35
4 KEADAAN UMUM TNDS Letak dan Luas TNDS terletak di hulu sungai kapuas (± 700 km dari muara sungai kapuas/ Pontianak) kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat. Secara geografis kawasan TNDS terletak di antara 00o45‘ – 01o02‘ LU dan 111o55‘ – 112o26‘ BT atau berjarak sekitar 100 km di sebelah utara garis Equator. Kelompok danau ini disahkan menjadi TN berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 34/Kpts-II/1999 tanggal 4 Pebruari 1999. SK ini juga menetapkan luas TNDS menjadi 132.000 hektar. Sejak tahun 1994, kawasan yang unik, kaya akan keanekaragaman hayati dan budaya ini ditetapkan sebagai lokasi Ramsar. Artinya, masyarakat internasional mengakui kepentingan TNDS sebagai ekosistem lahan basah yang penting di dunia. Secara administrasi kawasan ini masuk wilayah Kabupaten Dati II Kapuas Hulu dan termasuk dalam 7 (tujuh ) kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Lupar, Kecamatan Badau, Kecamatan Embau, Kecamatan Bunut Hilir, Kecamatan Suhaid, Kecamatan Selimbau, dan Kecamatan Semitau. Sementara untuk kegiatan pengelolaan, TNDS dibagi atas 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), yaitu SPTN I Lanjak, SPTN II Semitau dan SPTN III Selimbau, yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Peta wilayah seksi pengelolaan TNDS (Sumber: Balai TNDS 2011) Topografi TNDS umumnya merupakan dataran yang berbentuk flat atau lebak lebung yang merupakan daerah hamparan banjir. Topografi bervariasi mulai dari datar, bergelombang ringan, agak curam sampai pada curam (0-45 persen). Kawasan ini relatif rendah, dengan ketinggian antara 25-50 m dengan rata-rata ketinggian ± 35 m di atas permukaan laut.
36
Geologi kawasan TNDS relatif sederhana. Tipe tanah pada kawasan TNDS dapat dibagi atas 2 kelompok besar, yaitu sedimen dan organosol pada daratan serta pasir dan lempung pada daerah perbukitan (Giesen, 1987). Sedimen terdiri dari kaolin dan liat serta batuan yang terdapat pada daerah terisolasi disekitar perbukitan. Batu pasir arkosik muncul membentuk formasi umum pada dan sekitar TNDS. Tanah gambut terdapat dalam lembah-lembah Kapuas, antara sungai dan kaki bukit dengan kondisi air tergenang dan dekomposisi material organik tertahan. Substrat dasar dataran banjir didominasi oleh lempung, yang mengandung pasir dan klorit. Tanah perbukitan terdiri dari pasir dan lempung serta mineral-mineral lempung.
Potensi TNDS Salah satu keistimewaan TNDS adalah kekayaannya akan flora dan fauna yang hidup di dalamnya. Sampai saat ini tercatat lebih dari 675 jenis tumbuhtumbuhan, 266 jenis ikan, 310 jenis burung, 515 jenis mamalia, 8 jenis kura-kura air tawar dan 5 jenis labi-labi serta 3 jenis buaya terdapat di kawasan ini (RPJM TNDS 2007-2011). Danau juga merupakan penyangga aliran Kapuas, sehingga mengurangi banjir di sepanjang sungai terpanjang di Indonesia (Klepper 1994). Danau Sentarum merupakan habitat dari banyak spesies yang tidak atau jarang ditemukan di tempat lain karena hidrologi yang mendasarinya dan kondisi dari habitat yang relatif baik. Situs keanekaragaman hayati yang tinggi ini adalah rumah bagi sekitar 10.100 orang (Indriatmoko, 2010) yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencaharian mereka. Ekosistem TNDS Penunjukkan kawasan danau sentarum sebagai TN karena kekhasan dan keunikan ekosistem yang ada. Beberapa tipe ekosistem dan vegetasi yang terdapat di TNDS adalah ekosistem dan vegetasi hutan hujan tropis. Profil dari tipe hutan yang ada di kawasan TNDS dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Profil dan tipe hutan di kawasan TNDS (Sumber : Balai TNDS 2011)
37
Keragaman Jenis Flora Menurut Balai TNDS 2011, jenis tumbuhan yang terdapat di danau sentarum ini sangat spesifik dimana hampir sebagian besar jenis tumbuhannya mempunyai penampakan yang berbeda dengan tumbuhan yang berada di luar danau sentarum. Misalnya saja jenis Dichilanthe borneensis salah satu tumbuhan khas (endemik) dan langka, jenis ini merupakan missing link antara Rubiaceaee dan familyfamilinya. Selain itu di temukan juga satu jenis dari marga Vatica yaitu Vatica menungau (menungau) yang merupakan spesies baru yang endemik danau sentarum (Balai TNDS 2011). Kekhasan tumbuhan yang terdapat di kawasan danau sentarum ini diperkirakan akan menjadi penambah perbendaharaan marga tumbuhan endemik Kalimantan yang jumlah sebelumnya ada 59 marga, karena menurut Giesen (1987), dari hasil pengumpulan specimen tumbuhan yang dilakukan, banyak jenis yang tidak dapat diidentifikasi dengan menggunakan referensi taxonomi terbaru dan kemungkinan merupakan ilmu baru. Selain kekhasan dalam bentuk dan jenis, di kawasan ini juga ditemukan ransa (Eugeissona ambigua) yang merupakan tumbuhan langka dan diperkirakan menjelang kepunahan serta beberapa jenis lainnya yang merupakan jenis dilindungi seperti ramin (Gonystylus bancanus) dan jelutung (Dyera costulata). Terdapat juga jenis tumbuhan yang sama dengan tumbuhan endemic yang ada di Amazon, oleh masyarakat setempat dikenal dengan pohon pungguk (Crateva relegiosa) (Balai TNDS 2011). Keragaman Jenis Fauna Menurut Balai TNDS 2011, perbedaan yang kontras pada musim yang berbeda (pasang dan kering) adalah merupakan kondisi yang turut mempengaruhi kekayaan tumbuh-tumbuhan dan satwa di TNDS. Khususnya keragaman jenis ikan air tawar yang tinggal, berkembang biak dan mencari makan di kawasan ini, mulai dari ukuran yang paling kecil sekitar 1 cm yaitu ikan linut (Sundasalax cf. Microps) sampai yang paling besar seperti ikan tapah (Wallago leeri) dapat mencapai ukuran lebih dari 200 cm; dari yang tidak bernilai ekonomi sampai pada ikan hias yang mempunyai nilai jutaan rupiah seperti ikan siluk merah (Scleropages formosus). Hingga saat ini jumlah jenis ikan yang berhasil didata sebanyak 266 jenis. Jumlah tersebut lebih banyak dari semua jenis ikan air tawar diseluruh benua Eropa dan bahkan kekayaan jenis ikan ini termasuk nomor 3 terbanyak di dunia. Selain kaya akan jumlah, beberapa diantaranya merupakan jenis endemik dan langka, misalnya saja terdapat 13 jenis ikan yang tergolong dalam species baru yang artinya di seluruh belahan bumi ini jenis tersebut baru diketemukan disini. Namun bagi masyarakat setempat jenis tersebut tidak asing bagi mereka. Dua dari spesies ikan yang ada tersebut masuk dalam spesies yang terancam di status IUCN, yaitu Balantiocheilos melanopterus (Ketutung) and Scleropages formosus (Asian Arowana) dan 1 species tercatat dalam CITES Appendix 1 yaitu Scleropages formosus (Asian Arowana) (Kottelat & Widjanarti (2005), Jeanes & Meijaard (2000)). Menurut Balai TNDS 2011, di TNDS ditemukan 147 jenis mamalia. Kekayaan jenis mamalia ini mencakup hampir dua pertiga atau 67 persen dari 222 jenis mamalia yang terdapat di Kalimantan. Selain kaya akan jenis, sebagian besar
38
jenis mamalia yang ada disini juga merupakan jenis endemik, langka atau menjelang kepunahan. Seperti misalnya bekantan (Nasalis larvatus), kepuh (Presbytis melalophos cruniger), orang utan (Pongo pygmaeus), ungko tangan hitam (Hylobates agilis), kelempiaau Kalimantan (Hylobates muelleri), macan dahan (Neofelis nebulosa) dan sebagainya (sekitar 26 jenis lainnya). Di kawasan ini juga terdapat 311 jenis burung dan termasuk jenis burung bangau hutan rawa (Ciconia stormi) yang tergolong langka serta beluk ketupa (Ketupa ketupu), bangau tuntong (Leptoptilus javanicus) dan 8 jenis rangkong (Bucerotidae) yang telah mendapat perlindungan secara internasional. Jumlah jenis burung yang terdapat di kawasan ini juga dikatagorikan kaya arena dari 1519 jenis burung yang ada di Indonesia, 20 persen diantaranya ditemukan di TNDS. Sebelumnya dalam Jeanes & Meijaard (2000) dinyatakan terdapat 282 jenis burung (31 secara global terancam, 36 species dalam daftar CITES, 72 species burung yang dilindungi secara nasional, 5 merupakan endemik Kalimantan). Ular dan reptil lain, kura-kura maupun labi-labi jumlah jenisnya belum banyak terdata, sampai saat ini jumlah jenis yang ditemukan baru mencapai 65 jenis. Meskipun saat ini hanya sedikit yang tersisa, dahulu banyak buaya yang hidup dalam kawasan ini, diantaranya adalah jenis buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), dan bahkan buaya katak/rabin (Crocodylus raninus) yang di Asia telah dinyatakan punah sejak 150 tahun yang lalu diperkirakan masih ada disini. Kemungkinan jenis tersebut masih dapat bertambah karena reptilia, amfibia dan mammalia kecil belum banyak diteliti, bahkan untuk jenis-jenis satwa yang termasuk dalam golongan avertebrata sementara ini hanya diketahui bahwa mereka mempunyai arti dan peranan yang besar dalam kelangsungan proses ekosistem alami. Hasil penelitian Jeanes & Meijaard 2000 mengungkapkan terdapat 26 reptil (11 species terancam secara global, 6 tercatat dalam CITES Appendix II, 7 species dilindungi secara nasional, 1 species endemik Kalimantan) Potensi Wisata Keunikan dan keistimewaan yang dimiliki kawasan TNDS dapat merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun manca negara. TNDS memiliki 3 pintu masuk utama yaitu Pintu masuk Semitau (Sungai Tawang), Pintu masuk Lanjak (Sungai Lanjak, dan Pintu masuk Jongkong (Sungai Batang Putus). Dari ketiga pintu masuk ini obyek wisata alam baik berupa bentangan alam, flora dan fauna, ekosistem, budaya dan artevak dapat diakses dengan lancer (Balai TNDS 2011). Untuk menyaksikan dan menikmati bentangan alam berupa hamparan danau luas yang diselingi oleh kelompok-kelompok vegetasi dan pemandangan perbukitan yang mengelilingi danau dapat dilakukan dengan berperahu ketengah danau atau dari atas bukit Tekenang dan Semujan. Potensi wisata yang berupa atraksi satwa diantaranya dapat dengan melakukan pengamatan burung (bird watching), dan menyaksikan kehidupan sosial Bekantan yang setiap pagi dan sore hari bermain disekitar pinggiran danau atau di hutan pinggiran sungai beserta burung air dan mamalia lainnya. Potensi yang berupa keunikan flora dapat disaksikan dengan bersampan diantara celah-celah batang dan pohon yang tumbuh di hutan rawa tergenang atau menyaksikan keindahan flora di hutan kerangas yang berada di puncak bukit Semujan. Potensi sosial budaya masyarakat
39
dapat disaksikan berupa tata cara dan adat istiadat masyarakat melayu setempat dalam menangkap ikan dan mengolah ikan, tata cara bertenak lebah dan memanen madu secara tradisionil, selain itu dapat menyaksikan tata cara atau adat-istiadat masyarakat Iban, Kantuk dan Embaloh dalam melakukan upacara adat ritual mereka serta melihat bagaimana masyarakat setempat membuat barang-barang anyaman dan tenun ikat. Sementara artevak berupa rumah betang (rumah panjang) dapat dilihat di Sungai Sedik, Empaik Sungai Pelaik dan Ukit-ukit, serta di pulau Melayu yang mana daerah ini dipercayai oleh masyarakat Melayu setempat sebagai tempat bernazar dan membayar hajat. (Balai TNDS 2011).
Kondisi Masyarakat Kondisi sosial budaya Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan Danau Sentarum terdiri atas dua suku besar. Dua kelompok etnis utama, Melayu dan Iban, tinggal di dan sekitar taman dan bergantung pada sumber daya untuk mata pencaharian mereka (Aglionby 1996; Harwell 1997). Masyarakat Melayu tinggal dalam kawasan adalah masyarakat perairan yang tinggal di rumah terapung (lanting), rumah perahu (motor bandung) serta rumah panggung (rumah yang memiliki tiang tongkat sangat tinggi). Masyarakat melayu adalah nelayan yang tinggal di hilir di sekitar danau dan di sepanjang sungai (Wickham et al. 1997) dan secara eksklusif bergantung pada perikanan untuk mata pencaharian mereka. Selain sebagai nelayan masyarakat melayu dalam kawasan juga dikenal sebagai periau, dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjdi petani madu tradisional. Masyarakat yang tinggal di sekitar batas kawasan atau pada daerah perbukitan yang mengelilingi kawasan TNDS, umumnya adalah masyarakat Dayak. Masyarakat Dayak ini secara mayoritas berasal dari suku Iban, dan sebagian kecil lainnya berasal dari suku Kantuk dan Embaloh. Masyarakat Dayak Iban, yang sebagian besar tinggal di rumah panjang tradisional, menempati area paling atas lembah sungai dan hidup di darat sebagai peladang berpindah, menanam padi dan tanaman lain (Wadley 1997). Meskipun mereka juga menangkap ikan di sepanjang sungai dan di sekitar danau, mencari ikan bukan mata pencaharian utama mereka, melainkan berladang berpindah. Peraturan-peraturan berupa hukum adat yang mengatur tata cara kehidupan dan pemanfaatan SDA mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat di dalam kawasan TNDS, baik bagi suku Melayu maupun Dayak. Aturan-aturan tersebut sudah dilaksanakan secara turun temurun dan berlaku untuk semua lapisan masyarakat, baik masyarakat setempat maupun pendatang. Secara adat, sumberdaya perairan dan hutan diatur menurut mekanisme pengelolaan publik. Walaupun suatu kawasan perairan atau hutan dimiliki oleh komunitas tertentu, anggota-anggota komunitas adat lain dapat mengakses dan melakukan pemungutan hasil-hasil alam setelah mendapatkan izin dari komunitas adat yang memiliki kawasan tersebut. Setiap komunitas nelayan di kawasan TNDS memiliki institusi tradisional yang disebut rukun nelayan yang dipimpin oleh ketua nelayan. Fungsi dari rukun nelayan ini adalah sebagai pemimpin seluruh warga komunitas nelayan dan
40
bertanggung jawab atas berlangsungnya seluruh aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Setiap kampung nelayan mempunyai wilayah kerja masing-masing yang telah disepakati bersama. Kegiatan menangkap ikan diatur oleh masing-masing ketua nelayan yang dipilih secara langsung oleh anggota masyarakat di kampungnya melalui aturan-aturan lokal yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan tersebut dapat berbeda dari satu kampung ke kampung lainnya. Sementara untuk periau juga memiliki aturan-aturan lokal dalam mengusahakan madu tradisional. Begitu juga masyarakat dayak dalam melaksanakan kegiatan perladangan berpindah dan pemanfaatan hutan telah memiliki aturan-aturan lokal yang dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Kelembagaan adat yang ada sampai saat ini merupakan karya kelembagaan yang sudah berhasil dibangun dengan kokoh dan kuat oleh masyarakat, serta dipatuhi aturan-aturannya. Seharusnya kita tinggal melanjutkan dan menguatkan kelembagaan yang sudah ada ini. Namun, lembaga adat secara hukum belum mendapat pengakuan dari pemerintah, sehingga belum dapat berfungsi secara maksimal. Pada sisi lain, lembaga adat dibebani tanggungjawab moral yang besar, yaitu memelihara dan menciptakan perilaku masyarakat untuk bertindak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai agar tercapai ketertiban dan kesejahteraan. Demografi Dalam kawasan TNDS saat ini terdapat lebih dari 45 dusun permanen dan 10 dusun musiman yang letaknya tersebar ke seluruh bagian kawasan akibat sistem danau (Balai TNDS 2011). Saat ini yang menetap sekitar 1835 KK atau lebih kurang 9000 jiwa dan saat puncak musim menangkap ikan, jumlah tersebut akan bertambah dengan drastis hingga 11000-12000 jiwa (Balai TNDS 2011). Populasi manusia meningkat 58 persen selama dekade 1997-2000, dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk nasional saat ini sebesar 1,3 persen tahunan (Indriatmoko 2010). Sebagian besar atau lebih dari 90 persen masyarakat yang tinggal dalam kawasan berasal dari suku Melayu. Jumlah penduduk yang tinggal di dalam kawasan berfluktuasi sepanjang tahun, karena ada sebagian nelayan yang datang ke kawasan hanya selama puncak musim menangkap ikan (Balai TNDS 2011) . Menurut Balai TNDS 2011, Kondisi pendidikan penduduk di TNDS relatif rendah, hampir 50 persen penduduk di TNDS hanya berpendidikan Sekolah Dasar. Masyarakat mengungkapkan bahwa fasilitas pendidikan seperti guru dan sekolah sangat minim. Sebagai gambaran rendahnya tingkat pendidikan disajikan dari hasil pengukuran tingkat pendidikan formal responden. Sebagian besar responden (67,22 persen) pernah bersekolah dan tamat SD dan 31,28 persen pernah memperoleh pendidikan formal lebih tinggi (Gambar 8).
41
persentase
Pendidikan formal 80 60 40 20 0
Pendidikan formal
Pernah sekolah-tamat SD
Tidak tamattamat SMP/SMA
tidak tamattamat Dipl/S1
67.22
31.67
0.01
Gambar 8 Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal Tingkat pendidikan formal di lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki pendidikan tingkat dasar saja. Sebenarnya masyarakat sudah memiliki kemauan untuk bersekolah, terbukti banyak anak-anak mereka yang di sekolahkan di ibukota kecamatan terdekat, seperti di Semitau, Selimbau, Jongkong, Suhaid dan Lanjak. Namun terbatasnya sarana pendidikan yang ada menyebabkan tingkat pendidikan yang dimiliki masih sebatas pendidikan dasar saja. Di Resort Kedungkang misalnya, SD di tempat mereka hanya sampai di kelas 3, untuk menamatkan mereka harus pergi ke Lanjak ibukota kecamatan. Ini menyebabkan biaya yang tinggi untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Biaya yang tinggi dan kemampuan ekonomi yang rendah merupakan penyebab menurunnya minat masyarakat untuk bersekolah. Masalah kesehatan di kawasan TNDS berhubungan dengan pola nutrisi. Masyarakat cenderung mengkonsumsi nasi dengan sedikit sayuran dan buahan. Umumnya masalah kesehatan yang terjadi adalah kekurangan yodium, rabun senja (defisiensi vitamin A), tingkat kematian bayi tinggi, bibir pecah (defisiensi vitamin C) dan kekurangan kalsium pada orang tua (Balai TNDS 2011). Disamping itu fasilitas kesehatan yang terbatas, yaitu 6 pos kesehatan dengan 6 orang perawat untuk 7000-10000 penduduk juga mempengaruhi kasus-kasus yang terjadi. Sumber mata pencaharian masyarakat dalam dan sekitar TNDS sebagian besar adalah nelayan. Selain menangkap ikan, masyarakat nelayan juga memelihara ikan dalam keramba-keramba terapung di sekitar perkampungan mereka, dengan jenis ikan toman (Channa micropeltes), jelawat (Leptobarbus hoevenii), betutu (Oxyeleotris marmorata), dan patin (Pangasius nasutus). Ikan yang dihasilkan berupa ikan segar, ikan asin, ikan salai serta ikan hias. Hasil panen ikan yang berasal dari TNDS diperkirakan berkisar antara 5 - 6 milyar rupiah pertahun. (BPS Kab Kapuas Hulu 2010). Mata pencaharian lain masyarakat adalah pemanenan madu lebah liar. Kegiatan ini dilakukan pada bulan September-Pebruari setiap tahunnya. Pada bulan tersebut lebah liar (Apis dorsata) datang ke TNDS bersamaan dengan berbunganya tanaman hutan. Kegiatan pertanian di dalam kawasan TNDS hanya dilakukan oleh segelintir orang saja dan hanya dilakukan saat awal musim kemarau. Umumnya dilakukan oleh suku Dayak yang tinggal di sekitar kawasan (sekitar zona penyangga). Pertanian dilakukan secara tradisional yaitu perladangan di daerah perbukitan sekitar hutan.
42
Tanaman utama berupa padi, sementara jagung, ubi kayu dan sayur-sayuran juga turut ditanam. Selain bercocok tanam, masyarakat suku Dayak juga melakukan perburuan terhadap babi hutan, labi-labi dan kura-kura serta berbagai jenis hewan lainnya. Profesi sebagai nelayan adalah menjadi andalan pendapatan keluarga masyarakat TNDS. Sebenarnya bisa dikatakan bahwa 100 persen masyarakat di TNDS adalah nelayan, namun responden dari masyarakat Dayak lebih senang menyebut dirinya sebagai petani, karena memang masyarakat ini masih memiliki ladang sebagai identitas budaya mereka. Dari 180 responden ada 28 responden (15,56 persen) sebagai petani, 0,17persen sebagai guru dan selebihnya adalah nelayan, yang dapat dilihat distribusinya pada Gambar 9.
Mata Pencaharian Mata Pencaharian 84.27 15.56 0.17 Nelayan
Petani
Guru
Gambar 9 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian
Pengelolaan TNDS Saat Ini TNDS memiliki potensi yang besar, TNDS merupakan asset penting dalam mendukung pembangunan Kabupaten Kapuas Hulu. Potensi sekumpulan danau yang terdapat di dalamnya menjadikan TNDS sebagai bendungan alam yang berfungsi sebagai persediaan air tawar pada musim kemarau dan pencegah banjir di musim hujan; penyeimbang keadaan iklim setempat; menjaga kestabilan ekosistem di sekitarnya; pengatur mutu dan banyaknya air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas; dan habitat berbagai jenis ikan air tawar. Selain itu potensi keanekaragaman fauna dan flora yang tinggi telah mendapat pengakuan sebagai ekosistem lahan basah yang penting bagi dunia yang tercatat dalam situs Ramsar sejak tahun 1994. Dan yang lebih utama adalah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitarTNDS, disamping merupakan surga bagi para peneliti dan merupakan daerah tujuan wisata yang potensial bagi wisatawan karena kawasan ekowisataTNDS telah ditetapkan menjadi kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan lingkungan dan ekonomi (RTRW Kab Kapuas Hulu 2010). Era desentralisasi menyebabkan pemerintah daerah cenderung masih melihat manfaat TNDS dari jumlah finansial yang dapat disumbangkan untuk pendapatan asli daerah (PAD) saja. Jika dinilai dari aspek PAD, sumbangan yang diberikan oleh TNDS relative sangat kecil yakni sebesar dan hanya berasal dari
43
kegiatan pariwisata saja (TNDS 2010). Padahal sesungguhnya manfaat yang diberikan jauh lebih besar baik manfaat secara langsung (seperti ikan air tawar yang diperkirakan 40-60 persen pasokan di Kalimantan Barat berasal dari kawasan TNDS, madu dari lebah liar, dan hasil hutan non kayu lainnya) maupun secara tidak langsung (misalnya konservasi hidrologi). Manfaat ini tidak terdaftar sebagai kontribusi TNDS dalam menghasilkan PAD. Selain itu kawasan sekitar TNDS pun tidak lepas dari konsesi pembangunan kebun kelapa sawit sebagai usaha peningkatan PAD, yang tentunya sangat berbahaya dari segi ekosistem. Pengelolaan saat ini dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNDS sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007. Dalam pelaksanaan pengelolaannya terdapat beberapa permasalahan penting dalam pengelolaan TNDS saat ini. permasalahan tersebut dibedakan dalam dua bagian, yaitu permasalahan berkenaan dengan kondisi biofisik dan permasalahan pengelolaan (TNDS 2011). Permasalahan pokok berkenaan dengan kondisi biofisik TNDS Beberapa permasalahan pokok yang dihadapi dalam pengelolaan TNDS saat ini menurut Balai TNDS 2011 dan Heri et al. 2010, adalah sebagai berikut: a Pertambahan penduduk dalam kawasan Peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di kawasan TNDS merupakan salah satu penyebab munculnya tekanan terhadap kelestarian SDA danau sentarum itu sendiri. Akibat dari peningkatan jumlah penduduk tersebut diperkirakan terjadinya peningkatan intensitas eksploitasi sumberdaya ikan di kawasan TNDS, namun anggapan ini belum dapat dibuktikan secara ilmiah karena belum ada penelitian mengenai apakah kegiatan penangkapan ikan akibat pertambahan penduduk sudah melewati ambang batas dari populasi ikan yang ada. b Penebangan Permasalahan lingkungan lain yang mengancam kelestarian kawasan TNDS adalah adanya aktivitas penebangan hutan untuk diambil kayunya. Meskipun penebangan liar hanya terjadi di batas luar TNDS, namun hal ini dianggap membahayakan ekosistem danau. c Konversi hutan Kegiatan konversi hutan dilakukan, baik dalam skala kecil (1-2 Ha) maupun besar (> 10 000 Ha). Tujuan konversi hutan umumnya untuk perkebunan karet rakyat, dan perkebunan kelapa sawit serta rencana pertambangan. Bagi penduduk konversi hutan dilakukan dalam upaya mengamankan sumber mata pencaharian. Bagi Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, konversi hutan menjadi peruntukkan lain merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan PAD. d Perubahan kualitas air, penurunan populasi ikan dan kesehatan Sejalan dengan meningkatnya tekanan manusia terhadap ekosistem-ekosistem lahan basah dan kering di sekitar TNDS, maka terjadi perubahan kualitas air dan berakibat terhadap penurunan populasi ikan. Perubahan kualitas air ditunjukkan dengan peningkatan zat-zat tersuspensi, penyuburan perairan, dan pencemaran. Pengukuran kekeruhan air di musim hujan menunjukkan nilai 7-16 NTU, jauh di atas ambang batas untuk kesehatan manusia yaitu 5 NTU. Tanpa pelumpuran, tingkat kekeruhan di kawasan ini 0,1 - 0,8 NTU (Yuliani, 2007). e Introduksi spesies eksotik
44
Beberapa spesies asing yang bersifat komersil, telah diintroduksi ke dalam TNDS. Contohnya adalah penanaman jenis kayu jati, ikan bawal air tawar, lele dumbo, dan nila. f Kebakaran lahan dan hutan Pada setiap musim kemarau, sebagian lahan dan hutan di dalam TNDS terbakar. Kebakaran umumnya disebabkan oleh kelalaian manusia. Sumber api diperkirakan berasal dari pembuangan puntung rokok, api sisa-sisa masak pada waktu penangkapan ikan, dan akibat dari kegiatan pembukaan lahan dengan cara bakar. g Perburuan liar Perburuan liar masih terjadi dalam skala yang relatif kecil, pengambilan beberapa jenis burung untuk dijual merupakan tindakan yang dapat menurunkan populasi burung yang terdapat dalam kawasan TNDS. Selain itu terdapat kebiasaan kelompok masyarakat tertentu yang mengkonsumsi satwa primata seperti Bekantan dan Labi-labi harus mendapat perhatian serius dalam pelestarian dan perlindungan satwa TNDS. h Perubahan iklim global Pembukaan hutan secara besar-besaran yang terjadi pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih parah. Isu pemanasan global yang dilontarkan oleh ahli-ahli lingkungan hidup merupakan salah satu akibat yang muncul dari kegiatan pembukaan hutan. Apabila aktivitas pembukaan hutan tidak terkontrol maka selain meningkatkan suhu bumi juga menyebabkan munculnya bencana bajir dan kebakaran. i Rencana pembangunan bendungan Pejabat pemerintah sering mengajukan rencana untuk membuat bendungan Danau Sentarum. Pendukung usulan ini tidak menyadari bahwa Danau Sentarum sebagai lahan basah, tentu mengering selama musim kemarau dan semua sumberdaya di dalamnya yaitu tanaman lokal, hewan dan manusia akan menyesuaikan dengan fenomena tersebut. Pada musim kemarau panjang, danau bisa kering sepenuhnya. Pembendungan Danau Sentarum bisa memiliki efek merugikan drastis pada kualitas air, fungsi hidrologi, populasi ikan dan pendapatan penduduk lokal dan kesehatan (Yuliani et al. 2007). Permasalahan pokok berkenaan dengan pengelolaan Berkenaan dengan pengelolaan TNDS, Balai TNDS 2011 menyatakan hingga saat ini masih ditemukan beberapa permasalahan dan kelemahan yang mengakibatkan kurang optimalnya pengelolaan yang dilakukan. Permasalahan yang dimaksud adalah: 1 Rencana Pengelolaan (RP). Pengelolaan TNDS yang dibuat dalam bentuk RPJP dan RPJM. Dalam prosesnya TNDS dalam menyusun ini telah melewati proses konsultasi publik, namun masih banyak pihak belum memahami apa yang akan dikerjakan oleh Balai. RKL yang lebih bersifat strategis jangka lima tahun didasarkan pada data dan informasi yang masih lemah. Isu-isu strategis yang harus dikerjakan belum dapat diidentifikasi. Kawasan belum ditetapkan zonasinya, batas kawasan masih belum mantap (batas belum temu gelang, batas digugat pihak lain, pal batas hilang/dipindahkan/dirusak, dan atau tidak diakui masyarakat). RKL tidak dijadikan dasar RKT dan sebagai dasar dalam pengusulan anggaran. Kelemahan terdapat di daerah dan di pusat,
45
karena pusat (Bagian Program Anggaran) tidak (sempat) menganalisis usulan kegiatan UPT berdasarkan pada dokumen RP, RKL, dan RKT yang sudah ada. 2 Belum optimalnya koordinasi pengelolaan TNDS dengan dinas/instansi terkait. Dalam hal koordinasi penyusunan rencana program dan kegiatan, seringkali tidak sinkron akibat terjadinya benturan kepentingan. 3 Kurangnya sumber daya manusia yang tersedia dalam kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh Balai TNDS. Sampai 2010 Balai TNDS baru memiliki 37 pegawai, dan 42 tenaga kontrak untuk mengelola 132.000 ha kawasan. 4 Dalam menjalankan tugas di lapangan, para petugas sering menghadapi dilema. Aparat sering harus bertentangan antara pekerjaan (penegakan hukum/aturan) dan hati nurani. Di satu sisi, aparat harus menegakkan aturan, tapi di sisi lain masyarakat yang menangkap ikan adalah sumber mata pencaharian mereka. 5 Konflik kontradiksi kebijakan, seperti: Konflik pengelolaan sekitar batas TNDS yang diberikan ijin perkebunan; melibatkan pihak pemda Kabupaten, NGO, dan Balai TNDS; Konflik pengelolaan kawasan untuk pariwisata yang berada di kawasan TNDS berupa pembangunan sarana dan prasarana wisata; melibatkan pihak pemda kabupaten khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Balai TNDS; Kebijakan reboisasi dan penghijauan di dalam kawasan TNDS, melibatkan pihak pemda kabupaten khususnya Dinas Perkebunan dan Kehutanan, NGO dan Balai TNDS; Kebijakan desentralisasi pemerintah berupa pemekaran daerah yaitu ketika perkampungan memancing/dusun non permanen diberikan status desa permanen secara administratif, memperkuat status masyarakat untuk tinggal di dalam TNDS. 6 Konflik pemanfaatan kawasan yang terus diperdebatkan antara masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. 7 Perlengkapan yang belum memadai 8 Lemahnya penegakan hukum 9 Keterisolasian kawasan 10 Penelitian yang masih terbatas dilakukan Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan saat ini tentunya memerlukan input berupa sebuah perencanaan pengelolaan yang lebih baik dan terintegrasi yang ditujukan pada kelestarian TNDS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu perlu diperhatikan juga bahwa seharusnya manfaat TNDS tidak hanya diukur dari sumbangan terhadap PAD atau PNBP bagi negara tetapi melihat dalam kerangka manfaat yang lebih luas dan holistik. Hal ini memerlukan dukungan dari kebijakan pengelolaan kawasan itu sendiri. Sehingga pengelolaan dapat dijalankan lebih optimal.