METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR ALIHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
OLEH : SAIFUDDIN BIN ASYARI
NIM: 109034000105
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADITS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
METODE DAN CORAK PENAFSIRAN AL-QUR`AN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR AL-IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
SAIFUDDIN BIN ASYARI NIM: 109034000105
Di Bawah Bimbingan:
DR. AHZAMI SAMI’UN JAZULI, M.A NIP: 19620624 20003 1 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi / tesis / disertasi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1/ starata 2/ stara 3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 1 Disember 2010
Saifuddin Asyari
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI a. Padanan Aksara Huruf Huruf Arab Latin ا b ب t ت ts ث j ج h ح kh خ d د dz ذ r ر z ز s س sy ش s ص d ض t ط z ظ ‘ ع gh غ f ف q ق k ك l ل m م n ن w و h هـ ` ء y ي
Keterangan tidak dilambangkan be te te dan es je ha dengan garis di bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik diatas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye
b. Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ ِ ُ
a i u
fathah kasra dammah
Adapun Vokal Rangkap
ix
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ai au
a dan i a dan u
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَـﺎ
â î û
a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas
َ ي َ و c. Vokal Panjang
ــــِــﻲ ــــُـــﻮ
d. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ()ال, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = اﻟﺸﻤﺴﻴﺔal-syamsiyyah, = اﻟﻘﻤﺮﻳﺔal-qamariyyah. e. Tasydîd Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti huruf-huruf samsiyyah. f. Ta Marbûtah Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na‘t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/. g. Huruf Kapital Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = اﻟﺒﺨﺎرal-Bukhâri. i. Singkatan Swt = ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ وﺗﻌﺎﻟﻰ Saw =ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ H = Tahun Hijriah M = Tahun Masehi W = Wafat dkk = dan kawan-kawan t.p. = tanpa penerbit t.tp. = tanpa tempat terbit
x
t.th = tanpa tahun h. = halaman ed. = editor Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan menulis ulang nama penulis, judul buku, dan nomor halaman .
xi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “METODE DAN CORAK PENAFSIRAN ALQUR`AN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TAFSÎR NÛR ALIHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin “UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” pada tanggal 9 Disember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S1) Pada Jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 9 Disember 2010 Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
Muslim, S.Th.I
Anggota
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19600908 198903 1 005
Dr. Ahsin Sakho Muhammad, MA NIP. 19560221 199603 1 001
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA
NIP: 19620624 20003 1 001
iii
KATA PENGANTAR Puji serta syukur kehadrat Ilahi atas seluruh rahmat serta hidayahNya yang telah dilimpahkan kepada hamba dan seluruh umat manusia di dunia. Sungguh hamba hanya insan yang tiada berdaya selain dengan pertolongan Mu ya Rabb, atas izin dan keridhaanMu maka hamba dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Metode Dan Corak Penafsiran Muhammad Said Bin Umar Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân Serta Implementasinya Dalam Penafsiran.” Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah saw. yang memberikan cahaya terang bagi perkembangan Islam di dunia. Tiada hari tanpa hamba mengucap syukur kepadaMu ya Allah, Tuhan penggenggam langit dan bumi yang menguasai hari pembalasan. Tidak ada satu kejadianpun tanpa seizinMu, terima kasih karena telah mengizinkan hari ini terjadi dalam hidup hamba. Amin ya Rabbal âlamin. Jutaan terima kasih kepada: 1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan S1. 2. Negara Republik Indonesia yang telah memberikan izin tinggal. 3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Dr. Bustamin, M.Si, selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Rifqi M. Fathi, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis dan Dr. Edwin Syarif, M.A, mantan Sekretaris Jurusan Tafsir Hadits.
iv
6. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A selaku
Pembimbing,
yang
banyak
meluangkan waktu, tenaga, fikiran, serta tunjuk ajar kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Jutaan terima kasih untuk Bunda tercinta Rahimah binti Abas (mak), dan Ayahanda tersayang Asyari Bin Othman (abah), setiap hembusan nafas kalian adalah doa untuk keberhasilan anakanda, dengan lautan kasih yang takkan pernah surut walaupun kemarau panjang datang melanda. 8. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala motivasi, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang mendorong penulis selama menempuh studi. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin, Akademik Pusat, dan Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 9. Pimpinan dan segenap karyawan perpustakaan-perpustakaan di Indonesia dan perpustakaan-perpustakaan di Malaysia. 10. Terima kasih dan salam sayang penuh kerinduan kepada semua saudara-mara penulis. Arwah aung dan tok serta mey, adik-adik, 11. Dato’ Tuan Guru Hj. Harun Taib selaku pengerusi Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI & Ahli Majlis Mesyuarat KUDQI. Pihak Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah (KUDQI) yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat terutama, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust. Kamaruzaman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun, Ust. Shahari Zulkirnain, Ust. Asmadi, Ust. Khalil, dan seluruh Ustadz dan Ustadzah juga mahasiswa serta adik-adik KUDQI, MPMKUDQI dan HESIS. Sahabat-sahabat Mesir, Turki dan Yaman. Serta warga MDQ, Ayahanda Ust. Rosli, Ust. Zulyadain, Ust. Wan Awang, dan
v
semua tenaga pengajar MDQ serta adik-adik banin dan banat yang berkesempatan dengan penulis. 12. Sahabat-sahabat Malaysia seangkatan dan senior, yaitu Hadi, Sabri, Ukasyah, Ridzuan, Muaz, Zalani, Fawwaz, Ayah Su, Mad Yu, Ust. Azahari, Ridhuan Hamid, Farid, Najmi, Nash, Syuk, Munir, Madan, dan lain-lain. Dan semua sahabiyah Sa, Aminah, Kak Su, Najihah, Azidah, Hajar, dan lain-lain. 13. Sahabat-sahabat Indonesia terutamanya, Iqbal, Adnan, Ruslan, Pak Abbas Sukardi, Hasim, Miftah, Pipit, Kholid Ganteng, Nita, Atie, Saiful Subhan, serta sahabat-sahabat dari fakultas-fakultas yang lain terutamanya Deddy, Iqbal, Erwin, Muhchin, dan Reza. 14. Terakhir, jutaan rasa terima kasih kepada semua individu yang secara tidak langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini. Semoga Allah Subhanaahu wa Ta’ala menjadikan usaha kecil ini sebagai amal yang ikhlas, memberi manfaat yang berterusan, menjadi teman ketika berseorangan di kuburan dan keberkatan untuk kedua orang tua dan umat Islam seluruhnya.
Wama taufiqi Illa billah. Jakarta, 6 November 2010 29 Dzulqa`idah 1431 H
Saifuddin Bin Asyari
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. i LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv DAFTAR ISI ........................................................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... ix BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 7 C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8 D. Tinjauan kepustakaan ..................................................................... 9 E. Metodologi Penelitian .................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD SAID BIN UMAR ................................ 13 A. Latar belakang kehidupan ............................................................... 13 B. Keperibadian ................................................................................... 17 C. Pendidikan ....................................................................................... 18 D. Mazhab akidah dan fikih ................................................................ 19 E. Sumbangan dan Karya-Karyanya ................................................. 20
BAB III
METODE DAN SUMBER PENAFSIRAN AL-QUR`AN DALAM TÂFSÎR NÛR AL-IHSÂN..................................................................... 29 A. Sumber penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr alIhsân ............................................................................................... 29
vii
B. Metode penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr alIhsân ................................................................................................ 43
BAB IV
CORAK PENAFSIRAN, TEMA-TEMA DAN CONTOH-CONTOH PENAFSIRAN DALAM TÂFSÎR NÛR AL-IHSÂN ........................ 50 A. Corak Penafsiran Muhammad Said Umar dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân .......................................................................................................... 50 B. Tema-tema dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân ............................................ 55
BAB V
PENUTUP ........................................................................................... 62 A. Kesimpulan ...................................................................................... 62 B. Saran ................................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 65 LAMPIRAN.............................................................................................................. 68
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Metode dan corak penafsiran merupakan hal penting dalam menggali makna al-Qur`an maupun dapat dipahami dan dipelajari. Makna-makna alQur`an merupakan suatu khazanah agung yang harus digali dengan cara yang sebaiknya. Konsep metode dan corak penafsiran yang jelas bertujuan membebaskan pesan-pesan moral al-Qur’an dari kekeliruan. Hawa nafsu tidak layak berperan dalam penafsiran ini, namun suatu sikap yang loyal untuk menerapkan konsep metode dan corak penafsiran secara benar dapat mencurahkan segenap kemampuan intelektual baik yang menyangkut kaidahkaidah penafsiran maupun bidang-bidang intelektual terkait lainnya. Sudah barang tentu bahwa obyek penafsiran ialah al-Qur`an yang diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi-Nya sebagai rahmat kepada seluruh alam dan petunjuk kepada manusia yang berada dalam kesesatan mencari haluan kehidupan di dunia. Berurutan dari itu, Nabi Muhammad saw menafsirkan alQur`an sebagai penjelasan kepada umat manusia. Bermula dari itu, dapat disingkapi juga kemukjizatan al-Qur`an baik dari susun katanya maupun makna yang dikandungnya. Ia juga diturunkan sebagai syifâ` (obat) bagi manusia yang
1
2
dalam kegelisahan mencari jati diri dalam mengenal tuhannya. Dua mukjizat ini teraplikasikan dalam kepimpinan Nabi Muhammad secara ideal walaupun dijalani dalam tempoh yang singkat yaitu 23 tahun 1 . Fakta historis di atas terjadi karena sikap Rasulullah saw yang senantiasa menafsirkan al-Qur`an jauh dari hawa nafsu yang berdiri di atas kepentingan peribadi atau kelompok tertentu. Bahkan Rasulullah mencegah dari penafsiran al-Qur`an yang berlandaskan hawa nafsu (pemikiran yang tidak dilandasi oleh al-Qur`an, Sunnah, dan sumber-sumber hukum yang lain yang disepakati oleh ulama`), maka yang terjadi ialah kehancuran, keterperukan, sehingga bencana multideminsional terjadi pada kehidupa manusia. Rasulullah telah menegaskan bagaimana konsep metode penafsiran alQur`an yang seharusnya, dalam hadisnya yang diriwayat oleh al-Turmudzi;
ﻋﻦ َ ﻋ َﻮا َﻧ َﺔ َ ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ َأ ُﺑﻮ َ ،ﻲ ﻋﻤ ٍﺮو اﻟ َﻜﻠ ِﺒ ﱢ َ ﺳ َﻮﻳ ُﺪ ِﺑﻦ ُ ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ َ ،ن ِﺑﻦ َو ِآﻴ ٍﻊ ُ ﺳﻔ َﻴﺎ ُ ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ َ ﻲ ِّ ﻦ اﻟ َّﻨ ِﺒ ِﻋ َ ﻋﻨ ُﻬﻤَﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ س َر ٍ ﻋ َّﺒﺎ َ ﻦ ِ ﻋﻦ اﺑ َ ﺟ ِﺒﻴ ٍﺮ َ ﺳ ِﻌﻴ ٍﺪ ِﺑﻦ َ ﻋﻦ َ ﻲ ٍّ ﻋِﻠ َ ﷲ ِ ﻋﺒ ِﺪ إ َ ﻲ َّ ﻋَﻠ َ ب َ ﻋِﻠﻤ ُﺘﻢ َو َﻣﻦ َآ ِﺬ َ ﻋ ِّﻨﻲ إَّﻟﺎ َﻣﺎ َ ﺚ َ ﺤ ِﺪﻳ َ " ا َّﺗ ُﻘﻮا اﻟ: ﺳَّﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَّﻠﻰ ا َ ن ِﺑ َﺮأ ِﻳ ِﻪ َﻓﻠ َﻴ َﺘ َﺒ َّﻮأ َﻣﻘ َﻌ َﺪﻩ ِﻣﻦ ِ ل ِﻓﻲ اﻟ ُﻘﺮأ َ ﻦ اﻟَّﻨﺎ ِر َو َﻣﻦ َﻗﺎ َ ُﻣ َﺘ َﻌ َّﻤ ًﺪا َﻓﻠ َﻴ َﺘ َﺒ َّﻮأ َﻣﻘ َﻌ َﺪ ُﻩ ِﻣ ."اﻟ َّﻨﺎ ِر Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Sufyân bin Wakî’, diceritakan kepada kami Suwaid bin ‘Amr al-Kalbiy, diceritakan kepada kami Abû ‘Awânah dari ‘Abdullah ‘Ali dari Sa’îd bin Jabîr dari Ibn ‘Abbâs ra dari Nabi Muhammad saw: Takutlah kamu terhadap hadis dariKu kecuali apa yang telah kamu ketahui dan barang siapa yang mendustakanKu secara sengaja ia menempatkan dirinya dalam api neraka, dan barang siapa mengatakan sesuatu tentang al-Qur`an dengan pendapat (ra`yu)nya berarti dia telah
1
Yaitu 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah. Ia merupakan masa dakwah Rasulullah saw bersama masa turunnya al-Qur’an.
3
sengaja menempatkan dirinya dalam api neraka. (H.R. alTurmudzi) 2 . Menafsirkan al-Qur`an yang dilandasi oleh pandangan mufassir saja tanpa melibatkan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan penafsiran adalah suatu kesalahan seperti yang dijelaskan oleh al-Dzahabi dalam kitab alTafsîr wa al-Mufassirûn 3 . Walaupun hasil penafsirannya benar, itu merupakan perbuatan yang salah. Mengenai hal ini Rasulullah saw pernah bersabda dalam satu hadis yang diriwayat Abu Dawud:
ق اﻟ َﻤ َﻘ ِّﺮي ِ ﺤﺎ َ ب ِﺑﻦ إﺳ ُ َأﺧ َﺒ َﺮ َﻧﺎ َﻳﻌ ُﻘﻮ،ﺤ َّﻤ ٍﺪ ِﺑﻦ َﻳﺤ َﻴﻰ َ ﷲ ِﺑﻦ ُﻣ ِ ﻋﺒ ُﺪ ا َ ﺣ َّﺪ َﺛ َﻨﺎ َ َأﺧ َﺒ َﺮ َﻧﺎ أ ُﺑﻮ،ﻲ ِّ ﻄ ِﻌ َ ﺣﺰ ٍم اﻟ ُﻘ َ ﺧﻮ ُ ن َأ ٍ ﻞ ِﺑﻦ َﻣﻬ َﺮا ُ ﺳ َﻬﻴ ُ ﺧﺒ َﺮ َﻧﺎ َ َأ،ﻲ ِّ ﺤﻀ َﺮ ِﻣ َ اﻟ ل َ " َﻣﻦ َﻗﺎ: ﺳَّﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَّﻠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ﺳﻮ ُ ل َر َ َﻗﺎ،ل َ ب َﻗﺎ َ ﺟﻨ ُﺪ ُ ﻋﻦ َ ن َ ﻋﻤ َﺮا ِ ."ﻄَﺄ َ ب َﻓ َﻘﺪ َأﺧ َ ﺻﺎ َ ﻞ ِﺑ َﺮأ ِﻳ ِﻪ َﻓﺄ َّ ﺟ َ ﻋ َّﺰ َو َ ﷲ ِ با ِ ِﻓﻲ ِآ َﺘﺎ Artinya; “Diceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Yahya, dikabarkan kepada kami Ya’qûb bin Ishâq alMaqarri, dikabarkan kepada kami Suhail bin Mahrân saudara laki-laki Hazm al-Quta`i, dikabarkan kepada ‘Imrân bin Jundub berkata, Rasulullah saw berkata: Barang siapa mengatakan sesuatu dengan pendapatnya tentang al-Qur`an, kemudian dia benar, maka dia dianggap telah melakukan kesalahan”. (H.R. Abû Dâwûd) 4 . Keberadaan metode dan corak penafsiran berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia dalam merespon gejala-gejala dan problematika dalam kehidupan.
2
Abû ‘Isa Muhammad Bin ‘Isa Bin Saurah, Sunan al-Tirmizi. (Beirut, Dâr al-Fikr), jilid 4, hal. 439, ﺑﺎب ﻣﺎ ﺟﺎء اﻟﺬي ﻳﻔﺴﺮ اﻟﻘﺮأن, Beliau mengatakan hadis ini adalah Hasan. 3
Muhammad Hussein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cairo : Dâr al-Kutub alHadîtsah, 1976) cet ke-21. Jilid I, hal. 265-268. 4
Sulaimân bin Al-Asy'ats al-Sijistani, Sunan Abû Dâwûd, (Beirut: Dâr al-Fikr: 1994), Jilid III, hal. 63-64. آﺘﺎب اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎب اﻟﻜﻼم ﻓﻲ آﺘﺎب اﷲ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ, lafal hadis ini dalam Sunan al-Tirmizi adalah ﻣﻦ ﻗﺎل ﻓﻲ اﻟﻘﺮأن ﺑﺮأﻳﻪ ﻓﺄﺻﺎب ﻓﻘﺪ أﺧﻄﺄ.
4
Pertumbuhan metode dan corak penafsiran al-Qur`an (walaupun tidak disebut sistematikanya) berawal pada masa Rasul, dilanjutkan oleh para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Masa ini merupakan periode awal dalam sejarah penafsiran al-Qur`an, dan berakhir pada tahun 150 H 5 . Metode dan corak penafsiran berkembang pada periode al-tadwîn (pembukuan), pada akhir dinasti Umayyah dan awal Dinasti ‘Abbasiyah 6 , dampak dari gencarnya penerjemahan berbagai bidang ilmu. Pada masa pemerintahan ‘Umar ‘Abdul ‘Azîz inilah sebagai pintu gerbang munculnya berbagai metode dan corak penafsiran al-Qur`an, juga sebagai implikasi dari berkembang
ilmu
pengetahuan
beserta
berbagai
cabang-cabangnya.
Perkembangan metode dan corak penafsiran al-Qur`an dilatarbelakangi oleh perbedaan kecenderungan, interest, motivasi, keilmuan, masa, lingkungan, dari masing-masing mufassir yang tersebut 7 . Dari zaman dahulu hingga kini, terdapat banyak konsep metode dan corak penafsiran yang digunakan oleh mufassir-mufassir dalam menelaah dan meneliti ayat-ayat al-Qur`an untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Seperti Ibnu Katsîr menggunakan metode tahlîli 8 dan manhâj tafsîr
5
M. Quraish Shihab, Membumi al-Quran ; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung; Mizan, 1994) cetakan ke 15, hal. 71. 6
Manna’ Khalîl al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, (Bogor; Pustaka Litera Antarnusa, 1996) cetakan ke -3, hal. 476. 7 8
M. Quraish Shihab, Membumi al-Quran....... hal. 73.
Tahlîli ialah satu metode yang bermaksud menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh aspeknya. Seorangg mufassir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat al-Qur`an secara runtut dari awal hingga akhirnya, dan surat demi surat sesuai dengan urutan mushaf Utsmani. Lihat M. al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), cet. ke-2, hal.41-42.
5
bil ma`tsûr 9 dalam tafsir ketika menguraikan pesan-pesan al-Qur`an. Manakala Sayyid Qutb menggunakan metode tahlîli dan manhâj tafsîr bi al-ra`yi 10 dalam karyanya ketika menguraikan ayat-ayat al-Qur`an, begitu juga konsep-konsep metode dan corak-corak penafsiran yang terdapat pada karya-karya tafsir yang lain yang pembahasannya dilanjutkan dalam skripsi ini. Di bumi Nusantara 11 terdapat banyak karya klasik dan modern dalam lapangan tafsir yang ditulis oleh mufassir-mufassir Melayu yang terkenal. Sejarah perkembangan pesat tafsir di Nusantara terjadi pada abad ke-16 hingga abad ke-19 12 . Sebagaimana di Timur Tengah, masing-masing mufassir di Nusantara juga mempunyai konsep metode dan corak penafsiran. Walau karyakarya tafsir di Nusantara bersumber dari karya-karya tafsir dari Timur Tengah, para mufassir di rantau Nusantara mempunyai corak penafsiran yang sesuai dengan lingkungan dan masa di rantau tersebut. Di antara karya tafsir yang mempunyai nilai bobot tinggi ialah “Tarjumân al-Mustafîd” yang terkenal
9
Menafsir al-Qur`an dengan al-Qur`an, dengan sunnah, dengan perkataan sahabat dan dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar Tabi’in. Karena pada umumnya, mereka menerimanya daripada para sahabat. Lihat “Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an”, Manna’ Khalil alQatthan (Bogor: Pustaka Litera, 2006), hal. 482. 10
Tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra`yu semata. Lihat “Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an”, Manna’ Khalil al-Qatthan ( Bogor: Pustaka Litera, 2006), hal. 488. 11
Istilah "Nusantara" merujuk kepada lingkungan pengaruh kebudayaan dan linguistik orang Melayu yang merangkumi kepulauan Indonesia, Malaysia, Singapura, bahagian paling selatan Thailand, Filipina, Brunei, Timor Timur dan mungkin juga Taiwan, namun ia tidak melibatkan daerah Papua Nugini. Istilah padanan untuk "Nusantara" dalam bahasa Melayu ialah Alam Melayu. Lihat http//:www.wacananusantara.org/. 12
Izza Rahman Nahrawi, “Profil Kajian al-Qur`an Di Nusantara Sebelum Abad Kedua Puluh”. Jurnal al-Huda (jakarata: Islamic Centre Jakarta 2002) Vol II no 6.
6
sebagai “Tafsir Baydawi” oleh Abd al-Rauf Singkel yang merupakan tafsir pertama terlengkap bahasa Melayu (kuno) tertua di Nusantara 13 . Namun di Tanah Melayu 14 terdapat banyak karya klasik dalam bidang tafsir yang dikarang oleh mufassir-mufassir setempat. Kebanyakan karya tafsir al-Qur`ân di rantau ini ditulis secara tidak utuh sebuah mushâf al-Qur`ân, yaitu penafsiran yang tidak melengkapi 30 juz al-Qur`an bermula dari surat al-Fâtihah hingga al-Nâs 15 . Masing-masing mufassir melahirkan karya mereka tersendiri seperti Muhammad Nor Bin Ibrahim melahirkan karyanya Ramuan Rapi Dari Erti Surah al-Kahfi dan Syed Syiekh al-Hadi melahirkan karyanya Tafsîr Surah al-Fâtihah. Penulis memilih salah satu di antara karya-karya tafsir di Nusantara yaitu Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Muhammad Said Bin Umar menjadi judul skripsi ini, karena ia merupakan karya tafsir bahasa Melayu terawal yang lengkap 30 juz yang dihasilkan di Malaysia 16 . Maka, judul yang diberi ialah “METODE DAN CORAK PENAFSIRAN MUHAMMAD SAID BIN UMAR DALAM TÂFSIR NÛR AL-IHSÂN SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PENAFSIRAN”. Penulis akan membahas juga secara ringkas tentang sejarah
13
Mohd. Taib Osman dkk, Tamadun Islam Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2000), hal. 418. 14
Nama “Tanah Melayu” ialah Malaysia sebelum kemerdekaan. Kemudian dinamakan “Persekutuan Tanah Melayu” sempena kemerdekaan negeri tersebut dari kolonial Inggris pada 31 Agustus 1957. Kemudian ditukar namanya menjadi “Malaysia” pada 16 September 1963. Lihat Zulhilmi Paidi dan Rohani Ab. Ghani, Kenegeraan Malaysia :Isu-isu Dalam Pembinaan Negara, (Kuala Lumpur: PTS Publications Sdn. Bhd., 2003), cet. ke-1, hal. 1, 5 dan 12. 15
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, (Pahang: Perpustakaan Negara Malaysia, 2009), cet. 1, hal. 46, dan 55. Mohd. Taib Osman dkk, Tamadun..... hal. 419. 16
Mustaffa Abdullah, Khazanah..........hal. 45 dan 56.
7
penafsiran al-Qur`an di Malaysia yang merupakan latar belakang bagi konsep metode dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân. Dari latar belakang tersebut, penulis berasumsi bahwa pemilihan judul tersebut adalah sebagai berikut : 1. Metode dan corak penafsiran merupakan cara yang sistematis untuk memahami al-Qur`ân dengan berbagai pendekatan dan berbagai kecenderungan, sehingga sistematika dari dua bidang tersebut perlu dikenali, dikaji, dan diaplikasikan agar fungsi al-Qur`ân sebagai Syifâ` (obat) dan Hudan (petunjuk) dapat diraih oleh manusia. 2. Karya yang penulis analisa ini, merupakan salah satu karya yang terkenal di Malaysia, sehingga menganalisa metode dan corak penafsirannya menjadi urgen. 3. Dari survey kepustakaan, metode dan corak penafsiran al-Qur`an dari berbagai kitab tafsir diangkat sebagai judul skripsi 17 , namun metode dan corak penafsiran al-Qur`an dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Muhammad Said Bin Umar belum ada yang menjadikannya sebagai judul skripsi. Maka penulis berinisiatif untuk mengambilnya sebagai judul skripsi.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Membatasi hanya pada metode sumber dan corak penafsiran al-Qur`ân, kemudian membahas biografi pengarang dan membahas sekilas tentang karya tafsir ini. 17
Lihat pada tinjauan kepustakaan proposal ini, hal. 9.
8
Metode penafsiran dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah perkara yang harus dipahami oleh seorang mufassir dan pengkaji sebelum melakukan penafsiran terhadap kandungan karya tersebut. Karena memahami keduanya adalah langkah pertama sebelum memahami seluruh kandungan suatu karya tafsir. Perumusan masalahnya ialah : Apa dan bagaimana metode dan corak penafsiran Muhammad Said Bin Umar dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dan bagaimana implikasi/implimentasinya dalam penafsiran? C. Tujuan Penelitian 1. Membahas metode dan corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân secara detail dan sistematis, sehingga penafsiran-penafsiran yang dibawa oleh Muhammad Said Bin Umar dapat difahami dengan baik, kelebihan dan kekurangannya terlihat jelas. 2. Sumbangan ilmiah dalam memperkayakan khazanah kepustakaan Islam, khususnya bidang tafsir. 3. Melengkapi salah satu pensyaratan pada akhir program S1 Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam meraih gelar S.Th.I.
D. Tinjauan Kepustakaan Untuk melakukan tinjauan kepustakaan, penulis mengkaji buku-buku dan literatur-literatur yang membahas tentang metode penafsiran al-Qur`an. Di antara bahan-bahan kepustakaan yang dimaksudkan ialah “Metodologi Muhammad Said
9
Umar Dalam Tafsir al-Qur`an: Satu Kajian Terhadap Tafsir Nurul Ihsan” oleh Hamza Muhammad @ Hamda 18 , “Sumbangan Tuan Haji Muhammad Said Bin Omar Kepada Ilmu Tafsir al-Qur`an: Tumpuan Khas Kepada Kitab Nurul Ihsan” oleh Najihah Md. Yusof 19 .
E. Metodologi Penilitian Untuk membahas judul ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data.
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan cara penelitian
kepustakaan (Library Research) terhadap sumber-sumber kepustakaan seperti buku-buku, skripsi-skripsi, jurnal-jurnal, dan makalah-makalah. Hanya metode penelitian ini yang sesuai untuk menjalankan penelitian terhadap judul yang dibahas. Yang demikian itu karena pembahasan judul ini hanya membutuhkan kajian dan analisis terhadap sumber-sumber yang tersedia dan tidak membutuhkan kajian dan studi terhadap obyek pembahasan. Obyek penelitian ialah apa metode dan corak penafsiran yang digunakan oleh Muhammad Said Bin Umar dan bagaimana implementasinya dalam karya Tafsîr Nûr al-Ihsân. Penelitian yang akan dilakukan terhadap karya ini adalah secara keseluruhan baik dari filologi dan kandungannya. Tinjauan akan dilakukan terhadap sumber-sumber primer dan sumbersumber sekunder. Sumber primer adalah “Tafsîr Nûr al-Ihsân”. Di antara sumber-sumber skunder ialah “Khazanah Tafsir Di Malaysia”, “Metodologi Ilmu 18
Tesis prodi S2 Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian Islam, Universitas Malaya, Malaysia. 19
Malaysia.
Tugasan Ilmiyyah, Fakultas Ushuluddin, Akademi Islam, Universitas Malaya,
10
Tafsir”, dan “Metodologi Tafsir: Kajian Komprohensif Metode Para Ahli Tafsir”. Didukung oleh beberapa literatur baik berupa buku, artikel, surat kabar, majalah, jurnal dan lainnya yang berhubungan dengan pembahasan. Maka penulis melakukan pembacaan dan melakukan analisis terhadap konsep metode dan corak penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dan sejarah penafsiran yang melatar belakanginya. Untuk teknik penulisannya, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang disusun oleh Tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan UIN Press cet.1 Jan-2007 M/ 1427 H.
F. Sistematika Penulisan Sebagai karya ilmiah, maka penulisan skripsi ini akan disusun secara sistematis. Adapun sistematika penulisan skripsi adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penilitian, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua adalah berkait biografi Muhammad Said Bin Umar yang merangkumi latar belakang kehidupannya, keperibadian, pendidikan, mazhab akidah dan fikih dan sumbangan serta karya-karyanya. Bab ketiga ialah pembahasan tentang metode dan sumber penafsiran alQur`an dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Pembahasan metode dan sumber penafsiran al-Qur`an harus ditekan sebelum melanjutkan penulisan dan pembacaan bab-bab seterusnya dalam skripsi ini supaya judul skripsi dapat dipahami secara jelas.
11
Bab keempat akan membahas corak penafsiran Syiekh Muhammad Said Bin Umar dalam karyanya Tafsîr Nûr al-Ihsân. Pembahasan bab ini juga merangkumi tema-tema yang diketengahkan oleh Syiekh Muhammad Said Bin Umar dalam karyanya. Penulis turut memberi beberapa contoh penafsiran dalam karya tersebut yang diaplikasi oleh Muhammad Said Bin Umar dari metode dan corak penafsirannya supaya pembahasan ini dapat dipahami secara jelas. Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saransaran.
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD SAID BIN UMAR
A.
Latar Belakang Kehidupan Nama penuh beliau ialah Muhammad Said bin Umar Khatib bin Aminuddin bin
Abdul Karim. Beliau terlahir pada tahun 1854 M. bersamaan 1275 H. di Kampung Kuar, Jerlun, Kedah 1 . Para pengkaji tafsir dan para pengkaji sejarah Malaysia tidak dapat menentukan tanggal sebenar kelahiran beliau karena tidak terdapat sumbersumber yang utuh mengenai kelahirannya, maka tidak terdapat info yang lengkap tentang kelahirannya. Oleh karena terlahir sebagai anak Kedah maka julukan yang diberi kepada ialah al-Qadahî seperti yang tercatat pada penutup tafsirnya pada jilid terakhir 2 . Beliau dibesarkan bersama seorang saudara laki-lakinya dalam lingkungan keluarga yang amat religius dan mendapat didikan agama langsung daripada bapanya yaitu Haji Umar Khatib 3 . Beliau termasuk di antara 25 tokoh tafsir Malaysia yang tercatat di dalam buku Khazanah Tafsir Di Malaysia yang membahas tentang biografi, sumbangan, dan metode mereka dalam penafsiran 4 . 1
Salah satu dari tiga negeri bagian yang terletak di utara Malaysia. Lihat http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Kedah, diakses pada 15 Feb 2010, 16.10 WIB. 2
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân, (Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1956), cet. ke3, jilid ke-4, hal. 311. 3
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, (Pahang: Perpustakaan Negara Malaysia, 2009), cet. Ke-1, hal. 52. Persatuan Keluarga Haji Muhammad Saaid, di http//:www.saaid.org.my, 20 Feb 2010, 11.30 WIB. 4
Mustaffa Abdullah, Khazanah.....hal. 46.
12
13
25 orang tokoh yang tersebut dalam Khazanah Tafsir Di Malaysia adalah: 1. Abdul Malik Abdullah 2. Muhammad Said bin Umar 3. Syed Syiekh al-Hadi 4. Uthman bin Muhammad 5. Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi 6. Abu Bakar al-Ashaari 7. Abdul Aziz bin Abdul Salam 8. Muhammad Nor bin Ibrahim 9. Maulana Abdullah Noh 10. Abdullah Abbas Nasution 11. Abdullah Basmeih 12. Mustafa Abdul Rahman Mahmud 13. Nik Muhammad Adeeb 14. Nik Muhammad Salleh Wan Musa 15. Yusof bin Abdullah al-Rawi 16. Yusoff Zaky Yacob 17. Nik Abdul Aziz bin Nik Mat 18. Abdullah al-Qari bin Salleh 19. Pauzi Awang 20. Zainuddin bin Idris 21. Abdul Hayei Abdul Sukor 22. Abdul Hadi Awang 23. Wan Ahmad Wan Ali (Abu Lukman)
14
24. Muhammad bin Abdul Latif 25. Abu Zaky Fadzil 26. Abdullah ar-Rahmat Bapaknya ialah Haji Umar Bin Aminuddin. Ia merupakan seorang alim yang terkenal dengan julukan ‘Khatib’ karena mempunyai ketokohan dalam memberi ucapan dan menyampaikan khutbah di khalayak ramai. Ketika hayatnya, itulah pekerjaan yang dilakukan sebagai satu sumbangan terhadap masyarakat dalam menegakkan syariat Islam 5 . Bahkan, bapaknya merupakan seorang yang amat cenderung kepada membesarkan anak-anaknya dalam lingkungan Islam dan memberi bimbingan agama kepada mereka sehingga bimbingan tersebut terkesan secara jelas pada peribadi Muhammad Said 6 . Bahkan, beliau juga mempunyai sifat-sifat yang sama seperti sifat-sifat bapanya yang amat cenderung kepada agama dan melakukan apa yang telah dilakukan oleh bapanya. Walau berasal dari Kedah, Muhammad Said telah melanjutkan pengajian ke beberapa tempat di antaranya Changkat, Krian di Perak 7 dan yang terakhirnya Sungai Acheh, yang sekarang ini dikenali dengan nama Kampung Kedah di Perak. Selepas berada di perantauan dalam tempoh yang lama, beliau pulang semula ke Kedah pada 1312H bersamaan 1891M dan ketika itu beliau berumur 37 tahun. Demi menuntut ilmu, beliau merantau lagi ke luar negeri seperti Pattani di selatan Thailand dan Mekah. Semasa menetap di Mekah, beliau memiliki sebidang tanah yang berada dekat 5
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan: Satu Analisis, (tesis untuk prodi S2 Fakulti Pengajian Islam di Universiti Kebangsaan Malaysia, 2001), hal. 17. 6 7
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir...... hal. 52.
Salah satu dari tiga negeri bagian yang terletak di utara Malaysia, tetangga daripada Kedah di bagian selatan. Lihat http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Perak, diakses pada 15 Feb 2010, 16.33 WIB.
15
daripada Masjid al-Haram tetapi kemudian tanah itu dibeli oleh Pemerintah Arab Saudi dengan harga yang mahal. Maka bisa diandaikan bahwa beliau telah menetap di Mekah dalam masa yang lama sehingga bisa memiliki sebidang tanah 8 . Ketika berada di Changkat, beliau membuka sebuah pondok pesantren dan mengajar di pesantren tersebut. Di sana beliau telah menikahi isteri pertamanya yang bernama Fatimah dan hasil pernikahan keduanya, mereka telah dikaruniakan tiga putra. Putra-putra mereka ialah Haji Mahmud, Haji Muhammad, dan Haji Ahmad 9 . Isteri pertama beliau meninggal dunia dalam usia yang masih muda 10 . Selepas kematian isteri pertama, beliau menikahi isteri keduanya yang bernama Hajah Rahmah yang berasal dari Pulau Mertajam, Pulau Pinang (Penang) dan dikarunia dua putra dan dua putri. Putra-putranya itu adalah Abdul Hamid dan Haji Omar. Manakala kedua putrinya adalah Sofiah dan Fatimah 11 . Kemudian beliau berhijrah ke Kampung Kedah di Sungai Acheh, Perak akibat serangan siam terhadap Kedah. Ketika menetap di kampung tersebut, beliau mengajar dan mengerjakan sawah padi sebagai pekerjaannya. Di sana juga beliau menikahi isteri ketiganya yaitu Hajah Hamidah dan dikarunia 10 orang anak 12 terdiri dari tujuh putra dan tiga putri. Mereka adalah Haji Mustaffa, Haji Kassim, Cik Hassan, Haji Mohd Akib, Haji Hussain, Hajah Asma, Hajah Mariam, Siti Hajar, Haji Mansor, dan Haji Nasir 13 . 8
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir...... hal. 52.
9
Persatuan Keluarga Haji Muhammad Saaid, di http//:www.saaid.org.my.
10 11 12 13
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 53. Ibid. Ibid. Ibid. Persatuan Keluarga.........org.my.
16
Semasa menetap di Kampung Kedah ini, beliau didatangi oleh utusan daripada pihak Tengku Mahmud yang meminta beliau supaya pulang semula ke Kedah. Demi memenuhi permintaan daripada Baginda, beliau pulang ke Kedah dan diberi sebidang tanah di Kanchut 14 . Tengku Mahmud merupakan salah seorang pegawai pemerintah yang mendukung Muhammad Said supaya mengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân seperti yang dijelaskan pada penutup karyanya itu 15 . Setelah menetap di Kedah, beliau diberi jabatan ‘Guru Diraja’ untuk mengajar anak-anak raja dan di antara mata pelajaran yang diajar adalah Tafsîr al-Qur`ân. Sementara itu, beliau juga diberi jabatan sebagai qadi di Jitra yaitu pusat pemerintahan Kedah. Oleh karena diberi jabatan tersebut, beliau diberi jolokan Haji Said Mufti tidak lama kemudian 16 . Di samping jabatannya sebagai qadi, beliau juga menjalankan kegiatan menyebarkan risalah Islam dengan mengajar di masjid dan surau di sekitar Jitra 17 . Sehingga berumur 75 tahun, Muhammad Said masih menjabat sebagai qadi. Pada penghujung karirnya sebagai qadi, beliau menghidap sakit lenguh badan yang menyebabkan beliau terpaksa menjalani operasi. Setelah kondisinya semakin sehat, beliau dibawa kepada isteri keduanya, Hajah Rahmah di Jitra. Selepas melewati beberapa hari di Jitra, beliau dibawa kepada isteri ketiganya, Hajah Hamidah di Kanchut. Di sana beliau meninggal dunia dan kewafatannya tercatat pada hari Rabu, selepas masuk waktu Asar tanggal 22 Dzulka`idah 1350 H. bersamaan 9 Maret 1932
14
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 53. Farid Mat Zin, Islam Di Tanah Melayu Abad Ke-19, (Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007), cet. ke-1, hal. 139. 15
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 311.
16
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54.
17
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
17
M. di usia 78 tahun. Jenazah beliau disemadikan di Masjid Alor Merah, Alor Star, Kedah 18 .
B. Keperibadian Muhammad Said merupakan seorang yang tegas. Beliau memandang secara serius terhadap pengetahuan dan pendidikan agama. Pandangan beliau itu bisa dilihat pada perbuatannya yang senantiasa mendidik anak-anaknya membaca dan menghafaz pada setiap malam sebelum waktu tidur. Beliau juga adalah seorang yang menekan soal agama dan pendidikan. Beliau telah menyediakan keuangan untuk mengantar anak-anaknya ke tempat-tempat pengajian agama supaya mereka mendapat pendidikan yang terbaik, terutama putra-putranya yang telah diantar ke Mekah. Maka oleh karena itu, kebanyakan anak-anaknya berhasil menguasai bahasa Arab. Segala usaha Beliau tidak saja percuma, bahkan anak-anaknya pulang ke tanah air dengan membawa keberhasilan mereka dan seterusnya berbakti kepada negeri mereka dengan menjadi guru 19 . Pada masa yang sama, Muhammad Said merupakan sosok individu yang terkenal dengan sifat pendiam. Dengan sifatnya itu, maka anak-anaknya dan masyarakat lokal menghormatinya. Walau sibuk dengan tugasan harian, beliau senantiasa meluangkan masa untuk membaca serta menelaah buku-buku. Beliau mempunyai prinsip tersendiri dan melakukan setiap perkara berdasarkan syari`at. Ketinggian ilmunya telah menjadikan beliau terkenal dengan julukan ‘Tok Lebai’ dan
18
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54.
19
Ibid, hal. 55.
18
‘Penulis dan Guru Tafsir Quran’ 20 . Panggilan yang paling tepat untuk beliau ialah ‘Guru Tafsir’ kerana merujuk kepada sumbangannya yang begitu besar dilakukan oleh beliau yaitu dengan wujudnya Tafsîr Nûr al-Ihsân dalam Bahasa Melayu yang boleh didapati di toko-toko buku. Karya beliau mendapat perhatian yang besar daripada masyarakat Melayu di Malaysia sehingga ia telah dicetak berulang-ulang bagi mencukupi permintaan yang banyak 21 . Jika disebut nama beliau, pasti mengenali tubuh dan peribadinya itu adalah mesti, terutama di kalangan ulama’ Malaysia dan Thailand.
C. Pendidikan Pendidikan awal yang diterima oleh Muhammad Said sejak kecil ialah daripada bapaknya Haji Umar Khatib dan keluarganya. Lingkungan keluarganya turut berperan membentuk peribadinya yang murni dengan Islam. Tidak cukup dengan pendidikan daripada bapaknya, beliau turut menuntut ilmu di pesantren-pesantren. Menurut Wan Mohd Shaghir, ada riwayat yang menyebut bahwa Muhammad Said pernah belajar di pondok Bendang Daya, Pattani. Beliau sempat belajar daripada pengasas pesantren tersebut yaitu Syiekh Haji Wan Mustafa al-Fatani atau Tok Wan Pa 22 , yang lebih terkenal sebagai Tok Bendang Daya Pertama. Tetapi beliau lebih banyak berguru dengan Syiekh Wan Abdul Qadir Bin Wan Mustafa al-Fatani 23 (1820an-1895) yang
20 21
Ibid. Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 17.
22
Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama Besar Dari Fatâni, (Kota Bharu: Majlis Agama Islam Dan Adat Istiadat Melayu Kelantan (MAIK), 2009), Edisi ke-2, hal. 321. 23
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. Lihat juga Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama........hal. 322.
19
terkenal sebagai Tok Bendang Kedua, yang merupakan putra daripada Tok Bendang Pertama yang meneruskan citra pengajian pesantren warisan al-marhum bapaknya. Maka berdasarkan riwayat ini, bererti bahwa Muhammad Said adalah rekan seguru dari Haji Ismail Bin Mustafa al-Fatani (1873-1948) 24 atau terkenal dengan jolokan di Kedah sebagai Cik Doi atau Cik Dol 25 , yaitu bapa dari Kiai Haji Hussein Cik Doi 26 . Haji Ismail merupakan seorang alim dari Pattani yang menempa nama di Kedah dan pernah membantu Haji Awang 27 mengajar di pesantren beliau di Tualang di negeri tersebut. Dapat disimpulkan juga bahwa Muhammad Said juga pernah menjadi rekan seguru daripada beberapa tokoh ulama’ dari Pattani yang berguru daripada Tok Bendang Daya Kedua seperti Tok Kelaba, Tok Jakir, Haji Abdul Rasyid Bandar, dan Tok Titi, Haji Muhammad Syah Sayok dan lain-lain 28 . Tidak terdapat info-info yang konkrit dari hasil-hasil kajian dan penelitian tentang pengajiannya di tingkatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Maka pembahasan tentang latar belakang pendidikan Muhammad Said tidak mungkin bisa dijelaskan secara detil. Tetapi kebanyakan para penyelidik dan penulis sejarah hidup beliau menyebut bahwa beliau pernah melanjutkan pengajian tinggi ke Mekah. Infoinfo lengkap tentang tahun dan periode pengajiannya di Mekah juga tidak tertemukan dari sumber-sumber di atas 29 .
24
Ibid, hal. 356.
25
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54. Julukan Haji Mustafa al- Fatâni yang tepat ialah Cik Dol, lihat Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama........hal. 356. 26
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal 54.
27
Haji Awang adalah seorang alim, terlahir di Kedah. Lihat Ahmad Fathi al-Fatâni, Ulama........hal. 357. 28
Ibid, hal. 322.
29
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal. 55.
20
D. Mazhab Akidah dan Fikih Muhammad Said telah dikenali sebagai cendikiawan Sunni. Walau tidak terdapat sumber tentang pegangannya dengan mazhab tersebut, namun ia dapat dilihat dari penafsirannya seperti yang telah dijelaskan. Sementara itu, beliau telah mencatat pada penutup karyanya bahwa dirinya adalah seorang yang bermazhab al-Syâfi’iyah 30 dan pengikut Tariqat al-Naqsyabandiyah al-Ahmadiah 31 . Kecenderungan beliau terhadap mazhab-mazhab tersebut bisa ditemukan pada corak penafsiran beliau yang menjelaskan suatu masalah fikih dengan pandangan empat mazhab fiqh yang mu’tabar terutamanya al-Syâfi’iyah. Beliau juga menafsirkan ayat-ayat yang menyentuh tema ibadah dan hukum-hukum dengan pendekatan yang terdapat dalam tafsir fiqhi 32 . Contoh penafsiran yang penulis ingin kemukakan untuk membuktikan pernyataan ini ialah penafsiran Muhammad Said terhadap surat al-Mâ’uûn ayat 4 dan 5:
(ن َ ﺻﻠَﺎ ِﺗﻬِﻢ ﺳَﺎهُﻮ َ ﻦ هُﻢ ﻋَﻦ َ ﻦ اﱠﻟﺬِﻳ َ ﺼﻠﱢﻴ َ )ﻓَﻮَﻳﻞٌ ﻟِﻠ َﻤ “Maka bermula sangat azab atau sangat jahat atau padang dalam neraka itu disedia bagi segala orang yang sembahyang yang ada mereka itu daripada sembahyang mereka itu lupa lalai ta`khîr daripada waktu kata Ibn ‘Abbas ini sifat orang munafiq sembahyang hadapan orang sahaja istimewa hadapan orang pun tiada sembahyang menunjuk tiada iman adapun orang mukminin maka ia sembahyang 30
Al-Syâfi’iyah adalah satu aliran fikih Islam, yang disandarkan kepada Abû ‘Abdillah Muhammad Bin Idrîs, tokoh fikih Islam pada periode akhir abad pertama dan awal kedua Hijrah. Lihat Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al-Syarbînî al-Khatîb, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâz Abî Syujâ’, (Damsyiq: Maktabah Dâr al-Khair, 2002), hal. 10-11. 31
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 311. Tarekat alNaqsyabandiyah al-Ahmadiah merupakan satu gerakan sufi yang disampaikan oleh generasi kepada generasi selepasnya secara periwayatan. Ia berkembang luas di rantau Nusantara. Gerakan tersebut berasal dari Bukhara dan dinasabkan kepada pengasasnya Muhammad Baha al-Din al-Naqshabandi. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Naqshbandi. 32
Tafsir Fiqhi yaitu karya tafsir yang pembahasannya berorientasi pada masalah-masalah hukum Islam. Lihat Abd al-Hayy al-Farmâwi, Muqaddimah fî al-Tafsîr al-Maudu’i, (Beirut: Dâr al‘Ilm, 1977), hal. 27.
21
ia di hadapan orang dan di belakang dan qada` yang lupa lalai dan sujûd sahwi 33 ”. Adapun contoh penafsiran beliau terhadap ayat-ayat al-Qur`an dengan pendekatan sûfi 34 bisa dilihat pada contoh yang dikemukakan ini, yaitu penafsirannya terhadap surat al-Mâ`idah ayat 35:
(Suruh orang mukmin dengan taqwa dan wasîlah) (ﷲ َ ﻦ ﺁ َﻣ ُﻨﻮا ا ﱠﺗ ُﻘﻮا ا َ ) َﻳﺎ أ ﱡﻳ َﻬﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ Hai segala orang mukmin takut oleh kamu akan Allah pada tiap-tiap yang dikerja dan yang ditinggal.
()وَاﺑﺘَﻐُﻮا إﻟَﻴ ِﻪ اﻟ َﻮﺳِﻴَﻠ َﺔ Dan tuntut oleh kamu kepadaNya akan wasîlah perhubungan yang menghampirkan diri kepada Allah maka zikrullah dengan lidah dan hati yang dinama murâqabah dan musyâhadah dan dawâm al-hudûr dan baca Qur`an dan selawat dan doa dan sekalian bagi taat kebajikan sunat itu wasîlah hamba kepada Allah Taala yang boleh jadi dirinya hampir kepada Allah dan kekasih Allah maka dengan wasîlah itu maka boleh jadi pendengaran Allah pendengarannya dan penglihatan Allah penglihatannya dan tangannya dan langkahnya dan tamparnya Allahu Akbar maka wasîlah pada Allah seperti persembahan pada raja-raja.
(ن َ ﷲ َﻟ َﻌﱠﻠﻜُﻢ ﺗُﻔِﻠﺤُﻮ ِ ﻞا ِ ﺳﺒِﻴ َ ) َوﺟَﺎ ِهﺪُوا ﻓِﻲ Dan bersungguh-sungguh oleh kamu pada meninggi agamaNya dengan perang seterunya yang nyata dan yang sembunyi kafir munafik mudah-mudahan kamu dapat kemenangan kamu dan lepas dari neraka 35 .
33
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 303.
34
Tafsir al-Sûfi identik dengan tafsir al-isyâri, yaitu suatu metode penafsiran al-Qur`an yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris. Penafsir yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan moral batin dibandingkan masalah zahir dan nyata. Lihat M. Al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yoyakarta: Teras, 2005), cet. 2, hal. 44. 35
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-1, hal. 222 dan 223.
22
E. Sumbangan Dan Karya Sumbangan Muhammad Said dalam bidang tafsir yang dinukil di dalam karya ialah Tafsîr Nûr al-Ihsân. Beliau terkenal sebagai seorang yang aktif menyebarkan risalah Islam dan mengajar di masjid-masjid. Walau kehidupannya dipenuhi dengan kesibukan sebagai qadi serta partisipasinya bersama masyarakat, beliau masih sempat mengarang sebuah lagi karya yang dinamakan “Fatwa Kedah”. Minat beliau terhadap bidang penulisan bertambah selepas mendapat galakan daripada sultan (raja) Kedah yaitu Sultan Abdul Hamid 36 yang menjadi pendukung utama beliau untuk meneruskan karyanya 37 . 1. Fatwa Kedah Kitab Fatwa ini merupakan karya kedua Muhammad Said yang dinukilkan dan masih wujud. Ia mengandungi fatwa-fatwa yang membahaskan hukum pernikahan dan perceraian. Asalnya, buku ini diserahkan kepada setiap imam di masjid-masjid di Kedah sebagai rujukan dan pedoman mereka untuk membantu dalam penyelesaian masalah-masalah masyarakat berkaitan perkara-perkara tersebut diatas. Kini, Fatwa Kedah sudah tidak digunakan lagi dan masih tersimpan di Perkantoran Mufti Kedah 38 dan tidak diizinkan lagi untuk mencetaknya 39 .
2. Tafsîr Nûr al-Ihsân
36
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
37
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 55-56.
38
Lihat footnote “Fatwa Kedah”, Ibid, hal. 62.
39
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 18.
23
Tafsîr Nûr al-Ihsân merupakan karya pertama Muhammad Said Umar dan karya tafsir pertama yang melengkapi 30 juz al-Qur`an 40 , yang telah dihasilkan pada abad ke-20 41 yaitu pada tahun 1934 M. bersamaan tahun 1346 H. 42 . Ia ditulis dalam tiga jilid atau tersebut sebagai penggal, merupakan karya tafsir tahlîli 43 yang ringkas dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab-Melayu dan digunakan secara meluas di pondok-pondok pesantren di Kedah 44 . Berdasarkan catitan pengarang pada penutup karyanya beliau menyatakan bahwa tempoh penulisan karya ini bermula pada bulan Dzulhijjah tahun 1344 H., yaitu bersamaan bulan Januari tahun 1925 M. Kemudian berhasil diselesaikan pada 1 Rabi’ulawal tahun 1346 H. bersamaan 1 Oktober 1927 M. 45 . Manuskrip tulisan tangan karya tafsir ini masih wujud tersimpan di rumah warisnya, Haji Abdul Hamid Bin Haji Ahmad di Tikam Batu, Sungai Petani, Kedah 46 . Kemunculan karya tafsir ini merupakan sinar baru untuk bidang tafsir di Malaysia dan mata rantai yang meneruskan jalur sejarah tafsir al-Qur`an di Semenanjung Tanah Melayu setelah melewati zaman kegelapan selama 3 abad yaitu bermula dari abad ke-17 lagi hingga abad ke-19 Masihi. Bidang tafsir di Malaysia 40
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir.......hal. 55.
41
Yaitu selepas tahun 1909M. Ibid, hal. 45.
42
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-4, hal. 311.
43
Metode tahlîli berarti menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan antar pemisah (munâsabât) sampai sisi keterkaitan antarpemisah itu (wajh al-munâsabât) dengan bantuan asbâb al-nuzûl, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw, sahabat, dan tab’in. Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, Bandung: Pustaka Setia, 2002, cet. ke-1, hal. 23-24. 44
Mohd Nazri Ahmad, Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir, (Kuala Lumpur: Utusan Publication & Disributors Sdn. Bhd., 2007), cet. ke-1, hal. 138. 45
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-4, hal. 311.
46
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 56.
24
diwarnai dengan partisipasi beberapa tokoh ulama tempatan, terdapat tulisan-tulisan yang dihasilkan tetapi tidak dicetak. Oleh karena karya-karya tersebut tidak dicetak, kebanyakannya telah hilang dan tidak bisa ditemukan manuskripnya 47 . Tokoh yang pertama berpartisipasi dalam bidang tafsir ini adalah Syeikh Abdul Malik atau Tok Pulau Manis 48 dengan menyalin Tarjumân al-Mustafîd karya Abdul Rauf al-Singkeli, yang merupakan karya tafsir pertama yang dihasilkan di Nusantara. Beliau melakukan demikian untuk mengajarkannya kepada masyarakat Melayu yang berada di Semenanjung Tanah Melayu terutama di Terengganu 49 , beliau turut membuka sebuah pesantren untuk pengajian Islam yang berdasarkan sistem pengajian pondok yaitu Pondok Pesantren Pulau Manis. Usahanya telah diberkahi Allah, beliau berjaya melahirkan ramai murid melalui insitusi pengajian pondok pesantren tersebut 50 . Namun apa yang menyedihkan ialah bahwa manuskrip salinan karya itu telah hilang 51 . Usaha kedua dilakukan untuk menulis karya tafsir oleh sekelompok penafsir yang diketuai oleh Mohamad Yusof Ahmad atau Tok Kenali 52 , dengan menterjemahkan karya-karya ulama’ tafsir klasik seperti Tafsir al-Khâzin dan Tafsîr Ibn Katsîr. Karya-karya ini belum siap penulisannya dan masih tidak berkesempatan 47
Ibid, hal. 45.
48
Abdul Malik merupakan tokoh yang mendirikan pendidikan secara sistematik pada abad ke17. Beliau terlahir pada 1650-an di Hulu Terengganu, Terengganu, Malaysia, berasal dari keturunan seorang pendakwah dari Baghdad yang bernama Syarif Mohamad. Pernah menjabat sebagai salah seorang ulama’ istana dari Sultan Zainal Abidin I (1725-1734 M.). Beliau terkenal sebagai tokoh perkembangan tafsir di Malaysia dengan menyalin Tarjumân al-Mustafîd. Lihat Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......,hal. 47. 49
Ibid, hal. 47.
50
Ibid, hal. 49.
51
Ibid, hal. 45.
52
Seorang kiai dan tokoh ulama’ yang terkenal, berasal dari Kelantan. Ismail Che Daud, Tokoh-tokoh Ulama’ Semenanjung Melayu, (Kelantan: Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan, 1992) , jilid 1, hal. 191-192.
25
dicetak. Manuskrip karya-karya ini juga hilang seperti hilangnya karya-karya sebelumnya 53 . Kemunculan Tafsîr Nûr al-Ihsân telah membuka pintu harapan baru bagi perkembangan bidang tafsir di Malaysia. Jejak Tuan Haji Muhammad Said telah diikuti oleh beberapa penafsir lain seperti Syed Syeikh al-Hadi, Haji Osman Muhammad, Syeikh Abu Bakar al-Asha’ari, Maulana Abdullah Nuh dan lain-lain penafsir. Di samping itu, terdapat juga usaha yang dilakukan untuk menerjemah karya-karya tafsir Arab seperti yang telah dilakukan oleh Dato’ Yusoff Zaky Yacob yang terkenal dengan karya terjemahannya Tafsir Fi Zilal al-Qur`an – Di Bawah Bayangan al-Qur`an. Sejak dari ketika itu, ada beberapa pihak yang memberi perhatian dalam memelihara ilmu tafsir dengan menulis semula kuliah-kuliah tafsir yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tafsir seperti Nik Abdul Aziz Nik Mat dan Abdul Hadi Awang. Terdapat juga penafsir-penafsir yang menyumbangkan dan menyampaikan pemikiran mereka dalam ilmu ini melalui tafsiran tematik dan tafsiran terhadap beberapa surat al-Qur`an, di antara mereka ialah al-Qari Haji Salleh, Abi Lukman, dan Abu Zaki Fadzil54 . Tafsîr Nûr al-Ihsân disusun oleh pengarangnya dalam empat jilid dan setiap jilid mengandungi kelompok yang terdiri dari surat-surat al-Qur`an. Jilid pertama mengandungi Surat al-Fâtihah hingga Surat al-Mâ`idah. Jilid kedua mengandungi Surat al-An’aâm hingga Surat Hûd. Jilid ketiga mengandungi Surat al-Kahfi hingga Surat al-Zumar. Dan jilid keempat mengandungi Surat al-Mu’min hingga Surat alNâs. 53
Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir......, hal. 45.
54
Ibid, hal. 46.
26
Tafsîr Nûr al-Ihsân telah dimulakan cetakan pertamanya pada tahun 1934 M. di Mekah dan cetakan keduanya pada tahun 1936 M. di Pulau Pinang (Penang) selepas diberi keizinan oleh pihak pemerintah Kedah. Cetakan ketiganya pada tahun 1391 H. bersamaan tahun 1970 M. oleh Percetakan al-Maarif Sdn. Bhd. Dan jilid pertamanya dicetak bersama Maktabah wa Matba’ah Muhammad al-Nahdi wa Awlâdihi. Sementara itu, terdapat juga cetakan yang diterbitkan oleh Dâr al-Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyah, Mesir pada tahun 1976 M. 55 . Namun, setiap percetakan Tafsîr Nûr al-Ihsân harus mendapat keizinan daripada kerabat Tuan Haji Muhammad Said dan semua perusahaan tersebut di atas telah mendapat keizinan tersebut. Tanda keizinan tersebut bisa dilihat pada setiap halaman (i) pada setiap jilid karya tersebut 56 . Penulis berkesimpulan bahwa cetakan pertama dan kedua karya ini mendapat sambutan dan mendapat perhatian bagi mereka yang ingin mendalami tafsir AlQuran bukan sahaja di kalangan masyarakat Islam di Tanah Melayu malah ia juga dipelajari oleh umat Islam di negara tetangga yaitu Thailand 57 . Oleh karena itu, banyak perusahaan percetakan yang berusaha menerbitkan cetakan ketiga karya tersebut untuk memenuhi permintaan yang banyak, dan masih bisa ditemukan lagi cetakan daripada beberapa perusahaan penerbitan lain di Thailand yang seperti Matba’ah Bin Halâbi, Pattani dalam empat jilid. Cetakan daripada perusahaan terakhir ini merupakan satunya referensi bagi penulis melakukan penelitian untuk menyusun skripsi ini. 55
Ibid, hal. 56.
56
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid ke-1,2,3,4, hal. i.
57
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir........ hal. 19.
27
berdasarkan kajian penulis, Tafsîr Nûr al-Ihsân masih diajar di pesantrenpesantren dan pusat-pusat pengajian Islam di Malaysia dan Thailand sehingga kini, terutama di Kedah, Kelantan, Terengganu dan wilayah-wilayah Selatan Thailand yaitu Pattani, Yala dan Songkhla. Terdapat juga masjid-masjid yang menjadikan karya ini salah satu karya tafsir yang diajar kepada jemaah yang hadir dalam rutin kuliah mingguan. 2.1.
Al-Isrâ`iliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân Tafsîr Nûr al-Ihsân juga tidak terlepas dari satu isu yang mengenainya
sehingga ramai penyelidik membuat kritikan terhadap karya ini. Isu yang dikatakan itu ialah masuknya riwayat-riwayat al-Isrâiliyyât 58 dalam tafsir tersebut. Tetapi tiap riwayat Isrâiliyyât yang dikemukakan tidak dibuat kritikan dan penjelasan. Riwayat-riwayat Isrâiliyyât terdapat di dalam tafsir tersebut hanya dalam bilangan yang sedikit jika dibanding dengan Tarjumân al-Mustafîd 59 . Penyelidik-penyelidik telah membuat analisis terhadap al-Isrâiliyyât yang terdapat di dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân di dalam hasil-hasil penelitian mereka. Hasilhasil penelitian tersebut bisa ditemukan di Universitas Malaya (UM) dan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di antara sumber-sumber tersebut yang membahas kemasukan riwayat-riwayat Isrâiliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân ialah hasil penulisan Muhammad Ismi Mat Taib berjudul “Israiliyyat Dalam Tafsir: 58
Menurut al-Dzahabi, isrâiliyyât mengandung dua pengertian yaitu, pertama: kisah dan dongeng yang disusupkan dalam, tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Kedua: cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama. Lihat Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Israilyyat fit-Tafsiri wa al-Hadits, terjemahan Didin Hafiduddin (Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993), h. 9-10. 59
Abdul Majid Jaafar, Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith, (Selangor: Pustaka Haji Abdul Majid, 2007), hal. 7.
28
Kajian Terhadap Tafsir Nur al-Ihsan, Karya Haji Muhammad Said Bin Umar” 60 , hasil kajian Mazlan Ibrahim yaitu “Israiliyyat Dalam Kitab Tafsir Melayu “Tafsir Nur al-Ihsan”: Satu Analisis” 61 , karya Mohd Nazri Ahmad dan Muhd Najib Abdul Kadir yang berjudul “Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir” 62 , karya yang disusun oleh Haji Abdul Majid Jaafar yaitu “Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith” 63 .
60
Tesis prodi S2 Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian Islam, Universitas Malaya. 61
Tugasan Ilmiyyah, Fakultas Ushuluddin, jurusan al-Qur`an dan Hadits, Akademi Pengajian Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia. 62
Dicetak oleh Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, diterbit cetakan pertama pada tahun 2007. 63
2007.
Dicetak oleh Pustaka Haji Abdul Majid, Selangor, diterbit cetakan pertama pada tahun
BAB III ANALISA SUMBER DAN METODE PENAFSIRAN DALAM TAFSÎR NÛR AL-IHSÂN
A. Sumber Penafsiran Adapun karya-karya ulama yang dijadikan rujukan oleh Muhammad Said adalah sebagaimana beliau sendiri menyatakan di dalam pendahuluan Tafsîr Nûr alIhsân, bahwa di antara karya-karya rujukan ialah Tafsîr al-Jalâlain dan Tafsîr alBaidâwi. Beliau turut menyatakan bahwa ada beberapa beberapa karya lain yang dijadikan rujukan tetapi beliau tidak menyebut nama karya-karya tersebut 1 . Akan tetapi beliau lebih banyak merujuk kepada Tafsîr al-Jalâlain dibandingkan dengan Tafsîr al-Baidâwi dan lain-lainnya. Untuk membuktikan dan menjelaskan lagi bahwa karya-karya dikutip oleh pengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân dan dimasuki dalam karya, penulis mengemukakan satu contoh komparatif penafsiran di antara karya-karya ulama’ tersebut dan Tafsîr Nûr al-Ihsân bagi setiap satu karya yang tersebut.
1. Tafsîr al-Baidâwi: Beliau berkata ketika menafsirkan surat al-Anbiyâ` ayat 87;
(ﺿﺒًﺎ ِ ﺐ ُﻣﻐَﺎ َ ن إذ َذ َه ِ ) َوذا اﻟﻨﱡﻮ 1
Ibid, jilid 1, hal. 2.
29
30
Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân: “dan sebut olehmu akan nabi yang empunya ikan ketika lari ia hal penyebal pada kaumnya yaitu Yûnus bin Mattê marah ia kepada kaumnya tiada mau beriman dengannya maka janji ia akan mereka itu turun azab maka azab tiada turun lari pergi maka dibuang undi kena atas Yûnus maka dibuang dalam laut maka telan akan dia oleh ikan kerana ia pergi dengan tiada izin Allah duduk dalam perut ikan empat puluh hari atau tujuh atau tiga hari atau empat jam diwahi Allah kepada ikan jangan engkau makan dagingnya dan jangan engkau pecah tulangnya bukan rezeki engkau Aku jadi penjara sahaja 2 . (dan hendaklah kamu sebut tentang nabi yang mempunyai ikan ketika ia benci pada kaumnya yaitu Yûnus bin Mattê, dia marah terhadap kaumnya yang tidak mau kepadanya maka ia berjanji kepada mereka akan turun azab, maka azab belum turun lagi ia lari pergi. Maka dilakukan pemilihan keputusannya terkena Yûnus, maka ia dibuang dalam kemudian ditelan oleh ikan karena pergi tanpa izin Allah, ia duduk di dalam perut ikan selama empat puluh hari atau tujuh atau tiga hari, atau empat jam. Allah mewahyukan kepada ikan jangan kamu makan dagingnya dan jangan kamu pecahkan tulangnya, ia bukan rezeki engkau, Aku jadikan engkau penjara saja”. Dalam al-Baidâwi dikatakan: “nabi yang mempunyai ikan (yang mempunyai ikan yaitu Yûnus bin Mattê ) ketika ia pergi dalam kemarahan (terhadap kaumnya ketika berputus asa selepas lama menyeru mereka, parah perbuatan jahat mereka, dan berterusan mereka pada perbuatan jahat dalam keadaan meninggalkan mereka, sebelum ia diperintah berbuat demikian dan sebelum menjanjikan mereka dengan azab maka ia tidak pergi kepada kaumnya untuk menjanjikan taubat untuk mereka sedang dia tidak mengetahui kondisi sebenar maka ia mengira bahwa ia telah berbohong terhadap mereka dan marah pembohongan itu, dan ia –perkataan ﻣﻐﺎﺿﺒﺎ- untuk mengunjuk superlatif atau karena ia membuatkan mereka marah dengan meninggalkan mereka karena mereka takut datang azab ketika itu, dan ia bisa dibaca –ﻀ ًﺒﺎ َ ُﻣﻐ- 3 “.
2 3
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân...........jilid 3, hal. 82.
Al-Baidâwi, Nâsir al-Dîn ‘Abdullah Bin ‘Umar, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah), jilid ke-4, hal. 219.
31
2. Tafsîr Jalâlain: Ketika menafsirkan surat Hûd ayat 1, Muhammad Said mengatakan seperti berikut:
(ﺧﺒِﻴ ٍﺮ َ ﺣﻜِﻴ ٍﻢ َ ﺼﻠَﺖ ﻣِﻦ )آِﺘَﺎبٌ أُﺣ ِﻜﻤَﺖ ﺁﻳَﺎ ُﺗـ ُﻪ ُﺛﻢﱠ َﻓ ﱢ Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân: “Ini Qur`an kitab yang telah ditetap segala ayatnya tiada berubah dengan ‘ajib nazm dan elok makna, kemudian di-tafsîl segala hukum-hukum dan cerita-cerita nabi-nabi dan pengajaran yang turun daripada Allah Tuhan yang Hakîm lagi amat Mengetahui 4 . (Ini al-Qur`an merupakan kitab yang tetap ayatnya tidak berubah, dengan keajaiban susunan dan keindahan makna, kemudian diperinci segala hukum dan kisah para Nabi dan pelajaran yang turun daripada Allah Tuhan yang Hakîm lagi amat Mengetahui”. Dalam Jalâlain dikatakan: “Ini al-Qur`ân kitab yang telah ditetap segala ayatnya (dengan keindahan susunan dan kecantikan makna) kemudian diperinci (diterangkan dengan hukum-hukum, historihistori, dan nasehat-nasehat) daripada Tuhan yang amat Bijaksana dan amat Mengetahui (yaitu Allah) 5 ”. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Said bahwa terdapat karya-karya yang turut dikutip dan dimasukkan ke dalam karya, penulis tidak menemukan beberapa penafsiran yang dikutip daripada semua karya yang tidak tersebut namanamanya melainkan Tafsîr al-Khâzin. Maka untuk membuktikan eksistensi kutipan beliau daripada karya tersebut, penulis mengemukakan satu contoh penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân yang dikutip dari Tafsîr al-Khâzin yaitu berkata Muhammad
4
Ibid, jilid 2, hal. 205.
5
Al-Suyûti dan al-Mahalli, Jalâluddin, Tafsir al-Jalâlain......hal. 283.
32
Said ketika menafsirkan surat al-Fajr ayat 8 6 . Dalam ayat tersebut, beliau meriwayatkan satu atsâr yang terdapat dalam Tafsir al-Khâzin 7 yaitu: “.........riwayat Wahab Bin Munabbih daripada ‘Abdullah Bin Qilâbah ia keluar kepada padang negeri ‘Adn cari untanya hilang tiba-tiba terpandang kepada satu kampung yang ada rumah mahligai kota di keliling kota beberapa banyak rumah yang sangat besar dibina dengan batu emas dan perak dan batu lu’lu’ dan yâqût dihampar tanahnya dengan lu’lu’ dan kasturi za’farân dan segala pokok kayunya berbuah dan sungai mengalir air dan ambil ia sedikit lu’lu’ kasturi za’farân keluar balik ke Yaman dan dizahir barang yang padanya dan cerita khabarannya sampai kepada Mu‘awiyah disuruh panggil datang ia cerita barang yang dilihat maka suruh Mu‘awiyah panggil Ka’ab al-Ahbâr maka kata Mu‘awiyah Ya Aba al-Haq adakah dalam dunia rumah daripada emas perak kata Ka’ab al-Ahbâr bahkan yaitu Iram Zat al-‘Imâd bina akan dia Syidâd Bin ‘Aâd tatkala kehendak Syidad binanya disuruh empat ratus tukang tiap-tiap seorang seribu kawannya maka keluar tukang-tukang itu berjalan cari tempat seperti kehendak Syidâd maka bertemu mereka itu tempat tanah tinggi keluar mata air daripadanya dan tanah lapang maka kata masing-masing itulah yang dikehendaki oleh raja itu maka bina mereka itu lamanya tiga ratus tahun umur Syidâd sembilan ratus tahun maka tatkala sudah bina datang berkhabar kepadanya maka disuruh dibina kota itu seribu mahligai tempat wazîrnya seribu orang maka dibina menurut kehendaknya maka tatkala siap suruh Syidâd akan wazîr-wazîrnya seribu itu bersiap berpindah kepada Iram Zat al-‘Imâd maka bersiap mereka itu lama sepuluh tahun kemudian berjalan pergi kepadanya maka tatkala sampai tempat sehari semalam lagi dengan Iram Zat al-‘Imâd datang halilintar dari langit membinasa mereka itu sekalian dan kata Ka’ab lagi masuk seorang lelaki masa engkau cari untanya tubuh merah pendek atas dahinya tahi lalat dan di tengkuknya tahi lalat kemudian berpaling lihat ‘Abdullah Bin Qilabah maka kata ia ini lelaki 8 . 6
Ayat tersebut ialah firman Allah (ِ)اﻟﺘِﻲ ﻟَﻢ ﻳُﺨﻠَﻖ ﻣِﺜُﻠﻬَﺎ ﻓِﻲ اﻟ ِﺒﻠَﺎد. QS, hal. 593.
7
‘Ali bin Muhammad al-Khâzin, Lubab al-Ta`wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, (t.tp, t.th), jilid 6, hal.
259. 8
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 278. Riwayat ini dinyatakan sebagai salah satu riwayat Isrâiliyyât dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân oleh Mustaffa Abdullah, Khazanah Tafsir Di Malaysia, hal. 56.
33
Mengenai sumber penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân dapat dinyatakan bahwa karya tersebut termasuk di antara tafsir bi al-ra’yi. Dikatakan demikian karena Muhammad Said menukil banyak penafsiran yang terdapat daripada karya-karya tafsir ulama’ Timur Tengah yang menggunakan metode tafsir bi al-ra’yi seperti Tafsîr al-Jalâlain. Ia dapat diketahui dengan melakukan kajian terhadap beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsir. Maka, penulis menyajikan beberapa ayat yang bisa dijadikan contoh untuk membuktikan keberadaan metode sumber tersebut, di antaranya ketika Tuan Haji Muhammad Said menafsirkan ayat 1 dari Surat al-Burûj:
(ج ِ ت اﻟ ُﺒ ُﺮو ِ ﺴ َﻤﺎ ِء َذا ) َواﻟ ﱠ “Demi langit yang empunya buruj yaitu tempat duduk berjalan bintang dua belas yang dinazam oleh setengah fudhalâ`:
ورﻋﻰ اﻟﻠﻴﺚ ﺳﻨﺒﻞ اﻟﻤﻴﺰان ﻧﺰح اﻟﺪﻟﻮ ﺑﺮآـﺔ اﻟﺤﻴﺘـﺎن
ﺣﻤﻞ اﻟﺜﻮرة ﺟﻮزة اﻟﺴﺮﻃﺎن ورﻣﻰ ﻋﻘﺮب اﻟﻘـﻮس اﻟﺠﺪي
Yaitu ﺣﻤﻞ اﻟﺜﻮرة ﺟﻮزة اﻟﺴﺮﻃﺎن أﺳﺪ ﺳﻨﺒﻠﺔ ﻣﻴﺰان ﻋﻘﺮب ﻗﻮس ﺟﺪي دﻟﻮ dan ﺣﻮتyaitu manzilah bagi bintang tujuh mula langit ketujuh sudah langit pertama nazam setengah fudhalâ`:
ﻓﺘﺰاهﺮت ﻟﻌﻄﺎرد اﻷﻗﻤﺎر
زﺣﻞ ﺷﺮي ﻣﺮﻳﺨﻪ ﻣﻦ ﺷﻤﺴﻪ
Maka Zuhal langit ketujuh baginya Jūdi dan Dalw al-Musytari langit keenam baginya Qus dan Hut al-Marikh langit kelima bagi Haml dan ‘Aqrab matahari keempat baginya Asad al-Zahrah ketiga baginya Tsūr dan Mîzan Utarid yang kedua baginya Jauzah dan Sunbulah bulan yang pertama baginya Saratân 9 . Penafsiran ini terdapat di dalam Tafsîr al-Jalâlain, bahwa al-Suyûti telah menyebut nama-nama bintang tersebut satu-persatu 10 . Persamaan ini tidak menjadi
9
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 269.
10
Jalâluddin al-Suyûti dan Jalâluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalâlain bi Hamisy al-Mushaf alSyarîf bi al-Rasm al-Utsmâni, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002), cet.1, hal. 800.
34
suatu yang menimbulkan syak jika dijelaskan bahwa salah satu referensi Muhammad Said untuk mengarang Tâfsîr Nûr al-Ihsân adalah Tafsîr al-Jalâlain. Muhammad Said menguatkan lagi penafsirannya terhadap sebagian ayat dengan menyebut dalil-dalil dari ayat-ayat al-Qur`an, atau hadits-hadits, atau pendapat para Sahabat r.a seperti ‘Ali Bin Abî Talib, Ibn ‘Abbâs, dan Abû Mûsa alAsy’arî dan pendapat para Tabi’în. Beliau tidak meletak suatu tanda kurung kurawal bahwa kata-kata tersebut merupakan dalil yang menjelaskan ayat tersebut, bahkan beliau mencantumkan dalil-dalil tersebut langsung di dalam penafsirannya. Di antara contoh-contoh yang bisa dilihat padanya penyajian metode penyebutan dalil tersebut ialah seperti berikut: 1. Dalil daripada ayat-ayat al-Qur`ân, yaitu Surat al-Ahzâb ayat 7:
(ﻈﺎ ً ﻏِﻠﻴ َ ﺧﺬ َﻧﺎ ِﻣﻨ ُﻬﻢ ِﻣﻴ َﺜﺎ ًﻗﺎ َ ) َوَأ “Dan Kami ambil daripada mereka itu perjanjian yang kuat teguh dengan menyempurnakan dengan barang yang disuruh daripada sembah Allah dan seru manusia kepadanya maka makna ‘mitsâq’ bersumpah dengan nama Allah maka ‘mitsâq’ pertama pada ( أﻟﺴﺖ
)ﺑﺮﺑﻜﻢ ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻠﻰdan ‘mitsâq’ yang kemudian ambil daripada anbiya’ suruh sembah Allah dan seru manusia kepadanya dan suruh menyata pada segala masing-masing umat keadaan Nabi Muhammad Rasul Allah dan suruh Nabi Muhammad menyata pada umatnya dengan tiada nabi kemudiannya maka ambil ‘mitsâq’ itu” 11 . (Dan Kami ambil daripada mereka (para nabi) perjanjian yang kokoh dengan menyempurnakan perintah yang disuruh yaitu menyembah Allah dan menyeru manusia supaya melakukannya. Maka makna ‘mitsaq’ itu bersumpah dengan nama Allah, maka ia adalah ‘mitsâq’ yang pertama pada ()أﻟﺴﺖ ﺑﺮﺑﻜﻢ ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻠﻰ, dan makna ‘mitsâq’ yang seterusnya yang diambil daripada para nabi yaitu menyembah Allah dan menyeru manusia kepadanya, serta menyampaikan kepada seluruh umat masing-masing nabi perihal Nabi Muhammad Rasul Allah, dan perintah kepada Nabi Muhammad menyampaikan kepada umatnya 11
Ibid, jilid 3, hal. 257.
35
2. Dalil dari hadîts-hadîts:
(ف ﺑِـ ِﻬﻤَﺎ َ ﻄ ﱠﻮ َّ ﻋﻠَﻴ ِﻪ أن َﻳ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُ ) َﻓﻠَﺎ “Maka tiada mengapa ke atasnya bahwa tawaf ia dengan keduanya dengan Sa’î antara keduanya tujuh kali turun ini ayat tatkala benci orang muslimin akan demikian itu Sa’îe kerana orang jahiliyah sa’îe mereka itu dengan keduanya dan atas kedua itu dua berhala sapu mereka itu akan keduanya dengan tangan kerana mengambil berkat kata ‘Abdullah Ibn ‘Abbâs bahawa Sa’îe bukan fardhu dan kata Imâm Syâfie dan lainnya Sa’îe itu rukun Haji dan menyata Rasulullah akan rukunnya dengan sabdanya bahawasanya Allah Taala telah fardhu atas kamu itu Sa’îe. Dan lagi sabdanya: “ – ”اﺑﺪأوا ﺑﻤﺎ ﺑﺪأ اﷲ ﺑﻪmula oleh kamu dengan barang yang memulai oleh Allah dengannya yakni Safa” 12 . (Maka tidak suatu dosa ke atasnya jika ia tawaf keduanya –yaitu Safa dan Marwah- dengan niat Sa’îe di antara kedua sebanyak tujuh kali. Ayat ini turun ketika kelompok muslimin membenci Sa’îe itu karena orang jahiliyah melakukan Sa’ie di antara keduanya, dan di atas kedua bukit itu ada berhala yang mereka –orang jahiliyah- sapu tangan padanya untuk mengambil berkah. Berkata ‘Abdullah Ibn Abbâs bahwa Sa’îe itu bukan fardhu, berkata al-Imâm al-Syâfie dan lain-lain ulama’ Sa’îe itu rukun Haji. Rasulullah menyatakan rukunnya dengan sabdanya bahwa Allah telah menfardhukan atas kamu Sa’eî. Dan lagi sabdanya: “ – ”اﺑﺪأوا ﺑﻤﺎ ﺑﺪأ اﷲ ﺑﻪmulakanlah dengan dengan apa yang telah dimulai oleh Allah dengannya yakni Safa).
3. Dalil dari pendapat para Sahabat dan Tabi’in:
(ل اﻟ ُﻌ ُﻤ ِﺮ ِ ) َوﻣِﻨﻜُﻢ ﻣَﻦ ُﻳ َﺮدﱡ إﻟَﻰ أَر َذ “Dan setengah dari kamu itu mereka yang dikembali kepada sehinahina umur tua dan nyanyuk kata ‘Ali Bin Abi Talib r.a yaitu tujuh puluh lima tahun dan kata ‘qîl’-ﻗﻴﻞ- lapan puluh tahun dan kata Qatâdah sembilan puluh tahun” 13 . 12
Ibid, jilid 1, hal. 49.
13
Ibid, jilid 3, hal. 89.
36
(Dan sebagian dari kamu akan dikembalikan kepada umur paling hina yaitu tua dan nyanyuk, berkata ‘Ali Bin Abi Talib r.a yaitu tujuh puluh lima tahun, kata ‘qîl’-ﻗﻴﻞ- lapan puluh tahun, dan berkata Qatâdah sembilan puluh tahun”.
Melihat
pada
sumber
kutipan
Tafsîr
Nûr
al-Ihsân,
pengarangnya
meriwayatkan banyak riwayat Isrâiliyyât ketika menafsirkan ayat-ayat historis. Sesungguhnya al-Qur`an menceritakan kisah-kisah secara ringkas dan ditil terutama kisah para nabi, kadang-kadang tanpa menyebut nama individu-individu, bilangan mereka, tanggal, nama negeri tempat terjadi peristiwa-peristiwa tersebut. Karena yang dikehendaki dari historis-historis itu hanya pelajaran yang membimbing dan pedoman yang berguna untuk pembacanya 14 . Jika dibutuh pembahasan tentang seluruh riwayat Isrâiliyyât dalam karya ini secara keseluruhannya, maka satu penulisan khusus harus dilakukan 15 . Maka penulis turut ingin mengemukakan satu contoh periwayatan dari sumber Isrâiliyyât tersebut, sebagai bukti bagi kenyataan di atas:
(ﻖ إ ﱠﻧﻬُﻢ ﻓِﺘ َﻴﺔٌ أﻣَﻨُﻮا ِﺑ َﺮ ﱢﺑﻬِﻢ َوزِدﻧَﺎهُﻢ ُهﺪًى ﺤﱡ َ ﻚ َﻧﺒَﺄهُﻢ ﺑِﺎﻟ َ ﻋﻠَﻴ َ ﻦ َﻧ ُﻘﺺﱡ ُ )ﻧَﺤ Penafsirannya berdasarkan Tafsîr Nûr al-Ihsân: “Kami cerita atas engkau ya Muhammad akan khabaran mereka itu dengan sebenar, bahawa mereka itu beberapa orang muda-muda yang beriman dengan tuhan mereka itu. Kata Ibn ‘Abbas, tujuh orang Makslamina, Tamlikha, Martunas, Nionunas, Sarobunas, Zununas, dan Falentionunas adalah merupakan seorang pengembala kambing. Nama anjing Qi mir. Khasiat segala nama-nama itu bagi sembilan perkara: tuntut dan lari dan padam terbakar, disurat pada perca kain lempar tengah api dan bagi menangis budak-budak dan bagi demam selang 14
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cairo : Dar al-Hadits, 2005), Jilid I, hal. 148-149. 15
Mazlan Ibrahim, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan...........hal. 30.
37
dan bagi sakit kepala diikat lengan kanan dan bagi Umm Sibyan: hantu pengusik budak-budak, dan bagi berjalan pada darat dan laut dan bagi pelihara harta dan bagi bertambah akal dan bagi lepas orang yang berdosa. Kata setengah ulama’: ajar oleh kamu akan anak kamu ini segala nama-nama. Maka bahawasanya jika disurah di pintu rumah tiada terbakar dan atas mata benda tiada kena curi dan atas perahu tiada karam. Adalah mereka itu orang besar-besar negeri Efsus dalam negeri Rom. Kemudian daripada Nabi ‘Isâ a.s. Tujuh orang- dengan gembala kambing lapan dengan anjingnya. Tatkala zalim ahli Injîl dan masuk kerja maksiat kafir hingga sembah berhala dan sembelih baginya. Dan ada dalam negeri itu orang yang berpegang dengan agama ‘Isâ, ibadah Allah swt dan tauhidnya. Dan raja negeri kafir nama Dikyanus. suruh manusia sembah berhala dan sembelih baginya dan bunuh orang yang menyalahinya. Maka masyhurlah orang yang tujuh itu pada raja disuruh panggil. Maka kata raja apa kerana kamu tiada mau ikut seperti orang-orang negeri sekarang kamu pilih amma masuk agama kami dan ammâ kena bunuh” 16 . Secara keseluruhannya, ayat yang diperbahaskan ini mempunyai banyak periwayatan yang berbeda dan merupakan kisah yang begitu terkenal. Kisah Ashâb alKahf 17 ini merupakan salah satu kisah yang terdapat di dalam al-Qur‘an supaya kita mengambil pengajaran daripadanya. Walaupun begitu kisah-kisah seperti ini sering berlaku penambahan jalan ceritanya yang hendak disampaikan sehinggakan perkara yang tidak dinyatakan menjadi tema penting perbincangan. Walaupun begitu Allah swt telah menjelaskan bahawa kisah seperti ini tidak perlu dibahas kerana ia adalah perkara ghaib yang mana hakikatnya hanya Allah swt sahaja yang lebih mengetahui. Jika dirujuk kepada penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân terdapat penambahan dalam menyatakan nama-nama Ashâb al-Kahf dan sebagai
16 17
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-3, hal. 4.
Yaitu kisah tujuh pemuda yang kabur dari pemerintah mereka yang zalim untuk melindungi iman mereka seperti yang ternukil dalam al-Qur`an, surah al-Kahf ayat 9 hingga 22. Kisah ini amat terkenal di kalangan masyarakat umat Islam, Yahudi, dan Kristen.
38
uraian dinyatakan pula bahawa terdapat sembilan khasiat yang boleh didapati daripada nama-nama tersebut. Selain itu dijelaskan juga bahawa setengah ulama' menyuruh supaya diajar nama-nama ini kepada anak-anak dan jika ditulis di pintu rumah, rumah tersebut tidak akan terbakar begitu juga jika diletakkan di atas harta benda, benda tersebut tidak akan hilang dan jika diletakkan di dalam perahu, perahu tidak karam. Kemudian diceritakan bahawa raja semasa peristiwa ini berlaku bernama Dikyanus yang mana merupakan seorang pemerintah yang zalim. Dia menyuruh rakyatnya menyembah patung berhala dan melakukan penyembelihan korban kepada patung-patung tersebut. Segala uraian berkaitan ayat ini, jika dilihat pada definisi Isrâiliyyât yang menyatakan jika dalam penafsiran itu terdapat sebarang unsur-unsur luar yang boleh membawa kepada penambahan daripada fakta sebenar, maka penafsiran dalam ayat ini boleh dikategorikan antara yang rnengandungi unsur-unsur Isrâiliyyât. Oleh itu unsur Isrâiliyyât dalam ayat ini mesti diberi penjelasan secara jelas untuk menjauhi daripada kekeliruan fakta. Dalam hal ini, Sayyid Qutb menegaskan bahawa para penghuni gua itu adalah terdiri daripada sekumpulan pemuda yang tidak diketahui bilangan mereka. Ini bermakna telah berlaku penambahan terhadap fakta tersebut yang mana al-Quran sendiri tidak menyebut mengenai nama-nama mereka dan bilangannya 18 . Oleh itu jelas menunjukkan bahawa semua itu adalah rekaan dan tambahan dalam melengkapkan sesebuah kisah. Selain itu jika dirujuk kepada ayat 22 Surat al-Kahf 19 jelas menunjukkan bahwa hanya Allah swt sahaja yang lebih
18
Sayyid Qutb, Fi Zilâl al-Qur`an, (Cairo: Dâr al-‘Arabiyyah, 1968), jilid 5, hal. 84.
19
Ayat tersebut ialah firman Allah:
39
mengetahui bilangan mereka yang sebenar dan adapun apa yang diketahui oleh sebagian kecil daripada umatnya adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan kisah tersebut secara umum kerana diandaikan yang dimaksudkan di sini ialah bilangannya nescaya Allah s.w.t. akan menyambungkan pengetahuanya tersebut dengan pengetahuan sebahagian daripada umatnya tersebut dengan al-‘Ataf 20 . Dengan pembahasan terdahulu, Maka Tafsîr Nûr al-Ihsân merupakan salah satu karya yang dikelompokkan dalam tafsîr bi al-ra’yi yang mahmûdah. Karena penafsirannya yang disertai dengan merujuk kepada al-Qur`ân dan al-Hadîts serta didukung dengan kutipan pendapat para ulama’ yang menjadikan ia dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Sementara perkara yang berkaitan dengan Isrâiliyyât, ia sudah banyak dibahaskan di dalam hasil-hasil kajian dan penelitian yang banyak. Hasil-hasil penelitian tersebut telah memurnikan Tafsîr Nûr a-Ihsân dari terus mengandungi riwayat-riwayat Isrâiliyyât tanpa disertakan sebarang penjelasan dan kritikan.
B. Metode Penafsiran Muhammad Said Umar Dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Metode penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah tahlîli, yaitu dengan menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur`an dari beragam aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya. Bahkan menjelaskan kosakata dan lafaz, serta kandungannya dalam berbagai aspek pengetahuan, historis, dan hukum. Di samping itu beliau ن ﺳَﺒﻌَﺔٌ َوﺛَﺎ ِﻣ ُﻨﻬُﻢ آَﻠ ُﺒﻬُﻢ ﻗُﻞ َرﺑﱢﻲ أﻋَﻠ ُﻢ ِﺑ ِﻌ ﱠﺪ ِﺗﻬِﻢ ﻣَﺎ ﻳَﻌَﻠ ُﻤﻬُﻢ َ ﺐ َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ ِ ﺳﻬُﻢ آَﻠ ُﺒﻬُﻢ رَﺟﻤًﺎ ﺑِﺎﻟﻐَﻴ ُ ن ﺧَﻤﺴَﺔٌ ﺳَﺎ ِد َ ن َﺛﻠَﺎ َﺛ ُﺔ رَا ِﺑ ُﻌﻬُﻢ آَﻠ ُﺒﻬُﻢ َو َﻳﻘُﻮﻟُﻮ َ ﺳ َﻴﻘُﻮﻟُﻮ َ" ."ﺣﺪًا َ ﺖ ﻓِﻴﻬِﻢ ﻣِﻨﻬُﻢ أ ِ إﻟﱠﺎ ﻗَﻠِﻴﻞٌ َﻓﻠَﺎ ُﺗﻤَﺎ ِر ﻓِﻴﻬِﻢ إﻟﱠﺎ ِﻣﺮَا ًء ﻇَﺎ ِهﺮًا َوﻟَﺎ ﺗَﺴﺘَﻔ 20
Al-‘Ataf adalah penyambungan ayat dengan salah satu abjad penyambungan seperti ‘dan’ untuk menunjukkan ketersamaan antara dua perkara pada hukum dan al-i’rab. Mush afa al-Ghulaini, Jami’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, (Cairo: Dâr Ibn al-Jauzi, 2010), hal. 604.
40
menyebut pendapat-pendapat para ulama’ sebagai pendukung terhadap ra’yu-nya. Ini semua dilakukan berdasarkan tahap pencapaian ilmu di kalangan masyarakat pada ketika itu yang rata-ratanya kurang terdedah kepada bidang ilmu tafsir dan masih ramai lagi yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Kenyataan ini boleh dirujuk kepada permintaan masyarakat tempatan agar pengarang menulis tafsir dalam Bahasa Melayu untuk memudahkan mereka memahami maksud ayat-ayat al-Qur’an. Sebelum memulakan penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân, beliau menulis satu pendahuluan yang ringkas dengan dwibahasa yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Melayu. Beliau menyatakan padanya kesyukuran kepada Allah swt dan shalawat ke atas Rasulullah saw, tujuan pengarangan beliau, dan sumber-sumber referensi dalam penafsiran 21 . Pada satu halaman selepas pendahuluan, beliau menulis muqaddimah, yang terdapat padanya penjelasan ringkas tentang makna Islam dan rukun-rukunnya, rukun Iman, syarat-syarat shalat, fardhu-fardhu wudhu`, dan rukun-rukun shalat 22 . Metode Muhammad Said terhadap ayat-ayat al-Qur`ân dalam Tafsîr Nûr alIhsân dengan metode yang diterapkan Jalâl al-Dîn al-Suyûti dan Jalâl al-Dîn alMahalli dalam Tafsîr al-Jalâlain. Beliau mengemukakan suatu ayat dengan memberikan terjemahannya disertakan uraian. Maka metode penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah metode penafsiran kuno atau klasik. Semasa melakukan penafsiran, beliau menggunakan Bahasa Melayu Kedah Lama dengan tulisan Arab Jawi 23 . Mengenai penggunaan bahasa dan ejaan dalam
21
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-1, hal. 2.
22
Ibid, hal. 3 dan 4.
23
Tulisan Melayu huruf Arab atau lebih dikenali di Malaysia sebagai 'Tulisan Jawi' telah lama wujud dan digunakan sebagai tulisan rasmi Melayu, iaitu sejak abad ke 14 Masihi atau sebelumnya. Ia merupakan bukti kokoh kedatangan Islam ke Kepulauan Nusantara. Lihat Mohd. Alwee Yusoff,
41
kitab ini, pengarang banyak menggunakan Bahasa Melayu Kedah lama dan sebahagiannya agak sukar untuk difahami oleh generasi sekarang seperti “hambat keluar”, “menyengehaja”, dan “tiada sayugia’ 24 . Keadaan ini terjadi lantaran kerana faktor zaman penghasilan kitab ini, dimana tahap pembinaan Bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu masih rendah dan masih kuat dipengaruhi oleh gaya bahasa Melayu lama. Beliau juga memasukkan perkatan-perkataan Arab diselangi perkataanperkataan Melayu. Tidak sebarang petanda yang menunjukkan perkataan-perkataan Arab tersebut. Maka, para pembaca harus mempunyai asas Bahasa Arab dalam proses mempelajari dan memahami karya tafsir ini. Jika diteliti, Muhammad Said sebenarnya telah memudahkan jalan kepada para pembaca kerana beliau terus membawa terjemahan bagi setiap kalimat Arab itu. Selain daripada itu, dalam masa yang sama juga pembaca boleh mengambil faidah untuk memperkuatkan lagi perbendaharaan kata dalam Bahasa Arab. Malah beliau tidak mencatit nomor bagi ayat-ayat yang ditafsirkan. Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah satu karya tafsir tradisionalis karena Muhammad Said mengutip pandangan dari para ulama` klasik. Beliau meletakkannya secara langsung di dalam yang ditafsirkan tanpa menggunakan sebarang tanda, akan tetapi kadang-kadang beliau menyatakan bahwa sesuatu penafsirannya itu diambil daripada cendikiawan tertentu. Untuk menjelaskan lagi perkara di atas, penulis menyajikan penafsiran beliau yang dikutip dari tafsiran para ulama’ Salaf dan takwilan ulama’ Khalaf pada tafsiran ayat mutasyâbihât tanpa menyatakan kutipan dari para ulama, Perkembangan Tulisan Jawi Dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Islam Di Malaysia, Jurnal Usuluddin, (t.tp, 2005), Bil. 21. 24
“Hambat keluar” dalam bahasa Indonesia bermakna usir keluar, “menyegehaja” bermakna sengaja, dan “tiada sayugia” bermakna tidak sewajarnya.
42
hanya menyebutnya dan tidak mengurainya secara panjang seperti penafsiran beliau terhadap ayat 10 Surat al-Fath:
(ق أﻳﺪِﻳﻬِﻢ َ ﷲ ﻓَﻮ ِ ) َﻳ ُﺪ ا “Tangan Allah atas tangan mereka itu ia memandang atas mubaya’ah mereka itu dibalas atasnya dengan syurga atau kekuatan Allah dan pertolongannya dan nikmatnya atas mereka itu” 25 . (Tangan Allah atas tangan mereka itu, Allah memandang atas mubâya’ah (berbai’ah dengan menjanjikan untuk) mereka itu dibalas atasnya dengan syurga atau kekuatan Allah, pertolongannya dan nikmatnya atas mereka itu)”.
Beliau amat berhati-hati ketika melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Muqatta‘ah sehingga beliau tidak pernah mentakwilkannya walaupun satu abjad darinya. Sungguh ulama` mengizinkan agar memberi suatu takwil yang berpadanan terhadap Muqatta‘ah, asal tidak menyalahi dengan sesuatu penetapan al-Qur`ân dan Sunnah 26 . Untuk membuktikannya pernyataan ini, penulis mengemukakan satu contoh daripada penafsiran tersebut yaitu penafsiran beliau terhadap ayat Muqa
a‘ah daripada ayat 1 surat Luqmân:
(ﻦ اﻟ ﱠﺮﺣِﻴ ِﻢ ﺁﻟﻢ ِ ﷲ اﻟﺮﱠﺣ َﻤ ِ )ﻟِﺴ ِﻢ ا “Allah terlebih ketahui kehendakNya 27 ”.
Demikian perkataan beliau ketika menafsirkan ayat-ayat Muqatta‘ah. Beliau juga menggunakan lafaz-lafaz seumpamanya seperti Allahu a’lam 28 dan Allahu a’lam dengan kehendakNya 29 . 25
Ibid, hal. 95.
26
Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), cet. ke-1, edisi ke-3, hal. 50. 27
Ibid, hal. 241.
43
Beliau tidak membahaskan mengenai perbedaan al-qirâ`ât
30
bagi suatu ayat,
lebih-lebih lagi menyentuh perihal al-qirâ`ât al-syâdzah 31 . Seperti yang telah diteliti pada biografi beliau, tidak terdapat bukti bahwa beliau pernah mempelajari ilmu alqirâ`ât sepanjang pembelajarannya. Maka, penulis mengemukakan beberapa contoh penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân, yaitu Surat al-Falaq. Sebelum menafsirkan suatu surat, Muhammad Said menjelaskan tempat turun surat tersebut, jumlah ayatnya, dan disertakan sabab nuzûl dan sebab penamaan surat jika ada. Beliau juga menyebut fadilah surat tersebut pada akhirnya jika ada dengan tanda kurungan atau tanpanya, beliau mengatakan:
ﺳـﻮرة اﻟﻔﻠﻖ ﻣﻜﻴﺔ “Lima ayat turun ini surah dan surah yang kemudiannya tatkala balik Rasulullah daripada Hudaibiyyah pada bulan Dzulhijjah dan masuk Muharram tahun tujuh dan kemudian daripada selesai perang Khaibar datang kepala-kepala Yahudi kepada seorang Yahudi yang pandai sihir nama Labîd Bin A’sam dan segala anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan upah tiga dinar dengan muafakat budak Yahudi khadam al-Nabi ambil sisir kepala Nabi dan gigi sisir diperbuat rupa Rasulullah dengan lilin ditikam dalamnya sebelas jarum dan disimpul sebelas simpul maka kena sihir Rasulullah empat puluh hari maka pada satu hari Rasulullah tidur datang dua malaikat seorang di kepala dan seorang di kaki maka kata yang di kepala apa kena lelaki ini maka jawab yang di kaki orang sihir maka katanya siapa sihir maka 28
Lihat penafsiran Muhammad Said terhadap ayat pertama surat al-Sajadah. Ibid, hal. 249.
29
Lihat penafsiran beliau terhadap ayat pertama surat al-Rûm. Ibid, hal. 229.
30
Al-Qirâ’ât adalah bentuk bacaan yang diriwayat oleh seorang imam al-qirâ`ât berbeda dari imam yang lain pada pembacaan al-Qur`an, yang bersesuaian dengan riwayat-riwayat tentang bentuk bacaan tersebut. Perbedaan tersebut adalah sama pada mentuturkan abjad atau hukumnya. Lihat Muhammad Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfan fi Ulūm al-Qur`an, (Beirut: Dar Qutaibah, 2001), cet. ke-2, hal. 489. 31
Al-Qirâ’ât al-syâdzah adalah bentuk bacaan al-Qur`an yang diriwayat bukan secara mutawâtir dan jalur sanad periwayatannya tidak sahîh, yaitu selain aliran-aliran qira`at yang masyhur. Contohnya ialah qira`at Ibn al-Samaifi’. Lihat Subhi al-Sâlih, Mabâhitsu fi Ulûm al-Qur`an, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi lil-Milâyîn, 1972), cet. ke-7, hal. 257.
44
(ﺣﻴ ِﻢ ُﻗﻞ ِ ﻦ اﻟ َﺮ ِ ﷲ اﻟ َﺮﺣ َﻤ ِ ) ِﺑﺴ ِﻢ ا Baca olehmu.
(ﻖ ِ ب اﻟ َﻔَﻠ ﻋﻮ ُذ ِﺑ َﺮ ﱢ ُ )أ Aku berlindung dengan tuhan falaq maka ikhtilaf ulama’ pada makna falaq kata setengah fajar subuh dan setengah penjara atau rumah dalam neraka apabila dibuka berkeriau ahli neraka daripada hangatnya.
(ﻖ َ ﺧَﻠ َ ﺷ ﱢﺮ َﻣﺎ َ ) ِﻣﻦ Daripada kejahatan yang telah jadi daripada binatang atau manusia atau terbakar atau karam air dan racun kayu batu.
(ﺐ َ ﻖ إ َذا َو َﻗ ٍﺷ ِ ﻏﺎ َ ﺷ ﱢﺮ َ ) َو ِﻣﻦ Dan daripada kejahatan malam apabila kelam ia.
(ت اﻟ ُﻌ َﻘ ِﺪ ِ ﺷ ِّﺮ اﻟ َﻨ ﱠﻔﺎ َﺛﺎ َ ) َو ِﻣﻦ Dan daripada kejahatan yang menghembus pada segala simpulan yang serta dengan tiada air liur.
(ﺴ َﺪ َﺣ َ ﺳ ٍﺪ إ َذا ِ ﺣﺎ َ ﺷ ﱢﺮ َ ) َو ِﻣﻦ Dan daripada kejahatan orang yang hasad apabila hasad ia seperti Yahudi hasad bagi al-Nabi saw maka hasad sejahat-jahat dosa mula maksiat Allah pada langit dengan hasad Iblis akan Adam dan mula maksiat dalam bumi dengan hasad Qabîl akan Habîl dua anak Adam maka makna hasad mencita-cita hilang nikmat daripada seorang dan munafasah cita-cita dapat nikmat umpama nikmat seorang dinama ghibtah yaitu harus sunat dibaca isti’âdzah pada kanak-kanak memelihara daripada syaitan dan penyakit ‘ain yaitu yang dibaca oleh Rasulullah pada Hasan dan Husain:
()أﻋﻮذ ﺑﻜﻠﻤﺔ اﷲ اﻟﺘﺎﻣﺔ ﻣﻦ آﻞ ﺷﻴﻄﺎن وهﺎﻣﺔ وﻋﻴﻦ اﻟﻼﻣﺔ
45
seperti dibaca: ( )ﻣﺎ ﺷﺎء اﷲ ﻻ ﻗﻮة إﻻ ﺑﺎﷲketika dirinya dan rumahnya dan ahlinya dan hartanya selamat supaya berkekalan selamat itu 32 ”.
dalam menafsirkan surat al-Falaq, Muhammad Said menjelaskan tempat turunnya di Mekah, jumlah bilangan ayat, dan sabab nuzulnya. Kemudian beliau menafsirkan ayat-ayat surat tersebut. Selesai menafsirkannya beliau menjelaskan fadilahnya tanpa menggunakan suatu tanda. Sementara itu, ada beberapa surat yang beliau meletakkan tanda ((Fadilat)) yang menunjukkan fadilahnya. Penulis mengemukakan salah satu contoh darinya yaitu ketika Tuan Haji Muhammad Said selesai menafsirkan surat al-Nâs, beliau menyatakan fadilahnya seperti di bawah:
(Fadilat) “Riwayat Abû Nu’aim daripada ‘Abdullah Bin Sakhir daripada bapanya sabda Rasulullah saw barangsiapa yang baca (())ﻗﻞ هﻮ اﷲ أﺣﺪ pada sakit yang ia mati padanya nescaya tiada difitnah pada kuburnya dan aman daripada Hâfiah kubur dan ditanggung oleh malaikat hari kiamat dengan tapak tangannya hingga melepas akan dia daripada titian Sirat Mustaqîm kepada syurga dan lagi sabdanya barangsiapa baca (( ))ﻗﻞ هﻮ اﷲ أﺣﺪketika hendak masuk rumahnya nescaya menghilang ia akan papa daripada ahli rumah dan jiran dan lagi sabdanya barangsiapa baca (( ))ﻗﻞ هﻮ اﷲ أﺣﺪsekali nescaya diberkat atasnya dan barangsiapa baca dua kali diberkat atasnya dan ahlinya dan barangsiapa baca tiga kali diberkat atasnya dan segala jirannya dan barangsiapa dua belas kali dibina Allah baginya dua belas mahligai dalam syurga maka jika baca akan dia seratus kali dikaffarah Allah daripadanya dosa lima puluh tahun yang lain darah orang dan harta orang maka jika dibaca akan dia dua ratus kali dikaffarah Allah daripadanya dosa seratus tahun maka jika dibaca seribu kali nescaya tiada mati hingga dia lihat ia akan tampaknya dan syurga atau dilihat baginya dalam mimpi dan lagi sabdanya barangsiapa baca (( ﻗﻞ هﻮ اﷲ ))أﺣﺪsepuluh kali dibina baginya satu mahligai dalam syurga dan 32
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 308-309.
46
Dapat diasumsikan secara jelas bahwa masyarakat umat Islam di Tanah Melayu ketika itu mempunyai pengetahuan yang cetek tentang Islam. Perkara itu terjadi karena Tanah Melayu pada saat itu merupakan kolonial Inggris, dipengaruhi oleh pelbagai persoalan yang terhidang akibat penjajahan Barat pada pertengahan abad ke-19 M. Tanah Melayu pada periode kedua kurun tersebut telah menyaksikan pertembungan budaya antara warisan terdahulu dan wawasan pendatang asing 34 . Hingga pada awal abad ke-20 M., perkembangan Islam ketika itu dijalankan dalam bentuk gerakan reformis dan al-islâh yang bertujuan memurnikan kehidupan masyarakat yang tenggelam dalam melakukan khurâfât dan bid’ah, dan menaikkan tingkatan sosioekonomi mereka 35 . Bahkan pihak pemerintah di negeri-negeri bagian Tanah Melayu turut merasakan akan pentingnya pendidikan Islam sehingga mereka mendorong para ulama’ supaya menulis karya yang berupaya menaikkan moral dan pemahaman masyarakat terhadap Islam seperti yang dilakukan oleh Tengku Mahmud dengan meminta Muhammad Said menulis satu karya yang dikenali sebagai Tafsîr Nûr al-Ihsân.
33
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........jilid ke-4, hal. 308.
34
Farid Mat Zin, Islam Di Tanah Melayu Abad Ke-19, (Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007), cet. ke-1, hal. 1. 35
Ibid, hal. 7 dan 8.
BAB IV CORAK PENAFSIRAN DAN TEMA-TEMA DALAM TAFSIR NÛR AL-IHSÂN A. Corak penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân. Corak penafsiran yang dipilh oleh Muhammad Said dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân ialah Târîkhi 1 . Demikian itu karena beliau lebih banyak menjelaskan tema-tema historis berbanding tema-tema yang lain. Beliau menyertakan penjelasannya dengan riwayat daripada hadis-hadis dan atsâr 2 . Beliau memilih corak penafsiran tersebut supaya masyarakat yang awam dapat mengambil lebih banyak pelajaran daripada karyanya. Sebelum lanjut kepada contoh-contoh penafsiran, terlebih dahulu penulis menyajikan beberapa keistimewaan “kisah-kisah” dalam al-Qur`an. Keistimewaankeistimewaannya adalah seperti berikut: 1.
Kisah-kisah dalam al-Qur`an merupakan pelajaran dan edukatif pada tingkat awal dalam pendidikan.
1
Metode târîkhi berarti menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dengan menyebut riwayat-riwayat historis daripada Nabi saw, para sahabatNya saw, tabi’in, dan ulama’ sebagai pendukung bagi penafsiran. 2
Atsâr menurut ulama’ hadits ia riwayat-riwayat yang dinukil daripada para Sahabat Nabi Muhammad saw dan para Tabi’in. Lihat Rosmawati Ali @ Mat Zain, Pengantar Ulum Hadis, (Kuala Lumpur; Pustaka Salam, 2005), edisi ke-11, hal. 76.
47
48
2.
Mengabaikan dari menyebut nama individu-individu, tempat, dan masa sesuatu peristiwa, karena yang dimaksudkan daripadanya adalah al‘ibrah (pelajaran).
3.
Kisah-kisah dalam al-Qur`an merupakan realitas-realitas yang pernah berlaku. Maka kisah-kisah yang terkandung dalam al-Qur`an adalah benar, tidak bisa dibohongi lagi.
4.
Kisah-kisah tersebut menyajikan bagi orang-orang beriman suatu kajian terhadap sejarah kemanusiaan dari sudut ujian-ujian yang dihadapi, dakwah-dakwah yang dijalani, dan ketamadunan yang dibina.
Di antara contoh penafsiran yang dikemukakan adalah mengenai kisah Nabi Ismâ`îl a.s yang terkandung dalam surat Maryam ayat 54 dan 55;
(Kisah Ismâ’îl) (ق اﻟﻮَﻋ ِﺪ َ ن ﺻَﺎ ِد َ ﻞ إﻧﱠ ُﻪ آَﺎ َ ب إﺳﻤَﺎﻋِﻴ ِ ) َواذ ُآﺮ ِﻓﻲ اﻟ ِﻜ َﺘﺎ “Dan sebut olehmu pada kitab Qur`an itu akan Nabi Ismâ`îl bahawasanya ada ia sangat benar perjanjian apabila berjanji sempurna ia dengannya dan menanti-nanti ia mereka yang berjanji tiga hari.
(ن رَﺳُﻮﻟًﺎ َﻧﺒِﻴًّﺎ َ ) َوآَﺎ Dan adalah jadi rasul lagi nabi kepada Jurhum dengan syari`at bapanya Ibrâhîm. Maka Jurhum itu satu qabilah Arab Yaman datang duduk bersama Hajar emak Ismâ`îl di Mekah. Ketika Ibrâhîm tinggal Hajar dan Ismâ`îl di Mekah dan keluar air Zamzam dan kahwin Ismâ`îl dengan seorang perempuan Jurhum dan dijadi ia rasul kepada mereka itu.
(ِﺼﻠَﻮ ِة وَاﻟﺰَآَﻮة ن ﻳَﺄ ُﻣ ُﺮ أهَﻠ ُﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ َ ) َوآَﺎ Dan adalah ia suruh ahlinya dengan sembahyang dan zakat.
49
(ﺿـﻴًّﺎ ِ ن ﻋِﻨ َﺪ َر ﱢﺑ ِﻪ ﻣَﺮ َ ) َوآَﺎ Dan adalah Ismâ`îl perbuatannya 3 ”.
pada
sisi
Tuhannya
keredaan
sekalian
Penjelasan di atas menunjukkan kisah Ismâ`îl a.s yang amat terpuji tingkah lakunya dan digalakkan mencontohinya. Ia merupakan seorang yang menepati janji walaupun hingga terpaksa menunggu selama tiga hari untuk memenuhi janjinya terhadap orang lain. Diceritakan juga bahwa baginda merupakan seorang utusan Allah kepada kaumnya yaitu qabilah Jurhum dengan membawa ajaran agama yang dibawa oleh bapanya yaitu Ibrâhîm as. Qabilah Jurhum merupakan satu kelompok bangsa Arab yang berasal dari Yaman kemudian mereka menetap di Mekkah bersama Ismâ`îl dan ibunya yaitu Hajar ketika keduanya ditinggal oleh Ibrâhîm yang menjalankan tugasan dakwah. Penetapan mereka disana selepas kemunculan mata air Zamzam yang mulia. Ismâ`îl juga menikahi salah seorang wanita dari kelompok tersebut. Ismâ`îl senantiasa menyuruh keluarga dan zuriatnya menunaikan shalat dan membayar zakat, karena keduanya merupakan kewajiban dalam agama Islam. Allah memuji baginda dengan pujian yang sebenarnya dan mendapat keridhoan di sisiNya. Dengan penjelasan yang ringkas pada setiap tafsiran ayat-ayat tersebut, sudah dapat masyarakat menggambarkan kisah sebenar dan mengambil pelajaran daripadanya. Berdasarkan latar belakang masyarakat yang masih awam beliau mengambil pendekatan menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân dengan melebihkan ayat-ayat historis agar dapat membimbing masyarakat dan membentuk jiwa mereka menjadi 3
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-3, hal. 39.
50
orang-orang yang beriman dengan sebenarnya. Ditambah lagi dengan kondisi negeri yang terjajah, yang turut memberikan impak negatif pada masyarakat. Maka kondisi tersebut memberi beliau motivasi menulis karya ini. Di samping itu, beliau secara serius memberi penafsiran tentang ayat-ayat yang berkait hukum fiqih juga. Corak fiqhi 4 merupakan corak kedua yang mempengaruhi penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Beliau memberi perhatian serius pada hukum-hukum hinggas menguraikan ayat-ayat fikih lebih panjang dari ayat-ayat biasa. Maka harus dikemukan juga satu contoh yang membuktikan eksistensi corak fiqhi. Yaitu ketika Muhammad Said menjelaskan pidana terhadap pelaku kecurian pada ayat 38 dan 39 surat al-Ma`idah:
(Hukum mencuri) (ﻄﻌُﻮا أﻳﺪِﻳَ ُﻬﻤَﺎ َ ق وَاﻟﺴﱠﺎ ِر َﻗ ُﺔ ﻓَﺎﻗ ُ ِ)وَاﻟﺴﱠﺎر “Dan bermula lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri itu maka kerat oleh kamu akan tangan keduanya pada pergelangan tangan kanan dan jika balik dikerat kaki kiri dan yang ketiga tangan kiri dan yang keempat kaki kanan kemudian dita’zîr dengan apa-apa yang difikir oleh raja-raja”.
(ﷲ ِ ﻦا َ ) َﻧﻜَﺎﻟًﺎ ِﻣ Siksa daripada Allah bagi keduanya teladan bagi lainnya.
(ٌﻋﺰِﻳﺰٌ ﺣَﻜِﻴﻢ َ ﷲ ُ )وَا
4
Al-Tafsîr al-Fiqhi yakni salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam. Lihat Suryadilaga, M. Al-Fatih, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), cet. ke-1, hal. 44.
51
Dan bermula Allah Taala itu Tuhan yang amat berkekerasan di atas kerajaanNya dan lagi amat Hakim pada perbuatannya.
(ﺢ َ ﻇﻠ ِﻤ ِﻪ وَأﺻَﻠ ُ ب ِﻣﻦ َﺑﻌ ِﺪ َ ) َﻓ َﻤﻦ َﺗﺎ Maka barangsiapa yang taubat daripada kemudian zalimnya dan beramal soleh ia..
(ﻋﻠَﻴ ِﻪ َ ب ُ ﷲ َﻳﺘُﻮ َ نا )ﻓَﺈ ﱠ Maka bahawasa Allah Taala itu memberi taubat ia atasnya.
(ٌﷲ ﻏَﻔُﻮرٌ رَﺣِﻴﻢ َ نا )إ ﱠ Bahawasa Allah Taala itu Tuhan yang amat mengampuni lagi amat Perahim” 5 . Berdasarkan penafsiran terhadap kedua ayat tersebut, dapat difahami bahwa setiap pencuri laki-laki dan perempuan harus dihukum selepas dibukti pelakuannya oleh mereka dengan kali pertamanya dipotong tangan kanan pada pergelangannya. Jika diulangi kali kedua, maka dipotong kaki kiri. Jika diulangi kali ketiga, maka dipotong tangan kiri pada pergelangan. Jika diulangi kali keempat dipotong kaki kanan. Jika masih diulangi untuk kali seterusnya, penghukuman itu tergantung pada kepintaran pihak pemerintah dan penanggung jawab hukum untuk menghukumnya. Yang nyata bahwa beliau mengutip hukum fikih ini daripada keempat mazhab fikih yang mu’tabar 6 sebagaimana terdapat dalam Tafsîr al-Jalâlain 7 .
5
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-1, hal. 223-224.
6
Empat mazhab tersebut adalah al-Syâfi’iyah, al-Mâlikiyah, al-Hanâbilah, dan al-Hanafiyah. Lihat al-Jazîri, Abd al-Rahman, al-Fiqh ala al-Madzâhib al-Arba’ah, (Universitas al-Azhar: Dâr alBayân al-‘Arabi, 2005), cet. ke-1, jilid ke-5, hal. 119. 7
Jalâluddin al-Suyûti dan Jalâluddin al-Mahalli, Tafsir al-Jalâlain.....hal. 143.
52
Hukuman tersebut dijatuhkan sebagai pelajaran terhadap si pelaku agar tidak mengulang pelakuannya dan terhadap individu-individu lain agar tidak coba melakukan kecurian. Bahkan siapa yang insaf daripada pelakuannya itu dan berbuat kebaikan maka Allah menerima tobatnya, didukung dengan sifat Allah yang Maha Pemaaf dan Penyayang. Muhammad Said menyajikan penafsiran yang ringkas tentang hukum al-Had terhadap pencuri. Beliau tidak menyinggung perkara tersebut dengan pembahasan yang panjang, bahkan dengan kadar yang cukup bagi pemahaman masyarakat awam. Pada penafsiran ayat-ayat dari kedua contoh di atas, tampak bahwa Muhammad Said memberi sumbangan pemikirannya walaupun pendapat yang dikemukakan itu ringkas sekali. Mungkin inilah satu kelebihan dari tafsir ini yang hanya menyajikan penafsiran yang ringkas, padat, dan dengan bahasa yang difahami. Lebih jauh ia berupaya secara cepat memperkokoh landasan syari’at di kalangan masyarakat awam sebelum mereka diberi pengetahuan tentang pemahaman yang lebih mendalam. B. Tema-tema Penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân. Muhammad Said menyusun banyak tema di dalam karyanya. Tema-tema tersebut merupakan apa yang beliau beri penjelasan secara panjang jika dibanding dengan tema-tema yang tidak disebut. Ini memungkinkan adanya suatu keperluan untuk menjelaskan sebagian ayat-ayat al-Qur`an secara panjang dan menjelaskan sebagiannya secara sepintas. Beliau menyusunnya mengikut susunan surat-surat dalam al-Qur`ân, dan tema-tema tersebut terbagi mengikut jilid. Begitu juga pada
53
sebagian karya-karya tafsir lain yang hanya menjelaskan sebagian ayat-ayat dengan penafsiran berdasarkan kecenderungan masing-masing pengarang. Tema-tema tersebut bisa dilihat pada tiap halaman terakhir pada tiap-tiap jilid Tafsîr Nûr al-Ihsân. Maka, penulis mengemukakan tema-tema yang disusun dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah seperti berikut; Pada jilid yang pertama, beliau menyusun 67 tema yaitu; 1. 3. 5. 7. 9. 11. 13. 15. 17. 19. 21. 23. 25. 27. 29. 31. 33. 35. 37. 39. 41. 43. 45. 47. 49. 51.
Khutbah kitab Kisah ambil ikan Hari Sabtu Pencubaan Nabi Ibrahim dengan sepuluh perkara Bicara Haji Hukum al-Soum Kisah lari Ta’un Kisah sedekah pada orang kafir Kisah pilihan Âdam Kisah beranak ‘Isâ Kisah angkat ‘Isâ ke langit Kisah Yahûdi seru kepada agamanya Tegah ambil lain bangsa tempat rahsia Kisah pecah gigi Nabi Kisah perang Uhud Haram isteri bapa – haram nikah Hukum bunuh Hukum sembahyang qasar Kisah wasiat Allah Kisah kufur Yahûdi Hukum wudu’ Hukum tayammum Perkataan Yahûdi Nasârâ kami anak Allah Ungkit Nabi Mûsâ nikmat Allah Kisah dua anak Âdam Kisah bunuh Qabîl akan Habîl Suruh orang mukmin dengan taqwa dan wasîlah
2. 4. 6. 8. 10. 12. 14. 16. 18. 20.
Muqaddimah Suruh sembahyang zakat Qiblat sekalian
22.
Hukum qisas Hukum anak yatim Kisah bunuh Jâlût Kata ‘Ali r.a Kisah beranak Maryam Mukjizat ‘Isâ Seru Yahûdi Nasârâ kepada Islam Kisah Yahûdi jadi kafir
24.
Kisah pecah perang
26. 28. 30. 32. 34. 36. 38. 40. 42. 44.
Tegah riba Hukum Fara`id Hukum jawab salam Hukum duduk negeri kafir Kisah bermegah-megah Kisah Yahûdi Seru beriman dengan Rasulullah Hukum junub Perjanjian Nasârâ Zaman fatrah
46. 48. 50. 52.
Kisah masuk Baitul Maqdis Kisah korban Hukum menyamun Hukum mencuri
54
53. 55.
Hukum zina Hukum Injil
54. 56.
57. 59. 61. 63.
Tegah berkasih Yahûdi Nasârâ Kekejian Yahûdi perjanjian Kisah Banî Isrâ`îl kena laknat
58. 60. 62. 64.
65. 67.
Kisah soal segala rasul Kisah Rasûlullah
66. 68.
Hukum qisas dalam Taurat Kemuliaan Nabi Muhammad Qur`an Tegah bersetia orang kafir Suruh menyampai risalah Tafsil kekejian Nasârâ Hukum khumur dan arak dan judi Kisah Mâ`idah
Beliau menyusun 36 tema pada jilid kedua yaitu; 1. 3. 5. 7. 9. 11. 13. 15. 17. 19. 21. 23. 25. 27. 29. 31. 33. 35.
Kisah Nabi Ibrâhîm dengan bapanya Anbiyâ` dua puluh lima wajib ketahui dengan tafsil Kisah Iblîs Kisah Nûh Kisah Nabi Sâleh Kisah Syu’aib Kisah bala Qibti Kisah terima Taurat Kisah minta uzur bagi tambah ajal Kisah ambil janji Kisah ahli al-Nâr Sifat al-mu`min Kisah perang Yahûdi Quraizah Perang Hunain Perang Tabûk Kematian kepala munafikin Kisah Nûh Kisah lalu Laut Swiss
2.
Berhujah Nabi Ibrâhîm
4.
Kisah yang haram
6. 8. 10. 12. 14. 16. 18. 20. 22. 24. 26. 28. 30. 32. 34. 36.
Kisah Âdâm Kisah Hûd Kisah Lut Kisah Mûsâ Kisah Banî Isra`îl Kisah ajal Kisah ambil ikan hari Sabtu Kisah Bal’am Bin Ba’ura` Perangi baik-baik Kisah perang Badar Kisah tebusan Badar Kisah ‘Uzair ‘Isâ anak Allah Kisah Tsa’labah Masjid Dirâr Kisah Mûsâ Kisah Yûnus
Beliau menyusun 43 tema pada jilid ketiga yaitu; 1. 3. 5. 7. 9. 11.
Al-qissah riwayat Kisah Zil Qarnain Kisah Ibrâhîm Kisah Ismâ’îl Kisah Mûsâ keluar dari Mesir
2. 4. 6. 8. 10. 12.
Kisah raja Bidrûs Kisah Mûsa dan Khadhîr Kisah Maryam Kisah Mûsâ Kisah Idrîs Kisah Nûh
55
13. 15. 17. 19. 21. 23. 25. 27. 29. 31. 33. 35. 37. 39. 41. 43.
Kisah Dâwûd Kisah Ismâ`îl Kisah Zakaria Kisah Nûh Qazaf Kisah al-Ifk - diriwayat Kisah Hûd Kisah Lut Kisah Mûsâ Kisah Sâleh Kisah Qârûn Kisah Ibrâhîm Kisah Syu’aib Zihâr Al-qissah Riwayat Abu Ja’far al-Râzi
14. 16. 18. 20. 22. 24. 26. 28. 30. 32. 34. 36. 38. 40. 42. 44.
Kisah Ayûb Kisah Yûnus Kisah Maryam Hukum zina Qazaf isteri Kisah Nûh Kisah Nabi Sâleh Kisah Syu’aib Kisah Dâwûd dan Sulaimân Kisah Lut Kisah Nuh Kisah Lut Kisah Luqmân Kisah Nabi Dâwûd Kisah Nûh
Pada jilid keempat, beliau menyusun hanya 9 tema yaitu; 1. 3. 5. 7. 9.
Dan tatkala selesai Turun ‘Isâ – alamat Qiamat Al-qissah Kisah Ashâb al-Fîl Khâtimah
2. 4. 6. 8. 10.
Muslihat kaya miskin Mahar Hûr al-‘Ain Kisah Mûsâ fadilat
Dari daftar tema-tema di atas, terdapat 155 tema yang disusun dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân. Tema-tema tersebut bisa dikategorikan kepada tiga kelompok yaitu pertamanya tema-tema târîkhi, tema-tema fiqhi, dan tema-tema umum. Kelompok tema-tema pertama yaitu târîkhi terdiri dari sejumlah 102 tema dengan perkiraan 66%. Kelompok tema ini merupakan yang mendominasi, banyaknya tema ini merupakan faktor corak penafsiran dalam Tafsîr Nûr al-Ihsân dikategori sebagai târîkhi. Karena untuk menentukan corak penafsiran suatu karya tafsir, harus dilakukan penelitian terhadap tema-tema yang terkandung di dalamnya. Corak penafsiran dikategorikan berdasarkan kelompok tema terbanyak dan yang mendominasi.
56
Kelompok tema-tema umum terdiri dari 28 tema dengan perkiraan 16%. Sementara kelompok tema-tema fiqhi merupakan kelompok tema yang mempunyai bilangan tema paling sedikit yaitu 20 tema dengan perkiraan 8%. Dari berbagai pendekatan yang penulis kemukakan, penulis akan kemukakan kelebihan dan kekurangan Tafsîr Nûr al-Ihsân karya Tuan Haji Muhammad Said Umar. Kelebihannya adalah: 1.
Penafsirannya yang singkat, padat dan dengan bahasa yang mudah difahami, sehingga mendapat perhatian masyarakat dan ulama’. Karya ini juga sesuai dengan keadaan pada waktu itu, di mana masyarakat masih awam.
Sedang kekurangan Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah: 1. Tidak menampilkan sanad dan matan hadits pada fadilah membaca surat tersebut dikutip dari Tâfsîr al-Baidâwi dan Tafsîr al-Jalâlain sebagai pendukung Tafsîr Nûr al-Ihsân. 2. Tidak menampilkan sanad dan matan hadis pada kisah atau Asbâb alNuzûl yang dikutip dari semua karya sumber tafsirnya. 3. Telah dibuktikan dengan jelas bahwa dalil-dalil yang dikutip dari semua karya sumber tafsir beliau mengadopsi cerita-cerita Isrâiliyyât. Dengan kata lain bahwa dalil-dalil yang digunakan tidak sahîh. 4. Tafsirannya yang singkat tidak memberikan wawasan yang luas terhadap pemikiran lebih jauh tentang kandungan al-Qur`ân.
57
Pada akhir penulisan, pengarang Tafsîr Nûr al-Ihsân menyatakan secara jelas dan dengan merendah diri bahwa beliau menerima sebarang pembetulan terhadap karyanya. Beliau mencatat kata-katanya itu pada penutup karya, dengan katanya; “.......... maka yang didapati berbetulan itu maka yaitu daripada Allah kurniaNya dan yang khata’ atau silap qalam itu daripada hamba taqsîrnya diharap tolong perbetul kemudian daripada im’aân al-nazar mudah-mudahan manfaat dan dapat ketahui kehendak Allah dalam Qur`anNya oleh ahli pembaca daripada perempuan dan kanak-kanak sekolah yang membawa jadi Tauhîd Allah yang melepas daripada kaum asyqiyâ` masuk pada kaum su’adâ` yang dapat bahagia selamalamanya 8 ”. Kemudian beliau menutup penulisannya dengan doa memohon rahmat Allah, dilindungi imannya dan saudara-saudara seIslamnya dalam hidup dan mati, dan dimasukkan ke kelompok orang-orang yang diberi karunia nikmat oleh Allah yaitu para nabi, siddîqîn, syuhadâ`, dan orang-orang sâlih. Beliau menutup doanya dengan selawat ke atas Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, dan melafazkan pujian kepada Allah 9 .
8 9
Muhammad Said Umar, Tafsîr Nûr al-Ihsân........... jilid ke-4, hal. 311. Ibid.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah salah satu karya yang terkelompok tafsir yang boleh diterima, karena ia bersumberkan dari karya-karya tafsir klasik yang diterima (mu’tabar). Muhammad Said menerapkan metode yang tepat dalam ilmu tafsir yaitu tahlîli dengan uraian yang sederhana, bersesuaian dengan kondisi masyarakat muslim pada zamannya. Karya tafsir tersebut merupakan karya tafsir sunni tradisional yang sama metode penafsirannya dengan Tafsîr al-Jalâlain. Suatu ayat al-Qur`an disajikan dengan terjemahannya disertai uraian yang sederhana dengan bahasa Melayu Kedah kuno. Uraiannya mengandungi beragam aspek dan menyingkap seluruh maksudnya. Bahkan menjelaskan kosakata dan lafaz, serta kandungannya dalam berbagai aspek pengetahuan, historis, dan hukum. Maka metode penafsiran Tafsîr Nûr al-Ihsân adalah tahlîli. B. SARAN-SARAN Tafsîr Nûr al-Ihsân telah mengangkat derajat masyarakat Islam di Malaysia dan Selatan Thailand. Bertepatan dengan kehendak pengarangnya yang ingin masyarakat Tanah Melayu yang masih mempelajari al-Qur`ân bermula dari dasar
58
59
Alangkah baiknya jika karya tafsir ini diterbitkan dalam wajah baru yang bisa diedit dengan meletakkan tanda baca, dicetak ulang dengan tulisan yang lebih rapi dan disusun dengan lebih cantik. Sesungguhnya Muhammad Said telah memohon kerjasama kepada generasi selepasnya untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin ada dalam karyanya ini. Jika difahami dan diteliti secara mendalam, inilah amanah yang ditinggalkannya untuk kita semua. Metode pengajaran dan pengajian baru terhadap karya-karya tafsir amat dibutuhkan dan harus dikaji secara berterusan. Walaupun umur karya-karya tafsir tersebut mencapai satu abad atau lebih, umurnya itu tidak bermakna bahwa ia sudah tidak relevan lagi dipelajari atau diselidiki. Lihat saja pada karya penafsir-penafsir terdahulu seperti Tafsîr al-Khâzin, pada hari ini ia masih lagi digunakan sebagai bahan mengajar dan penelitian. Maka demikian juga Tafsîr Nûr al-Ihsân, metode pengajarannya dan pelajarannya harus dikembangkan bersesuaian dengan zaman, tidak hanya berterusan dengan metode pengajaran dan pembelajaran pondok pesantren. Selain itu, setiap individu yang mempelajari dan meneliti karya ini mendapat faidah extra yaitu pengetahuan tentang histori-histori yang terkandung di dalamnya.
60
Penelitian ini hanyalah sebuah penelitian awal yang mencoba untuk menelusuri sedikit dari banyak aspek yang menarik dari Tafsîr Nûr al-Ihsân, dari biografi pengarang, metode sumber, metode dan corak penafsiran. Mudah-mudahan ia menjadi kunci pintu bagi penelitian seterusnya pada masa akan datang. Jesteru penelitian ini membuka lembar baru dalam penafsiran al-Qur`ân pada zaman kontemporer dan terus berkembang hingga ke abad-abad seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur`ân al-Karîm Abdullah, Mustaffa, Khazanah Tafsir Di Malaysia, Pahang: Perpustakaan Negara Malaysia, 2009, cet. ke-1. Abû Dâwûd, Sulaimân Bin Asy’ats, Sunan Abî Dâwûd, Jordan: Dâr al-A’lam, 2003, cet. ke-1. Al-Farmâwi, ‘Abdul al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, penerjemah: Drs. Rosihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia, 2002, cet. ke1. Ahmad, Mohd Nazri, Israiliyyat: Pengaruh Dalam Kitab Tafsir, Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., 2007, cet. ke-1. Ali @ Mat Zain, Rosmawati, Pengantar Ulum Hadis, Kuala Lumpur; Pustaka Salam, 2005, edisi ke-11. Awang, Hussin, Kamus al-Tullâb Arab – Melayu, Kuala Lumpur: Darul Fikr, 1994, cet. ke-1. A’rifat, Muhammad Hadi, Sejarah al-Qur`an, Penerjemah: Thoha Musawa, Jakarta: Penerbit al-Huda, 2007, cet. ke-2. Azra,
Azyumardi, Et.Al (Tim Penyusun), Pedoman Penulisan Ilmiah,Skripsi,Tesis Dan Desertasi. Ceqda,2007 cet. ke- 2.
Karya
Al-Baidâwi, Nâsir al-Dîn ‘Abdullah Bin ‘Umar, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr alTa’wîl, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002, cet. ke-1, jilid ke-4. Al-Bukhâri, Muhammad bin Ismâ’îl Abû ‘Abdullah, al-Jâmi’ al-Sahîh alMukhtasar. Beirut: Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah, 1987, cet. ke-3. Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-kaidah Penafsiran al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1997, cet. ke-1. Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahannya Edisi Tahun 2002, CV Darus Sunnah.
61
62
Al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Isrâiliyyât fi al-Tafsîr wa al-Hadîts, Terjemahan Didin Hafiduddin, Jakarta, PT. Litera Antara Nusantara, 1993, cet. ke-1 ___________________, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran alQur`an, penerjemah: Hamim Ilyas dan Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1986, edisi ke-1, cet. ke-1. ___________________, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Cairo : Dar al-Hadits, 2005, Jilid I. Al-Fatâni, Ahmad Fathi, Ulama Besar Dari Fatâni, Kota Bharu: Majlis Agama Islam Dan Adat Istiadat Melayu Kelantan (MAIK), 2009, Edisi ke-2. Hadhiri SP, Chairuddun, Indeks Al-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Ibrahim, Mazlan, Israiliyyat Dalam Tafsir Melayu Tafsir Nur al-Ihsan: Satu Analisis, Tesis prodi S2 Fakultas Pengajian Islam Universitas Kebangsaan Malaysia, 2001. Ikram, Achdiati, Filologi Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, cet. ke-1. Jaafar, Abdul Majid, Isu-isu Dalam Tafsir dan Hadith, Selangor: Pustaka Haji Abdul Majid, 2007, cet. ke-1. Al-Jamal, Sulaimân Bin ‘Umar al-‘Ajili, al-Futūhât al-Ilâhiyah bi Taudhîh Tafsîr al-Jalâlain li al-Daqâiq al-Khafiyah, (t.tp: Dar al-Fikr, t.th), jilid ke-1. Al-Jazîrî, ‘Abd al-Rahman, al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Universitas alAzhar: Dâr al-Bayân al-‘Arabi, 2005, cet. ke-1, jilid ke-5. Al-Khâzin, ‘Ali bin Muhammad, Lubab al-Ta`wîl fî Maâni al-Tanzîl, t.tp, t.th, jilid 6. Mahmud, Abdul Halim Mani’, Metodologi Tafsir: Kajian Komprohensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: RajaGrafido Persada, 2006, cet. ke-1. Al-Marbawi, Muhammad Idris ‘Abdul Rauf, Kamus Idris Al-Marbawi ArabMelayu, Kuala Lumpur: Darul Fikr, 2006, cet. ke-3. Mat Zin, Farid, Islam Di Tanah Melayu Abad Ke-19, Shah Alam: Pustaka Karisma, 2007, cet. ke-1.
63
Al-Maulâ, Muhammad Ahmad Jâd, Qasas al-Qur`an, Cairo: Maktabah Dâr alTurâts, 2000, cet. ke-4. Al-Naisâbûri, ‘Ali Bin Ahmad, Asbâb al-Nuzûl, Beirut: Dar al-Fikr, 2001, cet. ke1. Osman, Mohd Taib dkk, Tamadun Islam Di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2003, cet. ke-1. Paidi, Zulhilmi dkk, Kenegeraan Malaysia: Isu-isu Dalam Pembinaan Negara, Kuala Lumpur: PTS Publication Sdn. Bhd., 2003, cet. ke-1. Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an, Penerjemah: Mudzakir AS, Jakarta: Litera AntarNusa bekerjasama dengan Halim Jaya, 2007, cet. ke10. Al-Sâlih, Subhi, Mabâhitsu fî Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-‘Ilmi lil-Milâyîn, 1972, cet. ke-7. Al-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an & Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, cet. ke-1. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996. Slamet, Mulyana, Asal Bangsa Dan Bahasa Nusantara, Jakarta: Balai Pustaka, 1964, cet. ke-1. Suma, M. Amin, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an (1), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, cet. ke-1. Al-Suyûti, Jalâluddin, Sebab Turunnya Ayat al-Qur`an, Penerjemah: Tim Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008, cet. ke-1, jilid I. _________________, Sebab Turunnya Ayat al-Qur`an, Penerjemah: Tim Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008, cet. ke-1, jilid II. Al-Suyûti & al-Mahalli, Jalâluddin, Tafsîr al-Jalâlain bi Hamisy al-Mus af alSyarîf bi al-Rasm al-Utsmâni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2002. Suryadilaga, M. Al-Fatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yoyakarta: Teras, 2005, cet. 2. al-Syarbînî, Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad al-Khatîb, al-Iqnâ’ fî Hall Alfâz Abî Syujâ’, Damsyiq: Maktabah Dâr al-Khair, 2002.
64
Al-Turmudzi, Muhammad Bin ‘Isâ Bin Saurah, Sunan al-Turmuzi, Beirut: Dâr alFikr, 1983, cet. ke-1. Umar, Muhammad Said, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid I. ____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid II. ____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid III. ____________________, Tafsîr Nûr al-Ihsân, Pattani: Percetakan Bin Halâbi, 1971, cet. ke-3, Jilid IV. Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1972. Al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfan fi Ulūm al-Qur`an, Beirut: Dar Qutaibah, 2001, cet. ke-2.
Situs dan Jurnal http//:www.wacananusantara.org/ http//:www.saaid.org.my http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Kedah http//:www.ms.wikipedia.org/wiki/Perak http://en.wikipedia.org/wiki/Naqshbandi
Jurnal Usuluddin, (t.tp, 2005), Bil. 21, Mohd. Alwee Yusoff, Perkembangan Tulisan Jawi Dan Aplikasinya Dalam Masyarakat Islam Di Malaysia.