V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil 5.1.1. Karateristik Responden A. Umur Responden Apabila kita menetapkan kriteria umur belum produktif, produktif, kurang produktif dan tidak produktif, usia responden yang belum produktif 1,4%, usia produktif 57,296, kurang produktif 3 1,4% dan tidak produktif 10,0%, (Tabel 21). Walaupun ada umur belum produktif namun tuntutan sebagai kepala rumah tangga mengharuskan bekerja. Sedangkan umur kurang produktif dan tidak produktif masih tetap bekerja sebagai petani karena merasa masih kuat dan juga tidak ada pekerjaan lain yang memungkinkan. Tabel 2 1: Umur Responden
/ No 1
Umur
I Frekwensi /
%
1
< 20
1
194
2
20-50
40
57,2
produktif
3
5 1-60
22
3 1,4
kurang produktif
4
> 60
7
10,O
tidak produktif
70
100
Jumlah
Keterangan
1
Sumber : data primer hasil olahan, (2002) B. Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar responden adalah laki-laki (Tabel 22). Banyaknya laki-laki
sebagai petmi
karena kapasitas
dan
tanggungjawab sebagai kepala rumah tangga yang harus menghidupi keluarganya, dan pekerjaaan petani merupakan pekerjaan berat. Adanya responden perempuan
umumnya karena jandaltidak kawin atau tidak mempunyai saudara laki-laki sehingga tanggung jawab rumah tangga harus dilakukan. Tabel 22: Jenis Kelamin Responden No 1
Jenis Kelamin Laki-laki
Frekwensi 60
% 90,O
2
Perempuan
10
10,O
Jumlah 70 Sumber : data primer hasil olahan, (2002)
100
C. Pendidikan Responden Dari segi tingkatan pendidikan, responden sebagian besar mempunyai tingkatan pendidikan SLTP ke bawah dan sebagian kecil berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi. Komposisi tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 23. Banyaknya petani yang tidak sekolah disebabkan umurnya yang relatif tua dimana pada waktu mereka usia sekolah tidak sempat mengikuti pendidikan
karena berkecamuknya perang, tidak adanya fasilitas pendidikan dan kondisi ekonomi, sehingga yang sempat sekolah adalah petani yang masih muda dalam kondisi daerah sudah aman dan pembangunan sudah berjalan lancar.
Tabel 23: Pendidikan Responden
No
Pendidikan
Frekwensi
O/O
1
Tidak sekolah
27
38,6
2
SD
25
35,7
3
SLTP
12
1 0,0
4
SLTA
5
2,5
5
PTIAkademi
1
1,4
70
100
Jumlah
Sumber : data primer hasil olahan, (2002)
D. Penghasilan Responden Penghasilan responden sangat bervariasi antara Rp. 75.000,- sampai Rp. 650.000,- dengan rata-rata penghasilan Rp. 250.000,-,/bulan (Tabel 24). Sumber penghasilan responden disamping petani juga melakukan kegiatan beternak, berdagang, memungut hasil alam, buruh tani dan tukang ojek. Tabel 24: Penghasilan ~esponden No
Penghasilan (Rp)
Frekwensi
%
1
< 150.000,-
25
35,7
4
> 450.000,-
3
433
Jumlah
70
100 I
I
Sumber : data primer hasil olahan, (2002)
E. Jumlah Tanggungan Jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Tabel 25. Tanggungan responden relatif kecil sebab umumnya masyarakat Moronene kalau berumurl822 tahun merupakan usia kawin sehingga harus berpisah dari keluarganya untuk membentuk keluarga baru.
Tabel 25: Jumlah Tanggungan Responden No
Frekwensi
%
1
Jumlah Tanggungan (oranp) 0-1
17
24,3
2
2-3
14
20,O
3
3-4
27
38,6
4
>4
12
17,l
70
100
Jumlah
Sumber : data primer hasil olahan, (2002)
F. Status Petani
Sebagian besar responden yang mengusahakan padi berstatus pemilik lahan sekaligus sebagai penggarap dan sisanya adalah penggarap atau mengerjakan lahan orang dengan sistem bagi hasil. Namun untuk lahan kering selnua responden memiliki lahan sendiri. Untuk melihat status petani (responden) di Kecamatan Rarowatu dapat dilihat pada Tabel 26.
Tabel 26: Status Responden No
Status Petani
Frehvensi
%
1
Pemi lik-penggarap
59
84,3
2
Penggarap
11
15,7
70
100
Jumlah
Sumber : data primer hasil olahan, (2002) Banyaknya responden berstatus pemilik-penggarap karena disamping memiliki lahan juga mereka sendiri yang menggarap atau mengolahnya sendiri. Sedangkan yang berstatus penggarap umumnya mereka yang mempunyai luas lahan yang sangat sedikit sehingga perlu menggarap lahan orang lain sebagai buruh tani untuk rnenambah penghasilan keluarga.
G . Luas lahan Rata-rata kepemilikan lahan pada petani di Kecarnatan Rarowatu adalah 1,4 Ha. Luas lahan yang dimiliki responden berkisar dibawah 1 - 2 Ha sementara diatas 2 Ha cukup sedikit. Perbedaan luas lahan karena pewarisan sehingga tanah dibagi atau dijual. Sebagian responden membuka lahan baru dalam jumlah yang besar. Untuk menggarap tergantung dari luas lahan yang diberikan oleh pemilik lahan. Luas lahan garapan responden dapat dilihat pada Tabel 27 berikut.
Tabel 27: Luas Lahan Garapan Responden
No
Luas Lahan (Ha)
Frekwensi
%
1
<1
28
40,O
2
1-2
36
5 1,4
3
>2
6
8,6
70
100
Jumlah
Sumber : data printer hasil olahan, (2002)
H. Lama Usaha Tani Lama usaha tani responden dapat dilihat pada Tabel 28. Perbedaan lama berusaha tani tergantung dari umur responden. Pada umumnya responden telah menjadi petani antara 10 - 30 tahun (68,6%), sementara kurang dari 10 tahun (17,1%) dan lebih dari 30 tahun (14,3%). Perbedaan lama berusaha tani ini akan mempengaruhi cara petani dalam kegiatan pertaniannya terutama menyangkut penerapan pengetahuan seperti persepsi, sikap dan tindakan. Tabel 28: Lama Usaha Tani Responden
No
Lama Usaha Tani
Frekwensi
YO
1
< 10
12
17,l
70
100
Jumlah
Sumber : dataprimer hasil olahan, (2002)
5.1.2. Pengetahuan Lokal Suku Moronene dalam Sistem Pertanian
A. Penentuan Lokasi
Kegiatan pertama-tama yang harus dilakukan dalam sistem pertanian Suku Moronene adalah penentuan lokasi yang akan dijadikan lahan usaha tani. Penentuan lokasi pada Suku Moronene adalah meninjau lokasi (Mooto wita), memberi tanda (Monzpaseki/Mompetoo), upacara penentuan kesuburan lahan (Mekilala) dan upacara membuka ladang (Mo 'o oli).
- Meninjau Lokasi (Mooto Wita) Mooto wita adalah suatu kegiatan awal masyarakat Suku Moronene untuk melihat lokasi yang akan dijadikan kebun, bisa dilakukan secara berkelompok dan bisa juga dilakukan secara perorangan. Tahapan ini diyakini oleh masyarakat Moronene dimaksudkan untuk melihat kondisi lahan dari berbagai aspek yakni: (1) Apakah lokasi yang akan dijadikan ladang merupakan lokasi larangan atau keramat. Jika lokasi ini dikeramatkan maka peinbukaan lahan tidak bisa dilakukan. Dari 70 orang responden yang ditemui peneliti, seinuanya berpendapat bahwa lokasi yang dikerainatkan bisa terdiri dari lokasi pekuburan para leluhur mereka, mata air atau tempat peristirahatan hewan; (2) Apakah lokasi yang akan dijadikan ladang tanahnya masih subur. Semua responden menyatakan lokasi yang kurang subur biasanya ditandai oleh tanah yang benvarna kuning, liat dan tanahnya yang terlalu berpasir, sedangkan tanah subur ditandai oleh tanah yang berwarna hitam, adanya pohon bambu dan pohon longkida (beringin); (3) Apakah lokasi yang akan dibuka untuk dijadikan lahan tersebut telah ada sebelumnya atau harus membuka hutan baru. Hasil wawancara
70
tentang sistem pembukaan lahan bahwa yang membuka lahan baru (hutan) sebanyak 6 orang (8,5%) dan dan yang tidak membukan lahan baru atau meneruskan lahan sebelumnya 64 orang (91,5%). Masyarakat Moronene dalam mempersiapkan dan membuka ladang ada dua cara yakni membuka hutan dan membuka ladang kembali yang dikenal dengan nama Kura atau bekas kebun.
Hutan yang dibuka oleh enam orang
responden adalah hutan yang tergolong kura (bekas kebun yang menjadi hutan) yang hanya ditumbuhi oleh tanaman perdu, semak serta pepohonan yang tidak tergolong
besar dengan vegetasi yang memiliki tingkat kerapatan tergolong
rendah, sehingga tidak ditemukan adanya pembukaan hutan alam dengan menebang pohon yang dapat berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi ekosistem di kawasan tersebut. Responden tidak melakukan pembukaan hutan namun memanfaatkan kembali ladang-ladang yang telah diolah pada musim tanam sebelumnya. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian besar masyarakat yang tidak membuka hutan untuk berladang disamping keterbatasan lahan, juga karena adanya keinginan untuk mulai menerapkan sistem pertanian menetap. Faktor lain tidak melakukan pembukaan hutan karena adanya larangan dari pemerintah dan menyadari akan fungsi hutan sebagai sumber air dan kesuburan tanah itu sendiri.
- Memberi Tanda (Mompaseki atau Mompetoo) Adalah kegiatan masyarakat dengan mematok (mempaseki) atau memberi tanda (mompetoo) pada kebun yang rencana akan dibuka dengan memakai kayu atau dengan tanda adanya tebasan pohon dari masing-masing bagian sesuai dengan kesepakatan bersama yang dipimpin oleh Tetua Adat
71
(Miano motoa) atau dukun kampung. Pengakuan responden tentang pemberian tanda pada lahannya, 52 responden (74,3%) mengaku meinberi tanda baru dan siasanya 18 responden (25,7%) tidak memberi tanda. Masyarakat yang memberi tanda jika membuka kebun disamping batasnya sudah tidak jelas juga sangat berkaitan dengan kepercayaan akan tradisi bahwa dengan memberi tanda akan lepas dari masalah batas dengan sesama masyarakat maupun dan sesuai dengan petunjuk Tetua Adat karena berkaitan dengan keinginan penguasa lahan (Ntiwonua) yang telah memperbolehkan lahan tersebut untuk diolah. Bagi yang tidak melakukan pernberian tanda disebabkan karena mereka telah mempunyai kebun atau lahan yang tandanya masih jelas yang sebelumnya tanah itu berasal dari pemberian orang tua atau warisan atau daerah tersebut adalah bekas kebun (Kura).
- Upacara Penentuan Lokasi Kesuburan Tanah (Mekilala) Kegiatan ini untuk menentukan lokasi perkebunan yang baik dan subur tanahnya. Dalam kegiatan ini dipersiapkan beberapa peralatan atau bahan sebagai persyaratan utama guna mengetahui lokasi mana yang dapat dijadikan kebun dan tanahnya subur. Bahan dan alat yang digunakan dalam proses mekilala adalah: kayu diameter 10 cm (yang sudah diruncingi, berbentuk persegi empat panjang kira-kira 2 m), daun sirih, kapur sirih, buah pinang. Cara melakukan mekilala: Kayu yang telah diruncingi berbentuk segi empat disimpankan daun sirih dan kapur serta buah pinang oleh dukun kampung (Miano Motuano atau Tonzpuroo) dan dibacakan mantera-mantera, selanjutnya kayu ditancapkan di tanah dan diputar-putar. Kalau salah satu sisi ernpat kayu
72
tersebut terdapat banyak tanah yang melekat, maka arah banyak tanah melekat pada kayu tersebut dijadikan kebun kerena akan subur dan banyak menghasilkan. Mekilala bertujuan untuk menentukan lokasi kebun juga dapat digunakan untuk untuk menentukan atau mencari petunjuk tentang berbagai keperluan misalnya menentukan tempat yang baik untuk mendirikan rumah, menentukan daerah perladangan, mengetahui keadaan kesehatan keluarga yang jauh, mengetahui jenis penyakit dan kepada siapa hendak berobat. Kilala dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu kilala kapur, kilala buah pinang dan kilala sirih. Untuk memastikan bahwa tanah tersebut benar-benar subur, ada beberapa pengamatan fisik yang dilakukan antara lain dengan memperhatikan tanda-tanda kesuburan sekelilingnya pada saat meninjau lokasi (Mooto wita). Untuk memastikan disitu banyak air maka dapat ditandai dengan adanya pohon beringin (Ficus benjamina) atau ada pohon nene atau pohon resam (Gleichenia linearis) disekitarnya. Pengakuan responden terhadap upacara Mekilala, sebagian besar responden (91,4%) melakukan upacara dan sisanya (8,6%) tidak melakukan upacara Mekilala terutama petani yang sudah lama menggarap lahannya dan tidak perlu lagi dilakukan upacara. Upacara Mekilala harus diadakan karena masyarakat Suku Moronene percaya bahwa mereka yang tidak melakukannya akan ditimpa bahaya penyakit atau hasil pertanian akan gagal, sehingga menyebabkan sebagian besar masyarakat lebih memilih upacara. Sedangkan yang tidak melaksanakan Mekilala beralasan bahwa mereka sebelumnya telah melaksanakannya dan pula yang tidak .
melakukan upacara karena alasannya hanya akan membuang-buang tenaga.
- Upacara Membuka
Ladang (Mo '0 oli)
Mo'o oli adalah suatu kegiatan masyarakat Moronene yang artinya sebelum membuka hutan atau lahan terlebih dahulu mernberi syarat kepada mahluk halus yang diyakini sebagai roh-roh halus yang menlpunyai kekuatan gaib (penghuni hutan perkebunan) agar yang membuka lahan perkebunan tidak diganggu. Tetapi dalam kegiatan Mo 'o oli ini penghuni hutan bisa saja menolak permintaan mereka. Melalui Mo 'o oli, masyarakat Moronene tetap menghargai penguasa hutan (Ntiwonua). Namun perlu diketahui bahwa upacara M o b oli bagi ~nasyarakat Moronene mengenal dua cara yang harus dilakukan bila penguasa hutan tidak memberikan isyarat yang baik atau tidak di dalaln pembukaan hutan atau ladang maka proses yang harus dilaksanakan yaitu jika kegiatan adat M o b oli telah dilakukan, ternyata penguasa hutan tidak menerimanya atau tidak membenarkan untuk diganggu tempatnya, masyarakat tetap melakukan upacara Mo'o oli
yang dipimpin oleh orang tua kampung
(Tompuroo ) untuk rneminta kepada penguasa hutan (NtiWonua ) kiranya dapat diberikan jalan, syaratnya yaitu, sepasang ayarn putih, nasi ketan hitam, dan telur ayam masak, tergantung permintaan mahluk halus tersebut. Jika kegiatan upacara adat mo 'o oli telah dilakukan dan semua persyaratan sudah diupayakan ternyata mahluk halus (NtiWonua ) tetap tidak memberikan jalan (menolak), masyarakat tidak dapat membuka lahan tersebut dan harus rnencari tempat lain. Syarat-syarat yang harus dilengkapi dalarn prosesi upacara adat Mo 'o oli sebagai berikut : sarung dua pasang (sarung laki-laki dan perempuan), pakaian dua pasang (pakaian laki-laki dan perempuan), daun siri (bite) secukupnya, buah pinang (wua) secukupnya, kapur siri (Ngapi) secukupnya, tembakau (Ahu)
74
secukupnya, kulit jagung (Kulimpuhu ) secukupnya.
Bahan-bahan tersebut
dipersembahkan kepada penunggu penguasa hutanlmahluk halus (NtiWonua ) dengan melihat tanda-tanda seperti bintang dilangit dan binatang seperti tandatanda yang baik berupa kupu-kupu (Tolewa ), belalang (Kotumba ), bereng-bereng
(Tasai). Semua serangga tersebut berada dan terbang disekeliling tempat pelaksanaan prosesi adat Mo 'o oli. Tanda-tanda yang tidak baik seperti tawon besar (Roani ), tawon kecil benvarna kuning (Kokoti ), tawon besar berwarna merah (Towua motaha ). Semua serangga tersebut terbang atau berada disekeliling tempat prosesi adat Mo'o oli. Setelah prosesi upacarah adat Mo'o oli berakhir dan semua persyaratan telah terpenuhi tidak ada hambatan dari pihak penguasa hutan atau mahluk halus (NtiWonua ), maka masyarakat segera mengadakan musyawarah (Tepoawa Mogau ) untuk mufakat (Bobotoako poawa ) untuk menentukan waktu dilakukan pembukaan lahan (Umowu) dengan melihat waktu yang baik, maka dimulailah kegiatan.
Keseluruhan responden yang ditemui
menyatakan melakukan prosesi adat Mo 'o oli saat akan membuka lahannya. Membuka ladang, masyarakat umumnya masih menggunakan alat-alat pertanian yang tergolong sederhana seperti parang, pacul dan kapak. Alasan selain mudah diperoleh, juga harganya yang masih terjangkau serta mudah didapatkan di sekitar perkampungan. Faktor lain yang mendasari penggunaan alat-alat pertanian sederhana adalah pengoperasian yang sederhana. Parang digunakan untuk memotong tanaman perdu, kayu atau membabat tanaman menjalar yang tumbuh di dalam dan sekitar lokasi perladangan. Pacul digunakan untuk membersihkan rumput atau membuat lubang dan menggali tunggul pohon, sedangkan kapak digunakan memotong pohon yang berkayu keras dan berukuran besar.
B. Pembukaan Lahan dan Persiapan Tanam Pembukaan lahan dan persiapan untuk penanaman dilakukan setelah upacara pembukaan ladang ( M o b oli) selesai. Dalam tahapan ini kegiatan dilakukan antara lain membersihkan lahan (Umowu), membakar (Humuni) dan membuat pagar (Mewale).
- Membersikan Lahan (Umowu) Un~o~vuadalah suatu kegiatan untuk membuka lahan dengan tahap perintisan kayu-kayu kecil semak belukar menggunakan parang atau pacul secara berkelompok. Hari yang dipilih biasanya hari senin yang dipahami sebagai hari yang senang. Lamanya Umowu
tergantung luas kebun
yang akan diolah
kemudian istirahat selama satu minggu. Hasil wawancara di lapangan, responden Suku Moronene yang melakukan dan tidak melakukan Umowu, 40 responden (57,2%) menyatakan melakukan umowu disebabkan lahan yang akan dijadikan ladang, telah ditumbuhi oleh semak dan tanaman perdu sementara 20 responden (28,6%) tidak melakukan umowu disebabkan lahan yang akan dijadikan ladang baru saja dipanen. Kadang-kadang melakukan 10 responden (8,2%) dengan alasan bahwa
tergantung pertumbuhan gulma atau semak-semak. Namun semua
berpendapat bahwa kebun makin dibersihkan akan makin baik untuk persiapan pananaman. Umowu dilakukan dengan cara menebang tanaman perdu serta semaksemak yang tumbuh di lokasi yang akan dijadikan kebun atau sawah. Semak dan tanaman perdu yang telah ditebang tersebut selanjutnya dikumpulkan pada suatu tempat hingga dirasa cukup kering untuk dibakar.
- Membakar (Humuni ) Humuni
adalah kegiatan untuk membuka lahan perkebunan dengan
membakar semak dan tanaman perdu yang sudah ditebang dan telah cukup kering dilokasi yang akan menjadi areal perladangan. Pembakaran lahan secara serentak dan berkelompok sampai hangus
dan baru ditinggalkan setelah api padam.
Pengakuan responden tentang kegiatan humuni
pada Suku Moronene di
Kecamatan Rarowatu, 8 responden (1 1,4%) melakukan humuni sementara 62 responden (88,6%) orang tidak melakukan humuni. Kegiatan humuni
erat
kaitannya dengan umowu sebab humuni hanya akan dilakukan jika pembersihan lahan dengan cara umowu telah selesai dilakukan. Alasan melakukan humuni karena lahan yang akan dijadikan ladang masih ditumbuhi oleh semak belukar dan tanaman perdu. Responden yang tidak melakukan humuni beralasan karena mereka mengolah kembali kebun atau sawah yang baru dipanen sehingga tidak ada semak belukar dan tanaman perdu yang perlu di humuni. Untuk menghindari penyebaran api, kegiatan humuni dilakukan secara bersama-sama oleh anggota masyarakat. Sisa-sisa tanaman yang akan dibakar dikumpulkan di satu tempat yang dirasa cukup jauh dari kawasan hutan sehingga api tidak akan merembet.
- Membuat Pagar (Mewale) Mewale adalah kegiatan pemagaran ladang yang sudah siap ditanami. Pemagaran dimaksudkan untuk mencegah serangan hama teutama babi, rusa atau ternak piaraan lainnya yang menyukai padi ladang. Masyarakat menggunakan bambu, kayu dan membuat parit untuk dijadikan pagar kebun. Sebagian besar masyarakat menggunakan bambu untuk memagar ladangnya dan sebagian kecil menggunakan kayu. Atau menggunakan kayu dan
77
bambu. Sebab disekitar pemukiman masyarakat Moronene, tanaman bambu tumbuh sangat banyak dan mudah ditemui sedangkan kayu tidak dibenarkan untuk ditebang tanpa izin Kepala Desa. Walaupun kenyataannya masih ada yang menggunakan kayu sebagai bahan untuk membuat pagar, namun kayu tersebut harus dari kayu sisa kegiatan pembukaan lahan dan dalam jumlah yang terbatas.
C. Penanaman Setelah lahan siap tanam, maka untuk penanaman terlebih dahulu diperhatikan tanda-tanda bintang di langit (pesuri). Tanda bintang adalah (1) Tinao (bintang bersusun tiga). Jika bintang ini muncul di ufuk timur pada jam 24.00 malam berarti tidak baik untuk menanam padi atau jagung. Jika bintang tersebut muncul di ufuk timur pada jam 05.00 subuh berarti pada jam 18.00 sore bintang tersebut sudah berada di ufuk barat artinya tanda paling baik untuk menanam. Setelah bintang atau Tinao tnuncul pada jam 18.00 sore diadakanlah pertemuan
(Tepoawa
Mekompulu)
untuk
bermusyawarah
(Mogauako)
mendapatkan mufakat (Boboto ako poawa) kapan dimulainya penanaman. (2) Molunu adalah sekumpulan bintang yang cukup banyak. Jika sekumpulan bintang ini muncul di ufuk timur pada sore hari jam sekitar jam 18.00 berarti curah hujan masih jauh tetapi saat ini adalah waktu yang tepat untuk kegiatan mewungkali, montonu inoto dan lain-lain. Jika bintang ini muncul dan berada ditengah antara barat dan timur pada jam 18.00 sore berarti sudah ada curah hujan tapi belum merata namun waktunya sudah baik untuk menanam.
Jika bintang ini sudah
berada di ufuk barat pada jam 18.00 sore atau disebut Metaburako menunjukkan curah hujan sangat banyak. Jika ada kebun yang terlambat dibersihkan (Sai rzrka)
78
maka tidak tepat lagi untuk menanam. (3) Olimpopo Measa (Kokomeanta)adalah satu buah bintang di langit. Jika bintang ini muncul dilangit pada jam 04.00 atau jam 05.00 subuh menunjukkan tanda akan hujan. Biasanya sering terjadi pada waktu sahur pada bulan puasa. Untuk penentuan waktu tanam berdasarkan posisi bintang dilihat pada Tabel 29. Tabel 29: Penentuan Waktu Tanam Berdasarkan Posisi Bintang Tanda-tanda bintang
Posisi
Pukul
Makna
Keterangan
1
Tinao (bintang bersusun tiga)
-Ufuk timur -Ufuk barat
24.00 18.00
Belum ada hujan Hujan segera tiba
Tidak baik menanam WaMu tepat menanam
2
Molunu (kutnpulan bintang yang banyak)
3
Olimpopo measa (bintang tunggal)
No.
I l l -Ufuk timur -Antara ufuk -Ufuk barat
18.00 18.00 18.00
Hujan masih jauh Hujan ada sedikit Hujan banyak
04.30
Hujan akan turun
I
Persiapan menanam Penanaman dimulai Penanaman selesai Penanaman dimulai
Sumber : data primer hasil olahan, (2002) Setelah melihat posisi bintang dan waktu menanam sudah tiba, maka penanaman dilakukan dengan menempuh beberapa tahap yakni pertama Mobula
pae, yakni memisahkan antara benih padi yang layak dan yang tidak layak untuk ditanam. Adapun jenis tanaman yang ditanam adalah padi ladang, padi sawah, tanaman perkebunan dan umbi-umbian. Jenis padi ladang yang banyak ditanam adalah jenis Pae Tauwata, kemudian Pae Pilaate, jenis lainnya dan terakhir Pae Woka. Walaupun orang Moronene mengenal 45 jenis padi ladang, namun kenyataannya masyarakat Moronene hanya menanam 7 jenis padi ladang. Pilihan jenis padi yang ditanam oleh responden dipengaruhi oleh jenis padi yang mudah dijumpai dan tersedia. Berdasarkan ha1 tersebut maka Pae Pilaea adalah jenis padi yang paling banyak dijumpai di masyarakat Moronene. Pae Pilaea disamping mudah dijumpai, juga hasilnya oleh masyarakat dianggap lebih berkualitas sebab memiliki aroma yang
79
khas dan rasa yang lebih enak dari jenis padi ladang yang lain. Dari sisi produktifitas, keempat jenis padi yang paling banyak ditanam oleh masyarakat pada umumnya memiliki tingkat produktifitas yang relatif sama yakni 1,2- 1,5 ton gabah kering per hektar. Jenis padi sawah umumnya berasal dari benih yang dijual di pasar dengan alasan lebih efisien dan mudah dalam penanamannya serta mempunyai hasil yang lebih tinggi dari padi ladang dengan tingkat produktifitas 3,l
-
3,5 ton gabah kering per hektar. Untuk menutupi kebutuhan pokok pada
masa bero, petani menanam tanaman perkebunan untuk dijual dan umbi-umbian untuk kebutuhan pangan keluarga. Petani memperoleh benih dengan cara membeli dari warga lain atau menyimpan sendiri atau membeli. Petani pada dasarnya tidak tertarik untuk membeli benih padi walaupun unggul dari luar kampung disebabkan keterbatasan informasi mengenai harga, juga disebabkan sulitnya mendapat benih unggul yang sejenis terutama padi lokal yang ditanam oleh masyarakat. Disini petani sudah menerapkan sistem pertanian yang mempertahankan keanekaragaman genetik. Benih yang baik dilakukan dengan memisahkan rumpun tanaman padi yang pertumbuhannya lebih subur, bulir padinya lebih banyak dan bernas. Rumpun padi saat panen disimpan terpisah dari padi hasil panen lainnya.
Benih padi
disimpan di atas para-para dapur setelah dikeringkan beberapa hari dibawah terik matahari hingga kadar airnya menurun. Penyimpanan di atas para-para dapur dimaksudkan untuk menghindarkan benih padi dari serangan hama bubuk padi. Tahap kedua adalah Merobusi yakni membuat lubang tanam dengan menggunakan tugal yang terbuat dari kayu yang diruncing sepanjang lebih kurang 5 cm. Tahap ketiga dalam kegiatan penanaman adalah Meroo yakni lnelnasukkan
80
dua biji padi ke dalam lubang tanam yang telah ditugal. Tahap keempat adalah
Mou meeti yakni menutup lubang tanam yang telah diisi benih padi dengan tanah. Pengakuan responden Suku Moronene tentang cara menanam di Kecamatan Rarowatu menunjukan bahwa semua responden (100%) melakukan penanaman secara menugal. Responden dalam penanaman padi dilakukan dengan cara ditugal. Artinya, tidak ada kegiatan pengolahan tanah dengan pacul atau alat pertanian lainnya misalnya bajak untuk kebun, sedangkan pada pekerjaan sawah masyarakat Moronene menggunakan pacul, bajak atau traktor.
Penanaman dengan cara
ditabur juga tidak dilakukan oleh masyarakat dengan alasan ditabur dapat memberi kesempatan kepada hama berupa tikus maupun ayam untuk memakan benih yang baru saja disebar. Hasil wawancara terhadap penggunaan jarak tanam dalam menanam padi pada Suku Moronene di Kecamatan Rarowatu, 63 responden (90%) melakukan penanaman dengan jarak tanaman secara teratur dan 7 responden (10%) tidak teratur jarak tanamnya. Responden yang menggunakan jarak tanam yang teratur (kira-kira 30 cm) lebih dominan dibandingkan dengan yang menggunakan jarak tanam tidak teratur. Penggunaan jarak tanam yang teratur dilakukan pada padi sawah didasari oleh pertimbangan agar lebih memudahkan pada saat dilakukan panen dan hasilnya lebih banyak karena banyak ruang kosong. Sistem penanaman tidak teratur karena kondisi tidak rata dan masih banyak dijumpai adanya tunggul kayu yang belum diangkat dan untuk lebih memudahkan dan mempercepat kegiatan penanaman. Biasanya sistem penanaman tidak teratur dijumpai pada tanaman padi ladang.
D. Pemupukan Penggunaan
pupuk
(Mopupu) dalam penanaman
tanaman
bagi
masyarakat ada yang menggunakan bahan kimiawi (pupuk buatan) dan masih ada mengandalkan pada bahan-bahan organik yang bersumber dari abu hasil pembakaran (Hurnuni), humus tanah, serta pembusukan dari jerami padi atau daun-daun dan semak. Jeraini padi biasanya diperoleh dari sisa panen padi pada musim tanam sebelumnya sedangkan daun-daun dan semak dianibil pada saat dilakukan kegiatan pernbersihan lahan. Pupuk kimia digunakan oleh masyarakat sangat terbatas, disebabkan harga yang tergolong lnahal sehingga sulit terjangkau dan bahkan hasil tanaman tidak jauh berbeda dengan tanaman yang dipupuk dengan pupuk organik. Selain itu, bahan-bahan untuk membuat pupuk organik banyak tersedia di sekitar perkampungan.
E. Pengendalian Hama dan Penyakit Tanaman Pengendalian hama dan penyakit (Mosie Manu-Manu) yang menyerang tanaman di Kecarnatan Rarowatu dilakukan dengan menggunakan alat dan bahan serta cara-cara tradisional yang dikombinasi dengan bahan kimia (pestisida). Jenis hama yang sering dijumpai menyerang padi di Kecamatan Rarowatu adalah babi (Wawi),tikus (Wola ), walang sangit (Ongo), ular hitam (Ule Molori), kodok (Kore), ayam (Monupuo), ulat (Ule Ntii ), kepik (Kolohio ). Sedangkan penyakit utama yang sering menyerang tanaman padi adalah penyakit busuk akar (Ganoderma pseudoferrum),
penyakit busuk batang, dan kelayuan. Untuk
mengendalikan hama atau penyakit, responden menggunakan cara manual dan
82
tradisional dan pemakaian bahan kimia (pestisida). Pengakuan responden terhadap cara pengendalian hama dan penyakit pada Suku Moronene di Kecamatan Rarowatu, 5 responden (7,2%) melakukan secara manual yaitu dengan mencabut atau membakar, secara tradisional 25 responden (35,7%) dan kombinasi manual dan tradisional40 responden (57,1%). Pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan cara-cara tradisional berupa ramuan obat tradisional masih menjadi pilihan utama responden karena tidak memerlukan biaya. Sementara itu, kepercayaan responden terhadap mantra-mantra dalam mengendalikan hama masih tetap dipercaya. Penggunaan kombinasi dengan obat kimia disebabkan oleh anjuran Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) jika serangan hamdpenyakit sudah parah dan kondisi ekonomi memungkinkan untuk membeli bahan kimia. Ramuan tradisional yang digunakan mengendalikan hama adalah karet, tulang dikikis, daun lombok, sisik ikan (diu) dibakar sesuai arah mata angin. Sementara pengendalian penyakit dilakukan dengan cara menggunakan air yang dimasukkan ke botol lalu ditiup dengan mantra tertentu sesudah itu disiramkan ke bagian tanaman yang diserang. Cara lain adalah dengan menggunakan rambut perempuan dan daun belimbing yang dikibaskan setelah dimantrai. Juga karet, tulang yang dikikis, daun lombok, sisik ikan (diu ) dibakar sesuai arah mata angin. Penggunaan pestisida jarang dilakukan oleh masyarakat, disebabkan selain harganya yang tergolong mahal sehingga sulit terjangkau juga karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang hamdpenyakit dan pengendalinya. Selain itu juga, lokasi perkampungan mereka yang berada relatif jauh dari kota, sehingga untuk memperoleh pestisida relatif sulit, ikut mendorong masyarakat
83
untuk tetap menggunakan cara tradisional dalam mengendalikan hama. Bahkan penggunaan pestisida bagi sebagian masyarakat dikuatirkan akan berbahaya bagi kehidupan mereka. Seperti yang dituturkan oleh Musaini (90) salah seorang tokoh masyarakat dan dukun obat bahwa "masyarakat masih trauma dengan obat kimia karena pernah terjadi tumpahan pestisida ke sumber air (kali) sehingga masyarakat yang mandi dan mengambil air menjadi gatal-gatal, keracunan dan bahkan ada yang meninggal dunia". Sungai bagi masyarakat Moronene dijadikan sebagai surnber air minum, mandi, mencuci dan pengairan. Penggunaan cara khusus seperti menangkap dengan jaring, karung atau melakukan ronda bersama dan perburuan seringkali digunakan terutama pada hama babi dan tikus dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok tani untuk melakukan perburuan. Cara ini dirasakan cukup efektif namun sangat memakan tenaga dan waktu, sementara hasilnya relatif sedikit. Pernberantasan penyakit secara manual dilakukan dengan mencabut tanaman terserang dan dibakar. Cara ini dilakukan kalau tanaman yang terserang sudah sangat parah, tapi kalau belum parah mengkombinasikan obat ramuan tradisional, mantra-mantra dan juga obat kimia. Memberantas penyakit masih menggunakan cara tradisional dengan cara tanaman yang terserang penyakit dicabut lalu dibakar. Ini merupakan cara termurah dan paling aman.
F. Panen (Mongkotu) Tahapan kegiatan dalam panen (MongkotdMosangki) adalah Inenlotong padi pertama (Mobelai pae), menumbuk atau menggiling padi (Moisa) dan pesta panen (Mewuwusoi)
84
- Memotong Padi (Mobelai Pae / Mongkotu) Tata cara memanen tanaman secara tradisional hanya dilakukan pada tanaman padi sedangkan pada tanaman lain jarang dilakukan sebab waktu panen tidak menentu. Panen padi di masyarakat Moronene dilakukan dengan terlebih dahulu mengadakan upacara ritual (Momparesa). Momparesa dimulai dengan mengadakan Mobelae Pae (padi sawah) atau Mongkotu (padi ladang) adalah memotong padi yang dilakukan oleh Tunlpuroo (dukun) dengan cara mengambil segenggam padi kemudian dibawa ke rumah dan disimpan di tempat yang agak tinggi (Sangia Pae). Hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa alat bantu panen menggunakan alat tradisional seperti anai-anai dan sabit. Setelah Mobelai Pae, maka panen masal dapat dilakukan secara bersama-sama. Anai-anai merupakan alat bantu utama dalam melakukan panen padi disamping menggunakan sabit. Anai-anai merupakan alat bantu yang paling banyak digunakan disebabkan responden dalam menyimpan padi seperti ladang umumnya dalam bentuk ikatan-ikatan. Penggunaan anai-anai juga dianggap lebih memudahkan bagi perempuan dalam melakukan kegiatan panen padi jika dibanding dengan menggunakan sabit.
- Menumbuklmenggiling
Padi (Moisa)
Moisa adalah menumbuk padi yang dilakukan secara berkelompok atau sendiri-sendiri.
Namun sekarang menumbuk semakin sedikit karena ada
penggilingan padi yang prosesnya lebih cepat. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan pada Suku Moronene mengenai cara melakukan pasca panen padi bahwa 15 responden (21,4%) menumbuk padi dan 55 responden (78,6%) telah rnenggunakan mesin giling.
85
Sebagian besar responden menggunakan mesin giling karena mesinnya sudah tersedia hampir ditiap desa terutama disekitar jalan poros sehingga memudahkan
pekerjaan
membersihkan
padi.
Sedangkan
yang
masih
menggunakan cara tradisional. Alasannya karena lokasi pabrik (mesin giling) jaraknya sangat jauh dari tempat mereka dan padi yang akan dibersihkan memungkinkan tenaga untuk dikerjakan sendiri.
- Pesta Panen (Mewuwusoi ) Mewuwusoi yaitu pesta panen (mompokolako tau ) dengan cara mododo (memukul-mukul lesung dengan menggunakan alu terdiri dari tiga orang secara berirama).
Persyaratan yang harus dipenuhildisediakan
untuk mewuwusoi
(melepaskan tahun panenanlsyukuran): pae dai molori (beras ketan hitam) disimpan diatas nyiru; telur ayam (bio manu) d i s h p a n diatas beras ketan hitam; udang (ura) masak tujuh ekor; keladi (tonea ) yang dimasak; lilin diletakkan di atas nyiru. Semua persyaratannya berasal dari usaha masyarakat sendiri. Kegiatan mewuwusoi biasa diakhiri dengan melakukan berbagai kegiatan keramaian seperti acara menari (Molulo) yaitu menari bergandengan tangan, atau pergi mandi-mandi (Mebaho) bersama-sama.
5.2. Pembahasan Untuk menjamin peranan pengetahuan lokal Suku Moronene dalam sistem pertanian yang berkelanjutan, pembahasannya ditinjau dalam tiga aspek yaitu aspek ekologi, sosial ekonomi dan aspek budaya (Poerwanto, 2000; Soemarwoto, 200 1; Reijntjes, at al., 1999). Hal ini dilakukan pada konsepsi bahwa apa yang ada di alam ini dan seluruh isinya adalah ciptaan Tuhan sebagai penguasa seluruh alam semesta yang menyediakan sumberdaya alam (hutan) bagi manusia. Manusia selaku khalifah diberi aka1 pikiran dan dipercayakan untuk mengelola dan memanfaatkannya secara bijaksana dan untuk dipertanggungjawabkan kepada pemiliknya (Tuhan) dan juga kepada sesamanya. Interaksi antara ketiganya menghasilkan pengetahuan dan kebudayaan sebagai hasil proses adaptasi alamiah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Untuk mendapatkan pembahasan yang komprehensif dan terintegrasi, maka pembahasan hasil dilihat dari aspek kelestarian ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
5.2.1. Kelestarian Ekologis Kelestarian ekologi mencangkup pemeliharaan viabilitas dan fungsi ekosistem pertanian serta ekosistem disekitarnya seperti hutan pada level yang sama atau yang lebih tinggi. Ekosistem pertanian harus mendukung kehidupan organisme yang sehat, tetap mempertahankan produktifitas, adaptabilitas dan kemampuan untuk pulih kembali. Fungsi tersebut menghendaki pelaksanaan pengelolaan sistem pertanian yang menghargai atau didasarkan atas proses-proses
87
alami. Kelestarian ekologi dalam sistem pertanian Suku Moronene dilihat dari pandangan tentang pengelolaan hutan dan kosepsi pengelolaan satwa.
A. Pandangan Tentang Pengelolaan Hutan
Orang Moronene memandang hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan dan kehidupan. Mereka percaya bahwa hutan adalah penyedia sumber kehidupan, baik langsung maupun tidak langsung sehingga perlu dikelola dan dijaga kelestariannya. Hutan merupakan dasar kultur dan materi yang berperan sentral dalam kelangsungan sistem usaha tani. Hutan mempunyai arti spritual dalam tradisi kesehariaan sehingga perlu dikelola berdasarkan hukum adat. Ini dapat ditunjukkan dari berbagai pengetahuan lokal yang secara tradisional dilakukan secara turun temurun seperti dalam pembukaan dan pengolahan tanah, pemanfaatan tumbuhan dan hewan maupun pengetahuan
berupa cerita rakyat,
lagu atau syair. Pengetahuan orang Moronene
dalam mengelola sumberdaya alamnya
tertuang dalam aturan-aturan adat yang dianut dan biasanya diwujudkan dalam berbagai upacara adat maupun cerita rakyat. Sebagai gambaran, mereka memulai masa pembukaan lahan pertanian terlebih dahulu harus melaksanakan serangkaian upacara ritual adat sampai dengan pasca panen. Demikian saat berburu hewan yang tidak dalam bunting. Hutan rimba dianggap kampung mahluk halus sehingga apabila mereka hendak masuk hutan untuk tujuan apapun mereka harus melakukan Mo'oli yaitu proses pembelian negeri (kampung) agar mahluk halus rela meninggalkannya. Pada istilah Mososoami yaitu menyuruh mahluk halus
88
untuk lnenyingkir sementara agar orang yang lewat tidak diganggu. Proses ini dilakukan dengan membaca mantera-mantera oleh dukun yang dipercaya. Konsepsi tentang pengelolaan hutan meliputi pengetahuan lokal Suku Moronene tentang hutan (OlobdInalahi) yang telah dipraktekkan secara turun temurun dan berperan terhadap kelangsungan usaha tani baik langsung maupun secara tidak langsung. Untuk mengetahui pola bercocok tanam dalam sistem pertanian masyarakat Suku Moronene, maka terlebih dahulu kita harus niengenal konsepsi tentang hutan yang meliputi bentuk hutan dan bagian-bagian hutan. Hutan adalah kekayaan alam yang diciptakan Allah SWT untuk kehidupan manusia pada umumnya. Proses terbentuknya hutan diawali oleh benang-benang ganggang yang hidup dalam air. Memang kehidupan yang pertama dimuka bumi dimulai dari air dan sedikit demi sedikit kehidupan mulai beranjak ke daratan. Yang pertama kali hidup di daratan adalah rumput pendek atau dalam bentuk gulma, dan selanjutnya ditumbuhi tumbuhan semak. Akhirnya secara perlahanlahan tibalah masa pertumbuhan pepohonan seperti yang kita lihat pada hutanhutan sekarang. Bagi masyarakat adat Moronene, hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan pertanian karena hutan adalah sumber penghidupan masyarakat secara turun temurun yang harus dijaga dan dilestarikan. Dalaln memanfaatkan hutan untuk mencari penghidupan sebagian orang Moronene hidup di pinggir-pinggir hutan dan sumber air (sungai atau kali) untuk dimanfaatkan secara bijaksana. Sehingga sistem pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasilnya telah ada dan dilakukan secara turun temurun dan masih teratur secara baik sampai sekarang.
Secara garis besar, hutan dalam masyarakat Moronene dibagi atas dua yaitu hutan rimba (Inalahi) dan hutan padang rumput (Olobu) walaupun pada kenyataannya adalah sama-sama hutan yang harus dilindungi. Inalahi adalah hutan rimba yang mempunyai pohon-pohon yang rapat dan sangat lebat. Inalahi merupakan hutan yang sangat sulit dijamah oleh manusia dan merupakan sumber air bagi masyarakat di sekitarnya dan di daerah hilir. Hewan yang hidup di Inalahi adalah hewan yang sanggup mengatasi kelebatan hutan tersebut seperti kerbau, anoa, babi hutan, kera (ndoke), jenis-jenis burung dan serangga. Inalahi terdapat wilayah hukum adat yang mempunyai topografi pegunungan seperti pegunungan Tawuna Ula, dan Medoke.
- Jenis-jenis Hutan (Inalahi) dan Pemanfaatannya 1. Inalahi Pue adalah hutan rimba yang sangat lebat dan sangat luas, kayunya besar-besar (berdiameter > 100 cm dan tinggi rata-rata 35-40 m). Kayu di hutan ini tidak pernah diganggu atau diolah oleh manusia (hutan perawan) sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Inalahi Pue (zona inti) yang harus tetap dijaga dan dilestarikan karena merupakan kebanggaan masyarakat adat Moronene yang di dalamnya semua sungai besar dan kecil yang mata airnya bersumber dari Inalahi Pue. Wilayah Inalahi Pue ini berada di hutan pegunungan Tawuna Ula dan pengunungan Medoke dan sekitarnya. Sebagian Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) merupakan zona inti kawasan Inalahi Pue. 2. Inalahi Popalia/Kotoria(hutan keramat) i adalah hutan keramat yang dianggap mempunyai penghuni a. ~ n a l a h Popalia berupa mahluk halus sehingga tidak pernah diganggu oleh manusia dari
90
turun temurun (Binta hai sora-sora) di dalamnya merupakan sumber mata air
(mata bundu) serta tempat perlindungan hewan. Inalahi Popalia merupakan hutan keramat yang tidak boleh dijamah atau dimasuki oleh manusia apalagi untuk diolah. Dipercaya kalau manusia yang memasuki hutan tersebut tanpa sepengetahuan tetua kampung, maka dia akan hilang didalam hutan atau akan sakit. Wilayah Inalahi Popalia terdapat di tiap daerah Moronene. b. Kotoria adalah kelolnpok hutan sejenis tempat tertentu (aripekampoa) yang dikeramatkan
,
atau penguburan para sangia pemimpin satria (Mokole).
Tempat tersebut diyakini mempunyai penjaga (mahluk halus) yang sering memperlihatkan wujudnya. Tempat ini tidak boleh diganggu oleh manusia. Masyarakat sangat menghargai tempat seperti ini dan selalu menjaganya dari kerusakan, sehingga masyarakat menyebutnya hutan atau tempat keramat (kotoria) yang berarti hutan atau tempat keramat yang mempunyai penjaga.
Kotoria adalah tempat peristirahatan satwa karena dirasa aman dari gangguan manusia dan merupakan zona penyangga. Sebaran kotoria dijumpai pada daerah pertemuan sungai (Sampa Ondibu) yang merupakan tempat mandi untuk pengobatan. 3. Inalahi Peumaa, adalah hutan perkebunan yang sewaktu-waktu dapat diolah
masyarakat untuk kebun. Setelah kebun diberokan selama beberapa tahun maka
Inalahi Peumaa akan menjadi Kura yaitu lokasi bekas perkebunan yang pernah diolah oleh masyarakat kemudian ditinggalkan. Inalahi peumaa dan Kura merupakan hutan yang dijadikan sebagai daerah atau zona pemanfaatan.
- Jenis-Jenis Perkebunan (Kura)
1. Kuta Tangka adalah bekas perkebunan yang pernah diolah dan kemudian ditinggalkan selama 10-15 tahun.. 2. Kura Ea adalah bekas perkebunan yang ditinggalkan 5-10 tahun
3. Kura Ate adalah bekas kebun yang pernah diolah dengan hamparan kecil dan ditinggalkan 1-5 tahun
4. Kura Hinuarako adalah bekas kebun yang ditinggalkan secara tiba-tiba (pemilik meninggal) sehingga dapat digunakan orang lain. 5. Kura Sailela adalah bekas kebun yang pernah diolah dalam tahap perintisan (Umawu) tiba-tiba pemiliknya meninggal dunia.
6. Kura Tinalui adalah bekas kebun yang sudah dipanen berturut-turut atau dua kali panen.
Olobu adalah hutan yang terdapat pada sebuah kawasan hutan yang dipadati oleh pepohonan yang berselang seling dengan padang rumput. Satwa yang hidup disini kebanyakan adalah hewan pemakan rumput (herbivora) seperti rusa atau jonga (melaa/kinokaa), anoa (kadue), kerbau (karambau), kuda (dara), babi (wawi) dan lain-lain. Adapun jenis-jenis hutan Olobu adalah sebagai berikut : 1. Olobu E 'a adalah kelompok hutan luas yang berada dipinggir sungai ditengah padang rumput sebagai tempat peristirahatan dan perlindungan hewan dan di tempat ini banyak terdapat hewan seperti jongga, babi, ular (ule) burung (nzanunzanu). Disebut juga Olobu Ngkinonea. 2. Olobu Ute adalah kelompok hutan sempit yang ada ditengah padang rumput dengan pohon-pohon yang jarang. Hewan jarang berada di hutan seperti ini.
92
3. Olobu PopaIia adalah kelompok hutan keramat yang berada ditengah padang
rumput dan kadang-kadang di pinggir sungai. Dikelompok hutan ini, orang jarang masuk di dalamnya karena menganggap hutan ini ada penunggunya atau mahluk halus (Ntiwonua) karena ditempat tersebut merupakan kuburan keramat para Sangia. Hutan ini merupakan sumber mata air dan banyak hewan di dalaninya.
-
Jenis-Jenis Padang Ru~nput(Lueno)
1. Lueno Ea adalah padang rumput yang sangat luas sebagai tempat berkeliaran dan merumputnya beberapa jenis satwa seperti jongga atau rusa, kuda, kerbau dan babi. 2. Lueno Ote adalah padang rumput yang kecil yang selalu berada diantara kelompok hutan.
B. Konsepsi Pengelolaan Satwa Pada dasarnya sistem pertanian Suku Moronene tidak terlepas dari sistem pengelolaan sumberdaya alam secara keseluruhan yang niempunyai hubungan yang sangat erat dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun non fisik (gaib) termasuk di dalamnya sangat terkait dengan satwa (hewan). Kegiatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang terkait dengan pengelolaan sistem pertanian adalah pengelolaan satwa yang menekankan pada
aspek kelestarian
(konservasi), kernanfaatan
(ekonomi), dan cara
pemanfaatan (teknologi) (Reijntjes, a t al., 1999). Sehingga dalam pengelolaan sistem pertanian selalu memperhatikan semua aspek yang terkait dengan kesinambungan kehidupan masyarakat Moronene, satwa harus diperhatikan
93
kelestariannya. Salah satu kegiatan yang menonjol dalam pengelolan sumberdaya alam yang terkait dengan sistem pertanian tradisional adalah cara menjaga satwa. Karena satwa bagi masyarakat Moronene merupakan kebanggaan yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak punah. Satwa mempunyai fungsi sebagai sumber protein, petunjuk alam, perantara kesuburan melalui kotoran, membantu dalam pembuahan, penyebaran bibit dan bahkan diyakini sebagai penjelmaan mahluk halus penunggu tempat tersebut jadi tidak boleh diganggu sehingga lestari baik secara ekonomi maupun ekologi. Masyarakat Moronene memahami bahwa satwa adalah karunia Tuhan Sang Pencipta mempunyai hak hidup yang sama dengan manusia. Sehingga dalam mengatur pengelolaannya, maka masyarakat Suku Moronene memiliki kearifan perburuan yang secara turun temurun tetap dipergunakan. Masyarakat adat masih memahami dan mematuhi waktu-waktu yang dilarang melakukan perburuan satwa atau menganggu dalam keadaan bunting, melahirkan (Agustus), perkawinan (November-Januari). Kearifan ini memungkinkan satwa tetap berkembang biak dan mempertahankan spesis dalam habitatnya di kawasan sekitar Tobu (perkampungan).
- Sangsi-sangsi perburuan: Jika masyarakat Moronene atau orang dari luar kampung melakukan perburuan baik sengaja maupun tidak disengaja karena melanggar peraturan adat seperti berburu bukan waktunya (musim), merusak kehidupan satwa, tidak lninta izin Ketua Kampung atau berburu tidak sesuai aturan, dikenai sangsi sebagai berikut:
94
-
apabila salah seorang masyarakat menangkap satwa dalam wilayah hukum adat tanpa sepengetahuan Puutobu, orang tersebut ditangkap dan diadili dimana alat dan hasil buruan akan disita.
-
Orang tersebut akan disidang oleh hakim adat (Bonto) bersama pemerintah dan tokoh adat Moronene.
-
Jika terbukti melanggar, maka akan dikenai sangsi adat berupa denda sesuai dengan besar kerusakan.
-
Jika satwa yang ditangkap dalam keadaan bunting, maka dendanya dua kali lipat dari sangsi semula.
-
Jika berturut-turut melanggar minimal tiga kali, maka kalau orang kampung akan diusir dari kampung. Walaupun demikian jika waktu pelarangan tidak dapat dilakukan
perburuan namun karena kondisi terpaksa seperti ada hajatan penting seperti perkawinan, maka satwa dapat diburu dengan jumlah maksimal tiga ekor jantan.
5.2.2. Kelestarian Ekonomi Kelestarian ekonomi adalah menunjukan bahwa manfaat dari sistem pertanian melebihi biaya yang dikeluarkan oleh unit manajemen atau modal yang diinvestasikan dalam sistem usaha tani dan dapat diinvestasikan untuk generasi ke generasi berikutnya. Kelestarian ekonomi yang merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dengan memperhatikan kelestariannya untuk generasi mendatang dibahas antara lain berdasarkan pemanfatan hasil hutan dan pendapatan rumah tangga.
A. Pemanfaatan Hasil Hutan
Sebagaimana halnya dengan suku-suku lainnya, Suku Moronene dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melakukan kegiatan bertani, meramu, berburu dan memanfatkan hasil hutan. Berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan usaha tani Suku Moronene yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Dari hutan ini mereka memanfaatkan hasil langsung seperti rotan, bambu, kayu untuk bahan bakar, bangunan rumah dan sumber pendapatan ekonomi, sumber makanan tambahan seperti umbi hutan (ondo), pangan hewani dan obat-obatan tradisional. Secara tidak langsung mereka percaya bahwa hutan mempunyai penunggu yang membantu dalam mengatasi ketersediaan air, bahan ritual adat dan petunjuk alam dan kawasan resapan air bagi sungai disekitarnya. Walaupun sampai saat ini belum terdokumentasi secara luas dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, namun dalam pengelolaan sistem pertanian mereka telah
dibangun
kesepakatan
bersama
mengenai
mekanisme
pengaturan
pemanfaatan. Hal tersebut tercermin dari fungsi-fungsi struktur lembaga adat, yaitu tugas masing masing bidang. Namun setiap kampung bertanggung jawab untuk memonitor pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat kampung tersebut bagaimana mekanisme pemanfaatan. Dalam pengetahuan lokal Suku Moronene dibidang usaha tani meyakini bahwa upacara dan penggunaan obat-obat tradisional merupakan cara yang harus ditempuh disamping cara-cara yang telah diajarkan oleh penyuluh. Mereka menyadari dan meyakini bahwa meninggalkan pengetahuan lokal sama dengan
96
menggagalkan hasil pertanian dan bahkan kalau ditinggalkan secara sengaja, maka yang bersangkutan akan kena kutukan berupa penyakit. Beberapa cara yang mereka lakukan dalam usaha tani yang secara ekonomi menguntungkan adalah pada pengendalian hama dan penyakit yang sangat menentukan keberhasilan dalam usaha tani. Berhubung kondisi sosial ekonomi yang relatif terkebelakang dan niiskin, maka disamping pemakaian obatobatan kimiawi, mereka juga mengkombinasikan dengan cara-cara mekanik dan tradisional. Bahkan pada petani yang tidak lnampu membeli obat-obat, cara satusatunya adalah mengandalkan pengetahuan tradisional yang dilakukan sejak turun temurun. Seperti yang dikatakan oleh Manguhali (54) bahwa "kalau dihitunghitung biaya dan hasil antara petani yang memakai obat-obatan dengan tidak, maka hasilnya (keuntungan) tidak jauh berbeda". Apa yang dikatakan oleh petani tersebut berdasarkan pengamatan lapangan telah dilakukan oleh petani lain. Sehingga pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit biasanya hanya dilakukan satu kali dalam satu musim tanam. Selebihnya mengandalkan cara-cara yang mereka ketahui secara turun temurun. Pada nilai hasil usaha tani niasyarakat Rarowatu mengindikasikan bahwa pengetahuan lokal yang dilakukan dengan perpaduan pengetahuan modern justru mempunyai keunggulan antara lain berupa rendahnya biaya produksi, sehingga secara ekonomi cukup menguntungkan. Sebab biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan lahan, pembelian benih, pemeliharaan dan persiapan panen dapat ditekan. Suku Moronene me~iiandang bahwa kegiatan pertanian bukan sekedar mata pencaharian melainkan menyangkut totalitas kehidupan. Sehingga ketika
97
terjadi prilaku sosial yang menyimpang seperti kikir, maka akan dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap seluruh masyarakat. Oleh karenanya ketika masyarakat lain mempunyai kelebihan seperti tanah atau lahan yang tidak diolah, maka
lahan tersebut akan diberikan kepada petani lain untuk diolah dengan
sistem bagi hasil (sakap). Sehingga memungkinkan petani yang tidak memiliki lahan dapat bertani dengan sistem pengalihan ini. Dari segi ekonomi dan kesempatan kerja memberi peluang kehidupan yang lebih baik dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
B. Pendapatan Rumah Tangga Yang dimaksud dengan pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian seperti eksploitasi tanah disekitar tempat mereka hidup dan pendapatan non pertanian yaitu semua pendapat yang diperoleh bukan secara langsung dari sektor pertanian (Adimihardja, 1992). Suku Moronene rnemiliki pengetahuan yang luas tentang pertanian untuk kehidupannya. Dalam memilih tanaman, rnereka bukan hanya mengusahakan padi atau tanaman secara monokultur pada lahan tertentu, akan tetapi juga mereka menanam tanaman lain di sela-sela kebun atau pematang seperti tanaman pisang, kakao, kopi atau kelapa. Tanaman sela inilah yang ddadikan pendapatan alternatif jika tanaman utama belum menghasiikan. Hasil tanaman tersebut ada yang dijual ke pasar terdekat yang jadwalnya seminggu sekali atau dikonsumsi sendiri. Walaupun pendapatan dari penjualan hasil kebun tidak menentu namun bagi mereka dirasa cukup untuk membeli kebutuhan pokok seperti gula, garam, ikan rokok, beras dan sebagainya.
98
Pendapatan utama masyarakat Moronene umumnya bertumpu pada tanaman padi sebagai tanaman pangan utama disamping tanaman pangan lainnya seperti jagung dan umbi-umbian. Pada masyarakat Moronene yang lebih maju telah menanam tanaman perkebunan seperti kakao, kopi, kelapa, kopi dan jambu mete dan memelihara ternak. Sedangkan pada suku lain (pendatang) disamping menanam
tanaman
seperti
yang
diusahakan
Suku
Moronene,
juga
mengusahakanan tambak ikan dan udang. Untuk mendapat gambaran tentang kondisi ekonolni masyarakat Rarowatu dapat dilihat pada Tabel 30 tentang nilai hasil usaha tani komoditas utama. Tabel 30: Nilai Usaha Tani Komoditas Utama di Kecamatan Rarowatu Produktifitas
BiayaIHa
Harga
Pendapatan
(ton/Ha; ekor)
(RP)
(Kg; ekor)
(RP)
-Padi sawah
3,l
1.000.000,-
2.410.000,-
-Jagung
1,6
500.000,-
490.000,-
-Ubi kayu
14,O
800.000,-
2.400.000,-
-Kacang tanah
1 s
500.000,-
2.500.000,-
-Jambu mete
0,4
500.000,-
-Kelapa
0,5
250.000,-
-Kakao
0,5
1.OOO.OOO,-
-Sapi
4 ekrlorang
1.120.000,-
-Kambing
3 ekrlorang
100.000,-
-A yam buras
20 ekrlorang
30.000,-
-1tik
10 ekrlorang
30.000,-
-Udang
02
4.000.000,-
-Bandeng
0,5
2.000.000,-
Komoditas
1. Tanaman pangan
2. Perkebunan
3. Peternakan
4. Perikanan (tambak)
Sulnber : data prinier hasil lokakarya, (2002)
99
Dari Tabel 30 terlihat gambaran bahwa nilai usaha tani yang diperoleh oleh masyarakat termasuk Suku Moronene termasuk tinggi karena produktifitas tanaman cukup bagus. Mereka umumnya menanam tanaman pangan dan perkebunan yang juga mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi seperti tanaman padi sawah, kakao, j ambu mete, kopi. W alaupun ubi kay u mem punyai produktifitas yang tinggi tapi karena bukan makanan pokok, maka masyarakat utnumnya tidak terlalu banyak mengusahakannya dibandingkan dengan tanaman padi yang merupakan makanan pokok dan tanaman yang mempunyai nilai sosial budaya. Untuk tanaman perkebunan Suku Moronene mulai mengusahakannya dengan intensif ketika melihat keberhasilan dari pendatang yang pada mulanya mereka mengusahakan tanaman perkebunan ini hanya sebagai selingan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Diluar sektor pertanian, umumnya masyarakat Moronene bekerja sebagai buruh tani, mengumpulkan hasil hutan, membuat anyam-anyaman kerajinan atau berdagang kecil-kecilan. Hasilnya inilah yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik untuk kebutuhan pokok maupun untuk menyekolahkan anak-anak, membayar iuran atau untuk kebutuhan mendadak. Namun mereka mengakui
bahwa
pendapatan
dari
sektor
pertanian
lebih
menjanjikan
dibandingkan dari pendapatan diluar sektor pertanian. Hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa tanaman yang ditanam begitu subur dan banyak menghasilkan, apalagi harga tanaman seperti padi, kakao, kopi dan jalnbu mete di pasaran cukup bagus, dan produksi tanaman seperti ini setiap saat selalu ada, jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah cukup. Beban biaya yang dianggap berat adalah
membiayai kebutuhan sekolah. Meskipun demikian keinginan
100
untuk sekolah saat ini sangat tinggi sebab mereka sadar bahwa satu-satunya untuk melepaskan diri dari kemiskinan ialah harus bersekolah setinggi-tingginya. Meskipun harga komoditas pertanian membaik namun ada kebiasaan masyarakat untuk menggadaikan hasil kebun atau sawah untuk pengolahan lahan dan berbagai kebutuhan dengan mengambil sejumlah uang kepada rentenir yang akan dibayar dengan hasil panen. Hal ini yang menjadikan keuntungan dari hasil usaha tani berkurang sehingga biaya hidup menjadi tinggi.
5.2.3. Kelestarian Sosial Budaya
Kelestarian sosial budaya mencerminkan keterkaitan
sistem pertanian
dengan budaya, etika, norma sosial, agama dan pembagunan. Lestari secara sosial apabila bersesuaian dengan etika dan norma sosial keagamaan atau tidak melampaui ambang toleransi komunitas setempat terhadap perubahan. Kelestarian sosial budaya ini akan dibahas antara lain konsepsi tentang alam semesta, status tanah, kelembagaan dan interaksi sosial.
A. Konsepsi Tentang Alam Semesta
Sebelum ada ajaran agama (Islam), keyakinan Suku Moronene adalah menganut kepercayaan animisme. Dari kepercayaan tersebut, orang Moronene mengenal adanya kekuatan gaib (supra natural) yang menguasai empat penjuru, yaitu langit, bumi, dasar laut dan udara. Keempat penjuru tersebut mempunyai dewa atau sangia yaitu Sangia meliputi empat penjuru mata angin, Sangia Laa
Moa atau Dewa Angin, Sangia Olara atau Dewa laut, Sangia Aitaha atau Dewa langit, Sangia Mataoleo atau Dewa Matahari. Namun dengan intensifnya da'wah
101
keagamaan terutama Agama Islam, Suku Moronene mulai meninggalkan kepercayaan kepada para Dewa dan sebagai gantinya mereka memandang bahwa
Sangia dalam kepercayaan mereka adalah bahasa lain (daerah) dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan sehari-hari dalaln ritual dan kepercayaan, dipengaruhi olah keempat kekuatan supra natural. Mereka percaya bahwa segala macam kesulitan atau kebahagiaan hidup dipengaruhi empat kekuatan baik sendiri atau bersama-sama. Pranata adat istiadat yang lnenjelma dalam kelembagaan masyarakat sangat potensial untuk menjadi alat komunikasi guna menyampaikan pesan-pesan pembangunan bagi masyarakat. Sebab dari hasil pengamatan dan wawancara dengan tokoh adat dan Camat Rarowatu, bahwa dalam beberapa aktifitas sosial dan ekonomi masih diwarnai oleh sistem nilai budaya, baik dalaln memanfaatkan sumberdaya alam maupun dalam membangun jaring-jaring sosial pada umumnya seperti dalam sistem pertanian, khitanan, dan perkawinan maupun dalam berbagai upacara adat. Masyarakat Moronene masih mempunyai falsafah Kototo yang dianut secara turun temurun, yaitu sebuah falsafah untuk mengikuti segala ketentuan yang telah disepakai baik antara masyarakat maupun dengan pemerintah. Bukti dari masih melekatnya falsafah ini pada masyarakat Moronene seperti yang diutarakan oleh Musaini (90) bahwa ketika sesudah pemberontakan DIITII masyarakat dianjurkan untuk beralih sistem pertanian dari pertanian ladang ke pertanian sawah, maka secara spontan masyarakat mengikuti. Demikian pula yang dalam upaya penyelamatan hutan di kemukakan Kepala Desa Ladumpi bahwa ketika hutan mulai dirambah untuk perladangan namun pemerintah melarang,
102
maka lambat laun masyarakat mengikuti. Proses kesadaran masyarakat ini juga diperkuat dengan masih adanya kepercayaan bahwa diluar kemampuan manusia masih ada kekuatan lain yang mengendalikan kehidupan ini, yakni kekuatan metafisik atau kekuatan supranatural. Kepercayaan akan kekuatan lain diluar kekuatan manusia merupakan manifestasi masih kuatnya peranan pranata dan nilai-nilai adat istiadat yang dilandasi oleh ajaran agama dan sampai saat ini kepercayaan tersebut masih dipercayai secara turun temurun. Sebagai contoh adalah nilai tradisi dalam pengelolaan pertanian, hutan, satwa dan air yang harus dijaga melalui prosesi upacara sebagai wujud rasa syukur. Upacara ini dilakukan baik oleh Tetua Adat maupun oleh Tompuroo (dukun obat tanaman). Konsepsi tentang alam semesta diwujudkan dalam bentuk berbagai upacara yang dipimpin oleh Tetua Adat maupun oleh Tompurro dengan harapan agar hasil pertanian berlimpah dan seluruh penduduk kampung selamat dari berbagai gangguan seperti gangguan hama dan penyakit tanaman. Gangguan tersebut dapat dilihat secara nyata atau melalui perantaraan Ntiwonua yang marah, sehingga Tetua Adat harus segera mengingatkan masyarakat.
B. Status Tanah Tanah adat yang dimiliki rnasyarakat Moronene bersifat komunal artinya pemilikan tanah adat sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Masyarakat hanya menggunakan tanah tersebut secara turun-temurun dan tidak dapat dipindah tangankan kepada orang lain yang bukan ahli waris atau keluarganya. Jika terjadi pelanggaran berupa penjualan tanah atau pindah tangan maka sangsinya adalah :
103
-
orang atau kelompok yang menjual
tanpa sepengetahuan Puutobu, maka
transaksinya tidak sah dan tanahnya dikembalikan kepada ahli waris yang lain
-
Jika terjadi pemindah tangan karena pemiliknya meninggalkan kampung, maka tanahnya dikembalikan kepada adat dan pembelinya akan dikenai sangsi adat dan pengusiran (jika berturut-turut 3 kali). Kalau dilakukan ahli warisnya maka hak waris dihapuskan oleh adat kalau tanah tersebut dijual. Masalah utama Suku Moronene saat ini adalah masalah penjualan tanah
kepada pendatang, sehingga di beberapa daerah suku ini terpaksa pindah ke daerah pedalaman. Akibatnya adalah disamping hilangnya tanah sebagai sumber kehidupannya juga terdesaknya kehidupan secara sosial dan budaya. Apa yang dikatakan oleh Zakaria (1 994) sungguh tepat bahwa salah satu prilaku kurang baik dari masyarakat lokal adalah seringnya menjual tanah kepada orang luar sehingga terjadi penekanan secara halus oleh masyarakat pendatang. Untuk diperlukan pengawasan pemerintah agar penjualan tanah secara besar-besaran segera dihentikan karena dapat memicu konflik di kemudian hari. Marjinalisasi Suku Moronene juga terlihat dari kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap sebagai perusak lingkungan. Padahal tanah bagi masyarakat Moronene adalah simbol dari kehidupan itu sendiri apalagi menyangkut tanah adat. Sehingga walaupun terjadi pengusiran oleh pemerintah di kampung Hukaea Laea, masyarakat tetap tidak bergeming dengan alasan bahwa kampung tersebut merupakan kampung nenek moyang yang telah ditempati secara turun temurun. Hal tersebut ditandai oleh adanya kuburan tua, tanaman hasil budidaya masyarakat setempat, dan yang lebih penting lagi bahwa daerah tersebut merupakan "habitat" alami yang telah menjadi bagian dari ekosistem setempat.
C. Kelembagaan Kelembagaan dalam sistem pertanian Suku Moronene tidak dapat dilepaskan dalam kelembagaan adat yang ada sejak turun temurun. Walaupun dalam berapa daerah sudah tidak efektif namun masih ada daerah (tobu) yang masih konsisten menggunakan kelembagaan adat dalam sistem kemasyarakatan yang berdampingan dengan sistem pemerintahan. Namun masyarakat tetap mengakui dan mematuhi ketentuan dan keputusan lembaga adat. Sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang ada masih murni berpedoman pada struktur dan pemerintahan tobu yang pernah ada. Walaupun terkesan feodalisme karena keputusan dari atas, namun karena pengambil keputusan adalah orang yang teruji kepemimpinan dan kemampuan, sehingga masih dipatuhi pengambilan keputusan yang lahir dari pemimpin mereka. Masyarakat Moronene memandang bahwa keputusan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengetahuan lokal mereka sebab dengan fungsi-fungsi lembaga adat memungkinkan mereka untuk melaksanakan upacaraupacara (menanam, panen, mengusir roh jahat, mengawinkan anak, khitanan), mengatur pembagian sumberdaya, mengawasi pelaksanaan keputusan tersebut. Sehingga dengan adanya lembaga adat, tugas-tugas pemerintah lebih ringan. Seperti yang dikatakan oleh Camat Rarowatu, bahwa untuk memudahkan pelaksanaan roda pemerintahan dan pembangunan pemerintah setempat selalu mengundang tokoh-tokoh masyarakat yang dihargai terutama Mokole. Kecenderungan perubahan juga terlihat pada kelembagaan yang tidak hanya bersifat kuantitatif, tapi juga bersifat kualitatif akibat pengaruh peraturan perundang-undangan. Akibatnya adalah banyak lembaga-lembaga tradisional
105
yang bersifat komunal dan membentuk ikatan solidaritas digantikan oleh lembaga baru yang lebih bertumpu pada individualisme dan diferensiasi fungsi yaitu spesialisasi. Akibatnya Suku Moronene yang terbiasa pada kebersamaan menjadi kurang adaptif dan bersifat kaku terhadap individualisme. Keputusan semula di dasarkan pada keputusan kekeluargaan yang bersifat kolektif yang mengemban berbagai fungsi seperti fungsi pendidikan, sosial, rekreasi, agama, reproduksi dan sebagainya. Mekanismenya dianut melalui sistem nilai dan nonna yang berlaku umum berpadu dengan sistem kekerabatan yang ada. Sehingga dengan adanya lembaga baru dari luar mereka, maka rnekanisme itu diatur oleh nilai yang merupakan barang asing yang sukar mereka pahami. Akibatnya lembaga lama menjadi pudar pengaruhnya karena menurut Suku Moronene lembaga tersebut sudah berorintasi pada kepentingan individu. Peranan lembaga adat disamping untuk menjaga keharmonisan dalam kehidupan masyarakat seperti perkawinan, kematian dan upacara dalam sistem pertanian, juga untuk menjamin adanya komunikasi dan pengertian yang mendalam dengan dunia gaib. Jadi posisi lembaga adat disini mempunyai peranan penting dalarn memelihara kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
D. Interkasi Sosial Walaupun Suku Moronene mempunyai pengetahuan lokal yang secara turun temurun dipraktekan, namun tidak lepas dari perubahan dan perkembangan yang terjadi. Menurut Rahardjo, (1999), perubahan masyarakat diakibatkan oleh moderenisasi (komersialisasi, teknologi, serta tekanan penduduk).
106
Masyarakat Moronene menyadari bahwa pengetahuan lokal mereka yang diwariskan secara turun-temurun mulai terjadi pergeseran. Beberapa faktor yang menjadi penyebab pergeseran tersebut antara lain adanya tekanan pendatang, teknologi dan orientasi ekonomi. Seperti dikemukakan oleh tokoh masyarakat Moronene, bahwa pada awalnya kehadiran pendatang sangat membantu pola pikir dan keterampilan masyarakat setempat khususnya dari segi keterampilan bertani seperti Suku Bugis, Suku Jawa dan Suku Bali. Nalnun karena apa yang dibawah oleh pendatang lebih banyak pada muatan teknologi yang serba rasional namun mempunyai hasil yang tinggi sehingga mereka lambat laun sudah mulai meniru. Keberhasilan pendatang merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Moronene untuk ikut pola kehidupan maju apalagi secara ekonomi umumnya hanya dimiliki oleh pendatang. Beberapa budaya yang dibawa oleh pendatang rupanya juga mempengaruhi pola kehidupan mereka yang bersahaja yang menekankan pada solidaritas dan kebersamaan berubah menjadi ukuran materi sehingga terkadang timbul konflik diantara masyarakat lokal dengan pendatang. Pergeseran yang lain adalah soal teknologi yang bukan hanya dalam alatalat pertanian tapi juga dalam informasi dan komunikasi. Masyarakat Moronene sudah mengenal alat komunikasi seperti televisi, parabola dan radio. Apa yang mereka lihat lambat laun ingin diikuti terutama generasi mudanya. Sehingga perhatian pada kebiasaan tradisional lambat laun terancam berkurang yang akhirnya suatu saat akan ditinggalkan karena dianggap kuno dan tidak rasional. Kesadaran Suku Moronene dalam peningkatan sumberdaya manusia cukup besar. Mereka ingin agar anaknya dapat bersekolah keluar dan menjadi pintar seperti yang mereka saksikan dan mendengar
melalui
penyuluhan
lnaupun
107
lewat media massa. Namun yang menjadi kendala adalah biaya sekolah yang dirasakan sangat berat. Untuk mengatasi biaya tersebut, maka mereka berusaha untuk mendapatkan uang. Cara yang mereka gunakan adalah menanam tanaman yang mempunyai pasaran dan harga yang bagus seperti kakao, jambu mete, bahkan juga ada yang menjual kebun. Perubahan orientasi ini menyebabkan pengetahuan lokal mulai berorientasi untuk kepentingan ekonomi. Perubahan orientasi masyarakat Moronene dipicu oleh berkurangnya sumberdaya alam yang selama ini menjadi basis kehidupannya seperti tanah, hasil hutan sehingga timbul persaingan dan bahkan perselisihan. Memang konflik tersebut tidak selalu terbuka, namun dari berbagai pandangan yang timbul diantara warga lokal dan pendatang, seringkali adanya streotipe suatu suku terhadap suku lainnya. Suku Moronene berpandangan bahwa suku pendatang umumnya hanya mementingkan diri sendiri, sombong dan kalau membantu harus ada imbalan ekonomi. Sedangkan suku pendatang memandang bahwa suku asli (lokal) umumnya bodoh, malas bekerja, cuek dan menutup diri serta pekerjaannya hanya menjual tanah. Cara pandang seperti ini merupakan potensi konflik yang bermuara
pada pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat lokal. Interaksi
masyarakat lokal dan pendatang dalam suatu komunitas, cepat atau lambat pasti akan mempengaruhi nilai-nilai budaya baik secara kultural maupun secara struktural (Rahardjo, 1999).