HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DENGAN INTENSI UNTUK PULIH DARI KETERGANTUNGAN NAPZA PADA RESIDEN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
Oleh: Ziyad 106070002331
FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
ABSTRAK (A) Fakultas Psikologi (B) Mei 2010 (C) Ziyad (D) Hubungan Antara Adversity Quotient Dengan Intensi Untuk Pulih Dari Ketergantungan NAPZA Pada Residen Badan Narkotika Nasional (E) 68 halaman, 14 tabel + lampiran Ketika residen menjalani program di BNN, maka mereka dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada, hal tersebut membuat mereka menjadi tertekan. Sehingga perilaku mereka dalam menjalani program untuk pulih menjadi kecil, hal ini dapat terlihat dari perilaku mereka yang sering melanggar peraturan. Bahkan ada yang sampai melarikan diri karena tidak kuat dengan programprogram yang ada di BNN. Hal ini dikarenakan adversity quotient mereka rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengetahui signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti, yaitu untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN. Subjek dalam penelitian ini adalah residen BNN yang berada di program Primary House yang berjumlah 58 orang yang ditentukan dengan teknik nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling karena responden dalam penelitian ini adalah yang berada di fase Primary House, karena pada fase ini menjalankan TC (Therapeutic Community) yang sangat berat. Instrumen penelitian yang digunakan berupa skala yang terdiri dari skala Adversity Quotient dan skala Intensi Pulih dengan model skala Likert. Hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih pada residen BNN. Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih pada residen BNN. Untuk menguji hipotesa peneliti menggunakan teknik statistik Pearson Product Moment dan Uji Regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara adversity quotient dengan intensi pulih pada residen BNN dan pengaruh adversity quotient terhadap intensi pulih residen hanya sebesar 4%. Saran yang diajukan dalam penelitian ini bagi peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan di panti rehabilitasi yang sama atau yang lain sekiranya dapat vi
memperhatikan faktor waktu. Sebaiknya pengambilan data dilakukan pada saat subjek masih dalam keadaan fresh atau tidak dalam keadaan lelah karena kegiatan program, sehingga diharapkan data yang diperoleh dari subjek merupakan sesuatu yang benar-benar dirasakannya.
(G) Bahan bacaan 20 buku + 2 Hasil Peneltian + 4 Internet
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas kememudahan yang diberikan-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW , keluarganya, para sahabat dan pengikutnya.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh kaena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Jahja Umar Ph.D Dekan Fakultas Psikologi UIN dan Para Wakil Dekan. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, MA dan Ibu Yufi Adriani, M.Psi sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini. 3. Dosen-dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, dari awal perkuliahan hingga selesai skripsi ini. Ibu Solicha, M.Psi selaku Dosen Pembimbing Akademik. Para pegawai bidang akademik dan kemahasiswaan serta civitas akademika Fakultas Psikologi atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai penulis menyelasaikan studi di Universitas Islam Negeri Jakarta. 4. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberikan bantuan moril maupun materil dan yang selalu sabar membimbingku, terima kasih untuk semua cinta yang telah kalian berikan kepadaku. Semoga Rahmat Allah selalu atas kalian. Kedua kakakku (Maisoon & Nuwaiir) tersayang yang selalu ada di sampingku dan menjadi penyemangat kala penulis kehilangan semangat.
viii
5. Mas Fierza, masi Ito dan Bro Aldi yang telah memberikan izin untuk penelitian dan bantuannya selama penelitian. Bro Simon, Bro Widi, dan para Konselor dan Mayor BNN yang lainnya terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya. Dan semua residen BNN UTR Lido yang telah bersedia mengisi angket yang diberikan. 6. Untuk Adiyo, Isni, Wirda dan Amir terima kasih atas bantuan dan masukannya. Afit, Nurul Layali, Tari, Laila, dan Eka terimakasih atas buku-bukunya. 7. Fika dan Ade yang mau membantu serta meminjamkan buku. Berkat kalian teoriku menjadi sempurna. Dan buat Afif yang sudah mebantu try out dan field test sehingga penelitian berjalan dengan baik. 8. Dan mahasiswa- mahasiswi Psikologi angkatan 2006 khususnya kelas D. Terima kasih untuk kebersamaan yang indah, masa ini tak akan terlupakan.
Selain itu, terimakasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas semua bantuan, saran dan motivasi. Semoga Allah membalas kebaikan kalian semua. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Seluruh isi skripsi ini adalah tanggung jawab penulis. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak Amien.
Tangerang, 26 Mei 2010 Penulis
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ MOTTO ............................................................................................................... DEDIKASI .......................................................................................................... ABSTRAK ........................................................................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................................
i ii iii iv v vi viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................ 1 1.2 Identifikasi Masalah .............................................................................. 8 1.3 Perumusan dan Pembatasan Masalah ................................................... 9 1.3.1. Perumusan Masalah .................................................................... 9 1.3.2. Pembatasan Masalah ................................................................... 9 1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.......................................... 10 1.4.1
Tujuan Penelitian .............................................................. 10
1.4.2
Manfaat Penelitian ............................................................ 10
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi............................................................. 11
BAB 2 KAJIAN TEORITIS 2.1. Intensi Pulih......................................................................................... 13 2.1.1. Definisi Intensi Pulih ................................................................ 13 x
2.1.2. Aspek-aspek Intensi .................................................................. 15 2.1.2.1. Attitude towards behavior ................................................ 15 2.1.2.2. Norma Subjektif ................................................................16 2.1.2.3. Perceived Behavioral Control .......................................... 17 2.2. Adversity Quotient ............................................................................. 20 2.2.1. Definisi Adversity Quotient...................................................... 20 2.2.2. Fungsi Adversity Quotient dan Tipe-Tipe Orang menurut Adversity Quotient ..................................................... 21 2.2.3. Dimensi-dimensi Adversitity Quotient...................................... 27 2.2.4 Pohon Kesuksesan............................................................ 31 2.2.4. Penanganan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat untuk Pulih .............................................. 34 2.4. Kerangka Berpikir.............................................................................. 39 2.5. Hipotesis............................................................................................. 42
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian ................................................................................... 43 3.1.1. Pendekatan Penelitian .............................................................. 43 3.1.2. Metode Penelitian .................................................................... 43 3.2. Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Definisi Operasional ........................................................................ 44 3.2.1. Variabel Penelitian .................................................................... 44 xi
3.2.2. Definisi Konseptual................................................................... 44 3.2.3. Definisi Operasioanal................................................................ 44 3. 3. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling............................................ 45 3.3.1. Populasi ..................................................................................... 45 3.3.2. Sampel Penelitian...................................................................... 45 3.3.3. Teknik Sampling ...................................................................... 46 3. 4. Pengumpulan Data ............................................................................ 47 3. 4.1 Teknik Pengumpulan Data........................................................ 47 3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data .................................................... 48 3. 5. Uji Instrumen Penelitian ................................................................... 50 3. 5. 1. Uji Validitas ............................................................................51 3.5.1.1 Validitas Adversity Quotient ............................................ 51 3.5.1.2 Validitas Intensi Pulih ...................................................... 51 3. 5. 2. Uji Reliabilitas ........................................................................ 52 3. 6. Metode Analisis Data........................................................................ 53 3.7. Prosedur Penelitian............................................................................. 53
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian................................................... 56 4.1.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkatan Fase .................. 56 4.1.2. Gambaran Subjek Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan .................................................. 57 xii
4.2 Kategorisasi Berdasarkan Penyebaran Skor Responden..................... 57 4.2.1. Kategorisasi Adversity Quotient dan Intensi Pulih ............. 57 4.3 Deskripsi Statistik ............................................................................... 61 4.3.1. Uji Persyaratan .................................................................... 61 4.3.2. Uji Normalitas..................................................................... 61 4.3.3. Uji Hipotesis ....................................................................... 62 4.3.4. Uji Regresi .......................................................................... 63
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 65 5.2 Diskusi ................................................................................................ 65 5.3 Saran.................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69 LAMPIRAN – LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Distribusi skor .................................................................................... 48 Tabel 3.2 Blue Print Skala Try Out Adversity Quotient ..................................... 49 Tabel 3.3 Blue Print Skala Try Out Intensi Pulih ............................................... 50 Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas ............................................................................ 53 Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Tingkatan Fase .................... 56 Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ............ 57 Tabel 4.3 Kategorisasi Adversity Quotient ........................................................ 59 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Adversity Quotient ............................................ 59 Tabel 4.5 Kategorisasi Intensi Pulih .................................................................. 60 Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Intensi Pulih ...................................................... 60 Tabel 4.7 Uji Normalitas .................................................................................... 62 Tabel 4.8 Uji Correlations ................................................................................. 63 Tabel 4.9 Tabel Anova ........................................................................................ 63 Tabel 4.10 Uji Regresi ......................................................................................... 64
xiv
MOTTO
Barang siapa yang bersungguh-sunguh, dalam mengerjakan sesuatu, maka dia akan berhasil. (Al-Hadits)
Jauh di dalam diri manusia terdapat kekuatan-kekuatan yang masih tertidur nyenyak; kekuatan yang akan membuat mereka takjub, dan yang tidak pernah mereka bayangkan bahwa mereka memilikinya; kekuatan yang apabila digugah dan ditindaklanjuti akan mengubah kehidupan mereka dengan cepat. (Orison Marden)
iv
Dengan Rahmat dan kasih sayang Allah SWT yang telah memberikan aku hidup dengan segala kenikmatan-Nya....
Ku persembahkan skripsi ini untuk kedua orang tuaku, Ayahku H Rifai dan umi HJ Halimah Hanum Terimakasih telah mendidik aku dengan penuh kasih sayang sampai aku seperti sekarang ini...
v
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkoba adalah pemakaian non medical narkotik dan obat-obatan adiktif yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan produktif manusia pemakainya. Berbagai jenis narkoba yang mungkin disalahgunakan adalah tembakau, alkohol, obat-obat terlarang dan zat yang dapat memberikan keracunan, misalnya yang diisap dari asapnya. Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan ketergantungan zat narkoba, jika dihentikan maka si pemakai akan “sakaw” (sakit). (Willis, 2005).
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin memprihatinkan. Sasarannya bukan lagi remaja dan orang dewasa, namun telah merambah sampai ke anak-anak Sekolah Dasar (SD). Hingga Juni 2007, angka penyalahgunaan narkoba di tingkat anak-anak SD tercatat 3.853 kasus, lebih banyak dibandingkan pada tingkat perguruan tinggi yang 764 kasus data Badan Narkotika Nasional (BNN). Peredaran narkoba di kalangan siswa SD diduga dilakukan oleh bandar narkoba dengan cara merekrut tenaga kurir dari siswa-siswa SD untuk menembus lapisan remaja dan anak-anak. Dalam peredarannya, narkoba tersebut dicampur dengan makanan (permen) yang menarik serta banyak disukai siswa. (Republika Online, 2008).
2
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rutter (1980) (dalam Hawari, 2002) bahwa penyebab remaja terlibat penyalahgunaan/ketergantungan NAZA antara lain; Kedua orangtua bercerai atau berpisah (broken home by divorce or separation): resiko pada anak lak-laki 50%, pada anak perempuan 20%. Hubungan kedua orangtua (ayah dan ibu) tidak harmonis (poor marriage): resiko pada anak laki-laki 40%, pada anak perempuan 15%. Suasana rumah tangga yang tegang (high tension): resiko pada anak laki-laki 50%, pada anak perempuan 20%.
Dari hasil kalkulasi diperkirakan jumlah penyalahguna sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang atau sekitar 1,99% dari total seluruh penduduk Indonesia yang berisiko di tahun 2008. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan 7% pecandu suntik. Penyalahgunaan narkoba pada kelompok bukan pelajar/mahasiswa (60%) lebih tinggi dibandingkan kelompok pelajar/mahasiswa (40%). Menurut jenis kelamin, laki-laki (88%) jauh lebih besar dari perempuan (12%). Penyalahguna coba pakai lebih banyak di kelompok pelajar (90%), sedangkan pada teratur pakai dan pecandu lebih banyak terjadi di bukan pelajar/mahasiswa. (BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan UI, 2008).
Penelitian (Hawari, 1990) membuktikan bahwa penyalahgunaan NAZA menimbulkan dampak antara lain; merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, perubahan perilaku menjadi anti-sosial, merosotnya produktifitas kerja, gangguan
3
kesehatan, mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif. (Hawari,1997).
Hawari menjelaskan bahwa selain mengganggu jiwa, zat narkoba juga merusak organ fisik seperti lever, otak, paru, janin, pankreas, pencernaan, otot, endokrin dan libido. Zat tersebut juga mengganggu nutrisi, metabolisme tubuh, dan menimbulkan inveksi virus. Jika putus dari narkoba si pemakai akan mengalami ”sakaw” (sakit). Pada peristiwa ini timbul gejala seperti air mata berlebihan (lakrimasi), cairan hidung berlebihan (rhinorea), pupil mata melebar, keringat berlebihan, mual, muntah, diare, bulu kuduk berdiri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia, agresif. (Willis, 2005).
Di tahun 1964 Badan Kesehatan Dunia menyatakan istilah “adiksi” tidak lagi menjadi istilah ilmiah dan menganjurkan menggantinya dengan istilah “ketergantungan obat.” Konsep ketergantungan zat mempunyai banyak arti yang dikenali secara resmi dan banyak arti yang digunakan selama beberapa dekade. Pada dasarnya, dua konsep telah diminta tentang definisi ketergantungan — ketergantungan perilaku dan ketergantungan fisik. Ketergantungan perilaku telah menekankan aktifitas mencaricari zat (substance-seeking behavior) dan bukti-bukti pola penggunaan patologis, dan ketergantungan fisik telah menekankan efek fisik (yaitu, fisiologis) dari episode multipel penggunaan zat. Secara spesifik, definisi ketergantungan telah menggunakan
4
adanya toleransi atau putus zat dalam kriteria klasifikasinya. (Kaplan, Sadock, dan Greeb, 1997).
Narkotika menurut Konversi Tunggal Narkotika 1961 adalah seluruh bagian dari tanaman papaver, koko dan ganja dengan tidak memandang apakah bagian tanaman tersebut mengandung zat aktif yang tergolong narkotika ataupun tidak (Ma’sum, 1987). Sedangkan menurut menurut UU no 22, tahun 1997 Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan obat berbahaya. NAPZA adalah singkatan dari Narkotika Alkohol Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Narkotika secara farmakologik adalah opioida, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. (Balai pengobatan sehat, 2010).
Penyalahgunaan atau ketergantungan narkoba perlu melakukan berbagai pendekatan. Terutama bidang psikiatri, psikologi, dan konseling. Jika terjadi ketergantungan narkoba maka bidang yang paling bertanggung jawab adalah psikiatri, karena akan terjadi gangguan mental dan perilaku yang disebabkan zat narkoba mengganggu sinyal penghantar syaraf yang disebut sistem neurotransmitter didalam susunan syaraf sentral (otak). Gangguan neurotransmitter ini akan mengganggu (1) fungsi kogitif (daya pikir dan memori), (2) fungsi afektif (perasaan dan mood), (3)
5
psikomotorik (perilaku gerak), (4) komplikasi medik terhadap fisik seperti kelainan paru-paru, lever, jantung, ginjal, pancreas dan gangguan fisik lainnya. (Willis, 2005).
Dari hasil observasi dan wawancara dapat disimpulkan bahwa sebelum para residen masuk ke BNN menjalani proses rehabilitasi. Mereka waktu itu masih memakai narkoba, dan ketika itu mereka tidak memiliki aturan dalam hidupnya dan memiliki kepribadian yang buruk. Ketika mereka menjalani program di BNN, maka mereka dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ada, hal tersebut membuat mereka menjadi tertekan. Sehingga perilaku mereka dalam menjalani program untuk pulih menjadi kecil, hal ini dapat terlihat dari perilaku mereka yang sering melanggar peraturan. Bahkan ada yang sampai melarikan diri karena tidak kuat dengan program-program yang ada di BNN. Hal ini dikarenakan adversity quotient mereka rendah.
Faktor yang menyebabkan pecandu susah lepas dari ketergantungan narkoba menurut Hawari (2002) terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal menyebutkan sebagai faktor kritis dan faktor menegangkan. Faktor sugesti (craving) adalah di mana residen tidak mampu menahan keinginan (sugesti) untuk memakai lagi NAZA. Selain itu faktor internal yang lain adalah stres, dalam hal ini residen tidak tahan terhadap tekanan-tekanan dalam menjalankan program. Stres membuat mereka menjadi seseorang yang mudah menyalahkan diri sendiri dan orang lain, kepribadian yang nekat, mudah frustrasi dan bingung, dan tidak mampu mengurus diri sendiri. Sedangkan faktor ekternal adalah faktor teman. Ketika mereka bertemu teman sesama
6
pemakai dulu, maka residen sangat mudah sekali terbujuk untuk memakai kembali narkoba. Fishben dan Ajzen (1975) menyebutkan bahwa intensi ditentukan oleh keyakinan mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan, keyakinan ini dapat berasal dari pengalaman perilaku seseorang di masa lalu, atau dapat juga dipengaruhi oleh informasi tidak langsung mengenai perilaku tersebut. Jadi intensi pulih adalah niat seseorang untuk pulih yang berdasarkan keyakinan dan sumber yang diperlukan untuk pulih, dan juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya atau orang lain.
Intensi pulih ini haruslah bersumber dari dalam diri residen. Atau dengan kata lain atas keinginan mereka sendiri dalam menjalani program-program yang ada di BNN yang sangat berat. Bila intensi bersumber dari dalam diri mereka sendiri, maka mereka memiliki keyakinan bahwa dirinya akan mampu terlepas dari ketergantungan narkoba, karena diasumsikan mereka yang datang untuk menjalankan pemulihan karena keinginan sendiri akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dibandingkan mereka yang datang karena paksaan orang lain.
Menurut Hawari (2002) kendala terberat dari para pecandu adalah adanya craving, yaitu keinginan yang kuat untuk menggunakan NAPZA masih sering muncul, selain itu keluhan lain seperti kecemasan dan atau depresi serta tidak bisa tidur (insomnia) merupaka faktor yang bisa membuat intensi untuk pulih para residen sangat rendah.
7
Salah satu faktor yang mempengaruhi intensi pulih pada pecandu narkoba adalah adversity quotient, karena adversity quotient mempunyai tiga bentuk konsep. Pertama, adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Ketiga, adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektifitas pribadi dan profesional secara keseluruhan. Karena ketiga konsep ini sebagai pengetahuan, tolak ukur, dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki kehidupan seseorang dalam seharihari dan seumur hidup. Pengertian adversity quotient adalah respon seseorang dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya. (Stoltz, 2007).
Stoltz (2007) membagi tiga tipe manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung: Pertama, Quitters yaitu mereka berhenti di tengah jalan dalam proses pendakian. Quitters ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Yang kedua adalah para Campers yaitu mereka yang tidak mencapai puncak, tetapi sudah puas dengan apa yang telah dicapai. Orang-orang dalam tipe campers sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari tipe quitters. Yang ketiga adalah para Climbers yaitu mereka yang selalu optimis, selalu melihat harapan, dan tidak pantang menyerah dalam situasi apapun, sehingga orang-
8
orang dalam tipe terakhir ini, merekalah yang akan mencapai puncak dan meraih keberhasilan.
Manusia pada prinsipnya dilahirkan untuk memiliki sifat mendaki, Pendakian ini maknanya adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup kedepan. Secara naluri, dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada berbagai hambatan, tantangan dan kesulitan, dan AQ yang memperlihatkan bagaimana seseorang merespon kesulitan serta perubahan-perubahan yang dihadapinya. AQ memiliki peran dalam memberi tahu individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan. Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan menyerah dalam situasi sulit dalam proses pendakiannya, individu akan terus melewati situasi sulit dan rintangan-rintangan yang menghadang sampai ia menuju puncak yang diinginkan. (Stoltz, 2007). Residen yang memiliki adversity quotient yang tinggi maka ia akan memiliki kepribadian yang tahan banting, memiliki kontrol pribadi yang baik, serta memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan berbagai tantangan hidup selama menjalani proses pemulihan dan setelah selesai proses pemulihan.
1.2 Identifikasi Masalah 1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi pulih?
9
2. Aspek-aspek apa saja dalam adversity quotient yang dapat mempengaruhui intensi pulih? 3. Faktor apa dalam intensi pulih yang paling mempengaruhui adversity quotient?
1.3. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1.3.1. Perumusan Masalah Adapun masalah yang ingin dikaji lebih jauh dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN?”
1.3.2. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak meluas, maka diperlukan pembatasan masalah dari masalah-masalah yang hendak diteliti. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sabagai berikut: 1. Adversity Quotient adalah respon seseorang dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya. 2. Intensi adalah proses dari diri seseorang sebelum melakukan suatu tindakan, yang dipengaruhui oleh belief dan significant others. 3. Pulih adalah keadaan pulih menjadi sehat kembali berhubungan dengan orang sakit, sakit atau penyakit.
10
4. Intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau tujuan seorang pengguna narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba. 5. Residen adalah mantan pecandu narkoba yang sedang melakukan pemulihan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai adalah ingin menguji ”Apakah ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN”?
1.4.2 Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi literatur sebagai khazanah kajian psikologi, khususnya tentang intensi pulih para residen BNN. 2) Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai adversity quotient terhadap intensi untuk pulih dari pengaruh narkoba.
11
1.5. Sistematika Penulisan Skripsi Pada penulisan tugas ini penulis menggunakan kaidah American Psychologycal Association (APA) style. Dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas tentang; latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab 2 Landasan Teoritis Pada bab ini akan dibahas tentang; konsep-konsep teoritis yang mendasari dilakukannya penelitian ini, yaitu: pengertian intensi pulih, aspek-aspek intensi, pengertian adversity quotient, fungsi adversity quotient dan tipe-tipe orang menurut adversity quotient, dimensi-dimensi dalam adversity quotient, pohon kesuksesan dalam adversity quotient, penanganan penyalahgunaan dan ketergantungan zat untuk pulih, kerangka berpikir dan hipotesis.
Bab 3 Metode Penelitian Pada bab ini akan dibahas tentang; pendekatan dan metode penelitian, definisi variabel dan definisi operasional variabel, populasi dan sampel, instrumen penelitian, proses uji coba instrumen, prosedur penelitian.
12
Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bab ini akan disajikan presentasi dan analisis data yang meliputi gambaran umum subjek dan hasil penelitian.
Bab 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran Pada bab ini akan disajikan tentang; kesimpulan, diskusi dan saran berdasarkan hasil penelitian.
13
BAB 2 KAJIAN TEORITIS
2.1 Intensi Pulih 2.1.1 Definisi Intensi Pulih Fishben dan Ajzen mengatakan tentang intensi di dalam bukunya sebagai berikut: … intention as a person’s location on subjective probability dimension involving a relation between himself and some action. A behavioral intention refers to a person’s subjective probability that he will perform some behavior. (Fishben & Ajzen, 1975)
Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa intensi merupakan suatu penempatan seseorang atau dimensi kemungkinan subjektif yang melibatkan suatu hubungan antara dirinya dengan tindakan. Pengertian lain dari intensi adalah merupakan bagian konatif dari tingkah laku, juga merupakan kemungkinan subjektif seseorang di mana ia akan menampilkan beberapa tingkah laku. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
14
Informational base
Stimulus Condition • Experimental situasion • Characteristic of target person • Behavioral variations • Situasional variations • Variations of time • Individual differences • Characteristics of references
• Beliefs about consequences of the behavior • Evaluation of consequences
Attitude toward the behavior
Intention Informational base • Normative Beliefs • Motivational to comply
Subjective norm
Bagan 1.Skema terbentuknya intensi menurut Fishben dan Ajzen (1975).
Menurut Fishben dan Azen (1975) intensi memiliki empat elemen dasar, yaitu: perilaku, target objek yang mengarahkan tingkah laku, situasi di mana tingkah laku ditampilkan, waktu (saat) tingkah laku ditampilkan. Untuk setiap level spesifikasi, intensi ditentukan oleh sikap terhadap perilaku serta norma subjektif. Untuk mendapatkan ketepatan peramalan mengenai intensi dapat diperoleh jika komponen sikap dan normatif diukur pada level spesifikasi yang sama dengan intensinya.
Jadi intensi adalah proses dari diri seseorang sebelum melakukan suatu tindakan, yang dipengaruhui oleh belief dan significant others. Sedangkan pulih menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2002) adalah kembali sebagai keadaan semula;
15
sembuh atau baik kembali. Jadi intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau tujuan seorang pengguna narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.
2.1.2 Aspek-aspek Intensi 2.1.2.1 Attitude towards behavior (Sikap terhadap perilaku) Sikap seseorang terhadap suatu tingkah laku tertentu merupakan fungsi dari belief orang tersebut tentang konsekuensi dari tingkah laku dan evaluasinya terhadap konsekuensi tersebut. Dengan perkataan lain, sikap terhadap tingkah laku tertentu (AB) merupakan jumlah dari perkalian beliefnya di mana penampilan tingkah laku tertentu (Bi) dengan evaluasi hasil tingkah laku (Ei) berdasarkan jumla beliefnya. (Fishben & Ajzen, 1975).
Timbulnya suatu sikap terhadap tingkah laku dipengaruhi oleh belief yang dimilikinya. Belief menurut Fishben dan Ajzen (1975), mengarah pada penilaian subjektif seseorang terhadap berbagai aspek yang ada di sekitarnya. Belief merupakan kemungkinan subjektif dari hubungan antara objek belief dan sejumlah objek nilai, konsep, atau atribut. Belief seseorang terhadap suatu objek akan menentukan sikapnya terhadap objek sikap. Belief yang membentuk sikap ini dinamakan behavioral belief.
Fishben dan Ajzen (1975) mengatakan bahwa keyakinan (belief) terhadap suatu tingkah laku tertentu ditentukan oleh 5 sampai 9 keyakinan utama.
16
It can therefore be argued that a person’s attitude toward an object is primarily determined by no more than five to nine beliefs about the object, these are the beliefs that are salient at a given point in time. (Fishben & Ajzen, 1975).
Pengertian salient belief, yaitu belief-belief terhadap objek yang dimiliki seseorang yang berfungsi sebagai determinan (penentu) sikapnya pada waktu tertentu.
2.1.2.2 Subjektif Norm (Norma Subjektif) Fishben & Ajzen (1975) menerangkan bahwa: “the subjective norm is the person’s perception that most people who are important to him think he should or should not perform the behavior in question”.
Definisi ini menerangkan keyakinan-keyakinan atau persepsi individu yang berhubungan dengan harapan atau keinginan orang lain mengenai sebuah tingkah laku yang mempengaruhi seseorang individu untuk melakukan tingkah laku tersebut. Dengan kata lain, bahwa norma subjektif ini merupakan persepsi seseorang individu mengenai pengaruh lingkungan sosial yang mempengaruhi keyakinan terhadap individu untuk melakukan tingkah laku tertentu.
Menurut Fishben & Ajzen (1975) bahwa norma subjektif ditentukan oleh dua hal; 1. Normative belief, yaitu keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan berpengaruh bagi individu atau tokoh panutan (significant others) tentang apakah subjek harus melakukan atau tidak perilaku tertentu; misalkan yang bisa berpengaruh (significant others).
17
2. Motivation to comply, yaitu seberapa jauh motivasi individu untuk mengikuti pendapat tokoh panutan tersebut.
2.1.2.3 Perceived Behavioral Control (Ajzen, 1988) Selanjutnya Icek Ajzen pada tahun 1988 mengembangkan teori Reasoned Action di atas dengan menambahkan faktor perceived behavioral control sebagai faktor ketiga yang berpengaruh terhadap intensi seseorang. Penambahan faktor ketiga ini dilakukan Ajzen, karena menurutnya teori Reasoned Action tahun 1975 belum dapat menjelaskan tingkah laku yang seratus persen tidak dapat dikendalikan sendiri.
Perceived behavioral control adalah kemudahan atau kesulitan yang dirasakan atau dipersepsikan oleh individu untuk menampilkan tingkah laku. Perceived behavioral control merupakan bentuk umum dari teori sikap Fishbein dan Ajzen (1975), dan dipakai untuk tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol kemauan subjek sendiri. Pada penelitian ini, tingkah laku berhenti menggunakan drugs diasumsikan sebagai tingkah laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol kemauan subjek sendiri, sebab untuk mewujudkan intensinya ini ada beberapa faktor dari luar yang dapat menjadi penghambat. Faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat itu antara lain: hubungan keluarga yang tidak harmonis, ajakan kembali memakai drugs dari teman-teman sesama pemakai dahulu. Bilamana tingkah laku sepenuhnya berada di bawah subjek sendiri, maka Perceived behavioral control dapat dihilangkan dari bagan-bagan Fishben dan Ajzen (1975).
18
Ada dua jenis perceived behavioral control. Pertama adalah perceived behavioral control believe (PBCB). PBCB terbentuk dari belief yang disebut control belief yaitu persepsi seseorang yang lebih menekankan atau mempertimbangkan beberapa hambatan realistis yang ada dalam menampilkan tingkah laku yang diinginkan. Variabel ini diasumsikan mencerminkan pengalaman masa lalu dan rintanganrintangan yang diantisipasikan dari tingkah laku. Sedangkan yang kedua disebut sebagai perceived behavioral control direct (PBCD), yaitu sejauh mana kontrol yang dimiliki seseorang terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Variabel ini memiliki pengaruh langsung terhadap intensi tingkah laku. Oleh karena itu, dapat menjadi pengganti untuk mengukur keterampilan kontrol sebenarnya, maka variabel ini memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku. Ajzen (1988) dalam theory of planned behavior mengemukakan bahwa intensi dipengaruhi oleh tiga determinan atau penentu, yaitu sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif, dan perceived behavioral control. Pendapat ajzen ini untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
19
Sikap terhadap tingkah laku
Norma Subjektif
Intensi
Tingkah laku
Perceived Behavioral Control Bagan 2. Skema terbentuknya intensi menurut Ajzen (1988).
Dari bagan di atas, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, PBC mempunyai implikasi motivasional terhadap intensi. Seseorang yang memiliki banyak hambatan untuk melakukan suatu tingkah laku akan berpengaruh terhadap intensinya untuk melakukan tingkah laku itu. PBC dapat pula mempengaruhi tingkah laku secara langsung (via intensi) dan dapat digunakan untuk meramalkan tingkah laku tertentu. Tetapi jika seseorang memiliki informasi yang sedikit, kebutuhan dan sumber dayanya berubah, maka PBC menjadi tidak realistis lagi untuk dipakai meramalkan tingkah laku (Ajzen, 1988).
20
2.2 Adversity Quotient 2.2.1 Definisi Adversity Quotient Stoltz (2007), mendefinisikan Adversity Quotient dalam tiga bentuk, yaitu; •
Adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
•
Adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.
•
Adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efekstifitas pribadi dan professional seseorang secara keseluruhan.
Menurut Ginanjar (2004) Adversity Quotient diibaratkan sebagai sa’i, karena sa’i melambangkan suatu persistensi (ketetapan hati), atau upaya tiada kenal lelah dan tiada kenal henti. Hal ini telah dicontohkan oleh sikap Siti Hajar, kemudian diabadikan oleh Allah SWT untuk mengajarkan manusia tentang pentingnya suatu sikap “Istiqomah”, atau upaya yang tiada kenal henti. Dorongan suatu hati dari AlMatin atau Yang Maha Menggenggam Kekuatan telah meneguhkan hatinya untuk kuat menghadapi berbagai rintangan.
Menurut Ginanjar (2004) tidak ada orang sukses tanpa mengalami kegagalan dan perjuangan. Ciri orang gagal selalu berhenti pada saat ia mengalami hambatan dan
21
kesulitan, sedangkan orang sukses tidak berhenti pada saat ia belum berhasil. Bagi orang yang sukses, kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda. Dan Rasulullah pun mengalami serta melalui berbagai masalah yang sangat berat sebelum Islam mendunia. Kegagalan harus diterima sebagai sebuah upaya pembelajaran yang membuat individu menemukan sebuah pemikiran, penyempurnaan, metode dan tujuan yang lebih jelas.
Menurut Ginanjar (2004) Adversity Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan hidup. Dengan Adversity Quotient seseorang bagai diukur kemampuannya dalam mengatsi setiap persoalan hidup untuk tidak berputus asa.
Dari beberapa pengertian maka dapat disimpulkan bahwa adversity quotient adalah respon individu dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya.
2.2.2 Fungsi Adversity Quotient dan Tipe-tipe Orang Menurut Adversity Quotient Menurut Stoltz (2007) fungsi Adversity Quotient adalah: •
Adversity Quotient memberi tahu seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya.
•
Adversity Quotient juga meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur.
22
•
Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal.
•
Adversity Quotient meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan
Menurut Stoltz (2007) keberhasilan seseorang dalam mencapai suatu tujuan atau kesuksesan tidak hanya cukup IQ dan EQ, tetapi yang paling terpenting adalah AQ. Karena menurutnya banyak orang yang memiliki IQ atau EQ tinggi gagal dalam menunjukkan kemampuannya, tetapi ada orang yang memiliki IQ atau EQ biasa saja mereka berhasil mencapai tujuannya.
Stoltz menggambarkan tentang kesuksesan seseorang seperti dibawah ini: AQ
EQ
IQ
Stoltz (2007) mengatakan bahwa untuk memahami peran Adversity Quotient dalam melanjutkan pendakian disaat orang lain telah menyerah, maka haruslah terlebih dahulu merumuskan gunungnya dan ketiga kategori respons terhadap tantangantantangannya secara tepat.
23
Menurut Stoltz (2007) sesorang dilahirkan mempunyai dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Menurutnya mendaki adalah menggerakan tujuan hidup ke depan, apa pun tujuan itu. Dalam hal ini adalah tujuan para residen untuk pulih.
Dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki tersebut merupakan perlombaan naluriah residen melawan jam dalam menyelesaikan program-program yang ada di BNN semampu mereka dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka mereka bisa merasakan dorongan ini untuk pulih. Hal ini sesuai dengan orang-orang yang selamat dari maut karena penyakit kankernya. Tinjauan kembali yang seketika mengenai seluruh kehidupan para penderita kanker dan mengetahui “apa yang sebenarnya penting” dalam hidup ini, sering mengubah tingkah laku mereka menjadi sangat berbeda. Orang-orang tersebut membangkitkan energi yang baru ditemukan pada halhal yang benar-benar penting dalam hidupnya, yang berkaitan dengan tujuan mereka. Stoltz (2007).
Stoltz (2007) mengelompokkan orang ke dalam tiga tipe pendaki puncak keberhasilan, yaitu quitter (mereka yang berhenti), camper (mereka yang berkemah), dan climber (para pendaki), yaitu; 1. Quitters menurut definisinya, menjalani kehidupan yang tidak terlalu menyenangkan. Mereka meninggalkan impian-impiannya dan memilih jalan yang mereka anggap lebih datar dan lebih mudah. Mereka juga memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti. Ironisnya, seiring
24
dengan berlalunya waktu, Quitters mengalami penderitaan yang jauh lebih pedih daripada yang ingin mereka elakan dengan memilih tidak mendaki. Dan saat yang paling memilukan dan menyedihkan adalah sewaktu mereka (Quitters) menoleh ke belakang dan melihat bahwa kehidupan yang telah dijalani ternyata tidak menyenangkan. • Ciri-ciri Quitters, yaitu; mereka sering menjadi sinis, murung, dan mati perasaannya. Atau, mereka menjadi pemarah dan frustasi, menyalahkan semua orang di sekelilingnya, dan membenci orang-orang yang terus mendaki. Quitters sering juga menjadi pecandu, entah itu pecandu alkohol, narkoba, atau acara-acara televisi yang tidak bermutu. Quitters mencari pelarian untuk menenangkan hati dan pikiran. Quitters juga selalu melarikan diri dari pendakian, yang berarti juga mengabaikan potensi yang mereka miliki dalam kehidupan ini. Quitters memperlihatkan sedikit ambisi, semangat yang minim, dan mutu di bawah standar. Mereka juga mengambil risiko sesedikit mungkin dan biasanya tidak kreatif, kecuali saat mereka harus menghindari tantangan-tantangan yang besar. Quitters cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen-komitmen yang sesungguhnya. Quitters kalah dalam wilayahwilayah pertumbuhan dan pemenuhan yang paling kaya, yaitu hubunganhubungan yang mendalam dan bermakna. Para Quitters menggunakan bahasa yang sifatnya membatasi.
25
2. Campers menurut definisinya adalah menghindarkan dari pengalaman yang mungkin dapat menimbulkan perubahan besar dalam hidupnya. Campers adalah satis-ficer (dari kata satisfied = puas dan suffice = mencukupi). Mereka (Campers) puas dengan mencukupkan diri, dan tidak mau mengembangkan diri. Campers berhasil mencukupi kebutuhan dasar mereka, yaitu makanan, air, rasa aman, tempat berteduh, nahkan rasa memiliki. Mereka telah melewati kaki gunung. Dengan berkemah, emreka mengorbankan bagian puncak Hirarki Masllow, yaitu aktualisai diri, dan bertahan pada apa yang telah mereka miliki. Akibatnya, Campers menjadi sangat termotivasi oleh kenyamanan dan rasa takut. Mereka takut kehilangan tempat berpijak, dan mencari rasa aman. •
Ciri-ciri Campers, yaitu; menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha. Mereka akan bekerja keras dalam hal apa pun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Campers bisa melakukan pekerjaan yang menutut kreatifitas dan mengambil risiko dengan penuh perhitungan, tetapi biasanya mereka mengambil jalan yang aman. Kreatifitas dan kesedian mengambil resiko hanya dilakukan dalam bidang-bidang yang ancamannya kecil sekali. Para Campers menggunakan bahasa yang sifatnya kompromi.
26
3. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinankemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental, atau hambatan lainnya menghalangi pendakiannya. Climbers selalu menjalani hdupnya secara lengkap. Untuk semua hal yang mereka kerjakan, mereka benar-benar memahami tujuannya dan bisa merasakan gairahnya. Mereka mengetahui bagaimana perasaan gembira yang sesungguhnya, dan mengenalinya sebagai anugerah dan imbalan atas pendakian yang telah dilakukan. Climbers sering merasa sangat yakin pada sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Keyakinan ini membuat mereka bertahan manakala tantangan terasa menakutkan dan sulit ditaklukan, serta setiap harapan untuk maju mendapat tantangan baru. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalanya tidak mungkin ditempuh. •
Ciri-ciri Climbers, yaitu; Climbers selalu menyambut baik terhadap tantangan-tantangan yang ada, dan mereka hidup dengan pemahaman bahwa hal-hal yang mendesak dan harus segera dibereskan. Mereka juga bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat yang sangat tinggi, dan bertjuan untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers merupakan katalisator tindakan; mereka cenderung membuat segala sesuatunya terwujud. Climbers selalu membangkitkan diri pada pertumbuhan dan belajar seumur hidup. Climbers bekerja dengan visi. Mereka juga penuh
27
inspirasi dan, sebagai akibatnya, menjadi pemimpin-pemimpin yang baik. Climbers selalu menemukan cara untuk membuat segala sesuatunya terjadi. Climbers selalu menerima tantanga-tantangan dan terus berjuang walaupun resiko yang ada sangat berat. Climbers juga menyambut baik perubahan yang terjadi.
2.2.3 Dimensi-dimensi Adversity Quotient Menurut Stoltz (2007) Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang dapat mengukur kemampuan individu dan dapat mengevaluasi dimensi-dimensi yang dimilikinya. Dimensi-dimensi pembentuknya adalah CO2RE, yaitu; a. C = Control (Kendali) C mempertanyakan: “Berapa banyak kendali yang individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?” Dimensi C menunjukkan bagaimana seseorang merasa memiliki kendali terhadap peristiwa yang dialaminya. Mereka yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidupnya daripada mereka yang memiliki adversity quotient lebih rendah. Akibatnya, mereka yang memiliki adversity quotient lebih tinggi akan mengambil tindakan, yang akan menghasilkan lebih banyak lagi kendali dibandingkan mereka yang memiliki adversity quotient lebih rendah mereka lebih sedikit menghasilkan kendali. Semakin rendah adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya orang tersebut merasakan bahwa peristiwa-peristiwa yang buruk
28
berada di luar kendali (locus of control eksternal), dan sedikit orang mampu mencegahnya atau membatasi kerugian-kerugiannya. Rendahnya kendali yang dirasakan memiliki pengaruh yang sangat merusak terhadap kemampuan seseorang untuk mengubah situasi. Orang-orang yang sangat rendah kemampuan pengendalinya sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan. Sebaliknya orang yang memiliki dimensi C yang tinggi merasa bahwa pada setiap kejadian ia memiliki kendali didalamnya, sehingga ia dapat mengubah situasi tersebut menjadi lebih baik sesuai dengan keinginannya (locus of control internal).
b. O2 = Origin dan Ownership (Asal usul dan Pengakuan) O2 mempertanyakan dua hal: “Siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan?” dan Sampai sejauh manakah individu mengakui akibat-akibat kesulitan itu?” Orang yang adversity quotientnya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, seseorang melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut.
Rasa bersalah memiliki dua fungsi penting. Pertama, rasa bersalah itu membantu individu belajar. Dengan menyalahkan diri sendiri, individu cenderung merenungkan, belajar, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Yang kedua, rasa bersalah itu menjurus pada penyesalan. Penyesalan dapat memaksa individu untuk meneliti batin dan
29
mempertimbangkan apakah ada hal-hal yang dilakukan idividu itu menyakiti hati orang lain. Semakin tinggi adversity quotient seseorang dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai pekerjaannya dan kesulitan sebagai sesuatu yang terutama berasal dari pihak luar. Dengan kata lain mencerminkan kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab pada tempatnya.
Semakin rendah adversity quotient individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya menganggap kesulitan sebagai sesuatu yang terutama merupakan kesalahannya dan mengangap peristiwa-peristiwa yang baik sebagai keberuntungan yang diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Individu menganggap dirinya sebagai asal mula peristiwa-peristiwa buruk bisa berakibat parah pada tingkat stres, ego, dan motivasi. Mereka juga menolak pengakuan, dengan menghindarkan diri dari tanggung jawab untuk menagani situasi.
c. R = Reach (jangkauan) Dimensi ini mempertanyakan: “sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagianbagian lain dari kehidupan saya?” Respon-respon dengan adversity quotient yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang.
30
Jadi, semakin rendah adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan sebagai sesuatu yang merasuki wilayah-wilayah lain kehidupannya.
Sedangkan semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, individu akan merasa semakin lebih berdaya dan perasaan kewalahan akan berkurang. d. E = Endurance (daya tahan) Dalam dimensi ini pertanyaannya adalah “ Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung?” “dan Berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung?” Semakin rendah skor E seseorang semakin besar kemungkinannya menganggap kesulitan akan berlangsung lama. Sebaliknya orang yang memiliki skor E yang tinggi akan mengganggap bahwa kesulitan dan penyebabnya hanya bersifat sementara, sehingga ia tidak berlarut-larut dalam kesulitan yang dihadapi. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lorraine Johnsons dan Stuart Biddle (dalam Stoltz, 2007) menunjukkan bahwa individu yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha yang mereka lakukan.
31
Oleh karena itu semakin tinggi adversity quotient dan skor individu dalam dimensi ini, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesuksesan sebagai sesuatu yang berlangsung lama, atau bahkan permanen. Individu juga akan mengangap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan individu untuk bertindak.
Sebaliknya individu yang memiliki adversity quotient dan skor dalam dimensi ini yang rendah, maka semakin besar kemungkinannya individu memandang kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai peristiwa yang berlangsung lama, dan mengaggap peristiwa-peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara. Ini bisa menunjukkan jenis respon-respon yang memunculkan perasaan tak berdaya atau hilangnya harapan. Lama-kelamaan, individu akan merasa sinis terhadap aspek-aspek tertentu dalam hidupnya. Individu mungkin akan cenderung kurang bertindak melawan kesulitan sebagai sesuatu yang permanen.
2.2.4 Pohon Kesuksesan Menurut Stoltz (2007) hampir kebanyakan orang mengetahui apa yang dibutuhkan agar dapat sukses. Karena menurutnya setiap manusia diberkahi berbagai macam unsur penting untuk mencapai kesuksesan. Tetapi, kenyataannya adalah, jika seseorang memiliki adversity quotient yang relatif rendah dan karenanya tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan, potensinya juga akan tetap
32
kerdil. Sebaliknya, orang dengan adversity quotient yang cukup tinggi akan berkembang pesat seperti pohon di gunung. Oleh karena itu Stoltz membagi potensi yang seseorang miliki seperti bagian- bagian dari pohon dibawah ini;
a. Daun : Kinerja Daun diberi label kinerja karena merujuk pada bagian dari individu yang paling mudah terlihat oleh orang lain. Bagian ini yang paling sering dinilai atau dievaluasi. Namun daun tidak begitu saja tumbuh tanpa adanya cabang pohon. b. Cabang : Bakat dan Kemauan Cabang pertama dapat disebut sebagai bakat yang menggambarkan keterampilan, kompetensi, dan pengetahuan individu. Cabang kedua disebut hasrat yang menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat individu. Kedua cabang ini saling mempengaruhi kesuksesan, seseorang yang memiliki bakat akan tetapi tidak mempuyai kemauan sulit untuk menjadi sukses. Seorang harus mempunyai kemauan yang mungkin disertai bakat untuk mencapai kesuksesan. c. Batang : Kecerdasan, Kesehatan, dan Karakter Kecerdasan Howard Gardner (dalam Stoltz, 2007) memperluas pengertian kecerdasan bahwa kecerdasan mempunyai tujuh bentuk; Linguistic, kinestetik, spasial, logika matematis, musik, interpersonal dan intrapersonal. Setiap individu memiliki semua kecerdasan tersebut. Namun dalam diri individu beberapa diantara kecerdasan itu ada yang lebih
33
dominan. Kecerdasan yang lebih dominan tersebutlah yang mempengaruhi karir, pelajaran-pelajaran yang dipilih, dan hobi-hobi yang dinikmati. Ini berkaitan dengan cabang pohon yang akan mempengaruhi kesuksesan seseorang. Kesehatan Kesehatan emosi dan fisik mempengaruhi kemampuan individu dalam menggapai kesuksesan. Jika individu sakit, penyakitnya akan mengalihkan perhatian individu dari gunung yang sedang didaki atau tujuan yang akan dicapai. Karena sakit itu pendakian individu bisa menjadi sekedar perjuangan hari demi hari untuk bertahan hidup. Emosi dan fisik yang sehat dapat sangat membantu pendakian diri individu. Karakter Positif Karakter positif juga mempengaruhi kesuksesan individu, menurut Aristoteles (dalam Stoltz, 2007) kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian, dan kedermawanan, semuanya penting untuk menuju kesuksesan dan hidup berdampingan secara damai. d. Akar :Genetika, Pendidikan, dan Keyakinan. Genetika Meskipun genetis tidak akan menentukan nasib seseorang namun menurut penelitian yang telah ada ternyata menunjukkan pengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Dalam satu contoh, sepasang anak kembar yang terpisah selama empat puluh tahun saling menceritakan tentang diri mereka, dan ternyata mereka memiliki kesamaankesamaan.
34
Pendidikan. Seperti genetika, pendidikan bisa juga mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keteramplian, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan. Keyakinan Menurut Peck dalam the call to community (dalam Stoltz, 2007) menganggap keyakinan sebagai hal yang sangat penting demi kelangsungan hidup masyarakat. Apa pun jenis keyakinannya, sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki faktor akar ini. Sedangkan menurut Herbert Benson (dalam Stoltz, 2007) seorang peneliti yang mempelopori riset tentang peran keyakinan dalam kesehatan seseorang. Menurutnya berdoa akan mempengaruhi epinefrin dan hormon-hormon kortikosteroid pemicu stres, yang kemudian akan menurunkan tekanan darah serta membuat detak jantung dan pernapasan lebih santai.
2.3.2 Penanganan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat untuk Pulih Dalam banyak kasus, bahkan mungkin hampir semua, orang dengan ketergantungan obat tidak benar-benar ingin menghentikan penyalahgunaan zat tersebut. Kebanyakan orang yang menyalahgunakan kokain, misalnya, seperti para penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, tidak berusaha mencari penanganan bagi diri mereka sendiri. Mereka yang tidak berusaha mendapatkan penanganan cenderung menjadi penyalahguna berat yang menyangkal dampak negatif kokain bagi hidup mereka dan
35
terperangkap dalam lingkungan sosial yang gagal mendukung mereka untuk sembuh. (Nevid, Rathus, dan Greene, 2005).
Menurut Nevid, dkk (2005) bahwa ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan agar dapat memulihkan seorang pecandu dari ketergantungan narkoba, pendekatan itu antara lain; a. Pendekatan Residential Pendekatan residential adalah penanganan dengan melibatkan perawatan di rumah sakit atau tempat terapi. Perawatan di rumah sakit direkomendasikan bila penyalahguna obat tidak dapat mengendalikan diri bila berada dalam lingkungan mereka, atau tidak tahan terhadap gejala putus zat, dan saat perilaku mereka bersifat self-destructive atau berbahaya bagi orang lain. Penanganan rawat jalan lebih murah dan disarankan bila gejala putus zat tidak terlalu parah, klien teguh pada perubahan perilaku mereka, dan sistem dukungan lingkungan, seperti; keluarga, turut berjuang untuk membantu klien berubah menuju gaya hidup bebas obat.
Sejumlah komunitas terapeutik residensial juga digunakan. Beberapa dari mereka memilih staf ahli paruh waktu atau tetap. Residen diharapkan untuk tetap bebas obat dan bertanggung jawab untuk tindakan mereka. Residen sering dikonfrontasi sehubungan dengan alsan-alasan mereka gagal bertanggung jawab untuk diri sndiri dan penyangkalan mereka terhadap kerusakan yang terjadi akibat penggunaan obat.
36
Mereka berbagi pengalaman hidup untuk saling membantu mengembangkan cara yang lebih produktif untuk mengatasi stres.
b. Pendekatan Behavioral Penggunaan terapi perilaku atau modifikasi perilaku dalam menangani penyalahgunaan dan ketergantungan zat menekankan pada modifikasi pola perilaku penyalahgunaan dan dependen. Aliran ini memfokuskan kepada apakah penyalahguna dapat belajar untuk mengubah perilaku mereka saat dihadapkan dengan godaan. Strategi Self-Control Pelatihan self-control berfokus pada membantu penyalahguna mengembangkan keterampilan yang dapat mereka gunakan untuk mengubah perilaku mereka. Terapis perilaku menekankan pada tiga komponen penyalahgunaan zat: 1. Isyarat anteseden, atau stimuli (A) yang memicu penyalahgunaan, 2. Perilaku penyahgunaan (B) itu sendiri, dan 3. Kosekuensi hukuman atau penguatan (C) yang mempertahankan atau mencegah penyalahgunaan.
c. Pelatihan Keterampilan Sosial Pelatihan ini membantu orang untuk mengembangkan respon interpersonal yang efektif dalam situasi sosial yang memicu penyalahgunaan zat. Terapi perkawinan behavioral memperbaiki komunikasi dalam perkawinan dan keterampilan dalam
37
menyelesaikan masalah untuk membebaskan stres rumah tangga yang dapat menjadi pemicu penyalahgunaan. Bukti yang tersedia mendukung manfaat pendekatan pelatihan keterampilan sosial dan terapi perkawian behavioral dalam menangani alkoholisme dan ketergantungan zat (Finney & Monahan, 1996 dalam Nevid, dkk, 2005).
d. Pelatihan Pencegah Kambuh Kata kambuh (relaps) berasal dari bahasa Latin yang berarti ”tergelincir kembali.” Karena ada prevalensi kambuh, para terapis beraliran behavioral mendesain sejumlah metode yang disebut pelatihan pencegahan kambuh (relaps-prevention training). Pelatihan semacam ini membantu orang dengan masalah penyalahgunaan zat mengatasi situasi beresiko tinggi dan mencegah mereka relaps (Marlatt & Gordon, 1985 dalam Nevid, dkk, 2005).
Penelitian menegaskan bahwa adanya jaringan sosial yang kuat (bersifat mendukung) itu berhubungan secara positif dengan kesehatan. Hal ini akan menguatkan hipotesis bahwa dukungan sosial itu merupakan variabel lingkungan. Definisi operasional tentang dukungan sosial dalam konteks ini berasal dari Gottlieb (1983) (dalam Smet, 1994): ”.... Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau nonverbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima...”
38
Untuk menjelaskan konsep dukungan sosial, kebanyakan penelitian sependapat untuk membedakan jenis-jenis yang berlainan (Defares & De Soomer, 1988 dalam Nevid, dkk, 2005). Hal ini sangat berguna, karena nampak beberapa situasi (penuh stress) yang berbeda memerlukan jenis bantuan atau dukungan yang sama sekali berbeda. House membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial (Winnubst dkk., 1988; Sarafino, 1990 dalam Nevid, dkk, 2005): •
Dukungan emosional: mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik, penegasan).
•
Dukungan penghargaan: terjadi lewat ungkapan homat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orangorang lain, seperti misalnya oran-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadannya (menambah penghargaan diri).
•
Dukungan instrumental: mencakup bantuan langsung, seperti menolong pekerjaan pada waktu mengalami stres.
•
Dukungan informatif: mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik.
39
2.4 Kerangka Berpikir Menurut Oullete (dalam Stoltz, 2007) orang yang memiliki sifat tahan banting tidak terlalu mederita terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan. Sifat yang dimiliki seseorang merujuk pada kemampuannya menghadapi kondisi-kondisi keadaan yang keras.
Oullete (dalam Stoltz, 2007) juga melakukan penelitian yang menunjukkan kesulitan akibat reorganisasi massal, ketidakpastian, dan stres memperlihatkan sifat tahan banting − suatu perasaan tentang tantangan, komitmen, dan pengendalian yang dapat diukur − menderita separo penyakit yang diderita oleh para responden yang responnya kurang tahan banting. Sifat tahan banting merupakan peramal kesehatan dan kualitas secara keseluruhan. Orang-orang yang memiliki tahan banting yang baik cenderung tidak terlalu menderita, dan kalaupun menderita, tidak akan lama.
Seorang mantan pengguna narkoba yang sedang menjalani tahap pemulihan bila memiliki adversity quotient yang tinggi, maka intensi untuk pulih dari ketergantungan narkobanya sangat tinggi, karena ia mampu merespon kesulitan sebagai suatu peluang dengan memiliki suatu tujuan dan dapat memegang kendali atas dirinya. Sehingga ia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa perasaan cemas, stres, frustasi dan depresi. Ia mampu mengontrol dirinya sendiri tanpa dominasi dari pihak luar. Sedangkan mantan pengguna narkoba yang memiliki adversity quotient yang rendah maka akan memiliki intensi pulih yang rendah, karena
40
mereka merespon kesulitan dengan perasaan cemas, stres, frustasi dan depresi. Dan mereka juga didomonasi oleh pihak luar.
Stoltz (2007) mengilustrasikan keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan dengan menggunakan pohon, dimana pohon mempunyai cabang yang berarti menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat individu. Bila seorang residen memiliki motivasi, gairah, dorongan, ambisi dan semangat yang kuat untuk menjalani program-program yang di Primary House maka intensi pulihnya akan tinggi. Kesehatan emosi dan fisik mempengaruhi kemampuan individu dalam menggapai kesuksesan. Jika individu sakit, penyakitnya akan mengalihkan perhatian individu dari gunung yang sedang didaki atau tujuan yang akan dicapai. Karena sakit itu pendakian individu bisa menjadi sekedar perjuangan hari demi hari untuk bertahan hidup. Emosi dan fisik yang sehat dapat sangat membantu pendakian diri individu. Bila emosi dan fisik residen sehat, maka para residen akan fokus dalam menjalankan program tanpa ada suatu hambatan yang akan menhalangi mereka dalam mencapai kepulihan. Akar juga merupakan bagian pohon yang diilustrasikan sebagai keyakinan menurut Peck dalam the call to community (dalam Stoltz, 2007) menganggap keyakinan sebagai hal yang sangat penting demi kelangsungan hidup masyarakat. Apa pun jenis keyakinannya, sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki faktor akar ini. Sedangkan menurut Herbert Benson (dalam Stoltz, 2007) seorang peneliti yang mempelopori riset tentang peran keyakinan dalam kesehatan seseorang. Menurutnya berdoa akan mempengaruhi
41
epinefrin dan hormon-hormon kortikosteroid pemicu stress, yang kemudian akan menurunkan tekanan darah serta membuat detak jantung dan pernapasan lebih santai. Residen yang memiliki motivasi, antusiasme, gairah dan keyakinan untuk sembuh,maka intensi pulihnya akan tinggi. Selain itu bila mereka mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mereka akan lebih tenang dalam menjalani rehabilitasi.
Adversity Quotient menurut Stolz (2007), merujuk pada kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Adversity quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup. Dimensi-dimensi dari adversity quotient yaitu Control , Origin and Ownership, Reach, Endurance (CO2RE) diperlukan untuk menentukan secara keseluruhan adversity quotient seseorang. Residen yang sedang menjalani program rehabilitasi yang memiliki adversity quotient tinggi mereka akan merasa mempunyai kendali atas hidupnya dikemudian hari, ia tidak akan terpuruk dalam penggunaan narkoba lagi dan akan berusaha lebih baik lagi untuk hari esok.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa residen yang tidak mudah menyerah, tidak mudah putus asa, tidak mudah stres, tidak mudah cemas serta mampu menghadapi berbagai kesulitan dalam menjalani program-program yang ada, menganggap bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya maka intensi untuk pulih dari ketergantungan NAPZA akan tinggi.
42
2. 5 Hipotesis H0 :
Tidak ada hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Intensi untuk pulih pada residen BNN.
Ha :
Ada hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Intensi untuk pulih pada Residen BNN.
43
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian 3.1.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan penelitian kuantitatif menurut sugiyono (2008) yaitu penelitian yang data penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik.
3.1.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode korelasional, menurut Hasan (2002) metode kolerasional adalah mencari hubungan diantara variabel-variabel yang diteliti. Hubungan antara variabel diteliti kemudian dijelaskan. Adapun alasan peneliti menggunakan penelitian korelasional karena sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat hubungan antara dua variabel, yaitu hubungan adversity quotient dengan intensi pulih pada residen BNN.
44
3.2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian Menurut Sevilla (1993), variabel adalah suatu karakteristik yang memiliki dua atau lebih nilai atau sifat yang berdiri sendiri-sendiri. Variabel terbagi menjadi dua macam, yaitu variabel bebas (Idependent Variable) dan variabel terikat (Dependent Variable). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Variabel bebas (independent variable) adalah Adversity Quotient. b. Variabel terikat (dependent variable) adalah Intensi Pulih.
3.2.2 Definisi Konseptual Definisi konseptual dari kedua variabel ini adalah : 1. Adversity Quotient adalah respon individu dalam menghadapi situasi sulit dan cara ia mengatasinya. 2. Intensi pulih adalah suatu keinginan, maksud atau tujuan seorang pengguna narkoba untuk sembuh dari pemakaian narkoba.
3.2.3 Definisi Operasioanal Definisi Operasional kedua variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Adversity quotient yang dilakukan oleh residen merupakan hasil skor yang diperoleh dari skala adversity quotient yang meliputi empat aspek antara lain; control, origin and ownership, reach, dan endurance.
45
2. Intensi pulih yang dilakukan oleh residen merupakan hasil skor yang diperoleh dari skala intensi pulih yang meliputi tiga aspek antara lain; sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan perceived behavioral control.
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 3.3.1 Populasi Menurut Hasan (2002) populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas, lengkap yang akan diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah mantan pecandu (residen) yang melakukan rehabilitasi di BNN yang berjumlah 250 pada tanggal 5 Mei 2010.
3.3.2 Sampel Penelitian Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karateristik tertentu, jelas, dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Hasan, 2002) . Dalam penelitian ini, jumlah sampel yang akan diambil adalah 58 orang yang terdiri dari (1) fase younger yaitu pada tahap ini residen sudah mulai mengikuti program dengan proaktif, artinya ia telah dengan aktif mengikuti program yang telah ditetapkan oleh lembaga, (2) fase middle, yaitu pada tahap ini residen sudah harus bertanggung jawab pada sebagian pelaksanaan operasional panti/lembaga, dan (3) fase older, yaitu pada tahap ini residen sudah bertanggung jawab pada staf dan lebih bertanggung jawab terhadap keseluruhan operasional panti dan bertanggung jawab terhadap residen yunior (BNN bekerjasama dengan
46
Departemen Sosial, 2004). Hal ini mengacu pada pendapat Bailey yang menyebutkan, bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel yang paling minimum adalah 30. Selain itu, Gay berpendapat bahwa ukuran minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan metode penelitian yang digunakan, dalam penelitian ini menggunakan metode korelasional, dengan minimal subyek 30 (dalam Hasan, 2002).
3.3.3 Teknik Sampling Cara pengambilan sampel penelitian dilakukan di tempat rehabilitasi BNN yang terletak di daerah Lido, Sukabumi. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling. Menurut Hasan (2002), nonprobability sampling adalah cara pengambilan sampel yang tidak berdasarkan probabilitas atau peluang. Dalam semua nonprobability sampling, kemungkinan atau peluang setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sampel tidak sama atau tidak diketahui. Sedangkan teknik purposive sampling adalah penilaian dan upaya cermat untuk memperoleh sampel representatif dengan cara meliputi wilayah-wilayah atau kelompok-kelompok yang diduga sebagai anggota sampelnya. Responden dalam penelitian ini adalah yang berada di fase Primary House, karena pada fase ini menjalankan TC (Therapeutic Community) yang sangat berat. (Kerlinger, 2006).
47
3.4 Pengumpulan Data 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode skala sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh jawaban dari reponden. Skala yang digunakan bersifat langsung dan tertutup. Pernyataan terdiri dari pernyataan positif (favorable) dan negatif (unfavorable). Dalam merespon item tesebut subjek diminta untuk memilih jawaban yang paling mewakili dirinya, dengan cara memilih sistem rating kategori yang merentang dari “sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju”. Penskoran untuk pernyataan positif dilakukan dengan memberi skor tertinggi pada pilihan “sangat setuju” dan terendah pada pilihan “sangat tidak setuju” dan sebaliknya.
Dalam penelitian ini subjek akan diberikan skala yang terdiri dari tiga bagian, yaitu : a. Bagian pengantar, berisi tentang, tujuan dari penelitian, kerahasiaan jawaban yang diberikan oleh responden, ucapan terima kasih peneliti dan nama peneliti. b. Bagian inti, berisi dua alat ukur penelitian ini yaitu alat ukur Adversity Quotient dan intensi pulih. c. Bagian data kontrol, berisi tentang data-data subjek seperti nama, tingkatan fase, dan pendidikan.
48
3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data Metode yang akan digunakan untuk melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Skala yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua, yaitu skala adversity quotient dan intensi pulih. 1. Skala adversity quotient dalam penelitian ini disusun peneliti menggunakan skala model Likert dengan aspek-aspek yang diukur berdasarkan teori Stoltz, yaitu aspek control, origin dan ownership, reach, dan endurance yang berjumlah 50 item pernyataan yang terbagi atas 31 item favorabel dan 19 item unfovorabel. Pada skala ini subjek diharuskan memilih salah satu dari pilihan jawaban, yaitu; SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai) dan STS (Sangat Tidak Sesuai). Cara skoring dari skala Adversity Quotient ini adalah sebagai berikut : No
Jawaban
Favorable Unfavorable
1.
Sangat Sesuai (SS)
4
1
2.
Sesuai (S)
3
2
3.
Tidak Sesuai (TS)
2
3
4.
Sangat Tidak Sesuai (STS)
1
4
Tabel 3.1 Distribusi skor
49
Tabel 3.2 Blue Print Skala Try Out Adversity Quotient Variabel
Indikator
Favorabel
Unfavorabel
Total
Control
1*,3,4,7,8,10,11,14*
2,5,6,9,12*,13
14
Adversity
Origin and
15*,16,18*,21,22*,
17, 19*, 20*
12
Quotient
Ownership
23*,24*,25,26*
Reach
27*, 30, 32*, 33*
28, 29*, 31*, 34
8
Endurance
35*,37,38*,39,41*,43*, 36,40,42,44*,46,48*
16
45,47,49,50 Total
50
Item Tidak Valid (*)
Dari tabel 3.2 dapat kita lihat bahwa ada 28 item yang valid, yang terbagi dalam item Control 11 item, Origin and Ownership 4 item, Reach 3 item, dan Endurance 10 item.
2. Skala intensi pulih Berdasarkan teori intensi Fishben dan Ajzen (1975), maka dibuat juga skala untuk melihat faktor penentu intensi, yaitu (1) Skala sikap, (2) Skala norma subjektif, dan (3) Skala Kontrol Perilaku yang Dipersepsi dengan menggunakan skala model Likert yang terdiri dari 37 item. Pada skala ini subjek diharuskan memilih salah satu dari pilihan jawaban, yaitu; SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju).
50
Tabel 3.3 Blue Print Skala Try Out Intensi Pulih Aspek Attitude
Indikator
Item
Total
Behavioral belief
1, 2, 3, 4, 5*
5
6*, 7*, 8, 9, 10*
5
Normative Belief
11, 12, 13, 14, 15*
5
Motivation to comply
16, 17, 18, 19*, 20
5
21, 22, 23*, 24*, 25*, 26*, 27*, 28,
17
towards the behavior
Out come evaluations
Subjektif Norm
PBC
Belief about ease or difficulty of control behavior
29*, 30, 31*, 32*, 33, 34*, 35, 36*, 37 Total
37
Item Tidak Valid (*)
Dari tabel 3.4 dapat kita lihat bahwa ada 21 item yang valid, yang terbagi dalam Behavioral belief 4 item, Out come evaluations 2 item, Normative Belief 4 item, Motivation to comply 4 item, dan Belief about ease or difficulty of control behavior 7 item.
3. 5. Uji Instrumen Penelitian Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan uji instrumen dengan 87 item dari 2 skala yaitu skala Adversity Quotient sebanyak 50 item dan Intensi Pulih
51
sebanyak 37 item. Uji instrumen diberikan kepada 31 residen BNN yang berada di program Primary House. Uji instrumen ini dilakukan dengan maksud : a. Mengetahui validitas instrumen di mana skor tiap item dikorelasikan dengan skor total. b. Mengetahui tingkat reliabilitas instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat reliabilitas skala tersebut.
3. 5. 1. Uji Validitas Anastasi memberikan definisi bahwa suatu tes dikatakan valid bila tes itu mengukur apa yang hendak diukur (Anasatasi dan urbina,1997).
3.5.1.1 Validitas Adversity Quotient Dari tabel skala Adversity Quotient dapat kita lihat bahwa ada 28 item yang valid, yang terbagi dalam item Control 11 item, Origin and Ownership 4 item, Reach 3 item, dan Endurance 10 item.
3.5.1.2 Validitas Intensi Pulih Dari tabel skala intensi pulih dapat kita lihat bahwa ada 21 item yang valid, yang terbagi dalam Behavioral belief 4 item, Out come evaluations 2 item, Normative Belief 4 item, Motivation to comply 4 item, dan Belief about ease or difficulty of control behavior 7 item.
52
3. 5. 2. Uji Reliabilitas Anastasi dan Urbina (1997) memberikan pengertian bahwa suatu tes adalah reliabel apabila tes tersebut mampu memberikan hasil yang konsisten meskipun tes tersebut diberikan dan diskor oleh penilai yang berbeda, atau diberikan pada waktu yang berlainan, atau menggunakan bentuk paralel dari tes tersebut. Reliabililitas adalah kemantapan, konsistensi, prekditabilitas/keteramalan, dan kejituan/ketepatan alias akurasi. (Kerlinger, 2006). Uji reliabilitas dilakukan pada 31 orang Residen Primary House. Uji reliabilitas kedua skala ini menggunakan uji Statistic Alpha Cronbach dengan menggunakan SPSS versi 11.5. hasil uji reliabilitas skala Adversity Quotient dan skala Intensi Pulih adalah sebagai berikut: 1. Nilai reliabilitas skala Adversity Quotient dengan 28 item yang valid adalah sebesar 0,784. Oleh karena itu, skala Adversity Quotient ini dapat dikatakan reliabel dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian. 2. Nilai reliabilitas skala Intensi Pulih dengan 21 item yang valid adalah sebesar 0,827. oleh karena itu, skala Intensi Pulih ini dapat dikatakan reliabel dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian. Hal ini berdasarkan norma reliabilitas yang dikemukakan Guilford seperti dikutip oleh Hasan (2002) dalam tabel berikut ini:
53
Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas Kriteria
Koefisien Reliabilitas
Sangat Reliabel
> 0,9
Reliabel
0,7 – 0,9
Cukup Reliabel
0,4 – 0,7
Kurang Reliabel
0,2 – 0,4
Tidak Reliabel
< 0,2
3. 6. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara adversity quotient dengan intensi untuk pulih adalah menggunakan analisi regresi. Analisis regresi adalah suatu analisis yang mengukur pengaruh variabel bebas terhadap varibel terikat. Jika pengukuran pengaruh ini melibatkan satu variabel bebas (Adversity Quotient) dan variabel terikat (Intensi pulih), dinamakna analisis regresi linear sederhana. (Sunyoto, 2008).
3.7 Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini peneliti mencoba merencanakan langkah-langkah yang diharapkan dapat menunjang kelancaran penelitian, langkah-langkah tersebut sebagai berikut : 1. Persiapan Penelitian -
Dimulai dengan perumusan masalah dan pembatasan masalah.
54
-
Menentukan variabel-variabel yang akan diteliti.
-
Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan teori yang tepat.
-
Menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu skala Adversity Quotient dan Intensi Pulih yang dirancang berupa skala Likert.
2. Tahap Uji Coba Peneliti melakukan uji coba alat ukur kedua skala pada tanggal 28 April 2010 pada 31 residen yang berada di program Primary House. Tahap Pengambilan Data -
Menentukan jumlah sampel penelitian.
-
Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta kesediaan responden untuk mengisi skala penelitian.
-
Memberikan alat ukur yag telah disiapkan kepada responden.
3. Tahap Field Study Skala adversity quotient dan skala intensi pulih terdiri dari 49 item pernyataan. Selanjutnya skala ini diberikan kepada 58 residen Primary House dengan tingkat fase younger 20 orang, fase middle 31 orang dan fase older 7 orang. Pada tanggal 5 Mei 2010.
55
4. Penutup Akhir dari penelitian ini adalah membuat kesimpulan dari apa yang didapat pada hasil penelitian serta membuat saran bagaimana layaknya penelitian ini untuk dijadikan rujukan penelitian lanjutan. 5. Tahap Pengolahan Data -
Melakukan skoring terhadap hasil skala yang telah diisi oleh responden.
-
Analisis data menggunakan teknik statistik.
-
Melakukan Interpretasi dan membahas hasil yang didapat, serta membuat kesimpulan dan laporan akhir penelitian.
56
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Subjek Penelitian
Berikut ini akan disajikan gambaran umum subjek dalam penelitian yang berjumlah 58 orang berdasarkan tingkatan fase dan pendidikan.
4.1.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkatan Fase Di bawah ini dikemukakan gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkatan fase: Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Tingkatan Fase Tingkatan Fase
Frekuensi
Persentase
Younger
20
34,5 %
Middle
31
53,44 %
Older
7
12,1 %
Jumlah
58
100 %
Berdasarkan tabel di atas maka diketahui bahwa subjek dalam penelitian sebanyak 20 orang dengan persentase 34,5 % adalah fase younger. 31 orang dengan persentase 53,44 % adalah fase middle dan 7 orang dengan persentase 12,1 % adalah fase older.
57
4.1.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Di bawah ini dikemukakan gambaran subjek penelitian berdasarkan latar belakang pendidikan: Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Pendidikan
Frekuensi
Persentase
SD
2
3,44 %
SMP
7
12,1 %
SMA
35
60,34 %
D3
3
5,17 %
S1
9
15,51 %
S2
2
3,44 %
Jumlah
58
100 %
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebanyak 2 orang dengan persentase sebesar 3,44% subjek berlatar belakang pendidikan SD. Sebanyak 7 orang atau 12,1 % berpendidikan SMP. Sebanyak 35 orang dengan persentase 60,34 % berpendidikan SMA. Sebanyak 3 orang dengan persentase 5,17 % berpendidikan D3. Sebanyak 9 orang dengan persentase 15,51 % berpendidikan S1. Dan sebanyak 2 orang dengan persentase 3,44 % berpendidikan S2.
58
4.2 Kategorisasi Berdasarkan Penyebaran Skor Responden Dibawah ini akan dipaparkan penyebaran skor responden berdasarkan hasil perhitungan dari masing-masing skala yaitu skala Adversity Quotient dan Intensi Pulih.
4.2.1. Kategorisasi Adversity Quotient dan Intensi Pulih Skala Adversity Quotient terdiri dari 28 item dengan empat alternatif jawaban yang diberi skor 1 sampai dengan 4. Dengan demikian, skor yang mungkin diperoleh tiap subjek berkisar dari 28 sampai 112. Pada skala Adversity Quotient ini peneliti akan menggunakan tipe orang menurut Stoltz (2007), yaitu tipe Campers ((mereka yang berkemah), atau puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri. Mereka cenderung bersembunyi dari situasi yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman. Para campers mengambil jalan yang aman dan resiko yang kecil. Motivasi mereka dalam suatu perubahan adalah rasa takut dan kenyamanan, sehingga mereka mempunyai kemampuan terbatas terhadap perubahan itu sendiri, terutama perubahan besar. Bahasa yang digunakan oleh mereka adalah “kita hanya perlu sampai disini”. Mereka tidak memanfaatkan potensinya secara maksimal. Mereka mempunyai ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan menemukan alasanalasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Mereka mempunyai keyakinan bahwa setelah beberapa tahun atau setelah melakukan sejumlah usaha, hidup seharusnya
59
relatif bebas dari kesulitan. Maka peneliti membuat tiga kategori tipe Campers menjadi; tinggi, sedang, dan rendah seperti pada tabel berikut di bawah ini: Norma kategorisasi yang dapat digunakan adalah : X < M – 1SD
kategori rendah
(M – 1SD) ≤ X < (M + 1SD)
kategori sedang
(M + 1SD) ≤ X
kategori tinggi
Keterangan : X = skor responden M = Mean/rerata SD = Standar Deviasi Dengan nilai M = 80,6 dan SD = 8,51 akan diperoleh kategori-kategori yang digunakan sebagai berikut : Tabel 4.3 Kategorisasi Adversity Quotient Interval
Kategori
X < 72
Rendah
72 ≤ X < 89
Sedang
89 ≤ X
Tinggi
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Adversity Quotient Kategori
Frekuensi
Persentase
Rendah
9
15,52 %
Sedang
39
67,24 %
Tinggi
10
17,24 %
Jumlah
58
100 %
60
Dari persebaran di atas dapat kita lihat bahwa dari 58 orang responden, 9 orang (15,52 %) memiliki tingkat AQ rendah sedangkan 39 orang lainnya (67,24 %) memiliki tingkat AQ sedang dan sebanyak 10 orang (17,24 %) memiliki tingkat AQ tinggi. Dapat disimpulkan bahwa advesity quotient residen BNN berada pada kategori sedang bagi mantan pengguna narkoba. Mereka termasuk ke dalam tipe Campers tinggi, sedang dan rendah. Adapun skala intensi pulih terdiri dari 21 item dengan empat alternatif jawaban yang diberi skor 1 sampai dengan 4. Dengan demikian, skor yang mungkin diperoleh tiap subjek berkisar dari 21 sampai 84. Tabel 4.5 Kategorisasi Intensi Pulih Interval
Kategori
X < 60
Rendah
67 ≤ X < 77
Sedang
77 ≤ X
Tinggi
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Intensi Pulih Interval
Frekuensi
%
Rendah
7
12,1%
Sedang
39
67,2%
Tinggi
12
20,7%
Jumlah
58
100%
61
Dari persebaran di atas dapat kita lihat bahwa dari 58 orang responden, 7 orang (12,1%) memiliki intensi pulih rendah sedangkan 39 orang lainnya (67,2 %) memiliki intensi pulih sedang dan sebanyak 12 orang (20,7 %) memiliki intensi pulih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa intensi pulih dari ketergantungan narkoba pada residen BNN berada pada kategori sedang.
4.3. Deskripsi Statistik 4.3.1. Uji Persyaratan Uji persyaratan adalah syarat untuk melakukan analisis lebih lanjut dalam mengolah data. Uji persyaratan yang dilakukan disini adalah uji normalitas dengan menggunakan bantuan SPSS versi 11.5.
4.3.2. Uji Normalitas Adapun uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji Shapiro-Wilk untuk menguji kebaikan kesesuaian (goodness of fit) dikarenakan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini kurang dari 100 orang (Kuncono, 2005). Pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas dengan α = 0,05 : Jika Probabilitas > 0,05 , maka distribusi data tersebar secara normal Jika Probabilitas < 0,05 , maka distribusi data tidak tersebar secara normal
62
Tabel 4.7 Uji Normalitas Shapiro-Wilk Statistic df Sig. AQ .971 58 .176 Intensi Pulih .982 58 .531 Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 11.5 diperoleh hasil uji normalitas data pada skala Adversity Quotient, diperoleh angka probabilitas sebesar 0,176 dengan menggunakan taraf signifikansi 5%, maka dapat diketahui bahwa nilai probabilitas 0,176 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Pada skala Intensi pulih yang berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 11.5 diperoleh hasil uji normalitas diperoleh angka probabilitas sebesar 0,531 dengan menggunakan taraf signifikansi 5%, maka dapat diketahui bahwa nilai probabilitas 0,531 > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal.
4.3.3 Uji Hipotesis Untuk menguji hipotesis, maka peneliti melakukan uji korelasi menggunakan Pearson dengan bantuan SPSS 11.5. dari hasil uji korelasi antar dua variabel ini, didapatkan hasil:
63
Tabel 4.8 Uji Correlations AQ AQ
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
INTENSI
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
INTENSI 1
.065
.
.629
58
58
.065
1
.629
.
58
58
Dari hasil penelitian didapat probabilitas sebesar 0,065 pada taraf signifikansi 5% maka P>0,05 yang berarti bahwa Ho yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan Intensi Pulih pada Residen BNN Diterima. Dan Ha yang berbunyi, terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan Intensi Pulih pada Residen BNN Ditolak. Artinya hubungan kedua variable tidak signifikan.
4.3.4. Uji Regresi Berdasarkan uji regresi yang dilakukan melalui program SPSS versi 11.5 diperoleh data sebagai berikut: Tabel 4.9 Anova
Model 1
Sum of Squares 12,387
df 1
Mean Square 12,387
Residual
2934,458
56
52,401
Total
2946,845
57
Regression
F ,236
Sig. ,629(a)
64
Tabel 4.10 Uji Regresi
R
,065
R Square
Adjusted R Square
,004
-,014
Std. Error of the Estimate
7,23886
Change Statistics R Square Change ,004
F Change ,236
df1 1
df2 56
Sig. F Change ,629
Dari data tersebut didapatkan hasil sebagai berikut; R2 = 0,004x100 = 0,4 % artinya varians dari intensi yg dipengaruhui oleh Adversity Quotient hanya sebesar 0,4 %. Dan sig = 0,629, dimana P>0,05 yang artinya Ho diterima, jadi kesimpulannya adalah tidak ada pengaruh yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Intensi Pulih pada Residen BNN.
65
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan intensi pulih dari ketergantungan NAPZA pada residen BNN. Hasil ini didukung juga oleh uji regresi yang telah dilakukan bahwa Intensi Pulih yang dipengaruhui oleh Adversity Quotient hanya sebesar 0,4 % yang berarti Adversity Quotient hanya memberikan pengaruh 0,4 %.
5.2 Diskusi Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini menggugurkan asumsi awal dari peneliti berdasarkan teori yang ada, yaitu residen yang memiliki adversity quotient tinggi, maka intensi pulihnya juga tinggi. Namun dari hasil penelitian ini didapatkan hasil bahwa adversity quotient mempengaruhi intensi pulih residen hanya sebesar 0,4%.
Artinya pengaruh Adversity Quotient terhadap intensi pulih residen tidak signifikan. Banyak faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam mempengaruhi intensi pulih residen, diantaranya mungkin motivasi, penerimaan diri atau banyak hal-hal lain yang
66
tidak ikut diteliti dalam penelitian ini. Selain itu juga mungkin dikarena keterbatasan jumlah item dan terbatasnya waktu residen ketika mengisi skala.
Selain itu banyak faktor yang dapat mempengaruhi intensi pulih residen, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh oleh Firdaus (2008) menunjukkan bahwa remaja Warga binaan Sosial (WBS) yang tidak dijenguk keluarga lebih tinggi motivasi untuk sembuhnya jika dibandingkan remaja Warga Binaan Sosial (WBS) yang dijenguk keluarga.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Firdaus (2009) juga menyebutkan bahwa intensi pulih seseorang dari ketergantungan NAPZA salah satunya adalah dipengaruhui oleh kecemasan menghadapi masa depan dengan motivasi untuk pulih. Semakin tinggi kecemasan menghadapi masa depan, maka semakin tinggi pula motivasi untuk pulih pada remaja pengguna narkoba yang sedang menjalani proses rehabilitasi dipanti Sosial Parmadi Putra (PSPP) Khusnul Khotimah.
Menurut Hurlock (1996) (dalam Harningsih, 2008) penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik pribadinya dan mempunyai kemauan untuk hidup dengan keadaan tersebut, hal ini berarti individu tersebut memiliki pengetahuan tentang dirinya sehingga menerima kelebihan dan kelemahannya. Residen yang mampu menerima keadaan diri dan mampu menyesuaikan diri adalah residen yang mampu mengendalikan emosi dan mempunyai
67
motivasi dalam dirinya sehingga mengusahakan tindakan nyata untuk menjalani program-program yang ada di BNN dan melewatinya karena menyadari bahwa yang dilakukan akan bermanfaat bagi dirinya sendiri dikemudian hari untuk berhenti menggunakan drugs.
5.3 Saran Berdasarkan penulisan penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan di dalamnya.Untuk itu, dari peneliti ada beberapa saran untuk bahan pertimbangan sebagai penyempurnaan peneliti selanjutnya yang terkait dengan penelitian serupa, yaitu berupa saran teoritis dan saran praktis.
Saran teoritis: 1. Perlu dilakukannya penelitian lanjutan untuk mengungkap faktor-faktor apa saja yang berada diantara adversity quotient dengan intensi pulih yang dapat secara langsung mempengaruhi intensi pulih residen. 2. Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan di panti rehabilitasi yang sama atau yang lain sekiranya dapat memperhatikan faktor waktu. Sebaiknya pengambilan data dilakukan pada saat subjek masih dalam keadaan fresh atau tidak dalam keadaan lelah karena kegiatan program, sehingga diharapkan data yang diperoleh dari subjek merupakan sesuatu yang benar-benar dirasakannya.
68
Saran praktis: 1. Bagi residen agar tidak terlalu fokus dengan program-program yang berat yang ada di BNN, ubahlah fokus pada rencana dan tindakan untuk memperbaiki keadaan setelah keluar dari BNN. 2. Bagi residen maksimalkanlah potensi yang dimiliki dan jangan pernah menyia-nyiakannya. 3. Bagi residen jangan larut dalam masa lalu dalam kesalahan yang sudah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ajzen, Icek. (1991). Attitudes, Personality and Behavior. British: Open University Press. Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing. 7th ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Balai Pengobatan Sehat. 2010.
Badan Narkotika Nasional RI bekerjasama dengan Departemen Sosial RI. (2004). Metode Therapeutic Community. Jakarta.
Davison, Gerald C., John M. Neale, Ann M. Kring (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Fishben, Martin., Ajzen, Icek. (1975). Belife, Attitude, Intention and Behavior. Canada: Addison-Wesley Publishing Company.
Ginanjar, Ary Agustian. (2004). ESQ: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual. Jakarta: Arga.
69
Hasan, M., Iqbal. (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hawari, Dadang. (1997). Al-qur’an : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta : PT. Dana bhakti Prima Yasa.
Hawari, Dadang. (2002). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA(Narkotika, Alkohol & Zat Adiktif). Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.(2002). Jakarta: Pustaka Amani.
Kaplan, Harold L, MD. Sadock, Benjamin J, MD. Grebb, Jack A, MD. (1997). Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara.
Kerlinger, F.N. (2006). Asas-asas penelitian behavioral. (cet ke-11). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kuncono. (2005). Aplikasi Komputer Psikologi: Diktat Kuliah dan Panduan Praktikum (edisi ll). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia.
Ma’sum, Sumarmo. (1987). Penangulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat. Jakarta : CV Haji Masagung.
70
Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus,. Beverly Greene (2005). Psikologi Abnormal jilid 2. Jakarta: Erlangga. Sevilla, Consuelo G, Ochave, Jesus A, Punsalan, Twila G, Regala, Bella P, Uriate, Gabriel G. (1993). Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI-Press. Smet, Bart. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Stoltz, Paul G.(2007). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT Grasindo.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sunyoto, Danang. (2009). Analisis Regresi dan Uji Hipotesis. Yogyakarta: MedPress.
Hasil Penelitian Yang Tidak Dipublikasikan:
Firdaus, Yuri. (2008). Perbedaan Motivasi Untuk Sembuh Pada Remaja Pecandu Narkoba Yang Tidak Pernah Dijenguk Dan Yang Dijenguk Keluarga.
Firdaus, Iman Ramadhani. (2009). Hubungan Antara Kecemasan Menghadapi Masa Depan Dengan Motivasi Untuk Sembuh Pada Remaja Pengguna Narkoba.
71
Internet:
Badan Narkotika Nasional bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. Laporan survei penyalahgunaan narkoba di indonesia: Studi Kerugian Ekonomi dan Sosial Akibat Narkoba, tahun 2008. http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=HasilPenelitian&op =detail_hasil_penelitian&id=18&mn=2&smn=e. Diakses tanggal 23 Maret 2010.
Harningsih, Tri. (2008). Kecerdasan Emosi dan penerimaan Diri pada Korban Narkoba
di
Lembaga
Pemasyarakatan.
Surakarta.
http://etd.eprints.ums.ac.id8551F100040160.pdf. Diakses tanggal 17 Mei 2010.
Republika
Online.
(2008).
Kliping
Penyalahgunaan
Narkoba.
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=324888&kat_id=20. Diakses tanggal 23 Maret 2010. Willis, Sofyan S. (2005). Remaja dan Masalahnya. Bandung : Alfabeta http://www.sadarnarkoba.com/?p=65. Diakses tanggal 23 Maret 2010.
72