http://tafsir.cahcepu.com/surat/alfajr/ Keterangan Surat ini terdiri atas 30 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, diturunkan sesudah surat Al Lail. Nama Al Fajr diambil dari kata Al Fajr yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang artinya waktu fajar.
Ayat yang pertama adalah Allah menyuruh perhatikan fajar. Yaitu cahaya matahari yang mulai membayang di sebelah Timur, kira-kira satu jam lagi lebih kurang sebelum matahari itu sendiri terbit. Di waktu itulah kita diwajibkan Tuhan mengerjakan sembahyang Subuh, dan habis pula waktu Subuh itu apabila matahari telah terbit. “Demi fajar.” (ayat 1). Saat fajar menyingsing itulah waktu yang amat penting bagi manusia, karena setelah selesai beribadat kepada Tuhan dengan sembahyang Subuh, mulailah mereka bergerak menghadapi hari yang mulai siang buat mencari rezeki di muka bumi Allah. Di saat itu pula Allah memberikan modal, sehari semalam penuh untuk hari yang baru, agar diisi dengan ibadat kepada Allah dan amal yang shalih. Janganlah hendaknya hari itu pergi dengan percuma tidak berisi. Karena masa yang telah lampau tidak dapat diulang lagi. “Demi malam yang sepuluh.” (ayat 2). Menurut suatu riwayat daripada Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud dengan malam yang sepuluh ialah sejak satu haribulan Dzul Hijjah sampai 10 hari bulannya. Karena sejak 1
tanggal 1 itu adalah persiapan buat mengerjakan haji. Hari kedelapan ialah tarwiyah, persiapan berangkat ke Arafah. Hari kesembilan ialah hari wuquf, yaitu berhenti di padang Arafah, yang menjadi pusat inti dari amalan haji itu. Dan setelah selesai wuquf, turun lagi ke Mina, dengan singgah dulu ke Muzdalifah berhenti sebentar memilih batu buat melontar Jumrah di Mina itu. Selesai melontar Jumratul-‘Aqabah di pagi hari kesepuluh di Mina itu, dinamailah hari kesepuluh itu Yaumun-Nahry hari menyembelih kurban. Dengan demikian pekerjaan haji yang penting telah selesai dikerjakan. Sehingga pada hari itu juga dapat diselesaikan sekaligus Thawaf Ifadhah dan Sa’I, sehingga selesai seluruh rukun dan syarat dan wajib haji sehari itu juga. Pendapat Ibnu Abbas ini dikuatkan oleh sebuah Hadis: “Daripada Ibnu Abbas, bersabda Nabi SAW: “Tidak ada hari-hari beramal yang shalih yang lebih disukai oleh Allah padanya, melebihi hari ini yaitu 10 Dzul Hijjah.” Tetapi ada juga tafsiran tentang “Malam yang sepuluh” itu. Ibnu Jarir menerangkan dalam tafsirnya ialah 10 haribulan Muharram. Dan sebuah tafsir lagi dari Ar-Razi, ialah 10 hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, karena Nabi SAW lebih tekun beribadat di malam 10 yang terakhir dari Ramadhan itu, di seluruh malamnya beliau lebih banyak bangun dan dibangunkannya pula kaum keluarganya. Dan ada pula riwayat yang mengatakan “Malam yang sepuluh” ialah lima malam di awal bulan dan lima malam di akhir bulan karena di malam-malam begitu lebih banyak gelap malamnya dari terangnya, karena bulan masih kecil. Tafsir-tafsir ini boleh dipakai dan dikenal semua; karena rahasia yang sebenarnya adalah pada Yang Empunya Firman sendiri; Allah. “Demi genap, demi ganjil.” (ayat 3). Segala perhitungan terdiri daripada genap dan ganjil. Yang ganjil dicukupkan oleh yang genap. Mujahid mengatakan: “Segala makhluk yang dijadikan Allah ini adalah genap; Ada darat ada laut. Ada jin ada manusia. Ada matahari ada bulan. Ada kufur ada iman. Ada bahagia ada sengsara. Ada petunjuk ada kesesatan. Ada malam dan ada siang. Tafsiran dari Mujahid ini dapatlah diperluas lagi; Ada bumi ada langit. Ada permulaan ada kesudahan. Ada lahir ada batin. Ada laki-laki dan ada perempuan. Adapun yang tetap ganjil atau tunggal tak ada pasangannya ialah yang Maha Esa, berdiri sendirinya, yang tiada bersekutu dengan yang lain, yaitu Allah Tuhan kita; – Qul Huwallaahu Ahad! – Katakanlah; Allah itu Esa! Ibnu Jarir menjelaskan lagi dalam tafsirnya, bahwa Allah telah mengambil seumpah dengan yang genap dan yang ganjil. Namun Allah sendiri tidaklah menentukan yang mana genap itu dan yang mana ganjil itu. Sebab itu bolehlah kita merenungkan sendiri. Dan boleh juga kita jadikan peringatan Allah tentang genap dan ganjil ini merenungkan betapa pentingnya hisab, atau hitungan; sejak dari hitungan biasa sampai kepada mathematik atau wijskunde tertinggi yang selalu menjadi turutan dari yang ganjil dan yang genap, dan dengan ilmu hitung yang tinggi itu sampailah kita kepada kesimpulan, bahwa hanya ganjil juga permulaan hitungan, baik dipandang dari segi ilmu hitung, ataupun dari segi ilmu ukur. Dan pada SATU juga penutupnya. Dari Satu dimulai dengan SATU disudahi. 2
“Demi malam apabila dia telah berjalan.” (ayat 4). Atau telah berlalu. Samasekali bertali dan bersambung. Mulanya fajar menyingsing, kemudian matahari pun terbit dan hari pun siang. Akhirnya matahari tenggelam dan malam pun tiba. Bartambah lama bertambah larut malam. Akhirnya dia pun berlalu atau berjalan. Berputarlah roda kehidupan kita dalam putaran bumi mengelilingi matahari atau matahari menerangi cakrawala atas kehendak Tuhan. Kemudian datanglah ayat 5 menjadi patri dari alam yang telah dijadikan sumpah peringatan oleh Tuhan itu:. “Adakah pada yang demikian itu suatu sumpah bagi yang berakal?”. (ayat 5). Di dalam ayat ini tersebut hijr, yang diartikan dengan akal. Sebab arti asal dari kalimat hijr itu ialah penghambat. Dan akal adalah yang selalu menghambat manusia akan berlaku semau-maunya saja dalam alam ini. Al-‘Aql artinya yang asal ialah ikatan. Ayat 5 ini bersifat pertanyaan, yang dapat diuraikan; “Apakah kamu perhatikan semuanya itu wahai orang yang mempunyai akal budi? Adakah kamu perhatikan fajar menyingsing, malam sepuluh, bilangan genap bilangan ganjil dan malam pun berlalu, hari pun berganti; Adakah kamu perhatikan semuanya itu, untuk melihat betapa besarnya kuasa Tuhanmu dan betapa pula hidup dirimu dalam lindungan Tuhan yang Esa itu” Maka dapatlah disimpulkan bahwa sumpah-sumpah Ilahi dengan memakai makhluk yang Ia jadikan itu, adalah merangsang akal manusia agar berfikir.
3
4
CUBA PERHATIKAN! “Apakah tidak engkau perhatikan bagaimana perbuatan Tuhanmu dengan kaum ‘Aad?” (ayat 6). Ayat ini bersifat pertanyaan Tuhan kepada Rasul-Nya, memperingatkan betapa hebatnya azab dan kutuk Tuhan terhadap kaum ‘Aad, salah satu kabilah Arab zaman purbakala yang telah punah. Di dalam ayat-ayat dan Surat-surat yang lain, baik yang dahulu dari Surat ini atau yang kemudian daripadanya telah diterangkan bahwa kepada mereka Nabi Hud telah diutus oleh Allah. Diterangkanlah pada ayat sambungannya betapa keadaan kaum ‘Aad itu; “(Yaitu) Iram yang empunya kemegahan.” (ayat 7). Karena mereka adalah satu kaum yang besar, kuat lagi gagah. Di dalam Surat Al-A’raf (Surat 7; 69) diterangkan bahwa sesudah zaman Nuh, kaum ‘Aad itulah kaum yang paling gagah dan kuat-kuat dan tinggi besar badan mereka, sihat tubuhnya. Dan disebutkan dalam Surat 41, Fushshilat ayat 15, bahwa karena merasa diri telah mencapai puncak kemegahan, mereka pun berlaku sewenang-wenang di muka bumi. “Yang belum pernah diadakan bandingannya di negeri-negeri itu.” (ayat 8). Mereka merasa merekalah yang paling kuat, paling gagah, paling kaya dan paling ditakuti di zaman itu Al‘Imaad yang kita artikan kemegahan, berarti juga tonggak-tonggak tengah khemah yang besar-besar dan teguh seketika kaum ‘Aad itu datang menjarah dan menaklukkan negeri dan kabilah lain. “Dan kaum Tsamud yang mengangkat batu gunung ke lembah itu.” (ayat 9). Kaum Tsamud kabilah Arab purbakala juga, yang telah punah. Diutus Tuhan kepada mereka Nabi Shalih. Mereka pun kaya dan megah; saking kaya dan megahnya, mereka sanggup menakik batu-batu gunung buat mendirikan rumah-rumah yang besar dan megah. Bahkan di dalam Surat 15, Al-Hijr, ayat 82 diterangkan pula bahwa mereka pahat gunung-gunung dan di sana mereka dirikan rumah-rumah yang jadi tempat mereka istirahat. “Dan Fir’aun yang mempunyai bangunan-bangunan teguh.” (ayat 10). Sampai kepada zaman kita sekarang ini masih dapat kita lihat bekas-bekas bangunan-bangunan yang didirikan oleh Fir’aun-fir’aun Mesir yang telah lalu berabad-abad itu. Baik di tanah rendah Mesir atau di Mesir Ulu, sebagai Luxor di Asouan ataupun Pyramide di tepi kota Cairo sekarang. “Yang berbuat sewenang-wenang di negeri-negeri itu.” (ayat 11). Berbuat sesuka hatinya, sampai mengaku diri menjadi Tuhan yang maha kuasa pula di atas dunia ini, rakyat ditindasnya, hukum berlaku menurut kehendaknya, tidak siapa yang berani menyanggah, karena menyanggah artinya mati. “Maka mereka perbanyaklah di dalamnya kerusakan.” (ayat 12). Dalam ayat ini dapatlah kita menemui suatu rahasia pembangunan yang akan kita jadikan i’tibar di zaman kita ini. Yaitu, baik kaum ‘Aad, atau kaum Tsamud, Fir’aun-fir’aun di Mesir di zaman dahulu itu telah membangun. Malahan ada yang sanggup mendirikan rumah-rumah indah dengan memahat gunung, rupanya kepandaian insinyur dan arsitek telah ada waktu itu. Sampai sekrarang kita lihat bekas bangunan Fir’aun yang telah beribu tahun yang sangat menakjubkan. Tetapi untuk membangunkan batu dan bata, pyramide dan patung, tetapi yang mereka runtuhkan ialah budi; Keadilan mereka tukar dengan kezaliman. Kebenaran mereka tukar dengan kebatilan. Sehingga segala pembangunan lahir itu tegak di atas kehancuran nilai perikemanusiaan. 5
Betapa jadinya? Datanglah hukum yang pasti dari Tuhan; “Maka dicurahkanlah oleh Tuhanmu kepada mereka cambuk siksaan.” (ayat 13). Binasa kaum itu semuanya; Kaum ‘Aad dibinasakan dengan angin punting beliung yang menghancurkan negeri mereka dahsyat pasir, dan kaum Tsamud dibinasakan dengan pekikan yang dahsyat memecahkan anak telinga, sehingga habis mati semuanya. Dan Fir’aun-fir’aun yang berkuasa itu, terutama Fir’aun yang didatangi Musa, tenggelam dalam lautan Qulzum seketika mengejar Musa. Di akhir langgam susunan ayat ini bertemulah firman Tuhan; “Sesungguhnya Tuhanmu tetap di tempat pengawasan.” (ayat 14). Artinya, selama manusia masih bergiat dan hidup dalam alam dunia ini, di muka bumi ini, namun kezaliman, kebatilan, kemegahan yang menimbulkan sombong dan angkuh, tidaklah lepas dari pengawasan Allah. Satu waktu Dia akan memukulkan azab-Nya pula, sebagaimana telah dipukulkan-Nya ummat yang telah terdahulu itu.
KALAU IMAN TIDAK ADA Pada kedua ayat ini digambarkan jiwa manusia bila Iman tidak ada; “Maka adapun manusia itu, apabila diberi percobaan akan dia oleh Tuhannya, yaitu diberi-Nya dia kemuliaan dan diberi-Nya dia nikmat.” (pangkal ayat 15). Diberi dia kekayaan atau pangkat tinggi, disegani orang dan mendapat kedudukan yang tertonjol dalam masyarakat; yang di dalam ayat itu disebutkan bahwa semuanya itu adalah cobaan; “Maka berkatalah dia: “Tuhanku telah memuliakan daku.” (ujung ayat 15). Mulailah dia mendabik dada, membanggakan diri, bahwa Tuhan telah memuliakan dia. Dia masih menyebut nama Tuhan, tetapi bukan dari rasa 6
Iman. Sehingga kalau kiranya datang orang minta tolong kepadanya, orang itu akan diusirnya, karena merasa bahwa dirinya telah diistimewakan Tuhan. “Dan adapun apabila Tuhannya memberikan percobaan kepadanya, yaitu dijangkakan-Nya rezekinya.” (pangkal ayat 16). Dijangkakan, atau diagakkan, atau dibatasi; dapat hanya sekedar penahan jangan mati saja. Kehidupan miskin, dapat sekedar akan dimakan, dan itu pun payah; “Maka dia berkata: “Tuhanku telah menghinakan daku.” (ujung ayat 16). Di dalam ayat ini bertemu sekali lagi bahwa kemiskinan itu pun cobaan Tuhan juga. Kaya percobaan, miskin pun percobaan. Dalam Surat 21, Al-Anbiya’ ayat 35 ada tersebut: “Tiap-tiap diri akan merasakan mati, dan Kami timpakan kepada kamu kejahatan dan kebaikan sebagai ujian; dan kepada Kamilah kamu semua akan kembali.” Buruk dan baik semuanya adalah ujian. Kaya atau miskin pun ujian. Kalau Allah memberikan anugerah kekayaan berlimpah-ruah, tetapi alat penyambut kekayaan itu tidak ada, yaitu Iman; maka kekayaan yang melimpah-ruah itu akan membawa diri si kaya ke dalam kesengsaraan rohani. Harta yang banyak itu akan jadi alat baginya menimbun-nimbun dosa. Sebaliknya orang miskin, hidup hanya sekedar akan dimakan. Kalau alat penyambut kemiskinan itu tidak ada, yaitu Iman; maka kemiskinan itu pun akan membawanya menjadi kafir! Asal perutnya berisi, tidak peduli lagi mana yang halal dan mana yang haram. Oleh sebab itu dapatlah kita lihat di kota-kota besar sebagai Jakarta dan kota-kota lain; ada orang yang mengendarai mobilnya dengan sombong, dengan kaki tidak berjejak di tanah, tidak tahu dia ke mana rezeki yang banyak itu hendak dibelanjakannya. Lalu dia pun lewat di atas jembatan. Di bawah jembatan tadi kelihatan orang-orag yang tidak ada rumah tempat tinggalnya lagi, tidur dengan enaknya siang hari. Karena jika hari telah malam, yang laki-laki pergi menggarong dan yang perempuan pergi menjual diri. Namun nilai di sisi Tuhan di antara yang berbangga berpongah di atas mobil mengkilap itu sama saja dengan yang tidur di bawah jembatan. Keduanya tidak ada alas Iman dalam hatinya untuk menerima percobaan rezeki melimpah atau rezeki terbatas.
7
Di dalam ayat-ayat ini diuraikan “penyakit” jiwa manusia bilamana tidak ada Iman. Yang mereka pentingkan hanya diri sendiri. Dia tidak mempunyai rasa belas-kasihan; “Tidak sekali-kali! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.” (ayat 17). “Tidak sekali-kali maksudnya ialah bantahan pembelaan diri setengah orang, bahwa mereka kalau kaya akan banyak berbuat baik. Kalau miskin akan sabar menderita. Samasekali itu adalah “omong kosong”. Sebab sifat-sifat yang baik, kelakuan yang terpuji tidaklah akan subur dalam jiwa kalau Iman tidak ada. Kalau dia telah kaya, dia tidak lagi akan merasa belas-kasihan kepada anak yatim. Sebab dia hanya memikirkan dirinya, tidak memikirkan orang lain. Sebab dia tidak pernah memikirkan bagaimana kalau dia sendiri mati, dan anaknya tinggal kecil-kecil. “Dan kamu tidak ajak-mengajak atas memberi makan orang miskin.” (ayat 18). Di dalam dua ayat ini bertemu dua kalimat penting, yang timbul dari hasil Iman. Pertama ialah memuliakan anak yatim. Memuliakan adalah lawan dari menghinakan, yaitu menganggapnya rendah, hanya separuh manusia, sebab tidak ada lagi orang yang mengasuhnya. Atau diasuh juga anak yatim itu tetapi direndahkannya, dipandang sebagai budak belian saja. Ini bukanlah perangai orang Mu’min. Kedua ialah kalimat ajak-mengajak. Dalam kalimat ini terdapat pikulan bersama, bukan pikulan sendiri. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.” Seorang Ulama Besar, Ibnu Hazm Al-Andalusi pernah menyatakan bahwa jika terdapat seseorang mati tidak makan pada satu qaryah (kampung), maka yang bertanggung jawab ialah orang sekampung itu. Dalam hukum Islam seluruh isi kampung diwajibkan membayar 8
diyat atas kematian si miskin itu. Karena memberi makan fakir-miskin adalah kewajiban mereka bersama. Si miskin berhak menerima bahagian dari zakat. “Dan kamu makan harta warisan orang; makan sampai licin.” (ayat 19). Ini pun rentetan dari dada yang kosong dari iman dan petunjuk itu. Dada yang penuh dengan kufur. Mereka terima harta warisan dari saudaranya yang telah wafat, lalu dimakannya sendiri dengan lahapnya, sampai licin tandas; sedang waris yang berhak, baik isterinya atau anak-anaknya yang masih kecil, tidak mendapat. Inilah yang banyak kejadian pada bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Kadang-kadang janda dari si mati, atau yatim anak perempuan yang masih gadis, dijadikan sebagai “waris” pula, diambil alih kekuasaan oleh laki-laki yang dewasa, yang mengakui dirinya kepala waris. Bersama-sama dengan harta si mati orang-orang yang dalam kesedihan itu diboyong semua ke rumah yang menyambut waris. Untuk dikuasai hartanya dan dikuasai dirinya. Kadang-kadang ditahan-tahannya akan kawin lagi, karena merugikan bagi si pemboyong waris itu. Setelah hijrah ke Madinah, Agama Islam mengatur pembahagian warisan (faraidh) dan perempuan mendapat hak pula sebagai laki-laki. “Dan kamu suka sekali-kali akan harta, kesukaan sampai keji.” (ayat 20). Di mana saja pintunya, akan kamu hantam pintu itu sampai terbuka, kalau di dalamnya ada harta. Halal dan haram tak perduli. Menipu dan mengecoh tak dihitung. Menjual negeri dan bangsa pun kamu mau, asal dapat duit. Menjual rahasia negara pun kamu tidak keberatan, asal uang masuk. Malah membuka perusahaan yang penuh dengan dosa; sebagai perusahaan pelacuran perempuan, membuka rumah perjudian, menjual barang-barang yang merusak budi pekerti manusia, bahkan apa saja, kamu tidak keberatan asal hartamu bertambah. Inilah celakanya kalau hidup tidak ada tuntunan Iman.
9
INSAFILAH “Tidak sekali-kali!” (pangkal ayat 21). Samasekali sombong congkakmu di dunia itu, sikap penghinaanmu terhadap anak yatim, engganmu bersama-sama membantu makanan fakirmiski, kecurangan dan lahap seleramu memulut segala harta warisan sehingga yang berhak tak mendapat apa-apa lagi, sampai kepada loba tamakmu akan harta, sehingga dengan jalan yang keji dan nista kamu pun suka, asal harta itu kamu dapat, semuanya itu tidaklah akan 10
menyelamatkan dirimu. Itu hanya laba sebentar dalam dunia. Tidak, sekali-kali tidak! Janganlah kamu harapkan itu semua akan menolongmu. Bahkan akan datang masanya; “Apabila kelak bumi ini dihancurkan, sehancur-hancurnya.” (ujung ayat 21). Sehingga bumi itu akan jadi datar pun runtuh menjadi debu atau laksana saraab (fatamorgana), (lihat kembali ayat 20, Surat 78, An-Naba’). Dan segala sesuatu pada berobah kepada kehancuran. Sebab kiamat sudah datang. “Dan datang Tuhan engkau.” (pangkal ayat 22). Yaitu datang ketentuan dari Tuhan, bahwasanya segala perkara akan dibuka, segala manusia akan dihisab, buruk dan baik akan ditimbang. “Sedang malaikat mulai hadir berbaris-baris.” (ujung ayat 22). Ditunjukkanlah di dalam ayat ini bagaimana hebatnya hari itu. “Tuhan datang” – Dan hari itu bukanlah hari dunia ini lagi. Setengah Ulama tafsir memberikan arti bahwa yang datang itu ialah perintah Tuhan, bukan Tuhan sendiri. Menulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang arti: “Dan datang Tuhan engkau.” – Kata beliau: “Yakni kedatangan-Nya karena akan memutuskan perkara-perkara di antara hamba-hambaNya. Yang demikian itu ialah setelah semuanya memohonkan syafa’at daripada Tuhannya seluruh Anak Adam, yaitu Nabi Muhammad SAW, yaitu sesudah mereka itu semua pada mulanya memohonkan pertolongan syafa’at daripada sekalian Rasul-rasul yang terutama, seorang sesudah seorang; semuanya menjawab mengatakan aku ini tidaklah layak untuk itu, sehingga sampailah giliran kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu beliau berkata: “Akulah yang akan membela! Akulah yang akan membela!” Maka pergilah Muhammad menghadap Tuhan, memohonkan Tuhan memutuskan perkara-perkara itu, lalu Tuhan memberikan syafa’at yang dimohonkannya itu. Itulah permulaan syafa’at dan itulah “maqaamanmahmuudan” sebagai yang tersebut di dalam Surat Al-Isra’ (tengok Juzu’ 15). Maka datanglah Tuhan untuk mengambil keputusan perkara-perkara itu, sedang malaikat-malaikat pun hadirlah berbaris-baris dengan segala hormatnya di hadapan Tuhan. Di dalam ayat 38, daripada Surat 78, An-Naba’ pun disebutkan bagaimana sikap hormat para malaikat itu di hadapan Tuhan, tak seorang jua pun yang berani berkata mengangkat lidah sebelum mendapat izin dari Tuhan. Berkata Az-Zamakhsyari: “Diumpamakan keadaannya dengan kehadiran raja sendiri kepada suatu majlis; maka timbulah suatu kehebatan dan ketinggian siasat, yang tidak akan didapat kalau yang hadir itu cuma pimpinan tentara atau menteri-menteri saja.” Tidaklah perlu kita perbincangkan terlalu panjang hal yang disebutkan tentang kehadiran Tuhan di dalam Al-Qur’an. Melainkan wajiblah kita mempercayainya dengan tidak memberikan lagi keterangan lebih terperinci, di dalam alam dunia yang kita hidup sekarang ini. “Dan akan didatangkan pada hari itu neraka jahannam.” (pangkal ayat 23). Oleh karena neraka jahannam itu adalah satu di antara berbagai-bagai makhluk Tuhan Yang Maha Besar Maha Agung, niscaya berkuasalah Tuhan mendatangkan neraka jahannam itu, dengan alatalat kekuasaan yang ada pada-Nya. Sehingga segala makhluk dapat melihatnya dengan jelas, dan orang kafir mengerti sendiri bahwa ke sanalah mereka akan dihalau. Di dalam Surat 79, An-Nazi’at yang telah lalu, ayat 36 disebutkan bahwa neraka Jahim akan ditonjolkan! “Pada hari itu teringatlah manusia, padahal apa gunanya peringatan lagi?” (ujung ayat 23). Pada hari itu baru timbul sesal; padahal apalah gunanya penyesalan lagi; roda hidup tak dapat lagi diputar ke belakang. Yang dihadapi sekarang adalah hasil kelalaian di zaman lampau. 11
“Dia akan berkata: “Wahai, alangkah baiknya jika aku dari semula telah bersedia untuk penghidupanku ini.” (ayat 24). Itulah satu keluhan penyesalan atas sesuatu yang tidak akan dapat dicapai lagi. Huruf Laita dalam bahasa Arab disebut Huruf Tamanni, yaitu mengeluh mengharap sesuatu yang tidak akan dapat dicapai lagi. Karena waktunya telah berlalu. “Kalau aku tahu akan begini nasibku, mengapa tidak sejak dahulu, waktu di dunia, aku berusaha agar mencapai hidup bahagia di hari ini. Padahal kalau aku mau mengatur hidup demikian di dunia dahulu, aku akan bisa saja.” Itulah sesalan yang percuma di hari nanti. Dan itu pula sebabnya maka Nabi-nabi disuruh memperingatkan dari sekarang. Karena perintah-perintah Al-Qur’an adalah untuk dilaksanakan di sini, dan terima pahalanya di akhirat; bukan sebaliknya. “Maka pada hari itu, tidak ada siapacpun akan dapat mengazab seperti azab-Nya.” (ayat 25). “Dan tidak siapa pun akan dapat mengikat seperti ikatan-Nya.” (ayat 26). Ini adala Azab Tuhan, buka Azab seorang makhluk bagaimanapun kuat kuasanya. Ikatan belenggu Tuhan, yang tidak ada satu belenggu pun dalam dunia ini yang akan dapat menandingi belenggu Tuhan itu. Maka ngeri dan tafakkurlah kita memikirkan hari itu; hari yang benar dan termasuk dalam bahagian terpenting dari Iman kita, sesudah percaya kepada Allah. Dan terasalah pada kita bahwa tidak ada tempat berlindung daripada murka Allah, melainkan kepada Allah jua kita berbuat. Dalam suasana yang demikian itu kita bacalah ayat yang seterusnya. Ayat penutup Surat dan ayat memberikan pengharapan kepada jiwa yang telah mencapai ketenteramannya.
12
Siapakah yang disebut Nafsul-Muthmainnah? Al-Qur’an sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh oleh nafsu atau diri manusia. Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu di luar pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah kesesatan karena nafsul-ammarah ini. (Lihat Surat 12, Yusuf; ayat 53). Bilamana langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri. Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah pertama tentang ihwal hari kiamat. (Surat 75, Al-Qiyamah ayat 2). Demikian pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita telah sampai kepada Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah tiba dipersimpangan jalan; atau akan menjadi orang yang baik, pengalaman mengajar diri, atau menjadi orang celaka, karena sesal yang tumbuh tidak dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap yang dinamai “keterlanjuran”. Karena pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat naik mencapai “An-NafsulMuthmainnah”, yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian pasti ada penurunan. Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena sudah tahu pasti bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan. Jiwa inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan mendabik dada. Dan sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan mengeluh. Yang keduanya telah tersebut dalam ayat 15 dan 16 tadi. 13
Jiwa inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyiran) ataupun khabar yang menakutkan (nadziran). Jiwa inilah yang diseru oleh ayat ini: “Wahai jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap Tuhan. Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.” Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya, sebagai tersebut dalam ayat 38 dari Suray 13, Ar-Ra’ad. Berkata Hasan Al-Bishri tentang muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.” Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash (Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari dalam syurga. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah, wahai jiwa yang telah mencapai keternteramannya, dengan ridha dan diridhai Allah. Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.” “Kembalilah kepada Tuhanmu, dalam keadaan ridha dan diridhai.” (ayat 28). Artinya: setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada_nya dan tak pernah mengeluh. “Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.” (ayat 29). Di sana telah menunggu hamba-hamba-Ku yang lain, yang sama taraf perjuangan hidup mereka dengan kamu; bersama-sama di tempat yang tinggi dan mulia. Bersama para Nabi, para Rasul, para shadiqqin dan syuhadaa. “Wa hasuna ulaa-ika rafiiqa”; Itulah semuanya yang sebaik-baik teman. “Dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (ayat 30). Di situlah kamu berlepas menerima cucuran nikmat yang tiadakan putus-putus daripada Tuhan; Nikmat yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan lebih daripada apa yang dapat dikhayalkan oleh hati manusia. Dan ada pula satu penafsiran yang lain dari yang lain; yaitu annafs diartikan dengan roh manusia, dan rabbiki diartikan tubuh tempat roh itu dahulunya bersarang. Maka diartikannya ayat ini: “Wahai Roh yang telah mencapai tenteram, kembalilah kamu kepada tubuhmu yang dahulu telah kamu tinggalkan ketika maut memanggil,” sebagai pemberitahu bahwa di hari kiamat nyawa dikembalikan ke tubuhnya yang asli. Penafsiran ini didasarkan kepada qiraat (bacaan) Ibnu Abbas, Fii ‘Abdii dan qiraat umum Fii “Ibaadil. Wallahu A’lam Bishshawaabi.
14