Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
PENEGAKAN HUKUM PERDAGANGAN ILEGAL SATWA LIAR DILINDUNGI NON-ENDEMIK DI INDONESIA (Kajian Empiris Efektivitas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya) Yogyanto Daru Sasongko Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta E-mail:
[email protected]
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract This research aims to determine the effectiveness of Act No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems in law enforcement efforts against the crime of illegal trading nonendemic endangered wildlife in Indonesia, as well as giving steps of countermeasures. This research is descriptive with qualitative approach. The results based on the test results by using the theory of the legal effectiveness by Clarence J. Dias showed this Act has not been effective in law enforcement efforts against the crime of illegal trading non-endemic endangered wildlife in Indonesia. Demonstrated the ineffectiveness of the results of the test lies in the legal substance, socialization rule of law, the legal structure, dispute resolution mechanisms, and the legal culture. So that the necessary concrete steps to overcome it is: the improvement of the legal of law enforcement, dispute resolution mechanisms with clear and effective, as well as changes in the culture/legal culture. Keywords: law effectiveness, law enforcement, wildlife crime. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia, serta memberikan langkah-langkah penganggulangannya. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum non-doktrinal dengan bentuk penelitian diagnostik, sifat penelitian adalah deskriptif melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian berdasarkan pada hasil uji dengan menggunakan teori efektivitas hukum dari Clarence J. Dias menunjukkan undang-undang tersebut belum efektif dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia. Ketidakefektifan yang ditunjukkan dari hasil uji terletak pada substansi hukum, sosialisasi aturan hukum, struktur hukum, mekanisme penyelesaian sengketa, dan budaya hukum. Sehingga diperlukan langkah konkret untuk menanggulangi hal tersebut, yaitu:
perubahan kultur/budaya hukum. Kata kunci: efektivitas hukum, penegakan hukum, kejahatan terhadap satwa liar. 116
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
A. Pendahuluan Undang-undang yang berlaku di Indonesia terkait dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem saat ini adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, untuk selanjutnya disebut UU KSDAHE. UU KSDAHE secara garis besar mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sampai dengan saat ini penanganan terhadap perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia masih belum optimal. Berdasarkan informasi yang diperoleh, sampai dengan tahun 2014 terdapat kepemilikan satwa liar dilindungi non-endemik dalam keadaan hidup maupun bagian-bagiannya yang tidak jelas asal usul perolehannya, berdasarkan informasi dari Subdit I Direktorat Tipidter Bareskrim Mabes Polri dapat dipastikan bahwa hasil perolehan satwa dan juga bagian-bagiannya tersebut adalah melalui perdagangan ilegal ataupun penyelundupan, bahkan beberapa diantaranya diperoleh dari lembaga konservasi (kebun binatang). Kepemilikan satwa maupun bagianbagiannya tersebut baru diketahui setelah beberapa waktu/tahun kemudian (Anonim, 13 Oktober 2014, 01:10 WIB). Seperti halnya keberadaan harimau Benggala di rumah keluarga artis Unique Priscilla yang dipersoalkan petugas dari Kementerian Kehutanan. Sebenarnya sudah lama diketahui bahwa keluarga Uni que m emel i har a harimau, menurut Koesbanu (pemilik), yang bersangkutan memelihara “si raja hutan” itu sudah sejak tahun 1985. Kasus lain adalah berhasil ditangkapnya sindikat pengedar satwa langka awetan di daerah Lenteng Agung, Depok, Jawa Barat (Indra Poernomo, 13 Oktober 2014, 05:59 WIB). Dalam operasi tersebut ditemukan beberapa satwa awetan
dan hasil samakan kulit harimau yang dijadikan karpet, salah satunya adalah dari kulit harimau jenis Benggala. Sebagaimana dilansir oleh WWF Indonesia (WWF, 2009), harimau Benggala dan jenis harimau lain dikategorikan terancam punah (endangered) dalam daftar lembaga konservasi dunia IUCN dan masuk dalam CITES Appendiks 1, sehingga perdagangan secara komersil adalah dilarang. Kasus lain yang terungkap adalah oknum Camat Kramatjati (Anonim, 13 Oktober 2014, 06:33 WIB) yang memiliki dan memelihara satwa langka hidup dan awetan, dalam operasi yang digelar Balai KSDA DKI bersama Bareskrim Mabes Polri berhasil menyita beberapa satwa langka endemik dan non-endemik baik yang masih hidup maupun sudah dalam bentuk awetan/opsetan. Perdagangan ilegal satwa liar non-endemik (Anomin, 1 Desember 2014, 10:45 WIB) di Indonesia ditengarai karena nilai eksotis dari satwa tersebut untuk dijadikan binatang peliharaan. Minat memelihara hewan eksotik, baik jenis reptil, primata, maupun burung, membuat impor ilegal satwa-satwa itu terus terjadi. Peraturan perundangan yang mengatur sanksi hukum untuk pelaku tindak pidana terhadap satwa liar dilindungi adalah UU KSDAHE. Namun pengaturan tentang satwa liar dilindungi yang termaktub di dalamnya adalah dari jenis endemik, sedangkan satwa liar dilindungi dari jenis non-endemik belum diatur secara jelas. Budi Riyanto (Budi Riyanto, 2004: 9) menjelaskan: Secara internasional CITES mewajibkan negara anggota untuk dapat memberikan sanksi hukum yang berkaitan dengan jenisjenis yang termasuk dalam appendiks CITES, selain itu tidak ada sanksi hukum terhadap pelanggaran CITES bagi jenis-jenis yang berasal dari luar Indonesia. Akibat dari hal tersebut di atas, satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia dapat
117
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
dimiliki oleh orang tanpa dapat dikenakan sanksi hukum. Sedangkan CITES mewajibkan “para Pihak”, termasuk Indonesia sebagai anggota, untuk membuat regulasi yang mengatur perdagangan satwa liar baik ekspor maupun impor guna mencegah satwa liar tersebut dari bahaya kepunahan. Bertitik tolak dari persoalan tersebut di atas, telah menarik perhatian Penulis untuk mendalami lebih lanjut akar persoalannya untuk menemukan solusinya untuk memberikan kemanfaatan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dikaji oleh Penulis adalah: efektivitas UU KSDAHE dalam upaya penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia, dan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menanggulangi perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia.
B. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum non-doktrinal. Bentuk penelitian ini adalah penelitian diagnostik, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebabsebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang teliti seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Sedangkan konsep hukum yang menjadi dasar penelitian ini adalah konsep hukum kelima, yaitu hukum adalah makna simbolik atau isyarat yang nampak dalam proses interaksi para perilaku sosial (the empirical law) antar warga (pendekatan post-structuralism). Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder (yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier). Teknik pengumpulan data 118
menggunakan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan data.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Tidak dipungkiri bahwa satwa liar dilindungi non-endemik mempunyai nilai tersendiri dikalangan pecinta satwa. Nilai eksotis yang cukup tinggi merupakan salah satu alasan satwa liar non-endemik tersebut dipelihara oleh masyarakat/pecinta satwa. Dari hasil observasi di lapangan (Pasar Pramuka dan Pasar Jatinegara di Jakarta, Pasar Muara di Bandung) banyak dijumpai satwa-satwa liar baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi yang diperjualbelikan. Jual beli satwa liar yang dilindungi biasanya dilakukan secara tersembunyi. Sangat sulit untuk menemukan jenis satwa liar dilindungi non-endemik yang diperjualbelikan, biasanya jual beli satwa jenis tersebut dilakukan melalui jaringan internet, namun adakalanya ditemui jual beli secara langsung. Jenis non-endemik kebanyakan dari jenis ikan dan reptil, seperti di Pasar Burung Jatinegara, Penulis baru menemukan jenis ikan Piranha dan aligator spatula yang diperjual belikan, serta reptil jenis buaya. Untuk jenis mamalia tidak ditemukan. Hal tersebut bukan berarti tidak ada kasus yang terjadi, namun kebanyakan kejadian apabila petugas (polhut maupun kepolisian) menemui satwa liar non-endemik Indonesia (walaupun dilindungi) cenderung tidak memproses lebih lanjut secara hukum. Sependapat dengan hal tersebut Sugeng (Sugeng, hasil wawancara, 23 September 2014, 11:45 WIB), salah seorang kepala seksi di Subdit I Direktorat Tipidter Bareskrim, mengatakan bahwa: Kepemilikan satwa dilindungi yang bukan asli Indonesia bukannya tidak ada, bisa dikatakan cukup banyak, seringkali dalam setiap operasi penegakan hukum
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
terhadap kepemilikan satwa, selain satwa yang dilindungi di Indonesia kami juga menemukan satwa bukan asli Indonesia. Selain satwa hidup, pada waktu dilakukan operasi berdasarkan laporan masyarakat juga ditemui kepemilikan kulit harimau Benggala
dalam bentuk karpet atau lembaran utuh. Keterangan tersebut sejalan dengan data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber oleh Penulis, sebagaimana tabel berikut:
Tabel 1 Kepemilikan Satwa Liar Dilindungi (Secara Ilegal) No. 1 *) 2 **)
Nama Pemilik/ Waktu/Lokasi Koesbanu Ciputat, Tangerang Budi Santosa Lenteng Agung, Depok
Spesimen Harimau Benggala (hidup)
Keterangan Appendiks 1 Non-endemik Berbagai jenis satwa opset; Appendiks 1 Kulit Harimau Sumatera; Appendiks 1 Karpet kulit Harimau Benggala Non-endemik 3 Ucok Bangsawan Harahap Berbagai jenis satwa dilindungi di Indonesia; Appendiks 1 ***) Jatiwaringin Harimau Benggala (hidup) Non-endemik 4 Klenteng Kulit Harimau Benggala utuh Appendiks 1 ****) Palmerah Non-endemik Sumber: *) http://polhut08.wordpress.com/2010/02/06/harimau-keluarga-unique-priscilladipersoalkan/ **) http://indrapoernomo.typepad.com/ ***) http://polhut08.wordpress.com/2012/10/19/bksda-dki-dan-polri-sita-satwa-dilindungimilik-camat-kramatjati/ ****) wawancara langsung dengan Sugeng, Bareskrim.
Untuk menguji penelitian ini digunakan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Clarence J. Dias sebagai pisau analisisnya. Adapun teori efektivitas hukum Clarence J. Dias (Clarence J. Dias, 1975: 150) yang dimaksud adalah sebagaimana berikut. An effective legal system may be described as one in which there exists a high degree of congruence between legal rules and human conduct. Thus, an effective legal system will be characterized by minimal disparity between the formal legal system and the operative legal system. Arguably, the effectiveness of a legal system is secured by: 1. The intelligibility of its legal rules; 2. A high level of public knowledge of the content of the legal rules; 3. legal rules through
a. A committed administration; and b. Citizen involvement and participation in the mobilization process;”. 4. Dispute settlement mechanisms that are both easily accessible to the public and effective in their resolution of disputes; and 5. A widely shared perception by individuals of the effectiveness of the legal rules and institutions. 1. Efektivitas UU KSDAHE dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia Hasil penelitian menunj ukkan bahwa UU KSDAHE belum efektif dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia. Hasil penelitian
119
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
tersebut berdasarkan pada hasil uji dengan menggunakan teori efektivitas hukum dari Clarence J. Dias sebagai pisau analisisnya. Argumentasi atas hasil tersebut dijabarkan sebagai berikut. a. Mudah Tidaknya Makna atau Isi Aturan Hukum Dipahami Peraturan perundang-undangan itu tidak lengkap dan tidak jelas (Sudikno Mertokusumo, 2014: 63). Tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Menurut Sudikno (Sudikno Mertokusumo, 2014: 55), undang-undang hanyalah merupakan suatu tahap tertentu dalam proses pembentukan hukum dan bahwa undang-undang wajib m enca ri pel e ngkapnya dal am praktek hukum yang teratur dari hakim (yusrisprudensi), dimana asas yang merupakan dasar undangundang dijabarkan lebih lanjut dan dikonkretisasi, diisi dan diperhalus dengan asas-asas baru. Lebih lanjut Budi Riyanto (Budi Riyanto, hasil wawancara, 26 Januari 2015, 11:20 WIB) mengatakan bahwa: Di Indonesia sebenarnya bukan tidak ada aturan yang terkait dengan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik, hanya belum tersosialisasikan secara tepat aturan tersebut. Perlu diingat bahwa yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang CITES, dan sebagai konsekuensi logis dari telah meratifikasi suatu perjanjian internasional wajib untuk mentaati aturan yang ada di dalam konvensi tersebut. Terhadap kasus perdagangan maupun kepemilikan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia,
120
satwa yang dilindungi oleh suatu negara akan diperlakukan sama dengan satwa yang dilindungi di negara kita. Dengan kata lain, jika terdapat satwa luar negeri yang masuk Appendiks I maka di negara kita pun juga diperlakukan sebagai Appendiks I, jadi hukumnya jelas. Walaupun sampai saat ini memang satwa liar dilindungi non-endemik belum tercantum di dalam peraturan perundang-undangan nasional. Pem aham an aturan hukum khususnya UU KSDAHE oleh para penegak hukum masih terpaku pada hukum tertulis yang ada dan berdasarkan pada pasal-pasal yang ada di dalamnya. Para penegak hukum sebenarnya mengetahui b a h w a p e r d a g a n g a n m a u pu n kepemi li kan i legal satwa l iar dilindungi non-endemik Indonesia adalah pelanggaran hukum di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, namun para penegak hukum tersebut juga dihadapkan pada peraturan perundang-undangan yang belum secara jelas mengaturnya (belum tertulis dalam pasal-pasal di dalamnya). b. Luas Tidaknya Kalangan di Dalam Masyarakat yang Mengetahui Isi Aturan Hukum Setiap undang-undang pada bagian akhir selalu disebutkan “undangundang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.” Dengan demikian sejak suatu undang-undang itu diundangkan dan tercatat dalam Lembaran Negara, maka seluruh warga negara dianggap
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
telah mengetahui dan dapat dikenakan hukum apabila melanggarnya. Permasalahnnya adalah sejauh mana setiap warga negara telah mengetahuinya, dan apakah seluruh aparat penegak hukum yang terkait dengan undang-undang tersebut juga telah mengetahui. Agar dapat diketahui suatu aturan hukum oleh masyarakat dan aparat penegak hukum maka perlu disosialisasikan. Dikatakan oleh Romli (Romli Atmasasmita, 2001: 55), bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan penasehat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan. Sementara itu Achmad Ali mengatakan (Achmad Ali, 1998: 186): Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang berat, mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat. Hasi l wawancara terhadap responden terkait dengan telah atau belum disosialisasikannya dengan baik suatu aturan hukum dapat dilihat dari 2 (dua) sudut pandang, yaitu: 1) Munculnya kendala dan masalah di lapangan yang muncul akibat suatu peraturan perundangan belum tersosialisasikan dengan baik. 2) K es e pe m ah am a n da n / a t a u keber agama n penge tahuan p e n e g a k h u k um t e r h a d a p peraturan perundangan yang digunakan penegakan hukum.
Dikatakan oleh Setijati (Setijati D. Sastrapradja, 1998: 138-139), tidak semua individu yang menangani keanekaragaman hayati mengetahui adanya berbagai peraturan tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa tiap departemen dan lembaga tinggi di Indonesia memiliki biro yang khusus menangani aspek hukum. Sehingga semua masalah yang menyangkut hukum dalam departemen tertentu akan diselesaikan oleh biro yang bersangkutan. Pemasyarakatan mengenai peraturan yang telah diundangkan di Indonesia masih memerlukan perhatian yang sungguhsungguh. Tanpa dimasyarakatkannya peraturan tersebut secara terusmenerus, masyarakat awam tidak akan mengetahui kapan seseorang melanggarnya dan kepada siapa permohonan ijin perlu disampaikan agar pelanggaran dihindari. Hukum Dalam Menegakkan Aturan Hukum Dengan Bantuan Lembaga Non-Pemerintah/ Masyarakat Sacipt o Rahardjo (Saci pto Rahardjo, 2014: 70) menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja, karena hukum bukanlah merupakan hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut dijalankan atau bekerja. Menurut Sacipto (Sacipto Rahardjo, 2014: 72), sekurang-kurangnya ada 4 (empat) langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan atau ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara efektif), yaitu: 1) adanya pejabat/aparat penegak
121
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum tersebut; 2) adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik yang mematuhi atau melanggar hukum; 3) orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan; dan 4) orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum Aparat penegak hukum dalam menghadapi perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia selalu terhalang oleh tidak adanya aturan hukum yang khusus tentang satwa non-endemik, Inge Yangesa (Inge Yangesa, hasil wawancara, 5 Mei 2015, 10:30 WIB) dalam wawancaranya mengatakan: Aturan hukum yang ada saat ini memang belum jelas mengatur tentang satwa liar dilindungi yang non-endemik Indonesia, sehingga pengenaan pidana maupun denda administratifnya juga masih belum jelas. Namun apabila dijumpai kepemilikan maupun perdagangan satwa liar dilindungi non-endemik, hal tersebut dapat ditelusuri dari kelengkapan dokumennya. Untuk Appendiks I CITES jelas hal itu tidak diperbolehkan dan melanggar aturan dalam konvensi. Pemilik maupun pedagang yang tidak dapat menunjukkan dokumen yang sah, jelas merupakan kepemilikan ataupun perdagangan secara ilegal dan dapat dianggap sebagai penyelundupan. Pendapat Inge tersebut sesuai dengan Pasal 26 dan Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis TSL. Pasal 26 peraturan pemerintah tersebut menyatakan: Ekspor, re-ekspor, atau impor jenis tumbuhan dan satwa liar tanpa
122
dokumen atau memalsukan dokumen atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) [dokumen perdagangan satwa liar, pen] termasuk dalam pengertian penyelundupan. Persoalannya adalah bagaimana kepiawaian para penegak hukum dan kejeli annya menggunakan aturan hukum dalam menangani kasus kejahatan terhadap satwa liar dilindungi non-endemik tersebut. Di sisi lain, koordinasi antar penegak hukum j uga m asi h di r a sak an kurang optimal, hasil pengamatan secara langsung di lapangan, waktu koordinasi antar instansi yang diperlukan untuk sebuah operasi yustisi di lapangan tidaklah cepat. Beberapa langkah-langkah prosedural j us tr u di ras akan m engham bat gerak cepat suatu operasi yustisi. Pengenalan jenis spesimen oleh petugas kepabeanan juga belum optimal, petugas pabean belum tentu mengenal spesimen yang merupakan Appendiks I CITES, hal tersebut kemungkinan dapat terjadi dan spesimen yang diselundupkan dapat lolos. Setijati mengatakan (Setijati D. Sastrapradja, 1998: 136), pada umumnya konvensi baru menjadi kepedulian mereka yang bergerak dalam negosiasi internasional. Hal ini berarti bahwa belum semua sektor di pemerintahan mengetahui implikasi konvensi t erhadap sekt ornya. Terlebih-lebih aspek hukum dalam konvensi yang perlu diperhatikan setiap negara. Pada prinsipnya dalam penegakan hukum diperlukan sinergi antar l em baga penegak hukum dan dukungan instansi terkait lainnya, dari hasil observasi dan wawancara,
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
diketahui bahwa sinergi penegakan hukum antar instansi pada dasarnya sudah terjalin namun masih bersifat insidentil dan kewilayahan. Sistem penegakan hukum terintegrasi diperlukan antara pihak kehutanan dengan pihak bea dan cukai serta pihak karantina. Kedua instansi tersebut merupakan pintu pertama masuknya spesimen dari luar negeri ke wilayah negara Indonesia, maupun antar daerah di dalam wilayah Indonesia. Peran serta aktif dari masyarakat maupun lembaga nonpemerintah (NGO/Non Goverment Organization) atau LSM penting dalam mendukung terwujudnya penegakan hukum terhadap kejahatan satwa liar yang dilindungi. Berdasarkan hasil wawancara, peran serta masyarakat dan LSM sudah cukup baik, keterlibatan mereka antara lain dengan memberikan laporan kepada pihak kehutanan (cq. Balai KSDA) tentang adanya kepemilikan maupun perdagangan ilegal satwa liar dilindungi. Proses penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar dilindungi endemik Indonesia sudah cukup baik dan berhasil, di sisi lain, tindak pidana terhadap satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia sampai saat ini masih belum nampak jelas proses penegakan hukumnya. d. Adanya Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Jelas dan Efektif UU KSDAHE di dalamnya terdapat ketentuan pidana yang dapat dikenakan bagi pelanggar atau pelaku tindak pidana bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yaitu terdapat dalam Pasal 40 mengenai Ketentuan Pidana, terkait dengan tindak pidana terhadap satwa liar yang dilindungi
terdapat pada ayat (2) dan ayat (4) sebagaimana berikut: Ayat (2), Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ayat (4), Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Ay a t ( 5 ) , Ti n d a k p i d a n a sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Ketentuan pidana sebagaimana Pasal 40 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum saat ini, terlebih saat ini penyelesaian hukum lebih mengedepankan penyelesaian secara non-penal. Jika dilihat pada Pasal 40 tersebut, penyelesaian pula ketentuan sanksi pidana yang belum mencamtumkan pidana dan denda minimal yang bisa dikenakan dapat menimbul kan disparitas putusan hakim. UU KSDAHE juga belum mencantumkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tidak selamanya suatu sengketa hukum (pidana) harus diselesaikan secara pidana, ada kalanya suatu sengketa dapat diselesaikan di luar pengadilan
123
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
yang hal tersebut merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Di spute Resolution/ADR) atau dikenal dengan mediasi penal. Menurut Barda Nawawi (Barda Nawawi Arief, 2012: 2-3), ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah/ perdamaian atau lembaga pemaaf yang ada di dalam masyarakat. Praktek penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan perlu dibuat aturan yang jelas hal-hal apa saja yang dapat dan tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Sistem penyelesaian sengketa harus jelas, beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam penyelesaian sengketa antara lain sebagai berikut: 1) Adanya opsi penyelesaian sengketa, yaitu diselesaikan di luar pengadilan maupun melalui pengadilan; 2) Rumusan ketentuan yang jelas mengenai hak dan kewajiban tergugat dan penggugat; 3) Hal-hal atau peristiwa hukum apa saja yang dapat dan tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan; 4) Siapa yang berhak menjadi mediator atau arbiter
124
dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan; 5) Hak gugat yang dimiliki oleh pemerintah, masyarakat, lembaga non-pemerintah harus jelas dan transparan; dan 6) Ketentuan pidana yang jelas dengan memberi batasan minimal dan maksimal pidana dan/atau denda yang dapat dikenakan. Penyelesaian perkara kepemilikan dan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik secara pidana sampai saat ini dapat dikatakan berhenti ditempat, alihalih tidak adanya aturan hukum yang mengaturnya kebanyakan satwa tersebut akhirnya dikembalikan ke pemiliknya walaupun dengan status “titipan negara”. Pemilik diwajibkan membuat ijin untuk memelihara dan melaporkan secara berkala, hal itu secara tidak langsung telah melegalkan kepemilikan ilegal satwa liar tersebut. Hambatan tersebut sebagaimana dikatakan oleh Evi Haerlina (Evi Haerlina, hasil wawancara, 5 Mei 2015, 10:00 WIB), antara lain: Wal aupun I ndones ia tel ah meratifikasi CITES, namun kenyataannya aturan dalam konvensi tersebut tidak dapat diaplikasikan secara langsung ke dalam hukum Indonesia, salah satunya adalah adanya perbedaan penggolongan jenis satwa, di UU KSDAHE penggolongan satwa liar adalah satwa dilindungi dan satwa tidak dilindungi, sedangkan penggolongan satwa menurut CITES adalah berdasarkan appendiks. e. Adanya Pengakuan yang Merata di Masyarakat Bahwa Aturan Hukum Dapat Berlaku Efektif Kultur hukum atau budaya hukum merupakan salah satu komponen untuk memahami bekerjanya sistem hukum sebagai suatu proses dimana
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
budaya hukum berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat (Esmi Warassih, 2005: 30). Esmi Warassih (Esmi Warassih, 2005: 83) membedakan budaya hukum menjadi 2 (dua), yaitu: internal legal culture yaitu budaya hukumnya lawyers dan judgeds dan external legal culture yaitu budaya hukum
masyarakat pada umumnya. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang satu dengan sistem hukum yang lain. Budaya hukum penegak hukum tentu akan lain dengan budaya hukum masyarakat umum. Derita Prapti Rahayu menggambarkan perbedaan budaya hukum penegak hukum dan masyarakat umum, sebagai berikut (Derita Prapti Rahayu, 2014: 93):
Tabel 2 No. 1 2
Ide Tujuan
3 4 5
Sifat Perilaku Pendidikan
Budaya Hukum Penegak Hukum Keteraturan/statis Tujuan yang ingin dicapai kepastian hukum Terikat Matrialisme, Pragmatisme Pola pendidikan yang sama dan tetap
Budaya masyarakat dapat terbentuk dari budaya turun temurun maupun trend yang berlaku saat itu. Pemeliharaan satwa saat ini lebih banyak disebabkan adanya trend yang sedang berlangsung. Gaya hidup yang keliru dalam mencintai satwa liar ditunjukkan oleh sebagian masyarakat yang merasa memiliki prestise jika dapat memelihara satwa liar yang dilindungi ataupun satwa langka. Pemeliharaan satwa liar untuk kes enanga n a t au hobby m em ang dimungkinkan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis TSL khususnya Pasal 37 sampai dengan Pasal 41, dinyatakan bahwa setiap orang dapat memelihara jenis tumbuhan dan satwa liar untuk tujuan kesenangan namun hanya dapat dilakukan terhadap jenis yang tidak dilindungi. Ada beberapa alasan mengapa
Budaya Hukum Masyarakat Ketidakteraturan/dinamis Kepastian sosial Berbagai alternatif Paternalistik Beragam
tekanan terhadap keberlangsungan hidup satwa liar yang dilindungi masih sering dijumpai, antara lain digunakan sebagai: bahan makanan, bahan pakaian dan aksesoris, sarana olahraga/perburuan, kesehatan/ perawatan, obat-obatan tradisional hingga kebutuhan farmasi, kelengkapan ritual upacara keagamaan, dan koleksi pribadi. Perlu perubahan kultur dari kebiasaan memelihara satwa langka/satwa eksotik sedikit demi sedikit harus mulai diubah menjadi budaya melestarikan satwa sesuai dengan habitat alamiahnya. Kesadaran terhadap kelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat, baik secara nasional maupun lingkungan secara global. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Lembang Palipadang (Lembang Palipadang, 2010: 8), bahwa kebersamaan 125
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
untuk menyelesaikan masalah lingkungan hidup baru menunjukkan intensitas yang tinggi setelah timbulnya kesadaran tentang sifat global lingkungan hidup. Kesadaran ini timbul akibat pembangunan yang dilakukan pada masa lalu telah menimbulkan kerusakan lingkungan berskala besar serta dampak yang bersifat transnasional yang tidak mungkin lagi ditanggulangi oleh negara secara individual. 2. Langkah-Langkah Penanggulangan Perdagangan Ilegal Satwa Liar Dilindungi Non-Endemik di Indonesia Upaya penegakan hukum penanggulangan tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia memerlukan langkah-langkah penanganan stratejik. Langkah-langkah tersebut diharapkann dapat mengatasi kendala yang selama ini dihadapi oleh para penegak hukum dalam melaksanakan UU KSDAHE khususnya permasalahan perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia. a. Penyempurnaan Substansi Aturan Hukum Undang-undang ( Soer j ono Soekanto, 2013: 11) dalam arti materiel adalah pertaturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah, maka undang-undang mencakup: peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara, dan peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja. Sejak diterbitkannya UU KSDAHE tahun 1990 maka sampai dengan saat ini telah menginjak usia 25 tahun. Sementara jaman terus berkembang demikian pesat, dan 126
UU KSDAHE dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Beberapa hal terkait dengan ketertinggalan pasal-pasal yang mem erlukan perbai kan/r evis i/ penambahan antara lain sebagai berikut. 1) Substansi batasan minimal dalam ketentuan pidana Ketentuan pidana dalam UU KSDAHE terdapat pada Pasal 40, terdiri dari 5 ayat. Ketentuan pidana pada Pasal 40 tersebut membedakan tindak pidana menjadi 2 (dua) yaitu kejahatan dan pelanggaran. P idana penjar a dan denda yang dikenakan sebagaimana dalam Pasal 40 tersebut adalah pidana dan denda maksimal, tidak mencantumkan pidana dan denda minimal. Sehingga apabila terjadi suatu tindak pidana baik yang dikategorikan sebagai kejahatan maupun pelanggaran, dan diajukan ke pengadilan, maka hakim dalam mengambil keputusan tidak mempunyai patokan yang jelas sebagai batasan minimal. 2) Substansi pidana kurungan dan nilai denda Pidana kurungan dan denda atas tindak pidana terhadap satwa liar yang diatur dalam Pasal 40 apabila dibandingkan dengan kondisi saat ini terlihat cukup jauh ketimpangannya, yaitu pengenaan pidana kurungan maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk tindak kejahatan, serta pidana kurungan maksimal 1 (satu) tahun dan denda maksimal Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
rupiah) untuk tindak pelanggaran. Bandingkan nilai denda maksimal tersebut dengan nilai satwa yang diperdagangkan yang dapat mencapai milyaran rupiah, belum lagi nilai kerugian ekologis atas kerusakan ekosistem yang tentunya jauh lebih besar nilai kerugiannya. 3) Substansi penyelesaian sengketa Penyelesaian sengketa dapat diwujudkan melalui penyelesaian di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Melihat perkembangan hukum saat ini, penyelesaian sengketa lebih mengedepankan penyelesaian di luar pengadilan. UU KSDAHE belum mencantumkan penyelesaian sengketa secara khusus, dalam mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan UU KSDAHE hanya mencantumkan hukuman penjara dan denda, yang berarti penyelesaian perkara pidana atau sengketa hanya dapat dilakukan di pengadilan. 4) Substansi perlindungan global UU KSDAHE memang belum “melindungi” satwa liar dilindungi non-endemik Indonesia, hal ini kontradiksi dengan aturan dalam konvensi yang telah diratimengatur perdagangan satwa liar secara global, sedangkan UU KSDAHE belum sepenuhnya mengakomodir aturan dalam konvensi. Aturan yang sudah terdapat dalam UU KSDAHE dan peraturan pendukung di bawahnya baru sebatas mengatur secara administratif, yaitu syarat-syarat kelengkapan dokumen (SATSLN), yang apabila kelengkapan
dokumen tersebut dilanggar maka kepada pelaku dikenakan sanksi administratif. Sanksi pidana badan atau kurungan belum dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana karena belum diatur secara khusus aturan hukumnya. 5) Substansi penegakan hukum terintegrasi Dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal maupun kepemilikan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak dapat bekerja sendirian. Dibutuhkan kerjasama antar instansi yang berwenang seperti: kepolisian, bea dan cukai, serta karantina dalam melakukan penangan langsung di lapangan. Di samping itu juga dukungan dari unsur-unsur lain seperti: kejaksaan, kehakiman, TNI, serta LSM dan masyarakat sangat diperlukan. Penegakan hukum terintegrasi tidak hanya sekedar diwacanakan saja, namun lebih baik apabila dicantumkan dalam pasal-pasal aturan hukum, sehingga akan jelas pembagian tugas dan kewenangannya, akan jelas siap berbuat apa serta tanggung-jawabnya. b. Sosialisasi Aturan Hukum Sosialisasi dan penyuluhan hukum adalah usaha untuk membina kesadaran hukum dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan penegakan hukum. Menjadi kendala tersendiri apabila suatu aturan hukum tidak tersosialisasikan dengan baik, seberat apapun ancaman hukumannya dan sebanyak apapun denda administrasinya jika suatu aturan hukum tidak 127
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
tersosialisasikan dengan baik maka bagaikan “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Selain dilakukan oleh aparat pemerintah, sosialisasi dapat dilakukan oleh LSM yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Substansi sosialisasi aturan hukum yang tepat dan sinergi yang baik antara pemerintah dengan LSM dan masyarakat dalam melakukan penyadartahuan suatu aturan hukum akan mendapat-
Hukum Masih lemahnya koordinasi antar instansi penegak hukum merupakan kendala tersendiri dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia. Penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut memang tidak hanya menjadi tanggung jawab instansi kehutanan saja, namun juga menjadi kewajiban dari instansi kepolisian, bea dan cukai, serta karantina. Perlu merubah cara pandang/ mindset penegakan hukum yang selama ini hanya dilakukan melalui proses litigasi untuk proses peradilan menjadi penegakan hukum yang dilakukan dengan mengedepankan proses Alternative Dispute Resolution (ADR) atau mediasi penal guna mewujudkan kondisi-kondisi penataan hukum. Penegak hukum dituntut memiliki berbagai kemampuan melakukan peran sebagai arbitrator, mediator, rekonsiliator, maupun negosiator, bahkan advokator untuk mewujudkan peran dan tugasnya sebagai penegak hukum yang profesional dan kredibel.
128
d. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Penyelesaian sengketa secara transparan dan efektif dengan mengedepankan penyelesaian nonpenal menurut berat ringannya kajahatan atau pelanggaran yang d i l ak u ka n d ap a t m e ng u r a ng i beban institusi peradilan. Sistem penyelesaian sengketa harus jelas dan t ranspar an, beberapa hal dalam penyelesaian sengketa yang perlu dikedepankan antara lain: 1) diberikannya opsi penyelesaian sengketa yang jelas, yang dicantumkan di dalam pasal undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang cukup mengikat; 2) dirumuskannya secara jelas mengenai ketentuan hak dan kewajiban pihakpihak yang bersengketa; 3) ditentukan secara jelas peristiwa hukum yang dapat dan tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan; 4) Perlunya mediator sengketa apabila suatu permasalahan hukum hendak dilakukan di luar pengadilan; 5) Transparansi hak gugat yang dimiliki oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga nonpemerintah; dan 6) pencantuman ketentuan pidana dengan batasan minimal dan maksimal yang jelas di dalam pasal undang-undang. e. Perubahan Budaya/Kultur Hukum Perubahan cara pandang masyarakat maupun aparat penegak hukum tentang pentingnya kelestarian lingkungan hidup pada umumnya, dan satwa liar dilindungi pada khususnya, dapat mempengaruhi keberlangsungan lingkungan itu sendiri. Dikatakan oleh Wyndra Yustham (Wyndra Yustham, 3 Juli 2014, 09:25 WIB) bahwa dalam perspektif yuridis, isyu lingkungan khususnya
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
konservasi satwa dilindungi (endangered species), yang merupakan bidang keanekaragaman hayati (biological diversity), belum mendapat perhatian besar dan prioritas dari para akademisi dan praktisi hukum, atau setidak-tidaknya sejajar dengan isyu-isyu dalam hukum konvensional. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan mengenai benda yang menjadi obyek perlindungan hukum. Ilmu hukum konvensional memfokuskan nyawa manusia, barang dengan hak kepemilikan, serta martabat/kehormatan sebagai benda hukum dan telah berlangsung lama, sedangkan yang menjadi benda hukum dalam hukum konservasi sumber daya hayati adalah makhluk hidup yang mempunyai naluri dan siklus kehidupan sendiri. Disamping itu banyak akademisi dan praktisi hukum masih menganggap kejahatan terhadap spesies tidak langsung mengancam dan merugikan manusia sebagai subyek hukum, sehingga kejahatan ini tidak atau kurang mendapat perhatian. Konsekwensinya adalah adanya keharusan bagi ahli hukum untuk dapat memahami tidak saja konsep hukum, tetapi juga konsep disiplin ilmu lain yang berpengaruh, seperti biologi, ekologi, ekonomi dan teknologi. Dengan konsepsi demikian, maka kejahatan terhadap lingkungan (crimes against environment/ecocrime) seharusnya menjadi isu yang mengancam manusia sehingga mendapat perhatian bersama khususnya ahli hukum.
D. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagaimana berikut. Aturan hukum yang berlaku saat ini (UU KSDAHE dan peraturan pendukungnya)
belum secara jelas mengatur satwa liar dilindungi non-endemik di Indonesia, sanksi penjara dan denda administrasi yang diberikan masih terlalu rendah. Kejahatan terhadap satwa liar dilindungi non-endemik hanya dikenakan administrasi yang nilainya jauh di bawah kerugian ekologis. Sosialisasi yang telah dilakukan masih sebatas di lingkungan internal dan institusi pemerintah serta pendidikan, sehingga hasilnya belum optimal menjangkau hingga ke sektor riil masyarakat. Penegakan hukum yang masih bersifat sektoral kelembagaan menjadikan penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal satwa liar dilindungi non-endemik belum efektif. Penegakan hukum terintegrasi belum dapat dijalankan dengan baik, dikarenakan UU KSDAHE belum secara tegas mengaturnya. Penyelesaian sengketa yang diatur dalam UU KSDAHE masih bersifat legal positif, yaitu apa yang tertera di dalam pasal-pasalnya, dan penyelesaiannya dilakukan melalui persidangan, serta belum diberikan opsi penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Kultur masyarakat masih mewarisi cara pandang lama, yaitu memelihara satwa untuk kesenangan, serta nilai prestise jika memelihara satwa langka. Kultur ahli hukum masih melihat satwa sebagai obyek yang mempunyai kehidupan dan perilaku sendiri, di luar peri kehidupan manusia, sehingga kejahatan terhadap satwa belum menjadi suatu hal yang penting.
E. Saran Berdasarkan hasil simpulan sebagaimana di atas, maka saran perbaikan yang dapat disampaikan kepada pemangku kepentingan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) adalah sebagai berikut. Diperlukan revisi terhadap UU KSDAHE agar sejalan dengan perkembangan jaman, revisi yang diperlukan antara lain pada substansi seperti batasan maksimal dan minimal sanksi penjara dan denda administrasi, mekanisme 129
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
penyelesaian sengketa, sistem penegakan hukum terintegrasi, serta perlindungan global sesuai konvensi. Dilakukan sosialisasi aturan hukum yang tidak hanya sebatas instutusi formal saja, perlu juga dilakukan terhadap institusi non formal dengan materi yang lebih aplikatif, tepat materi, dan tepat sasaran. Perlu penerapan sistem penegakan hukum terintegrasi antar aparat yang terait (kehutanan, kepolisian, bea dan cukai, serta karantina), selain itu dukungan dari TNI, NGO/LSM, dan masyarakat untuk memberikan sinergi penegakan hukum secara optimal. Mekanisme penyelesaian sengketa perlu diatur lebih luas dengan diberikannya opsi penyelesaian sengketa secara jelas dan transparan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap parat penegak hukum. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat meminimalkan gesekan yang mungkin terjadi di lapangan pada saat dilakukan eksekusi. Perlu perubahan kultur masyarakat terutama cara pandang terhadap satwa liar terutama yang dilindungi, dari hobby memiliki menjadi hobby konservasi. Cara pandang ahli hukum terhadap lingkungan juga perlu perubahan paradigma dengan mendasarkan pada pemikiran yang mengacu pada prinsipprinsip ekologis, prinsip-prinsip hukum yang semula bersifat homo-centris, ke arah kaidahkaidah hukum yang bersifat eco-centris, dari hanya atas etika homo-ethics menjadi ecoethics.
Daftar Pustaka Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: PT. Yarsif Watampone. Anonim, BKSDA DKI dan Polri Sita Satwa Dilindungi Milik Camat Kramatjati, terdapat dalam https://polhut08. wordpress.com/2012/10/ 19/bksdadki-dan-polri-sita-satwa-dilindungi-
130
milik-camat-kramatjati/, bersumber dari http://www.suarakarya-online.com/ news.html?id=313761, diakses pada 13 Oktober 2014, jam 06:33 WIB. Anonim , Har imau Kel uarga Unique Priscilla Dipersoalkan, terdapat dalam http://polhut08.wordpress. com/2010/02/06/harimau-keluargaunique-priscilla-dipersoalkan/, diakses pada 13 Oktober 2014, jam 01.10 WIB. Anonim, Impor Ilegal Satwa Eksotis Masih Terus Terjadi, diposting pada 18 Agust us 2013 20: 05 WIB di Palmerah, Wartakotalive.com, terdapat dalam http://wartakota.tribunnews. com/2013/08/18/impor-ilegal-satwaeksotis-masih-terus-terjadi, diakses pada 01 Desember 2014 jam 10:45 WIB. Barda Nawawi Arief. 2012. Mediasi Penal. Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan. Ctk. Keempat. Semarang: Penerbit Pustaka Magister. Budi Riyanto. 2004. Dinamika Kebijakan Konservasi Hayati di Indonesia. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). 1979. “Text of the Convention. Article II.” Bonn. Clarence J. Dias. 1975. “Research on Legal Services and Poverty: Its Relevance to the Design of Legal Services Programs in Developing Countries”. Wash. U. L. Q. 147. Derita Prapti Rahayu. 2014. Budaya Hukum Pancasila. Ctk. Pertama. Yogyakarta: Thafa Media. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang; Suryandaru Utama.
Yogyanto Daru Sasongko. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Satwa Liar ...
Indra Poernomo, Dari Harimau Sampai Kukang , ter dapat dal am ht tp: / / indrapoernomo.typepad.com/, diakses pada 13 Oktober 2014, jam 05:59 WIB. Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 tentang Convention on International Trade in Endangered Species Of Wild Fauna And Flora. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. L em bang P al i padang. 2010. Hukum Internasional dan Nasional tentang Perlindungan Keanekaragaman Hayati. Bandung: Unpad Press. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju. Satjipto Rahardjo. 2014. Ilmu Hukum. Ctk. Kedelapan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Setijati D. Sastrapradja. 18–19 Agustus 1998. “Keanekaragaman Hayati Untuk Kini dan Nanti”. Makalah disampaikan pada Prosiding Lokakarya Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kerjasama: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), FHUI, UNDP dan The Ford Foundation. Jakarta. Soerjono Soekanto. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Edisi Kesatu. Ctk. Keduabelas. Jakarta: Rajawali Press. Sudikno Mertokusumo. 2014. Penemuan Hukum. Sebuah Pengantar. Ctk. Kelima. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atmajaya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. WWF. 2009. “Tiger Facts.” Bahan presentasi. Jakarta. Wyndra Yustham, Kejahatan Konservasi: Telaah Yuridis atas Pembunuhan Satwa Langka Dilindungi, terdapat dalam http://www.hukumonline.com/berita/ baca/hol21707/ kejahatan-konservasitelaah-yuridis-atas-pembunuhan -satwalangka-dilindungi, diakses pada 3 Juli 2014, jam 09:25 WIB.
131