BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km merupakan negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia.1 Dengan keunggulan komparatif ini, Indonesia kaya akan hasil laut termasuk air laut yang melimpah dapat dijadikan bahan baku pembuatan garam. Luas wilayah perairan Indonesia adalah 5,8 juta km² atau sama dengan 2/3 luas wilayahnya.2 Wilayah perairan ini menyimpan kekayaan yang luar biasa jika dikelola dengan baik maka berpotensi menghasilkan 1,2 triliun dollar AS per tahun atau setara dengan 10 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2012. Diperkirakan 85% perekonomian nasional akan bergantung pada sumber daya kelautan. Namun pada kenyataannya yang dikembangkan kurang dari 10%.3 Salah satu daerah di Indonesia yang dianugerahi keunggulan ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi ini merupakan wilayah yang berpotensi dalam produksi garam. Sentra produksi garam terletak ditiga tempat yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten Nagakeo dan Kabupaten Ende yang mana 1
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Garis Pantai Indonesia Terpanjang Keempat di Dunia, http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/1048/Garis-Pantai-IndonesiaTerpanjang-Keempat-di-Dunia/?category_id diakses pada 6/22/2014 2 Mulyana W & M. Salahudin, Morfologi Dasar Laut Indonesia, http://www.mgi.esdm.go.id/content/morfologi-dasar-laut-indonesia diakses pada 6/22/2014 3 Agil Iqbal Cahaya, Kekayaan Laut Indonesia yang Galau, http://www.setkab.go.id/artikel-6842kekayaan-laut-indonesia-yang-galau.html diakses pada 6/22/2014
1
area produksi garam terluas terletak di Kabupaten Kupang. Usaha garam di NTT pada umumnya masih dengan teknologi yang sederhana. Daerah pengolahan garam terbesar di NTT terletak di Kabupaten Kupang yakni di Kecamatan Kupang Tengah, Kecamatan Kupang Timur dan Kecamatan Sulamu.4 Dengan potensi wilayah kelautan ini, NTT difokuskan menjadi salah satu sentra produksi garam nasional di Indonesia.5 Mengenai sentra produksi garam, Indonesia memiliki 11 wilayah yakni Pati, Rembang, Demak (Jawa Tengah), Indramayu dan Cirebon (Jawa Barat), Sampang, Pamekasan, Pasuruan (Jawa Timur), Jeneponto (Sulawesi Selatan), Bima (NTB) dan Kupang (NTT).6 Indonesia dengan wilayah-wilayah penghasil garam diatas dapat diberdayakan melalui peningkatan produktivitas untuk memproduksi garam agar memenuhi kebutuhan garam baik konsumsi maupun industri dalam negeri. Akan tetapi, yang terjadi adalah Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhannya sehingga harus mengimpor. Produksi garam dalam negeri hanya mencapai 1,2 juta ton sementara kebutuhan mencapai 2,8 juta ton sehingga harus mengimpor dari Australia, India dan Cina.7 Selain tiga negara tadi, Indonesia juga mengimpor dari
4
Irmadi Nahib dkk, Potensi Garam di Kupang: Sumberdaya Yang Melimpah & Tinggal Ambil, http://www.bakosurtanal.go.id/assets/download/artikel/garam_kupang/BIGFenomenaGaramdiKup ang.pdf diakses pada 4/26/2014 5 Bank Indonesia, Potensi Pengembangan Garam Provinsi Nusa Tenggara Timur, http://www.bi.go.id/id/publikasi/kajian-ekonomiregional/ntt/Documents/3920e124f7754885850d064ec33d1f1fBoks1PotensiPengembanganGaram ProvinsiNusaTenggaraT.pdf diakses pada 4/26/2014 6 Kementerian Perindustrian, Impor Garam Dilarang Mulai 1 Juli Sampai 21 Desember 2004, http://www.kemenperin.go.id/download/26 diakses pada 6/22/2014 7 Muhammad Khasan Abdurrohman, Negara Kepulauan Impor Garam? Apa Kabar Indonesia 2015?, http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140330/378/215396/negara-kepulauanimpor-garam-apa-kabar-indonesia-2015- diakses pada 04/27/14
2
New Zealand, Jerman dan Denmark.8 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor garam terbesar dari Australia senilai US$ 24,06 juta, terbesar kedua yaitu India senilai US$ 5,92, disusul oleh Jerman dan New Zealand bahkan Indonesia juga mengimpor garam dari Singapura.9 Pada tahun 2006, Cina merupakan penghasil garam terbesar ke dua setelah Amerika Serikat sementara Indonesia menduduki posisi ke 32. Padahal garis pantainya hanya sepanjang 14.500 km.10 Hingga tahun 2014 ini, Indonesia masih mengimpor 50% garam untuk memenuhi kebutuhan padahal ada wilayah ideal untuk produksi garam yaitu Madura (Jawa Timur) dan NTT.11 Kebijakan impor garam merupakan keputusan dari Kementerian Perdagangan sebagai kementerian yang mengeluarkan peraturan mengenai impor garam dan juga mengeluarkan tarif bea masuk garam impor yang mana tarif ini bertentangan dengan tarif yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan. Kementerian Perdagangan yang melakukan legalisasi atas impor garam sehingga kementerian inilah yang paling berperan dalam liberalisasi pasar garam domestik. Kondisi Indonesia sekarang ini bertolak belakang dengan ketika Indonesia masih dibawah penjajahan Belanda. Dimasa itu, Indonesia menjadi eksportir garam. Secara faktual, terbukti bahwa garam sejak dahulu merupakan komoditas strategis yang menjadi perhatian serta kepentingan pemerintah yang berkuasa 8
Fiki Ariyanti, Daftar Lengkap 29 Komoditas Pangan yang diimpor RI, http://bisnis.liputan6.com/read/719523/daftar-lengkap-29-komoditas-pangan-yang-diimpor-ri diakses pada 7/17/2014 9 Ibid 10 CIA, Geography: China, https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/countrytemplate_ch.html diakses pada 6/24/2014 11 DPR RI, Swasembada Garam Tahun 2015 Sulit Tercapai, http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi4/2014/mar/25/7829/swasembada-garam-tahun-2015-sulittercapai diakses pada 6/22/2014
3
pada masa itu. Sebaliknya setelah Indonesia merdeka, garam cenderung tidak dipandang sebagai komoditas strategis.12 Setelah Indonesia merdeka hingga jaman orde lama (1945-1968), monopoli ini masih tetap dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada jaman orde baru (1968-1998) Indonesia mulai mengimpor garam yang disebabkan karena faktor cuaca, garam dalam negeri tidak memenuhi syarat dan mahal, beberapa jenis garam untuk industri belum dapat diproduksi dalam negeri, dan garam impor lebih murah. Beberapa hal diatas menjadi alasan sehingga pemerintah dibawah kekuasaan Presiden Soeharto memutuskan untuk melakukan impor garam.13 Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan impor garam ditempuh karena produksi garam rakyat tidak dapat memasok kebutuhan baik kuantitas maupun kualitas. Impor garam semakin meningkat didukung dengan beberapa peraturan menteri yaitu: 1. Keputusan
Menteri
360/MPP/Kep/5/2004
Perindusterian Jo.
Nomor
dan
Perdagangan
Nomor
3376/MPP/Kep/6/2004
tentang
Ketentuan Impor Garam untuk melindungi produksi garam dalam negeri dan meningkatkan kesejahteraan petani garam. 2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/9/2005 Jo. Nomor 44/M-DAG/PER/10/2007 tentang Ketentuan Impor Garam 3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 mengenai Impor Garam. Peraturan inilah yang berlaku hingga sekarang.
12
Yety Rochwulaningsih, Pendekatan Sosiologi Sejarah pada Komoditas Garam Rakyat: dari Ekspor Menjadi Impor, http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/paramita/article/view/1840/1989 diakses pada 6/22/2014 13 ___, Mempermainkan Hajat Hidup Masyarakat, http://m.neraca.co.id/article/26702/Mempermainkan-Hajat-Hidup-Masyarakat/2 diakses pada 6/22/2014
4
Sebelum tahun 2004, impor garam dilakukan dengan tidak terbatas karena pemerintah belum ada tata niaganya.14 Liberalisasi ekonomi percaya pada kemungkinan kerjasama untuk keuntungan bersama yang didapat dari mendirikan organisasi internasional, institusi dan norma.15 Sebagai salah satu bentuk perwujudan dari paham ini maka didirikanlah World Trade Organization (WTO) sebagai rezim perdagangan internasional. Saling bekerjasama dibawah payung WTO dipercaya akan mendatangkan keuntungan kolektif bagi para anggotanya. Keterikatan Indonesia dengan liberalisasi dan pasar bebas menjadi sah setelah meratifikasi WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994 walau sejak 24 Februari 1950, Indonesia sudah ikut serta dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Sejak 1 Januari 1995, GATT berubah menjadi World Trade Organization (WTO). GATT tidak hilang namun menjadi substansi dari WTO.16 World Trade Organization (WTO) adalah sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengawasi dan meliberalisasi perdagangan internasional. Inti dari GATT adalah pertama, jika ingin mengatur arus barang, pakailah tarif dan jangan menggunakan non-tariff barrier (NTB); kedua, turunkan tarif; ketiga, jangan diskriminatif. Melalui WTO diharapkan hambatan dalam perdagangan dikurangi salah satunya adalah pada sektor pertanian. Liberalisasi sektor pertanian ini tertuang didalam Agreement of
14
Lukman Baihaki, Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia Periode 2007-2012, Yogyakarta, Fisipol UGM, 2013, hal. 5 15 Joshua S. Goldstein & Jon C. Pevehouse, International Relations, United States of America, Pearson Education. Inc, 2014, hal. 284 16 Materi Kuliah Hukum Perdagangan Internasional oleh Prof. M. Hawin, SH., LLM, Ph.D pada tanggal 28 September 2013
5
Agriculture (AoA).17 Melalui liberalisasi pertanian ini, diharapkan setiap negara mau menghapus tarif dan subsidi pertanian sehingga produk impor dapat bersaing didalam suatu negara. Kebijakan ini membuat produk impor membanjiri pasar domestik, produk dalam negeri tidak mampu bersaing dan pada akhirnya mengharuskan untuk terus mengimpor. Hal ini melemahkan posisi suatu negara yang seharusnya melindungi petani sebaliknya kebijakan yang dikeluarkan malah merugikan. Dahulu pangan merupakan hak asasi manusia namun sekarang pangan diperlakukan sebagai komoditi untuk mencari keuntungan.18 Politik liberalisasi garam adalah mengenai kepentingan dibalik liberalisasi pasar garam domestik yang mana penulis ingin melihat bagaimana Indonesia menghadapinya melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selanjutnya penulis ingin melihat implikasi dari kebijakan tersebut hingga ke daerah. Penulis melihat bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk memproduksi garam dilihat dari ketersediaan bahan baku yakni air laut karena garis pantai terpanjang keempat didunia dan bahwa garam adalah komoditas strategis karena dibutuhkan oleh masyarakat hampir semua kalangan, garam tidak hanya untuk pangan tapi juga untuk industri dalam artian digunakan untuk memproduksi produk lain serta garam tidak ada produk substitusinya. Salah satu wilayah penghasil garam adalah NTT. Inilah gambaran Indonesia dalam skala yang lebih kecil bahwa ada implikasi politik liberalisasi garam hingga ke tingkat daerah. Selain itu, penulis melihat bahwa ada dorongan untuk meningkatkan 17
Kementerian Perdagangan RI, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_category_id= 4&news_sub_category_id=1 diakses pada 6/9/2014 18 Isabelle Delforge, Dusta Industri Pangan: Penelusuran Jejak Monsanto, Yogyakarta, INSISTPress, 2005, hal. Xii & xxi
6
kompetisi garam dalam negeri misalnya dengan membuat sentra produksi garam serta program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) namun kebijakan impor terus dijalankan. Beberapa hal ini yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa Indonesia meliberalisasi pasar garam domestik? 2. Apa implikasinya terhadap NTT sebagai salah satu wilayah paling potensial?
1.3
Literatur Review
Free Trade Watch edisi Juli 2011 mengangkat tema mengenai Berebut Krisis, Menjaring Utang, Mengimpor Pangan yang mengulas mengenai politik liberalisasi Indonesia pada beberapa produk pangan. Dimulai dengan perjanjian Free Trade Area (FTA) dengan China melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang diberlakukan secara penuh mulai 1 Januari 2010 yang sebelumnya ditandatangani tahun 2002 dan diberlakukan secara bertahap. Dengan perjanjian ini, lebih dari 6600 komoditi dari China masuk Indonesia tanpa dikenai tarif masuk sama sekali atau 0%. Salah satunya adalah bawang putih yang karena
7
perjanjian ini, harga bawang putih impor lebih murah jauh dibandingkan bawang putih lokal sehingga semakin tidak menguntungkan petani. Perjanjian FTA tidak hanya dilakukan dengan China tapi juga dengan negara lain melalui ASEANIndia dan ASEAN Australia-Newzealand. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia berkewajiban untuk ikutserta dalam perjanjian-perjanjian ini sehingga impor pangan meningkat sejalan dengan agenda liberalisasi perdagangan.19 Negara berkembang semakin kehilangan kontrol atas pangan dinegaranya sendiri sehingga semakin bergantung pada sumber pangan impor. Hilangnya kemandirian pangan dinegara-negara berkembang akibat kebijakan nasional yang memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam dan bahan mentah untuk kepentingan ekspor. Pangan dalam negeri dipenuhi pangan dari luar yang mana dinegara tersebut mengalami over kapasitas. Kontrol dari negara maju ini diawali dengan Structural Adjustment Program (SAP) yang dimulai pada tahun 1980-an. SAP adalah program pinjaman bersyarat yang diberlakukan oleh World Bank dan International Monetery Fund (IMF). Untuk mendapatkan pinjaman dari World Bank, negara-negara berkembang harus menandatangani perjanjian dengan IMF untuk menyetujui penghapusan tarif. Di Indonesia, World Bank mendukung Departemen Pertanian melalui proyek senilai US$ 123.000.000 untuk proyek pemberdayaan pertanian. Dengan menyalurkan utang semacam ini kepada negara berkembang dari lembaga keuangan global, justru menjadi penyebab dari
19
Indonesia for Global Justice (IGJ), Free Trade Watch: Berebut Krisis, Menjaring Utang, Mengimpor Pangan, Jakarta, IGJ, 2011 hal. 85-86 & 119
8
ketergantungan keuangan sehingga alokasi anggaran untuk subsidi pertanian semakin minim.20 Dewasa ini sistem kapitalisme menyebabkan negara-negara terus mensubsidi produk pangan mereka dan memberlakukan proteksi perdagangan. Lembaga-lembaga keuangan global didorong untuk memberikan pinjaman khususnya ke negara-negara berkembang. Hal ini dilakukan agar negara berkembang membuka diri terhadap investasi asing disektor pangan dan membuka impor pangan. Perdagangan dibawah teori keunggulan komparatif yang dijadikan dasar bagi perdagangan bebas pangan telah menimbulkan ketidakadilan. Negara yang sebelumnya swasembada pangan, berubah menjadi pengimpor pangan. Ini terjadi pada 70% negara berkembang yang saat ini menjadi net importer.21 Turut serta dalam keanggotaan World Trade Organization (WTO) juga menjadi alasan politik liberalisasi pangan di Indonesia. Perjanjian WTO mengenai pertanian yang tertuang dalam Agreement on Agriculture (AoA) membatasi kekuasaan pemerintah untuk menetapkan kebijakan pertanian. WTO melakukan deregulasi pada tingkat nasional. Setiap mekanisme yang dibutuhkan oleh negaranegara dalam mengatur sektor pertanian mereka dan menjamin pasokan makanan yang stabil diatur didalam WTO melalui perjanjian AoA. Sebagaimana telah disebutkan dilatar belakang bahwa Indonesia terikat kepada WTO karena telah meratifikasi perjanjian WTO melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994. Melalui perjanjian ini, liberalisasi pertanian dijalankan yang mengakibatkan impor pangan secara terus menerus yang tidak hanya merugikan devisa negara tapi juga pasar 20 21
Ibid, hal. 103, 112 & 116 Ibid, hal. 100
9
produk pertanian lokal dan industri lokal. Data menunjukkan bahwa pada setiap tahunnya, Indonesia mengeluarkan devisa sebesar 5% dari APBN atau sejumlah Rp. 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan yaitu gandum, kedelai, daging sapi, susu, gula dan garam. Garam sebenarnya bukan hal yang sulit untuk diproduksi mengingat 2/3 wilayah Indonesia adalah lautan namun pada kenyataannya Rp. 900 miliar dikeluarkan setiap tahun untuk mengimpor garam.22 Literatur ini membahas mengenai tekanan internasional bagi Indonesia untuk meliberalisasi garam. Dari segi kepentingan aktor domestik, Lukman Baihaki memaparkan dalam jurnal yang berjudul Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia Periode 2007-2012. Kebijakan impor garam merupakan hasil dari pertarungan antara aktor-aktor domestik yang memiliki keterkaitan dengan produk garam ini. Aktor-aktor
tersebut
adalah
Kementerian
Perdagangan,
Kementerian
Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, PT. Cheetam Garam Indonesia, dan Asosiasi Petani Garam Indonesia. Didalam pertarungan ini, muncul dua koalisi yakni Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian mendukung PT. Cheetam Garam Indonesia sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan mendukung Asosiasi Petani Garam Indonesia. Pertarungan
ini
ditujukan
untuk
mengakomodasi
kepentingan
mereka.
Kementerian Kelautan dan Perikanan berusaha melindungi petani garam demi tercapainya swasembada garam nasional. Bagi Kementerian Perdagangan, impor garam perlu demi memenuhi permintaan dalam negeri. Bagi importir garam
22
Ibid, hal. 113, 119 & 131
10
adalah mengimpor kemudian dijual lagi kepada industri-industri lain. Disisi lain, petani mengalami kerugian dengan adanya impor ini karena dengan beredarnya banyak garam dipasaran, harga garam menjadi lebih rendah daripada yang ditetapkan
oleh
Peraturan
Perdagangan.23
Menteri
Ada
ketidakseriusan
pemerintah yang bisa dilihat dari koordinasi yang minim antar pemerintah pusat dan juga dengan pemerintah daerah terhadap pendampingan petani garam.24 Yety Rochwulaningsih dalam jurnalnya yang berjudul Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah, menyatakan bahwa garam sebagai komoditas strategis yang adalah bahan baku industri juga bahan pangan dibutuhkan hampir seluruh masyarakat. Namun, kehidupan petani garam diberbagai daerah di Indonesia dihadapkan pada situasi yang sulit. Banyak dari mereka yang meninggalkan usahanya karena menghadapi masalah yang terkait dengan harga, mutu garam yang rendah hingga membanjirnya garam impor. Garam sejak jaman kolonial merupakan komoditas penting sehingga menjadi bahan rebutan oleh berbagai kekuatan politik dan pemodal. Kondisi yang kontradiktif terjadi pada Indonesia setelah merdeka, produksi garam dilepas tanpa monopoli yang ditandai dengan dilepasnya Perusahaan Negara Garam. Pada tingkat global, kekuatan ekonomi kapitalis cenderung menutup akses pelaku ekonomi lokal dan nasional supaya mereka dapat menguasai dan mendominasi pasar global.25 Literatur yang kedua ini
23
Lukman Baihaki, Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia Periode 2007-2012, Yogyakarta, Fisipol UGM, 2013, hal. 3 24 Ibid, hal. 14 25 Yety Rochwulaningsih, Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah,
11
melihat dari segi petani yang dirugikan oleh liberalisasi pertanian. Hal ini merupakan implikasi dari liberalisasi hingga ke daerah bahwasanya menutup akses pasar lokal serta nasional sehingga produk lokal tidak dapat bersaing secara global.
1.4
Kerangka Pemikiran
1.4.1
Two-Level Games
Penulis menggunakan Two-level games dari Robert D. Putnam untuk menganalisis tulisan ini. Politik domestik dan hubungan internasional seringkali saling memengaruhi satu sama lain. Bahwa ada keterkaitan antara politik nasional dengan politik internasional. Hubungan ini memberikan beberapa hasil yakni ada potensi tekanan internasional terhadap domestik. Hasil lainnya adalah ada perbedaan kepentingan antara pemimpin nasional dengan pihak yang bernegosiasi dikancah internasional dengan membawa nama negara. Dunia internasional secara pasti memberikan implikasi bagi kondisi politik suatu negara.26 Keterkaitan ini menyebabkan dalam suatu pembuatan keputusan, pemerintah berhadapan dengan tekanan internasional dan juga tekanan dari domestik. Tekanan internasional memengaruhi kebijakan suatu negara dengan memberi bantuan yang dibutuhkan oleh suatu negara dengan memberlakukan syarat-syarat. Tekanan domestik http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Petani%20Garam%20dalam%20Jeratan%20Kapitalisme.pdf diakses pada 6/15/2014 26 Robert D. Putnam, Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games, http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/pdfplus/2706785.pdf?acceptTC=true&jpdConfirm= true, hal. 427-430 diakses pada 6/15/2014
12
memengaruhi kebijakan dengan menekan pemerintah agar memenuhi kepentingan mereka. Tujuan utama dari semua strategi kebijakan ekonomi luar negeri adalah untuk membuat kebijakan ekonomi domestik kompatibel dengan ekonomi politik internasional. Pembuat keputusan dipusat (the state) harus fokus bersamaan pada tekanan domestik dan internasional. Pengambil kebijakan dipusat mempunyai peran penting dalam memediasi tekanan domestik dan internasional dengan menyesuaikan setiap kebijakan yang dibuat pada kedua level tersebut.27 Helen V. Milner juga mengungkapkan hal senada dalam bukunya yang berjudul Interest, Institutions and Information: Domestic Politics and International Relations bahwa tidak hanya kekuatan politik internasional atau interdependensi ekonomi yang menentukan kebijakan luar negeri yang diambil pemerintah tapi juga dinamika politik domestik.28 Two-level games ini merupakan game atau permainan pada dua level yaitu 1. Level I yakni diantara pemimpin politik. Level ini merupakan level internasional yang aktornya adalah pemerintah suatu negara atau organisasi internasional 2. Level II yakni kelompok domestik yang turut menentukan pengambilan kebijakan domestik. Level ini merupakan level nasional yang mana
27
Ibid, hal. 431-433 Helen V. Milner, Interest, Institutions and Information: Domestic Politics and Internastional Relations, http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/pdfplus/10.2307/3233071.pdf diakses pada 7/17/2014 28
13
aktornya dapat berupa kelompok kepentingan, kelas sosial, atau bahkan opini publik.29 Two-level games berawal dengan sebuah metafora untuk menggambarkan interaksi antara domestik dan internasional yang berakhir dengan menjadi sebuah teori.30 Pada level nasional, kelompok domestik mengejar kepentingan mereka dengan menekan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang menguntungkan kelompok tersebut dan mencari kekuasaan dengan membangun koalisi.
Pada
level
internasional,
pemerintah
nasional
memaksimalkan
kemampuan mereka untuk memenuhi tekanan domestik sambil meminimalisir konsekuensi yang merugikan dari pembangunan luar negeri. Setiap pemimpin politik nasional berada pada kedua permainan yang berarti bahwa pembuat keputusan dihadapkan pada kedua level ini dalam setiap keputusan yang diambilnya. Dimeja internasional terdapat rekan luar negeri dari pemimpin politik nasional, diplomat dan penasihat internasional. Dimeja domestik terdapat sang pemimpin nasional tadi beserta tokoh partai dan parlemen, pembicara dari agensi domestik, perwakilan grup kepentingan dan penasihat dari pemimpin. Kompleksitas dari two-level games ini adalah bahwa pergerakan yang menurut salah satu pihak rasional (misalnya menaikkan harga energi, mengakui wilayah atau membatasi impor) mungkin saja tidak bagi pihak yang lain. 31 Tujuan dari
29
Op. Cit, hal. 436 Nanang Pamuji Mugasejati & Ahmad Hanafi Rais, Politik Kerjasama Internasional: Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Institute of International Studies (IIS) UGM, 2011, hal. 33 31 Robert D. Putnam, Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games, http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/pdfplus/2706785.pdf?acceptTC=true&jpdConfirm= true, hal. 433-434diakses pada 6/15/2014 30
14
permainan ini adalah bagaimana untuk „memenangkan‟ kedua permainan, mengamankan skenario yang paling mungkin untuk negaranya pada medan internasional serta mengamankan masa depan politiknya (atau partainya). Hasil dari tiap permainan ini akan memengaruhi satu sama lain.32 Ide dasar dari two-level games adalah bahwa ada interaksi antara domestik dan internasional sehingga kebijakan domestik suatu negara dibuat kompatibel dengan ekonomi politik internasional. Ekonomi politik internasional adalah mengenai bagaimana ekonomi dan politik yang identik dengan keuntungan dan kepentingan saling memengaruhi. Dalam proses pembuatan keputusan, para pembuat keputusan memenuhi tekanan internasional dan juga tekanan domestik. Selain hubungan antar negara, Transnational Cooperation (TNC), pasar global, ekonomi politik internasional juga berbicara mengenai organisasi internasional yang dalam hal ini adalah WTO.33 Dengan menjadi anggota WTO serta menjadi bagian dari beberapa perjanjian FTA maka kebijakan domestik dibuat kompatibel dengan perjanjianperjanjian tersebut karena dalam pembuatan kebijakan dihadapkan pada tekanan internasional menurut Putnam. Tekanan internasional ini pasti memberikan implikasi bagi kebijakan domestik suatu negara. Dari segi politik domestik, kelompok kepentingan domestik juga akan menekan pemerintah untuk dapat memenuhi kepentingan mereka. Sehingga, ada interaksi antara politik domestik dengan hubungan internasional pada kebijakan liberalisasi garam ini. Disatu sisi,
32
Nanang Pamuji Mugasejati & Ahmad Hanafi Rais, Politik Kerjasama Internasional: Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Institute of International Studies (IIS) UGM, 2011, hal. 34 33 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, London, Routledge, 2008, hal. 499
15
alasan Indonesia meliberalisasi pasar garam domestik untuk memenuhi aspek tekanan internasional yakni: 1. Masuk dalam WTO dan meratifikasi perjanjian ini sehingga mendorong liberalisasi pertanian melalui AoA dengan penghapusan tarif impor untuk komoditas pertanian 2. Pinjaman dari lembaga donor yang mewajibkan Indonesia menandatangani SAP sehingga mendorong investasi asing dan penurunan tarif 3. Ada perjanjian Free Trade Area dengan beberapa negara sehingga Indonesia menghapus tarif impor untuk negara-negara tersebut sehingga garam impor membanjiri pasar domestik Indonesia Disisi lain, alasan meliberalisasi pasar garam domestik untuk memenuhi aspek tekanan domestik adalah adanya pertarungan antara aktor-aktor berikut: 1. Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan PT. Cheetam Garam Indonesia yang mendukung impor garam dengan alasan agar memenuhi permintaan dalam negeri. PT. Cheetam ini memiliki izin Impor Produsen (IP) non-iodisasi atau garam industri yang mana sesuai dengan Permendag Nomor 44 Tahun 2007, perusahaan ini tidak berhak untuk memperjualbelikan garam impornya. Izin ini yang hanya diberikan kepada perusahaan yang membutuhkan garam sebagai bahan penolong bagi perusahaan sendiri yang hasil produksinya bukan berupa garam seperti PT. Tjiwi Kimia untuk proses produksi kertas dan PT. Asahimas untuk produk kaca sementara hasil produksi PT. Cheetam adalah berupa garam konsumsi beryodium. Perusahaan asal Australia ini mendapat rekomendasi
16
dari Kementerian Perdagangan untuk impor garam sebanyak 25.000 ton.34 Ditahun 2012, total impor garam Indonesia adalah 2,1 juta ton.35 2. Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) yang tidak mendukung impor garam dengan alasan melindungi petani garam dan agar rencana swasembada garam dapat tercapai. Tercapainya swasembada garam ini dapat terjadi jika impor garam dikurangi sedikit demi sedikit serta memberdayakan petani garam dalam negeri. Padahal kebutuhan garam dalam negeri selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2007 kebutuhan garam sebesar 2,618 juta ton, tahun 2008 sebesar 2,667 juta ton dan tahun 2009 sebesar 2,888 juta ton.36 Alasan-alasan diatas menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi pasar garam domestik ini dibuat kompatibel dengan ekonomi politik internasional karena ada tekanan internasional yang didukung dengan kepentingan aktor domestik. Kebijakan liberalisasi pasar garam domestik Indonesia dibuat untuk memenuhi tuntutan tekanan internasional dan tekanan domestik. Dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan untuk meliberalisasi garam ini menimbulkan implikasi hingga ke daerah sebagaimana disebutkan diatas bahwa dunia internasional memberikan implikasi bagi kondisi politik suatu negara.
34
Ester Meryana, Kemendag: Itu Bukan Garam Konsumsi, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/21/20242124/Kemendag.Itu.Bukan.Garam.Konsu msi. diakses pada 7/16/2014 35 Lukman Baihaki, Ekonomi-Politik Kebijakan Impor Garam Indonesia Periode 2007-2012, Yogyakarta, Fisipol UGM, 2013, hal. 5 36 Ibid, hal. 2
17
Dalam kasus ini liberalisasi pasar garam domestik ini, aktor di level I adalah pemerintah yang mengambil keputusan mengimpor garam yaitu Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta World Bank, IMF, WTO, dan negara-negara yang menandatangani perjanjian FTA dengan Indonesia. Aktor level II adalah pemerintah yang turut menentukan pengambilan kebijakan dalam negeri yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, kelompok petani garam melalui Asosiasi Petani Garam Indonesia, dan kelompok-kelompok kepentingan.
1.4.2
Governmental Process
Penulis menggunakan Governmental Process dari David B. Truman untuk menjelaskan konteks tekanan domestik dari teori Two-Level Games oleh Robert D. Putnam. Truman menyatakan bahwa ada peran kelompok kepentingan dalam proses politik. Ini bukanlah sikap permusuhan terhadap pemerintah namun merupakan bagian alami dalam kehidupan politik. Semakin bertambah kompleksnya kehidupan masyarakat, kelompok-kelompok menyebar untuk memenuhi berbagai kebutuhan dari masyarakat. Kelompok-kelompok ini disebut dengan kelompok kepentingan yang didasari pada satu atau lebih sikap bersama. Tujuan kelompok kepentingan ini adalah akses pada satu atau lebih keputusan pemerintah. Sehingga, governmental process dapat dipahami jika peran yang dimainkan oleh kelompok kepentingan diketahui. Esensi dari politik adalah kontroversi dan konflik yang berasal dari aktivitas kelompok kepentingan.
18
Kompetisi diantara mereka dapat membantu proses pembuatan keputusan. Pemerintah memainkan peran aktif dalam membentuk kondisi bagi kelompok kepentingan untuk beraksi. Kelompok kepentingan yang terancam akan mengambil tindakan.37 Asumsi dari governmental process ini adalah bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang membentuk kelompok berdasarkan kesamaan karakter mereka. Kelompok kepentingan adalah kelompok yang berdasarkan pada sikap bersama yang membuat klaim tertentu pada kelompok-kelompok lain di masyarakat untuk mendirikan, pemeliharaan atau peningkatan bentuk dari perilaku yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan mereka. Ketika klaim ini dipenuhi melalui atau pada institusi pemerintahan, ini menjadi kepentingan politik dari kelompok tersebut. Menurut Truman, kepentingan individu diakomodasi oleh kelompok. Faktor-faktor utama yang menentukan kesuksesan kelompok kepentingan dalam mendapatkan akses ke pemerintahan adalah: 1. Akses yang ditentukan oleh posisi strategis kelompok di masyarakat misalnya prestise dari kelompok tersebut di masyarakat. 2. Karakter internal kelompok misalnya kepemimpinan, sumber daya kelompok dalam jumlah anggota dan keuangan.
37
Steven Alan Samson, David Truman‟s The Governmental Process: Political Interest and Public Opinion Study Guide, http://digitalcommons.liberty.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1293&context=gov_fac_pubs diakses pada 12/21/2014
19
3. Faktor kekhasan dari institusi pemerintah itu sendiri misalnya sistem politik suatu negara.38 Kelompok
kepentingan
memainkan
peran
penting
dalam
setiap
pengambilan keputusan oleh pemerintah menurut Truman. Kelompok-kelompok ini berusaha memenuhi kepentingan mereka dengan memengaruhi keputusan dari pemerintah. Dalam kasus liberalisasi pasar garam domestik di Indonesia, kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat adalah kelompok petani-petani garam rakyat yang tergabung dalam Asosiasi Petani Garam Indonesia, kelompok importir garam dan mafia garam. Kepentingan menurut Thomas Oatley adalah tujuan yang ingin dicapai oleh aktor-aktor termasuk kelompok kepentingan. Tujuan dari aktor-aktor ini dicapai melalui suatu kebijakan atau dengan kata lain aktor-aktor ini berharap agar kepentingan mereka dapat tercapai melalui suatu kebijakan. Kepentingan aktor-aktor tersebut dapat diketahui melalui usulan kebijakan atau tindakan yang diambil oleh mereka. Posisi aktor-aktor tersebut menentukan kepentingannya dalam suatu kebijakan ekonomi.39 Posisi kelompok petani garam sebagai pihak yang paling dirugikan dari liberalisasi pasar garam domestik adalah menolak impor garam yang terus menerus dilakukan karena penghapusan tarif impor garam dan didukung dengan kebutuhan domestik yang belum bisa dipenuhi garam hasil produksi mereka. Posisi importir garam sebagai salah satu pihak yang diuntungkan mendukung liberalisasi pasar garam domestik karena membawa keuntungan bagi kelompok 38
Steven Alan Samson, David Truman‟s The Governmental Process: Political Interest and Public Opinion Study Guide, http://digitalcommons.liberty.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1293&context=gov_fac_pubs diakses pada 12/21/2014 39 Thomas Oatley, International Political Economy fifth edition, Pearson Education, 2012, hal. 13
20
kepentingan mereka. Dengan tarif impor 0% maka akan memperoleh semakin banyak keuntungan. Posisi mafia garam juga merupakan kelompok yang diuntungkan dari liberalisasi pasar garam domestik sehingga mereka mendukung bahkan bekerja sama dengan pemerintah untuk memenuhi kepentingan kelompok mereka. Berdasarkan teori two-level games dari Robert D. Putnam dan governmental process dari David B. Truman ini diketahui bahwa kebijakan liberalisasi pasar garam domestik Indonesia diambil karena memenuhi tekanan internasional dan tekanan domestik. Pembuat kebijakan ini berhadapan dengan tekanan internasional berupa ratifikasi perjanjian WTO yang membuat Indonesia harus meliberalisasi sektor perdagangan, Indonesia diwajibkan mengaplikasikan mekanisme Structural Adjustment Program (SAP) dari IMF ketika dilanda krisis ekonomi sehingga meliberalisasi sektor perdagangannya yang merupakan salah satu dalam mekanisme SAP, dan Indonesia meratifikasi beberapa perjanjian Free Trade Area (FTA) sehingga tarif impor untuk produk-produk dari negara-negara tersebut 0%. Liberalisasi pasar garam domestik dibuat untuk memenuhi tekanan internasional. Selain tekanan internasional, kebijakan liberalisasi pasar garam domestik juga dihadapkan dengan tekanan domestik. Tekanan domestik ini berasal dari kelompok birokrat yaitu Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta kelompok kepentingan seperti petani-petani garam, importir garam dan mafia garam. Para aktor ini menekan pemerintah sesuai dengan posisi mereka agar dapat memenuhi kepentingan
21
kelompok mereka. Liberalisasi pasar garam domestik Indonesia dibuat juga untuk memenuhi tekanan dari aktor-aktor domestik ini.
1.4.3
Kapitalisme
Dunia internasional memberikan implikasi bagi kondisi politik suatu negara menurut Robert D. Putnam dalam teori two-level games. Untuk menjelaskannya lebih jauh, penulis menggunakan konsep kapitalisme dari Karl marx untuk menjelaskan implikasi yang terjadi bagi petani garam. Kapitalisme menurut Karl Marx adalah mengejar keuntungan yang seharusnya menjadi hak dari para pekerja yang berproduksi. Kapitalisme selalu fokus pada profit maximalization. Kapitalisme merupakan suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturkan secara khusus yang mana didalamnya manusia diatur untuk memproduksi kebutuhan hidup akan tetapi diasingkan dari produk yang dihasilkan. Menurut Rochwulaningsih, status sosial ekonomi petani garam semakin termarjinalkan sehingga dapat dikatakan bahwa diasingkan yang dimaksudkan oleh Marx berarti kehidupan yang termarjinalkan. Hal ini menyebabkan terjadinya proses pemiskinan kaum buruh oleh kaum kapitalis yang selalu mengejar keuntungan bagi kepentingan mereka.40 Kapitalisme menurut Karl Marx jika dikaitkan dengan liberalisasi pasar garam domestik Indonesia terlihat bahwa ada implikasi bagi petani garam. 40
Yety Rochwulaningsih, Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah, http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Petani%20Garam%20dalam%20Jeratan%20Kapitalisme.pdf diakses pada 6/15/2014
22
Rochwulaningsih mengambil contoh kehidupan petani garam di Rembang yang kehidupannya semakin sulit karena harga jual garam rakyat yang sangat rendah. Garam rakyat tidak dapat bersaing dengan derasnya garam impor dipasar domestik. Petani garam disatu sisi memproduksi garam rakyat namun disisi lain diasingkan dari produk yang dihasilkannya melalui kebijakan penghapusan tarif sehingga komoditas garam impor membanjiri pasar domestik. Hal ini berimplikasi pada kesejahteraan petani yang belum tercapai karena kehidupan petani garam yang termarjinalkan. Terjadi proses pemiskinan petani garam oleh kaum kapitalis yang dalam hal ini adalah aktor-aktor yang memiliki modal besar yang dapat melakukan apa saja untuk memenuhi kepentingan mereka. Implikasinya terjadi ke petani garam sebagai pihak yang paling dirugikan. Implikasi jika dikaitkan dengan konsep kapitalisme oleh Karl Marx lebih kepada kehidupan buruh yang termarjinalkan. Dalam politik liberalisasi pasar garam domestik ini berimplikasi pada kehidupan petani garam yang tidak sejahtera karena kalah dengan kepentingan para pemilik modal yang mendukung liberalisasi pasar garam domestik.
1.5
Argumen Utama
Kebijakan liberalisasi pasar garam domestik diambil oleh pemerintah Indonesia untuk memenuhi tekanan internasional dan tekanan domestik yang memiliki kepentingan terhadap liberalisasi garam sehingga menimbulkan implikasi hingga ke daerah. Kebijakan liberalisasi garam Indonesia dibuat
23
kompatibel dengan ekonomi politik Internasional yakni WTO sebagai rezim perdagangan internasional. Di ranah domestik, ada kelompok kepentingan yang turut memengaruhi pemerintah untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan liberalisasi pasar garam domestik ini. Politik liberalisasi garam ini berimplikasi hingga ke salah satu daerah penghasil garam yaitu Provinsi NTT yang dialami oleh para petani garam yaitu kehidupan petani yang semakin termarjinalkan.
1.6
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dan studi lapangan sedangkan data sekunder didapatkan melalui buku, undang-undang, jurnal, artikel dan sebagainya. Penulis akan melakukan wawancara ke instansi terkait dan melakukan studi lapangan ke beberapa kecamatan di Kabupaten Kupang yang menjadi lokasi produksi garam. Data-data yang ingin dicari adalah daftar petani garam di Kupang, kebijakan pemerintah daerah terkait produksi garam, kesulitan yang dihadapi petani garam serta kebijakan apa yang telah diambil oleh pemerintah pusat dan daerah yang didapat melalui petani garam tersebut.
24
1.7
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan akan dibagi kedalam enam bab yakni:
Bab I Pendahuluan: Bagian ini berisikan latar belakang yang terdiri dari hal-hal yang menjadikan isu ini penting untuk dibahas termasuk sejarah Indonesia mengimpor garam, literatur review sebagai evaluasi untuk menjawab rumusan masalah, kerangka pemikiran sebagai alat untuk menganalisis serta argumen penulis terkait isu yang dibahas.
Bab II Liberalisasi Garam di Indonesia: Bagian ini menjelaskan mengenai seluk beluk liberalisasi pasar garam domestik yang terjadi di Indonesia.
Bab III Tekanan Internasional: Bagian ini membahas kebijakan liberalisasi pasar garam domestik yang dibuat untuk memenuhi tekanan internasional melalui keikutsertaan Indonesia dalam WTO, kewajiban untuk melaksanakan mekanisme SAP oleh IMF dan keterlibatan dalam perjanjian-perjanjian FTA.
Bab IV Tarik Menarik Kepentingan di Ranah Nasional: Bagian ini membahas tentang kebijakan liberalisasi pasar garam domestik yang dibuat untuk memenuhi tekanan domestik yang melibatkan aktor birokrat dan juga kelompok kepentingan.
25
Bab V Implikasi terhadap Provinsi Nusa Tenggara Timur: Bagian ini khusus membahas mengenai implikasi dari kebijakan liberalisasi pasar garam domestik yang dibuat untuk memenuhi tekanan internasional dan tekanan domestik bagi Provinsi NTT sebagai salah satu sentra produksi garam di Indonesia.
Bab VI Kesimpulan: Bagian ini berisi kesimpulan berdasarkan analisis dari semua bab diatas serta pembuktian argumen utama yang juga tercantum pada bab ini.
26