9
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan di Lokasi PESK Talawaan-Tatelu Lokasi pertambangan emas skala kecil (PESK) di Kecamatan TalawaanTatelu tersebar terutama di Desa Tatelu, Tatelu Rondor, Wasian, Warukapas dan Talawaan yang semuanya berada di Kabupaten Minahasa Utara, termasuk dalam DAS Talawaan yang mempunyai luas sekitar 34.000 ha dan membentang mulai dari Gunung Klabat sebagai bagian hulu dan bermuara di Talawaan Bantik / Talawaan Bajo Kecamatan Wori di depan garis pantai kawasan Taman Nasional Laut Bunaken. Wilayah PESK Talawaan-Tatelu tersebar pada tanah-tanah Pasini seluas 822 ha terutama di lokasi yang disebut Bukit Batu Api dan Lempaoi, berada pada bagian hulu Sungai Talawaan, sehingga pengaruhnya kebagian hilir sangat besar. Jumlah masyarakat yang ikut aktif dalam penambangan sekitar 3.000 s/d 5.000 orang. Kegiatan PESK Talawaan-Tatelu ini telah berlangsung sejak tahun 1997, berawal informasi dari calon pekerja PT. Tambang Tondano Nusa Jaya yang melakukan penelitian bahwa di daerah ini terdapat deposit emas. Kegiatan ini juga dipicu oleh kondisi perekonomian bangsa kita yang sulit waktu itu akibat krisis. Tahun 1999 semakin berkembang karena ternyata batuan emas yang ditambang di daerah ini mengandung kadar emas yang cukup tinggi, disamping lokasinya yang dekat dengan pemukiman penduduk serta aksesibilitas yang begitu mudah ke lokasi galian. Saat ini, meskipun PESK Talawaan-Tatelu dikategorikan ilegal namun operasinya tetap berlangsung bahkan bahan merkuri yang sangat ketat pemasarannya dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat. Mekanisme pengolahan emas di PESK sebagai berikut: 1) Diawali dengan penambangan batuan mengandung emas yang disebut rep.
Rep yang diperoleh
dimasukkan dalam karung goni dan diangkut ke tempat pengolahan, 2) Batuan rep dihancurkan di tempat pengolahan dengan alat penghancur yang digerakkan mesin atau ditumbuk dengan menggunakan martil, 3) Hancuran batuan rep dimasukkan kira-kira sebanyak 40 kg per tromol dan diputar selama 3 jam dimana masing-masing tromol diisi dengan merkuri sebanyak 1 s/d 2 kg per tromol kemudian diputar sekitar
10
setengah jam untuk memungkinkan terjadinya amalgamasi unsur emas dengan merkuri, 4) Isi tromol dikeluarkan dan dilakukan pemisahan antara batuan rep yang telah halus dari amalgam dengan bantuan aliran air. Rep halus disimpan dalam karung menjadi limbah padat, sedangkan amalgam dibakar untuk memisahkan merkuri dan emas berdasarkan titip uap karena merkuri lebih dulu menguap dan terlepas dari emas, 5) Pembakaran secara sederhana dengan kompor gas pada sebuah pinggan tanah liat secara langsung di udara terbuka sehingga uap merkuri yang berwarna kebiru-biruan tersebar di lingkungan sekitar. Ada yang menggunakan retort untuk mengumpulkan kembali merkuri, tapi umumnya perlengkapan keselamatan pekerja seperti sarung tangan dan arah angin masih kurang diperhatikan, 6) Aliran air yang digunakan memisahkan merkuri amalgam dan rep halus ini dialirkan ke kolam, namun ada juga yang melalui saluran kecil langsung ke selokan yang pada akhirnya menuju ke Sungai Talawaan. Meskipun ada yang menggunakan kolam tetapi karena air yang diperlukan sangat banyak sehingga kolam menjadi penuh dan tidak mampu menampung semua air yang mengalir masuk. Apalagi bila musim hujan tiba, kolam yang ada sama sekali hampir tidak ada manfaatnya, 7) Limbah dalam bentuk lumpur rep di buang ke tempat penimbunan yang nantinya pada saat penghujan mengalir dalam bentuk suspensi ke sungai Talawaan. Data pemantauan yang dilakukan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Provinsi Sulawesi Utara kerjasama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) Regional III Makassar, The Canada Education for Peace Initiative (CEPI) Kanada, Natural Resource Management (NRM) Sulut, The United Nations Industrial Development Organization- Global Mercury Project (UNIDO – GMP) Phase I menunjukkan selang
tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 konsentrasi merkuri dalam perairan sungai Talawaan telah melebihi standar baku mutu lingkungan. Konsentrasi merkuri pada lokasi yang dekat dengan unit pengolahan emas telah melebihi standar baku mutu yang dipersyaratkan yaitu 0.05 ppm. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka kontaminasi merkuri atas para pekerja tambang dan masyarakat sekitar daerah tambang akan semakin tinggi, sehingga dapat menjadi suatu ancaman yang serius
11
bagi kesehatan mereka. Kebijakan penanggulangan harus segera diupayakan untuk mencegah terjadinya keadaan yang lebih buruk.
2.2. Karakteristik Merkuri Merkuri adalah salah satu unsur logam penting dalam teknologi saat ini, memiliki nomor atom (NA=80) dan massa molekul relatif (MR=200,59). Memiliki simbol kimia Hg yang merupakan singkatan dari bahasa Yunani Hydrargyrum yang berarti cairan perak, dan masyarakat umum mengenal dengan nama merkuri yang berarti mudah menguap. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berbentuk cair dalam temperatur kamar (250C) dengan titik beku paling rendah (-390C), memiliki kecenderungan menguap lebih besar, mudah bercampur dengan logam-logam lain menjadi logam campuran (Amalgam/Alloi), dan dapat mengalirkan arus listrik sebagai konduktor baik tegangan arus listrik tinggi maupun tegangan arus listrik rendah, serta dapat menghambat kerja enzim dan protein (Alfian, 2006). Menurut Darmono (2006), secara umum merkuri memiliki 3 bentuk kimia yang berpengaruh pada pengendapannya, yaitu: (1) unsur merkuri (Hg0) memiliki tekanan uap yang tinggi dan sukar larut di dalam air. Pada suhu kamar kelarutannya kira-kira 60 mg/l dalam air dan antara 5- 50 mg/l dalam lipida. Bila ada oksigen, merkuri diasamkan langsung ke dalam bentuk ionik. Uap merkuri hadir dalam bentuk monoatom (Hg). Saluran pernapasan merupakan jalan utama penyerapan unsur Hg dalam bentuk uap, (2) merkuri anorganik (Hg2+ dan Hg2
2+
), terdiri dari raksa unsur
dan garam merkurous (Hg2Cl2) dan merkurik (HgCl2) yang dapat terurai. Di antara dua tahapan pengoksidaan, Hg2+ adalah lebih reaktif. Ia dapat membentuk kompleks dengan ligan organik, terutama golongan sulfurhidril. Contohnya HgCl 2 sangat larut dalam air dan sangat toksik, sebaliknya HgCl tidak larut dan kurang toksik, (3) merkuri organik adalah senyawa merkuri yang terikat dengan atom karbon yaitu: senyawa alkil merkuri = CH3HgCl, senyawa aril merkuri = C6H5HgCl, senyawa alkoksiaril merkuri= CH3OCH2HgCl, ikatan merkuri karbon stabil karena aktivitas merkuri yang stabil terhadap oksigen.
12
Menurut WHO (2000) secara umum merkuri memiliki 3 bentuk kimia yang berpengaruh pada pengendapannya, yaitu: (1) Merkuri metal atau unsur merkuri (Hg0) merupakan logam berwarna putih, berkilau dan pada suhu kamar berada dalam bentuk cairan. (2) Senyawa merkuri anorganik terjadi ketika merkuri dikombinasikan dengan elemen lain seperti klorin (Cl), sulfur atau oksigen. Senyawa-senyawa ini biasa disebut garam-garam merkuri. Senyawa merkuri anorganik berbentuk bubuk putih atau kristal, kecuali merkuri sulfida (HgS) yang biasa disebut Sinabar adalah berwarna merah dan akan menjadi hitam setelah terkena sinar matahari. (3) Senyawa merkuri organik terjadi ketika merkuri bertemu dengan karbon atau organomerkuri. Banyak jenis organomerkuri, tetapi yang paling populer adalah metilmerkuri (dikenal dengan monometilmercuri) CH3-Hg-COOH. Pada waktu yang lampau, senyawa organomerkuri yang dikenal adalah fenilmerkuri yang digunakan dalam beberapa produk komersial. Organomerkuri lainnya adalah dimetilmerkuri (CH3-Hg-CH3) yang juga digunakan sebagai standar referensi tes kimia. Merkuri termasuk logam yang sangat toksik pada organisme maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air menetapkan kriteria mutu untuk setiap kelas air dan dimana kadar merkuri maksimum yang diziinkan untuk berada dalam badan air yaitu pada kualitas air golongan I adalah air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan (dimasak sampai 100oC) terlebih dahulu sebesar 0.001 mg/l (ppm), pada kualitas air golongan II
adalah air yang dapat
digunakan sebagai air baku air minum sebesar 0.001 mg/l, pada kualitas air golongan III adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan sebesar 0.002 mg/l, dan pada kualitas air golongan IV adalah air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air sebesar 0.005 mg/l. Diagnosa toksisitas merkuri tidak dapat dilakukan dengan tes biokimia, tapi dengan diagnosis analisis kadar Hg dalam darah, urin, dan rambut. Konsentrasi maksimum Hg dalam darah 1020 μg/l, dalam urin sebesar 50 μg/l, dan dalam rambut sebesar 1-2 mg/kg (CETEM, 2004).
13
Dampak positif merkuri adalah: (1) Merkuri metal atau unsur merkuri (Hg0) dapat digunakan untuk bahan pembuat themometer, barometer. Merkuri metal banyak digunakan untuk produksi gas khlorin dan kaustik soda serta pemurnian emas. Juga digunakan untuk pembuatan baterai, dan saklar listrik. Untuk bahan penambal gigi biasanya mengandung merkuri metal 50%. Estimasi yang dilakukan oleh WHO menyatakan bahwa sekitar 3% dari total konsumsi merkuri digunakan untuk dental amalgam. (2) Senyawa merkuri anorganik digunakan sebagai fungisida. Garamgaram merkuri anorganik termasuk amoniak merkurik klorida dan merkuri iodide digunakan untuk cream pemutih kulit. Merkuri chlorida (HgCl 2) adalah sebagai antiseptik atau disinfektan. Merkuri klorida digunakan sebagai katalis, industri baterai kering, dan fungisida dalam pengawetan kayu. Merkuri asetat digunakan untuk sintesa senyawa organomerkuri, sebagai katalis dalam reaksi-reaksi polimerisasi organik dan sebagai reagen dalam kimia analisa. Senyawa-senyawanya banyak digunakan sebagai disinfektan, pestisida, bahan cat, antiseptik, baterai kering, photografi, di pabrik kayu dan pabrik tekstil. (3) Senyawa merkuri organik, metil merkuri dan fenil merkuri ada dalam bentuk garam-garamnya seperti metal merkuri klorida dan fenil merkuri asetat. Sampai tahun 1970-an metil merkuri dan etil merkuri digunakan untuk mengawetkan biji-bijian dan infeksi fungi. Ketika diketahui adanya efek negatif terhadap kesehatan dari bahan berbahaya metil merkuri dan etil merkuri, maka penggunaan selanjutnya sebagai fungisida biji-bijian dilarang. Sabun dan krem yang mengandung merkuri telah digunakan dalam waktu yang lama oleh masyarakat kulit hitam di beberapa wilayah untuk pemutih kulit (WHO, 2000). Dampak negatif pada lingkungan yang terkontaminasi merkuri sangat membahayakan kehidupan manusia karena adanya rantai makanan. Jalur utama pajanan metilmerkuri pada manusia adalah melalui konsumsi ikan (Barkay, 2005). Merkuri terakumulasi dalam mikroorganisme yang hidup di air sungai, danau, dan laut melalui proses metabolisme. Bahan-bahan mengandung merkuri yang terbuang ke dalam sungai atau laut dimakan oleh mikroorganisme tersebut dan secara kimiawi terubah menjadi senyawa metilmerkuri. Mikroorganisme dimakan ikan sehingga metilmerkuri terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan. Ikan kecil menjadi rantai
14
makanan ikan besar dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan penelitian, konsentrasi merkuri yang terakumulasi dalam tubuh ikan diperkirakan 40-50 ribu kali lipat dibandingkan konsentrasi merkuri dalam air yang terkontaminasi (Stwertka, 1998). Pengaruh toksisitas merkuri terhadap ikan dan biota perairan dapat bersifat lethal dan sublethal. Pengaruh lethal menyebabkan gangguan pada saraf pusat sehingga ikan tidak bergerak atau bernapas akibatnya cepat mati. Pengaruh sub lethal terjadi pada organ-organ tubuh, menyebabkan kerusakan pada hati, mengurangi potensi untuk berkembangbiak, pertumbuhan dan sebagainya. Selain itu pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat yang disebabkan oleh sifatnya yang stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam air dan kemudahannya diserap serta terakumulasi dalam jaringan tubuh organisme air (Alfian, 2006). Pencemaran lingkungan adalah suatu keadaan yang terjadi karena perubahan kondisi tata lingkungan (tanah, udara dan air) yang tidak menguntungkan (merusak dan merugikan kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan) yang disebabkan oleh kehadiran benda-benda asing (seperti sampah, limbah industri, minyak, logam berbahaya, dsb.) sebagai akibat perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan lingkungan tersebut tidak berfungsi seperti semula (Susilo, 2003). Oleh karena itu usaha pengolahan emas dengan menggunakan merkuri tidak boleh membuang limbahnya ke dalam aliran sungai sehingga tidak terjadi kontaminasi pada lingkungan disekitarnya, dan limbah yang mengandung merkuri harus ditempatkan secara khusus serta ditangani secara hati-hati (Darmono, 2006).
2.3. Bioremediasi Menggunakan Bakteri Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan
proses
biologi
dalam
mengendalikan
pencemaran.
Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikrob telah banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mereduksi senyawa organik dan
15
bahan beracun. Pada lingkungan tercemar merkuri banyak ditemukan komunitas bakteri pereduksi merkuri. Bakteri dapat digunakan untuk mereduksi logam merkuri dengan cara mentransformasikan logam berat tersebut melalui proses oksidasi, reduksi, metilasi, dan dimetilasi. Sifat kontinyu dari bakteri yang tahan Hg2+ yaitu yang dapat mereduksi Hg2+ menjadi Hg0 dengan merkuri reduktase serta menguapkan Hg0 dari limbah yang terkontaminasi (Gadd, 1992; Misra, 1992). Nakamura et al. (1990) menemukan bakteri aerob dan aerob fakultatif yang dapat mereduksi Hg2+ menjadi Hg0 dengan mekanisme detoksifikasi antara lain: Bacillus sp., Pseudomonas sp., Corynebacterium sp., Micrococcus sp. dan Vibrio sp. dari pantai Minamata, Jepang. Beberapa bakteri aerobik dan fakultatif dapat mengkatalisasi proses reduksi Hg2+ menjadi Hg0 seperti Bacillus, Pseudomonas, Corynebacterium, Micrococcus dan Vibrio (Blake et al., 1993). Sadhukhan et al. (1997) menemukan bakteri resisten merkuri dari genus Bacillus, Escherichia, Klebsiella, Micrococcus, Pseudomonas, Salmonella, Streptococcus, Staphylococcus, Shigella, and Sarcina yang diisolasi dari tambak ikan di Calcutta, India. Handayani (2001) menemukan bakteri pereduksi merkuri Pseudomonas sp. dan Flavobacterium sp. asal Pongkor dan Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah. Petrova et al. (2002) menemukan bakteri Gram positif (Micrococcos, Exiguobacterium, Arthrobacter dan Bacillus) dan bakteri Gram negatif (Pseudomonas, Acinotobacter, Myxobacteriales, dan Plesiomonas) yang diisolasi dari sedimen permafrost di Kolyma dan Canada. Sulastri (2002) menemukan bakteri pereduksi merkuri yaitu Escherichia coli, Aeromonas cavidae, Hafnia alvei, Citrobacter frundii, Pseudomonas psedomallei, dan Enterobacter agglomerans dari Ekosistem Air Hitam Kalimantan Tengah yang mampu tumbuh pada konsentrasi 320 ppm HgCl2 dan bakteri Pseudomonas pseudomallei ICBB 1512 memiliki aktivitas cukup tinggi dalam mereduksi merkuri dibandingkan isolat Flavobacterium sp. Zulkifli (2002) memperoleh bakteri pereduksi merkuri yang mampu tumbuh pada media LB dengan konsentrasi sampai 1000 ppm HgCl2 yaitu ICBB 2813, ICBB 2820, ICBB 1508, dan ICBB 1512. Nofiani (2004) menemukan bakteri Gram negatif yang resisten terhadap merkuri yaitu
16
Enterobacter cloacae dan E. hafniae dari daerah bekas penambangan emas tanpa izin (PETI) yang berumur 6 tahun di daerah Mandor, Kalimantan Barat. Media seleksi yang digunakan isolasi bakteri resisten merkuri adalah media seleksi padat Canstein yang mengandung HgCl2 10 g/ml. Menurut Green-Ruiz (2005) dengan menggunakan isolat Bacillus sp. dan pemberian pH optimal antara 4.5 – 7.0 pada 25 °C, kebanyakan adsorpsi merkuri terjadi pada 20 menit pertama. Madigan (2006) menemukan bakteri yang tahan terhadap merkuri dan menurunkan pencemaran merkuri, seperti Pseudomonas, Bacillus, Serratia, dan Enterobacter karena mempunyai operan gen mer yang menyandi enzim merkuri reduktase yang terkait dengan NADPH. Enzim ini mereduksi ion merkuri yang bersifat racun Hg2+ menjadi ion Hg0 yang tidak berbahaya. Jaysankar (2008) menemukan beberapa bakteri resistan merkuri dari laut yang mampu tumbuh sampai 25 ppm (mg/l) yaitu: Alcaligenes faecalis (tujuh isolat), Bacillus pumilus (tiga isolat), Bacillus sp. (satu isolat), Pseudomonas aeruginosa (satu isolat), and Brevibacterium iodinium (satu isolat). Suheryanto et al., (2008) menemukan 6 isolat yang mampu tumbuh pada media LB dengan konsentrasi antara 1.0 ppm sampai 2.5 ppm MeHg (metil merkuri) dari Sungai Sangon, Yogyakarta. Santi (2009) menemukan bahwa Pseudomonas fluorescens strain KTSS yang diisolasi dari tambang batu bara wilayah penambangan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam, Sumatera Selatan memiliki potensi mereduksi logam merkuri dalam tanah. Shovitri et al., (2010) menemukan 17 isolat bakteri tahan merkuri dari Kali Mas Surabaya dan berdasarkan karakter biokimia ke-17 isolat tersebut masuk ke dalam tujuh genus yang berbeda, yaitu ada kecenderungan masuk ke genus Providencia, Neisseria, Shigella, Lampropedia, Serratia, Enterobacter dan Bacillus. Ketujuh belas isolat tersebut secara individu mampu hidup pada 10 ppm HgCl2 dan mereduksi 43%-75% ion Hg2+ menjadi ion Hg0.
Mekanisme Transformasi Merkuri Mekanisme resistensi merkuri pada bakteri merupakan reduksi enzimatik Hg2+ oleh enzim merkuri reduktase di dalam sitoplasma menjadi logam Hg0 yang bersifat kurang toksik dibanding Hg2+, volatil dan cepat hilang dari lingkungan.
17
Selain menghasilkan enzim merkuri reduktase, bakteri resisten merkuri juga menghasilkan enzim organomerkuri liase yaitu: enzim yang memotong ikatan karbon merkuri dalam senyawa seperti metal merkuri dan fenil merkuri, sehingga Hg 2+ yang dilepas dan secara bertahap direduksi oleh merkuri reduktase (Misra, 1992). Proses detoksifikasi merkuri secara umum terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, senyawa organomerkuri didegradasi melalui pemecahan secara katalis ikatan C-Hg oleh organomerkuri liase, yang merupakan produk dari gen mer B. Pada tahap kedua, ion merkuri hasil tahap pertama direduksi secara enzimatik dengan menggunakan enzim merkuri reduktase (hasil dari mer A) dan mengkonsumsi NADPH, selanjutnya menghasilkan produk akhir logam merkuri (Hg0) yang dilepaskan keluar sel (Misra, 1992). Menurut Wagner-Dobler (2003) bakteri memiliki mekanisme untuk mendetoksifikasi merkuri [operon resisten merkuri (mer)] berdasarkan pada mekanisme reduksi intraselular Hg2+ menjadi bentuk non-toksik Hg0 oleh enzim merkuri reduktase. Aktivitas merkuri reduktase dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: konsentrasi Hg2+, pH, dan redoks potensial (Barkay et al., 1991). Aktivitas maksimal merkuri reduktase adalah 1.2 nmol mg-1 terjadi pada konsentrasi awal Hg2+ 50 mol dm-3 dan pH optimum 7.0 (Chang et al., 1999). Barkay (2000) menjelaskan bahwa ada empat jenis mekanisme enzimatis terkait dengan mekanisme transformasi merkuri yang dilakukan oleh bakteri yaitu: (1) reduksi Hg2+ menjadi Hg0, (2) pemecahan senyawa organomerkuri (termasuk MeHg+), yang menghasilkan bentuk Hg0, (3) metilasi Hg2+, dan oksidasi Hg0 menjadi Hg2+. Reaksi reduksi dan pemecahan senyawa organomerkuri dilakukan oleh enzim dan protein (mer) operon dari bakteri yang resisten terhadap merkuri dengan produk akhir Hg0. Operon mer memiliki situs pelekatan spesifik untuk protein (merT, merP, dan merC) yang mentransport Hg2+ ke dalam sitoplasma dan mencegah penghancuran sel. Di dalam sel, Hg2+ direduksi oleh NADPH menjadi Hg0 oleh enzim merkuri reduktase (merA). Beberapa operon mer bakteri mengandung gen merB yang mengkodekan enzim merkuri liase. Enzim ini dapat mendetoksifikasi senyawa organomerkuri termasuk MeHg2+ dan Me2Hg.
18
Detoksifikasi merkuri oleh bakteri resisten merkuri terjadi karena bakteri resisten merkuri memiliki gen resisten merkuri, mer operon. Struktur mer operon berbeda untuk tiap jenis bakteri. Umumnya struktur mer operon terdiri dari gen metaloregulator (merR), gen transpor merkuri (merT, merP, merC), gen merkuri reduktase (merA) dan organomerkuri liase (merB) (Silver, 1998; Nascimento, 2003). Yamaguchi et al., (2007) mengidentifikasi 3 tipe transport dalam bakteri yaitu gen mer C, gen mer F and gen mer T untuk mereduksi ion (Hg2+) dan metil merkuri menjadi elemen merkuri (Hg0) yang volatil dan tidak toksik. Menurut Tedja (2009) bahwa suhu dan pH merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan kehidupan bakteri. Suhu yang rendah dapat menyebabkan aktivitas enzim menurun dan jika suhu terlalu tinggi dapat mendenaturasi protein enzim. Pada suhu optimum pertumbuhan bakteri berlangsung dengan cepat. Diluar kisaran suhu optimum pertumbuhan bakteri menjadi lambat atau tidak ada pertumbuhan. Suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : (1) psikrofil (0-200C), (2) mesofil (20-500C), dan (3) termofil (501000C), sedangkan pH mempengaruhi metabolisme bakteri. Pada umumnya bakteri tumbuh dengan baik pada pH netral (7.0). Berdasarkan nilai pH yang dibutuhkan untuk kehidupannya dikenal 3 kelompok: (1) Acidofilik/ acidotoleran (asam), (2) Mesofilik/ mesotoleran (netral), dan (3) Basofilik/ basotoleran (basa). Pertumbuhan
sel
dicirikan
dengan
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
menggandakan massa atau jumlah sel. Umumnya pertumbuhan sel dinyatakan melalui massa sel, karena lebih mudah, cepat dan sederhana. Massa sel dalam penelitian dapat dianalisa melalui kerapatan optik/kekeruhan cairan media kultivasi dan bobot biomassa kering. Kurva kerapatan optik (OD) memiliki 3 fase yaitu: fase adaptasi, fase eksponensial, dan fase stasioner (Laily, 2004). Metode pewarnaan Gram bakteri ditemukan oleh Christian Gram tahun 1883. Pewarnaan gram merupakan pewarnaan diferensial dalam pencirian dan identifikasi bakteri. Bakteri gram positif berwarna ungu sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah, perbedaan hasil dalam pewarnaan gram disebabkan perbedaan struktur dinding sel bakteri. Dalam pewarnaan Gram digunakan biakan segar yang berumur
19
24-48 jam untuk mendapatkan hasil yang baik terutama pada bakteri Gram positif, jika digunakan biakan tua maka banyak sel mengalami kerusakan pada dindingnya sehingga zat warna dapat keluar sewaktu dicuci dengan larutan pemucat. Ini berarti bahwa bakteri Gram positif dengan dinding yang rusak tidak lagi dapat mempertahankan kompleks warna kristal violet-yodium sehingga terlihat sebagai bakteri gram negatif (Bibiana, 1994). Perbedaan antara bakteri Gram positif dan Gram negatif terletak pada dinding selnya. Pada bakteri Gram positif dinding sel tersusun atas peptidoglikan dan komponen khusus berupa asam-asam teikhoat dan teikhuronat serta polisakarida; sedangkan dinding sel bakteri Gram negatif tersusun atas peptidoglikan dengan komponen-komponen khusus berupa lipoprotein, selaput luar dan lipopolisakarida (Tedja, 2009). Kemampuan bakteri menghasilkan polisakarida ekstraselular dapat melindungi sel dari pengaruh toksik logam berat (Ahmad et al., 2005).
2.4. Bioremediasi Menggunakan Bioreaktor Bioremediasi adalah upaya penanganan masalah limbah dan pencemaran lingkungan dengan menggunakan bakteri untuk membersihkan senyawa pencemar dari lingkungan. Pada proses ini terjadi biotransformasi atau biodetoksifikasi senyawa toksik menjadi senyawa yang kurang toksik atau tidak toksik. Bioremediasi dengan bakteri merupakan salah satu dari beberapa teknologi penyehatan lingkungan yang ekonomis dimana 1/400 lebih murah dibanding teknologi resin. Bioremediasi dapat membersihkan polutan yang ada dalam tanah dan air (Crawford, 2005). Bakteri resistan merkuri mampu membersihkan limbah industri mengandung merkuri secara sederhana, ramah lingkungan, dan merupakan salah satu teknologi alternatif yang efektif (Wagner, 2003). Menurut Sunarko (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu proses bioremediasi dalam pengolahan pencemar lingkungan yaitu (1) tersedianya mikroorganisme yang dapat mentransformasikan, mendegradasi dan mendetoksifikasi kontaminan sasaran, (2) ketersediaan nutrien dan kontaminan bagi
20
pertumbuhan bakteri, (3) kondisi lingkungan yang kondusif untuk hidup dan tumbuh, serta menunjang aktivitas transformatif bakteri dengan laju yang optimal. Bioreaktor atau reaktor biologis adalah tempat berlangsungnya perubahan suatu zat akibat adanya reaksi kimia dalam proses tangki fermentasi yang dikendalikan (Hartoto dan Sailah, 1992). Menurut Machfud et al. (1989), fermentasi memiliki pengertian sebagai suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktifitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Menurut Tjokrokusumo (1998) pada dasarnya reaktor pengolahan secara biologis dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu: reaktor pertumbuhan tersuspensi dan reaktor ertumbuhan melekat. Pada reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikrob tumbuh dan berkembang dalam keadaan tersuspensi; sedangkan pada reaktor pertumbuhan melekat, bakteri tumbuh pada media pendukung dengan membentuk lapisan film atau biofilm untuk melekatkan dirinya. Pertumbuhan bakteri akan melekat bila tumbuh pada medium padat sebagai pendukung dan aliran limbah kontak dengan organisme. Media pendukung dapat berupa batuan vulkanik, batu-batu besar karang, lembaran plastik bergelombang atau cakram yang berputar. Batuan vulkanik yang berperan sebagai media pendukung dimana bakteri pereduksi merkuri tumbuh diatas media tersebut membentuk lapisan biofilm untuk melekatkan diri pada permukaan batu (Tjokrokusumo, 1998). Menurut Barus (2007), dari hasil foto scanning electron micrograph (SEM) memperlihatkan morfologi batu vulkanik yang tidak teratur dan memiliki banyak rongga-rongga didalamnya. Rongga-rongga tersebut berfungsi sebagai tempat melekat bagi bakteri, membentuk koloni (pertumbuhan biofilm), dan memberikan perlindungan terhadap abrasi aliran limbah cair dalam bioreaktor (Elfrida, 1999). Biofilm merupakan suatu fenomena alamiah dimana sebagian besar bakteri di alam berasosiasi dengan permukaan padatan. Biofilm terdiri dari sel-sel bakteri yang melekat erat ke suatu permukaan sehingga berada dalam keadaan diam (sesil), tidak mudah lepas atau berpindah tempat (irreversible). Pelekatan ini seperti pada bakteri disertai oleh penumpukan bahan-bahan organik yang diselubungi oleh matrik polimer ekstraseluller yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Matrik ini berupa struktur
21
benang-benang bersilang satu sama lain yang dapat berupa perekat bagi biofilm. Biofilm terbentuk karena adanya interaksi antara bakteri dan permukaan yang ditempeli. Interaksi ini terjadi dengan adanya faktor-faktor yang meliputi kelembaban permukaan, makanan yang tersedia, pembentukan matrik ekstraseluller (exopolimer) yang terdiri dari polisakarida, faktor-faktor fisikokimia seperti interaksi muatan permukaan dan bakteri, ikatan ion, ikatan Van Der Waals, pH dan tegangan permukaan serta pengkondisian permukaan. Dengan kata lain terbentuknya biofilm adalah karena adanya daya tarik antara kedua permukaan (psikokimia) dan adanya alat yang menjembatani pelekatan (matrik eksopolisakarida). Odergaard et al. (1994) menyatakan bahwa keuntungan reaktor biofilm dalam menangani limbah industri yaitu: (1) perlakuan yang diterapkan dapat dibuat lebih kompak karena membutuhkan tempat yang relatif sedikit, (2) hasil perlakuan tidak terikat oleh pemisahan slugde pada akhir proses, dan (3) biomassa yang terjerat dapat digunakan dengan cara lain yang lebih khusus karena tidak tercampur dengan sludge. Menurut Barus (2007) pengolahan limbah cair dengan menggunakan sistem bioreaktor mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mereduksi merkuri dalam waktu yang relatif singkat. Pembentukan biofilm 6 hari merupakan kondisi paling optimum untuk mereduksi merkuri. Pada perlakuan tersebut menggunakan bakteri Pseudomonas pseudomallei ICBB 1512 yang mampu hidup pada 6 ppm HgCl2 dan dapat menurunkan merkuri sebesar 98.54 % (dari 6.53 menjadi 0.10 ppm). Pengoperasian bioreaktor menggunakan kultur tunggal bakteri pereduksi merkuri lebih efisien daripada penggunaan kultur campuran karena memiliki aktivitas yang tinggi sehingga dapat digunakan dalam pengolahan limbah tercemar merkuri (Zulkifli, 2002). Karbon aktif merupakan karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar sehingga dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti menyerap bau, warna, pengotor, bahkan logam berat seperti merkuri. Karbon aktif dalam bentuk serbuk kecepatan adsorpsinya lebih cepat daripada dalam bentuk butiran (granula). Sumber bahan baku karbon aktif terdiri dari kayu, ampas tebu, kulit buah, batok kelapa, dan batubara muda. Karbon aktif memiliki 2 bentuk yang biasa digunakan dalam
22
pengolahan air minum yaitu: bentuk bubuk dan bentuk butiran (granular). Karbon aktif selain dapat menghilangkan zat-zat organik, juga digunakan untuk menjerap bahan-bahan anorganik seperti Fe, Pb, Ag, Cd, Hg dan sebagainya dalam jumlah tertentu. Menurut Gluszcz et al. (2008) penggunaan karbon aktif dengan a fixed-bed bioreaktor dapat digunakan dalam proses bioreduksi ion merkuri karena dapat menurunkan konsentrasi merkuri sekitar 50%. Suhu berperan penting dalam mengatur jalannya reaksi metabolisme bagi semua makhluk hidup. Khususnya bagi bakteri, suhu lingkungan yang berada lebih tinggi dari suhu yang dapat ditoleransi akan menyebabkan denaturasi protein dan komponen sel esensial lainnya sehingga sel akan mati. Demikian pula bila suhu lingkungannya berada di bawah batas toleransi, membran sitoplasma tidak akan berwujud cair sehingga transportasi nutrisi akan terhambat dan proses kehidupan sel akan terhenti. Power of Hidrogen yang lazimnya disingkat pH (derajat keasaman) untuk menyatakan tingkat keasaman dan atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Yang dimaksudkan “keasaman” adalah konsentrasi ion hydrogen (H+) dalam pelarut air, sedangkan “kebasaan” adalah konsentrasi ion OH- dalam pelarut air. Suatu larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH=7, nilai pH>7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, dan nilai pH<7 menunjukan keasaman (Bibiana, 1994). Pertumbuhan dan kemampuan hidup bakteri sangat dipengaruhi sangat dipengaruhi oleh pH lingkungan dan tiap bakteri menunjukkan kebutuhan yang berbeda. Tiap mikrob memiliki kemampuan tumbuh dalam kisaran pH yang spesifik yang mungkin lebar atau sempit dengan laju pertumbuhan yang cepat dalam kisaran optimum yang sempit.
2.5. Bioremediasi Menggunakan Tanaman Bioremediasi tidak hanya terbatas pada pemanfaatan aktifitas mikrob, tetapi juga menggunakan tanaman yang disebut fitoremediasi. Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris „phytoremediation‟; kata ini sendiri tersusun atas dua kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton "tumbuhan" dan remediation yang
23
berasal dari kata Latin remedium "menyembuhkan", dalam hal ini berarti juga "menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan". Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada limbah organik maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al., 1998). Fitoremediasi adalah salah satu teknologi yang bersahabat dengan lingkungan yang tidak mahal dan efektif. Tanaman-tanaman hiperakumulator logam dapat digunakan untuk mengubah logam baik yang berasal dari daratan maupun lautan (Shah, 2007). Menurut Suthersan (2001) bahwa proses dalam fitoremediasi berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/ pencemar yang berada disekitarnya, yaitu: 1. Phytoacumulation adalah proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation. 2. Rhizofiltration adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. 3. Phytostabilization adalah penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil ) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media. 4. Rhyzodegradation adalah penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikrob yang berada disekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bakteri. 5. Phytodegradation adalah proses yang dilakukan tumbuhan menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun, batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan
24
enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degradasi. 6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi untuk selanjutnya di uapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200 sampai dengan 1000 liter perhari untuk setiap batang. Laporan pertama mengenai adanya tumbuhan hiperakumulator muncul pada tahun 1948 oleh Minguzzi dan Vergnano, yang menemukan kadar nikel sebesar 1.2% dalam daun Alyssum bertolonii. Tumbuhan hiperakumulator logam adalah tumbuhan yang mempunyai kemampuan untuk mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi. Kriteria tanaman hipertoleran (Chaney et al., 1995) adalah sebagai berikut: (1) Tumbuhan harus bersifat hipertoleran agar dapat mengakumulasi sejumlah besar logam berat di dalam batang serta daun, (2) tumbuhan harus mampu menyerap logam berat dari dalam larutan tanah dengan laju penyerapan yang tinggi, dan (3) tumbuhan harus mempunyai kemampuan untuk mentranslokasi logam berat yang diserap akar ke bagian batang serta daun. Hasil penelitian Syafrani (2007) bahwa tumbuhan wlingen (Scirpus grossus), melati air (Echinodorus paleafolius), genjer (Limnocharis flava), kiapu atau apu-apu (Pistia stratiotes) dapat digunakan untuk pengendalian limbah cair dari sub-DAS Tapung Kiri, Propinsi Riau. Menurut Guntur (2008) bahwa kualitas limbah rumah tangga yang telah melalui proses bioremediasi dengan simulasi tanaman air yaitu: Mendong (Iris sibirica), Teratai (Nymphaea firecrest), Kiambang (Spirodella polyrrhiza) dan Hidrilla (Hydrilla verticillata) pada umumnya telah memenuhi syarat untuk dilepas ke lingkungan, baik ditinjau dari kualitas fisik dan kimia, maupun kualitas mikrobiologis. Menurut Supradata (2005) bahwa tanaman hias jenis Cyperus alternifolius memiliki kinerja yang cukup baik dalam pengolahan air limbah rumah tangga dengan system lahan basah buatan aliran bawah permukaan (SSF-Wetlands).
25
Menurut Khiatuddin (2003) jenis-jenis tanaman yang dapat digunakan pada lahan basah buatan yaitu: 1) tanaman yang mencuat di permukaan air seperti: Andropogon virginianus, Polygonum spp., Alternanthera spp; Phalaris arundinacea, Thypa domingensis, Thypa latifolia, Thypa orientalis, Canna flaccid; 2) tanaman yang mengambang dalam
air
seperti:
Potamogeton
spp.,
Egeria
densa,
Ceratophyllum demersum, Elodea nuttallii, Myriophyllum aquaticum, Algae; dan 3) tanaman yang mengapung di permukaan air seperti: Lagorosiphon major, Salvinia rotundifolia, Spirodela polyrhiza, Pistia stratoites, Lemna minor, Eichornia crassipes, Lemna gibba.
Gambar 3. Jenis-jenis Tanaman Lahan Basah (Khiatuddin, 2003) Proses pengolahan limbah cair dalam kolam yang menggunakan tanaman air terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tanaman air, proses pertukaran dan penyerapan ion, dan tanaman air juga berperan dalam menstabilkan pengaruh iklim, angin, cahaya matahari dan suhu (Reed, 2005). Tanaman Typha sp. termasuk Kingdom: Plantae, (unranked): Angiosperms, (unranked): Monocots, (unranked): Commelinales, Ordo: Poales, Family: Typhaceae, Genus: Typha L. Tanaman Typha sp. sering digunakan sebagai bahan kerajinan atau tali. Menurut Hidayah (2010) tanaman Cattail (Typha Angustifolia) dalam sistem lahan basah buatan pengolahan air limbah domestik dapat menurunkan kandungan pencemar dalam air limbah dengan waktu tinggal 3 sampai dengan 15 hari, efisiensi penyisihan COD 77.6% - 91.8%, BOD 47.4% – 91.6% dan TSS 33.3% – 83.3%.
26
Keunggulan pengolahan air limbah dengan sistem ini selain kualitas hasil air pengolahan yang sesuai baku mutu air limbah domestik juga dapat meningkatkan kualitas tanah. Hibrid dari tanaman Typha angustifolia and Typha latifolia dapat digunakan sebagai tanaman lahan basah buatan (Selbo, 2004). Sedangkan tanaman Eceng gondok termasuk Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Liliopsida, Ordo: Commelinales, Famili: Pontederiaceae, Genus: Eichhornia Kunth, dan Spesies: E. crassipes. Eceng gondok atau enceng gondok adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0.4 – 0.8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut. Eichhornia crassipes merupakan tumbuhan air yang dapat menyerap hara dan logam berat dalam jumlah yang cukup signifikan. Zat hara yang terserap oleh akar tanaman akan ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan di bak percobaan menunjukkan bahwa penggunaan eceng gondok dengan penutupan 50% dari luas area percobaan pengolahan limbah cair tahu dapat menurunkan residu
a b Gambar 4. Tanaman Eceng gondok (a) dan tanaman Typha (b)
27
2.6. Lahan Basah Buatan Istilah “Lahan Basah”, sebagai terjemahan “wetland” baru dikenal di Indonesia sekitar tahun 1990. Sebelumnya masyarakat Indonesia menyebut kawasan lahan basah berdasarkan bentuk/nama fisik masing-masing tipe seperti: rawa, danau, sawah, tambak, dan sebagainya. Pengertian fisik lahan basah yang digunakan untuk menyamakan persepsi semua pihak mulai dikenal secara baku sejak diratifikasinya Konvensi Ramsar tahun 1991 yaitu: “Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.” Salah satu upaya minimalisasi limbah secara efektif dan efisien adalah menggunakan sistem lahan basah buatan. Lahan basah buatan adalah semua lahan basah yang secara sengaja diciptakan untuk menggantikan habitat alam sebagai suatu keharusan dalam rangka menurunkan tekanan limbah yang begitu besar dilepaskan ke perairan alam. Lahan basah buatan harus direncanakan, didisain, dikontruksi dan di monitor secara hati-hati. Komponen yang harus diperhatikan dalam lahan basah buatan adalah air, tanah, dan tanaman (Sabaruddin, 2006). Menurut Wang et al. (2010) Sistem Lahan Basah Buatan diklasifikasikan ke dalam 2 tipe yaitu sistem aliran horizontal (HFS) dan system aliran vertikal (VFS). Dalam sistem aliran horizontal dikenal 2 tipe yaitu: sistem aliran permukaan (surface flow = SF) dan sistem aliran bawah permukaan (subsurface flow = SSF). Klasifikasi Lahan Basah Buatan berdasarkan jenis tanaman yaitu : 1) sistem yang menggunakan tanaman makrophyta mengambang (floating), 2) sistem yang menggunakan tanaman makrophyta dalam air (submerged) dan umumnya digunakan pada sistem Lahan Basah Buatan tipe Aliran Permukaan (Surface Flow Wetlands), dan 3) sistem yang menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam (amphibiuos) dan biasanya digunakan untuk Lahan Basah Buatan tipe Aliran Bawah Permukaan (Subsurface Flow Wetlands) SSF-Wetlands. Sistem lahan basah bisa menggunakan aliran air dalam (submerged flow) ataupun aliran air permukaan (surface flow). Direkomendasikan ketinggian air sekitar
28
30 cm karena sel yang dangkal dipercaya memiliki aerasi limbah yang lebih baik daripada sel yang dalam. Selain itu, akar akan lebih banyak berada di bagian atas substrat dimana oksigen tersedia lebih banyak. Substrat yang umum digunakan adalah kerikil bersih dengan ukuran tertentu. Batuan sungai berbentuk bulat lebih disukai karena menghindari substrat mengeras. Pasir atau campuran kerikil/pasir merupakan alternatif yang baik. Batuan kapur tidak direkomendasikan karena mudah mengeras. Diameter kerikil yang digunakan berkisar antara 0.5-1.3 cm, bahkan ada yang menggunakan ukuran 5.0 cm, tetapi ukuran kerikil yang kecil diyakini lebih mendukung pertumbuhan tanaman. Sel terakhir dari sistem pengolah limbah lahan basah buatan biasanya berisi filter pasir. Selain kerikil dan pasir, dapat juga digunakan substrat yang mengandung tanah lempung dan lumpur. Substrat yang digunakan sebaiknya dicuci lebih dahulu untuk menghindari partikel halus yang dapat menyumbat ruang pori substrat sehingga terjadi aliran permukaan.