29
4 KEADAAN UMUM 4.1
Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten
yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada pada batas astronomis 05° 02’–05° 08’ Lintang Utara dan 95° 0’-95° 08’ Bujur Timur. Batas wilayah Kabupaten Aceh Besar sebagai berikut
1)
sebelah utara dengan Selat Malaka dan Kota Banda Aceh; 2) sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Barat; 3) sebelah barat dengan Samudera Indonesia; dan 4) sebelah timur dengan Kabupaten Pidie. Panjang garis pantai Kabupaten Aceh Besar 295 km, dengan wilayah laut sebesar 2.150,80 km2 yang diserahkan wewenangnya untuk dikelola dan dimanfaatkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 yaitu 4 mil dari garis pantai ke laut sedangkan luas daratan sebesar 1.390 km2. Sehingga Kabupaten Aceh Besar memiliki laut lebih luas di bandingkan dengan daratan sebesar 15,5%. Luas wilayah laut Kabupaten Aceh Besar sebesar 83.546,80 km2 yang terdiri laut Kabupaten 2.150,80 km2, luas Provinsi 4.301,60 km2 dan laut zona ekonomi exklusif (ZEE) seluas 75.458,50 km2. 4.2
Potensi perikanan tangkap Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh
yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah perkiraan produksi laut sebesar 11.131 ton terdiri dari perairan ikan pelagis diperkirakan 2,0 ton/km2 dan ikan demersal sebesar 3,2 ton/km2. Potensi ikan yang telah dimanfaatkan sebesar 5.057,2 ton per tahun (45,43%) dan peluang untuk dikembangkan sebanyak 6.074 ton (54,56%) (DKP Aceh Besar 2010). Data yang dikumpulkan petugas statistik perikanan belum akurat disebabkan masih banyak terjadinya perjualan hasil tangkapan ke daerah lain yang dekat dengan daerah fishing groud. Sedangkan data yang dikumpulkan hanya hasil pendaratan ikan di PPI yang ada di Aceh Besar. Jumlah produksi perikanan tangkap terdiri dari sumberdaya ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar dan berbagai ikan demersal. Jumlah produksi hasil tangkapan ikan periode tahun 2005-2010 di
30
Kabupaten Aceh Besar terjadi peningkatan dari tahun ke tahun seperti terlihat pada Gambar 11. Ikan tongkol menempati produksi tertinggi dan meningkat setiap tahun sejak tahun. Tahun 2005 produksi sebesar 416,35 ton meningkat menjadi sebesar 1.613,64 ton pada tahun 2009. Ikan layang tahun 2005 sebesar 695,36 ton meningkat menjadi sebesar 1.430,02 ton pada tahun 2008, dan sedikit terjadi penurunan produksi pada tahun 2009 menjadi sebesar 1.362,97 ton. Ikan tuna yang pada tahun mulai tahun 2005 sebesar 3,24 ton menjadi sebesar 110,73 ton pada tahun 2007, kemudian mengalami penurunan produksi pada tahun 2008 menjadi 96,87 ton dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2009 sebanyak 369,18 ton. Beberapa jenis ikan mengalami penurunan jumlah produksi, seperti ikan layur sebanyak 34,36 ton pada tahun 2006, turun menjadi 32,70 ton pada tahun 2009. Ikan selar mengalami peningkatan tiap tahun mulai tahun 2005 sebanyak 18,74 menjadi sebanyak 191,34 ton pada tahun 2008, terjadi penurunan produksi pada tahun 2009 sebanyak 86,05 ton. Gambar 11 menunjukkan produksi ikan ekonomi penting. Kg/Tahun
1,800.00 1,600.00 1,400.00 1,200.00 1,000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 ‐
2005 2006 2007 2008 2009
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar Tahun 2010
Gambar 11 Jumlah produksi ikan ekonomis penting di Kabupaten Aceh Besar selama tahun 2005-2010.
31
4.3
Alat tangkap Alat penangkapan merupakan salah satu komponen penting bagi nelayan
karena menjadi alat utama untuk menghasilkan produksi perikanan, baik berupa ikan maupun non ikan. Alat tangkap dengan jumlah terbesar adalah pancing ulur (hand line), sebanyak 265 unit pada tahun 2010. Pukat cincin (purse seine) mengalami peningkatan tiap tahun mulai tahun 2005 sebanyak 44 unit menjadi 56 unit pada tahun 2010. Jaring angkat bagan juga mengalami peningkatan tiap tahun sebanyak 35 unit pada tahun 2005 menjadi 67 unit pada tahun 2010. Pancing tonda mengalami penurunan jumlah alat tangkap dari 41 unit pada tahun 2008 menjadi 32 unit pada tahun 2010. Sedangkan untuk alat tangkap lain tidak terjadi peningkatan jumlah yang signifikan misalnya alat tangkap rawai tetap pada tahun 2008 sebanyak 80 unit menjadi sebanyak 85 unit pada tahun 2010. Alat tangkap rawai hanyut mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun, yang pada tahun 2008 berjumlah 163 unit menjadi 203 unit pada tahun 2010. Dari semua alat tangkap yang beroperasi di perairan Kabupaten Aceh Besar, alat tangkap yang terkecil adalah jaring insang tetap dan pukat pantai. Peningkatan alat tangkap di Kabupaten Aceh Besar tidak dikontrol dengan baik oleh pemerintah dikarenakan masih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan sehingga membuka peluang untuk penambahan armada purse seine tanpa memperhitungkan potensi sumberdaya ikan. Gambar 12 menunjukkan jumlah alat tangkap. 300
2005
Unit/Tahun
250
2006
200
2007
150
2008
100
2009
50
2010
‐ Pukat Jaring Pukat Pancing Rawai Rawai Pancing Jaring Cincin Angkat Pantai Tonda Hanyut Tetap Ulur Insang Tetap Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Besar (2010)
Gambar 12 Jumlah alat tangkap di Kabupaten Aceh Besar tahun 2005-2010.
32
4.4
Unit Penangkapan Ikan
4.4.1 Kapal purse seine Kabupaten Aceh Besar memiliki sekelompok nelayan yang mempunyai keahlian dalam pembuatan kapal purse seine secara tradisional untuk para nelayan. Hal ini menyebabkan kapal tidak perlu dipesan dari kabupaten atau provinsi lain. Sedangkan bahan baku untuk pembuatan kapal purse seine di Kabupaten Aceh Besar semua didatangkan dari dalam daerah Aceh, sehingga harga dan biaya pengangkutan lebih murah. Tenaga penggerak kapal biasanya menggunakan mesin diesel dengan merk mitsubishi yang
berkekuatan 150–230 PK, dilengkapi dengan mesin bantu
generator set yang berfungsi untuk menyalakan lampu-lampu yang ada di kapal. Kapal purse seine merupakan kapal motor yang terbuat dari bahan kayu, ukuran kapal sebesar 20–36 GT dan bentuk dasar kapal adalah round bottom. Kapal dibuat sedemikian rupa sehingga pada saat kegiatan penangkapan, meskipun beban lebih besar berada di salah satu lambung kapal, stabilitasnya tetap positif. Setiap kapal dilengkapi mesin bantu (gardan) dan tiang-tiang (boom) yang digunakan pada saat proses penarikan alat tangkap. Sebagian besar kapal-kapal dilengkapi dengan palkah ikan yang dibuat tetap (fix) di bagian tengah badan kapal. Gambar 13 menunjukkan purse seine di Aceh Besar.
Gambar 13 Kapal purse seine di Kabupaten Aceh Besar (pukat cincin).
33
4.4.2
Alat tangkap purse seine Pukat Langgar merupakan nama lokal dari pukat cincin (purse seine) yang
dioperasikan di perairan Kabupaten Aceh Besar. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat purse seine relatif sama, hanya ukurannya yang berbeda. Purse seine yang digunakan mempunyai panjang berkisar antara 750–1.100 m dan lebar berkisar 50-70 m. Kantong sebagai tempat berkumpulnya ikan terbuat dari bahan PA 210/D15 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 1 inchi dan 1,5 inchi. Badan jaring terbuat dari bahan PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size sebesar 2 inchi. Bagian sayap berfungsi sebagai penghadang gerombolan ikan agar tidak keluar dari lingkaran purse seine, terbuat dari bahan PA 210/D9 dan PA 210/D12 dengan ukuran mesh size 3 inchi. Jaring yang berada pada pinggir badan jaring (selvedge) ini terbuat dari bahan PE 380/D15 dengan ukuran mata jaring (mesh size) 2 inchi yang terdiri dari 5 mata untuk arah ke bawah. Alat tangkap purse seine bagian atas terdiri dari tali ris atas dan tali pelampung (floatline), terbuat dari bahan PE dengan panjang 750-1.100 m dan diameter tali sebesar 12 mm. Jumlah pelampung adalah 2.000–3.000 buah dan jarak antar pelampung sekitar 30-40 cm. Pelampung berbentuk elips dengan panjang 18 cm dan diameter tengah 12 cm yang terbuat dari bahan sintetis rubber. Bagian bawah purse seine terdiri dari tali ris bawah dan tali pemberat, terbuat dari bahan PE dengan diameter tali sebesar 12 mm dengan panjang 7501.100 m. Pemberat pada purse seine mempunyai panjang 5 cm, berjumlah 3.0004.500 buah dengan berat 200 gr/buah dan mempunyai diameter tengah 2,8 cm. Pemberat terbuat dari bahan timah hitam dengan jarak antar pemberat berkisar 2025 cm. Tali cincin terbuat dari bahan PE berdiameter 10 mm dan panjang 1 m. Jumlah cincin pada purse seine dalam satu unit rata-rata terdiri dari 70-110 buah. Cincin memiliki diameter luar 12 cm dan diameter dalam 9,6 cm. Cincin terbuat dari bahan kuningan dengan jarak antar cincin berkisar 8-11 m. Tali kerut (purse line) terbuat dari bahan PE dengan diameter tali 28-30 mm yang memiliki panjang 800-1.200 m.
34
4.5
Nelayan Nelayan purse seine Kabupaten Aceh Besar menghadapi persoalan yang
hampir sama dengan nelayan di daerah lain yaitu tidak adanya modal yang cukup untuk usaha. Kebanyakan nelayan masih bergantung atau bekerja kepada pemilik kapal sehingga dalam pembagian hasil tangkapan masih jauh tidak adil sehingga nelayan mengharapkan adanya kredit lunak atau bantuan pemerintah yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan untuk memulai usaha perikanan. Kredit lunak atau bantuan pemerintah tersebut sifatnya terbatas dan birokrasinya terlalu berbelitbelit, sehingga kendala tersendiri bagi nelayan. Persoalan lain adalah kelemahan dalam penguasaan teknologi tentang daerah penangkapan yang masih rendah (fishing groud). Nelayan di Kabupaten Aceh Besar masih mengandalkan kemampuan dan pengalaman mereka sendiri dalam usaha penangkapan tanpa adanya bantuan teknologi. Contohnya dalam menentukan daerah penangkapan atau melihat gerombolan ikan hanya mengacu pada tanda-tanda alam seperti buih-buih di laut atau adanya kumpulan burung camar. Kemampuan mereka yang awam tentang penggunaan teknologi berakibat kepada rendahnya kemampuan produksi usaha penangkapan. Kelemahan lainnya yaitu manajemen usaha perikanan masih dikelola secara sederhana belum secara teratur, sehingga usaha tidak dapat lagi dikembangkan bahkan tidak sedikit mengalami kerugian karena salah dalam mengatur dan membuat keputusan-keputusan. Nelayan merupakan salah satu komponen penting dalam pengoperasian alat tangkap purse seine. Faktor keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan purse seine adalah keterampilan, keuletan, kualitas dan fisik para nelayan. Setiap nelayan mendapat tugas dalam pengoperasial alat tangkap yang dikoordinir oleh pawang (nakhoda) sebagai berikut: 1) Pawang (1 orang), sebagai penanggung jawab dalam mengoperasikan kapal dan kelancaran kegiatan penangkapan ikan, 2) Juru mesin (2 orang), bertugas mengoperasikan mesin baik untuk mesin utama maupun mesin bantu, 3) Juru lampu (1 orang), bertugas mengoperasikan dan merawat instalasi listrik, 4) Juru pelampung (2 orang), bertugas mengatur dan merapikan pelampung
35
sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan, 5) Juru pemberat (2 orang), bertugas mengatur dan merapikan pemberat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan penangkapan ikan, 6) Nelayan biasa, yang bertugas menarik, merapikan dan memperbaiki jaring purse seine jika ada kerusakan, 7) Juru masak (1 orang), bertugas menyiapkan makanan dan minuman bagi seluruh awak kapal. Tugas nelayan yang satu dapat dikerjakan juga oleh nelayan yang lain. Saat penarikan alat tangkap, maka juru pelampung, juru pemberat dan juru listrik juga melakukan tugas menarik alat tangkap. 4.6
Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Sistem kelembagaan di PPI Lambada Lhok dikenal ada dua subsistem
kelembagan yaitu: 1) kelembagaan instansional, dan 2) kelembagaan adat. 1) Kelembagaan instansional Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Lambada Lhok yang dibangun pada tahun anggaran 1997 dari dana APBD, mulai aktif dioperasikan pada bulan Maret 1998. Dalam menjalankan fungsinya, PPI dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang dikategorikan menjadi 3, yaitu: (1) Fasilitas pokok yaitu fasilitas dasar yang diperlukan guna melindungi kapal penangkapan dari gangguan alam, dan tempat tambat labuh serta bongkar muat; (2) Fasilitas fungsional yaitu merupakan sarana pelengkap bagi fasilitas pokok untuk kepetingan manajemen pelabuhan perikanan dan dapat dimanfaatkan oleh perorangan atau badan hukum yang meliputi: 1) sarana pemeliharaan kapal dan alat tangkap, 2) sarana pemasokan bahan bakar untuk kapal dan keperluan pengolahan dan 3) sarana pemasaran, biasanya tempat pelelangan ikan (TPI), penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan; (3) Fasilitas penunjang yaitu fasilitas yang secara tidak langsung menunjang kelancaran fungsi pelabuhan serta meningkatkan kesejahteraan nelayan dan memberikan kemudahan bagi masyarakat umum yang meliputi: 1) sarana kesejahteraan nelayan, yaitu tempat penginapan, kios perbekalan dan alat
36
perikananan, 2) sarana pengolahan pelabuhan yaitu kantor, pos pemeriksaan dan perumahan karyawan. Ancaman yang dapat mempengaruhi dalam usaha perikanan purse seine di Kabupaten Aceh Besar antara lain kelebihan tangkap (overfishing) akibat usaha perikanan yang berlebihan tanpa adanya kontrol baik dari pemerintah maupun lembaga adat sehingga terjadi penangkapan yang berlebihan tanpa adanya pembatasan jumlah penangkapan atau batasan jumlah alat tangkap. Nelayan asing menggunakan kapal dan teknologi yang sudah canggih, agar operasional dan hasil tangkapan menjadi lebih baik. Hal ini sangat merugikan bagi para nelayan Aceh karena harus bersaing dengan armada yang lebih komplit. Belum lagi ancaman terhadap kekerasan atau perampokan yang dilakukan oleh oleh nelayan asing tersebut. 2) Kelembagaan adat Keberadaan
lembaga
adat
telah
diakui
oleh
pemerintah
dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistemewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lembaga ini merupakan bentukan nelayan, yang bertujuan untuk mengatur jalannya operasional penangkapan ikan, menjaga ketertiban dan keamanan diantara nelayan dalam melakukan aktivitas. Kelembagaan adat berperan sebagai organisasi masyarakat yang mengatur aktivitas nelayan melalui ketentuan adat yang berlaku. Ketentuan-ketentuan pengaturan hukum adat laot berdasarkan tradisi dan keyakinan dari para nelayan yang berdasarkan nilai-nilai akidah yang dianut, misalnya larangan menangkap ikan pada hari jum’at, hari raya idul fitri, hari raya idul adha dan hari peringatan tsunami yang pelarangnnya ditentukan oleh panglima laot di daerah masingmasing. Peranan lain panglima laot adalah dengan melakukan perlindungan pada wilayah perairan yang dijadikan sebagai tempat wisata atau sebagai tempat konservasi. Ketentuan yang dikeluarkan oleh panglima laot lebih dapat diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat nelayan karena aspiratif dan ketentuan tersebut dijalankan secara konsisten, sehingga peran lembaga adat sangatlah penting dalam usaha perikanan di Kabupaten Aceh Besar, dibandingkan dengan kelembagaan bentukan pemerintah.