatian guru terhadap disiplin siswa dan kendali di dalam kelas, sehingga menjadi dasar keterlibatan guru dalam kegiatan-kegiatan akademik dan non-akademik di sekolah (Ofoegbu 2004).
Ryan dan Deci (2000) dalam Teori Determinasi-Diri (Self-
Determination Theory - SDT) membedakan berbagai tipe motivasi berdasarkan alasan atau tujuan yang menyebabkan dilakukannya suatu tindakan, yaitu amotivasi, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik yang berada pada suatu kontinum determinasi-diri yang semakin tinggi (Gambar 2). Perilaku
Non determinasi diri
Tipe Motivasi
Amotivasi
Determinasi-diri Motivasi Ekstrinsik
Motivasi Intrinsik
Tipe Regulasi Regulasi ter- Regulasi ter- Regulasi ter- Regulasi Non-regulasi Pengaturan/ Eksternal introjeksi identifikasi integrasi intrinsik Regulasi Lokus Agak Agak Impersonal Eksternal internal internal Kausalitas eksternal internal Gambar 2 Kontinum determinasi-diri (Deci dan Ryan 2001).
16 Amotivasi adalah suatu kondisi saat seseorang kurang memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dan kurang memiliki motivasi, yaitu saat mereka tidak mampu untuk mengatur diri sendiri dalam suatu perilaku tertentu (Pelletier et al. 1999 diacu dalam Deci dan Ryan 2001).
Motivasi intrinsik mengacu pada
perilaku yang dilakukan karena secara melekat perilaku tersebut bersifat menarik dan menyenangkan (Ryan dan Deci 2000). Perilaku tersebut memiliki internal perceived locus of causality/lokus kausalitas yang dirasa berasal dari dalam (deCharms 1968 diacu dalam Niemic dan Ryan 2009).
Motivasi ekstrinsik
merupakan suatu konstruk yang terjadi saat suatu aktivitas dilakukan untuk memperoleh suatu luaran tertentu yang terpisah dari aktivitas itu sendiri (Ryan dan Deci 2000), yang dikelompokkan menjadi empat tipe motivasi berdasarkan derajat otonomi yang dialami individu, yaitu regulasi eksternal, regulasi terintrojeksi, regulasi teridentifikasi dan regulasi terintegrasi (Niemic dan Ryan 2009), yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut: 1) Regulasi eksternal.
Perilaku dilakukan untuk mendapatkan penghargaan
(reward) atau menghindari hukuman (punishment). 2) Regulasi terintrojeksi.
Perilaku dilakukan untuk memuaskan kontingensi
internal, seperti peningkatan-diri atau menghindari penghinaan-diri. Salah satu tipe regulasi terintrojeksi adalah keterlibatan ego yang mengacu pada harga diri (self-esteem) seseorang sebagai bagian dari performanya.
Ego
memberikan tekanan internal untuk menghindari rasa malu atau untuk merasa diri berguna. 3) Regulasi teridentifikasi. Perilaku dilakukan karena dianggap bernilai atau penting bagi individu tersebut. 4) Regulasi terintegrasi merupakan tipe motivasi ekstrinsik yang paling bersifat otonomi. Regulasi yang teridentifikasi telah bersintesis dengan aspek lainnya dalam pribadi seseorang, sehingga dorongan yang timbul dirasakan berasal dari diri seseorang. Brookhart dan Freeman (1992) diacu dalam Watt dan Richardson (2008) menyebutkan bahwa motivasi intrinsik, ekstrinsik dan altruistik telah disoroti sebagai kelompok alasan yang paling penting bagi seseorang dalam memutuskan untuk mengajar. Vallerand, et al. (2008) menyatakan bahwa motivasi intrinsik
17 akan memberikan luaran yang paling positif.
Motivasi intrinsik dapat diukur
dengan dua cara, yaitu dengan ukuran keperilakuan dari motivasi intrinsik yang disebut “free choice” atau kebebasan memilih (Deci 1971 diacu dalam Ryan dan Deci 2000), dan penggunaan self-report atau laporan-pribadi mengenai dayatarik dan kesenangan dari suatu aktivitas itu sendiri (Ryan 1982; Harackiewicz 1979 diacu dalam Ryan dan Deci, 2000). Robbins (2003) menguraikan mengenai model motivasi intrinsik Ken Thomas yang berpendapat bahwa motivasi intrinsik akan dicapai jika orang mengalami perasaan choice (memilih), competence (kompeten), meaningfulness (berarti), dan progress (kemajuan), yang diuraikan sebagai berikut: 1.
Choice adalah kesempatan untuk dapat memilih aktivitas tugas yang masuk akal bagi seseorang dan melakukannya dengan cara yang dirasa sesuai.
2.
Competence adalah pencapaian yang dirasakan saat dengan terampil melakukan aktivitas tugas yang dipilih.
3.
Meaningfulness adalah kesempatan untuk mengejar tujuan tugas yang berharga, tujuan yang berarti di dalam skema hal-hal yang lebih besar.
4.
Progress adalah perasaan bahwa seseorang membuat kemajuan yang nyata dalam mencapai tujuan tugas. Motivasi guru untuk mengajar PLH dapat diukur berdasarkan daya tarik dari
kegiatan mengajar PLH dan kesenangan/kenikmatan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH, rasa memiliki kompetensi/kemampuan untuk mengajar PLH, upaya yang dicurahkan dalam pengajaran PLH, nilai/manfaat pengajaran PLH bagi guru, tekanan dan beban yang dirasakan guru dalam mengajarkan PLH, serta rasa adanya kebebasan memilih dalam mengajar PLH.
Ryan (1982) telah
mengembangkan skala untuk mengukur motivasi intrinsik yang disebut sebagai Intrinsic Motivation Inventory (IMI scale) yang terdiri dari subskala interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, value/usefulness, pressure/tension, dan perceived choice. Sikap guru terhadap PLH Sikap merupakan suatu pernyataan evaluatif seseorang terhadap obyek, orang atau peristiwa tertentu, yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu (Siagian 2004; Robbins 2003, 2005). Hollander (1981) menyatakan ada
18 dua hal mendasar mengenai sikap, yaitu bahwa (1) sikap memberikan dasar untuk menginterpretasikan dunia dan memproses informasi baru, dan (2) sikap merupakan suatu cara untuk memperoleh dan mempertahankan identifikasi sosial. Triandis (1971) menguraikan bahwa sikap adalah suatu gagasan yang didorong oleh emosi yang mempengaruhi kecenderungan sekelompok tindakan terhadap suatu kelompok situasi sosial tertentu. Definisi tersebut menggambarkan bahwa sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, komponen afektif dan komponen konatif/perilaku (Triandis 1971; Shavitt dan Brock 1994; Azwar 1995; Robbins 2003, 2005).
Variabel bebas terukur
Variabel antara
AFEKSI
STIMULI (individu, situasi, isu-isu sosial, kelompok-kelompok sosial, dan “obyekobyek sikap” lainnya)
Variabel terikat/tak bebas terukur
Respon sistem syaraf simpatetik Pernyataan verbal afeksi
Respon perseptual SIKAP
KOGNISI
PERILAKU
Pernyataan verbal tentang kepercayaan
Tindakan nyata Pernyataan verbal terkait perilaku
Gambar 3 Konsepsi skematis sikap (Rosenberg dan Hovland 1960 diacu dalam Triandis 1971) Hollander (1981) menguraikan bahwa komponen kognitif kepercayaanketidakpercayaan adalah hal-hal yang telah dipelajari oleh seorang individu mengenai sesuatu hal yang membentuk kepercayaan-ketidakpercayaan terhadap hal tersebut; komponen afektif suka-tidak suka mengacu pada emosi seorang
19 individu, sedangkan komponen aksi adalah kesiapan untuk berperilaku sejalan dengan sikap yang dimiliki seorang individu. Mann (1969) diacu dalam Azwar (1995) menjelaskan bahwa: 1) komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu; 2) komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah emosi, dan aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruhpengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang; 3) komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Sikap seseorang terbentuk karena pengaruh orang lain, yaitu orang tua, guru dan rekan-rekannya, dan dapat berubah dipengaruhi situasi dan pengalaman seseorang (Siagian 2004). Hollander (1981) menyatakan bahwa sikap dan nilai memiliki persistensi, namun juga dinamis dalam arti keduanya dapat berubah, meskipun umumnya sikap lebih mudah berubah. Shavitt dan Brock (1994) menyatakan bahwa sikap tidak dapat diamati secara langsung, namun harus disimpulkan berdasarkan respon-respon teramati (dan terukur) dari tiga komponen sikap. Azwar (1995) mengungkapkan bahwa pengukuran sikap sebagai salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain observasi perilaku, penanyaan langsung, pengungkapan langsung, skala sikap dan pengukuran terselubung. Skala sikap Likert merupakan teknik pengukuran sikap yang paling banyak digunakan karena mudah disusun dan dapat digunakan, sehingga skala ini secara rutin menunjukkan korelasi tinggi dengan skala sikap lainnya (Shavitt dan Brock 1994). Sikap guru terhadap PLH dapat diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu selfefficacy dan outcome expectancy (Sia 1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan Utley 2008). Bandura (1977) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan bahwa self-efficacy (efektivitas diri) adalah persepsi atau kepercayaan diri seseorang terhadap kemampuannya untuk melakukan sesuatu, sedangkan outcome expectancy (luaran yang diharapkan) adalah kepercayaan atau harapan seseorang untuk mendapatkan suatu luaran tertentu dari perilaku yang
20 ditunjukkannya. Efektivitas diri yang diyakini oleh seseorang berkaitan dengan tingkat motivasi dan capaian kinerja individu tersebut (Bandura 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Enoch dan Riggs (1990) diacu dalam Sia (1992) dan Moseley et al. (2002) menguraikan efektivitas diri guru sebagai kemampuan guru untuk mengajar secara efektif. Efektivitas guru juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya dalam mempengaruhi kinerja siswa (Berman dan McLauglin 1977 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Kepercayaan guru memiliki dampak yang sangat besar terhadap perilakunya di kelas (Pajares 1992 dan Richardson 1996 diacu dalam Moseley dan Utley 2008), karena kepercayaan memainkan bagian penting dalam pengorganisasian pengetahuan dan informasi oleh guru dan penting dalam membantu guru beradaptasi, memahami dan memaknai diri dan dunianya (Schommer 1990, Taylor 2003, Taylor dan Caldarelli 2004 diacu dalam Moseley dan Utley 2008). Guru yang memiliki kepercayaan diri dalam kemampuannya mengajar (selfefficacy beliefs) akan bertahan lebih lama, memberikan fokus akademik yang lebih besar di kelas, dan menunjukkan tipe umpan balik berbeda dibandingkan guru yang memiliki harapan yang lebih rendah berkaitan dengan kemampuannya untuk mempengaruhi pembelajaran siswa (Gibson dan Dembo 1984 diacu dalam Moseley et al. 2002).
Czerniak (1990) diacu dalam Moseley et al. (2002)
menemukan bahwa guru dengan self-efficacy/efektivitas diri yang tinggi lebih cenderung menggunakan strategi pengajaran inkuiri dan berpusat pada siswa, sedangkan guru dengan efektivitas diri yang rendah lebih cenderung menggunakan strategi yang terarah pada guru seperti ceramah dan membaca teks. Efektivitas diri guru dalam kaitannya dengan PLH dapat diuraikan sebagai tingkat kepercayaan guru terhadap kemampuannya mengajarkan PLH secara efektif, sedangkan outcome expectancy guru terhadap PLH diuraikan sebagai perkiraan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa dalam pembelajaran PLH (Moseley et al. 2002). Sikap guru yang positif terhadap PLH, dalam hal ini memiliki efektivitas diri dan outcome expectancy yang tinggi, akan dapat memberi arah yang positif terhadap perilaku guru dalam mengajarkan PLH kepada siswa melalui penyajian berbagai materi dengan menggunakan metodemetode pengajaran aktif yang lebih berpusat pada siswa, sehingga diharapkan
21 efektivitas pembelajaran PLH dapat tercapai dengan terbentuknya sikap positif dan terwujudnya perilaku ramah lingkungan pada siswa.
Sia (1992) telah
mengembangkan skala untuk mengukur sikap guru terhadap PLH berdasarkan self-efficacy dan outcome expectancy, yang disebut Environmental Education Efficacy Beliefs Instrument (EEEBI). Skala EEEBI yang telah diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi sikap guru terhadap PLH dalam upaya mengetahui persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.
3 3.1
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka Pemikiran Guru membawa dua persepsi dalam penerapan PLH di sekolah, yaitu
persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH.
Persepsi guru tentang lingkungan dipandang sebagai representasi
penguasaan guru akan materi-materi lingkungan hidup, yang akan mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH, terutama dalam kaitannya dengan kompetensi dan efektivitas diri (self-efficacy) yang dirasakan oleh guru dalam mengajar PLH kepada siswanya.
Persepsi guru tentang lingkungan diukur
berdasarkan gambaran mental yang dimiliki guru mengenai lingkungan melalui gambar dan definisi lingkungan yang dibuat oleh guru, sedangkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur melalui motivasi dan sikap guru terhadap PLH berdasarkan pernyataan Robbins (2005) bahwa sikap dan motivasi individu terhadap suatu obyek/sasaran tertentu merupakan faktor individu yang mempengaruhi persepsi. Robbins (2005) juga menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh faktor individu, situasi dan obyek/sasaran, dengan demikian persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH juga dipengaruhi faktor-faktor tersebut. Data yang akan dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah informasi pribadi guru seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan pengalaman guru serta harapan guru berkaitan dengan PLH. Faktor situasi menurut Robbins (2003) meliputi waktu, suasana/kondisi kerja dan kondisi sosial. Faktor situasi dalam kaitannya dengan penelitian ini dibatasi pada kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik dibatasi pada ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar, dan alat bantu/media pengajaran. Lingkungan biologis dibatasi pada sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya yang dapat digunakan sebagai sumber dan media pembelajaran bagi siswa, terutama letak sekolah dengan kawasan hutan di dekat sekolah.
24 Lingkungan sosial dibatasi pada dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru dalam penerapan PLH. Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah PLH sebagai sebuah program pengajaran, dengan berbagai faktor terkait seperti kebijakan dan keberadaan kurikulum PLH yang diuraikan dalam mata ajaran, tingkat kelas, materi, metode dan media yang digunakan di sekolah. Alur pikir penelitian ini digambarkan dalam skema kerangka pemikiran (Gambar 4).
PENERAPAN PLH DI SEKOLAH GURU Faktor Individu:
Umur Jenis Kelamin Pengalaman (mengajar, organisasi alam) Pendidikan (formal, non formal) Harapan Faktor Situasi Penerapan PLH di sekolah Faktor Obyek: PLH sebagai Program Pengajaran
Persepsi tentang Penyelenggaraan PLH: Motivasi, Sikap
Persepsi tentang Lingkungan
Gambar 4 Skema kerangka pemikiran penelitian persepsi guru dalam penerapan pendidikan lingkungan hidup di sekolah. 3.2
Hipotesis Guru yang memahami kondisi lingkungan hidup di sekitarnya (memiliki
persepsi lingkungan yang utuh), memiliki atribut individu positif, dan mengajar pada sekolah yang: berada di sekitar hutan, memiliki kurikulum PLH, serta kondisi lingkungan dan sosial sekolah yang menunjang, akan membuahkan guru dengan persepsi PLH yang tinggi.
4 4.1
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada 4 (empat) sekolah dasar (SD) yang terletak
di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE), Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat selama 3 bulan, mulai Februari – April 2010. 4.2
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan panduan
wawancara, sedangkan alat yang digunakan adalah alat bantu berupa perekam suara, kamera, dan komputer. 4.3 1.
Definisi Operasional Persepsi guru tentang lingkungan diukur berdasarkan gambaran mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan.
2.
Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diukur berdasarkan motivasi guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah dan sikap guru terhadap PLH.
3.
Motivasi guru dalam menerapkan/mengajar PLH di sekolah diukur berdasarkan minat/kesenangan (interest/enjoyment) guru terhadap PLH, kompetensi yang dirasakan (perceived competence) dalam mengajar PLH, upaya/arti penting (effort/importance) PLH, beban/tekanan (pressure/tension) yang dirasakan dalam mengajar PLH, pilihan (perceived choice) yang dirasa dalam mengajar PLH, serta nilai/kegunaan (value/usefulness) PLH yang dirasakan guru.
4.
Sikap guru terhadap PLH diukur melalui dua ukuran sikap, yaitu self-efficacy (efektivitas diri) dan outcome expectancy (luaran yang diharapkan).
5.
Self-efficacy (efektivitas diri) guru dalam PLH adalah persepsi atau kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH secara efektif.
26 6.
Outcome expectancy (luaran yang diharapkan) guru terhadap PLH adalah perkiraan/harapan guru mengenai pengaruh yang diberikannya terhadap siswa dalam pembelajaran PLH.
4.4
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan strategi penelitian deskriptif,
yaitu strategi penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu variabel tunggal atau untuk memperoleh deskripsi terpisah untuk setiap variabel jika ada beberapa variabel yang terlibat dalam penelitian (Gravetter dan Forzano 2006). Keterbatasan informasi dan pustaka mengenai persepsi, sikap dan motivasi guru sekolah dasar dalam pengajaran PLH menjadi pertimbangan untuk menggunakan strategi penelitian deskriptif.
Desain penelitian survei yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran akurat mengenai individu yang dikaji (Gravetter dan Forzano 2006) digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah. Penelitian dilakukan melalui tahapan pemilihan sekolah contoh, pemilihan responden guru, pengumpulan data, serta pengolahan dan analisa data untuk mendapatkan gambaran persepsi guru sekolah dasar terhadap PLH. 4.4.1 Pemilihan Sekolah Contoh Sekolah-sekolah yang dijadikan sebagai sekolah contoh dalam penelitian ini adalah 4 (empat) sekolah dasar (SD) yang berada di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.
Pemilihan sekolah contoh dilakukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel nonrandom (tidak acak) untuk populasi yang spesifik (Neuman 2006), dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono 2008). Kriteria/pertimbangan yang digunakan untuk memilih sekolah contoh adalah: 1.
Sekolah dekat dengan hutan (≤ 2 km)
2.
Mempunyai interaksi dengan hutan Selanjutnya, dari sekolah contoh yang memenuhi dua kriteria tersebut akan
dipilih 2 (dua) sekolah dasar contoh dengan kriteria bahwa guru sekolah tersebut pernah mendapatkan intervensi PLH dari instansi luar sekolah (seperti Lembaga
27 Swadaya Masyarakat/LSM, Perguruan Tinggi/PT, dll), dan 2 (dua) sekolah dasar contoh yang gurunya belum pernah mendapatkan intervensi PLH dari pihak manapun. Berdasarkan kriteria tersebut, empat sekolah yang menjadi sekolah contoh adalah: 1) SDN Gunung Bunder 04, 2) SDN Gunung Sari 01, 3) SDN Gunung Bunder 03, dan 4) SDN Gunung Picung 06. 4.4.2 Pemilihan Responden Guru Populasi dalam penelitian ini adalah guru dari sekolah-sekolah dasar yang terletak di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE) Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah guru-guru dari keempat sekolah dasar contoh. Jumlah total responden guru dari keempat sekolah contoh sebanyak 31 orang guru. 4.4.3 Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui studi pustaka, pengumpulan arsip dan dokumen, wawancara terstruktur dengan kuesioner, wawancara tidak terstruktur, wawancara terstruktur dengan panduan wawancara, serta observasi lapang (Tabel 1). Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulan data Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
Sekolah dasar di kawasan GSE
Pengumpulan arsip dan dokumen
Kebijakan PLH
Pengumpulan arsip dan dokumen
Kurikulum PLH
Pengumpulan arsip dan dokumen
Pelaksanaan PLH di sekolah
Studi pustaka, wawancara, observasi
Informasi pribadi responden guru
Kuesioner
Motivasi guru dalam penerapan PLH
Studi pustaka, kuesioner
Sikap guru terhadap PLH
Studi pustaka, kuesioner
Persepsi guru tentang lingkungan
Studi pustaka, kuesioner (DAET)
Harapan terkait PLH
Kuesioner, wawancara
Kondisi lingkungan sekolah dan sekitar
Pengumpulan observasi
Permasalahan terkait penerapan PLH
Wawancara
arsip
dan
dokumen,
28 a.
Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data mengenai berbagai hasil
penelitian dan kegiatan mengenai: (1) pelaksanaan PLH di sekolah (2) persepsi guru tentang lingkungan (3) persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH (4) motivasi guru dalam penerapan PLH (5) sikap guru terhadap PLH b. Pengumpulan Arsip dan Dokumen Arsip dan dokumen dikumpulkan untuk mendapatkan data mengenai: (1) sekolah-sekolah dasar yang berada di sekitar hutan kawasan Gunung Salak Endah (GSE) Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor; (2) kebijakan PLH dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor; (3) kurikulum, mata ajaran, tingkat kelas, materi, media dan metode yang digunakan dalam pengajaran PLH di sekolah; (4) kondisi lingkungan sekolah, meliputi kondisi fisik (bangunan, lahan, sarana dan prasarana lainnya) dan biologis sekolah. c.
Wawancara Terstruktur dengan Kuesioner Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner dilakukan terhadap
responden guru dari setiap tingkat kelas (kelas 1 – 6 SD) untuk mendapatkan data mengenai: (1) informasi pribadi dan faktor kontekstual responden guru yang meliputi umur, jenis kelamin, pengalaman berinteraksi dengan alam, latar belakang pendidikan, pendidikan/pelatihan yang pernah didapat berkaitan dengan PLH, dan pengalaman mengajar (ditunjukkan oleh lama mengajar, tingkat kelas yang pernah dan saat ini diasuh, mata ajaran yang pernah dan saat ini diajarkan, pengalaman mengajar PLH); (2) motivasi guru dalam penerapan PLH di sekolah; (3) sikap guru terhadap PLH; (4) harapan guru berkaitan dengan PLH; (5) persepsi guru tentang lingkungan.
29 Kuesioner yang diberikan kepada guru terdiri dari 5 bagian, yaitu: (1) Bagian I, ditujukan untuk mengumpulkan mengumpulkan data mengenai informasi pribadi dan faktor kontekstual responden guru. (2) Bagian II, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai motivasi guru dalam mengajar PLH. Motivasi guru diukur menggunakan skala tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar dari selalu benar sampai selalu tidak benar. Skala yang digunakan adalah modifikasi dari skala Intrinsic Motivation Inventory (Ryan 1982).
Skala tersebut disusun berdasarkan
minat/kesenangan guru terhadap PLH, upaya/arti penting PLH, nilai/manfaat PLH, serta kompetensi, beban/tekanan, dan pilihan yang dirasakan oleh guru dalam melakukan pengajaran PLH. (3) Bagian III, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai sikap guru terhadap PLH.
Pengukuran sikap guru terhadap PLH dibatasi pada dua
ukuran sikap, yaitu self-efficacy dan outcome expectancy guru terhadap PLH dengan menggunakan adaptasi dari skala Environmental Education Efficacy Belief Instrument (EEEBI; Sia, 1992; Moseley et al., 2002) yang merupakan skala tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju. (4) Bagian IV, ditujukan untuk mengumpulkan data mengenai harapan guru berkaitan dengan PLH dengan menggunakan struktur pertanyaan terbuka. (5) Bagian V, ditujukan untuk menggali persepsi guru tentang lingkungan. Bagian ini berisi survei dua bagian yang disebut Draw An-Environment Test (DAET; Desjean-Perrotta et al. 2008; Moseley dan Desjean-Perrotta, in press). Bagian pertama meminta guru untuk menggambar lingkungan, dan bagian kedua meminta guru untuk memberikan definisi mereka mengenai lingkungan dengan melanjutkan sebuah kalimat terbuka. Struktur pertanyaan terbuka ini digunakan karena struktur tersebut merupakan suatu sarana untuk mendapatkan deskripsi yang bebas, tidak bias, dan tidak terbatas (DesjeanPerrotta et al. 2008).
30 d. Wawancara tidak terstruktur Wawancara tidak terstruktur dilakukan terhadap guru untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai pertanyaan atau permasalahan terkait PLH yang timbul di lapangan ataupun yang timbul saat pengisian kuesioner. e.
Wawancara terstruktur dengan panduan wawancara Wawancara terstruktur dengan menggunakan panduan wawancara dilakukan
terhadap: (1) dinas terkait (Dinas Pendidikan, Dinas Kehutanan, dan Bagian Lingkungan Hidup) dan pengelola kawasan hutan (Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Perum Perhutani) untuk mendapatkan data berkaitan dengan pelaksanaan PLH pada sekolah di Kabupaten Bogor, (2) kepala sekolah, untuk mendapatkan data mengenai pelaksanaan PLH di sekolah yang meliputi: kebijakan kepala sekolah, dukungan terhadap guru, permasalahan yang dihadapi, dan harapan terkait PLH. f.
Observasi Lapang Observasi/pengamatan lapang dilakukan untuk mendapatkan gambaran
mengenai kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya, serta mengamati pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah. 4.4.4 Pengolahan Data Data yang dihasilkan dari penelitian ini secara umum diolah melalui tahapan pemeriksaan jawaban responden, penentuan kategori jawaban untuk pertanyaan terbuka dan penentuan kode untuk tiap jawaban, serta scoring/penentuan skor terhadap jawaban responden dan tabulasi data. Pengolahan data secara khusus untuk tiap aspek penelitian dijelaskan sebagai berikut: a.
Motivasi guru untuk mengajarkan PLH Motivasi guru untuk mengajarkan PLH diukur dengan menggunakan skala
tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon. Skor yang digunakan untuk pernyataan positif adalah sebagai berikut: selalu benar (skor 5), seringkali benar (skor 4), kadang benar (skor 3), seringkali tidak benar (skor 2), selalu tidak benar (skor 1), sedangkan untuk pernyataan negatif skor yang digunakan adalah kebalikannya, yaitu: selalu benar (skor 1), seringkali benar (skor 2), kadang benar (skor 3),
31 seringkali tidak benar (skor 4), selalu tidak benar (skor 5). Semakin tinggi skor yang didapat responden guru, menunjukkan bahwa motivasi guru untuk mengajar PLH semakin tinggi. b. Sikap guru terhadap PLH Sikap guru terhadap PLH dibatasi pada self-efficacy dan outcome expectancy guru dalam pengajaran PLH. Pengukuran dilakukan menggunakan modifikasi dari Environmental Education Efficacy Belief Instrument/EEEBI (Sia 1992; Moseley et al. 2002; Moseley dan Utley 2008) yang terdiri dari dua skala, yaitu skala pertama yang mengukur self-efficacy guru dan skala kedua yang mengukur outcome-expectancy guru dalam pengajaran PLH.
Skala tersebut
menggunakan skala tipe Likert dengan 5 poin jawaban/respon yang berkisar antara sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Skor yang digunakan untuk tiap pernyataan positif adalah: sangat setuju (skor 5), setuju (skor 4), ragu-ragu (skor 3), tidak setuju (skor 2), sangat tidak setuju (skor 1), sedangkan untuk tiap pernyataan negatif skornya adalah kebalikannya, yaitu: sangat setuju (skor 1), setuju (skor 2), ragu-ragu (skor 3), tidak setuju (skor 4), sangat tidak setuju (skor 5). Semakin tinggi skor yang didapatkan oleh responden guru menunjukkan bahwa persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH semakin positif. c.
Persepsi guru tentang lingkungan Persepsi guru tentang lingkungan digali dengan menggunakan instrument
Draw An-Environment Test (DAET) Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Tulisan definisi lingkungan yang dibuat oleh responden dianalisis dengan mengkodekan jawaban responden berdasarkan konsep lingkungan dalam NAAEE Guidelines (Desjean-Perrotta et al. 2008), sedangkan untuk gambar dilakukan dengan menggunakan DAET Rubric (DAET-R; Moseley dan Desjean-Perrotta 2010). Pengolahan data untuk definisi lingkungan Analisis isi dilakukan terhadap definisi lingkungan yang dituliskan oleh responden guru, dengan mengelompokkan jawaban responden guru dalam kategori berdasarkan konsep yang ada dalam NAAEE Guidelines (Desjean-
32 Perrotta et al. 2008). Kode yang digunakan adalah: 1 = manusia, 2 = organism hidup lainnya/biotik, 3 = lingkungan fisik/abiotik, 4 = lingkungan buatan, dan 5 = interaksi dan saling ketergantungan. Setiap respon tertulis dari guru ditelaah dan diberi kode sesuai dengan konsep yang diuraikan dalam tulisan tersebut, kemudian dicatat jumlah respon yang telah terkodekan untuk setiap kategori konsep. Pengolahan data untuk gambar lingkungan Gambar lingkungan dianalisis menggunakan DAET-Rubric (DAET-R). DAET-R dikembangkan berdasarkan deskripsi lingkungan yang digambarkan dalam NAAEE Guidelines for the Preparation and Professional Development of Environmental Educators (2004), yang menguraikan empat faktor pembentuk lingkungan (yaitu manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik alamiah dan lingkungan buatan) dan konsep sistem, salingketergantungan dan interaksi antara keempat faktor tersebut. DAET-R dibagi dalam empat bagian yang menekankan pada derajat keberadaan interaksi antara keempat faktor lingkungan, yaitu faktor tidak ada, faktor ada, faktor berinteraksi dengan faktor lainnya, dua atau lebih faktor berinteraksi dalam suatu pendekatan sistem.
Skor persepsi guru didapatkan
dengan melihat keberadaan empat faktor lingkungan dan derajat interaksi dari keempat faktor lingkungan tersebut. Skor yang digunakan berkisar antara 0 – 3, dengan penilaian sebagai berikut: 1) Gambar menunjukkan adanya kehadiran suatu faktor: skor 1; 2) Gambar menunjukkan adanya interaksi antara suatu faktor dengan satu atau lebih faktor lainnya: skor 2; 3) Gambar menunjukkan adanya interaksi diantara faktor-faktor lingkungan dengan penekanan pada pendekatan sistem dalam definisi lingkungan: skor 3; 4) Gambar tidak menunjukkan keberadaan suatu faktor tertentu: skor 0. Skor total yang mungkin didapatkan berkisar antara 0 – 12. Semakin tinggi skor yang didapatkan menunjukkan bahwa pemahaman responden terhadap interaksi antara keempat faktor lingkungan seperti yang diuraikan dalam NAAEE Guidelines (2004) semakin tinggi.
33 4.4.5 Analisis Data a.
Statistik Deskriptif Data secara umum dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif, yaitu
metode
yang
membantu
untuk
mengorganisasikan,
merangkum
dan
menyederhanakan data yang dihasilkan dari penelitian (Gravetter dan Forzano 2006). Perhitungan dilakukan untuk mendapatkan rata-rata dan persentase guru, yang kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel ataupun grafik, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan pola yang dapat teramati dari jawaban responden guru. Statistik deskriptif juga digunakan dalam analisis terhadap tulisan definisi lingkungan dan gambar lingkungan yang dibuat oleh guru. Statistik deskriptif digunakan untuk mendapatkan persentase guru yang menuliskan dan/atau menggambarkan masing-masing komponen dan konsep lingkungan (persentase guru yang menulis dan/atau menggambar manusia, biotik, abiotik, lingkungan buatan, interaksi dan saling ketergantungan), serta persentase guru berdasarkan jumlah komponen lingkungan yang dituliskan dan/atau digambarkan (persentase guru yang menuliskan dan/atau menggambarkan satu, dua, tiga, dan empat komponen lingkungan). b. Analisis Faktor Analisis faktor dilakukan untuk meringkas informasi yang ada dalam variabel asli (awal) menjadi satu set dimensi baru atau variate (faktor) dengan cara
menentukan
struktur
lewat
data
summarization
atau
lewat
data
reduction/pengurangan data (Ghozali 2005). Analisis faktor dilakukan terhadap skor dari 6 subskala motivasi dan 2 subskala sikap untuk mendapatkan faktor yang dapat menggambarkan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH. Faktor yang didapatkan dari hasil analisis tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan Spearman correlation, uji Kruskal-Wallis dan uji MannWhitney, untuk mengetahui hubungan dan/atau perbedaan berbagai variabel yang diukur (seperti sekolah, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, dsb.) dengan faktor persepsi tersebut.
34 c.
Spearman Correlation Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation digunakan
untuk menentukan arah dan derajat
hubungan/asosiasi antara berbagai
variabel/peubah dari faktor individu, obyek/sasaran dan situasi dengan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH. Hasil analisis korelasi dengan Spearman correlation menunjukkan peubah apa saja yang mempengaruhi persepsi guru dalam penerapan PLH di sekolah (persepsi guru tentang lingkungan dan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH). Analisis korelasi dengan Spearman correlation dilakukan terhadap peubah usia, pendidikan, masa kerja, lama mengajar dan persepsi lingkungan dengan faktor persepsi yang dihasilkan dari analisis faktor. Hubungan/asosiasi antara persepsi guru tentang lingkungan dengan persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH juga dianalisis. d. Uji Kruskal-Wallis Uji Kruskal-Wallis digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih kelompok data contoh.
Uji ini dilakukan terhadap peubah sekolah (tempat
mengajar), tingkat kelas yang diasuh saat ini, tingkat kelas yang pernah diasuh, mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus yang pernah diasuh, tugas lainnya, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal yang pernah diikuti, pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, serta pengalaman interaksi dengan alam dan waktu mendapatkan pengalaman tersebut. e.
Uji Mann-Whitney Uji Mann-Whitney dilakukan untuk membandingkan dua kelompok data
contoh. Uji ini dilakukan terhadap peubah pengalaman mengajar PLH dan jenis kelamin yang hanya terdiri dari dua kategori, yaitu pernah dan tidak pernah serta laki-laki dan perempuan. Uji ini memungkinkan untuk mengetahui apakah guru yang pernah mengajar PLH memiliki persepsi yang sama atau berbeda dengan guru yang tidak pernah mengajar PLH sebelumnya, dan apakah guru perempuan berbeda dengan guru laki-laki.
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Guru sebagai salah satu faktor kunci dalam penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah membawa dua persepsi dalam mengajarkan PLH kepada para siswanya, yaitu persepsi tentang lingkungan dan persepsi tentang penyelenggaraan PLH. Penelitian ini mengukur kedua persepsi tersebut dan berbagai faktor yang diperkirakan mempengaruhi persepsi, seperti faktor individu guru (umur, jenis kelamin, pendidikan formal dan non formal, serta pengalaman dan harapan) yang mempengaruhi persepsi guru tentang lingkungan dan penyelenggaraan PLH, serta program pengajaran PLH di sekolah sebagai faktor obyek/sasaran dan kondisi sekolah sebagai faktor situasi yang mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH. 5.1
Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Guru Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor individu, faktor obyek/sasaran,
dan faktor situasi (Robbins 2003).
Faktor individu guru berkaitan dengan
karakteristik pribadi guru, pendidikan dan pengalaman guru yang diuraikan sebagai karakteristik guru. Faktor obyek/sasaran dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan penerapan PLH, yaitu kebijakan PLH dan keberadaan kurikulum PLH di sekolah, sedangkan faktor situasi dibatasi pada kondisi lingkungan sekolah dan sekitarnya yang meliputi lingkungan fisik (ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, seperti bangunan, lahan sekolah, buku sumber/buku ajar, dan alat bantu/media pengajaran), lingkungan biologis (peluang penggunaan sumberdaya biologis yang terdapat di sekolah dan sekitarnya sebagai sumber dan media pembelajaran) dan lingkungan sosial (dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru). Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu kategori peubah, yaitu sekolah, untuk keperluan analisis statistik lebih lanjut. 5.1.1 Karakteristik Guru sebagai Faktor Individu yang Mempengaruhi Persepsi Data yang dikumpulkan berkaitan dengan faktor individu guru adalah usia/umur, jenis kelamin, pendidikan formal terakhir, pengalaman mengajar,
36 pengalaman berorganisasi yang kegiatannya fokus pada alam, pendidikan PLH formal/nonformal yang pernah didapatkan, dan pengalaman guru berinteraksi dengan alam. Total jumlah guru yang menjadi responden dari keempat sekolah contoh sebesar 31 orang guru. a.
Karakteristik demografis guru Berdasarkan usia, 51,61% guru pada sekolah contoh berusia ≤ 30 tahun dan
9,68% berusia ≥ 51 tahun, sisanya berusia antara 31 – 50 tahun.
Persentase guru
perempuan lebih besar daripada guru laki-laki, yaitu 54,84% guru perempuan, dan 45,16% guru laki-laki. Sebagian besar guru sekolah contoh memiliki pendidikan SMA (51,61%). Adapula guru yang berpendidikan diploma sebanyak 16,13% dan sarjana (S1) sebanyak 32,27% guru.
Tabel 2 Persentase guru berdasarkan usia, jenis kelamin, dan pendidikan Sekolah
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
≤ 30
31 - 50
≥ 51
L
P
SMA
Dipl.
S1
S2
SDN Gunung Sari 01
6,45
12,90
3,23
9,68
12,90
9,68
3,23
9,68
0,00
SDN Gunung Bunder 03
19,35
3,23
3,23
6,45
19,35
16,13
6,45
3,23
0,00
SDN Gunung Bunder 04
9,68
16,13
3,23
12,90
16,13
19,35
0,00
9,68
0,00
SDN Gunung Picung 06
16,13
6,45
0,00
16,13
6,45
6,45
6,45
9,68
0,00
Total
51,61
38,71
9,68
45,16
54,84
51,61
16,13
32,27
0,00
b. Pengalaman mengajar Pengalaman mengajar guru merupakan faktor kontekstual individu guru. Pengalaman mengajar guru dilihat berdasarkan lama mengajar, kelas yang saat ini diasuh, kelas yang pernah diasuh, mata ajaran yang saat ini diasuh, mata ajaran yang pernah diasuh, dan pengalaman mengajar PLH (Tabel 3). Guru dari sekolah contoh sebagian besar (70,97%) memiliki pengalaman mengajar selama ≤ 10 tahun. Satu orang guru (3,23%) belum memiliki pengalaman mengajar pada kelas lainnya sebelumnya karena baru mengajar selama 1 tahun di sekolah tempatnya mengajar. Sebesar 54,84 % guru tidak mengasuh mata ajaran khusus karena bertugas sebagai guru kelas yang mengasuh hampir semua mata ajaran pada tingkat kelas yang diasuhnya.
Namun demikian ada guru yang bertugas
mengasuh mata ajaran khusus/tertentu, baik untuk semua tingkat maupun untuk tingkat kelas tertentu, seperti mata ajaran agama, matematika, bahasa Inggris, PJOK (olahraga) dan SBK (Seni Budaya dan Keterampilan).
37 Tabel 3 Pengalaman mengajar yang dimiliki guru pada sekolah contoh Jenis Pengalaman Jumlah % Lama mengajar <=10 tahun 11 - 20 tahun 21 -30 tahun > 30 tahun
22 4 4 1
70,97 12,90 12,90 3,23
Saat ini mengajar pada kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) Kelas tinggi (4 – 6 SD) Kelas rendah dan tinggi
13 15 3
41,94 48,39 9,68
Sebelumnya pernah mengajar kelas Kelas rendah (1 – 3 SD) Kelas tinggi (4 – 6 SD) Kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman
10 9 11 1
32,26 29,03 35,48 3,23
Mata ajaran yang saat ini diasuh Tidak ada m.a. khusus Agama Olahraga Bahasa Inggris Lainnya Agama dan Bahasa Inggris Olahraga dan Lainnya
17 5 3 2 2 1 1
54,84 16,13 9,68 6,45 6,45 3,23 3,23
Mata ajaran yang pernah di asuh Tidak ada m.a. khusus Agama Olahraga Bahasa Inggris Lainnya Agama dan Bahasa Inggris Agama dan Lainnya
17 3 3 3 3 1 1
54,84 9,68 9,68 9,68 9,68 3,23 3,23
Pengalaman mengajar PLH Tidak Pernah (1) Pernah (2)
4 27
12,90 87,10
38 Sebagian besar (87,10%) guru menyatakan pernah mengajar PLH (Tabel 3). Pengalaman mengajar PLH tersebut berupa pengalaman mengajarkan materimateri mengenai lingkungan hidup yang terintegrasi dalam mata ajaran yang diasuh oleh guru tersebut, maupun pemberian materi mengenai lingkungan hidup yang dilaksanakan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Namun demikian ada 4 orang guru (12,90%) yang menyatakan tidak memiliki pengalaman mengajar PLH. Guru yang menyatakan tidak pernah mengajar PLH tersebut satu orang bertugas khusus mengasuh mata ajaran matematika untuk kelas 4 di SDN Gunung Sari 01, sedangkan 3 guru lainnya adalah guru agama, guru kelas 1 dan guru kelas 3 dari SDN Gunung Bunder 03. Mata ajaran Matematika memang sangat kurang relevansinya dengan PLH sehingga sulit dijadikan wadah integrasi materi-materi PLH. Selain itu daya serap siswa terhadap mata ajaran matematika biasanya tidak terlalu tinggi. Padahal pertimbangan dalam memilih mata ajaran untuk dijadikan wadah integrasi materimateri PLH adalah relevansi mata ajaran tersebut dengan PLH dan daya serap siswa terhadap mata ajaran tersebut tinggi, sehingga mempermudah guru mengintegrasikan materi PLH ke dalam suatu mata ajaran. Materi PLH pada dasarnya dapat diintegrasikan ke dalam mata ajaran apapun, termasuk Matematika. Guru perlu memiliki penguasaan materi-materi PLH dan kreativitas untuk dapat mengintegrasikan materi PLH ke dalam mata ajaran inti yang diasuhnya. Relevansi mata ajaran dengan materi PLH, daya serap siswa, dan kompetensi guru diduga menjadi penyebab guru matematika tersebut tidak mengintegrasikan materi PLH ke dalam pengajarannya, sehingga menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman mengajar PLH. Berkaitan dengan guru dari SDN Gunung Bunder 03, Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03 dalam wawancara menyatakan bahwa pelaksanaan PLH di sekolah tersebut memang belum intensif karena keterbatasan kondisi sekolah. Kepala sekolah baru sebatas memberikan himbauan kepada para guru agar menyisipkan materi-materi PLH ke dalam mata ajaran yang ada, namun belum ada dorongan yang lebih kuat agar guru memperkaya pengajarannya dengan materi-materi PLH lain.
Sekolah ini juga belum pernah mendapatkan
intervensi/kegiatan PLH (Environmental Education intervention) dari lembaga
39 manapun
sehingga
guru-gurunya
belum
memiliki
pemahaman
maupun
kemampuan mengenai PLH. Selain itu, materi-materi terkait PLH pada tingkat kelas 1 dan 3 terbatas pada topik mengenai kebersihan diri, lingkungan rumah dan sekolah, yang sudah termuat dalam silabus tematik kurikulum tingkat kelas tersebut. Hal-hal tersebut diduga menjadi penyebab guru kelas 1 dan 3 pada SDN Gunung Bunder 03 tersebut merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH. Penyebab lain yang membuat guru agama dari SDN Gunung Bunder 03 merasa belum memiliki pengalaman mengajar PLH berkaitan dengan kurikulum mata ajaran agama.
Mayoritas siswa di sekolah beragama Islam, sehingga
pengajaran yang diberikan adalah Agama Islam. Kurikulum pendidikan Agama Islam di sekolah dasar lebih menekankan pada pengetahuan-pengetahuan keagamaan dan ibadah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT. Bahasan mengenai hubungan manusia dengan alam/lingkungan memang ada namun belum menjadi fokus pengajaran dalam mata ajaran Agama Islam. Marten (2001) menyatakan bahwa Islam lebih mementingkan kehidupan setelah kematian serta hubungan manusia dengan Tuhannya dibandingkan dunia materil dan kehidupan manusia di bumi yang hanya sementara saja. Hal tersebut juga menjadi salah satu sebab guru agama di SDN Gunung Bunder 03 merasa tidak memiliki pengalaman mengajar PLH. c.
Pendidikan dan pelatihan berkaitan dengan PLH Pelaksanaan PLH oleh guru di sekolah akan dapat lebih efektif jika guru
memiliki bekal kemampuan untuk mengajarkan PLH. Guru bisa mendapatkan bekal kemampuan tersebut melalui PLH formal maupun nonformal. Guru dari sekolah-sekolah contoh sebagian besar (67,74%) belum pernah mendapatkan PLH melalui jalur pendidikan formal sebelumnya, sebaliknya PLH non formal sudah didapatkan oleh 58,06% guru melalui berbagai kegiatan (Tabel 4). Kegiatankegiatan PLH non formal yang pernah diikuti sebagian guru dari sekolah contoh adalah seminar PLH, pelatihan PLH, kegiatan tafakur alam saat masih SMA, Search and Rescue (SAR) Sayaga Tagana dan Karang Taruna, Pecinta Alam, kegiatan penanaman dan permainan alam dari pihak luar sekolah, serta kegiatan terkait program WSLIC (Water Sanitation for Low Income Community) dari Bank Dunia.
40 Tabel 4 PLH formal dan non formal yang pernah didapat guru Jenis PLH
Jumlah
%
PLH formal Tidak ada
21
67,74
PLH formal di SD/sederajat
6
19,35
PLH formal di SMP/sederajat
2
6,45
PLH formal di SMA/sederajat
0
0,00
PLH formal di Perguruan Tinggi
2
6,45
13
41,94
Seminar PLH
3
9,68
Lokakarya/Workshop PLH
0
0,00
Pelatihan PLH
2
6,45
Seminar dan Lainnya
4
12,90
Lokakarya dan Lainnya
3
9,68
Lainnya
6
19,35
PLH non Formal Tidak ada
d. Pengalaman organisasi yang kegiatannya fokus pada alam Pengalaman guru mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam, seperti misalnya Saka Wana Bakti (organisasi Pramuka yang kegiatannya fokus pada kehutanan) dan organisasi pecinta alam, juga dapat memberikan bekal kemampuan untuk mengajarkan PLH kepada guru.
Keikutsertaan dalam
kegiatan-kegiatan organisasi tersebut dapat menumbuhkan persepsi positif terhadap lingkungan yang dapat ditransfer oleh guru kepada siswanya. Pengalaman organisasi seperti itupun dapat menumbuhkan minat dan kesenangan guru terhadap PLH. Tabel 5 Pengalaman guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam Pengalaman Organisasi Jumlah % Tidak pernah
21
67,74
Saka Wana Bakti dan Pecinta Alam
1
3,23
Saka Wana Bakti, Pecinta Alam dan Lainnya
1
3,23
Pramuka
6
19,25
SAR
1
3,23
Kegiatan Penanaman pohon
1
3,23
41 Sebagian besar guru dari sekolah contoh (67,74%) tidak memiliki pengalaman dalam organisasi yang kegiatannya fokus pada alam, sedangkan sisanya menyatakan pernah mengikuti organisasi yang kegiatannya fokus pada alam. Organisasi yang pernah diikuti oleh guru yaitu Saka Wana Bakti, Pecinta Alam, Pramuka, dan SAR (Tabel 5). e.
Pengalaman berinteraksi dengan alam Seorang tenaga pendidik lingkungan harus memiliki kemampuan untuk
mempelajari dan mengevaluasi permasalahan lingkungan serta peran serta dalam pemecahan masalah lingkungan tersebut (NAAEE 2004). Kemampuan tersebut dapat diasah dengan melakukan interaksi dengan alam/lingkungan. Pengalaman guru berinteraksi dengan alam dapat menumbuhkan kepekaan guru terhadap alam/lingkungan dan permasalahan terkait. Tabel 6 Pengalaman guru berinteraksi dengan alam Interaksi dengan Alam
Jumlah
%
Jenis Pengalaman pengalaman positif
23
74,19
pengalaman negatif
2
6,45
pengalaman positif dan negatif
2
6,45
Tidak memberi jawaban
2
6,45
Jawaban tidak jelas
2
6,45
13
41,94
< 2005
3
9,68
Jawaban tidak jelas
9
29,03
Tidak memberi jawaban
6
19,35
Waktu Mendapatkan Pengalaman 2005 – 2010
Pengalaman positif saat berinteraksi dengan alam dinyatakan oleh 74,19% guru, sedangkan masing-masing 6,45% guru menyatakan memiliki pengalaman negatif, positif dan negatif, tidak memberikan jawaban, dan jawaban tidak jelas/tidak dapat ditentukan positif atau negatifnya.
Sebesar 41,94% guru
mendapatkan pengalaman pada kurun waktu 2005 – 2010 dan 9,68% mendapatkan pengalaman interaksi dengan alam pada kurun waktu sebelum 2005.
42 f.
Harapan guru Pelaksanaan PLH di sekolah menumbuhkan berbagai harapan pada diri
guru. Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru untuk mengajar PLH kepada siswanya di sekolah, sarana dan prasarana pendukung kegiatan belajar mengajar PLH di sekolah, dan harapan terhadap pelaksanaan PLH secara umum di sekolah. Tabel 7 Harapan guru berkaitan dengan kapasitas guru, sarana prasarana dan pelaksanaan PLH di sekolah Harapan Guru
Jumlah
%
Berkaitan dengan Kapasitas Guru Ada upaya peningkatan kapasitas guru
13
41,94
PLH dapat meningkatkan kapasitas siswa
10
32,26
Tidak memberi jawaban
4
12,90
Lainnya
4
12,90
Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran
3
9,68
Ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran
2
6,45
Ketersediaan lahan yang luas
1
3,23
Peningkatan sarana prasarana
10
32,26
2
6,45
Tidak memberi jawaban
4
12,90
Lainnya
9
29,03
12
38,71
3
9,68
Adanya peningkatan pelaksanaan PLH di sekolah
4
12,90
Ada keterlibatan pihak terkait
2
6,45
Tidak memberikan jawaban
4
12,90
Lainnya
6
19,35
Berkaitan dengan Sarana Prasarana
Ketersediaan kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu pengajaran
Berkaitan dengan Pelaksanaan PLH PLH dapat meningkatkan kapasitas guru, siswa PLH membantu menciptakan lingkungan bersih, indah, nyaman
Sebanyak 41,94% guru mengharapkan adanya upaya peningkatan kapasitas guru melalui berbagai kegiatan.
Selain itu 32,26% guru juga mengharapkan
adanya peningkatan sarana prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar
43 PLH di sekolah, tanpa menyebutkan secara spesifik sarana dan prasarana yang dimaksud. Ketersediaan buku ajar dan alat bantu pengajaran diharapkan oleh 9,68% guru, ketersediaan media belajar/alat bantu pengajaran dan ketersediaan kurikulum, buku penunjang dan media/alat bantu pengajaran masing-masing diharapkan oleh 6,45% guru (Tabel 7). PLH diharapkan dapat meningkatkan kapasitas guru dan siswa (38,71%), membantu menciptakan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman (9,68%). Guru juga berharap ada peningkatan pelaksanaan PLH tanpa menyebutkan secara rinci peningkatan yang diharapkannya (12,90%). Keterlibatan pihak terkait dalam pelaksanaan PLH di sekolah nampaknya dirasa masih kurang, sehingga ada 6,45% guru yang mengharapkan adanya keterlibatan pihak terkait, seperti perguruan tinggi dan instansi terkait lainnya. Sekolah-sekolah contoh letaknya berdekatan dengan kawasan hutan yang juga menjadi kawasan wisata alam, namun sekolah-sekolah tersebut belum mendapatkan dukungan yang intensif dalam pelaksanaan dan pengembangan PLH sekolah dari pihak pengelola hutan, baik Perum Perhutani, maupun Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap perkembangan sekolah juga masih lebih fokus pada pengembangan mata ajaran inti, sehingga belum menyentuh PLH. PLH adalah wadah dan sarana untuk membentuk generasi penerus yang memiliki kemampuan untuk mengelola lingkungan dengan baik. Khusus untuk sekolah di sekitar hutan, PLH dapat menjadi wadah untuk membentuk generasi penerus yang memiliki kemampuan dan motivasi untuk melakukan kegiatan konservasi hutan.
Para pengelola hutan dan institusi terkait seharusnya
mendukung sekolah sekitar hutan secara intensif dalam pengembangan dan penyelenggaraan PLH agar sekolah dapat mengoptimalkan perannya dalam menghasilkan SDM yang berkualitas. 5.1.2 Faktor Obyek/Sasaran yang Mempengaruhi Persepsi guru tentang Penyelenggaraan PLH Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai obyek/sasaran persepsi guru merupakan hal dan istilah yang relatif baru bagi sebagian besar guru pada sekolah
44 dasar contoh, meskipun pada dasarnya materi-materi mengenai lingkungan sudah sejak lama diajarkan kepada siswa di sekolah dasar. PLH sebagai suatu program pengajaran baru mulai diterapkan secara lebih intensif di sekolah-sekolah contoh tersebut setelah terbitnya SK Gubernur Jawa Barat No. 25 tahun 2007 mengenai PLH.
PLH pada keempat sekolah contoh dilaksanakan dengan pendekatan
kurikuler secara integratif pada berbagai mata ajaran dan pendekatan ekstrakurikuler pada kegiatan Pramuka. a.
Pelaksanaan PLH dengan pendekatan kurikuler Integrasi/penyisipan materi PLH ke dalam berbagai mata ajaran yang ada
disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan dan relevansi mata ajaran dengan materi PLH yang akan disisipkan. Kurikulum yang digunakan untuk tingkat kelas 1 – 3 SD menggunakan model silabus tematik, sedangkan kelas 4 – 6 sudah menggunakan silabus masing-masing mata ajaran. Materi PLH yang diberikan di keempat sekolah contoh bervariasi, mulai dari materi yang murni bersumber dari kurikulum mata ajaran inti yang sudah ada, sampai pengayaan dengan berbagai materi di luar kurikulum mata ajaran inti namun masih memiliki relevansi kuat. Guru pada SDN Gunung Bunder 03 dan Gunung Picung 06 masih mempergunakan materi yang murni bersumber dari kurikulum mata ajaran inti yang ada, namun guru SDN Gunung Sari 01 mulai memperkaya bahan ajarnya dengan mempergunakan materi dari buku ajar PLH untuk sekolah dasar, sedangkan guru SDN Gunung Bunder 04 bahkan sudah mempergunakan lebih banyak lagi buku sumber diluar buku ajar dari mata ajaran inti yang ada guna memperkaya materi pengajarannya.
Guru SDN Gunung
Bunder 04 juga sudah mulai menambah materi PLH pada mata ajaran inti seperti Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), dan Seni Budaya dan Keterampilan (SBK), contohnya guru PJOK menambahkan indikator kemampuan siswa untuk menirukan gerak binatang/satwa dalam kegiatan olahraga, dan guru SBK
memperkenalkan
keterampilan
berwawasan
lingkungan
dengan
mempergunakan bahan-bahan yang didapat dari lingkungan sekitar. Metode instruksional yang sangat sesuai untuk mengajarkan PLH adalah pengamatan dan penemuan langsung di lingkungan (NAAEE 2004). Metode tersebut memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dengan
45 lingkungan yang menjadi sumber belajarnya. Pembelajaran di alam membantu siswa memahami metode ilmiah tertentu, mendapatkan pengalaman lapang dan meningkatkan kepekaan terhadap alam/lingkungan (Kenney et al. 2003). Guru dari sekolah contoh yang telah menggunakan metode dan media yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan baru sebanyak 32,26% (Tabel 8). Guru yang terbanyak menggunakan metode dan media yang memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara siswa dengan lingkungan/alam adalah guru dari SDN Gunung Bunder 04. Keterbatasan sarana prasarana fisik bangunan dan lahan sekolah, serta lokasi sekolah SDN Gunung Bunder 04 yang sangat dekat dengan hutan, mendorong guru untuk memanfaatkan lingkungan sekitar (kawasan hutan) sebagai media dan sumber belajar bagi siswanya. Tabel 8 Penggunaan metode dan media untuk pengajaran PLH oleh guru Metode dan Media
Persentase Guru pada Sekolah Contoh Gunung Gunung Gunung Gunung Sari 01 Bunder 03 Bunder 04 Picung 06
Persentase Guru Keseluruhan
Metode dan media tidak memberikan kesempatan siswa berinteraksi langsung dengan alam
71,43
25,00
22,22
57,14
41,94
Metode dan media yang digunakan memberikan kesempatan siswa berinteraksi langsung dengan alam
14,29
37,50
44,44
42,86
32,26
Lainnya
14,29
37,50
33,33
0,00
25,81
b. Pelaksanaan PLH dengan pendekatan ekstrakurikuler PLH juga dilaksanakan dengan pendekatan ekstrakurikuler melalui Pramuka. Pembina Pramuka pada keempat sekolah contoh adalah guru di sekolah tersebut. Pembina Pramuka di SDN Gunung Sari 01 adalah guru kelas 5 dibantu guru kelas 2 sebagai pembina putri, pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 03 adalah guru bidang studi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK/Penjaskes), pembina Pramuka di SDN Gunung Bunder 04 adalah guru
46 PJOK/Penjaskes dan dibantu guru kelas 3 sebagai pembina putri, pembina Pramuka di SDN Gunung Picung 06 adalah guru kelas 6 dan guru kelas 4. Kegiatan PLH yang diintegrasikan dalam Pramuka antara lain dilaksanakan dalam bentuk kemah, pengamatan, penjelajahan dan penanaman.
Peserta
Pramuka yang ikut dalam kegiatan pengenalan lingkungan pada keempat sekolah contoh adalah siswa kelas 4 – 6 yang memiliki minat terhadap Pramuka, sehingga tidak semua siswa mendapatkan pengalaman yang sama.
Sejak tahun 2008,
Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 seringkali mengadakan latihan gabungan/bersama dengan pramuka dari SDN Gunung Bunder 03. Pada kegiatan tersebut terjalin kerjasama antara guru pembina pramuka dari dua sekolah yang berbeda tersebut. Kerjasama tersebut dapat terjadi karena letak kedua sekolah yang cukup berdekatan (sekitar 1 km), dan guru pembina Pramuka pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Bunder 03 sama-sama mengajar pada SMP terbuka yang diselenggarakan di SDN Gunung Bunder 03. Pada dua sekolah contoh lainnya belum ada kegiatan latihan gabungan semacam itu. Wawancara dengan Pembina Pramuka dari SDN Gunung Bunder mengungkapkan bahwa anggota Pramuka dari SDN Gunung Bunder 04 lebih sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PLH dibandingkan dengan ketiga sekolah lainnya. Hal tersebut juga berkaitan dengan seringnya SDN Gunung Bunder menjadi lokasi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan PLH non formal yang diadakan oleh pihak luar sekolah, seperti misalnya kegiatan penanaman dan permainan di alam. 5.1.3 Faktor Situasi Faktor situasi yang membentuk/mempengaruhi persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH diidentifikasi dari kondisi fisik, biologis dan sosial sekolah. Identifikasi kondisi fisik dan biologis sekolah dibatasi pada keberadaan saranaprasarana fisik maupun lingkungan biologis yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar PLH. SDN Gunung Bunder 04 memiliki sarana fisik berupa bangunan sekolah dengan jumlah lokal/ruang kelas yang paling sedikit dan lahan yang paling sempit jika dibandingkan dengan ketiga sekolah contoh lainnya, namun sekolah ini terletak pada tepi jalan utama dan paling dekat dengan kawasan hutan yang sekaligus juga menjadi tempat kegiatan
47 rekreasi/wisata alam (Tabel 9). Hal tersebut membuat SDN Gunung Bunder 04 sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak luar sekolah, seperti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa, dan kegiatan permainan alam yang diadakan oleh komunitas masyarakat peduli lingkungan. Tabel 9 Kondisi umum sekolah contoh Kondisi Sekolah Perkiraan jarak dengan hutan (km) Jumlah lokal/ruang kelas (ruang) Lahan sisa Letak sekolah Buku sumber PLH
Intervensi PLH
Gunung Sari 01 1
Sekolah Contoh Gunung Gunung Bunder 03 Bunder 04 2 0,8
Gunung Picung 06 2
6
6
4
6
Luas Agak masuk gang Ada tambahan buku PLH
Agak luas Tepi jalan utama Buku ajar m.a. inti
Paling luas Masuk jauh ke dalam gang Buku ajar m.a. inti
Guru, sebelum 2005
Belum ada
Sempit Tepi jalan utama Ada tambahan beberapa buku sumber dari berbagai pihak Guru, 2009
(a)
(b)
(c)
(d)
Siswa, setelah 2005 (WSLic)
Gambar 5 Kondisi sekolah contoh: (a) SDN Gunung Sari 01; (b) SDN Gunung Bunder 03; (c) SDN Gunung Bunder 04; (d) SDN Gunung Picung 06
48 Faktor lingkungan sosial pada keempat sekolah diidentifikasi berdasarkan dukungan kepala sekolah dan sesama rekan guru.
Dukungan kepala sekolah
dilihat dari rencana pengembangan PLH yang dimiliki oleh kepala sekolah pada masing-masing sekolah contoh, sedangkan dukungan sesama guru dilihat dari kerjasama guru dalam pelaksanaan PLH. Kepala SDN Gunung Bunder 04 memiliki semangat dan keinginan yang tinggi untuk pengembangan PLH di sekolahnya, dan memiliki rencana untuk melaksanakan PLH secara monolitik bagi siswa di sekolahnya dengan memanfaatkan cadangan waktu 2 jam pelajaran yang belum terpakai. Kepala SDN Gunung Sari 01 merupakan kepala sekolah baru, masih beradaptasi dan melanjutkan program dari kepala sekolah lama, namun memiliki keinginan untuk mengembangkan berbagai kegiatan nonkurikuler yang dapat mendukung pelaksanaan PLH di sekolah tersebut. Kepala sekolah SDN Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Picung 06 masih fokus pada pelaksanaan mata ajaran inti, sehingga belum memiliki rencana untuk pengembangan PLH di sekolah. Fasilitas untuk membangun dukungan dan kerjasama sesama rekan guru sebetulnya sudah ada, yaitu berupa Kelompok Kerja Guru dan Himpunan Guru Kelas yang mempertemukan para guru dari berbagai sekolah dalam suatu forum untuk berdiskusi dan bertukar informasi dan pengetahuan, baik mengenai bahan ajar maupun metode pengajaran, namun demikian diskusi serta tukar menukar informasi dan pengetahuan yang terjadi dalam kedua forum tersebut masih terbatas pada mata ajaran inti.
Forum yang ada belum dimanfaatkan untuk
mendiskusikan mengenai pelaksanaan PLH. Kerjasama dan dukungan antara sesama guru dalam pelaksanaan PLH terutama terwujud pada SDN Gunung Bunder 04 dan SDN Gunung Sari 01. Para guru menyatakan bahwa materi mengenai lingkungan hidup pada mata ajaran inti seperti Bahasa Indonesia, PKN, IPS dan Agama, biasanya diberikan dalam bentuk teori di kelas. Kesempatan praktek dan interaksi langsung dengan lingkungan terlaksana pada mata ajaran IPA, PJOK, serta Seni Budaya dan Keterampilan (SBK). Selain itu, kegiatan Pramuka juga melengkapi siswa dengan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan melalui berbagai kegiatannya. Pelaksanaan PLH pada dua sekolah contoh lainnya masih sebatas materi yang ada pada mata ajaran
49 inti. Guru di sekolah tersebut melaksanakan pengajaran sesuai tanggung jawab masing-masing di kelas atau pada bidang studi tertentu yang diajar, belum ada kerjasama antar guru untuk saling melengkapi pengajaran PLH-nya.
Faktor obyek/sasaran dan situasi selanjutnya dirangkum dalam satu peubah untuk keperluan melakukan analisis statistik lebih lanjut.
Peubah dimaksud
adalah sekolah, karena keempat sekolah contoh memiliki kondisi yang berbedabeda dalam kaitannya dengan penerapan PLH pada masing-masing sekolah. 5.2
Persepsi guru tentang Lingkungan Persepsi guru tentang lingkungan diinterpretasikan dari gambar dan definisi
yang dibuat oleh guru mengenai lingkungan.
Gambar digunakan untuk
mengidentifikasi model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan, sedangkan
definisi
lingkungan
digunakan
untuk
mengidentifikasi
gagasan/pengetahuan yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan. Analisis terhadap gambar maupun tulisan dilakukan berdasarkan konsep lingkungan North American Association for Environmental Education (NAAEE). Guideliness for the Preparation and Professional Development of Environmental Educators - Panduan untuk Persiapan dan Pengembangan Profesional Pendidik Lingkungan Hidup (NAAEE 2004) menyebutkan bahwa seorang tenaga pendidik lingkungan hidup harus dapat menjelaskan mengenai lingkungan dengan memasukkan konsep-konsep sistem, saling ketergantungan, serta interaksi diantara manusia, organisme hidup lainnya, lingkungan fisik/abiotik, dan lingkungan buatan.
Analisis terhadap gambar dan tulisan dilakukan dengan
melihat keberadaan keempat komponen lingkungan (manusia, biotik, abiotik dan lingkungan buatan) serta konsep interaksi dan saling ketergantungan diantara komponen tersebut, dalam gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru. Moseley dan Desjean-Perotta (2010) menyatakan bahwa model kognitif atau model mental dibentuk oleh setiap individu berdasarkan pengetahuan, gagasangagasan yang dimiliki, dan pengalaman yang dimilikinya dalam upaya menginterpretasikan dan menjelaskan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Gambar yang dibuat oleh para guru hampir seluruhnya menunjukkan suasana pegunungan, namun ada pula yang menggambarkan hutan, pemukiman dan
50 sekolah. Suasana pegunungan tersebut merupakan lingkungan di sekitar sekolah tempat guru mengajar maupun lingkungan di sekitar tempat tinggal guru tersebut, suasana yang sudah lekat dalam keseharian guru sehingga membentuk model mental guru mengenai lingkungan. Hasil analisis terhadap gambar yang dibuat oleh para guru dari sekolah contoh menunjukkan hanya ada dua gambar (6,45%) yang mencerminkan adanya pemahaman guru akan interaksi, dan hanya ada tiga gambar (9,68%) yang menggambarkan manusia (Tabel 10). Berdasarkan jumlah komponen lingkungan yang digambarkan oleh guru, ada dua gambar (6,45%) yang menunjukkan keberadaan
keempat
komponen
lingkungan,
sedangkan
70,97%
gambar
menunjukkan tiga komponen lingkungan. Tabel 10 Analisis terhadap gambar yang dibuat guru Hasil Konsep lingkungan yang digambarkan Manusia Biotik Abiotik lingkungan buatan interaksi (skor 5 - 8) interaksi sistem (skor >8) gambar tidak jelas tidak menggambar Jumlah komponen digambarkan Satu Dua Tiga Empat
Jumlah
% 3 25 28 24 2 0
9,68 80,65 90,32 77,42 6,45 0,00
2 1
6,45 3,23
0 4 22 2
0,00 12,90 70,97 6,45
Berdasarkan konsep lingkungan NAAEE, sebagian besar (83,87%) gambar yang dibuat para guru menunjukkan bahwa model mental yang dimiliki oleh guru mengenai lingkungan tidak utuh.
Sebagian besar gambar yang dibuat tampak
menempatkan manusia pada posisi di luar lingkungan yang digambarkan. Hal ini dikarenakan saat guru diminta untuk menggambarkan lingkungan menurut pemikirannya, maka guru melihat lingkungan sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya, menempatkan diri sebagai pengamat yang melihat kondisi di luar.
51 Faktor penyebab lainnya karena guru kurang memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimilikinya mengenai lingkungan dalam bentuk gambar. Hal tersebut tampak pada saat pengambilan data, ada guru yang secara terus terang menyatakan ketidakmampuannya untuk membuat gambar dan bahkan ada guru yang tidak membuat gambar apapun. Konsekuensi dari hal tersebut adalah skor untuk gambar guru sebagian besar rendah, rata-rata skor gambar guru sebesar 3 dari total kemungkinan skor tertinggi sebesar 12. Hanya ada dua gambar yang mendapatkan skor antara 5 – 8, yang menunjukkan pemahaman guru akan adanya interaksi dalam lingkungan. Hal berbeda terlihat pada definisi lingkungan yang dibuat oleh para guru dari keempat sekolah contoh.
Jika pada gambar hanya ada tiga gambar manusia,
definisi yang dibuat oleh guru menunjukkan hal sebaliknya. Manusia disebutkan pada 14 (45,16%) definisi lingkungan yang dituliskan oleh guru, dengan 6 definisi (19,35%) diantaranya menyebutkan manusia dan saling ketergantungan dengan lingkungan sekitarnya tanpa penyebutan faktor lingkungan secara spesifik (Tabel 11). Marten (2001) menyebutkan mengenai persepsi umum mengenai alam pada masyarakat tradisional yang menekankan fakta bahwa segala sesuatu di alam saling berhubungan, segala kegiatan manusia ada konsekuensinya, namun pandangan tersebut tidak menekankan pada hubungan tersebut secara rinci. Tabel 11 Analisis terhadap definisi lingkungan yang dibuat guru Hasil Konsep lingkungan yang disebutkan: Manusia Biotik Abiotik lingkungan buatan interaksi dan saling ketergantungan jawaban tidak jelas Tidak memberi jawaban Jumlah komponen lingkungan yang disebutkan: Satu Dua Tiga Empat
Jumlah
%
14 7 4 2 12
45,16 22,58 12,90 6,45 38,71
15
48,39
1
3,23
8 3 3 1
25,81 9,68 9,68 3,23
52 Definisi yang dituliskan oleh guru 48,39% tidak jelas, sehingga keberadaan faktor/komponen lingkungan tidak dapat diidentifikasi, dan satu guru (3,23%) bahkan tidak menuliskan jawaban apapun (Tabel 11). Banyaknya jawaban guru yang tidak jelas saat diminta untuk menuliskan definisi mengenai lingkungan berdasarkan pemikirannya mengarah pada kesimpulan bahwa guru tidak memiliki pemahaman yang baik tentang lingkungan.
Guru tidak menguasai konsep
lingkungan secara utuh. Jika dibandingkan antara gambar dan tulisan yang dibuat oleh guru, terlihat bahwa sebagian besar guru kurang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan gagasan, pemikiran ataupun persepsinya tentang lingkungan dalam bentuk gambar maupun tulisan. Diskusi dengan guru juga menunjukkan bahwa guru memang tidak terbiasa dan kurang mampu mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk gambar dan tulisan. Instrumen DAET yang digunakan untuk mengukur persepsi guru tentang lingkungan dikembangkan di negara maju yang masyarakatnya telah terbiasa mengungkapkan pemikiran, gagasan ataupun persepsi yang dimiliki dalam bentuk gambar ataupun tulisan.
Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk
pengungkapan gagasan, pemikiran atau persepsi belum membudaya sebagai suatu perilaku yang penting dalam dunia pendidikan di Indonesia. Masyarakat Indonesia lebih terbiasa mengungkapkan pemikirannya secara lisan. Pendidikan di Indonesia belum mendorong penggunaan bentuk ekspresi gambar dan tulisan tersebut. Hal tersebut telah membuat guru tidak dapat mengekspresikan/mengungkapkan pemahamannya mengenai konsep lingkungan dengan baik dalam DAET. Kemampuan guru untuk dapat mengungkapkan pemikiran, ide/gagasan dan persepsi dengan berbagai cara sesungguhnya akan membuka pilihan yang lebih luas bagi guru untuk menggunakan cara yang dapat lebih dipahami oleh siswanya. Analisis statistik dengan menggunakan Spearman correlation dilakukan terhadap hasil skor persepsi dari gambar yang dibuat guru dengan menggunakan Draw-An-Environment-Test Rubric (DAET-R) untuk mengetahui keberadaan asosiasi atau hubungan antara persepsi lingkungan guru dengan peubah usia, pendidikan, masa kerja dan lama mengajar. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa tidak ada satupun nilai dari keempat peubah tersebut yang secara statistik berbeda nyata, artinya keempat peubah tersebut tidak memiliki asosiasi/hubungan
53 dengan persepsi lingkungan. Persepsi mengenai lingkungan pada guru-guru dari sekolah contoh tidak dipengaruhi oleh usia guru tersebut, pendidikan yang pernah diikuti, masa kerja maupun lama mengajar. Uji statistik dengan Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis dilakukan untuk melihat apakah peubah seperti tingkat pendidikan, sekolah tempat mengajar, jenis kelamin, kelas yang pernah diasuh, kelas yang saat ini diasuh, mata ajaran khusus yang pernah diasuh, mata ajaran khusus yang saat ini diasuh, tugas lainnya, pengalaman mengajar PLH, PLH formal yang pernah diikuti, PLH non formal yang pernah diikuti, pengalaman mengikuti organisasi yang kegiatannya berfokus pada
alam,
serta
pengalaman
berinteraksi
dengan
alam
dan
waktu
mendapatkannya membentuk perbedaan persepsi lingkungan diantara guru. Hasil analisis menunjukkan tidak ada satupun nilai yang secara statistik berbeda nyata, sehingga dapat disimpulkan bahwa kesemua peubah tersebut tidak memberikan perbedaan persepsi lingkungan pada guru. Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah dilaksanakan oleh guru, sehingga semestinya guru menguasai konsep lingkungan karena konsepsi lingkungan atau persepsi lingkungan tersebutlah yang akan ditransfer kepada anak didiknya.
Guru juga perlu memiliki kemampuan untuk mengungkapkan
pemikirannya dengan berbagai bentuk ekspresi, yaitu lisan, tulisan, dan gambar, sehingga guru memiliki pilihan yang lebih terbuka untuk menggunakan berbagai kemampuannya bereskpresi yang dapat disesuaikannya dengan kondisi kelas dan anak didiknya.
Jika yang disampaikan oleh guru adalah persepsi yang tidak
utuh/terbatas, baik karena persepsi yang memang terbatas ataupun kemampuan untuk mengungkapkannya yang terbatas, maka akan membentuk persepsi yang juga tidak utuh/terbatas pada anak didik yang kemudian akan mempengaruhi perilakunya terhadap lingkungan. Persepsi lingkungan yang kurang lengkap atau terbatas, ataupun kemampuan guru yang terbatas dalam mengungkapkan persepsinya tersebut membutuhkan perhatian dari para pihak yang berkepentingan dengan pendidikan. Tenaga pendidik lingkungan hidup harus memiliki pemahaman, keterampilan dan sikap yang berkaitan dengan literasi lingkungan (NAAEE 2004). Para guru dari sekolah contoh membutuhkan berbagai kegiatan untuk peningkatan kapasitasnya,
54 sehingga guru dapat memiliki pemahaman dan sikap yang baik mengenai lingkungan, serta keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat menyampaikan pemahaman tersebut kepada para siswa/anak didiknya dengan efektif. 5.3
Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) Persepsi guru tentang Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) diidentifikasi
melalui motivasi dan sikap guru terhadap PLH.
Motivasi diukur pada enam
subskala/peubah,
PLH
sedangkan
sikap
terhadap
diukur
pada
dua
subskala/peubah. Analisis faktor dilakukan terhadap skor yang didapat oleh guru sekolah contoh dari kedelapan subskala/peubah tersebut, sehingga didapatkan faktor baru yang secara ringkas menggambarkan persepsi guru terhadap PLH. 5.3.1 Persepsi Guru berdasarkan Motivasi Mengajar PLH Motivasi diukur pada enam subskala/peubah, yaitu interest/enjoyment, perceived competence, effort/importance, pressure/tension, perceived choice, dan value/usefulness. Persepsi guru berdasarkan keenam peubah tersebut diuraikan sebagai berikut. a.
Minat/Kesenangan Guru terhadap PLH Subskala interest/enjoyment (minat) digunakan untuk mengukur minat dan
kesenangan guru terhadap PLH yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik pada guru dalam mengajarkan PLH. Subskala minat diwakili oleh pernyataan nomor 1, 7, 13 dan 19 pada kuesioner bagian motivasi. Tabel 12 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala interest/enjoyment Skor No. 1 7 13 19
Pernyataan
5
4
3
2
1
%
%
%
%
%
Saya sangat menikmati kegiatan mengajar PLH kepada siswa
35,48
51,61
9,68
3,23
0,00
Kegiatan mengajar PLH sangat menyenangkan.
32,26
45,16
16,13
3,23
3,23
Saya rasa mengajar PLH adalah kegiatan yang membosankan.
51,61
38,71
6,45
0,00
3,23
Mengajar PLH sama sekali tidak menarik bagi saya.
74,19
25,81
0,00
0,00
0,00
48,39
40,32
8,06
1,61
1,61
Rata-rata
55 Skor 5 pada subskala interest/enjoyment yang diwakili oleh pernyataan nomor 1, 7, 13 dan 19 berturut-turut menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH selalu sangat dinikmati oleh guru, selalu sangat menyenangkan bagi guru, selalu tidak membosankan bagi guru, dan selalu menarik bagi guru. Selanjutnya skor 4 menunjukkan kegiatan mengajar PLH seringkali sangat dinikmati, seringkali sangat menyenangkan, seringkali tidak membosankan dan seringkali menarik bagi guru.
Skor 3 menunjukkan kegiatan mengajar PLH kadang sangat
dinikmati, kadang sangat menyenangkan, kadang tidak membosankan dan kadang menarik bagi guru. Skor 2 menunjukkan bahwa kegiatan mengajar PLH seringkali tidak dapat dinikmati, seringkali tidak menyenangkan, seringkali membosankan dan seringkali tidak menarik bagi guru, dan skor 1 menunjukkan kegiatan mengajar PLH selalu tidak dapat dinikmati oleh guru, selalu tidak menyenangkan, selalu membosankan dan selalu tidak menarik. Sebagian besar guru mendapatkan skor 5 dan 4 pada keempat nomor pernyataan subskala interest/enjoyment (Tabel 12).
Hanya 8,06% guru yang
mendapatkan skor 3 dan masing-masing 1,61% guru yang mendapatkan skor 2 dan 1.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru dapat
menikmati kegiatan mengajar PLH dan merasa bahwa kegiatan tersebut sangat menyenangkan, tidak membosankan, dan menarik.
Hampir semua guru dari
sekolah contoh memiliki minat/kesenangan untuk mengajar PLH yang dapat menumbuhkan motivasi intrinsik guru untuk mengajar PLH. Hal tersebut berarti bahwa guru memiliki persepsi positif tentang PLH dalam hal minat/kesenangan guru untuk mengajar PLH. b. Kompetensi yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH Subskala perceived competence (kompetensi) mengukur persepsi guru tentang kompetensi/kemampuan guru untuk mengajar PLH kepada siswanya. Subskala kompetensi diwakili oleh pernyataan nomor 2, 8, 14, 20 dan 25 dalam kuesioner bagian motivasi. Skor 5, 4, 3, 2, dan 1 pada masing-masing pernyataan tersebut berturut-turut berarti bahwa guru selalu, seringkali, kadang, seringkali tidak, dan selalu tidak merasa sangat mampu mengajar PLH, merasa kemampuannya mengajar PLH cukup baik jika dibandingkan guru lain, merasa
56 sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, merasa terampil mengajar PLH, dan merasa dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya. Guru yang merasa sangat mampu mengajar PLH (skor 5 dan 4) lebih sedikit persentasenya dibandingkan guru yang merasa sebaliknya (skor 2 dan 1), sedangkan persentase guru yang kadang merasa sangat mampu dan kadang sebaliknya cukup besar, yaitu 38,71% (Tabel 13). Jika diminta membandingkan kemampuannya mengajar PLH dengan guru lainnya (pernyataan nomor 8), lebih dari 50% guru merasa kemampuannya mengajar PLH tidak cukup baik. Hal tersebut berarti bahwa guru kurang percaya diri akan kemampuannya mengajar PLH dibandingkan guru lainnya. Tabel 13 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived competence Skor No 2
Pernyataan
5
4
3
2
1
%
%
%
%
%
Saya merasa sangat mampu mengajar PLH.
3,23
25,81
38,71
25,81
6,45
Saya rasa kemampuan saya mengajar PLH cukup baik jika dibandingkan dengan guru lain.
0,00
6,45
29,03
38,71
25,81
Saya sangat puas dengan pengajaran PLH yang saya lakukan.
9,68
19,35
48,39
19,35
3,23
20
Saya merasa terampil mengajar PLH.
3,23
6,45
35,48
38,71
16,13
25
Saya tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya.
0,00
25,81
48,39
12,90
12,90
3,23
16,77
40,00
27,10
12,90
8
14
Rata-rata
Persentase guru yang mendapatkan skor 5 (9,68%) pada pernyataan nomor 14 lebih besar daripada guru yang mendapatkan skor 1 (3,23%), sedangkan guru yang mendapatkan skor 4 dan 2 sama banyak (19,35%). Persentase guru terbesar (48,39%) mendapatkan skor 3. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase guru yang selalu merasa sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya lebih besar dibandingkan guru yang selalu merasa sangat tidak puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya. Hampir setengah jumlah guru terkadang merasa sangat puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya, yang juga berarti bahwa guru kadang merasa sangat tidak puas dengan pengajaran PLH yang dilakukannya. Kepuasan guru akan pengajaran PLH yang dilakukannya dapat bersumber dari
57 harapan dan upaya yang telah dilakukan dalam pengajaran PLH kepada siswa dan hasil respon siswa yang didapatkan dari upayanya tersebut. Guru yang selalu merasa sangat puas menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan sesuai dengan harapan dan upaya yang telah dilakukannya, sebaliknya guru yang merasa tidak puas mendapatkan respon yang tidak sesuai dengan harapan dan upaya yang telah dilakukannya. Penilaian guru terhadap keterampilannya mengajar PLH diwakili dalam pernyataan nomor 20.
Persentase guru yang mendapatkan skor tinggi pada
pernyataan ini lebih rendah dibandingkan guru yang mendapatkan skor rendah (Tabel 13). Persentase guru yang seringkali merasa tidak terampil mengajar PLH paling besar, yaitu sebesar 38,71%. Guru yang selalu merasa tidak terampil mengajar PLH sebesar 16,13%, persentase yang lebih besar daripada guru yang merasa terampil mengajar PLH. Ini berarti lebih banyak guru yang merasa tidak terampil mengajar PLH. Pernyataan nomor 25 mengacu pada kemampuan guru mengajar PLH dibandingkan materi lainnya. Pada pernyataan ini persentase guru yang terbesar, yaitu 48,39%, menyatakan bahwa guru kadang dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya. Tidak ada guru yang menyatakan selalu dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya, namun ada 25,81% guru yang seringkali dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya, dan masing-masing 12,90% guru menyatakan seringkali tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya dan selalu tidak dapat mengajar PLH sebaik materi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru masih kurang percaya diri dengan kemampuannya mengajar PLH dibandingkan pengajaran materi lain. Secara keseluruhan pada subskala kompetensi ini, lebih banyak guru yang merasa kemampuan/kompetensi yang dimilikinya dalam mengajar PLH masih kurang. Persepsi guru tentang kompetensi atau kemampuannya dalam mengajar PLH sesungguhnya akan mempengaruhi cara guru mengajar PLH. Guru yang merasa memiliki kemampuan akan lebih percaya diri dalam memberikan materimateri PLH kepada siswanya dan dapat menumbuhkan kepercayaan siswa terhadap guru dan materi yang diberikannya, sehingga dapat memberikan respon yang baik dari siswa.
58 c.
Upaya/Arti Penting PLH bagi Guru Effort/importance (upaya/arti penting) merupakan subskala yang mengukur
upaya yang dilakukan guru dalam mengajar PLH dan pandangan guru terhadap arti PLH bagi dirinya. Subskala ini diwakili oleh pernyataan nomor 3, 9, 15, 21 dan 26. Pernyataan nomor 3, 9, dan 26 merujuk pada upaya keras yang dilakukan guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa, pernyataan nomor 21 merujuk pada energi yang harus dikeluarkan oleh guru untuk mengajarkan PLH kepada siswa, dan pernyataan nomor 15 mengacu pada arti penting pengajaran PLH bagi guru. Sebagian besar guru (ditunjukkan oleh persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4) merasa selalu atau seringkali harus berupaya keras untuk mengajarkan PLH kepada siswa, berusaha sangat keras untuk dapat mengajarkan PLH kepada siswa dan mencoba sangat keras untuk dapat mengajar PLH dengan baik (Tabel 14). Sebanyak 45,16% guru merasa harus mengeluarkan banyak energi untuk mengajarkan PLH kepada siswa. Guru juga merasakan pentingnya mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa. Tabel 14 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala effort/importance Skor No 3 9 15 21 26
Pernyataan
5
4
3
2
1
%
%
%
%
%
Saya harus berupaya keras untuk dapat mengajarkan PLH kepada para siswa.
38,71
41,94
16,13
0,00
3,23
Saya tidak perlu berusaha sangat keras untuk dapat mengajarkan PLH kepada para siswa.
45,16
41,94
9,68
3,23
0,00
Bagi saya, mengajar PLH dengan baik adalah hal yang penting.
74,19
22,58
3,23
0,00
0,00
Saya tidak mengeluarkan banyak energi untuk mengajar PLH kepada para siswa.
9,68
45,16
19,35
25,81
0,00
Saya mencoba sangat keras untuk dapat mengajar PLH dengan baik.
32,26
41,94
25,81
0,00
0,00
40,00
38,71
14,84
5,81
0,65
Rata-rata
Hasil dari subskala upaya/arti penting ini menunjukkan bahwa pandangan guru mengenai pentingnya mengajarkan PLH dengan baik kepada siswa nampaknya diwujudkan oleh guru dengan mencurahkan upaya keras dan energi yang besar dalam mengajarkan PLH tersebut. Guru memiliki dorongan/motivasi
59 yang kuat dalam mengajarkan PLH kepada siswa dengan baik karena merasakan pentingnya hal tersebut bagi guru. d. Beban/Tekanan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH Beban/tekanan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH diukur dengan subskala pressure/tension (beban). Subskala ini mencoba menggali apakah guru merasa bahwa mengajar PLH merupakan sebuah beban/tekanan bagi dirinya dengan berbagai pernyataan yang merujuk pada perasaan gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan yang dirasakan oleh guru jika harus mengajar PLH. Skor 5 dan 4 menunjukkan bahwa mengajar PLH bukan merupakan beban bagi guru. Guru selalu dan seringkali merasa tidak gugup, tidak tegang, tenang, tidak gelisah dan tidak tertekan saat mengajar PLH. Skor 2 dan 1 menunjukkan hal berlawanan, yaitu bahwa mengajar PLH merupakan beban bagi guru.
Guru
seringkali dan selalu merasa gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan saat mengajar PLH. Tabel 15 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala pressure/tension Skor No
Pernyataan
5
4
3
2
1 %
%
%
%
%
Saya sama sekali tidak merasa gugup saat mengajar PLH.
25.81
35.48
19.35
12.90
6.45
Saya merasa sangat tegang saat mengajar PLH.
35.48
32.26
29.03
3.23
0.00
16
Saya merasa tenang saat mengajar PLH.
16.13
45.16
35.48
3.23
0.00
22
Saya merasa gelisah jika mengajar PLH.
38.71
32.26
25.81
0.00
3.23
27
Saya merasa tertekan jika mengajar PLH.
48.39
32.26
12.90
0.00
6.45
32.90
35.48
24.52
3.87
3.23
4 10
Rata-rata
Secara keseluruhan lebih banyak guru yang merasakan bahwa mengajar PLH bukan beban bagi dirinya, karena guru tidak merasa gugup, tegang, tidak tenang, gelisah dan tertekan saat mengajar PLH (ditunjukkan oleh persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada Tabel 15). Pada sekolah-sekolah tersebut pengajaran PLH masih dilaksanakan secara integratif dalam berbagai mata ajaran inti yang ada, belum menjadi sebuah program pengajaran tersendiri. Selain itu tidak ada target pencapaian kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan
60 dengan PLH, sehingga guru tidak harus mengejar target pencapaian kurikulum seperti halnya pada mata ajaran inti. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar guru tidak merasa pengajaran PLH menjadi suatu beban, namun ada juga sebagian guru (24,52%) yang merasa PLH kadang menjadi beban. Hal tersebut diduga berkaitan dengan kompetensi guru untuk mengajar PLH. e.
Pilihan yang Dirasakan Guru dalam Mengajar PLH Subskala perceived choice (pilihan) mengukur pilihan yang dirasakan guru
dalam mengajar PLH, sehingga dapat memberikan gambaran motivasi yang dimiliki guru untuk mengajar PLH. Ryan et al. (1991) menyatakan bahwa saat termotivasi secara intrinsik, orang akan merasakan minat/kesenangan dan pilihan terhadap sesuatu yang dilakukannya.
Skor tinggi pada subskala minat
(interest/enjoyment) dan subskala pilihan ini menunjukkan bahwa guru memiliki motivasi intrinsik. Tabel 16 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala perceived choice Skor No.
Pernyataan
5
4
3
2
1
%
%
%
%
%
Saya percaya bahwa saya punya pilihan dalam mengajarkan PLH.
16,13
29,03
22,58
19,35
12,90
11
Saya tidak punya pilihan dalam mengajar PLH.
29,03
35,48
25,81
6,45
3,23
17
Saya merasakan adanya keharusan untuk mengajar PLH.
6,45
3,23
19,35
22,58
48,39
Saya mengajar PLH karena saya tidak punya pilihan lain.
58,06
25,81
9,68
6,45
6,45
Saya mengajar PLH karena saya ingin melakukannya.
38,71
29,03
25,81
6,45
0,00
Saya mengajar PLH karena saya harus melakukannya.
3,23
3,23
19,35
25,81
48,39
Rata-rata
25,3
21,0
20,4
14,5
19,9
5
23 28 30
Pernyataan nomor 5, 11 dan 23 mengukur pilihan yang dirasakan oleh guru dalam mengajar PLH.
Pernyataan 5 dan 11 berimplikasi pada pilihan pola
pengajaran PLH guru, sedangkan pernyataan 23 berimplikasi pada pilihan mengajar PLH sebagai sebuah tugas. Tabel 16 menunjukkan bahwa pada ketiga pernyataan yang berkaitan dengan pilihan tersebut persentase guru yang merasa
61 punya pilihan (skor 5 dan 4) terkait pengajaran PLH lebih besar daripada guru yang merasa tidak punya pilihan (skor 2 dan 1). Lebih banyak guru yang merasa punya pilihan dalam mengajar PLH, baik dalam kaitannya dengan pola pengajaran maupun PLH sebagai sebuah tugas. Pernyataan nomor 17 dan 30 berkaitan dengan keharusan yang dirasakan guru dalam mengajar PLH. Pada kedua pernyataan tersebut guru yang merasakan keharusan dalam mengajar PLH (skor 2 dan 1) lebih besar persentasenya dibandingkan guru yang merasakan ketidak harusan mengajar PLH. Ryan et al. (1991) menyatakan bahwa saat orientasi seseorang dalam melakukan sesuatu bergeser dari keinginannya untuk melakukan sesuatu dengan baik menjadi keharusan untuk melakukan sesuatu dengan baik untuk mempertahankan harga dirinya, maka motivasi intrinsiknya menurun.
Namun guru nampaknya
merasakan keharusan untuk mengajar PLH karena memandang PLH sebagai hal yang penting untuk dilakukan, bukan semata-mata untuk mempertahankan harga diri, mengingat PLH belum dibakukan dalam kurikulum standar dengan target yang harus dikejar guru. Sebagian besar guru juga menyatakan mengajar PLH karena ingin melakukannya (pernyataan nomor 28). Secara keseluruhan pada subskala ini, rata-rata persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 lebih besar dibandingkan persentase guru yang mendapatkan skor 2 dan 1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan guru yang memiliki motivasi intrinsik untuk mengajar PLH lebih besar persentasenya dibandingkan guru yang tidak memiliki motivasi intrinsik. f.
Nilai/Kegunaan PLH menurut Guru Nilai/kegunaan PLH menurut guru diukur dengan menggunakan subskala
value/usefulness yang diwakili oleh pernyataan nomor 6, 12, 18, 24 dan 29. Pernyataan nomor 6 merujuk pada kepercayaan guru bahwa mengajar PLH bermanfaat bagi dirinya, pernyataan nomor 12 merujuk pada kepercayaan guru bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan, pernyataan nomor 18 merujuk pada kepercayaan guru bahwa PLH penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa, pernyataan nomor 24 merujuk pada kesediaan guru untuk kembali mengajar PLH
62 karena dirasa bermanfaat bagi dirinya, dan pernyataan nomor 29 merujuk pada pendapat guru bahwa pengajaran PLH merupakan hal yang penting. Ada 9,68% guru yang menyatakan bahwa pernyataan nomor 6 selalu tidak benar bagi dirinya, artinya guru tersebut merasa bahwa mengajar PLH selalu tidak bermanfaat bagi dirinya (Tabel 17). Pernyataan tersebut diberikan oleh guru yang mengajar pada tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD). Pada pernyataan nomor 12 “Saya rasa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan”, ada 3,23% guru yang menyatakan pernyataan nomor 12 kadang benar (kadang tidak benar) bagi dirinya. Selebihnya guru menyatakan dengan intensitas kebenaran berbeda (selalu benar dan seringkali benar) bagi dirinya bahwa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan. Tabel 17 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala value/usefulness Skor 5
4
3
2
1
%
%
%
%
%
Saya percaya mengajar PLH bermanfaat bagi saya.
67,74
16,13
6,45
0,00
9,68
Saya rasa mengajar PLH berguna untuk membentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan
74,19
22,58
3,23
0,00
0,00
Saya rasa PLH penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa.
77,42
19,35
0,00
0,00
3,23
24
Saya akan bersedia untuk mengajar PLH lagi karena mengajarkan PLH bermanfaat bagi saya
41,94
32,26
19,35
3,23
3,23
29
Menurut saya mengajar PLH adalah hal yang penting
64,52
19,35
12,90
3,23
0,00
65,16
21,94
8,39
1,29
3,23
No. 6 12
18
Pernyataan
Rata-rata
Pada pernyataan nomor 18 bahwa PLH penting untuk diajarkan karena dapat memberi pengaruh positif bagi siswa, ada 3,23% guru yang menyatakan selalu tidak benar. Pernyataan tersebut diberikan oleh guru kelas 2. Pengajaran PLH yang diberikan oleh guru tersebut kepada siswa kelas 2 nampaknya belum memberikan pengaruh positif pada siswa. Pernyataan nomor 24 merujuk pada kesediaan guru untuk mengajar PLH lagi karena mengajarkan PLH bermanfaat bagi dirinya. Ada masing-masing 3,23% guru yang mendapatkan skor 1 dan 2
63 pada pernyataan tersebut.
Artinya ada guru yang merasa kondisi dalam
pernyataan tersebut selalu tidak benar dan seringkali tidak benar bagi dirinya. Guru yang mendapatkan skor 1 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 1, sedangkan guru dengan skor 2 pada pernyataan tersebut adalah guru kelas 3. Ada 3,23% guru yang merasa mengajar PLH seringkali bukan menjadi hal yang penting (pernyataan nomor 29), yang berimplikasi bahwa ada materi pengajaran lain yang lebih penting baginya. PLH yang belum menjadi prioritas pengembangan dan pelaksanaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pengembangan sekolah diduga sebagai salah satu penyebab hal tersebut. Pada dinas tersebut mata ajaran inti masih menjadi fokus untuk pengembangan dan pelaksanaannya.
Selain itu target
kelulusan siswa dari sekolah dasar masih sepenuhnya berdasar pada mata ajaran inti sehingga guru memiliki tekanan untuk mengejar target kurikulum mata ajaran inti, yang mengakibatkan PLH tidak atau belum menjadi prioritas di sekolah, sehingga guru merasa PLH menjadi tidak penting. Persentase guru yang berpendapat bahwa mengajar PLH memiliki nilai dan kegunaan/manfaat baik bagi dirinya maupun bagi siswanya secara keseluruhan jauh lebih besar daripada guru yang merasa bahwa mengajar PLH kurang atau tidak memiliki nilai dan kegunaan/manfaat bagi dirinya dan siswanya. Guru yang merasa kurangnya nilai/manfaat PLH baik bagi dirinya maupun siswanya merupakan guru yang mengajar tingkat kelas rendah (kelas 1 – 3 SD), pada SDN Gunung Bunder 03 dan SDN Gunung Bunder 04. Guru merasa pengajaran PLH pada kelas rendah tidak bermanfaat dan tidak bersedia melakukan pengajaran PLH lagi dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, pengajaran PLH pada kelas rendah masih sangat terbatas pada materi lingkungan yang terdapat dalam kurikulum mata ajaran inti yang sifatnya sederhana dan teoritis diberikan di kelas, sehingga guru pada kelas rendah tidak merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya.
Kedua, pengajaran yang
bersifat teoritis di kelas belum dapat memberikan respon positif pada perilaku siswa terhadap lingkungan. Ketiga, anak usia 6 – 9 tahun (usia siswa SD pada tingkat kelas rendah, 1 – 3 SD) biasanya masih membawa perilaku masa balita yang
masih sulit
64 memfokuskan perhatian dan mempertahankan perhatian dalam jangka waktu lama. Anak usia tersebut biasanya masih senang bermain-main, meskipun sudah mulai dapat diarahkan, karena anak usia 6 – 11 tahun (periode middle dan late childhood) mulai menguasai keahlian membaca, menulis dan menghitung serta semakin mampu mengendalikan diri (Santrock 2008). Santrock (2008) juga menguraikan tahapan perkembangan kognitif Piaget yang menyatakan bahwa anak usia 6 – 7 tahun berada pada tahap pra-operasional dan anak usia 8 – 9 tahun berada pada tahap operasional konkret.
Tahap pra-operasional, yaitu masa
seorang anak berpikir secara egoistis dan intuitif berdasarkan perspektif dirinya sendiri, dan memusatkan perhatian hanya pada satu karakteristik dan mengabaikan karakteristik lainnya dari sesuatu. Tahap operasional konkret adalah tahap saat pemikiran logis mulai menggantikan pemikiran intuitif, namun pada situasi konkret. Karakteristik perkembangan siswa pada tingkat kelas rendah yang demikian menuntut guru untuk memiliki kesabaran, kesediaan mencurahkan upaya dan kemampuan mengendalikan perilaku siswa yang lebih besar. Hal tersebut dapat dirasa sebagai sesuatu yang memberatkan guru, terutama dalam pengajaran PLH yang menuntut dibukanya kesempatan bagi siswa untuk dapat berinteraksi langsung dengan alam/lingkungan.
Interaksi langsung dengan alam berarti
membawa siswa keluar kelas yang berarti adanya tuntutan curahan waktu dan energi lebih dari guru dalam mengarahkan siswanya, terutama guru tingkat kelas rendah tersebut. Pengajaran PLH dengan praktek interaksi langsung dengan alam pada SDN Gunung Bunder 04 diberikan pada mata ajaran PJOK yang ditangani oleh satu guru khusus, bukan oleh guru kelas, sehingga guru kelas rendah menjadi tidak merasakan manfaat pengajaran PLH bagi dirinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif berdasarkan motivasinya untuk mengajar PLH, namun guru juga memiliki persepsi bahwa kompetensinya rendah untuk mengajar PLH. Sebagian besar guru memiliki pandangan bahwa mengajar PLH dapat dinikmati, menyenangkan, tidak membosankan dan menarik. Guru juga memandang PLH sebagai program yang penting dan memiliki manfaat, baik bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungan.
65 Guru merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH dan tidak merasa terbebani, Persepsi tersebut berkembang karena PLH belum dibakukan dalam sebuah kurikulum standar dengan target yang harus dicapai oleh guru, sehingga guru masih memiliki kebebasan dan pilihan dalam mengajar PLH, baik berkaitan dengan materi, maupun metode yang digunakan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa guru memiliki motivasi yang bersifat intrinsik atau otonomi yang dapat menjadi modal dasar guru untuk melaksanakan PLH yang efektif. Selain motivasi intrinsik atau otonomi sebagai modal dasar guru, pelaksanaan PLH yang efektif juga harus didukung oleh kompetensi guru yang baik. Persepsi positif guru terhadap kompetensinya dapat lebih meningkatkan rasa percaya diri dan memperluas pilihan guru dalam mengajar PLH. Persepsi guru yang merasa bahwa dirinya kurang atau tidak kompeten dalam mengajar PLH menjadi permasalahan yang menyebabkan pengajaran PLH yang efektif menjadi sulit untuk dicapai. Assor dan Oplatka (2003) diacu dalam Roth et al. (2007) menyatakan bahwa kepala sekolah dapat membantu meningkatkan motivasi otonomi guru untuk mengajar dengan mendorong keterlibatan guru dalam pengambilan keputusan besar, mendelegasikan kewenangan, berupaya memahami kebutuhan guru, dan membantu berkembangnya struktur organisasi dan iklim yang mendukung rasa keterikatan dan kompetensi guru. Fasilitasi perlu pula dilakukan agar guru dapat mengeksplorasi identitas profesionalnya dan membentuk visi diantara guru, sehingga guru dapat mengeksplorasi nilai dan tipe pengetahuan yang ingin mereka sampaikan kepada siswa, dan materi yang mereka anggap penting dan dapat dinikmati/menyenangkan (Roth et al. 2007). 5.3.2 Persepsi Guru berdasarkan Sikap terhadap PLH Sikap guru terhadap PLH diukur pada dua subskala, yaitu self-efficacy belief/personal EE teaching efficacy (PETE) dan outcome expectancy/EE teaching outcome expectancy (ETOE). Skor 5 pada kedua subskala tersebut menunjukkan bahwa guru sangat setuju terhadap pernyataan positif dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan negatif, skor 4 menunjukkan bahwa guru setuju terhadap pernyataan positif dan tidak setuju terhadap pernyataan negatif, skor 3 menunjukkan bahwa guru tidak dapat menentukan kesetujuannya, skor 2 menunjukkan bahwa guru tidak setuju terhadap pernyataan positif dan setuju
66 terhadap pernyataan negatif, skor 1 menunjukkan bahwa guru sangat tidak setuju terhadap pernyataan positif dan sangat setuju terhadap pernyataan negatif. Skor 5 dan 4 menunjukkan bahwa guru memiliki sikap positif, skor 3 menunjukkan bahwa guru tidak dapat menentukan sikap, sedangkan skor 2 dan 1 menunjukkan bahwa guru memiliki sikap yang negatif. a.
Efektivitas Diri Guru dalam Mengajar PLH Subskala self-efficacy belief/personal EE teaching efficacy (PETE),
mengukur kepercayaan diri guru terhadap kemampuannya untuk mengajar PLH secara efektif.
Subskala efektivitas diri ini diwakili 13 pernyataan, yaitu
pernyataan nomor 2, 3, 5, 6, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 22, dan 23 dalam kuesioner bagian sikap. Seluruh guru menyatakan kesetujuannya terhadap pernyataan nomor 2 dengan derajat kesetujuan masing-masing, yaitu 74,19% sangat setuju dan 25,81% setuju (Tabel 18), artinya semua guru dari sekolah contoh akan terus berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam mengajar PLH. Sebagian guru (19,35%) memperoleh skor 5 dan lebih dari setengah jumlah guru (51,84%) memperoleh skor 4 pada pernyataan nomor 3, artinya sebagian besar guru memiliki persepsi bahwa jika berusaha keras, guru akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata ajaran lainnya.
Namun adapula guru yang meragukan
kemampuannya mengajar PLH akan dapat sebaik pada mata ajaran lainnya meskipun telah berusaha keras (19,35%), dan ada guru yang merasa bahwa meskipun berusaha keras tetap tidak akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata ajaran lain (6,45%). Guru tersebut tampaknya kurang memiliki kepercayaan diri untuk mengajar PLH. Pernyataan nomor 5 berkaitan dengan pengetahuan guru akan langkah pengajaran PLH yang efektif. Sebanyak 12,90% guru sangat setuju dan 38,71% guru setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya guru tersebut berpandangan bahwa dirinya tahu langkah-langkah untuk mengajar PLH secara efektif. Namun ada pula guru (45,16%) yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkahlangkah mengajar PLH secara efektif, dan 3,23% guru yang merasa bahwa dirinya tidak tahu. Persentase guru yang ragu terhadap pengetahuannya akan langkahlangkah mengajar PLH secara efektif cukup besar, sehingga perlu mendapatkan
67 perhatian.
Guru yang meragukan pengetahuannya akan sulit untuk dapat
menerapkan pengajaran PLH yang efektif. Tabel 18 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala personal EE teaching efficacy (PETE) Persentase Guru pada Skor No. 2 3
5 6 8
Pernyataan
5
4
3
2
1
%
%
%
%
%
Saya akan terus berupaya menemukan cara yang lebih baik dalam mengajar PLH
74,19
25,81
0,00
0,00
0,00
Meskipun saya berusaha keras, saya tidak akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata ajaran lainnya
19,35
54,84
19,35
6,45
0,00
Saya tahu langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif
12,90
38,71
45,16
3,23
0,00
Saya tidak bisa melakukan kegiatan monitoring secara efektif
0,00
41,94
45,16
6,45
6,45
Secara umum saya tidak dapat mengajar PLH secara efektif
9,68
48,39
25,81
12,90
3,23
12
Saya memahami PLH dengan cukup baik sehingga dapat mengajar PLH secara efektif
12,90
41,94
29,03
12,90
3,23
17
Saya akan menemui kesulitan untuk menjelaskan kepada siswa mengapa percobaan ilmiah yang melibatkan topik lingkungan dapat dilakukan
3,23
25,81
32,26
29,03
9,68
Biasanya saya bisa menjawab pertanyaan siswa tentang PLH
12,90
61,29
25,81
0,00
0,00
Saya tidak yakin apakah saya memiliki ketrampilan yang diperlukan untuk mengajar PLH
3,23
38,71
51,61
3,23
3,23
Jika diberi pilihan, saya tidak akan meminta kepala sekolah untuk mengevaluasi pengajaran PLH saya
12,90
61,29
12,90
12,90
0,00
21
Jika siswa mengalami kesulitan untuk memahami suatu konsep PLH, biasanya saya tidak tahu bagaimana cara membantu siswa tersebut.
25,81
48,39
19,35
6,45
0,00
22
Saat mengajar PLH, biasanya saya memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya
48,39
48,39
0,00
0,00
3,23
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan untuk menarik minat siswa pada PLH
6,45
51,61
29,03
6,45
6,45
18,61
45,16
25,81
7,94
3,23
18 19
20
23
Rata-rata
Kemampuan guru untuk melakukan kegiatan monitoring secara efektif dinyatakan pada pernyataan nomor 6. Sebanyak 41,94% guru setuju terhadap pernyataan tersebut, namun 45,16% guru ragu akan kemampuannya melakukan kegiatan monitoring secara efektif, dan masing-masing 6,45% guru tidak setuju
68 dan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Artinya lebih dari setengah jumlah guru merasa kurang atau tidak dapat melakukan kegiatan monitoring secara efektif. Guru yang merasa dirinya secara umum dapat mengajar PLH secara efektif (pernyataan 8) sebesar 9,68% (skor 5) dan 48,39% (skor 4). Sebanyak 25,81% guru menyatakan keraguan, 12,90% guru tidak setuju dan 3,23% guru sangat tidak setuju. Persentase guru yang menyatakan memahami PLH dengan cukup baik sehingga dapat mengajar PLH secara efektif (pernyataan 12) lebih dari setengahnya (total 54,84%). Namun cukup besar pula persentase guru yang ragu akan pemahamannya terhadap PLH, dan bahkan ada pula yang tidak memahami PLH dengan cukup baik. Sebanyak 32,26% guru meragukan kemampuannya untuk menjelaskan kepada siswa mengenai relevansi percobaan ilmiah dengan topik yang dibahas, dan sebesar total 38,71% merasa tidak mampu melakukannya. Guru memandang kemampuannya menjelaskan relevansi metode dan materi kepada siswanya rendah. Persepsi positif terhadap kemampuan guru untuk menjawab pertanyaan siswa mengenai PLH dimiliki oleh total 74,19% guru, dan 25,81% guru ragu akan kemampuannya untuk menjawab pertanyaan PLH dari siswa (Tabel 18). Sebagian besar guru (51,61%) meragukan dirinya memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengajar PLH. Jika diberi pilihan, 74,19% guru akan meminta kepala sekolah untuk mengevaluasi pengajaran PLH yang dilakukannya. Sebagian besar guru menyatakan dirinya mengetahui cara membantu siswa memahami suatu konsep PLH (25,81% sangat setuju dan 48,39% setuju). Namun ada sebesar 19,35% guru ragu-ragu dan 6,45% tidak setuju. Sebagian besar guru setuju pada pernyataan bahwa guru biasanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya saat guru mengajar PLH, namun ada 3,23% guru yang menyatakan sangat tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sebanyak 6,45% guru sangat setuju dan 51,61% setuju pada pernyataan bahwa guru tahu apa yang harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Ada 29,03% guru raguragu, dan masing-masing 6,45% tidak setuju dan sangat tidak setuju pada pernyataan tersebut, yang artinya guru tersebut merasa tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menarik minat siswa pada PLH.
69 Subskala ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif terhadap kemampuannya mengajar PLH secara efektif pada 10 pernyataan (lebih dari 50% guru setuju dengan derajat kesetujuan berbeda), dan persepsi negatif pada 3 pernyataan (total lebih dari 50% guru yang menyatakan ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju).
Kecenderungan persepsi negatif
dinyatakan guru berkaitan dengan kemampuan guru untuk melakukan monitoring secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif. Sebagian besar guru menyatakan akan terus berusaha keras menemukan cara yang lebih baik dalam mengajar PLH, guru percaya akan dapat mengajar PLH sebaik pada mata ajaran lainnya jika berusaha keras, guru percaya dirinya mengetahui langkah-langkah yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif dan secara umum dapat mengajar PLH secara efektif, guru percaya bahwa dirinya memahami PLH dengan cukup baik sehingga dapat mengajar PLH secara efektif, dapat menjawab pertanyaan siswa tentang PLH, dapat membantu siswa memahami suatu konsep PLH, memberikan kesempatan bertanya kepada siswa dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menarik minat siswa pada PLH. Namun demikian guru mengakui bahwa dirinya kurang menguasai kemampuan untuk melakukan monitoring, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi yang diajarkan dan kurang menguasai keterampilan yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif. Sia (1992) menemukan bahwa calon guru memiliki persepsi rendah (persepsi positif hanya pada 3 pernyataan dari 13 pernyataan) terhadap kemampuannya mengajar PLH.
Moseley et al. (2002) menemukan hal yang
berlawanan, yaitu bahwa calon guru memiliki persepsi tinggi terhadap kemampuannya mengajar PLH (self-efficacy) di luar kelas sebelum dan setelah program pengajaran PLH di luar kelas, namun persepsi tersebut menurun saat diukur 7 minggu setelah program pengajaran yang diduga disebabkan oleh evaluasi ulang yang dilakukan calon guru terhadap kemampuannya mengajar PLH sejalan dengan pembelajaran yang didapat calon guru tersebut mengenai metode pengajaran.
70 Hasil temuan dalam penelitian ini sejalan dengan Moseley et al. (2002) dalam hal guru memiliki persepsi tinggi/positif terhadap efektivitas dirinya dalam mengajar PLH secara umum. Temuan dalam penelitian ini juga sejalan dengan temuan Sia (1992) dalam hal persepsi rendah/negatif yang dimiliki guru berkaitan dengan penguasaan keterampilan, monitoring dan kemampuan menjelaskan relevansi metode dan materi yang dimiliki oleh guru. rendah/negatif terhadap kemampuan dirinya
Persepsi guru yang
dalam ketiga hal tersebut
menunjukkan bahwa guru membutuhkan peningkatan kemampuan berkaitan dengan ketiga hal tersebut, yang bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan. b. Harapan Guru terhadap Hasil Pengajaran PLH Harapan guru terhadap hasil pengajaran PLH diukur dengan menggunakan subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE). Outcome expectancy adalah harapan seseorang bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan luaran yang diinginkan (Sia 1992).
Subskala ETOE diwakili oleh 10 pernyataan, yaitu
pernyataan nomor 1, 4, 7, 9, 10, 11, 13, 14, 15, dan 16. Persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 pada sembilan pernyataan (1, 4, 7, 9, 11, 13, 14, 15 dan 16) lebih besar daripada guru yang mendapatkan skor 3 serta skor 2 dan 1 (Tabel 19). Persentase guru yang mendapatkan skor 3 (ragu-ragu) pada salah satu dari kesembilan pernyataan tersebut (pernyataan nomor 7) sebesar 25,81%. Persentase yang cukup besar, sehingga jika ditotalkan persentase guru yang mendapatkan skor 3, 2 dan 1 menjadi sebesar 51,61%. Dengan demikian pada pernyataan ini guru dapat dikelompokkan memiliki persepsi negatif atau rendah. Pada pernyataan nomor 10 persentase guru yang mendapatkan skor 5 dan 4 sama dengan persentase guru yang mendapatkan skor 2 dan 1.
Artinya pada pernyataan tersebut jumlah guru yang setuju dengan
pernyataan tersebut sama dengan jumlah guru yang tidak setuju, dan dengan adanya guru yang ragu akan pernyataan tersebut, maka persepsi guru pada pernyataan tersebut digolongkan kedalam persepsi negatif. Jadi pada subskala ini, guru memiliki persepsi negatif pada dua pernyataan, yaitu pernyataan nomor 7 dan 10.
71 Tabel 19 Persentase guru berdasarkan perolehan skor pada masing-masing pernyataan dalam subskala EE teaching outcome expectancy (ETOE) Skor 5
4
3
2
1
%
%
%
%
%
Saat siswa menunjukkan hasil yang lebih baik dalam PLH dibandingkan biasanya, seringkali karena gurunya telah melakukan upaya lebih dalam mengajar.
45,16
54,84
0,00
0,00
0,00
Saat hasil belajar PLH siswa meningkat, seringkali karena gurunya telah menemukan cara mengajar yang lebih efektif
48,39
48,39
0,00
0,00
3,23
9,68
38,71
25,81
19,35
6,45
32,26
45,16
16,13
3,23
3,23
9,68
32,26
16,13
32,26
9,68
12,90
51,61
12,90
19,35
3,23
9,68
64,52
12,90
12,90
0,00
32,26
51,61
0,00
16,13
0,00
32,26
64,52
0,00
3,23
0,00
22,58
70,97
3,23
3,23
0,00
25,48
52,26
8,71
10,97
2,58
No. 1
4
7
9
10
11
13
14 15
16
Pernyataan
Jika siswa tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran PLH, kemungkinan karena pengajaran PLHnya tidak efektif Kurangnya latarbelakang PLH siswa dapat diatasi dengan pengajaran yang baik Guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian siswanya. Jika seorang siswa yang hasil belajarnya rendah menunjukkan kemajuan belajar dalam PLH, biasanya disebabkan perhatian ekstra yang diberikan oleh gurunya. Peningkatan upaya pengajaran PLH hanya menghasilkan sedikit perubahan pada hasil belajar sebagian siswa. Secara umum guru bertanggung jawab terhadap hasil belajar siswa dalam PLH. Hasil belajar siswa dalam PLH berhubungan langsung dengan efektivitas gurunya dalam pengajaran PLH Jika orangtua berkomentar bahwa anaknya menunjukkan minat yang lebih terhadap PLH di sekolah, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kinerja gurunya. Rata-rata
Pernyataan nomor 7 terkait dengan pandangan guru bahwa pengajaran PLH yang tidak efektif sebagai penyebab siswa tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Sebesar 25,81% guru menyatakan ragu-ragu, 19,35% guru
menyatakan tidak setuju dan 6,45% guru menyatakan sangat tidak setuju.
72 Pernyataan nomor 10 berkaitan dengan kesalahan guru atas rendahnya hasil belajar sebagian siswa. Persentase guru yang merasa bahwa rendahnya hasil belajar siswa merupakan kesalahan guru seimbang dengan persentase guru yang merasa bahwa guru tidak dapat disalahkan atas rendahnya hasil belajar sebagian siswa, dan ada 16,13% guru yang menyatakan keraguannya akan pernyataan tersebut. Persentase guru yang menyatakan kesetujuan dengan derajat kesetujuan masing-masing pada 8 pernyataan lainnya lebih besar dari pada guru yang menyatakan ketidak setujuan.
Persentase guru yang menyatakan kesetujuan
berkisar antara 9,68% sampai 48,39% (skor 5) dan 32,26% sampai 70,97% (skor 4), sedangkan guru yang menyatakan ragu-ragu (skor 3) berkisar antara 0,00% sampai 16,13%, tidak setuju (skor 2) berkisar antara 0,00% - 19,35%, dan sangat tidak setuju berkisar antara 0,00% sampai 3,23%. Hasil tersebut menunjukkan guru percaya bahwa hasil belajar siswa dalam PLH dapat ditingkatkan dengan pengajaran PLH yang efektif, namun merasa bahwa hasil belajar siswa yang rendah bukan sepenuhnya kesalahan guru maupun pengajaran PLH yang tidak efektif. Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH yang diukur menggunakan subskala PETE dan ETOE menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi tinggi terhadap efektivitas dirinya (persepsi positif pada 10 dari 13 pernyataan), serta persepsi tinggi terhadap luaran yang diharapkannya (persepsi positif pada 8 dari 10 pernyataan).
Guru menyadari bahwa kemampuannya terkait monitoring,
keterampilan mengajar PLH serta penguasaan metode dan materi PLH rendah (persepsi negatif pada 3 pernyataan dalam subskala PETE), namun guru percaya bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam PLH (persepsi positif pada subskala ETOE). Paduan persepsi tersebut semakin menegaskan adanya kebutuhan guru akan peningkatan kapasitas guru dalam pengajaran PLH. Hal tersebut juga berimplikasi pada kesediaan dan kesiapan guru untuk menerima berbagai program kegiatan untuk meningkatkan kapasitasnya.
73 5.3.3 Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan PLH dan Faktor yang Mempengaruhinya Ekstraksi dengan analisis faktor terhadap skor yang didapat guru pada enam peubah dari subskala motivasi dan dua peubah dari subskala sikap guru berkaitan dengan PLH menghasilkan tiga faktor/variate baru (Lampiran 1).
Peubah
kompetensi (perceived competence), beban/tekanan (pressure/tension), pilihan (perceived choice) dan efektivitas diri guru dalam pengajaran PLH (personal EE teaching efficacy/PETE) mengelompok pada faktor 1 (satu), yang selanjutnya disebut sebagai faktor efektivitas pengajaran PLH. Peubah yang mengelompok pada faktor 2 (dua) adalah minat/kesenangan (interest/enjoyment), upaya/arti penting (effort/importance), dan nilai/manfaat (value/usefulness) yang selanjutnya disebut sebagai faktor manfaat PLH. Faktor 3 (tiga) hanya terdiri dari satu peubah, yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan (EE teaching outcome expectancy/ETOE). Faktor 3 (tiga) selanjutnya disebut sebagai faktor luaran pengajaran PLH yang diharapkan.
Analisis korelasi dengan Spearman
correlation (Lampiran 2), serta uji denganUji Kruskal-Wallis (Lampiran 3) dan Uji Mann-Whitney (Lampiran 4) dilakukan untuk melihat peubah-peubah dari faktor individu maupun obyek/sasaran dan situasi yang mempengaruhi ketiga faktor/variate persepsi tersebut. a.
Persepsi Guru tentang Efektivitas Pengajaran PLH dan Faktor yang Mempengaruhinya Persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH (faktor 1) dibangun dari 3
peubah motivasi dan 1 peubah sikap, yaitu kompetensi, beban/tekanan, pilihan dan efektivitas diri. Guru SD sekitar hutan memiliki persepsi positif tentang efektivitas pengajaran PLH dalam kaitannya dengan beban/tekanan dan pilihan. Guru memandang bahwa mereka tidak terbebani ataupun tertekan jika mengajar PLH, dan mereka merasa memiliki pilihan dalam mengajar PLH.
Penerapan
PLH di sekolah dasar yang sampai saat ini belum diformalisasikan dalam kurikulum baku memberi sumbangan terhadap persepsi guru terhadap PLH tersebut.
Kurikulum berimplikasi pada target yang harus dicapai guru yang
seringkali bersifat kaku, membebani dan memberikan tekanan pada guru. Kurikulum yang belum dibakukan berarti guru tidak dibebani dengan target yang
74 harus dicapai, sehingga guru dapat lebih lentur, tidak terbebani dan memiliki pilihan dalam mengajar PLH. Guru SD sekitar hutan juga memiliki persepsi/pandangan bahwa kompetensi dan efektivitas dirinya rendah.
Secara khusus efektivitas diri yang rendah
dirasakan oleh guru pada tiga hal, yaitu kemampuan untuk melakukan monitoring secara efektif, kemampuan untuk menjelaskan relevansi metode dengan materi yang diajarkan, dan penguasaan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar PLH secara efektif. Analisis korelasi dengan Spearman correlation yang dilakukan antara peubah usia, pendidikan, masa kerja, lama mengajar dan persepsi lingkungan terhadap persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH menunjukkan satu nilai korelasi yang secara statistik signifikan/berbeda nyata pada taraf uji 0,05, yaitu korelasi antara persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH dengan pendidikan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,441. Persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki oleh guru dengan korelasi yang cukup kuat.
Uji Kruskal-Wallis dengan taraf uji 10%
menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi pada guru dengan PLH formal berbeda.
Guru yang mendapatkan PLH formal di perguruan tinggi memiliki
persepsi tertinggi (mean skor sebesar 3,75) dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Hasil analisis dengan korelasi Spearman dan uji Kruskal-Wallis menunjukkan adanya pengaruh tingkat pendidikan formal dan PLH yang diterima guru dalam pendidikan formalnya tersebut terhadap persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH. Persepsi guru yang memandang kompetensi dan efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH dapat ditingkatkan melalui pendidikan formal dan PLH dalam pendidikan formal tersebut. Perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi bidang keguruan dan ilmu pendidikan, yang mengintegrasikan PLH dalam kurikulumnya dapat meningkatkan kemampuan guru untuk melakukan pemantauan dan evaluasi, meningkatkan keterampilan mengajar PLH yang memungkinkan guru memilih metode yang sesuai untuk materi tertentu, dan berbagai kemampuan lainnya yang dibutuhkan untuk
75 melakukan pengajaran PLH yang efektif. Hal tersebut lebih lanjut akan dapat meningkatkan persepsi guru tentang efektivitas pengajaran PLH. b. Persepsi
Guru
tentang
Manfaat
PLH
dan
Faktor
yang
Mempengaruhinya Peubah
minat/kesenangan,
upaya/arti
penting,
dan
nilai/manfaat
membangun persepsi guru tentang manfaat PLH. Sebagian besar guru memiliki persepsi positif tentang manfaat PLH, baik bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungannya. Persepsi yang positif tercermin dari persetujuan guru terhadap pernyataan-pernyataan
yang
berkaitan
dengan
minat,
kesediaan
untuk
mencurahkan upaya dan energi, serta pandangan positif terhadap manfaat PLH. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa ada perbedaan persepsi guru tentang manfaat PLH diantara guru yang mengajar/mengasuh tingkat kelas berbeda (taraf uji 10%), guru dengan berbagai pengalaman PLH non formal (taraf uji 1%), serta guru dengan pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam (taraf uji 10%). Tingkat kelas yang saat ini diasuh oleh guru dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu tingkat kelas rendah (1 – 3 SD), tingkat kelas tinggi (4 – 6 SD), serta keduanya (tingkat kelas rendah dan tinggi). Guru yang mengajar kedua tingkat kelas sekaligus memiliki mean skor persepsi tertinggi. Perbedaan tersebut timbul akibat tingkat kesulitan mengajar dan respon siswa yang berbeda. Lemke 1994 diacu dalam Hardre dan Sullivan 2008 menyatakan bahwa tingkat kelas yang diajarkan oleh guru dapat mempengaruhi upaya dan investasi yang dicurahkan oleh guru, karena guru dapat mengajar mata ajaran dan siswa dengan kisaran yang sempit ataupun lebar. Guru yang mengajar pada kedua tingkat kelas memiliki kesempatan untuk mengajar dengan kisaran tingkat kesulitan lebar yang memberikan pengalaman lebih beragam bagi guru dalam menghadapi siswa dengan tingkat perkembangan berbeda. Ada tantangan lebih bagi guru untuk dapat dengan cepat menyesuaikan pola pengajarannya terhadap tingkat kelas yang berbeda tersebut, sehingga guru lebih merasakan manfaat pengajaran PLH bagi perkembangan profesionalitasnya serta bisa merasakan adanya respon positif yang nyata dari para siswa pada tingkat kelas yang lebih tinggi dibandingkan para siswa yang masih duduk di tingkat kelas yang lebih rendah.
76 Kegiatan PLH non formal yang pernah diikuti juga memberikan perbedaan persepsi diantara guru. Guru yang pernah mendapatkan pengalaman mengikuti kegiatan PLH non formal berupa seminar, pelatihan dan kegiatan lainnya yang memberikan kesempatan guru berinteraksi langsung dengan alam memiliki mean skor persepsi yang lebih tinggi dibandingkan guru yang tidak pernah mengikuti kegiatan PLH non formal sebelumnya, sedangkan kegiatan PLH non formal berupa lokakarya tidak memberikan persepsi yang lebih tinggi dibandingkan tidak adanya pengalaman PLH non formal.
Lokakarya yang umumnya berupa
pendalaman atau diadakan untuk merumuskan sesuatu nampaknya tidak dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai PLH kepada guru. Kegiatan PLH non formal dalam bentuk berbagai kegiatan yang memberikan kesempatan bagi guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, seperti kegiatan penanaman dan permainan di alam membuahkan guru dengan mean skor persepsi paling tinggi diantara kegiatan PLH non formal lainnya.
Kegiatan PLH non formal
untuk peningkatan kapasitas guru sebaiknya didesain agar dapat memberikan kesempatan kepada guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga guru dapat mengembangkan kepekaan terhadap alam dan lebih lanjut meningkatkan persepsi guru terhadap manfaat PLH. Peubah lainnya yang mempengaruhi persepsi guru tentang manfaat PLH adalah pengalaman organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Guru yang memiliki pengalaman organisasi dalam Pramuka memiliki mean skor persepsi tertinggi (4,5817), diikuti pengalaman organisasi dalam Saka Wana Bakti dan Pecinta Alam (4,5700), pengalaman organisasi lainnya (4,5700), dan terendah adalah guru yang tidak memiliki pengalaman organisasi apapun (4,1590). Kegiatan-kegiatan dalam organisasi tersebut memberikan kesempatan kepada guru untuk berinteraksi langsung dengan alam, sehingga meningkatkan kepekaan guru terhadap alam. Hal tersebut membuka wawasan guru tentang manfaat PLH bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungannya. c.
Persepsi Guru tentang Luaran Pengajaran PLH yang Diharapkan dan Faktor yang Mempengaruhinya Peubah Environmental Education (EE) teaching outcome expectancy/ETOE
atau luaran pengajaran PLH yang diharapkan merupakan satu-satunya peubah
77 yang membangun faktor 3, yaitu persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH yang diharapkan. Mean skor guru pada peubah ETOE cukup tinggi, yaitu sebesar 3,8710. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Namun demikian guru berpendapat bahwa penyebab kegagalan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran PLH (hasil belajar rendah) bukan hanya PLH yang tidak efektif, dan bukan sepenuhnya tanggung jawab guru. Artinya ada faktor lain yang dipandang oleh guru menjadi penyebab rendahnya hasil belajar siswa dalam PLH tersebut. Uji statistik dengan menggunakan korelasi Spearman, uji Kruskal-Wallis, maupun Mann-Whitney tidak menunjukkan adanya nilai yang secara statistik berbeda nyata, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap persepsi guru SD sekitar hutan tentang luaran pengajaran PLH yang diharapkan tidak dapat ditentukan. 5.4
Upaya untuk Peningkatan Persepsi guru tentang penyelenggaraan PLH PLH bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki kesadaran,
pengetahuan, sikap dan keterampilan serta peran serta dalam memecahkan permasalahan lingkungan dan mencegah timbulnya permasalahan baru. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang penuh rasa ingin tahu dan minat, yang secara alamiah senang belajar dan memiliki hasrat untuk menjadikan pengetahuan, budaya dan nilai-nilai yang ada di sekitarnya sebagai bagian internal dari dirinya (Niemic dan Ryan 2009).
Cara guru menyampaikan PLH bisa memberikan
pengaruh positif ataupun negatif terhadap perilaku lingkungan dari anak didiknya (Desjean-Perrotta et al. 2008). Darner (2009) merangkum dari berbagai sumber bahwa PLH dapat berhasil meningkatkan kemauan/keinginan siswa untuk bertindak dengan cara yang ramah lingkungan apabila dalam proses belajarmengajar PLH tersebut siswa dilibatkan sebagai peserta aktif. Menurut Niemic dan Ryan (2009) dalam dunia pendidikan guru seringkali menggunakan kendali eksternal, supervisi dan monitoring yang ketat, serta evaluasi yang dibarengi penghargaan dan
hukuman untuk
memastikan siswanya
belajar,
yang
menyebabkan rasa senang, antusiasme dan minat belajar seringkali berubah menjadi keresahan, kejenuhan dan rasa keterasingan, sehingga siswa tidak lagi tertarik pada materi yang diajarkan dan guru harus menggunakan kendali eksternal untuk memastikan terjadinya pembelajaran.
78 Ryan dan Brown (2005) diacu dalam Niemic dan Ryan (2009) menyatakan bahwa penyebab utama guru menggunakan strategi pengajaran terkendali dibandingkan strategi pengajaran yang mendukung otonomi siswa di kelas adalah adanya tekanan eksternal pada guru. Pelletier et al. (2002) diacu dalam Niemic dan Ryan (2009) menyatakan bahwa semakin besar tekanan yang dirasakan oleh guru dari atas (misalnya, harus mengejar target kurikulum, adanya tekanan dari standar kinerja), guru akan semakin kurang mendukung otonomi siswa dalam pengajarannya, dan lebih mengendalikan siswanya. Padahal motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik tipe otonomi (motivasi otonomi) sangat mendukung keterlibatan dan pembelajaran optimal siswa dalam konteks pendidikan (Niemic dan Ryan 2009). Roth et al. (2007) menyatakan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar berhubungan positif dengan motivasi otonomi siswa untuk belajar, artinya motivasi otonomi untuk mengajar akan meningkatkan pengajaran yang mendukung otonomi siswa sehingga meningkatkan motivasi otonomi siswa untuk belajar yang selanjutnya akan meningkatkan respon pembelajaran siswa. Roth et al. (2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa motivasi otonomi untuk mengajar meningkatkan pengajaran yang mendukung otonomi siswa dengan melibatkan beberapa proses, yaitu: 1.
Proses pertama melibatkan peningkatan pemahaman guru akan nilai materi yang mereka ajarkan dan keragaman cara untuk menguasai materi tersebut. Guru yang termotivasi secara otonomi akan mengembangkan pemahaman yang mendalam akan manfaat dari materi yang mereka ajarkan dan metode yang digunakan, sehingga mereka dapat memberikan penjelasan dan contoh yang meyakinkan bagi siswa mereka mengenai nilai dan relevansi materi tersebut dan metode pengajaran yang digunakan. Pemahaman guru tersebut terhadap materi yang diajarkan juga akan membuat mereka memahami berbagai faset/bagian dari materi tersebut dan berbagai cara untuk mempelajarinya, sehingga guru dapat memberikan pilihan bagi siswa mereka.
2.
Proses kedua melibatkan pemahaman guru terhadap motivasi otonomi dan manfaatnya berdasarkan pengalaman pribadi guru.
Guru yang telah
merasakan manfaat motivasi otonomi akan menginginkan siswanya juga
79 bertindak dan belajar dengan motivasi otonomi karena guru tersebut memahami bahwa tipe motivasi tersebut akan mengarah pada pembelajaran yang berkualitas tinggi dan meningkatkan apresiasi terhadap materi yang mereka ajarkan dan cintai.
Guru tersebut akan melakukan tindakan
pengajaran yang mendukung otonomi siswa, seperti menjelaskan relevansi berbagai materi dengan tujuan siswa, dan mengijinkan siswa memilih aktivitas belajar yang mereka sukai. 3.
Proses ketiga melibatkan daya tahan yang lebih besar, yang dimiliki oleh guru dengan motivasi otonomi, terhadap tekanan untuk pencapaian dan keprihatinan akan pembentukan kesan, serta investasi lebih besar yang dicurahkan guru dalam pembelajaran berkualitas tinggi. Guru yang lebih termotivasi secara otonomi akan lebih bersedia untuk memberikan pilihan bagi siswanya dan menggunakan lebih banyak waktu untuk menjelaskan relevansi berbagai materi karena mereka tidak terlalu merasakan tekanan untuk memberikan pencapaian formal yang cepat dan mengesankan, dan mereka lebih berkeinginan untuk memperdalam pemahaman akan materi yang mereka ajarkan. Guru perlu menggunakan strategi pengajaran yang mendukung otonomi
siswa dalam belajar untuk dapat mencapai pembelajaran PLH efektif.
Hal
tersebut dapat dilakukan jika guru memiliki motivasi intrinsik ataupun motivasi otonomi (motivasi eksternal yang bersifat otonomi) dalam mengajar PLH, serta sikap yang positif pula terhadap PLH.
Motivasi intrinsik dan sikap positif
berkaitan dengan pengajaran PLH berarti bahwa guru memiliki persepsi yang positif tentang efektivitas pengajaran PLH dan manfaat PLH baik bagi dirinya, siswanya, maupun lingkungannya, serta luaran pengajaran PLH yang diharapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi lingkungan yang terbatas, sebagian besar karena guru kurang mampu mengungkapkan gagasan/pemikiran melalui gambar dan tulisan, yang berarti bahwa kompetensi guru rendah dalam mengungkapkan pemikiran melalui gambar dan tulisan. Guru seharusnya memiliki kemampuan untuk mengungkapkan pemikirannya melalui berbagai macam cara, termasuk gambar dan tulisan, sehingga guru memiliki lebih banyak pilihan cara untuk mengungkapkan persepsi/pemikirannya mengenai
80 lingkungan dan materi terkait kepada siswanya. Hal ini lebih lanjut akan dapat meningkatkan persepsi guru tentang kompetensi dirinya dalam mengajar PLH. Persepsi positif tentang lingkungan yang diwujudkan dalam perilaku yang positif akan menjadikan guru sebagai teladan yang baik bagi siswanya dalam pembelajaran PLH. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa guru memiliki persepsi positif terhadap penyelenggaraan PLH, namun guru juga memiliki persepsi bahwa kompetensi dan efektivitas dirinya rendah dalam mengajar PLH. Guru seharusnya juga memiliki persepsi yang tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam mengajar PLH. Persepsi tinggi terhadap kompetensi dan efektivitas diri dalam mengajar PLH dapat berkembang jika guru memahami dasar-dasar PLH serta cara mengimplementasikan PLH, termasuk berbagai metode dan media yang sesuai untuk digunakan dalam pengajaran PLH. NAAEE (2004) menyatakan bahwa seorang tenaga pendidik lingkungan hidup seharusnya menguasai literasi lingkungan, menguasai dasar-dasar PLH, memahami tanggung jawab profesional seorang tenaga pendidik lingkungan hidup, mampu membuat perencanaan dan melaksanakan PLH, dapat membantu pembelajaran, dan memiliki pengetahuan, kemampuan dan komitmen untuk melakukan penilaian dan evaluasi. Agar guru dapat memenuhi kriteria sebagai seorang tenaga pendidik lingkungan hidup yang berkualitas, maka perlu dilakukan peningkatan persepsi guru yang berarti peningkatan kapasitas guru berkaitan dengan PLH. Peningkatan kapasitas guru dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan dalam jalur pendidikan formal maupun non formal. Guru perlu diberikan kesempatan dan dukungan untuk dapat meningkatkan kompetensinya melalui PLH formal di perguruan tinggi, ataupun berbagai kegiatan PLH non formal. Kenney et al. (2003) menguraikan bahwa ada beberapa unsur kunci yang perlu diperhatikan agar program pelatihan/pendidikan bagi guru efektif sehingga guru bisa mengaplikasikan hasil dari program tersebut kepada siswanya di sekolah, antara lain: 1.
Pendidikan bagi guru sebaiknya didesain secara spesifik agar sesuai dengan karakteristik dan isu-isu lingkungan lokal, dan dapat memenuhi kurikulum sekolah dan standar PLH yang ditetapkan.
81 2.
Materi yang diberikan mencakup materi-materi mengenai lingkungan hidup dan praktek-praktek instruksional/pengajaran yang efektif, termasuk cara mengajar di luar kelas.
Guru diberi materi mengenai berbagai strategi
pengajaran di luar kelas, seperti strategi mengendalikan perilaku siswa, melakukan peralihan antara satu kegiatan ke kegiatan lainnya, menjaga fokus pada tujuan pembelajaran, serta menjadi fleksibel/lentur dan kreatif pada kondisi luar kelas yang terus menerus berubah. 3.
Model pelatihan on-the-job terbukti efektif dalam membangun kepercayaan diri guru untuk melaksanakan pengajaran PLH. Model ini memungkinkan guru mempelajari pola pengajaran PLH yang efektif dengan mengamati instruktur PLH berpengalaman dan kemudian mengambil alih praktek pengajaran dengan bimbingan instruktur tersebut. Dengan demikian guru tidak perlu meninggalkan kelas, mencurahkan waktu yang lama setelah selesai kegiatan di sekolah, atau menggunakan waktu yang biasanya diperuntukkan untuk membuat perencanaan kegiatan belajar mengajar di rumah untuk mengikuti pelatihan, dan pihak administrasi sekolah juga tidak perlu mencarikan guru pengganti untuk mengajar selama guru tersebut mengikuti pelatihan.
4.
Lokakarya untuk memperkenalkan materi dan membahas berbagai proses terkait (misalnya, cara membantu siswa menemukan tempat untuk eksplorasi di luar kelas) harus dilakukan terlebih dahulu sebelum guru mengikuti kegiatan pengamatan dan praktek pengajaran.
5.
Guru diakrabkan dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya dengan cara mengajak guru mengikuti kegiatan jalan-jalan singkat secara periodik dengan dipandu oleh instruktur berpengalaman. Program-program pendidikan dan pelatihan yang diperuntukkan bagi guru
dengan demikian seharusnya didesain tidak hanya memasukkan materi-materi lingkungan hidup yang spesifik sesuai lingkungan lokal guru ke dalam kurikulumnya, namun juga materi mengenai strategi pengajaran dan metode instruksional yang efektif untuk mengajarkan PLH, khususnya strategi pengajaran di luar kelas, sehingga guru dapat melaksanakan pengajaran PLH secara efektif. Program-program PLH untuk guru sebaiknya juga didesain untuk memberikan
82 kesempatan kepada guru agar dapat berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar sehingga dapat meningkatkan pengalaman guru dengan hutan yang lebih lanjut diharapkan dapat meningkatkan kepekaan guru terhadap hutan dan permasalahannya. Secara khusus pada sekolah sekitar hutan, peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang spesifik sesuai lingkungan lokal artinya meningkatkan pengetahuan dan sikap guru mengenai hutan, konservasi hutan dan berbagai permasalahan terkait, serta peningkatan keterampilan untuk melakukan upayaupaya konservasi. Sebagai contoh, guru perlu dibekali pengetahuan mengenai cara
melakukan penyelamatan terhadap
satwa
langka,
sehingga
dapat
mengarahkan siswanya untuk melakukan tindakan yang tepat jika menemukan satwa langka yang perlu diselamatkan, seperti apa yang harus dilakukan, siapa yang harus dihubungi, dan sebagainya. Guru SD sekitar hutan perlu dibekali keterampilan untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan sebagai sarana dan media pembelajaran konservasi hutan bagi siswanya, seperti cara menemukan lokasi yang tepat untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan topik bahasan. Guru juga perlu dibekali keterampilan mengajar di hutan, seperti cara untuk mengendalikan perilaku siswa di hutan, bersikap fleksibel dalam menghadapi kondisi hutan yang selalu berubah, menjaga fokus pembelajaran pada tujuan dari topik bahasan yang sedang dipelajari, dan sebagainya. Kemampuan guru untuk melakukan monitoring/pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar (KBM) yang diasuhnya juga perlu ditingkatkan.
Evaluasi untuk materi-materi konservasi hutan mestinya tidak
hanya diarahkan pada ranah kognitif saja. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk melihat pencapaian ranah afektif dan psikomotorik, misalnya melalui pengamatan perilaku siswa sehari-hari di sekolah ataupun di rumah dengan melibatkan keluarga dan masyarakat sekitar. Peningkatan kompetensi guru akan meningkatkan persepsi guru tentang kompetensi dan efektivitas dirinya dalam penyelenggaraan PLH, khususnya dalam mengajarkan berbagai materi tentang konservasi hutan.
Hal tersebut akan
mengarah pada terwujudnya pola pengajaran PLH yang lebih terpusat pada siswa,
83 melibatkan siswa sebagai peserta didik yang aktif dalam kegiatan belajar mengajar PLH di sekolah, sehingga akan terwujud pengajaran PLH yang efektif Pada SD sekitar hutan, pengajaran PLH yang efektif, dengan fokus materi tentang konservasi hutan, akan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa terkait berbagai permasalahan hutan dan konservasinya, serta menanamkan sikap dan motivasi untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan konservasi hutan sesuai tahapan perkembangan siswa tersebut.
6 6.1
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa guru yang memahami kondisi
lingkungan hidup di sekitarnya (memiliki persepsi lingkungan yang utuh), memiliki atribut individu positif, dan mengajar pada sekolah yang: berada di sekitar hutan, memiliki kurikulum PLH, serta kondisi lingkungan dan sosial sekolah yang menunjang, akan membuahkan guru dengan persepsi PLH yang tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa: 1.
Guru pada SD sekitar hutan memiliki persepsi lingkungan yang terbatas berdasarkan
hasil
analisa
Environment-Test (DAET).
dengan
menggunakan
rubrik
Draw-An-
Hal tersebut diduga karena guru kurang
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran dalam bentuk gambar maupun tulisan.
Penggunaan gambar dan tulisan sebagai bentuk
ekspresi pemikiran memang belum membudaya sebagai sebuah perilaku yang penting dalam pendidikan di masyarakat Indonesia, sehingga instrumen DAET yang digunakan perlu lebih disesuaikan dengan budaya masyarakat Indonesia. 2.
Hasil
Analisis
Faktor
menunjukkan
bahwa
persepsi
guru
tentang
penyelenggaraan PLH dibangun dari tiga faktor utama, yaitu efektivitas pengajaran PLH, manfaat PLH dan luaran pengajaran PLH. Faktor pertama – efektivitas pengajaran PLH – dibentuk dari empat peubah, yaitu kompetensi, efektivitas-diri, menunjukkan
beban/tekanan, bahwa
guru
dan pilihan.
seringkali
Analisis
memandang
lebih
dirinya
lanjut
memiliki
kompetensi dan efektivitas diri yang rendah dalam mengajar PLH yang dipengaruhi oleh PLH formal dan tingkat pendidikan yang dimiliki guru. Faktor kedua – manfaat PLH – dibentuk oleh tiga peubah, yaitu minat/kesenangan, upaya/arti penting, dan nilai/manfaat PLH. Uji KruskalWallis menunjukkan bahwa faktor manfaat PLH ditentukan oleh PLH non formal yang diterima oleh guru, tingkat kelas yang diajar, dan pengalaman yang dimiliki oleh guru dalam organisasi yang kegiatannya berfokus pada alam. Faktor ketiga – luaran pengajaran PLH– terbentuk dari satu peubah,
86 yaitu luaran pengajaran PLH yang diharapkan oleh guru. Guru berpendapat bahwa pengajaran PLH yang efektif dapat memberikan respon positif dari siswa (hasil belajar tinggi). Analisis statistik lebih lanjut tidak menunjukkan ada nilai yang berbeda nyata, sehingga faktor yang mempengaruhi persepsi guru tentang luaran pengajaran PLH tidak dapat ditentukan. 3.
Guru membutuhkan peningkatan/penguatan kapasitas, motivasi, kompetensi dan efektivitas diri melalui berbagai kegiatan PLH agar dapat melakukan pengajaran PLH yang efektif. Kegiatan PLH bagi guru sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan guru akan materi yang berkaitan dengan lingkungan, khususnya hutan dan konservasinya, tetapi juga sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan upaya pengelolaan lingkungan dan konservasi hutan, meningkatkan penguasaan guru akan metode pengajaran di luar kelas, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap lingkungan/hutan dan permasalahannya. Hasil penelitian tidak sepenuhnya mendukung hipotesis, karena guru yang
mengajar pada sekolah di sekitar hutan memiliki persepsi lingkungan yang terbatas (berdasarkan instrumen DAET), namun memiliki persepsi yang tinggi tentang PLH. Persepsi tentang PLH lebih dipengaruhi oleh atribut individu positif yang dimiliki oleh guru, yaitu tingkat pendidikan, pengalaman guru dalam mengikuti PLH formal dan non formal, pengalaman guru dalam mengikuti organisasi alam, serta pengalaman mengajar pada berbagai tingkat kelas berbeda. Guru yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dan memiliki berbagai pengalaman tersebut memiliki persepsi tentang PLH yang lebih tinggi pada ketiga faktor persepsi.
Namun kajian mengenai persepsi lingkungan guru perlu
dilakukan dengan menggunakan instrumen lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik mengenai persepsi guru tentang lingkungan. 6.2 1.
Saran Perlu dilakukan peningkatan kapasitas guru pada SD sekitar hutan berkaitan dengan PLH, sehingga guru dapat memenuhi standar pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk dapat mengajar PLH secara efektif. Peningkatan kapasitas berkaitan dengan penguasaan terhadap pengetahuan mengenai materi konservasi hutan, baik teoritis maupun praktis, keterampilan
87 untuk melakukan upaya konservasi hutan, serta keterampilan mengajar dengan menggunakan kawasan hutan sebagai media/sarana pembelajaran. Peningkatan kapasitas guru akan meningkatkan persepsi guru, yang juga berarti meningkatkan sikap dan motivasi intrinsik guru dalam mengajar PLH, sehingga akan dapat dibentuk SDM yang memiliki kemampuan, motivasi dan peran serta dalam upaya penyelesaian permasalahan lingkungan, khususnya upaya konservasi hutan. 2.
Peningkatan kapasitas guru membutuhkan dukungan/fasilitasi dari berbagai instansi terkait, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan, Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan, serta pengelola kawasan hutan (misalnya pada lokasi penelitian pengelola kawasan hutan adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Perum Perhutani), Perguruan Tinggi, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang PLH, serta para pelaku PLH lainnya.
3.
Materi-materi mengenai lingkungan hidup dan praktek pengajaran/metode instruksional yang efektif untuk mengajarkan materi tersebut seharusnya diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan pada perguruan tinggi yang mempersiapkan para calon guru.
4.
Faktor-faktor yang dapat membangun motivasi guru untuk secara mandiri mengembangkan kompetensi dirinya perlu diperhatikan dan ditelaah lebih lanjut, sehingga guru akan mampu menggunakan kesempatan yang ada dan bahkan mencari sendiri kesempatan untuk melakukan pengembangan diri.
5.
Penggunaan instrumen DAET perlu disesuaikan, khususnya pada rubrik yang digunakan untuk melakukan penilaian (scoring) terhadap gambar. Salah satu langkah penyesuaian yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkan komponen gambar dan definisi sebagai satu kesatuan yang diberi skor.
DAFTAR PUSTAKA Azwar S. 1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ed Ke-2.
Brauss JA, Wood D. 1994. Environmental Education in The Schools: Creating a Program that Works!. Ohio: North American Association for Environmental Education (NAAEE) in conjunction with the ERIC Clearinghouse for Science, Mathematics and Environmental Education, the Ohio State University. Darner R. 2009. Self-Determination Theory as a Guide to Fostering Environmental Motivation. The Journal of Environmental Education 40 (2):39-49. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009] Desjean-Perrotta B, Moseley C, Cantu L. 2008. Preservice Teachers’ Perceptions of the Environment: Does Ethnicity or Dominant Residential Experience Matter? The Journal of Environmental Education 39(2):21-31. http://www.proquest.com/pqdweb [20 Juni 2009] Ford PM. 1981. Principles and Practices of Outdoor/Environmental Education. New York, Chichester, Brisbane, Toronto: John Wiley & Sons. Franken RE. 1939. Human Motivation. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company. Gravetter FJ, Forzano LA. 2006. Research Methods for The Behavioral Sciences. Ed ke-2. Belmont: Thomson Wadsworth. Hardre PL, Sullivan DW. 2008. Teacher Perceptions and Individual Differences: How They Influence Rural Teachers’ Motivating Strategies. Teaching and Teacher Education 24:2059-2075. http://www.proquest.com/pqdweb [21 Jul 2009] Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai: Kasus di DAS Kaligarang, Jawa Tengah [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Heathcote RL, editor. 1980. Perception on Desertification. Tokyo, Japan: The United Nation University. Henning DH, Pakpahan A. 1991. Pendidikan Lingkungan dan Taman Nasional: Strategi Konservasi Dunia dan Kegiatan Interpretasi Alam. Media Konservasi 3(2): 1-9. Hollander EP. 1981. Principles and Methods of Social Psychology. Ed ke-4. New York, Oxford: Oxford University Press.
90 Kaplan L. 1965. Foundations of Human Behavior. New York, Evanston and London: Harper & Row, Publishers. Kenney JL, Militana HP, Donohue MH. 2003. Helping Teachers to Use Their School’s Backyard as an Outdoor Classroom: A Report on the Watershed Learning Center Program. The Journal of Environmental Education 35 (1):18-26. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009] [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Kiesler CA, Collins BE, Miller N. 1969. Attitude Change: A Critical Analysis of Theoretical Approaches. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley & Sons, Inc. Krech D, Crutchfield RS, Ballachey EL. 1962. Individual in Society: A Textbook of Social Psychology. New York, San Francisco, Toronto, London: McGraw-Hill Book Company Inc. Marten GG. 2001. Human Ecology: Basic Concepts for Sustainable Development. London: Earthscan Publication Ltd. Monroe MC, Day BA, Grieser M. 2000. GreenCOM Weaves Four Strands. Di dalam Day BA, Monroe MC, editor. Environmental Education and Communication for A Sustainable World: Handbook for International Practitioners. Washington, DC: Academy for Educational Development. Moseley C, Desjean-Perrotta B. 2010. The Draw-An-Environment Test Rubric (DAET-R): Exploring Preservice Teachers’ Mental Model of the Environment. Environmental Education Research 16(2):189-208. Moseley C, Reinke K, Bookout V. 2002. The Effect of Teaching Outdoor Environmental Education on Preservice Teachers’ Attitudes toward Selfefficacy and Outcome Expectancy. The Journal of Environmental Education 34 (1):9-15. http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=SPJ.SP01&userGroupName= ptn003 [22 Des 2009] Moseley C, Utley J. 2008. An Exploratory Study of Preservice Teachers’ Beliefs About the Environment. The Journal of Environmental Education 39(4):1529. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009] Muntasib EKSH. 2002. Khasanah Pendidikan Lingkungan Hidup. Makalah disampaikan dalam Magang Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Tim BAPEDALDA PAPUA. Bogor: Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Lingkungan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
91 Muntasib EKSH, Masy’ud B, Hermawan R, Rushayati SB, Rachmawati E, Meilani R, Yudiarti Y, Rahayuningsih T. 2009. Laporan Akhir Penelitian Strategis Aplikatif Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup bagi Sekolahsekolah di Sekitar Kawasan Hutan. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Neuman WL. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Ed ke-6. Boston, New York, San Fransisco, Mexico City, Montreal, Toronto, London, Madrid, Munich, Paris, Hong Kong, Singapore, Tokyo, Cape Town, Sydney: Allyn and Bacon Pearson Education, Inc. Niemiec CP, Ryan RM. 2009. Autonomy, Competence, and relatedness in the classroom: Applying self-determination theory to educational practice. Theory and Research in Education 7(2):133-144. http://www.psych.rochester.edu/SDT/documents/2009_NiemiecRyan_TRE. pdf [7 Des 2009] Nirarita ECh. 2003. Pendidikan Lingkungan Hidup dalam Sekolah Formal. Di dalam: Muntasib EKSH, Meilani R, editor. Model Pengembangan Pendidikan tentang Hutan dan Lingkungan Bagi Anak Sekolah. Prosiding Workshop Model Pengembangan Pendidikan tentang Hutan dan Lingkungan bagi Anak Sekolah. Bogor: 24 Apr 2003. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan, dan The Nature Conservancy. [NAAEE] North American Association for Environmental Education. 2004. Guidelines for The Preparation and Professional Development of Environmental Educators. Washington, DC: NAAEE. http://www.naaee.org [30 Nov 2009] Ofoegbu F. 2004. Teacher Motivation: a Factor for Classroom Effectiveness and School Improvement in Nigeria. College Student Journal, 38(1):81-89. http://find.galegroup.com/gtx/start.do?prodId=SPJ.SP01&userGroupName= ptn003 [31 Okt 2009] [Pokja PKSDHL] Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Lingkungan. 1998. Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia. Bogor: Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Lingkungan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL). [RI] Republik Indonesia. 2003. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Republik Indonesia. Robbins SP. 2003. Organizational Behavior. Ed ke-10. New Jersey: Prentice Hall Pearson Education International.
92 Robbins SP. 2005. Essentials of Organizational Behavior. Ed ke-8. New Jersey: Prentice Hall Pearson Education International. Roth G, Assor A, Kanat-Maymon Y, Kaplan H. 2007. Autonomous Motivation for Teching: How Self-Determined Teaching May Lead to Self-Determined Learning. Journal of Educational Psychology 99(4):761-774 Ryan, RM. 1982. Control and Information in the Intrapersonal Sphere: An Extension of Cognitive Evaluation Theory. Journal of Personality and Social Psychology 43:450-461. Ryan RM, Deci EL. 2000. Intrinsic and Extrinsic Motivations: Classic Definitions and New directions. Contemporary Educational Psychology 25:54-67. http://www.psych.rochester.edu/SDT/documents/2000_RyanDeci_IntExtDe fs.pdf [7 Des 2009] Santrock JW. 2008. Psikologi Pendidikan. penerjemah. Jakarta: Kencana.
Ed ke-2.
Tri Wibowo B.S.,
Severin WJ, Tankard JW. 1979. Communication Theories: Origins, Methods, Uses. New York: Hastings House, Publishers. Shavitt S, Brock TC, editor. 1994. Persuasion: Psychological Insights and Perspectives. Boston, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Allyn and Bacon. Sia AP. 1992. Preservice Elementary Teachers’ Perceived Efficacy in Teaching Environmental Education: A Preliminary Study. Paper presented at the Annual Meeting of the ECO-ED North American Association for Environmental Education, Toronto, Ontario, Canada, 20 Okt 1992. http://www.eric.gov.edu [29 Jan 2010] Siagian SP. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Cet ke-3. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Smith MK, Mergel B, Furse E, Carver JM, Hagwood S, Huitt WG. 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran: Mengukur Kesuksesan Anda dalam Proses Belajar Mengajar Bersama Psikolog Pendidikan Dunia. Saleh AQ, penerjemah. Yogyakarta: Mirza Media Pustaka. Smith-Sebasto NJ. 2007. A Reinvestigation of Teacher’s Motivation Toward and Perception of Residential Environmental Education: A Case Study of the New Jersey School of Conservation. The Journal of Environmental Education 38(4):34-42. http://www.proquest.com/pqdweb [18 Jun 2009] Spittle M, Jackson K, Casey M. 2009. Applying Self-Determination Theory to Understand the Motivation for Becoming a Physical Education Teacher. Teaching and Teacher Education 25:190-197. http://www.proquest.com/pqdweb [20 Jun 2009]
93 Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. Triandis HC. 1971. Attitude and Attitude Change. New York, London, Sydney, Toronto: John Wiley & Sons, Inc. Vallerand RJ, Koestner R, Pelletier LG. 2008. Reflections on Self-Determination Theory. Canadian Psychology, 49(3):257-262. Watt HMG, Richardson PW. 2008. Motivations, Perceptions and Aspiration Concerning Teaching as a Career for Different Types of Beginning Teachers. Learning and Instruction 18:408-428. http://www.proquest.com/pqdweb [21 Jul 2009] Wood JT. 2007. Interpersonal Communication: Everyday Encounters. Ed ke-5. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Faktor Descrip tive Stati stics Interest/ enjoy m ent Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE
Mean 4,3387 2,7032 4,1161 3,8968 3,1968 4,4452 3,6935 3,8710
Std. Dev iat ion ,45069 ,57474 ,40257 ,56064 ,49765 ,59264 ,38465 ,35326
Analy sis N 31 31 31 31 31 31 31 31
Correlati on Matrixa
Correlation
Sig. (1-tailed)
Interest/ enjoy ment Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/ Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE Interest/ enjoy ment Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/ Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE
a. Determinant = ,085
Interest/ e njoy ment 1,000 ,007 ,639 ,032 -,005 ,482 ,105 ,129 ,485 ,000 ,432 ,489 ,003 ,286 ,245
Perceiv ed Competence ,007 1,000 ,062 ,340 ,337 ,299 ,392 -,211 ,485 ,371 ,030 ,032 ,051 ,015 ,127
Ef f ort/ Import ance ,639 ,062 1,000 -,040 ,082 ,503 ,237 ,221 ,000 ,371 ,416 ,331 ,002 ,099 ,116
Pressure/ Tension ,032 ,340 -,040 1,000 ,577 ,243 ,334 ,015 ,432 ,030 ,416 ,000 ,094 ,033 ,469
Perceiv ed Choice -,005 ,337 ,082 ,577 1,000 ,371 ,380 -,198 ,489 ,032 ,331 ,000 ,020 ,018 ,143
Value/ Usef ulness Self -ef f icacy ,482 ,105 ,299 ,392 ,503 ,237 ,243 ,334 ,371 ,380 1,000 ,545 ,545 1,000 -,060 ,006 ,003 ,286 ,051 ,015 ,002 ,099 ,094 ,033 ,020 ,018 ,001 ,001 ,373 ,487
ETOE ,129 -,211 ,221 ,015 -,198 -,060 ,006 1,000 ,245 ,127 ,116 ,469 ,143 ,373 ,487
Lanjutan Inverse of Correlation Matrix
Interest/ enjoy ment Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/ Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE
Interest/ e njoy ment 1,987 ,113 -1,049 -,301 ,374 -,717 ,345 ,033
Perceiv ed Competence ,113 1,351 -,082 -,303 -,043 -,127 -,337 ,279
Ef f ort/ Import ance -1,049 -,082 2,089 ,475 -,276 -,481 -,142 -,435
Pressure/ Tension -,301 -,303 ,475 1,741 -,941 ,004 -,186 -,341
Perceiv ed Choice ,374 -,043 -,276 -,941 1,849 -,392 -,133 ,361
Value/ Usef ulness -,717 -,127 -,481 ,004 -,392 2,240 -,836 ,235
Self -ef f icacy ,345 -,337 -,142 -,186 -,133 -,836 1,699 -,168
ETOE ,033 ,279 -,435 -,341 ,361 ,235 -,168 1,242
KMO and Bartl ett's Test Kaiser-Mey er-Olkin Measure of Sampling Adequacy . Bart lett 's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square df Sig.
,642 65,351 28 ,000 Anti -image Matrices
Anti-image Cov ariance
Anti-image Correlation
Interest/ enjoy ment Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/ Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE Interest/ enjoy ment Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/ Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE
a. Measures of Sampling Adequacy (MSA)
Interest/ e njoy ment ,503 ,042 -,253 -,087 ,102 -,161 ,102 ,014 ,580a ,069 -,515 -,162 ,195 -,340 ,188 ,021
Perceiv ed Competence ,042 ,740 -,029 -,129 -,017 -,042 -,147 ,166 ,069 ,778a -,049 -,197 -,027 -,073 -,223 ,216
Ef f ort/ Importance -,253 -,029 ,479 ,131 -,071 -,103 -,040 -,167 -,515 -,049 ,620a ,249 -,141 -,222 -,075 -,270
Pressure/ Tension -,087 -,129 ,131 ,574 -,292 ,001 -,063 -,157 -,162 -,197 ,249 ,571a -,524 ,002 -,108 -,232
Perceiv ed Choice ,102 -,017 -,071 -,292 ,541 -,095 -,042 ,157 ,195 -,027 -,141 -,524 ,641a -,193 -,075 ,238
Value/ Usef ulness Self -ef f icacy -,161 ,102 -,042 -,147 -,103 -,040 ,001 -,063 -,095 -,042 ,446 -,220 -,220 ,588 ,084 -,080 -,340 ,188 -,073 -,223 -,222 -,075 ,002 -,108 -,193 -,075 ,723a -,428 -,428 ,717a ,141 -,116
ETOE ,014 ,166 -,167 -,157 ,157 ,084 -,080 ,805 ,021 ,216 -,270 -,232 ,238 ,141 -,116 ,368a
Lanjutan Communaliti es Interest/ enjoy ment Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/ Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE
Initial 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
Extract ion ,732 ,508 ,782 ,735 ,651 ,757 ,550 ,899
Extract ion Method: Principal Component Analy sis. Total Variance Explained
Component 1 2 3 4 5 6 7 8
Total 2,761 1,850 1,003 ,758 ,619 ,437 ,317 ,255
Initial Eigenv alues % of Variance Cumulat iv e % 34,518 34,518 23,122 57,640 12,533 70,172 9,477 79,649 7,737 87,387 5,464 92,850 3,961 96,811 3,189 100,000
Extraction Method: Principal Component Analy sis.
Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulat iv e % 2,761 34,518 34,518 1,850 23,122 57,640 1,003 12,533 70,172
Rotation Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulat iv e % 2,333 29,160 29,160 2,138 26,726 55,887 1,143 14,286 70,172
Lanjutan Rotated Component Matrixa Component 2 ,850
1 Interest/ enjoy ment Perceiv ed Competence Ef f ort/Importance Pressure/ Tension Perceiv ed Choice Value/Usef ulness Self -ef f icacy ETOE
,593 ,872 ,830 ,796 ,717 ,665 ,938
Extract ion Method: Principal Component Analy sis. Rotation Met hod: Varimax with Kaiser Normalization. a. Rotation conv erged in 4 iterations.
Component Transformation Matrix Component 1 2 3
1 ,788 -,531 ,312
3
2 ,605 ,761 -,232
3 -,114 ,372 ,921
Extraction Method: Principal Component Analy sis. Rotation Met hod: Varimax with Kaiser Normalization.
Lampiran 2. Analisis Korelasi Spearman Correlati ons
Spearman's rho
persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Usia
Pendidikan
Masa Kerja (tahun)
Lama Mengajar (tahun)
Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N Correlation Coef f icient Sig. (2-tailed) N
*. Correlation is signif icant at the 0.05 lev el (2-tailed). **. Correlation is signif icant at the 0.01 lev el (2-tailed).
persepsi lingkungan 1,000 . 31 ,272 ,138 31 ,076 ,686 31 -,212 ,252 31 -,011 ,952 31 -,058 ,758 31 -,081 ,666 31 -,012 ,950 31
Faktor1 ,272 ,138 31 1,000 . 31 ,207 ,263 31 -,144 ,440 31 -,061 ,744 31 ,441* ,013 31 -,091 ,628 31 -,200 ,281 31
Faktor2 ,076 ,686 31 ,207 ,263 31 1,000 . 31 ,059 ,753 31 -,076 ,684 31 ,077 ,679 31 -,107 ,568 31 -,158 ,395 31
Faktor3 -,212 ,252 31 -,144 ,440 31 ,059 ,753 31 1,000 . 31 ,061 ,744 31 -,063 ,735 31 ,187 ,315 31 ,114 ,542 31
Usia Pendidikan -,011 -,058 ,952 ,758 31 31 -,061 ,441* ,744 ,013 31 31 -,076 ,077 ,684 ,679 31 31 ,061 -,063 ,744 ,735 31 31 1,000 ,190 . ,307 31 31 ,190 1,000 ,307 . 31 31 ,849** ,171 ,000 ,357 31 31 ,740** ,094 ,000 ,614 31 31
Lama Masa Kerja Mengajar (tahun) (tahun) -,081 -,012 ,666 ,950 31 31 -,091 -,200 ,628 ,281 31 31 -,107 -,158 ,568 ,395 31 31 ,187 ,114 ,315 ,542 31 31 ,849** ,740** ,000 ,000 31 31 ,171 ,094 ,357 ,614 31 31 1,000 ,841** . ,000 31 31 ,841** 1,000 ,000 . 31 31
Lampiran 3. Uji Kruskal-Wallis Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total
7 8 9 7 31 7 8 9 7 31 7 8 9 7 31 7 8 9 7 31
Mean 2,8557 2,7500 3,2600 2,8100 2,9355 3,4400 3,4675 3,1733 3,4443 3,3706 4,1871 4,3500 4,3478 4,2671 4,2939 3,7429 4,0125 3,9111 3,7857 3,8710
Std. Dev iat ion 1,51321 1,89276 1,54455 ,37776 1,41581 ,38362 ,39633 ,36373 ,32969 ,37373 ,15510 ,39666 ,45486 ,54914 ,40193 ,33594 ,35229 ,30185 ,43370 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Sekolah Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total Gn Sari 01 Gn Bunder 03 Gn Bunder 04 Gn Picung 06 Total
N 7 8 9 7 31 7 8 9 7 31 7 8 9 7 31 7 8 9 7 31
Mean Rank 16,79 15,63 17,11 14,21 18,43 17,75 11,67 17,14 12,43 18,13 17,28 15,50 11,64 19,38 17,78 14,21
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan ,489 3 ,921
Faktor1 2,952 3 ,399
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Sekolah
Faktor2 1,719 3 ,633
Faktor3 3,408 3 ,333
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
kelas kelas kelas Total kelas kelas kelas Total kelas kelas kelas Total kelas kelas kelas Total
rendah tinggi rendah dan tinggi rendah tinggi rendah dan tinggi rendah tinggi rendah dan tinggi rendah tinggi rendah dan tinggi
13 15 3 31 13 15 3 31 13 15 3 31 13 15 3 31
Mean 3,3592 2,6667 2,4433 2,9355 3,2877 3,3873 3,6467 3,3706 4,1415 4,3407 4,7200 4,2939 3,7385 3,9400 4,1000 3,8710
Std. Dev iat ion 1,15919 1,52753 1,89727 1,41581 ,37654 ,37287 ,33171 ,37373 ,44708 ,31999 ,25981 ,40193 ,30967 ,38322 ,20000 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Saat ini mengasuh kelas kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi Total
N 13 15 3 31 13 15 3 31 13 15 3 31 13 15 3 31
Mean Rank 18,38 14,03 15,50 13,92 16,47 22,67 12,92 16,77 25,50 13,50 16,80 22,83
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan 1,667 2 ,434
Faktor1 2,332 2 ,312
Faktor2 4,880 2 ,087
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Saat ini mengasuh kelas
Faktor3 2,864 2 ,239
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total
10 9 11 1 31 10 9 11 1 31 10 9 11 1 31 10 9 11 1 31
Mean 3,5010 2,7022 2,5455 3,6700 2,9355 3,3030 3,3089 3,4664 3,5500 3,3706 4,2380 4,2978 4,3018 4,7300 4,2939 3,6900 3,9333 4,0091 3,6000 3,8710
Std. Dev iation 1,27952 1,90321 1,02581 . 1,41581 ,42358 ,40548 ,32358 . ,37373 ,44307 ,17775 ,51035 . ,40193 ,31780 ,37417 ,32697 . ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Pernah mengasuh kelas kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total kelas rendah kelas tinggi kelas rendah dan tinggi belum ada pengalaman Total
N 10 9 11 1 31 10 9 11 1 31 10 9 11 1 31 10 9 11 1 31
Mean Rank 19,15 14,94 13,23 24,50 14,85 14,72 17,68 20,50 15,10 16,22 15,73 26,00 12,25 16,39 20,00 6,00
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan 3,343 3 ,342
Faktor1 ,959 3 ,811
Faktor2 1,325 3 ,723
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Pernah mengasuh kelas
Faktor3 5,184 3 ,159
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
tidak ada m.a. agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada m.a. agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada m.a. agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada m.a. agama olahraga bahasa inggris lainny a Total
Khusus
Khusus
Khusus
Khusus
17 5 4 2 3 31 17 5 4 2 3 31 17 5 4 2 3 31 17 5 4 2 3 31
Mean 3,0788 2,7340 2,3325 4,5000 2,2200 2,9355 3,3341 3,4200 3,3575 3,4150 3,4833 3,3706 4,2688 4,2600 4,4000 4,3850 4,2900 4,2939 3,7412 3,9400 4,0750 4,2000 4,0000 3,8710
Std. Dev iat ion 1,32631 ,76041 1,69967 2,12132 2,00905 1,41581 ,38777 ,44159 ,47409 ,44548 ,16442 ,37373 ,43683 ,46733 ,31654 ,16263 ,50715 ,40193 ,28076 ,40988 ,32016 ,70711 ,36056 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Saat ini mengasuh M.A. tidak ada m.a. Khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada m.a. Khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada m.a. Khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada m.a. Khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total
N 17 5 4 2 3 31 17 5 4 2 3 31 17 5 4 2 3 31 17 5 4 2 3 31
Mean Rank 16,91 14,10 13,50 23,25 12,50 14,91 16,20 17,38 17,50 19,00 15,65 16,00 17,50 18,25 14,50 12,76 19,20 20,88 21,75 18,67
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan 2,501 4 ,644
Faktor1 ,719 4 ,949
Faktor2 ,339 4 ,987
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Saat ini mengasuh M. A.
Faktor3 5,105 4 ,277
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total
Mean
Std. Dev iat ion
17
3,1182
1,36433
4 3 3 4 31
2,7500 1,7767 4,4433 2,0825 2,9355
,74113 1,57469 1,50321 1,25985 1,41581
17
3,2918
,35678
4 3 3 4 31
3,4700 3,2867 3,5000 3,5725 3,3706
,48546 ,55411 ,34771 ,26525 ,37373
17
4,2435
,43628
4 3 3 4 31
4,1850 4,2433 4,2800 4,6650 4,2939
,33161 ,05508 ,21517 ,49082 ,40193
17
3,8000
,33354
4 3 3 4 31
3,8000 4,0000 4,0000 4,0500 3,8710
,34641 ,34641 ,60828 ,31091 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Pernah m engasuh M.A. tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total tidak ada mata ajaran khusus agama olahraga bahasa inggris lainny a Total
N
Mean Rank 17
17,41
4 3 3 4 31
14,00 9,00 25,00 10,50
17
13,74
4 3 3 4 31
18,00 15,50 20,00 21,00
17
15,26
4 3 3 4 31
13,50 13,83 15,50 23,63
17
14,74
4 3 3 4 31
15,13 18,33 16,50 20,13
Faktor2 3,412 4 ,491
Faktor3 1,431 4 ,839
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan 7,048 4 ,133
Faktor1 3,049 4 ,550
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Pernah mengasuh M.A.
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
tidak ada pembina pramuka lainny a Total tidak ada pembina pramuka lainny a Total tidak ada pembina pramuka lainny a Total tidak ada pembina pramuka lainny a Total
18 8 5 31 18 8 5 31 18 8 5 31 18 8 5 31
Mean 2,8339 3,2913 2,7320 2,9355 3,4072 3,4338 3,1380 3,3706 4,2472 4,4563 4,2020 4,2939 3,8778 3,9250 3,7600 3,8710
St d. Dev iation 1,39211 1,49705 1,58875 1,41581 ,36314 ,40387 ,34644 ,37373 ,36327 ,43811 ,49170 ,40193 ,41096 ,30119 ,19494 ,35326
N
Mean Rank 15,58 16,44 16,80
Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Tugas Lain tidak ada pembina pramuka lainny a Total tidak ada pembina pramuka lainny a Total tidak ada pembina pramuka lainny a Total tidak ada pembina pramuka lainny a Total
18 8 5 31 18 8 5 31 18 8 5 31 18 8 5 31
16,75 18,25 9,70 15,25 19,06 13,80 16,39 17,00 13,00
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan ,099 2 ,952
Faktor1 3,014 2 ,222
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Tugas Lain
Faktor2 1,325 2 ,515
Faktor3 ,691 2 ,708
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
tidak ada PLH f ormal PLH f ormal PLH f ormal Total tidak ada PLH f ormal PLH f ormal PLH f ormal Total tidak ada PLH f ormal PLH f ormal PLH f ormal Total tidak ada PLH f ormal PLH f ormal PLH f ormal Total
di SD di SMP di PT
di SD di SMP di PT
di SD di SMP di PT
di SD di SMP di PT
21 6 2 2 31 21 6 2 2 31 21 6 2 2 31 21 6 2 2 31
Mean 2,8100 3,3883 3,1650 2,6650 2,9355 3,4352 3,0650 3,2300 3,7500 3,3706 4,3119 3,9983 4,6850 4,6000 4,2939 3,8143 3,8833 4,4000 3,9000 3,8710
Std. Dev iat ion 1,18114 1,68059 4,00930 ,47376 1,41581 ,32768 ,43666 ,18385 ,28284 ,37373 ,36935 ,40187 ,26163 ,46669 ,40193 ,34247 ,28577 ,42426 ,42426 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
PLH F ormal tidak ada PLH f ormal di PLH f ormal di PLH f ormal di Total tidak ada PLH f ormal di PLH f ormal di PLH f ormal di Total tidak ada PLH f ormal di PLH f ormal di PLH f ormal di Total tidak ada PLH f ormal di PLH f ormal di PLH f ormal di Total
N SD SMP PT
SD SMP PT
SD SMP PT
SD SMP PT
21 6 2 2 31 21 6 2 2 31 21 6 2 2 31 21 6 2 2 31
Mean Rank 16,02 16,83 16,50 12,75 17,52 9,08 11,50 25,25 16,26 9,83 25,50 22,25 14,76 17,17 26,25 15,25
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan ,324 3 ,955
Faktor1 6,625 3 ,085
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: PLH Formal
Faktor2 5,917 3 ,116
Faktor3 3,120 3 ,373
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop PLH pelatihan PLH lainny a Total tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop PLH pelatihan PLH lainny a Total tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop PLH pelatihan PLH lainny a Total tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop PLH pelatihan PLH lainny a Total
13 7 3 2 6 31 13 7 3 2 6 31 13 7 3 2 6 31 13 7 3 2 6 31
Mean 3,2308 3,0471 3,0000 1,8350 2,5000 2,9355 3,4546 3,2486 3,0000 3,2000 3,5733 3,3706 4,1215 4,4057 3,9133 4,1500 4,7750 4,2939 3,9154 3,7571 3,7000 3,7500 4,0333 3,8710
Std. Dev iat ion 1,00346 2,10432 ,88255 2,59508 1,29598 1,41581 ,34626 ,31429 ,41037 ,77782 ,24663 ,37373 ,35725 ,25488 ,34034 ,18385 ,25344 ,40193 ,41402 ,26367 ,00000 ,63640 ,30768 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
PLH Non Formal tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop pelatihan PLH lainny a Total tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop pelatihan PLH lainny a Total tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop pelatihan PLH lainny a Total tidak ada seminar PLH lokakary a/workshop pelatihan PLH lainny a Total
N
PLH
PLH
PLH
PLH
13 7 3 2 6 31 13 7 3 2 6 31 13 7 3 2 6 31 13 7 3 2 6 31
Mean Rank 17,27 15,64 17,50 13,00 13,92 17,42 13,29 7,17 14,50 21,00 12,31 18,64 7,50 12,00 26,50 17,46 11,93 12,50 13,25 20,25
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan ,913 4 ,923
Faktor1 5,645 4 ,227
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: PLH Non Formal
Faktor2 13,771 4 ,008
Faktor3 3,771 4 ,438
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
tidak ada saka wana bakti dan pecint a alam pramuka lainny a Total tidak ada saka wana bakti dan pecint a alam pramuka lainny a Total tidak ada saka wana bakti dan pecint a alam pramuka lainny a Total tidak ada saka wana bakti dan pecint a alam pramuka lainny a Total
21
Mean 3,1271
Std. Dev iat ion 1,44738
2
3,1650
1,18087
6 2 31 21
2,6117 1,6650 2,9355 3,2814
1,30722 1,88798 1,41581 ,39395
2
3,5600
,01414
6 2 31 21
3,5617 3,5450 3,3706 4,1590
,31594 ,26163 ,37373 ,37744
2
4,5700
,42426
6 2 31 21
4,5817 4,5700 4,2939 3,8762
,30116 ,42426 ,40193 ,39485
2
3,9500
,49497
6 2 31
3,8167 3,9000 3,8710
,23166 ,28284 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Pengalaman Organisasi tidak ada saka wana bakti dan pecinta alam pramuka lainny a Total tidak ada saka wana bakti dan pecinta alam pramuka lainny a Total tidak ada saka wana bakti dan pecinta alam pramuka lainny a Total tidak ada saka wana bakti dan pecinta alam pramuka lainny a Total
N 21
Mean Rank 16,60
2
18,00
6 2 31 21
15,33 9,75
2
21,75
6 2 31 21
20,58 20,00
2
21,25
6 2 31 21
23,00 21,25
2
17,25
6 2 31
14,33 17,00
13,76
13,00
16,26
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan 1,209 3 ,751
Faktor1 3,986 3 ,263
Faktor2 7,189 3 ,066
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Pengalam an Organisasi
Faktor3 ,288 3 ,962
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
pengalaman positif pengalaman negatif pengalaman positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total pengalaman positif pengalaman negatif pengalaman positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total pengalaman positif pengalaman negatif pengalaman positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total pengalaman positif pengalaman negatif pengalaman positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total
23 2
Mean 3,0435 3,0000
Std. Dev iat ion 1,37222 ,00000
2
2,3300
2,82843
2 2 31 23 2
1,8350 3,3350 2,9355 3,3252 3,7550
2,59508 ,47376 1,41581 ,35010 ,27577
2
3,3450
,02121
2 2 31 23 2
3,2000 3,7050 3,3706 4,2209 4,9300
,77782 ,43134 ,37373 ,39699 ,00000
2
4,6350
,33234
2 2 31 23 2
4,1500 4,3000 4,2939 3,8870 3,9000
,18385 ,16971 ,40193 ,36718 ,42426
2
3,8500
,35355
2 2 31
3,7500 3,8000 3,8710
,63640 ,14142 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Pengalaman interaksi dengan alam pengalam an positif pengalam an negatif pengalam an positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total pengalam an positif pengalam an negatif pengalam an positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total pengalam an positif pengalam an negatif pengalam an positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total pengalam an positif pengalam an negatif pengalam an positif dan negatif tidak memberi jawaban tidak jelas Total
N 23 2
Mean Rank 15,85 16,50
2
15,75
2 2 31 23 2
13,00 20,50
2
13,50
2 2 31 23 2
14,50 23,25
2
23,25
2 2 31 23 2
12,00 15,50
2
13,75
2 2 31
13,25 15,50
14,85 26,00
14,50 30,50
16,54 15,25
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan ,750 4 ,945
Faktor1 4,268 4 ,371
Faktor2 7,391 4 ,117
Faktor3 ,418 4 ,981
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Pengalam an int eraksi dengan alam
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total 2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total 2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total 2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total
13 3 9 6 31 13 3 9 6 31 13 3 9 6 31 13 3 9 6 31
Mean 3,1023 2,7800 2,6289 3,1117 2,9355 3,3508 3,7000 3,4144 3,1833 3,3706 4,2477 4,3933 4,3200 4,3050 4,2939 3,8923 3,9667 3,9000 3,7333 3,8710
St d. Dev iation 1,33630 1,01799 1,17145 2,19953 1,41581 ,35203 ,38432 ,31389 ,46068 ,37373 ,53090 ,40067 ,32909 ,20608 ,40193 ,44057 ,30551 ,27839 ,30111 ,35326
Lanjutan Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Wakt u mendapatkanny a 2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total 2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total 2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total 2005-2010 seb 2005 tidak jelas tidak jawab Total
N 13 3 9 6 31 13 3 9 6 31 13 3 9 6 31 13 3 9 6 31
Mean Rank 17,23 15,00 14,17 16,58 15,50 23,33 16,50 12,67 15,58 17,50 16,11 16,00 16,65 19,83 16,00 12,67
Test Statisticsa,b
Chi-Square df Asy mp. Sig.
persepsi lingkungan ,691 3 ,875
Faktor1 2,826 3 ,419
Faktor2 ,111 3 ,990
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Waktu mendapatkanny a
Faktor3 1,442 3 ,696
Lampiran 4 Uji Mann-Whitney Descriptives
N persepsi lingkungan
Laki-Laki Perempuan Total Laki-Laki Perempuan Total Laki-Laki Perempuan Total Laki-Laki Perempuan Total
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Mean 2,5000 3,2941 2,9355 3,4071 3,3406 3,3706 4,3821 4,2212 4,2939 3,9357 3,8176 3,8710
14 17 31 14 17 31 14 17 31 14 17 31
St d. Dev iation 1,18300 1,52276 1,41581 ,36793 ,38700 ,37373 ,44061 ,36431 ,40193 ,31527 ,38281 ,35326
Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total Laki-Laki Perempuan Total Laki-Laki Perempuan Total Laki-Laki Perempuan Total
N 14 17 31 14 17 31 14 17 31 14 17 31
Mean Rank 13,64 17,94
Sum of Ranks 191,00 305,00
16,71 15,41
234,00 262,00
17,93 14,41
251,00 245,00
17,61 14,68
246,50 249,50
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
persepsi lingkungan 86,000 191,000 -1,335 ,182 a
,200
a. Not corrected f or ties. b. Grouping Variable: Jenis Kelamin
Faktor1 109,000 262,000 -,397 ,691 a
,710
Faktor2 92,000 245,000 -1,073 ,283 a
,297
Faktor3 96,500 249,500 -,904 ,366 a
,377
Lanjutan Descriptives
N persepsi lingkungan
tidak pernah pernah Total tidak pernah pernah Total tidak pernah pernah Total tidak pernah pernah Total
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Mean 2,2500 3,0370 2,9355 3,2650 3,3863 3,3706 4,2200 4,3048 4,2939 4,0750 3,8407 3,8710
Std. Dev iat ion 1,50000 1,40367 1,41581 ,58592 ,34580 ,37373 ,44632 ,40305 ,40193 ,20616 ,36296 ,35326
Mean Rank 12,75 16,48
Sum of Ranks 51,00 445,00
13,50 16,37
54,00 442,00
15,88 16,02
63,50 432,50
22,50 15,04
90,00 406,00
4 27 31 4 27 31 4 27 31 4 27 31
Ranks persepsi lingkungan
Faktor1
Faktor2
Faktor3
Pengalaman Mengajar PLH tidak pernah
N 4 27 31 4 27 31 4 27 31 4 27 31
pernah Total tidak pernah pernah Total tidak pernah pernah Total tidak pernah pernah Total
Test Statisticsb
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asy mp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
persepsi lingkungan 41,000 51,000 -,781 ,435 a
,476
Faktor1 44,000 54,000 -,589 ,556 a
,589
a. Not corrected f or ties. b. Grouping Variable: Pengalaman Mengajar PLH
Faktor2 53,500 63,500 -,029 ,976 a
,977
Faktor3 28,000 406,000 -1,551 ,121 a
,137