22
4. KEADAAN UMUM 4.1 Keadaan Umum Kota Banda Aceh 4.1.1 Letak topografis dan geografis Banda Aceh Kota Banda Aceh terletak di ujung barat Pulau Sumatera. Perairan Kota Banda Aceh secara umum dipengaruhi oleh persimpangan dan gerakan arus dari Samudera Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan Pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar. Posisi tersebut
membuat
wilayah
ini
memiliki
potensi
kekayaan
laut
yang
beranekaragam (DKP NAD, 2010). Dengan demikian Kota Banda Aceh sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki posisi strategis dalam pemanfaatan sektor perikanan laut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) NAD (2010), secara geografis Kota Banda Aceh terletak antara 05016’15” - 05036’16” LU dan 95016’15” - 95022’35” BT dengan batas-batas wilayah Kota Banda Aceh sebagai berikut: • Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, • Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar, • Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kota Banda Aceh merupakan daerah dataran rendah dengan topografi landai yang beriklim panas dengan tekanan udara rata-rata 1.010,9 mb dan suhu udara sekitar 26,80C dengan suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Mei. Wilayah kota ini memiliki ketinggian 0,80 meter dari permukaan laut dan memiliki garis pantai sepanjang kurang lebih 45 km yang membentang dari Utara hingga Barat Laut. Perairan laut Kota Banda Aceh yang mencakup Selat Malaka memiliki kedalaman mencapai 200 meter dengan tingkat penyebaran salinitas sekitar 34 ppt menjadikan perairan laut di wilayah ini cukup potensial dalam pengembangan perikanan tangkap khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Annajah, 2010). Wilayah Kota Banda Aceh memiliki lahan yang cukup luas. Menurut BPS NAD (2010) total luas wilayah Kota Banda Aceh adalah 61,36 km2 yang terdiri dari 9 kecamatan, 20 kelurahan, dan 70 desa. Kecamatan yang berada di 22
23
Kota Banda Aceh adalah Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala, dan Ulee Kareng. Namun, kecamatan yang memiliki wilayah pantai hanya terdiri dari 2 kecamatan yaitu Kecamatan Kuta Alam dan Syiah Kuala yang masing-masing memiliki luas wilayah sebesar 10,05 km2 dan 14,24 km2. Berdasarkan total luas wilayah tersebut, penggunaan lahan dari keseluruhan luas wilayah di kota ini dibagi untuk berbagai keperluan seperti 6.262 ha untuk bangunan dan halamannya, 389 ha untuk perkebunan, 403 ha untuk tambak, dan 114 ha dijadikan rawa-rawa (BPS NAD, 2010). Namun, setelah tsunami banyak lahan di Kota Banda Aceh yang dialihkan fungsinya untuk digunakan sebagai wilayah perumahan. Ini dikarenakan seluruh wilayah yang berjarak 500 meter dari garis pantai yang dulunya merupakan daerah perumahan penduduk telah dijadikan daerah rawa-rawa yang berfungsi sebagai pelindung atau penahan dari gelombang pasang.
4.1.2 Kependudukan Berdasarkan data dari BPS NAD (2010) diperoleh bahwa hasil proyeksi penduduk Kota Banda Aceh tahun 2008 adalah 217.918 jiwa, yang terdiri dari 112.588 orang laki-laki dan 105.330 orang perempuan. Kecamatan Kuta Alam adalah kecamatan dengan jumlah penduduk terpadat dan Kecamatan Kuta Raja merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit (Tabel 4). Tabel 4 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan rata-rata kepadatan penduduk per km2 di Kota Banda Aceh tahun 2008 Penduduk Kecamatan
Luas Area (km2)
Meuraxa Jaya Baru Banda Raya Baiturrahman Lueng Bata Kuta Alam Kuta Raja Syiah Kuala Ulee Kareng Jumlah
7,26 3,78 4,79 4,54 5,34 10,05 5,21 14,24 6,15 61,36
Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
6.893 10.828 10.581 18.027 11.065 22.893 4.690 17.324 10.287 112.588
5.601 9.830 10.326 18.097 10.960 20.899 3.386 16.109 10.122 105.330
Jumlah (orang) 12.494 20.658 20.907 36.124 22.025 43.792 8.076 33.433 20.409 217.918
Rata-rata Kepadatan Penduduk Per km2 (orang) 1.721 5.465 4.365 7.957 4.125 4.375 1.550 2.348 3.319 3.551
Sumber: BPS NAD (2010), data diolah kembali
23
24
Kota Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan tentunya membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mendukung kinerja pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerah. Perkembangan tenaga kerja ini tidak terlepas dari perkembangan jumlah penduduk dan kualitas pendidikan dari penduduk itu sendiri. Semakin tinggi pendidikan yang didapat oleh seseorang maka kualitas kerja orang tersebut juga akan lebih baik. Tahun 2004-2008 jumlah penduduk di Kota Banda Aceh cenderung meningkat. Hal ini terlihat pada Gambar 1, dimana pada tahun 2005 jumlah penduduk Kota Banda Aceh adalah 19.765 jiwa dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2007 dengan jumlah 24.407 jiwa, namun pada tahun 2008 jumlah penduduk mulai mengalami penurunan dengan jumlah 22.172 jiwa. Data jumlah penduduk pada tahun 2004 tidak diketahui karena hilang setelah terjadinya tsunami.
Sumber: BPS NAD (2010), data diolah kembali
Gambar 1 Grafik jumlah penduduk di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008. Jika dilihat berdasarkan kecamatan yang terdapat di Kota Banda Aceh pada tahun 2004-2008, Kecamatan Kuta Alam adalah kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kota Banda Aceh yaitu mencapai 157.659 jiwa, yang kemudian diikuti oleh Kecamatan Baiturrahman dengan jumlah penduduk 144.352 jiwa. Kecamatan Kuta Raja adalah kecamatan dengan jumlah penduduk yang paling sedikit yang terdapat di Kota Banda Aceh yaitu 18.706 jiwa. Secara keseluruhan, jumlah penduduk di Kota Banda Aceh cenderung meningkat, hal ini 24
25
dapat dilihat dengan nilai pertumbuhan penduduk pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,2% dan terus meningkat pada tahun 2007 hingga mencapai 23%. Namun, pada tahun 2008 jumlah penduduk mengalami penurunan sebesar 9,2% (Tabel 5). Tabel 5
Jumlah penduduk berdasarkan kecamatan dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008
Kecamatan Meuraxa Jaya Baru Banda Raya Baiturrahman Lueng Bata Kuta Alam Kuta Raja Syiah Kuala Ulee Kareng Sub jumlah (jiwa) Pertumbuhan (%)
2004 ... ... ... ... ... ... ... ... ... -
Jumlah penduduk (jiwa) 2005 2006 2007 2.221 2.320 3.719 12.340 12.395 15.317 24.257 24.272 29.363 33.582 33.657 40.989 19.284 19.339 23.083 35.033 35.088 43.746 2.978 3.013 4.639 25.418 25.473 30.867 22.768 22.823 27.936 177.881 178.380 219.659 0,2 23
2008 12.494 20.658 20.907 36.124 22.025 43.792 8.076 33.433 2.041 199.550 -9,2
Keterangan: ... = data tidak tersedia Sumber: BPS NAD (2010), data diolah kembali
4.1.3 Prasarana umum 1) Transportasi Jumlah penduduk Kota Banda Aceh yang cukup banyak tentu membutuhkan transpotasi umum yang memadai untuk mendukung aktivitas. Jalur transportasi udara menuju Kota Banda Aceh telah tersedia, yang didukung dengan adanya Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, sedangkan untuk transportasi darat tersedia bus, becak motor, dan labi-labi (sejenis angkot). Jenis angkutan umum di darat yang sehari-hari banyak digunakan oleh penduduk Kota Banda Aceh adalah jenis angkot yang memiliki kapasitas untuk 14 orang yang biasa disebut dengan “labi-labi”. Setiap “labi-labi” memiliki trayek atau tujuan khusus yang telah dibagi-bagi oleh Dinas Perhubungan NAD. Hingga saat ini kondisi “labi-labi” di Kota Banda Aceh tergolong masih cukup baik.
Jenis
angkutan umum lainnya yang cukup banyak digunakan adalah becak motor. Sarana angkutan umum jenis becak motor ini, jumlahnya tidak terlalu banyak, karena penggunaan angkutan umum jenis ini biasanya hanya untuk tujuan dalam
25
26
jarak dekat. Namun, sampai saat ini kebutuhan masyarakat terhadap angkutan umum terpenuhi sesuai kebutuhan. Akses jalan di Kota Banda Aceh cukup memadai, begitu juga untuk mencapai pelabuhan perikanan yang terdapat di Kota Banda Aceh. Lebar jalan berkisar antara 6-8 meter membuat angkutan umum untuk menuju pelabuhan perikanan juga tersedia sesuai kebutuhan (DKP NAD, 2010).
Pelabuhan
Perikanan yang terdapat di Kota Banda Aceh yaitu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ulee Lheue dan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo. Jalan untuk menuju PPI Ulee Lheue bisa ditempuh dengan menggunakan angkutan umum “labi-labi”, sedangkan untuk menuju PPP Lampulo bisa dengan menggunakan becak motor. Transportasi memegang peranan yang cukup penting didunia perikanan yaitu dalam mendukung kinerja atau aktivitas perikanan. Transportasi dibutuhkan untuk memasarkan atau mendistribusikan hasil perikanan, baik dalam bentuk olahan ataupun ikan segar. Adanya penyediaan transportasi yang baik di suatu pelabuhan perikanan akan membuat pemasaran hasil perikanan berjalan lancar. Oleh karena itu, untuk menunjang perikanan tangkap agar dapat berkembang dengan baik dibutuhkan sarana pendukung seperti prasarana dan sarana transportasi yang memadai sehingga kebutuhan terhadap hasil perikanan dapat dipenuhi dengan baik.
2) Komunikasi Pemerintah Kota Banda Aceh menyediakan beberapa sarana komunikasi untuk mendukung aktivitas penduduk Kota Banda Aceh seperti jasa Pos dan Giro dan jasa Telekomunikasi. Jumlah kantor pos yang tersedia di Banda Aceh yaitu 1 unit Kantor Pos Pusat dan beberapa unit kantor pos cabang/pembantu untuk melayani pengiriman surat, wesel, paket, jasa giro, jasa tabungan, dan lain-lain. Jasa telekomunikasi disediakan untuk melayani jasa telepon atau jaringan internet. Kapasitas sarana telekomunikasi yang tersedia sekitar 28.446 sambungan, namun yang tersambung hanya 22.515 sambungan (DKP NAD, 2010). Selain sarana telekomunikasi yang disediakan oleh pemerintah, terdapat sarana telekomunikasi melalui telepon seluler yang disediakan oleh beberapa perusahaan swasta.
26
27
Sarana telekomunikasi lain yang banyak digunakan oleh penduduk Kota Banda Aceh adalah telepon umum, seperti telepon koin yang disediakan oleh PT.TELKOM ataupun telepon umum yang disewakan oleh penduduk seperti wartel (warung telepon). Namun saat ini jumlah sarana telepon umum ini tidak terlalu banyak tersedia disebabkan masyarakat lebih memilih sarana telepon seluler karena penggunaannya yang lebih efektif dan lebih mudah. Selain itu, sarana telepon seluler saat ini bukan lagi menjadi kebutuhan tersier, melainkan sudah menjadi kebutuhan sekunder bahkan menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang. Sarana telekomunikasi merupakan sarana yang cukup sering digunakan untuk mendukung aktivitas perikanan di suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan jasa pos dan giro. Penggunaan telekomunikasi ini biasanya digunakan untuk pengawasan perikanan misalnya radio SSB dan handytalkie. Sarana komunikasi diharapkan dapat menunjang aktivitas perikanan khususnya perikanan tangkap menjadi lebih baik atau berjalan lancar.
3) Listrik, air, dan Bahan Bakar Minyak(BBM) Listrik, air dan bahan bakar minyak (BBM) menjadi suatu kebutuhan penting bagi masyarakat. Oleh karena itu pemerintah daerah maupun pemerintah kota berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan sebaik-baiknya dengan terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemenuhan kebutuhan listrik di Kota Banda Aceh disuplai oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai satu-satunya perusahaan negara yang menangani listrik. Pemenuhan kebutuhan listrik di Kota Banda Aceh masih kurang hingga saat ini, ini terlihat dari adanya pemadaman listrik secara bergilir di setiap kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh.
Pemadaman listrik bergilir ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan
listrik yang terus meningkat diakibatkan penggunaan alat-alat elektronik yang semakin banyak. Sumber kebutuhan air bersih di Kota Banda Aceh terdiri dari 2 sumber yaitu dari Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) dan air sumur.
Namun,
sebagian masyarakat Kota Banda Aceh memilih PDAM sebagai sumber untuk kebutuhan air bersih. Hal ini disebabkan karena tidak semua rumah penduduk
27
28
memiliki air sumur, selain itu kualitas air dari PDAM lebih bagus dibandingkan air sumur sehingga pemilihan PDAM sebagai penyedia air bersih dirasakan cukup tepat. Kebutuhan lainnya selain air bersih yang penting bagi masyarakat Kota Banda Aceh adalah kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM). Pemenuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) berasal dari PT.Pertamina yang juga merupakan perusahaan yang dikelola oleh negara. Bahan bakar yang biasa digunakan oleh penduduk Kota Banda Aceh adalah jenis premium dan solar. Hingga saat ini kebutuhan penduduk terhadap BBM terpenuhi dengan baik. Hal ini dapat diduga dengan melihat tidak adanya antrian yang panjang di SPBU dan harga jual BBM yang normal. Pertamina menyediakan beberapa unit SPBU (Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum) yang tersebar di beberapa kecamatan di Kota Banda Aceh untuk memenuhi kebutuhan BBM, diantaranya yang terdapat di Kecamatan Kuta Alam, Ulee Kareng, Meuraxa, Syiah Kuala, Baiturrahman, dan Lueng Bata. Kebutuhan listrik, air bersih, dan BBM di sektor perikanan khususnya di pelabuhan perikanan, menjadi kebutuhan yang cukup penting yang harus dipenuhi. Ini terkait dengan aktivitas perikanan yang membutuhkan listrik, air bersih dan BBM untuk memperlancar aktivitas perikanan tersebut, misalnya untuk aktivitas penanganan hasil tangkapan (pencucian ikan) dan kebutuhan melaut para nelayan.
Dengan terpenuhinya kebutuhan akan listrik, air bersih, dan BBM
diharapkan seluruh aktivitas perikanan dapat berjalan lancar, dimulai dari aktivitas penangkapan, pendaratan, distribusi hingga pemasaran.
4.2 Kondisi Perikanan Tangkap Kota Banda Aceh 4.2.1 Unit penangkapan ikan (1) Armada penangkapan ikan Ada beberapa jenis armada penangkapan yang digunakan oleh nelayan yang ada di Kota Banda Aceh, diantaranya perahu tanpa motor, perahu motor tempel, dan kapal motor. Perahu tanpa motor terbagi atas jukung dan perahu papan yang berukuran kecil, sedang, dan besar. Kapal motor yang terdapat di kota ini adalah yang berukuran 5-50 GT (Gross tonnage).
Jenis armada
penangkapan yang paling banyak digunakan oleh nelayan adalah jenis kapal
28
29
motor, sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah jenis perahu papan yang berukuran kecil. Jumlah armada penangkapan ikan tahun 2008 mencapai 204 unit dimana jenis armada penangkapan yang dominan adalah jenis kapal motor yang berukuran 20-50 GT dengan jumlah 73 unit atau sekitar 36% dari jumlah total armada penangkapan ikan yang terdapat di Kota Banda Aceh pada tahun tersebut. Jenis armada penangkapan yang memiliki jumlah kedua terbanyak pada tahun 2008 adalah kapal motor yang berukuran 5-10 GT dengan jumlah 57 unit atau sekitar 28% dari total keseluruhan armada (Tabel 6). Tabel 6 Jumlah armada penangkapan ikan dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 Jenis Armada Perahu Tanpa Motor
Jukung Perahu papan kecil Perahu papan sedang Perahu papan besar Sub jumlah (unit) Pertumbuhan (%)
Motor Tempel Sub jumlah (unit) Pertumbuhan (%) < 5 GT 5-10 GT Kapal Motor 10-20 GT 20-50 GT Sub jumlah (unit) Pertumbuhan (%) Jumlah (unit) Pertumbuhan (%) Rata-rata per tahun (unit) Kisaran (unit)
2004 ... ... ... ... ... ... ... ... ... -
Tahun (unit) 2005 2006 2007 ... ... ... 3 3 3 ... ... ... ... ... ... 3 3 3 0 0 14 14 14 14 14 14 0 0 ... 39 39 ... ... ... 18 18 18 73 73 73 91 130 130 43 0 108 147 147 36 0 121 3 – 73
2008 ... 3 ... ... 3 0 14 14 0 39 57 18 73 187 44 204 39
Keterangan: ... = data tidak tersedia Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa armada penangkapan yang paling banyak digunakan adalah kapal motor yang berukuran 20-50 GT dengan jumlah armada 73 unit, diikuti dengan yang kedua terbanyak adalah kapal motor yang berukuran kurang dari 5 GT, lalu kapal motor dengan ukuran 10-20 GT, diikuti oleh armada dengan jenis motor tempel sebanyak 14 unit dan yang terakhir adalah armada jenis perahu papan berukuran kecil sebanyak 3 unit. Tabel 3 juga 29
30
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah armada per tahun sebanyak 121 unit. Armada jenis kapal motor yang berukuran 10-50 GT biasanya digunakan untuk penangkapan dengan menggunakan purse seine (jaring lingkar), sedangkan untuk motor tempel atau kapal motor berukuran 5 GT biasanya digunakan untuk penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Jenis perahu tanpa motor dan motor tempel tidak mengalami pertumbuhan selama 5 tahun terakhir, yang mengalami pertumbuhan adalah jenis kapal motor yaitu sebesar 43% pada tahun 2006, namun pada tahun 2007 jenis kapal motor ini tidak mengalami pertumbuhan, pada tahun 2008 jenis armada ini mengalami peningkatan kembali dengan persentase pertumbuhan sebesar 44%. Jika dilihat dari keseluruhan jenis armada, pada tahun 2006 jumlah armada mengalami pertumbuhan sebesar 36%, sedangkan pada tahun 2007 jumlah keseluruhan armada tetap/sama seperti tahun 2006, dan pada tahun 2008 jumlah armada mengalami pertumbuhan hingga mencapai 39% (Tabel 6). Selama 5 tahun terakhir yaitu sejak tahun 2004 sampai tahun 2008, jumlah armada penangkapan yang ada di Kota Banda Aceh hampir tidak mengalami perubahan yang signifikan. Peningkatan jumlah unit armada hanya terdapat pada jenis kapal motor yaitu pada tahun 2005 jumlah kapal motor sebanyak 91 unit dan meningkat pada tahun 2006 sebanyak 130 unit. Namun, pada tahun 2007 jumlah armada ini tidak mengalami perubahan. Tahun 2008 jenis kapal motor kembali meningkat hingga mencapai 187 unit. Jumlah armada untuk jenis motor tempel dan perahu tanpa motor pada tahun 2004-2008 tidak terjadi penambahan atau pengurangan yakni, jenis motor tempel berjumlah 14 unit dan jenis perahu tanpa motor berjumlah 3 unit (Gambar 2). Tidak adanya penambahan atau pengurangan armada penangkapan yang signifikan di Kota Banda Aceh diduga karena armada yang terdapat di pelabuhan perikanan yang terdapat di Kota Banda Aceh tidak mengalami kerusakan sehingga tidak diperlukan armada pengganti ataupun armada tambahan untuk menunjang aktivitas penangkapan di laut. Data jumlah armada penangkapan untuk tahun 2004 tidak tersedia karena hilang saat tsunami.
30
31
Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali
Gambar 2 Grafik perkembangan jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008. (2) Alat tangkap Kegiatan usaha penangkapan yang banyak dilakukan oleh nelayan yang ada di Kota Banda Aceh adalah penangkapan dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin (purse seine), rawai, jaring insang (gillnets), dan pancing. Menurut data dari DKP NAD (2010) terlihat bahwa pada tahun 2008 jumlah alat tangkap purse seine di Kota Banda Aceh mencapai 90 unit, jaring klitik berjumlah 19 unit, jaring insang tetap berjumlah 60 unit, rawai tuna berjumlah 10 unit dan pancing berjumlah 35 unit (Tabel 7). Alat tangkap yang paling dominan digunakan pada tahun 2008 adalah alat tangkap purse seine, yang diikuti dengan jaring insang tetap sebagai kedua terbanyak, sedangkan yang paling sedikit digunakan adalah rawai tuna. Perkembangan jumlah alat tangkap yang terdapat di Kota Banda Aceh dari tahun 2004-2008 mengalami fluktuasi (Tabel 7). Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa alat tangkap jaring klitik pada tahun 2007 tidak digunakan lagi, namun tahun 2008 mulai digunakan kembali dan mengalami peningkatan sebanyak 19 unit.
Alat tangkap jaring insang tetap dan rawai tuna tidak
digunakan sejak 2 tahun berturut-turut sejak tahun 2006 sampai tahun 2007, namun pada tahun 2008 mulai dioperasikan kembali, bahkan untuk alat tangkap
31
32
jaring insang tetap mengalami peningkatan yang cukup drastis yaitu langsung meningkat dengan dioperasikan sebanyak 60 unit. Alat tangkap pancing ulur terlihat pada Tabel 4 bahwa terjadi penurunan yang cukup drastis untuk jumlahnya yaitu dari 168 unit pada tahun 2005 dan mulai menurun hingga berjumlah 25 unit pada tahun 2006 dan 2007 serta sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2008 hingga berjumlah 35 unit. Diduga alasan nelayan memilih alat tangkap lain disebabkan biaya operasional alat tangkap yang sebelumnya lebih mahal dibandingkan alat tangkap yang baru, jumlah produksi hasil tangkapan alat tangkap yang sebelumnya mulai menurun, atau bisa dikarenakan teknologi alat tangkap baru yang lebih baik dan lebih efektif. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan alat tangkap pada tahun 2004-2008 cenderung mengalami penurunan. Tahun 2006, jumlah alat tangkap mengalami penurunan sebesar 49% dan terus menurun sebesar 14% pada tahun 2007, namun tahun 2008 jumlah keseluruhan alat tangkap kembali meningkat sebesar 46%. Tabel 7 Jumlah alat tangkap dan pertumbuhannya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 Jenis alat tangkap Purse seine Jaring klitik Jaring insang tetap Rawai tuna Pancing ulur Jumlah (unit) Pertumbuhan (%) Rata-rata per tahun (unit) Kisaran (unit)
2004
Tahun (unit) 2006
2005
... ... ... ... ... -
2007
2008
34 ... 13 48 168
90 19 ... ... 25
90 ... ... ... 25
90 19 60 10 35
263
134
115
214
-
-49 145 13 – 168
-14
46
Keterangan: ... = data tidak tersedia Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali
Gambar 3 menunjukkan bahwa perkembangan alat tangkap pancing ulur dari tahun 2004-2008 menurun drastis, sedangkan purse seine cenderung tetap atau tidak mengalami perubahan. Alat tangkap jaring klitik, jaring insang tetap, dan rawai tuna selama 5 tahun terakhir (2004-2008) cenderung fluktuatif.
32
33
Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali
Gambar 3 Grafik perkembangan jumlah alat tangkap berdasarkan jenisnya di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008. Dibandingkan dari alat tangkap lainnya yang terdapat di Kota Banda Aceh, jumlah yang paling dominan digunakan adalah purse seine (pukat cincin) yaitu 42%, lalu yang kedua terbanyak adalah jaring insang tetap sebesar 28% dan yang paling sedikit digunakan adalah rawai tuna sebesar 5 % (Gambar 4).
Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali
Gambar 4 Diagram komposisi jumlah alat tangkap di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008. 33
34
(3) Nelayan Dalam menjalankan suatu usaha penangkapan ikan terdapat 3 unsur yang harus dipenuhi yaitu kapal, alat tangkap, dan nelayan. Nelayan adalah seseorang yang bekerja setengah hari atau sehari penuh untuk menangkap ikan. Berdasarkan waktu tersebut nelayan dibagi atas beberapa kategori yaitu: 1) Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktunya digunakan untuk bekerja menangkap ikan; 2) Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang pekerjaan utamanya digunakan untuk menangkap ikan, namun hanya setengah hari, sebagian waktu lainnya digunakan untuk bekerja yang lain; dan 3) Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang pekerjaan sampingannya digunakan untuk menangkap ikan, namun hanya setengah hari, sebagian waktu lainnya digunakan untuk melakukan pekerjaan utama. Jumlah nelayan di Kota Banda Aceh pada tahun 2007 sebanyak 1.370 orang dan meningkat 4,3% atau sebanyak 1.493 orang pada tahun 2008. Jumlah nelayan pada tahun 2008 tersebut terbagi atas nelayan penuh sebanyak 1.146 orang, nelayan sambilan utama berjumlah 231 orang, dan nelayan sambilan tambahan berjumlah 116 orang. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa nelayan yang dominan yang terdapat di Kota Banda Aceh adalah jenis nelayan penuh (DKP NAD, 2010). Pada tahun 2004-2006 tidak terdapat data mengenai jumlah nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh sehingga tidak diketahui besarnya peningkatan atau penurunan jumlah nelayan.
4.2.2 Produksi hasil tangkapan Kota Banda Aceh memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup baik, hal ini dikarenakan perairan Aceh memiliki komoditi atau hasil tangkapan yang termasuk dalam komoditi ekonomis penting. Situasi daerah Aceh yang semakin kondusif membuat pengembangan usaha perikanan tangkap khususnya di Kota Banda Aceh semakin membaik. Cukup banyaknya jumlah komoditi ekspor yang terdapat di Kota Banda Aceh akan dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menarik investor untuk menanamkan modalnya di sektor perikanan. Jenis ikan ekonomis penting yang terdapat di Kota Banda Aceh diantaranya adalah tuna,
34
35
tongkol, cakalang, kembung dan bawal (DKP NAD, 2010). Produksi perikanan tangkap Kota Banda Aceh tahun 2008 mencapai 6.136,3 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 83.428.854,00. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kota Banda Aceh mengalami fluktuasi sejak tahun 2004 sampai tahun 2008. Tahun 2004 produksi hasil tangkapan Kota Banda Aceh adalah 7.203,2 ton dan mengalami penurunan pada tahun 2005 sebesar 3.980 ton, dan pada tahun 2006 mulai meningkat lagi dengan jumlah produksi 7.213 ton. Namun, tahun 2007 jumlah produksi kembali menurun yaitu 5.919 ton dan tahun 2008 mengalami peningkatan produksi hingga mencapai 6.136,3 ton (Tabel 8). Berbeda dengan produksi, nilai produksi dari tahun 2004 hingga tahun 2008 cenderung mengalami peningkatan. Dimulai dari tahun 2004 nilai produksi hasil tangkapan sebesar Rp 51.688.950,00; sementara itu pada tahun 2005 mengalami penurunan dengan nilai produksi Rp 26.943.909,00. Namun, pada tahun 2006 kembali meningkat hingga tahun 2008 nilai produksi hasil tangkapan yang terdapat di Kota Banda Aceh mencapai Rp 83.428.853,00 (Tabel 8). Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah produksi pada tahun 2004-2008 cenderung fluktuatif.
Tahun 2005 jumlah produksi
menurun 55%, dan tahun 2006 jumlah produksi meningkat cukup tajam hingga mencapai 123%. Namun pada tahun 2007 jumlah produksi menurun 18% dan kembali meningkat pada tahun 2008 sebesar 3,7%. Peningkatan jumlah produksi secara signifikan yang terjadi pada tahun 2006 diduga karena adanya penambahan jumlah armada penangkapan ikan di Kota Banda Aceh. Tabel 8 Volume dan pertumbuhan serta nilai produksi hasil tangkapan di Kota Banda Aceh tahun 2004-2008 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Ratarata/tahun Kisaran
Produksi Volume (ton) Pertumbuhan (%) 7.203,2 3.223,2 -55 7.213,0 123 5.919,0 -18 6.136,3 3,7
Nilai Produksi (Rp) 51.688.950,00 26.943.909,00 41.876.376,00 47.955.434,00 83.428.854,00
5.938,9
-
50.378.705,00
3.223,2-7.213,0
-55 – 123
26.643.909,00 -83.428.854,00
Sumber: DKP NAD (2010); data diolah kembali
35
36
4.2.3 Daerah penangkapan ikan Nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh biasanya melakukan kegiatan penangkapan di Pantai Utara Aceh dan Perairan Barat Sumatera. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap purse seine biasanya menangkap ikan di perairan sekitar Sabang dan Kabupaten Aceh Barat, sedangkan untuk nelayan yang mengoperasikan alat tangkap pancing dan jaring insang menangkap ikan di sekitar Perairan Banda Aceh atau Aceh Sigli. Perairan Sabang dan Kabupaten Aceh Barat adalah area penangkapan jenis ikan karang, pelagis kecil, pelagis besar dan krustacea, sedangkan Perairan Banda Aceh atau Aceh Sigli adalah area penangkapan jenis ikan pelagis kecil dan demersal (DKP NAD, 2010). Dalam pencarian daerah penangkapan ikan, nelayan yang terdapat di Kota Banda Aceh biasanya hanya mengandalkan pengalaman dan informasi dari nelayan lain dan panglima laot (sejenis lembaga adat yang mengatur hukum adat laut).
Tidak ada alat bantu untuk penangkapan seperti fish finder untuk
menentukan DPI. Biasanya DPI yang ditentukan nelayan juga berpindah-pindah, bergantung pada musim ikan, musim puncak biasanya terjadi pada bulan AprilOktober, musim sedang/biasa pada bulan Januari-Desember, sedangkan pada musim paceklik terjadi pada bulan November. Perbedaan jumlah hasil tangkapan yang didapat oleh nelayan untuk masing-masing musim tidak mempengaruhi jumlah trip penangkapan yang dilakukan.
Berdasarkan wawancara yang
dilakukan diketahui bahwa nelayan melakukan trip penangkapan dengan jumlah trip tiap bulannya sekitar 27 kali. Nelayan di Aceh tidak melakukan penangkapan hanya pada hari jumat, hari libur idul fitri/idul adha, dan tanggal 26 Desember untuk memperingati tsunami yang pernah terjadi di Aceh tahun 2004 silam.
4.2.4 Prasarana perikanan tangkap di Kota Banda Aceh (1) Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMH) Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan staf LPPMH dan pengamatan di lapangan saat penelitian diketahui bahwa LPPMH yang dinaungi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Nanggroe Aceh Darussalam adalah suatu lembaga sertifikasi yang berfungsi untuk menguji kualitas hasil tangkapan yang didaratkan di beberapa pelabuhan perikanan yang ada di Aceh. Lembaga ini
36
37
didirikan pada tahun 1979, namun baru dioperasikan/difungsikan pada tahun 1980. Saat ini gedung LPPMH berada di kompleks PPP Lampulo, tepatnya di samping kantor UPTD PPP Lampulo. Menurut DKP NAD (2010), LPPMH termasuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dipimpin oleh seorang kepala UPTD yang membawahi beberapa sub bagian yaitu sub bagian tata usaha, seksi pengujian laboratoris, seksi pengendalian mutu, dan kelompok jabatan fungsional. Selanjutnya DKP NAD menyebutkan bahwa tugas Kepala UPTD antara lain: 1) Memimpin UPTD dalam pelaksanaan tugas yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari kebijakan pemerintah provinsi; 2) Menetapkan kebijaksanaan teknis dibidang pengendalian, pengawasan, dan pengujian mutu produk perikanan; 3) Melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas-tugas dalam UPTD; 4) Melaksanakan kerjasama dengan instansi teknis terkait lainnya dan organisasi lain yang menyangkut dengan bidang Laboratorium PPMHP dalam suatu sistem jaringan laboratorium; 5) Melakukan konsultasi dan koordinasi dalam pelaksanaan tugasnya dengan pimpinan instansi teknis terkait lainnya yang menyangkut bidang laboratorium; dan 6) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas. Dalam pelaksanaan tugas mengenai kebijaksanaan teknis dibidang pengendalian, pengawasan, dan pengujian mutu produk perikanan, LPPMH di Lampulo mungkin bisa melakukan koordinasi dengan UPTD PPP Lampulo. Dengan adanya koordinasi tersebut diharapkan mutu hasil tangkapan dapat lebih ditingkatkan sehingga nelayan bisa menetapkan harga jual yang lebih mahal dan bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar, apalagi hasil tangkapan yang didaratkan di PPP Lampulo termasuk yang memiliki tingkat kesegaran yang cukup baik. Selain itu, koordinasi antara kepala UPTD LPPMH dengan sub bagian yang terdapat di LPPMH harus tetap dijalankan dengan baik agar kinerja
37
38
LPPMH dalam pengawasan mutu hasil perikanan dapat dilaksanakan dengan lebih baik. Sub Bagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan koordinasi penyusunan program kerja UPTD, pengelolaan urusan umum, perlengkapan, keuangan, kepegawaian, pelaporan, dan hubungan masyarakat serta perpustakaan maupun pelayanan administrasi di lingkungan UPTD. Sub bagian yang sangat penting di UPTD LPPMH ini adalah seksi pengujian laboratoris dan seksi pengendalian mutu.
Adapun tugas dari Seksi Pengujian Laboratoris adalah
melaksanakan pengujian mutu produk secara mikrobiologi, kimiawi, organoleptik dan uji lapang terhadap sanitasi dan hygiene pengambilan contoh uji, sedangkan Seksi Pengendalian Mutu mempunyai tugas melaksanakan pengendalian dan pengawasan teknik penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Sub bagian yang terakhir
adalah
kelompok
jabatan
fungsional
yang
mempunyai
tugas
melaksanakan sebagian tugas teknis UPTD sesuai dengan bidang keahlian, kemampuan dan kebutuhan (DKP NAD, 2010). Dalam pelaksanaan sertifikasi mutu hasil tangkapan dilakukan beberapa tahap untuk pengeluaran sertifikat mutu.
Adapun prosedur sertifikasi untuk
pengujian mutu hasil tangkapan yaitu: 1) Eksportir membuat surat permohonan kepada LPPMH untuk melakukan pengujian mutu hasil tangkapan yang akan diekspor; 2) Hasil tangkapan yang akan diekspor diuji di laboratorium; 3) Jika hasil tangkapan memiliki kualitas/mutu yang layak untuk diekspor maka pihak UPTD LPPMH akan mengeluarkan surat sertifikasi mutu; dan 4) Hasil tangkapan yang sudah terdaftar dan disertifikasi bisa langsung diekspor ke luar negeri. Berdasarkan wawancara dengan salah satu staf LPPMH diketahui bahwa hasil tangkapan yang diuji kualitasnya di laboratorium ini adalah hasil tangkapan jenis ekonomis penting seperti tuna, cakalang dan udang yang ditujukan untuk ekspor ke luar negeri. Namun saat ini, hasil tangkapan yang diuji kualitasnya hanya jenis udang yang berasal dari PPP Idi Aceh Timur yang biasanya akan diekspor ke Jepang, sementara hasil tangkapan lainnya seperti tuna atau cakalang tidak diujikan di laboratorium ini. Ikan tuna biasanya didistribusikan ke Medan
38
39
dan diuji kualitasnya di Medan. Hal ini dikarenakan ikan tuna bukan menjadi hasil tangkapan dominan yang didaratkan di pelabuhan perikanan di Aceh. Selain itu, belum adanya eksportir di Aceh sehingga dikhawatirkan pemasaran tuna tidak bisa berjalan dengan lancar.
4.3 Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Lampulo 4.3.1 Kondisi perikanan tangkap di PPP Lampulo (1) Armada penangkapan ikan Dari pengamatan yang telah dilakukan dan wawancara terhadap beberapa nelayan di PPP Lampulo diketahui bahwa ada beberapa jenis armada penangkapan ikan yang terdapat di PPP Lampulo adalah perahu motor tempel dan kapal motor, namun yang paling dominan adalah jenis kapal motor. Ukuran kapal motor bervariasi antara 5 GT sampai 50 GT. Armada penangkapan ikan yang berlabuh atau bertambat di PPP Lampulo tidak semuanya berasal dari Banda Aceh, ada yang berasal dari Aceh Barat dan Aceh Timur.
Namun, armada
penangkapan yang paling dominan mendaratkan hasil tangkapannya di PPP Lampulo adalah yang berasal dari Banda Aceh (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan jenis dan asal armada di PPP Lampulo tahun 2008 Jenis Armada Pancing
Purse seine (pukat cincin)
Sub jumlah Jumlah
Ukuran 5 -10 GT 10-20 GT 20-30 GT 30-50 GT Tidak diketahui
Jumlah armada menurut asal (unit) Banda Aceh Luar Banda Aceh 31 26 19 5 36 6 19 1 25 38 130 76 206
Sumber: UPTD PPP Lampulo (2010); data diolah kembali
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2008 jumlah total seluruh armada yang berlabuh atau bertambat di PPP Lampulo adalah 206 unit. Kapal yang berasal dari Banda Aceh adalah kapal yang paling banyak terdapat di PPP Lampulo yaitu sebanyak 130 unit, sedangkan yang berasal dari luar Banda Aceh berjumlah 76 unit.
Jenis armada yang paling banyak terdapat di PPP 39
40
Lampulo pada tahun 2008 adalah armada yang mengoperasikan alat tangkap purse seine yaitu berjumlah 149 unit, sedangkan armada yang mengoperasikan alat tangkap pancing berjumlah 57 unit. Jenis kapal dominan berdasarkan ukurannya yang terdapat di PPP Lampulo adalah kapal yang berasal dari Banda Aceh dengan ukuran 20-30 GT. Kapal dengan ukuran 5-10 GT yang berasal dari Banda Aceh adalah jenis kapal yang memiliki jumlah kedua terbanyak yaitu sebanyak 31 unit.
Kapal yang
memiliki jumlah paling sedikit yang terdapat di PPP Lampulo pada tahun 2008 adalah jenis kapal purse seine yang berukuran 30-50 GT (Gambar 5). Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu staf UPTD PPP Lampulo, adanya jumlah kapal yang tidak diketahui ukurannya dikarenakan kapal tersebut tidak memiliki kelengkapan surat kapal, sehingga sewaktu dilakukan pendataan tidak diketahui dengan pasti ukuran kapal tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan
pengawasan yang lebih baik dalam perizinan melaut agar tidak terjadi penangkapan berlebih yang tidak sesuai dengan ukuran yang diperbolehkan.
Sumber: UPTD PPP Lampulo (2010); data diolah kembali
Gambar 5 Histogram jumlah armada penangkapan ikan berdasarkan ukuran kapal di PPP Lampulo tahun 2008.
40
41
(2) Alat tangkap Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa nelayan diketahui bahwa alat tangkap yang terdapat di PPP Lampulo hanya ada tiga jenis yaitu purse seine (pukat cincin), pancing ulur dan pancing rawai. Namun, alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan PPP Lampulo adalah purse seine. Alat tangkap pancing rawai baru mulai digunakan sejak tahun 2009, sehingga saat ini jumlahnya belum terlalu banyak. Saat ini jumlah purse seine yang terdapat di PPP Lampulo sekitar 143 unit, alat tangkap pancing rawai sebanyak 6 unit, dan pancing ulur adalah 57 unit (UPTD PPP Lampulo, 2010). Nelayan di Banda Aceh tepatnya di PPP Lampulo menyebut alat tangkap purse seine dengan sebutan pukat, sedangkan untuk alat tangkap pancing ulur dan rawai tetap menggunakan nama Indonesia seperti biasa.
(3) Nelayan Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa latar belakang pendidikan nelayan yang terdapat di PPP Lampulo pada umumnya adalah lulusan SD atau SLTP dimana menjadi nelayan adalah pekerjaan yang biasanya merupakan turunan atau warisan dari orangtua atau keluarga. Jumlah nelayan yang terdapat di PPP Lampulo sekitar 3.766 orang yang terbagi atas 3.289 orang merupakan nelayan yang bekerja di kapal purse seine, 399 orang sebagai nelayan pancing ulur, dan nelayan pancing rawai berjumlah sekitar 78 orang. Sebagian besar nelayan atau sekitar 80% nelayan di PPP Lampulo termasuk kategori nelayan penuh karena sebagian besar nelayan adalah penduduk yang bertempat tinggal di wilayah sekitar PPP Lampulo sehingga menjadi nelayan adalah pekerjaan yang dipilih sebagai pekerjaan utama. Nelayan yang termasuk nelayan sambilan utama atau sambilan tambahan biasanya mempunyai pekerjaan lain sebagai tukang becak atau pedagang ikan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa nelayan di PPP Lampulo diketahui bahwa jika dibandingkan dengan sebelum tsunami, terjadi penurunan jumlah nelayan yang ada di PPP Lampulo, namun tidak terlalu signifikan dikarenakan banyak penduduk pendatang yang berasal dari luar aceh
41
42
seperti dari Medan yang bekerja sebagai nelayan di Aceh khususnya di PPP Lampulo. Besarnya penurunan jumlah nelayan di PPP Lampulo tidak diketahui dengan pasti disebabkan tidak ada data yang jelas yang memberikan informasi mengenai hal tersebut.
(4) Produksi hasil tangkapan Terdapat beberapa kelompok jenis ikan yang didaratkan di PPP Lampulo diantaranya kelompok pelagis kecil, pelagis besar, dan demersal.
Jumlah
produksi tiap bulan dan tiap tahunnya pun selalu berubah-ubah bergantung pada musim ikan dan jumlah trip penangkapan yang dilakukan nelayan. Jenis ikan yang dominan didaratkan menurut volume di PPP Lampulo selama 5 tahun terakhir (2004-2008) adalah ikan cakalang, layang, tongkol, dan lemuru dimana jenis ikan yang memiliki produksi tertinggi adalah ikan cakalang. Tahun 2008, produksi ikan cakalang mencapai 1.612.020 kg, lalu disusul dengan ikan layang dengan total produksi 1.030.020 kg, sedangkan produksi yang paling sedikit adalah produksi ikan salam dengan jumlah produksi sebesar 84.740 kg (UPTD PPP Lampulo, 2010). Perkembangan jumlah produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPP Lampulo dari tahun 2004-2008 cenderung fluktuatif, pada tahun 2005 jumlah produksi mencapai 2.799.635 kg dan meningkat pada tahun 2006 sebesar 5.461.230 kg atau meningkat 95%. Tahun 2007 jumlah produksi menurun 16% dan kembali mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2008, hingga jumlah produksi pada tahun 2008 mencapai 4.853.358 kg atau meningkat 5,7%. Jumlah produksi hasil tangkapan yang tertinggi di PPP Lampulo terjadi pada tahun 2006 dan yang terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu 2.799.635 kg. Jumlah rata-rata produksi hasil tangkapan per bulan yang tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu 509.924 kg/bulan dan yang terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu 233.303 kg/bulan.
Rata-rata produksi PPP Lampulo per tahun mencapai 3.540.707
kg/tahun dengan kisaran 2.799.635–5.461.230 kg/tahun (Tabel 10 dan Gambar 6).
42
43
Tabel 10 Jumlah produksi hasil tangkapan tahunan dan pertumbuhannya di PPP Lampulo tahun 2004-2008 No
Tahun
2004 1 2005 2 2006 3 2007 4 2008 5 Rata-rata per tahun Kisaran
Rata-rata produksi per bulan (kg) ... 233.303 459.173 509.924 404.447
Produksi(kg) ... 2.799.635 5.461.230 4.589.312 4.853.358 3.540.707 2.799.635 - 5.461.230
Pertumbuhan produksi (%) 95 -16 5,7 -16 – 95
Keterangan: .... = data tidak tersedia Sumber: UPTD PPP Lampulo (2010); data diolah kembali
Sumber: UPTD PPP Lampulo (2010) ; data diolah kembali
Gambar 6 Grafik jumlah produksi hasil tangkapan tahunan dan rata-rata produksi hasil tangkapan per bulan di PPP Lampulo tahun 2004-2008. (5) Daerah penangkapan ikan (DPI) Sebagian besar daerah penangkapan ikan untuk nelayan dari PPP Lampulo adalah di perairan Utara Aceh. Penangkapan ikan dilakukan sepanjang tahun, dengan sistem penangkapan one day fishing dimana perjalanan melaut dilakukan selama sehari, yaitu pada malam atau pagi hari. Musim puncak terjadi pada bulan April-Oktober, musim biasa/sedang terjadi pada bulan Desember-Januari, dan musim paceklik terjadi pada bulan November.
Khusus untuk ikan tuna dan
43
44
cakalang musim puncak terjadi 2 kali dalam setahun yaitu bulan April dan Oktober, musim sedang pada bulan Mei-September, musim Paceklik pada bulan Desember-januari. Kebanyakan nelayan Lampulo menangkap ikan sekitar 3-100 mil dari Lampulo yaitu di sekitar Perairan Sabang dan Meulaboh. Pencarian DPI oleh nelayan Lampulo didasarkan pada pengalaman melaut yang telah dilakukan sebelumnya. Terkadang penentuan DPI juga dari informasi yang diterima dari nelayan lainnya. Setelah tsunami sebenarnya terdapat bantuan dari Likelihood Service Center yang dibawahi oleh NGO (Non-government Organization) OISCA dari Jepang yaitu berupa 2 unit fish finder yang diberikan kepada nelayan secara gratis untuk nelayan yang mengoperasikan alat tangkap dengan menggunakan kapal yang berukuran 20-30 GT. Adanya bantuan fish finder tersebut diharapkan nelayan dapat menemukan DPI dengan lebih mudah dan juga dapat memperkirakan jumlah ikan yang menjadi target penangkapan.
Namun,
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa nelayan tidak mau menggunakan alat tersebut dikarenakan pengetahuan yang kurang memadai dan tidak suka dengan teknologi yang baru. Berdasarkan wawancara yang dilakukan banyak nelayan yang beranggapan bahwa penentuan DPI yang didasarkan pengalaman biasanya lebih mudah untuk dilakukan.
4.3.2 Pengelolaan PPP Lampulo (1) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPP Lampulo adalah lembaga yang berfungsi untuk mengelola, melakukan pengawasan penangkapan ikan, dan memberikan pelayanan teknis untuk kapal perikanan yang terdapat di PPP Lampulo.
Selain itu UPTD PPP Lampulo berfungsi untuk melakukan
perencanaan, pengembangan, pemeliharaan, dan koordinasi pemanfaatan sarana PPP Lampulo; melakukan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data statistik perikanan; melaksanakan koordinasi mengenai keamanan, ketertiban, dan kebersihan kawasan PPP Lampulo serta pengawasan terhadap mutu hasil perikanan yang didaratkan di PPP Lampulo.
Perkembangan fasilitas
pemberdayaan masyarakat perikanan juga menjadi tanggungjawab UPTD sebagai
44
45
pengelola PPP Lampulo (UPTD PPP Lampulo, 2010). Berdasarkan informasi yang diterima dari UPTD PPP Lampulo, tugas kepala UPTD adalah sebagai berikut: 1) Memimpin UPTD dalam pelaksanaan tugas yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari kebijakan pemerintah provinsi; 2) Menetapkan kebijaksanaan teknis dibidang pengelolaan pelabuhan; 3) Melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas-tugas UPTD; 4) Melaksanakan kerjasama dengan instansi teknis dan organisasi terkait lainnya yang menyangkut dengan bidang pelabuhan perikanan dalam suatu jaringan pelabuhan perikanan; 5) Melakukan konsultasi dan koordinasi dalam pelaksanaan tugasnya dengan pimpinan instansi teknis terkait lainnya yang menyangkut bidang pelabuhan perikanan; dan 6) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas. Tugas kepala UPTD tersebut di atas perlu didukung oleh semua pihak atau instansi yang terkait dengan PPP Lampulo seperti nelayan, pedagang, Dinas Kebersihan Kota Banda Aceh, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Banda Aceh. Dengan adanya dukungan dan perhatian dari para pengguna pelabuhan tersebut diharapkan kinerja UPTD dapat berjalan dengan lebih baik dan pemanfaatan PPP Lampulo dapat dilaksanakan secara optimal. Secara struktural kepala UPTD PPP Lampulo bertanggungjawab terhadap kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nanggroe Aceh Darussalam sebagai penanggung jawab. Kepala UPTD membawahi Sub Bagian Tata Usaha dan Sub Bagian Kelompok Jabatan Fungsional yang berfungsi untuk membantu kinerja kepala UPTD PPP Lampulo. Namun, tugas masing-masing sub bagian berbedabeda bergantung pada fungsinya, adapun tugas masing-masing sub bagian, yaitu: 1) Sub Bagian Tata Usaha, mempunyai tugas untuk mengurusi bagian kepegawaian, keuangan, rumah tangga, perlengkapan, surat menyurat dan kearsipan, pengumpulan dan pengolahan, serta penyajian data dan pelaporan pelabuhan perikanan, hubungan masyarakat, perpustakaan maupun pelayanan
45
46
administrasi dilingkungan UPTD dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala UPTD. 2) Sub bagian Kelompok Jabatan Fungsional, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas teknis UPTD sesuai dengan bidang keahlian, kemampuan, dan kebutuhan. Jika dilihat berdasarkan tugas dan fungsinya tersebut maka struktur organisasi UPTD PPP Lampulo adalah sebagai berikut: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NAD
Kepala UPTD
Sub Bagian Tata Usaha
Kelompok Jabatan Fungsional
Sumber : UPTD PPP Lampulo (2010)
Gambar 7 Struktur organisasi UPTD PPP Lampulo tahun 2010. (2) Lembaga hukum adat Panglima Laot Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan terhadap Panglima Laot di PPP Lampulo diketahui bahwa Panglima Laot adalah sebuah lembaga nelayan yang telah memainkan sebuah peranan yang dominan dalam memerintah industri perikanan selama lebih dari empat abad. Lembaga tradisional ini disusun atas sebuah jaringan lepas dari persatuan nelayan-nelayan lokal yang mengikuti seperangkat hukum/peraturan dan kebijakan-kebijakan yang telah baku. Saat ini terdapat sekitar 193 Panglima Laot di Aceh, masing-masing secara khusus berpusat di sebuah kuala atau pelabuhan. Dari hasil wawancara dengan panglima laot juga diketahui bahwa istilah “Panglima Laot” merupakan sebuah nama lembaga dan juga merupakan gelar/jabatan dari seorang nakhoda kapal/pawang yang dituakan yang memimpin lembaga tersebut.
Panglima Laot dipilih oleh pawang kapal-kapal yang
medaratkan hasil tangkapan di PPP Lampulo dan berfungsi untuk mewakili para
46
47
nelayan dan memelihara adat yang ada di kuala/pelabuhan. Tanggung jawab para Panglima Laot termasuk dalam hal menentukan letak parkir kapal di sungai, mengadili perselisihan-perselisihan, menentukan besarnya kerugian saat sebuah kapal nelayan merusak atau menyebabkan kerugian terhadap kapal nelayan lainnya, mengkomunikasikan perubahan-perubahan dalam kebijakan penangkapan ikan, serta mengatur upaya-upaya penyelamatan dan menjaga ketentuan-ketentuan umum. Panglima Laot memiliki otoritas dan kewenangan untuk memberikan larangan melaut selama satu minggu bagi setiap pelanggaran peraturan/hukum yang dilakukan oleh seorang nelayan; bila nelayan tersebut tetap melanggar peraturan/hukum tersebut, maka Panglima Laot dapat mengeluarkan nelayan tersebut dari keanggotaan Lembaga Panglima Laot.
4.3.3 Fasilitas PPP Lampulo (1) Fasilitas pokok a.
Dermaga Dermaga yang terdapat di PPP Lampulo adalah dermaga untuk bertambat,
membongkar muatan, dan untuk mengisi bahan perbekalan (Gambar 8). Namun, tata letak dermaga yang terdapat di PPP Lampulo masih kurang baik karena aktivitas tambat, membongkar muatan/hasil tangkapan, dan untuk mengisi bahan perbekalan melaut berada dalam satu dermaga yang sama.
Hal ini tentunya
mengakibatkan ketidakteraturan kapal-kapal yang akan melakukan aktivitas tersebut. Dermaga dengan panjang 178 m ini dapat menampung 10-13 kapal yang bertambat dalam waktu yang sama (UPTD PPP Lampulo, 2010), namun panjang dermaga ini terlihat masih kurang untuk menampung kapal-kapal yang akan bertambat dan membongkar muatan di PPP Lampulo. Hal ini terlihat dari adanya antrian saat banyak kapal yang melakukan pendaratan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dapat dilihat bahwa kondisi dermaga PPP Lampulo cukup baik dan layak digunakan, namun masih perlu dilakukan perbaikan karena ada beberapa bagian dermaga yang sudah rusak atau berlubang. Lantai dermaga terbuat dari semen biasa dan fasilitas yang terdapat di dermaga hanya bollard yang berfungsi untuk menambatkan kapal, sedangkan fasilitas lain seperti fender (fasilitas yang berfungsi agar kapal terhindar dari
47
48
kerusakan akibat benturan dengan dermaga saat bertambat) tidak tersedia dikarenakan PPP Lampulo terletak di muara sungai jadi tidak ada arus atau gelombang yang besar sehingga fender dirasakan tidak perlu digunakan.
BOLLARD
Gambar 8 Dermaga dan bollard di PPP Lampulo tahun 2010.
b.
Kolam pelabuhan Kolam pelabuhan adalah fasilitas utama yang harus tersedia di suatu
pelabuhan perikanan karena fasilitas ini digunakan sebagai alur pelayaran kapal yang keluar masuk dari/ke suatu pelabuhan perikanan dan juga sebagai tempat kapal-kapal untuk tambat labuh. Kolam pelabuhan PPP Lampulo berada di muara sungai Aceh dengan luas kolam sekitar 76.050 m2 (UPTD PPP Lampulo, 2010). Kolam pelabuhan ini dapat menampung kapal yang berukuran kurang dari 5 GT hingga yang berukuran 50 GT. Sebagian besar kapal yang bertambat dan berlabuh di kolam pelabuhan PPP Lampulo adalah kapal yang berukuran 20-30 GT dengan jumlah kapal yang bertambat setiap harinya sebanyak 20 unit (UPTD PPP Lampulo, 2010). Kondisi kolam pelabuhan PPP Lampulo cukup baik, namun masih terdapat sampah-sampah akibat aktivitas pendaratan sehingga terlihat kondisi yang sedikit kotor di kolam pelabuhan (Gambar 9). Hal ini diakibatkan sampah yang berasal dari aktivitas pendaratan dan pemasaran langsung dibuang ke kolam pelabuhan. Selain itu, pemeliharaan kolam pelabuhan harus dilakukan 48
49
untuk mencegah terjadinya sedimentasi di kolam pelabuhan akibat terbawanya material tanah dari arus yang terjadi, oleh karena itu hendaknya dilakukan pengerukan selama jangka waktu tertentu.
Gambar 9 Kondisi kolam pelabuhan di PPP Lampulo tahun 2010.
(2) Fasilitas fungsional a.
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gedung TPI di PPP Lampulo memiliki luas 428 m2 dan terletak di sebelah
timur kompleks PPP Lampulo (UPTD PPP Lampulo, 2010). Awalnya, TPI ini dibangun sebagai tempat untuk melaksanakan aktivitas lelang, namun kenyataannya menunjukkan bahwa gedung TPI ini dialihkan fungsinya sebagai tempat pemasaran hasil tangkapan yang didaratkan (Gambar 10), sementara itu aktivitas lelang tidak terjadi di PPP Lampulo. Selain itu, gedung TPI di PPP Lampulo ini menjadi tempat penyimpanan cool box yang berukuran besar sehingga hampir setengah dari luas gedung TPI dipenuhi oleh cool box tersebut. Kondisi gedung TPI juga masih kurang baik, karena lantai TPI banyak yang sudah berlubang. Selain itu, saluran pembuangan yang terdapat di sekeliling areal TPI tidak berfungsi dengan baik dikarenakan tersumbat oleh sampahsampah. Fasilitas kebersihan tidak tersedia di dalam TPI seperti penyemprot
49
50
lantai, sehingga untuk membersihkan TPI hanya dilakukan dengan cara menyemprot lantai secara manual dengan menggunakan selang besar.
Gambar 10 Gedung TPI (tampak depan) di PPP Lampulo tahun 2010.
b.
Kantin Salah satu fasilitas penunjang yang terdapat di PPP Lampulo adalah kantin
(Gambar 11). Berdasarkan pengamatan terdapat sekitar 10 buah kantin di dalam kompleks PPP Lampulo ini, dan letaknya tidak pada satu area yang sama melainkan tersebar di beberapa tempat seperti di depan area TPI, di depan balai nelayan, dan di dekat kantor UPTD. Kantin-kantin yang terdapat di PPP Lampulo ini bukan tempat yang menjual makanan khusus yang terbuat dari ikan atau olahannya, melainkan menjual makanan yang biasanya dikonsumsi untuk sarapan seperti nasi hingga makanan ringan seperti kue-kue dan jajanan pasar lainnya. Biasanya penjual menjual makanan hanya pada pagi hingga siang hari, selebihnya hanya warungwarung kecil yang menjajakan makanan ringan/snack dan rokok. Kantin-kantin ini dibangun oleh pemilik kantin itu sendiri dengan tipe bangunan semi permanen dan ada juga yang konstruksi bangunannya terbuat dari kayu, dan sebagian besar kondisi fisik kantin masih cukup baik. Pihak pelabuhan 50
51
hanya menyediakan lahan untuk disewakan kepada pemilik kantin. Kantin ini disediakan tidak hanya bagi pengunjung namun bagi pegawai UPTD, pekerja, dan semua pihak yang beraktivitas di PPP Lampulo.
Gambar 11 Area kantin di PPP Lampulo tahun 2010.
c.
Bengkel Fasilitas lainnya yang tersedia di PPP Lampulo adalah fasilitas untuk
pemeliharaan dan perbaikan armada seperti bengkel (Gambar 12). Bangunan untuk bengkel dibangun pada tahun 2005 dengan bantuan dari pihak Jepang dimana bangunan ini difungsikan untuk memperbaiki mesin kapal. Bengkel ini terletak di bagian belakang kompleks PPP Lampulo dengan luas bangunan 180 m2 (UPTD PPP Lampulo, 2010). Peralatan bengkel yang tersedia cukup lengkap. Namun diperlukan pemeliharaan yang baik terhadap alatalat tersebut agar tidak cepat rusak sehingga bisa digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama.
51
52
Gambar 12 Bengkel mesin kapal di PPP Lampulo tahun 2010.
d.
Docking Docking adalah tempat untuk memperbaiki kapal akibat benturan atau
segala kerusakan yang terjadi di badan kapal. Fasilitas docking terletak di dekat pintu masuk menuju kolam pelabuhan PPP Lampulo dimana fasilitas ini hanya tersedia 1 unit (Gambar 13). Fasilitas ini hanya dapat memperbaiki kapal dengan ukuran maksimal 10 GT dengan jumlah kapal yang melakukan perbaikan sekitar 1-4 kapal per bulan (UPTD PPP Lampulo, 2010). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terlihat bahwa kondisi fasilitas ini masih kurang baik.
Gambar 13 Docking kapal di PPP Lampulo tahun 2010. 52
53
e.
SPBU Pertamina Pada awalnya fasilitas SPBU yang tersedia di PPP Lampulo ini dibangun 3
bulan sebelum tsunami dan memiliki kapasitas 10 ton. Pasca tsunami, SPBU dibangun kembali dan biasanya menjual sekitar 5.000 liter solar/hari (UPTD PPP Lampulo, 2010).
Penjualan solar hanya kepada nelayan saja. Pelaksana
penyaluran BBM solar adalah pihak investor swasta yang menyalurkan BBM solar langsung kepada para nelayan dengan sistem pembayaran tunai. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya peningkatan harga jual BBM solar jika penyalurannya melalui pedagang eceran. Saat ini hanya tersedia 1 tangki pengisian solar untuk seluruh kapal yang akan mengisi perbekalan melaut (Gambar 14). Biasanya untuk sekali melaut 1 unit kapal akan menghabiskan biaya sebesar Rp 200.000,00 untuk membeli bahan bakar.
Gambar 14 Fasilitas SPBU di PPP Lampulo tahun 2010. f.
Gedung pengepakan Terdapat 12 unit gedung pengepakan dengan luas total 540 m2, dimana
luas setiap gedung sebesar 5x9 meter (UPTD PPP Lampulo, 2010). Gedung pengepakan ini dikelola oleh PERUM PPS cabang Lampulo yang disewa oleh pedagang ikan besar (toke). Besarnya sewa yang ditetapkan oleh pihak PERUM yaitu Rp 5.400.000,00/tahun. 53
54
Fungsi gedung pengepakan ini adalah untuk mempersiapkan dan mengemas ikan hasil tangkapan untuk dikirimkan ke konsumen dalam bentuk segar. Namun, aktivitas pengepakan ikan segar dilakukan di depan/di luar gedung pengepakan. Pengepakan ikan segar ini menggunakan cool box (Gambar 15). Permintaan ikan segar biasanya berasal dari konsumen lokal, luar kota, bahkan luar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam seperti Medan. Jenis hasil tangkapan yang biasanya dikirim adalah jenis tuna atau cakalang.
Gambar 15 Pengepakan ikan menggunakan cool box di PPP Lampulo tahun 2010. g.
Tangki air Sumber air bersih diperoleh dari tangki air yang terdapat di PPP Lampulo.
Tangki air ini terdiri dari 2 unit dimana 1 unit terletak disamping gedung pengepakan (Gambar 16a) dan 1 unit lainnya terletak disamping gedung TPI (Gambar 16b). Tangki air ini mampu menampung 2.000 liter air/hari. Air bersih ini diperlukan untuk kebutuhan pembersihan dermaga bongkar dan tempat pelelangan ikan serta untuk toilet. Kondisi tangki air cukup baik namun diperlukan tangki air tambahan sehingga kebutuhan air bersih dapat dipenuhi dengan baik.
Berdasarkan
wawancara diketahui bahwa jumlah air bersih di PPP Lampulo masih kurang, hal
54
55
ini terlihat dari masih banyaknya nelayan dan pedagang yang mencuci hasil tangkapan menggunakan air kolam pelabuhan.
(a)
(b)
Gambar 16 Dua unit tangki air di PPP Lampulo (a dan b) tahun 2010. h.
Tsunami Warning System (TWS) Bencana tsunami yang terjadi tahun 2004 silam menjadikan pemerintah
menambah fasilitas Tsunami Warning System (TWS) di setiap daerah yang rawan tsunami salah satunya adalah di wilayah pelabuhan perikanan. Tsunami Warning System (TWS) adalah sebuah perangkat yang dapat mendeteksi besar gelombang sehingga dapat memberikan informasi mengenai gelombang yang berpotensi menjadi gelombang tsunami. Sistem kerja alat ini adalah ketika terjadi sebuah gelombang besar dan berpotensi menjadi gelombang tsunami maka alat ini akan berbunyi seperti bunyi sirene (UPTD PPP Lampulo, 2010). Dengan adanya alat ini diharapkan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah rawan tsunami dapat lebih waspada, jika alat ini sudah berbunyi maka masyarakat diharapkan dapat mengambil tindakan penyelamatan dengan menghindari daerah dekat pantai dan melalui jalur penyelamatan yang telah ditetapkan. Fasilitas Tsunami Warning System (TWS) di PPP Lampulo hanya 1 unit dan kondisinya masih cukup baik dan dapat dioperasikan.
Letak Tsunami
Warning System (TWS) ini adalah di dekat pintu masuk kompleks PPP Lampulo, tepatnya di samping lahan parkir motor (Gambar 17).
55
56
Gambar 17 Tsunami Warning System (TWS) di PPP Lampulo tahun 2010. i.
Pos jaga Dua unit pos jaga yang dibangun pasca tsunami terdapat di pintu masuk
dan keluar PPP Lampulo. Kondisi pos jaga masih cukup baik, namun diperlukan pemeliharaan agar pos jaga ini dapat terus difungsikan (Gambar 18). Fungsi pos jaga ini adalah untuk mengawasi orang atau kendaraan yang keluar masuk kompleks PPP Lampulo dan juga untuk pengambilan pas masuk PPP Lampulo.
Gambar 18 Pos jaga di kompleks PPP Lampulo tahun 2010. 56
57
j.
Toilet Toilet termasuk fasilitas sanitasi yang seharusnya ada di semua pelabuhan
perikanan. Awalnya di PPP Lampulo terdapat 1 unit toilet yang dibangun pasca tsunami dengan bantuan CHF (Community Habitat Finance) dengan luas 63 m2 (Gambar 19), namun dikarenakan tidak adanya pengelolaan dengan baik maka saat ini fasilitas ini tidak bisa digunakan lagi karena saluran yang terdapat di toilet tersumbat sehingga menyebabkan air yang terdapat di saluran pembuangannya menjadi tergenang (UPTD PPP Lampulo, 2010).
Selain itu tidak adanya
kesadaran untuk menjaga kebersihan dari pihak-pihak yang menggunakan fasilitas ini menyebabkan fasilitas ini tidak bisa digunakan lagi. Kondisi bangunan toilet ini sebenarnya masih cukup bagus, namun yang bermasalah adalah saluran pembuangan dari toilet yang sering tersumbat.
Gambar 19 Fasilitas toilet di PPP Lampulo tahun 2010.
k.
Lahan parkir Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat 2
jenis lahan parkir di PPP Lampulo yaitu lahan parkir besar untuk kendaraan roda 4 atau mobil (Gambar 20a) dan lahan parkir kecil untuk kendaraan roda 2 atau 57
58
sepeda motor (Gambar 20b). Disetiap lahan parkir dipungut retribusi oleh petugas parkir yaitu Rp 1.000,00 untuk sepeda motor dan Rp 2.000,00 untuk mobil. Kondisi kedua jenis lahan parkir masih cukup bagus, hanya diperlukan pemeliharaan dan penambahan atap di lahan parkir agar kendaraan yang terparkir dapat terhindar dari panas matahari. Sebenarnya pembangunan atap di lahan parkir telah direncanakan oleh pihak UPTD dan saat ini sedang menunggu bantuan dana dari PEMDA NAD untuk merealisasikan rencana tersebut.
(a)
Gambar 20
(b)
Kondisi lahan parkir besar (a) untuk mobil dan lahan parkir kecil untuk motor (b) di PPP Lampulo tahun 2010.
58