PERILAKU MENCERAI-BERAI AGAMA DALAM TAFSIR AN-NUUR Tafsir Surat al An’âm ayat 159 dan al Rûm 30 sampai 32
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh : Budi Utomo NIM: 208034000003
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat 8 Juni 2010
Budi Utomo
ABSTRAK Masalah disintegrasi bukan hanya terjadi pada masalah kenegaraan tetapi juga merambah wilayah beragama dan berkeyakinan. Disintegrasi dalam satu kawasan negara biasanya membicarakan masalah state atau pembagian wilayah yang diklaim oleh pihak separatis sebagai hak mereka yang diambil oleh pemerintahan yang sah. Jadi yang dibicarakan adalah peta wilayah. Disintegrasi di dalam agama dan keyakinan adalah terjadi karena adanya orientasi baru baik dalam masalah ibadah ritual, pemahaman dan kelembagaan secara parsial atau keseluruhan. Pada awalnya yang dibicarakan adalah peta pemikiran tetapi pada akhirnya bisa sampai pada pembicaraan peta wilayah, pemberontakan kepada otoritas kekuasaan yang sah. Yang seluruhnya keluar dari pakem yang ada dalam tuntunan Allah dan Rasul-Nya sebagai pemilik otoritas Islam. Kemudian Islam yang sudah tidak original itu masih memakai nama gen awalnya sehingga timbulah banyak varian yang saling berbenturan karena persaingan seolah mengharuskan adanya satu juara saja, yang paling benar, yang paling original. Persaingan yang tak pernah usai, tidak hanya menyebabkan perang dingin tetapi juga kerap memicu bentrokan fisik bahkan pertumpahan darah dan perang senjata dalam waktu yang panjang dan melelahkan. Bahkan memicu dendam sejarah yang terus diwariskan. Tulisan dalam penelitian ini berbicara tentang perpecahan dalam Islam seputar tataran definisi, sebab awal, bahaya dan solusinya dalam persfektif tafsir al Qur’an. Dibingkai dalam analisa tafsir atas tafsir Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam wilayah keIndonesiaan.
i KATA PENGANTAR
Alhamdu li Allâh rabb al ‘alamîn. Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa ‘alâ âli Muhammad. Terima kasih yang tulus kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Zaenun Kamal F., MA., Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Bustamin Msi., Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dr. Edwin Syarif MA., Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. Tak lupa pula kepada pembimbing skripsi bapak Drs. A. Rifqi Muchtar, MA., atas kesabaran, bimbingan dan arahannya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh dosen pembimbing mata kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, semoga Allah memberikan keberkahan atas ilmu yang diajarkan. Tak lupa pula kepada segenap karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan FU UIN dan Perpustakaan Umum IMan Jama. Permohonan maaf dan terima kasih yang tiada terhingga kepada Orang Tua tercinta Ibu Hajjah Janatun dan Bapak Haji Tambak bin Ranyan yang sekian lama menunggu dengan sabar dan ikhlas atas keterlambatan penyelesaian tugas ini karena kesalahan dan keterbatasan penulis. Juga atas dukungan moril, materil dan do’a yang tiada putusputusnya. Semoga rida dunia sampai akhirat. Allah berikan keberkahan pada umur dan ‘amal shalih keduanya. Terima kasih juga kepada rekan-rekan asâtîdz pendukung berdirinya Pesantren Syi’ar al Islam terutama kepada Tuan Guru dan Orang Tua kami tercinta K.H. Muhammad Suharliansyah al Banjari atas nasehat dan bimbingannya. Semoga Allah mengangkat derajat beliau setinggi-tingginya.
ii
Terima kasih selanjutnya untuk isteri tercinta Fitria Kadam dan Pasukan Kecilku; Zhafira La Zanba, Zakia Nurul ‘Aini dan Zou Zein yang selalu membawa keceriaan dan menjadi semangat hidup. Semoga Romo (penulis) bisa memberikan sejarah yang baik untuk kebahagiaan dan kebanggaan keluarga “ La Zanba” kecil kita. Juga kepada Keluarga besar lain di Kampung Gedong; Bapak Rudi Trikurniawan sekeluarga dan Ibu Tuti beserta suami dan anak-anak. Keluarga besar cucu Mbah Tesbeh alias Mbah Salbani. Penulis dedikasikan tulisan ini untuk keluarga besar “698 ghairu” semoga menjadi inspirasi bagi kemajuan kita bersama. “ Kita boleh terlambat dalam hal-hal yang bisa kita kejar, tetapi kita tak bisa menunda keputusan atas perkara yang harus kita kerjakan, jangan bunuh idealisme...” Selesainya tulisan ini adalah keberkahan luar biasa bagi penulis dan keluarga besar dan ini adalah hadiah luar biasa dan hiburan yang sangat menggembirakan sekaligus mengharukan. Hanya Allah yang bisa membalas seluruh kebaikan atas inspirasi dan motivasi dari Ibu-Bapak, para guru, orang tua, dosen pembimbing dan seluruh keluarga besar. Jazâkumullâhu khairan katsîran. Wassalâmu ‘alaikum wa rahmah Allah wa barakâtuh.
Kelapa Dua Wetan, 03 Juni 2010
Budi Utomo
iii
DAFTAR ISI ABSTRAK………………………………………………………….. .....
i
KATA PENGANTAR ..........................................................................
ii
DAFTAR ISI ........................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………
6
C. Tujuan Penelitian……………………………………….
8
D. Metodologi Penelitian………………………………….
8
E. Sistematika Penulisan………………………………….
10
BAB II BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR A. Riwayat Hidup……………………………………………. 12 B. Pemikiran dan Karya……………………………………… 15 C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur……………………….. 17 D. Karakteristik Tafsir An-Nuur…………………………….. 19 BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PERILAKU MENCERAI-BERAI A. Pengertian Agama ..........................................................
21
B. Fungsi Agama ................................................................
24
C. Agama dan Perilaku Memecah Belah..............................
26
iv
BAB IV ANALISIS TENTANG MASALAH PERILAKU MENCERAIBERAI AGAMA DAN BAHAYANYA DALAM TAFSIR AN NUUR KAJIAN SURAH AL AN’ÂM AYAT 159 DAN AL RÛM 30 SAMPAI 32
BAB V
A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32 ............
31
B. Pengertian Memecah Belah Agama .................................
33
C. Perpecahan dalam Islam..................................................
35
D. Penyebab Perpecahan......................................................
41
E. Bahaya Perpecahan dalam Agama...................................
45
F. Klaim Syirik atas Perilaku Memecah Belah Agama ........
47
G. Solusi untuk Menghindari Perpecahan ............................
50
PENUTUP A. Kesimpulan.....................................................................
57
B. Saran-saran .....................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
59
LAMPIRAN ........................................................................................
63
v
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini media sering membicarakan penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam atas kelompok umat Islam lainnya. Mulai dari serangan argumentasi dalam berbagai tulisan, intimidasi sampai kekerasan fisik yang terkadang menimbulkan bentrokan fisik massa yang berseteru. Bisa saja perseteruan itu dipicu oleh adanya perbedaan konsep esensial dalam agama, yaitu masalah teologi1. Mungkin juga disebabkan pilihan politik dengan latar belakang pemahaman politik yang didasarkan pada partai berasas Islam yang berbeda2. Ataupun organisasi non politik yang menggunakan atribut Islam3. Ini menunjukkan adanya disintegrasi umat Islam. Perbedaan dalam satu kesatuan agama. Satu sembahan dan sumber pengambilan hukum namun berbeda pandangan dalam banyak hal. Sangat berbeda dengan para shahabah Rasulullah saw. yang pada awalnya mereka berasal dari berbagai latar belakang keyakinan, strata sosial dan suku bangsa bahkan fanatisme yang sering memicu peperangan. Maka Islam merangkul mereka dalam sebuah semangat persaudaraan Islam sehingga bisa meretas batasbatas pembeda dan mampu bersatu dalam keberagaman. Sebut saja term ‘Arab 1
ANTARA
Diserang,”
artikel
diakses
pada
Pebruari 2009 dari http://www.ANTARA.com. 2 Rival Fahmi, -Okezone, “Pulang-Kampanye-Massa-PKS-PPP-Bentrok,” artikel diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://news.okezone.com 3 detikSurabaya, >> News Jatim, 11/04/2008, “ Rebutan Lahan, anggota FPI Nyaris Bentrok dengan Warga,” artikel diakses Jum’at, 12 Juni 2009 dari http://m.detik.com.
1
senin,
23
2
dan ‘Ajam, orang merdeka dan budak, muhâjirîn dan anshâr, bangsawan dan rakyat biasa, itu semua adalah setting latar belakang sosio cultural ketika itu. Sebuah contoh adalah kehidupan umat Islam di masa dahulu, mereka hidup berdampingan dengan orang-orang non muslim, bahkan al-Qur’an dengan tegas menyatakan dalam Sûrah al Kâfirûn /109:6
ﻳﻦﹺ ﺩﻲﻟ ﻭﻜﹸﻢﻳﻨ ﺩﻟﹶﻜﹸﻢ “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” Tetapi sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut, pemisahan antara muslim dengan non muslim tersebut adalah dalam masalah akidah dan ibadah saja. Ketika orang-orang musyrik mencoba mengajak Nabi saw. untuk melakukan kompromi dalam bidang agama. Tentu saja hal tersebut tidak dapat dijalankan. Karena kompromi atau toleransi kerjasama dengan orang non muslim diperbolehkan ketika urusannya bukan permasalahan aqidah dan atau ibadah.4 Memang membicarakan masa itu merupakan sebuah hayalan tentang kondisi ideal umat Islam. Hayalan itu dipertegas lagi dengan adanya hadis yang menyebutkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi beliau bersama para shahabah kemudian tâbi’ în kemudian tâbi’ al tâbi’în5. Namun tetap saja ada rambu-rambu bagi umat yang menginginkan berada dalam kelompok Nabi dan shahabah. Nabi pulalah yang memberi informasi akan terpecahnya umat Islam ke dalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu ahlu
4
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 68-69. 5 Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari (Beirut: Dar al Fikr, 1981),vol.3, h.3650-3651.
3
al sunnah wa al jamâ’ah. Menurut Nabi mereka adalah orang-orang yang mengikutinya dan para sahabatnya.
ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ- ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻻﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﺭﻴﻨ ﻓ ﻗﹶﺎﻡﻪﺎﻥﹶ ﺃﹶﻧﻔﹾﻴﻦﹺ ﺃﹶﺑﹺﻰ ﺳﺔﹶ ﺑﺎﻭﹺﻳﻌ ﻣﻦﻋ ﲔﻌﺒﺳﻦﹺ ﻭﻴﺘﻨﻠﹶﻰ ﺛﻗﹸﻮﺍ ﻋﺮﺎﺏﹺ ﺍﻓﹾﺘﺘﻞﹺ ﺍﻟﹾﻜ ﺃﹶﻫﻦ ﻣﻠﹶﻜﹸﻢ ﻗﹶﺒﻦﺎ ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ » ﺃﹶﻻﹶ ﺇﹺﻥﱠ ﻣﻴﻨ ﻓ ﻗﹶﺎﻡ-ﻭﺳﻠﻢ ﻰﺓﹲ ﻓﺪﺍﺣﻭﺎﺭﹺ ﻭﻰ ﺍﻟﻨﻮﻥﹶ ﻓﻌﺒﺳ ﻭﺎﻥﺘﻨ ﺛﲔﻌﺒﺳ ﻭﻠﹶﻰ ﺛﹶﻼﹶﺙ ﻋﺮﹺﻕﻔﹾﺘﺘﻠﱠﺔﹶ ﺳ ﺍﻟﹾﻤﻩﺬﺇﹺﻥﱠ ﻫﻠﱠﺔﹰ ﻭﻣ 6
ﺔﹸﺎﻋﻤ ﺍﻟﹾﺠﻰﻫ ﻭ.«ﺔﻨﺍﻟﹾﺠ
“Dari mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya terdapat seseorang di antara kami yang berdiri, kemudian dia berkata, “ketahuilah, bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahli kitab telah bercerai-berai menjadi 72 millah, dan sesungguhnya, millah ini (agama Islam) akan tercerai-berai menjadi 73 golongan. 72 golongan berada di neraka, dan satu golongan lagi berada di surga.’ Segolongan itu adalah al jamâ’ah.” Dalam riwayat lain, terdapat perbedaan redaksi dengan maksud yang sama, yakni penjelasan tentang satu kelompok yang selamat dengan redaksi sebagai berikut:
ﻦﻣﺓﹰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﻭﺪﺍﺣﻠﱠﺔﹰ ﻭﺎﺭﹺ ﺇﹺﻻﱠ ﻣﻰ ﺍﻟﻨ ﻓﻢﻠﱠﺔﹰ ﻛﹸﻠﱡﻬ ﻣﲔﻌﺒﺳ ﻭﻠﹶﻰ ﺛﹶﻼﹶﺙﻰ ﻋﺘ ﺃﹸﻣﺮﹺﻕﻔﹾﺘﺗﻭ 7
ﺎﺑﹺﻰﺤﺃﹶﺻ ﻭﻪﻠﹶﻴﺎ ﻋﺎ ﺃﹶﻧ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻣﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳﺎ ﺭ ﻳﻰﻫ
“Ummatku akan tercerai-berai menjadi 73 millah, semuanya masuk neraka, kecuali satu millah. Para sahabat bertanya, siapa (yang berada dalam)
6
Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani al Azdî, Sunan Abi Dawud, vol.4 (Cairo: Darul Hadis, 1999), h.324. 7
Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat al Turmuzî, Sunan al Turmuzi, vol. 5 (Beirut: Dar al Fikr, 1980), h. 2641.
4
millah itu ya Rasulallah? Beliau bersabda, “yaitu orang-orang yang mengikuti apa yang ada padaku dan para sahabatku.” Keterangan inilah yang kemudian menjadi senjata bagi setiap kelompok yang mengaku sebagai salah satu golongan yang selamat untuk mempertahankan diri sekaligus menyerang balik. Dan dari sini juga istilah salaf diperdebatkan8. Sebuah ironi yang terjadi adalah ketika larangan untuk berkelompokkelompok dan bergolong-golong itu secara tegas tertera dalam al-Qur’an, bahkan kelompok dan golongan itu semakin hari semakin terlihat lebih banyak. Dalam al-Qur’an Sûrah Ali 'Imran /3:103 disebutkan:
ًﺍﺀﺪ ﺃﹶﻋﻢﺘﺔﹶ ﺇﹺﺫﹾ ﻛﹸﻨﻤ ﻧﹺﻌﻜﹸﻢﻠﹶﻴ ﻋﻭﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺫﹾﻛﹸﺮﻗﹸﻮﺍ ﻭﻔﹶﺮﻟﹶﺎ ﺗﺎ ﻭﻴﻌﻤ ﺟﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﺒﻮﺍ ﺑﹺﺤﻤﺼﺘﺍﻋﻭ ﺎﻬﻨ ﻣﻘﹶﺬﹶﻛﹸﻢﺎﺭﹺ ﻓﹶﺄﹶﻧ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﺓﻔﹾﺮﻔﹶﺎ ﺣﻠﹶﻰ ﺷ ﻋﻢﺘﻛﹸﻨﺎ ﻭﺍﻧﻮ ﺇﹺﺧﻪﺘﻤ ﺑﹺﻨﹺﻌﻢﺘﺤﺒ ﻓﹶﺄﹶﺻ ﻗﹸﻠﹸﻮﺑﹺﻜﹸﻢﻦﻴ ﺑﻓﹶﺄﹶﻟﱠﻒ ﻭﻥﹶﺪﺘﻬ ﺗﻠﱠﻜﹸﻢ ﻟﹶﻌﻪﺎﺗ ﺁَﻳ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﺍﻟﻠﱠﻪﻦﻴﺒ ﻳﻚﻛﹶﺬﹶﻟ “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orangorang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”9. QS. Ali 'Imran /3:103 Dalam ayat lain Allah swt. Berfirman:
ﻓﹸﻮﺍ ﺇﹺﻥﱠﺎﺭﻌﺘﻞﹶ ﻟﺎﺋﻗﹶﺒﺎ ﻭﻮﺑﻌ ﺷﺎﻛﹸﻢﻠﹾﻨﻌﺟﺜﹶﻰ ﻭﺃﹸﻧ ﺫﹶﻛﹶﺮﹴ ﻭﻦ ﻣﺎﻛﹸﻢﻠﹶﻘﹾﻨﺎ ﺧ ﺇﹺﻧﺎﺱﺎ ﺍﻟﻨﻬﺎ ﺃﹶﻳﻳ ﺒﹺﲑ ﺧﻴﻢﻠ ﻋ ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻘﹶﺎﻛﹸﻢ ﺃﹶﺗ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﻨ ﻋﻜﹸﻢﻣﺃﹶﻛﹾﺮ 8
Muhammad al Ghazali, Islam yang Diterlantarkan, Penerjemah Muhammad Jamaluddin (Bandung : Karisma, 1994), h. 13-22. 9 Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al Malik Fahd, 1426H), h. 93.
5
“Hai manusia, sesungguhnya Kami meciptakan kamu dari seorang lakilaki (Adam) dan seorang wanita (Hawa) dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat/49:13)10 Ketika kota Mekkah dibebaskan dari kaum musyrikin (fathu Makkah) pada bulan Ramadlan 8 H, Bilal seorang Sahabat nabi yang berkulit hitam naik ke atas ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Melihat kejadian ini, ada seoang berkomentar, “mengapa budak hitam seperti itu yang mengumandangkan adzan?”. Dari peristiwa tersebut, Allah kemudian menurunkan ayat 13 surah al Hujurat ini. Dalam ayat ini sekurang-kurangnya terdapat dua buah teori. Pertama, teori persamaan hak bagi manusia (Nazhariyyah al Musâwah). Persamaan ini berlaku untuk seluruh manusia tanpa melihat etnis, warna kulit, kedudukan, keturunan, dan lain sebagainya11. Ketika ayat ini diturunkan kepada Nabi saw Beliau hidup dalam suatu masyarakat yang sendi-sendi kehidupannya adalah berpijak di atas prinsip-prinsip perbedaan. Perbedaan dalam keyakinan, harta, pangkat, keturunan, dan warna kulit. Masyarakat pada masa itu membanggakan keturunan dan kabilah-kabilah (suku-suku) mereka. Kedua, teori pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa (syu’ûb, bentuk tunggalnya: sya’b) dan suku-suku bangsa (qabâil, bentuk tunggalnya: qabilah). Eksistensi bangsa-bangsa dan suku bangsa ini diakui dan dikehendaki oleh Allah. Keberadaannya bukan untuk berbangga-banggaan apalagi melecehkan pihak lain.
10
Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalm Perspektif al-Qur’an & Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) h. 29. 11 Abd al-Qadir Audah, al-Tasyri’ al Jina’i al Islami, vol.1 (Bairut : Dar al-Katib al ‘Arabi, tth), h. 26.
6
Melainkan untuk saling mengenali satu sama lain, termasuk mengenali kekurangan dan kelebihan pihak lain.12 Setiap kelompok selalu saja merasa bahwa ajaran mereka yang paling benar dan biasanya adanya perseteruan ini terjadi karena masing-masing ingin menjaga kemurnian agama agar tidak bercampur dengan ajaran yang bukan berasal dari al-Qur’an dan Hadis Nabi13. Orang-orang yang mengatas namakan memberantas bid’ah dan kekolotan kadang tanpa sadar sedang berjuang dalam masalah khilafiyah. Kelompok yang mempertahankan sebuah masalah khilafiyah dan yang berupaya memberantas perkara itu juga sama-sama dalam rangka memurnikan ajaran Islam14. Teori yang akan penulis bahas dalam tulisan ini adalah bahwa umat Islam akan terpecah kedalam tujuh puluh tiga golongan yang semuanya masuk neraka kecuali satu ahlu al sunnah wa al jama’ah. Masalah ini sangat penting untuk dibahas karena banyaknya kesalahpahaman umat dalam memaknai ahlu al sunnah wa al jama’ah sehingga menimbulkan perpecahan dan pertikaian.
1. Pembatasan Masalah Dalam al-Qur’an setidaknya ada dua tempat yang secara jelas menyebutkan idiom farraqû dînahum15 yang secara terjemah harfiah bahasa
12
Yaqub, Kerukunan Umat, h. 31. Zamihan Mat Zin al Ghari, Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilain (Selangor: Tera Jaya Enterprise, 2001), h. 148-149. 14 Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press), h. 460. 15 Faidu Allah al Hasanî al Maqdisî, Fathu al Rahmân li Talibi al Qur-ân (Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.), h.341. 13
7
Indonesia berarti “mencerai-berai16 agama mereka” yaitu pada Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32. 17 Dua ayat inilah yang akan dibahas selain karena di dalamnya secara apa adanya menyebut kata yang secara terjemah harfiah bahasa Indonesia akar katanya berarti memecah belah agama dan secara munasabah memiliki kesamaan topik, yaitu larangan untuk memecah belah agama tetapi juga memiliki beberapa poin yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan dalam sub-sub judul. Mengingat terlalu luasnya pembahasan dan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan perpecahan dalam Islam termasuk sudut pandang pembahasannya maka penelitian ini dibatasi sebatas lingkup penafsiran Hasbi ash Shiddieqy dalam Tafsir an-Nuur. Pemilihan Tafsir an-Nuur sebagai rujukan awal tulisan ini dengan alasan karena ini adalah tafsir berbahasa Indonesia yang ditulis lengkap. Cakupan wilayah pembahasan ini menggunakan dua skala yaitu lokal ke-Indonesiaan dan internasional. Dalam penelitian ini pembicaraan akan menggunakan skala nasional meski terkadang membawa wacana pemikiran internasional karena pada hakekatnya keduanya memiliki hubungan sangat erat.
16
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 1050. 17
Muhammad Fuad ‘Abd al Baqi, al Mu’jam al Mufahras li Alfâz al Qur ân al Karîm (Beirut: Dar al Fikr,t.t.), h. 656.
8
2. Perumusan Masalah Agar pembahasan ini lebih terarah maka penulis merumuskan permasalahan dalam bingkai pertanyaan “ Bagaimana Penafsiran Hasbi ash Shiddieqy mengenai farraqû dînahum yang tertera dalam Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32.
B. Tujuan Penelitian Selain untuk memenuhi persyaratan akademis dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, skripsi ini bertujuan untuk: 1. Mendalami makna mencerai-berai agama yang terdapat dalam Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32. 2. Mengetahui secara umum pokok-pokok pemikiran Hasbi ash Shiddieqy yang terkait dengan makna farraqû dînahum. 3. Menelaah dan menelusuri penafsiran Hasbi ash Shiddieqy serta pendapatnya diantara beberapa pendapat lain. D. Metodologi Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan metode kepustakaan (library reseach) dari berbagai buku yang berkaitan dengan masalah ini.
9
Adapun sumber primer dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk kepada Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur karya Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy. Sedangkan sumber sekunder penulis merujuk kepada tafsir berbahasa Indonesia lainnya yaitu Tafsir al Azhar, sebuah tafsir berbahasa Arab yaitu Tafsîr ibn al Katsîr dan buku-buku lain yang berkaitan dengan skripsi ini.
2. Metode Pembahasan Adapun metode yang digunakan dalam membahas penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Yaitu dengan menerangkan tinjauan teoritis seputar definisi agama, fungsi agama, perilaku memecah belah agama dan hubungan antara agama dan perilaku memecah belah. Masalah-masalah tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan sudut pandang penafsiran Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy dalam Tafsir an Nuur pada Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32. Hasil analisa itulah yang akhirnya dirangkum dalam kesimpulan dan saran.
10
3. Tehnik Penulisan Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku: “ Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007. Pengecualian terdapat pada penulisan Tafsir an Nuur kependekan dari Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur menggunakan cara penulisan judul pada buku aslinya yaitu buku cetakan Pustaka Rizki Putra Semarang tahun 1995 dan tahun 2000. Ungkapan shallallahu ‘alaihi wasallam disingkat menjadi saw., berdasarkan penulisan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
E. Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini penulis membagi tulisan menjadi lima bab dan masing-masing terdiri dari sub-sub bab: Bab I merupakan pendahuluan yang menjadi acuan dan landasan pembasan skripsi ini. Memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan Bab II berisi biografi Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi
Ash
Shiddieqy dan keterangan tentang Tafsir an Nuur berupa riwayat hidup, pemikiran dan karya, sejarah penulisan dan karakteristik Tafsir an-Nuur. Bab III berisi pengertian mengenai agama, fungsi agama dan kaitan antara agama dengan perilaku memecah belah agama.
11
Bab IV analisis tentang masalah perilaku mencerai-berai agama dan bahayanya dari Tafsir an Nuur , kajian Surah al An’âm/6: 159 dan al Rûm/30: 32. Bab V penutup, yaitu berupa kesimpulan dan saran-saran.
BAB II BIOGRAFI PROF. DR. TEUNGKU MUHAMMAD HASBI ASH SHIDDIEQY DAN TAFSIR AN NUUR
A. Riwayat Hidup1 Mengenai tempat lahir dan asal keturunan maka Hasbi ash-Shiddieqy lahir di Loukseumawe, Aceh Utara di tengah keluarga berstrata sosial ulamaumara, tepatnya pada 10 Maret 1904. Ayahnya, Tengku Muhammad Husein ibn Muhammad Su’ud, adalah salah seorang loyalis rumpun Tengku Chik Di Simeuluk Samalanga. Sementara Ibunya, Tengku Amrah adalah putri Tengku Abdul Aziz, seorang pemangku jabatan Qadli Chik Maharaja Mangkubumi. Berdarah campuran Arab-Aceh Hasbi berasal dari lingkungan keluarga ulama, pendidik dan pejuang. Ash-Shiddieqy dibelakang nama beliau adalah nama keluarga yang dihubungkan dengan Abu Bakar ash-Shiddiq khalifah pertama dari kalangan shahabah pada tingkatan yang ke tigapuluh tujuh. Ditinggal ibunya pada usia enam tahun setelah itu, Hasbi diasuh oleh Tengku Syamsiyah, saudara wanita ibunya yang tidak dikaruniai putra.2 Dalam keterangan lain, Tengku Syamsiyah adalah paman dari pihak ibu Hasbi. Ia khatam al-Qur’an pada usia delapan tahun. Setahun berikutnya ia belajar qirâ’at dan 1
Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam 2, vol. 5 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),
h.94. 2
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu: Ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h.323.
12
13
tajwîd serta dasar-dasar tafsir dan fiqih dari ayahnya yang menghendakinya menjadi seorang ulama. Ayahnya pula yang mengirim Hasbi ke salah satu dayah di kota kelahirannya. Dayah berarti orang perempuan (ibu) yang diserahi mengasuh atau menyusui anak orang lain; inang pengasuh; ibu susu. Tetapi dalam kebiasaan masyarakat Aceh, dayah berarti tempat pendidikan agama, layaknya pesantren di Jawa. 3 Delapan tahun lamanya Hasbi belajar dari satu dayah ke dayah lainnya. Tahun 1912 ia belajar bahasa Arab di dayah Tengku Chik Di Piyeung dan seterusnya berpindah-pindah tempat. Pada tahun 1916 Hasbi merantau ke dayah Tengku Chik Idris di Tanjungan Barat, Samalanga, dayah terbesar dan terkemuka di Aceh Utara untuk belajar ilmu fiqih. Dua tahun kemudian pindah ke dayah Tengku Chik Hasan di Kruengkale sampai tahun 1920 hingga mendapat syahâdah yaitu legalitas sang guru untuk membuka dayah sendiri. Kegemarannya membaca didukung kemahirannya dalam mengusai bahasa-bahasa lain selain Melayu. Bahasa asing selain bahasa Arab yang dimilikinya adalah bahasa Latin dan bahasa Belanda. Al Irsyad Surabaya adalah tempat studi bahasa Arab Hasbi yang berangkat kesana bersama al Kalali pada tahun 1926. tahun 1928 memimpin sekolah al Irsyad di Lhokseumawe. Tahun1930 menjadi kepala sekolah al Huda di Kruengmane Aceh utara. Pada tahun 1940-1942 menjadi direktur Darul
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 1335.
14
Mu’allimin Muhammadiyah Kutaraja. Masih sempat juga membuka Akademi Bahasa Arab. Pada era demokrasi liberal, ia terlibat secara aktif mewakili Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dalam perdebatan-perdebatan panjang yang membahas masalah ideologi di Konstituante yaitu lembaga yang mewakili rakyat ketika itu. Karir politik ini dimulai dari tahun 1930 ketika diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond cabang Aceh utara di Lhokseumawe. Dan masuk sebagai anggaota konstituante pada tahun 1955. Namun akhirnya lebih memilih dunia akademis daripada berpolitik praktis. Tahun 1958 menjadi utusan Indonesia dalam Seminar Islm Internasional di Lahore. Karir akademiknya dimulai dari menjadi staf pengajar sekolah persiapan PTAIN sampai akhirnya menjadi direkturnya. Mata kuliah Hadits menjadi spesialisasinya di IAIN. Tahun 1960 mendapat promosi sebagai Guru Besar dengan pidato pengukuhan berjudul Syariat Islam Menjawab Tantangan Jaman yang disampaikan pada acara peringatan setengah tahun peralihan nama PTAIN menjadi IAIN tahun1961. Sewaktu pembukaan Fakultas Syariah di Darussalam, Banda Aceh yang berinduk pada IAIN Yogyakarta beliau menjadi Dekannya sejak September 1960 hingga Januari 1962. Lepas dari jabatan ini, tahun 1963-1966 Hasbi merangkap lagi sebagai Pembantu Rektor III dengan tetap menjadi Dekan Fakultas Syariah di IAIN Yogyakarta. Ada beberapa jabatan struktural di berbagai Perguruan Tinggi Swasta. Tahun 1961-1971 ia menjabat sebagai Rektor Universitas al-Irsyad Surakarta dan
15
Universitas Cokroaminoto di kota yang sama. Mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1964. Mengajar dan menjadi Dekan pada Fakultas Syariah Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang sejak tahun 1967 hingga wafatnya. Meskipun tidak pernah belajar di luar negeri beliau mampu menelurkan lebih dari seratus judul karya intelektual dari beragam disiplin keilmuan dan berbagai artikel lainnya. Ia mendapat anugerah Doctor Honoris Causa
dari
Unisba dan IAIN Sunan Kalijaga sekaligus pada tahun 1975. Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullah, dan jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara pelepasan jenazah dihadiri Buya Hamka dan Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir yang sempat diselesaikan adalah Pedoman Haji. Keppres Nomor 067/TK/Tahun 2007 menetapkan pemberian gelar pahlawan nasional dan Bintang Mahaputra Utama kepada Prof Dr Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy.4
B. Pemikiran dan Karya Dari segi pemikiran Hasbi adalah pelajar tekun yang memiliki kemampuan otodidak yang baik.
4
Terbukti dengan penyampaian makalahnya dalam
Margawati Rahayu Simarmata,” Sembilan Putra Terbaik Terima Gelar Pahlawan Nasional,” artikel diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://inilah.com.
16
Internasional Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan tahun 1958. Bahkan sebelum berhaji atau belajar di Timur Tengah Hasbi sudah jauhjauh menyerukan pembaharuan. Sejak awal Hasbi sudah berani menentang arus bahkan di lingkungan yang sangat fanatik sekalipun. Terkenal sangat moderat tetapi juga tegas dalam mengambil sikap. Dan beliau adalah penggagas awal fiqh yang berkepribadian Indonesia. Hasbi sebagaimana kebanyakan ulama memandang bahwa syariat Islam bersifat lentur sehingga dinamikanya bisa disesuaikan dengan masa dan wilayah hadirnya. Beliau memandang bahwa fiqh merupakan produk ijtihad yang belum final sehingga memungkinkan umat Islam Indonesia untuk memiliki coraknya sendiri. Beliau mengkritik praktek penggunaan fiqh yang dilaksanakan masyarakat Indonesia yang dinilai tidak berkepribadian Indonesia. Pintu ijtihad masih terus terbuka lebar. Beliau menyarankan tinjauan ulang atas hukum-hukum produk ulama mazhab, mencari hukum yang timbul dari adat kebiasaan dan meninjau masalah kontemporer dengan tinjauan proporsional. Kemudian semua itu diramu untuk menjadi mazhab fiqh baru Indonesia. Pandangan modern Hasbi tentang zakat dan sarannya kepada pemerintah untuk membuat bait al mâl adalah bukti kepahaman atas maqâsid al syarî’ah atau tujuan
pemberlakuan
syariah
sekaligus
bentuk
kepedulian
beliau
atas
kesejahteraan umat Islam dan tanggung jawab ilmiah sebagai seorang pengemban ilmu Allah. Karya ilmiah Hasbi adalah buah dari ketekunan membaca di perpustakaan pribadinya setelah habis isya disela-sela kesibukannya. Bahkan sekitar tahun
17
1957-1958 beliau mendapat penghargaan sebagai salah seorang dari sepuluh penulis Islam terkemuka. Cukup banyak karya tulis yang telah dihasilkannya. Karya tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid) dengan klasifikasi sebagai berikut: 1.
Bidang fiqh terdiri dari 36 judul.
2.
Bidang hadis terdiri dari 8 judul.
3.
Bidang tafsir terdiri dari 6 judul.
4.
Bidang tauhid; ilmu kalam terdiri dari 5 judul.
5.
Yang lainnya adalah tema-tema umum.
C. Sejarah Penulisan Tafsir An-Nuur Hasbi menulis tafsirnya sejak tahun 1952 hingga tahun 1961 di sela-sela kesibukannya mengajar, menjadi dekan fakultas Syari’ah IAIN dan menjadi anggota konstituente dari partai Masyumi. Karena kesibukannya itu, ia tidak menuliskan sendiri tafsirnya, tapi hanya mendiktekan kemudian dituliskan oleh seorang pengetik, sementara di mejanya bertebaran berbagai buku rujukan5. Latar belakang penulian tafsir ini, sebagaimana yang ia tulis di pengantar tafsirnya, karena ia melihat banyak umat Islam Indonesia yang mulai tertarik untuk mendalami
5
ajaran Islam, termasuk tafsir al-Qur’an. Tapi sayang,
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur, vol. 1 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), h. iv.
18
kebanyakan diantara mereka tidak menguasai bahasa Arab, padahal kitab-kitab tafsir umumnya berbahasa Arab. Maka ia tulis tafsir ini untuk memudahkan mereka yang tertarik mendalami tafsir al-Qur’an itu. Di bidang tafsir al-Qur’an, Hasbi menulis dua tafsir, yaitu Tafsir an-Nuur (1956) dan Tafsir al-Bayan (1966). Tafsir an-Nuur ditulis di tengah perdebatan tentang boleh-tidaknya menerjemah sekaligus menulis al-Qur’an dengan bahasa selain bahasa Arab. Bagi Hasbi, al-Qur’an bersifat universal. Karena itu, demi suksesnya misi transformasi maka penggunaan bahasa pembaca yang terkotakkotak dalam suku dan bangsa masing-masing untuk menafsirkan al-Qur’an menjadi sebuah kebutuhan mendesak, tidak terkecuali menggunakan bahasa Indonesia. Hasbi sepenuhnya menyadari bahwa pendapatnya ini berseberangan dengan pendapat majelis ulama-ulama besar Saudi Arabia dalam keputusan No. 67, 21 Syawal 1399 H/1978 M. Keputusan itu berisi fatwa haramnya menulis (menafsirkan) al-Qur’an dengan menggunakan selain bahasa Arab. Namun ia jalan terus dengan menulis Tafsir an-Nuur. Dalam menyusun kitab tafsirnya, Hasbi banyak menggunakan sumbersumber seperti ayat al-Qur’an, riwayat Nabi, riwayat sahabat dan tabi’in, teoriteori ilmu pengetahuan, pengalaman dan juga pendapat para mufasir. Ia menyusun Tafsir an-Nuur dengan sistematika pembahasan tertentu yang diharapkan mampu menggugah minat pembaca sekaligus memudahkannya dalam memahami dan mendapat penjelasan yang relatif lengkap. Tafsir an-Nuur bahkan menjadi salah
19
satu kitab tafsir rujukan Lembaga Penyelenggara Penerjemahan Kitab Suci alQur’an dalam tugasnya menerjemahkan al-Qur’an.
D. Karakteristik Tafsir An-Nuur Sistem penulisan tafsir ini pertama-tama menyajikan pengantar umum bagi setiap surat. Dengan menghubungkan hal-hal yang memiliki korelasi dengan surat sebelumnya, atau biasa disebut munasabah. Kemudian menyebutkan satu, dua atau tiga ayat al-Qur’an yang mengandung satu pembahasan. Kemudian ayat tersebut diterjemahkan maknanya dengan cara yang mudah difahami. Setelah itu barulah Hasbi menafsirkan inti dari ayat-ayat terebut. Selanjutnya ia menyebutkan ayat-ayat lain yang mengandung pembahasan yang sama. Terakhir untuk lebih memudahkan memahami maksud ayat-ayat itu ia menyebutkan asbabunnuzulnya, jika memang ada. Materi tafsir yang terdapat dalam an-Nuur Hasbi sarikan dari tafsir-tafsir mu’tabar, terutama dari al-Maraghî. Ayat dan hadits yang dinukil dalam tafsir ini terdapat pula dalam tafsir-tafsir induk dan tafsir-tafsir yang mengambil dari tafsirtafsir induk itu. Sementara dalam menerangkan ayat-ayat yang semakna dengan ayat-ayat yang sedang ditafsirkan, Hasbi berpedoman pada Tafsîr Ibnu Katsir, karena banyak menafsirkan ayat dengan ayat. Tahun 1995 Tafsir an-Nuur diterbitkan oleh Pustaka Rizki Putra Semarang dalam 5 jilid. Dari maksud penulisan tafsir ini yaitu untuk memudahkan mereka yang tertarik mendalami tafsir al Qur’an dan kesungguhan Hasbi dalam menekankan
20
segi-segi kemasyarakatan dan hukum-hukum sosial maka jelas terlihat bahwa corak tafsir ini adalah al adabî al ijtim’î, sastra budaya kemasyarakatan.6 Begitu seriusnya Hasbi dalam menyampaikan ide-idenya sampai dalam penulisan tafsir ini disertakan transliterasi ayat-ayat al-Qur’an pada bagian tafsir hal ini selain untuk mempermudah para peminat tafsir yang belum bisa membaca al-Qur’an dalam tulisan aslinya sekaligus mendorong umat untuk tidak minder menghadapi tafsir al-Qur’an karena memang dia ditujukan bagi seluruh umat baik kalangan terpelajar ataupun masyarakat awam. Apabila diperhatikan dengan seksama maka akan didapati bahwa terjemahan dalam tafsir ini memiki ruh yang sama dengan terjemah Departemen Agama hanya terdapat penyesuaian kata seiring dengan perkembangan bahasa Indonesia modern. Karena memang tafsir Hasbi merupakan salah satu diantara rujukan tim penerjemah al-Qur’an yang dibentuk Departemen Agama disamping Hasbi juga terlibat secara aktif dalam proses lahirnya al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Dartemen Agama.
6
Didin Saefuddin Buchari, Pedoman Memahami al Qur’an (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), h.188.
BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG AGAMA DAN PERILAKU MENCERAI-BERAI
A. Pengertian Agama Kata agama dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: Segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan lain sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.1 Dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, agama disetarakan dengan religion dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Latin: religio yang berarti kekhawatiran, keseganan, atau berasal dari kata relegere yang berarti membaca kembali atau dari kata religare yang berarti mengikat kembali. Dalam definisi agama adalah segala kepercayaan kepada Tuhan atau Dewa berikut ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu; sangat mementingkan konsep mengenai asal-usul (Tuhan) serta tujuan akhir perjalanan hidup manusia; digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi dorongan-dorongan moralnya yang luhur dan
mencapai kesempurnaan yang
paling tinggi melalui penghayatan dan melibatkan seluruh kemampuan ruhaniah dan sikap pasrah diri.2
1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), h. 10. 2 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 13.
21
22
Selain dikenal sebagai religi, agama disetarakan dengan dîn dalam bahasa Arab. Dalam Al Munjid kata dîn diartikan sebagai: al dîn (jama’ :adyân): (1) al jazâu wa al mukâfaah; (2) al qadâ; (3) al mâlik/ al muluk wa al sultân;(4) al tadbîr;(5) al hisâb.3(Artinya: (1) pahala, (2) ketentuan, (3) kekuasaan, (4) pengelolaan, (5) perhitungan). Al Jurjani dalam al Ta’rîfât memadankan al dîn dengan al millah yang disebut sebagai satu dalam zat atau materinya tetapi berbeda di dalam penggambaran. Ketika sebagai syariat yang dipatuhi maka disebut al Dîn. Ketika berfungsi mengumpulkan seluruh makna agama maka disebut
al millah.
Ditambah dengan al Madzhab ketika difungsikan sebagai tempat kembali atau referensi. Secara gampang dibedakan antara ketiganya kepada sandarannya, al dîn disandarkan kepada Allah, al millah kepada nabi dan al millah kepada mujtahid.4 Harun Nasution mencantumkan empat unsur penting yang ada dalam agama secara umum, yaitu: 1. Kekuatan gaib. 2. Keyakinan bahwa kebaikan di dunia dan akhirat bergantung kepada hubungan baik dengan sesuatu yang gaib tersebut. 3. Respons emosional seperti rasa takut dan cinta. 4. Paham akan adanya yang suci dalam bentuk kekuatan gaib, kitab suci atau tempat-tempat tertentu.5
3
Louis Ma’luf,Munjid; fi al lughah, (Beirut: al Matba’ah al Kâtûlîkiyyah 1960; reprint, Beirut: Dar el- Machreq Sarl, 1986), h. 231. 4 ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Ali al Jurjani, al Ta’rîfât,, (Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabiy,1996), h. 141-142. 5 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol.1 (Jakarta: UI-Press,1986), h. 11.
23
Muhammad Rasyid Rida dalam al Manâr meyebutkan bahwa: Sesungguhnya agama adalah aturan yang ditentukan oleh Tuhan karena akal manusia secara mandiri tidak bisa mencapai kecuali harus adanya pertolongan wahyu. Meskipun demikian agama ini sesuai dengan tuntutan fitrah (jati diri) manusia untuk membersihkan jiwanya dan mempersiapkan manusia untuk sesuatu kehidupan yang abadi di hari akhirat nanti.6 Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu Filsafat dan Agama membagi agama berdasarkan sumbernya menjadi dua, yaitu: 1. Agama budaya. 2. Agama wahyu. Agama budaya adalah agama yang lahir dari kebudayaan manusia atau ciptaan manusia. Sedangkan agama wahyu adalah agama yang diwahyukan Allah.7 Sedangkan agama yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah Islam yang berasal dari bahasa Arab yang berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Dalam istilah teologi berarti agama monotheis yang diwahyukan Allah kemudian diterima dan disiarkan Nabi Muhammad saw.. Berpedoman pada kitab suci al Qur’an dan Hadis Rasulullah.8 Agama Islam adalah agama yang datang dengan terutusnya seorang mulia Nabi Muhammad saw. sebagai penutup Nabi dan Rasul Allah, yang diberi wahyu dengan dipenuhi mukjizat berupa al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat-ayat
6
Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyyah Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam (Surabaya: Anika Bahagia, 1985), h.15. 7 Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h. 142. 8 Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 412.
24
penjelas yang tidak diragukan lagi kebenarannya dan juga sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa sekaligus sebagai pengingat bagi orang-orang yang lupa.9
B. Fungsi Agama Sang pencipta telah menciptakan berbagai macam hewan di muka bumi ini. Bila dibandingkan dengan populasi hewan lunak, maka jumlah hewan buas lebih banyak. Oleh karena itu, akan ditemukan senjata utama pada masing-masing hewan tersebut, demi menghindari serangan dari hewan yang lain. Manusia adalah termasuk bagian dari hewan. Manusia mempunyai tangan, lisan, pedang, alat-alat perang, kendaraan, dan banyak lagi peralatan lain yang dapat berfungsi sebagai alat pertahanannya. Bahkan jika dibandingkan dengan hewan lainnya, manusia mempunyai alat yang lebih variatif. Karena manusia mempunyai sesuatu yang membedakan dari hewan yaitu akal yang cenderung berkembang, maka manusia membutuhkan peraturan. Peraturan yang dimaksud adalah adanya perintah dan larangan, yang dengannya, manusia dapat hidup teratur dan terjaga keamanan dan kelestariannya.10 Tujuan hidup beragama adalah membersihkan diri dan mensucikan jiwa dan ruh. Tujuan agama lainnya adalah membina manusia agar menjadi baik dan jauh dari kejahatan. Maka ajaran moral seperti kebersihan jiwa, tidak mementingkan diri sendiri, cinta kebenaran, suka membantu manusia, kebesaran jiwa, suka damai, rendah hati dan sebagainya merupakan hal-hal yang ditekankan. 9
‘Alî Ahmad al Jûrjâwî, Hikmah al Tasyrî’ wa falsafatihi (Beirut: Dar al Fikr, 1997), h.
29. 10
Idem, h. 53 - 55.
25
Karenanya agama menjadi sangat penting bagi hidup kemasyarakatan manusia sebab dari individu-individu yang berjiwa bersih dengan akhlak yang baik itulah masyarakat yang baik dapat dibina.11 Sebuah kutipan tentang fungsi agama dalam masyarakat modern berbunyi: “Agama bukanlah pengganti politik-ekonomi, sastra, maupun hukum. Tapi ia dapat memperluas horizon dan visi manusia, menciptakan konteks transendental bagi pemecahan persoalan-persoalan yang saling terkait dari kehidupan manusia sekarang yang sedang mengalami frustasi baik secara individual maupun kolektif.” 12 Agama selain sebagai pembuka jalan pikiran juga diyakini sebagai solusi yang dapat menyelesaikan problem kemanusiaan bukan hanya sebagai individu tetapi juga sebagai masyarakat manusia. Dengan agama manusia bisa mengatur seluruh persoalan hidup dengan baik sehingga terbebas dari segala macam tekanan yang kadang membuat frustasi. Maka sikap keberagamaan yang malah selalu menimbulkan konflik dan polemik berarti telah menyalahi fungsi agama. Demikian fungsi agama secara umum. Secara khusus dalam menerangkan fungsi Islam sebagai agama Maulana Muhammad Ali dalam mukadimah Islamologi13 menyebutkan : 1. Agama adalah kekuatan untuk mengembangkan akhlak manusia.. 2. Islam sebagai landasan peradaban abadi. 3. Islam adalah kekuatan pemersatu yang paling besar di dunia. 4. Islam adalah kekuatan ruhani terbesar di dunia. 5. Islam memecahkan masalah dunia yang besar-besar. 11
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya., vol. 1, h.18-19. William McInner,”Agama di Abad Duapuluh Satu,” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, v .II, no.5(1990) h.79. 13 Ali , Islamologi. Penerjemah R. Kaelan danH.M. Bachrun (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, t.t.), h.10-18. 12
26
C. Agama dan Perilaku Memecah Belah Agama-agama besar secara umum memiliki dua ekstrim pada pola kepercayaan
penganutnya
yaitu:
sekularis
dan
fundamentalis.
Kaum
fundamentalis terikat dengan dogma yang menutup peluang perubahan atau sekedar adaptasi. Prinsip moral yang absolut dan ketat dari pemahaman yang tekstual apa adanya menjadikan seluruh realitas hanya sebatas baik dan buruk tanpa toleransi sedikitpun. Bahkan pendidikan dalam rumah tangga dengan aturan yang sangat ketat membuat mereka sulit untuk menerima kenyataan bahwa masyarakat sangat heterogen dan pluralistik. Tidak mau mendengar dan melihat untuk perubahan. Tetapi pada saat yang sama mereka lebih memilih banyak sibuk menciptakan koloni yang bisa dikuasai dan menghabiskan waktu dan energi untuk merintangi dan memerangi lawan mereka dari pada membuka jalan kedekatan kepada “Tuhan”. Sebaliknya kaum sekularis malah berupaya untuk lepas dari formalitas agama.14 Konflik sosial yang bersumber dari agama biasanya timbul karena perbedaan yang terjadi dalam empat hal, yaitu: doktrin dan sikap, suku dan ras umat beragama, tingkat kebudayaan dan masalah prosentase kwantitas pemeluk agama dalam satu lingkup tertentu. Masalah doktrin dan sikap adalah masalah cara pemberian informasi agama seperti apa yang diterangkan tentang fatwa. Suku dan ras adalah strata yang terjadi baik secara sistemik atau terjadi diluar kesadaran masyarakat beragama. Tingkat kebudayaan menunjukkan kwalitas masyarakat 14
William McInner,”Agama di Abad Duapuluh Satu,”, h. 79-80.
27
beragama secara general. Sedangkan masalah mayoritas dan minoritas adalah masalah hegemoni pemahaman dan dominasi peran politik, ekonomi dan sosial.15 Dari definisi agama yang telah dipaparkan di atas tidak terdapat keterangan yang menyatakan bahwa agama adalah sebuah lembaga formal atau institusi yang memiliki struktur organisasi. Ketika ada keterangan bahwa “agama digunakan manusia sebagai wahana untuk berjuang memenuhi dorongandorongan moralnya…” maka kata wahana tidak bisa diartikan sebagai organisasi agama. Agama dalam hal ini adalah sesuatu yang abstrak, kesadaran dalam hati dan keyakinan yang dalam. Ketika masyarakat beragama berkumpul sebagai satu komunitas secara tidak sadar kemudian timbul rasa kebersamaan dan sebagian kemudian mengira bahwa rasa kebersamaan itu adalah agama. Formalisasi agama inilah yang kemudian menyulut adanya konflik, karena muatan lokal yang masuk kepada komponen asli agama berbeda disetiap tempat16. Agama sendiri, dalam hal ini Islam, melarang segala jenis pemutusan hubungan, pemboikotan, propokasi kebencian, tetapi menganjurkan kepada persatuan dan persaudaraan.
ﻟﹶﺎﻭﺍ ﻭﺪﺎﺳﺤ ﻟﹶﺎ ﺗ- - ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻮﻝﹸ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪﺳﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ: ﺓﹶ ﻗﹶﺎﻝﹶﺮﻳﺮ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﻫﻦﻋﻭ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪﺎﺩﺒﻮﺍ ﻋﻛﹸﻮﻧﻭ, ﺾﹴﻌﻊﹺ ﺑﻴﻠﹶﻰ ﺑ ﻋﻜﹸﻢﻀﻌ ﺑﺒﹺﻊﻟﹶﺎ ﻳﻭ, ﻭﺍﺮﺍﺑﺪﻟﹶﺎ ﺗﻭ, ﻮﺍﺎﻏﹶﻀﺒﻟﹶﺎ ﺗﻭ, ﻮﺍﺸﺎﺟﻨﺗ ﺇﹺﻟﹶﻰﲑﺸﻳﻭ, ﺎﻨﺎ ﻫﻯ ﻫﻘﹾﻮﺍﹶﻟﺘ, ﻩﺮﻘﺤﻟﹶﺎ ﻳﻭ, ﺬﹸﻟﹸﻪﺨﻟﹶﺎ ﻳﻭ, ﻪﻤﻈﹾﻠﻟﹶﺎ ﻳ, ﻢﹺﻠﺴﻮ ﺍﹶﻟﹾﻤ ﺃﹶﺧﻢﻠﺴﺍﹶﻟﹾﻤ, ﺎﺍﻧﻮﺇﹺﺧ
15
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta, Kanisius, 1989), h. 151. Muhammad Syamsu As., Ulama Pembawa Islam di Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), h. 53-54. 16
28
ﻢﹺﺴﻠ ﻠﹶﻰ ﺍﹶﻟﹾﻤﻢﹺ ﻋﻠﺴﻛﹸﻞﱡ ﺍﹶﻟﹾﻤ, ﻢﻠﺴ ﺍﹶﻟﹾﻤﺎﻩ ﺃﹶﺧﺮﻘﺤ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺮ ﺍﹶﻟﺸﻦﺮﹺﺉﹴ ﻣﻣﺐﹺ ﺍﺴﺑﹺﺤ, ﺍﺭﹴﺮ ﺛﹶﻠﹶﺎﺙﹶ ﻣﺭﹺﻩﺪﺻ 17
ﻪﺿﺮﻋﻭ, ﺎﻟﹸﻪﻣﻭ, ﻪﻣﺩ, ﺍﻡﺮﺣ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda, “Janganlah kalian saling membenci, saling mengintai, saling memarahi, saling memboikot, dan janganlah kalian bertransaksi diatas transaksi orang lain. Jadilah kalian sebagai bamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagai muslim yang lain. Tidak boleh menzaliminya, merendahkannya, atau meremehkannya. Taqwa berada di sini (Nabi Muhammad menunjuk dadanya tiga kali) yaitu menurut seberapa besar perbuatan buruknya dalam penghinaan terhadap saudara semuslimnya. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan harga dirinya” Bahkan
Islam
mengharamkan
permusuhan
dengan
cara
saling
mendiamkan lebih dari tiga hari, apalagi lebih dari sekedar mendiamkan dan diatas tiga hari.
ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ- ﻮﻝﹶ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪﺳ ﺃﹶﻥﱠ ﺭ- ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ- ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱﻮﺏ ﺃﹶﺑﹺﻲ ﺃﹶﻳﻦﻋﻭ , ﺬﹶﺍ ﻫﺮﹺﺽﻌﻳﺬﹶﺍ ﻭ ﻫﺮﹺﺽﻌ ﻓﹶﻴﺎﻥﻴﻘ ﹾﻠﺘ ﻳ.ﺎﻝﹴ ﻟﹶﻴ ﺛﹶﻠﹶﺎﺙﻕ ﻓﹶﻮﺎﻩ ﺃﹶﺧﺮﺠﻬﻢﹴ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﻠﺴﻤﻞﱡ ﻟﺤﻟﹶﺎ ﻳ: - ﻗﹶﺎﻝﹶ18
ﻪﻠﹶﻴ ﻋﻔﹶﻖﺘ ﻣ- ﻠﹶﺎﻡﹺﺃﹸ ﺑﹺﺎﻟﺴﺪﺒﻱ ﻳﺎ ﺍﹶﻟﱠﺬﻤﻫﺮﻴﺧﻭ
ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ- ﻮﻝﹸ ﺍﹶﻟﻠﱠﻪﺳ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭ: ﻗﹶﺎﻝﹶ- ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ- ﻢﹴﻄﹾﻌﻦﹺ ﻣﺮﹺ ﺑﻴﺒ ﺟﻦﻋﻭ .19ﻪﻠﹶﻴ ﻋﻔﹶﻖﺘ ﻣ.ﻢﹴﺣ ﺭﻊ ﻗﹶﺎﻃ:ﻨﹺﻲﻌ ﻳ- ﻊﺔﹶ ﻗﹶﺎﻃﻨﻞﹸ ﺍﹶﻟﹾﺠﺧﺪ ﻟﹶﺎ ﻳ- - ﻭﺳﻠﻢ 17
Abu al Husain. Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al Fikr, 1992), vol. 8, h.10.
18
Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari (Beirut: Dar al Fikr, 1981), vol. 5, h. 2256. 19
al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari, vol. 5, h. 2231.
29
“Dari Abi Ayyub ra, bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam, yaitu ketika keduanya bertemu, yang satu berpaling ke arah sini dan yang satu lagi ke arah sini, dan yang lebih baik dari keduanya adalah yang terlebih dahulu memberi salam,” muttafaq ‘alaih. “Dari Jubair bin Mut’im ra, ia berkata, “Rasulullah saw. Telah bersabda, ‘Tidak akan masuk surga seseorang yang memutus tali persaudaraan,” muttafaq ‘alaih. Perlu dipahami bahwa dalam pembahasan ini kata kunci permasalahan terletak pada kata “mencerai-berai” yang dalam bahasa Arab terambil dari kata farraqa yang merupakan kata kerja masa lampau sedangkan bentuk kata bendanya adalah tafriqah atau tafrîq. Kata ini dibedakan dari kata ikhtilâf sebuah kata benda yang berasal dari kata kerja bentuk lampau ikhtalafa dengan arti berselisih atau berbeda pendapat. Ikhtilâf biasanya dikaitkan dengan hasil ijtihâd dalam masalah cabang yang bukan masalah prinsipil. Sedangkan tafrîq merupakan perpecahan umat yang kadang muncul salah satunya dari ikhtilâf yang berkepanjangan. Setiap tafrîq adalah ikhtilâf tetapi tiadak semua ikhtilâf berakhir dengan tafrîq. Walaupun perbedaan pendapat adalah bagian dari sunnah Allah bahkan Allah menciptakan manusia untuk hal tersebut namun tentu perpecahan di kalangnan umat Islam bukanlah sesuatu yang baik20. Ikhtilâf selagi tidak menimbulkan perpecahan merupakan satu bentuk keluwesan syari’ah sedangkan tafrîq merupakan satu bencana yang menghancurkan sendi-sendi persatuan umat.
20
Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya (Jakarta: Pustaka al Riyadl, 2007), h.2-4.
30
Memerlukan kebijaksanaan yang lebih dan sportifitas yang tinggi untuk menjadi umat Islam yang tidak terjebak dalam ranjau-ranjau perpecahan dan permusuhan.
BAB IV ANALISIS TENTANG MASALAH PERILAKU MENCERAI-BERAI AGAMA DAN BAHAYANYA DALAM TAFSIR AN NUUR KAJIAN SURAH AL AN’ÂM AYAT 159 DAN AL RÛM 30 SAMPAI 32
A. Sûrah al-An’âm/6: 159 Sûrah al-Rûm/30: 30-32 Surah al An’âm ayat 1591 Ayat dan Terjemah
ّ ﺛﹸﻢ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﻠﹶّﻪﻢﻫﺮﺎ ﺃﹶﻣّﻤﺀٍ ﺇﹺﻧﻲﻲ ﺷ ﻓﻢﻬﻨ ﻣﺖﺎ ﻟﹶﺴﻌﻴﻮﺍ ﺷﻛﹶﺎﻧ ﻭﻢﻬﻳﻨّﻗﹸﻮﺍ ﺩ ﻓﹶﺮﻳﻦﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﹶّﺬ ﻠﹸﻮﻥﹶﻔﹾﻌﻮﺍ ﻳﺎ ﻛﹶﺎﻧ ﺑﹺﻤﻢﺒﹺّﺌﹸﻬﻨﻳ “Sesungguhnya mereka yang memecah-belah agama sehingga menjadilah mereka bergolong-golongan (mazhab, sekte), dan kamu tidak masuk ke salah satu golongan itu. Sesungguhnya urusan mereka adalah dengan Allah, dan kemudian Allah memberitahukan tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
Surat al Rûm 30 sampai 322 Ayat dan Terjemah Ayat 30:
ﻚ ﺫﹶﻟﻠﹾﻖﹺ ﺍﻟﻠﹶّﻪﺨﻳﻞﹶ ﻟﺪﺒﺎ ﻻ ﺗﻬﻠﹶﻴ ﻋّﺎﺱ ﺍﻟﻨﻲ ﻓﹶﻄﹶﺮ ﺍﻟﹶّﺘﺓﹶ ﺍﻟﻠﹶّﻪﻄﹾﺮﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻓّﻳﻦﹺ ﺣﻠﺪ ﻟﻚﻬﺟ ﻭﻢﻓﹶﺄﹶﻗ ﻮﻥﹶﻠﹶﻤﻌّﺎﺱﹺ ﻻ ﻳ ﺍﻟﻨّ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮﻦﻟﹶﻜ ﻭ ﺍﻟﹾﻘﹶﻴﹺّﻢّﻳﻦﺍﻟﺪ 1
ash Shiddieqy,Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur vol.2 (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 1343 2 Idem, vol. 4, h.3175-3178.
31
32
“Luruskanlah pandanganmu terhadp agama Allah dengan sepenuh hati, dan berpegang eratlah kepada fitrah Allah, yang dengan fitrah itu manusia diciptakan. Tidak ada perubahan terhadap tabiatnya yang diciptakan oleh Allah (agama Allah), itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Ayat 31:
ﲔﺮﹺﻛﺸ ﺍﻟﹾﻤﻦﻮﺍ ﻣﻜﹸﻮﻧﻻ ﺗّﻼﺓﹶ ﻭﻮﺍ ﺍﻟﺼﻴﻤﺃﹶﻗ ﻭّﻘﹸﻮﻩﺍﺗ ﻭﻪ ﺇﹺﻟﹶﻴﻨﹺﻴﺒﹺﲔﻣ “Kamu kembali kepada-Nya dan berbaktilah kepada Allah dan dirikanlah sembahyang dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang mempersekutukan Allah.”
Ayat 32:
ﻮﻥﹶ ﻓﹶﺮﹺﺣﻬﹺﻢﻳﺎ ﻟﹶﺪﺏﹴ ﺑﹺﻤﺰﺎ ﻛﹸﻞﹸّ ﺣﻌﻴﻮﺍ ﺷﻛﹶﺎﻧ ﻭﻢﻬﻳﻨّﻗﹸﻮﺍ ﺩ ﻓﹶﺮﻳﻦ ﺍﻟﹶّﺬﻦﻣ “Yaitu orang-orang yang mencerai-beraikan agama mereka, lalu mereka menjadi beberapa golongan; tiap golongan merelakan apa yang ada di sisi mereka.”
Terjemahan Departemen Agama: Surat al An’âm ayat 159 “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang mereka perbuat.
33
Terjemahan Departemen Agama: Surat al Rûm 30 sampai 32 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” “Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepadaNya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,” “Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” Di sini terlihat jelas pengaruh terjemahan Tafsir an Nuur atas terjemahan Departemen Agama dalam al-Qur’an dan Terjemahnya. Hal itu adalah wajar karena memang Hasbi ash Shiddieqy adalah satu diantara sepuluh anggota “Dewan Penterjemah” yang bertugas untuk menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia versi Departemen Agama selama delapan tahun sejak tahun 1967 dan satu-satunya anggota yang sudah memiliki tafsir berbahasa Indonesia dalam edisi lengkap tigapuluh juz.3
B. Pengertian Memecah Belah Agama Dari penafsiran Hasbi ash Shiddieqy dapatlah diketahui bahwa memecahbelah agama dan berselisih berarti mengakui sebagian ajaran agama dan mengingkari sebagian yang lain serta mentakwilkan nash-nash agama menurut hawa nafsu dan dorongan hati.
3
ix.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, h.
34
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai ahlu al kitâb yang memecah-belah agama Ibrahim, Musa dan agama Isa, serta menjadikan agama-agama itu bermazhab-mazhab. Masing-masing pengikut mazhab fanatik terhadap mazhabnya dan memusuhi mazhab lain. Sebagian ahli tafsir ada yang berpendapat bahwa ayat ini turun mengenai ahli bid’ah dan partai-partai (firqah) yang telah tumbuh dalam Islam yang memecah persatuan umat. Hasbi menggabungkan dua pendapat ini, yaitu dengan menetapkan bahwa ayat ini menerangkan keadaan ahlu al kitab yang terkotak-kotak dalam berbagai mazhab sekaligus menyuruh umat Islam untuk bersatu-padu serta menjauhkan diri dari perpecahan. Dari pilihan sikap ini terlihat bahwa Hasbi memandang bahwa dengan memilih makna umum lafaz akan lebih mendatangkan maslahat. Seandainya dipilih pendapat yang pertama saja maka selamatlah umat ini dari kritik Allah yang terdapat di dalamnya. Tidak ada manfaat yang bisa dipetik bagi umat Muhammad di belakang hari dan keterangan ini tak ubahnya berita biasa saja yang tidak ada hubungannya dengan kondisi kekinian. Dari sini terlihat pendekatan kritik kontekstual yang dibangun sebagai sebuah komunikasi yang relevan guna memproduksi atau menyempurnakan diskursus yang ada. Ketika masyarakat Islam sudah terpecah dalam berbagai kelompok dan sekte maka berbagai kelompok dan sekte itu seolah mewakili agama di luar Islam dan Islam di sisi yang lain adalah agama tersendiri.
35
C. Perpecahan dalam Islam Hasbi ash Shiddieqy memandang bahwa ahli bid’ah dan partai-partai (firqah) yang telah tumbuh dalam Islam adalah sebuah indikasi perpecahan umat Islam. Bid’ah yang dimaksud adalah membuat perkara-perkara baru dalam agama yang tidak ada keterangannya baik di dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad. Termasuk perkara-perkara yang menyelisihi keduanya. Beberapa kalangan yang semangat memerangi bid’ah menganggapnya sebagai masalah terbesar umat, memiliki pandangan yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam definisi kalangan ini, bid’ah diartikan sebagai sesuatu yang menyelisihi atau menyimpang dari kitab dan ijma’ salaf al ummah baik berkaitan dengan keyakinan ataupun ibadah ritual yang diamalkan. Kadang diartikan sebagai ungkapan yang dibuat-buat dalam perkara agama ataupun membuat sesuatu yang menyerupai syariat. Singkatnya berlelih-lebihan dalam beribadah kepada Allah. Bid’ah dibagi dalam dua perkara. Pertama, pada adat atau kebiasaan, biasanya dikaitkan dengan penemuan dan penciptaan baru. Bid’ah semacam ini masih dibolehkan. Kedua, bid’ah yang terjadi pada agama. Bid’ah macam inilah yang diharamkan karena perkara agama sifatnya adalah tawqîfî yaitu harus ditetapkan dengan dalil baik dari al-Qur’an maupun dari Hadis Nabi. Bid’ah dalam agama dikategorikan lagi dalam dua hal, yaitu dalam hal keyakinan, berupa ucapan yang bersifat keyakinan dan dalam perkara ibadah, berupa peribadatan dengan cara yang tidak disyariatkan. Ditinjau dari segi dalil bid’ah dikelompokkan dalam bid’ah haqîqiyyah dan bid’ah idâfiyyahi. Yang pertama berarti sesuatu yang sama
36
sekali tidak memiliki dasar hukum dalam al-Qur’an maupun Hadis. Yang kedua adalah sesuatu yang memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam tetapi dilakukan dengan cara yang menyelisihi ajaran tersebut. Untuk menguatkan peringatakan atas bahaya bid’ah ini dicantumkan pula pendapat mazhab Hanbali yang membolehkan membunuh orang yang mengajak kepada bid’ah karena kekhawatiran akan rusaknya jamaah umat Islam karena bid’ah tersebut. Hadishadis yang biasa dikemukakan sebagai dalil pembuka diantaranya:
1. Hadis man ahdatsa fî amrinâ… riwayat al Bukhari. ٌ ﺩﺭ
4
ﻮ ﻓﹶﻬﻴﻪ ﻓﺲﺎ ﻟﹶﻴﺬﹶﺍ ﻣﺎ ﻫﺮﹺﻧﻰ ﺃﹶﻣﺙﹶ ﻓﺪ ﺃﹶﺣﻦﻣ
Hadis ini berbicara tentang tetolaknya amalan-amalan yang diada-adakan. 2. Hadis man ‘amila ‘amalan….riwayat Muslim. 5
ﺩ ﺭﻮ ﻓﹶﻬ، ﺎﻧﺮ ﺃﹶﻣﻪﻠﹶﻴ ﻋﺲﻼﹰ ﻟﹶﻴﻤﻞﹶ ﻋﻤ ﻋﻦﻣ
Hadis ini berbicara tentang tertolaknya amalan yang tidak bersumber dari Nabi. 3. Hadis wa iyyakum wa muhdatsâti al umûr riwayat Abu Dawud.
ﻜﹸﻢﻨ ﻣﺶﻌ ﻳﻦ ﻣﻪﺎ ﻓﹶﺈﹺﻧﻴﺸﺒﺍ ﺣﺪﺒﺇﹺﻥﹾ ﻋ ﻭﺔﺍﻟﻄﱠﺎﻋﻊﹺ ﻭﻤﺍﻟﺴ ﻭﻯ ﺍﻟﻠﱠﻪﻘﹾﻮ ﺑﹺﺘﻴﻜﹸﻢﺃﹸﻭﺻ ﻜﹸﻮﺍﺴﻤ ﺗﻳﻦﺪﺍﺷ ﺍﻟﺮﲔﻳﺪﻬﻠﹶﻔﹶﺎﺀِ ﺍﻟﹾﻤ ﺍﻟﹾﺨﺔﻨﺳﻰ ﻭﺘﻨ ﺑﹺﺴﻜﹸﻢﻠﹶﻴﺍ ﻓﹶﻌﲑﻼﹶﻓﹰﺎ ﻛﹶﺜﺘﻯ ﺍﺧﺮﻴﻯ ﻓﹶﺴﺪﻌﺑ
4
al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari, vol. 3, h. 222.
5
Muslim, Shahih Muslim , vol. 8, h.132.
37
ﺔﻋﻛﹸﻞﱠ ﺑﹺﺪﺔﹲ ﻭﻋ ﺑﹺﺪﺛﹶﺔﺪﺤﻮﺭﹺ ﻓﹶﺈﹺﻥﱠ ﻛﹸﻞﱠ ﻣ ﺍﻷُﻣﺛﹶﺎﺕﺪﺤﻣ ﻭﺎﻛﹸﻢﺇﹺﻳ ﻭﺍﺟﹺﺬﻮﺎ ﺑﹺﺎﻟﻨﻬﻠﹶﻴﻮﺍ ﻋﻀﻋﺎ ﻭﺑﹺﻬ 6
ﻼﹶﻟﹶﺔﹲﺿ
Hadis ini berbicara mengenai peringatan Nabi untuk menjauhi bid’ah karena semua bid’ah sesat.7 Golongan moderat memandang bahwa perjuangan memurnikan ajaran Islam dengan cara memberantas bid’ah dan kekolotan berarti masuk ke dalam lingkup masalah khilafiyah. Karena kelompok yang mempertahankan dan memberantas kedunya sama-sama berdalih untuk memurnikan ajaran Islam.8 Sejarah mengatakan bahwa persoalan politik yang kemudian merembet kepada masalah teologi adalah pemicu adanya perpecahan dalam Islam. Yang akhirnya memunculkan tiga aliran teologi yaitu: Khawârij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Bersamaan dengan itu muncul pula dua aliran teologi lainnya al Qadariyyah dan al Jabaryyiah. 9 Di alam modern kini terjadi juga perdebatan tentang wajibnya mendirikan negara Islam10 di pihak lain ada yang menganggap bahwa yang demikian adalah paham keagamaan yang rancu dan merupakan legitimasi tindak kebrutalan seperti teror, pembunuhan atau pengkafiran hanya dengan sebab sepele11.
6
7
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol.4, h.329.
Hartono Ahmad Jaiz, Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan (Solo: Wacana Ilmiah Press,2006), h.11-22. 8 Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 460. 9 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press,1986), h. 1-10. 10 Abdul Qadir Baraja, Gambaran Global Pemerintahan Islam (Surabaya: Penerbit RAP, 2001), h. 73-88. 11 Miftahuzzaman, Solusi Krisis Islam Politik atau Jamaah Islam (Solo: CV. Aneka, 2000) h.35-37.
38
Sementara Joesoef Sou’yb ketika menyebutkan sekte dalam Islam membagi dalam tiga sekte besar yaitu: Syi’ah, Sunni dan Khawârij.12 Dalam lapangan hukum setidaknya terdapat delapan pemuka mazhab yang dibangun pada periode tâbi’in yaitu: Abu Hanifah atau an Nu’man ibn Tsabit, Malik ibn Anas, al Laits ibn Sa’ad di Mesir, ‘Abdu ar Rahman al ‘Auza’iy di Syam, Muhammad ibn Idris al Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Daud ibn ‘Ali di Kufah dan ibn Jarir al Thabari. Belum lagi mazhab dalam Syi’ah seumpama Zaidiyyah dan Imâmiyyah.13 Secara sederhana Harun Nasution memetakan kelompok Islam dalam dua hal: ajaran dan non ajaran. Kelompok ajaran dikategorikan kembali menjadi ajaran dasar dan bukan dasar. Ajaran bukan dasar adalah interpretasi para ulama dan ahli Islam terhadap ajaran dasar yaitu al-Qur’an dan Hadis. Pemikiran dalam bidang hukum dan teologi yang melahirkan banyak mazhab dan aliran bahkan bidang politik, filsafat, mistisisme dan politik bermula dari sini, yaitu dari ajaran bukan dasar.14 Kembali memakai sudut pandang Harun Nasution bahwa biang keladi awal dari segala masalah perpecahan dalam Islam adalah politik yang kemudian merembet kepada masalah teologi. Kekuasaan berarti berhubungan dengan politik. Sejarah lampau umat Islam mencatat bahwa konflik antar kelompok-
12
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta: Al Husna Zikra, 1996), h.440-
444 13
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Jakarta: bulan Bintang, 1994), h. 78-79. 14 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol. 2 (Jakarta: UIPress,1986), h. 113.
39
kelompok besar dalam perebutan kekuasaan kerap menimbulkan pertumpahan darah.15 Dalam hal fanatisme kebangsaan istilah dalam bahasa Arab ‘ibâd dan muwalladûn yang berarti budak dan peranakan, dianggap merendahkan pernah digunakan untuk para muallaf di Spanyol pada pemerintahan Bani Umayyah setidaknya sampai adad ke-10 M. ini disinyalir sebagai faktor kemunduran dan kehancuran Islam di Spanyol pada waktu itu.16 Masalah perbedaan mazhab kalam telah menjadikan ulama sekelas Imam Ahmad ibn Hanbal harus merasakan kekejaman penguasa yang berseberangan paham dalam menyikapi al-Qur’an sebagai Kalamullah.17 Masalah pemberian fatwa dari yang bukan ahlinya dapat dijelaskan melalui hadits Nabi yang menyatakan tentang dicabutnya ilmu dengan wafatnya ulama sehingga yang tersisa hanya orang jahil, orang jahil ini ketika ditanya akan berfatwa tanpa ilmu yang pasti sesat dan menyesatkan. Apabila kebodohan telah merajalela dan agama tidak memiliki patokan yang jelas maka siapa saja bisa berfatwa dengan tanpa dasar. Apabila terjadi di banyak tempat tentu akan menimbulkan perbedaan yang berujung kepada perpecahan.
ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ- ﻮﻝﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺳ ﺭﺖﻌﻤﺎﺹﹺ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺳﻦﹺ ﺍﻟﹾﻌﺮﹺﻭ ﺑﻤﻦﹺ ﻋ ﺑ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪﺒ ﻋﻦﻋ ﻘﹾﺒﹺﺾ ﻳﻦﻟﹶﻜ ﻭ، ﺎﺩﺒ ﺍﻟﹾﻌﻦ ﻣﻪﺰﹺﻋﺘﻨ ﻳ، ﺎﺍﻋﺰﺘ ﺍﻧﻠﹾﻢ ﺍﻟﹾﻌﻘﹾﺒﹺﺾ ﻻﹶ ﻳﻘﹸﻮﻝﹸ » ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﻳ- ﻭﺳﻠﻢ
15
Lajnah Ilmiah HASMI, Syi’ah Bukan Islam ? (Bogor: Pustaka Marwah Indo Media, 2010), h.175-182. 16 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.107. 17 Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah Perkembanagn Hadits (Jakarta: Bulan Bintang,, 1973), h. 193.
40
، ﻠﹸﻮﺍﺌﺎﻻﹰ ﻓﹶﺴﻬﺎ ﺟﺀُﻭﺳ ﺭﺎﺱﺬﹶ ﺍﻟﻨﺨ ﺍﺗ، ﺎﻤﺎﻟﻖﹺ ﻋﺒ ﻳﻰ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻟﹶﻢﺘ ﺣ، ِﺎﺀﻠﹶﻤﺾﹺ ﺍﻟﹾﻌ ﺑﹺﻘﹶﺒﻠﹾﻢﺍﻟﹾﻌ 18
« ﻠﱡﻮﺍﺃﹶﺿﻠﱡﻮﺍ ﻭ ﻓﹶﻀ، ﻠﹾﻢﹴﺮﹺ ﻋﻴﺍ ﺑﹺﻐﻮﻓﹶﺄﹶﻓﹾﺘ
Dari ‘Abdullah bin Amr bin al ‘Ash, ia berkata, “Aku telah mendengar dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Sungguh Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-hambanya, tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang alim, maka orang-orang akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai tempat bertanya. Selanjutnya, orang-orang bodoh itu berfatwa dengan tanpa ilmu. maka mereka sesat dan menyesatkan.”” Masalah perbedaan pendapat memang sudah ada sejak zaman sahabat Nabi saw., Pada zaman Nabi, perbedaan ini juga sudah ada hanya saja pada waktu itu semua permasalahan yang ada diselesaikan langsung oleh Nabi dengan bimbingan wahyu. Permasalahan beda pendapat ini tidak akan pernah selesai dan umat Islam tidak akan pernah memiliki satu paham. Namun demikian perbedaan paham antara umat Islam dalam hukum fiqh di Indonesia sangat kecil. Perbedaan yang terjadi adalah dalam masalah hukum-hukum dalam mazhab fiqh dan berbeda dengan adanya sekte-sekte dalam agama Kristen. Umat Islam masih shalat dalam satu masjid dengan satu imam sebagaimana ketika di Masjid al Haram. Satu imam yang diikuti makmum yang bermacam-macam mazhab.19 Al-Qur’an sendiri telah menerangkan sejak awal dan mensinyalir pluralitas dan kemajemukan sebagai “ciptaan Ilahi” serta “sunnah yang azali dan abadi”. AlQur’an memiliki koleksi ayat tentang hal demikian.20 Diantaranya: Sûrah Hûd /11:118 - 119
18
al Bukhari, al Jami’ al Shahih al Bukhari,vol.1 (Beirut: Dar al Fikr, 1981), h.183. Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 454-455. 20 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas. Penerjemah Abdul Hayyie Al Kattanie (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 31-38. 19
41
ﻚﺑ ﺭﻢﺣ ﺭﻦ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﻣﲔﻔﻠﺘﺨﺍﻟﹸﻮﻥﹶ ﻣﺰﻟﹶﺎ ﻳﺓﹰ ﻭﺪﺍﺣﺔﹰ ﻭ ﺃﹸﻣﺎﺱﻞﹶ ﺍﻟﻨﻌ ﻟﹶﺠﻚﺑﺎﺀَ ﺭ ﺷﻟﹶﻮﻭ ﲔﻌﻤﺎﺱﹺ ﺃﹶﺟﺍﻟﻨ ﻭﺔ ﺍﻟﹾﺠﹺﻨﻦ ﻣﻢﻨﻬﻠﹶﺄﹶﻥﱠ ﺟ ﻟﹶﺄﹶﻣﻚﺑﺔﹸ ﺭﻤ ﻛﹶﻠﺖﻤﺗ ﻭﻢﻠﹶﻘﹶﻬ ﺧﻚﺬﹶﻟﻟﻭ “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat) kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” Sûrah al Baqarah /2: 213
ﻢﻬﻌﻝﹶ ﻣﺰﺃﹶﻧ ﻭﺭﹺﻳﻦﺬﻨﻣ ﻭﺮﹺﻳﻦﺸﺒ ﻣﲔﺒﹺﻴ ﺍﻟﻨﺚﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﻌﺓﹰ ﻓﹶﺒﺪﺍﺣﺔﹰ ﻭ ﺃﹸﻣﺎﺱﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺍﻟﻨ
ﻦ ﻣﻮﻩ ﺃﹸﻭﺗﻳﻦ ﺇﹺﻟﱠﺎ ﺍﻟﱠﺬﻴﻪ ﻓﻠﹶﻒﺘﺎ ﺍﺧﻣ ﻭﻴﻪﻠﹶﻔﹸﻮﺍ ﻓﺘﺎ ﺍﺧﻴﻤﺎﺱﹺ ﻓ ﺍﻟﻨﻦﻴ ﺑﻜﹸﻢﺤﻴ ﻟﻖ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤﺎﺏﺘﺍﻟﹾﻜ ﻖ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻣﻴﻪﻠﹶﻔﹸﻮﺍ ﻓﺘﺎ ﺍﺧﻤﻮﺍ ﻟﻨ ﺁَﻣﻳﻦ ﺍﻟﱠﺬﻯ ﺍﻟﻠﱠﻪﺪ ﻓﹶﻬﻢﻬﻨﻴﺎ ﺑﻴﻐ ﺑﺎﺕﻨﻴ ﺍﻟﹾﺒﻢﻬﺎﺀَﺗﺎ ﺟ ﻣﺪﻌﺑ
ﻴﻢﹴﻘﺘﺴ ﻣﺍﻁﺮﺎﺀُ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻﺸ ﻳﻦﻱ ﻣﺪﻬ ﻳﺍﻟﻠﱠﻪ ﻭﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻧﹺﻪ
“Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.”
D. Penyebab Perpecahan Dari komentar tafsir Surat al An’âm ayat 159 dapat disimpulkan bahwa esensi penyebab perpecahan adalah: a. Mengakui sebagian ajaran agama dan mengingkari sebagian yang lain. b. Mentakwilkan nash-nash agama menurut hawa nafsu. c. Fanatik kepada pendapat pemimpin.
42
Dalam penafsiran ini Hasbi tidak membahas terlalu lebar atau mengembangkan persoalan dalam bentuk permisalan yang terjadi pada masa kini. Berbeda dengan HAMKA yang mementingkan untuk memuat banyak hadis terutama yang berkenaan dengan hadis-hadis perpecahan umat. HAMKA bahkan menerangkan tempat para mujtahid fiqh yang dikecualikan dari perkara ini. Memberikan contoh dari kerajaan-kerajaan Islam masa lampau, kasus perselisihan lokal nusantara, perselisihan dalam balutan politik internasional bahkan membuat judul khusus di akhir pembahasan dengan judul “Memecah-belah Agama di Zaman Modern.”21 Tambahan dari Surat al Rûm: 32 yaitu bersikeras dengan pemahaman tertentu dengan klaim kebenaran sepihak. Sejalan dengan penafsiran ini HAMKA membahasakan dengan: “Merasa benar sendiri dan orang lain salah belaka, dan tidak ada yang ingin mencari atau kembali kepada titik pertemuan, yaitu Iman kepada Keesaan Allah!”22 Ibn Katsîr juga tidak menafsirkan ini dengan panjang lebar. Hanya menjelaskan kepada siapa ayat ini diturunkan dengan memaparkan hadis-hadis tentang hal tersebut kemudian ditarjih berdasarkan perbandingan sanadnya. Akhirnya memilih makna umum yang terdapat pada ayat yaitu siapa saja yang mencerai-berai agama dan membebaskan tanggung jawab Rasul akan perlakuan mencerai-berai dari umatnya.23
21
HAMKA, Tafsir al Azhar, vol. 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), h.142-151 Idem, v. 21, h. 82. 23 ‘Imâd al Dîn Isma’il ibn ‘Umar ibn Katsîr, Tafsîr Qur-ân al ‘Azim, vol. 2 (Riyad: Dâr ‘Âlam al Kutub, 1997), h.249. 22
43
Sedangkan sebab turunan sebagaimana secara persis dicantumkan dalam Tafsir al Azhar ketika membahas tafsir Surat al An’âm ayat 159 yang disebutkan oleh HAMKA terambil dari penafsiran Muhammad Rasyid Rida24 adalah: 1. Perebutan kekuasaan pemerintahan. 2. Fanatik kebangsaan (nasionalisme sempit). 3. Fanatik mazhab (aliran, golongan, partai). 4. Memberi fatwa agama tidak didasarkan dalil-dalil yang kuat. 5. Infiltrasi musuh. Mengenai fanatik, HAMKA beranggapan bahwa yang demikian timbul bukan lantaran kekuatan iman, malah disebut bahwa sikap tersebut tidak beralasan. Sebaliknya fanatik adalah produk dari lemahnya iman. Karena tidak berani berbanding dengan pikiran orang lain atau tidak sanggup untuk melihat yang dimiliki orang lain.25 Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa dua bahaya besar bagi masyarakat Islam yaitu statis pada perkara yang harus dinamis dan berkembang juga kreatif mengadakan perubahan pada sesuatu yang seharusnya tidak boleh berubah. Padahal, apabila fleksibelitas ada pada bidang pemikiran, prinsip hidup dan moral, maka akan melahirkan banyak kelompok yang mengatasnamakan Islam tetapi antara yang satu dengan lainnya berbeda, saling bermusuhan dan bertentangan. Hal demikian diistilahkan dengan memisahkan umat dari agama dan nilai luhurnya mengatasnamakan kemajuan, membuka pintu atheisme dengan
24 25
1984), h. 8.
Idem, v. 8, h. 145 HAMKA, Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas,
44
mengatasnamakan berhala baru yaitu “kemajuan”. Seharusnya masyarakat Islam bisa tawazun, menimbang dengan benar sehingga dapat menyatu dalam hal-hal yang bertentangan tetapi juga bisa menempati proporsinya dengan baik. 26 Sufyan Raji Abdullah menyebutkan latar belakang timbulnya firqah dalam tujuh poin , yaitu: 1. Adanya kepentingan kelompok atau golongan. 2. Adanya pengaruh dari luar Islam. 3. Mengedepankan akal. 4. Pengaruh buku terjemahan filsafat Yunani. 5. Terpengaruh oleh paham-paham sesat. 6. Mendewakan pemikiran tokoh tertentu.27 Apabila diteliti, poin-poin ini bisa disederhanakan lagi karena nomor 3,4 dan 5 ada pada tataran yang sama yaitu pemikiran. Imam
Zarkasyi
menyebutkan
bahwa
orang-orang
yang
senang
memperbesar dan mempertajam masalah khilafiyah adalah karena dua sebab, yaitu: 1.
Terlalu bodoh.
2.
Menjadi alat musuh yang hendak memecah belah.28 Pendapat ini bisa diterima karena semua yang menjerumuskan manusia
pada kesesatan adalah kebodohon yang sangat, baik bodoh karena tidak memiliki
26
Yusuf Qardhawi, Karakteristik Islam:Kajian Analitik, Penerjemah Rofi’ Munawar (Surabaya: Risalah Gusti,1995), h. 288-291. 27 Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam,h. 6-9. 28 Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 454.
45
keilmuan ataupun berilmu tetapi tertipu oleh kebodohan orang lain ataupun halhal yang menjadikan akal tertutup seperti fanatisme dan hawa nafsu.
E. Bahaya Perpecahan dalam Agama Setidaknya ada tiga bahaya kemanusiaan atas terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam, yaitu: lenyapnya kebenaran, hancurnya rasa persatuan, dan hilangnya rasa persaudaraan (ukhuwwah). 29 Apabila pintu kompromi sudah tertutup maka tidak ada celah bagi perbedaan sekecil apapun padahal kadang sesuatu yang diasumsikan berbeda di awal setelah diteliti adalah sesuatu yang sama secara subtansi, berbeda bahasa satu makna. Kalau sudah demikian yang benar pun tidak memiliki waktu untuk menjelaskan kebenarannya atau bahkan malah menjadi salah karena analoginya adalah: pendapat saya yang benar atau yang ekstrim mengatakan: yang paling benar, lawan dari benar adalah salah maka selain pendapat yang benar adalah salah. Analogi semacam itu menghalangi umat untuk bisa bersatu. Yang ada adalah perlombaan untuk menjadi paling benar dan mengeluarkan siapa saja yang berbeda pendapat dari komunitasnya. Sikap yang kadang menjadi sifat semacam ini menimbulkan permusuhan dan menghancurkan tali silaturahim, padahal umat Islam satu dengan lainnya adalah bersaudara. Dari aspek spiritual berarti telah terlepas dari tanggung jawab Allah dan Rasul. Allah terangkan bahwa Rasul terlepas atas perpecahan yang terjadi pada umatnya. Hal ini seharusnya menjadikan setiap muslim selalu mawas diri dan 29
ash Shiddieqy,Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur, vol. 2 h. 1343
46
tidak terlibat dalam perbuatan tersebut. Sebanyak apapun kelompok yang bertikai untuk memenangkan klaim sebagai yang terbaik dan yang paling benar maka Rasul, tidak termasuk dalam salah satu golongan itu, dan jauh dari mazhabmazhab yang mereka anut. Karena tugas seorang Rasul hanyalah sebatas menyampaikan risalah dan melahirkan syiar-syiar agama yang benar. Sedangkan dari sudut ajaran tauhid dalam Islam hal tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan dunia dan akhirat. Karena Allah sendirilah yang akan memberikan pembalasan kepada mereka atas amal perbuatannya. Sesudah memperoleh azab di dunia, Allah akan membangkitkan mereka di akhirat dan diberi pembalasan setimpal atas perbuatan memecah belah tersebut. Dari tinjauan sosiologi atau ilmu sosial kemasyarakatan perilaku memecah belah adalah termasuk satu bentuk deviasi atau penyimpangan sosial karena kodrat manusia adalah makhluk sosial yang selalu bergantung kepada manusia lainnya. Rusaknya hubungan harmonis yang terjalin dalam masyarakat sangat berbahaya bagi persatuan dan mengurangi rasa nyaman dalam pergaulan bermasyarakat. Karena hidup bermasyarakat adalah fitrah manusia maka menghindar dan keluar dari kehidupan bermasyarakat berarti perlawanan terhadap sifat kemanusiaan. Sejalan dengan anggapan Aristoteles bahwa manusia seperti itu berarti sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri dan mungkin dia bukan manusia tetapi malaikat atau binatang. Maka manusia yang sehat selalu berupaya untuk menciptakan suasana yang harmonis dan memberi manfaat bagi kehidupan bersama 30.
30
Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 294.
47
Dari segi politik maka perpecahan dalam agama telah mewariskan satu rangkaian sejarah umat Islam yang penuh dengan peperangan bahkan pertumpahan darah yang mengiringi pergantian kekuasaan dari satu dinasti kekuasaan ke dinasti lainnya. Bahkan puncak kehancuran kebudayaaan klasik Islam juga merupakan peristiwa yang terjadi karena persoalan ini seperti telah dibahas sebelumnya dalam perpecahan dalam Islam. Perpecahan dalam agama dapat dengan mudah menyulut sebuah konflik yang kompleks. Bisa merembet ke ranah politik, ekonomi, kesukuan, kedaerahan atau teritorial dan sebagainya. Karena agama adalah ideologi yang melibatkan emosi kejiwaan yang kadang tanpa menggunakan nalar dan akal sehat. Pada prinsipnya penafsiran Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy memiliki cara pandang yang sama dengan HAMKA. Hanya saja keterangan HAMKA lebih lebar dan detail dengan analogi yang cerdas dan disertai dengan pemberian permisalan.31 Begitu juga keterangan ibn Katsîr yang memang merupakan sumber diantara sumber-sumber utama dari keduanya.
F. Klaim Syirik atas Perilaku Memecah Belah Agama32 Syirik artinya adalah mengambil sesembahan di samping penyembahan kepada Allah. Bisa berupa kegiatan menyembah, meminta ataupun berupa pengorbanan. Seperti apa yang dilakukan sebagian manusia semasa Rasul yang mereka mengetahui ketuhanan Allah tetapi mereka memilih sesembahan selain
31 32
HAMKA, Tafsir al Azhar, vol. 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), h. 139-151. ash Shiddieqy,Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur,vol. 4, h. 1343
48
Allah. Mengenal Allah dalam hakekat tetapi tidak mau tunduk patuh dalam penyembahan dan memurnikan penyembahan semata-mata hanya kepada-Nya. Ketika seseorang terjebak dalam perilaku memecah belah agama hal tersebut disejajarkan dengan mempersekutukan sesuatu dengan Allah dan keluar dari keikhlasan ibadah karena tidak memelihara semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya sebaik-baiknya. Perbuatan itu dianggap sebagai mengganti agama fitrah dengan agama sesat dan karena menjadikan agama fitrah menjadi beberapa agama dan mazhab, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi, para penyembah berhala, dan para pemeluk agama yang salah. Karena mengaku sebagai bagian dari umat Islam tetapi berbuat seperti apa yang diperbuat kaum muyrikin maka para pemilik perilaku memecah belah agama ini dimasukkan dalam golongan mereka. Disejajarkan dengan para penyembah tuhan-tuhan selain Allah. Menyembah Allah tetapi meminta kepada selain Allah atau sebaliknya meminta kepada Allah tetapi menyembah selain Allah. Yang menjadikan klaim ini menjadi mengerikan adalah konsekwensi yang harus diterima para pelaku dosa syirik. Beberapa hukuman atas dosa syirik adalah:33 1. Dosa syirik tidak diampuni oleh Allah. 2. Syirik menghapuskan pahala kebaikan sebesar apapun. 3. Diharamkan masuk surga.
33
Muhammad bin Jamil Zainu, Jalan Golongan yang Selamat, Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib (Jakarta: Yayasan al Sofwa, 2003), h.73-103.
49
4. Tempat kembalinya adalah neraka. 5. Mendapat predikat zalim. 6. Tidak memiliki penolong. Allah akan menerima pertaubatan dan menghapuskan segala dosa seorang hamba yang bertaubat dan meminta ampun kepada-Nya. Tetapi tidak ada remisi atau penghapusan dosa apabila menyangkut perbuatan syirik. Kalaupun taubatnya diterima tetapi dosanya masih tercatat dalam catatan perbuatan manusia. Tidak memiliki poin pahala dan kebajikan sementara memiliki surplus dosa syirik yang merupakan dosa terbesar. Pengharaman masuk surga adalah sebuah hak preogatif Allah sebagai penguasa tunggal di hari kiamat. Karena surga berisi segala macam kenikmatan sebagai balasan bagi orang-orang yang Allah ridai maka pelaku dosa syirik yang merupakan sebab terbesar kemurkaan Allah terhalang untuk bisa memasukinya. Sedangkan kewajiban masuk neraka adalah sesuatu yang bisa dipahami melalui sebuah logika sederhana, karena Allah hanya menyediakan dua tempat setelah hari pengadilan yaitu surga dan neraka, maka tidak ada tempat selain dari keduanya dan tidak ada tempat yang terletak diantara dua tempat tesebut. Perbuatan syirik menghapuskan pahala sebesar apapun juga. Tauhid yang murni adalah syarat mutlak agar ibadah diterima. Apabila terdapat cacat dalam berkeyakinan kepada Allah maka terjadi salah orientasi. Ketika itu terjadi maka tidak ada kebaikan lagi yang akan dilihat oleh Allah bahkan deposit kebaikan yang sudah ada dianggap hangus dan tidak pernah dihitung kembali.
50
Predikat zalim merupakan obyek pelaku dari kata zalama yang akar katanya dalam bahasa Arab berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.34 Ini adalah istilah yang sangat tepat karena ketika seorang hamba menempatkan sesuatu yang bukan Allah sebagai sesembahan atau memberikan teman kepada Allah dalam hal menyembah dan meminta padahal hanya Dia sajalah satu-satunya tempat menyembah dan meminta maka itu adalah sebuah salah penempatan yang sangat besar. Begitu amat berbahayanya perilaku ini sehingga pelakunya mendapatkan predikat sebagai pembangkang besar, atau paling tidak diklasifikasikan dalam jajaran para pelaku dosa besar. Sedangkan tidak memiliki penolong berarti tidak dapat menerima keberkahan do’a manusia yang beriman. Diakhirat nanti akan menghadapi pengadilan Allah dan siksaan yang luar biasa tanpa sesuatupun bisa membantunya termasuk sesembahan selain Allah.
G. Solusi untuk Menghindari Perpecahan Membaca Sûrah al Rûm/30:32 saja tanpa menyertakan dua ayat sebelumnya tidak akan mengantarkan pada pemahaman yang utuh karena tiga ayat ini merupakan satu kesatuan topik yang saling berkaitan. Dalam hal ini Hasbi juga membahas ayat-ayat tersebut dalam pembahasan yang integral dan ditafsirkan dalam satu rangkaian analogi yang utuh. Dari Sûrah al Rûm/30:30-32
34
al Jurjani, al Ta’rîfât, h. 140
51
beberapa hal bisa dijadikan pegangan untuk menjadi solusi agar terhindar dari perpecahan. 1. Berpegang teguh pada fitrah Allah yang menjadi tabiat manusia. Kebenaran dapat mengalahkan syirik maka ketika wajah sudah dihadapkan kepada agama yang lurus pasti terhindar dari semua macam kesesatan. Karena kebenaran yang hakiki hanya ada satu maka yang dimakud kebenaran di sini adalah kebenaran yang mutlak, yaitu yang datang dari Allah saja dan belum bercampur dengan hal-hal lainnya. Apabila kebenaran hakiki disandingkan dengan kebenaran relatif seperti sudut pandang atau pendapat seseorang, kebenaran politik, kebenaran analogi dan lebih-lebih kebenaran menurut perasaan maka sama saja dengan menyandingkan yang haq dengan yang bâtil, menyandingkan apa yang dari Allah dengan apa yang dari makhluk yang pada akhirnya berarti menyandingkan Allah dengan yang bukan Allah. Perintah ini pada mulanya ditujukan kepada Nabi saw., yang dengan sendirinya merupakan peringatan yang harus ditaati oleh umat Islam seluruhnya. 2. Bertobat kepada-Nya (kembali kepada hukum-hukum-Nya) dan memelihara diri dari semua perbuatan yang menimbulkan kemarahan-Nya. Kecenderungan manusia adalah selalu menyimpang dari ajaran yang lurus. Perilaku dan sikap mental memecah belah dan selalu menyalahkan orang lain adalah bagian dari penyimpangan itu. Maka seluruh manusia yang telah salah jalan diperintahkan oleh Allah untuk kembali meniti jalan Islam, keselamatan, kedamaian
52
3. Mengerjakan shalat dengan sebaik-baiknya. Shalat yang baik akan membuat pelakunya selalu ingat kepada Allah dan mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Shalat yang baik selain dilaksanakan tepat waktu adalah juga yang dilaksanakan dalam sebuah komunitas atau jamaah di sebuah tempat yang telah disepakati bersama, seperti masjid. Kwalitas shalat yang baik memiliki pengaruh psikologis, selain menumbuhkan kesadaran akan konsep pengawasan Allah, sehingga dapat mengurangi kwalitas dan kwantitas kejahatan dan keburukan pada diri seseorang tetapi juga menambah daya apropriasi, kedewasaan dalam pergaulan karena terbiasa berada dalam lingkup jamaah shalat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Komponen “shalat sebaik-baiknya” termasuk juga pilihan tempat yang disepakati bersama yaitu masjid atau semacamnya, ketika masyarakat sudah memiliki sebuah sentral kegiatan keislaman maka segala sesuatunya secara otomatis akan terpusatkan kesatu titik sehingga semua konflik yang ada akan mudah diantisipasi dan diselesaikan sebaik-baiknya. HAMKA dalam menutup tafsir ayat yang sama mengutip sebuah hadis yang menyebutkan tiga perkara yang menjadi penguat Islam35. Tiga perkara tersebut adalah: 1. Ikhlash sebagai fitrah dari Allah. 2. Shalat sebagai tiang agama. 3. Taat sebagai pegangan yang teguh.
35
HAMKA, Tafsir al Azhar, v. 21, h. 82
53
Didapati korelasi yang sangat tepat antara keterangan al-Qur’an dan Hadis. Ikhlas disejajarkan berpegang teguh pada fitrah Allah. Shalat sebagai tiang agama sejajar dengan shalat sebaik-baiknya dan taat dengan bertaubat. Pertikaian antar kelompok Islam di Indonesia adalah satu bentuk kegagalan dalam melihat sebuah kompleksitas. Penyelesaian konflik-konflik secara damai semakin sulit dicapai karena tiap kelompok memiliki tafsir yang berbeda dalam banyak hal. Islam tidak lagi menjadi satu resolusi yang bisa diterima bahkan dalam kalangan masyarakat Islam itu sendiri. Ketika kondisi psikososial umat Islam belum dewasa maka biasanya lebih senang mengambil jalan pintas yaitu dengan menutup diri dari ideologi dan ajaran asing dan pada saat yang sama memberi label sesat dan bahaya kepada sesuatu yang tidak atau belum dikenal. Hal ini dilakukan karena tidak memiliki kemampuan apropriasi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain tanpa ikut terbawa hanyut di dalamnya. Ciri-ciri masyarakat seperti ini adalah: 1. Terobsesi dengan simbol formalisme-legalistik. 2. Pemahaman keagamaan yang tidak utuh dan tekstual. 3. Mudah terpesona retorika dan orasi emosional tanpa penalaran 4. Gamang menghadapi tantangan realitas modern. Setelah
terlihat
jelas
sebab-sebab
perpecahan,
diperlukan
upaya
pendewasaan umat yaitu dengan membuka wawasan berpikir umat untuk menyadari fenomena perkembangan wacana keagamaan kontemporer yang menyuarakan nilai-nilai keterbukaan, pluralitas dan inklusivitas. Pembelajaran Islam secara filosofis diyakini dapat membongkar formalisme dan kekakuan
54
pemahaman agama. Pembelajaran yang menyatukan visi ke-Tuhanan dan visi kemanusiaaan. Maka ini adalah sebuah tawaran solusi.36 Solusi lain adalah dengan mengadakan dialog setiap kali ada permasalahan yang harus diselesaikan. Hal ini sejalan dengan konsep tabâyun dalam al Qur’an. Tasâmuh atau toleransi, lapang dada, bermurah hati adalah sesuatu yang dianjurkan pemerintah dan agama dengan orang yang berlainan agama maka akan menjadi lebih ditekankan lagi bagi sesama umat Islam. Bukan memilih untuk termakan hasutan “Dajjal” dan musuh yang menjadikan umat Islam lebih memilih bermusuhan dengan sesama Islam daripada dengan orang kafir37. Alternatif lainnya adalah adanya pengawasan dan pembinaan dari pemerintah agar kelompok-kelompok berbasis keagamaan dalam hal ini Islam tidak berkembang liar tanpa pengawasan yang pada akhirnya menjadi sumber keresahan. Sebagaimana bunyi Penetapan Presiden Republik Indonesia tentang pencegahan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama tertanggal 27 Januari 1965. Pada pasal 1 terdapat pelarangan terhadap penafsiran yang menyimpang dari pokok ajaran agama dan melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai agama yang sudah ada. Pasal 2 nomor 1 tentang peringatan penghentian atas keputusan bersama antara Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri. Pasal: 2 nomor: 2 tentang pembubaran dan pelarangan aliran sesat oleh
36
Oliver Leaman,Pengantar Filsafat Islam : Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah Musa Kazim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan Media Utama,1999), h. xi-xvi. 37 Tim Penulis, Biografi K.H. Imam Zarkasyi, h. 461.
55
Presiden. Pasal 3 tentang pemberlakuan pidana bagi yang terus mengikuti aliran sesat.38 Sebagaimana Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1979 tentang pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap organisasi dan aliran dalam Islam yang bertentangan dengan ajaran Islam. Instruksi dialamatkan kepada Ditjen Bimas Islam, Kepala Badan Litbang Agama, Inspektur Jenderal
dan
Kepala Kantor Wilayah Departeman Agama. Berisi perintah untuk meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap kegiatan organisasi dan aliran dalam Islam yang bertentangan dengan ajaran Islam.39 Kementrian agama memegang peranan penting dalam hal ini. Maka menteri agama meminta kepada Ditjen Bimas Islam untuk lebih meningkatkan profesionalismenya mengingat tugas dan tantangannya yang semakin berat. Kemunculan aliran-aliran sempalan yang disertai berbagai tindakan kriminal adalah masalah serius seluruh jajaran Bimas Islam. Bimas Islam sebagai instansi yang terkait dalam bimbingan kemasyarakatan Islam, dituntut segera mengambil langkah cepat dan tepat, sehingga permasalahan ini tidak melebar kepermasalahan lain.40 Ada juga usulan untuk membuat satu sistem organisasi profesi dakwah. Selain sebagai kontrol terhadap kinerja kerja dakwah organisasi ini diharap bakal menjadi penghalang tindakan manipulasi identitas dan penyusupan yang bertujuan
38
Majelis Ulama Indonesia, Petunjuk bagi Kerukunan Ummat Islam tentang Kerukunan Hidup antar Umat Beragama (Solo: CV. Ramadhani, 1987), h.10-13. 39 Ibid, h.32-35. 40 Blog Bimas Islam,“Menag Instruksikan Bangun Sinergi Pusat dan Daerah,” artikel diakses pada 8 Juni 2010 dari bimasislam.com.
56
mengeksploitasi umat Islam secara negatif juga sebagai antisipasi dini atas tindak kecurangan propaganda dakwah di luar Islam.41
41
A. Wahab Suneth dan Syarifuddin Djosan, Problematika Dakwah dalam Era Indonesia Baru (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000), h.146-152.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Penafsiran ash Shiddieqy mengenai farraqû dînahum yang tertera dalam Sûrah al An’âm/6: 159 dan Sûrah al Rûm/30: 32 adalah menggabungkan dua pendapat, yaitu yang menetapkan ayat ini turun mengenai ahlu al kitâb yang memecah-belah agama menjadi bermazhab-mazhab dan yang menetapkan ayat ini turun mengenai ahli bid’ah dan partai-partai (firqah) yang telah tumbuh dalam Islam. Hasbi menetapkan bahwa ayat ini menerangkan keadaan ahlu al kitab yang terkotak-kotak dalam berbagai mazhab sekaligus menyuruh umat Islam untuk bersatu-padu serta menjauhkan diri dari perpecahan. Hal ini berarti memilih makna umum lafazh sebagaimana pendekatan kritik kontekstual.
B. Saran-saran Di era ketika agama dan ajarannya tidak difahami secara subtansial tetapi malah diambil sebagian-sebagian, perlu ditemukan secepatnya solusi untuk menjadikan agama dapat kembali dipahami secara utuh. Meningkatnya jumlah sekte, pemahaman dan varian baru dari komunitas umat Islam, seperti komunitas “dzikir”, komunitas politik, komunitas seni dan budaya, komunitas ekonomi, komunitas “tentara”, komunitas pembela kesukuan dan seterusnya adalah sebuah tantangan atas konsep ukhuwwah atau persaudaraan Islam. Terlalu sering berita pertikaian antar kelompok dalam Islam menjadi sorotan media.
57
58
Sebagian umat yang tidak sabar cenderung lebih memilih kekerasan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah perbedaan. Jika potensi perpecahan ini dibiarkan tanpa adanya upaya untuk mengkompromikannya secara maksimal maka perselisihan antar kelompok dalam Islam akan terus berlanjut, bahkan dengan kwalitas konflik yang lebih kompleks dan lebih sulit diatasi. Keterangan dalam tulisan ini adalah tinjauan dari segi tafsir. Akan lebih baik lagi bila ada pembahasan masalah ini melalui kajian hadis. Perlu kearifan yang lebih untuk bisa terbebas dari bahaya memecah belah agama. Akhirnya dari tulisan ini diharapkan adanya kesadaran akan bahaya perilaku memecah-belah sehingga selalu diwaspadai dan dihindarkan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah,Sufyan Raji. Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya. Jakarta: Pustaka al Riyadl, 2007. Ali ,Maulana Muhammad. Islamologi. Penerjemah R. Kaelan danH.M. Bachrun. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, t.t.. al ‘Asqalânî, Ibnu Hajar. Bulûgh al Marâm min ‘Adillati al Ahkam. Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, t.t.. Anshari,Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1981. al Azdî, Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani. Sunan Abi Dawud. Cairo: Darul Hadis, 1999. Baraja,Abdul Qadir. Gambaran Global Pemerintahan Islam. Surabaya: Penerbit RAP, 2001. Blog Bimas Islam.“Menag Instruksikan Bangun Sinergi Pusat dan Daerah.” Artikel diakses pada 8 Juni 2010 dari bimasislam.com. Buchari,Didin Saefuddin. Pedoman Memahami al Qur’an. Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005. al Bukhari, Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. al Jami’ al Shahih al Bukhari. Beirut: Dar al Fikr, 1981. Dagun, Save M.. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka, 2007. Fahmi, Rival-Okezone. “Pulang-Kampanye-Massa-PKS-PPP-Bentrok.” Artikel diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://news.okezone.com al Fauzan, Sholeh bin Fauzan ‘ Abd Allah. Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Penerjemah Abu Aasia. Jakarta: Megatama, t.t. al Ghari, Zamihan Mat Zin. Salafiyah Wahabiyah Suatu Penilain. Selangor: Tera Jaya Enterprise, 2001. al Ghazali, Muhammad. Islam yang Diterlantarkan. Penerjemah Muhammad Jamaluddin. Bandung : Karisma, 1994. Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Insan Madani, 2007. HAMKA. Prinsip dan Kebijaksanaan Da’wah Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. − − − −. Tafsir al Azhar, v. 8. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998. 59
60
− − − −. Tafsir al Azhar, v. 21. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998. Hashem, O. Syiah Ditolak Syi’ah Dicari. Jakarta: al Huda, 2000. Hassan, A. Tafsir Qur’an al Furqan Edisi Bahasa Indonesia Mutakhir. Jakarta: Pustaka Mantiq, 2006. Hendropuspito,D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989. ibn Katsîr,Imâd al Dîn Isma’il ibn ‘Umar. Tafsîr Qur-ân al ‘Azim. Riyad: Dâr ‘Âlam al Kutub, 1997. Imarah,Muhammad. Islam dan Pluralitas. PenerjemahAbdul Hayyie Al Kattanie. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Jaiz,Hartono Ahmad. Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan. Solo: Wacana Ilmiah Press,2006. al Jurjânî, ‘Alî ibn Muhammad ibn ‘Alî. al Ta’rîfât. Beirut: Dar al Kitab al ‘Arabî, 1996. al Jûrjâwî, ‘Alî Ahmad. Hikmah al Tasyrî’ wa falsafatihi. Beirut: Dar al Fikr, 1997. Lajnah Ilmiah HASMI. Syi’ah Bukan Islam ?. Bogor: Pustaka Marwah Indo Media, 2010. Leaman,Oliver. Pengantar Filsafat Islam : Sebuah Pendekatan Tematis. Penerjemah Musa Kazim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan Media Utama,1999. Majelis Ulama Indonesia. Petunjuk bagi Kerukunan Ummat Islam tentang Kerukunan Hidup antar Umat Beragama. Solo: CV. Ramadhani, 1987. McInner,William. ”Agama di Abad Duapuluh Satu.” Jurnal Ulumul Qur’an, v. II, no.5(1990), h.79-80. Majelis Ulama Indonesia. Petunjuk bagi Kerukunan Ummat Islam tentang Kerukunan Hidup antar Umat Beragama. Solo: CV. Ramadhani, 1987. Ma’luf,Louis. Munjid; fi al lughah. Beirut: al Matba’ah al Kâtûlîkiyyah 1960. Beirut: Reprint, Dar el- Machreq Sarl, 1986. Miftahuzzaman. Solusi Krisis Islam Politik atau Jamaah Islam. Solo: CV. Aneka, 2000. Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. al Maqdisî, Faidu Allah al Hasanî. Fathu al Rahmân li Talibi al Qur-ân. Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.. Muslim, Abu al Husain.Shahih Muslim. Beirut: Dar al Fikr, 1992.
61
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I-II. Jakarta: UIPress,1986. − − − −. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UIPress, 1986. News, ANTARA. “ Rumah Jamaah Salafi Diserang.” Artikel diakse pada senin, 23 Pebruari 2009 dari http://www.ANTARA.com. Poerwadarminta,W.J.S.. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2006 Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam:Kajian Analitik. Penerjemah Rofi’ Munawar. Surabaya: Risalah Gusti,1995. − − − −. Yusuf. Membedah Islam “Ekstrem”. Penerjemah Alwi A.M.. Bandung: Mizan,2001. ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Ilmu-Ilmu: Ilmu Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002. − − − −. Pengantar Hukum Islam.Jakarta: bulan Bintang, 1994. − − − −. Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995. − − − −. Tafsir al Qur’anul Majid an Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. − − − −. Sejarah Perkembanagn Hadits. Jakarta: Bulan Bintang,, 1973. Simarmata,Margawati Rahayu.” Sembilan Putra Terbaik Terima Gelar Pahlawan Nasional.” Artikel diakses pada Minggu, 3 Maret 2009 dari http://inilah.com Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta: Al Husna Zikra, 1996. Suneth, A. Wahab dan Syarifuddin Djosan. Problematika Dakwah dalam Era Indonesia Baru .Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2000. Surabaya, detik>> News Jatim. “ Rebutan Lahan, anggota FPI Nyaris Bentrok dengan Warga.” Artikel diakses Jum’at, 12 Juni dari http://m.detik.com. al Syahrastani, Abu al Fath Muhammad ‘Abdu al Karim, al Milal wa Al Nihal. Beirut: Dar al Fikr,t.t. Syamsu, As. Muhammad. Ulama Pembawa Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit Lentera, 1996. Thaha, Idris, ed. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Tim Penulis. Biografi K.H. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren Modern. Ponorogo: Gontor Press, 1996.
62
al Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surat, Sunan al Turmuzi. Beirut: Dar al Fikr,1980. Yatim,Badri. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir al Qur’an. Al Qur’an dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma’ al Malik Fahd, 1426 H. Zainu, Muhammad bin Jamil. Jalan Golongan yang Selamat. Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib. Jakarta: Yayasan al Sofwa, 2003.
LAMPIRAN
63
64
Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 1965 SEKRETARIS NEGARA,
MOHD. ICHSAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1965 NOMOR 3
65
66
67
68
PASAL 5 Cukup Jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2726
69