1.
Keadaan Umum Lokasi
1.1. Geografi Kecamatan Darmaga terletak di wilayah Bogor Barat dengan luas wilayah 2.437.636 Ha. Sebagian besar tanah yaitu 972 Ha digunakan untuk sawah, 1145 Ha lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 Ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Darmaga mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di Kecamatan Darmaga 1000 – 1500 mm/tahun, dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Jarak Kecamatan Darmaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 12 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat 180 km, dan dari ibukota negara Indonesia 60 km (peta lokasi kecamatan pada lampiran 1). Kecamatan Darmaga terdiri dari 10 desa, 24 dusun, 72 RW, 309 RT, dan 20.371 KK (Kepala Keluarga).
1.2. Demografi Jumlah penduduk Kecamatan Darmaga pada tahun 2004 adalah 84.609 jiwa yang didistribusikan menurut kelompok umur pada Tabel 24. Tabel 24. Distribusi Penduduk berdasarkan Kelompok Umur No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kelompok Umur (tahun) 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 ≥ 60 Jumlah
Jumlah 8.294 8.770 8.146 8.128 8.579 8.047 6.978 6.559 5.850 4.756 3.858 2.855 3.789 84.609
% 9,80 10,37 9,63 9,61 10,14 9,51 8,25 7,75 6,91 5,62 4,56 3,37 4,48 100
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Darmaga cukup beragam yaitu sektor pertanian, perdagangan, buruh, ABRI/TNI, dan pegawai negeri yang disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Distribusi Penduduk berdasarkan Jenis Pekerjaan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Pekerjaan PNS TNI/ Polri Pegawai/ karyawan Dagang/ Wiraswasta Petani & Peternak Jasa / Buruh Lainnya Jumlah
Jumlah
%
1.056 57 4.031 4.865 1.309 10.604 634 22.556
4,68 0,25 17,87 21,57 5,80 47,01 2,81 100
Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Darmaga masih rendah dimana 41,97% tidak tamat SD, 31,88 % tamat SD. Penduduk yang berpendidikan diploma maupun sarjana masih sangat sedikit yang terlihat pada Tabel 26.
Tabel 26. Distribusi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA D1 – D3 S1 – S3 Jumlah
Jumlah 35.513 26.973 10.889 8.791 959 1.484 84.609
% 41,97 31,88 12,87 10,39 1,13 1,75 100
1.3. Sarana dan Prasarana Kecamatan Darmaga mempunyai beberapa sarana dan prasarana yang cukup lengkap, seperti sarana dan prasarana sosial, pengairan, perhubungan, pertanian, dan perekonomian. Sarana dan prasarana sosial di Kecamatan Darmaga meliputi tempat ibadah yaitu 102 mesjid, 450 mushola, dan 5 surau, gedung pendidikan 93 buah, kantor desa 10 buah, dan lapangan olahraga 1 buah. Prasarana kesehatan terlihat pada Tabel 27. Tabel 27. Prasarana Kesehatan di Kecamatan Darmaga No 1. 2.
Prasarana Kesehatan Balai Pengobatan Poliklinik
Jumlah
% 2 1
2,11 1,05
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Rumah Bersalin Puskemas dengan tempat perawatan Puskesmas Puskesmas pembantu Posyandu Apotik Toko obat Jumlah
4 1 4 3 75 1 4 95
4,21 1,05 4,21 3,16 78,95 1,05 4,21 100
Sarana dan prasarana pengairan terdiri dari DAM 3 buah, Air PAM 1 buah, pompa air 305 buah, sungai/kali 3 buah, dan danau 2 buah. Sarana dan prasarana perhubungan meliputi lalu lintas darat sepanjang 108 km dengan alat pengangkutan sepeda motor/ojek dan angkutan kota. Terdapat 1 buah pasar, 260 toko/warung, 100 kios, 6 supermarket, dan 3 minimarket yang digunakan sebagai sarana perekonomian penduduk. Prasarana pendidikan di Kecamatan Darmaga terdiri dari universitas negeri, akademi, SMA, SMP, SD, TK, dan pondok pesantren yang terlihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Prasarana Pendidikan di Kecamatan Darmaga No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Prasarana Pendidikan Universitas Negeri Akademi Swasta SMU Swasta SMK Swasta Madrasah Aliyah Swasta SMP Negeri SMP Swasta Mts Swasta SD Negeri MI Negeri MI Swasta TK Swasta Pondok Pesantren Jumlah
2.
Jumlah
% 1 1 1 1 1 1 4 1 35 1 8 8 30 93
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Sampel
1,08 1,08 1,08 1,08 1,08 1,08 4,30 1,08 37,63 1,08 8,60 8,60 32,26 100
Karakteristik sosial ekonomi terdiri dari jumlah anggota keluarga, umur ibu dan bapak, tingkat pendidikan ibu dan bapak, pengeluaran pangan dan non pangan, dan pekerjaan ibu dan bapak. Secara umum karakteristik sosial ekonomi pada kedua kelompok relatif sama (Tabel 29). Jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang, sedikit diatas batasan keluarga ideal menurut BKKBN. Umumnya keluarga mempunyai satu atau dua anak. Umur ibu dan bapak kebanyakan berada pada kisaran 21-40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ibu dan bapak termasuk usia produktif baik untuk mendapatkan penghasilan maupun reproduksi menghasilkan keturunan. Tingkat pendidikan keluarga sampel tergolong rendah karena pendidikan ayah rata-rata sedikit diatas Sekolah Dasar (SD) yaitu 7 tahun dan pendidikan ibu sedikit dibawah ayah yaitu 6 tahun. Pendapatan keluarga didekati dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk keperluan rumahtangga yaitu Rp 683875,0 ± 401790,7 atau 75% untuk keperluan pangan dan 25% untuk non pangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk pangan yang melebihi pengeluaran untuk non pangan menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah (miskin). Ibu kebanyakan tidak bekerja sehingga perolehan penghasilan umumnya bersumber dari bapak. Pekerjaan ibu dan bapak cukup bervariasi tetapi bila dihubungkan dengan perolehan penghasilan maka jenis pekerjaan ibu dan bapak ini merupakan pekerjaan dengan penghasilan relatif rendah. Hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan ibu dan bapak yang rendah sehingga jenis pekerjaan seperti buruh tani, buruh pabrik, buruh bangunan, supir, dan dagang yang umumnya terdapat pada kedua kelompok ini. Dilihat dari jenis pekerjaan ibu dan bapak terlihat bahwa pekerjaan ibu dan bapak lebih mengandalkan kekuatan fisik sehingga membutuhkan konsumsi energi yang besar. Jenis pekerjaan yang penghasilannya relatif rendah sangat rawan terhadap pemenuhan pangan terutama bila dalam keluarga banyak terdapat anggota keluarga yang tidak produktif mendapatkan penghasilan. Hasil uji statistik karakteristik sosial ekonomi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05).
Tabel 29. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Sampel
Karakteristik Sosial Ekonomi Jumlah anggota keluarga (orang) Umur Ibu (tahun) Umur Bapak (tahun) Pendidikan Ibu (tahun) Pendidikan Bapak (thn) Pekerjaan Ibu : Tidak bekerja Buruh (tani, pabrik, cuci) Dagang, Swasta Pekerjaan Bapak : Tidak bekerja Buruh (tani, pabrik, bangunan) Dagang, Swasta Supir Pendapatan Keluarga (Rp/bln) Pendapatan per Kapita (Rp/kapita/bln) Pengeluaran Pangan (%) Pengeluaran Non Pangan (%)
Perlakuan (n = 27) 5,44 ± 2,10
Kontrol (n =29) 5,21 ± 1,68
Total (n = 56) 5,32 ± 1,88
Sig 0,64
25,74 ± 4,77 31,15 ± 6,49 6,89 ± 2,44 7,70 ± 2,87
25,86 ± 5,36 31,83 ± 6,65 6,17 ± 2,12 7,07 ± 2,84
25,80 ± 5,07 31,49 ± 6,57 6,53 ± 2,28 7,39 ± 2,86
0,93 0,70 0,25 0,41
20,21 ± 2,01 5,24 ± 0,36 2,03 ± 1,31
21,14 ± 3,25 3,20 ± 1,23 5,61 ± 0,61
20,12 ± 3,58 4,8 ± 2,16 4,5 ± 0,23
0,62 0,56 0,47
5,12 ± 2,61 16,51 ± 4,65 1,31 ± 0,25 5,27 ± 0,36
2,32 ± 0,36 17,15 ± 1,71 3,31 ± 0,23 7,02 ± 1,32
4,2 ± 15,8 ± 1,7 ± 5,9 ±
1,23 0,23 0,65 2,14
0,73 0,52 0,29 0,47
742851,9 ± 469752,4 136553,7 ± 103691,6 69,1 ± 28,8
628965,5 ± 325152,1 120722,7 ± 93542,9 80,6 ± 20,4
683875,0 ± 401790,7 128547,9 ± 113718,5 75,0 ± 25,2
0,30
0,23
30,9 ± 28,8
19,4 ± 20,4
24,9 ± 25,2
0,11
0,27
3. Status Gizi dan Morbiditas Ibu Menyusui
3.1. Berat Badan dan Indeks Massa Tubuh (IMT) Rata-rata berat badan ibu sebelum intervensi pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol. Rata-rata berat badan ibu menyusui ini lebih rendah daripada rata-rata berat badan ibu menyusui satu bulan setelah melahirkan di pedesaan Meksiko yaitu 53 ± 7,6 kg dengan tinggi badan 1,5 ± 0,1 m (Villalpando. S, et al, 2003). Berat badan ibu menyusui 0 – 4 bulan di Honduras dan Swedia juga lebih tinggi daripada berat badan ibu menyusui dalam penelitian ini yaitu 56 ± 11 kg pada ibu di Honduras dan 65 ± 10 kg pada ibu di Swedia. Setelah intervensi 4 bulan
rata-rata ibu menyusui mengalami penurunan berat badan 0,5 kg. Pada ibu kelompok perlakuan mengalami penurunan berat badan 1,5 kg sebaliknya pada ibu kelompok kontrol mengalami penambahan berat badan 0,3 kg. Rata-rata berat badan ibu menyusui disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Rerata Berat Badan (Kg) Ibu Menyusui Waktu Pengamatan
Perlakuan (n = 27)
Kontrol (n = 29)
Total (n = 56)
Sig
BB Sebelum
48,89 ± 6,00
51,03 ± 5,49
49,91 ± 5,79
0,17
BB Setelah
47,40 ± 5,32
51,37 ± 6,17
49,46 ± 6,06
0,13
Selisih
-1,48 ± 3,03
0,33 ± 3,39
-0,54 ± 3,32
0,14
Penurunan berat badan pada ibu menyusui biasa terjadi karena besarnya energi yang dibutuhkan untuk produksi ASI sehingga jaringan lemak pada adiposa akan cepat diurai untuk memenuhi kebutuhan energi ibu menyusui yang mempercepat penurunan berat badan terutama bila asupan makanan tidak mencukupi kebutuhan
dan aktivitas yang berat pada ibu menyusui. Asupan
makanan dan aktivitas fisik merupakan faktor penting yang menentukan terhadap berat badan. Hal ini ditegaskan dalam studi jaringan adiposa pada ibu menyusui (Lafontan et al, 1979; Rebuffe Scrive et al. 1985 dalam ACC/SCN, 1991) yang menunjukkan adanya perubahan spesifik dalam metabolisme simpanan energi selama menyusui. Lipolisis (penguraian lemak) jaringan adiposa di perut secara nyata lebih besar pada ibu yang menyusui daripada ibu yang tidak menyusui. Brewer et al, (1989) dan Butte et al (1984) dalam ACC/SCN, (1991) menunjukkan adanya defisit energi 110 – 343 kkal/hari pada ibu menyusui 4 – 6 bulan yang tinggal di rumah dengan gizi baik, setara dengan penurunan berat badan 2,6 – 7,9 kg selama 6 bulan.
60 50
51.03
48.89 47.4
49.91 49.46
51.37
40 30 BB Ibu (Kg) 20 10
-1.48
-0.54
0.33
sebelum setelah selisih
0 -10 perlakuan
kontrol
total
Gambar 7. Berat Badan Ibu Sebelum dan Setelah Intervensi
Butte (1981) mengemukakan adanya penurunan berat badan 5,5 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah empat bulan melahirkan. Heinig et al (1990) dalam ACC/SCN (1991) mengemukakan adanya penurunan berat badan 3,5 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah 6 bulan melahirkan. Studi lainnya Manning-Dalton dan Allen (1983) dalam ACC/SCN (1991) juga melaporkan hal yang sama yaitu adanya penurunan berat badan 2 kg pada ibu menyusui di Amerika setelah tiga bulan melahirkan. Dari beberapa studi tersebut dapat dikatakan bahwa penurunan berat badan ibu menyusui dalam penelitian ini relatif kecil. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh pemberian mie instan pada ibu menyusui terhadap kebutuhan zat gizi makro yaitu kebutuhan energi sehingga defisit energi yang lazim terjadi saat menyusui dapat diperkecil dan penurunan berat badan ibu relatif rendah. Adanya penurunan berat badan pada kelompok perlakuan dan pertambahan berat badan pada kelompok kontrol disebabkan karena ibu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian lebih banyak
pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Pekerjaan cuci pakaian merupakan aktivitas berat yang membutuhkan energi tinggi karena dilakukan disungai yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh ± 50 m dengan medan yang tidak rata. Aktivitas berat ini mempercepat penurunan berat badan. Pada kelompok perlakuan ibu yang tidak bekerja ada 20 orang dan bekerja sebagai buruh ada 5 orang sedangkan pada kelompok kontrol ibu yang tidak bekerja ada 21 orang dan bekerja sebagai buruh ada 3 orang. Aktivitas rumahtangga yang dilakukan ibu sehari-hari, asupan pangan yang rendah, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, dan sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama gizi kurang pada keluarga miskin sehingga ibu sangat rentan mengalami gizi kurang (World Bank, 2006). Selain itu bila dihubungkan dengan status gizi berdasarkan IMT maka terlihat bahwa ibu yang mempunyai status gizi lebih (IMT > 25) lebih banyak dijumpai pada kelompok kontrol sehingga penurunan berat badan ibu lebih terlihat pada kelompok perlakuan sedangkan pada kelompok kontrol terlihat kenaikan berat badan. Disamping itu bila dihubungkan dengan frekuensi dan lama menyusui pada bayi maka frekuensi dan lama menyusui bayi pada kelompok perlakuan lebih besar daripada bayi kelompok kontrol sehingga lipolisis dan defisit energi lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol sehingga penurunan berat badan lebih besar pada kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan bayi yang menyusu lebih dari 8 kali dalam sehari ada sebanyak 96% dengan lama menyusui 8,35 jam. Pada kelompok kontrol bayi yang menyusu lebih dari 8 kali dalam sehari ada sebanyak 86% dengan lama menyusui 8,19 jam (Tabel 53). Hal ini juga terlihat dalam studi Manning-Dalton dan Allen (1983) dalam ACC/SCN (1991) yang menemukan 22% ibu menyusui bertambah berat badannya setelah 3 bulan melahirkan berkaitan dengan intensitas dan durasi penyusuan yang sangat rendah. Adanya pemberian mie instan ini berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan energi ibu sehingga ibu kelompok perlakuan hanya mengalami penurunan berat badan yang relatif rendah, bahkan pada ibu kelompok kontrol bertambah berat badan meskipun pertambahan berat badannya relatif kecil.
Status gizi dapat dinilai berdasarkan IMT dengan rumus berat badan (kg) / tinggi badan (m) 2 yang dikategorikan menjadi status gizi kurang, normal (baik), dan status gizi lebih yang disajikan pada Tabel 31.
Tabel 31. Status Gizi Ibu berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) Status Gizi Sebelum Kurang ( IMT < 18 ) Normal ( 18 < IMT < 25 ) Lebih ( IMT > 25 ) Rataan IMT ± SD Setelah Kurang ( IMT < 18 ) Normal ( 18 < IMT < 25 ) Lebih ( IMT > 25 ) Rataan IMT ± SD
Perlakuan (n = 27) n %
Kontrol (n = 29) n %
Total (n = 56) n %
0 0,0 25 92,6 2 7,4 21,89 ± 2,76
0 0,0 24 82,8 5 17,2 22,93 ± 2,17
0 0,0 49 87,5 7 12,5 22,43 ± 2,51
0 0,0 25 92,6 2 7,4 21,22 ± 2,53
0 0,0 21 72,4 8 27,6 23,10 ± 2,73
0 0,0 46 82,2 10 17,9 22,18 ± 2,78
Berdasarkan IMT, status gizi ibu sebelum dan setelah intervensi umumnya normal (18 < IMT < 25) baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Tidak ada ibu yang mempunyai status gizi kurang pada kedua kelompok baik sebelum maupun setelah intervensi. Ibu dengan status gizi lebih (IMT > 25) lebih banyak dijumpai pada kelompok kontrol
daripada kelompok perlakuan sebelum dan setelah intervensi. Rata-rata IMT ibu menyusui dalam penelitian ini relatif sama dengan IMT ibu menyusui di Jawa Barat dalam Dijkhuizen et al (2001) yaitu 21,2 dengan kisaran 19,7 – 23,0. Hal ini berarti status gizi ibu menyusui berdasar IMT di Jawa Barat umumnya baik (normal). Bila dibandingkan dengan IMT ibu menyusui di negara maju maka IMT ibu menyusui di Amerika setelah satu bulan melahirkan lebih tinggi yaitu 23 ± 2,6 (Butte dan Garza, 1986 dalam ACC/SCN, 1991).
3.2. Kadar Hemoglobin Darah Ibu Menyusui Hemoglobin darah adalah salah satu indikator anemia yang ditetapkan WHO. Cut off anemia untuk wanita dewasa adalah < 12 g/dl. Kadar Hb ibu kedua kelompok sebelum intervensi sudah baik yaitu ≥ 12 g/dl. Kadar Hb ini lebih tinggi dibanding kadar Hb ibu menyusui di Kecamatan Parung kabupaten Bogor dalam studi Dahro, et al (1993) yaitu 11,9 ± 1,35. Dalam studi Dijkhuizen et al. (2001) di Kabupaten Bogor ditemukan kadar Hb ibu menyusui sebesar 11,7 ± 1,3 dengan prevalensi anemia 52% yang lebih tinggi daripada prevalensi anemia dalam penelitian ini. Kadar Hb penelitian ini pada awal intervensi lebih rendah dibanding dengan kadar Hb ibu hamil sebelum suplementasi biskuit multi gizi dalam penelitian Nasution, A (2003) yaitu 12,5 g/dl dan kadar Hb ibu menyusui di Meksiko setelah satu bulan melahirkan yaitu 12,7 ± 1,7 (Villalpando, et al, 2003). Kadar Hb darah disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Sebaran Ibu menurut Kadar HB Darah (g/dl) Kadar Hb Sebelum Rendah ( < 12 g / dl ) Normal ( ≥ 12 g / dl ) Total Rataan Hb ± SD Setelah Rendah ( < 12 g / dl ) Normal ( ≥ 12 g / dl ) Total Rataan Hb ± SD Selisih Rataan Hb ± SD
Perlakuan (n = 27) n %
Kontrol (n = 29) n %
Total (n = 56) n %
9 33,3 18 66,7 27 100 12,07 ± 1,68
10 19 29 12,38 ±
34,5 65,5 100 1,69
19 37 56 12,23 ±
33,9 66,1 100 1,68
10 37,0 17 63,0 27 100 12,44 ± 1,46
10 19 29 12,63 ±
34,5 65,5 100 1,47
20 36 56 12,54 ±
35,7 64,3 100 1,46
0,36 ± 1,69
0,25 ± 1,59
0,31 ± 1,63
Setelah intervensi terlihat adanya kenaikan kadar Hb pada kedua kelompok tetapi kenaikan terbesar terdapat pada kelompok perlakuan yaitu 0,36 ± 1,69 pada kelompok perlakuan dan 0,25 ± 1,59 pada kelompok kontrol. Kenaikan Hb ini disebabkan adanya mie instan yang mengandung zat besi pada ibu perlakuan dimana besi membentuk hemoglobin dalam sel darah merah, sebaliknya pada ibu kontrol tidak demikian. Rata-rata kadar Hb ibu kedua kelompok sebelum dan setelah intervensi masih tergolong normal yaitu pada kelompok perlakuan 12,07 ± 1,68 g/dl sebelum intervensi dan 12,44 ± 1,46 g/dl setelah intervensi. Pada kelompok kontrol rata-rata kadar Hb sebelum intervensi 12,38 ± 1,69 g/dl dan setelah intervensi 12,63 ± 1,47 g/dl. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar Hb sebelum dan setelah intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05). Adanya pengaruh fortifikasi atau suplementasi terhadap kenaikan kadar Hb didapati pada beberapa studi seperti Saidin M, et al (1995) mengemukakan fortifikasi mie instan dengan Fe 10 mg/100 g yang diberikan 3 kali seminggu 1 bungkus mie selama 14 minggu pada ibu hamil trimester II di Kabupaten Cianjur dapat meningkatkan kadar Hb 0,47 dan menurunkan anemia 5,2%. Pada penelitian lainnya Saidin. M, et al (1997) mengemukakan suplementasi besi (100 mg besi
elemental dan 0,25 mg asam folat) pada ibu hamil selama 3 bulan meningkatkan kadar Hb 0,4 g/dl dimana prevalensi anemia sebelum suplementasi 53,5%. Sumarmo, et al (1996) juga mengemukakan suplementasi besi 60 mg, folat 2 mg dan vitamin C pada ibu hamil yang anemia meningkatkan kadar Hb 1,6 g/dl. Dari beberapa penelitian ini diketahui bahwa suplementasi besi pada ibu yang dilakukan dengan pil ataupun makanan dapat meningkatkan Hb sekitar 0,3 sampai 1,6 g/dl. Kenaikan Hb ibu setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 8.
2.98 2.53
3 2.02
2.5 2
perlakuan kontrol total
kenaikan Hb 1.5 Ibu (%) 1 0.5 0 perlakuan
kontrol
total
Gambar 8. Kenaikan Hb Ibu setelah Intervensi (%)
Bila dianalisa kecilnya kenaikan kadar Hb setelah intervensi dapat dikatakan hal ini terjadi karena sebelum intervensi kadar Hb sudah baik sehingga absorpsi besi dari mie yang difortifikasi besi menjadi kurang efisien. Hal ini dijelaskan oleh Yip dan Dalman (1996) dimana pada orang anemia (Hb < 12 g/dl) absorpsi besi lebih efisien dibanding orang yang tidak anemia (Hb ≥ 12 g/dl). Selain itu kecilnya kenaikan kadar Hb disebabkan konsumsi pangan sumber besi yang rendah. Tingkat kecukupan besi yang berasal dari pangan dan mie instan setelah intervensi pada kelompok perlakuan adalah 78% dan pada kelompok kontrol adalah 53% (Tabel 52 ). Pemenuhan kebutuhan zat besi tidak dapat diharapkan hanya dari mie instan
fortifikasi saja karena mie instan bukan merupakan pangan pengganti (substitusi) melainkan sebagai pangan pelengkap (complementary) yang melengkapi kebutuhan zat besi sehingga pemenuhan zat besi utama tetap diharapkan berasal dari konsumsi pangan.
3.3. Kadar Feritin Darah Ibu Menyusui Kadar feritin darah menggambarkan tingkat simpanan (cadangan) besi didalam hati. Kadar feritin darah lebih akurat menggambarkan status besi dibanding kadar Hb. Bila kadar Hb diketahui normal sedangkan kadar feritin rendah maka sangat beresiko terhadap terjadinya anemia. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebelum intervensi, sebanyak 18,5% ibu kelompok perlakuan dan 17,2% ibu kelompok kontrol mempunyai kadar feritin darah rendah. Setelah intervensi terdapat penurunan jumlah ibu yang mempunyai kadar feritin rendah yaitu penurunan 11,1% pada ibu kelompok perlakuan sedangkan pada ibu kelompok kontrol penurunannya lebih kecil yaitu 6,9%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna kadar feritin darah sebelum dan setelah intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05). Kadar feritin darah disajikan pada Tabel 33.
Tabel 33. Sebaran Ibu menurut Kadar Feritin Darah Kadar Feritin Sebelum Rendah ( < 12 µg / L ) Normal ( ≥ 12 µg / L ) Total Rataan Feritin ± SD Setelah Rendah ( < 12 µg / L ) Normal ( ≥ 12 µg / L ) Total Rataan Feritin ± SD Selisih Rataan Feritin ± SD
Ibu Perlakuan (n = 27) n %
Ibu Kontrol (n = 29) n %
Total (n = 56) n %
5 18,5 22 81,5 27 100 38,89 ± 31,57
5 17,2 24 82,8 29 100 40,14 ± 33,24
10 17,9 46 82,1 56 100 39,54 ± 32,16
2 7,4 25 92,6 27 100 43,38 ± 33,59
3 10,3 26 89,7 29 100 41,49 ± 32,82
5 51 56 42,40 ±
4,48 ± 10,98
1,36 ± 6,18
8,9 91,1 100 2,9
2,87 ± 8,88
Kadar feritin ibu menyusui ini lebih tinggi daripada kadar feritin ibu menyusui di Kabupaten Bogor yaitu 20,36 ± 12,6 (Dahro, et al, 1993) dan feritin
ibu menyusui di Kabupaten Tangerang yaitu 22,2 ± 10,1 (Dahro, et al, 1994). Selain itu Dijkhuizen et al (2001) juga menemukan rata-rata kadar feritin ibu menyusui di Kabupaten Bogor adalah 13,9 µg/L dan proporsi ibu menyusui yang defisiensi besi berdasar feritin adalah 29%. Prevalensi anemia berdasar feritin pada ibu menyusui 0 – 4 bulan di Honduras juga tinggi yaitu 32% (Domeklof. M, et al, 2004). Dari berbagai studi kadar feritin tersebut dapat disimpulkan bahwa simpanan besi di dalam hati sebelum intervensi lebih tinggi pada ibu menyusui dalam penelitian ini. Sebaliknya bila dibandingkan prevalensi anemia (feritin < 12 µg/L) di Swedia pada ibu menyusui 0 – 4 bulan dengan prevalensi anemia pada penelitian ini maka prevalensi anemia di Swedia lebih rendah yaitu 12% (Domeklof. M, et al, 2004). Kenaikan feritin setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 9.
11.52
12 10
7.26
8 kenaikan feritin (%)
6
perlakuan kontrol
3.39
total
4 2 0
perlakuan
kontrol
total
Gambar 9. Kenaikan Feritin Darah Ibu Setelah Intervensi (%)
Pemberian mie instan fortifikasi selama 4 bulan menaikkan kadar feritin dengan kenaikan terbesar pada kelompok perlakuan yaitu 4,48 µg / L, sedangkan
pada kelompok kontrol 1,36 µg / L . Kenaikan feritin disebabkan adanya mie instan yang mengandung zat besi yang akan mengisi simpanan besi dalam hati terutama bila kadar Hb sudah cukup. Hal ini seperti terlihat pada kadar Hb awal intervensi yang sudah normal (≥ 12 g/dl) sehingga adanya fortifikasi lebih ditujukan pada pengisian simpanan besi daripada meningkatkan kadar Hb. Peningkatan ini lebih besar pada kelompok perlakuan karena adanya fortifikasi besi dalam mie instan. Pengaruh fortifikasi besi terhadap kenaikan feritin ini juga dibuktikan pada beberapa studi seperti Saidin, et al (1995) yang mengemukakan bahwa fortifikasi mie instan dengan Fe 10 mg/100 gr pada ibu hamil 3 kali seminggu 1 bungkus mie instan selama 14 minggu di Kabupaten Cianjur meningkatkan kadar feritin 0,43 µg/L dan menurunkan prevalensi anemia 5,2% yang sebelumnya 48,5%. Studi Saidin. M dkk (1997) lainnya juga mengemukakan bahwa suplementasi besi (100 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) pada ibu hamil selama 3 bulan di Kabupaten Cianjur meningkatkan kadar feritin 1,25 µg/L.
3.4. Morbiditas Ibu Menyusui Morbiditas adalah gambaran angka kesakitan yang diderita seseorang dalam suatu waktu tertentu. Untuk mengetahui morbiditas dilakukan skor morbiditas yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan frekuensi dan lama penyakit. Untuk mengetahui besaran resiko suatu penyakit digunakan skor yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dokter dengan kisaran skor 10 untuk penyakit yang tidak beresiko fatal seperti penyakit kulit, mata, dan sariawan. Skor 50 untuk penyakit bronchitis, asma, ISPA (batuk, pilek, sakit kepala, dan panas). Skor 70 untuk penyakit campak dan skor 80 untuk diare, batuk berdarah, kejang, dan muntaber yang dinilai beresiko fatal. Skor morbiditas ibu disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34. Skor Morbiditas Ibu menurut Kelompok Pengamatan Sebelum
Perlakuan (n =27) 152,22 ± 257,16
Kontrol (n = 29) 208,97 ± 373,83
Total (n = 56) 181,61 ± 321,29
Sig 0,51
Setelah
66,67 ± 160,53
100,34 ± 203,93
84,11 ± 183,42
0,49
Selisih
85,55 ± 112,37
108,63 ± 186,46
97,50 ± 106,41
0,45
Dari Tabel 34 terlihat bahwa morbiditas ibu perlakuan lebih baik daripada ibu kontrol baik sebelum dan setelah intervensi dimana skor morbiditas ibu perlakuan lebih rendah daripada skor morbiditas ibu kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan ibu perlakuan lebih baik daripada keadaan kesehatan ibu kontrol yang berarti ibu pada kelompok perlakuan relatif lebih jarang sakit dan mempunyai lama sakit yang lebih rendah daripada ibu pada kelompok kontrol. Penyakit yang sering diderita ibu adalah sakit kepala, demam, batuk , dan flu dengan frekuensi sakit rata-rata 2-3 kali dalam satu bulan dan lama sakit 2-6 hari. Frekuensi sakit kepala yang sering ini diduga disebabkan karena anemia karena berdasarkan pemeriksaan tekanan darah adalah normal. Demam, batuk, dan flu sering diderita diduga disebabkan keadaan rumah dan lingkungan sekitar yang kurang sehat. Sebahagian rumah yang ditemukan masih berlantai tanah, mempunyai ventilasi cahaya dan udara yang buruk, serta dekatnya jarak kandang hewan kerumah dengan kondisi kandang yang sangat kotor sehingga beresiko terhadap paparan patogen yang menimbulkan penyakit. Disamping itu perawatan kesehatan dan asupan pangan yang kurang baik berpotensi terhadap timbulnya penyakit. Pengobatan yang dilakukan saat sakit cenderung dengan membeli obat secara bebas di warung ataupun ke dukun daripada puskesmas. Pada akhir intervensi frekuensi sakit berkurang dibanding sebelum intervensi. World Bank (2006) mengemukakan bahwa pada keluarga berpenghasilan rendah, penyebab utama gizi kurang adalah rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan buruknya sanitasi disamping asupan pangan yang kurang. Bila dibandingkan morbiditas sebelum dan setelah intervensi terlihat bahwa terjadi penurunan morbiditas setelah intervensi dengan skor morbiditas paling rendah terdapat pada kelompok perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena adanya mie instan yang difortifikasi dengan berbagai vitamin dan mineral seperti zink dan besi yang berperan dalam imunitas tubuh sehingga dapat menurunkan morbiditas ibu. Defisiensi besi dapat menyebabkan kerusakan respon imunitas dan penurunan produksi antibodi (Walter, 2003). Hal ini diperkuat dalam berbagai studi seperti Black. R (2001) yang mendapati adanya penurunan insiden dan durasi diare pada anak yang mendapat suplementasi zink. Salgueiro et al (2002) juga mendapati
bahwa suplementasi zink di India, Jamaika, Peru dan Vietnam dapat menurunkan 41% insiden penyakit pneumonia pada anak-anak. Morbiditas yang lebih rendah pada ibu kelompok perlakuan dapat dihubungkan dengan status gizi ibu. Hubungan status gizi dan morbiditas merupakan hubungan timbal balik dimana morbiditas yang tinggi akan mengganggu metabolisme zat gizi sehingga mempengaruhi status gizi. Sebaliknya status gizi yang buruk akan menurunkan imunitas tubuh sehingga rawan terhadap berbagai penyakit. Studi pada 23 ibu menyusui gizi baik dan gizi kurang di Columbia menemukan bahwa kadar albumin, IgA, dan IgG lebih rendah pada ibu gizi kurang daripada ibu gizi baik (ACC/SCN, 1991). Hal ini menunjukkan bahwa pada ibu gizi kurang, respon imunitas dan produksi antibodi lebih rendah daripada ibu yang gizi baik. Meskipun hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) antar kelompok baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi tetapi adanya mie instan fortifikasi sudah menunjukkan kecenderungan penurunan morbiditas ibu. Penurunan skor morbiditas ibu setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 10.
57 56 55 54 penurunan morbiditas (%) 53 52 51 50 49
56.2
53.69
perlakuan kontrol total
51.98
perlakuan
kontrol
total
Gambar 10. Penurunan Skor Morbiditas Ibu setelah Intervensi (%)
4. Pertumbuhan dan Morbiditas Bayi 4.1. Pertumbuhan berdasarkan Berat Badan Bayi Pertumbuhan adalah salah satu dasar untuk menilai kecukupan gizi bayi yang berdampak terhadap aspek fisik sehingga pengukuran antropometri yang terdiri dari berat badan menurut umur dan panjang badan menurut umur digunakan sebagai penilaian pertumbuhan fisik (WHO, 2003). Pengukuran antropometri sering digunakan karena mudah, praktis, dan cepat memberi informasi status gizi dan kesehatan anak secara fisik (Soetjiningsih, 1995). Berat lahir bayi berdasarkan keterangan ibu relatif sama antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yaitu 3,24 ± 0,49 kg pada kelompok perlakuan dan 3,28 ± 0,41 kg pada kelompok kontrol, sedangkan panjang lahir kebanyakan ibu tidak mengetahuinya karena pengukuran saat lahir oleh penolong persalinan umumnya hanya berat badan lahir saja. Umur bayi pada kelompok perlakuan adalah 2,41 ± 1,19 bulan dan pada kelompok kontrol adalah 2,31 ± 1,11 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p < 0,05) berat badan awal intervensi dan panjang badan awal intervensi. Pada kelompok perlakuan bayi laki-laki ada 12 orang dan bayi perempuan 15 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol bayi laki-laki ada 13 orang dan bayi perempuan 16 orang. Penimbangan berat badan menurut umur pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 35, sedangkan penimbangan berat badan menurut umur yang diukur setiap bulan selama 4 bulan intervensi disajikan pada Lampiran 9.
Tabel 35. Berat Badan Bayi menurut Kelompok (Kg) Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Total
Waktu Pengamatan Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih
Perlakuan 5,17 ± 1,28 7,49 ± 1,12 2,32 ± 0,96 4,89 ± 1,23 7,23 ± 0,95 2,34 ± 0,14 5,04 ± 1,24 7,37 ± 1,04 2,32 ± 0,82
Kontrol 5,14 ± 1,19 7,43 ± 0,71 2,29 ± 0,32 4,83 ± 1,01 6,81 ± 0,80 1,98 ± 0,21 5,00 ± 1,11 7,15 ± 0,80 2,28 ± 1,13
Total 5,16 ± 1,22 7,46 ± 0,91 2,30 ± 0,16 4,86 ± 1,09 7,01 ± 0,89 2,15 ± 0,15 5,02 ± 1,16 7,26 ± 0,92 2,30 ± 0,97
Berat badan menurut umur (BB/U) bayi laki-laki dan bayi perempuan pada awal intervensi antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol relatif sama. Pada akhir intervensi terdapat perbedaan pertambahan berat badan bayi laki-laki dan bayi perempuan dimana pertambahan berat badan lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pemberian mie instan fortifikasi pada ibu menyusui, yaitu kontribusi energi dalam mie instan untuk memenuhi tingkat kecukupan energi ibu sehingga mampu menghasilkan ASI yang cukup bagi pertumbuhan khususnya pertambahan berat badan bayi. Perbedaan pertambahan berat badan bayi yang relatif kecil antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol disebabkan bayi pada kedua kelompok masih mengkonsumsi ASI. Lebih besarnya pertambahan berat badan pada kelompok perlakuan juga dapat disebabkan kadar besi ASI yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan sehingga menyebabkan lebih baiknya respon imunitas dan produksi antibodi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan. Morbiditas bayi juga berperan dalam pertumbuhan bayi dimana morbiditas bayi kelompok perlakuan lebih rendah daripada morbiditas bayi kelompok kontrol sehingga pertambahan berat badan bayi lebih besar pada bayi kelompok perlakuan. Bila dibandingkan berat badan bayi laki-laki dengan berat badan bayi perempuan dapat dilihat bahwa bayi laki-laki mempunyai berat badan yang lebih tinggi daripada bayi perempuan baik pada awal intervensi maupun pada akhir intervensi. Perbedaan ini lebih disebabkan karena perbedaan massa pembentuk tubuh dimana laki-laki lebih berotot dan mempunyai tulang yang besar sehingga relatif lebih berat. Pertambahan berat badan bayi pada akhir intervensi disajikan pada Gambar 11.
8 7
berat badan (Kg)
6 perlakuan sblm
5
perlakuan stlh perlakuan beda
4
kontrol sblm kontrol stlh
3
kontrol beda
2 1 0 laki-laki
perempuan
total
Gambar 11. Berat Badan Bayi Sebelum dan Setelah Intervensi berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok
Pertambahan berat badan bayi dalam studi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertambahan berat badan bayi 0-4 bulan yang mendapat ASI eksklusif yaitu 3,79 ± 0,46 kg ataupun bayi 0-4 bulan yang mendapat ASI + MPASI yaitu 3,43 ± 0,58 kg dalam studi Widodo Y (2004). Hal ini diduga karena bayi dalam penelitian ini sudah mendapat makanan lain (MPASI) sebelum umur 1 bulan. Pemberian MPASI akan menurunkan bioavailabilitas zat gizi dan faktor penting lain dalam ASI sehingga
mempengaruhi
pertumbuhan.
Herawati
(2003)
juga
mendapati
pertumbuhan panjang badan dan berat badan bayi laki-laki dan perempuan yang mendapat ASI eksklusif lebih tinggi daripada ASI non eksklusif. World Bank (2006) menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya malnutrisi pada bayi baik pada keluarga berpenghasilan rendah maupun keluarga berpenghasilan tinggi adalah pemberian makanan selain ASI sebelum bayi berusia 6 bulan.
Tabel 36. Pertambahan BB/U Bayi menurut Jenis Kelamin dan Kelompok (Kg) Jenis Kelamin Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Total Laki-laki Bulan Ke 1 0,45 ± 0,40 0,77 ± 0,64 0,61 ± 0,55 Bulan Ke 2 0,64 ± 0,48 0,51 ± 0,37 0,57 ± 0,43 Bulan Ke 3 0,57 ± 0,32 0,45 ± 0,26 0,51 ± 0,29 Bulan Ke 4 0,66 ± 0,41 0,55 ± 0,41 0,61 ± 0,41 Perempuan Bulan Ke 1 0,32 ± 0,53 0,63 ± 0,47 0,48 ± 0,51 Bulan Ke 2 0,99 ± 0,34 0,35 ± 0,38 0,66 ± 0,48 Bulan Ke 3 0,56 ± 0,44 0,35 ± 0,18 0,45 ± 0,34 Bulan Ke 4 0,48 ± 0,29 0,65 ± 0,45 0,56 ± 0,39 Total Bulan Ke 1 0,39 ± 0,46 0,71 ± 0,56 0,55 ± 0,53 Bulan Ke 2 0,79 ± 0,45 0,44 ± 0,38 0,61 ± 0,45 Bulan Ke 3 0,57 ± 0,37 0,40 ± 0,23 0,48 ± 0,32 Bulan Ke 4 0,58 ± 0,37 0,59 ± 0,42 0,59 ± 0,40
Pemberian MPASI yang umumnya terdiri dari sereal, pati dan umbi-umbian mengandung serat dan pitat tinggi yang mengganggu penyerapan zat gizi mikro seperti zink dan besi sehingga berpotensi mengakibatkan defisiensi gizi mikro pada bayi yang akan mempengaruhi pertumbuhannya (Dewey, 2000). Jika dibandingkan pertambahan berat badan bayi usia 1-4 bulan dengan pertambahan berat badan bayi usia 6-12 bulan yang sama-sama mendapat suplementasi zink dan besi dapat disimpulkan bahwa pertambahan berat badan bayi yang lebih tinggi terdapat pada bayi yang usianya lebih muda. Hal ini dibuktikan dalam berbagai studi pertambahan berat badan bayi berdasarkan umur. Dalam studi ini pertambahan berat badan bayi usia 1-4 bulan adalah 1,98 – 2,34 kg. Studi Lind T (2003) pertambahan berat badan bayi usia 6-12 bulan adalah 1,10 kg dengan suplementasi 10 mg zink sulfat dan 10 mg fero sulfat. Studi Riyadi H (2002) pertambahan berat badan bayi usia 6-24 bulan adalah 1,9 ± 0,7 kg dengan suplementasi 15 mg zink sulfat dan 15 mg fero sulfat. Hal ini juga didukung hasil penelitian Victora. C.G, et al (1998) yang mengamati pertambahan berat badan bayi dari lahir sampai usia 12 bulan dimana pertambahan berat badan bayi 0-6 bulan lebih besar daripada pertambahan berat badan bayi 6-12 bulan.
4.2. Pertumbuhan berdasarkan Panjang Badan Bayi Pengukuran panjang badan menurut umur pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 37, sedangkan pengukuran panjang badan menurut umur yang diukur setiap bulan selama 4 bulan intervensi disajikan pada Lampiran 9.
Tabel 37. Panjang Badan Bayi menurut Kelompok (cm) Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Total
Waktu Pengamatan Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih
Perlakuan 57,56 ± 4,50 67,29 ± 3,67 9,73 ± 2,14 58,73 ± 3,46 66,61 ± 2,98 7,88 ± 1,61 58,08 ± 4,04 66,99 ± 3,33 8,90 ± 3,02
Kontrol 58,93 ± 3,74 66,56 ± 2,96 7,63 ± 1,25 58,35 ± 3,14 64,85 ± 2,35 6,50 ± 0,36 58,67 ± 3,43 65,79 ± 2,80 7,12 ± 2,47
Total 58,27 ± 4,12 66,91 ± 3,28 8,64 ± 0,23 58,53 ± 3,23 65,69 ± 2,77 7,16 ± 1,02 58,38 ± 3,72 66,37 ± 3,10 7,98 ± 2,87
Dari Tabel 37 terlihat bahwa panjang badan bayi laki-laki dan bayi perempuan relatif sama pada awal intervensi sedangkan pada akhir intervensi panjang badan dan pertambahan panjang badan bayi laki-laki lebih tinggi daripada bayi perempuan. Pertambahan panjang badan bayi disajikan pada Gambar 12.
80
Panjang Badan (Cm)
70 60
perlakuan sblm perlakuan stlh perlakuan beda kontrol sblm kontrol stlh kontrol beda
50 40 30 20 10 0 laki-laki
perempuan
total
Gambar 12. Panjang Badan Bayi Sebelum dan Setelah Intervesi berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Dari Gambar 12 terlihat bahwa pertambahan panjang badan kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol baik pada bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Hal ini disebabkan adanya pengaruh pemberian mie instan yang
difortifikasi zink, besi, kalsium, dan vitamin A. Zink berinteraksi dengan hormon somatomedin C osteocalcin, testosteron, tiroid dan insulin yang berperan penting dalam pertumbuhan tulang sehingga berperan positif dalam pertumbuhan. Selain itu zink meningkatkan imunitas seluler dan sekresi antibodi sehingga dapat menurunkan morbiditas. Berkurangnya morbiditas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari morbiditas bayi kelompok perlakuan yang lebih rendah daripada morbiditas bayi kelompok kontrol (Tabel 43). Selain itu kalsium merupakan komponen utama pembentukan tulang sehingga berperan penting dalam pertumbuhan linier. Vitamin A juga berperan dalam pembentukan osteoclast dan osteoblast sebagai bagian dari proses pembentukan tulang sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan linier (Sinclair, 1991). Pertambahan panjang badan bayi setiap bulan disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38. Pertambahan PB/U Bayi menurut Jenis Kelamin dan Kelompok (cm) Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Total
Waktu Pengamatan Bulan Ke 1 Bulan Ke 2 Bulan Ke 3 Bulan Ke 4 Bulan Ke 1 Bulan Ke 2 Bulan Ke 3 Bulan Ke 4 Bulan Ke 1 Bulan Ke 2 Bulan Ke 3 Bulan Ke 4
Perlakuan 3,49 ± 2,51 2,15 ± 1,24 1,99 ± 1,07 2,11 ± 1,46 3,28 ± 1,54 1,65 ± 0,99 1,06 ± 0,63 1,88 ± 1,42 3,39 ± 2,10 1,93 ± 1,15 1,57 ± 1,00 2,01 ± 1,42
Kontrol 2,61 ± 1,40 2,01 ± 0,79 1,46 ± 0,82 1,56 ± 1,59 2,52 ± 1,54 1,50 ± 0,81 1,31 ± 0,60 1,18 ± 0,59 2,57 ± 1,44 1,78 ± 0,83 1,39 ± 0,72 1,39 ± 1,24
Total 3,04 ± 2,03 2,07 ± 1,01 1,71 ± 0,97 1,83 ± 1,53 2,88 ± 1,56 1,57 ± 0,89 1,19 ± 0,62 1,52 ± 1,11 2,97 ± 1,80 1,85 ± 0,99 1,48 ± 0,86 1,69 ± 1,36
Dari Tabel 38 terlihat bahwa pertambahan PB/U bayi setiap bulan selama intervensi selalu lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan dengan adanya mie instan fortifikasi dapat mengurangi penurunan persentase pertambahan panjang badan.
4.3. Pertumbuhan berdasarkan Z Skor BB/U
Z Skor adalah nilai tingkat pertumbuhan yang dibakukan dengan posisinya dari nilai rujukan. Nilai z skor pencapaian pertumbuhan bayi disajikan pada Tabel 39. Tabel 39. Rerata Z Skor BB/U Bayi menurut Kelompok Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Total
Waktu Pengamatan Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih
Perlakuan 0,04 ± 1,08 0,07 ± 1,07 0,03 ± 0,82 0,09 ± 1,08 -0,22 ± 1,48 -0,13 ± 1,23 0,06 ± 1,06 0,02 ± 1,02 -0,04 ± 1,00
Kontrol 0,39 ± 0,98 0,17 ± 0,95 -0,22 ± 1,23 -0,28 ± 0,96 -0,67 ± 0,75 -0,39 ± 0,84 0,09 ± 1,01 -0,20 ± 0,95 -0,29 ± 1,05
Total 0,23 ± 1,03 0,09 ± 0,99 -0,13 ± 1,04 -0,10 ± 1,01 -0,37 ± 0,92 -0,27 ± 1,03 0,07 ± 1,03 -0,11 ± 0,98 -0,19 ± 1,03
Dari Tabel 39 terlihat bahwa nilai z skor BB/U bayi pada awal intervensi cukup baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Setelah intervensi terlihat bahwa z skor BB/U mengalami penurunan dengan penurunan terbesar pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya intervensi mie berperan dalam mencegah tingkat penurunan z skor BB/U. Rerata z skor BB/U bayi pada setiap pengamatan disajikan pada Tabel 40.
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Total
Tabel 40. Rerata Z Skor BB/U Bayi Setiap Pengamatan Waktu Pengamatan Perlakuan Kontrol Bulan Ke 1 0,05 ± 1,08 0,39 ± 0,98 Bulan Ke 2 -0,23 ± 0,96 0,51 ± 0,81 Bulan Ke 3 -0,16 ± 0,97 0,34 ± 0,88 Bulan Ke 4 -0,16 ± 0,85 0,17 ± 0,95 Bulan Ke 5 -0,02 ± 1,02 -0,20 ± 0,95 Bulan Ke 1 0,08 ± 1,08 -0,28 ± 0,96 Bulan Ke 2 -0,40 ± 0,92 -0,27 ± 0,68 Bulan Ke 3 0,05 ± 1,00 -0,62 ± 0,46 Bulan Ke 4 0,05 ± 1,00 -0,85 ± 0,54 Bulan Ke 5 0,03 ± 0,08 -0,98 ± 0,33 Bulan Ke 1 0,06 ± 1,06 0,09 ± 1,01 Bulan Ke 2 -0,30 ± 0,92 0,16 ± 0,84 Bulan Ke 3 -0,07 ± 0,97 -0,09 ± 0,86 Bulan Ke 4 -0,06 ± 0,92 -0,29 ± 0,94 Bulan Ke 5 0,02 ± 1,02 -0,20 ± 0,95
Pada kelompok perlakuan penyimpangan z skor BB/U dari titik nol sudah mulai terjadi pada pengamatan bulan ke 2 (satu bulan intervensi) tetapi pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5 penyimpangan ini menjadi lebih kecil. Sebaliknya pada kelompok kontrol meskipun z skor BB/U pengamatan bulan ke 2 meningkat tetapi pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5 z skor BB/U mengalami penurunan yang semakin jauh dari titik nol. Penyimpangan z skor dari titik nol lebih besar pada akhir intervensi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa gagal tumbuh (growth faltering) yang terjadi pada akhir intervensi lebih besar pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Adanya
pemberian mie instan fortifikasi berarti berperan
dalam mencegah penyimpangan z skor BB/U yang lebih jauh dari titik nol. Gangguan pertumbuhan yang terjadi diduga dipicu oleh pemberian MPASI yang terlalu dini sehingga pemberian ASI menjadi tidak maksimal. Hal ini akan mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan gizi bayi karena MPASI yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi. Penyimpangan z skor BB/U yang terjadi pada akhir intervensi yaitu pada saat bayi berusia 5 – 9 bulan sama dengan hasil analisis penilaian status gizi balita yang dilakukan oleh Atmarita (1999) dalam Depkes (2003) dimana gagal tumbuh mulai terjadi pada usia 4 bulan. Hal ini ditegaskan oleh penemuan Unicef (1999) yang mengemukakan bahwa praktek pemberian MPASI yang buruk biasa terjadi di negara berkembang dan merupakan penyebab buruknya status gizi pada balita. Selain itu Gibson, et al (1997) juga melaporkan bahwa pemberian makanan pada usia dini menyebabkan berkurangnya intik ASI sehingga rawan terhadap terpenuhinya kebutuhan gizi bayi. Berdasarkan hal ini perlu untuk menggalakkan kembali pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan pemberian MPASI yang baik pada waktu yang tepat. Hal ini seperti dikemukakan oleh World Bank (2006) bahwa kebutuhan gizi bayi yang tidak terpenuhi sampai usia dua tahun tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan fisik bayi tetapi juga berdampak terhadap kesehatan bayi, perkembangan otak, inteligensi, dan produktivitas; dimana dampak ini sebagian besar tidak dapat diperbaiki (irreversible). Pada bayi laki-laki penyimpangan z skor dari titik nol lebih besar pada akhir intervensi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Pada bayi
perempuan kelompok perlakuan penyimpangan z skor BB/U yang terjadi pada pengamatan bulan ke 2 diperbaiki pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, bulan ke 5. Sebaliknya pada kelompok kontrol penyimpangan z skor BB/U pada pengamatan bulan ke 2 menjadi semakin jauh dari titik nol pada pengamatan bulan ke 3, bulan ke 4, dan bulan ke 5. Hal ini berarti bahwa pemberian mie instan fortifikasi berpengaruh dalam mencegah penyimpangan z skor BB/U yang semakin jauh dari titik nol. Oleh karena BB/U merupakan gambaran status gizi saat ini yang sangat sensitif terhadap perubahan berat badan maka lebih baiknya status gizi pada kelompok perlakuan disebabkan karena lebih baiknya kecukupan gizi dan morbiditas yang lebih rendah daripada bayi kelompok kontrol. Adanya penyakit akan menurunkan selera makan (appetite) sehingga mengakibatkan penurunan berat badan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Gibson, et al (1997) bahwa morbiditas dapat menurunkan fungsi zat gizi dalam tubuh sehingga mempengaruhi pertumbuhan terutama berat badan
4.4. Pertumbuhan berdasarkan Z Skor PB/U Nilai z skor PB/U bayi disajikan pada Tabel 41
Tabel 41. Rerata Z Skor PB/U Bayi Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Total
Waktu Pengamatan Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih Sebelum Setelah Selisih
Perlakuan - 0,22 ± 1,48 0,18 ± 1,17 0,40 ± 1,35 0,71 ± 1,04 0,18 ± 0,91 -0,53 ± 0,76 0,19 ± 1,37 -0,18 ± 1,04 -0,02 ± 1,20
Kontrol 0,76 ± 0,84 0,15 ± 0,95 -0,61 ± 0,75 0,23 ± 0,89 -0,66 ± 0,76 -0,89 ± 0,89 0,52 ± 0,89 -0,21 ± 0,95 -0,74 ± 0,81
Total 0,28 ± 1,28 0,16 ± 1,04 -0,12 ± 1,18 0,46 ± 0,98 -0,26 ± 0,92 -0,72 ± 0,83 0,36 ± 1,15 -0,02 ± 1,01 -0,39 ± 1,07
Dari Tabel 41 terlihat bahwa nilai z skor PB/U bayi pada awal intervensi cukup baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Setelah intervensi terlihat bahwa z skor PB/U mengalami penurunan dengan penurunan terbesar pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa adanya intervensi mie berperan
dalam mencegah tingkat penurunan z skor PB/U. Rerata z skor PB/U bayi pada setiap pengamatan disajikan pada Tabel 42.
Tabel 42. Rerata Z Skor PB/U Bayi pada Setiap Bulan Pengamatan Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Total
Waktu Pengamatan Bulan Ke 1 Bulan Ke 2 Bulan Ke 3 Bulan Ke 4 Bulan Ke 5 Bulan Ke 1 Bulan Ke 2 Bulan Ke 3 Bulan Ke 4 Bulan Ke 5 Bulan Ke 1 Bulan Ke 2 Bulan Ke 3 Bulan Ke 4 Bulan Ke 5
Perlakuan -0,22 ± 1,48 0,11 ± 1,45 0,06 ± 1,47 0,06 ± 1,41 0,18 ± 1,17 0,71 ± 1,04 0,89 ± 0,69 0,58 ± 0,87 0,16 ± 0,90 0,18 ± 0,91 0,19 ± 1,37 0,46 ± 1,22 0,29 ± 1,25 0,11 ± 1,19 0,18 ± 1,04
Kontrol 0,76 ± 0,84 0,68 ± 0,99 0,51 ± 0,97 0,26 ± 0,99 0,15 ± 0,95 0,23 ± 0,89 0,16 ± 0,86 -0,16 ± 0,87 -0,43 ± 0,76 -0,66 ± 0,76 0,52 ± 0,89 0,45 ± 0,96 0,21 ± 0,97 -0,05 ± 0,95 -0,21 ± 0,95
Oleh karena panjang badan menggambarkan status gizi masa lalu maka perbaikan yang terjadi pada bayi kelompok perlakuan selain disebabkan asupan gizi yang cukup dari makanan, juga dapat disebabkan asupan gizi yang cukup saat dalam kandungan ataupun karena faktor genetik. Dari Tabel 42 terlihat bahwa z skor PB/U kelompok perlakuan sudah mengalami penurunan mulai pengamatan bulan ke 3, dan pengamatan bulan ke 4; sedangkan pada pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi) z skor PB/U mengalami peningkatan. Sebaliknya pada kelompok kontrol mulai pengamatan bulan ke 2, bulan ke 3, bulan ke 4, dan pengamatan bulan ke 5, z skor terus mengalami penurunan yang semakin rendah (semakin jauh dari titik nol). Hal ini berarti bahwa mie instan fortifikasi berpengaruh dalam mencegah penyimpangan z skor PB/U semakin jauh dari titik nol. Pada bayi laki-laki kelompok perlakuan terlihat bahwa z skor PB/U cenderung mengalami kenaikan z skor mulai pengamatan bulan ke 2 sampai pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi). Sebaliknya pada kelompok kontrol z skor PB/U cenderung mengalami penurunan mulai pengamatan bulan ke 2 sampai pengamatan bulan ke 5 (akhir intervensi).
Pada bayi perempuan meskipun z skor PB/U kelompok perlakuan dan z skor PB/U kelompok kontrol cenderung mengalami penurunan tetapi penurunan z skor terlihat lebih besar pada kelompok kontrol. Oleh karena z skor PB/U menggambarkan status gizi masa lalu maka penurunan yang terjadi selain disebabkan asupan gizi yang kurang saat ini juga diduga disebabkan asupan gizi yang kurang saat dalam kandungan ataupun karena faktor genetik. Dari nilai z skor BB/U dan z skor PB/U dapat disimpulkan bahwa bayi pada akhir intervensi mengalami penurunan status gizi baik pada bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Penyimpangan Z skor yang semakin jauh dari titik nol didapati lebih besar pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan yang menunjukkan adanya pengaruh dari pemberian mie instan fortifikasi. Meskipun penyimpangan z skor masih belum terlalu jauh dari titik nol, penyimpangan ini harus diwaspadai karena bila tidak diperbaiki kecepatan pertumbuhan (growth spurt) yang menuntut besarnya kebutuhan gizi pada usia bayi akan mengakibatkan penyimpangan yang semakin besar sehingga susah untuk mengejar pacu tumbuhnya (catch up growth). World Bank (2006) mengemukakan bahwa upaya-upaya perbaikan gizi yang dilakukan setelah usia dua tahun tidak mampu memperbaiki kerusakan atau dampak kurang gizi yang terjadi pada usia dibawah dua tahun. Perbaikan gizi yang dilakukan pada usia dibawah dua tahun tidak saja berdampak terhadap pertumbuhan anak tetapi juga terhadap perkembangan otak, kecerdasan, dan produktivitas. Disamping itu perbaikan gizi juga berkaitan dengan ekonomi dimana adanya investasi dibidang gizi memberi pengembalian manfaat ekonomi yang tinggi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kemiskinan.
4.5. Morbiditas Bayi Morbiditas bayi dinilai berdasarkan skor morbiditas seperti pada morbiditas ibu yang dihitung berdasarkan skor penyakit dikalikan dengan frekuensi dan lama sakit. Skor penyakit ditentukan berdasarkan besar kecilnya resiko yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut dimana penyakit beresiko tinggi mempunyai skor tinggi dan sebaliknya penyakit beresiko rendah mempunyai skor rendah. Untuk menentukan
besar kecilnya resiko suatu penyakit didasarkan pada hasil wawancara dengan dokter. Skor morbiditas bayi disajikan pada Tabel 43.
Tabel 43. Skor Morbiditas Bayi menurut Kelompok
Waktu Pengamatan Sebelum
Perlakuan (n = 27)
Kontrol (n = 29)
Total (n =56)
Sig
187,04 ± 250,66
214,48 ± 253,70
201,25 ± 250,32
0,67
Setelah
132,22 ± 242,02
163,79 ± 310,21
148,57 ± 277,37
0,69
Selisih
54,82 ± 167,31
50,69 ± 111,87
52,68 ± 102,46
0,67
Dari Tabel 43 terlihat bahwa skor morbiditas kelompok perlakuan lebih rendah daripada skor morbiditas kelompok kontrol baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan bayi kelompok perlakuan lebih baik daripada keadaan kesehatan bayi kelompok kontrol. Bila dibandingkan morbiditas sebelum intervensi dengan morbiditas setelah intervensi terlihat bahwa terjadi penurunan morbiditas setelah intervensi dimana skor morbiditas paling rendah terdapat pada kelompok perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena kondisi kesehatan ibu kelompok perlakuan lebih baik daripada ibu kelompok kontrol yang dilihat dari skor morbiditas ibu (Tabel 34). Kondisi kesehatan yang baik ini akan memampukan ibu untuk menghasilkan ASI yang lebih baik dari segi volume dan kualitas gizinya untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. ASI yang dikonsumsi anak ini berperan dalam kekebalan terhadap pencegahan kuman penyakit. Morbiditas bayi yang rendah pada kelompok perlakuan ini juga dapat disebabkan karena volume ASI yang dikonsumsi bayi kelompok perlakuan lebih banyak daripada volume ASI yang dikonsumsi bayi kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi bayi lebih baik pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Disamping itu adanya zat kekebalan dalam ASI seperti laktoferin, lisozim, dan imunoglobulin mengakibatkan respon imunitas dan produksi antibodi lebih baik pada bayi kelompok perlakuan daripada bayi kelompok kontrol. (Suharyono, 1990). Berdasarkan hal ini maka morbiditas bayi dapat menurun. Faktor lainnya adalah bahwa tingkat kecukupan gizi bayi kelompok perlakuan juga relatif lebih tinggi daripada tingkat kecukupan gizi bayi kelompok kontrol yang terlihat pada Tabel 59 sehingga dapat berkontribusi terhadap morbiditas yang lebih rendah pada bayi kelompok perlakuan. Penurunan morbiditas bayi setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 13.
29.31 30
23.63
26.18
25 20
perlakuan kontrol total
penurunan 15 morbiditas (%)
10 5 0 perlakuan
kontrol
total
Gambar 13. Penurunan Skor Morbiditas Bayi setelah Intervensi (%)
Dari Gambar 13 terlihat bahwa meskipun penurunan morbiditas bayi kelompok perlakuan lebih tinggi daripada penurunan morbiditas bayi kelompok kontrol namun morbiditas bayi masih relatif tinggi. Penyakit yang banyak diderita bayi baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol adalah batuk, demam, dan flu yang tergolong pada penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas), serta diare dengan durasi 4-6 hari. Jenis penyakit ini sama dengan jenis penyakit peringkat utama terjadinya morbiditas yang dikemukakan HKI (2000) dan Unicef (2001) yaitu ISPA dan diare. Terjadinya morbiditas pada bayi dalam studi ini dipicu oleh pemberian MPASI yang terlalu dini dan perawatan kesehatan baik higiene dan sanitasi yang kurang baik. Beberapa rumah yang dijumpai tidak memenuhi syarat kesehatan seperti lantai rumah masih tanah, kurangnya ventilasi baik cahaya maupun udara, dan banyaknya kotoran hewan seperti kambing karena letak kandang langsung disamping rumah. Kondisi seperti ini sangat beresiko terhadap paparan patogen yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Selain itu rendahnya tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan serta kemampuan ekonomi mengakibatkan cara pengobatan
terhadap bayi juga kurang baik dimana bila bayi sakit, ibu lebih cenderung membawa ke dukun atau membeli obat di warung daripada membawa ke puskesmas. Pada studi ini sangat disayangkan semua bayi sudah diberi makanan selain ASI sebelum berumur satu bulan karena berdasarkan riset yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan disimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif sampai umur empat bulan dapat menurunkan morbiditas bayi 10 sampai 20 kali dan kematian bayi 1 sampai 7 kali (Depkes, 2001). World Bank menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya malnutrisi pada bayi adalah rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI eksklusif dan praktek pemberian MPASI, kurangnya waktu ibu untuk mengasuh anaknya secara baik, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, dan buruknya sanitasi. Praktek pemberian ASI eksklusif 6 bulan sampai saat ini masih sulit untuk dilaksanakan dan pemberian MPASI juga dilakukan secara tidak benar. Penelitian Herawati (2003) mendapati bahwa mulai umur 2,78 bulan bayi sudah diberi makanan selain ASI. Studi Sunaryo. E (2004) menemukan bahwa hanya 8,5% bayi mendapat ASI eksklusif 4 bulan dan hanya 2,1% bayi yang mendapat ASI eksklusif 5 bulan dan 6 bulan. Studi Riyadi. H (2002) menemukan bahwa lebih dari 90% bayi sudah mendapat MPASI sebelum berusia 4 bulan. Berdasarkan hal ini berbagai pihak harus bekerjasama untuk sosialisasi ASI dan MPASI menggunakan berbagai metode pendidikan gizi dan teknologi modern dalam mengatasi berbagai masalah gizi. Hal ini menuntut peran aktif tenaga gizi dalam program perbaikan gizi bayi tidak hanya dikota besar tetapi juga di pedesaan terpencil. Selain itu juga revitalisasi posyandu dan upaya mengatasi drop out kader harus dipikirkan dalam program perbaikan gizi mengingat peran penting posyandu dan kader dalam memantau pertumbuhan bayi dan anak balita. Meskipun uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) antar kelompok baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi tetapi adanya pemberian mie instan fortifikasi sudah menunjukkan kecenderungan penurunan morbiditas anak.
5. Kadar Zink dan Besi ASI
5.1. Kadar Zink ASI ASI merupakan cairan kompleks yang mengandung berbagai unsur penting yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin larut air, vitamin larut lemak, mineral dan sel-sel epitel. Konsentrasi (kadar) zat gizi dalam berbagai penelitian yang dikumpulkan oleh Committee on Nutrition (1985) menyatakan adanya variasi kadar gizi ASI. Perbedaan-perbedaan yang mempengaruhi kadar gizi ASI antara lain perbedaan lama kehamilan, intik pangan, cadangan gizi dan perubahan penggunaan zat gizi berdasarkan karakteristik hormon saat menyusui. Secara umum kadar gizi ASI tinggi saat lahir dan akan berkurang selama periode laktasi. Kadar zink dalam ASI ibu menyusui disajikan pada Tabel 44. Tabel 44. Kadar Zink ASI pada Ibu Menyusui (mg/L) Waktu Pengamatan Sebelum
Perlakuan (n = 27)
Kontrol (n =29)
Total (n =56)
Sig
2,19 ± 1,44
2,32 ± 1,75
2,26 ± 1,59
0,75
Setelah
3,81 ± 1,95
4,41 ± 2,74
4,12 ± 2,39
0,35
Selisih
1,62 ± 2,87
2,09 ± 3,24
1,86 ± 3,05
0,57
Dari Tabel 44 terlihat bahwa secara umum kadar zink ASI sebelum intervensi relatif sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yaitu berada pada kisaran 2,19 ± 1,44 mg/L sampai dengan 2,32 ± 1,75 mg/L dengan ratarata 2,26 ± 1,59 mg/L. Kadar ini relatif sama dengan zink ASI ibu yang mendapat biskuit fortifikasi zink ketika hamil yaitu berkisar 2,11 - 2,18 mg/L dalam studi Nasution. A, (2003) dan studi Fung. E, et al (1997) pada ibu yang menyusui eksklusif di California yaitu 2,20 mg/L. Kadar zink ASI dalam penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan rata-rata zink ASI yang dikemukakan Committee on Nutrition (1985) yaitu 1,2 ± 0,2 mg/L dan yang dikemukakan oleh Suharyono (1990) yaitu 1,59 ± 0,84 µg/ml pada ibu menyusui di Indonesia. Hasil uji statistik kadar
zink ASI sebelum dan setelah intervensi menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p<0,05). Beberapa studi yang menunjukkan kadar zink ASI yang lebih rendah dibanding kadar zink ASI sebelum intervensi dalam penelitian ini adalah studi Dorea. J.G (2002) yaitu 1 mg/L pada ibu di Amerika dengan umur penyusuan 6 bulan, studi Krebs. N (1998) yaitu 1 mg/L pada ibu menyusui di Amerika dengan umur penyusuan 2 – 3 bulan, studi Pambudi. J, et al (1999) pada ibu menyusui di Kabupaten Bogor dan Sukabumi yaitu 0,91 – 1,07 µg/ml, dan studi Casey et al (1989) dalam ACC/SCN (1991) yaitu 1 – 1,5 mg/L dengan umur penyusuan 3 bulan. Sebaliknya studi yang menunjukkan kadar zink ASI yang lebih tinggi dibanding kadar zink ASI dalam penelitian ini adalah studi Awadi Al (2000) di Kuwait yang mendapati kadar zink ASI pada ibu dengan umur penyusuan 0 – 6 bulan adalah 3,2 ± 0,12 mg/L, studi Walraven, et al (2002) dan Krebs (2002) yaitu kadar zink ASI 2 - 3 mg pada umur penyusuan 2-3 bulan. Dari beberapa studi ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kadar zink ASI pada ibu menyusui. Kadar zink ASI pada saat melahirkan tinggi dan semakin menurun dengan bertambahnya umur penyusuan (Lonnerdal, 2003). Adanya suplementasi zink dapat memberikan pengaruh yang bervariasi. Dalam penelitian ini fortifikasi zink pada mie instan selama 4 bulan meningkatkan kadar zink ASI. Krebs et al (1985) dalam ACC/SCN (1991) juga menemukan bahwa suplementasi zink 13 mg/hari berpengaruh terhadap kadar zink ASI setelah 6 bulan. Karra et al (1989) dalam ACC/SCN (1991) juga mengemukakan adanya pengaruh suplementasi Zn 50 mg/hari terhadap zink ASI setelah 34 hari. Kenaikan kadar zink ASI setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 14.
100 90 80 70 60 kenaikan kadar 50 Zn ASI (%) 40 30 20 10 0
90.09 73.97
82.3
perlakuan kontrol total
perlakuan
kontrol
total
Gambar 14. Kenaikan Kadar Zink ASI Ibu Setelah Intervensi (%)
Dari Gambar 14 terlihat bahwa kenaikan kadar zink ASI lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Kenaikan kadar zink ASI yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan disebabkan lebih baiknya konsumsi pangan sumber protein dan sumber zink pada ibu kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan (Tabel 46 dan 48). Pada kelompok kontrol konsumsi zink yang berasal dari pangan diluar mie instan pada awal intervensi adalah 6,1 ± 1,4 mg/hari (42 % AKG) sedangkan kelompok perlakuan 4,8 ± 1,6 mg/hari (34% AKG); pada akhir intervensi konsumsi zink pangan pada kelompok kontrol adalah 6,7 ± 2,0 mg/hari (48% AKG) dan kelompok perlakuan 6,5 ± 1,4 mg/hari (45% AKG). Selain konsumsi zink pangan yang lebih tinggi pada kelompok kontrol, konsumsi pitat yang menghambat absorpsi zink juga lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol sehingga jumlah zink terabsorpsi yang berasal dari pangan diluar mie instan lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Zink terabsorpsi awal intervensi pada kelompok kontrol adalah 2,08 mg dan akhir intervensi 2,86 mg; sedangkan pada kelompok perlakuan awal intervensi 1,58 mg dan akhir intervensi 2,25 mg (Tabel 47). Konsumsi pitat yang menghambat absorpsi zink berasal dari biji-bijian, kacangkacangan dan serealia.
Bentuk kimia senyawa zink dalam mie instan adalah zink oksida yang bersifat tidak larut dalam air sehingga bioavailabilitas dan absorpsinya rendah. Adanya fortifikasi zink dengan senyawa zink oksida pada mie instan mengakibatkan absorpsi zink pada kelompok perlakuan relatif rendah. Disamping itu intik zink yang berasal dari pangan diluar mie instan lebih besar pada kelompok kontrol sehingga kadar zink ASI lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada zink ASI kelompok perlakuan. Zink dilepaskan dari makanan sebagai ion bebas pada proses pencernaan dan diangkut ke membran basolateral enterocyt menuju sirkulasi darah portal. Sistem portal ini membawa zink yang diabsorpsi ke hati dan dari hati dibagi ke berbagai jaringan. Pengangkut utama zink dalam plasma adalah albumin dan α2 macroglobulin sehingga protein sangat mempengaruhi transport zink. Mekanisme pengaturan kadar zink dalam ASI yaitu zink yang berasal dari serum ibu akan dibawa ke kelenjar payudara untuk selanjutnya disintesis bersama dengan pembentukan air susu ibu. Sekresi zink dalam ASI sangat kompleks dan berhubungan dengan protein susu tertentu. Transporter ZnT-4 di kelenjar payudara berhubungan dengan sekresi zink ke ASI. Adaptasi ibu terhadap kebutuhan zink yang tinggi selama laktasi yaitu pada saat keluarnya zink endogenus dari usus dan ginjal, mobilisasi dan redistribusi dari pool zink tubuh mempengaruhi kadar zink dalam ASI. Intik kalsium pangan yang umumnya rendah di negara berkembang juga dapat mempengaruhi ketersediaan zink untuk disekresi dalam ASI. Zink di uptake oleh kelenjar payudara melalui ZTL1, Z1P1 dan Z1P4, sedangkan pengiriman ke ASI diatur oleh ZnT2 dan ZnT4 (Domeklof, 2004). Rendahnya kadar zink dalam ASI juga dapat disebabkan gangguan dalam transfer zink dari serum ibu ke payudara karena terganggunya pengangkut zink. Pada keadaan defisiensi zink berat terjadi mutasi dalam ZnT-4 yang dihasilkan kelenjar payudara. Mutasi ZnT-4 dapat mengakibatkan kadar zink ASI menjadi rendah (Krebs et al, 1994). Sejumlah studi cross sectional dan longitudinal menunjukkan tidak konsistennya korelasi antara intik zink pangan ibu dengan kadar zink ASI. Pemberian zink suplemen pada ibu di Peru setiap hari selama hamil dan minggu pertama laktasi menunjukkan tidak ada pengaruhnya terhadap zink kolostrum atau zink pada ASI 1 bulan atau ASI 3 bulan. Sementara hasil studi di Honduras dan
Swedia pada ibu menyusui menunjukkan bahwa perbedaan kadar zink ASI lebih disebabkan oleh perbedaan volume ASI daripada perbedaan zink plasma ibu (Domeklof, 2004). Selain itu pengamatan kadar zink ASI dan status zink ibu pada ibu gizi kurang dengan ibu gizi baik mengemukakan tidak ada perbedaan signifikan kadar zink ASI antara ibu gizi kurang dengan ibu gizi baik (Krebs N, 1998). Dalam penelitian ini juga terlihat tidak ada pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar zink ASI dimana setelah intervensi peningkatan kadar zink terbesar terdapat pada kelompok kontrol yaitu 2,09 ± 3,24 mg/l, sedangkan pada kelompok perlakuan hanya 1,62 ± 2,87 mg/l. Berdasarkan konsumsi zink pangan, zink terabsorpsi, konsumsi protein yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan, dan bentuk kimia senyawa zink dalam mie instan maka jelas mengapa kadar zink ASI pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok perlakuan.
5.2. Kadar Besi ASI ASI adalah sumber utama zat gizi pada bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan sehingga kadar zat gizi dalam ASI secara nyata berpengaruh. Perubahan komposisi zat gizi ASI terjadi pada minggu pertama. Kolostrum adalah cairan yang disekresi kelenjar payudara segera setelah lahir. Setelah periode kolostrum yaitu 4 –7 hari kadar lemak dan laktosa meningkat sedangkan kadar protein dan mineral menurun. Kadar besi dalam ASI tinggi saat lahir. Kadar besi dalam ASI matang adalah 0,2 – 0,9 mg/L (ACC/SCN, 1991). Kadar besi ASI disajikan pada Tabel 45.
Tabel 45. Kadar Besi ASI pada Ibu Menyusui (mg/L) Waktu Pengamatan Sebelum
Perlakuan (n =27)
Kontrol (n =29)
Total (n = 56)
Sig
3,95 ± 2,55
5,82 ± 2,96
4,92 ± 2,90
0,20
Setelah
6,76 ± 4,25
6,57 ± 6,21
6,66 ± 5,31
0,02*
Selisih
2,81 ± 4,39
0,75 ± 7,19
1,74 ± 6,04
0,71
* = berbeda nyata (p<0,05)
Dari Tabel 45 terlihat bahwa kadar besi ASI pada awal intervensi berada pada kisaran 3,95 ± 2,55 mg/L sampai dengan 5,82 ± 2,96 mg/L dengan rata-rata 4,92 ± 2,90 mg/L. Kadar besi ASI dalam penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan rata-rata besi ASI yang dikemukakan Committee on Nutrition (1985) yaitu 0,3 ± 0,1 mg/l dan yang dinyatakan oleh Suharyono (1990) yaitu 0,1 – 1,6 µg/ml. Studi Awadi Al (2000) pada ibu menyusui di Kuwait dengan umur penyusuan 0 – 6 bulan juga menunjukkan kadar besi ASI dalam penelitian ini lebih tinggi daripada kadar besi ASI di Kuwait yaitu 0,43 ± 0,04 mg/l. Pengamatan kadar besi ASI dengan status besi kurang dan status besi normal memberikan hasil yang berbeda. Pada ibu di Nigeria dengan status besi defisien, dan status besi normal atau lebih (Hb > 12 gr/dl) tidak ada perbedaan kadar besi ASI. Studi pada ibu di Peru juga menunjukkan kadar besi dan laktoferin dalam kolostrum yang sama antara ibu yang anemia dengan ibu yang tidak anemia yang berarti kadar besi ASI tidak berhubungan dengan status besi ibu. Lonnerdal (2003) juga mengemukakan status besi ibu yang dinilai dengan Hb, feritin, dan transferin tidak berhubungan kadar besi ASI pada ibu menyusui di Swiss. Selain itu tidak adanya hubungan kadar besi ASI dengan konsumsi besi pangan ini juga diamati oleh Villalpando et al (2003) yang menunjukkan konsumsi besi pangan kurang dari 11 mg/hari mempunyai kadar besi ASI 6,8 µmol/L, sedangkan konsumsi besi pangan 14-18 mg/hari mempunyai kadar besi ASI 6,8 - 8,5 µmol/L, dan konsumsi besi pangan lebih dari 19 mg/hari mempunyai kadar besi ASI 6,5 µmol/L. Hasil studi di Honduras dan Swedia pada ibu menyusui menunjukkan bahwa perbedaan kadar besi ASI lebih disebabkan oleh perbedaan volume ASI daripada perbedaan status besi ASI (Domeklof, 2004). Studi di India menunjukkan adanya dampak positif defisiensi besi terhadap kadar besi ASI. Pada ibu yang anemia berat secara nyata mempunyai kadar besi ASI lebih tinggi daripada ibu yang tidak anemia dimana konsentrasi laktoferin (protein pengikat besi) dalam ASI juga lebih tinggi pada ibu yang anemia (Lonnerdal, 2003). Hal sebaliknya ditemukan pada ibu defisiensi folat berat yang ditandai dengan anemia megaloblastik menunjukkan kadar folat ASI yang rendah dibanding ibu dengan gizi baik (Villalpando et al, 2003). Hasil yang sama juga ditunjukkan dalam Lonnerdal (2000) yaitu adanya suplementasi Fe 100 mg/hari pada ibu
menyusui yang anemia, kadar besi ASI lebih tinggi pada ibu yang mendapat suplementasi. Hal ini diperkuat oleh Lonnerdal (2003) yang menyatakan buruknya status gizi ibu dapat mengganggu fungsi kelenjar payudara khususnya fungsi metabolik dan sekresi zat gizi ke air susu. Nasution. A, (2003) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa suplementasi biskuit dengan 32,7 mg Fe pada ibu hamil selama 3 bulan berpengaruh terhadap kadar besi ASI. Dari studi-studi yang kontroversial ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan kadar besi ASI dapat terjadi karena perbedaan status besi ibu, perbedaan volume ASI, dan perbedaan konsumsi besi ibu. Kenaikan kadar besi ASI setelah intervensi yang dinyatakan dalam persentase disajikan pada Gambar 15.
80 70 60 kenaikan 50 kadar Fe ASI 40 (%) 30 20 10 0
71.14
35.37 12.89
perlakuan
kontrol
perlakuan kontrol total
total
Gambar 15. Kenaikan Kadar Besi ASI Ibu Setelah Intervensi (%) Dari Gambar 15 terlihat bahwa setelah intervensi kadar besi ASI meningkat pada kedua kelompok namun peningkatan terbesar terdapat pada kelompok perlakuan yaitu 71,14% sedangkan pada kelompok kontrol 12,89%. Hal ini disebabkan adanya mie instan yang difortifikasi dengan zat besi pada kelompok perlakuan sehingga konsumsi besi pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Rata-rata konsumsi besi dari mie instan pada kelompok perlakuan adalah 6,2 ± 0,9 mg (19% AKG) sedangkan pada kelompok kontrol 4,1 ± 0,3 mg (13% AKG) (Tabel 50). Sebaliknya konsumsi besi yang berasal dari pangan diluar
mie instan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol relatif sama (Tabel 48). Selain konsumsi besi yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan, kenaikan kadar feritin darah pada akhir intervensi juga lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Kenaikan kadar feritin darah pada kelompok perlakuan adalah 4,48 ± 10,98 µg/L sedangkan kelompok kontrol adalah 1,36 ± µg/L (Tabel 33). Hal ini menunjukkan bahwa fortifikasi mie instan dengan zat besi dapat meningkatkan konsumsi besi dan simpanan besi ibu yang mempengaruhi kadar besi ASI. Selain itu konsumsi protein yang berasal dari pangan diluar mie instan dan yang berasal dari mie instan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol relatif sama dimana konsumsi protein pada akhir intervensi cukup baik dengan tingkat kecukupan protein sekitar 110% (Tabel 49). Konsumsi protein ini berperan dalam mengangkut besi ke kelenjar payudara. Transferin dan laktoferin adalah protein pengangkut besi yang secara struktural dan fungsional hampir sama. Berperannya transferin dan laktoferin secara baik akan menentukan terhadap kadar besi ASI sehingga selain konsumsi besi, konsumsi protein juga diduga dapat menentukan kadar besi ASI. Disamping konsumsi besi dan protein, bentuk kimia besi dalam mie instan fortifikasi juga berperan dalam metabolisme besi karena menentukan absorpsi besi. Bentuk kimia besi dalam mie instan fortifikasi adalah ferosulfat yang bersifat larut air dengan bioavailabilitas relatif 100 yang artinya paling baik diabsorpsi sehingga besi yang diabsorpsi lebih banyak. Lewatnya besi dari plasma ke air susu dalam kelenjar payudara merupakan difusi pasif sehingga diduga ada korelasi positif antara kadar besi dalam plasma dengan kadar besi dalam air susu (Domeklof, 2004). Besi diabsorpsi di usus halus. Dari usus halus diangkut oleh protein transferin plasma ke sumsum tulang untuk membentuk hemoglobin dalam sel darah merah dan dilepaskan ke aliran darah. Dari darah dialirkan ke bagian lain dan simpanan besi seperti feritin, hemosiderin, mioglobin, dan besi enzim. Proses pengaturan besi di kelenjar payudara adalah besi diangkut dari darah oleh protein laktoferin ke kelenjar payudara sehingga transferin dan laktoferin berperan dalam pengangkutan besi sampai ke kelenjar payudara . Karena besi adalah pengikat alamiah transferin, kadar plasma transferin dapat diukur dengan jumlah besi yang
mengikatnya yang disebut sebagai kemampuan pengikat besi total (total iron binding capacity). Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa konsumsi besi, konsumsi protein, kadar feritin yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan, dan bentuk kimia besi yang sangat baik diabsorpsi mengakibatkan kadar besi ASI yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Uji statistik kadar besi ASI sebelum intervensi menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna, sedangkan setelah intervensi menunjukkan terdapat perbedaan bermakna kadar besi ASI (p<0,05). Hal ini berarti ada pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar besi ASI.
6. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Ibu Menyusui
6.1. Konsumsi Pangan Analisis konsumsi pangan dikelompokkan menjadi dua belas kelompok pangan yang disajikan pada Tabel 46.
Pengelompokan ini mengikuti
pengelompokan oleh Brown & Wuehler (2000) yaitu berdasarkan kandungan zink dan pitat dalam masing-masing kelompok pangan. Perhitungan kandungan zink tersedia untuk diabsorpsi dari masing-masing kelompok pangan yang dikonsumsi ibu menyusui disajikan pada Tabel 47.
Tabel 46. Konsumsi Bahan Pangan (gr/hari) Kelompok Pangan 1. Daging Sapi
Perlakuan (n =27) Sebelum Setelah 0,00 0,00
Kontrol (n = 29) Sebelum Setelah 1,11 0,00
Total (n =56) Sebelum Setelah 0,54 0,00
2. Ayam
8,62
6,90
7,41
11,11
8,04
8,93
3. Ikan
28,62
35,76
52,59
54,33
40,18
44,71
4. Telur
9,31
23,93
22,78
26,19
15,80
25,02
5. Susu
1,38
2,90
0,00
2,33
0,71
2,63
6. Roti
12,24
5,17
10,56
13,33
11,43
9,11
7. Serealia butir penuh (jagung, beras tak giling) 8. Kacang-kacangan
3,62
1,72
3,33
3,52
3,48
2,59
59,14
285,34
50,93
280,93
55,18
100,80
9. Serealia giling (tepung, beras giling) 10. Umbi-umbian
517,24
597,24
654,07
694,63
583,21
687,05
5,69
9,55
3,33
8,33
4,55
8,96
11. Sayur-sayuran
117,31
158,72
113,37
219,19
115,41
187,88
12. Buah-buahan
13,79
21,03
13,15
24,44
13,48
2,68
Dari Tabel 46 terlihat bahwa pola pangan dalam konsumsi sehari-hari ibu menyusui dominan pada kelompok pangan nabati yaitu serealia, sayuran, kacangkacangan dan olahannya. Kelompok pangan hewani yang terdiri dari jeroan, hati, ginjal, unggas, ikan, telur, dan susu sangat jarang dikonsumsi. Jeroan dan hati merupakan pangan hewani yang tinggi kandungan zinknya hampir tidak pernah dikonsumsi oleh ibu menyusui. Pangan hewani yang banyak dikonsumsi oleh ibu menyusui adalah ikan tetapi ikan yang dikonsumsi 80% adalah ikan asin, sedangkan ikan laut atau ikan air tawar jarang dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena daya beli ibu yang rendah sehingga lebih sering mengkonsumsi ikan asin yang harganya lebih murah daripada ikan segar baik ikan laut maupun ikan air tawar. Berdasarkan bahwa program perbaikan gizi selain dipengaruhi oleh pengatahuan gizi ibu juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi sehingga adanya kebijakan pemerintah melalui program-program peningkatan pendapatan pada keluarga miskin diharapkan dapat meningkatkan konsumsi gizi ibu menyusui atau kelompok rawan gizi lainya. Pangan hewani lain yang dikonsumsi ibu adalah telur ayam dan daging ayam tetapi dengan jumlah yang terbatas. Setelah intervensi kelompok pangan yang meningkat dikonsumsi adalah kacang-kacangan, sayuran, buah, dan umbi-umbian. Konsumsi kacang-kacangan yang terdiri dari tahu, tempe, oncom, dan kacang hijau banyak dikonsumsi ibu sebagai lauk untuk makan sehari-hari, sedangkan sayuran hijau seperti katuk, bayam, daun singkong, dan daun pepaya serta buah seperti pisang dan pepaya banyak dikonsumsi untuk memperlancar dan meningkatkan ASI berdasarkan anjuran bidan pada saat melahirkan. Umbi-umbian yang meningkat konsumsinya dibanding sebelum intervensi adalah singkong dimana ibu mengkonsumsinya sebagai camilan yaitu gorengan singkong.
Tabel 47. Kandungan Zn Kelompok Pangan dan Jumlah Zn-Terabsorpsi oleh Tubuh Perlakuan (n = 27) Kontrol (n = 29) Total (n =56) Kelompok Pangan 1. Daging Sapi Sebelum Setelah 2. Ayam Sebelum Setelah 3. Ikan Sebelum Setelah 4. Telur Sebelum Setelah 5. Susu Sebelum Setelah 6. Roti Sebelum Setelah 7. Serealia tdk glg Sebelum Setelah 8. Kacang-kacangan Sebelum Setelah 9. Serealia giling Sebelum Setelah 10. Umbi Sebelum Setelah 11. Sayuran Sebelum Setelah 12. Buah Sebelum Setelah TOTAL Sebelum Setelah Selisih
Pangan (gr)
Zn (mg)
ZnTA (mg)
Pangan (gr)
Zn (mg)
ZnTA (mg)
Pangan (gr)
Zn (mg)
ZnTA (mg)
0,00 0,00
0,00 0,00
0,00 0,00
1,11 0,00
0,04 0,00
0,03 0,00
0,54 0,00
0,04 0,00
0,03 0,00
8,62 6,90
0,22 0,17
0,11 0,08
7,41 11,11
0,18 0,26
0,08 0,13
8,04 8,93
0,19 0,22
0,09 0,11
28,62 35,76
0,83 1,03
0,41 0,50
52,59 54,33
1,51 1,54
0,74 0,76
40,18 44,71
1,14 1,28
0,56 0,63
9,31 23,93
0,11 0,30
0,06 0,16
22,78 26,19
0,29 0,33
0,15 0,17
15,80 25,02
0,20 0,31
0,10 0,16
1,38 2,90
0,02 0,05
0,01 0,03
0,00 2,33
0,00 0,04
0,00 0,02
0,71 2,63
0,02 0,05
0,01 0,03
12,24 5,17
0,11 0,05
0,05 0,02
10,56 13,33
0,10 0,12
0,04 0,05
11,43 9,11
0,09 0,08
0,04 0,04
3,62 1,72
0,07 0,04
0,01 0,00
3,33 3,52
0,06 0,07
0,01 0,01
3,48 2,59
0,06 0,06
0,01 0,01
59,14 285,34
0,89 4,28
0,09 0,43
50,93 280,93
0,77 4,22
0,08 0,42
55,18 100,80
0,83 1,50
0,08 0,15
517,24 597,24
3,10 3,58
0,52 0,60
654,07 694,63
3,92 4,17
0,65 0,70
583,21 687,05
3,50 4,12
0,58 0,69
5,69 9,55
0,02 0,04
0,01 0,01
3,33 8,33
0,01 0,03
0,00 0,01
4,55 8,96
0,02 0,04
0,01 0,01
117,31 158,72
0,53 0,72
0,29 0,39
113,37 219,19
0,51 0,99
0,28 0,55
115,41 187,88
0,52 0,85
0,29 0,47
13,79 21,03
0,01 0,02
0,02 0,03
13,15 24,44
0,01 0,02
0,02 0,04
13,48 2,68
0,01 0,02
0,02 0,03
776,96 1148,26 371,3
5,91 10,28 4,37
1,58 2,25 0,67
932,63 1338,33 405,7
7,4 11,79 4,39
2,08 2,86 0,78
852,01 1080,36 228,35
6,62 8,53 1,91
1,82 2,33 0,51
Untuk menghitung jumlah zink tersedia untuk diabsorpsi tubuh dari suatu kelompok pangan dilakukan dengan menghitung rasio molar pitat dengan kandungan zink. Kelonpok pangan yang mempunyai rasio molar <5 dikategorikan mempunyai tingkat availabilitas zink yang tinggi karena jumlah zink tersedia untuk diabsorpsi adalah sebesar 45 - 55 %. Kelompok pangan yang terdiri dari daging sapi, hati, ginjal, jeroan, unggas, pangan laut, telur, dan produk peternakan merupakan pangan yang mempunyai rasio molar 0 sehingga absorpsi zink 45 – 55%. Kelompok
pangan yang mempunyai rasio molar 5 – 15 dikategorikan mempunyai tingkat availabilitas zink sedang karena jumlah zink yang tersedia untuk diabsorpsi adalah sebesar 30 – 35%, dan kelompok pangan yang mempunyai rasio molar >15 dikategorikan mempunyai tingkat availabilitas zink rendah karena mempunyai tingkat availabilitas zink sangat rendah yaitu 10 – 15%. Nilai rasio molar pitat/Zn adalah (kandungan pitat pangan / 660) / (kandungan zink pangan / 65,4) dimana 660 adalah berat molekul pitat dan 65,4 adalah berat molekul zink. Hasil perhitungan zink tersedia untuk diabsorpsi (ZnTA) dari kelompok pangan ibu menyusui terlihat bahwa ZnTA sangat kecil yaitu berkisar 2,25 – 2,86 mg. ZnTA kelompok kontrol lebih besar daripada ZnTA kelompok perlakuan baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi. Kenaikan ZnTA setelah intervensi pada kelompok kontrol juga lebih besar (0,78 mg) dibanding ZnTA kelompok perlakuan (0,67 mg). Jika dilihat berdasarkan tingkat kecukupan maka ZnTA ini mempunyai tingkat kecukupan zink yang sangat rendah yaitu hanya 15%. Berdasarkan hal ini maka diperlukan peningkatan konsumsi makanan dengan kandungan zink tinggi, diantaranya melalui fortifikasi zink pada berbagai pangan.
Konsumsi Zat Gizi dari Pangan Konsumsi zat gizi dari pangan diluar mie instan menurut kelompok disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Konsumsi Zat Gizi dari Pangan Ibu Menyusui menurut Kelompok Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Zink (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg)
Perlakuan (n =27) Sebelum Setelah 1630,0 ± 1969 ± 428,3 591,4 46,2 ± 14,1 57,7 ± 25,2 4,8 ± 1,6 6,5 ± 1,4 13,7 ± 4,8 19,0 ± 7,6 459,4 ± 757,9 ± 302,7 562,1 24,6 ± 27,1 44,1 ± 46,8 309,8 ± 188,2 430,5 ± 168,3
505,1 ± 336,8 639,8 ± 399,8
Kontrol (n = 29) Sebelum Setelah 1492 ± 2044 ± 600,8 611,6 47,1 ± 24,6 61,5 ± 26,2 6,1 ± 7,2 6,7 ± 2,0 13,6 ± 6,3 20,8 ± 7,4 428,9 ± 697,5 ± 244,4 407,1 23,7 ± 19,3 42,9 ± 40,6 329,5 ± 160,9 456,8 ± 200,4
548,9 ± 193,2 689,6 ± 224,7
Total (n = 56) Sebelum Setelah 1574 ± 2008 ± 527,1 597,7 46,7 ± 20,1 59,6 ± 25,6 5,5 ± 5,3 6,6 ± 1,7 13,6 ± 5,6 20,0 ± 0,8 443,7 ± 726,7 ± 271,9 484,4 24,1 ± 23,2 43,5 ± 43,3 319,9 ± 173,3 444,1 ± 184,4
527,8 ± 270,4 665,6 ± 319,2
Dari Tabel 48 terlihat bahwa secara umum konsumsi zat gizi setelah intervensi cenderung meningkat dibanding sebelum intervensi. Uji beda konsumsi
pangan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan nyata baik sebelum dan setelah intervensi (Lampiran 14). Kenaikan konsumsi energi dan protein lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Sebaliknya kenaikan konsumsi zink lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol meskipun pada awal intervensi konsumsi zink ini pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol. Konsumsi zink pada akhir intervensi berkisar 6,5 sampai 6,7 mg dengan rata-rata 6,6 mg. Besar kenaikan konsumsi besi relatif sama antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yaitu berkisar 19,0 sampai 20,8 mg dengan rata-rata 20 mg pada akhir intervensi. Konsumsi besi ini relatif sama dengan konsumsi besi ibu menyusui beberapa hasil penelitian yang dikutip dari Villalpando. S et al (2003) seperti penelitian Otomi mengemukakan konsumsi besi ibu menyusui adalah 15 ± 5 mg, Borrud et al konsumsi besi ibu menyusui adalah 12,8 ± 0,7 mg, dan penelitian Mackey et al konsumsi besi ibu menyusui adalah 21,2 ± 8,4 mg. Sedangkan konsumsi protein lebih rendah daripada konsumsi protein dalam penelitian ini yaitu berkisar 13 sampai 17 gr. Konsumsi protein dan zink dalam studi Fung et al (1997) lebih tinggi daripada konsumsi protein dan zink dalam studi ini yaitu 93,3 ± 5,7 gr protein dan zink 11,2 ± 0,7 mg pada ibu menyusui 2-3 bulan setelah melahirkan. Konsumsi besi dalam studi Fung et al (1997) relatif sama dengan konsumsi besi dalam penelitian ini yaitu 14,9 ± 1,1 mg. Selanjutnya untuk mengetahui apakah konsumsi zat gizi pada ibu menyusui ini telah mencukupi kebutuhan gizinya maka konsumsi zat gizi ini dibandingkan dengan AKG Indonesia yang disebut tingkat kecukupan gizi dan dinyatakan dalam persen kecukupan. Tingkat kecukupan gizi dari pangan ibu menyusui disajikan pada Tabel 49.
Tabel 49. Tingkat Kecukupan Gizi dari Pangan Ibu Menyusui menurut Kelompok (%)
Energi
Perlakuan (n =27) Sebelum Setelah 77,5 ± 23,7 92,4 ± 30,3
Kontrol (n =29) Sebelum Setelah 64,5 ± 24,6 86,8 ± 26,2
Total (n = 56) Sebelum Setelah 70,8 ± 24,9 89,5 ± 28,1
Protein
79 ± 29,7
97,9 ± 43,6
74,6 ± 37,8
100,6 ± 45,4
76,7 ± 33,9
99,2 ± 44,1
Zink
34,4 ± 11,4
45 ± 9,9
42,3 ± 50,1
47,8 ± 14,2
38,5 ± 36,8
46,3 ± 12,1
Besi
42,8 ± 15,2
59,5 ± 23,8
42,4 ±19,6
60,2 ± 23,3
42,6 ± 17,4
62,4 ± 23,5
Vit. A
54,1 ± 35,6
90,4 ± 66,2
49,9 ± 27,7
82,7 ± 47,4
51,9 ± 31,5
86,4 ± 56,7
Vit. C
24,6 ± 27,1
44,1 ± 46,8
23,7 ± 19,3
42,9 ± 40,6
24,1 ± 23,2
43,5 ± 43,3
Kalsium
32,6 ± 19,8
81,0 ± 47,2
33,9 ± 15,6
76,2 ± 46,2
33,3 ± 17,6
78,7 ± 46,4
Fosfor
71,8 ± 28,0
150,1 ± 79,9
72,8 ± 30,0
157,3 ± 87,6
72,3 ± 28,8
153,8 ± 83,3
Zat Gizi
Dari Tabel 49 terlihat bahwa berdasarkan AKG Indonesia tingkat kecukupan zat gizi makro yaitu energi dan protein relatif baik. Secara umum tingkat kecukupan gizi pada akhir intervensi cenderung lebih tinggi dibanding pada awal intervensi. Sebaliknya tingkat kecukupan zat gizi mikro seperti zink dan besi relatif rendah yaitu kurang dari 50% dan pada akhir intervensi tingkat kecukupan gizi mikro zink dan besi juga masih dibawah 70%. Hal ini berarti bahwa pangan yang dikonsumsi ibu menyusui sangat rendah kandungan gizi mikronya. Keadaan ini lebih disebabkan karena faktor ekonomi yaitu ketidakmampuan ibu untuk membeli pangan sumber gizi zink dan besi yang harganya mahal. Ibu menyusui dalam penelitian ini umumnya berasal dari keluarga miskin. Pada keadaan fisiologis menyusui kebutuhan gizi ibu meningkat karena kebutuhan untuk memproduksi ASI sehingga rawan terhadap terjadinya gizi kurang (World Bank, 2006). Rendahnya gizi mikro yang dikonsumsi ibu menyusui akan mempengaruhi kemampuan untuk menyediakan ASI dengan kandungan gizi mikro yang cukup untuk pertumbuhan bayi.
6.2. Konsumsi Mie Instan Mie instan adalah bahan yang digunakan untuk fortifikasi berbagai zat gizi pada ibu menyusui. Pada kelompok perlakuan mie instan yang dikonsumsi difortifikasi dengan zat gizi mikro seperti zink dan besi, sedangkan pada kelompok
kontrol mie instan yang dikonsumsi tidak difortifikasi dengan zat gizi mikro seperti pada kelompok perlakuan (komposisi mie disajikan pada Tabel 22). Bila setiap hari ibu menyusui mengkonsumsi satu bungkus mie instan maka selama 16 minggu intervensi diharapkan ibu menyusui mengkonsumsi 112 bungkus mie instan. Berdasarkan pemantauan dan pengecekan yang dilakukan oleh kader, petugas lapang, dan peneliti, tingkat kepatuhan konsumsi mie instan cukup tinggi dan relatif sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yaitu 91 ± 14 % pada kelompok perlakuan dan 92 ± 6 % pada kelompok kontrol. Konsumsi zat gizi dari mie instan disajikan pada Tabel 50.
Tabel 50. Konsumsi Zat Gizi dari Mie Instan menurut Kelompok Zat Gizi Energi (Kal)
Perlakuan (n = 27)
Kontrol (n = 29)
Total (n =56)
295,0 ± 47,0
301 ± 19,2
296 ± 35,2
Protein (g)
7,5 ± 1,2
7,6 ± 0,5
7,5 ± 0,9
Zink (mg)
5,5 ± 0,9
0,4 ± 0,03 *
3,5 ± 0,4
Besi (mg)
6,2 ± 0,9
1,03 ± 0,01 *
2,7 ± 0,3
Vitamin A (RE)
209,9 ± 33,4
58,3 ± 3,7 *
128,5 ± 27,2
Kalsium (mg)
233,1 ± 37,1
85,3 ± 43,4*
169 ± 30,9
* = berbeda nyata (p<0,05)
Uji beda konsumsi zink, besi, vitamin A, dan kalsium menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara kelompok perlakuan dan kontrol. Dari Tabel 50 terlihat bahwa konsumsi zat gizi makro yaitu energi dan protein yang berasal dari mie instan pada akhir intervensi lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Sebaliknya konsumsi gizi mikro seperti zink dan besi lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan adanya fortifikasi zat gizi mikro seperti zink dan besi dalam mie instan yang dikonsumsi kelompok perlakuan. Berdasarkan konsumsi zat gizi dari mie instan ini dihitung sumbangan mie instan terhadap tingkat kecukupan gizi yang disajikan pada Tabel 51.
Tabel 51. Sumbangan Mie Instan terhadap Tingkat Kecukupan Zat Gizi (%) Zat Gizi Energi Protein Zink Besi Vitamin A Kalsium
Perlakuan (n = 27) 13,8 ± 2,8 13,0 ± 2,7 19,1 ± 6,3 19,4 ± 3,1 24,7 ± 3,9 24,6 ± 3,9
Kontrol (n =29) 12,9 ± 2,1 12,2 ± 2,0 2,8 ± 0,2 2,9 ± 0,1 6,9 ± 0,4 0,9 ± 0,7
Total (n = 56) 13,4 ± 2,5 12,6 ± 2,4 15,7 ± 8,2 8,8 ± 2,6 15,2 ± 2,7 13,6 ± 1,9
Dari Tabel 51 terlihat bahwa berdasarkan tingkat kecukupan gizi dari mie instan dapat dikatakan bahwa pemberian mie instan hanya memenuhi sekitar 10% dari tingkat kecukupan energi ibu menyusui. Sedangkan tingkat kecukupan zink dan besi dari mie instan memenuhi sekitar 20% tingkat kecukupan zink dan besi ibu menyusui kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terpenuhinya kecukupan gizi dari mie instan ini karena mie instan bukan merupakan pangan pengganti tetapi pangan pelengkap. Oleh karena itu pemenuhan kecukupan gizi ibu menyusui tetap diutamakan berasal dari konsumsi pangan sehari-hari. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pertanian dan kesehatan maka riset-riset untuk pengayaan zat gizi perlu dikembangkan seperti riset biofortifikasi zink, besi, dan vitamin A pada berbagai pangan sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan status gizi pada kelompok rawan gizi khususnya dan status gizi masyarakat pada umumnya.
30 24.7
25
AKG (%)
15
19.4
19.1
20 13.8
13 12.9
24.6
perlakuan kontrol
12.2
10 6.9 5
2.8
2.9 0.9
0 energi protein
zink
besi
vitamin kalsium A
Gambar 16. Sumbangan Mie Instan terhadap Tingkat Kecukupan Gizi (%)
6.3. Tingkat Kecukupan Gizi Ibu Menyusui Tingkat kecukupan gizi ibu menyusui dihitung dari konsumsi pangan ditambah konsumsi mie instan dan dibandingkan dengan AKG yang disajikan pada Tabel 52. Tabel 52. Tingkat Kecukupan Gizi Ibu Menyusui (Pangan + Mie Instan) Zat Gizi Energi Protein Zink Besi Vitamin A Kalsium
Perlakuan (n = 27) Sebelum Setelah 77,5 ± 23,7 106,2±30,7 79 ± 29,7 113,6± 5,1 34,4 ± 11,4 66,9 ± 13,1* 42,8 ± 15,2 78,9 ± 22,7* 54,1± 35,6 113,9±64,6* 32,6 ± 19,8 77,7 ± 35,5*
Kontrol (n = 29) Sebelum Setelah 64,5 ± 24,6 99,7 ± 26,5 74,6 ± 37,8 110,1± 44 42,3 ± 50,1 54,9± 37,4 42,4 ± 19,6 53,6 ± 28,7 49,9± 27,7 80,2 ± 47,3 33,9 ± 15,6 72,7 ±46,7
Total (n = 56) Sebelum Setelah 70,8 ± 24,9 102,8± 8,5 76,7 ± 33,9 111,8± 4,2 38,5 ± 36,8 62,0 ± 22,3 42,6 ± 17,4 58,7 ±17,9 51,9± 31,5 78,0 ±42,3 33,3 ± 17,6 67,4 ± 30,1
* = berbeda nyata (p<0,05)
Dari Tabel 52 terlihat bahwa tingkat kecukupan gizi makro yaitu energi dan protein setelah intervensi relatif baik karena dapat memenuhi empat perlima dari
angka kecukupan yang dianjurkan. Sedangkan tingkat kecukupan zink dan besi yang pada awal intervensi relatif sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, setelah intervensi tingkat kecukupan zink dan besi lebih besar pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Hal ini berarti bahwa pemberian mie instan fortifikasi dapat meningkatkan tingkat kecukupan gizi ibu menyusui terutama tingkat kecukupan zink dan besi.
tkt kecuk gizi (%)
120 100 80 60 40 perlakuan sblm perlakuan stlh
20
ka ls iu m
m in
A
si vi ta
be
k zi n
ei n pr ot
en
er gi
0
kontrol sblm kontrol stlh
Gambar 17. Tingkat Kecukupan Gizi Ibu Menyusui Sebelum dan Setelah Intervensi
7. Konsumsi Gizi Bayi
7.1. Konsumsi ASI Bila dihubungkan dengan ASI eksklusif ternyata dari 56 bayi tidak satupun bayi yang mendapat ASI eksklusif. Semua bayi sudah mendapat makanan lain selain ASI sebelum umur satu bulan seperti madu, susu formula, pisang, dan bubur susu. Dari keadaan ini jelaslah bahwa pemahaman ibu tentang pentingnya ASI eksklusif masih sangat rendah sehingga diduga menjadi salah satu penyebab tingginya
morbiditas bayi dan rendahnya status gizi bayi. Praktek pemberian ASI disajikan pada Tabel 53.
Tabel 53. Praktek Pemberian ASI Variabel
Perlakuan (n = 27) n %
Umur Bayi 1 bulan 11 40,7 2 bulan 7 26,0 3 bulan 6 22,2 4 bulan 3 11,1 Pemberian ASI setelah lahir < 1 Hari 13 48,1 1 – 2 Hari 8 29,7 > 2 Hari 6 22,2 Frekuensi menyusui dalam sehari (kali/hari) Sebelum : 1–4 5 18,5 5–8 4 14,8 >8 18 66,7 Setelah : 1–4 0 0,0 5–8 1 3,7 >8 26 96,3 Lama Menyusui Sehari (jam) Sebelum 6,75 ± 4,35 Setelah 8,35 ± 5,73 Volume ASI (ml/hari) Sebelum 394,8 ± 195 Setelah 446,7 ± 163,2
Kontrol (n =29) n %
Total (n = 56) n %
8 13 8 0
28,0 44,0 28,0 0,0
19 20 14 3
33,9 35,7 25,0 5,4
11 8 10
37,9 27,6 34,5
24 16 16
42,8 28,6 28,6
3 9 17
10,3 31,0 58,7
8 13 35
14,3 37,2 62,5
0 4 25
0,0 13,8 86,2
0 5 51
0,0 8,9 91,1
6,13 ± 5,55 8,19 ± 3,81
6,42 ± 4,98 8,67 ± 4,82
393,1 ± 271,8 430,7 ± 110,6
393,9 ± 235,8 438,4 ± 137,4
Dari Tabel 53 terlihat bahwa inisiasi pemberian ASI setelah lahir sudah cukup baik dimana sebagian besar bayi (42,8%) sudah disusui kurang dari satu hari. Hal ini relatif sama dengan hasil penelitian Sunaryo. E (2004) dimana 54,6% bayi disusui kurang dari 24 jam. Riyadi. H (2002) juga mengemukakan hal sama yaitu 61,3% bayi disusui kurang dari 24 jam. Inisiasi pemberian ASI setelah melahirkan sangat menentukan terhadap keberhasilan laktasi dan produksi ASI (Packard, 1982). Meskipun umumnya ASI belum keluar sesaat setelah melahirkan tetapi hisapan bayi terhadap payudara ibu akan merangsang hormon prolaktin dan oksitosin untuk memproduksi dan mengeluarkan ASI sehingga akan mempercepat keluarnya ASI. Pada bayi yang lebih awal disusui setelah lahir umumnya tidak mengalami kesulitan untuk menyusui daripada bayi yang lebih lama disusui setelah lahir sehingga WHO merekomendasikan dalam manajemen laktasi supaya bayi segera disusui setelah lahir. Berdasarkan hal ini maka Departemen Kesehatan RI (Depkes, 2002)
menginstruksikan kepada rumahsakit bersalin untuk menerapkannya melalui sistem rawat gabung (rooming in) dimana ibu dan bayi ditempatkan dalam satu kamar yang sama sehingga bayi bisa langsung disusui ibunya kapan saja secara tidak terbatas (on demand). Sebagian besar (40 – 50%) bayi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol diberi ASI kurang dari 24 jam setelah lahir. Hal ini dimungkinkan karena semua ibu melahirkan secara normal dan kondisi ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Pada bayi yang disusui lebih dari 24 jam berdasarkan wawancara diketahui bahwa ibu mempunyai persepsi bahwa ASI yang keluar pertama kali masih merupakan ASI kotor karena berwarna kuning kental sehingga harus dibuang dan tidak baik untuk kesehatan sehingga bayi tidak boleh diberi ASI kurang dari 24 jam. Alasan lain menyatakan bahwa ASI belum keluar kurang dari 24 jam sehingga bayi belum perlu disusui. Hal ini menunjukkan perlunya pendidikan kesehatan dan gizi pada ibu menyusui terutama praktek pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan kenyataan ini maka praktek pemberian ASI eksklusif secara benar perlu lebih disosialisasikan pada berbagai media massa ataupun dengan peran berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap ASI ataupun kesehatan ibu dan bayi. Selain itu perlu adanya kebijakan pemerintah untuk memberdayakan peran kader posyandu ataupun sarjana gizi khususnya di daerah pedesaan sebagai ujung tombak pelayanan gizi dan kesehatan pada masyarakat. Frekuensi dan lama menyusui bayi dalam sehari ditentukan berdasarkan wawancara terhadap ibu, sedangkan volume ASI ditentukan berdasarkan frekuensi dan lama menyusui bayi dimana penyusuan lebih dari 15 menit diasumsikan mempunyai volume ASI 60 ml dan penyusuan kurang dari 15 menit diasumsikan mempunyai volume ASI 20 ml (Worthington-Roberts, 1993 dalam Riyadi. H, 2002). Frekuensi menyusui cukup baik dimana kebanyakan bayi menyusu lebih dari 8 kali sehari baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi. Bayi yang menyusu lebih dari 8 kali sehari jumlahnya bertambah setelah intervensi. Hal ini disebabkan sudah lancarnya produksi ASI dan kebutuhan bayi akan ASI yang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia sehingga mengakibatkan bayi semakin sering menyusu. Rata-rata lama menyusui bayi relatif sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yaitu 6,42 ± 4,98 jam dalam sehari.
Lama dan frekuensi menyusui menentukan terhadap volume ASI karena akan membuat hormon prolaktin dan oksitosin bekerja maksimal dalam memproduksi ASI (ACC/SCN, 1991). Bayi yang lebih lama disusui dan lebih sering disusui akan mengkonsumsi ASI lebih banyak karena volume ASI yang dihasilkan lebih banyak daripada bayi yang jarang disusui. Setelah intervensi bayi mengalami peningkatan lama menyusui menjadi 8 jam dalam sehari. Frekuensi penyusuan yang tinggi ini dimungkinkan karena ibu tidak bekerja diluar rumah sehingga dapat menyusui bayinya dengan lama dan sering. Volume ASI pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol relatif sama sebelum dan setelah intervensi yaitu rata-rata 393,9 ± intervensi dan 438,4 ±
235,8 ml/hari sebelum
137,4 ml/hari setelah intervensi. Dari beberapa studi
diketahui bahwa volume ASI sangat bervariasi. Di negara industri volume ASI berkisar 750-800 gr/hari pada 4 – 5 bulan pertama, sedangkan volume ASI pada hari ke 6 – 10 setelah melahirkan adalah 500-600 gr/hari (Casey et al, 1986 dan Saint et al, 1984). Jika dibandingkan dengan volume ASI di negara industri maka dapat dikatakan volume ASI pada penelitian ini cukup rendah. Studi Nasution. A (2003) mendapati volume ASI dengan umur penyusuan 4 bulan berkisar 512 sampai 822,5 gr/hari dan penyusuan 6 bulan berkisar 355,0 sampai 496,7 gr/hari. Demikian juga dengan studi Fung. E et al (1997) mengemukakan bahwa rata-rata volume ASI pada umur penyusuan 2-3 bulan adalah 915 gr/hari. Jika dihubungkan antara frekuensi menyusui yang cukup sering tetapi konsumsi ASI rendah berarti bahwa bayi sering disusui tetapi secara sebentar-sebentar (kurang dari 15 menit). Berdasarkan wawancara pada ibu diketahui bahwa kadang-kadang bayi disusui bukan untuk pemenuhan kebutuhan gizi bayi tetapi cenderung supaya bayi tidak menangis (rewel) sehingga penyusuan berfungsi seperti dot yang diberikan bila bayi menangis dan dihentikan bila bayi tidak menangis lagi. Hal inilah yang menyebabkan volume ASI relatif rendah. Jika dibandingkan volume ASI antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terlihat bahwa volume ASI kelompok perlakuan lebih tinggi daripada volume ASI kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena frekuensi menyusui lebih dari 8 jam sehari lebih banyak pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Selain itu bayi pada kelompok perlakuan lebih lama menyusui dalam sehari
sehingga volume ASI lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Disamping frekuensi dan lama menyusui maka morbiditas dan tingkat kecukupan gizi ibu juga dapat mempengaruhi volume ASI. Morbiditas ibu pada kelompok perlakuan lebih rendah daripada morbiditas ibu kelompok kontrol (Tabel 34) dan tingkat kecukupan gizi relatif lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol (Tabel 52). Ibu yang kondisi kesehatan dan kecukupan gizinya lebih baik mengakibatkan peranan hormon dan fungsi berbagai organ yang berperan dalam produksi ASI tidak terganggu dan akan bekerja maksimal.
Konsumsi Zat Gizi dari ASI Konsumsi zat gizi dari ASI menurut kelompok disajikan pada Tabel 54.
Tabel 54. Konsumsi Zat Gizi dari ASI menurut Kelompok Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Zink (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg)
Perlakuan (n =27) Sebelum Setelah 236,9 ± 69,8 268,7 ± 184,9 4,0 ± 1,2 4,6 ± 3,1 0,5 ± 0,3 0,5 ± 0,4 0,1 ± 0,4 0,1 ± 0,3 255,1 ± 75,1 289,3 ± 199,1 9,8 ± 2,9 11,2 ± 7,7 128,6 ± 37,2 145,9 ± 100,4 44,8 ± 13,2 50,8 ± 34,9
Kontrol (n =29) Sebelum Setelah 235,9 ± 191,9 258,6 ± 193,2 4,0 ± 3,2 4,4 ± 3,3 0,5 ± 1,2 0,5 ± 0,9 0,1 ± 0,8 0,1 ± 0,7 254,0 ± 206,7 278,5 ± 208,0 9,8 ± 7,9 10,7 ± 8,0 128,1 ± 104,3 140,4 ± 104,9 44,6 ± 36,3 48,9 ± 36,6
Dari Tabel 54 terlihat bahwa konsumsi zat gizi setelah intervensi cenderung meningkat seiring bertambahnya kebutuhan gizi akibat pertumbuhan cepat pada bayi. Asupan zat gizi kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol baik sebelum intervensi maupun setelah intervensi. Standar deviasi setelah intervensi menunjukkan kenaikan tinggi dibanding sebelum intervensi. Hal ini disebabkan besarnya perbedaan konsumsi ASI. Sebagian bayi mempunyai lama dan frekuensi menyusui sangat tinggi, sebaliknya ada juga bayi mempunyai lama dan frekuensi menyusui sangat rendah. Meskipun secara umum konsumsi zat gizi ini lebih besar pada saat setelah intervensi daripada sebelum intervensi, hal ini tidak selalu berarti diikuti dengan kenaikan tingkat kecukupan zat gizi tersebut pada saat setelah
intervensi. Sumbangan ASI terhadap tingkat kecukupan gizi disajikan pada Tabel 55. Tabel 55. Sumbangan ASI terhadap Tingkat Kecukupan Gizi menurut Kelompok (%) Tingkat Kecukupan Zat Gizi Energi Protein Zink Besi Vitamin A Vitamin C Kalsium Fosfor
Perlakuan (n =27) Sebelum Setelah 58,7 ± 19,8 43,7 ± 31,4 48,3 ± 20,9 35,2 ± 25,8 7,2 ± 5,4 8,3 ± 0,7 2,3 ± 1,1 2,5 ± 0,4 65,9 ± 19,8 74,6 ± 51,2 22,2 ± 7,3 24,8 ± 17,3 48,4 ± 23,2 49,1 ± 41,8 32,5 ± 17,0 31,8 ± 29,1
Kontrol (n = 29) Sebelum Setelah 57,5 ± 46,7 42,8 ± 31,9 47,7 ± 40,4 34,8 ± 26,5 7,2 ± 3,1 8,2 ± 4,7 2,3 ± 0,9 2,5 ± 1,9 65,8 ± 53,2 72,2 ± 54,1 22,3 ± 17,9 24,2 ± 18,7 49,5 ± 42,4 48,0 ± 46,9 33,4 ± 29,3 30,8 ± 32,8
Dari Tabel 55 terlihat bahwa berdasarkan AKG Indonesia maka tingkat kecukupan gizi dari ASI ini belum dapat memenuhi kecukupan. Hal ini disebabkan karena ASI bukan satu-satunya yang dikonsumsi bayi untuk memenuhi gizinya tetapi adanya makanan lain yang diberikan selain ASI sebelum berusia 6 bulan. Tingkat kecukupan energi dalam studi ini relatif sama dengan hasil penelitian Riyadi. H (2002) yang mendapati intik energi 45-50% pada anak 6-24 bulan berasal dari ASI. Sedangkan penelitian Sunaryo. E (2004) mengemukakan tingkat kecukupan energi selain MPASI yang diberikan pada bayi 6 bulan dengan berat badan kurang berkisar 35%. Hal ini menunjukkan bahwa pada bayi dibawah 6 bulan yang tidak mendapat ASI eksklusif, kontribusi ASI
untuk memenuhi kebutuhan gizi yang harusnya 100% menjadi berkurang akibat pemberian MPASI. Bila dibandingkan tingkat kecukupan gizi saat sebelum intervensi dengan setelah intervensi maka terlihat bahwa tingkat kecukupan zat gizi makro (energi dan
protein)
setelah
intervensi
lebih
rendah
dibandingkan sebelum intervensi baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Sebaliknya tingkat kecukupan zat gizi mikro (zink, besi, vitamin A, dan vitamin C) cenderung meningkat setelah intervensi. Hal ini berarti bahwa dengan bertambahnya umur maka kontribusi zat gizi dari ASI ini hanya meningkatkan kecukupan zat gizi mikro saja. Bila dibandingkan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol maka tingkat kecukupan zat gizi yang diukur berdasarkan konsumsi ASI relatif sama baik pada saat sebelum intervensi maupun setelah intervensi. Hal ini disebabkan karena volume konsumsi ASI yang relatif sama antara kedua kelompok tersebut.
7.2. Konsumsi Makanan Pendamping ASI (MPASI) Makanan Pendamping ASI (MPASI) merupakan makanan yang diberikan pada bayi disamping ASI agar pertumbuhan anak menjadi baik. Berdasarkan anjuran WHO untuk memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, maka setelah usia 6 bulan bayi harus mendapat MPASI yang sesuai untuk kebutuhan gizinya. Pada keluarga dengan daya beli rendah, MPASI yang diberikan pada bayi sering tidak sesuai dengan kebutuhan gizi bayi (kualitas MPASI yang buruk) dan sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri karena higienis dan sanitasi yang tidak terjamin.
Pengenalan MPASI yang terlalu dini dapat mengurangi absorpsi zat gizi dari ASI sehingga intik zat gizi menjadi berkurang (Gibson, et al, 1997). Selain itu MPASI dapat meningkatkan morbiditas pada anak bila higienis dan sanitasi MPASI kurang terjamin. Jumlah MPASI yang dikonsumsi bayi disajikan pada Tabel 56.
Tabel 56. Jumlah MPASI yang Dikonsumsi Bayi per Hari menurut Kelompok (Gr) Jenis MPASI
Perlakuan (n =27)
Kontrol (n =29)
Total (n = 56)
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Susu Formula
9,4 ± 3,2
-
6,6 ± 5,5
0,83 ± 0,4
8,2 ± 4,4
0,43 ± 0,2
MPASI Non Komersial MPASI Komersial
4,6 ± 6,5
114,1 ± 90,4
-
88,3 ± 60,6
2,2 ± 1,5
100,7 ± 81,7
12,3 ± ,0
24,1 ± 15,2
6,9 ± 4,3
17,4 ± 10,4
9,5 ± 3,8
20,9 ± 12,1
Buah
6,8 ± 2,9
11,3 ± 5,4
5,2 ± 1,5
6,4 ± 4,3
6,0 ± 1,9
4,0 ± 4,9
Dari Tabel 56 dapat dilihat bahwa MPASI yang dikonsumsi bayi terdiri dari susu formula, MPASI non komersial, MPASI komersial, dan buah. MPASI non komersial terdiri dari bubur nasi, bubur kacang hijau, dan nasi tim. Sedangkan MPASI komersial terdiri dari makanan bayi siap saji yang dikemas dalam ukuran kecil (sachet). MPASI komersial ini merupakan makanan bayi produk industri dengan merek SGM, SUN, Nestle, dan Promina. Pada awal intervensi MPASI yang dikonsumsi kelompok perlakuan relatif lebih banyak daripada MPASI kelompok kontrol. MPASI yang banyak dikonsumsi adalah MPASI komersial dan susu formula baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa banyaknya konsumsi MPASI komersial dan susu formula pada awal intervensi disebabkan belum lancarnya produksi ASI serta adanya hadiah (gift) ketika melahirkan berupa susu dan makanan bayi dari bidan sehingga ibu merasa sayang bila tidak menggunakannya. Disamping itu adanya kewajiban ibu untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah mengakibatkan ibu merasa lebih praktis untuk memberikan susu formula ataupun MPASI daripada menyusui karena dapat dilakukan orang lain. Tidak adanya payung hukum dalam pelaksanaan
pemberian ASI eksklusif saat ini mendorong peran LSM yang peduli terhadap ASI mengupayakan agar dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan pemberian ASI eksklusif diwujudkan dalam peraturan pemerintah (PP) tentang pemasaran susu formula. Berdasarkan laporan terbuka kepada publik oleh koalisi LSM peduli ASI di berbagai media dikemukakan bahwa saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pemasaran susu formula sedang dalam proses pembahasan di berbagai departemen teknis seperti Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Departemen Kesehatan, Departemen Perdagangan, Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, BPOM, dan Asosiasi Perusahaan Makanan Bayi (Majalah Tempo, 2007). Pada akhir intervensi yaitu pada saat bayi berumur 5-8 bulan relatif lebih banyak mengkonsumsi MPASI non komersial. Hal ini disebabkan karena MPASI non komersial relatif lebih murah harganya daripada MPASI komersial. Sayangnya MPASI non komersial yang diberikan pada bayi lebih banyak mengandung energi saja, sedangkan protein sangat rendah karena lebih sering terdiri dari bubur nasi dengan garam atau kecap saja. Pemberian hati, ikan, ataupun daging pada bubur bayi sangat jarang sekali. Telur, tahu dan tempe kadang-kadang diberikan namun dengan jumlah yang relatif sedikit. Bubur nasi yang diberikan pada bayi kebanyakan bubur nasi dengan kecap yang dibeli dari pedagang bubur ayam jalanan dengan alasan lebih ekonomis dan praktis karena selain mengurus anak, ibu juga harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri seperti memasak, mencuci, dan lain-lain. Bahkan ada juga ibu yang bekerja sebagai buruh tani dan buruh cuci pakaian. Tidak cukupnya waktu untuk mengasuh anak secara baik dan benar pada keluarga miskin menjadi salah satu penyebab terjadinya malnutrisi pada anak (World Bank, 2006). Pembelian bubur nasi seharga Rp 500 dapat untuk konsumsi bayi dua kali yang lebih murah dibanding biaya pemakaian minyak tanah untuk memasak bubur merupakan contoh nyata pemberian MPASI yang tidak baik. Meskipun relatif lebih murah pemberian makanan dengan cara membeli bubur jalanan ini tidak baik, selain karena alasan higienis dan sanitasinya yang tidak terjamin pemberian bubur nasi ini tidak dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi terutama kebutuhan gizi mikro karena bubur nasi yang diberikan terdiri dari bubur dan kecap saja. Selain itu praktek pemberian susu formula juga dikhawatirkan kandungan gizi dan kebersihannya dimana susu formula yang diberikan tidak sesuai dengan aturan (encer) sehingga
kandungan gizi yang diharapkan tidak tercapai. Tingkat kontaminasi bakteri pada botol susu juga sangat tinggi karena botol susu sangat jarang direbus untuk sterilisasi. Berdasarkan hal ini terlihat bahwa tingkat kecukupan protein dari MPASI adalah rendah dan morbiditas bayi tinggi. Praktek pemberian MPASI yang buruk ditengarai sebagai penyebab kesakitan dan kematian pada bayi (Unicef, 2002). Konsumsi MPASI non komersial ini lebih banyak pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Sebaliknya konsumsi MPASI komersial lebih banyak pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Konsumsi MPASI lebih banyak pada akhir intervensi dibanding pada awal intervensi. Hal ini disebabkan bertambahnya umur bayi sehingga relatif lebih banyak membutuhkan zat gizi untuk pertumbuhannya. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa selain ASI, MPASI berperan penting terhadap pemenuhan kebutuhan gizi bayi sehingga penting untuk memperhatikan kualitas MPASI yang diberikan.
Konsumsi Zat Gizi dari MPASI Konsumsi zat gizi dari MPASI menurut kelompok pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 57. Tabel 57. Konsumsi Zat Gizi dari MPASI menurut Kelompok Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Zink (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg)
Perlakuan (n = 27) Sebelum Setelah 92,7 ± 124,9 259,3 ± 310,9* 2,6 ± 3,7 6,9 ± 12,2 0,5 ± 0,6 1,5 ± 2,7 1,3 ± 1,7 2,9 ± 4,8 73,7 ± 117,2 276,0 ± 514,6* 9,5 ± 12,9 12,4 ± 42,0 86,4 ± 135,9 192,0 ± 513,4* 70,1 ± 104,7 130,9 ± 375,3*
Kontrol (n = 29) Sebelum Setelah 90,9 ± 178,9 227,5 ± 205,8* 2,5 ± 4,6 6,9 ± 7,4 0,5 ± 1,2 1,4 ± 2,6 1,3 ± 2,7 2,9 ± 5,1 82,1 ± 163,5 208,6 ± 312,9* 9,6 ± 19,0 12,2 ± 22,5 103,5 ± 185,6 131,6 ± 226,1* 73,7 ± 140,8 99,9 ± 113,4
* = berbeda nyata (p<0,05)
Dari Tabel 57 terlihat bahwa konsumsi zat gizi dari MPASI akhir intervensi lebih tinggi daripada awal intervensi. Hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan
gizi bayi seiring dengan bertambahnya usia bayi dimana pada akhir intervensi bayi sudah berusia 5 - 8 bulan. Konsumsi zat gizi makro yaitu energi dan protein pada kelompok perlakuan sedikit lebih tinggi dibanding kelompok kontrol baik pada awal intervensi maupun akhir intervensi. Sebaliknya konsumsi zat gizi mikro bervariasi. Konsumsi zink, besi, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor setelah intervensi lebih tinggi pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol meskipun konsumsi vitamin C, kalsium, dan fosfor pada awal intervensi lebih rendah pada kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol. Sumbangan MPASI terhadap tingkat kecukupan gizi menurut kelompok pada awal dan akhir intervensi disajikan pada Tabel 58. Tabel 58. Sumbangan MPASI terhadap Tingkat Kecukupan Gizi menurut Kelompok (%) Tingkat Kecukupan Zat Gizi Energi Protein Zink Besi
Perlakuan (n = 27) Sebelum Setelah 23,0 ± 30,7 42,2 ± 43,8 34,1 ± 56,0 55,2 ± 43,3 8,6 ± 12,2 23,6 ± 49,8 29,1 ± 30,2 63,0 ± 110,8
Vitamin A Vitamin C Kalsium
19,2 ± 31,1 21,8 ± 31,7 36,5 ± 66,3
71,1 ± 136,9 28,0 ± 105,2 63,2 ± 257,7
Fosfor
57,6 ± 102,9
79,4 ± 130,3
Kontrol (n = 29) Sebelum Setelah 22,7 ± 44,7 37,5 ± 34,9 29,8 ± 52,6 52,3 ± 66,5 9,3 ± 16,8 21,4 ± 47,3 24,3 ± 50,4 54,4 ± 111,2 21,1 ± 41,5 54,1 ± 79,9 21,0 ± 40,5 27,0 ± 53,6 38,3 ± 65,7 46,1 ± 108,7 50,8 ± 94,2 65,1 ± 114,3
Dari Tabel 58 terlihat bahwa tingkat kecukupan energi dan protein pada kelompok perlakuan sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol baik pada awal maupun akhir intervensi. Sebaliknya tingkat kecukupan zink, besi dan vitamin C lebih tinggi pada kelompok kontrol dibanding kelompok perlakuan baik pada awal maupun akhir intervensi. Tingkat kecukupan zink, besi, vitamin A, vitamin C, kalsium, dan fosfor setelah intervensi lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibanding kelompok kontrol meskipun tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, kalsium dan fosfor sebelum intervensi lebih rendah pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Konsumsi zink, besi, kalsium, dan fosfor pada MPASI
berasal dari susu formula dan bubur susu dengan merek SGM, SUN, Nestle, dan Promina; sedangkan telur, ikan, daging dan hati sebagai sumber zat gizi mikro ini relatif jarang diberikan yang meskipun diberikan jumlahnya relatif kecil. Hal inilah yang mengakibatkan rendahnya konsumsi zat gizi mikro dari MPASI.
7.3. Tingkat Kecukupan Gizi Bayi Tingkat kecukupan gizi pada bayi berasal dari konsumsi ASI dan konsumsi MPASI yang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan dan dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan gizi bayi ini disajikan pada Tabel 59.
Tabel 59. Tingkat Kecukupan Gizi pada Bayi (%) Tingkat Kecukupan Zat Gizi Energi
Perlakuan (n = 27) Sebelum Setelah 81,7 ± 41,6 85,9 ± 47,8
Protein
82,4 ± 68,8
90,4 ± 91,3
Zink Besi
8,6 ± 12,2 31,8 ± 60,4
22,6 ± 49,8* 65,9 ± 121,6*
Vitamin A
85,2 ± 41,7
Vitamin C
43,9 ± 34,8
147,0 ± 130,9* 54,8 ± 101,2
Kalsium
84,9 ± 79,6
Fosfor
90,1 ± 111,9
145,2 ± 249,6* 151,7 ± 373,2*
Kontrol (n = 29) Sebelum Setelah 80,3 ± 80,5 ± 44,5 51,8 77,6 ± 92,4 ± 70,2 53,9 9,2 ± 16,8 24,8 ± 47,3* 25,6 ± 56,8 ± 115,4* 70,5 86,6 ± 125,9 ± 101,8 55,2 42,7 ± 53,4 ± 58,5 38,4 87,8 ± 112,9 ± 119,5 66,5 84,3 ± 120,1 ± 91,7 121,9*
* = berbeda nyata (p<0,05)
Dari Tabel 59 terlihat bahwa secara umum tingkat kecukupan energi dan protein hanya sekitar empat perlima angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Tingkat kecukupan energi ini relatif sama dengan hasil penelitian Riyadi. H (2002). Tingkat kecukupan zink dan besi sangat jauh dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Meskipun secara umum tingkat kecukupan gizi pada akhir intervensi lebih tinggi dibanding pada awal intervensi namun tingkat kecukupan zink, besi, dan vitamin C
belum dapat memenuhi AKG. Hal ini mengindikasikan bahwa praktek pemberian ASI dan MPASI pada bayi kurang baik. World Bank (2006) mengemukakan bahwa pada usia bayi sangat mudah terkena infeksi sehingga membutuhkan pangan yang cukup melalui ASI dan MPASI untuk mendukung pertumbuhan cepat yang terjadi pada usia dua tahun pertama. Berdasarkan hal ini perlu direkomendasikan pada ibuibu di pedesaan tentang cara pemberian ASI yang baik untuk meningkatkan produksi ASI, kadar gizi mikro seperti zink dan besi ASI serta cara penyiapan MPASI yang benar dengan waktu yang tepat. Hal ini didasarkan bahwa peluang untuk memperbaiki gizi anak dilakukan pada usia sebelum konsepsi sampai usia dua tahun dengan adanya pertumbuhan fisik dan perkembangan otak yang sangat intensif pada periode ini sehingga pendidikan dan pengetahuan gizi ibu berperan penting. Pada akhir intervensi tingkat kecukupan protein lebih tinggi dibanding sebelum intervensi karena MPASI yang diberikan pada bayi terdiri dari bubur kacang hijau, bubur nasi dengan campuran tahu, tempe, dan telur yang mengandung protein tinggi. 160 tkt kecuk gizi (%)
140 120 100
perlakuan sblm perlakuan stlh
80
kontrol sblm
60
kontrol stlh
40 20 0 energi
protein
zink
besi
vitamin kalsium A
Gambar 18. Tingkat Kecukupan Gizi Bayi Sebelum dan Setelah Intervensi (%) 8. Pengaruh Mie Instan Fortifikasi terhadap Kadar Zink ASI Untuk mengetahui pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar zink ASI terlebih dahulu dilakukan uji beda (T-Test) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terhadap tingkat kecukupan zink yang berasal dari sumber makanan lain selain mie instan fortifikasi. Hal ini bertujuan untuk dapat menyatakan
bahwa kadar zink ASI disebabkan pengaruh mie instan fortifikasi atau karena pengaruh perbedaan tingkat kecukupan zink dari sumber makanan lain yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Hasil uji beda tingkat kecukupan zink pada ibu sebelum intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Hal ini berarti bahwa perbedaan kadar zink ASI disebabkan oleh mie instan fortifikasi. Selain uji beda tingkat kecukupan zink dilakukan pula uji beda kadar zink ASI. Uji beda kadar zink ASI sebelum dan setelah intervensi menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hasil analisa regresi logistik disajikan pada Tabel 60.
Tabel 60. Hasil uji regresi logistik terhadap kadar zink ASI
-33,617
Exp (B) -OR0,000
0,022
2,095
8,124
0,089
Konsumsi Protein (g)
2,801
16,465
0,010 b
Skor Morbiditas Ibu
-0,003
0,997
0,236
Kadar Feritin Ibu (µg/L)
0,003
1,003
0,868
Tingkat Kecukupan Besi (%)
0,042
1,042
0,091
Volume ASI (ml/hari)
0,000
1,000
0,941
IMT (kg/m2)
0,000
1,000
0,907
Konsumsi Zink (mg)
0,145
1,156
0,240
Variabel
B
Konstanta Mie Instan Fortifikasi (1 = perlakuan,
b
0 = kontrol)
Sig
= berbeda nyata (p<0,05)
Hasil analisa regresi logistik menunjukkan bahwa konsumsi protein secara bermakna (p<0,05) mempengaruhi kadar zink ASI. Nilai OR untuk konsumsi protein adalah 16,5. Hal ini berarti ibu yang mempunyai konsumsi protein lebih tinggi mempunyai peluang 16,5 kali lebih tinggi kadar zink ASI dibanding ibu yang mempunyai konsumsi protein rendah. Lonnerdal (2003) menyatakan bahwa pengangkut utama zink dalam plasma adalah albumin dan α macroglobulin yang
terdiri dari protein sehingga protein sangat mempengaruhi transport zink. Zink yang berasal dari plasma ibu akan dibawa ke kelenjar payudara dan disintesis bersama dengan pembentukan air susu ibu (Domeklof, 2004). Hal ini diperkuat dengan uji korelasi Pearson antara zink ASI dan konsumsi protein menunjukkan adanya korelasi positif dan nyata (p<0,05) yang berarti semakin tinggi konsumsi protein maka kadar zink ASI juga semakin tinggi. Kadar feritin, volume ASI, IMT, dan konsumsi zink berpeluang meningkatkan kadar zink ASI tetapi tidak nyata secara statistik. Sebaliknya morbidtas berpeluang menurunkan kadar zink ASI tetapi juga tidak nyata secara statistik. Konsumsi mie instan fortifikasi pada penelitian ini tidak berpengaruh secara nyata (p<0,05) terhadap kadar zink ASI dimana terlihat bahwa kenaikan kadar zink ASI lebih tinggi pada kelompok kontrol daripada kelompok perlakuan. Tidak adanya pengaruh fortifikasi zink juga terlihat pada studi Nasution, A (2003) yang mengemukakan tidak ada pengaruh pemberian biskuit fortifikasi zink pada ibu hamil terhadap kadar zink ASI. Selanjutnya Dijkhuizen et al (2001) menyatakan bahwa kadar zink ASI tidak berhubungan dengan zink plasma ibu dan zink plasma bayi.
9. Pengaruh Mie Instan Fortifikasi terhadap Kadar Besi ASI Untuk mengetahui pengaruh mie instan fortifikasi terhadap kadar besi ASI terlebih dahulu dilakukan uji beda (T-Test) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol terhadap tingkat kecukupan besi yang berasal dari sumber makanan lain selain mie instan. Hal ini bertujuan untuk dapat menyatakan bahwa perbedaan kadar besi ASI disebabkan karena pengaruh mie instan fortifikasi atau karena pengaruh perbedaan tingkat kecukupan besi dari sumber makanan lain yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Hasil uji beda tingkat kecukupan besi pada ibu sebelum intervensi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Hal ini berarti bahwa perbedaan kadar besi ASI disebabkan oleh mie instan fortifikasi. Selain uji beda tingkat kecukupan besi dilakukan pula uji beda kadar besi ASI. Uji beda kadar besi ASI pada awal intervensi menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna sedangkan pada akhir intervensi terdapat perbedaan bermakna
kadar besi ASI antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p<0,05). Hasil analisa regresi logistik disajikan pada Tabel 61.
Tabel 61. Hasil uji regresi logistik terhadap kadar besi ASI Variabel
B -5,964
Exp (B) -OR0,003
0,127
1,485
4,416
0,027 b
IMT (kg/m2)
0,000
1,000
0,729
Konsumsi Protein (g)
0,166
1,180
0,319
Skor Morbiditas Ibu
-0,001
1,001
0,572
Kadar Feritin Ibu (µg/L)
0,028
1,028
0,038 b
Volume ASI (ml/hari)
0,001
0,999
0,614
Konsumsi Zink (mg)
0,004
1,004
0,953
Konsumsi Besi (mg)
0,007
1,007
0,598
Konstanta Mie Instan Fortifikasi (1 = perlakuan,
b
0 = kontrol)
Sig
= berbeda nyata (p<0,05)
Hasil analisa regresi logistik menunjukkan bahwa konsumsi mie instan fortifikasi dan kadar feritin darah secara bermakna mempengaruhi kadar besi ASI. Nilai OR untuk konsumsi mie instan fortifikasi adalah 4,4 dan kadar feritin darah 1,0. Hal ini berarti bahwa ibu yang mengkonsumsi mie instan fortifikasi mempunyai peluang 4,4 kali lebih tinggi kadar besi ASI nya dibandingkan dengan ibu yang tidak mengkonsumsi mie instan fortifikasi. Demikian juga dengan ibu yang kadar feritinnya tinggi mempunyai peluang 1,0 kali lebih tinggi kadar besi ASI nya dibandingkan dengan ibu yang kadar feritinnya rendah. Konsumsi protein, konsumsi zink, konsumsi besi, dan volume ASI berpeluang meningkatkan kadar besi ASI tetapi tidak nyata secara statistik. Sebaliknya morbiditas ibu berpeluang menurunkan kadar besi ASI tetapi juga tidak nyata secara statistik (p<0,05). Adanya pengaruh fortifikasi mie instan terhadap kadar besi ASI pada penelitian ini juga didapati pada studi Lonnerdal (2000) yang mengemukakan bahwa suplementasi besi 100 mg/hari pada ibu yang anemia mempunyai kadar besi ASI lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapat suplementasi. Hal ini
selanjutnya diperkuat oleh Lonnerdal et al (2004) yang menyatakan buruknya status gizi ibu ditandai dengan anemia gizi besi dapat mengganggu fungsi kelenjar payudara khususnya fungsi metabolik dan sekresi zat gizi ke air susu. Studi Nasution. A (2003) juga mengemukakan bahwa suplementasi biskuit dengan 32,7 mg besi pada ibu hamil selama 3 bulan berpengaruh terhadap kadar besi ASI. Konsumsi besi akan mempengaruhi kadar besi dalam tubuh yang ditunjukkan dengan kadar besi dalam plasma, kadar Hb maupun kadar feritin darah. Bila kadar Hb sudah normal maka besi akan disimpan dalam hati sebagai cadangan besi yaitu feritin yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan. Selain itu adanya hubungan antara kadar besi plasma dengan kadar besi ASI dikemukakan oleh Domeklof (2004) yaitu bahwa lewatnya besi dari plasma ke air susu dalam kelenjar payudara merupakan difusi pasif sehingga ada korelasi positif antara kadar besi dalam plasma dengan kadar besi dalam air susu.
10. Pengaruh Mie Instan Fortifikasi terhadap Pertumbuhan Bayi 10.1 Pengaruh Mie Instan Fortifikasi terhadap Pertambahan Panjang Badan Bayi Pertumbuhan linier adalah selisih pertambahan panjang badan bayi pada akhir intervensi dengan panjang badan bayi pada awal intervensi. Hasil analisis regresi berganda untuk mengetahui peubah-peubah bebas yang dapat mempengaruhi pertumbuhan linier menunjukkan bahwa pemberian mie instan fortifikasi, morbiditas, dan konsumsi besi secara nyata mempengaruhi pertambahan panjang badan bayi. Hasil analisis regresi berganda ini juga menunjukkan bahwa jenis kelamin, pendidikan ibu, konsumsi protein, volume ASI, konsumsi fosfor, konsumsi zink, dan panjang badan awal tidak nyata mempengaruhi pertambahan panjang badan bayi. Hasil analisis regresi berganda terhadap pertambahan panjang badan bayi disajikan pada Tabel 62. Tabel 62. Hasil Analisis Regresi Berganda terhadap Pertambahan Panjang Badan Bayi Peubah Bebas Konstanta
B
T
Sig
0,861
0,191
0,849
Mie Instan Fortifikasi (1= perlakuan, 0 = kontrol)
1,479
2,022
0,049 b
Jenis Kelamin Bayi (1 = laki-laki,
0,835
1,256
0,216
0,079
0,542
0,591
Skor Morbiditas Bayi
-0,0042
-3,027
0,004 b
Konsumsi Protein (gr)
0,018
-1,510
0,138
Volume ASI (ml/hari)
0,002
1,557
0,126
Konsumsi Fosfor (mg)
0,0037
1,208
0,233
Panjang Badan Awal (cm)
0,108
1,428
0,160
Konsumsi Zink (mg)
0,0246
1,781
0,082
Konsumsi Besi (mg)
0,0014
2,227
0,031 b
0 = perempuan)
Lama Pendidikan Ibu (tahun)
R Square = 0,503
Adjusted R Square = 0,393
b
= berbeda nyata (p<0,05)
Dari Tabel 62 terlihat bahwa nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0,39 yang berarti 39% nilai pertumbuhan linier dapat dijelaskan oleh konsumsi mie instan fortifikasi, morbiditas, dan konsumsi besi. Sedangkan 61% oleh faktor lain yang tidak teramati dalam penelitian ini. Hasil analisis regresi ini juga menunjukkan bahwa jenis kelamin, pendidikan ibu, konsumsi
protein,
volume
ASI
,
konsumsi
fosfor,
konsumsi zink, dan panjang badan awal tidak nyata mempengaruhi pertambahan panjang badan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan panjang badan yang terjadi bukan disebabkan faktor genetik tetapi lebih kepada adanya mie instan fortifikasi dimana mie instan fortifikasi berpengaruh secara nyata (p<0,05) terhadap pertambahan panjang badan ataupun asupan zat gizi saat dalam kandungan ibunya. Zat gizi yang berpengaruh
nyata terhadap pertambahan panjang badan ini adalah zink, besi, kalsium, fosfor, dan vitamin A. Adanya pemberian mie instan fortifikasi memberikan pertambahan panjang badan sekitar 1,48 cm dimana laki-laki lebih panjang 0,84 cm daripada perempuan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi NCHS WHO yang menyatakan bahwa bayi lakilaki 0 - 6 bulan lebih tinggi daripada bayi perempuan 0 – 6 bulan berdasarkan panjang badan median NCHS WHO. Salah satu yang mendasari perbedaan ini adalah perbedaan kebutuhan gizi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Panjang badan bayi laki-laki dalam penelitian ini lebih tinggi daripada panjang badan bayi perempuan meskipun masih lebih kecil dari panjang badan median NCHS WHO. (Widdowson, 1985 dalam Soetjiningsih, 1995). Morbiditas bayi secara nyata mempengaruhi pertumbuhan linier bayi. Hasil uji tersebut menunjukkan adanya hubungan negatif antara morbiditas dengan selisih panjang badan bayi yang berarti dengan semakin berkurangnya/ rendahnya morbiditas maka akan semakin baik pula pertumbuhan linier bayi. Hal ini diperkuat oleh Salgueiro, et al (2002) yang menyebutkan bahwa penurunan kecepatan pertumbuhan
pada
anak
berhubungan
dengan
meningkatnya
morbiditas,
berkurangnya koginitif, dan dampak negatif jangka panjang terhadap kapasitas kerja fisik dan reproduksi. Dari beberapa hasil penelitian juga diketahui bahwa morbiditas yang tinggi akan mengganggu penyerapan dan penggunaan zat gizi dalam tubuh (Penny. M, et al. 2004). Selain itu konsumsi ASI pada bayi dapat melindungi dari morbiditas khususnya pada bayi berumur 0 – 4 bulan yang sangat rawan terhadap infeksi. Pada bayi yang disusui eksklusif, pertumbuhannya lebih cepat pada beberapa bulan pertama daripada bayi yang tidak eksklusif karena mempunyai episode penyakit lebih sedikit dan tidak mengkonsumsi makanan yang densitas gizinya rendah (Victora. C. G, et al. 1998). Pemberian mie instan yang difortifikasi berbagai zat gizi mikro seperti zink, besi, kalsium, fosfor, dan vitamin A pada ibu berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan linier bayi. Hal ini disebabkan mie instan yang difortifikasi gizi mikro tersebut mempengaruhi kadar gizi mikro dalam ASI sehingga ASI yang dikonsumsi bayi mempengaruhi pertumbuhan liniernya. Zink dan besi mempengaruhi morbiditas bayi. Hal ini seperti dikemukakan oleh Penny. M, et al (2004) yaitu zink merupakan
zat gizi penting yang berperan dalam fungsi imunitas dan pertumbuhan fisik sehingga zink dapat menurunkan tingkat diare dan pneumonia dan meningkatkan pertumbuhan pada anak-anak yang beresiko stunting. Berbagai penyakit seperti diare, batuk, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) cenderung lebih rendah pada anak yang mendapat zink daripada plasebo. Ketidakcukupan zink dapat berkaitan dengan defisiensi mikronutrien lain sehingga mengakibatkan masalah gizi yang dapat mengurangi potensi zink terhadap morbiditas atau terhadap pertumbuhan (Lind. T, et al. 2003). Zink yang difortifikasi dalam mie instan dapat memperbaiki regenerasi mukosa, meningkatkan level enzim brush border dalam meningkatkan imunitas seluler dan meningkatkan sekresi antibodi sehingga mengurangi insiden dan beratnya (severity) infeksi anak dan dapat menurunkan mortalitas anak. Peran penting lain dari zink terhadap pertumbuhan adalah bahwa zink berinteraksi dengan hormon penting dalam pertumbuhan tulang seperti somatomedin-C- osteocalcin, testosteron, hormon tiroid, dan insulin. Selain itu zink berkaitan erat dengan metabolisme tulang sehingga berperan positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan (Salgueiro, et al. 2002). Dengan demikian zink berperan penting dalam sintesis hormon pertumbuhan dan perannya dalam produksi somatomedin-C di hati. Beberapa hormon yang secara tidak langsung berhubungan dengan pertumbuhan adalah insulin, tiroid dan testosteron dimana testosteron berpotensi meningkatkan berat dan massa otot dan mendukung pertumbuhan linier (Dewey, et al, 2002). Besi digunakan oleh banyak enzim, protein, dan organ lain termasuk sel tulang untuk produksi energi sehingga kekurangan besi akan mengganggu aktivitas sel seperti perbanyakan sel yang menghambat pertumbuhan (Stoltzfus. R, 2003). Selain itu peran besi terhadap pertumbuhan berhubungan dengan respon imunitas dan produksi antibodi yang dijelaskan oleh Walter (2003) dimana defisiensi besi menyebabkan kerusakan respon imunitas dan penurunan produksi antibodi sehingga menghambat pertumbuhan.
10.2 Pengaruh Mie Instan Fortifikasi terhadap Pertambahan Berat Badan Bayi Pertambahan berat badan adalah selisih berat badan bayi pada akhir intervensi dengan berat badan bayi pada awal intervensi. Pertambahan berat badan bergantung pada pertumbuhan linier dan akumulasi jaringan lemak (Victora. G, et al, 1998). Hasil analisis regresi berganda terhadap pertambahan berat badan bayi disajikan pada Tabel 62.
Tabel 62. Hasil Analisis Regresi Berganda terhadap Pertambahan Berat Badan Bayi Peubah Bebas
B
T
Sig
Konstanta
-1,517
-1,508
0,138
Mie Instan Fortifikasi (1= perlakuan, 0 = kontrol) Tingkat Kecukupan Zink (%)
0,068
2,255
0,029 b
0,0037
1,188
0,241
Kadar Zink ASI (mg/L)
0,0443
0,818
0,418
Kadar Besi ASI (mg/L)
0,0218
0,743
0,462
Skor Morbiditas Bayi
-0,00024
-0,412
0,682
Volume ASI (ml/hari)
0,00036
0,673
0,504
Konsumsi Energi (Kkal)
0,0082
2,458
0,018 b
Konsumsi Protein (g)
0,0034
1,098
0,278
Berat Badan Lahir (kg)
0,0112
0,040
0,968
R Square = 0,271
Adjusted R Square = 0,129
b
= berbeda nyata (p<0,05)
Dari Tabel 62 terlihat bahwa peubahpeubah bebas yang mempengaruhi pertambahan berat badan bayi adalah konsumsi mie instan fortifikasi dan konsumsi energi. Nilai R kuadrat yang disesuaikan (Adjusted R Square) adalah 0,13 yang berarti 13 % nilai pertambahan berat badan dapat dijelaskan oleh konsumsi mie instan fortifikasi dan konsumsi energi. Sedangkan 87% oleh faktor lain yang tidak teramati dalam penelitian ini. Adanya pemberian mie instan fortifikasi memberikan
pertambahan berat badan sekitar 0,07 kg. Konsumsi energi secara nyata mempengaruhi pertambahan berat badan bayi. Berat badan merupakan indikator antropometri yang sangat fleksibel bisa naik atau turun dengan cepat tergantung pada kondisi saat ini dimana energi berperan penting dalam menaikkan ataupun menurunkan berat badan bayi. Bila konsumsi energi sudah tercukupi maka pertumbuhan yang terlihat dari berat badan akan optimal karena konsumsi zat gizi mikro yang berperan dalam pertambahan berat badan bayi akan diabsorpsi secara lebih baik dan efisien bila konsumsi gizi makro seperti energi sudah tercukupi dengan baik. Uji korelasi Pearson juga menunjukkan adanya korelasi positif dan nyata antara konsumsi energi dengan konsumsi zink. Hal ini berarti bila konsumsi energi meningkat maka konsumsi zink juga meningkat.
Hasil uji menunjukkan adanya hubungan negatif antara morbiditas bayi dengan pertambahan berat badan bayi yang berarti dengan semakin berkurangnya/ rendahnya morbiditas bayi akan semakin baik pertambahan berat badan bayi. Morbiditas pada bayi sangat mempengaruhi berat badan bayi terutama penyakit diare. Penurunan berat badan ini selain disebabkan berkurangnya selera makan juga disebabkan terganggunya absorpsi zat gizi. Gangguan absorpsi zat gizi ini berpengaruh terhadap proses pertumbuhan ataupun proses metabolik lain. Determinan utama daya tahan hidup bayi setelah lahir adalah kemampuannya untuk bertahan terhadap infeksi, penyakit pernafasan, dan diare sehingga bayi baru lahir beresiko tinggi terhadap infeksi selama 6 bulan pertama karena fungsi imunitas yang belum sempurna dan paparan patogen yang sangat mempengaruhi (Salgueiro, et al, 2002). Konsumsi mie instan fortifikasi pada penelitian ini berpengaruh secara nyata terhadap berat badan
bayi. Mie instan yang difortifikasi berbagai zat gizi mikro seperti zink dan besi pada ibu secara tidak langsung berpengaruh terhadap morbiditas dan pertambahan berat badan bayi melalui kadar zink dan besi dalam ASI yang dikonsumsi bayi sehingga bayi tidak defisiensi zink ataupun defisiensi besi. Selain mengandung zat gizi mikro, mie instan juga mengandung zat gizi makro seperti energi dan protein yang berpotensi terhadap pertambahan berat badan. Dewey. et al (2002) mengemukakan bahwa penurunan berat badan sering merupakan tanda defisiensi zink marginal. Pada bayi yang mendapat ASI, gagal tumbuh yang terjadi di negara maju dan negara berkembang disebabkan morbiditas yang tinggi dan pengenalan MPASI yang dini. Pertambahan berat badan yang rendah pada bayi yang disusui mulai terlihat pada umur 4 – 6 bulan, sedangkan pada negara berkembang terlihat lebih awal lagi yaitu mulai umur tiga bulan. Hal ini juga ditegaskan oleh Walraven . et al (2002) yang
membuktikan bahwa gagal tumbuh disebabkan ketidakcukupan intik zink pada saat bayi berumur lebih dari empat bulan. Selain itu Salgueiro. et al (2002) juga mengemukakan bahwa diare kronik akan menyebabkan defisiensi zink dan defisiensi zink ini berkontribusi terhadap durasi dan beratnya diare. Durasi dan beratnya diare lebih tinggi pada bayi yang kurang gizi dan mempunyai gangguan status imunitas dibandingkan bayi dengan status gizi baik. Hasil penelitian Black (1998) menemukan bahwa durasi diare lebih pendek 9 - 23% dan insiden diare berkurang 8 – 45% pada anak yang mendapat suplementasi zink. Selain itu Ruel. et al (1997) juga membuktikan bahwa suplementasi 10 mg zink sulfat selama tujuh bulan pada anak-anak dapat mengurangi insiden diare sebesar 22%. Zink dapat mengganggu pengaturan selera (appetite) dengan perannya secara langsung pada sistem saraf pusat sehingga mengganggu kepekaan terhadap neurotransmiter. Defisiensi zink ditandai dengan terganggunya indera penciuman dan perasa yang mengakibatkan anoreksia dan kehilangan berat badan sehingga suplementasi zink dapat memperbaiki anoreksia dan meningkatkan pertambahan berat badan. Siklar. Z. et al (2003) mengemukakan bahwa defisiensi zink mengakibatkan penurunan imunitas, gangguan indera perasa, lamanya penyembuhan luka, terhambatnya kematangan seksual, retardasi pertumbuhan dan berkurangnya
berat badan. Selain itu defisiensi zink juga dapat disebabkan ketidakcukupan intik pangan, gangguan absorpsi, dan ekskresi zink yang berlebih karena penyakit. Pada bayi yang mempunyai bioavailabilitas zink pangannya rendah lebih riskan terhadap defisiensi zink karena pertumbuhan cepat yang terjadi pada usia dini (bayi dan anakanak). Dari analisis hasil dan pembahasan maka dapat dikemukakan bahwa studi ini selain mempunyai kekuatan juga mempunyai kelemahan. Beberapa kekuatan dari studi ini antara lain disain studi kokoh yaitu eksperimental uji acak buta ganda terkendali, analisis yang dipakai sesuai baik analisis biokimia darah maupun analisis kadar zink dan besi ASI, pengukuran pertumbuhan bayi menggunakan indikator yang tepat yaitu z skor PB/U, dan z skor BB/U. Selain itu bahan yang digunakan untuk fortifikasi sudah popular di masyarakat baik di kota maupun di desa sehingga tingkat kepatuhan konsumsi relatif tinggi dan tepat bila diterapkan menjadi suatu program perbaikan gizi ibu menyusui. Hal ini didukung dengan analisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002 mengemukakan bahwa mie instan dikonsumsi oleh 57,1% dengan tingkat konsumsi mie instan 8,69 g/kapita/hari pada penduduk kota, sedangkan pada penduduk pedesaan mie instan dikonsumsi oleh 41,8% penduduk dengan tingkat konsumsi mie instan 4,56 g/kapita/hari. Sedangkan kelemahan dari studi ini antara lain tidak dilakukannya analisis zink serum pada ibu dan analisis zink maupun besi serum pada bayi untuk melihat hubungannya dengan kadar zink ASI. Selain itu juga tidak dilakukannya analisis kadar protein seperti albumin, α2 macroglobulin, transferin dan laktoferin sebagai pengangkut zink dan pengangkut besi di plasma dan kelenjar payudara dalam hubungannya dengan kadar zink dan besi ASI.