PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG FOGGING FOCUS PADA KEJADIAN DEMAM BERDARAH DI DESA MARISA SELATAN KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO Wahyu Priyadi Hulukati1, Rama P. Hiola2, Sunarto Kadir3 1
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
2
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
[email protected] [email protected] 3
Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
[email protected] Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas Negeri Gorontalo
ABSTRAK Fogging focus merupakan salah satu upaya pemerintah dalam pemberantasan sarang nyamuk. Namun fogging ini sendiri terkadang bisa disalah artikan oleh masyarakat awam. menurut masyarakat yang kurang memahami cara kerja fogging, fogging dapat mencegah terjadinya DBD dan harus dilakukan sebelum terjadi DBD di wilayah mereka. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah persepsi masyarakat tentang fogging focus memiliki hubungan dengan kejadian demam berdarah di Desa Marisa Selatan Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif dengan metode penelitian Public Opinion Survey. Tujuan umum dari penelitian ini untuk menganalisis hubungan dari persepsi masyarakat tentang fogging focus dengan kejadian demam berdarah di Desa Marisa Selatan. Populasi dalam penelitian adalah seleruh warga dari desa Marisa Selatan yakni berjumlah 3072 jiwa. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 150 sampel, Tehnik pengambilan sampel dilakukan secara non probability sampling. Hasil penelitian membuktikan bahwa persepsi masyarakat tentang fogging focus berhubungan dengan kejadian demam berdarah di Desa Marisa Selatan Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato. Diharapkan perlu pengawasan lebih ketat lagi serta peningkatan penyuluhan oleh instansi terkait tentang fungsi utama fogging serta cara pencegahan demam berdarah yang sebenarnya, sehingga masyarakat bisa paham tentang fungsi utama fogging focus dan bisa mengaplikasikan cara mencegah demam berdarah yang tepat dalam keseharian mereka. Kata Kunci : Fogging Focus, Demam Berdarah.
ABSTRACT Wahyu priyadi hulukati. 2014. Community Perception of Fogging Focus in the Incidence of Dengue Fever at Marisa Selatan village, Subdistrict of Marisa, District of Pohuwato. Skripsi. Department of Public Health. Faculty of Health and Sport Sciences. Universitas Negeri Gorontalo. The principal suvervisor was Dr. Hj. Rama P. Hiola, Dra, M.kes and co suvervisor was Dr. Sunarto Kadir, Drs, M.Kes. Fogging focus is one of government efforts in eradicating breeding place of mosquito. However, fogging is occasionally misinterpreted by common people who are less understanding toward fogging process. Fogging activity can prevent the incidence of dengue fever and has to be applied before the incidence of dengue fever attack the area. The research problem was whether community perception about fogging focus has the relationship with the incidence of dengue fever at Marisa Selatan village, subdistrict of Marisa, district of Pohuwato. The research aimed at nalyzing the relationship between community perception of fogging focus and the incidence of dengue fever at Marisa Selatan village. The research was categorized to descriptive research through public opinion survey. Population were were all people from marisa selatan village who were amounted to 3072 people. Samples applied non probalility sampling which led to the amount of sample taken was 150 people. The result showed that community perception of fogging focus related to the incidence of dengue fever at Marisa Selatan village, subdistrict of Marisa, district of Pohuwato. It is recommended to do serious control and conduct more socialization activity by related parties about fogging activity and prevention of dengue fever, so people can
understand the major purpose of fogging focus and apply the prevention way precisely in their daily activities.
Keywords : fogging focus, dengue fever 1.
PENDAHULUAN Demam berdarah atau demam dengue (disingkat DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Nyamuk atau beberapa jenis nyamuk menularkan (atau menyebarkan) virus dengue. Demam dengue juga disebut sebagai "breakbone fever" atau "bonebreak fever" (demam sendi), karena demam tersebut dapat menyebabkan penderitanya mengalami nyeri hebat seakan-akan tulang mereka patah. Sejumlah gejala dari demam
dengue adalah demam; sakit kepala; kulit kemerahan yang tampak seperti campak; dan nyeri otot dan persendian. Pada sejumlah pasien, demam dengue dapat berubah menjadi satu dari dua bentuk yang mengancam jiwa. Yang pertama adalah demam berdarah, yang menyebabkan pendarahan, kebocoran pembuluh darah (saluran yang mengalirkan darah), dan rendahnya tingkat trombosit darah (yang menyebabkan darah membeku). Yang kedua adalah sindrom renjat dengue, yang
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya. Berbagai metode dan usaha pemberantasan telah banyak dilakukan pemerintah dan masyarakat. Pemberantasan penyakit DBD pada dasarnya secara umum dilakukan dengan pendekatan dan metode pemberantasan penyakit menular lainnya. Hanya yang menjadi catatan kita, sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virus ini. Pemberantasan penyakit DBD pada akhirnya dilaksanakan terutama dengan memberantas nyamuk penularnya. Fogging adalah penyemprotan insektisida secara pengkabutan, biasanya dilakukan di wilayah yang ada penderita DBD untuk membunuh semua nyamuk. Sebenarnya tindakan ini ditujukan untuk membunuh nyamuk yang diduga telah menggigit seorang penderita DBD agar tida menularkan pada orang lain. Fogging atau pengkabutan menjadi salah satu metode yang sering digunakan dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD. Pada metode ini, suatu lokasi disemprot dengan insektisida menggunakan mesin. Fogging focus merupakan kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk DBD. Tujuan penanggulangan fokus dilaksanakan untuk membatasi penularan DBD dan mencegah KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta tempattempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan (Depkes, 2005). Dalam kajian ilmu psikologi dikenal istilah persepsi. Secara umum, persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian ada perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian
individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Jadi, persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu lebih singkatnya persepsi merupakan pendapat yang dimiliki seorang individu tentang suatu objek yang berada di lingkungannya. Marisa selatan adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Marisa kabupaten Pohuwato provinsi Gorontalo. Desa Marisa Selatan ini sendiri memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak, dimana laki-laki berjumlah 1525 jiwa dan perempuan berjumlah 1547 jiwa, jadi total semua penduduk desa Marisa Selatan berjumlah 3072 penduduk. Desa Marisa Selatan pada bulan September 2014 tercatat ada 4 orang warga desa Marisa Selatan yang ditemukan positif menderita DBD. Setelah ditelusuri pengetahuan mereka tentang DBD, ternyata mereka menganggap bahwa DBD akan hilang apabila diadakan fogging focus. Mereka berfikir munculnya penyakit DBD di desa mereka karena petugas kesehatan setempat tidak mengadakan fogging focus. Padahal kita ketahui bersama bahwa fogging focus hanya merupakan upaya pemberantasan nyamuk bukan upaya pencegahan sehingga akan dilaksanakan fogging apabila terdapat kasus DBD dan memenuhi kriteria fogging. Upaya pencegahan terhadap kasus DBD yakni 3M (menguras, menututp, mengubur) inilah yang dilupakan masyarakat desa Marisa Selatan. Mereka salah berpersepsi tentang fogging focus. Padahal pada
kenyataannya lifestyle merekalah yang mendatangkan DBD didesa tersebut. Dari survey awal peneliti, di desa Marisa selatan ini sendiri terdapat beberapa masalah kesehatan yang kelihatannya sepele namun berdampak besar pada kesehatan mereka. Lifestyle merekalah yang selama ini Bermasalah. salah satu contohnya adalah membuang sampah sembarangan. Selain itu, selama 3 tahun terkahir kasus DBD didesa Marisa Selatan tidak mengalami penurunan. Memang penderita ditiap tahunnya tidak banyak. Namun setidaknya penderita DBD tidak hilang dan tidak mengalami penurunan. Apalagi pada tahun 2014 ini penderita DBD di desa Marisa Selatan justru mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Betapa mengejutkan lagi, setelah disurvei rata-rata masyarakat Marisa Selatan berfikir bahwa kejadian DBD di desa mereka ini karena tidak adanya penyemprotan dari pihak nakes untuk mencegah terjadinya DBD. Mereka menganggap bahwa penyemprotan atau yang lebih kita kenal dengan istilah fogging merupakan tindakan pencegahan. Mereka beranggapan sebelum terjadi DBD seharusnya diadakan penyemprotan. Tentu saja persepsi seperti ini sangat keliru. Fogging bukan merupakan upaya pencegahan namun upaya pemberantasan nyamuk. Dan kegiatan fogging pun hanya dapat dilakukan sesuai prosedur. Salah satunya hanya apabila ditemukan penderita di lokasi tersebut baru bisa diadakan fogging. Persepsi yang keliru tentang fogging inilah yang sepertinya diduga merupakan faktor tidak menurunnya angka DBD di desa Marisa Selatan. Selain persepsi yang keliru tentang fogging, masyarakat tidak menindaklanjuti upaya pencegahan DBD dengan gerakan 3M (menguras, menutup, mengubur). Seperti yang kita ketahui, mencegah lebih
efektif daripada mengobati atau memberantas. Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak ditempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan barang-barang lain yang kemungkinan air tergenang yang tidak beralaskan tanah, misalnya bak mandi/WC, tempayan, drum, tempat minum burung, vas bunga/pot tanaman air, kaleng bekas, ban bekas, botol, tempurung kelapa, plastik, dan lain-lain yang dibuang disembarang tempat. Hal ini tentu saja tidak diperhatikan dengan baik oleh masyarakat desa Marisa Selatan. Lifestyle mereka yang cukup memprihatinkan diantaranya suka membuang sampah sembarangan dan didukung oleh persepsi yang keliru tentang fogging inilah yang diduga menjadi penyebab penderita DBD di desa mereka tidak kunjung menurun di tiap tahunnya. Memang angka penderita DBD di desa Marisa Selatan tidak terlalu banyak. Namun yang perlu dilihat adalah adanya peningkatan penderita ditahun ini. Dan penderitanya meningkat 2 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Apabila hal ini terus saja dibiarkan berkembang di desa Marisa Selatan, tidak menutup kemungkinan akan ada kenaikan kasus lagi untuk kedepannya. Masalah lainnya lagi adalah selama 3 tahun terakhir ini kurangnya penyuluhan aktif tentang upaya pemberantasan nyamuk DBD di desa Marisa Selatan. Pernyataan ini disampaikan oleh kepala desa Marisa Selatan yang merupakan penduduk tetap desa Marisa Selatan. Terbatasnya tenaga penyuluh kesehatan diwilayah kerja kabupaten pohuwato mungkin ikut menjadi salah satu faktor kurangnya penyuluhan tentang pencegahan DBD di desa Marisa Selatan. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Persepsi Masyarakat
Tentang Fogging Focus Pada Kejadian Demam Berdarah di Desa Marisa Selatan Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato” 2.
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian bertempat di Desa Marisa Selatan Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato. Waktu penelitian dilaksanakan 1 bulan yakni dari 11 november 2014 sampai dengan 11 desember 2015. Penelitian ini menggunakan metode penelitian public opinion survey dan hasil penelitiannya akan dijelaskan secara deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga dari Desa Marisa Selatan yakni yang berjumlah 3072 jiwa. Pengambilan sampel secara Non Probability Sampling
Data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data kualitatif, yakni data yang bukan dalam bentuk angka dan dijelaskan secara narasi. Dari hasil yang diperoleh, data akan diolah dalam bentuk deskriptif. Dimana peneliti akan mendeskripsikan hasil yang telah diperoleh. 3.
HASIL DAN PENELITIAN
Hasil Penelitian Tabel 1 Distribusi responden menurut persepsi masyarakat tentang fogging focus di Desa Marisa Selatan Persepsi N % Baik 32 21,3 Kurang baik 118 78,7% Sumber : Data primer, 2014 Berdasarkan tabel 4.4 diatas, menunjukan bahwa responden yang memiliki persepsi baik yaitu sejumlah 32 orang (21,3%), dan responden yang memiliki persepsi kurang baik yaitu sejumlah 118 orang (78,8%), Dari distribusi tabel yang tertera pada halaman lampiran 3, dapat dilihat bahwa
jelas sebagian besar warga Marisa Selatan tidak paham atau mempunyai persepsi/pendapat yang salah pada fogging focus. Hal ini ditunjukkan dari jawaban yang sama oleh 150 narasumber. Pada pertanyaan pertama, menurut sebagian besar narasumber DBD yang kembali terjadi pada tahun ini tepatnya pada bulan September kemarin bukan diakibatkan oleh faktor lingkungan melainkan terjadi karena kelalaian petugas. Kelalaian petugas yang dimaksudkan mereka disini adalah tidak adanya pengasapan yang dilakukan oleh petugas untuk mencegah terjadi DBD di desa mereka. Tentu saja ini merupakan persepsi/pendapat yang sangat keliru. Karena fogging/pengasapan hanya dilaksanakan apabila sudah terjadi DBD di dalam satu wilayah dan tidak dilaksnakan sebelum terjadinya DBD. Namun ada 27 sampel narasumber yang menyadari bahwa kembalinya DBD di desa mereka tersebut bukan karena kelalaian petugas. Pada pertanyaan kedua, mereka mengaku mengetahui apa itu fogging/pengasapan. Namun bukan berarti pengetahuan mereka tentang fogging benar. Mereka hanya mengetahui bahwa fogging/pengasapan dapat mencegah terjadinya DBD di desa mereka. Pada pertanyaan ketiga, mereka mengaku dalam 3 bulan terakhir yakni lebih tepatnya pada bulan September saat dilaporkan ada kasus DBD di desa Marisa Selatan dan penderita yang tercatat adalah 4 orang, petugas kesehatan datang melakukan fogging/pengasapan. Mereka juga mengeluhkan kalau petugas fogging datang terlambat. Nanti sudah ada korban DBD baru petugas fogging datang. Tentu saja hal ini sangat keliru. Karena petugas kesehatan setempat sudah menjalankan prosedur fogging dengan tepat atau sudah sesuai prosedur yang berlaku.
Pada pertanyaan yang keempat, pada saat dilakukan fogging/pengasapan, mereka mengaku tidak menerima penyuluhan apapun tentang pencegahan DBD. Mereka hanya menerima instruksi untuk bersiap-siap karena akan ada pengasapan di desa mereka dan untuk penyuluhan lain seperti cara mencegah DBD yang benar tidak dilakukan oleh petugas kesehatan setempat. Seharusnya, dari pihak tenaga kesehatan harus melakukan penyuluhan tentang cara mencegah DBD yang benar agar masyarakat tidak salah kaprah tentang fogging. Pada pertanyaan yang kelima ini diakui warga bahwa sebelum kejadian DBD harus dilaksanakan fogging terlebih dahulu. Persepsi yang keliru ini yang harus segera diluruskan agar kedepannya warga Marisa Selatan tidak lagi salah paham dengan fungsi fogging yang sebenarnya. Pada pertanyaan keenam, mereka berfikir bahwa fogging/pengasapan dapat mencegah penyakit DBD kembali ke desa mereka. Hal yang keliru ini merupakan tugas bagi para petugas tenaga kesehatan khususnya yang dibagian penyuluhan kesehatan masyarakat agar warga tidak lagi punya anggapan yang salah tentang fogging focus. Pada pertanyaan ketujuh, sebagian besar narasumber mengaku tidak mengetahui prinsip kerja 3M (menguras, mengubur, menutup). Hal yang seharusnya menjadi pencegah terjadinya DBD malah tidak diketahui oleh warga. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya tempat-tempat penampungan air hujan yang dibiarkan terbuka ditambah lagi dengan saluran air yang berada didepan rumah warga dibiarkan dalam keaadan tersumbat. Serta banyaknya botol-botol atau wadah-wadah bekas yang berserakan disekitar pemukiman warga. Tentu saja
benda-benda tersebut dapat menampung air dan menjadi tempat perkembangbiakkan nyamuk. Namun ada beberapa narasumber yakni sejumlah 47 orang mengaku mengetahui tentang 3M. Akan tetapi mereka tidak terlalu paham akan fungsi utama dari 3M tersebut. Pada pertanyaan kedelapan, warga mengaku tidak menerapkan prinsip kerja pencegahan DBD dengan 3M dalam keseharian mereka. Bagaimana mereka mau menerapkan prinsip 3M kalau mereka sendiri saja tidak tahu apa itu 3M. Sementara untuk narasumber yang mengaku mengetahui tentang 3M, mereka tetap tidak menerapkannya dalam keseharian mereka. Alasan utama mereka tidak menerapkan prinsip 3M dalam keseharian mereka dikarenakan mereka malas untuk melakukan hal tersebut. Ini merupakan masalah perilaku kesehatan yang harus segera di tindaklanjuti. Kalau dibiarkan, tidak menutup kemungkinan tahun-tahun akan datang DBD akan tetap menyerang desa mereka dan mungkin jumlah penderitanya akan bertambah. Pada pertanyaan terakhir ini, sebagian besar narasumber mengakui bahwa prinsip kerja 3M tersebut tidak dapat membantu mencegah kembalinya DBD di desa mereka. Tentu saja mereka menjawab demikian karena mereka tidak mengetahui pengertian dari 3M itu sendiri dan manfaatnya dalam mencegah terjadinya DBD. Mereka hanya berpatokan pada fogging/pengasapan-lah yang dapat mencegah terjadinya DBD di desa mereka. Namun buat narasumber yang mengetahui tentang 3M, mereka berpendapat bahwa 3M dapat mencegah DBD namun tidak seefektif pencegahan dengan cara fogging/pengasapan. Persepsi yang salah ini yang harus segera dibasmi. Pembahasan
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat Negara Indonesia sebagai Negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI, 2010). Di desa Marisa Selatan ini terdapat masalah demam berdarah yang selama 3 tahun terakhir ini selalu hadir dan tidak pernah berkurang. Malah tahun ini mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 terdapat warga Marisa Selatan positif DBD sebanyak 2 orang, tahun 2013 DBD kembali lagi dengan penderita masih tetap sama dengan tahun 2012 yakni sebanyak 2 orang dan pada tahun 2014 ini DBD masih tetap kembali lagi kali ini dengan penderita yang meningkat menjadi 4 orang. Memang kelihatannya penderita DBD ini sangat sedikit. Namun apabila tidak segera ditangani dan ditelusuri mengapa DBD masih saja terus kembali ke desa Marisa Selatan tidak menutup kemungkinan penderitanya akan semakin bertambah mengingat pada tahun ini penderitanya mengalami kenaikan. Berdasarkan hasil penelitian peneliti, ternyata warga Marisa Selatan memiliki persepsi yang salah tentang fogging focus. Persepsi yang salah ini yang menjadi salah satu faktor terjadinya DBD di Marisa Selatan. Bagaimana tidak, mereka berfikir bahwa kejadian DBD didesa mereka tersebut diakibatkan oleh tidak adanya penyemprotan dari pihak petugas. Mereka mengira bahwa fogging focus harus diadakan sebelum terjadi DBD. Padahal seperti yang kita ketahui bersama prosedurnya bukan seperti itu. Fogging
focus hanya akan dilaksanakan apabila ada pasien yang meninggal disuatu daerah akibat DBD, tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut, lebih dari 3 orang di daerah tersebut mengalami demam dan adanya jentikjentik nyamuk Aedes Aegypti, dan apabila ada laporan DBD dirumah sakit atau puskesmas di daerah tersebut maka pihak rumah sakit atau puskesmas akan segera melaporkan dalam waktu 24 jam, setelah itu akan diadakan penyelidikan epidemiologi baru kemudian di adakan fogging focus. Mereka berfikir fogging focus adalah tindakan pencegahan DBD yang harus dilakukan sebelum penyakit DBD menyerang mereka. Fogging focus menurut pendapat mereka adalah sesuatu yang dapat mencegah nyamuk DBD bersarang diwilayah mereka sehingga menyebabkan penyakit DBD. Tentu saja merupakan salah satu faktor tidak menurunnya jumlah penderita DBD tiap tahunnya di desa Marisa Selatan. Karena persepsi yang salah tersebut mereka tidak mengindahkan sanitasi lingkungan mereka. mereka hanya berpatokan di penyemprotan/fogging untuk mencegah terjadinya DBD tanpa mereka sadari bahwa untuk mencegah terjadinya DBD harus dimulai dari sanitasi lingkungan terlebih dahulu. Hal ini juga diperkuat dengan ketidaktahuan mereka tentang 3M (menguras, mengubur, dan menutup). Dari hasil wawancara, semua narasumber mengaku tidak tahu apa itu gerarakan 3M yang sebenarnya merupakan salah satu upaya pencegahan DBD. Yang lebih parah lagi, tidak adanya penyuluhan tentang pencegahan DBD dari petugas terkait. Kesalahan persepsi tentang fogging focus pada kejadian DBD di Desa Marisa Selatan ini tentu saja sangat erat pengaruhnya. Mereka tidak melaksanakan
upaya 3M untuk mencegah DBD karena menurut mereka hal tersebut tidak perlu lagi dikarenakan ada fogging/pengasapan yang akan mencegah terjadinya DBD. Apabila persepsi yang salah ini dibiarkan terus berkembang diwilayah Marisa Selatan tidak menutup kemungkinan angka kejadian DBD tiap tahunnya akan mengalami peningkatan. Dari hasil observasi peneliti, mmayoritas penduduk Marisa Selatan juga tidak memperhatikan kebersihan lingkungan tempat tinggal mereka. Hal yang paling sering peneliti jumpai adalah pakaian yang menggantung dan sampahsampah berupa botol yang dapat menampung air. Dari sinilah awal perkembangbiakkan nyamuk. Ketidakpedulian terhadap kebersihan lingkungan inilah yang sebenarnya memicu terjadinya DBD tiap tahunnya di desa Marisa Selatan ini. Bagaimana tidak, seperti yang kita ketahui bersama salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi terjadinya DBD disuatu wilayah adalah faktor lingkungannya. Sedangkan warga Marisa Selatan masih minim yang menyadari kesehatan lingkungannya. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya warga Marisa Selatan yang membuang sampah sembarangan. 4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan metode public opinion survey, dapat ditarik simpulan bahwa: 1. Masyarakat berpendapat bahwa fogging focus merupakan upaya pencegahan demam berdarah dan fogging focus harus dilaksanakan sebelum terjadi demam berdarah di desa mereka. 2. Persepsi mereka yang salah tentang fogging focus merupakan salah satu penyebab terjadinya demam berdarah di desa mereka.
Karena mereka hanya berpegangan pada fogging focus sebagai upaya pencegahan DBD dan mereka mengabaikan tehnik pencegahan DBD yang sebenarnya yakni pola hidup sehat dan kepedulian terhadap lingkungan. Saran 1. Bagi masyarakat a) Agar lebih peduli lagi akan lingkungan. b) Agar lebih memahami lagi tentang fogging focus yang sebenarnya. c) Agar menerapkan prinsip 3M dalam rangka mecegah kembalinya DBD di desa Marisa Selatan. 2. Bagi instansi terkait (Dinas Kesehatan dan Puskesmas) 3. Agar lebih meningkatkan pengawasan lingkungan di desa Marisa Selatan 4. Agar lebih aktif lagi memberikan penyuluhan tentang DBD dan cara pencegahannya pada warga desa Marisa Selatan. 5. Agar lebih memperhatikan persepsi masyarakat mengenai fogging focus. Jangan sampai mereka salah mengira kegunaan fogging focus yang sebenarnya. DAFTAR PUSTAKA Anggreini, S. 2010. Stop Demam Berdarah Dengue. Jogjakarta : Nuha Medika DEPKES RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: DEPKES RI Khairani, M. 2014. Psikologi Umum. Jogjakarta : Aswaja Pressindo
Miranda, L. 2013. 3 Syarat Agar Fogging Nyamuk Efektif. (Online), http://health.kompas.com/read/20 13/06/30/1931102/.3.Syarat.Agar. Fogging.Nyamuk.Efektif, diakses 17 September 2014 Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : RinekaCipta Prima, D. 2014. Virologi: Mengenal Virus, Penyakit, dan Pencegahannya. Jogjakarta : Nuha Medika Wiarto. 2014. Budaya Hidup sehat. Jakarta : Goyen Media Yasyin, S. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amanah