KONSEP TÂGHÛT DALAM AL-QURAN (Sebuah Analisis Makna Tâghût Dalam al-Quran Serta Korelasinya Terhadap Berbagai Penyimpangan Akidah Dalam Realitas Sosial)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)
Oleh : Andriansyah 1040 3400 1158
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2010 M
KONSEP TÂGHÛT DALAM AL-QURAN Sebuah Analisis Makna Tâghût Dalam al-Quran Serta Korelasinya Terhadap Berbagai Penyimpangan Akidah Dalam Realitas Sosial
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaTeologi Islam (S. Th. I)
Oleh : Andriansyah NIM: 1040 3400 1158
Dibawah Bimbingan:
Dr. Ahsin Sakho, MA. NIP. 1956 0221 199603 1001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2010 M
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ Segala puji dan syukur kepada Allah swt. yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penyusun sehingga hanya karena limpahan nikmat-nikmat itu penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun dengan tertatih-tatih dan sangat sederhana. Salawat dan salam kami persembahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang membawa umatnya dari alam kegelapan karena kebodohan kepada alam yang terang benderang karena bertaburan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, sehubungan dengan telah selesainya penyusunan skripsi ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, penulis banyak berhutang jasa kepada berbagai pihak yang begitu tulus membantu, baik berupa motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis pada masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Kepada mereka, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam. Oleh karena itu, tiada kata seindah doa dan ucapan terima kasih penulis sampaikan teruntuk:
1. Kepada Prof. Dr.Zainul Kamaluddin. F., MA Dekan Fakultas Ushuluddin.
i
2. Dr.Bustamin, M.Si. Ketua Jurusan dan Muslim, S.Th.I Sekertaris Jurusan Tafsir Hadis, yang telah memberi saran dan informasi akademik serta yang telah memfasilitasi penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 3. Dr. Ahsin Sakho, MA Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran dan kritik. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan saran-sarannya yang dengan penuh kesabaran dan di tengah padatnya agenda kegiatan, beliau masih sempat menyisakan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Ushuludddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis. 5. Segenap petugas Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin. Terima kasih atas segala bantuannya yang memfasilitasi penulis dalam mencari data-data, baik dalam tugas akademik keseharian terlebih saat penyelesaian skripsi ini. 6. Rasa Ta’zim dan terima kasih yang mendalam Kepada kedua orang tua Ayahanda Dirham Syah dan Ibunda Kusti’ah atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta cinta dan kasih sayang yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-hentinya kepada Allah swt, senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam belajar, juga atas dan pengorbanan yang luar biasa mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini
ii
7. Demikian pula kakak-adik tercinta a adi, iwan, dzulkarnain, yang selalu memberikan semangat, terutama khusus buat teteh ku (teh cindy) yang paling baik, perhatian dikeluarga, supaya adik-adiknya sukses, dan selalu memberikan motivasi, dorongan,
semangat, Karena merekalah penulis
memutuskan kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan akhir studi ke kampus tercinta, yang lambat-laun semakin asing, karena perubahan yang begitu drastis dalam waktu hanya setahun saya tinggalkan. 8. Tidak lupa juga buat teman-teman kosan seperjuangan dalam mencari ilmu. ijonk, (yang lagi mencari cinta sejati nya), onta, iwan susanto, mukhlas,dan anca, penulis ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan do’a, mudah-mudahan amal kebaikan kalian semua di terima Allah swt. 9.
Terakhir, untuk teman-teman angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin: abdul mohay, anas, ardie,otoy, baehaqi, Aang Setiawan, abang agung, terutama buat bang ubay yang selalu memberikan wejangan agar penulis lebih serius dalam menyusun skripsi. Dan tak lupa pula kepada: “TH-B” yang ghoib dan tidak dapat penulis sebut namanya satu per satu dan semoga hubungan persahabatan (tali silaturrahmi) tidak akan terputus sampai kapanpun.
Mengakhiri kata pengantar ini, semoga amal dan jasa baik yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah swt dengan pahala yang berlimpah ganda.dan menjadikan amal saleh mereka. Dengan segala kelemahan, kekurangan dan kelebihan yang ada semoga Allah swt senantiasa meridhoi setiap langkah kita amin.skripsi ini dapat bermanfaat bagi
iii
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. penulis berharap semoga keberadaan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pribadi dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 25 Nopember 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…... i PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………………….....v DAFTAR ISI……………………………………………………………………… viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………….……………………………..1 B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................4 C. Tujuan Penelitian…………………………..…………………………....4 D. Tinjauan Pustaka…………………………….………………………….5 E. Metodologi Penelitian……………………….……………………….....6 F. Sistematika Penulisan……………………….………………………......7 BAB II TÂGHÛT DALAM AL-QURAN A. Definisi Tâghût 1.1 Menurut Bahasa................................................................................9 1.2 Menurut Istilah................................................................................11 B. Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir 1.3 Sayyid Quthb..................................................................................12 1.4 M.Quraish Shihab...........................................................................12 1.5 Hamka.............................................................................................15
BAB III KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR A. Ibn Katsir dan Sayyid Quthb………………………………………....18 B. M. Quraish Shihab dan Hamka…………………………………… ...24 viii
C. Macam-Macam Tâghût a.
Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran...............................29
b.
Para Pendeta dan Pastur...........................................................37
c.
Kefanatikan Terhadap Ulama Islam…………………………43
d.
Dukun dan Tukang Sihir……………………………………..47
D. Faktor Penyimpangan Akidah Serta Analisa Tâghût Dalam Realitas Sosial....................................................................................................56
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………………………..67 B. Saran-saran…………………………………………………………………..68 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………....69
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005/2006. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
Tidak dilambangkan
ﺐ
B
be
ﺖ
T
te
ث
Ts
te dan es
ج
J
Je
ح
H
h dengan garis bawah
خ
Kh
ka dan ha
د
D
De
ذ
Dz
de da zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
ش
Sy
es dan ye
ص
S
es dengan garis di bawah
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
v
ض
D
de dengan garis di bawah
ط
T
te dengan garis di bawah
ظ
Z
zet dengan garis di bawah
ع
‘
Koma terbalik di atas hadap kanan
غ
Gh
ge dan ha
ف
F
ef
ق
Q
ki
ك
K
ka
ل
L
el
م
M
em
ن
N
en
و
W
we
ھ
H
ha
ﺀ
'
apostrop
ي
Y
ye
Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
—َ
a
fathah
ِ—
i
kasrah
—ُ
u
dammah
vi
Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
___َ___ي
ai
a dan i
___َ___و
au
a dan u
Vokal Panjang Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَـﺎ
â
a dengan topi di atas
ْـِﻲ
î
i dengan topi di atas
ْـُـﻮ
û
u dengan topi di atas
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: kata اﻟﻀَﺮُوْرَةtidak ditulis ad-darûrah melainkan aldarûrah, demikian seterusnya.
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan demi mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Konsepkonsep yang dibawa al-Quran selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena itu ia turun untuk mengajak manusia berdialog dengan penafsiran sekaligus memberikan solusi terhadap problema kemanusiaan di manapun mereka berada. Di antara kemurahan Allah terhadap manusia
bahwa dia tidak saja
memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka ke arah kebaikan, tetapi juga dari waktu ke waktu Dia mengutus seorang rasul kepada umat manusia dengan membawa al-Kitab dari Allah dan menyuruh mereka beribadah hanya kepada Allah saja,(tidak menyekutukanya) menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan.1 Di era globalisasi ini begitu sering mencuatkan persoalan yang bersifat pragmatis.
Agama
dipandang
sebagai
pemicu
pemberontakan,
sumber
ketegangan, akar dari konflik permusuhan. Oleh karenanya, agama semakin dijauhi. Modernisasi hanya menjadi fasilitas menuju panggung matrealisme sehingga menggersangkan aspek spiritual. Atas dasar itulah sebagian manusia 1
Manna khalil al-Qattan ’Studi ilmu-ilmu al-Qur’an’(Jakarta, Lentera AntarNusa),Thn 2006, cet.9, h.10
1
2
modern lebih memilih ikatan spiritual tanpa harus terikat secara agama. Bersama kecenderungan ini dengan menjadikan kemajuan tekhnologi sebagai keyakinannya, pengaruh agama semakin terbatas dan kepercayaan terhadap Tuhan bagitu statis. Semuanya tenggelam dalam bentuk intensitas yang baru yang barangkali sudah keluar dari batas-batas Ketuhanan. 2 Suatu keyakinan di dunia ini apalagi keyakinan tentang Allah, Tauhid selalu menemukan sisi perlawanannya. Konsep Allah sebagai Tuhan Yang Satu secara berangsur-angsur dan tanpa di sadari beralih kepada Tuhan yang banyak dalam batang tubuh keyakinan ummat Islam sendiri, terutama apabila menyaksikan betapa masih kuatnya pengaruh singkritisme bercokol pada akar keyakinan masyarakat Jawa. Atau yang paling berbahaya melanda keyakinanTauhid masyarakat Islam yang masih awam yang pondasi keimanan mereka belum kuat menjadi sasaran empuk penyimpangan akidah serta masuk ke dalam definisi kemusyrikan. Jika penyimpangan keyakinan yang diyakini sebagai perbuatan syirik itu pada masa klasik digambarkan dengan menuhankan berhala, pohon-pohon dan tempat-tempat keramat tertentu, maka bentuk penyimpangan itu pada masa modern ini mengambil bentuk-bentuk yang baru. Berhala-berhala itu tampil dalam bentuk kepercayaan dan keyakinan kepada ramalan dukun yang sedang laris di televisi, prediksi tentang nasib dan masa depan, jodoh, rezeki, pesugihan atau kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan baru telah muncul yang mampu memprediksikan segala sesuatu dalam keyakinan, padahal mereka
2
. Gilles Kepel, Pembalasan Tuhan, (Pustaka Hidayah, Jakarta,1997), h. 9
3
hanyalah manusia biasa. Berbagai macam penyimpangan ini sebetulnya telah membawa manusia kepada paham syirik, dimana masyarakat modern termasuk orang Islam sendiri ada yang percaya dengan ramalan Mama Laurence, Ki Joko Bodo atau paranormal-paranormal lainnya yang sebenarnya berpotensi menyesatkan. Dalam konsep Tauhid, bila dijumpai suatu keyakinan yang meyakini sesuatu selain Allah, maka itu dinamakan tâghût.
3
Tâghût diyakini sebagai
sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada Akidah dan syariat Allah. Tâghût juga termasuk ke dalam tatanan dan sistem yang tidak berpijak kepada peraturan Allah. 4 Berdasarkan pandangan ini, penulis meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan keyakinan yaitu dengan meyakini konsep tâghût sebagai sesuatu yang diyakini selain Allah. Tâghût yang sekarang ini berupa keyakinan dan kepercayaan baru terhadap paranormal-paranormal itu yang notabene mereka memperdagangkan angan-angan serta prediksi mereka dalam rangka memperoleh keuntungan. Ketika penyimpangan akidah yang secara inheren ini menggurita dalam keyakinan umat Islam, maka berbagai, paradigma, prinsip, sistem dan dasar-dasar keyakinan tidak mustahil memasuki definisi syirik. Maka dari itu, pemahaman tentang makna tâghût dalam konteks terkini perlu dipertegas kembali untuk
3 Al-Raghib Asfahaniy, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz al-Quran, Jilid 1, (Beirût: Dâr alFikr, tt), h. 115-116 4 Muhammad Yusuf Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, ( Beirût:Dâr al-Fikr, 1992), h. 617
4
mrngukuhkan pondasi tauhid. Karena tauhid adalah wilayah atau area yang extra hati-hati dalam aplikasi dan implementasinya. Representasi serta aktualisasi nilai tauhid harusnya nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga keyakinan manusia tidak ternodai oleh unsur tâghût. Penulis memilih makna tâghût sebagai objek pembahasan karena selain terjadi banyak penyimpangan dalam realitas sosial, definisi tentang taghût perlu dilahirkan kembali sebagai jaringan atau sistem yang sangat kontra dengan tauhid. B. Indentifikasi Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang penulis deskripsikan di atas, maka penulis akan membatasi permasalahan skripsi ini pada dua Konsep taghût masa klasik dan modern dalam perspektif al-Quran, serta budaya penyimpangan yang telah terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, penulis merumuskan sebagai berikut: -Bagaimana Konsep Taghût dalam Al-Quran dengan Penyimpangan Akidah di Realitas Sosial? Sedangkan batasan masalah hanya pada pemaknaan taghût dengan ayat alQuran yang disertai tafsir, adapun ayat lainnya bisa digunakan sebagai data pelengkap pembahasan. Taghût dalam al-Quran dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan masuk ke dalam prilaku syirik akan dibahas secara proporsional sehingga batasan penyimpangan itu dapat diketahui.. C. Tujuan Penelitian Kegiatan penelitian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat keilmuan. Penelitian dalam dunia keilmuan bertujuan memperkaya tubuh pengetahuan teoritis keilmuan dilegkapi dengan metode pemecahan masalah yang
5
dihadapi manusia. Adapun tujuan penelitian yang hedak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berkut: a. Untuk menemukan dan menjelaskan makna taghût dalam al-Quran dalam konteks terkini beserta konsekuensinya. b. Sebagai kontribusi pemikiran dalam rangka menggali dan memperluas definisi taghût beserta implikasinya yang berupa penyimpanganpenyimpangan yang masih samar-samar. c. Untuk mengingatkan opini masyarakat bahwa taghût tidak hanya berhenti pada aspek keluar dari garis yang ditetapkan Allah atau menyembah berhala saja . Akan tetapi lebih dari itu, taghût juga memiliki pengertian yang lebih luas dan mendasar yaitu mempercayai prediksi dan ramalan paranormal ketimbang kepercayaan dan keyakinan yang teguh kepada Allah. d.
Untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana Strata ( S 1 ) UIN SYARIF HIDAYATULLAH.
D. Tinjauan Pustaka Adapun kajian tentang konsep taghût secara umum, penulis menemukan pada sebuah skripsi yang berjudul “Kriteria Thaghut dan Bughat dalam al-Quran” (Tafsir Tematik atas upaya penyelesaian penyimpangan kekuasaan di Indonesia) yang ditulis oleh Rafikul Ihsan. Dalam skripsi yang disebutkan di atas, analisis makna thaghut difokuskan terhadap penyimpangan kekuasaan politik di Indonesia.
6
Sedangkan dalam skripsi yang akan dibahas oleh penulis adalah analisis makna taghût dalam al-Quran menurut kacamata akidah. Jika diteliti lebih jauh, penyimpangan akidah atau masalah iman mempunyai dampak serius kepada beragam bentuk penyimpangan di tubuh realita sosial. Karena masalah Iman dan Akidah mempunyai hubungan erat dengan realitas sosial. Maka dari itu, skripsi ini membahas bagaimana makna atau konsep thaghut dalam al-Quran serta kaitannya dengan berbagai penyimpangan dalam realita sosial. Dengan demikian, dapat dikatakan, penelitian pada dasarnya merupakan penelitian dalam rangka mengeksplorasi ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan konsep taghût secara utuh dan terperinci. Kemudian secara khusus memfokuskan kajian secara mendalam pada berbagai macam penyimpangan akidah dalam kehidupan sehari-hari. E. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Prosedur
penelitian
yang digunakan
pengumpulan data, baik primer maupun
oleh
penulis
adalah tehnik
sekunder yang dilengkapi dengan
analisis data. Metode pengumpulan data pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian pustaka (Library research). Data primer yang dimaksud di sini adalah al-Qur’an, dan data-data diambil dari tulisan tokoh yang diangkat baik yang terdokumentasikan dalam bentuk buku, makalah-makalah seminar, dan artikelartikel jurnal dan majalah. Data ini, merupakan sumber primer yang dijadikan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini. Adapun data-data skunder adalah data yang berupa buku-buku lain, jurnal,
7
ensiklopedi dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber primer yang bertujuan untuk memperkaya perolehan data guna memperkuat analisa dalam penelitian ini. Sehingga dapat diperoleh pemahaman yang memadai mengenai taghût dalam al-Quran. 2. Metode Pembahasan Metode pembahasan dalam penulisan ini adalah metode deskriptifanalisis-kritis sebagai eksplorasi untuk mencermati pemikiran Hamka dan Quraish Shihab yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun
sekunder)
kemudian
menganalisisnya
secara
proporsional
dan
komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid. 3. Metode Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004/2005.
F. Sistematika Penulisan Mengacu pada penelitian di atas, pembahasan dalam penelitian ini dapat disistematikan sebagai berikut:
8
BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, indentifikasi pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metodologi penelitian yang digunakan dalam skripsi ini. BAB II : Berisi tentang tâghût dalam al-Quran yang menjelaskan tentang pengertian tâghût menurut bahasa, Istilah, serta ragam bentuk kata tâghût dalam al-Quran menurut para mufassir. BAB III : Menjelaskan tentang konsep tâghût dalam pandangan beberapa mufassir, di antaranya menurut Ibn Katsir,Sayyid Qutb, dan M. Quraish Shihab. Macam-macam tâghût,Penyimpangan akidah serta analisanya. BAB IV : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TÂGHÛT DALAM AL-QURAN
A. Definisi Tâghût 1. 1 Asal-usul kata Tâghût Menurut Ahli Bahasa Menurut madzhab Sibaweh bahwa tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah isim Mudzakar Mufrad (Kata benda yang menunjukan nama yang berjenis laki-laki dan berbentuk tunggal) seakan-akan nama untuk semua jenis, baik sedikit maupun banyak.1 Imam Thabary berpendapat, bahwa tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتitu bentuk muannats dari kata-kata “taghâ-yatghû” (ﻃﻐﻰ-
)ﯾﻄﻐﻮ
)ﯾﻄﻐﻰ
atau ‘taghâ-yatghû (ﻃﻐﻰ-
yang artinya melampaui batas, wazannya adalah fa’alût.2 Sedangkan madzhab Abu ‘Aly mengatakan, tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتitu isim
masdar yang asalnya taghwût ( )ﻃﻐﻮوتseperti kata ‘rahabût’ ( )رھﺒﻮتdan “jabarût’ ()ﺟﺒﺮوت, yaitu yang menjadi sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak. Lam fi’il lapadz taghâ yang asalnya berbentuk “thawagha” ( )ﻃﻮغberubah kepada ain fi’il diganti dan ditukar menduduki lam Fi’il yaitu “tawagha” ()ﻃﻮغ
1
Syaikh Ahmad Al-Qathan, Muhammad Zein, Thaghut, (Jakarta : Pustaka Kautsar, 1993), Cet ke III, h, 19 2 Kamus Arab-Indonesia, al-Munawwir, (Jakarta: al-Kautsar Press,2003), Cet.IV, h.467.
9
10
menjadi ‘taghawa” ( )ﻃﻮغdan akhirnya menjadi “taghâ” ( )ﻃﻐﻰkarena ia berharakat dan huruf sebelumnya pun berharakat, sehingga menjadi “taghût” ( )ﻃﺎﻏﻮت3 Menurut pendapat Imam Bahr, tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتdalam bahasa diambil dari kata “tughyân” ()ﻃﻐﯿﺎن, pendapat ini senada dengan pendapat Sayyid Quthb, yang pengertiannya menyampaikan, tanpa isytiqââq (Tanpa menggunakan kata pecahan dari suatu kata dasar) seperti dikatakan untuk kata-kata : ‘aalu’ ()ال dan kata “Lu`lu`” () ﻟﺆﻟﺆ Imam Mubarrid bertutur, kata-kata “tâghût ” ( )ﻃﺎﻏﻮتitu adalah bentuk jamak, tetapi pendapat ini ditentang oleh Ibnu Athiyyah. Ada pula yang mengatakan bahwa “ tâghût” ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah isim ‘ajami seperti kata-kata “hârût” ( ) ھﺎروتdan “Mârût” (
ﻣﺎروت
) kata
“taghût” tersebut dijadikan bahasa arab yang berlaku untuk tunggal ataupun jamak.4 Dari penjelasan yang di atas penulis telah paparkan setelah mencari sejumlah ayat yang berkaitan dengan kalimat tagha () ﻃﺎﻏﻰ, taghût ()ﻃﺎﻏﻮت
3
Imam Abu hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Beirut: Dar al-Hail, 1995),
4
Muhammad Zein, Thaghut, h. 19-20
h. 373
11
dan tughyân ( )ﻃﻐﯿﺎنpenulis lebih sependapat dengan uraian yang disebutkan oleh Imam Abu Ali dan nantinya penulis mencoba saling mengaitkan ayat-ayat tersebut satu sama lain. I.2. Kata tâghût Menurut Istilah Bahwasanya
definisi
tâghût
()ﻃﺎﻏﻮت
ialah
sebuah
sifat
yang
menggambarkan penyembahan kepada selain kepada Allah dalam berbagai bentuk karena katanya berbentuk sifat untuk jenis tunggal ataupun jamak sebagaimana diterangkan Abu Ali di atas yang pada akhirnya tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk tâghût itu sendiri menjadi beragam seperti lebih percaya (mendewakan), manusia kepada manusia (dukun atau paranormal), benda dalam hal ini uang, hawa nafsu (kekuasaan, jabatan).5
B. Ragam Bentuk Kata Tâghût Dalam Al-Quran Menurut Para Mufassir Dalam beberapa literatur, penulis banyak menjumpai pengertian tâghût, yang secara umum kata tâghût diartikan sebagai sesuatu yang disembah selain Allah.6 Sedangkan Dlohhak, Qotadah, Mujahid, Syi’biy mengartikan tâghût dengan syaithan dan Imam Ibn Sirin mengartikan dengan tukang sihir, dan Imam Jabir, Ibn Jabir, Rofi, serta Ibn Jarih mengartikan dengan dukun.7
5
Imam Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsir an-Nahru al-Madd, (Dar al-Hail, Th. 1995),
6
Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 115-116
7
Ibnu Hayyan, al-Bahru al- Muhith, juz : 2, h. 617
h.373.
12
1.3 Sayyid Quthb Dalam pandangan Sayyid Quthb, Kata tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah variasi bentuk kata dari “thughyân”( )ﻃﻐﯿﺎنyang berarti segala sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak berpedoman kepada akidah Allah, tidak berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah. Lebih jauh menurut beliau termasuk dalam kategori tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah juga setiap manhaj tatanan,system yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syariat Allah.8 1.4 M. Quraish Shihab Menurut Quraish Shihab tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتterambil dari akar kata yang berarti melampaui batas biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, Dajjal,Penyihir. Yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan ilahi, tirani, semuanya digelari dengan tâghût ()ﻃﺎﻏﻮت. Kata thagha dalamberbagai bentuknya ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali.9 Kata ini pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertian ini digunakan pula oleh al-Qur’an, antara lain pada surat al-Haqqah (69) ayat 11 : 8
Sayyid Quthb,tafsir fi Zhilalil Qur’an (terj),Gema Insani Press,Jakarta.2000,cet 1, h.
220-221 9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an AlKarim, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, Bandung,1997, h.104
13
”sesungguhnya, ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, Kami mengangkut nenek moyang kamu keatas bahtera”.
Kata thagha (
) ﻃﻐﻰdalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam
arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia dan tentunya juga tetap berlaku untuk makna asli yang disebut di atas yakni melimpahnya air, menurut bint As-Syathi, kata thagha dalam al-Qur’an selain digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti perbuatan melampaui batas, seperti kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat alBaqarah ayat 15, al- Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata thagha dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang Fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan danperlakuan kejam terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannnya kepada Tuhan, yang dapat dipahami dari ayat lain10 Dengan demikian kata thagha (
ﻃﻐﻰ
) menerangkan sikap kesewenang-
wenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh sekian banyak ulama tafsir.
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, h. 105.
14
Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan bahwa yang dimaksud tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang disembah, oleh kaum musyrikin Mekkah dan juga setan serta segala macam berhala. Demikian al-Biqai menafsirkannya.Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa tâghût yaitu melanggar hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan kebatilan, kezaliman dan kejahatan. 11 Sedangkan dalam surat an-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah dua tokoh yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn alAsyaraf, yang memimpin rombongan orang yahudi menuju ke Mekkah untuk menjalin kerja sama dengan penduduk Mekkah memerangi Nabi Muhammad saw, Mereka disambut baik oleh tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah ketika itu, yakni Abu Sufyan. Tokoh-tokoh Mekkah meragukan keikhlasan orang yahudi sambil berkata, ”kalian,wahai orang Yahudi,adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga demikian juga demikian,maka kami meragukan kalian, bila ingin kami melawan Muhammad bersama kalian, aku sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala kami dan percayalah kepadanya”. Orang-orang yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Mekkah kemudian mereka memilih masing-masing tiga-puluh orang dari kelompok Yahudi dan Musyrik Mekkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti janji setia memerangi Nabi Muhammad saw, Setelah Abu Sufyan bertanya kepada Ka’ab, ”engkau mmembaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian.
11
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol 2. Lentera Hati, Jakarta, 2000.h. 450.
15
Siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya daripada Muhammad dan sahabat-sahabatnya”.12 Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyaraf, dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan merujuk kepada Nabi Muhammad saw. Untuk menyelesaikan perselisihannya, walau lawannya yang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik justru mengusulkan agar yang menjadi hakim adalah Ka’ab ibn al-Asyarf.Ada lagi yang memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran islam.13 1.5 Hamka Sedangkan menurut Prof Dr.Hamka, secara ringkas beliau menyimpulkan tentang tâghût adalah pelanggar, sesuai dengan tafsirannya pada surat al-Baqarah 256 yaitu ”akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, atau pemimpin, dukun, syaithan, berhala, atau orang-orang yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kalimat tâghût.14.Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada tâghût yakni setengah menyembah kubur. Setengahnya menyembah orang-orang menggantungkan nasib kepadanya. 15 Kata tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتdalam al-Quran seringkali di sebutkan dalam bentuk isim dan jika dilihat dari segi akar bahasa maka akan lebih banyak lagi, 12
M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 451. M. Quraish shihab, Tafsir Al-Mishbah, h. 465 14 Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Jakarta :Pustaka Panjimas, 1982), h.26. 15 Prof.Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.29.
13
16
baik kita jumpai dalam bentuk fi’il madi maupun isim masdar. Dalam kitab Mu’jam al-Mufahrâs, kata tâghût yang penulis jumpai dalam al-Quran terdapat 12 kali disebutkan. Dalam posisi atau bentuk isim masdar yaitu tughyân, disebutkan 16 kali dalam bentuk fi’il ditemukan 39 kali. Secara umum kata tersebut terdistribusikan sebagai berikut: a. Bentuk tâghût ( ) ﻃﺎﻏﻮتsurat al-Baqarah (2) ayat 256 dan 257, surat alNisa (4) ayat 51,60, 76,surat al-Maidah (5) ayat 60, surat al-Nahl (16) ayat 36, surat al-Zumar (39)ayat 17.16 b. Sedangkan dalam bentuk “tughyân” ( )ﻃﻐﯿﺎنada dalam surat al-Baqarah (2) ayat 15, al-Maidah (5) 64,68,72, Surat al-An’am (6) ayat 110, surat alA’raf (7) ayat 186,surat Yunus (10) ayat 11,surat al-Isra, (17) ayat 60. alKahfi (18) ayat 80, surat al-Mu’minun (23) ayat 75. c. Dalam bentuk ‘taghwu” ( )ﻃﻐﻮisim masdar, tertera dalam surat al-Syams (91) ayat 11 ( )ﻃﻐﻰfiil madhi, surat al-Haqqah 969) ayat 11, surat Thaaha (20) ayat 24, 43, surat al-Najm (53) ayat 17 dan surat al-Naziat (79) ayat 17 dan 37,surat al-Fazr ayat 11. d. Dalam bentuk “Tathgâw-yatgha-athgha’ (ﺗﻄﻐﻮ
-ﯾﻄﻐﻮ- اﻃﻐﻰ
) fi’il
mudhari,surat Thaha (20) ayat 24,45 dan 81, surat al-Rahman (55) ayat 8,,
16
Al-Haj Khan Bahdur Altaf Ahmad Kheirie, R.A.S Index Cum Concordance For The Holy Qur;an (New Delhi : Kitab Bavhan, th. 1993). h. 953
17
surat Hud (11) ayat 112, surat Qaaf (50) ayat 27, surat al-Nazm (53) ayat 52, surat al-‘Alaq ayat 6. e. Dalam bentuk Taghin ()ﻃﺎغ, isi Fail yaitu : surat Shaffat (24) ayat 30, surat Shad (38) ayat 56, surat 56,surat al-Dzariyat (51) ayat 53, surat alThur (52) ayat 32, surat al-Qalam (68) ayat 31,al-Haqqah (69) ayat 5, surat al-Naba (78) ayat 22.17
17
Al- raghib Asfhanniy, Al-Mu’zam Mufradat Alfâz Al-Qur’an, Jilid 2, (Beirut : Dar alFikr, tt.), h. 136-138
BAB III KONSEP TÂGHÛT MENURUT PARA MUFASSIR
A. Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb Pandangan beberapa para mufassir dalam menafsirkan konsep tâghût secara global mempunyai kemiripan pandangan akan tetapi dalam ciri khasnya mempunyai perbedaan yang mendasar dari mulai menafsirkan gaya bahasa, struktural profesi, dengan mufradatnya, sampai kebudayaan sosial waktu itu. Sebagaimana dalam pandangan Ibnu Katsir menyikapi surat al-Qur’an dibawah ini:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Tâghût dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (al-Baqarah : 256)
Allah Ta'ala berfirman, “Tidak ada paksaan dalam agama.” Maksudnya, kamu memaksa seorang pun untuk memasuki agama Islam, karena Islam itu sudah jelas dan terang. Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata hingga seseorang tidak perlu dipaksa supaya masuk agama Islam. Namun, orang yang ditunjukkan kepada Islam, dilapangkan hatinya, dan disinari mata hatinya oleh Allah, maka ia akan masuk ke dalamnya secara terang benderang. Adapun orang
18
19
yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya.1 dikunci mati oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki Islam. Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita Anshar berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan menjadikannya yahudi tatkala Bani Nadhir diusir dan di antara mereka ada anakanak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak kami jadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama. “Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas. Cerita senada diriwayatkan pula oleh Abu Daud dan Nasa'i dari Bandar, diriwayatkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban dari hadis Syu'bah. demikian pula Mujahid dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat di atas diturunkan karena kejadian tersebut. Muhammad bin Ishak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki dari Bani Salim bin Auf yang bernama al-Husaini. Dia menasranikan kedua putranya yang telah memeluk agama Islam. Maka dia berkata kepada Nabi Muhammad saw, “Apakah saya dianggap memaksa keduanya” padahal keduanya telah menolak agama kecuali agama Nasrani?” Maka Allah menurunkan ayat di atas berkaitan dengan itu. Ayat ini telah dinasakh dengan ayat mengenai perang, “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (al-Fath: 16) Allah berfirman,
1
Al-Qur’an al-Karim Surat “(al-Lail :5-10)"
20
"Wahai Nabi, berjihadlah melawan kaum kafir dan munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka." Dan Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka mendapat kekerasan dari kamu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa." (al-Taubah: 123)
Berdasarkan hal itu, maka seluruh umat wajib diseru untuk memasuki agama Islam. Apabila ada yang menolak masuk Islam atau tidak membayar jizyah, maka dibunuh hingga mati. Inilah makna memaksa. Dalam kitab sahih dikatakan (409), “Tuhanmu heran kepada kaum yang digiring ke dalam surga dengan dibelenggu.” Maksudnya, para tawanan yang dibawa ke negara Islam dalam keadaan diikat dan dibelenggu, kemudian mereka masuk Islam, memperbaiki amal-amalnya dan sikap hatinya sehingga mereka menjadi penghuni surga. Firman Allah, "Barang siapa yang ingkar kepada tâghût,2 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Artinya, barang siapa yang menjauhkan diri dari sekutu, berhala-berhala, dan apa-apa yang diserukan setan supaya perkara selain Allah yang disembah, serta
mentauhidkan 2
Allah,
menyembah-Nya,
mengesakan-Nya,
dan
Di sini, kekafiran kepada tâghût didahulukan daripada keimanan kepada Allah. Perbuatan demikian mengandung isyarat yang halus bahwa yang pertama kali harus dilakukan ialah membersihkan kalbu dan membuang kepercayaan kepada tâghût yang ada dalam kalbu. Jika kalbu telah kosong dan bersih, maka dapat diisi dengan keimanan kepada Allah. Dengan demikian, keimanan dalam dapat meresap di dalam kalbu. Keimanan tidak akan melekat kecuali jika Allah sebagai pemeliharanya. Maka, tidak ada seorang pun yang mampu mencabut keimanan yang mengakar ke kalbu dan yang memegang teguh tali yang kokoh.
21
mempersaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada tali yang amat kokoh. Tâghût ialah 'setan'. Istilah tâghût mencakup segala kejahatan yang dilakukan kaum jahiliah, seperti menyembah, berhakim, dan meminta tolong kepada berhala. Firman Allah, “Maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.”Yakni, sesungguhnya dia telah memegang teguh agama dengan sarana yang paling kuat. Kondisi itu diserupakan dengan tali yang teguh yang tidak akan putus sebab jati diri tali itu stabil, kokoh, dan kuat, serta ikatannya sangat keras. Tali yang kuat itu ialah iman dan Islam. Tidak ada kontradiksi antara orang yang berpendapat bahwa tali itu ialah “tidak ada tuhan melainkan Allah”, ia adalah al-Qur'an, ia adalah cinta karena Allah dan benda karena Allah pula. Semuanya benar. Berkaitan dengan firman Allah “tidak rapuh”, Mu'adz bin Jabal berkata, “Ayat itu berarti 'tidak masuk surga'.” Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Qais bin Ubadah, dia berkata (410) “Aku sedang berada di masjid. Tiba-tiba datanglah seseorang yang di wajahnya ada tanda kekhusyuan. Dia shalat dua rakaat secara singkat. Orangorang berkata, “Orang ini ahli surga.” Setelah dia keluar, maka saya mengikutinya sampai di rumahnya, lalu aku ikut masuk ke rumahnya. Kami mengobrol, dan setelah akrab aku bertanya, 'Ketika engkau masuk masjid, orang-orang mengatakan bahwa engkau adalah ahli surga.' Dia menanggapi, 'Maha suci Allah. Tidak selayaknya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya. Saya akan bercerita kepadamu mengapa saya demikian.
22
Sesungguhnya aku bermimpi seolah-olah aku berada di taman nan hijau.”Ibnu Aun berkata: “Orang itu menceritakan kehijauan dan keluasan taman. Di tengah-tengah taman ada tiang besi. Bagian bawahnya menancap ke bumi dan bagian atasnya menjulang ke langit. Pada bagian tengahnya ada tali. Tiba-tiba dikatakan kepadaku, 'Naiklah!' Maka aku menjawab, 'Aku tidak bisa.' Kemudian datanglah pelayan.” Ibnu Aun berkata, “Pelayan itu seorang pemuda. Pelayan menyingsingkan bajuku dari belakang seraya berkata, “Naiklah”! Maka aku pun naik hingga berhasil memegang tali. Dia berkata, 'peganglah tali itu.' Maka aku terbangun dan tali itu benar-benar ada di tanganku. Kemudian aku menemui Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian itu kepada beliau. Maka beliau bersabda, 'Taman itu melambangkan taman Islam, tiang itu melambangkan tiang Islam, dan tali itu adalah tali yang kokoh. Kamu akan senantiasa memeluk Islam hingga mati.” Hadis ini dikemukakan dalam sahîhain. Orang itu adalah Abdullah bin Salam r.a.
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (al-Baqarah : 257)
23
Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menunjukkan orang yang mengikuti
keridhaan-Nya
mengeluarkan
sebagai
hamba-hamba
yang
jalan
keselamatan.
beriman
dari
Kemudian
kegelapan,
Dia
kekafiran,
kegamangan., dan keraguan, kepada cahaya kebenaran yang jelas, terang, dan mudah, dan bahwa orang-orang kafir memiliki para pelindung, yakni setan yang menjadikan kebodohan dan kesesatan itu indah dalam pandangan mereka serta mengeluarkan dan menyimpangkan mereka dari jalan kebenaran kepada kekafiran dan keingkaran. "Mereka itulah para penghuni neraka, sedang mereka kekal di dalam-nya.” Oleh karena itu, Allah menjadikan kata al-Nûr tunggal dan kata alZulumât jamak, karena kebenaran itu satu dan kekafiran itu memiliki banyak jenisnya dan semuanya batil. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa." (al-An'am: 153).3 Sedangkan menurut Sayyid Quthb konsep Tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah variasi bentuk kata dari “tughyân” () ﻃﻐﯿﺎن, yang berarti segala sesuatu yang melampaui batas yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran, dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah bagi hamba-Nya, tidak berpedoman kepada akidah Allah, tidak berpedoman pada syariat yang ditetapkan Allah, lebih jauh menurut beliau yang termasuk dalam kategori tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah juga setiap manhaj
3
Tafsir Ibnu Katsir “Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari” (Jakarta, Penerbit: Gema Insani Press) 1999 M, Cet, Pertama,H.426-420
24
tatanan, sistem yang tidak berpijak pada peraturan Allah. Begitu juga setiap pandangan, perundangan-undangan, peraturan, kesopanan, atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syariat Allah.4
B. M. Quraish Shihab dan Hamka
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (Al-Baqarah : 256)
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Al-aqarah : 257) Sedang orang-orang musyrik penyembah berhala dan mereka yang tidak punya agama selain kemusyrikan dan kekafiran, mereka itu diperangi sampai mereka masuk Islam demi menyelamatkan mereka dan kebodohan, kekafiran dan kesesatan serta kecelakaan yang ada pada mereka.
4
221
Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, terj, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 220-
25
Kemudian Allah Ta'ala memberitahukan bahwa dengan diturunkan alQuran, dan diutusnya Rasulullah serta ditolongnya orang-orang yang dekat dengan Allah, maka menjadi jelaslah antara petunjuk dengan kesesatan, dan antara kebenaran dengan kebatilan. Dengan demikian, orang yang tidak percaya kepada tâghût yaitu setan yang membujuk orang untuk menyembah berhala, lalu dia beriman kepada Allah Ta'ala lalu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, maka berarti dia telah berpegang pada agama Islam dengan tali yang terkuat. Dan orang yang bersikeras dengan kekafirannya kepada Allah dan percaya kepada tâghût, maka ia berpegang pada tali yang lebih rapuh dari pada sarang laba-laba. Allah mendengar kata-kata hamba-Nya, mengetahui mata mereka dan perbuatan-perbuatan rahasia mereka, dan akan membalas masing-masing sesuai dengan perbuatannya. Kemudian Allah membeitahukan bahwa Dia adalah penolong hamba-hamba yang beriman, Dialah yang telah mengeluarkan mereka dari gelapnya.5 kekafiran dan kebodohan menuju terangnya cahaya ilmu dan iman, sehingga mereka menjadi sempurna, dan bahagia. Sedangkan orang-orang kafir, penolong mereka adalah tâghût yang terdiri dari jin setan dan manusia yang membujuk mereka berbuat kebatilan dan keburukan, dan merangsang mereka berbuat kufur, fasik, dan maksiat. Dengan demikian, tâghût telah mengeluarkan mereka dan cahaya kepada kegelapan dan menyiapkan mereka masuk neraka untuk selama-lamanya.
5
Allah Ta’ala Menggunakan Kata Nûr Dalam Bentuk Mufrad (Singulair) Dan Kata-Kata Zulumât Dalam Bentuk Jama’ (Plural) Karena Kebenaran Itu hanya Satu, Sedang Kekafiran Itu bermacam-macam dan semuanya bathil Atau salah.
26
Konsep Tâghût ( ) ﻃﺎﻏﻮتMenurut Quraish Shihab terambil dari akar kata yang berarti melampaui batas, biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, Dajjal, Penyihir (pesulap, termasuk didalamnya Dukun atau paranormal, yang menetapkan hukum (pemerintah atau para hakim, jaksa dan pengacara) bertentangan dengan ketentuan ilahi,tirani, semuanya digelari dengan tâghût ( ) ﻃﺎﻏﻮتKata taghâ dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam alQur’an sebanyak 39 kali. 6 Kata ini pada mulanya digunakan dalam arti meluapnya air sehingga mencapai tingkat kritis atau membahayakan. Pengertian ini di gunakan pula oleh al-Qur’an antara lain pada surat al-Haqqah (69)ayat 11:
“Sesungguhnya
kami, tatkala air Telah naik (sampai ke gunung) kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera”.
Kata taghâ ( )ﻃﻐﻰdalam berbagai bentuknya kemudian digunakan dalam arti yang lebih umum, yakni segala sikap yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada tuhan, pelanggaran, kesewenang-wenangan terhadap manusia dan tentunya juga tetap berlaku untuk
makna asli yang disebut di atas yakni
melimpahnya air, menurut binti al-Syathi, kata taghâ dalam al-Quran selain digunakan dalam pengertian asalnya juga berarti perbuatan melampaui batas, seperti kedurhakaan kepada Tuhan, sebagaimana tercantum dalam surat al6
104
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h.
27
Baqarah ayat 15, al-Maidah ayat 67, al-An’am ayat 115, dan lain-lain sedang kata taghâ dalam berbagai bentuknya dalam konteks pembicaraan tentang fir’aun kesemuanya dalam arti kesewenang-wenangan dan perlakuan kejam terhadap manusia tanpa menafikan hal ihwal kedurhakaannya kepada Tuhan, yang dapat diambil dari ayat lain. 7 Dengan demikian kata taghâ ( )ﻃﻐﻰmenerangkan sikap kesewenangwenangan atau kejam terhadap sesama manusia seperti yang diungkapkan oleh sekian banyak ulama tafsir. Dalam surat al-Baqarah ayat 52, menurut Quraish Shihab, menerangkan bahwa yang dimaksud tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah berhala al-Lat dan al-Uzza yang disembah, oleh kaum musyrikin Makkah dan juga syaitan serta segala macam berhala. Demikian al-Biqai menafsirkanya. Sedangkan menurut al-Maraghi, bahwa tâghût yaitu melanggar yang hak, keadilan, dan kebaikan untuk melakukan kebatilan, kezaliman dan kejahatan. 8 Sedangkan dalam surat al-Nisa ayat 60, yang dimaksud dengan tâghût ( )ﻃﺎﻏﻮتadalah dua tokoh Yahudi, yaitu Huyay ibn Akhtab dan Ka’ab ibn alAsyaraf, yang memimpin rombongan orang Yahudi menuju Mekah untuk menjalin kerja sama dengan penduduk Makkah memerangi Nabi Muhammad saw., mereka disambut baik oleh tokoh kaum musyrik Makkah ketika itu, yakni Abu Sufyan, tokoh-tokoh Makkah meragukan keikhlasan orang Yahudi sambil berkata, “kalian, wahai orang Yahudi, adalah pemilik kitab suci, Muhammad juga
7 8
Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an, h. 105 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol 2, h. 450
28
demikian maka kami meragukan kalian, Bila ingin kami melawan Muhammad bersama kalian, akan sujudlah terlebih dahulu kepada kedua berhala kami dan percayalah kepadanya”. Orang-orang Yahudi itu mengikuti permintaan kaum musyrik Makkah kemudian mereka memilih masing-masing tiga puluh orang dari kelompok Yahudi dan Musyrik Makkah dan bersama-sama menuju Ka’bah untuk mengikuti janji setia memerangi nabi Muhammad saw, setelah Abu Sufyan bertanya kepada Ka’ab, ‘Engkau membaca dan mengetahui Kitab suci, kami tidak demikian, siapakah yang lebih tepat jalannya dan lebih benar jalannya dari pada Muhammad dan sahabat-sahabatnya’.9 Sedangkan menurut suatu riwayat yang lain yaitu Ka’ab ibn al-Asyraf, dimana salah seorang munafik yang berselisih dengan seorang Yahudi enggan merujuk kepada nabi Muhammad saw, untuk menyelesaikan perselisihanya, walau lawannya orang Yahudi itu telah menerima. Sang munafik, Ada lagi yang memahami kata tâghût dalam arti hukum-hukum yang berlaku pada masa jahiliyah, yang telah dibatalkan dengan kehadiran Islam.10 sedangkan Hamka menyimpulkan secara ringkas tentang konsep tâghût adalah pelanggar batas norma kebenaran hakiki, sesuai dengan tafsirannya pada surat al-Baqarah 256 yaitu “akan tetapi orang-orang yang tidak mau percaya, pemimpin mereka adalah pelanggar-pelanggar batas” yaitu segala pimpinan yang bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, pemimpin (presiden, DPR dll), dukun atau paranormal, syaitan, juga berhala, dengan makna lain orang-orang 9
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 451 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 465
10
29
yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kalimat tâghût.11 Demikian juga manusia yang menjual jiwanya kepada tâghût yakni setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya menyembah orang-orang hidup, yang dipandang sebagai pahlawan, lalu orang menggantungkan nasib kepadanya. 12 Pelajaran Yang dapat diambil dari Ayat 256-257 1. Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang termasuk dalam kategori mereka, seperti orang-orang Majusi dan Shabi'ah tidak boleh dipaksa masuk Islam kecuali atas pilihan dan kemauan mereka sendiri dan harus membayar jizyah (pajak) dan mereka tetap dalam agamanya. 2. Islam itu seluruhnya adalah petunjuk (hudan) sedang lainnya adalah sesat dan salah. 3. Meninggalkan keburukan itu diprioritaskan dan didahulukan daripada berbuat keutamaan. 4. Makna Lâ ilâha illallâh adalah beriman kepada Allah dan kafir pada tâghût. 5. Kedekatan dengan Allah dapat dicapai dengan iman dan takwa. 6. Pertolongan dan perhatian Allah diberikan kepada orang-orang yang dekat kepada-Nya.13
C. Macam-Macam Taghût a. Yang Tidak Berhukum Kepada Al-Quran
11
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 26 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 29 13 Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir al-Kautsar” (Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996), Cet, Pertama, h. 430-433 12
30
Allah melukiskan orang yang tidak berhukum dengan apa-apa yang dia turunkan seperti orang-orang kafir dia menyakini bahwa hukum selain Allah lebih baik sebagaimana Firman-Nya : Dalam Surat Al-Maidah ayat 44, 45, dan 47:14
.
…
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
.
…
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
.
…
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”.(an-Nisa :4/60)
14
Muhammad Zain, Thâghût h. 102.
31
. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orangorang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orangorang yang beriman(an-Nisa:4/51).
Imam Qurthubi, menukil dari Ibnu Abbas dan Mujahid, ia berkata mengomentari arti ayat di atas, “ Yaitu barang siapa yang berhukum kepada selain apa-apa yang diturunkan Allah, dengan cara menolak al-Quran dan membangkang terhadap sunnah Rasul saw. Berarti ia kafir. Ayat tersebut bersifat umum mencakup ayat di atas.15 Ibnu Mas’ud dan Hasan Bashri mengatakan, “ayat di atas mencakup setiap orang yang berhukum kepada apa-apa yang di turunkan Allah, baik ia muslim, Yahudi, dan Kafir, yaitu dengan beri’tikad dan menganggap bolehnya bersikap seperti itu tetapi ia sadar dan merasa bahwa perbuatannya tersebut haram, ia termasuk fasik. Urusannya di tangan Allah, apakah Dia mau menyiksa atau mengampuni. Dalam suatu riwayat, Ibnu Abbas berkata, “ Barang siapa yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di turunkan Allah, berarti ia betul-betul melakukan suatu perbuatan yang menyerupai orang-orang kafir.” Imam Zamahsyari berkata :” Barang siapa yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di turunkan Allah dalam artian ia meremehkannya, berarti ia 15
Al-Qurthubi, (Al-Jami’ Li Ahkami Quran) juz :6 , h. 330
32
termasuk golongan orang-orang kafir, fasik, dan zhalim. Mereka pantas untuk disifati dengan sifat keangkuhan dan kesombongan dalam kekufuran mereka ketika mereka zalim terhadap ayat-ayat Allah dengan menghina dan meremehkan dan bersikeras untuk berhukum kepada undang-undang selain al-Quran.16 Imam Abu Hayyan berkata, ayat di atas walaupun secara lahiriyah ditujukan kepada orang Yahudi, tetapi ia bersifat umum mencakup Yahudi dan yang lainnya. 17 Al-syahid Sayyid Quthb berkomentar, “Ia merupakan suatu masalah hukum, syariat dan perundang-undangan, yang dibaliknya yang terkandung masalah ke-ulûhiyyah-an, tauhid dan keimanan, dan masalah yang tersimpul di dalamnya merupakan jawaban atas pertanyaan : Adakah okum, undang-undang dan syariat sesuai dengan perjanjian dengan Allah, sesuai dengan ikatan kita dengan-Nya dan syariatnya yang dengannya terpelihara semua penganut agama-agama samawi, antara satu dengan yang lain dan itu diwajibkan kepada para Rasul dan orang-orang yang diberi kekuasaan yang hidup sesudah mereka berjalan di atas hidayah para Rasul tersebut. Atau hukum, undang-undang dan syariat tersebut di adakan berdasarkan hawa nafsu yang bergejolak dan kemaslahatan yang tidak kembali kepada pokok pangkal yang teguh berakar berupa syariat Allah, serta hukum tradisi yang di pertahankan oleh sebuah generasi atau beberapa angkatan. Dengan kata lain : Adakah ke-Ulûhiyyah-an dan ke-Rubûbiyyah-an serta prinsip-prinsip dasar itu milik Allah di dalam kehidupan manusia di bumi ini. 16 17
Al-Kasysyaf juz, 1, h. 496 Ibnu Hayyan al-Bahru al- Muhith, h. 492
33
Atau ke-ulûhiyyah-an, Ke-rubûbiyyah-an dan prinsip-prinsip dasar itu milik manusia (seseorang), sehingga membuat suatu syariat dan undang-undangan untuk manusia tanpa seizin Allah. Allah swt. Menyatakan, bahwa Dia adalah yang tidak ada tuhan selain Dia, syariat-Nya yang ia berlakukan untuk umat manusia sesuai dengan tuntunan ulûhiyyah-Nya dan penghambaan mereka kepada-Nya ia adakan perjanjian dengan mereka untuk menjalankan syariat-Nya, yaitu suatu syariat yang wajib ditegakkan di muka bumi ini. Suatu syariat yang harus di amalkan oleh manusia dan dijadikan hakim (pemutus) oleh para nabi dan orang sesudahnya yang diberi kekuasaan. Allah swt. Menegaskan bahwa tidak ada kompromi dalam masalah ini, tidak ada tawar-menawar dan tidak ada satu perubahan dari satu segi, walaupun itu dianggap masalah kecil oleh manusia. Allah menegaskan, bahwa masalah ini adalah masalah iman dan kufur, Islam atau jahiliyyah, masalah syariat atau hawa nafsu, yang tidak ada kompromi dan damai. Yang dinamakan orang-orang mukmin adalah orang-orang yang berhukum kepada al-Quran dan tidak merubahnya walau satu huruf pun atau menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sedang orang-orang kafir, zhalim dan fasik ialah orang-orang yang tidak berhukum kepada al-Quran. Hanya ada dua golongan yaitu para pemimpin yang mempraktekkan syariat Allah secara sempurna, dan mereka masuk ke dalam lingkaran iman, atau orang-orang yang menerapkan syariat lain yang dilarang oleh Allah, yang berarti mereka kafir, fasik, dan zhalim.
34
Begitu juga ummat, bila mereka menerima hukum dan undang-undangan Allah yang dijalankan oleh para hakim dan Qadhi dalam segala urusan, berarti mereka beriman, atau jika tidak mau menerima, maka mereka bukan mukminin. Dan tidak ada jalan tengah antara keduanya. Tidak ada okum atau dalih, dan tidak ada istilah demi kemaslahatan. Allahlah, Tuhan seluruh umat manusia, yang mengetahui apa-apa yang berguna buat mereka. Ia turunkan syariat-Nya untuk kemaslahatan yang hakiki kepada manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada okum atau undang-undang bikinan manusia yang melebihi hukum Allah, Tidak ada pula seorang Manusia yang berkata : “Aku tolak hukum Allah”.atau ia mengatakan, “Aku lebih tahu tentang kemaslahatan untuk manusia daripada Allah.” Bila ada orang yang mengucapkan kata-kata tersebut baik melalui lisannya, atau perbuatannya, maka nyata-nyata ia keluar dari Islam (kafir). Bahwa masalah pokok yang pertama kali masuk hitungan ialah masalah ini, yaitu masalah ikrar terhadap ke-Ulûhiyyah-an Allah dan ke-rubûbiyah-anNya, serta tegaknya ikrar ini ditengah masyarakat tanpa ada yang menyekutui,atau tanpa ada penolakan terhadapnya. Dari sini lahir masalah kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam. Sementara al-Quran keseluruhanya memberikan penjelasan hakekat masalah ini. Sesungguhnya Allah itu Maha pencipta, pencipta jagat raya ini. Ia menciptakan manusia dan menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia,
Dialah Allah swt. Maha Tunggal dalam pencipta-Nya.
Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam ciptaan-Nya yang paling kecil, sedikit
35
maupun yang besar.Sesungguhnya Allah adalah Raja, karena dia adalah pencipta segala-galanya. Iman itu ikrar kepada Allah swt, dengan sifat-sifat-Nya, yang sfesifik tersebut,yaitu Ulûhiyyah, Mulkiyah, dan Assultân (Kuasa dan Kuat). Tidak ada suatu apapun yang menyekutui-Nya, Adapun Islam itu pasrah dan taat terhadap tuntunan-tuntunan sifat-Nya tersebut, yaitu mengesakan Allah dalam Ulûhiyyah, Rubûbiyyah, dan adanya di atas segala yang ada ini. Juga mengakui akan kekuasaan Allah yang terkandung dalam kudrat-Nya dan terjelma dalam syariatNya. Maka arti istislâm (pasrah) kepada syariat Allah sebelum yang lainnya adalah mengakui akan ke-Ulûhiyyah-an Allah, Rubûbiyyah dan eksistensi-Nya serta ke Maha kuasaan-Nya. Sedang arti menentang (tidak pasrah) terhadap syariat ini dan menjadikan hukum yang lain dalam satu aspek dari aspek-aspek kehidupan berarti menolak untuk mengakui ke-ulûhiyyah-an Allah (Zat yang hak disembah) dan menolak ke-rubûbiyyah-an-Nya (Zat pemelihara dan Pencipta segala). Juga berarti menolak eksistensi-Nya dan Maha kekuasaan-Nya.Sama saja, baik ia menolak dengan lisannya ataupun melalui perbuatannya.Dari sini timbul permasalahan kufur atau iman, Jahiliyah atau Islam. Yang masuk ke dalam pokok kita yang kedua adalah keyakinan (anggapan) tentang lebih utamanya syariat Allah dengan pasti dari pada syariat (undang-undang) buatan Manusia. Hal ini ditunjukkan oleh ayat terakhir dalam pembahasan ini; .
…
36
“ Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin “. ( al-Maidah : 50)
Pengakuan secara mutlak bahwa syariat Allah lebih utama dan unggul dari syariat yang lain dalam setiap kurun masyarakat dan dalam setiap situasi dan kondisi, adalah juga merupakan masalah yang berhubungan dengan kufur dan iman. Maka seseorang tidak berhak dan tidak boleh mengakui bahwa syariat buatan manusia itu melebihi (menandingi) syariat Allah dalam setiap keadaan dan dalam setiap generasi, kemudian setelah itu ia mengaku beriman. Dengan pemisahan yang tegas amat membedakan ini (yaitu antara hukum Allah dan hukum buatan Manusia) dan dengan memakai kata-kata “man” ( ) ﻣﻦ yang merupakan bentuk kata-kata syartiyyah (dalam ilmu nahwu) yang menunjukan kepada pen-ta’miman (mencakup siapa saja) ditambah dengan kalimat jawab dari “man’ tersebut, berarti mencakup siapa saja, tanpa kecuali, tidak dibatasi oleh waktu dan ras, yang tidak berhukum kepada apa-apa yang di turunkan oleh Allah, Begitulah pengertian ayat itu, Siapa saja yang tidak berhukum kepada al-Quran berarti (kafir). Seperti yang telah kami sebutkan karena orang yang tidak berhukum kepada al-Quran (apa-apa yang telah di turunkan Allah), tidak lain ia menolak ke ulûhiyyah-an Allah padahal sifat keulûhiyyah-an-Nya tersebut salah satu sifat-Nya yang sfesifik dan khas yang menuntut supaya syariat-Nya dijadikan hukum (undang-undang).masa dan bergantinya generasi demi generasi, patung ini pada akhirnya berubah menjadi sesembahan, kendatipun pada mulanya tak ada kepercayaan seperti itu yang
37
menyertai pembuatannya dahulu. Adakalanya tokoh itu adalah seorang kepala keluarga yang pada masa hidupnya, menikmati penghormatan dan pengagungan. 18 b. Para Pendeta dan Pastur Para pendeta dan pastur disebut Tâghût karena mereka menentang syareat Allah. Mereka merubah hukum, menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang halal sehingga kaumnya
mengikuti mereka. Maka mereka itu para Taghût. Iman
Qurthuby dalam tafsirnya meriwayatkan dari Imam A 'masy dan Sufyan Tsauri ra. dari Habib bin Abi Tsabit dan dari Abi Al Bukhturry berkata: “Sahabat Hudzaifah ra. pernah di tanya tentang ayat Taubah ayat 31:
. Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
“Apakah mereka menyembahnya..?” la menjawab, “Tidak, mereka tidak menyembahnya tetapi mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, lalu diikuti oleh kaumnya”. 19 Pada ayat di atas ada lanjutannya tentang penjelasan yang dapat menghilangkan kesalah fahaman dan kesamaran bahwa mereka adalah ahl alKitab, Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak murtad, dari agama Allah 18 19
Muhammad Zein, Thaghut, h.107 Muhammad Zein “Thaghut”, h. 150
38
dengan pengakuannya yang dibuktikan dengan praktek setelah terlebih dahulu persaksiannya dalam I’tikad dan keyakinan, dan bahwa mereka diperintah untuk mengabdi kepada Allah saja yang Esa. Namun mereka kemudian menjadikan para pendeta dan Pastur (alim ulama) sebagai tuhan selain Allah sebagaimana mereka menjadikan Isa bin Maryam sebagai tuhan. Ini namanya syirik, Allah Maha Agung dan amat jauh dari penyekutuan seperti ini. Dengan demikian mereka bukan lagi orang yang beriman kepada Allah baik dalam I’tikad keyakinan maupun dalam perbuatan. Mereka tidak lagi beragama yang hak secara amal dan realita.20 Sesungguhnya nash al-Qur'an menyamakan sifat syirik dan menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, antara orang-orang yahudi yang menerima
syariat
(hukum) dari para pastur mereka dan kaum nasrani yang menyatakan ke-uluhiyahan nabi Isa dalam keyakinan dan dalam praktek. Keduanya ini sama dianggap musyrik, keluar dari barisan mukminin.Sesungguhnya syirik (menyekutukan Allah) itu terrealisir hanya dengan semata mata memberikan hak membuat hukum dan undang-undang kepada manusia. Walaupun tidak dibarengi dengan iman akan ke-uluhiyah-annya dan mengejawantahkannya lewat upacara ibadah khusus ini sudah jelas. Tapi disini kami ingin menambah bahwa begitupun maksud yang pertama kali dari pemaparan masalah ini dalam rangka mengkonter kekeliruan dan kesangsian kaum muslimin (dalam masalah ini) ketika itu dimana mereka menjadi takut berperang menghadapi bangsa romawi dan dalam rangka
20
Muhammad Zein “Thaghut”, h. 107
39
menghilangkan anggapan bahwa mereka itu beriman kepada Allah karena mereka ahl al-Kitâb. Walaupun dalam rangka itu, tapi hakikat masalah yang dipaparkan ini juga menjangkau lebih luas kepada pernyataan hakekat agama secara umum. Bahwa agama yang hak yang diterima oleh Allah hanyalah Islam. Agama ini tidak berbicara melainkan menyuruh supaya manusia tunduk secara lotalitas kepada Allah dalam menjalankan hukum setelah tentu saja beriman terlebih dahulu kepada ke-ulûhiyyah-an-Nya yang realisir lewat upacara ibadah. Bila ada manusia yang tunduk kepada selain hukum Allah, dia berhak diberi gelar "musyrik" dan "kafir" sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani bagaimana pun pengakuannya dia beriman. Karena hanya dengan sekedar dia "ikut" kepada hukum buatan manusia dia berarti melakukan syirik, tanpa dia ingkar kepada mereka (manusia tersebut) untuk menyatakan bahwa mereka itu diikuti
karena mereka
memaksanya
sehingga tak mampu mengelak. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah bertutur dalam kitabnya: al-Îmân," Mereka orang-orang yang menjadikan para pendeta dan pasturnya sebagai Tuhan yaitu mereka ikut dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal ada beberapa golongan. Mereka tahu bahwa para pendeta mereka mengganti Dien Allah tetapi mereka mengikutinya dan taat kepadanya, dan mereka punya keyakinan menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah, padahal mereka tahu bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran para Rasul, sementara Allah dan Rasul-Nya pun menganggap bahwa perbuatan
40
tersebut adalah syirik, walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepada mereka, dengan demikian orang yang mengikuti orang lain yang nyata-nyata menyimpang dari agama dan ia mengetahuinya serta ia meyakini ucapannya yang juga bertentangan dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya berarti ia musyrik sama seperti Bani Israil. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan : Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir melalui berbagai jalur riwayat telah meriwayatkan dari Adi bin Hatim ra, bahwa ketika da'wah Rasulullah saw. sampai kepadanya, Ia lari ke Syam. Dahulu pada zaman jahiliyah ia beragama Nasrani, sedang saudara perempuannya beserta beberapa orang kaumnya terbawa. Maka ia menebusnya kepada Rasulullah saw. Setelah saudara perempuannya itu ia tebus dan diserahkan kepadanya, ia disuruh datang kepada Rasulullah saw. untuk memeluk Islam. Maka ia pun pergi ke Madinah. Sebagai kepala suku Thay dan ayahnya yang juga berdarah Thay yang cukup masyhur dan terhormat, maka kedatangannya kepada Rasulullah tersebut menjadi buah bibir mereka. Dia menghadap Rasulullah dengan berkalung salib dari perak di lehernya. Ketika itu beliau sedang membaca Ayat di atas:(Taubah 3l) Ady bin Hatim berkata, “Maka aku berkata
kepada beliau: Mereka tidak
menyembah para pendeta dan pastur itu”. Tentu saja, Tetapi mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Lalu mereka itu mengikutinya, Begitulah ibadah mereka.21 Mentaati para pendeta dan pastur (alim ulama) dalam bermaksiat kepada Allah adalah berarti ibadah kepada mereka, dan itu adalah syirik paling besar yang
21
Muhammad Zein “Thaghut”, h. 107
41
tidak akan diampuni oleh Allah swt, sesuai dengan Firman Allah dalam Surat alTaubah ayat 31: 22
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib(pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) alMasih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Yang senada dengan ayat diatas adalah:
. “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (al-An’am 121) Hal seperi ini telah terjadi pada banyak orang beserta mereka yang ikutikutan kepadanya. Karena mereka tidak mempunyai anggapan terhadap suatu dalil bila bertentangan dengan yang mengikuti itu adalah termasuk syirik seperti yang tersebut. Diantara mereka ada yang berlebihan dalam masalah ini dan punya keyakinan bahwa mengambil dalil dan kondisi seperti itu adalah makruh atau haram. sehingga fitrah yang menimpa agama lebih besar. Dia berkata: “Mereka itu lebih tahu dari pada kita tentang dalil-dalil dimana tidak akan diambil kecuali hanya oleh seorang Mujtahid. Malah barangkali mereka mencela orang yang
22
Muhammad Zein “Thaghut”, h. 1149
42
mengamalkan dalil tersebut. Kalau sudah begini, maka tidak syah lagi, itu menunjukkan bahwa Islam itu asing bagi mereka, sebagaimana yang diucapkan oleh Syeikh Abdul Wahhab dalam beberapa masalah, “Maka berubahlah segala keadaan kembalilah keadaan tersebut kepada tujuan di atas, sehingga ibadah dan penyembahan kepada para pendeta adalah amalan yang paling afdhal menurut mereka, yang mereka namakan "wilayah".23 Sedang ibadah dan penyembahan kepada para Pastur adalah ilmu dan fikih. Dari sini akan berubahlah suatu keadaan kepada hal yang lebih jauh dari itu, yaitu disembahnya pula orang-orang dungu dan jahil. 24 Para pendeta dan pastur tersebut membuang hukum Allah bagaikan keledai yang memanggul kitab (buku-buku), tak mengerti apa isinya. Maka mulailah mereka membuat hukum (undang-undang) untuk ummat manusia berdasarkan hawa nafsu dan keserakahannya hingga keadaanya sampai kepada dimana mereka menjual syurga dengan uang chek berupa ampunan kepada orang yang mau membayar lebih besar. Maka gereja-gereja dan negara-negara Eropa adalah penghalang dan penghambat ilmu pengetahuan dan peradaban, padahal mereka punya areal tanah begitu luas. Gereja-gereja tersebut menjajah bangsabangsa dengan penjajahan paling keji dan buruk. itu tidak lain karena undang undang (Hukum) yang dibuat oleh para pendeta dari pastur mereka yang bersumber dari hawa nafsu dan syetan. Mereka pantas mendapat julukan “Tåghût”.
23
Makna “wilayah” maksudnya adalah mereka membuat hukum-hukum juga undang undang untuk manusia berdasarkan hawa nafsu juga keserakahannya. 24 Kitab Fathul-Majid Syarah Kitab at-Tauhid, h. 400
43
c. Kefanatikan Terhadap Ulama Islam Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-A’râf:7/175-176 dan alIsrâ:17/36 :
. “Dan bacakanlah kepada mereka berita yang mengagumkan tepatnya berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudian dia berpantang mempercayainya, lalu dia dihubungi rapat oleh setan untuk menggodanya. Sehingga ia menjadi sesat.” (Q.S. Al-A’râf:175).
. “Jika Kami kehendaki, tentu Kami dapat mengangkat derajatnya. Namun dia ketagihan kesenangan dunia, dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing. Bila kamu halau, dia menjulurkan lidahnya, atau jika kamu biarkan iapun mengeluarkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Ceritakanlah cerita ini, semoga mereka berpikir.” (Q.S. al- A’râf:176)
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( al-Isrâ:17/36) Bahwa Ulama-ulama Islam itu adalah pewaris para nabi Allah swt. telah mengadakan perjanjian dengan mereka supaya mereka menyampaikan kebenaran kepada ummat manusia, dan Dia jadikan mereka para pemimpin yang mendapat hidayah dan teladan yang patut dicontoh, Allah menjadikan mereka ada pada urutan ketiga dalam syahadat tentang keesaan-Nya, akan tetapi jangan sampai
44
manusia menghambakan mereka dengan hawa nafsu, bahkan sampai bertaklid buta tanpa keilmuan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Para ulama ummat ini mengharap sangat dan berusaha keras untuk meneladani jejak Rasulullah dalam segala hal. Mereka mengeluarkan fatwa dan hukum bersumberkan Kitâbullâh dan sunnah Rasulullah saw. Mereka membuka pintu ijtihad dalam rangka mencari kebenaran, karena ijtihad merupakan jalan untuk memperbaharui kondisi kehidupan ummat manusia. Telah berapa banyak mereka berhasil dengan gemilang dalam bidang ini, menyumbangkan jasa sangat besar terhadap Islam dengan cara tekun menulis tentang akidah atau pun syariah dan mengupasnya sebagai suatu karya gemilang dan punya manfaat amat besar. Mereka memang para pewaris Nabi yang mendapat hidayah di dunia maupun di Akhirat. Dalam hal ini, Ijtihad dalam syareat (hukum) islam itu tidak berlaku pada hal-hal (perkara) besar dan pokok yang wajib dan telah jelas diketahui oleh semua orang seperti wajibnya puasa, shalat ataupun tentang haji. Atau seperti hokum pokok yang berhubungan dengan akidah maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu tauhid. Hukum tentang masalah-masalah diatas ada jelas dalam al-Qur’an secara Muhkâmât (ayat yang jelas tidak perlu ta’wil) yang tidak mungkin mengundang perselisihan pendapat. Karena Allah swt ingin supaya masalah-masalah tersebut tetap, tidak berubah oleh perputaran zaman. Adapun
masalah-masalah
yang
membutuhkan
Ijtihad
mengikuti
perkembangan zaman, al-Qur’an pun telah menjelaskannya secara global. Inilah
45
masalah-masalah yang menjadi ajang pertentangan pendapat antara para mujtahid, tetapi bukan penyebab berpecah belah. Ijtihad itu harus bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah bahkan pendapatpendapat yang disandarkan kepada ijma atau Qiyas serta sumber-sumber hukum islam lainya harus dikembalikan kepada kedua dasar hukum tersebut. Atas dasar ini maka tak ada pendapat pada ulama Islam, karena pendapat dan kefanatikan serta pengagungan hanya kepada kedua sumber ijtihad tadi (alQur'an dan Sunnah) bukan kepada si Mujtahid. Oleh karena itu, kaum muslimin menolak setiap pendapat yang tidak berdasar kepada keduanya dari siapapun datangnya.
Kami tidak pernah menemukan seorang ulama pun yang
berkecimpung dalam dunia fiqih Islam dan dia terkenal sebagai seorang Mujtahid, ia tidak berpegang kepada dalil-dalil syara dalam mengistinbath (menentukan suatu hukum). Sungguh para ulama Islam adalah orang-orang pilihan dari ummat ini yang jauh berbeda dengan ummat-ummat terdahulu yang ulamanya terdiri dari orang orang jahat. (Karena Ulama kita pengganti para Rasul). Mereka menghidupkan kembali sunnah nya yang nyaris padam. Dengan sebab
mereka
tegaklah kembali Kitabullah dan dengan Kitabullah mereka pun menjadi tegak dan bangkit. Dengan sebab mereka al-Qur'an bisa bicara, dan dengan al-Qur'an mereka juga bisa bicara. Tak ada seorang ulama atau Imam pun dari para Imam yang berkaliber dunia yang hasil pikirannya menjangkau seluruh ummat muslimin yang tidak berpegang teguh dan bersandar kepada al-Qur'an dan Sunnah, baik sedikit maupun banyak, baik masalah yang kecil maupun yang besar. Mereka sepakat
46
bulat dengan yakin, bahwa mengikuti teladan sunnah itu wajib, dan setiap pendapat manusia boleh diambil dan boleh dibuang, kecuali ucapan Rasulullah saw. Dan apabila ada seorang Ulama yang ternyata pendapatnya (hasil Ijitihadnya) bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis Nabi saw, maka ia wajib menarik pendapatnya atau meninggalkannya dan mengambil hadis tersebut. Di sana juga ada kesepakatan pandangan bagi ummat ini, bahwa para Ulama dalam ijtihad dan fatwanya tidak bersandar kepada apa-apa yang bertentangan dengan teladan Rasulullah saw. Tak ada seorang pun dari mereka yang keluar dari nash. Bila salah dalam Ijtihadnya, ia tetap seorang Mujtahid, mendapat pahala satu. Bila benar, ia mendapat pahala dua. Orang-orang yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, jika ia seorang mujtahid yang tujuanya meneladani Rasulullah, tetapi tersembunyi baginya kebenaran dalam masalah tersebut, sementara dia juga betul-betul bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuanya, ia tidak akan disiksa oleh Allah karena kesalahanya tersebut, ia tidak berdosa bahkan mendapat pahala atas hasil ijtihadnya. Karena keputusannya yang berpijak di atas hasil ijtihadnya dengan motivasi baik, bahwa apa-apa yang ia perbuat tersebut semata-mata untuk menghidmat kepada agama dan bukan karena pengaruh hawanafsunya, melainkan semata-mata mencari ridha Allah. Adapun yang termasuk dosa atau maksiat dalam masalah ini adalah apabila seorang Ulama tingkatan mujtahid ia berijtihad dan ia tahu bahwa hasil
47
ijtihadnya itu salah dan bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah, tetapi dia tetap mempertahankan pendapatnya, tidak mau rujuk kepada keduanya. Imam ibnu taymiyyah, berkata; dan ia tahu bahwa hal ini salah, tetapi ia tetap mempertahankannya, tidak mau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka dia mendapat celaan dari Allah berupa Syirik, lebih-lebih jika hal itu didorong oleh hawa nafsunya dan ia pertahankan dengan argumentasiargumentasi palsu dari mulutnya atau dengan tangannya sama lainya ia disebut thâghût.25 Oleh karena itu para ulama berkonsensus bahwa jika seorang ulama mengetahui yang hak,ia tidak boleh taqlid kepada orang lain yang bertentangan denganya. Para ulama ini hanya mengambil dalil, walaupun dia tidak mampu untuk berijtihad mengeluarkan hukum dari dalil yang diketahuinya. Ini adalah seperti seorang yang ada ditengah ummat Nasrani, tetapi ia tahu bahwa agama islam adalah hak. d.
Dukun dan Tukang Sihir Disebut “sihir”, karena pekerjaan tersebut tersembunyi, halus, licik dan
semata mata bersandar kepada makar dan tipu daya setan. Sihir terbagi 2 : Pertama: yang berupa khayalan dan bukan sebenarnya sihir jenis ini bersandar kepada ilmu dan kepandaian serta ringannya gerakan. Yaitu si tukang sihir menyulap
25
sesuatu
menjadi
sesuatu
Muhammad Zein, “Thâghût, h. 161
yang
lain
dimana
orang
banyak
48
menyaksikannya. Sebagaimana orang melihat fatamorgana dari kejauhan lalu ia sangka ia air. Allah berfirman:
Berkata Musa: "Silakan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba talitali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. (Thaha :66)
Kedua: Sihir yang hakiki dengan sihir ini si tukang sihir berhasil menimpakan bahaya dan bencana kepada seseorang dengan istrinya. Sihir jenis ini terkadang mengandalkan ajimat-ajimat, mantera dan buhul-buhul yang dapat mempengaruhi harta, dan badan seseorang sampai jatuh sakit bahkan mati disamping juga dapat meruntuhkan rumah tangga orang. Allah Ta'ala berfirman:
…
“…Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya”. (al-baqarah: 102).
“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”(al-Falaq:4)
Sihir ini sihir yang sebenarnya (hakiki) yang memang ada, yang kita harus berlindung kepada Allah darinya. Kejahatan sihir ini tidak hanya terbatas
49
menimpa orang-orang awam (kebanyakan) tetapi juga adakalanya menimpa para ulama (Wali Allah) dan orang-orang shaleh, bahkan juga para Nabi. Hanya kalau Nabi tidak sampai terpengaruh akal dan hatinya. Ia hanya menjadi satu penyakit seperti biasa lainnya. 26 Allah Swt , menyatakan bahwa tukang sihir dan orang yang mempelajari sihir itu kafir.
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada 26
Halimuddin, Kembali Kepada Akidah Yang Benar, (Jakarta,Penerbit: Rineka Cipta, 1988) Cet, pertama, h.16
50
seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui”.(al-baqarah 102). Dari ayat ini dapat kita ambil beberapa hukum, bahwa : 1. Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang yang mempelajari sihir itu berarti membuang Kitabullah dan mendustakan Rasulullah saw. Allah swt berfirman:
…
“…dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung) nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah)” (Al-baqarah: 102) Imam Suddy berkomentar, “Mereka itu membuang Kitab Taurat dan mengambil kitabnya Asif dan sihirnya Harut dan Marut” 27 Cukuplah bagi kita gambaran diatas bahwa, orang yang belajar sihir adalah orang yang membuang Kitabullah dan menjauhinya serta mendustakan nabi yang membawa kitab tersebut.
27
Tafsir Qurthuby, juz,1, h. 41
51
2. Orang yang mempelajari sihir itu tidak lain mempelajari apa apa yang memberi bencana bualnya yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Firman Allah:
… "…dan mereka mempelajari apa-apa yang memudaratkan mereka dan tidak memberi manfaat !" (Al-Baqarah: 102) Bahaya Sihir ini terbukti nampak di dunia dan akan ada pula di akhirat nanti. Allah swt berfirman: "Sesungguhnya mereka itu telah tahu, siapa yang membeli sihir (mengerjakannya) tidak adanya baginya bagian di akherat !” “Sesungguhnya orang-orang yang menjual dirinya dengan sihir jika mereka mengetahui" (Al-Baqarah: 102). 3. Orang-orang yang mengerjakan sihir dan menyakiti orang lain menyakiti suami dengan istrinya adalah perbuatan syetan. 4. "Maka
mereka
mempelajari
dari
keduanya
apa-apa yang akan
menceraikan suami dengan istrinya." (Al-Baqarah: 102).
Karena syetan itu berbahagia dan senang jika suatu ummat mengikuti atau bertahkim kepada tâghût. Di jalan inilah Tukang Sihir dan syetan bekerjasama sampai mereka betulbetul-betul menyesatkan manusia ke jalan yang sesat. Namun demikian, Tukang sihir dan syetan tersebut tidak punya daya dan kemampuan kecuali dengan izin Allah. Bila Dia menghendaki, hal itu akan terjadi. Bila tidak, maka tidak akan terjadi. Lanjutan Ayat diatas ialah :
52
"Mereka itu tiada memberi ma'dharat dan bencana kepada seorang jua pun kecuali dengan izin Allah." (Al-Baqarah : 102).
Diantara sunnatullah di alam ini, yaitu membakar itu harus dengan api. Memotong harus dengan pisau. Dan bencana itu bisa terjadi dengan sihir. Begitulah sunnatullah berlaku. Tetapi Allah swt. Maha Kuasa untuk tidak memperlakukan Sunnah-Nya tersebut, bila Dia menghendaki sebagai bukti, Dia telah mencegah api membakar Nabi-Nya, Ibrahim sebagaimana pula Dia telah menumpulkan pisau sehingga tidak mempan menyembelih putranya, Ismail as. Demikianlah bila Allah menghendakinya. Dukun tidak berbeda dengan Tukang Sihir. Hanya dia mengaku-ngaku dengan kedustaanya bahwa dia mengetahui yang ghaib dan keadaan yang akan datang. Itulah makanya, orang-orang bodoh dan lemah imannya datang kepadanya untuk menanyakan nasib,jodoh,kematian dan perkara perkara yang ghaib yang akan terjadi di masa yang akan datang atau yang sejenisnya. Imam Ibnu al-Qayyim bertutur, Para dukun itu adalah utusan-utusan syetan dimana orang-orang musyrik berdatangan kepadanya untuk menanyakan perkara-perkara besar dan penting. Dan mereka mempercayai kata-katanya. Menjadikannya hakim pemutus suatu perkara. Kepercayaannya ini penuh dan teguh sebagaimana kepercayaan para pengikut Rasul kepada Rasul-Nya. Orangorang musyrik itu berkeyakinan bahwa para dukun itu mengetahui perkara ghaib. Para dukun tersebut dalam pandangan mereka tidak ubahnya seperti Rasul. Jadi seperti kami sebutkan diatas, bahwa para dukun itu adalah utusan Syetan yang diutus kepada golongannya yang terdiri dari orang-orang Musyrik,
53
dan ia serupakan mereka seperti Rasul-rasul Allah yang jujur dan benar agar orang-orang Musyrik tersebut mempercayainya. Juga ia jadikan para dukun tersebut seakan-akan orang-orang yang jujur yang mengetahui yang ghaib. Sehubungan dengan perbedaan amat kontras kedua kelompok ini (Tukang Nujum/dukun dan para Rasul Allah). Rasulullah saw. bersabda:
Barang siapa yang datang ke Dukun, lalu dia percaya kepadanya, berarti ia Kafir terhadap Al-Qur’an”.
Manusia itu terbagi dua kelompok: (1) pengikut para dukun, dan (2) pengikut para Rasul Tidak mungkin seseorang berada pada kedua-duanya. Sebatas jarak jauh dekatnya kepada dukun sebatas itulah jarak jauh dekatnya kepada Allah. Dan ia akan mendustakan Allah sesuai dengan kadar kepercayaannya kepada dukun. 28 Jelaslah, para dukun itu adalah Tâghût yang didatangi syetan-syetan untuk memberikan berita dan kabar. Atau kalau tidak, maka para dukun itu bersandar kepada firasat dan pengalaman. Sehingga para dukun itu berkata dengan kata-kata yang bersifat umum, yang disangka oleh si empunya hajat, karena ia amat butuh kepadanya dan penasaran ingin tahu ditambah oleh kelemahan imannya bahwa si
28
Ibnu al-Qayyim, Dalam Kitab: “ Ighatsatu Allahfaan Min Makaid Assyaithan” hal 266
54
dukun tersebut benar ucapannya dan tepat sehingga ia mempercayainya dan kafir kepada al-Qur'an. Sahabat Jabir bin Abdullah al-Anshary berkata, “Taghût-taghût itu adalah para dukun yang kepadanya syetan turun, yaitu pada setiap orang satu syetan”. Para dukun itu telah menjadi tempat mengadu orang-orang ketika berselisih pendapat bahkan bagi semua persoalan. Mereka punya pengaruh besar terhadap ummat manusia, dan Islam sesungguhnya telah menghancurkan kedudukan mereka dan menyingkirkannya dari alam kehidupan ini. Tetapi bintang mereka kembali naik tatkala Iman yang berada pada pribadi-pribadi manusia menjadi layu dan lemah. Ketika agama dikalahkan oleh gelimang kehidupan materialis. Pada saat manusia jauh tersesat dari Allah. Mereka para dukun itu bermunculan di berbagai negeri dan di banyak pelosok. Maka manusia itu berbondong-bondong datang kepada mereka mengajukan berbagai perkara. Akibatnya timbullah perselisihan dan permusuhan sesama manusia. itu tidak lain buah dari kepercayaan mereka terhadap kedustaan para dukun itu dengan mengatakan, yang mencuri golongan ini adalah golongan itu, atau ia menuduh dengan mengatakan misalnya: "Kau dibenci oleh si pulan dan sebagainya”. Para dukun itu pada zaman kita sekarang mempunyai organisasi dan yayasan-yayasan yang dilindungi oleh negara dan dijamin keamananya. Mereka punya kepala yang bisa diangkat dan diberhentikan. Di beberapa surat kabar, saya pernah membaca iklan besar yang dipasang oleh salah seorang dari mereka bahwa dia akan membuat sebuah markas besar di Paris. Ia menyebutkan, bahwa para wakilnya tersebar hanya bertugas menyebarkan gambar-gambar mereka, alamat
55
dan umur mereka. Selain mereka tidak ada hubungan dengan yayasan-yayasan atau perkumpulannya. Dan diantara keberanian nya, ia berkata, “Kami tidak akan menuntut apa-apa dari pelanggan kami sebelum berita dan apa-apa yang diucapkannya terbukti (ter realisir) dengan benar”. Yang lebih hebat lagi dari itu, bahwa surat kabar dunia setiap tahun menyebarkan berita-berita mereka dan memuat ramalan-ramalan mereka tentang akan berakhirnya kehidupan dunia ini. Sebagian dari mereka ada yang khusus menyebutkan para tokoh, pembesar, orang-orang top baik bintang-bintang film maupun para penulis atau pengarang. Sehingga jadilah mereka idola yang top dimana orang-orang dari Eropa maupun Amerika datang kepadanya. Sebab yang pokok adalah karena mereka (orang-orang Barat) itu kehilangan agama. kosong rohaninya sedang kaum muslimin sendiri lemah akidahnya. Bahwa agama Islam menolak keras praduga dan anggapan serta sangkaan dusta Islam memerangi pada Dajjal yang mengaku-ngaku mengetahui yang ghaib seperti para dukun-dukun dan tukang ramal itu. Karena yang mengetahui yang ghaib itu hanyalah Allah semata. Tak seorang pun yang mengetahuinya baik para wali ataupun para Nabi, termasuk juga Rasul al-Musthafa. Allah swt berfirman:
“Katakanlah hai Muhammad: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah"(al-Naml: 65).
56
D. Faktor Penyimpangan Akidah Serta Analisa Tâghût Dalam Realitas Sosial. Akidah atau tauhid merupakan benteng pertahanan dasar yang harus dipegang oleh seorang Muslim, bahkan beberapa Ulama mengatakan, ilmu yang paling mulia adalah ushuluddin. Diutusnya para Rasul ke muka bumi ini dengan satu tujuan yaitu memperkuat, dan meluruskan akidah dan tauhid umat ketika penyembahan terhadap berhala dan praktik kemusyrikan sudah merajalela. Keberhalaan secara langsung masih ada bahkan makin marak semenjak nabi Ibrahim menancapkan pondasi akidah dan tauhid yang kuat, namun secara tidak langsung keberhalaan masih saja terjadi di era modern ini, apalagi era postmodernisme benar-benar menjadi pertanda hancurnya akidah tauhid. Tidak begitu mudah memberikan uraian tentang akar-akar keberhalaan asal mula penyimpangan akidah ini, serta pertumbuhannya di tengah-tengah manusia. Apalagi, mengingat bahwa persoalan keberhalaan ini bukan hanya terbatas pada satu atau dua bangsa, tidak pula dalam satu atau dua bentuk, ataupun satu atau dua daerah.Hal ini tentunya membuat sulitnya mengajukan pendapat yang pasti tentanganya atau terang pertumbuhannya. Keberhalaan
(watsaniyah)
di
kalangan
bangsa
arab
Jahiliyyah,
misalnya,berbeda dengan keberhalaan di kalangan bangsa India. Keberhalaan di kalangan penganut agama Budha berbeda dengan yang di anut oleh pengikut Hindu. Kepercayaan-kepercayaan dalam agama-agama dan bangsa-bangsa ini,
57
yang berkaitan dengan kemusyrikan, sangat berbeda sedemikian, sehingga sulit menggambarkan kadar yang dimiliki bersama oleh masing-masing dari mereka.29 Suku-suku Arab yang telah punah, seperti jaman jahiliyah waktu dulu ketika jaman Sulaiman sampai nabi Muhammad, mereka itu hidup diantara para penyembah berhala atau matahari.30,Kepercayaan-kepercayaan dan cara-cara berpikir mereka banyak disebut dalam al-Quran al-Karim. Bangsa Arab dari keturunan nabi Ismail, untuk masa-masa tertentu, adalah kaum yang bertauhid dan mengikuti ajaran-ajaran nabi Ibrahim dan nabi Ismail, akan tetapi lama kelamaan, akibat pergaulan dengan suku-suku penyembah berhala dalam masyarakat Arab jahiliyyah, secara berangsur-angsur timbul pula kepercayaan keberhalaan sebagai ganti akidah tauhid.31 Demikian itulah keadaan bangsa Arab yang hidup di daerah-daerah tersebut. Sedangkan mereka yang hidup di Makkah dan sekitarnya, pada masa menjelang kedatangan Rasulullah saw, mulai berkenalan dengan keberhalaan melalui seorang yang bernama ‘Amr bin Luhai, sebagaimana dinyatakan oleh para ahli sejarah. Pada perjalanannya ke daerah-daerah Syam, ‘Amr bertemu dengan orang-orang yang menyembah berhala, lalu ia bertanya kepada mereka tentang perbuatan tersebut. “Patung-patung apakah ini yang kalian sembah?”
29
Al-Busthani, Ensiklopedia, Kepercayaan-Kepercayaan Tentang Yang Di Anut Oleh Bangsa-Bangsa Di Asia (Jakarta: Pustaka Akbar, 1996), Cet ke III, h. 225 30 Firman Allah : “Telah Kudapati ia (Yakni Ratu Saba ) dan Kaumnya Menyembah Matahari Di Samping Menyembah Allah.” (QS 24:27) (lih asy-Syaikh Ja’far ubhan, Al-Tauhid wa Syrik fil Qur’an al-Karim, h. 32.) 31 Ibn Hisyam, as-Sirah, Watsaniyahn Atau Paganisme Telah Berakar Di Tengah-tengah Musyrikin Arab Jahiliyah, (Jakarta : Pustaka Media Etika Sarana) Jilid 1, h. 82
58
“Ini adalah patung-patung yang kami sembah, agar bila kami memohon hujan, patung-patung ini memberikan hujan, dan bila kami mengharapkan pertolongan, patung-patung ini memberikan nya kepada kami.” “Maukah kalian menghadiahkan untukku beberapa darinya? Saya akan membawanya ke negeri Arab, agar mereka menyembahnya.” Demikianlah,’Amr bin Luhai tertarik kepada perbuatan mereka. Ia pulang ke Mekkah dengan membawa sebuah patung besar bernama Hubal. Patung ini diletakkan di atas bangunan ka’bah kemudian ia mengajak orang-orang lain agar menyembahnya.” 32 Ada riwayat yang menyatakan bahwa pada malam peristiwa Hudaibiyah, turun hujan lebat di atas perkemahan kaum muslimin, sehingga Rasulullah saw. memerintahkan seseorang berseru. “Laksanakanlah shalatmu di kemah-kemah kamu masing-masing!” Pada pagi harinya, ketika mengimami salat Subuh bersama mereka, beliau bersabda: “Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Tuhan-mu?” Mereka menjawab Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Dan beliaupun berkata, “ Di antara hamba-hambaku di pagi hari ini, ada yang mukmin dan ada pula yang kafir. Siapa di antara mereka berkata, ‘Kami peroleh hujan dengan rahmat dan karunia Allah,’ maka dia itulah yang beriman kepada Allah dan kufur kepada bintang-bintang. Dan siapa di antara mereka berkata, “ Kami peroleh hujan dengan ramalan bintang. Maka dia itulah yang beriman kepada bintang-bintang dan kufur kepada-Ku”.33
32
Al-Allamah al-Syaikh Ja’far Subhani, al-Tauhid wa Syirk fi al-Qur’an al-Karim, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Penerbit Mizan) Cet, Pertama,1987,H. 79 33 Ja’far Subhani, al-Tauhid wa Syirk. h. 79
59
Kedua nash historis ini sekaligus menunjukkan bahwa sebagian orang Arab jahiliyyah, atau semuanya, adalah musyrikin dalam hal rubûbiyyah, yakni dalam sifat-sifat Allah sebagai Sang pemelihara dan Pengatur alam semesta. Mereka percaya bahwa turunnya hujan adalah wewenang berhala-berhala itu benar-benar memberi mereka hujan. Keterangan di atas amat penting dalam kaitannya dengan uraian-uraian selanjutnya. Di samping itu beberapa peneliti berpendapat bahwa keberhalaan tumbuh akibat penghormatan dan ta’zim berlebih-lebihan serta keinginan untuk mengabadikan kenangan terhadap tokoh-tokoh besar. Setiap kali seorang tokoh besar meninggal dunia, mereka memahat patung untuk menghidupkan kenangan kepadanya dalam diri mereka. Namun dengan berlalunya cukup besar, sehingga ketika ia mati, keluarganya membuat patung yang menyerupainya, lalu mulai menyembahnya. Pada masyarakat Yunani dan Romawi kuno, kepala keluarga di puja oleh keluarganya, dan bila ia mati, mereka pun menyembah patungnya. Faktor-faktor penyebab penyimpangannya adalah:34
Minimnya pengetahuan seseorang tentang akidah dan syari’at yang benar. Hal ini disebabkan karena keengganan mereka untuk mempelajarinya. Begitu juga kurangnya perhatian mereka terhadap akidah, akibatnya tumbuhlah generasi yang tidak mengerti akidah yang benar dan mana aqidah yang sesat. Sehingga mereka pun meyakini yang hak (benar) itu sebagai sesuatu yang batil dan yang batil itu dianggap sebagai yang hak. Sebagaimana Umar bin khattab ra. Berkata: 34
Nabhani Idris Hidayatullah Nawawi”THAGUT” , (Jakarta:Pustaka al-Kaustar,1999), cet. I, h. 94-98.
60
“Sesungguhnya ikatan Islam akan terlepas/ hancur satu demi satu, apabila di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengenal kejahiliyahan.”
Ta’ashshub (fanatik) kepada sesuatu yang diwarisi dari orang tua dan nenek moyangnya, meskipun hal itu batil dan mencampakkan apa yang menyalahinya, sekalipun hal itu adalah benar. Sebagaimana yang difirmankan Allah subhanahu wata’ala, Artinya: ”Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa telah kami dapati dari (perbuatan) nenek-moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. al-Baqarah: 170).
Taqlid35 buta (ikut-ikutan secara buta) tanpa ada keilmuan yang melandasinya. Yaitu dengan mengambil pendapat manusia sebagai hujjah dan sumber dalam masalah akidah tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa meneliti seberapa jauh kebenarannya. Sebagaimana fenomena yang terjadi saat ini banyak kaum muslimin yang bertaqlid kepada para ulama sesat, sehingga mereka pun menjadi sesat dan menyimpang dari aqidah yang shahih (benar).
Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih, dan mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya dengan meyakini pada diri mereka terdapat sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah swt, seperti mampu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan (malapetaka).
35
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatwa Tentang Akidah, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, cet. I, h. 73.
61
Serta menjadikan mereka sebagai perantara antara Allah subhanahu wata’ala dan makhluk-Nya, sehingga mereka pun akhirnya menyembah para wali/ orang-orang shalih tersebut selain Allah subhanahu wata’ala. Dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada kuburan mereka dengan menyembelih hewan qurban, nadzar, do’a, dan meminta pertolongan atau petunjuk kepada dukun atau peramal di sana. Sebagaimana yang terjadi pada para penyembah kuburan di berbagai negeri sekarang ini. (Lihat: AzZumar: 3)
Ghaflah36 (lalai) dalam merenungi ayat-ayat Allah subhanahu wata’ala yang terhampar di jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah subhanahu
wata’ala
yang
terdapat
dalam
Al-Qur’an
(ayat-ayat
Qur’aniyah). Dan terbuai dalam pengagungan terhadap teknologi dan kebudayaan, sampai-sampai mengira bahwa itu semua adalah hasil kreasi dan jerih payah manusia semata. Mereka lupa dan tidak berpikir siapa yang telah menciptakan mereka dan yang telah memberikan mereka keahlian dan kecerdasan sehingga mampu berkreasi ini dan sebagainya. Sebagaimana kesombongan Qarun yang dikisahkan Allah subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya, artinya, “Sesungguhnya aku hanya dikaruniai harta itu, karena ilmu (kecerdasan) yang ada padaku.” (QS. al-Qashash: 78). Dan sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala yang lainnya, artinya,
36
Abdul Aziz bin Shaleh al-Ubaid, Syetan VS Manusia, (Jakarta: Pustaka Azzam,2002), Cet. I h. 35.
62
“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. ash-Shaffat: 96). Dan firman Allah subhanahu wata’ala, artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala yang diciptakan Allah.” (QS. al-A’raf: 185).
Orang tua yang menyimpang dari Akidah yang benar.37 Sehingga anak-anak mereka pun terdidik dan terbimbing dalam pendidikan dan bimbingan yang menyimpang pula. Dan akhirnya mereka tumbuh menjadi anak-anak yang tidak mengerti aqidah yang benar. Ini menunjukkan betapa besarnya peranan orang tua dalam meluruskan jalan hidup anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang (kemudian) membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari).
Kurangnya perhatian Media/ sarana informasi dan pendidikan terhadap pendidikan agama Islam khususnya dalam masalah penanaman akidah yang benar dan pelurusan moral manusia serta memerangi pemikiranpemikiran/ aliran-aliran yang menyimpang. Bahkan sebagian besar tidak peduli sama sekali. Yang tampak saat ini kontribusi yang diberikan adalah sebagai sarana perusak dan penghancur moral dan akidah umat Islam.
Penyimpangan dari akidah yg benar adalah kehancuran dan kesesatan. Karena akidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal yang bermanfaat. Tanpa
37
h. 14.
Ikhwanul Wa’ie, Luruskah Akidah Anda,(Bogor: Pustaka Thariqul Izah, 2003), cet. III,
63
akidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa bagi persangkaan dan keraguraguan yang lama-kelamaan mungkin menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup kebahagiaan.
Keberhalaan yang terjadi pada masyarakat modern tumbuh akibat ekspresi berlebihan terhadap diri sendiri, tekhnologi, struktur sosial, akibatnya kepercayaan kepada Allah memudar, sebagai gantinya, lahirlah kepercayaan terhadap orangorang yang dianggap suci, memiliki kemampuan indrawi yang lebih atau sesuatu yang dikeramatkan, sehingga keyakinan terhadap Allah semakin hilang. Di sinilah asal mulanya keberhalaan dan kemusyrikan dalam makna baru mengambil relevansinya dalam makna tâghût. Mengapa Allah menegaskan dalam Fiman-Nya ini bahwa nabi yang membawa wahyu Allah bukanlah seorang tenung atau peramal, karena tukang tenung atau peramal berbeda dengan utusan Allah.seorang utusan Allah selalu dibekali Allah dengan mukjizat-mukjizat yang dapat membuktikan kerasulannya sesuai dengan situasi kondisi pada masa itu. Adapun pandangan ulama terhadap tâghût yang berupa peramal dan sejenisnya seperti dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 165 yang berbunyi:
وَﻣِﻦَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻣَﻦْ ﯾَﺘﱠﺨِﺬُ ﻣِﻦْ دُونِ اﻟﻠﱠﮫِ أَﻧْﺪَادًا ﯾُﺤِﺒﱡﻮﻧَﮭُﻢْ ﻛَﺤُﺐﱢ اﻟﻠﱠﮫِ وَاﻟﱠﺬِﯾﻦَ ءَاﻣَﻨُﻮا ﺎ ﻟِﻠﱠﮫِ وَﻟَﻮْ ﯾَﺮَى اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻇَﻠَﻤُﻮا إِذْ ﯾَﺮَوْنَ اﻟْﻌَﺬَابَ أَنﱠ اﻟْﻘُﻮﱠةَ ﻟِﻠﱠﮫِ ﺟَﻤِﯿﻌًﺎأَﺷَﺪﱡ ﺣُﺒ ِوَأَنﱠ اﻟﻠﱠﮫَ ﺷَﺪِﯾﺪُ اﻟْﻌَﺬَاب
64
''Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingantandingan selain Allah, mereka mencintai sebagaimana mereka dicintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...'''38 Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud mensederajatkan makhluk dengan Allah yaitu meminta sesuatu pada selain Allah yang sebenarnya tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah semata. Artinya, permintaan manusia tersebut hanya menjadi kekuasaan Allah untuk mengabulkanya atau hanya kekuasaan Allah semata-mata yang dapat melakukannya.Namun si manusia tersebut malah memohon bantuan kepada makhluk lain yang sama-sama diciptakan oleh Allah, sampai makhluk tersebut amat dipuja dan dijadikan tempat bersandar untuk bertanya mengenai segala sesuatu sampai pada masalah ghaib yang sebenarnya tidak diketahui pula oleh makhluk itu.dukun ataupun peramal yang melakukan ini juga menjadi musyrik.39 Ibn al-Qayyim dalam bukunya al-Igasah: 1/271, mengatakan: ''Dukun adalah utusan-utusan setan, karena orang-orang musyrik bergegas kepada mereka, minta tolong kepada mereka dalam urusan-urusan besar, percaya kepada mereka, berperkara kepada mereka, dan menyukai keputusan mereka, sebagaimana yang dikerjakan pengikut-pengikut rasul terhadap rasul-rasul. Mereka menurut orang-orang musyrik laksana rasul-rasul.40 Pendapat Ibn al-Qayyim yang mengatakan orang-orang musyrik menganggap para dukun atau peramal adalah rasul-rasul bagi mereka disini adalah kurang tepat, karena bukan hanya orang-orang musyrik saja yang menganggap demikian, 38
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an.Al-Qur'an dan Terjemahnya (Semarang: CV. Toha Putra Semarang.1989) h.41. 39 M.Thalib,100 Karakter Musyrik dan Jahiliyah. (Solo:Ramadhan. 1994). H. 263 40 Seperti dikutip Umar Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya Alam Makhluk Supernatyral. (Jakarta: Firdaus. 1999). H. 131
65
tetapi selain mereka pun banyak yang menganggap demikian, seperti orang-orang muslim yang selalu menanyakan perkara-perkara kepada para dukun, juga banyak. Sedangkan menurut para ulama orang-orang yang mendatangi dukun atau peramal itu sendiri ada tiga golongan. Pertama, mereka yang datang dan memanfaatkan jasa dukun atau peramal dan percaya dengan apa yang dikatakannya. Kedua, mereka yang datang kepada dukun atau peramal tapi tidak mempercayainya. Ketiga, mereka yang tidak mempercayai apa yang dikatakan dukun dan datang kepada dukun atau peramal dengan maksud dengan menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan meminta untuk meninggalkan perbuatannya. Menurut penulis,
hal ini dapat dilakukan bagi orang yang ingin
memberitahukan orang lain yang belum mengetahui perihal dukun atau peramal dan masih menganggapnya mengetahui akan yang ghaib, bahwa perkataan dukun atau peramal itu tidak dapat dijadikan pegangan. Akan tetapi hal ini tidak perlu dilakukan bagi seorang yang datang seorang diri, sebab kalau ia telah tahu bahwa seseorang itu adalah seorang dukun atau para normal, tak perlu didatangi untuk menguji atau mengetesnya, kecuali dilakukan bersama orang lain yang belum mengetahuinya. Mengenai orang yang mendatangi dukun ataupun peramal, ada dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad. Pertama, pelakunya dinyatakan kafir dengan tingkat kafir kecil. Agaknya inilah pendapat yang kuat. Kedua, tâwâqqûp,
66
maksudnya menamai pelakunya dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah Saw. Jadi tawaqqup disini adalah hukum bukan nama. Maka tidak boleh mengatakan dia telah keluar dari islam. 41
41
Al-Buraikan.Pengantar Studi Aqidah Islam. (Jakarta: Robbani Press. 1998). H. 260
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan Penafsiran tentang tâghût yang mencakup tentang korelasinya terhadap
berbagai penyimpangan akidah dalam realita sosial atau lebih dikenal dengan percaya kepada peramal, perdukunan (ahli nujum), sihir, pastur, atau para normal yang suka meramal-ramal perkara ghaib sepeti di jaman modern ini, pekejaan dukun atau peramal ini tidak diperkenankan dalam islam, sebab perkara ghaib adalah hak Allah yang hanya diketahui oleh-Nya.dari penafsiran-penafsiran dan firman Allah yang telah dibahas ada beberapa hal penting yang dapat penulis simpulkan yaitu: 1. Konsep thâghût dalam al-Qur’an adalah salah satu penyimpangan dalam realita sosial sering kali Allah singgung dalam al-Qur’an, tercatat ada 8 kali kata thâghût, yang secara umum di artikan sebagai sesuatu yang disembah selain Allah baik berupa syaithan, berhala, tukang sihir, paranormal, dukun, pastur, ataupun segala manhaj yang mengajak kepada kekufuran. 2. Konsep thâghût itu umumnya diartikan berhala saja, padahal dalam perkembangan di zaman modern ini banyak macamnya, maka kaum yang beriman di beri peringatan agar menjauh dari thâghût itu sendiri, apalagi sampai disembah-sembah. Untuk itu kembalilah kejalan yang diridoi Allah
67
68
swt, kita tidak akan kuat menjauhi thâghût, kalau kita tidak bertekad kembali kepada Allah. B.
Saran-saran Sejalan dengan beberapa hal yang penulis bahas dalam skripsi ini, maka penulis menyimpulkan saran-saran sebagai berikut: 1. .Masalah-masalah thâghût, termasuk perdukunan ataupun percaya dengan paranormal yang menyimpang dalam realita sosial,dijaman modern sangat marak dinegeri ini, bahkan di dunia hendaknya institusi respon dengan hal-hal yang sedang aktual untuk kemudian dapat mengangkatnya kedalam kurikulum perkuliahan, khususnya bagi mata kuliah tafsir hadits, karena hal ini akan sangat bermanfaat,agar keimanan kita bisa bertambah. 2. Para mahasiswa islam hendaknya lebih bisa memahami secara mendalam agama dan sumber ajaranya, yaitu alQur’an dan hadits, agar terhindar dari hal-hal yang dapat menjerumuskan
kedalam
perbuatan
yang
tidak
diper
bolehkan, dan dapat lebih memahami secara mendalam aspek-aspek keilmuan yang berhubungan kedua aspek-aspek tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asfahaniy, Al-Raghib, Al-Mu’jam Mufradât Alfâz al-Quran, Beirût: Dâr al-Fikr, Tt, Jilid 1. Ahmad Kheirie, R.A.S, Al-Haj Khan Bahdur Altaf Index Cum Concordance For The Holy Qur;an, New Delhi : Kitab Bavhan, th. 1993, Cet. I Abu Hayyan, Muhammad Yusuf, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, ( Beirût:Dâr al-Fikr, 1992). al-Andalusi, Imam Abu hayyan, Tafsir an-Nahru al-Madd, Beirut: Dar al-Hail, 1995, cet. I. al-Busthani, Ensiklopedia, Kepercayaan-Kepercayaan Tentang Yang Di Anut Oleh Bangsa-Bangsa Di Asia, Jakarta: Pustaka Akbar, 1996, Cet ke III. al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, Jakarta: Robbani Press. 1998, Cet IV. Faiz, Fakhruddin, Hermeneutika Qur'ani Pustaka Filsafat Yogyakarta 2001, Cet I. Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, Cet III. Hidayat, Komaruddin, Psikologi Kematian, Jakarta , Mizan Hikmah, 2005, cet.I. Halimuddin, Kembali Kepada Akidah Yang Benar, Jakarta: Rineka Cipta, 1988 Cet. I. Ibn 'Alawi Al-Maliki, Muhammad, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Bandung: Mizan 1 Oktober 2003. cet. II. Ibn Katsir, Tafsir Quran al al-Azim, - Beirut: Dar al-Fikr, tth., cet I ................,“Taisuri al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari” Jakarta, Penerbit: Gema Insani Press, 1999 M, Cet, I. Idris Hidayatullah Namawi, Nabhani ''THAGUT''Jakarta : Pustaka Al-Kautsar 1989. Cet I. Ibn Hisyam, as-Sirah, Watsaniyahn Atau Paganisme Telah Berakar Di Tengah-tengah Musyrikin Arab Jahiliyah, Jakarta : Pustaka Media Etika Sarana, Jilid 1. Iskandar, Perspektif ِAksiologi Qur'ani, Jakarta: Rabbani Press, Februari 2007, cet I. Ja’far Subhani, Al-Allamah al-Syaikh, al-Tauhid wa Syirk fi al-Qur’an al-Karim, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Penerbit Mizan, 1987 Cet. I.
69
70 Jabir Al-Jazairi, Abu Bakar “Tafsir al-Kautsar” , Jakarta: Darus Sunnah Press, 1996, Cet. I. Kepel, Gilles, Pembalasan Tuhan, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1997, cet I. M.Thalib,100 Karakter Musyrik dan Jahiliyah, Solo: Ramadhan. 1994, Cet. IV. Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad ’Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadah Jakarta: Paramadina, 2002, cet I. Sayyid Qutb, Tafsir fi Zilal al-Qur’an, terj, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, cet III. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet. IV. ………………….., Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, Vol 2. Putro, Suadi, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Paramadina, Jakarta, 1998, cet II. Wa’ie, Ikhwanul, Luruskah Akidah Anda, Bogor: Pustaka Thariqul Izah, 2003, Cet. III. al-Qathan, Syaikh Ahmad, Muhammad Zein, Thaghut, Jakarta : Pustaka Kautsar,1993, Cet ke III. al-Qaradlawi, Yusuf.''Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan''. Surabaya: Pustaka Progressif. 2002, Cet IV. al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, Depag RI 2005. al-Qusyairî al-Naisaburî, Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Semarang: Toha Putra, t.t, Juz IV. al-Qattan, Manna khalil’Studi ilmu-ilmu al-Qur’an’, Jakarta : Lentera AntarNusa,Thn 2006, cet.IX. yusuf Abu hayyan, Muhammad, Tafsîr al-Bahru al-Muhît, jilid 2, Beirût:Dâr al-Fikr, 1992, cet.III. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an.Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putra Semarang.1989, cet III. Umar Sulaiman al-Asyqar Alam Makhluk Supernatyral, Jakarta: Firdaus. 1999, Cet. V. al-Ubaid, Abdul Aziz bin Shaleh, Syetan VS Manusia, (Jakarta: Pustaka Azzam,2002), Cet. I.