P U T U S A N No. 03 K/KPPU/ 2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara : KOMISI
PENGAWAS
PERSAINGAN
USAHA
REPUBLIK
INDONESIA, berkedudukan di Jalan Ir.H.Juanda No.36, Jakarta Pusat, yang diwakili oleh : Dr. SYAMSUL MAARIF, SH.,LLM., Ketua KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA, dan dalam hal ini memberi kuasa kepada R.KURNIA SYA’RANIE, SH., MH., Direktur Penegakan Hukum pada Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan kawan-kawan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 13 April 2006, Pemohon Kasasi dahulu Termohon ; melawan: 1. PT. SURVEYOR INDONESIA (PERSERO) , berkedudukan di Graha Surveyor Indonesia Lt.4-11, Jalan Jend.Gatot Subroto, Kav.56, Jakarta, 2. PT.
(PERSERO)
SUPERINTENDING
COMPANY
OF
INDONESIA , berkedudukan di Graha Sucofindo, Jalan Raya Pasar Minggu Kav.34, Jakarta, dan dalam hal ini keduanya memberi kuasa kepada Prof.Dr.MARIAM DARUS, SH., Advokat, dan kawan-kawan, berkantor di Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 8 Wing B, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 12 Mei 2006, para Termohon Kasasi dahulu para Pemohon I dan II ; Mahkamah Agung tersebut ; Membaca surat-surat yang bersangkutan ; Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang para Termohon Kasasi
dahulu
sebagai para Pemohon I dan II telah
mengajukan keberatan terhadap putusan Pemohon Kasasi dahulu sebagai Termohon di
muka
persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada
pokoknya atas dalil-dalil :
Hal. 1 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
bahwa pada tanggal 30 Desember 2005, KPPU/Termohon telah menjatuhkan Putusan No. 08/KPPU-I/2005 dengan diktum sebagai berikut : 1. Menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ; 2. Menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 17 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ; 3. Menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ; 4. Memerintahkan kepada Terlapor I dan Terlapor II untuk membatalkan Kesepakatan Kerjasama antara PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT Superintending Company of Indonesia (Persero) mengenai Pelaksanaan Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Gula No. MOU-01/SP-DRU/IX/2004. B05.1/DRU-IX/SPMM/2004 tanggal 24 September 2004 dan menghentikan seluruh kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor guIa melalui KSO selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan ini ; 5. Memerintahkan kepada Terlapor I dan Terlapor II untuk membayar denda masing-masing sebesar Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) dan disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Jakarta I beralamat di Jalan Ir. H. Juanda Nomor 19 melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 dan harus dibayar lunas paling lambat dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya pemberitahuan putusan ini ; 6. Memerintahkan kepada Terlapor I dan Terlapor II untuk tidak menunjuk SGS Jenewa maupun perwakilan atau anak perusahaan SGS Geneva di negara lain sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor guIa di negara asal barang dalam kaitannya dengan proses verifikasi impor gula selama 1 (satu) tahun terhitung sejak diterimanya pemberitahuan Putusan ini ; 7. Memerintahkan kepada Terlapor I dan Terlapor II untuk menerapkan praktek persaingan usaha sehat dalam penentuan afiliasi di luar negeri dalam pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula terhitung sejak
Hal. 2 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
diterimanya pemberitahuan Putusan ini ; 8. Memerintahkan kepada Terlapor I dan Terlapor II untuk tidak memungut biaya jasa verifikasi impor gula dari Importir Gula sebelum pungutan tersebut mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhitung sejak diterimanya pemberitahuan Putusan ini ; Adapun dasar-dasar Keberatan dalam Permohonan ini dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. KEBERATAN MEMENUHI SYARAT FORMIL YANG DITENTUKAN OLEH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Para Terlapor/Para Pemohon menjelaskan bahwa Keberatan yang diajukan dalam kasus ini telah memenuhi syarat-syarat formil yang ditentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1.1 Keberatan Didasarkan Atas Hak Yang Ditentukan Pasal 44 Ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Jo. Pasal 1 Ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005. Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut : "Pelaku Usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya
14
(empat
belas)
hari
setelah
menerima
pemberitahuan Putusan tersebut ". Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005 (Bukti P-1) berbunyi sebagai berikut : "Keberatan adalah upaya hukum bagi Pelaku Usaha yang tidak menerima Putusan KPPU". Dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang disebut di atas, Pelaku Usaha yang didudukkan sebagai Terlapor dalam Putusan KPPU dapat dan berhak mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU apabila Terlapor tidak menyetujui Putusan tersebut. 1.2. Tenggang Waktu Permohonan Keberatan Yang Diajukan Memenuhi Syarat Formil Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Jo. Pasal 4 Ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005. Mengenai tenggang waktu pengajuan Keberatan diatur dalam 2 (dua) ketentuan sebagai berikut : 1) Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyebutkan : - Tenggang waktu untuk mengajukan Keberatan adalah paling lambat 14 (empat belas) hari ;
Hal. 3 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
- Cara menghitung tenggang waktu adalah 14 (empat belas) hari dari tanggal Pemberitahuan Putusan KPPU secara resmi kepada Terlapor. 2) Pasal 4 ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005 juga menegaskan : Keberatan diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari ; Perhitungan dimulai sejak Pelaku Usaha menerima pemberitahuan Putusan KPPU ; Bertitik tolak dari ketentuan tenggang waktu yang disebut di atas, in casu, pemberitahuan Putusan KPPU No. 08/KPPU-1/2005 tanggal 30 Desember 2005 kepada Para Terlapor/Para Pemohon adalah tanggal 30 Desember 2005, sesuai dengan Berita Acara Penyerahan Petikan Putusan KPPU Perkara No. 08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 (Bukti P-2). Sedangkan Keberatan terhadap Putusan KPPU diajukan pada tanggal 13 Januari 2006, sehingga dengan demikian berdasar fakta datum yang dijelaskan di atas : -
Keberatan yang diajukan oleh Para Terlapor/Para Pemohon masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang yaitu 14 (empat belas) hari ;
- Oleh karena itu, Keberatan yang diajukan oleh Para Terlapor/Para Pemohon sah menurut hukum (Lawful) dan sesuai dengan tata tertib beracara (due process of Law). 1.3. Pengajuan Keberatan Kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sesuai Dengan Jurisdiksi Relatif Yang Ditentukan Dalam Pasal 1 Angka 19 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Jo. Pasal 2 Ayat (1) PERMA No.3 Tahun 2005. Bertitik tolak dari kedua ketentuan yang disebut diatas telah digariskan secara tegas yurisdiksi/kompetensi relatif Pengadilan Negeri yang berwenang menerima dan memeriksa keberatan terhadap putusan KPPU yakni Pengadilan Negeri ditempat kedudukan hukum Pelaku usaha. In casu para Terlapor/para Pemohon berkedudukan atau beralamat di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan
demikian,
pengajuan
Keberatan
yang
dilakukan
para
Terlapor/para Pemohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memenuhi ketentuan Yurisdiksi Relatif yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Permohonan Keberatan ini sah
Hal. 4 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
(Lawful) dan sesuai dengan tata tertib beracara (due process of Law).
2. PUTUSAN KPPU NO.08/KPPU-I/2005 TANGGAL 30 DESEMBER 2005 MELANGGAR PASAL 50 huruf a UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1999. Menurut pertimbangan dan kesimpulan serta diktum Putusan KPPU tersebut, para Terlapor/para Pemohon telah melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Atas pertimbangan dan kesimpulan serta diktum Putusan KPPU tersebut, para Terlapor/para Pemohon menganggap hal itu salah (wrong) dan keliru (mistake) dengan alasan Putusan KPPU tersebut telah melanggar (breach) dan bertentangan (contrary) dengan ketentuan Pasal 50 huruf a UndangUndang No.5 Tahun 1999, karena tindakan dan kewenangan melakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang dilaksanakan oleh para Terlapor/para Pemohon semata-mata untuk : -
Memenuhi perintah ketentuan peraturan perundang-undangan (to fullfil statutory order) ;
-
Perintah itu dilaksanakan para Terlapor/para Pemohon dalam rangka mengawasi penertiban Tata Niaga Impor Gula demi kepentingan umum sesuai dengan Kep.Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula ;
-
Dengan demikian, tindakan melakukan verifikasi atau penelurusan teknis impor gula yang dilakukan oleh para Terlapor/para Pemohon berada dalam kerangka melaksanakan kebijakan publik (Public Policy) yang didelegasikan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan kepada para
Terlapor/para
Pemohon
berdasar Kep.Menperindag
No.527/
MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 dan Kep.Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004. 2.1. Pengertian Peraturan Perundang-undangan, Diatur Dalam Pasal 7 Ayat (1) Jo Pasal 7 Ayat (4) Dan Penjelasan Pasal 7 Ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.10 Tahun 2004 (Bukti P-3) berbunyi sebagai berikut : "Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ;
Hal. 5 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
c. Peraturan Pemerintah ; d. Peraturan Presiden ; e. Peraturan Daerah" Demikian hirarki peraturan perundang-undangan an sich berdasar Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.10 Tahun 2004. Akan tetapi, apa yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut tidak bersifat final dan tidak bersifat limitatif karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004. Pasal 7 ayat (4), berbunyi sebagai berikut : "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi". Selanjutnya Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004, berbunyi sebagai berikut : "Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah UndangUndang..." Bertitik tolak dari Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tersebut, dengan tegas dinyatakan bahwa
Keputusan
Menteri
termasuk
dalam
kategori
peraturan
perundang-undangan. Oleh karena Kep.Menperindag No. 527/MPP/ Kep/9/2004 dan Kep.Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 termasuk peraturan perundang-undangan yang sah dan mengikat, maka tindakan, tugas dan kewenangan yang dilimpahkan atau diberikan berdasarkan Keputusan Menteri tersebut kepada para Terlapor/para Pemohon termasuk dalam lingkup yang ditentukan Pasal 50 huruf a UndangUndang No.5 Tahun 1999. Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut :
Hal. 6 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang ini adalah : a. Perbuatan dan atau Perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku ;..." 2.2.Kep.Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 Dan Kep.Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 Merupakan Rangkaian Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur Kebijaksanaan Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan Dapat Para Terlapor/Para Pemohon jelaskan fakta dan dasar hukum yang menjelaskan bahwa Kep. Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 dan Kep.Menperindag No.594/ MPP/Kep/9/2004 yang melimpahkan pendelegasian tugas dan kewenangan publik kepada Para Terlapor/Para Pemohon melakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula di negara asal gula merupakan rentetan rangkaian yang berkesinambungan dari peraturan perundang-undangan, yang dapat dideskripsi sebagai berikut : 1) Undang-Undang No.8 Prp Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang Dalam Pengawasan (Bukti P-4), Undang-Undang ini antara lain memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengawasi barang-barang tertentu yang dapat mempengaruhi kepentingan masyarakat. 2) Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan (Bukti P-5). Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap pangan. 3) Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (Bukti P-6). Peraturan Pemerintah ini memberikan kewenangan Pemerintah untuk menjaga
kelangsungan
dan
kemampuan
masyarakat
untuk
menyediakan pangan. 4) Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang Dalam Pengawasan (Bukti P-7A), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2004 (Bukti P7B) Peraturan
Pemerintah
ini
memerintahkan
dan
memberikan
wewenang kepada Presiden untuk menetapkan komoditas apa saja yang akan ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. 5) Keputusan Presiden No. 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula sebagai Barang dalam Pengawasan (Bukti P-8) Keppres ini menetapkan secara spesifik bahwa Gula menjadi salah
Hal. 7 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
satu komoditas yang berada dalam pengawasan Pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam konsideran huruf a yang berbunyi sebagai berikut : "Bahwa gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sehingga perdagangan gula di dalam negeri menjadi kegiatan yang penting, dan oleh karenanya perlu diawasi. " Selain itu, Pasal 2 Keppres ini juga menegaskan : "Gula ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.8 Prp Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang dalam Pengawasan. " Pasal 3 menegaskan hal sebagai berikut : "Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan perdagangan gula diatur oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan". Bertitik tolak dari rangkaian ketentuan tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa Keppres ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari ketentuan peraturan
perundang-undangan di
atasnya. 6) Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2004 tentang Penanganan Gula yang Diimpor secara Tidak Sah (Bukti P-9) Dalam Keppres ini, terdapat 2 hal yang sangat fundamental hal itu diatur dalam Pasal 2 Keppres ini mengenai pengawasan terhadap gula. Pasal 2 berbunyi sebagai berikut : (1) Gula yang ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan berdasar Keppres No. 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula sebagai Barang dalam Pengawasan, pengadaan melalui impor dibatasi. (2) Gula yang pengadaannya melalui impor tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai gula yang diimpor secara tidak sah." Kedua Keppres tersebut diatas menegaskan bahwa Impor gula harus dibatasi dan diawasi oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perindustrian dan Perdagangan sedangkan ketentuan teknisnya diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. 7)
Kep.Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004
tentang
Menperindag
Ketentuan
Impor
Gula
No.02/M/Kep/XII/2004
(Bukti
Tentang
P-10A)
Jo.Kep.
Perubahan
Atas
Hal. 8 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan No. 527/MPP/ Kep/9/2004 Tentang Ketentuan Impor Gula, Tanggal 7 Desember 2004 (Bukti P-10B). Motivasi dibuatnya Kep. Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 Jo. No. 02/M/Kep/XII/2004 adalah Pemerintah membatasi masuknya gula impor karena komoditas gula termasuk dalam kategori barang yang sensitif, dalam arti masuknya komoditas gula impor kepasar dalam negeri akan mengganggu stabilitas harga gula yang dapat merugikan para petani tebu sehingga Pemerintah memandang perlu untuk mengatur tata niaga Impor Gula. Adapun ketentuan-ketentuan pokok yang digariskan pada Kep. Menperindag tersebut antara lain sebagai berikut : -
Pembatasan jenis dan kualitas gula yang dapat diimpor ;
-
Pembatasan gula yang diimpor yang dilarang diperdagangkan di pasar dalam negeri ;
-
Persyaratan dan pembatasan Importir Gula ;
-
Kewajiban yang harus dipenuhi Importir Gula ;
-
Pemerintah
berwenang
untuk
melakukan
verifikasi
atau
penelusuran teknis impor gula. Pelaksanaannya dilakukan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Menteri. 8) Kep.Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 Tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Gula (Bukti P-11). Keputusan Menperindag ini merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang disebut diatas, khususnya Kep. Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004, yang diktumnya : "PERTAMA : menunjuk Surveyor : 1. PT. (Persero) Sucofindo. 2. PT. (Persero) Surveyor Indonesia. Sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. KEDUA : Kedua Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama mempunyai tugas : 1. melakukan verifikasi atau penelusuran teknis yang meliputi data atau keterangan mengenai : a. negara asal muat gula ;
Hal. 9 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
b. spesifikasi gula yang mencakup Nomor HS, Nilai ICUMSA dan uraian gula ; c. jumlah dan jenis gula ; d. waktu pengapalan dalam rangka penyesuaian masa berlaku persetujuan impor ; e. pelabuhan tujuan ; 2. Menuangkan hasil verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam butir 1 ke dalam Laporan Surveyor uang digunakan sebagai dokumen impor ; 3. Menyampaikan laporan tertulis tentang kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula secara periodik setiap bulan pada minggu pertama bulan berikutnya kepada Dirjen Daglu cq. Direktur Impor Departemen Perindustrian Perdagangan. KETIGA : Keterlambatan atau kesalahan lainnya dalam penerbitan Laporan Surveyor yang disebabkan oleh kelalaian surveyor baik disengaja ataupun tidak disengaja, menjadi tanggung jawab surveyor, sesuai ketentuan yang berlaku dalam organisasi Surveyor Internasional (International Federation of Inspection Agency/IFIA). KEEMPAT : Dalam melaksanakan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, Surveyor dapat memungut imbalan jasa atas jasa yang diberikan dari importir gula yang besarnya disesuaikan dengan azas manfaat. KELIMA : Segala biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan pelaksanaan Keputusan ini menjadi tanggung jawab surveyor. KEENAM : Penunjukan Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama tidak menghapus kewenangan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
untuk
mencabut,
mengganti
dan
menambah
penunjukan Surveyor sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. KETUJUH : Ketentuan teknis yang berkaitan dengan pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Hal. 10 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
KEDELAPAN : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan". 9) Keputusan Direktur Jendral Perdagangan Luar Negeri No.31/ DAGLU/KP/Xl2004 tanggal 4 Oktober 2004 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 527/MPP/Kep/9/2005 Serta Prosedur dan Tata Cara Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Gula (Bukti P-12). Berdasar fakta-fakta ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Para Terlapor/Para Pemohon dapat membuktikan bahwa tindakan, tugas dan kewenangan maupun fungsi yang diberikan Kep.Menperindag
No.594/MPP/Kep/9/2004
adalah
semata-mata
melaksanakan peraturan perundang-undangan dalam rangka fungsi pelayanan publik (public service) yang semestinya dilakukan oleh Deperindag) namun di delegasikan kepada Para Terlapor/Para Pemonon. Fakta-fakta dan dasar hukum serta ketentuan peraturan perundangundangan, gula sebagai barang dalam pengawasan yang didalamnya meliputi pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, inilah yang tidak disinggung, tidak dianalisis dan tidak dipertimbangkan secara obyektif dan argumentatif dalam Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 yang mengakibatkan Putusan tersebut secara diameteral bertentangan dengan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999. 2.3. Bahkan Setelah Putusan KPPU No.08/KPPU-I/2005 Tanggal 30 Desember 2005 Dijatuhkan, Menteri Perdagangan Berdasar Surat No.12/MDag/1/2006 Tanggal 6 Januari 2006 Masih Tetap Mempertahankan Pelimpahan Kewenangan, Tugas Dan Fungsi Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Kepada Para Terlapor/Para Pemohon. Sedemikian rupa tegasnya dan kuatnya pelimpahan kewenangan, tugas dan fungsi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang dilimpahkan atau didelegasikan oleh Menteri Perdagangan kepada Para Terlapor/Para Pemohon untuk melakukan verifikasi atau penelusuran impor gula, hal ini dipertegas lagi dalam Surat Menteri Perdagangan pada tanggal 6 Januari 2006, No.12/MDag/1/2006, perihal : Verifikasi/penelusuran Teknis Importasi Gula (Bukti P13), yang isi pokoknya berbunyi sebagai berikut : -
Para Importir Gula agar tetap tunduk dan mengikuti segala ketentuan impor gula sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 ;
-
Surveyor yang melaksanakan verifikasi dan penelusuran teknis importasi
Hal. 11 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
gula adalah PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. (Persero) Sucofindo sebagaimana telah ditunjuk berdasar Keputusan Menperindag No. 594/MPP/Kep/2004 Tentang Penunjukan Surveyor Sebagai Pelaksanaan Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Gula. Berdasar fakta diatas, benar-benar Para Terlapor/Para Pemohon melaksanakan peraturan perundang-undangan sehingga kewenangan, tugas dan fungsi verifikasi yang dilakukan Para Terlapor/Para Pemohon adalah dalam kerangka Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999, sehingga pertimbangan dan pendapat dalam Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 yang menyatakan kegiatan yang dilakukan Para Terlapor/Para Pemohon melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 adalah salah dan keliru. 3. KARENA KEWENANGAN YANG DITUGASKAN KEPADA PARA TERLAPOR/PARA KEBIJAKAN
PEMOHON PENGUASA
DALAM BERDASAR
RANGKA
MELAKSANAKAN
PERATURAN
PERUNDANG-
UNDANGAN, FUNGSI DAN TUGAS ITU SEMATA-MATA MERUPAKAN PELAYANAN PUBLIK, DAN BERADA DILUAR KEGIATAN USAHA PERDAGANGAN. Berikut ini akan dijelaskan hal-hal sebagai berikut : 3.1. Kewenangan Dan Fungsi Verifikasi Atau Penelurusan Teknis Impor Gula Yang Dilimpahkan Pemerintah Menperindag Adalah Pelayanan Publik (Public Service). Berdasar Diktum Pertama Kep. Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 telah ditentukan bahwa Para Terlapor/Para Pemohon ditunjuk sebagai pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Gula. Selanjutnya di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Kep.Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 menggariskan ketentuan sebagai berikut : (1) Setiap pelaksanaan importasi gula kristal mentah/gula kasar, gula rafinasi dan gula kristal putih oleh IP dan IT Gula wajib terlebih dahulu dilakukan
verifikasi
atau
penelusuran
tehnis
yang
mencakup
pemeriksaan : a) Dokumen perizinan dan persyaratan administratif ; b) Teknis di negara muat barang (2) Pelaksanaan
verifikasi
atau
penelusuran
tehnis
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Surveyor yang ditunjuk oleh Menteri. Berdasar fakta-fakta diatas, kewenangan dan pelimpahan tugas yang
Hal. 12 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
dipikulkan kepada Para Terlapor/Para Pemohon oleh Menperindag : - Mutlak (absolut) melaksanakan kebijakan Pemerintah/Menperindag dalam rangka mengatur, mengawasi impor gula sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ; - Kewenangan dan tugas yang dilimpahkan itu menurut hukum tata negara dan tata usaha negara (TUN) adalah melaksanakan fungsi pelayanan publik (public service) terhadap impor gula agar terlaksana kegiatan impor gula yang memenuhi perlindungan kepentingan umum tanpa mengurangi perlindungan kepentingan importir gula. 3.2. Karena Kewenangan Dan Tugas Melakukan Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Merupakan Pelayanan Publik Terhadap Impor Gula, Maka Fungsi Yang Dilakukan Oleh Para Terlapor/Para Pemohon Bukan Kegiatan Usaha Perdagangan. Seperti yang dijelaskan di atas, fungsi yang dilakukan oleh Para Terlapor/Para Pemohon adalah pelayanan publik dan bukan kegiatan usaha perdagangan, maka : - Kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis terhadap impor gula bukan merupakan jasa yang diperdagangkan di Pasar ; - Oleh karena itu, tidak ada permasalahan hukum yang menyangkut monopoli atau persaingan usaha antara Terlapor I dan Terlapor II. Yang ada dan terjadi pada diri Para Terlapor/Para Pemohon secara bersama semata-mata murni melakukan pelayanan publik dalam kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula untuk dan atas nama Pemerintah, dalam hal ini Menperindag cq. Dirjen Perdagangan Luar Negeri. 3.3. Penunjukan Para Terlapor/Para Pemohon Didasarkan Atas Pengalaman, Sumber Daya Manusia, Peralatan dan Kompetensi Yang Mereka Miliki. Pada Pasal 14 ayat (5) Kep.Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 ditentukan kualifikasi persyaratan yang ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi impor gula. Pasal tersebut berbunyi : "Untuk dapat ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis
pelaksanaan
importasi
gula,
surveyor
harus
memenuhi
persyaratan sebagai berikut : a) Berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 tahun ; dan b) Memiliki cabang atau perwakilan atau afiliasi di luar negeri. Dari ketentuan pasal di atas, dapat dijelaskan : - Penunjukan Para Terlapor/Para Pemohon berdasarkan kebutuhan
Hal. 13 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
pemerintah ; dan - Ternyata Para Terlapor/Para Pemohon telah memenuhi kualifikasi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan ; - Dengan ditunjuknya Para Terlapor/Para Pemohon berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ipso jure mereka memiliki kapasitas sebagai aparatur negara dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Menperindag. 3.4. Yang Dipikulkan Kepada Para Importir Dalam Pelayanan Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Gula Adalah Biaya Pelaksanaan Fungsi Publik Setiap kegiatan yang dilakukan pejabat TUN di lingkungan cabang pemerintahan
(government
agency)
pada
umumnya,
hukum
membenarkan pemungutan biaya resmi, contohnya : biaya pembuatan SIM, PASPOR, SERTIFIKAT, dan sebagainya. Hal itulah yang terjadi dalam kasus ini yakni biaya yang dikenakan kepada para importir gula oleh Para Terlapor/Para Pemohon melakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula dalam rangka fungsi pelayanan publik. Kebolehan memungut itu oleh Para Terlapor/Para Pemohon ditegaskan pada Pasal 14 ayat (4) Kep. Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 yang berbunyi : "Atas pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis yang dilakukannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Surveyor dapat memungut imbalan jasa yang diberikannya dari IP gula dan IT gula atau dari pemberi hibah dalam hal importasi dilaksanakan dalam rangka pemberian hibah." Selanjutnya dalam Kep. Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 diatur lagi hal tersebut dalam Diktum KEEMPAT yang berbunyi : Dalam melaksanakan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, Surveyor dapat memungut imbalan jasa atas jasa yang diberikan dari importir gula yang besarnya disesuaikan dengan asas manfaat." Kenapa kebolehan memungut biaya itu bisa terjadi ? Karena Depperindag tidak memiliki biaya yang akan dibayarkan kepada Para Terlapor/Para Pemohon, maka agar fungsi pelayanan publik berjalan sebagaimana mestinya, diaturlah suatu penggarisan kebijakan yaitu : - Yang harus memungut biaya pelaksanaan verifikasi pada prinsipnya
Hal. 14 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
adalah Depperindag cq. Dirjen Daglu, baru setelah itu diberikan kepada Para Terlapor/Para Pemohon sebagai pengganti biaya yang telah mereka keluarkan ; - Akan tetapi untuk efektifitas dan efisiensi kerja, birokrasi itu dipersingkat dengan cara yang ditentukan oleh Pasal 14 ayat (4) Kep. Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 jo. diktum KEEMPAT Kep. Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 yang melimpahkan hak pemungutan biaya tersebut langsung diberikan kepada Para Terlapor/Para Pemohon ; - Penetapan biaya yang dijadikan patokan oleh Para Terlapor/Para Pemohon didasarkan pada hasil komitmen antara Para Terlapor/Para Pemohon dengan Importir Gula/Asosiasi Industri Pengguna Gula (Bukti P-17A, P-17B, P-17C dan P-17D). Hal seperti ini dalam alam reformasi dan transparansi untuk menentukan biaya lazim dilakukan pembicaraan mengenai biaya dengan Pelaku Usaha, contohnya penetapan Tarif Angkutan Umum di Propinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan Organda. Dengan demikian, tidak terjadi Penetapan Harga (Price Fixing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas dihubungkan dengan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 bukan hanya penetapan biaya secara sepihak oleh Para Terlapor/Para Pemohon yang sah dan dibolehkan
Undang-Undang,
tetapi
menurut
penggarisan
dan
penegasan Pasal 50 huruf a Undang-Undang, dimungkinkan dan dibolehkan penetapan harga berdasar kesepakatan, sepanjang hal itu melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut : "Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang ini adalah : a. Perbuatan dan atau Perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku," Mengenai pengertian "disesuaikan dengan Asas Manfaat” berarti patokan biaya pelayanan publik yang dapat dipungut oleh Para Terlapor/Para Pemohon sebatas biaya riil yang wajar (reasonable cost). Jadi sangat keliru Putusan KPPU yang menganggap dan mempertimbangkan pembayaran biaya pelaksanaan pelayanan verifikasi
Hal. 15 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
impor gula sebagai jasa dalam dunia bisnis (commercial activities) yang berlaku di Pasar, karena kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula adalah kewenangan Pemerintah yang didelegasikan wewenangnya , kepada Para Terlapor/Para Pemohon. 4. KSO MERUPAKAN PERWUJUDAN PELAKSANA TEKNIS FUNGSI PELAYANAN VERIFIKASI IMPOR GULA YANG BERSIFAT UNIFIKASI DIANTARA TERLAPOR I DAN TERLAPOR II AGAR PELAKSANAAN KEPUTUSAN
MENPERINDAG
DAPAT
DILAKSANAKAN
SECARA
EFEKTIF DAN EFISIEN. Seperti yang telah dijelaskan berulang kali di atas, demi untuk memenuhi pelaksanaan tugas peraturan perundang-undangan, Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999, membolehkan dan membenarkan mengadakan melaksanakan
Perjanjian pelayanan
yang
bersifat
publik
kontraktual
berdasarkan
dalam
peraturan
rangka
perundang-
undangan. Oleh karena itu, KSO yang dibentuk oleh Terlapor I dan Terlapor II tidak bertentangan dengan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Memang pelaksanaan teknis terhadap impor gula yang diatur oleh Kep. Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 telah diatur lebih rinci oleh Keputusan Dirjen Daglu No.31/DAGLU/KP/X/2004, namun pelaksanaannya dilapangan akan sangat berbeda berdasarkan : - waktu pelaksanaan verifikasi ; - tempat pelaksanaan verifikasi ; dan - cara yang dilakukan oleh tiap Surveyor. Hal itupun telah disampaikan oleh Saksi I (PT Rajawali Nusantara Indonesia) dan Saksi IX (PT Pan Superintendence) sebagaimana tercantum dalam Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 angka 1.4.7. halaman 15. Sehubungan dengan itu, adalah proporsional dan rasional jika dibentuk KSO supaya tidak terjadi hal-hal yang bersifat disparitas pelayanan verifikasi impor dan jumlah biaya yang menghambat pelaksanaan fungsi pelayanan publik. Sehingga pertimbangan Putusan KPPU yang menyatakan bahwa KSO telah melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 adalah salah dan keliru yang dikategorikan salah dalam menerapkan hukum. 4.1. Para Terlapor/Para Pemohon, Dalam Pelayanan Verifikasi Impor Gula Bukan Pelaku Usaha, Namun Menjalankan Fungsi Pemerintah Dalam Pelayanan Publik.
Hal. 16 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Bertitik tolak dari penegasan tersebut di atas, KSO yang dibuat Para Terlapor/Para Pemohon selain tidak bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 juga tidak bertentangan dengan Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999, karena : - Undang-Undang
No.5
Tahun
1999
memperbolehkan
Para
Terlapor/Para Pemohon membuat Perjanjian KSO sepanjang melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 jo. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999) ; - Kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis, khusus impor gula, bukan jasa yang termasuk dalam kegiatan yang dilakukan Pelaku Usaha di Pasar tetapi semata-mata melaksanakan peraturan perundang-undangan sehingga tidak dapat dikualifikasi sebagai tindakan monopoli, oleh karena itu tindakan verifikasi impor gula yang dilakukan oleh Para Terlapor/Para Pemohon berdasar KSO tidak bertentangan dengan Pasal 17 Undang-Undang No.5 Tahun 1999, karena termasuk hal yang dikecualikan dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ; - Dalam menjalankan tugas verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, Para Terlapor/Para Pemohon bukan Pelaku Usaha yang bersaing baik diantara diri mereka maupun dengan Pelaku Usaha lain, karena status hukum mereka semata-mata melaksanakan peraturan perundang-undangan berdasarkan penunjukan dalam Kep.Menperindag
No.594/MPP/Kep/9/2004,
sehingga
tindakan
mereka yang membuat KSO tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menghalangi persaingan usaha sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang No.5 Tahun 1999. 4.2. Kedua Keputusan Menperindag Tersebut Tidak Melarang Dibentuk-nya KSO Oleh Terlapor I Dan Terlapor II. Didalam kedua Keputusan Menperindag tersebut, tidak ada suatu larangan yang tegas bagi Para Terlapor/Para Pemohon yang ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi impor gula untuk membentuk KSO. Ditinjau dari segi doktrin hukum (legal doctrin approach) maupun penafsiran a contrario (a contrario interpretation approach), apa yang tidak dilarang secara tegas oleh ketentuan peraturan perundangundangan memberikan hak diskresi (discretion right) untuk mengatur
Hal. 17 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
kebijakan sendiri sepanjang hal itu memberikan manfaat dalam pelaksanaan tugas dan pelayanan kepada masyarakat. 4.3.Pembentukan
KSO
Tidak
Dilarang
Oleh
Pemberi
Tugas
Dan
Wewenang. Sesuai dengan ketentuan angka 3 Diktum KEDUA Kep.Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004, Para Terlapor/Para Pemohon diwajibkan untuk menyampaikan Laporan Tertulis tentang kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula secara periodik setiap bulan kepada Dirjen Daglu cq. Direktur Impor Depperindag. Ternyata berdasarkan laporan rutin bulanan yang disampaikan kepada Depperindag sejak bulan Desember 2004 sampai dengan Desember 2005 tersebut, dilakukan oleh Para Terlapor/Para Pemohon secara bersama dengan identitas atas nama KSO (Bukti P-14A, P-14B dan P-14C). Meskipun laporan rutin bulanan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang disampaikan kepada Dirjen Daglu tersebut : 1) Jelas-jelas identitasnya KSO bukan masing-masing Terlapor I dan Terlapor II ; dan 2) Pada alinea ke 3 (tiga) Ringkasan Eksekutif Laporan telah memberitahukan bahwa kedua perusahaan (Para Terlapor/Para Pemohon) telah membentuk Kerjasama Operasi (KSO) untuk melaksanakan kegiatan verifikasi dimaksud. Ternyata Pihak pemberi tugas dan wewenang (dalam hal ini Pemerintah cq. Depperindag) tidak melarang atau menolak laporan dari KSO tersebut. 4.4.Berdasar Surat Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Tanggal 16 Desember 2005 No. 1692/M-DAG/12/2005, Pada Tembusan Angka 8 Diakui Secara Tegas Eksistensi Dan Validitas KSO Surat Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan pada tanggal 16 Desember 2005 No. 1692/M-DAG/ 12/2005, yang ditujukan kepada Associate Director PT. Jawamanis Rafinasi (Bukti P-15) isi pokoknya, antara lain : - Kepada PT.Jawamanis Rafinasi dapat disetujui melakukan verifikasi oleh surveyor di pelabuhan tujuan untuk satu kali saja ; - Untuk selanjutnya sesuai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 pemeriksaan gula harus dilakukan di negara muat gula. Pada tembusan angka 8 Surat tersebut ditujukan juga kepada KSO
Hal. 18 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Sucofindo-Surveyor Indonesia, yang berbunyi : "8. KSO Sucofindo -Surveyor Indonesia" Berdasar fakta tembusan angka 8 surat dimaksud, Pemerintah dalam hal ini Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri cq Departemen Perdagangan secara tegas (expressis verbis) dan administratif telah mengakui dan tidak melarang eksistensi dan validitas dari KSO Sucofindo -Surveyor Indonesia. Dengan demikian, KSO tersebut tidak melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 karena pembentukan KSO antara Terlapor I dan Terlapor II dalam kerangka
melaksanakan
tugas
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana disebut dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999. 5. DIKTUM 8 PUTUSAN KPPU ADALAH SUATU PUTUSAN YANG BERSIFAT ULTRA VIRES. Bahwa Para Terlapor/Para Pemohon keberatan atas Diktum 8 Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 yang berbunyi sebagai berikut : Memerintahkan kepada Terlapor I dan Terlapor II untuk tidak memungut biaya jasa verifikasi impor gula dari Importir gula sebelum pungutan tersebut mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhitung sejak diterimanya pemberitahuan Putusan ini. Diktum tersebut ultra vires karena KPPU mengeluarkan perintah .yang melampaui batas kewenangannya (beyond his authority), berdasar alasan keberatan sebagai berikut : 5.1.Berdasarkan Pasal 36 Huruf L Jo. Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999, KPPU Hanya Diberikan Wewenang Secara Limitatif (Restrictive) Untuk Menjatuhkan Sanksi Administratif. Pasal 36 huruf I Undang-undang No.5 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut : " Wewenang Komisi meliputi : I. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. " Sanksi administratif yang menjadi kewenangan KPPU secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut : a. Penetapan pembatalan Perjanjian yang dilarang ;
Hal. 19 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
b. Perintah untuk menghentikan integrasi vertikal ; c. Perintah untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha dan atau merugikan masyarakat ; d. Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan Posisi Dominan ; e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham ; f. Penetapan pembayaran ganti rugi ; g. Pengenaan denda ; Dalam kasus ini, Putusan KPPU dalam Diktum 8 yang memerintahkan Para Terlapor/Para Pemohon untuk tidak memungut biaya sampai adanya persetujuan DPR ternyata tidak termasuk pada salah satu kategori sanksi administratif tersebut di atas. 5.2. Yang Berwenang Memerintahkan Penghentian Pemungutan Biaya Pelayanan Publik Sesuai Hukum Tata Negara, In Casu Pemungutan Biaya Verifikasi Impor Gula, Adalah Pemerintah Dalam Hal ini Departemen Perdagangan. Di dalam konstelasi ketatanegaraan, penyelenggaraan pelayanan publik merupakan hak monopoli negara (monopoly by law). Oleh karena itu, yang berhak dan berwenang untuk menetapkan, melarang atau menghentikan atau menangguhkan pungutan biaya atas pelayanan publik adalah penguasa/pemerintah. Dalam kasus ini, Diktum 8 Putusan KPPU yang memerintahkan Para Terlapor/Para Pemohon untuk tidak memungut biaya verifikasi impor gula ditinjau dari segi konstelasi yuridis tata negara sebagaimana yang dijelaskan diatas, telah mengambil alih fungsi dan kewenangan pemerintah
(government
authority)
dalam
hal
inl
Departemen
Perdagangan. Konsekuensi langsung maupun tidak langsung dengan adanya Putusan KPPU tersebut, adalah : a. Ketentuan Pasal 14 ayat (4) Kep.Menperindag No.527/MPP/Kep/ 9/2004 dianulir oleh KPPU ; b. Dengan dianulirnya ketentuan Pasal 14 ayat (4) Kep.Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004, maka Para Terlapor/Para Pemohon tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya, sehingga dapat mengakibatkan : - Kegiatan verifikasi atau penelusuran impor gula terhenti ;
Hal. 20 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
- Tugas pengawasan komoditas gula impor yang diamanatkan peraturan
perundang-undangan
tidak
berjalan
sebagaimana
mestinya ; - Tujuan regulasi tata niaga impor gula tidak tercapai ; dan - Hancurnya (distortion) daya saing dan pendapatan petani tebu dan industri gula di Indonesia. 6. PADA PRINSIPNYA, SGS DITUNJUK SEBAGAI PELAKSANA VERIFIKASI DI
LUAR
NEGERI,
SESUAI
DITENTUKAN
OLEH
MENTERI
PEMOHON
BERDASAR
DENGAN
PERSYARATAN
YANG
KEPADA PARA TERLAPOR/PARA
KEPUTUSAN
MENPERINDAG
No.
527/MPP/Kep/9/2004 Dalam Kep.Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004, diatur ketentuan dalam Pasal 14 ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut : "Untuk dapat ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis pelaksanaan importasi gula, surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 tahun ; dan b. memiliki cabang atau perwakilan atau afiliasi di luar negeri." Dari ketentuan di atas, dapat dikemukakan konstruksi
hukum sebagai beri-
kut : - Syarat
pertama
yang
harus
dipenuhi,
pelaksana
verifikasi
atau
penelusuran teknis impor gula adalah surveyor yang memiliki pengalaman minimal 5 tahun ; - Syarat kedua yang bersifat imperatif adalah keharusan memiliki cabang atau perwakilan atau afiliasi di luar negeri. Dengan demikian, kedua syarat ini bukan bersifat alternatif namun bersifat kumulatif, sehingga kedua syarat tersebut mutlak harus dipenuhi oleh surveyor yang ditunjuk oleh Depperindag. Secara obyektif, kenapa Menperindag menunjuk Para Terlapor/Para Pemohon sebagai pelaksana pelayanan publik melakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula, karena : 1) Para Terlapor/Para Pemohon memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun ; 2) Para Terlapor/Para Pemohon juga memiliki afiliasi di luar negeri yaitu Societe Generale de Surveillance Holding S.A ("SGS"), sebab SGS adalah pemegang saham dari Terlapor I dan Terlapor II. Berdasar fakta-fakta di atas, tindakan Para Terlapor/Para Pemohon melimpahkan kewenangan kepada SGS Technical Assurance
Services
Hal. 21 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Division (SGS TAS) melakukan verifikasi adalah dalam rangka melaksanakan pelayanan
publik
untuk
memenuhi
pelaksanaan
perintah
peraturan
perundang-undangan (to fullfil statutory order) yang diperintahkan Kep. Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004. Sebenarnya Putusan KPPU sendiri pada Diktum 6 mengakui bahwa kedudukan SGS sebagai pelaksana di luar negeri bukan berdasar kesepakatan yang bersifat kontraktual seperti yang dipertimbangkannya pada butir 9.3.3 halaman 30 Putusan KPPU, tetapi semata-mata penunjukan berdasar kewenangan publik karena pada Diktum tersebut terdapat kalimat yang berbunyi : "...untuk tidak menunjuk SGS Jenewa maupun perwakilan atau anak perusahaan SGS Geneva di negara lain sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula di negara asal barang ..." Dari kalimat tersebut, sadar atau tidak sadar (knowing or unknowingly), Putusan KPPU mengakui dan membenarkan kedudukan SGS bukan berdasar kesepakatan dalam arti kontraktual yang diatur dalam Hukum Perjanjian,
tetapi
semata-mata
berdasar
kewenangan
publik
dalam
pelaksanaan Tata Usaha Negara, karena memang dalam hal ini berdasar pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh Menperindag melalui Kep. Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 dalam pelayanan verifikasi atau penelusuran
teknis
impor
gula,
Para
Terlapor/Para
Pemohon
telah
didudukkan sebagai Pejabat TUN berdasar pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Meskipun seandainya penugasan itu dituangkan dalam bentuk Perjanjian antara Para Terlapor/Para Pemohon dengan SGS yang bersifat kontraktual seperti yang dikemukakan dalam Pertimbangan angka 9.3.3 halaman 30 Putusan KPPU, namun hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 karena hal itu dilakukan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (to fullfil statutory order) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Dengan demikian, tidak benar (untrue) dan sangat keliru (mistake) pertimbangan KPPU angka 9.3.3 dan 9.3.4. Oleh karena itu, Diktum 6 Putusan KPPU tidak dapat dipertahankan, sehingga mesti dibatalkan (vernietig/unnull). Selain dari yang telah dijelaskan di atas, putusan tersebut juga keliru karena di dalam pertimbangan dan diktumnya mengatakan hubungan hukum Para
Hal. 22 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Terlapor/Para Pemohon adalah dengan SGS Geneva. Padahal yang sebenarnya hubungan hukum (legal relationship) yang berkaitan dengan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula antara Para Terlapor/Para Pemohon dengan SGS TAS bukan dengan SGS Geneva. 7. SEKIRANYA
DALAM
PELAKSANAAN
VERIFIKASI
ATAU
PENELUSURAN TEKNIS IMPOR GULA TERDAPAT PERTENTANGAN ANTARA UNDANG-UNDANG DENGAN UNDANG-UNDANG ATAU
ANTARA
UNDANG-UNDANG
DENGAN
DASAR
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN YANG LEBIH RENDAH, MAKA FORUM PENYELESAIANNYA
BUKAN
MELALUI
KPPU
NAMUN
MELALUI
MAHKAMAH KONSTITUSI ATAU MAHKAMAH AGUNG. Jika dicermati dengan teliti dan seksama pertimbangan, kesimpulan dan diktum Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005, tersembunyi suatu pengakuan bahwa : 1) Pelaksanaan tugas oleh Para Terlapor/Para Pemohon itu berada dalam domain hukum publik dan untuk melaksanakan tugas dan kewajiban Pemerintah cq. Menperindag untuk mengawasi dan mengatur tata niaga impor gula sebagaimana tercantum dalam pertimbangan butir 6.2.1 halaman 26 Majelis KPPU yang berbunyi sebagai berikut : "Bahwa berdasarkan fakta yang diuraikan dalam butir 1.4.3, Terlapor I dan Terlapor II ditunjuk oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan sebagai surveyor pelaksana jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.S94/MPP/Kep/9/2004
tentang
Penunjukan
Surveyor
Sebagai
Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Gula" ; Dengan demikian, KPPU/Termohon Keberatan mengakui bahwa tugas yang dimiliki oleh Para Terlapor/Para Pemohon adalah melaksanakan fungsi publik berdasarkan penunjukan yang dilakukan oleh Menperindag. 2) Secara langsung dan tidak langsung, Putusan KPPU tersebut juga mengakui bahwa perlu diatur ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi pelaksanaan tata niaga impor gula dalam pengawasan dan mengakui eksistensi peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No.8 Prp Tahun 1962, Undang-Undang No.7 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1962 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 serta Keputusan Presiden No. 57 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2004, Kep.
Hal. 23 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Menperindag
No.527/MPP/Kep/9/2004
dan
Kep.Menperindag
No.594/MPP/Kep/9/2004 ; 3) Pertimbangan, kesimpulan dan diktum KPPU secara terang dan tersembunyi mengandung atau memuat pernyataan bahwa Kep. Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 dan Kep.Menperindag No. 594/ MPP/Kep/9/2004 bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pabean, Keuangan Negara serta ketentuan Pasal 23 huruf A UUD 1945. Pernyataan hukum di atas, secara tersirat dan tersurat dalam pertimbangan Putusan KPPU butir 10 halaman 31 yang berbunyi : ". ..Departemen Perdagangan Republik Indonesia agar memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai kepabeanan, Keuangan Negara Serta Pasal 23 a UUD 1945." Selanjutnya dalam pertimbangan Majelis KPPU butir 13.1 halaman 32 berbunyi sebagai berikut : "Bahwa setiap biaya yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan tugas negara dibebankan kepada negara dan oleh karenanya setiap pungutan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas negara harus diatur dengan jelas dalam Undang-Undang " Bertitik tolak dari fakta-fakta di atas, dikaitkan dengan pernyataan hukum angka 3 di atas, dihubungkan dengan pertimbangan dan pendapat KPPU secara terang atau tersembunyi KPPU mengatakan bahwa terdapat pertentangan antara Undang-Undang dengan UUD 1945 atau antara Undang-Undang dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah di bawahnya, maka : -
Jika memang benar ada pertentangan antara Undang-Undang yang mengatur Pangan dan Barang dalam Pengawasan dengan UUD 1945 (qoud non rectum) karena Undang-Undang Pangan dan Barang dalam Pengawasan yang mengatur tentang gula tidak ada yang bertentangan dengan Pasal 23 a UUD 1945, maka yang berwenang untuk menyelesaikannya , adalah Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24 C ayat (1) UUD 945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah
Konstitusi,
bukan
kewenangan
KPPU
untuk
mengujinya ; -
Jika sekiranya benar Kep.Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 dan Kep. Menperindag No. 594/MPP/Kep/9/2004 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1962 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2004 dan Peraturan
Hal. 24 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Pemerintah No. 68 Tahun 2002 serta Keputusan Presiden No. 57 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2004, Undang-Undang tentang Pabean dan Keuangan Negara, maka kewenangan untuk menguji
adanya
pertentangan
itu
adalah
menjadi
kewenangan
Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004. Dari penjelasan di atas, adalah sangat keliru tindakan KPPU yang secara tersembunyi telah melakukan uji materiil dan atau uji formil antara Kep. Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 dan Kep. Menperindag No. 594/ MPP/Kep/9/2004 dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang disebut di atas, sehingga KPPU telah menjadikan dan menempatkan dirinya sebagai badan yang menggantikan kedudukan dan fungsi dari Mahkamah Agung untuk melakukan Hak Uji Materil (Judicial Review) antara undang-undang dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. 8. KESIMPULAN Bertitik tolak dari uraian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan hal-hal berikut : 1. Keberatan yang diajukan memenuhi Syarat Formil yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dari segi hak berdasarkan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 jo. Pasal 1 ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005, dari segi tenggang waktu berdasarkan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 jo. Pasal 4 ayat (1) Perma No.3 Tahun 2005, maupun dari segi kompetensi (kewenangan) relatif ; 2. Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 melanggar Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 atas alasan : a. Karena tugas dan kewenangan yang dilaksanakan oleh Para Terlapor/ Para Pemohon adalah dalam rangka melaksanakan fungsi Kebijakan Pemerintah (Depperindag) berdasar peraturan perundang-undangan, sehingga fungsi dan tugas itu semata-mata merupakan Pelayanan Publik; b. Yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan berdasar Pasal 7 ayat (1) Jo. Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Hal. 25 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Perundang- undangan, maka Keputusan Menteri dalam hal ini Kep. Menperindag
No.
527/MPP/Kep/9/2004
dan
Kep.Menperindag
No.594/MPP/Kep/9/2004 termasuk kategori peraturan perundangundangan ; c. KSO merupakan perwujudan Pelaksana Teknis Fungsi Pelayanan Publik untuk melakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang bersifat Unifikasi diantara Terlapor I dan Terlapor II agar pelaksanaan Keputusan Menperindag dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, bahkan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 membolehkan Pelaku Usaha untuk mengadakan Perjanjian sepanjang hal itu untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ; d. Pada prinsipnya, SGS TAS ditunjuk sebagai Pelaksana Verifikasi di Luar Negeri sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan kepada para Terlapor/para Pemohon berdasarkan Keputusan Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004, bahkan Pasal 50 huruf a membolehkan Pelaku Usaha untuk mengadakan Perjanjian sepanjang hal itu untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Diktum 8 Putusan KPPU adalah suatu Putusan yang bersifat Ultra Vires atas alasan : a. Berdasarkan Pasal 36 huruf I jo. Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999, kepada KPPU hanya diberikan wewenang secara limitatif (restrictive) untuk memberikan sanksi administratif, oleh karena itu diktum 8 Putusan KPPU yang memerintahkan para Terlapor/para Pemohon untuk tidak memungut biaya sampai adanya persetujuan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
berada
diluar
batas
kewenangan (beyond his authority) ; b. Yang berwenang memerintahkan penghentian pemungutan biaya pelayanan publik sesuai Hukum Tata Negara, in casu pemungutan biaya
verifikasi
atau
penelusuran
teknis
impor
gula,
adalah
Pemerintah dalam hal ini Depperindag. 4. Sekiranya dalam pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula terdapat pertentangan antara Undang-Undang dengan UndangUndang
Dasar
atau
antara
Undang-Undang
dengan
Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah, maka forum penyelesaiannya bukan melalui KPPU melainkan melalui Mahkamah Konstitusi dan/atau
Hal. 26 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Mahkamah Agung : a. Jika memang benar ada pertentangan antara Undang-Undang yang mengatur Pangan dan Barang dalam Pengawasan dengan UUD 1945 (qoud non rectum) karena Undang-Undang Pangan dan Barang dalam Pengawasan yang mengatur tentang gula tidak ada yang bertentangan dengan Pasal 23 a UUD 1945, maka yang berwenang untuk
menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi sesuai
dengan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UndangUndang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bukan kewenangan KPPU untuk mengujinya ; b. Jika sekiranya benar Kep. Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 dan Kep.Menperindag No.594/MPP/Kep/9/2004 bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1962 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 serta Keputusan Presiden No. 57 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden No. 58 Tahun 2004, UndangUndang tentang Pabean dan Undang-Undang Keuangan Negara, maka kewenangan untuk menguji adanya pertentangan itu adalah menjadi kewenangan Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004. Berdasarkan hal-hal terurai di atas para Terlapor/para Pemohon mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan sebagai berikut : 1.Menyatakan Permohonan Keberatan para Terlapor/para Pemohon sebagai Permohonan yang benar (Goed Opposant) ; 2.Menerima permohonan keberatan para Terlapor/para Pemohon terhadap Putusan KPPU No.08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 ; 3.Menyatakan para Terlapor/para Pemohon (Terlapor I dan Terlapor II) tidak melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a UndangUndang No.5 Tahun 1999 serta menyatakan KPPU dan Putusan KPPU melanggar ketentuan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 serta melakukan tindakan Ultra Vires dan melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangan ; 4.Membatalkan Putusan KPPU No.08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 ;
Hal. 27 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
5.Menyatakan Putusan KPPU No.08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 tidak mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap Para Terlapor/Para Pemohon ; 6.Menyatakan Putusan KPPU No.08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 tidak mempunyai kekuatan eksekutorial ; 7.Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan.
Subsider : Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon untuk memberikan Putusan secara ex aequo et bono. bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 01/KPPU/2006/PN.Jak.Sel. tanggal 04 April 2006 yang amarnya sebagai berikut : 1. Menyatakan Permohonan Keberatan Para Terlapor/Para Pemohon sebagai Permohonan yang benar (Goed Opposant) ; 2. Menerima permohonan keberatan Para Terlapor/Para Pemohon terhadap Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 : 3. Menyatakan KPPU dan Putusan KPPU melanggar ketentuan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ; 4. Membatalkan Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 ; 5. Menyatakan Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desemher 2005 tidak mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap Para Terlapor/Para Pemohon ; 6. Menyatakan Putusan KPPU No. 08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember 2005 tidak mempunyai kekuatan eksekutorial ; 7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini yang hingga putusan ini dianggarkan sebesar Rp. 194.000,- (seratus sembilan puluh empat ribu rupiah) ; Menimbang, bahwa sesudah putusan tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh kuasa Pemohon dan kuasa Termohon pada tanggal 04 April 2006, kemudian terhadapnya oleh Termohon (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 13 April 2006 ) diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 13 April 2006
sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No.
01/KPPU/2006/PN.Jak.Sel.
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Hal. 28 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Jakarta Selatan, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 26 April 2006 ; bahwa setelah itu oleh para Pemohon I dan II yang pada tanggal 11 Mei 2006 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Termohon diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 19 Mei 2006 ; Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ; Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Termohon dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah : Bahwa Putusan Judex Facti yang dimohonkan kasasi secara nyata salah dalam menerapkan hukum yang berlaku. Hal tersebut terbukti dari uraian dan fakta sebagai berikut : 1. Bahwa Pemohon Kasasi tidak sependapat dan menolak secara tegas pertimbangan hukum putusan Judex Facti pada halaman 50 alinea 2 dan alinea 3 yang memberikan kesimpulan pada pokoknya menyatakan bahwa: "Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan para Pemohon bertujuan untuk melaksanakan
peraturan
perundang-undangan,
maka
berdasarkan
ketentuan Pasal 50 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 perbuatan para Pemohon tersebut merupakan pengecualian " "Menimbang bahwa oleh karena perbuatan para Pemohon tersebut merupakan pengecualian maka para Pemohon tidak dapat dinyatakan bersalah melanggar Pasal 5 ayat (1) Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999" Terhadap pertimbangan hukum Judex Facti di atas, Pemohon Kasasi sangat keberatan dan menolak dengan alasan hukum sebagai berikut : 1.1.
Dalam Putusan Pemohon Kasasi No. 08/KPPU-I/2005 tanggal 30 Desember
2005
tidak
membatalkan
Keputusan
Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula (selanjutnya disebut dengan Kep. Menperindag No. 527/2004) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang penunjukan surveyor sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis impor gula (selanjutnya
Hal. 29 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
disebut dengan Kep. Menperindag No. 594/2004). Namun yang menjadi permasalahan adalah : a. pembentukan Kerja Sama Operasi (KSO) karena pembentukan KSO oleh Para Termohon Kasasi adalah suatu tindakan "lessen competition" (tidak ada lagi/hilangnya persaingan diantara mereka yang seharusnya bersaing) ; b. penetapan besaran jasa verifikasi (surveyor fee) ; dan c. penunjukan Societe Generale de Surveillance Holding S.A., (SGS) Jenewa,oleh Para Termohon Kasasi yang kemudian berdasarkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Komisi Pemohon Kasasi, terbukti bahwa para Termohon Kasasi melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5 Tahun 1999). 1.2. Putusan Pemohon Kasasi tidak mempermasalahkan dan tidak bersinggungan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum putusan Judex Facti. Putusan Pemohon Kasasi juga tidak pernah mempersoalkan penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Selanjutnya, dalam Putusan Pemohon Kasasi sama sekali tidak mempermasalahkan
Kep.Menperindag
No.527/2004
dan
Kep.
Menperindag No. 594/2004 dan terakhir perlu juga disampaikan bahwa
Putusan
Pemohon
Kasasi
tidak
mempersoalkan
kewenangan Para Termohon Kasasi yang ditunjuk sebagai surveyor untuk melaksanakan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. Atas dasar uraian dan fakta tersebut di atas, maka telah sangat jelas bahwa pertimbangan hukum Judex Facti terbukti salah dalam menerapkan hukumnya, karena pertimbangan hukumnya tidak relevan, tidak sinkron dan tidak terkait atau menyimpang dari fokus pokok
permasalahan
yang
dipertimbangkan
dalam
Putusan
Pemohon Kasasi. Dengan demikian terbukti bahwa ternyata sudah tidak
ada
relevansinya
untuk
mempermasalahkan
Putusan
Pemohon Kasasi dengan ketentuan pasal 50 huruf a UU No.5 Tahun 1999.
Hal. 30 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
1.3. Selain daripada itu, menurut Kep. Menperindag No. 594/2004 secara tegas menyebutkan dalam diktumnya bahwa para Termohon Kasasi
ditunjuk
hanya
untuk
melakukan
verifikasi
atau
penelusuran teknis impor gula. Dengan demikian telah terbukti bahwa Kep. Menperindag No.594/2004 tersebut tidak memberikan dasar kewenangan bagi para Termohon Kasasi untuk mengadakan pembentukan kerjasama operasi (KSO), penetapan besaran jasa verifikasi (surveyor fee), dan penunjukan Societe Generale de Surveillance Holding S.A. (SGS) Jenewa. Bukti-bukti yang dipergunakan oleh para Termohon Kasasi adalah peraturan-peraturan tentang kebijakan pemerintah untuk verifikasi gula yang tidak ada kaitannya dengan pokok permasalahan dan bukan kebijakan pemerintah tentang perintah untuk melakukan KSO. 1.4. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Putusan Pemohon Kasasi tidak mempermasalahkan Keputusan Menperindag yang menunjuk para Termohon Kasasi untuk melakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula. Yang menjadi pokok pertimbangan hukum
dalam
putusan
Pemohon
Kasasi
adalah
bahwa
pelaksanaan verifikasi oleh para Termohon Kasasi tidak boleh bertentangan dengan UU No.5 Tahun 1999. 1.5. Kep. Menperindag No. 594/2004 secara tegas tidak memberikan dasar kewenangan terhadap kegiatan-kegiatan para Termohon Kasasi untuk mengadakan kerjasama operasi (KSO), penetapan besaran jasa verifikasi (surveyor fee), dan penunjukan Societe Generale de Surveillance Holding S.A (SGS) Jenewa. Terlebih lagi berdasarkan hasil penyelidikan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Komisi Pemohon Kasasi ternyata kegiatankegiatan yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi tersebut terbukti telah melanggar Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a UU No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka dengan demikian telah sangat jelas bahwa kegiatan-kegiatan para Termohon Kasasi mengadakan kerjasama operasi (KSO), penetapan besaran jasa verifikasi (surveyor fee), dan penunjukan Societe Generale de Surveillance Holding S.A (SGS) Jenewa tersebut terbukti bukan bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan
Hal. 31 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
yang merupakan pengecualian berdasarkan ketentuan Pasal 50 huruf a UU No.5 Tahun 1999 tetapi murni merupakan aktifitas "business to business” oleh pelaku usaha. 2. Bahwa selain daripada tersebut di atas, fakta membuktikan bahwasanya para Termohon Kasasi sebenarnya telah mengakui ketidakbenaran kegiatannya membentuk kerjasama operasi (KSO), penetapan besaran jasa verifikasi (surveyor fee), dan penunjukan Societe Generale de Surveillance Holding S.A (SGS) Jenewa. Hal tersebut terungkap berdasarkan surat dari Termohon Kasasi, PT. Surveyor Indonesia (Persero) No.Srt-02/PDR-X/CSR/2005 tanggal 3 Oktober 2005, dan surat dari Termohon Kasasi, PT. Sucofindo No.800/DRU-X/SPMM/2005 tanggal 3 Oktober 2005 yang disampaikan kepada Pemohon Kasasi yang isinya pada pokoknya para Termohon Kasasi telah menyepakati untuk mengakhiri KSO terhitung sejak tanggal 3 Oktober 2005 dan sampai akhir Putusan diselesaikan oleh Pemohon Kasasi belum ada tindak lanjut dari para Termohon Kasasi (vide, Putusan Pemohon Kasasi pada halaman 32 angka 13). 3. Bahwa Pemohon Kasasi disamping menyampaikan alasan-alasan keberatannya terhadap pertimbangan Judex Facti, dalam kesempatan ini juga Pemohon Kasasi menyampaikan uraian fakta-fakta pendukung dan terkait dengan pertimbangan hukum Putusan Pemohon Kasasi. Faktafakta dimaksud adalah sebagai berikut : 3.1. Kegiatan para Termohon Kasasi berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 termasuk dalam kegiatan usaha perdagangan. Fokus penyelidikan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi adalah berkaitan dengan permasalahan : apakah
ketika
para Termohon Kasasi setelah menerima penunjukan melalui Kep. Menperindag No. 594/2004 sebagai surveyor pelaksana verifikasi gula impor, dalam menjalankan kegiatannya tersebut melanggar UU No.5 Tahun 1999 atau tidak. Dengan demikian, fokus permasalahan dalam Putusan Pemohon Kasasi No. 08/KPPU-I/2005 bukanlah apakah para Termohon Kasasi melakukan kegiatan pelayanan publik ataukah tidak. Kegiatan yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi adalah sebagai suatu kegiatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang berbunyi "Badan
Hal. 32 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Kegiatan para Termohon Kasasi sebagai Badan Hukum (BUMN) merupakan kegiatan perusahaan perseroan dimana tunduk pada Pasal 11 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003, yang berbunyi : "Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas” ; sehingga kegiatan yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi adalah sebagai suatu Badan Hukum (BUMN) termasuk ruang lingkup kegiatan usaha jasa yaitu berupa jasa verifikasi yang dapat diperdagangkan, hal ini jelas tertuang dalam akta pendirian perusahaan dan ijin usahanya. Kegiatan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 17 UU No.5 Tahun 1999, yang berbunyi "setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”, sehingga kegiatan tersebut adalah aktifitas bisnis murni. Seandainya pun -quad non- yang menjadi permasalahan adalah : apakah para Termohon Kasasi menjalankan pelayanan publik atau tidak, dan para Termohon Kasasi mendapatkan penunjukan, bukan berarti pemerintah melimpahkan kewenangan pelayanan publik kepada para Termohon Kasasi, karena fungsi pengaturan dan pengawasan impor gula tetap berada di Pemerintah, sehingga para Termohon Kasasi hanya ditugasi untuk melakukan verifikasi saja sebagaimana tertuang dalam Kep.Menperindag No. 594/2004 dan dalam melaksanakan verifikasi adalah merupakan aktifitas "business to business" yang seharusnya tidak melakukan aktifitas yang melanggar UU No.5 Tahun 1999. Disamping itu, para Termohon Kasasi dalam melakukan pekerjaan memberikan jasa verifikasi gula impor, kemudian memungut biaya atas jasa verifikasinya. Pekerjaan verifikasi tersebut dimanfaatkan oleh konsumennya yang merupakan pelaku usaha dalam bidang importir gula (pasar bersangkutan).
Hal. 33 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Hal tersebut secara jelas telah diuraikan dalam Putusan Pemohon Kasasi No. 08/KPPU-I/2005 pada halaman 26 butir 6.3.3. sampai dengan halaman 27 butir 6.3.4. yang berbunyi sebagai berikut : 6.3.3.
Bahwa berdasarkan fakta yang diuraikan dalam butir 1.4 sampai dengan butir 1.6., kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II merupakan layanan yang berbentuk
pekerjaan
yang
diperdagangkan
dan
dimanfaatkan oleh para importir gula ; 6.3.4.
Bahwa Terlapor I dan Terlapor II memperoleh imbalan atas pekerjaan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula yang dilakukannya, dan oleh karenanya kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis impor gula ini dapat dikategorikan sebagai jasa ;
Dengan demikian, sesuai uraian tersebut diatas, maka telah jelas bahwa kegiatan para Termohon Kasasi berupa jasa verifikasi impor
gula
merupakan
kegiatan
usaha
jasa
yang
diperdagangkan dalam pasar. Disamping hal tersebut, bukanlah merupakan fokus Putusan Pemohon Kasasi. Hal tersebut sesuai pula dengan tugas yang diberikan oleh Menperindag kepada Para Termohon Kasasi yang hanya terbatas pada memberikan jasa verifikasi impor gula kepada para importir gula. 3.2.
Kerjasama operasi (KSO) antara Para Termohon Kasasi terbuk-ti melanggar UU No.5 Tahun 1999. Sebagaimana hasil penyelidikan dan pemeriksaan Majelis Komisi Pemohon Kasasi, ternyata hanya 1 (satu) hari setelah diterbitkannya Kep.Menperindag No. 594/2004, para Termohon Kasasi kemudian membentuk KSO yang justru mengakibatkan hilangnya persaingan diantara para Termohon Kasasi untuk memberikan jasa dan pelayanan yang sebaik-baiknya dengan biaya yang kompetitif kepada para konsumennya yang dalam hal ini adalah para importir gula. Kemudian melalui KSO tersebut, terbukti secara sepihak Para Termohon Kasasi kemudian menetapkan besaran surveyor fee atas jasa verifikasi kepada para importir gula yang ternyata pada pelaksanaannya, surveyor fee tersebut memberatkan para
Hal. 34 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
importir gula, namun terpaksa diterima karena para importir gula tidak punya pilihan dan khawatir akan mengalami kesulitan untuk mengimpor gula (vide B12, B13, B14, B15, B16, C14, dan C15). Dalam prakteknya, besaran biaya pelaksanaan kegiatan jasa 4 verifikasi akan sangat terpengaruh pada beberapa hal, antara lain menyangkut waktu, tempat dan cara pelaksanaan. Kondisi tersebut secara tertulis telah diakui oleh Para Termohon Kasasi dalam Keberatannya terhadap Putusan No.08/KPPU-I/2005 pada halaman 22 paragraf kedua yang berbunyi sebagai berikut: "Memang pelaksanaan teknis terhadap impor gula yang diatur oleh Kep. Menperindag No.527/MPP/Kep/9/2004 telah diatur secara rinci oleh Keputusan Dirjen Daglu No.31/DAGLU/KP/X/2004, namun pelaksanaannya dilapangan akan sangat berbeda berdasarkan : - Waktu pelaksanaan verifikasi ; - Tempat pelaksanaan verifikasi ; dan - Cara yang dilakukan oleh tiap surveyor Dengan demikian, seharusnya tercipta adanya persaingan diantara para Termohon Kasasi dalam menawarkan jasanya. Namun pada kenyataannya justru Para Termohon Kasasi secara sengaja dan sadar membentuk KSO dengan tujuan untuk : - menghilangkan persaingan diantara mereka ; - memaksimalkan keuntungan melalui penetapan besaran surveyor fee yang dirasa memberatkan para importir gula ; dan - menunjuk hanya kepada SGS Jenewa sebagai pelaksana verifikasi terhadap gula di negara asal. Terlebih lagi hasil penyelidikan dan pemeriksaan Pemohon Kasasi telah menemukan fakta hukum dan membuktikan bahwa perilaku Para Termohon Kasasi berupa pembentukan KSO dan tindakan-tindakan selanjutnya telah memenuhi seluruh unsur pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 19 huruf a UU No.5 Tahun 1999 (vide Putusan No.08/KPPU-1/2005 halaman 25 butir 6 sampai dengan halaman 29 butir 7). Terlebih lagi, sebagaimana telah diakui sendiri oleh Para Termohon Kasasi dalam Sidang Pemeriksaan Perkara No. 08/KPPU-I/2005, bahwa Kep. Menperindag No. 594/2004 "tidak memberikan kewenangan dan dasar hukum bagi Para Termohon
Hal. 35 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Kasasi" untuk membentuk KSO (vide Bl, B2, dan C3). Selain dari itu, seharusnya para Termohon Kasasi tidak lagi mempermasalahkan mengenai KSO ini, karena para Termohon Kasasi sebenarnya telah mengakui bahwa Pembentukan KSO melanggar UU No.5 Tahun 1999, hal tersebut ditunjukkan dengan adanya surat pernyataan yang disampaikan oleh Termohon Kasasi tentang upaya pengakhiran KSO yang pada prakteknya tidak ada upaya pengakhiran kegiatan KSO tersebut (vide Putusan No. 08/KPPU-I/2005 halaman 32 butir 13.2. sampai dengan butir 13.5., A50, A51, A59, A60, C64, dan C65). Dengan demikian, telah terbukti bahwa tindakan para Pemohon Keberatan dengan membentuk KSO telah melanggar UU No.5 Tahun 1999 karena mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 3.3.
Penunjukan SGS di luar negeri mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perlu
Pemohon Kasasi tegaskan lagi, bahwa dalam Putusan
No.08/KPPU-I/2005, Pemohon Kasasi tidak mempermasalahkan Kep. Menperindag No. 527/2004, namun salah satu yang dipermasalahkan
adalah
bahwa
penunjukan
SGS
sebagai
pelaksana verifikasi di luar negeri tersebut telah mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tindakan Para Termohon Kasasi yang menunjuk SGS Jenewa atau yang ditunjuk oleh SGS Jenewa sebagai pelaksana verifikasi di negara asal gula, dan adanya fakta hukum bahwa para Termohon Kasasi tidak pernah menunjuk surveyor selain SGS Jenewa, sehingga secara langsung telah menutup kemungkinan bagi surveyor lain untuk dapat ditunjuk sebagai pelaksana verifi kasi. Fakta tersebut telah terbukti dalam pemeriksaan Pemohon Kasasi yang termuat dalam Putusan No. 08/KPPU-I/2005 pada halaman 29 butir 9 sampai dengan halaman 31 butir 10 bahwa seluruh unsur pelanggaran terhadap Pasal 19 huruf a UU No.5 Tahun 1999 telah terpenuhi. Adanya penunjukan yang hanya kepada SGS Jenewa juga membuktikan adanya konflik kepentingan antara Para Termohon
Hal. 36 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Kasasi dengan SGS Jenewa sebagai afiliasinya, karena sebagian saham Para Termohon Kasasi dimiliki oleh SGS Jenewa, yaitu dengan komposisi sebagai berikut : a.Termohon Kasasi PT. Surveyor Indonesia (persero) dimiliki oleh: i. Negara Republik Indonesia sebesar 85,1 % ; ii. SGS Jenewa sebesar 10,4% ; dan iii.Termohon Kasasi PT. Superintending Company of Indonesia sebesar 4,5%. b.Termohon Kasasi PT. (persero) Superintending Company of Indonesia dimiliki oleh : i. Negara Republik Indonesia sebesar 95% ; dan ii. SGS Jenewa sebesar 5%. Selain hal tersebut diatas, dalam Kep. Menperindag No. 527/2004 maupun
Kep.Menperindag
No.
594/2004
tidak
memberikan
kewenangan bagi para Termohon Kasasi untuk menentukan siapa yang menjadi pelaksana verifikasi di negara asal gula. Dengan demikian telah jelas dan nyata bahwa penunjukan kepada SGS Jenewa atau yang ditunjuk oleh SGS Jenewa sebagai pelaksana verifikasi telah terbukti mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat karena berakibat pada tertutupnya kemungkinan surveyor lain untuk dapat ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi di negara asal gula. Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat : mengenai alasan-alasan ad 1 sampai dengan ad 3 : bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum ; bahwa oleh karena perbuatan dan perjanjian yang dilakukan oleh para Termohon Kasasi/para Pemohon adalah didasarkan pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.527/MPP/Kep/9/2004 tanggal 17 September 2004 tentang Ketentuan Impor Gula, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor sebagai Pelaksana Verifikasi Atau Penelusuran Teknis Impor Gula, dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan maka berdasarkan Pasal 50 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999, ketentuan dalam undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan terhadapnya ;
Hal. 37 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA tersebut harus ditolak ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak, maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepadanya ; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan ; MENGADILI : Menolak
permohonan
kasasi
dari
Pemohon
Kasasi
:
KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA tersebut ; Menghukum Pemohon Kasasi/Termohon untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah ) ; Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari SENIN tanggal 22 JANUARI 2007 oleh MARIANNA SUTADI, SH., Hakim Agung Ketua
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Majelis, SUSANTI ADI NUGROHO, SH.,MH.,
dan Dr.H.HARIFIN
A.TUMPA, SH.,MH., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim
Anggota
tersebut
dan
dibantu
oleh
NANI
INDRAWATI,
SH.,M.Hum., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ;
Hakim-Hakim Anggota ttd./ Susanti Adi Nugroho, SH.,MH. ttd./ Dr.H.Harifin A.Tumpa, SH.,MH.
Ketua ttd./ Marianna Sutadi, SH. Panitera Pengganti ttd./ Nani Indrawati, SH., M.Hum.
Biaya-Biaya : 1.M e t e r a i ……………… Rp. 6.000,2.R e d a k s i …………….. Rp. 1.000,Untuk Salinan 3.Administrasi kasasi…….. Rp.493.000,MAHKAMAH AGUNG RI J u m l a h …………… Rp. 500.000,an. Panitera =========PANITERA MUDA PERDATA KHUSUS H.PARWOTO WIGNJOSUMARTO, SH. NIP.040018142
Hal. 38 dari 38 hal. Put. No. 03 K/KPPU/2006