perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi
Oleh : LA FASA NIM : S.331010304
PROGRAM MAGISTER (S-2) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: La Fasa
NIM
: S.331010304
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul: “Penegakan Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Selanjutnya untuk menunjukkan keasliannya, saya memperbolehkan tesis ini di upload dalam web site Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret.
Surakarta, 19 Maret 2012 Yang membuat pernyataan,
La Fasa
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Penegakan Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ”. Tesis ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis sebagai salah satu persyaratan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat magister program studi Ilmu Hukum di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada yang sangat saya hormati, Bapak Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum., dan Bapak Ismunarno, SH, M.Hum., atas bimbingannya selama proses penyusunan tesis ini, sehingga penulis mendapatkan perluasan wawasan, kedalaman ilmu, ketelitian, penajaman analisis dan peningkatan daya kritis sejak penyusunan proposal, seminar rencana penelitian sampai penulisan akhir tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat : 1.
Menteri Kehutanan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan tugas belajar/karyasiswa kepada penulis;
2.
Prof. Dr. Ravik Karsidi,M.S., Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta;
3.
Kepala Pusat Diklat Kehutanan yang telah menfasilitasi penulis sehingga berkesempatan menimba ilmu pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan seluruh staf Pusat Diklat Kehutanan yang telah membantu dan memberi kemudahan selama kami mengikuti tugas belajar;
4.
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS., selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta;
5.
Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta; commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
6.
digilib.uns.ac.id
Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH, Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang baru dan Prof. Dr. Setiono,SH.,MS, Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang lama;
7.
Segenap dosen pada Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kerangka berpikir teoritis sekaligus membekali penulis dalam penulisan tesis ini;
8.
Segenap staf administrasi pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah membantu dan mendukung penulis selama menempuh perkuliahan pada program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unisversitas Sebelas Maret;
9.
Bapak Wahju Rudianto,S.Pi., Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, yang telah mendukung dan memberi masukan-masukan yang cukup berarti dalam penulisan tesis ini beserta seluruh rekan-rekan kerja Balai Taman Nasional Wakatobi yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis;
10. Kepada Ayah dan Ibu saya, La Suhudu (almarhum) dan Wa Agha yang telah mengasuh, membesarkan dan mendidik dan memberikan doa yang tiada henti kepada penulis, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberi imbalan amal kebaikan dan kebahagian di dunia dan akhirat kelak. 11. Rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi angkatan 2010, terimakasih atas kebersamaan, dukungan dan motivasi yang luar biasa selama menimba ilmu di Surakarta. Secara khusus untuk rekan-rekan rimbawan karyasiswa Kementerian Kehutanan angkatan tahun 2010 di Universitas Sebelas Maret Surakarta: Sollu Batara, Agung Widodo, Erwin Prasetyo, Lisnawati, dan Fransiska. Terimakasih atas persaudaraan, bantuan dan diskusi yang selalu hangat selama menimba ilmu di Surakarta 12. Untuk isriku tercinta, Farlina Hak, yang tiada hentinya memberi doa dan dorongan moril yang demikian besar agar penulis dapat segera menyelesaikan commit to user penulisan tesis ini, dan anak-anakku tersayang Feren, Febri, Farel, Fatir dan
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jehan Florence yang telah memberikan semangat dan harapan agar penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran kiranya dapat menjadikan tesis ini semakin sempurna, semoga bisa bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Amien
Surakarta, 19 Maret 2012 Penulis
La Fasa
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Hlm. HALAMAN JUDUL ................................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN TESIS ...................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. iv KATA PENGANTAR ............................................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii DAFTAR TABEL
................................................................................................ xii
DAFTAR BAGAN/GAMBAR .................................................................................. xiii DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xv ABSTRAK ................................................................................................................. xvi ABSTRACT ............................................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN .......................………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah .................……………………………………… 1 B. Perumusan Masalah ................…………………………………………… 17 C. Tujuan Penelitian ..................…………………………………………… 17 D. Manfaat Penelitian ..............……………………………………………… 18 BAB II LANDASAN TEORI .......………………………………………………… 19 A. Kerangka Teori ……………………............................................................. 19 1. Teori Penegakan Hukum di Bidang KSDAH & E................................... 19 2. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Pengelolaan Taman Nasional Di Indonesia ……………………….......... 33 3. Upaya Penanggulangan Kejahatan ......................................................... 40 4. Instrumen Hukum dalam bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ……............................................................................. 62 a) Undang Nomor 5 Tahun 1990totentang commit user Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ........................................................ 62 viii
perpustakaan.uns.ac.id
b) c) d)
e) f)
digilib.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.............................................……………….. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan……………………………………………… Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan………..…….……………………………………… Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil ............................................. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup………………………...
64 68
73 74 76
5. Teori Bekerjanya Hukum………………………..………………
83
B. Penelitian yang relevan………………………………………………..
101
C. Kerangka Berpikir………………………………………………..........
102
BAB III. METODE PENELITIAN …………………………………………..
106
a. Jenis Penelitin ……………………………………………..................
106
b. Lokasi Penelitian………………………………………………………. 108 c. Sampel/Responden Penelitian ………………..………………………
108
d. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………….
110
e. Tehnik Pengumpulan Data ………………………..………………….
111
f. Tehnik Analisis Data …………………………………………………
113
BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………
117
A. Hasil Penelitian……………………………………………………….
117
1. Gambaran Umum Taman Nasional Wakatobi ………………..…. a. Sejarah Taman Nasional Wakatobi …………..……………… b. Luas dan Kedudukan………………………………………….. c. Organisasi dan Tata Kerja…………………………………….. d. Intensitas Tindak Pidana yang Terjadi di Taman Nasional Wakatobi ……………………………………………………… commit to user
117 117 119 123
ix
126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi.............................. 131 1) Faktor Hukumnya Sendiri (Undang-Undang) ………...………. 131 2) Faktor Aparat Penegak Hukum ……………………..…………. 139 3) Faktor Sarana Prasarana/Fasilitas Pendukung ……...…………. 142 4) Faktor Masyarakat …………………………………………… 146 5) Faktor Kebudayan ..…………………………………………… 150
3. Upaya Non Penal yang dilakukan dalam rangka Penanggulangan Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………………… 152 a. Patroli Rutin di Setiap SPTN…………………………………... 152 b. Sosialisasi dan Penyuluhan…………………………………….. 154 c. Program Pemberdayaan Masyarakat…………………………..
155
d. Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam 161 e. Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau di Wakatobi …….
161
B. Pembahasan…………………………………………………………… 162 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………….. 1) Faktor Hukumnya Sendiri (Undang-Undang)……………….. 2) Faktor Aparat Penegak Hukum………………………………. 3) Faktor Sarana/Fasilitas Pendukung……………………………. 4) Faktor Masyarakat……………………………………………. 5) Faktor Kebudayaan…………………………………………… 2. Upaya Non Penal (Tanpa Pidana) yang seharusnya dilakukan dalam rangka menanggulangi Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi………………………………………. 1) Patroli Rutin Kawasan Taman Nasional Wakatobi…………. commit user 2) Kegiatan Penyuluhan dan to Sosialisasi…………………………
x
163 163 174 182 184 188
191 198 199
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Program Pemberdayaan Masyarakat………………………….
200
4) Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam 204 5) Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau…………….……..
205
BAB. V PENUTUP……………………………………………………………... 208
1. Simpulan………………………………………………………………. 208 2. Implikasi………………………………………………………………. 210 3. Saran…………………………………………………………………..
212
DAFTRA PUSTAKA…………………………………………………………..
216
LAMPIRAN-LAMPIRAN
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Hlm 1.
Tabel 1 : Data Penyelesaian Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2000-2011 ................... 14 2. Tabel 2 : Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan…………………………………………………. .............. 66 3. Tabel 3 : Zonasi Taman Nasional Wakatobi.................................................... 121 4. Tabel 4 : Sebaran Zonasi Taman Nasional Wakatobi ……................................ 121 5. Tabel 5 : Lokasi Subbagian dan SPTN di TN. Wakatobi ……...............……. 125 6. Tabel 6 : Kondisi Pegawai Berdasarkan Status Kepegawaian......................... 125 7. Tabel 7 : Kondisi Pegawai Berdasarkan Lokasi Wilayah Tugas ................... 126 8. Tabel 8 : Data Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi dalam setiap Tahun ………….......................................... 128 9. Tabel 9: Data Intensitas Kejadian Perkara Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi sejak Tahun 2000 s.d 2011............................... 130 10. Tabel 10: Data Rekapitulasi Vonis Hukuman yang di Jatuhkan oleh Hakim Atas Pelaku Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2000 s.d 2011........................... 134 11. Tabel 11: Sarana Prasarana Perlindungan Hutan Balai Taman Nasional Wakatobi .,…………………………………………...... 143 12. Tabel 12: Data Asal Pelaku Tindak Pidana di Bidang KSDA & E Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011 ……. 147
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR/BAGAN hlm 1. 2. 3. 4. 5.
Bagan 1 Bagan 2 Bagan 3 Bagan 4 Bagan 5
: : : : :
Skema Upaya Penanggulangan Kejahatan…….. .......................... Kerangka Berpikir ..................................................................... Proses Analisis Data (Interactive Model of Analysis) .................. Zonasi Taman Nasional Wakatobi …………………………….. Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Wakatobi …………
commit to user
xiii
61 105 115 122 124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN BTNW CPTED DPRD IUCN KPA KSDA KSDAH&E KUHP MDK PBB PEH PHKA Polhut PPNS PPLH RPTN RTRW SDM SD SK SPTN SW TN TNC TNW UPT UU UUD WWF
: Balai Taman Nasional Wakatobi : Crime Prevention Through Environmental Design (Pencegahan Kejahatan melalui Desain Lingkungan) : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Internasional Union For Conservation of Nature : Kelompok Pencinta Alam : Konservasi Sumber Daya Alam : Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya : Kitab Undang-undang Hukum Pidana : Model Desa konservasi : Persatuan Bangsa-Bangsa : Pengendali Ekosistemn Hutan : Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam : Polisi Kehutanan : Penyidik Pegawai Negeri Sipil : Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup : Rencana Pengelolaan Taman Nasional : Rencana Tata Ruang Wilayah : Sumber Daya Manusia : Social Defence : Surat Keputusan : Seksi Pengelolaan Taman Nasional : Social Welfare : Taman Nasional : The Nature Conservation : Taman Nasional Wakatobi : Unit Pelaksana Teknis : Undang-Undang : Undang-Undang Dasar : World Wide Fondation
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Kawasan Taman Nasional Wakatobi 2. Matriks Penanganan Perkara Tindak Pidana Kepemilikan/penyalagunaan Bahan Peledak di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011 3. Daftar Penanganan Kasus Tindak Pidana Penggunaan Potasium Chyanida (KCn) di Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 2005 s.d 2011. 4. Daftar Penanganan Kasus Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrve di Taman Nasional Wakatobi sampai dengan Tahun 2009 5. Matriks Penanganan Kasus Tindak Pidana KSDA & E (Penangkapan dan Kepemilikan Satwa yang di Lindungi) di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2003 s.d 2010 6. Data Penyelesaian Kasus pelanggaran Tindak Pidana Pelaranggaran Zonasi Taman Nasional Wakatobi
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK La Fasa, S 331010304, Penegakan Hukum dengan upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Tesis: Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, dan untuk mengetahui upaya non penal (tanpa pidana) yang seharusnya dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Penelitian ini termasuk penelitian non doktrinal dengan menggunakan konsep hukum kelima, bahwa hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Pengumpulan data dilakukan dengan studi lapangan dan studi kepustakaan guna memperoleh data primer dan data sekunder. Dilihat dari bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian diagnostik dengan analisis data menggunakan metode kualitatif interaktif. Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yaitu : 1) faktor undangundangnya sendiri meliputi : perumusan tindak pidana dalam formulasi delik materiil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya dan masih abstrak/kurang jelas dalam prakteknya menyulitkan penegak hukum. 2) faktor aparat penegak hukum meliputi kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum dan terbatasnya kewenangan aparat penegak hukum . 3) faktor fasilitas pendukung atau sarana prasarana meliputi terbatasnya biaya operasional, manajemen pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik. 4) faktor masyarakat meliputi : dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan mereka terhadap upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, termasuk faktor kemiskinan. 5) faktor kebudayaan menunjukkan menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai-nilai konservasi yang dianut oleh masyarakat dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya Upaya yang seharusnya dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi tidak dapat dilakukan hanya dengan kebijakan penal (pidana) saja tetapi harus dilakukan melalui upaya integral antara kebijakan penal dan non penal (tanpa pidana). Kejahatan atau tindak pidana terjadi karena kondisi sosial yang menjadi faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, karena itu upaya non penal yang dapat dilakukan adalah meniadakan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kata kunci: Penegakan Hukum, Non Penal , Penanggulangan Tindak Pidana di commit to user bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional Wakatobi xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT La Fasa, S331010304. The Law Enforcement through Non-Penal Efforts as the Prevention of Crimes in the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem at Wakatobi National Park. Thesis: The Graduate Program in Law, Sebelas Maret University, Surakarta. The objectives of this research are to investigate: (1) the factors that affect the weakness of the law enforcement on the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park; and (2) the non-penal efforts that should be done as to prevent the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park. This research used the non-doctrinal diagnostic research method with the fifth law concept that law is the manifestation of symbolic meanings of the social behaviors as shown in their interaction among them. The data of this research were gathered through a field study and a library research as to obtain primary and secondary data. They were then analyzed by using the qualitative interactive method of analysis. The results of the research show that the factors which affect the weakness of the law enforcement on the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park are as follows: 1) law and regulation: the formulation of crimes in the substantive offense formulation in Law Number 5, Year 1990 on the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem is still not clear or visible, which inhibits the law enforcement apparatuses in its practice; 2) law enforcement apparatus: the quality, quantity, and authority of the law enforcement apparatuses are limited; 3) supporting facility and infrastructure: the fund allocated for the operational cost is limited, and the facility and infrastructure management is less good; 4) community: the community has a low understanding and knowledge, including poverty, on the efforts of conserving the biological resource and its ecosystem; and 5) culture: there are differences between the conservation values embraced by the community and the provisions contained by Law, Number 5, Year 1990 on the Conservation of Biological Resource and Its Ecosystem. The efforts that should be done to prevent the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park shall integratedly include both penal and non-penal policies. The crimes or offenses likely take place due to the conducive social conditions which enable them to happen. Therefore, the nonpenal effort which can be done to deal with such problem is eradicating the conducive factors which cause the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park to occur.
Keywords: Law enforcement, non-penal, and the prevention of the crimes in the conservation of biological resource and its ecosystem at Wakatobi National Park commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dianugrahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang melimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan,
dan
dimanfaatkan
secara
optimal
bagi
kesejahteraan
masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. 1 Pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi Undang-Undang dasar 1945. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.2 Indonesia dijuluki sebagai Mega Biodiversity Country atau negara yang memiliki keanekaragamai daratann hayati yang sangat tinggi. Julukan 1
Penjelasan Umum ,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Alinea ke-1 2 to user Undang-Undang Nomor 5 Tahun commit 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 3
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut tidak salah karena indonesia memang merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati di Indonesia sebanding dengan Brasilia yang luas daratannya 5 kali lebih besar dari daratan Indonesia.3 Indonesia memiliki potensi keanekaragaman spesies satwa yang sangat tinggi, yaitu sekitar 12% (515 species, 39% endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies, 150 endemik) dari total spesies reptilian, urutan keempat di dunia; 17% (1531 spesies, 397 endemik) dari total spesies burung di dunia, urutan kelima; 270 spesies amfibi, 100 endemik, urutan keenam di dunia; dan 2827 spesies binatang tidak bertulang belakang, selain ikan air tawar. Selanjutnya, Indonesia memiliki 35 spesies primata (urutan keempat, 18% endemik) dan 121 spesies kupu-kupu (44% endemik). Indonesia menjadi satu-satunya negara setelah Brazil, dan mungkin Columbia, dalam hal urutan keanekaragaman ikan air tawar, yaitu sekitar 1400 spesies . Dalam hal keanekaragaman tumbuhan, Indonesia menduduki peringkat lima besar di dunia; yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% endemik. Keanekaragaman palem di Indonesia menempati urutan pertama, mencapai 477, 225 endemik. Lebih dari setengah dari seluruh spesies (350) pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting (dari famili Dipterocarpaceae) terdapat di negara ini, 155 di antaranya endemik di Kalimantan.4 Perhatian dunia internasional sangat besar pula terhadap kelestarian keanekaragaman hayati yang dibangun melalui kesepakatan-kesepakatam internasional
antara
Negara-negara
anggota
diantaranya
Konvensi
Keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity) ditetapkan pada Earth Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT Bumi) di Rio de 3
Widada, dkk, Sekilas tentang Konservasi Sumber Daya Alama Hayati dan Ekosistemnya, Biodiversity Conservation Project, 2003, Bogor. hlm. 35 4 Pokja Kebijakan Konservasi, Konservasi Indonesia : Sebuah Potret dan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, 2008, Cet. I, hlm.21 Pokja Kebijakan Konservasi adalah salah satu Kelompok Kerja rekomendasi Sarasehan Nasional ”Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia” yang diselenggarakan 11 NGO ’konservasi’ yaitu Birdlife Indonesia, LATIN, WWF, RMI, Sylva Indonesia, PILI, Cifor, KEHATI, WARSI, ESP dan CI, serta PHKA-Dephut dan MFP-DFID pada 29 Agustus – 1 commit to user September 2005 di Wisma Kinasih, Bogor. .
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Janeiro, Brasilia pada tanggal 5 Juli 1990, dimana Indonesia merupakan salah satu anggota. Perjanjian ini merupakan kesepakatan yang mengikat secara hukum dimana semua anggotanya wajib mengembangkan usahausaha pelestarian keanekaragaman hayati, baik dengan perumusan kebijakan pembangunan negaranya maupun pada semua aksi atau programprogramnya. Kesepakatan ini menpunyai tiga tujuan utama, yakni 1. Perlindungan ragam hayati; 2. Pemanfaatan ragam hayati secara berkelanjutan; 3. Sumbangan keuntungan dari produk-produk baru yang dibuat dari jenisjenis liar atau domestik, yakni mengenai hak dan kepemilikan (properties rights) 5 Pada tahun 1994, Indonesia meratifikasi Konvensi Konservasi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994. Indonesia juga harus mengikuti apa yang
dimandatkan
dalam
konvensi
tersebut
serta
perkembangan-
perkembangan yang terjadi di dunia, khususnya yang berkaitan dengan upaya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam Article 8 Konvensi Konservasi Keanekaragaman Hayati ditetapkan bahwa setiap negara yang meratifikasi konvensi tersebut diwajibkan untuk menetapkan sistem kawasan yang dilindungi (protected area system). Disamping itu, pasal ini juga mensyaratkan agar setiap negara yang menjadi anggota konvensi ini, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di negara masingmasing, mengakui/menghormati, melestarikan dan memelihara pengetahuan, inovasi dan kegiatan-kegiatan dari masyarakat asli dan masyarakat setempat, yang terkandung didalam kehidupan mereka yang relevan dengan upaya konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari; mempromosikan aplikasinya yang lebih luas dan meningkatkan peranserta
5
Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 89
commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
para pihak; serta, mendorong teruwujudnya kesetaraan dalam berbagi manfaat/ keuntungan dari pemanfaatan hal-hal tersebut di atas.6 Di Eropa perhatian konservasi keanekaragan hayati , dapat dilihat lahirnya beberapa undang-undang: seperti Perlindungan jenis Burung dan perlindungan
Habitat
perlindungan untuk
konservasi
(Habitat
Directive).
Habitat habitat
Dalam
ditetapkan alam
dan
pengelolaan
kerangka fauna
liar
dan kerja
dan
flora
melalui jaringan Natura 2000. Tujuan utama dari Natura 2000 adalah memastikan perlindungan jaminan yang menguntung status konservasi habitat alam dan spesies dalam daerah-daerah. Anggota negara-negara Eropa diminta untuk menetapkan tindakan konservasi yang diperlukan dan rencana manajemen atau pengelolaan untuk menjamin keberlanjutan status habitat konservasi alam dan spesies, sebagaimana di tulis oleh Victoria Nunez dalam sebuah jurnal yang berjudul “Livestock management in Natura 2000: A case study in a Quercus pyrenaica neglected coppice forest” menulis sebagai berikut : “The concern regarding the conservation of biodiversity in Europe led to a series of legislation: such as the Birds Directive 79/409/EEC and the Habitats Directive 92/43/EEC . The Habitats Directive sets a framework for the conservation of natural habitats and wild fauna and flora through the Natura 2000 network. The main goal of Natura 2000 is ensuring “favourable conservation status” of natural habitats and species within these areas. European Member States are required to establish the necessary conservation measures and management plans to ensure the favourable conservation status of natural habitats and species .”7 Di Indonesia politik hukum pembangunan Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia sudah dimulai sejak jaman sebelum kemerdekaan yaitu jaman kolonial Belanda ,sesudah kemerdekaan, (Orde Lama, 1945-1965), Masa Orde Baru (1966-1999) sampai sekarang. 6
Pokja Kebijakan Konservasi,Op.Cit , hlm. 38 Victoria Nú˜neza, Ana Hernandob, Javier Velázqueza, Rosario Tejerab, Livestock management in Natura 2000: A case study in a Quercus pyrenaica neglected coppice forest, Journal for Nature Conservation 20 (2012) 1– 9, hlm. 1 7
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari beberapa dekade pemerintahan, pemerintah masa Orde Baru cukup memperlihatkan keseriusannya dalam perlindungan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, ini terlihat dengan dikeluarkannya 6 (enam) peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan konservasi alam, yaitu : 1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan;
2.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
3.
Undang-Undang Nomor 9 tahun Tahun 1985 tentang Perikanan
4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya.
5.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati
6.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan8 Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya alam hayati dan Ekosistemnya (KSDA & E) dianggap sebagai tonggak sejarah pelestarian alam di Indonesia karena dianggap telah ada hukum yang mengatur tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara utuh dan menyeluruh. Undang-undang lain yang ada terkait dengan konservasi alam hanya menyinggung sedikit saja. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah diatur secara jelas mengenai Kawasan Konservasi, Pengaturan untuk jenis yang dilindungi, namun untuk jenis satwa liar dan tumbuhan yang tidak dilindungi tidak ada pengaturan secara khusus. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini, mencabut Undang-undang yang commit to user 8
Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 77
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diterbitkan pada jaman kolonial Belanda yang sebelumnya masih berlaku saat itu yaitu : 1.
Ordonansi Perburuan (Jachtordonanntie 1931) , Stbl 1931 Nomor 133;
2.
Ordonansi
Perlindungan
Binatang-Binatang
Liar
1932
(Dierenbescherming-ordonanntie 1931 Stbl 1931 No:134) 3.
Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jactordonanntie java en Madoera 1940, Stbl 1939 No: 733
4.
Ordonansi
Perlindungan
Alam
(Natuurbeschhermingsordonanntie
1941, Stbl 1941 Nomor 167. 9 Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
dijelaskan bahwa
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya boleh dimanfaatkan semua pihak untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia, namun upaya pemanfaatan ini harus bijaksana dan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan bagi masa depan manusia. Dalam undang-undang ini disebutkan
juga larangan-larangan,
dan
sanksi
pidana bagi
yang
melanggarnya dalam kaitannya dengan upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan dalam kawasan konservasi. Strategi konservasi alam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah konservasi sejak jaman penjajahan Belanda. Kebijakan ini mengarah pada upaya preservasi-perlindungan. Oleh karena itu, muncul kawasankawasan cagar alam dan suaka alam atau suaka margasatwa. Pada umumnya luasnya relatif kecil karena untuk melindungi species tertentu, seperti kawasan cagar alam di Bengkulu yang khusus melindungi Rafflesia arnoldi, misalnya, yang hanya beberapa hektar. Namun demikian pada jaman itu, juga ada kawasan suaka alam yang cukup luas yaitu Leuser (400.000 Ha) yang ditetapkan pada 1934. Di era 1980, munculah konsep taman nasional, yang sebenarnya dicopi dari pemikiran dan gerakan konservasi dari kutub Amerika. Lima taman nasional pertama dideklarasi di Bali, yaitu 9
AA. Hutabarat, Rangkuman Peraturan Perundang-Undangan Kehutanan dan Konservasi commit user Intan Rejeki, Cet I, 2003, Jakarta, Hal Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. CV.toSamudra 22
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TN.Gunung Leuser, TN. Gede Pangrango, TN.Ujung Kulon, TN Baluran, dan TN Komodo, dengan total luas 1,4 juta Ha. Tentu saja, bagaimana cara mengelola taman nasional saat itu masih belum jelas dan masih mencari bentuknya. Sepuluh tahun kemudian, baru lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mensyarakatkan tidak kurang dari 11 peraturan pemerintah untuk melaksanakannya.10 Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor . 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya ,
pemerintah di wajibkan membentuk kawasan-kawasan konservasi sebagai upaya perlindungan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kategori kawasan konservasi
terbagi atas ; Kawasn Suaka Alam yang
terdiri dari : Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Kawasan Pelestarian Alam yang berupa Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya. Juga tetap mempertahan keberadaan Taman Buru seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang , Pengelompokan inilah yang sekarang dikenal dengan istilah kawasan konservasi hingga sekarang. Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi sebanyak 535 unit dengan luas sekitar 28,26 juta ha., sebagai salah satu strategi dalam melindungi keanekaragaman hayati tersebut dari berbagai ancaman dan pemanfatan yang tidak terkendali. Kawasan Konservasi ini di bagi menjadi Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.11
10
http://konservasiwiratno.wordpress.com/tantangan-pengelolaan-taman-nasional-diindonesia, di akses tanggal 3 Januari 2012, Jam, 10.00 WIB.
commit user Perundang-Undangan bidang Balai Taman Nasional Wakatobi, Sekilasto Peraturan Konservasi, TNW, 2007, hlm. 12 11
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Taman Nasional, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut disekitarnya ditunjuk kawasan konservasi atau Taman Nasional Laut
sebagai
berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No.393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut nomor : 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 , dengan luasan 1.390.000 Ha, terletak dalam wilayah administrasi Kabupaten Wakatobi yang terdiri dari 4 ( empat ) pulau besar (Wangi-Wangi,Kaledupa,Tomia dan Binongko) dan terbagi dalam 8 kecamatan. Secara geografis TNW berada di antara Laut Banda dan Laut Flores tepatnya pada koordinat 123°20¢- 124°39¢ bujur timur dan 5°12¢- 6°10¢ lintang selatan. Penduduknya pada tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas laki-laki 48.199 jiwa dan perempuan 51.293 jiwa, dengan pertumbuhannya rata-rata mencapai 1,73% per tahun dan kepadatan ratarata 119 jiwa/km2.12 Salah satu dasar pertimbangan Kepulauan Wakatobi dijadikan sebagai kawasan Taman Nasional adalah pertimbangan sisi ekologis dimana kawasan Wakatobi memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, peraiaran kepulauan Wakatobi berada pada wilayah “Coral Tri-Angle” atau wilayah
segitiga
terumbu
karang,
yaitu
wilayah
yang
memiliki
keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon.13
12
Wahju Rudianto (Kepala Balai TN Wakatobi), dan Priyambudi Santoso (Widyaiswara Kehutanan). Memilih Alternatif Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Yang Efektif, Makalah penugasan Diklat SECEM-Bogor, 2008, hlm. 3 13 user Balai Taman Nasional Wakatobi,commit RencanatoPengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Bau-Bau, 2010, hlm. 10
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling ekologis penting di Bumi dan menyediakan ekonomi, sumber daya hayati dan budaya yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pesisir. Degradasi global terumbu karang yang terjadi secara cepat sebagai akibat dari tekanan antropogenik langsung dan perubahan iklim global. Diperkirakan bahwa tanpa tindakan manajemen yang efektif dalam 20 berikutnya - 40 tahun, hampir 60 persen dari terumbu karang di planet kita akan menjadi jauh terdegradasi. Pihak pengelola wilayah pesisir harus merumuskan cara baru dan inovatif yang hemat biaya, hemat waktu, dan berulang untuk mengatasi masalah ini mempengaruhi lingkungan laut.14 Berdasarkan hasil citra satelit satelit Landsat 2003, diketahui bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 54.500 hektar. Di kompleks Pulau Wangi-Wangi dan sekitarnya (Pulau Kapota, Pulau Sumanga, Pulau Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk Pulau Kaledupa dan Pulau Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Di Pulau Tomia, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer.15 Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak di sebelah barat Pulau Lintea, sebelah selatan Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-wangi serta memanjang ke arah Tenggara dan Barat Laut dengan Panjang lebih kurang 49.26 km dan lebar 9.75 km. Atol Kaledupa merupakan atol tunggal terpanjang di Asia Pasifik.16
14
Wedding, Gibson, Walsh, Battista, Integrating remote sensing products and GIS tools to support marine spatial management in West Hawai, Journal of Conservation Planning Vol 7 (2011) 60 – 73, hlm. 61 15 16
commit to user(RPTN), Op.Cit, hlm. 11 Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Loc. Cit 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA&E) yaitu bahwa Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Demikian pula dengan pengelolaan kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi, pendekatan zonasilah yang digunakan dalam pencapaian tujuan pengelolaan konservasinya. Pembagian zonasi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (TNW) ditetapkan melalui Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK.149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli Tahun 2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi yang terbagi : Zona Inti, Zona Perlindungan Bahari, Zona Pariwisata, Zona Pemanfaatan Lokal, Zona Pemanfaatan Umum, dan Zona Khusus Daratan. Upaya pengelolaan dan pemanfaatan dalam kawasan Taman Nasional harus dilaksanakan sesuai dengan fungsi dan peruntukan zonasi. Setiap tindakan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukkan zonasi, maka kegiatan tersebut merupakan suatu kejahatan atau perbuatan pidana dan dikenakan sangsi pidana bagi pelakunya. Kebijakan penanggulangan kejahatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya ditempuh melalui kebijakan hukum pidana (penal policy). Undang-Undang ini secara tegas menyatakan bahwa terhadap tindakan atau perbuatan tidak bertanggungjawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumberdaya alam hayati dan commit to kerugian user ekosistemnya akan mengakibatkan besar bagi masyarakat yang
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Kenyataan faktual kebijakan pidana yang diterapkan tersebut belum signifikan memberikan perlindungan terhadap keutuhan kawasan konservasi dan perburuan atau penangkapan satwa dan pengambilan tumbuhan yang dilindungi serta belum menimbulkan efek jera terhadap para pelaku
kejahatan di bidang
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Di kawasan Taman Nasional Wakatobi kejahatan atau tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, masih saja terjadi. Pemanfaatan sumber daya alam yang merusak seperti pemboman penggunaan racun dalam penangkapan ikan dikawasan taman nasional belum dapat secara efektif di kendalikan termasuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi atau peruntukan zonasi. Disadari memang bahwa penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut disekitarnya sebagai kawasan
konservasi
atau
taman
nasional,
secara faktual
masih
menyisihkan sejumlah persoalan-persoalan baik ditingkat masyarakat maupun pada level pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi. Di masyarakat misalnya terjadi penolakan-penolakan terutama pada level masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dimana selama turun-temurun sejak dahulu sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan ini telah dijadikan sebagai tempat pencarian menangkap ikan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat masih sulit untuk mematuhi zonasi taman nasional walaupun dalam proses penetapannya juga melibatkan para stakeholder yang berkepentingan termasuk unsur perwakilan masyarakat di dalamnya. Terlebih lagi setelah Kepulauan Wakatobi mekar dari Kabupaten Buton sebagai sebuah wilayah kabupaten yang otonom tersendiri. Dampak yang muncul adalah terjadinya eksploitasi sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan Kabupaten Wakatobi sendiri. Hal ini tentunya merupakan masalah lebih kompleks lagi khususnya terkait commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persoalan kewenangan pengelolaan sumber daya alam di Kepulauan Wakatobi. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, dinyatakan bahwa tugas penegakan hukum meliputi perlindungan dan Pengamanan serta penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya garda terdepan di emban oleh Polisi Kehutanan (Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan selain dilaksanakan oleh Polisi, Jaksa dan Pengadilan (Hakim). Penegakkan hukum terhadap penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi selama ini dengan menggunakan sarana pendekatan hukum pidana (penal) telah dilakukan oleh Polisi kehutanan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi bekerjasama dengan Polri, Kejaksaan dan Pengadilan (hakim) serta instansi terkait lainnya. Namun kenyataan dilapangan belum menunjukkan pelaksanaan penegakan hukum belum secara optimal dapat menjerat semua pelaku pidana dan efek jera yang ditimbulkan juga belum optimal bagi pelaku dan calon pelaku tindak pidana. Ini terlihat dari data kasus yang ada beberapa pelaku tindak pidana adalah residivis atau pernah melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebelumnya dan pernah dihukum penjara terutama kasus pemboman
ikan
di
dalam
kawasan
Taman
Nasional.
Kegiatan
penangkapan ikan secara destruktif yaitu pemboman dan pembiusan ikan yang umumnya dilakukan oleh nelayan lokal maupun luar wakatobi masih saja terjadi termasuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peruntukan zonasi taman nasional, dan masalah yang sampai saat ini belum pernah diproses
secara
hukum
adalah
penambangan
batu
karang,
dan
penambangan pasir yang dilakukan oleh masyarakat lokal dikawasan commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Taman nasional Wakatobi. Hal tentunya akan berdampak pada kerusakan ekosistem dan keanekeragaman sumber daya alam hayati di kawasan ini. Dari data yang ada, kurun waktu tahun 2000 s.d 2011, laporan terjadinya tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi (TNW) sebanyak 34 (tiga puluh empat ) kasus. Hasil proses penegakan hukum diperoleh data 21 (dua puluh satu) kasus extract vonis di Pengadilan dan 13 kasus lainnya tidak dilanjutkan proses hukumnya.17 Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini:
commit user Pidana KSDA & E Balai Taman Data Laporan Matriks Penanganan Kasusto Tindak Nasional Wakatobi Tahun 2011 17
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1 Penyelesaian Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi periode tahun 2000-2011 No
Tindak Pidana Yang Terjadi
1 1.
2 Penggunaan/kepemilikan
Frekuensi
Undang-Undang
Pelanggaran
Yang Disangkakan
3
4
18 kasus
Bahan Peledak dalam
UU No. 12/Drt/19951
Proses Hukum Extract Tidak Vonis dilanjutkan 5 16 kasus
6 2 kasus
Tentang Senjata Api
Penangkapan Ikan di TNW
2.
Penggunaan Potasium
4 kasus
- UU No. 31 Tahun 2004
Cyanida (KCn) dalam
2 kasus
2 kasus
1 kasus
9 kasus
tentang Perikanan
Penangkapan Ikan di TNW
- UU No5 Tahun 1990 tentang KSDA &E - KUHP (pasal 480) - UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
3.
Kepemilikan Satwa Yang
10 kasus
Di Lindungi (Penyu) 4.
- UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDA &E
Pelanggaran Zonasi (Zona Inti)
1 kasus
- UU No. 5 Tahun 1990
1 kasus
tentang KSDA &E 5.
Penebangan Hutan Mangrove
1 kasus
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Jumlah
34 kasus
1 kasus 21 kasus
13 kasus
Sumber Data : Matriks Laporan Penanganan Kasus Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
Data diatas menunjukkan bahwa masih ada kasus-kasus tindak pidana yang terjadi di TNW yang tidak dapat dilakukan proses penegakkan hukumnya yaitu 39,39 persen atau 13 kasus dan hanya 21 kasus atau 61,76 persen yang vonis di pengadilan. Selain upaya penegakancommit hukumtomelalui user kebijakan hukum pidana, Balai
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Taman Nasional Wakatobi selaku otoritas pengelola kawasan juga telah melakukan penanggulangan kejahatan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan pendekatan kebijakan pencegahan tanpa pidana (non penal). Upaya ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan baik dilakukan oleh personil Polisi Kehutanan melalui kegiatan patroli rutin, penjagaan di pos jaga dan kegiatan kunjungan ke desa dalam kerangka pencegahan tindak pidana. Kegiatan lainnya adalah kegiatan sosialisasi pengelolaan, penyuluhan dan peningkatan kapasitas masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya serta kegiatan pemberdayaan masyarakat pada desa-desa pesisir di dalam kawasan . yang dilaksanakan oleh pejabat fungsional
Penyuluh Kehutanan atau PEH
(Pengendali Ekosistem Hutan). Namun kenyataan dilapangan kegiatankegiatan tersebut belum menunjukkan dampak keberhasilan sesuai dengan apa yang diharapkan . Gangguan keamanan terhadap kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) sampai saat ini masih terjadi, seperti penangkapan ikan dengan bom (bahan peledak), penggunaan bius atau racun , pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi TNW termasuk kegiatan merusak lainnya. Kondisi di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi baik melalui pendekatan penegakan hukum pidana maupun pencegahan tanpa pidana belum atau kurang berhasil. Penulis menduga bahwa terdapat kelemahan yang menjadi faktor penyebab dalam proses pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri baik berasal dari faktor internal pelaksana penegak hukum maupun yang berasal dari eksternal penegak hukum sehingga pencapaian sasaran penegakan hukum dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yaitu pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencurian atau pengambilan hasil laut tanpa izin (illegal fishing) seperti penggunaan bahan peledak/bahan kimia (Potassium commit user dapat menimbulkan kerusakan cyanida) dalam penangkapan ikanto yang
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ekosistem yang lebih luas baik dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya,18 kurang berhasil. Hal ini tentunya akan berdampak pada kurang berhasilnya pencapain visi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi yaitu “Terwujudnya TNW yang mantap, dinamis dan lestari serta dapat memberikan
manfaat
bagi
masyarakat
dan
daerah
secara
berkelanjutan”.(Mantap dari aspek kawasannya, dinamis dari aspek pengelolaannya, eksosistemnya).
lestari
dari
aspek
sumberdaya
alam
hayati
dan
19
Secara teoritis dinyatakan bahwa bahwa faktor sumber daya manusia (kualitas, kuantitas) khususnya aparat penegak hukum menjadi faktor yang sangat
strategis
dalam
menentukan
berhasil
tidaknya pelaksanaan
penegakan hukum pidana di masyarakat. Upaya lain selain pendekatan dengan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dikenal upaya pencegahan tanpa pidana (non penal) yang merupakan upaya yang sangat strategis dalam mencegah terjadi tindak pidana. Barda Nawawi Arief mengemukakan: “dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Posisis kunci dan strategis dalam menanggulangi sebabsebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.”20 Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “ PENEGAKAN HUKUM DENGAN UPAYA NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEMNYA DI TAMAN NASIONAL WAKATOBI”
18
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi (RPTN), Op.Cit, hlm. 90 Ibid, hlm. 37 20 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan commit to user Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Cet Ke-2, Jakarta, 2010, hlm. 42 19
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi seperti tersebut pada uraian latar belakang di atas, dalam penelitian ini, penulis membatasi fokus permasalahan dalam penelitian yaitu : pengkajian penegakan hukum melalui pendekatan hukum pidana dengan mengkaji faktor yang mempengaruhi kelemahan yang menjadi
faktor
penyebab
dalam
proses
penegakan
hukum
yang
menyebabkan kurang berhasilnya upaya penegakan hukum terhadap penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi dan pengkajian upaya non penal yang seharusnya dilakukan, yang secara teoritis merupakan upaya yang strategis dalam pencegahan terjadinya tindak pidana, menurut penulis juga dapat diterapkan dalam menanggulangi terjadinya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Untuk memperjelas atau mempermudah pemahaman permasalahan dalam penelitian ini , maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kelemahan
penegakan
hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ? 2.
Upaya Non-Penal (tanpa pidana) apakah yang seharusnya dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya commit to user Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi .
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Untuk mengetahui upaya Non Penal (tanpa pidana) yang seharusnya dilakukan dalam penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam penyelesaian perkara tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya. b. Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian berikutnya. 2. Manfaat Praktis a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemanpuan penulis dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah. b. Memberikan kontribusi terhadap berbagai pemecahan masalah khususnya tentang penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi dan daerah lain pada umumnya serta masukan bagi Kementerian Kehutanan selaku otoritas pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia.
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Penegakan Hukum di bidang KSDA & E Penegakan hukum adalah kata Indonesia untuk law enforcemet. Dalam bahasa Belanda dikenal rechtstoeppassing dan rechtshandhaving. Pemikiran yang dominan di sini mengatakan, penegakan hukum adalah suatu proses logis yang mengikuti kehadiran suatu peraturan hukum. Apa yang harus terjadi menyusul kehadiran peraturan hukum hampir sepenuhnya terjadi melalui logika. Logika menjadi kredo (keyakinan) dalam penegakan hukum.21 Penegakan hukum (pidana), apabila dilihat dari suatu proses kebijakan, pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan, pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap: Pertama, tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini dapat pula disebut tahap legislatif. Kedua, tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. Ketiga, tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif. 22 Dari pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa penegakan hukum adalah sebuah proses yang cukup sederhana dan otomatis yang dilaksanakan oleh pejabat negara mulai dari pembuatan dan penetapan undang-undang oleh legislatif, penerapannya oleh aparat penegak hukum dan pelaksanaan putusan
21
Sajipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Genta Publishing,Yogyakarta, 2010, hlm. 191 22 commit to Pidana, user Penerbit Nusa Media, Bandung, Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum 2010, hlm.4
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hakim oleh pejabat eksekutif. Penyataan ini mungkin dapat dikatakan benar jika konsep penegakan hukum hanya dilihat dari satu sisi normatif semata.
Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu hukum cara seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan pekerjaan menegakan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Di sini hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat sederhana. Dalam kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan yang terjadi penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan pada kenyataan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu empiris sama sekali tidak dapat mengabaikannya.23 Hukum berfungsi sebagai alat untuk pemenuhan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dapat hidup sehjatera. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan penataan kehidupan bersama yang mengacu pada patokan tingkat laku yang disepakati secara bersama, atau disebut hukum. Patokan tersebut dirumuskan dan ditetapkan oleh yang memiliki otoritas didalam masyarakat tersebut. Dalam patokan tingkah laku tersebut diatur hak dan kewajiban individu, baik dalam hubungan antar individual maupun yang berhubungan dengan urusan bersama dan publik. Di samping itu adanya pengaturan mekanisme hubungan dalam penerimaan dan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Apabila terjadi perilaku menyimpang ditentukan caracara penyelesaiannya termasuk sangsi jika diperlukan bagi perilaku yang menyimpang. Oleh karena itu berbicara penegakan hukum kita tidak bisa mengabaikan faktor-faktor diluar hukum itu sendiri seperti nilai-nilai sosial yang diyakini oleh masyarakat (pandangan tentang baik dan
commit to Perspektif user Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Kebijakan Hukum Pidana, UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press), Cet-1, Surakarta, 2008, hlm. 60 23
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
buruk), struktur social termasuk kebiasaan-kebiasan masyarakat itu sendiri. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Melalui penegakan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit).24 Menurut
Black’s
Law
Dictionary,
penegakan
hukum
(law
enforcement), diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or command”. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundangundangan (law making process).25 Selain itu dalam Black’s Law Dictionary, dengan editor Bryan A. Garner menerjemahkan penegakan hukum sebagai pertama; The detection and punishment of violations of the law. The term is not limited to the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of Information Act contains an exemption for law-enforcement purposes and furnished in confidence. That exemption is valid for the enforcement of a variety of noncriminal laws (such as national-security laws) as well as criminal laws. Kedua; Criminal justice. Ketiga; Police officers and other 24
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu pengantar, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010, hlm. 207 25 Yohanes Suhardin, Kebijakan Penegakan Hukum yang Responsfi dan Progresif, http://johnforindonesia.blog.com/2009/09/13/kebijakan-penegakan-hukum-yang-responsif-danprogresif, Diakses tanggal 20 Maret 2012 Jam 12.30 di Kota Surakarta
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
members of the executive branch of government charged with carrying out and enforcing the criminal law.26 Penegakan
hukum
merupakan
sub-sistem
sosial,
sehingga
penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks tersebut. Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.27 Pada bahwa
saat
penegakan
menggembirakan.
ini
dapat hukum
diamati, berada
Masyarakat
dilihat
dalam
dan
posisi
mempertanyakan
dirasakan yang
kinerja
tidak aparat
penegak hukum dalam pemberantasan berbagai tindak pidana yang terjadi saat ini di Indonesia. Ketidakpuasan masyarakat
saat ini atas
kinerja aparat penegak hukum menimbulkan perlawanan/penolakan, hal justru menambah daftar hitam pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia. Beberapa kasus yang saat ini muncul dan menjadi tragedi nasional yang memilukan atas praktek penegakan hukum yang dinilai 26
Loc.Cit commit to user Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 8 27
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh masyarakat sangat tidak adil antara lain seperti kasus Mesuji di Lampung, kasus sape Bima Nusa Tenggara Barat, kasus sandal jepit di Palu dan beberapa kasus lainnya yang justru mendapatkan simpati dan dukungan atas perlawanan masyarakat tersebut. Ini menunjukkan bahwa saat ini penegakan hukum yang ada hanyalah selalu mengejar kepastian hukum semata sementara rasa keadilan bagi masyarakat dan kemanfaatan sosialnya belum menjadi porsi yang sama dalam pertimbangan keputusan dalam proses penegakan hukum kita saat ini. Pengadilan
yang
merupakan
representasi
utama
wajah
penegakan hukum dituntut untuk mampu melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan
sosial
melalui
putusan
–
putusan
hakimnya.
Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum diatas
telah
mendorong
meningkatnya
ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum. Adanya penilaian dari masyarakat atas kinerja aparat penegak hukum menunjukkan bahwa hukum /pengadilan tidak dapat melepaskan diri dari struktur sosial masyarakatnya. Hukum tidaklah steril dari perilaku – perilaku sosial lingkungannya. Oleh karena itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada putusan pengadilan keadilan
yang dipandang hidup
bertentangan
dengan
nilai
–
nilai
dan tumbuh di tengah – tengah masyarakat.
Persoalannya tidak akan berhenti hanya sebatas munculnya opini publik, melainkan berdampak sangat luas yaitu merosotnya citra lembaga hukum di mata masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan luntur
dan
mendorong
munculnya
situasi
anomi.
Masyarakat
kebingungan nilai – nilai mana yang benar dan mana yang salah. Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat penegakan hukum dengan pengamatan demikian itu. Sesuai dengan tradisi empiriknya, to user maka dalam pengamatancommit terhadap kenyataan penegakan hukum, faktor
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manusia sangat terlibat dalam usaha menegakan hukum tersebut. Penegakan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Hal ini berarti bahwa penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logislinier, melainkan sesuatu yang kompleks. Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan semua faktor yang menyertainya. Penegakan hukum lalu bukan lagi merupakan hasil deduksi logis, melainkan lebih merupakan pilihan-pilihan. Dengan demikian, luaran (out put) dari penegakan hukum tidak hanya didasarkan pada ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut logika”.28 Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal-balik yang erat dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam membicarakan penegakan hukum, sebaliknya tidak diabaikan pembahasan mengenai struktur masyarakat yang ada di belakangnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan atau kurang dapat dijalankan dengan seksama.29 Dari beberapa defenisi diatas jelas bahwa penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan – kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat 28
Satjipto Raharjo, Op. Cit , hlm.192 to userTinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Satjipto Rahardjo, Penegakan commit Hukum, Suatu Yogyakarta, 2009, hlm. 31. 29
24
perpustakaan.uns.ac.id
semata-mata
digilib.uns.ac.id
dianggap
sebagai
sebagaimana pendapat kaum
proses
menerapkan
hukum
legalistik. Namun proses penegakan
hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui
bahwa
problem-problem
hukum
yang
akan
selalu
menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”. Leden Marpaung mengatakan : “Penegakan hukum tidak berlangsung dalam suasana vakum atau kekosongan sosial. Yang dimaksud dengan kekosongan sosial adalah tiadanya proses-proses di luar hukum yang secara bersamaan berlangsung dalam masyarakat. Proses-proses tersebut adalah seperti ekonomi dan politik. Penegakan hukum berlangsung ditengah-tengah berjalannya proses-proses tersebut. Dengan dikeluarkannya undang-undang misalnya maka tidak sim salabin lalu segalanya menjadi persis seperti dikehendaki oleh undang-undang itu. Hubungan kompetitif, tarik menarik dan dorong mendorong antara hukum dan bidang serta proses lain diluarnya tetap saja terjadi. “30 Menurut Marc Galanter dalam Satjipto Rahardjo, “Bahwa penegakan hukum tidaka sesederhana yang kita duga, melainkan bahwa penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan kompleks. Dalam ilmu hukum normative kompleksitas itu di abaikan, sedangkan sebagai ilmu yang empiric tidak dapat mengabaikannya. Sosiologi hukum berangkat dari kenyataan, yaitu melihat berbagai kenyataan, kompleksitas, yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kenyataan itu membentuk maksud dengan melihat hukum dari (from the other end of the telescope) “Unjung yang lain dari teleskop”. Oleh karena memasukan kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, maka dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variabel.” 31
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide dan cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas 30 31
Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 61 commit Loc.Cit.
to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nyata. Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut manpu diimplementasikan atau tidak. Menurut Soerjono Soekanto, “ secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”32 Satjipto Raharjo mengatakan Penegakan hukum merupakan suatu usaha
mewujudkan
ide-ide
tersebut
menjadi
kenyataan.
Proses
perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakekat dari penegakan hukum.33 Selanjutnya beliau mengatakan bahwa, penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.34 Sudah seharusnya bahwa hukum yang dibuat atau diciptkan oleh lembaga/Negara mencerminkan nilai-nilai yang telah disepakati atau telah diyakini oleh masyarakat sebagai norma-norma yang harus di taati dalam kehidupan bersama, sehingga hukum tersebut dapat di terima dan dijalankan secara sukarela oleh masyarakat. Dalam teori sosiologis dinyatakan hukum akan berlaku efektif ketika penerimaannya secara sukarela oleh masyarakat. Perumusan hukum atau suatu peraturan yang mencerminkan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat tersebut benar dan adil akan berdampak pada kepatuhan masyarakat dan keberhasilan dalam penegakannya. Oleh karena itu penegakan hukum harus selalu 32
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. Kata Pengantar Editor commit to user Loc.Cit 34 Ibid, hlm. 24 33
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang diyakini dapat di implemetasikan baik aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat yang terkena dampaknya, sehingga asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang menjadi tujuan penegakan hukum itu sendiri tercapai yang akhirnya menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam hidup masyarakat. Dari kajian teori-teori diatas menunjukkan bahwa proses penegakan hukum disamping dipengaruhi oleh faktor hukumnya sendiri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar hukum itu sendiri (faktor sosial dan budaya). Faktor-faktor diatas kiranya dapat menjadi kajian para pengambil kebijakan dalam hal perumusan penegakan hukum yang baik guna mewujudkan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat. Faktor perumusan tindak pidana yang baik, aparat yang berkualitas dengan kuantitas yang seimbang beban tugas yang diberikan, sarana prasarana yang optimal sangat menentukan proses keberhasilan penegakan hukum disamping dukungan atau kepatuhan masyarakat serta faktor kebudayaan khusus nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat menjadi faktor yang berpengaruhi dalam penegakan hukum. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penegakan hukum sudah dimulai sejak undang-undang tersebut dirumuskan. Perumusan undang – undang yang baik apabila selaras dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat yakni nilai-nilai yang baik yang harus ditaati dan nilai-nilai buruk yang harus di hindari. Ketika suatu rumusan tindak pidana sama dengan nilai yang dianut oleh masyarakat sebagai perbuatan yang dicela, maka akan secara spontan ketentuan tersebut dapat diterima atau dipatuhi oleh masyarakat sehingga dengan sendirinya proses penegakan hukum akan mendapat dukungan dari masyarakat yang berdampak pada pencapaian keberhasilan penegakan hukum itu sendiri. Menurut Barda Nawawi Arief, “banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas penegakan hukum. Faktor itu dapat berupa kualitas individual (SDM), kualitas commit to user institusional/struktur hukum (termasuk mekanisme tata kerja dan 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
manajemen), kualitas sarana/prasarana, kualitas perundang-undangan (substansi hukum), dan kualitas kondisi lingkungan (sistem sosial, ekonomi, politik, budaya; termasuk budaya hukum masyarakat. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas penegakan hukum harus mencakup keseluruhan faktor/kondisi/kausa yang mempengaruhinya.”35 Hukum merupakan pelembagaan dari perubahan, maka mestinya penegakan hukum juga berfungsi sebagai sarana untuk menciptakan perubahan atau melakukan pembangunan. Ciri-ciri yang sebaiknya ada pada penegakan hukum untuk pembangunan adalah : 1.
Mempunyai kesadaran lingkungan, artinya tindakan-tindakan dalam penegakan hukum hendaknya mengait kepada proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik dan sebagainya.
2.
Menyadari kedudukan dan kualifikasinya sebagai suatu badan yang harus ikut mengerakkan perubahan-perubahan.
3.
Penegakan hukum akan banyak terlibat kepada masalah pembuatanpembuatan keputusan daripada sekedar menjadi badan yang melaksanakan saja. 36 Penegakan hukum dilihat dari kacamata normatif memang
merupakan permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari kacamatan sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang panjang dan merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa, “Penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya ( di bidang penegakan hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum kejaksaan, aparata pengadilan, dan aparat pelaksana pidana).”37
35
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Cet Ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007,hlm.20 36 commit to user Sajipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 140 37 Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm.61
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari berbagai defenisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa penegakan hukum adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia untuk pencapaian ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat dengan mengacu pada prinsip keadilan , kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Strategi penegakan hukum nasional dititikberatkan kepada upaya pencegahan atau preventif. Sarana preventif yang bersifat operasional adalah
dilaksanakannya
secara
cermat,
lengkap,
jelas
prosedur
perijinannya dan tahap berikutnya terlaksananya kegiatan pembinaan, pengawasan dan pemantauan secara konsisten,efisien dan efektif. Selanjutnya apabila hal tersebut tidak berhasil atau tidak manpu mencegah terjadinya pelanggaran, baru memasuki tahapan yang bersifat represif.38 Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrument bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan, seperti penindakan secara pidana.39 Politik Hukum pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemmnya. Menurut Adi Sulistiyono,: “Politik Hukum adalah Kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara dalam merencanakan, memberlakukan, menegakkan hukum untuk
38 39
Ibid, hlm. 59 Loc.Cit
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membangun sistem hukum dalam upaya mencapai tujuan Negara sebagai diamanatkan konstitusi”40 Dalam
undang-undang
tersebut
diatur
mengenai
strategi
pembangunan konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia melalui pembentukan atau penetapan kawasan-kawasan konservasi baik di darat maupun di wilayah perairan, model-model pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia termasuk norma/ketentuan tentang perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan yang bersanksi pidana penjara dan denda jika norma tersebut dilanggar. Strategi penegakan hukum pidana atas ketentuan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tersebut dilaksanakan baik melalui pendekatan preventif/pencegahan maupun pendekatan represif/penerapan sanksi pidana (penyidikan, penuntutan dan peradilan pidana) bagi pelaku. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan bahwa dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen/kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.41 Disamping itu dalam rangka tugas perlindungan dan pengamanan kawasan hutan termasuk kawasan konservasi juga telah ada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus
40
Adi Sulistiyono, Pengertian Dasar Politik Hukum, Materi Kuliah Politik Hukum, Pada commit to Maret user Surakarta, 2011, hlm. 10 Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Sebelas 41 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 39 ayat (1)
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yaitu Polisi kehutanan (Polhut).42 Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional, tugas penegakan hukum dalam rangka pengamanan dan perlindungan kawasan taman nasional dan penyidikan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diemban oleh Polisi Kehutanan (Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan selain dilaksanakan oleh Polisi, Jaksa dan Pengadilan (hakim). Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan pusat
dan
daerah
yang
sesuai
dengan
sifat
pekerjaannya,
menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.43 Polisi Kehutanan (Polhut) memiliki wewenang kegiatan dan tindakan kepolisian khusus di bidang kehutanan yang bersifat preventif, tindakan administrasi dan operasi represif meliputi : a.
Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
b.
Memeriksa
surat-surat
dokumen
yang
berkaitan
dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; c.
Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d.
Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
e.
Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang;
42
Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 32 ayat
43
Ibid, Pasal 1 ayat (2)
commit to user
(1)
31
perpustakaan.uns.ac.id
f.
digilib.uns.ac.id
Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; dan
g.
Atas
perintah
pimpinan
berwenang
untuk
melakukan
penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka.44 Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kehutanan adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.45 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 39 dinyatakan wewenang penyidik pegawai negeri sipil kehutanan sebagai berikut : a.
Melakukan pemeriksaan atas laporan atau keterangan berkenan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
b.
Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
c.
Memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;
d.
Melakukan penggeledahan dan penyitaan barang-bukti tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
e.
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
f.
44 45
Membuat dan menandatangani berita acara;
Ibid, Pasal 36 Ibid, pasal 1 ayat (3)
commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
g.
digilib.uns.ac.id
Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), ketika melakukan tugas penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Pejabat Penyidik Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 107 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.46 Di dalam menjalankan tugasnya Pejabat Pegawai Negeri Sipil Kehutanan berada di bawah koordinasi dan pengawasan Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.47 Dari penjelasan di atas diperoleh gambaran bahwa upaya penegakan hukum terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, secara preventif atau tindakan pencegahan dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan secara represif atau penerapan/penegakan hukum pidana dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan selain dilaksanakan oleh penyidik Polri, Kejaksaan dan Hakim (Pengadilan).
2. Koservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia
Konservasi itu sendiri berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh
46 47
commit to userPasal 39 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004, Op.Cit, Pasal 39 ayat (3) 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Theodore Roosevelt
yang merupakan orang Amerika pertama yang
mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).48Sedangkan menurut Rijksen , konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi
dari
segi
ekonomi
berarti
mencoba
mengalokasikan
sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.49 Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut : 1.
Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
2.
Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial (Randall, 1982).
3.
Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980). 50
48
http://susilofy.wordpress.com/2011/02/18/pengertian-konservasi, Diakses tgl 18 Juni 2011 http://www.konservasi.co.cc/2010/07/sejarah-pengertian-dan-definisi.html, Diakses tgl commit to user 18 Juni 2011 50 Loc.cit 49
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengertian Konservasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya (KSDA & E), mendefenisikan Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Sedangkan tujuan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sumber daya alam hayati adalah unsur -unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem52 Dari beberapa pengertian dan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah upaya pengaturan dan perlindungan atau pelestarian sumber daya alam yang dilaksanakan dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem alam agar dapat dimanfaatkan selamanya bagi kesejahteraan hidup umat manusia. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menurut undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara 51
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Lux, CV Widya commit to user Karya, Semarang, 2005, hlm. 262 52 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Op.Cit, Pasal 1 angka (1),(2) dan Pasal 3
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Ketiga hal ini dianggap sebagai prinsip dan acuan dalam pengelolaan konservasi di Indonesia. Secara sederhana, kegiatan konservasi pada dasarnya mencakup tiga unsur kegiatan yang saling terkait, yaitu : 1. Melindungi dan menyelamatkan ragam hayati (saving) 2. Mengkaji ragam hayati (studying) 3. Memanfaatkan ragam hayati (using) 53 Dalam penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya dinyatakan sebagai berikut : “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan : a. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan. Kehidupan merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses yang berkait satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi, apabila terputus akan mepengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan tidak terduga yang akan mempengaruhi kemampuan sumber daya alam hayati, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakantindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air,tebing,tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidorlogi hutan,perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai;perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam dan lain-lain b. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa beserta ekosistemnya. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terdiri dari unsur hayati dan non-hayati (baik fisik maupun nonfisik). Semua unsur ini sangat berkait dan pengaruh mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur yang lain. Usaha dan tindakan konservasi untuk menjamin keanekaragaman jenis meliputi penjagaan agar unsur-unsur tersebut tidak punah dengan tujuan agar masing-masing unsur dapat berfungsi dalam alam dan agar senantiasa siap untuk sewktu-waktu dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. 53
Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 48
commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilaksanakan di dalam kawasan (konservasi in-situ) ataupun di luar kawasan (konservasi exsitu) c. Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Usaha pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya merupakan usaha pengendalian/ pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus pada masa yang akan datang.” Banyak kalangan khususnya masyarakat masih sering mengatakan bahwa konservasi adalah hanya indentik dengan pelarangan atau perlindungan sumber daya alam. Pendapat ini tentunya sangat keliru jika kita memperhatikan beberapa penjelasan di atas bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilaksanakan bukan hanya upaya perlindungan dan pengawetan tetapi juga dalam pemanfaatan sumber daya itu sendiri. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilaksanakan dalam rangka menjamin kelestarian dan keanekaragaman sumber daya alam tersebut sehingga masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya alam terus secara terus menerus tanpa menghilang atau terjadinya kepunahan atas sumber daya alam. Jadi jelas kiranya bahwa upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilaksanakan dalam rangka mendukung upaya peningkatan kesehateraan masyarakat saat ini dan yang akan datang. Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi yaitu : a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga
kehidupan
bagi
kelangsungan
pembangunan
dan
kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipetipe ekosistemnya sehingga manpu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan
dan
teknologi
yang
memungkinkan
pemenuhan
kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi commit to user kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah); 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan
dan
teknologi
yang
kurang
bijaksana,
belum
harmonisnya penggunaan dan peruntukkan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik didarat maupun diperairan, dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari.) 54 Seperti yang telah diuraikan pada halaman latar belakang di atas bahwa dalam rangka upaya perlindungan dan pemanfaatan yang bijaksana potensi keanekaragam hayati, pemerintah membentuk kawasankawasan konservasi, yang meliputi Kawasn Suaka Alam yang terdiri dari : Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, Kawasan Pelestarian Alam yang berupa Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya serta Taman Buru. Kawasan Konservasi adalah bagian dari wilayah daratan atau lautan yang perlu dan sengaja disisihkan dari segala bentuk eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya alam hayati, sehingga terjamin keberadaannya secara lestari.55 Dalam penelitin ini, lokasi kajian penelitian dilakukan pada kawasan Pelestarian Alam yaitu Taman Nasional, karena itu penelitian ini lebih khusus mengkaji pengelolaan Taman Nasional sebagai kawasan konservasi. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang menpunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.56
54
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, Gajah Mada University Press, Cet. 1-Yogyakarta, 1991, hlm. 2 55 Widada, dkk, Op.Cit, hlm. 93 56 commit to user Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 1 angka (13),(14)
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari pengertian ini menjelaskan bahwa penetapan suatu kawasan taman nasional diperuntukan untuk : Kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Fungsi pemanfaatan secara langsung
pada kawasan taman nasional
adalah fungsi menunjang budidaya, pariwisata alam dan rekreasi. Masyarakat dapat memanfaatkan kawasan taman nasional untuk kegiatan penyediaan sumber bibit atau benih dalam kegiatan budidaya di luar kawasan taman nasional, kegiatan pariwisata alam dan rekreasi dalam kawasan. Untuk mewujudkan tujuan dan fungsi pengelolaan Taman Nasional, maka pengelolaan Taman Nasional di lakukan dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan Kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.57 Zona dalam Taman Nasional terdiri dari : 1.
Zona inti;
2.
Zona rimba; Zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan;
3.
Zona pemanfaatan;
4.
Zona lain, antara lain: Zona tradisional; Zona rehabilitasi; Zona religi, budaya dan sejarah; dan Zona khusus. 58 Penetapan zonasi atau ruang-ruang/wilayah
dalam pengelolaan
taman nasional ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pengelolaan
yaitu
perlindungan
system
penyangga
kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta 57
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi commit to user Taman Nasional 58 Loc.Cit
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan bahwa setiap perbuatan atau aktivitas yang tidak sesuai dengan fungsi atau peruntukan zona di taman nasional adalah merupakan perbuatan atau tindakan pidana yang dapat dijatuhi sangsi pidana penjara dan denda. Tentu hal ini sangat diperlukan sebagai langkah untuk mencegah dan membuat efek jera bagi pelaku pelanggaran atas zonasi dalam pengelolaan taman nasional. 3. Upaya Penanggulangan Kejahatan atau Tindak Pidana Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.59 Bonger menyatakan bahwa commit to user http://library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin1.pdf, diakses Tgl 9 Juni 2011, Jam 13.00 WIB 59
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
“kejahatan adalah merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa berupa pemberian derita dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.60 Dari pengertian diatas secara umum dapat disimpulkan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentang dengan ketentuan undang-undang atau perbuatan yang melawan hukum, merugikan kepentingan individu atau kepentingan umum, dapat dicela oleh masyarakat serta bersangsi pidana bagi yang melanggarnya. Menurut Clarke dan Cornish yang dikutip oleh Ozkan GOK yang ditulis dalam sebuah jurnal yang ber judul “The Role of Opportunity in Crime Prevention and Possible Threats of Ciıme Control Benefits,” mengatakan “ “Crime is a result of rational choices based on analyses of anticipated costs and benefits. Individuals choose to commit crime to somehow maximize their benefits and minimize their costs. Both benefits and costs have subjective and objective dimensions.”61 (Kejahatan adalah hasil dari pilihan rasional berdasarkan analisis biaya dan manfaat yang diantisipasi. Individu memilih untuk melakukan kejahatan entah bagaimana memaksimalkan manfaat dan meminimalkan biaya mereka. Kedua manfaat dan biaya memiliki dimensi subjektif dan objektif.) Selanjutnya Ozkan GOK mengatakan bahwa ada dua pilihan untuk
mencegah kejahatan: yang pertama adalah mencoba untuk menghapus kecenderungan pelaku untuk melakukan tindak pidana , dan yang kedua adalah untuk menghilangkan peluang kejahatan atau kesempatan yang dimiliki pelanggar/pelaku.62 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). 60
http://nasrullaheksplorer.blogspot.com/2008/10/pengertian-kejahatan.html, diakses Tgl 9 Juni 2011, Jam 10.00 WIB 61 Ozkan GOK, The Role of Opportunity in Crime Prevention and Possible Threats of Ciıme Control Benefits, Polis Bilimleri Dergisi Cilt:13 (1) , Turkish Journal of Police Studies Vol: 13 (1), commit to user 2011, ss.97-114, hlm.100 62 Ibid, hlm 98
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat”.63
Menurut
Mardjono
Reksodiputro,
penanggulangan kejahatan merupakan usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.64 Sekiranya penanggulangan kejahatan (politik criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), kebijakan hukum pidana (penal policy), harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan sosial, berupa social welfare dan social defence. Hal ini dapat dikaitkan dengan segala upaya peningkatan kehidupan masyarakat dalam bentuk program pembangunan ataupun usaha-usaha recovery tetap dalam kerangka mewujudkan tujuan Negara, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.65
Upaya penanggulangan kejahatan dilaksanakan secara terintegrasi yakni upaya pelaksanaan penegakan hukum dan pelaksanaan kebijakan sosial dalam pembangunan. Maksudnya adalah bahwa upaya penegakan hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan (politik kriminal) harus dikaitakan dan dilihat sebagai upaya perbaikan kondisi-kondisi sosial sebagai dampak dari pelaksanaan pembangunan guna mewujudkan perlindungan masyarakat dalam rangka pencapaian kesejahteraan masyarakat baik material maupun spiritual (kebijakan sosial). Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : 1.
Penerapan Hukum Pidana (criminal law application);
2.
Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
63
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 4 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 3 65 commit to user Hukum Pidana, P.T. Alumni Supanto, Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan ,Bandung, 2010, hlm. 176 64
42
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media) 66 Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakekatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana) oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa
politik hukum pidana merupakan pula dari kebijakan penegakan hukum. Politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah : a.
Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.
b.
Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan
yang
dikehendaki
yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicitacitakan. 67 Bertolak
dari
pengertian
demikian,
Sudarto
selanjutnya
menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan
pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang.68 Selanjutnya
menurut
A.
Mulder
Politik
Hukum
Pidana
(Strafrechtspolitiek) ialah garis kebijakan untuk menentukan : 1.
Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui.
66
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 41 commit Ibid, hlm 26 68 Loc.Cit 67
to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3.
Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. 69 Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana
(penal policy) mengandung masalah sentral, yakni (1) perbuatan apa yang perlu ditentukan sebagai tindak pidana, (2) masalah pelakunya menyangkut kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan (3) sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan pada pelaku.70 Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “nonpenal” (bukan/di luar hukum pidana). Upaya-upaya yang disebut dalam butir (2) dan (3) dimasukan dalam kelompok upaya “nonpenal”. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan
pada
sifat
“repressive”
(penindasan
/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/pengendalian)
sebelum
kejahatan
terjadi.71Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non-penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung
dapat
menimbulkan
atau
menumbuhsuburkan
kejahatan.72 Secara umum dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan kejahatan atau tindak pidana dapat ditempuh melalui tindakan melalui penegakan/penerapan
hukum pidana yang berfokus pada tindakan
69
Ibid, hlm 166 Supanto, Op.Cit, hlm 211 71 commit Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 42 72 Loc.Cit 70
to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
represif atau upaya penanggulangan kehajatan setelah terjadinya tindakan atau perbuatan pidana dan upaya penanggulangan kejahatan melalui tindakan pencegahan tanpa pidana (non penal) yaitu upaya penanggulangan sebelum terjadinya tindak pidana, yang dilaksanakan melalui kebijakan sosial dengan menangani atau mencegah faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Dilihat
sebagai
suatu
masalah
kebijakan,
maka
ada
yang
mempermasalahkan apakah perlu kejahatan itu ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan dengan menggunakan sanksi pidana. Menurut Roeslan Saleh, ada tiga alasan yang cukup panjang mengenai perlunya pidana dan hukum pidana yaitu sebagai berikut: 1.
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam perimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
2.
Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak menpunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.
3.
Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi, juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat. 73
commit to user 73
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 22
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tujuan pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.74 Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R dan satu D, yaitu Reformation: berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat.; Restraint: maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat.; Retribution : pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.; Deterrence yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence. (pencegahan khusus dan pencegahan umum), berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.75 Di Indonesia penggunaan sarana hukum pidana tampaknya merupakan suatu kebijakan yang sudah dapat diterima oleh semua pihak, terbukti selalu hadirnya sanksi pidana dalam setiap kebijakan pembuatan suatu peraturan perundangan. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal. Tetapi permasalahan yang muncul, kebijakan yang bagaimana yang harus ditempuh, agar kebijakan penggunakan sanksi pidana dalam setiap perundangundangan benar-benar dapat efektif, kehadirannya dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Dapat berhasil dan berdaya guna. Hukum
pidana
dapat
ditetapkan
sebagai
sarana
untuk
menanggulangi kejahatan maka harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. Faktor-faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana tersebut antara lain dikemukakan oleh Sudarto sebagai berikut :
74
Andi Hamzah, Asas-Asan Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cet. Kedua (edisi revisi), commit to user Jakarta, 1994, hlm. 27 75 Ibid, hlm. 28-29
46
perpustakaan.uns.ac.id
1.
digilib.uns.ac.id
Penggunaan
hukum
pidana
harus
memperhatikan
tujuan
pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil
spiritual berdasarkan Pancasila;
sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat.
3.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) .
4.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemanpuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) 76 Pada prinsipnya penggunaan hukum pidana, menurut penulis
sampai
saat
inipun
harush
tetap
digunakan
dalam
upaya
penanggulangan kejahatan, hanya saja memang ada beberapa hal yang mestinya harus diperhatikan khususnya para penegak hukum dalam praktek atau penerapannya. Beberapa keluhan masyarakat menilai bahwa praktek penegakan hukum di Indonesia saat ini terkadang masih terkesan pilih kasih dan lebih mementingkan
kepastian hukum
sementara sisi keadilan dan kemanfaatan sosialnya kurang menjadi perhatian, tidak jarang proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat justru mendapatkan perlawanan dari masyatakat. Menurut peneliti, ketiga unsur (keadilan, kepastian dan kemanfaatan) yang menjadi tujuan hukum, harus menjadi pertimbangan yang sama dalam penegakan hukum. Seperti yang dikemukakan oleh Sudarto diatas, mestinya suatu perbuatan pidana yang akan diproses sampai ke commit to user 76
Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 168
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengadilan harus merupakan perbuatan yang betul-betul merupakan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan masyarakat banyak , tentunya hal ini tidak mudah, diperlukan integritas dan komitemen aparat penegak hukum yang kuat. Kewenangan menggunakan diskresi penegak hukum mungkin dapat menjadi pertimbangan. Hal ini jelas perlu diantisipasi dengan pengaturan yang lebih rinci, limitatif dan memiliki tolak ukur yang obyektif unutk menilai bagaimana aparat penegak hukum harus menjalankan tugas dan wewenangnya.. Seperti juga dikemukanan oleh Ted Honderich berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1.
Pidana itu sungguh-sungguh mencegah.
2.
Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan.
3.
Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil. 77 Penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan
bersifat sistemik menjadi bagian yang integral dengan perencanaan pembangunan nasional. Kongres PBB mempermasalahkan hubungan antara kebijakan pembangunan nasional dengan peningkatan kejahatan, seperti kongres PBB 1980 di Venezuela, Kongres PBB VII 1985 di Milan.78 Dari sebagian pernyataan-pernyataannya dapat dipahami bahwa pembangunan itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen, apabila pembangunan itu direncanakan secara rasional, tidak timpang atau seimbang, tidak mengabaikan nilai-nilai kultural, dan moral serta mengandung strategi perlindungan masyarakat yang integral. Sebaliknya, kebijakan pembangunan dapat bersifat kriminogen apabila tidak direncanakan secara rasional, timpang atau tidak 77 78
commit Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 35 Supanto, Op.Cit. hlm. 175
to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural, serta tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral.79 Disadari bahwa upaya penanggulangan kejahatan dengan penggunaan hukum pidana memiliki bersifat terbatas diidentifikasi disebabkan hal-hal sebagai berikut : 1.
Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana,
2.
Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub bagian) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusian dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio ekonomi, sosio-kultural, dsb),
3.
Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan kurieren am symptom, sehingga hukum pidana hanya merupakan pengobatan simptomatik, dan bukan pengobatan kausatif,
4.
Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif,
5.
Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional,
6.
Keterbatasan jenis sanksi pidana, dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperative,
7.
Berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi. 80 Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana memerlukan
dukungan instrument lainnya dalam kerangka kebijakan sosial ataupun program pembangunan. Dikenal adanya Crime Prevention Through Enviromental Design, Yang dimaksudkan termasuk upaya perbaikan 79 80
Loc.Cit Ibid, hlm. 180
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lingkungan untuk mengurangi kesempatan perilaku kejahatan, juga untuk menghapuskan rasa takut karena kejahatan dan persepsi resiko kejahatan. Ini dilakukan dengan peningkatan perbaikan kualitas lingkungan dengan pengurangan kondisi yang tidak baik, peningkatan kehidupan masyarakat
yang patuh hukum, serta dilaksanakan
penghapusan lingkungan fisik yang cenderung mendukung kejahatan. Hal ini tentu tidak lepas dari pengembangan masyarakat dengan upaya pembangunan dalam segala aspek. Dengan demikian, tampaklah keterkaitan yang saling mendukung atara upaya penanggulangan kejahatan dengan pembangunan nasional.81 Jalur non-penal merupakan jalur kebijakan sosial (social policy) dalam penanggulangan kejahatan digunakan untuk mengatasi masalahmasalah social, yang dalam skema G.P. Hoefnagles dimasukan dalam jalur “prevention without punishment”. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah
kebijakan
atau
upaya-upaya
rasional
untuk
mencapai
kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.82 Pada Kongres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana, Cuba, beberapa aspek sosial yang diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khususnya dalam masalah “urban crime”), antara lain disebutkan di dalam dokumen A/CONF.144/L.3 sebagai berikut : 1.
2.
3. 4.
Kemiskinan,pengangguran,kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan/kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak menpunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang bermigrasi ke kota-kota atau ke Negara-negara lain.
commit Loc.Cit. Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 46
81
to user
82
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5.
Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersangkutan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang social, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan. 6. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga. 7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakat, di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya. 8. Penyalahgunaan alcohol, obat bius, dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang disebut diatas. 9. Meluasnya aktivitas kejahatan terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian. 10. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ideide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak), atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi). 83 Menurut Felson yang dikutip oleh Graham Farrell dalam sebuah jurnal
yang
berjudul
“Situational
Crime
Prevention
and
Its
Discontents:Rational Choice and Harm Reduction versus‘Cultural Criminology”, mengatakan : “Crime as the product of social change, with the key driving forces being technological, socioeconomic, environmental and political. The mechanism of change is the nature and frequency of interactions between suitable targets and potential offenders in the absence of capable guardians.”84 (kejahatan sebagai produk perubahan sosial, dengan kekuatan pendorong utama adalah teknologi, sosial ekonomi, lingkungan dan politik. Mekanisme perubahan adalah sifat dan frekuensi interaksi antara sasaran yang tepat/cocok dan potensial pelanggar tanpa adanya pelindung atau wali yang mampu.)
83
Ibid, hlm. 45 Graham Farrell, Situational Crime Prevention and Its Discontents: Rational Choice and Harm Reduction versus ‘Cultural Criminology, Journal Social Policy & Administration issn 0144–5596, DOI: 10.1111/j.1467-9515.2009.00699.x, Vol. 44, No. 1, February 2010, pp. 40–66, commit to user hlm 58 84
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya Cohen dan Felson dengan pendekatan teori Kegiatan Rutin (Routine Activity Theory) yang di kutip oleh Aygün Erdogan dalam sebuah jurnal yang berjudul “What do place-based crime prevention strategies mean for the Turkish planning system and urban transformation?”, menjelaskan kapan, dimana dan bagaimana peristiwa kejahatan terjadi, menurut teori ini, kejahatan terjadi pada daerah atau wilayah kegiatan rutin ketika ketiga kondisi terjadi secara simultan, yakni keinginan/motivasi pelaku, target yang sesuai/ diinginkan dan tidak adanya penekan pelindung/wali kejahatan yang manpu mencgah tindak pidana (misalnya, teman, orang tua, guru, atau pimpinan/manajer setempat), selengkapnya ditulis sebagai berikut : “Routine Activity Theory, proposed by Cohen and Felson in 1979, describes when, where and how criminal events occur and utilizes the opportunities provided by the Routine Activities of the victims and possible absence of controllers as an analytical method. Routine Activities are daily activities that are carried out to meet individual needs in a repetitive and routine way, and are independent of biological or cultural differences. They include activities that provide work, food, shelter, entertainment, learning, child rearing and the likes . According to this theory, crime occurs in the routine activity areas of targets when three conditions take place simultaneously, being: a likely/motivated offender; a suitable/desirable target; and the absence of a guardian/crime suppressor capable of preventing the criminal act (e.g., friends, parents, teachers, place managers).”85 Beberapa masalah dan kondisi sosial yang merupakan penyebab kondusif penyebab timbulnya kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak dapat hanya diatasi dengan penggunaan hukum pidana (penal) , karena faktor tersebut bisa saja muncul sebagai akibat dampak pembangunan yang tidak rasional, timpang atau tidak seimbang. Disinilah keterbatasan jalur penal, oleh karena itu masalah-masalah
85
Aygün Erdogan , What do place-based crime prevention strategies mean for the Turkish planning system and urban transformation?, Journal of Geography and Regional Planning Vol. 3(11), pp. 271-296, November 2010, Available online at http://www.academicjournals.org/JGRP, commit ISSN 2070-1845 ©2010 Academic Journals, hlm. to 275user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial seperti yang dikemukakan diatas harus diatasi melalui jalur kebijakan sosial atau tanpa pidana (nonpenal) yaitu kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Menurut Sudarto, salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga ( termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya.86 Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya non penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. Peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemanpuan manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan.87 Selanjutnya Sudarto mengemukakan, bahwa kegiatan patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinyu termasuk upaya nonpenal yang menpunyai pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial.88 Kegiatan razia/operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientansi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non penal yang perlu diefektifkan. Dari uraian diatas disimpulkan bahwa upaya non penal lebih mengedepankan tindakan pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana, dengan melakukan strategi mengatasi masalah-masalah penyebab kejahatan. Menurut peneliti hal ini justru akan lebih efektif mengatasi kejahatan, ketika kondisi suatu masyarakat dari sisi kesejahteraan cukup baik, kehadiaran aparat penegak hukum pada tempat-tempat tertentu yang rawan terjadinya kejahatan maka dipastikan (pelaku/penjahat) tidak akan melakukan kejahatan.
86
Barda Nawawi Areif, Op.Cit, hlm. 46 commit Loc.Cit 88 Ibid, hlm. 49 87
to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Massoomeh Hedayati Marzbali, menulis dalam sebuah jurnal yang berjudul “A Review of the Effectiveness of Crime Prevention by Design Approaches towards Sustainable Development” ( Sebuah Tinjauan Efektivitas Pencegahan Kejahatan melalui Desain Pendekatan terhadap Pembangunan Berkelanjutan) sebagai berikut : “Important conclusions that can be drawn from this study are connected with the initial research objectives. Clearly the reviews reported in this article provide empirical evidence supporting the significant relationship between safety and sustainability. The present paper suggests that the application of crime prevention principles have positive effects in the built environment and possess low levels of crime and fear among societies. Consequently, it can be pointed out that place-based crime prevention strategies appear to be effective methods towards achieving sustainability. A number of studies have concentrated on the evaluation of safety of the physical environment and sustainability. Along this line of investigation, it may be concluded that safety and security should be considered as a prerequisite towards achieving sustainable development. Meanwhile, in terms of CPTED design strategies, Saville (2009) argued that it needs to move away from standardized CPTED theories in the direction of a holistic strategy to design, implement, and manage the societies. These mutations can be useful for the current system of place-based crime prevention for years to come.Taken as a whole, a major recommendation from the authors is that crime and the fear of crime must be considered in the development process as effective indicators in achieving sustainability for communities. Crime prevention strategies if considered at the initial stage of each development may able to provide comprehensive sustainability outcomes namely environmental, social as well as economic benefits. Finally, recommendations are made not only for the consideration of safety in the development process, but also for the dissemination of crime prevention strategies that have proven to be successful. It needs to be noted that further and more studies need to be carried out in order to evaluate accurately the conflict between crime prevention by design strategies and sustainable development and address their measurements.”89 (Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari studi ini dihubungkan
89
Massoomeh Hedayati Marzbali, A Review of the Effectiveness of Crime Prevention by Design Approaches towards Sustainable Development, www.ccsenet.org/jsd Journal of user Sustainable Development Vol. 4, No. 1; commit February to 2011, ISSN 1913-9063 E-ISSN 1913-9071, hlm. 167-168
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan tujuan penelitian awal. Jelas review dilaporkan dalam artikel ini memberikan bukti empiris mendukung hubungan yang signifikan antara keselamatan dan keberlanjutan. Tulisan ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip pencegahan kejahatan memiliki efek positif dalam pembinaan lingkungan dan rendahnya tingkat kejahatan dan ketakutan di kalangan masyarakat. Akibatnya, dapat ditunjukkan bahwa strategi berbasis pencegahan ditempat/lokasi terjadinya kejahatan tampaknya merupakan metode yang efektif untuk mencapai keberlanjutan. Sejumlah studi telah memusatkan pada evaluasi keselamatan fisik lingkungan dan keberlanjutan. Sesuai dengan hasil penelitian ini , dapat disimpulkan bahwa keselamatan dan keamanan harus dipertimbangkan sebagai prasyarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, dalam hal strategi desain CPTED, Saville (2009) berpendapat bahwa perlu dikaji lebih jauh standar dari teori-teori CPTED dalam arah strategi holistik untuk merancang, melaksanakan, dan mengelola masyarakat. mutasi ini dapat berguna untuk sistem saat tempat berbasis pencegahan kejahatan selama bertahun-tahun yang akan datang. Secara keseluruhan, rekomendasi utama dari penulis adalah kejahatan itu dan takut kejahatan harus dipertimbangkan dalam proses pembangunan sebagai indikator efektif dalam mencapai keberlanjutan bagi masyarakat. Strategi pencehagan kejahatan pada tahap awal harus dipertimbangkan sehingga menghasilkan pembangunan berkelanjutan secara komprehensif yaitu lingkungan, manfaat sosial serta ekonomi. Akhirnya, rekomendasi, dibuat tidak hanya untuk pertimbangan keamanan dalam proses pembangunan, tetapi juga untuk penyebaran strategi pencegahan kejahatan yang telah terbukti berhasil. Perlu dicatat bahwa studi lebih lanjut dan lebih perlu dilakukan dalam rangka untuk mengevaluasi secara akurat penilaian antara konflik antara pencegahan kejahatan dengan strategi desain dan pembangunan berkelanjutan.) Berdasarkan pendapat Massoomeh Hedayati Marzbali diatas dapat disimpulkan bahwa strategi penanggulangan kejahatan dalam proses pembangunan adalah tindakan pencegahan kejahatan pada wilayah atau tempat yang berpotensi terjadinya kejahatan adalah metode yang efektif untuk pencapaian ketertiban dan keamanan dalam pembangunan berkelanjutan sehingga menciptakan kondisi lingkungan dan sosial yang baik, serta memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat. Departement Social Development Republic of South Africa, dalam commit to user rangka memerangi kejahatan dan korupsi sebagai upaya peningkatan 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keamanan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat di Negara Afrika Selatan ditulis oleh MR.VP. Madonsela dalam sebuah jurnal yang berjudul ” Integrated Social Crime Prevention Strategy 2011” , memberikan 6 (enam) rekomendasi strategis pencegahan kejahatan sebagai berikut : 1. Strengthening internal and external capacity to sustain better service delivery. • An investment in capacity to build and deliver key services is required. In addition, it is recommended that all government departments should find ways to equip the community and its members to deliver simpler services under minimal departmental supervision. (Memperkuat kapasitas internal dan eksternal untuk mempertahankan pelayanan yang lebih baik. • Investasi dalam kapasitas untuk membangun dan memberikan layanan utama diperlukan. Selain itu, dianjurkan bahwa semua departemen pemerintah harus mencari cara untuk membekali masyarakat dan anggotanya untuk memberikan layanan sederhana di bawah pengawasan minimal departemen ) 2.
Facilitating targeted collaborative partnership with other government departments and civil society organisations. • Departments should constantly explore ways in which individuals, families and organisations within the communities can be mentored and supported to reduce the burden on existing capacity within the Departments. (Memfasilitasi kemitraan kolaboratif ditargetkan dengan departemen pemerintah lainnya dan organisasi masyarakat sipil. • Departemen harus terus mengeksplorasi cara-cara di mana individu, keluarga dan organisasi dalam masyarakat dapat dibimbing dan didukung untuk mengurangi beban pada kapasitas yang ada dalam Departemen) 3. Ensuring equitable and integrated site-based service delivery for local service providers. • All departments’ services should be delivered to all people at each site. (Memastikan adil dan terpadu berbasis situs layanan bagi penyedia layanan lokal. • Semua departemen layanan 'harus disampaikan kepada semua orang di setiap situs ) commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Promoting sustained institutional mechanisms in communities. • Feedback loops should be created and sustained in communities to ensure realistic expectations by community members and transparent reports on progress or lack thereof, in relation to service delivery by departments This will result in building trust with and between communities. (Mempromosikan mekanisme kelembagaan berkelanjutan di masyarakat. • Umpan balik semua pihak harus diciptakan dan dipertahankan di masyarakat untuk memastikan harapan yang realistis oleh anggota masyarakat dan laporan yang transparan atas kemajuan atau kekurangan daripadanya, dalam hubungannya dengan penyediaan layanan oleh departemen. Hal ini dapat membangun kepercayaan dengan dan antar masyarakat.) 5. Improving social fabric and cohesion within families. • Communities should be strengthened to build the family as a cradle of nurture. Departments should focus on providing support and services to families, both directly and indirectly, in order to strengthen and grow families as places of nurturing and peace. (Meningkatkan struktur sosial dan keterpaduan dalam keluarga. • Masyarakat harus diperkuat untuk membangun keluarga sebagai tempat lahir memelihara. Departemen harus fokus pada memberikan dukungan dan layanan untuk keluarga, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka memperkuat dan memelihara keluarga sebagai tempat pengasuhan dan perdamaian.) 6. Ensuring investment in prevention and early intervention services with long-term benefits. • Government departments should encourage all respective partners and role-players to recognise and commit to social crime prevention as a long-term strategy and commitment, and to see the value of current actions as not just for the moment, but also for the future.90 (Memastikan investasi dalam pencegahan dan pelayanan intervensi ini dengan keuntungan jangka panjang. • departemen Pemerintah harus mendorong semua mitra masing-masing dan peran-pemain untuk mengenali dan melakukan untuk pencegahan kejahatan sosial sebagai strategi jangka panjang dan
90
Mr.VP. Madonsela, Intergrated Sosial Crime Prevention Strategy 2011, Journal of Drug commit to user Issues, 32, 153-178, , www.info.gov.za/view/DownloadFileAction,, hlm. 41-42
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komitmen, dan untuk melihat nilai tindakan saat ini sebagai tidak hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan) Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya memerankan fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran dan keadilan. Bahkan, dapat menjadi sarana rekayasa sosial (social engineering) bagi masyarakat. tetapi dalam prakteknya kondisi penegakkan hukum di Indonesia belum dapat dikatakan berhasil. Ketidakefektifan penegakan hukum dalam bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menunjukan perlunya perbaikan pada penegakan hukum secara luas. Mahrus Ali menyatakan, “Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undangundang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undangundang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapathanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral,perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.”91 Raymond Paternoster dalam sebuah tulisannya yang berjudul “How Much Do We Really Know about Criminal Deterrence?” , Beliau menulis sebagai berikut : “One of the costs of crime is the possible legal punishment, including being arrested for committing the act, getting convicted of the crime, and being subjected to some kind of punishment as a result of conviction (jail, probation, prison, or, in some jurisdictions for some crimes, death). Deterrence theorists presume that punishment by the legal system will increase the cost of—and therefore inhibit—crime There are three properties of legal punishment that are related to its cost, the (1) certainty, (2) severity, and (3) celerity (or swiftness) of punishment. Other things being equal, a legal punishment is more costly when it is more certain (more likely than not to be a consequence of crime), severe (greater in magnitude), and swift (the punishment arrives sooner rather than later after the offense). This leads to the three key hypotheses that can be deduced from deterrence theory, which have served to guide empirical research over the past fifty years: commit to user Alternatif dalam Penegakan Hukum Mahrus Ali, 2007, Sistim Peradilan Progresif, Pidana, Jurnal Hukum, No.2 Vol. 14, April 2007, hlm. 212 91
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
H1: The greater the certainty of legal punishment, the lower the crime rate. H2: The greater the severity of legal punishment, the lower the crime rate. H3. : The greater the celerity of legal punishment, the lower the crime rate.92 (Ada tiga sifat sanksi hukum yang terkait dengan biaya, kepastian (1), (2) tingkat keparahan, dan (3) kecepatan (atau kecepatan) dari hukuman. Hal-hal lain dianggap sama, sebuah sanksi hukum adalah lebih mahal ketika itu lebih tertentu (lebih mungkin daripada tidak menjadi konsekuensi dari kejahatan), berat (lebih besar dalam besarnya), dan cepat (hukuman tiba lebih awal daripada kemudian setelah terjadi pelanggaran) . Ini mengarah pada tiga hipotesis kunci yang dapat disimpulkan dari teori pencegahan, yang telah melayani untuk memandu penelitian empiris selama lima puluh tahun terakhir: 1. Semakin besar kepastian hukuman hukum, semakin rendah tingkat kejahatan. 2. Semakin besar tingkat keparahan (beratnya) hukuman hukum, semakin rendah tingkat kejahatan 3. Semakin besar kecepatan hukuman (proses penyelesaian perkara) hukum, semakin rendah tingkat kejahatan.) Inti teori ini adalah bahwa penanggulangan kejahatan dapat ditempuh melalui pendekatan pencegahan atau teori pencegahan. Pencegahan kejahatan dapat dicegah melalui pendekatan pencegahan dengan membentuk persepsi pelaku atau calon pelaku kejahatan untuk tidak melakukan kejahatan dipengaruhi oleh pelaksanaan penegakan hukum (kepastian hukum) yang baik atau cepat dan beratnya sangsi hukuman yang dialami, semakin baik hukum ditegakkan dan semakin berat hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku maka akan semakin kecil atau rendah tingkat kejahatan.
92
Raymond Paternoster, How Much Do We Really Know about criminal Deterrence?. 0091-4169/10/10003-0765 The Journal Of Criminal Law & Criminology, Vol. 100, No. 3 , hlm, 765-824,Copyright © 2010 by Northwestern University, School of Law Printed in U.S.A., hlm. 783-784
commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Strategi-strategi yang dikemukakan diatas tentunya menambah keyakinan kita bahwa tindakan pencegahan akan lebih efektif menanggulangi kejahatan daripada upaya penanggulangan kejahatan setelah terjadinya kejahatan atau jalur penegakan hukum pidana (penal). Dari uraian diatas, sangat jelas bahwa upaya penanggulangan kejahatan (tindak pidana) tidak hanya ditempuh dengan sarana penal (hukum pidana) semata tetapi diperlukan pendekatan atau sarana lain yang dikenal non penal ( selain hukum pidana). Penanggulangan kejahatan (tindak pidana) di bidang konservasi tidak cukup hanya dengan sarana hukum pidana, diperlukan pendekatan kegiatan integral dengan program pembangunan, khususnya terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, serta upaya penyadaran hukum bagi masyarakat, pelaku usaha, juga para aparat penegak hukum. Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) dan sarana non penal, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Social-welfare policy GOAL SW/SD Social Policy
Social-defence policy
- Formulasi PENAL
- Aplikasi - Eksekusi
Criminal policy
NONPENAL
Gambar 1. : Skema Upaya penanggulangan Kejahatan
Keterangan skema : a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus menunjang tujuan (“goal”), “kesejahteraan masyarakat/social welfare” (SW) dan “perlindungan masyarakat/social defence”(SD). Aspek SW dan SD yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immateriil, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan. b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral”; ada keseimbangan sarana “penal” dan “nonpenal”. Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana “nonpenal” karena lebih bersifat preventif commit to user dan karena kebijakan “penal” menpunyai keterbatasan/kelemahan
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(yaitu bersifat fragmentaris/simplistis/tidak struktural fungsional; simptomatik/tidak kausatif/tidak eliminatif; individualistik atau “offender-oriented/tidak
victim-oriented”;
lebih
bersifat
repressif/tidak preventif; harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya tinggi); c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap : c.1 tahap formulasi (kebijakan legislatif); c.2 tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); c.3 tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan
bukan
hanya
tugas
aparat
penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling
strategis
dari
“penal
policy”.
kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif
Karena
itu,
merupakan kesalahan
strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi. 93 4. Instrumen Hukum dalam bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH & E) telah merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam pengelolaan Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya pada kawasan Taman Nasional dan apabila dilanggar maka merupakan suatu commit to user 93
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 77-78
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbuatan tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana, yang dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu kejahatan dan pelanggaran. Perbuatanperbuatan tersebut diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya sebagai berikut : Pasal 21 : (1) Setiap orang dilarang untuk : a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnakan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia (2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia; d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia; e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun ketentuan pidana atas pelanggaran norma/perbuatanperbuatan diatas dirumuskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya sebaga berikut : Pasal 40 : (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. Dalam
Undang-Undang
Nomor
41
Tahun
1999
tentang
Kehutanan, upaya perlindungan dan konservasi alam dinyatakan dalam Pasal 46 dan Pasal 47 sebagai berikut : commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 46 : “Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 47 : Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk : a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh per-buatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Di dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan diatur juga penggolongan antara tindak pidana yang dikategorikan kejahatan dan tindak pidana yang dikategorikan pelanggaran. Penggolongan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 78 ayat (13) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.” Penggolongan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran seperti terdapat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (13) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan terdapat dalam tabel 2 berikut ini: 94
94
usertentang Kehutanan Undang-Undang Kehutanan Nocommit 41 Tahunto1999
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 2 Klasifikasi Tindak Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal (ketentuan pidana) Pasal 78 ayat (1)
Tindak Pidana Kejahatan Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
Pasal (ketentuan pidana) Pasal 78 ayat (8)
(Pasal 50 ayat 1) Ancaman sanksi : Pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
Pasal 78 ayat (1)
Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat 2)
Tindak Pidana Pelanggaran menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf i)
Pasal 78 ayat (12)
mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf m)
Ancaman sanksi : Pidana penjara 10 ( sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) Pasal 78 ayat (2)
Setiap orang dilarang: (a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf ) commit to auser
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 78 ayat (2)
(b) merambah kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b )
Pasal 78 ayat (2)
(c) melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak tertentu (Pasal 50 ayat (3) huruf c)
Pasal 78 (ayat (3) dan ayat (4) Pasal 78 ayat (5)
membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d)
Pasal 78 ayat (5)
Pasal 78 ayat (6)
menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf e) menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf f ) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. (Pasal 38 ayat (4)
Pasal 78 ayat (6)
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (Pasal 50 ayat (3) huruf g)
Pasal 78 ayat (7)
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
commit to user (Pasal 50 ayat (3) huruf h)
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 78 ayat (9)
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf j )
Pasal 78 ayat (10)
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (Pasal 50 ayat (3) huruf k )
Pasal 78 ayat (11)
membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; (Pasal 50 ayat (3) huruf l )
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dirumuskan
adanya
ketentuan
pemberatan
pidana.
Pemberatan pidana kehutanan diatur dalam ketentuan Pasal 78 ayat (14) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.” c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan commit to user Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perikanan dijelaskan bahwa upaya konservasi dilaksanakan melalui kegiatan perlindungan sumberdaya ikan, konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetika ikan . Pasal 1 ayat (8) dijelaskan bahwa “Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestaran, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamn keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas niai dan keanekaragaman sumber daya ikan.”95 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan tidak secara khusus mengatur tentang konservasi sumber daya alam hayati tetapi secara implisit memasukan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kaidah pelestarian atau konservasi sumber daya ikan, konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetika ikan. Dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal-Pasal yang mengatur Tindak Pidana Perikanan yang terkait dengan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Ketentuan yang mengatur tentang upaya konservasi dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 84 s.d 88 sebagai berikut : Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.200.000.000,00 (satu m i l y a r dua atus juta rupiah). (2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan 95
commit to userPerikanan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestaran sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp l.200.000.000,00 (satu m i l y a r dua ratus juta rupiah). (3) Pemilik kapal perikanan, p e m i l i k perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wiayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). (4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestaran sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua m i l y a r rupiah). Pasal 85 “Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk per alatan tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rpn2.000.000.000,00 (dua m i l y a r rupiah).” commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 86 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu m i l y a r lima ratus juta rupiah). Pasal 87 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp l.000.000.000,00 (satu m i l y a r rupiah). (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 88 “Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp l.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).” 2. Penggolongan Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dianut juga penggolongan tindak pidana perikanan atas tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Ketentuan tentang kejahatan dan pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang selengkapnya berbunyi: (1)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal dan pasal 94 adalah kejahatan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal Pasal 99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran.
84, 93, 87, 98,
3. Ketentuan tentang Pemberatan Pidana Pemberatan pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan di atur dalam Pasal 101, selengkapnya berbunyi : “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85 Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan commit to user terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.” Dari ketentuan diatas sangat jelas bahwa pelanggaran atas ketentuan pasal-pasal yang disebutkan diatas apabila dilakukan oleh atas nama korporasi atau badan hukum/perusahaan, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya di tambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. d) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Ketentuan yang berkaiatan dengan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah pada perubahan Pasal 9 jo Pasal 85 undangundang ini sebagai berikut : Pasal 9 : (1) Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 85 “Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”96
commit to userPerubahan Atas Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 96
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau compressor. e) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dalam undang-undang ini pengertian/pemahaman konservasi dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dimuat dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (19) dan ayat (20) sebagai berikut : (19) Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. (20) Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini termuat dalam beberapa Pasal yaitu Pasal 73 s.d 75 sebagai berikut : Pasal 73 (1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja: a. melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem commit to user mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g; c. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf h; d. melakukan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf i. e. melakukan penambangan minyak dan gas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf j. f. melakukan penambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf k. g. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf l. h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1). (2) Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 74 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya: a. tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1); dan/atau b. tidak melaksanakan kewajiban reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). Pasal 75 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) setiap Orang yang karena kelalaiannya: a. melakukan kegiatan usaha di Wilayah Pesisir tanpa hak commit to user sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).97 f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya
secara
bijaksana
serta
kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.98 Ketentuan
–
ketentuan
perlindungan
dan
pengelolaan
Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan pengelolaan konservasi sumber daya alam dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Ketentuan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya : Pasal 57 (1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. konservasi sumber daya alam; b. pencadangan sumber daya alam;dan/atau c. pelestarian fungsi atmosfer. (2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan: a. perlindungan sumber daya alam; b. pengawetan sumber daya alam; dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. (3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu. (4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer 97
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
commit to userPerlindungan dan Pengelolaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 18 98
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2.
Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam beberapa pasal yakni pasal 97 s.d 115 sebagai berikut : Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan. Pasal 98 (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling commit to user banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Pasal 101 Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 104 Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) user tahun dan denda paling sedikit tahun dan palingcommit lama 3to(tiga)
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 112 Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak commit topemerintah user melaksanakan paksaan dipidana dengan pidana
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalanghalangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3.
Pertanggungjawaban Pidana Kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menganut
prinsip
liability based on fault (pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan) , hal ini dapat dilihat pada perumusan tindak pidana, mencantumkan unsur sengaja dan kelalaian. Disamping itu terdapat pengecualian terhadap beberapa pasal tertentu atas ketentuan tersebut diatas yakni dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH dinyatakan bahwa : “Setiap orang yang tindakannya, usahanya,dan/atau kegiatannya menggunakan B3,menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan : “Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.” commit to user
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari uraian diatas disimpulkan pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH menganut asas kesalahan (prinsip liability based on fault) dan asas pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability atau liability without fault). Dibandingkan dengan Undang-Undang
Nomor
5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Aalam Hayati dan Ekosistemnya, tidak mengenal pertangungjawaban pidana oleh korporasi atau badan hukum, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH ini, subyek hukum pidana disamping “orang” juga korporasi atau badan usaha. Pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi/badan usaha diuraikan dalam pasal-pasal sebagai berikut : Pasal 116 (1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 118 Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundangundangan selaku pelaku fungsional. 4.
Pemberatan Pidana dan Pidana Tambahan Pemberatan pidana ditujukan terhadap pimpinan badan commit to user usaha yang memberi perintah, ancaman pidana yang dijatuhkan 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pidana tambahan ditunjukan terhadap badan usaha yang terkena pidana. Dinyatakan dalam pasal : Pasal 117 Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b.penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 120 (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi. (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 5. Teori Bekerjanya Hukum Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai disini berarti bahwa hukum itu mencerminkan
nilai-nilai
yang
hidup
didalam
masyarakat.99
Demikianlah para penganut madzab Sociological Jurisprudence merumuskan. Sosiological jurisprudence itu merupakan suatu mazhab commit to user 99
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,hlm 71
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Yang terpenting adalah menggunakan pendekatan yang bermula dari hukum ke masyarakat. Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Hukum mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosial. Ini berarti bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota kepadanya.
100
masyarakat
serta
memberikan
pelayanan
Masyakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan
dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, melainkan ia juga menginginkan agar masyarakat terdapat peraturan-peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. Fungsi hukum menurut pendapat Hoebel dalam Esmi Warassih menyebutkan adanya empat dasar fungsi hukum, yaitu : 1)
Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan
menunjukkan
jenis-jenis
tingkah
laku
apa
yang
diperkenankan dan apa pula yang dilarang. 2)
Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif.
3)
Menyelesaikan sengketa.
4)
Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara
100
userBakti, Cet. Keenam, Bandung, 2006, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,commit PT Citra to Aditya
hlm. 18
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat. 101 Berbicara masalah hukum, pada dasarnya membicarakan fungsi hukum didalam masyarakat. Karena kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi ke masalah politik yang sarat dengan diskriminasi. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami terlebih dulu bidang pekerjaan hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, yaitu : 1) Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan. 2) Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan berikut prosedurnya. 3) Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat. 4) Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-huhubungan dalam masyarakat. 102 Disamping itu hukum menghendaki agar warga masyarakat bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat atau berfungsi sebagai kontrol sosial. Demikian pula interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata hampir di seluruh sektor kehidupan masyarakat. Mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka hal yang harus diukur adalah sejauhmana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati. Menurut Achmad Ali faktor-faktor yang menpengaruhi ketaatan hukum secara umum adalah sebagai berikut : 1.
Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi target aturan hukum secara umum;
101
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Penerbit PT. Suryandu commit to user Utama, Semarang, 2005, hlm. 26 102 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung 1984, hlm. 45
85
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target diberlakukannya aturan hukum;
3.
Sosiolisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu
4.
Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat melarang (prohibitur) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum yang bersifat mengharuskan (mandatur);
5.
Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu harus dipadankan dengan sifat aturan hukum yang dilanggar tersebut.
6.
Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
7.
Kemungkinan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran
terhadap
aturan
tersebut,
adalah
memang
memungkinkan, karena tindakan konkret, dapat dilihat, diamati, oleh karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan
(penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan,
dan
penghukuman). 8.
Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang melarang dan mengancam sanksi bagi tindakan yang juga dilarang dan diancamkan samksi oleh norma lain, seperti norma moral, norma agama, norma adat-istiadat atau kebiasaan dan lainnya.
9.
Efektif atau tidak efektinya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai
dari
tahap pembuatannya, sosiolisasinya, proses commit toyang user mencakupi tahapan penemuan penegakannya hukumnya
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret; 10. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. 103 Hukum sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan,yang menjadi pertanyaan, kapan hukum itu mengikat secara hukum? Undang-undang menpunyai persyaratan untuk dapat berlaku atau untuk menpunyai kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku yaitu kekuatan yuridis, sosiologis dan filosofis.104 Undang-undang menpunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan formal terbentuknya undang-undang itu telah terpenuhi. Menurut Hans Kelsen, kaedah hukum menpunyai kekuatan berlaku apabila didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaedah hukum merupakan sistem kaedah secara hierarchies.105 Hal berlakunya secara Sosiologis, intinya adalah efektifitas atau hasil guna kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Yang dimaksudkan ialah, bahwa berlakunya atau diterimanya hukum di dalam masyarakat itu lepas dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk menurut persyaratan formal atau tidak. Berlakunya hukum merupakan kenyataan di dalam masyarakat. Ada dua teori kekuatan berlakunya hukum didalam masyarakat yaitu : 1.
Menurut teori kekuasaan yaitu hukum menpunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
103
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana Prenada Media Group, Cet. ke -1, Jakarta, 2009, hlm. 376-378 104 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, commit to user hlm. 94 105 Ibid, hlm. 95
87
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Menurut teori pengakuan yaitu hukum menpunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyatakat. 106 Secara sosiologis hukum dalam hal ini undang-undang yang
berlaku harus mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalahmasalah yang dihadapi. Dengan adanya sosiologis diharapkan setiap peraturan
perundang-undangan
yang
diterbitkan
akan
diterima
masyarakat secara wajar, bahkan diterima secara spontan. Kalau sudah demikian, maka peraturan perundang-undangan tersebut akan berdaya laku efektif tanpa harus banyak menggunakan dan mengerahkan lembaga-lembaga guna penegakannya. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis harus juga termasuk kecenderungan dan harapan masyarakat. Tanpa hal tersebut suatu peraturan perundang-undangan hanya sekedar rekaman keadaan seketika. Dan jika hal ini memang terjadi, maka keadaan yang demikian
akan
menyebabkan
kelumpuhan
peranan
peraturan
perundang-undangan atau hukum. Hukum menpunyai kekuatan filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositiven Werte: Pancasila, masyarakat adil dan makmur)107 Agar hukum berfungsi dengan baik, maka hukum harus memenuhi ketiga macam keberlakuan tersebut. Hal ini disebabkan, apabila hukum hanya menpunyai kekuatan berlakunya yuridis saja, maka kemungkinan kaedah hukum tersebut hanya merupakan kaedah yang mati saja. Kalau kaedah
hanya
menpunyai
keberlakukan
sosiologis
dalam
arti
kekuasaan, maka hukum tersebut mungkin semata-mata menjadi aturan pemaksa. Demikian pula, apabila kaedah hukum tadi hanya menpunyai 106 107
Loc. Cit Loc. Cit
commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keberlakukan secara filosofis, maka hukum tersebut hanya sebagai kaedah yang dicita-citakan saja.108 Paul dan Dias dalam Esmi Warassih mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu : 1
Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk diungkap dan dipahami.
2
Luas tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan.
3
Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4
Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.
5
Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. 109 Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak
sederhana, bukan saja karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga rumitnya jalinan hubungan antara sistem hukum dengan sistem sosial, poltik, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai suatu proses, penegakaan hukum pada hakekatnya merupakan variabel yang menpunyai korelasi dan interdependensi dengan faktor-faktor lain. Ada beberapa faktor yang terkait yang menentukan proses penegakan hukum sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence M Freidman yaitu konponen substansi, struktur dan kultural. Beberapa komponen tersebut termasuk ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Kesemua faktor tersebut akan sangat menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dan tidak dapat dinafikan satu
108
Siswanto Sunarso, Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik, Rineka Cipta, Jakarta, commit to user 2009, hlm. 200 109 Esmi Warassih, Op.Cit, hlm 105
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu komponen akan berimbas pada faktor lainnya.110 Dalam usaha
merealisasikan tujuan pembangunan maka suatu
sistem hukum harus dapat memainkan peranan sebagai pendukung dan penunjangnya. Suatu sistem hukum yang tidak efektif tentunya akan menghambat terealisasinya tujuan yang ingin dicapai itu. Pengertian hukum sebagai sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, bahwa sistem hukum mengandung tiga unsur yang mempengaruhinya bekerjanya hukum tersebut yaitu Struktur Hukum, Substansi hukum, dan kultur (budaya) hukum. Dalam Ketiga unsur yang ada dalam sistem hukum menurut Friedman satu unsur dengan unsur lain saling mempengaruhi sehingga apabila satu unsur tidak berfungsi dengan baik maka suatu sistem hukum tidak akan berjalan dengan baik pula. Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organism kompleks di mana struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. 111 Menurut Friedman komponen struktur (legal structure) yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur. Struktur sebuah sistem adalah kerangka badannya; ia adalah bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut, tulang-tulang keras yang kaku yang menjaga agar proses mengalir dalam batas-batas112. Struktur di sini merupakan suatu kerangka bagian yang memberi semacam bentuk batasan terhadap keseluruhan dalam sistem hukum. Strukur dalam hal ini adalah institusi –institusi yang
110
Sajipto Rahardjo, Op.Cit. hlm. Pengantar Editor Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal Sistem A Social Science Perspective, Penerjemah: M. Khozim, Cet. II, Penerbit Nusa Media, Bandung, commit to user 2009, hlm. 17 112 Ibid, hlm.16 111
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berperan dalam penegakan suatu aturan. Komponen substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusiinstitusi itu harus berperilaku.113 Menurut Esmi Warasih,: “substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku yang nyata
manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kita undang-undang atau law in books. Komponen substantif yaitu output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.” 114 Kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Kultur hukum mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum yaitu adat kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan cara-cara tertentu. Secara garis istilah tersebut menggambarkan sikapsikap mengenai hukum, kurang lebih analog dengan kultur politik, yang didefenisikan oleh Almond dan Verba sebagai “sistem politik sebagaimana yang terinternalisasi dalam alam pikiran, perasaan dan penilaian para manusianya” . Gagasannya dasarnya adalah bahwa nilai-nilai dan sikap-sikap ketika diterjemahkan menjadi tuntutan akan menghidupkan mesin sistem hukum itu menjadi bergerak atau, sebaliknya, akan menghentikannya di tengah perjalanan.”115 Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya sama sekali. Komponen kultur yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu kultur hukum. Kultur hukum inilah
yang berfungsi sebagai jembatan
yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.
113
Loc.Cit Esmi Warasih, Op.Cit, hlm 105commit to 115 Lawrence M. Friedman, Op.Cit, hlm. 17 114
91
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut
Soerjono Soekanto, tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum dapat dilihat faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu ada 5 (lima) faktor pokok yaitu : a.
Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang) Mengenai
berlakunya
undang-undang
tersebut,
terdapat
beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut menpunyai dampak yang positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut : 1) Undang-undang tidak berlaku surut; 2) Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, menpunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; 3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama; 4) Undang-undang
yang
berlaku
belakangan,
membatalkan
undang-undang yang berlaku dahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku di mana di atur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut. 5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. 6) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi). Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenangwenang atau supaya undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenuhi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain : a) Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-Undang; commit to user
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Pemberian
hak
kepada
warga
masyarakat
untuk
mengajukan usul-usul tertentu, melalui cara-cara : 1) Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang akan dibuat,; 2) Suatu departemen tertentu, mengundang
organisasi-organisasi
tertentu
untuk
memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-undang yang sedang disusun.; 3) Acara dengar pendapat di Dewa Perwakilan Rakyat.; 4) Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh atau ahli-ahli terkemuka. Selanjutnya Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah lain yang dijumpai di dalam undang-undang adalah antara lain : 1)
adanya
pelbagai
undang-undang
yang
belum
juga
menpunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undang tersebut diperintahkan demikian.; 2) ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari
bahasa
asing
(Belanda)
yang
kurang
tepat.
Disimpulkan bahwa gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang mungkin disebabkan, karena : a) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, b) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, c) Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran commit user penafsiran sertatopenerapannya.
93
di
dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor materi (substansi) suatu hukum atau peraturan perundang-undangan memegang peranan penting dalam penegakan hukum (law enforcement). Artinya di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan itu sendiri harus terkandung dan bahkan merupakan conditio sine quanon di dalamnya keadilan (justice). Sebab, bagaimana pun juga hukum yang baik adalah hukum yang di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan.116 b.
Faktor Penegak Hukum Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban
tertentu.
Hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsure-unsur sebagai berikut : 1) Peranan yang ideal (ideal role) 2) Peranan yang seharusnya (expected role) 3) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) 4) Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) commit to user 116
Yohanes Suhardin, Op.Cit, hlm. 3
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan wargawarga masyarakat lainnya. Lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of role). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan actual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (role-distance). Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban
tertentu.
Hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Kerangka sosiologis tersebut, akan diterapkan dalam analisis terhadap penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan pada peranannya. Namun demikian, di dalam hal ruang lingkup hanya dibatasi pada peranan yang seharusnya dan peranan actual. Penegakan hukum bisa dimulai dari tahap formulasi sampai tahap aplikasi. Penegakan hukum dalam tahap aplikasi sering hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.117 Bagir Manan yang dikutif oleh Edi Setiadi dalam tulisannya beliau mengemukakan . “ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, Pertama aturan hukum yang ditegakkan. Penegakan hukum yang adil atau berkeadilan akan tercapai apabila commit to Pemberantasan user Edi Setiadi,HZ., Strategi dan Optimalisasi Korupsi (Kapita Selekta Hukum),Widya Padjadjaran,2009. hlm.273. 117
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil, kedua pelaku penegakkan hukum. Pelaku penegakan hukum dapatlah disebut sebagi kunci utama penegakan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkret, berlaku terhadap pencari keadilan. Ketiga, lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku.”118 Dalam proses penegakan hukum faktor penegak hukum merupakan salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan. Bahkan dapat
dikatakan
merupakan
faktor
penentu
utama
dalam
keberhasilan penegakan hukum. Faktor penegak hukum dalam suatu penegakan hukum tidak semata-mata dilihat dari apa peran tugas,
atau
kewajibannya
yang
tertuang
dalam
peraturan
perundang-undangan tetapi justru pada penekanan peran diskresi yang memang dimilikinya.119 Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundangan, bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik dan memiliki kemanpuan/kualitas yang baik maka jangan diharapkan bahwa suatu penegakan hukum akan berhasil, dengan kata lain bagaimanapun jeleknya kualitas suatu undang-undang, apabila didukung dengan aparat penegak hukum yang baik, menpunyai moral serta memiliki kualitas yang baik, maka penegakan hukum akan
berhasil.
Keduanya
saling
mendukung,
pengaruh
menpengaruhi, tetapi persoalan sebenarnya sangat tergantung pada sumber daya manusianya. Menurut Adi Sulistiyono, “Tidak kalah pentingnya dalam kerangka pembaruan sistem hukum dan peradilan secara umum adalah penegakan hukum dengan paradigma moral. Ketika paradigma kekuasaan memudar dan janji pemanfaatan paradigma hukum mulai menuai harapan sebetulnya bangsa ini perlu menindaklanjuti dengan meletakkan nilai-nilai dasar yang menjadikan acuan penyelenggara negara. Hal ini, merupakan upaya menjaga konstinuitas dan kesinambungan agar “kegagalan” penggunaan paradigma hukum tidak menjadi 118 119
Ibid. hlm. 274 Ibid, hlm. 53
commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
legitimasi penggunaan paradigma kekuasaan kembali. Paradigma moral nampaknya dapat dijadikan alternatif yang baik bagi negara Indonesia, karena paradigma ini lebih cocok dengan budaya Indonesia yang menonjolkan ruang bebas konflik.”120 Menurut Satjipto Rahardjo, “Membicarakan masalah penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakan hukum itu, merupakan pembicaraan yang stril sifatnya. Apalagi kita membicarakan masalah penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusankeharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketetntuan, maka kita hanya akan memperoleh gambaran stereotipis yang kosong. Ia baru menjadi berisi manakala dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia”121 Oleh karena itu aparat penegak hukum memegang peranan sangat penting bagi keberhasilan suatu tugas penegakan hukum. c.
Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Tanpa adanya sarana atau fasilitas pendukung tidak mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
d.
Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu,
120
Adi Sulistiyono, Menggapai Mutiara Keadailan : Membangun Pengadilan yang Independen dengan Paradigma Moral, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 152 – 184, hlm. 175
commit to user
121
Hartiwiningsih, Op.Cit,hlm. 68
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dipandang
dari
sudut
tertentu,
maka
masyarakat
dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Faktor
masyarakat
sebagai
salah
satu
faktor
yang
mengefektifkan suatu peraturan atau hukum adalah berhubungan dengan kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundangundangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.122 Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga masyarakat menaati hukum, menghasilkan kepatuhan. Ada kemugkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya. Kalau
ketaatan
terhadap
hukum
dilakukan
dengan
hanya
mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya taat pada saat ada petugas saja. Cara-cara lain dapat diterapkan, misalnya, cara yang lunak (atau persuasion) yang bertujuan agar warga masyarakat secara mantap mengetahui dan memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai yang dianut oleh warga masyarakat. Dapat pula dilakukan melalui penerangan dan penyuluhan yang berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap hukum (cara pervasion). Cara lainnya
yang
agaknya
menyudutkan
masyarakat
adalah
compulsion. Yaitu penciptaan dengan sengaja suatu situasi tertentu, sehingga warga masyarakat tidak menpunyai pilihan lain, kecuali mematuhi hukum. Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingankepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum commit to user 122
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 64
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diintegasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan
sekecil-kecilnya.
Pengorganisasian
kepentingan-
kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan kepentingan,
tersebut.
perlindungan
Dalam
terhadap
suatu
lalu
lintas
kepentingan-kepentingan
tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan dilain pihak.123 Menurut Achmad Ali, mengemukakan, bahwa sebenarnya jenis ketaatan yang paling mendasar sehingga seseorang menaati atau tidak menaati hukum, adalah karena adanya kepentingan.124 Teori ini terpengaruh oleh pandangan mazhab hukum ekonomi, yang memandang berbagai faktor ekonomi sangat mempengaruhi ketaatan seseorang, termasuk di dalamnya, keputusan seseorang yang bertalian dengan faktor ‘biaya’ atau ‘pengorbanan’, serta ‘keuntungan’ jika ia menaati hukum; juga faktor yang turut menentukan taat atau tidaknya seseorang terhadap hukun, sangat ditentukan oleh asumsi-asumsinya, persepsi-persepsinya serta berbagai faktor subyektif lain, demikian juga proses-proses yang dengannya seseorang itu memutuskan apakah ia akan menaati suatu aturan hukum atau tidak. Seyogyanya
pembuat perundang-
undangan, harus peka untuk berupaya dapat melakukan prediksi yang akurat, tentang bagaimana orang-orang yang kelak akan menjadi target peraturan yang dibuatnya, akan bereaksi terhadap peraturan tersebut, dan olehnya itu, pembuat undang-undang harus secara
optimal
memiliki
kemanpuan
menentukan
dan
mempertimbangkan faktor-faktor yang ikut membentuk pilihan orang-orang yang menjadi sasasarn perundang-undangan itu.125
123 124 125
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 53 commit Achmad Ali, Op.Cit. hlm. 349 to user
Loc.Cit.
99
perpustakaan.uns.ac.id
e.
digilib.uns.ac.id
Faktor Kebudayaan Faktor
kebudayaan
sebenarnya
bersatu
dengan
faktor
masyarakat. Yang dibedakan disini adalah pada faktor kebudayaan lebih spesifik diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-materiel. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakat), maka hukum mencakup, struktur, substansi dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan
antara
lembaga-lembaga
tersebut,
hak-hak
dan
kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilainilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). 126 Istilah kultur hukum yang digambarkan atau mengacu ke pengetahuan masyarakat dan sikap-sikap serta pola-pola perilaku masyarakat terhadap sistemn hukum, Friedman menyatakan sebagai berikut : “We define legal culture to mean attitudes, values, and opinions held in society, with regard to law, the legal system, and its various parts. So defined, it is the legal culture which determines when, why, and where people use law, legal institutions, or legal process; and when they use other institutions, or do nothing. In order words, cultural factors are an essential ingredient in turning a static structure and a static collection of norms into a body of living law. Adding the legal culture to the picture is like winding up a clock or plugging in a machine. It sets everything in motion,” (Kita mendefenisikan kultur hukum sebagai sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat-pendapat yang dianut di masyarakat tentang hukum, commit to user 126
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 8-60
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sistemn hukum dan beragam bagiannya. Dengan didefenisikan seperti itu, kultur hukum itulah menentukan kapan, mengapa, dan dimana orang-orang menggunakan hukum, institusi hukum, atau proses hukum; dan kapan mereka menggunakan institusi-institusi lainnya, atau tidak melakukan apapun. Dengan kata lain, faktorfaktor kultural merupakan suatu unsur ensensial dalam mengubah suatu struktur statis dan suatu kumpulan norma-norma statis menjadi suatu kumpulan hukum yang hidup. Menambahkan kultur hukum kepada gambaran ini adalah seperti memutar sebuah jam atau menghidupkan sebuah mesin. Kultur hukum itu menggerakan segala sesuatu)127 Dari uraian diatas diatas disimpulakan bahwa penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yakni faktor hukumnya sendiri (rumusan undang-undang ) , aparat penegaknya, sarana prasarana, kepatuhan masyarakat dan faktor kebudayaan. Kelima faktor ini akan saling terkait/menpengaruhi, dalam proses penegakan hukum pidana, ketika salah satu faktor tidak menjadi perhatian aparat penegak hukum maka dapat dipastikan proses
penegakan hukum akan mengalami
ketimpangan atau tidak optimal. B. Penelitian yang Relevan Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian, penulisan yang memfokuskan pada penegakan hukum melalui upaya non penal penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi di Taman Nasional Wakatobi belum pernah dilakukan. Namun ada satu penelitian yang pernah di lakukan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimatan Barat dengan judul : “Implementasi UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam menanggulangi perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan Suaka alam dan Kawasan Pelestarian Alam di Balai Konservasi Sumber Daya
Alam
Kalimatan Barat”. Penelitian ini dilaksanakan oleh Azmardi, 2010. Tapi commit to user 127
Achmad Ali, Op.Cit, hlm.228
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilaksanakan oleh penulis. Penelitian yang dilakukan oleh Azmardi adalah mengenai implementasi/ penerapan undang-undang, faktor pendukung dan penghambat implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam mengatasi perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimatan Barat.
C. Kerangka Berpikir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SUmber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAH & E) merupakan dasar hukum
pembangunan
Konservasi
Sumber
Daya
Alam
hayati
dan
Ekosistemnya (KSDAH & E) di Indonesia. Sesuai amanat undang-undang tersebut di atas , bahwa startegi pembangunan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya di
Indonesia dilaksanakan melalui pembentukan kawasan-kawasan konservasi yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan konservasi yakni Kawasan Pelestarian Alam Laut yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri kehutanan Nomor: SK Menhut nomor : 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002 , dengan luasan 1.390.000 Ha. Taman Nasional Wakatobi dikelola dengan sistem zonasi. sesuai dengan dengan amanat dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan taman nasional diatur pula ketentuan – ketentuan mengenai tindakan pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya yang digolongkan atas tindak pidana kategori kejahatan dan kategori pelanggaran yang termuat dalam Pasal 40 ayat (1), s.d ayat (5), junto Pasal 21 ayat (1) dan (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan (3).
commit to user
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana di di bidang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi telah dilakukan oleh aparat Polisi Kehutanan, PPNS Kehutanan bekerjasama dengan Penyidik Polri, Kejaksaan dan Pengadilan (hakim) (jalur (penal/tindakan represif) termasuk upaya pencegahan/preventif dengan jalur tanpa pidana (non penal) melalui kegiatan patroli rutin, kegiatan pemberdayaan masyarakat, penyuluhan dan lain sebagai. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa upaya-upaya tersebut diatas belum berhasil menanggulangi kejahatan (tindak pidana) di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya terkait kejahatan mengenai pelanggaran zonasi dan pemanfaatan satwa dan tumbuhan yang dilindungi. Secara teoritis dinyatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya yakni oleh : faktor undang-undangnya sendiri, aparat penegak hukum, fasilitas/sarana prasarana, masyarakat dan kebudayaan. Kejahatan terjadi karena faktor kondisi sosial yang merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan. Masalah ini tidak dapat diatasi semata-mata dengan pendekatan jalur penal (penegakan hukum pidana) tetapi harus ditunjang dengan jalur pendekatan non penal (tanpa pidana) atau lewat jalur kebijakan sosial.. Dalam penelitian ini, penegakan hukum yang dimaksud dalam kajian ini adalah tahapan penerapan hukum atau tahapan aplikasi oleh penegak hukum. Peneliti akan mengkaji lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yang merupakan faktor penyebab kurang berhasilnya penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilaksanakan di Taman Nasional Wakatobi dan upaya non penal yang seharusnya dilakukan dalam rangka menanggulangi tindak pidana commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Dalam penelitian ini untuk mengkaji dan membahas 2 (dua) permasalahan tersebut di atas, penulis akan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, dimana beliau mengemukakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yang juga merupakan tolak ukur
efektifitas
penegakan hukum yaitu Undang-Undangnya sendiri, aparat penegak hukum, sarana prasarana atau fasilitas pendukung, masyarakat dan kebudayaan, untuk mengkaji dan membahas pokok permasalahan yang pertama dan teori G.P. Hoefnageles, yang mengatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan atau tindak pidana pidana dapat ditempuh dengan: 1) Penerapan hukum pidana.; 2) Pencegahan Tanpa Pidana (non penal).; 3) Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media. Sesuai dengan pokok permasalahan kedua dalam penelitian ini yakni upaya- upaya non penal (tanpa pidana) apakah yang seharusnya dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi ?. Maka penggunaan teori yang dikemukakan oleh G.P.Hoefnageles ini hanya pada kebijakan penanggulangan kejahatan dengan pencegahan tanpa pidana yang merupakan upaya non penal. Kerangka pikir penulis dalam penelitian ini digambarkan dalam skema sebagai berikut :
commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kerangka Berpikir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya Kawasan Pelestarian Alam Taman Nasional Wakatobi
Tindak Pidana Di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Penegakan Hukum
Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana/Penal
1) 2) 3) 4) 5)
Non Penal
1. Upaya yang telah dilakukan 2. Upaya yang seharus di lakukan
Undang-Undang Aparat Penegak Hukum Sarana Prasarana/Fasilitas Masyarakat Budaya
Terwujud Tujuan dan Fungsi Pengelolaan Konservasi Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi
commit user Gambar 2. to Kerangka Pikir
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB. III METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum non doctrinal atau penelitian sosiologis yang mempergunakan data primer., sedangkan dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan penelitian diagnostic
yaitu
merupakan
suatu
penelitian
yang
dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian yang deskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.128 Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teoriteori baru.129 Dilihat dari pendekatan yang digunakan dalam penelitian, adalah penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dalam mempelajari atau meneliti hukum menurut Soetandyo Wignyosoebroto, sebagaimana dikutip oleh Setiono, ada 5 (lima) konsep hukum yang harus menjadi dasar pemikiran apa itu hukum yaitu :130 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundangundangan hukum nasional; 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematis sebagai judge made law;
128
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, , UI-Press, Jakarta, 1984, hlm. 10 Setiono, Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Sebelas commit to user Maret, Surakarta, 2005, hlm. 5 130 Ibid, hlm. 20 129
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empiris; 5. Hukum adalah makna-makna simbolik para perilaku social sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5, yang menurut Soetandyo, seperti yang dikutip oleh Setiono , hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai manifestasi maknamakna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (hukum yang ada dalam benak manusia). Tipe kajiannya sosiologi dan/antropologi hukum yang mengkaji “ law as it is in (human) action: dengan menggunakan metode penelitian sosiologi dan/atau social/non-doktrinal dengan pendekatan interaksional/mikro dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode penelitiannya kemudian penelitinya menggunakan sosio-antropolog, pengkaji humaniora dan orientasi kepada simbolik interaksional.131 Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi manusia secara aktual dan potensial akan terpola. Karena setiap perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum, penelitian empiris atau penelitian yang non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan maksud hanya hendak mempelajari saja dan bukan hendak mengajarkan sesuatu doktrin, maka metodenya disebut sebagai metode non doctrinal.132
131
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga, Rineka Cipta, Jakarta, commit to user 2001. hlm.11 132 Setiono, Op.Cit, hlm.22
107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan konsep hukum ke lima dan dengan pendekatan interaksional (mikro) dengan analisis yang kualitatif yang dilakukan, maka gejala empiris yang diamati dalam penelitian ini adalah yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan tindak pidana di bidang konservasi di Taman Nasional Wakatobi. Dalam penelitian ini, penulis ingin menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari perilaku peristiwa secara langsung dan mendalam mengenai sebab-sebab terjadinya sesuatu atau beberapa gejala, sehingga diperoleh informasi dan data-data yang akurat, yang penulis perlukan dalam penulisan ini.
b. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di laksanakan di Taman Nasional Wakatobi di Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara.
c. Sampel/Responden Penelitian Dalam penelitian ini sampel/subjek yang diteliti dipandang sebagai responden yang manpu memberikan informasi mengenai permasalahan yang hendak diteliti. Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini digunakan tehnik non-probability, yaitu melalui tehnik purposive sampling atau judgemental sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan penilaian peneliti mengenai siapa-siapa saja yang pantas (memenuhi persyaratan) untuk dijadikan sampel.133 Menurut Sugiyono, sampling purposive adalah tehnik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Selanjutnya Margono dalam artikel yang sama menyatakan pemilihan sekelompok subyek dalam purposive sampling didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang menpunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui commit to user http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/06/30/sampel-sampling, di akses, tanggal 10 Nopember 2011, Jam 10.00 WITA 133
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebelumnya. Dengan kata lain unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian.134 Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil sampel terhadap orang yang dianggap memiliki informasi yang cukup diperlukan guna pencapaian tujuan penelitian. Dalam memilih sampel atau responden penelitian, peneliti menentukan
kriteria/persyratan
sampel
adalah
mereka
yang
memahami dan atau melaksanakan proses penegakan hukum yakni unsur aparat penegak hukum, pengelola Taman Nasional Wakatobi dan beberapa perwakilan masyarakat yang terkena dampak atas penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Dalam penelitian ini, sampel/responden yang diambil menurut penulis dapat menjadi narasumber yaitu sebagai berikut : 1.
Wahyu Rudianto (Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi);
2.
Pitra Andreas Ratulangi (Kapolres Wakatobi)
3.
Abdul Halim Amran (Hakim di Pengadilan Negeri Bau-Bau)
4.
Muhammad Said ( Kejaksaan Negeri Wakatobi)
5.
Rubiani, (Kejaksaan Negeri Wakatobi)
6.
Ahali (Kasat Reskrim Polres Wakatobi)
7.
La Ode Ahyar T. Mufti (Ka. SPTN Wil. I Balai TN. Wakatobi/PPNS)
8.
La Ode Made (Penyidik Polres Wakatobi)
9.
Yahya Sonda.S. (Penyidik Polres Wakatobi)
10. Ismono Dg. Halim (PPNS Balai TN. Wakatobi) 11. Syaharuddin (Polhut SPTN I, Balai TN. Wakatobi) 12. Aah Hidayatullah ( Polhut SPTN III, Balai TN Wakatobi) 134
http://file.upi.edu/Direktori/Dual-Modes/Penelitian- Pendidikan/BBM_6.pdf, di akses tanggal 10 Nopember 2011, Jam 11.00 WITA
commit to user
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13. Muhammad Naswir 14. Sadar (Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo, Sulawesi Tenggara/ Tokoh Masyarakat Bajo) 15. Musliadi ( Unsur Nelayan Bajo) 16. Antoni (Tokoh Masyarakat Kaledupa) 17. Abdul Zainal (Mantan Pengurus Kelompok Pencinta Alam Kolokolopua) d. Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini Jenis dan sumber data diperoleh melalui : 1. Data Primer Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan wawancara tidak langsung (kuesioner) dengan responden/narasumber yaitu sampel/responden yang dipandang dapat memberikan informasi yang cukup mengenai permasalahan berdasarkan pertimbangan/kriteria
yang hendak diteliti
peneliti sendiri sebagaimana
tersebut diatas. 2. Data Sekunder Data sekunder mencakup : 1) Bahan Hukum Primer, yaitu yang berupa peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain : a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana c) Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya ALama Hayati dan Ekosistemnya d) Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 tahun 199 tentang Kehutanan menjadi UndangUndang
commit to user
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e) Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia f) Peraturan
Pemerintah
No.45
tahun
2004
tentang
Perlindungan Hutan, dan g) Peraturan lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, bahan-bahan kepustakaan, dokumen, journal, makalah, artikel, surat kabar dan hasil penelitian yang relevan.
3) Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau informasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier dalam penelitian ini adalah ensklopedia/Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Majalah dan surat kabar dan web site/internet. e. Tehnik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Wawancara Pengumpulan data dengan wawancara dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu : a) Wawancara langsung yaitu dengan menggunakan tehnik wawancara mendalam (indepth interviewing) dengan sampel yang telah disebutkan diatas. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna commit to user mencapai tujuan penelitian. Artinya pengumpulan data dengan 111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menanyakan secara langsung/tahap tatap muka dengan para sampel/responden
untuk
mendapatkan
keterangan
atau
informasi mengenai suatu masalah, yang dilakukan dengan sistematis berdasarkan pedoman yang disusun sesuai dengan tujuan penelitian dan sifatnya tidak terbatas. Wawancara dilaksanakan untuk memperoleh informasi atau keteranganketerangan yang jelas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan faktor-faktor yang menpengaruhi kelemahan pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemmnya dan upaya non penal yang telah dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya di Taman Nasional Wakatobi. Dalam penelitian ini, wawancara mendalam dilakukan terhadap para sampel/responden yang dianggap dapat menjadi narasumber yaitu sebagai berikut : 1. Wahyu
Rudianto
(Kepala
Balai
Taman
Nasional
Wakatobi); 2. Pitra Andreas Ratulangi (Kapolres Wakatobi) 3. Abdul Halim Amran (Hakim di Pengadilan Negeri BauBau) 4. Muhammad Said ( Kejaksaan Negeri Wakatobi) 5. Rubiani, (Kejaksaan Negeri Wakatobi) 6. Ahali (Kasat Reskrim Polres Wakatobi) 7. La Ode Ahyar T. Mufti (Ka. SPTN Wil. I Balai TN. Wakatobi/PPNS) 8. La Ode Made (Penyidik Polres Wakatobi) 9. Yahya Sonda.S. (Penyidik Polres Wakatobi) 10. Sadar (Sekretaris Kerukunan Keluarga Bajo Sulawesi commitMasyarakat to user Tenggara/Tokoh Bajo)
112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11. Musliadi (Unsur Nelayan Bajo) 12. Antoni (Tokoh Masyarakat Kaledupa) 13. Abdul Zainal (mantan pengurus Kelompok Pencinta Alam Kolokolopua) b)
Wawancara tidak langsung, yaitu dengan kuisioner yang bebas dan terbatas hanya kepada PPNS dan Polhut yang secara rutin melakukan tugas pengamanan kawasan Taman Nasional Wakatobi, yakni : 1. Ismono Dg. Halim (PPNS Balai TN. Wakatobi) 2. Syaharuddin (Polhut SPTN I, Balai TN. Wakatobi) 3. Muhammad Naswir 4. Aah Hidayatullah ( Polhut SPTN III, Balai TN Wakatobi)
c) Studi Pustaka Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari data-data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen atau arsip, buku-buku, data dari internet, artikel laporan-laporan yang berhubungan dengan masalah yang penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional f. Tehnik Analisa Data Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Tehnik analisisnya adalah studi kasus tunggal, artinya meneliti satu daerah saja yang merupakan unit pengamatan, dalam model analisis ini ada tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan dan verifikasinya. Menurut
Lexy
J. Moloeng, analisis data adalah proses commit to user mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, 113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.135 Tehnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik analisis model interaktif, Menurut HB. Soetopo tehnik analisis kualitatif dengan metode interaktif terdiri dari tiga komponen yaitu :136 1. Reduksi Data Reduksi data merupakan proses penyelesaian, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari data yang kasar yang dimuat dicatatan tertulis. Menurut Miles dan
Huberman, reduksi data merupakan
proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi terhadap data kasar yang diperoleh dari catatan lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis data yang bertujuan untuk menanjamkan, mengelompokkan, memfokuskan, pembuangan yang tidak perlu dan mengorganisasikan data untuk memperoleh kesimpulan final.137 2. Penyajian Data Penyajian data berupa rangkaian informasi yang tersusun dalam kesatuan bentuk narasi yang memungkinkan untuk dapat ditarik suatu kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Selain dalam bentuk narasi kalimat, sajian data dapat pula ditampilkan dengan berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel, sebagai pendukung narasi.
135
Lexy J.Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001,
hlm. 103 136
H.B. Soetopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, 2006, hlm. 120 http://repository.upi.edu/operator/upload/d_pkn_0809534_chapter3.pdf, di akses tanggal 11 Nopember 2011, Jam 11.30 WITA 137
commit to user
114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Penarikan Simpulan dan Verifikasi Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan, yang dilakukan oleh peneliti yang perlu untuk di verifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji. Penarikan kesimpulan dan verifikasi merupakan tahap akhir dari suatu penelitian yang dilakukan dengan didasarkan pada semua hal yang ada dalam reduksi maupun penyajian data. Tehnik analisis kualitatif interaksi dapat digambarkan dalam bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan verifikasinya) sebagai berikut :
Proses Analisis Data Interaktif (Interactive Model of Analysis)
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan simpulan/Verifikasi
Gambar 3 : Skema Analisis data Interaktif Keterangan : Reduksi dan sajian data diisusun pada waktu penulis sudah commit to userwawancara terhadap responden mendapatkan data-data dari
115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi di Taman Nasional Wakatobi dan upaya non penal yang seharunya dilakukan dalam rangka penanggulangan tindak pidana di
bidang
Konservasi
Sumber
Daya
Alam
Hayati
dan
Ekosistemnnya di Taman Nasional Wakatobi. Dalam mereduksi data, penulis menyisihkan data-data yang tidak diperlukan dan mengambil data yang diperlukan. Untuk penyajian data penulis membuat dalam bentuk narasi yang disusun secara logis. Disamping itu guna mendukung penyajiannya ditampilkan informasi dan data dengan berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel, sebagai pendukung narasi. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, penulis mulai melakukan penarikan kesimpulan yang didasarkan pada semua data yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Dan apabila terdapat kekurangan data atau kesimpangsiuran peneliti dapat melakukan wawancara ulang. Metode analisis ini disebut dengan model analisis interaktif (interactive model of analysis).
commit to user
116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB 1V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Taman Nasional Wakatobi a. Sejarah Taman Nasional Wakatobi Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) di Indonesia, dengan karaterisktik kawasan Sekitar 97 % Perairan (Laut) dan ± 3 % daratan, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/KptsVI/1996 dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Kpts-II/2002. Taman Nasional Wakatobi sebelum ditunjuk dan ditetapkan sebagai Taman Nasional mengalami tahapan yang panjang mulai tahun 1987 sampai dengan tahun 2002 melalui tahapan sebagai berikut: 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
Survey Penilaian Potensi Sumberdaya Alam Laut Wakatobi tahun 1987 (Surat Dirjen PHPA Tanggal 9 tahun 1987); Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 34/IV/6/SBKSDA-4/91 tanggal 6 April 1991); Permohonan Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/ Wakatobi (Surat Kakanwil Dephutbun Prop. Sultra No.533/270/Kwl-PHPA/91 tanggal 29 Mei 1991): Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. II Buton No. 523.3/1255 tanggal 3 Juni 1991); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Sekwilda Tk. I Sultra No. 566/3240 tanggal 4 Juni 1991); Usul Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 1340/DJ-VI/PA-4/1991 tanggal 31 Juli 1991); Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Dirjen PHPA No. 2387/DJcommit28 to Agustus user VI/PA-4/1991 tanggal 1991);
117
perpustakaan.uns.ac.id
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19. 20. 21.
22.
digilib.uns.ac.id
Rekomendasi Usulan Kawasan Konservasi Laut di Pulau Moromaho Dsk. Kab. Dati II Buton Prop. Sultra (Surat Dirjen PHPA No. 3801/DJ-VI/PA-4/1992 tanggal 12 Nopember 1992); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Sulawesi Tenggara (Surat Ka. Sub BKSDA Sultra No. 602/V/7/SBKSDA-4/93 tanggal 17 Juli 1993); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Bupati KDH Tk.II Buton No. 522.51/3226 tanggal 3 Nopember 1993); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Surat Ka. Kanwil Dephutbun Prop. Sultra No. 106/6168/Kwl-PHPA/93 tanggal 19 Nopember 1993); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kep. Tukang Besi/Wakatobi (Radiogram Pembantu Gub. Wil. Kepulauan Prop. Sultra No. 522.51/201 tanggal 25 Nopember 1993); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sulawesi Tenggara (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523/3220/1993 tanggal 13 Nopember 1993); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Kadis Perikanan Dati I Sultra No. 523.2/85/1994 tanggal 11 Januari 1994); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Gubernur KDH Tk. I Sultra No. 522.51/2548 tanggal 7 Maret 1994); Rekomendasi Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Tukang Besi/Wakatobi (Surat Menhut RI No. 976/Menhut-VI/94 tanggal 2 Juli 1994); Penunjukan Kawasan Perairan Kep. Wakatobi di Kab. Dati II Buton, Prop. Sultra seluas ± 306.690 (Tiga ratus enam ribu enam ratus sembilan puluh) Hektar sebagai Taman Wisata Alam Laut (SK. Menhut RI No. 462/KPTS-II/1995 tanggal 4 September 1995); Penunjukan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996); Organisasi dan Tata Kerja Balai dan Unit Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997); Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional (SK. Menhut RI No. 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002); Penetapan Kepulauan Wakatobi dan perairan sekitarnya seluas 1.390.000 Ha sebagai Taman Nasional. (SK. Menhut RI No. 7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Agustus 2002); Penegasan Menhut bahwa letak dan luas TNW tidak berubah, commit user pulau-pulau yang telah to berpenduduk dijadikan zona penyangga
118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Surat Menhut No. 723/Menhut-II/2005) tanggal 13 Nopember 2006); 23. Organisasi dan Tata Kerja UPT Taman Nasional (Permenhut No.P.03/Menhut-II/2007) 24. SK Dirjen PHKA Nomor :SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi Tanggal 23 Juli 2007138 b. Luas dan Kedudukan Kepulauan Wakatobi sejak tahun 2003 telah menjadi Kabupaten sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dengan batas-batas yang mengacu pada koordinat geografis Titik Referensi sebagai berikut: 1)
TN-3201 yang terletak di P. Wangi-Wangi (05021’28’’ LS; 123033’24’’ BT)
2)
TN-3202 yang terletak di Selatan P. Kaledupa (05034;12’’ LS; 12304618’’ BT)
3)
TN-3203 yang terletak di ujung Selatan P. Binongko (06000’42 LS; 124002’31’’ BT)
4)
TN-3204 yang terletak di P. Moromaho (06007’54” LS; 124035’59” BT)
5)
TN-3205 yang terletak di P. Runduma (05019’27” LS; 124019’21” BT) Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan konservasi perairan
laut yang dibatasi atau memiliki batas-batas luar yang berupa garisgaris yang menghubungkan titik-titik dengan koordinat sebagai berikut (Peta terlampir): 1)
Titik 1 dengan koordinat geografis 05011’57” LS dan 123020’00” BT;
2)
Titik 2 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan 123038’56” BT; commit to user
138
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi 1998-2023 (Revisi 2008), hlm.7
119
perpustakaan.uns.ac.id
3)
digilib.uns.ac.id
Titik 3 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan 123039’01” BT;
4)
Titik 4 dengan koordinat geografis 05012’04” LS dan 123050’00” BT;
5) Titik 5 dengan koordinat geografis 06036’04” LS dan 123020’00” BT.139 Berdasarkan administratif pemerintahan wilayah Kepulauan Wakatobi yang terbagi ke dalam 100 desa/kelurahan dan 8 (delapan) kecamatan
meliputi
Kecamatan
Wangi-Wangi,
Wangi-Wangi
Selatan, Kaledupa, Kaledupa Selatan, Tomia, Tomia Timur, Binongko dan Kecamatan Togo Binongko yang termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten
Wakatobi
Propinsi
Sulawesi
Tenggara,
Penduduknya pada tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas lakilaki
48.199
jiwa
dan
perempuan
51.293
jiwa,
dengan
pertumbuhannya rata-rata mencapai 1,73% per tahun dan kepadatan rata-rata 119 jiwa/km2.140 . Luas kawasan TNW adalah 1.390.000 Ha sama persis atau overlap dengan luas wilayah Kabupaten Wakatobi.
Dari luasan
tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah perairan/laut dan sisanya sebanyak 3% merupakan wilayah daratan berupa pulau-pulau.141 Kawasan TN Wakatobi terbagi menjadi 6 zona berdasarkan Keputusan Dirjen PHKA Nomor : SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi TN Wakatobi, yang meliputi :
139
Ibid, hlm. 8 Loc.Cit 141 Loc.Cit 140
commit to user
120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 3. Zonasi TN Wakatobi serta Luasannya masing-masing142
Nomor
Zonasi
Luas
1.
Zona Inti
1.300 Ha
2.
Zona Perlindungan Bahari
36.450 Ha
3.
Zona Pariwisata/Pemanfaatan
6.180 Ha
4.
Zona Pemanfaatan Lokal/Tradisional
804.000 Ha
5.
Zona Pemanfaatan Umum
495.700 Ha
6.
Zona Khusus/Daratan
46.370 Ha
Berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor SK. 149/IV-KK/2007 sebaran zonasi TN adalah sebagai tercantum pada tabel 5 berikut ini. Tabel 4. Sebaran zonasi TN Wakatobi143
No.
142 143
Zonasi
Penyebaran
1.
Zona Inti
Wilayah perairan dan mangrove serta sebagian daratan Pulau Moromaho
2.
Zona Perlindungan Bahari
Sebagian wilayah perairan bagian utara Pulau Wangi-Wangi, bagian utara dan timur Pulau Hoga, sebagian perairan sekitar Pulau Lentea dan P. Derawa, perairan P. Anano, perairan sekitar P. Lintea Selatan,
3.
Zona Pariwisata/ Pemanfaatan
Wilayah perairan bagian timur P. Wangi-Wangi (Matahora), perairan dan pantai bagian barat P. Hoga, perairan tanjung Sombano, mangrove di pesisir Derawa, perairan bagian barat Waha P. Tomia, perairan sekitar Pulau Tolandono Tomia (Onemobaa), dan sebagian wilayah karang Koromaha
4.
Zona Pemanfaatan Lokal/ Tradisional
Sebagian besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kep. Wakatobi selain peruntukan zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, P. Binongko, P. Runduma, P. Kapota, P. Komponaone, P. Nuabalaa, P. Nuaponda, P. Matahora, P. Sumanga, P.. Oroho, P. Ndaa dan serta sebagian
commit to user Statistik Taman Nasional Wakatobi Tahun 2010, hlm. 2 Ibid, hlm.4 121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
besar wilayah karang Kapota, K. Kaledupa/Tomia, dan bagian utara K. Koromaha. 5.
Zona Pemanfaatan Umum
Sebagian besar wilayah perairan diluar radius ± 4 mil dari pulaupulau dan gugusan terumbu karang di Wakatobi.
6.
Zona Khusus/ Daratan
Pulau Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, P. Binongko, P. Runduma, P. Kapota, P. Komponaone, P. Sumanga, P. Hoga, P. Lentea, P. Derawa, P. Lentea Selatan, P. Sawa, P. Anano, P. Kentiole, P. Tuwu-Tuwu, dan sebagian P. Moromaho.
Gambar 4. Peta Zonasi Taman Nasional Wakatobi144
commit to user 144
Buku Zonasi Wakatobi, 2010, Lampiran 1
122
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional Wakatobi merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan adalah organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional yang berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dalam melaksanakan tugas,
Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Taman Nasional menyelenggarakan fungsi: 1.
penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional;
2.
pengelolaan kawasan taman nasional;
3.
penyidikan, perlindungan, dan pengamanan kawasan taman nasional;
4.
pengendalian kebakaran hutan;
5.
promosi, informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;
6.
pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya;
7.
kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan;
8.
pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional;
9.
pengembangan
dan
pemanfaatan
jasa
lingkungan
dan
pariwisata alam; 10.
pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.145 Struktur
Organisasi
Balai
Taman
Nasional
Wakatobi
merupakan Balai Taman Nasional Tipe A. Taman Nasional Wakatobi dikepalai oleh seorang Kepala Balai (Eselon III) yang commit to Tanggal user : 1 Februari 2007 tentang Organisasi Permenhut Nomor : P.03/Menhut-II/2007 Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional 145
123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membawahi Kepala Sub Bagian Tata Usaha, 3 Seksi Pengelolaan Taman Nasional serta Kelompok Jabatan Fungsional. Bagan struktur organisasi Balai TN Wakatobi dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5. Bagan Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Wakatobi146
Pembentukan Seksi Pengelolaan TN Wakatobi berdasarkan surat Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA No. S. 2252/IVSek/HO.3/2006 tanggal 14 Desember 2006 tentang Penataan UPT Ditjen PHKA dimana TN Wakatobi termasuk Kelas II Tipe A terdiri dari 1. Subbagian Tata Usaha dan 3 SPTN . Berikut ini adalah rincian lokasi Subbagian TU dan SPTN di TN Wakatobi.
commit to user 146
Permenhut Nomor. P.03/Menhut-II/2007 Tanggal 1 Februari 2007
124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 5.
Lokasi Subbagian dan SPTN di TN Wakatobi147
No
SBTU, SPTN
Lokasi
1.
Subbagian Tata Usaha
Bau-Bau
2.
SPTNW I
Wanci
3.
SPTNW II
Kaledupa
4.
SPTNW III
Tomia
Jumlah pegawai TN Wakatobi sampai dengan Desember 2010 berjumlah 79 orang. Tabel berikut ini merupakan kondisi pegawai TN Wakatobi berdasarkan beberapa keadaan. Tabel 6. Kondisi Pegawai Berdasarkan Status Kepegawaian148 No.
Status Kepegawaian
Jumlah (orang)
Keterangan
1
2
3
4
1.
Pegawai Negeri Sipil a. Struktural b. Non struktural c. Fungsional/Calon
5 17 45
Ka Balai, Kasubag TU, KSPTNW I, II& III Fungsional umum ) Polhut, PEH, dan Penyuluh)*
2.
Tenaga Upah/honorer Jumlah
12 79
Keterangan : )* 1 orang CPNS
147 148
user2010, hlm. 88 Statistik Balai Tamancommit Nasional to Tahun Ibid, hlm. 89 125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari 79 orang staf/pegawai Taman Nasional tersebut tersebar di Kantor Balai di Baua-Bau dan di masing-masing Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) sesuai dengan tupoksi masingmasing. Dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 7. Kondisi Pegawai Berdasarkan Lokasi Penyebaran atau Wilayah Tugas149
Jabatan (orang) No.
Lokasi Penyebaran
Struktural
Non. Str
PEH
Polhut
Penyuluh
Honorer
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
Bau-Bau
2
12
4
1
-
4
23
2
Wangi-Wangi
1
1
1
9
1
1
14
3
Kaledupa
1
1
1
7
-
-
10
4
Tomia
0
2
1
9
1
-
13
5
BKO di BB KSDA Sulsel
-
-
-
10
-
10
Jumlah
4
5
70
16
7
36
2
Keterangan : 1 orang non struktural dan 1 orang PEH Tugas Belajar S2 10 orang polhut masuk dalam anggota SPORC dan di BKO-kan di Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan di Makassar.
d. Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi Dari data yang diperoleh di Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW), intensitas tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi dari tahun ke tahun untuk beberapa jenis tindak pidana cenderung menurun. Terutama kegiatan penangkapan ikan commit to user 149
Ibid, hlm. 90
126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan penggunaan bahan peledak dan racun (potassium cyanida). Tindak pidana yang terjadi
umumnya meliputi tindak pidana
kepemilikan/penangkapan satwa yang dilindungi, Kegiatan yang dapat merubah fungsi kawasan zona inti Taman Nasional, kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona Taman Nasional, penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan, penggunaan racun atau potassium cyanida (potas) dalam penangkapan ikan, penambangan pasir pantai , penambangan batu karang, penebangan hutan bakau/mangrove dan kegiatan perikanan illegal (tanpa izin). Pelaku tindak pidana biasanya dilakukan oleh masyarakat lokal maupun masyarakat di luar Wakatobi. Dari matriks data penanganan kasus perkara tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi tahun 2000 s.d 2011, intensitas tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi dapat dilihat dalam tabel berikut :
commit to user
127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 8. Data Intensitas Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi periode tahun 2000 s.d 2011
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun
Jumlah
Persentase
Perkara Pidana
(%)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 11 6 3 3 3 1 1 3 2
2,94 0 0 32,35 17,64 8,82 8,82 8,82 2,94 2,94 8,82 5,89
Jumlah
34
100
Sumber Data : Laporan Data Penanganan Kasus Tindak Pidana, Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011 Dari data tersebut diatas menunjukkan bahwa jumlah perkara tindak pidana yang terjadi di TNW paling banyak terjadi pada tahun 2003 yaitu 11 kasus atau sekitar 32 % dari total kasus yang terjadi sepanjang tahun 2000 s.d 2011 dan terjadi penurunan intensitas.
commit to user
128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Grafik Kejadian Tindak Pidana di TN. Wakatobi Tahun 2000 s.d 2011 120 100 80 60 40 20 0
Jumlah Perkara Pidana
Persentase (%)
Kasus pelanggaran yang terjadi paling menonjol adalah kasus penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan sepanjang kurung waktu tahun 2000 s.d 2011 telah terjadi 18 (delapan belas) kasus
pelanggaran
pidana,
menyusul
kasus
kepemilikan/penangkapan satwa yang di lindungi (penyu) sebanyak 10 (sepuluh) kasus. Selengkapnya disajikan pada tabel berikut :
commit to user
129
Tabel 9 Data Intensitas Kejadian Perkara Tindak Pidana di Taman Nasional Wakatobi sejak Tahun 2000 s.d 2011 Tahun No
1 1.
Presentase
Tindak Pidana
2 Penggunaan Bahan Peledak
Jumlah 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
3
4
5
6
7
8
9
8
2
1
2
1
2007
2008
2009
2010
2011
10
11
12
13
14
15
1
18
52,94
1
4
11,778
1
2,94
10
29,41
1
2,94
34
100
3
(%)
dalam Penangkapan Ikan 2.
Penggunaan Racun (Potas) dalam Penangkapan Ikan
3.
2
Pelanggaran Zona Inti Taman Nasional
4.
1
1
Pelanggaran Fungsi Zona Lain Taman Nasional
5.
Kepemilikan/penangkapan Satwa Yang di Lindungi
6.
2
4
1
1
2
Penebangan/Perambahan Hutan Mangrove/Bakau
7.
Penambangan Pasir Pantai
8.
Penambangan Batu Karang
9.
Kegiatan Perikanan Ilegal Jumlah
1
1
11
6
3
3
3
1
1
3
2
Sumber Data : Laporan Data Penanganan Kasus Tindak Pidana, Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011
130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi. Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, peneliti akan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto seperti yang telah diuraikan pada kajian teori diatas. 1)
Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang) Dasar hukum pengelolaan kawasan pelestraian alam atau taman nasional di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya termasuk pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya dinyatakan kaedah atau ketentuan bahwa taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Ketentuan norma/ larangan atau perbuatan
yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan
taman nasional dalam Pasal 21 dan Pasal 33 sebagai berikut : Pasal 21 : (1) Setiap orang dilarang untuk : a.Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnakan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia (2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; commit to user
131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia; d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia; e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini termuat dalam Pasal 40 ayat (1) s.d ayat (4) sebagai berikut : Pasal 40 : (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dancommit ayat (2)toserta userPasal 33 ayat (3) dipidana dengan
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4) Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran Dari hasil studi pustaka di Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi diperoleh data penanganan perkara pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) kurun waktu tahun 2000 s.d 2011 sebanyak 34 (tiga puluh empat) kasus pelanggaran pidana. Dari jumlah tersebut hanya 21 (dua puluh satu) kasus yang vonis di pengadilan dengan sanksi hukuman yang rata-rata ringan, antara 4 (empat) bulan penjara s.d dengan 1(satu) tahun 8 (delapan) bulan penjara paling tinggi. Selengkapnya disajikan pada tabel berikut :
commit to user
133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 10 Data Rekapitulasi Vonis Hukuman yang di jatuhkan oleh Hakim di Pengadilan Negeri Bau-Bau atas pelaku Tindak Pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011
No
Tindak Pidana
Jumlah
yang Terjadi
kasus yang di Proses
Paling Rendah
Paling Tinggi
2
3
4
5
16 kasus
4 bulan
1 tahun 8 bulan
2 kasus
4 bulan
Pidana Penjara 7 (tujuh)
1 1.
Penangkapan ikan dengan
Vonis Hukuman
bahan peledak 2.
Penangkapan ikan dengan bahan kimia (Potasium cyanida(
bulan dan denda Rp. 200.000,subs 1 (satu) bulan Kurungan 3.
Pelanggaran zona inti
1 kasus
Pidana Penjara 5 (lima) bulan
4.
Penangkapan dan peredaran satwa yang dilindungi (penyu)
Extract Vonis No. 1 kasus
225/Ket.Pid.B/ 2006/PN.BB. tanggal 8 Januari 2007 Vonis penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebanyak Rp.500.000,-
5.
Penebangan Hutan Mangrove
1 kasus
(Lima ratus ribu rupiah). Pidana Penjara 4 (empat) bulan 15 (lima belas) hari
Sumber : Data olahan matriks penanganan kasus perkara pidana di bidang KSDA & E , Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011 Dari data di atas menunjukkan bahwa vonis hukum yang dijatuhkan atas pelaku tindak pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi paling berat 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan untuk pelaku kepemilikan tanpa hak bahan peledak (penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan), jika dilihat commit to user dengan besarnya kerusakan sumber daya alam yang ditimbulkan 134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
akibat perbuatan pelaku tidak sebanding. Dari segi ancaman hukuman di Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dinyatakan bahwa pelaku kepemilikan tanpa hak bahan peledak
dapat diancam dengan hukuman mati atau hukuman
penjara seumur hidup atau Hukuman penjara (dua puluh) Dalam
maksimum. 20
tahun.150 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, ketentuan sanksi pidana dirumuskan dalam Pasal 40 yaitu terhadap pelanggaran adanya kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan zona inti taman nasional diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juga rupiah). Di ayat (2) juga diyatakan bahwa perbuatan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lainnya dari taman nasional diancam dengan sanksi hukuman penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Kasus-kasus penggunaan bahan peledak dan potassium cyanida dalam penangkapan ikan termasuk dikawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kegiatan atau perbuatan yang dapat merubah keutuhan zona inti taman nasional dan tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain di taman nasional, namun dalam implementasi penegakan hukum ketentuan ini masih sulit diterapkan. Hasil wawancara dengan Yahya Sonda,S menyatakan: “Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih sulit kami terapkan di Wakatobi karena penyidik merasa kesulitan dalam pembuktian unsur-unsur pidana yang dilanggar. Ketika menerapkan pasal ini penyidik harus membutuhkan keterangan ahli dibidang konservasi kelautan dan di Wakatobi commit to user 150
Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api, pasal 1 ayat (1)
135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak ada yang menpunyai kualifikasi seperti itu dan penyidik akhirnya mencari undang-undang lain seperti Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 tentang Kepemilikan Senjata Api, dimana unsur pembuktian pidana dalam undang-undang ini tidak sulit untuk menjerat pelaku pembom ikan, prinsipnya kami mencari undang-undang yang mudah pembuktiannya.”151 Seperti juga dikatakan oleh Rubiani, : “Penerapan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya di Kabupaten Wakatobi masih sulit diterapkan karena akan berbenturan dengan kepentingan Pemerintah Daerah Wakatobi dalam hal kepentingan pembangunan daerah dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, disisi yang lain pembuktian dalam undang-undang ini membutuhkan ahli dimana di Wakatobi sendiri sulit di dapatkan. Hal lainnya adalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya nelayan. Sejak dahulu kala nelayan Wakatobi sudah terbiasa melakukan penangkapan ikan diseluruh wilayah perairan laut Wakatobi yang sekarang ini telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional, menurut saya hukum atau aturan dibuat dalam rangka terciptanya ketertiban dan pencapaian kesejahteraan serta terciptanya rasa keadilan bagi masyarakat. Penetapan luasan kawasan Taman Nasional Wakatobi harus di tinjau ulang disesuaikan dengan ruang kebutuhan nelayan dan Pemerintah Daerah Wakatobi serta pembangunan konservasi sendiri sehingga ada keseimbangan antara pembangunan konservasi dan pembangunan daerah serta pencapaian kebutuhan masyarakat, kami sebagai penegak hukum tidak bisa menerapkan undang-undang begitu saja tanpa melihat apakah undang-undang itu tidak berbenturan dengan kepentingan masyarakat banyak jangan sampai penerapan suatu undang-undang justru akan menimbulkan dampak sosial lainnya. Saat ini wilayah kepulauan Wakatobi telah berubah sebagai sebuah daerah otonom kabupaten dan memiliki jumlah masyarakat kurang lebih 100.000 (seratus ribu) jiwa yang juga sebagai kawasan Taman Nasional, sudah tentu ketika penegakan hukum di bidang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya diterapkan maka akan terjadi benturan atau pertentangan dengan undang-undang lainya seperti Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang belum mengatur konsep zonasi dalam pemanfaatan
151
Wawancara dengan Yahya Sonda,S, Penyidik Polres Wakatobi di Polres Wakatobi di commit to user Wanci, tanggal 20 Oktober 2011, Jam 14.00 WITA
136
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sumber daya perikanan diperairan laut, hal menjadi dilema kami dilapangan ”. 152 Seperti juga dikatakan oleh Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, Wahyu Rudianto sebagai berikut : “Posisi kawasan Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan dengan wilayah Kabupaten Wakatobi menyebabkan tumpangtindihnya/benturan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di Kepulaun Wakatobi. Banyak aturan pengelolaan taman nasional yang justru bertentangan dengan kepentingan pemda Wakatobi.”153 Selanjutnya La Ode Made Mengatakan : “Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap kasus-kasus pelaku tindak pidana di kawasan Taman Nasional Wakatobi sangat sulit untuk menjerat aktor/pelaku utama khusus pemberi modal, banyak dugaan sesuai hasil penyelidikan bahwa para pelaku bom ikan atau pembiusan ikan hidup/ikan karang dengan menggunakan racun cyianida, umumnya dimodali oleh perusahan –perusahan penampung atau pengusaha ikan hidup baik berasal dari Wakatobi maupun dari luar Kabupaten Wakatobi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya belum mengatur pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum sehingga selama ini penegakan hukum terhadap tindak pidana bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya hanya menjerat nelayan-nelayan kecil yang sebenarnya mereka hanya korban bujukan dari para pengusaha tersebut.”154 Hasil wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Taman Nasional Wakatobi, menyatakan : “Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, khususnya penerapan ketentuan pidananya terhadap pelaku tindak pidana yang terjadi di kawasan TNW masih sulit diterapkan oleh penyidik karena penyidik selalu kesulitan dalam hal membuktikan 152
Wawancara dengan Rubiani, Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Wakatobi di Kantor Kejaksaan Negeri Wakatobi, di Numana, tanggal 16 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 153 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.30. WITA 154 commit to user Wawancara dengan La Ode Made, Penyidk Polres Wakatobi di Mako Polres Wakatobidi Wanci, tanggal 24, Oktober, Jam 14.00 WITA
137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
unsur-unsur pidananya disamping itu juga karena pengetahuan para penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) dalam hal konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya masih rendah. Untuk membuktikan unsur-unsur pidana yang termuat dalam undang-undang ini diperlukan keahlian khusus tentang konservasi perairan laut” karena itu penyidik lebih cenderung menggunakan undang-undang lain yang bisa menjerat pelaku”.155 Hasil wawancara dengan Ahali, menyatakan : “ Salah satu kesulitan penyidik kami dalam melakukan tugas penyidikan tindak pidana baik di bidang konservasi maupun bidang perikanan adalah penerapan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya diperlukan pembuktian kerusakan secara fisik terhadap akibat atas perbuatan yang dilakukan di perairan. Karena itu keterangan ahli sangat dibutuhakn. Beberapa kasus tindak pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi tidak bisa dilanjutkan kasusnya karena kurang keterangan ahli yang mendukung pembuktian suatu tindak pidana. Rata-rata kasus tindak pidana di bidang konservasi dan perikanan membutuhkan keterangan ahli. Disamping itu untuk mendatangkan ahli dari luar penyidik tidak memiliki biaya untuk itu”.156 Dari keterangan – keterangan responden diatas diperoleh bahwa faktor undang-undangnya sendiri dalam penegakan hukum pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya merupakan salah satu kelemahan penegakan hukum pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
di Taman Nasional Wakatobi adalah faktor
undang-undangnya sendiri yang meliputi : Rumusan unsur pidana yang abstrak menyebabkan kesulitan dalam pembuktiannya, kesulitan dalam mendapatkan keterangan ahli, tidak diaturnya pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum, dan posisi Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan atau overlaping dengan wilayah Kabupaten Wakatobi yang menimbulkan benturan
155
Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala SPTN Wil.I di NumanaWangi-Wangi, tanggal 10 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 156 commit to Polres user Wakatobi di Mako Polres Wakatobi- di Wawancara dengan Ahali,. Kasat Reskrim Wanci, tanggal 24, Oktober 2011, Jam 12.30 WITA
138
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah 2)
Faktor aparat penegak hukum Kawasan Taman Nasional Wakatobi memiliki luas 1.390.000, (satu juta tiga ratus ribu ) ha. Saat ini jumlah personil atau aparat yang melakukan tugas pengamanan dan perlindungan kawasan terdiri dari 21 (dua puluh satu) personil Polisi kehutanan, 2 (dua) orang berkualifikasi sebagai PPNS di tambah 3 (tiga) orang PPNS Kehutanan dari non Polhut yakni Kepala Balai TNW, Kepala SPTN Wil. I dan 1 (satu) orang staf Balai TNW. Personil Polisi Kehutanan tersebar di 3 (tiga) wilayah SPTN, masing-masing SPTN Wil I berjumlah 8 (delapan) orang, SPTN Wil. II berjumlah, 7 (tujuh) orang dan SPTN Wil.III berjumlah 6 (enam) orang. Dilihat dari segi kuantitas atau jumlah aparat penegak hukum di Balai Taman Nasional Wakatobi khususnya Polisi kehutanan dan PPNS, data yang ada jumlah keduanya sangat minim dan sangat tidak sesuai dengan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas 1.390.000, ha yang harus di jaga. Sesuai dengan data
kebutuhan formasi pegawai di Balai Taman Nasional
Wakatobi Tahun 2011 untuk tenaga Polisi Kehutanan seharusnya sejumlah 50 (lima puluh) orang untuk menjaga kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas 1.390.000,ha. Jumlah Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional untuk saat ini berjumlah 21 (dua puluh satu) orang yang tersebar di 3 Seksi Wilayah Pengelolaan Taman Nasional dan ditambah PPNS berjumlah 3 (tiga) orang157, Jika di rata-ratakan dengan pelaksanan tugas pengawasan oleh seorang petugas polhut maka setiap petugas harus menjaga luas kawasan taman nasional sebesar ± 66.190,48 ha. Hal ini tentunya sangat
commit to user 157
Data Kepegawaian Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
139
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sulit dilaksanakan. Maka wajar apabila pelaksanaan pengawasan dan pengamanan kawasan belum dapat maksimal dilaksanakan. Hasil wawancara dengan salah satu personil Polhut SPTN Wil. I, Syaharuddin mengatakan : “Luas kawasan yang kami jaga sangat luas tidak sebanding dengan jumlah Polhut dilapangan. Pelaksanaan kegiatan patroli dilakukan secara acak, karena luasnya wilayah yang harus di awasi disamping itu medan atau kondisi perairan laut yang cukup berat karena harus melalui lautan besar sangat memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.karena personil kami terbatas , kegiatan patroli keamanan di kawasan tidak bisa rutin setiap saat.”158 Selanjutnya Muhammad Naswir, juga anggota Polhut SPTN Wil. I mengatakan : “ Kendala polhut dilapangan disamping jumlah kami yang sangat terbatas, juga secara kewenangan Polhut tidak seperti Polri sebagai yang berfungsi sebagai penyelidik yang dapat melakukan tugas penangkapan atas perintah penyidik atau melakukan tindakan menurut hukum yang bertanggung jawab. Polisi Kehutanan hanya berfungsi menjalankan tugas secara preventif atau pencegahan tidak bisa melakukan penangkapan kecuali tertangkap tangan. Dalam hal menemukan perkara pidana di kawasan Polhut harus segera melaporkan kasus tersebut ke PPNS atau Penyidik Polri untuk tindakan hukum selanjutnya. Hal ini dilapangan menjadi kendala. Keterbatasan kewenangan ini justru membuat Polhut selalu ragu-ragu dalam mengambil tindakan hukum sehingga beberapa kasus pelanggaran pidana yang ditemukan akhirnya hanya dilakukan tindakan pembinaan ditempat dan pelaku dilepas.” 159
Dari sisi kualitas aparat penegak hukum di Balai Taman Nasional Wakatobi khususnya Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan, maka dapat dikatakan belum sesuai dengan apa yang diharapkan, PPNS Balai Taman Nasional Wakatobi berjumlah 5 (lima) orang, tetapi belum ada yang pernah melakukan tugas penyidikan. ini dapat dilihat dari data penanganan kasus 158
Wawancara dengan Syaharuddin, Kepala Resort Polisi Kehutanan Resort Matahora SPTN I BTNW, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana, Tanggal 24 Oktober 2011, Jam 15.00 WITA 159 user Polhut SPTN I BTNW, di Kantor SPTN Wawancara dengan Muhammadcommit Naswir, to anggota Wilayah I di Numana , tanggal 23 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA
140
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perkara pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi kurun waktu tahun 2000 s.d 2011, dari 21 (dua puluh) kasus yang diproses hukum dan vonis di pengadilan, proses penyidikannya masih dilakukan oleh penyidik Polri. Dari hasil wawancara dengan salah satu pejabat PPNS Balai Taman Nasional Wakatobi, Ismono Dg. Halim menyatakan : “Selama ini PPNS disini belum melakukan tugas penyidikan perkara tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terjadi di kawasan TNW, karena disamping tingkat pengetahuan /kemanpuan PPNS yang masih kurang dalam hal penyidikan juga karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada PPNS masih sangat terbatas, seperti PPNS tidak memiliki kewenangan menangkap dan menahan pelaku seperti penyidik polri, ketika PPNS melakukan penangkapan (tertangkap tangan) maka segera harus melaporkan ke penyidik polri untuk diberikan surat penangkapan dan/atau penahanan. PPNS bekerja dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri dan hal ini menimbulkan ketidakmandirian dan ketergantungan PPNS terhadap penyidik polri serta memperpanjang birokrasi. PPNS akhirnya cenderung pasif untuk bekerja karena ketika mereka bekerja harus selalu lapor kepada polisi, disamping itu secara kelembagaan, jabatan PPNS Kehutanan merupakan tugas tambahan dan belum terorganisir dengan baik.”160 Hasil wawancara dengan Abdul Halim Amran menyatakan : “ Selama ini salah satu kelemahan dalam upaya penegakan hukum tindak pidana khususnya tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah koordinasi yang kurang antara sesama aparat penegak hukum, selama ini masih terjadi perbedaan persepsi khusus dalam hal penerapan pasal-pasal sanksi pidana di dalam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, oleh karena itu aparat penegak hukum khususnya PPNS maupun Penyidik Polri dan penuntut umum harus selalu berkoordinasi dengan instansi teknis dalam rangka membangun kesepahaman atau persepsi yang sama, masih adanya keraguan penyidik atau jaksa dalam menerapkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena disebabkan kurangnya pemahaman mereka dalam memahami undang-undang tersebut. commit to user Balai Taman Nasional Wakatobi di Wawancara dengan Ismono Dg. Halim, Penyidik Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi di Baubau, tanggal 7 Oktober 2011, Jam 11.00 WITA 160
141
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut merupakan delik formil yang tidak perlu dibutuhkan pembuktian dampak/akibat atas perbuatan pelaku. Oleh karena itu penyamaan persepsi dan koordinasi antar penegak hukum sangat diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”161 Selanjutnya menurut Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, Wahyu Rudianto mengatakan , “ Banyak faktor yang menyebabkan penegakan hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya belum optimal antara lain : PPNS Balai Taman Nasional belum memiliki keberanian untuk melakukan penyidikan yang menjadi kewenangannya, adanya pemahaman yang berbeda antar penegak hukum terhadap tindak pidana konservasi.”162 Dari uraian-uraian penjelasan responden diatas menunjukkan bahwa faktor aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, meliputi : jumlah/kuantitas penegak hukum yang kurang, kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS, perbedaan persepsi antar penegak hukum dalam penerapan undang-undang, kurangnya koordinasi dan rendahnya kualitas pemahaman aparat penegak hukum dalam penerapan undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 3)
Faktor sarana prasarana/fasilitas pendukung Dari hasil penelitian menunjukkan sarana prasarana yang digunakan selama ini dalam kegiatan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi disajikan dalam tabel berikut :
161
Wawancara dengan Abdul Halim Amran, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Baubau di Kantor Pengadilan Negeri Baubau di Baubau, Tgl 23 Nopember 2011, Jam.10.00 WITA 162 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor commit user Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011,toJam 15.30. WITA
142
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 11 Sarana Prasarana Pelindungan Hutan Balai Taman Nasional Wakatobi
No
Jenis Sarana Prasarana
Satuan
Jumlah
Keterangan
1
2
3
4
5
1.
Mobil Patroli
unit
3
2.
Kapal Patroli
unit
4
1 unit milik Joint Program TNC - WWF
3.
Handy Talk (HT)
buah
20
4.
Radio SSB
unit
4
5.
Radio RIG
unit
5
6.
Radio Motorola
unit
6
7.
Speed Boat
unit
6
8.
Pesawat Ultra Ringan
9.
Senjata Api
10.
2 unit rusak
unit
1
pucuk
10
1 pucuk pistol
Sepeda Motor Patroli
unit
13
1 unit rusak
11.
Pos Jaga
buah
2
1 buah rusak
12.
Pondok Kerja
buah
6
1 rusak berat
13.
Kantor SPTN
buah
3
14.
Barak Polhut dan perlengkaannya
unit
5
15.
Komputer
unit
5
16.
Peralatan Selam
Set
15
setiap SPTN 5 set
17.
Pos Jaga terapung
unit
1
rusak berat
18.
Kamera
unit
3
Masing-masing SPTN
19.
GPS
unit
3
20.
Hanggar Pesawat
unit
2
21.
Kompresor selam
unit
3
Jumlah
120
Sumber : Data Balai Taman Nasional Wakatobi, Tahun 2011 Jika dilihat dari fasilitas pendukung perlindungan Hutan dalam rangka penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Balai Taman Nasional Wakatobi sudah cukup memadai untuk mendukung pelaksanaan tugas dilapangan, hanya saja kendala dilapangan commit to user adalah ketersediaan bahan bakar kendaraan laut khususnya speed 143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
boat cukup besar dan memerlukan biaya operasional yang sangat mahal. Dalam sehari saja misalnya, untuk melakukan kegiatan patroli pengamanan kawasan TNW dengan menggunakan speed boat memerlukan bahan bakar ± 1.000 (seribu) liter bensin atau sekitar 5 juta s.d 7 juta rupiah sementara di sisi yang lain dana yang tersedia sangat terbatas. Hal ini menyebabkan frekuensi patroli pengamanan kurang efektif. Disamping itu faktor lainnya adalah biaya penanganan kasus perkara pidana yang terjadi di kawasan perairan laut juga membutuhkan biaya yang mahal terutama dalam hal pengamanan dan pengangkutan barang-bukti tindak pidana. Sisi yang lain terlihat bahwa ketersediaan sarana prasarana juga harus
didukung
dengan
kemanpuan
penguasaan
teknologi
khususnya perbaikan dan pemeliharaan armada/kendaraan laut, dibutuhkan personil yang harus memiliki kemanpuan teknis di bidang perkapalan atau speed boat sehingga ketika terjadi kerusakan dapat segera dilakukan perbaikan dan perawatan. Di Balai Taman Nasional sendiri sampai saat ini belum ada mekanik atau staf ynag memiliki kemanpuan teknis di bidang perkapalan atau speed boat sehingga ketika terjadi kerusakan pada armada/peralatan di laut, Balai Taman Nasional Wakatobi harus mendatang tenaga ahli dari Jakarta atau perusahan dimana speed boat atau kapal tersebut dibuat. Sehingga hal ini menyebakan kegiatan pengamanan kawasan TNW juga tidak dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Seperti yang di sampaikan oleh La Ode Ahyar Thamrin Mufti : “kendala kami dilapangan dalam hal sarana prasarana perlindungan hutan adalah masalah operasional dilapangan seperti ketersediaan bahan bakar minyak yang terbatas, disamping itu juga terkadang ketika speed boat patroli kami rusak, maka harus menunggu berbulan-bulan untuk dilakukan perbaikan karena mekanik harus kami panggil dari Jakarta atau dari Surabaya. Hal disebabkan karena motoris di Balai Taman Nasional wakatobi belum memiliki keahlian untuk melakukan perbaikan apabila speed boat rusak, dan commit to user dampaknya beberapa laporan kejadian tindak pidana di kawasan 144
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TNW tidak dapat kami tindaklanjut karena armada kami mengalami kerusakan” 163 Hasil wawancara dengan Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, Wahyu Rudianto mengatakan : “ Perioritas kami dalam penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan Taman Nasional Wakatobi adalah dengan melakukan kegiatan pencegahan yaitu pelaksanaan secara intensif patroli rutin kawasan yang dilakukan di masing-masing SPTN (seksi pengelolaan Taman Nasional) , hanya memang ada kendala manajemen pengelolaan kegiatan patroli di lapangan yang kadang menjadi hambatan terutama masalah ketersediaan bahan bakar setiap saat, dari sisi pendanaan sudah cukup tersedia.”164 Kapolres Wakatobi, Pitra A. Ratulangi mengatakan: “Proses penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi cukup baik hanya saja kendala dilapangan lebih pada sarana atau fasilitas pendukung seperti pembiayaan yang cukup tinggi, dan minimnya kendaraan operasional di laut. Saat ini untuk Polres Wakatobi belum memiliki speed boat yang memadai untuk melakukan tugas patroli di laut. Biasanya kami dapat dukungan dari meminjam dari pemerintah daerah atau Balai Taman Nasional Wakatobi itupun tidak bisa setiap saat.”165 Dari
uraian
penjelasan-penjelasan
responden
diatas
menunjukkan bahwa faktor sarana atau fasilitas pendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum dilapangan juga merupakan mempengaruhi kelemahan pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi meliputi, Ketersediaan operasional kendaraan patroli, pembiayaan yang tinggi, kurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam pemeliharaan dan 163
Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA 164 Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi di Kantor Balai TNW di Baubau Tanggal 8 Nopember 2011, Jam 15.15. WITA 165 commitKapolres to userWakatobi di Mako Polres Wakatobi, Wawancara dengan Pitra A. Ratulangi, tanggal 10 Oktober 2011, Jam 11.00 WITA
145
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbaikan
kendraan
operasional
patroli
dan
manajemen
pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik. 4)
Faktor masyarakat Kepulauan Wakatobi saat ini di huni oleh Penduduk pada tahun 2007 tercatat 99.492 jiwa terdiri atas laki-laki 48.199 jiwa dan perempuan 51.293 jiwa, yang tersebar di 100 desa/kelurahan yang berasal dari beberapa etnis suku yaitu Buton/Wakatobi sendiri, Cia-Cia, Muna, bugis, Jawa umumnya mendiami daratan pulau-pulau dan satu etnis suku laut Bajau yang mendiami sebagian kecil daerah pesisir pulau-pulau di Wangi—Wangi, Kaledupa dan Pulau Tomia.166 Pada umumnya masyarakat di Kepulauan Wakatobi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan sudah cukup baik, hanya saja disadari memang masih ada sebagian kelompok oknum masyarakat baik masyarakat lokal maupun luar wakatobi yang masih melakukan tindak pidana khususnya di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Pada umumnya asal pelaku tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi khususnya masyarakat lokal Wakatobi berasal masyarakat suku laut (Bajau) asal Mola di pulau Wangi-Wangi dan Bajau Mantigola di pulau Kaledupa dan berasal dari masyarakat nelayan luar Wakatobi. Dari data registrasi penanganan perkara tindak pidana di Taman Nasional Wakatobi kurun waktu tahun 2000 s.d 2011 menunjukkan asal pelaku tindak pidana di sajikan dalam tabel berikut :
commit to user 166
Statistik Taman Nasional Wakatobi Tahun 2010
146
Tabel 12 Data Asal Pelaku Tindak Pidana di Bidang KSDA & E yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi periode Tahun 2000 s.d 2011
No
1 1. 2. 3. 4. 5.
Tindak Pidana Yang Terjadi
2 Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan Penggunaan Potasium (Kcn) dalam penagkapan ikan Penangkapan/peredaran satwa yang dilindungi (penyu) Pelanggaran Zona Inti Penebangan/perambahan Hutan Mangrove Jumlah
Asal pelaku Kaledupa Tomia
Bajo Mola
Bajo Mantigola
/ kasus
/ kasus
/ kasus
3
4
5
Binongko
Luar Wakatobi
/ kasus
/ kasus
/ kasus
6
7
8
9
1
10
18
1
4
7 3 8
1
1
10 1
1 1
12
34
1 15
4
1
1
Jumlah Total
1
Sumber Data : Data Olahan Matriks penanganan kasus tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
147
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa asal pelaku tindak pidana yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi kurun wakatu 2000 s.d 2011, dari 34 kasus yang terjadi, 15 kasus atau 44,11 persen berasal dari masyarakat/nelayan lokal wakatobi khususnya masyarakat suku bajau Mola dan 12 kasus atau 35,30 persen berasal dari nelayan luar Wakatobi. Dari hasil wawancara dengan salah satu nelayan Bajau Mola Musliadi, di Desa Mola Selatan mengatakan : “ masih adanya sebagian masyarakat bajau mola yang masih melakukan kegiatan atau penangkapan ikan di kawasan Taman Nasional Wakatobi dengan alat tangkap yang bertentangan dengan peraturan perundangan disebabkan alasan ekonomi, ada juga karena adanya keinginan untuk memperoleh hasil penangkapan lebih cepat, faktor keterbatasan fasilitas pendukung alat tangkap perikanan seperti kapal penangkap ikan yang tidak ada, peralatan yang kurang. Umumnya pelaku tindak pidana adalah nelayan kecil (nelayan tradisional) dengan sarana yang digunakan sampan atau perahu kantingting (5 PK). Disamping itu rendahnya pengetahuan yang dimiliki nelayan dalam berusaha juga menyebabkan mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh pendapatan untuk menghidupi keluarga juga menjadi faktor penyebabnya. Untuk itu seyogyanya pemerintah mencari solusi yang lebih arif dalam menindak pelaku tindak pidana di kawasan TNW apalagi mereka itu adalah nelayan kecil yang tidak mengerti dengan hukum, karena itu sosialisasi atau penyuluhan dan pembinaan oleh pemerintah sangat diperlukan dalam rangka peningkatan kesadaran hukum serta perlunya program pendampingan dan bimbingan peningkatan usaha ekonomi keluarga bagi nelayan kecil di Mola menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan oleh pihak pengelola Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi.”167 Menurut Sadar, “masih adanya sebagian masyarakat Bajo khususnya Bajo Mola kurang patuh dengan hukum atau peraturan karena rendahnya pemahaman mereka akan pentingnya pelestarian sumber daya alam dan pengaruh godaan dari para pengusaha/pengumpul ikan hidup yang datang dari luar Wakatobi.”168 167
Wawancara dengan Musliadi, Unsur Nelayan Bajau-Mola di desa Mola Selatan, tanggal 13 Oktober 2011, Jam 10.00 WITA 168 commit to user Keluarga Bajo-Sultra, Indonesia di Wawancara dengan Sadar, Sekretaris Kerukunan Desa Mola Selatan, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
148
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya Sadar mengatakan : “ Suku Bajo sejak dahulu kala mencintai laut karena mereka hidup dan sangat tergantung pada sumber daya di laut. Dikenal sebagai masyarakat pemburu di laut tetapi dalam pemanfaatan sumber daya alam di laut masyarakat bajo tidak mengenal adanya sistem zonasi di laut. Karakter masyarakat bajo merupakan masyarakat yang takut/patuh pada hukum atau peraturan. Adanya sebagian masyarakat bajo yang menangkap ikan dengan bom atau bius karena godaan dari pengumpul ikan hidup yang datang di Kepulauan Wakatobi sejak tahun 1990-an. Karena desakan ekonomi sesaat dan pengaruhi gaya hidup masyarakat ini sudah terkontaminasi dengan kehidupan masyarakat darat yang konsumtif mereka akhirnya melakukan pekerjaan yang melanggar hukum mengikuti keinginan pemodal, menurut saya untuk memperbaiki kondisi ini tidak hanya dilakukan dengan penegakkan hukum semata tetapi kegiatan penyuluhan dan penyadaran di masyarakat sangat diperlukan.”169 Gaya hidup masyarakat khususnya para pengusaha yang mengutamakan
keuntungan/provit
dalam
melakukan
usaha
pengelolaan sumber daya alam telah mengubah cara pandang dan perlakuannya
terhadap
lingkungan.
Untuk
memenuhi
kebutuhannya para pengusaha tidak segan-segan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar keuntungan komersial.
Di
Taman
Nasional
Wakatobi
di
duga
para
pengusaha/pengumpul ikan hidup menfasilitasi nelayan dengan potassium cyanida (sejenis racun) untuk melakukan penangkapan beberapa jenis ikan tertentu. Dari beberapa penjelasan responden di atas disimpulkan bahwa faktor kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi terkait unsur masyarakat adalah disebabkan oleh beberapa hal meliputi : faktor kemiskinan, pemahaman dan pengetahuan yang rendah, keterbatasan sarana usaha bagi nelayan, kebiasaan turun temurun dalam hal kegiatan penangkapan ikan di perairan kepulauan Wakatobi tidak mengenal commit to user 169
Ibid, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adanya sistem zonasi dan pengaruh godaan//pengaruh pengusaha dari luar wakatobi dengan pemberian fasilitas-fasilitas tertentu. 5)
Faktor Kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilainilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Hasil Wawancara dengar Sadar menyatakan : “ khususnya masyarakat Bajo sejak dahulu sudah memiliki kearifan /budaya lokal tentang pemanfaatan sumber daya laut secara bijaksana yang sejalan dengan prinsip konservasi. Beberapa ritual/tata upacara adat tentang pemanfaatan dan larangan dalam pemanfaatan sumber daya laut dikenal dengan ritual “sangal, parika, dan pamali”. Kesepakatan untuk menetapkan tata kelola penangkapan ikan di laut dikenal dengan “Madua Pina” serta sanksi-sanksi adat yang diberikan kepada masyarakat yang melanggar aturan tersebut seperti dikucilkan dilingkungan masyarakat, mengganti ikan yang ditangkap dan dikembalikan ke lokasi yang dilarang ditangkap. Adanya perubahan pola kebiasaan mayarakat bajo ke perikanan yang cenderung merusak karena pengaruh oleh orang-orang luar dan rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya konservasi atau pelestarian sumber daya laut serta kesulitan pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, karena itu salah satu upaya yang mesti dilakukan adalah perlunya penyuluhan tentang konservasi dan penguatan ekonomi masyarakat ditingkat keluarga nelayan bajo.”170 Namun sayangnya kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang dilaksanakan, masyarakat di Kepulauan Wakatobi termasuk komunitas suku bajo dalam hal melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam di laut tidak lagi melakukan pemanfaatan secara tradisional seperti sebelum-sebelumnya. Pengaruh kemajuan teknologi saat ini, pemanfaatan sudah dilakukan dengan tehnikcommit to user
170
Ibid, , Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
150
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tehnik perikanan modern seperti penggunaan mesin, kapal penangkap ikan, jaring dan peralatan lainnya. Masyarakat Bajo merupakan komunitas terbesar di Kepulauan Wakatobi yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Ada pemahaman atau anggapan yang keliru dalam kebiasaan mereka melakukan penangkapan ikan bahwa sumber daya perikanan tidak akan pernah habis, masyarakat bajo adalah tipe masyarakat nomaden atau suka berpindah-pindah. Salah satu nilai konservasi yang dianut yakni bahwa untuk mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan maka metode yang digunakan adalah dengan tehnik berpindahpindah lokasi penangkapan ikan. Menurut mereka dengan tehnik tersebut sumber daya perikanan tidak akan pernah habis dan tidak perlu di zonasi. Selanjutnya Sadar mengatakan : “Saat ini kebiasaan kearifan lokal masyarakat bajo yang memiliki nilai-nilai konservasi sudah tidak menjadi kebiasaan nelayan disebabkan karena pengaruh banyaknya nelayan luar wakatobi yang masuk melakukan penangkapan ikan di perairan Wakatobi, masyarakat lokal tidak bisa bersaing dengan nelayan luar yang menggunakan alat penangkapan ikan yang modern. Disamping itu peraturan perundang-undangan kita tidak mengakomodir kebiasaan-kebiasan masyarakat lokal. Pengelolaan sumber daya perairan laut adalah kewenangan sepenuhnya pemerintah. Dalam paradigma pemanfaatan di perairan laut modern dikenal prinsip sumber daya perairan laut adalah open access atau sumber daya yang terbuka untuk di manfaatkan oleh siapa saja. Kondisi inilah menurut saya yang menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan antar masyarakat termasuk dengan pemerintah yang justru menyebabkan percepatan kerusakan sumber daya hayati di perairan laut.”171 Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa faktor kebudayan juga mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 171
commit to user Ibid, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA
151
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di Taman Nasional Wakatobi, meliputi nilai-nilai konservasi yang dianut atau prinsip yang berbeda antara masyarakat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, faktor rendahnya pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian sumber daya alam, kewenangan pengelolaan sumber daya perairan laut beralih dari masyarakat dengan hukum adat menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah, dan kemajuan teknologi 3.
Upaya Non penal yang dilakukan dalam Penanggulangan Tindak Pidana di bidang KSDA & E di Taman Nasional Wakatobi Kebijakan penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (KSDA&E) di Taman Nasional Wakatobi dilaksanakan baik melalui pendekatan dengan penegakan/penerapan
hukum
pidana
maupun
melalui
tindakan
pencegahan tanpa pidana (non-penal). Penanggulangan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melalui pencegahan tanpa pidana (non-penal) di Taman Nasional Wakatobi dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a.
Patroli rutin di setiap Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Pelaksanaan patroli rutin di setiap SPTN dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan. Patroli rutin di laksanakan 3 s.d 5 hari dalam setiap bulannya dengan tujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana di kawasan TNW. Namum dalam pelaksanaanya kegiatan tidak cukup efektif karena terterbatasan sarana prasarana khususnya operasional bahan bakar speed boat yang tidak memadai, sehingga patroli hanya dilaksanakan di wilayah pesisir pantai saja dan tidak bisa mencapai perairan karang. Seperti di katakan oleh Syaharuddin : “ Saat ini kami tidak bisa menindaklanjuti laporan masyarakat tentang adanya kegiatan pemboman ikan di wilayah perairan karang karena dana kamito sangat commit user minim untuk membeli bahan bakar, dan tahun 2011 ini dana kegiatan untuk patroli sedikit 152
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehingga kegiatan pengamanan sudah berkurang. Disamping itu masalah lain yang kami temukan dilapangan masih ditemukan izin usaha perikanan yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi yang tidak sesuai dengan zonasi Taman Nasional Wakatobi seperti menunjuk lokasi penangkapan ikan di wilayah perairan Wakatobi, sehingga membingungkan kami untuk mengambil tindakan hukum dilapangan.”172 Selanjutnya Aah Hidayatullah mengatakan : “ Kendala kami dilapangan dalam hal pelaksanaan patroli rutin di Taman Nasional Wakatobi adalah medan di laut sangat sulit dijangkau serta luas wilayah kawasan, disamping itu jumlah kami yang sangat terbatas, kegiatan patroli rutin tidak bisa kami jadwalkan secara rutin setiap bulan. Faktor pembiayaan juga menjadi masalah karena kebutuhan bahan bakar kenderaan patroli yang cukup besar.”.173 Kepala SPTN Wil I, La Ode Ahyar Thamrin Mufti, juga mengatakan : “Seksi Wilayah sulit menjadwalkan kegiatan patroli rutin bulanan secara permanen karena keterbatasan jumlah personil Polhut yang ada disamping itu kendala biaya. Pembiayaan kegiatan setiap bulan tidak tentu pencairannya belum lagi dengan lagi ketersedian sarana yang baik, hal lainnya adalah ketersediaan bahan bakar di Wakatobi stok bahan bakar minyak sangat terbatas, kondisi-kondisi inilah sehingga pelaksanaan patroli rutin belum efektif di laksanakan.”174 Dari penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan patroli rutin keamanan kawasan Taman Nasional Wakatobi belum terlaksana sesuai dengan yang diharapkan karena disebabkan oleh : Keterbatasan jumlah personil Polhut di setiap SPTN, kegiatan patroli tidak terjadwal dengan baik, Sarana prasarana yang kurang memadai, ketersediaan bahan
172
Wawancara dengan Syaharuddin, Kepala Resort Polisi Kehutanan Resort Matahora SPTN I BTNW, di Kantor SPTN Wilayah I di Numana, Tanggal 24 Oktober 2011, Jam 15.00 WITA 173 Wawancara dengan Aah Hidayatullah, Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi, SPTN Wil. III di Kantor Balai Taman Nasiona Wakatobi di Baubau, tanggal 12 Oktober 2011, Jam 16.32 WITA 174 Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman commitItodi user Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA
153
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bakar, kondisi geografis
(cuaca, dan luas kawasan), dan
pembiayaan b.
Sosialisasi dan Penyuluhan Sosialisasi dan penyuluhan dilaksanakan di seluruh desa di Wakatobi (100 desa/kelurahan) dalam rangka peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pelestarian sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi serta sosialisasi
zonasi
Taman
dan
sosialisasi
penyuluhan
Nasional
Wakatobi.
dilaksanakan
Pelaksanaan
melalui
kegiatan
pertemuan di tingkat kabupaten, kecamatan, desa dan kunjungan ke kelompok masyarakat tertentu di desa/kelurahan. Hasil wawancara dengan Sadar mengatakan : “ Pelaksanaan sosialisasi dan penyuluhan tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya selama ini yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi sebenarnya sudah cukup intensif dilakukan hanya saja belum menyentuh sepenuhnya kelompok sasaran sesungguhnya. pengguna sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi yang terbesar adalah masyarakat Bajau, mestinya pihak Balai Taman Nasional cukup konsentrasi saja pada kelompok masyarakat ini karena pengguna sumber daya yang cukup besar dan tergantung kehidupannya di kawasan perairan Taman Nasional Wakatobi adalah masyarakat bajau (mola, mantigola, Lohoa dan Lamanggau), masyarakat di darat cukup diserahkan ke Pemda saja penanganannya. Program TNW belum menyentuh akar masalah yang sesungguhnya terutama terhadap kelompok masyarakat yang menpunyai tingkat ketergantungan sumber daya alam terhadap kawasan TNW, diperlukan suatu metode pendekatan khusus bagi orang bajo, intensitas kunjungan ke nelayan dan sosialisasi penyadaran ke masyarakat masih diperlukan dalam rangka penanganan pelanggaran hukum yang masih dilakukan oleh masyarakat bajo”175 Sementara hasil wawancara dengan Wahyu Rudianto menyatakan : “ Salah satu kendala kami dilapangan terkait dengan kegiatan penyuluhan dan penyadaran hukum bagi masyarakat dalam upaya commit to user Keluarga Bajo-Sultra, Indonesia di Wawancara dengan Sadar, Sekretaris Kerukunan Desa Mola Selatan, Tanggal 20, Oktober Tahun 2011, Jam 12.22 WITA 175
154
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengelolaan Taman Nasional adalah terbatasnya jumlah penyuluh dilapangan dan kualitas tenaga penyuluh yang kurang memadai. Staf penyuluh yang ada saat ini di BTNW hanya 2 (dua) orang, hal ini tidak sebanding dengan luas kawasan TNW yang dihuni oleh ± 100 desa dengan jumlah masyarakat ± 100.000 (seratus ribu) jiw, selama ini kegiatan penyuluhan dilakukan oleh Polisi kehutanan (Polhut) dan fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)”176 Dari penjelasan dia atas disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh pihak Balai Taman Nasional selama ini kurang berhasil karena disebabkan oleh : Pelaksanaan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan belum tepat sasaran, Metode penyuluhan yang kurang baik, jumlah tenaga penyuluh terbatas dan rendahnya kualitas tenaga/staf penyuluh lapangan. c.
Program Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi, untuk memperbaiki kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumber dayaalam hayati dan ekosistemnya, secara berkelanjutan.177 Kegiatan
pemberdayaan
masyarakat
sekitar
kawasan
konservasi yang menjadi kebijakan Direktorat Jenderal PHKA, bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang mau dan mampu mengembangkan kreatifitas yang bertumpu pada potensi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan yang mereka miliki guna mendukung kelangsungan pembangunan konservasi sumber daya
176
Wawancara dengan Wahyu Rudianto, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, di user Kantor Balai Taman Nasional di Baubau,commit Tanggalto 8 Nopember 2011, Jam 15.00 WITA 177 Ibid, hlm. Kata Pengantar
155
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
alam hayati dan ekosistemnya dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.178 Salah satu program kebijakan prioritas pembangunan kehutanan yang tertuang dalam SK. Menhut No. 456/MenhutII/2004 adalah “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan”. Hal ini merupakan komitmen pemerintah dalam pembangunan hutan lestari tidak hanya bertumpu pada aspek ekologis dan ekonomi tetapi juga aspek social dan budaya masyarakat. Implementasi pelaksanaan peningkatan kemampuan, kemandirian
dan
kesejahteraan
masyarakat
sekitar
hutan
konservasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal PHKA maupun berbagai lembaga non pemerintah, melalui pemberian kesempatan kepada masyarakat (pemberdayaan masyarakat) sebagai pelaku dan atau mitra dalam pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya alam hutan. Kegiatan tersebut terintergrasi dengan rencana pengelolaan yang
mengakomodir
aspirasi
masyarakat
antara
lain,
pengembangan : ekowisata seperti desa wisata, homestay, pemanfaatan jasa lingkungan lainnya, budidaya flora dan fauna, pelestarian sumberdaya alam seperti koperasi yang memanfaatkan potensi wilayah, ekonomi produktif (home industri, produk pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan dll.179 Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Wakatobi dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut : 1) Pembangunan Model Desa Konservasi Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) di Taman Nasional
Wakatobi
merupakan
salah
satu
program
pemberdayaan masyarakat di mulai sejak tahun 2006 dan saat 178
Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) di Sekitar commit to user Kawasan Konservasi, Bogor, 2009, hlm.1 179 Loc.Cit
156
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini telah di bentuk 5 (lima) Model Desa Konservasi. Tujuan program ini adalah peningkatan pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan konservasi alam meliputi kegiatan pengembangan wisata alam, penataaan ruang desa berbasis konservasi, peningkatan keterampilan masyarakat, penguatan
kelembagaan
di
tingkat
desa,
pembentukan
kelompok-kelompok usaha mikro, penguatan modal usaha kelompok, pengembangan usaha ekonomi kelompok berbasis konservasi dan pelaksanaan penyuluhan di tingkat desa. Karena program ini baru efektif dijalankan sejak tahun 2009, program ini belum menunjukkan hasil sesuai yang diharapkan. Hasil wawancara dengan Suhaeri mengatakan : “ Pelaksanaan program Model Desa Konservasi (MDK) di desa Kapota dilaksanakan sejak tahun 2009, namum kami sadari sampai saat ini belum optimal dijalankan karena tingkat pemahaman dan kemanpuan masyarakat masih rendah khususnya pengembangan keterampilan usaha produktif yang berbasis konservasi dan membangun usaha kelompok, harapan kami kepada pihak Balai Taman Nasional untuk selalu melakukan pendampingan secara intensif dan dukungan baik dalam bentuk modal usaha maupun peningkatan kapasitas anggota kelompok.”180 Kepala SPTN Wil I, La Ode Ahyar Thamrin Mufti, mengatakan : “Pelaksanaan program MDK di Taman Nasional Wakatobi saat ini hasilnya belum bisa dikatakan sudah berhasil dalam pemberdayaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Wakatobi, hal ini disebabkan karena program ini baru dirintis dan tahap uji coba, disamping itu kami sadari kemanpuan dan pengetahuaan petugas pendamping lapangan yang masih kurang. Saat ini petugas pendamping pada desa MDK adalah staf fungsional Polhut, PEH atau Penyuluh dimana mereka umumnya belum memiliki kualitas sebagai tenaga fasilitator yang terlatih bagi pendampingan masyarakat. Faktor lainnya 180
Wawancara dengan Suhaeri, Ketua SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan) desa Kapota, di Sekretariat SPKP desa Kapota, tanggal 27 Oktober Tahun 2011, Jam 10.00 WITA to user SPKP adalah organisasi ditingkat desa commit yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan program MDK Balai Taman Nasional Wakatobi di Desa Kapota
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah pemahaman dan pengetahuan masyarakat. Rata-rata tingkat pengetahuan nelayan di Wakatobi dapat dikatakan rendah dalam mengembangkan usaha ekonomi keluarga, umumnya masih tergantung pada pemanfaatan sumber daya di kawasan Taman Nasional Wakatobi.”181 Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program MDK di Taman Nasional Wakatobi belum menunjukkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan karena disebabkan oleh Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi, kuantitas dan kualitas tenaga pendamping yang kurang. 2) Peningkatan Usaha Ekonomi Masyarakat Kegiatan
peningkatan
usaha
ekonomi
masyarakat
dilaksanakan dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha bagi kelompok masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Wakatobi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengurangi tekanan pemanfaatan di kawasan Taman Nasional Wakatobi dengan memanfaatkan potensi pesisir yang telah dilakukan oleh masyarakat sebelumnya. Melalui kegiatan ini masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi secara optimal dengan pendekatan ramah lingkungan atau berbasis konservasi seperti perikanan laut dalam , budidaya perikanan (pengembangan budidaya rumput
laut
melalui
bantuan
bibit
rumput
laut) dan
pengembangan potensi kerajinan rumah tangga, sehingga diharapkan masyarakat dapat meningkatkan usaha ekonomi keluarga yang telah dilakukan dan tidak melakukan kegiatan merusak seperti menambang batu karang, penggunaan bom atau bius dalam penangkapan ikan di kawasan Taman Nasional. 181
Wawancara dengan La Ode Ahyar Thamrin Mufti, Kepala Seksi Pengelolaan Taman commitItodi user Nasional Wilayah I, di Kantor SPTN Wilayah Numana-Wangi-Wangi, tanggal 08 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA
158
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil wawancara penulis dengan beberapa kelompok penerima bantuan, diperoleh bahwa kurang berhasilnya program ini dilaksanakan dimasyarakat disebabkan
karena rendahnya
pengetahuan masyakat dalam mengelola usaha kelompok, mereka lebih memilih mengembangkan usaha secara sendirisendiri
berdasarkan
pengalaman
mereka
sebelumnya,
disamping itu juga disebabkan oleh karena kurangnya pengawasan dan pendampingan secara intensif dari pihak pemberi bantuan (Balai TNW) sendiri. Hasil wawancara dengan Antoni menyatakan : “Pemberian bantuan modal usaha atau bibit rumput laut bagi kelompok masyarakat selama ini yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi (BTNW) kurang berhasil karena selama ini kelompok yang diberi bantuan sebenarnya adalah kelompok yang terbentuk secara instant karena adanya program bantuan dari BTNW , masyarakat belum memahami pentingnya membentuk kelompok dalam melalukan usaha, karena itu menurut saya sebelum ada program bantuan usaha bagi kelompok masyarakat sebaiknya dilakukan pengorganisasian atau bimbingan dulu di tingkat kelompok masyarakat sehingga mereka memahami bagaimana dan pentingnya mengelola usaha bersama, disamping itu pihak BTNW seharusnya melakukan pengawasan dan pendampingan secara intensif terhadap kelompok masyarakat penerima bantuan.”182 3) Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dilaksanakan melalui kegiatan pelatihan keterampilan bagi masyarakat dan studi banding ke Taman Nasional lain di Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan pengetahuan masyarakat dalam pembangunan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta peningkatan kemanpuan masyarakat dalam mengembangkan usaha ekonomi di tingkat
commit to user Wawancara dengan Antoni, staf LSM Lokal Warahma di Kaledupa, tanggal 28 Oktober 2011, Jam 10.30 WITA 182
159
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
desa dan pengembangan ekowisata desa. Beberapa kegiatan telah dilakukan antara lain : 1. Pelatihan pengelolaan pasca panen rumput laut 2. Pelatihan pengorganisasian masyarakat (CO) 3. Pelatihan Pengembangan usaha ekonomi mikro 4. Pelatihan Analisis Sosial (Ansos) 5. Pelatihan Identifikasi Potensi Desa 6. Pelatihan Organisasi dan kelembagaan masyarakat di tingkat desa 7. Pelatihan tehnik penangkapan ikan ramah lingkungan 8. Pelatihan kader konservasi bagi masyarakat 9. Pelatihan dan Studi banding pengelolaan ekowisata di Taman Nasional Bali Barat 10. Pelatihan dan studi banding desaian marketing ekowisata di Yogyakarta183 Dari hasil – hasil kegiatan peningkatan kapasitas ini diharapakan masyarakat dapat mengembangkannya pada desa masing-masing peserta. Beberapa upaya pengembangan yang mulai Nampak adalah pada pengembangan kegiatan ekowisata desa pada pelaksanan program Model Desa Konservasi di Desa Kapota Pulau Kapota , walaupun saat ini hasilnya belum nampak dapat mendatangkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat
setempat.
Beberapa
kendala
yang
belum
terselesaikan adalah persoalan membangun kesepahaman di tingkat masyarakat, aturan main pengelolaan, kelembagaannya ditingkat masyarakat dan kesiapan masyarakat itu sendiri. Saat ini pihak Balai Taman Nasional sedang melakukan beberapa upaya pembenahan infrastruktur seperti pembuatan papan potensi
wisata,
pusat
informasi
commit to user 183
Database Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011
160
wisata,
promosi
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendampingan serta menfasilitasi pembentukan kelembagaan ekowisata dan aturan main di tingkat desa d.
Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam (KPA) Pembentukan kader konservasi dan kelompok pencinta alam dibentuk dalam rangka membangun kesadaran generasi muda terhadap pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Wakatobi. Pembentukan kader konservasi dan pencinta alam ini dilaksanakan pada setiap SPTN. Hasil wawancara dengan mantan ketua pengurus KPA KoloKolopua (salah satu KPA yang dibentuk di wilayah di SPTN Wil I) , Abdul Zainal mengatakan : “ Pelaksanaan program Kelompok Pencinta Alam (KPA) di Pulau Wangi-Wangi belum terencana atau tersusun dengan baik. Kami sendiri dahulu sebagai pengurus masih mengalami kesulitan, apa yang seharusnya kami lakukan sebagai kader. Pihak Balai Taman Nasional sendiri setelah pelaksanaan pembentukan kader KPA sepanjang yang saya ketahui tidak begitu jelas kemana kami sebenarnya diarahkan untuk membantu pelaksanaan program mendukung upaya konservasi di Wakatobi. Saya mengharapkan agar pihak Balai Taman Nasional Wakatobi dapat menyusun program pembinaan kader secara berjenjang dan program kegiatan rutin bulanan sehingga kami dapat belajar secara terus menerus dan dapat menjalankan fungsi sebagai kader KPA di Taman Nasional Wakatobi.”184
e.
Pembentukan Forum Nelayan Antar Pulau di Wakatobi Forum nelayan antar pulau di Wakatobi digagas dan dibentuk sebagai hasil kerjasama antara Balai Taman Nasional Wakatobi, Joint Program TNC-WWF, Pemda Kabupaten Wakatobi dan masyakarat Wakatobi. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka penyiapan masyarakat sebagai rancangan pengelolaan kolaborasi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi ke depan
commit to ketua user KPA Kolo-Kolopua –Wangi-Wangi di Wawancara dengan Adbul Zainal, Mantan Desa Numana, tanggal 10 Oktober 2011, Jam. 11.00 WITA 184
161
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Forum ini merupakan forum komunikasi /wadah bagi nelayan/pengguna sumber daya kawasan TNW ditingkat pulau untuk berkumpul menyalurkan aspirasi dan keluhan serta menyusun perencanaan kegiatan masyarakat dalam rancangan pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi.
Namun
sayangnya forum ini belum direspon secara baik oleh para pengambil kebijakan khususnya dipihak Balai Taman Nasional Wakatobi maupun Pemerintah Daerah Wakatobi. Tujuan awal dibentuk
forum
ini
adalah
dalam
kerangka
menyiapkan
kelembagaan dan wakil masyarakat untuk duduk dalam forum kolaborasi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi di tingkat Kabupaten .tetapi karena sampai saat ini forum kolaborasi yang di cita-citakan tersebut
belum terwujud, sehingga aspirasi dan
rekomendasi yang telah disepakati di tingkat forum pulaupun tidak dapat implementasikan.
B. Pembahasan Berdasarkan
hasil
penelitian
diatas
menunjukkan
pelaksanaan
penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi belum berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan, banyak kelemahan dalam proses pelaksanaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh faktor-faktor meliputi : faktor hukum/undang-undang itu sendiri, faktor aparat penegak hukum, sarana/fasilitas pendukung, kepatuhan masyarakat dan faktor kebudayaan. Di samping itu upaya non penal telah pula dilaksanakan namun secara umum dapat dikatakan belum mencapai hasil sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Untuk membahas lebih mendalam permasalahan ini, dalam penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut : commit to user
162
perpustakaan.uns.ac.id
1.
digilib.uns.ac.id
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kelemahan Penegakan Hukum Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, peneliti akan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto diatas. 1. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang) Hukum dipahami oleh masyarakat sebagai suatu perangkat aturan yang dibuat oleh Negara dan mengikat warga negaranya dengan mekanisme keberadaan sanksi sebagai pemaksa untuk menegakan hukumnya. Negara menpunyai hak untuk memaksa diberlakukannya sanksi terhadap perbuatan yang melanggar hukum dimana pelakunya dinyatakan salah oleh keputusan pengadilan yang menpunyai kekuatan hukum tetap. Dalam tahapan proses penegakan hukum penerapan atau pemberlakukan suatu aturan/undang-undang yang tidak tepat akan dapat menpengaruhi proses penegakan hukum itu sendiri. Adanya kebijakan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang dilakukan aparat penegak hukum di dalam tahapan aplikasi, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kebijakan dalam menetapkan dan merumuskan perundangan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kegagalan di bidang aplikasi atau penerapan suatu undang-undang oleh aparat penegak hukum tidak dapat dilepaskan dari bagaimana kegagalan dalam menetapkan dan merumuskan peraturan perundangan khususnya di bidang pidana. Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundangundangan (hukum tertulis) disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-undangan. Terlihat di dalam commit to user Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
163
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis tersebut mengandung pengertian bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya.185 Dalam teori perundang-undangan pembuatan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan juga harus tunduk pada asasasas tertentu, yaitu : 1. Asas yang bersumber pada politik konstitusi dan ketentuan UUD (asas konstitusional dalam penerapan hukum); 2. Asas tidak berlaku surut (nonretroaktif); 3. Asas peralihan hukum; 4. Asas pertingkatan peraturan perundang-undangan (lex superiori derogate legi inferiori); 5. Asas aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum (lex specialis deregat legi generali); 6. Asas aturan hukum yang baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama (lex posteriori derogat legi priori); 7. Asas mengutamakan atau mendahulukan hukum tertulis dari hukum tidak tertulis 8. Asas kepatuhan, keadilan,kepentingan umum dan ketertiban umum186 Berhasil tidaknya suatu proses penegakan hukum sangat tergantung pada apakah peraturan yang ada mengenai bidangbidang kehidupan tertentu secara hierarkis maupun horisontal tidak ada pertentangan, apakah secara kuantitatif dan secara kualitatif sudah cukup, apakah peraturan yang ada menimbulkan penafsiran
185 186
commit Teguh Prasetyo, Op.Ct, hlm 142 Ibid, hlm. 144
to user
164
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ganda,
sistematis
dan
penerbitannya
sudah
sesuai
dengan
persyaratan yuridis yang ada. Penegakan hukum (law enforcement) merupakan salah satu upaya dalam penanggulangan kejahatan/tindak pidana dengan pendekatan penerapan hukum pidana (penal). Tahapan proses fungsionalisasi/operasionalisasi penegakan hukum dalam arti luas meliputi tahap formulasi (kebijakan legislatif/pembuatan undangundang), tahap aplikasi (pelaksanaan/penerapan undang-undang oleh aparat penegak hukum/yudikatif, dan tahapan eksekusi (pelaksanaan pidana oleh eksekutif). Dalam telaah substansi hukum pidana, maka tahapan kebijakan formulatif dapat dilihat sebagai dasar atau landasan bagi tahap-tahap fungsionaliasi/penegakan hukum pidana selanjutnya. Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap aplikasi dan eksekusi.187 Seperti dijelaskan sebelumnya kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (penal policy) mengandung masalah sentral, yakni (1) perbuatan apa yang perlu ditentukan sebagai tindak pidana, (2) masalah pelakunya menyangkut kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan (3) sanksi pidana apa yang selayaknya dikenakan pada pelaku. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan norma atau ketentuan perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana bagi yang melangggar. Di dalam pengelolaan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Setiap orang dalam dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan commit to user 187
Hartiwiningsih,Op.Cit, hlm. 18
165
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fungsi zona serta adanya ketentuan larangan pemanfaataan atau penangkapan
satwa
yang
dilindungi
oleh
undang-undang.
Selengkapnya : dalam Pasal 21 dan Pasal 33 sebagai berikut : Pasal 21 : (1) Setiap orang dilarang untuk : a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnakan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia (2) Setiap orang dilarang untuk : a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau diluar Indonesia; d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barangbarang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat laian di dalam atau di luar Indonesia; e. Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 33 : (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional; (2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli; (3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan commit to raya, user dan taman wisata alam.
166
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini termuat dalam Pasal 40 ayat (1) s.d ayat (4) sebagai berikut : Pasal 40 : (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Barang siapa karena kelalaianya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa kelemahan
dalam penerapan
ketentuan pidana
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi Penegakan hukum (pidana), disebabkan oleh beberapa hal yakni : rumusan unsur pidana yang abstrak menyebabkan kesulitan dalam pembuktiannya, kesulitan dalam mendapatkan keterangan ahli, tidak diaturnya pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum, dan posisi Taman Nasional Wakatobi yang berhimpitan atau overlaping dengan wilayah Kabupaten Wakatobi yang menimbulkan benturan commit to user
167
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah. Menurut Saifullah yang dikutip oleh Hartiwiningsih, terdapat kesalahan dalam perumusan formulasi perbuatan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu : “formulasi perbuatan pidana yang tercantum dalam Pasal 40 ayat (1) merupakan peraturan sanksi, sedangkan rumusannya terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) merupakan dua rumusan perbuatan pidana yang digabungkan menjadi bagian inti dari perbuatan pidana di karenakan terdapat kata penghubung: kata “dan” bukan kata “atau”. Adapun perbuatan yang digabungkan adalah : “setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam” dan setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional”. Kata “dan” dalam konteks penafsiran gramatikal terhadap suatu undang-undang bermaksud menggabungkan dari dua perbuatan tersebut. Walaupun maksud dari pembuat undang-undang ini dapat dikaji bahwa kedua pasal tersebut tidak berfungsi digabungkan tetapi merupakan alternatif atau pilihan di antara dua obyek perbuatan. Untuk itu kata penghubung yang lebih tepat adalah “atau” bukan kata “dan”.188 Sistem perumusan perbuatan pidana yang abstrak tersebut diatas dapat menimbulkan penafsiran berbeda sesama aparat penegak
hukum
seperti
rumusan
diatas
dalam
prakteknya
menimbulkan kesulitan. Rumusan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) adalah merupakan delik materiil yaitu perumusan tindak pidana yang menitik beratkan pada akibat yang dilarang, bila akibat yang dilarang ini benar-benar terjadi barulah dianggap tindak pidana selesai dilakukan. Perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional pada kawasan konservasi laut seperti di Taman commit to user 188
Ibid, hlm. 293
168
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nasional Wakatobi, sangat sulit untuk dibuktikan karena ini dapat saja disebabkan oleh faktor alam, perbuatan manusia atau satwa dan untuk membuktikan hal tersebut diperlukan keahlian khusus dan biaya yang mahal. Oleh karena itu perubahan atau revisi untuk perbaikan rumusan perbuatan pidana atas unndang-undang ini sangat diperlukan sehingga tidak lagi menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda antara sesama aparat penegak hukum, di samping itu seharusnya rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak dirumuskan secara materiil karena sulit pembuktiaannya, tetapi dirumuskan secara formil agar mudah proses pembuktiannya dan tidak diperlukan biaya yang mahal. Untuk membuktikan suatu akibat kerusakan atas sumber daya alam khususnya di perairan laut dibutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang mahal. Paul dan Dias dalam Esmi Warassih mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu : 1.
Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk diungkap dan dipahami.
2.
Luas tidaknya kalangan dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan.
3.
Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4.
Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa.
5.
Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata commit to user
169
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.189 Hukum agar efektif paling tidak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1.
Undang-undang dirancang dengan baik; kaidahnya jelas, mudah dipahami, dan penuh kepastian;
2.
Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan mengharuskan/membolehkan (mandatur);
3.
Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan / sifat undang-udang itu;
4.
Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan macam pelanggarannya;
5.
Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah);
6.
Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral;
7.
Pelaksana
hukum
menjalankan
tugasnya
dengan
menyebarluaskan UU, penafsiran seragam, dan konsisten.
baik; 190
Perumusan tindak pidana dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diawali dengan kata-kata “Barang siapa” yang menunjuk pada pengertian “orang”. Dalam undang-undang ini tidak mengatur pertanggungjawaban badan hukum atau korporasi sehingga dalam penegakan hukumnya, korporasi atau badan hukum tidak dapat dijerat. Kenyataan dilapangan tidak jarang pelaku adalah orang
kecil
yang
merupakan
suruhan
pemodal
atau
pengusaha/perusahan, tetapi karena undang-undang ini tidak mengaturnya maka penegakan hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak menyelesaikan akar masalah sesungguhnya yaitu pemodal/perusahan yang nakal, 189
Esmi Warassih, Op.Cit, hlm. 105 commitdan toPenegakan user Mohammad Jamin, Kesadaran Hukum Hukum, Bahan Materi Kuliah Sosiologi Hukum, pada Program Magister Ilmu Hukum UNS, Surakarta, 2011. 190
170
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat kecil selalu menjadi korban. Hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa para pelaku penangkap ikan hidup yang menggunakan alat bantu potassium cyanida/racun adalah nelayan yang dimodali oleh perusahan penampung ikan hidup yang berkedudukan di Pulau Wangi-Wangi dan di Denpasar Bali. Oleh karena itu dalam rangka kajian perbaikan/revisi UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, patut untuk dipertimbangkan dimasukannya
sistem
pertanggungjawaban
pidana
terhadap
korporasi/badan hukum. Menurut konsep/teori Roling, korporasi dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana apabila perbuatan yang terlarang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau untuk mencapai tujuantujuan badan hukum tersebut.
191
Ada tiga kemungkinan
pertanggungjawaban dari kejahatan korporasi : (1) orang yang bersalah dalam tindak pidana tersebut, sesuai dengan ajaran kesalahan dalam hukum pidana yakni asas tiada pidana tanpa kesalahan. Yang mempertanggungjawabkan tersebut dicari orang yang bersalah, (2) Korporasinya yang dipertanggungjawabkan, berdasarkan ajaran strict liability. Disini tidak perlu memperhatikan bentuk kesalahan kesengajaan atau kelalaian. (3) baik orangnya maupun perusahaannya. Orang yang bersalah dimungkinkan dipertanggungjawabkan dan dipidana sesuai dengan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan perusahaannya dikenal kewajiban pengganti kerugian.192 Selain itu dilihat dari jumlah dan sistem perumusan sanksi pidana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masih terdapat kelemahan dalam hal belum ditetapkannya jumlah sanksi minimal 191 192
commit Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 304 Supanto,Op.Cit, hlm. 260
to user
171
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khusus dalam setiap rumusan tindak pidana, hal ini mengakibatkan kasus-kasus di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan, karena unsur-unsur pidananya sudah terpenuhi, diputus dengan sanksi yang ringan, yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan pelestarian sumber daya alam hayati. Jika dilihat dari ancaman sanksi maksimalnya 10 (sepuluh) tahun denda Rp. 200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan 5 (lima) tahun, denda Rp.100.000.000,(seratus juta rupiah), untuk kategori kejahatan. Tidak adanya sistem perumusan sanksi minimum khusus mengakibatkan penjatuhan putusan pidana yang terlalu rendah/ringan. Ini dapat dilihat dari 2 (dua) kasus tindak pidana yang terjadi di Taman Nasional Wakatobi dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya divonis oleh pengadilan Negeri Bau-Bau yakni kasus penangkapan/peredaran satwa yang dilindungi (penyu), pelaku hanya di vonis 10 (sepuluh) bulan penjara dan denda Rp.500.000,(lima ratus ribu rupiah) dan kasus pelanggaran zona inti taman nasional, pelaku hanya di vonis 5 (lima) bulan penjara. Kasus- kasus tindak pidana lainnya di Taman Nasional Wakatobi
yang
vonis
di
pengadilan
dengan
menggunakan/menerapkan undang-undang lain selain UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu : 1)
kasus penangkapan ikan dengan bahan peledak (16 kasus) paling lama pelaku di vonis 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan yang dijerat dengan UU No.12/drt/1951 tentang Kepemilikan Senjata Api dengan ancaman hukuman maksimal 20 (dua puluh) tahun penjara;
2)
penggunaan potassium cyanida/ racun (2 kasus) vonis pelaku user denda Rp. 200.000,-(dua ratus paling lama 7commit (tujuh)to bulan
172
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ribu) subs 1 (satu) bulan kurungan dijerat dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan ancaman hukuman maksimal 6 (enam) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,- (satu milyar dua ratus juta rupiah); dan 3)
kasus penebangan hutan mangrove ( 1 kasus), pelaku hanya divonis 4 (empat) bulan 15 (lima belas) hari penjara , dijerat dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dengan ancaman hukum penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,(lima milyar rupiah).193 Dari data tersebut diatas jelas bahwa sanksi yang dijatuhkan
terhadap pelaku tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku, kepentingan konservasi/pelestarian keanekaragaman sumber daya alam hayati dan keadilan bagi masyarakat. oleh karena itu ke depan kebijakan perumusan ancaman sanksi pidana penjara maupun denda harus disebutkan batas minimalnya dan batas maksimalnya, dengan cara merumuskan ancaman sanksi minimal dan maksimal dalam setiap rumusan tindak pidana, agar penegak hukum menpunyai petunjuk yang pasti dan menghindari adanya disparitas pidanayang sangat mencolok. Dianutnya pidana minimum khusus ini menurut Barda Nawawi Arief yang dikutip oleh Hartiwiningsih di dasarkan pada pokok pikiran : 1.
2.
guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik-delik yang secara hakiki berbeda kualitasnya. Untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general, khususnya bagi delik-delik yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat.
commit to usertindak pidana di bidang KSDA & E Data Olahan matriks penanganan kasus perkara Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011 193
173
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
dianalogkan dengan pemikiran, bahwa apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana (umum maupun khusus) dapat diperberat, maka minimum pidanapun hendaknya dapat diperberat dalam hal-hal tertentu.194
2) Faktor aparat penegak hukum Menurut Soerjono Soekanto; ruang lingkup dan istilah penegak hukum adalah luas sekali, mencakup tugas di bidang kepolisian,
kejaksaan,
kehakiman
(peradilan)
dan
pemasyarakatan.195 Menurut Moh. Hatta, istilah penegak hukum yang sebenarnya merupakan terjemahan dari law enforcement officer yang dalam arti sempit hanya polisi tetapi dapat juga jaksa. Namun di Indonesia biasanya diperluas pula dengan hakim dan ada kecenderungan kuat memasukan pula dalam pengertian para advokat (pengacara).196 Hasil penelitian menunjukkan bahwa aparat penegak hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelemahan penegakan hukum pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi meliputi faktor-faktor : jumlah/kuantitas penegak hukum yang kurang, kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS, perbedaan persepsi antar penegak hukum dalam penerapan undangundang, kurangnya koordinasi dan rendahnya kualitas pemahaman aparat penegak hukum dalam penerapan undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dilihat dari segi kuantitas aparat penegak hukum di Balai Taman Nasional Wakatobi khususnya Polisi kehutanan dan PPNS, data yang ada jumlah keduanya sangat minim dan sangat tidak 194
Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm 128 Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif, Sistem Peradilan Pidana terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi Kapita Selekta). Galangpress, Yogyakarta, 2008, hlm. commit to user 44 196 Loc.Cit 195
174
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sesuai dengan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas 1.390.000, ha yang harus di jaga. Sesuai dengan data kebutuhan formasi pegawai di Balai Taman Nasional Wakatobi Tahun 2011 untuk tenaga Polisi Kehutanan seharusnya sejumlah 50 (lima puluh) orang untuk menjaga kawasan Taman Nasional Wakatobi seluas 1.390.000,ha. Belum ada studi atau pernyataan tentang rata – rata yang ideal seorang Polhut harus menjaga berapa luas kawasan konservasi. Sesuai formasi usulan pada Kantor Balai Taman Nasional Wakatobi Jumlah Polhut yang mestinya di Taman Nasional Wakatobi adalah 50 (lima puluh) orang, jika dibandingkan dengan jumlah polhut yang ada sekarang di Taman Nasional hanya berjumlah 21 (dua puluh satu ) orang , yang berarti masih memerlukan tenaga Polisi Kehutanan sejumlah 29 (dua puluh Sembilan ) orang lagi sehingga sebanding dengan luas kawasan Taman Nasional Wakatobi Maka wajar apabila penegakan hukum di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi belum berjalan sesuai yang diharapkan. Bagaimanapun kuantitas/kecukupan dan kualitas sumber daya manusia memiliki peranan penting bagi berhasilnya penegakan hukum. Tanpa didukung kualitas dan kuantitas, komitmen akan tegaknya keadilan, kesiapan aparat penegak hukum dalam penanganan masalah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, mustahil terwujud. Dari sisi kualitas aparat penegak hukum di Balai Taman Nasional Wakatobi khususnya Polhut hampir rata-rata berijasah sekolah Menengah Atas (SMA). PPNS kehutanan yang ada belum memiliki keberanian untuk melakukan tugas penyidikan karena keterbatasan kemanpuan yang ada. Maka tidak heran kalau selama ini proses penanganan perkara pidana yang terjadi masih di commit to user serahkan langsung ke Penyidik Polri
175
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keberhasilan penegakan hukum pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tidak hanya ditentukan oleh tercukupinya kualitas dan kuantitas dari aparat penegak hukum baik itu hakim, jaksa, polisi, PPNS dan atau Polisi Kehutanan saja, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas dari peraturan perundangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang tersedia. Kewenangan yang terbatas diberikan oleh undang-undang bagi Polisi Kehutanan (Polhut) dan PPNS Kehutanan dalam pelaksanan tugas perlindungan dan pengamanan kawasan konservasi dirasakan merupakan sebagai penghambat dalam pencapaian keberhasilan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan memiliki kewenangan untuk menegakan hukum hanya terbatas pada ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kawasan Taman Nasional Wakatobi adalah kawasan perairan laut dimana tindak pidana yang sering terjadi lebih menjurus pada perbuatan atau tindak pidana di bidang perikanan dan lingkungan hidup, seperti kegiatan perikanan tanpa izin, penangkapan ikan dengan alat yang merusak seperti Bom/bahan peledak, racun/potassium cyanida, penggunaan alat bantu kompresor, penambangan batu karang dan pengambilan pasir pantai. Keterbatasan kewenangan yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS kehutanan
menyebabkan tidak optimalnya penanganan
kasus-kasus tersebut diatas. Disamping itu instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepolisian menganggap penanganan kasus-kasus tersebut menjadi tanggungjawab Balai Taman Nasional Wakatobi selaku pengelola kawasan. commit to user
176
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Polisi
kehutanan
merupakan
pejabat
yang
bertugas
mengembang fungsi kepolisian khusus tetapi hanya memiliki kewenangan
untuk
melakukan
kegiatan
atau
tindakan
preventif/pencegahan yaitu melalui kegiatan patroli pengamanan kawasan dan penyuluhan ke masyarakat. Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan penangkapan kecuali tertangkap tangan, menahan, menyita atau melakukan tindakan lain sesuai hukum yang bertanggungjawab seperti penyelidik Polri, petugas pengawas perikanan atau petugas bea cukai. Polisi Kehutanan ketika menemukan kejadian perkara pidana maka segera melaporkan dan menyerahkan kasus perkara kepada aparat berwenang khusus ke Kepolisian. Banyak kasus perkara pidana perikanan yang terjadi di kawasan Taman Nasional Wakatobi baik yang diserahkan ke Dinas Perikanan Kabupaten Wakatobi maupun Ke pihak Kepolisian yang tidak jelas penanganannya. Kondisi ini yang merupakan salah satu tidak optimalnya penegakan hukum di Taman Nasional Wakatobi. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menpengaruhi lemahnya penegakan hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi terkait dengan unsur aparat penegak hukum sendiri adalah : 1.
Kuantintas
aparat;
ketersedian/kecukupan
aparat/personil
penegak hukum di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem sangat mempengaruhi dalam hal pencegahan terjadi tindak pidana dan optimalisasi pelaksanaan tugas dilapangan. Jumlah aparat Polisi Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi tidak sebanding dengan luas kawasan TNW yang harus di jaga, menyebabkan pengawasan dan pengamanan kawasan TNW tidak optimal; commit to user
177
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Kualitas aparat; rendah kualitas aparat PPNS Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi dalam hal penyidikan tindak pidana di
bidang
konservasi
sumber
daya
alam
hayati
dan
ekosistemnya menyebabkan beberapa kasus pidana yang terjadi tidak dapat dilanjutkan proses hukumnya dan sebagian lagi diserahkan ke penyidik Polri. Disamping itu juga kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum baik PPNS maupun Polri, penuntut umum dan hakim yang memahami ketentuan atau peraturan tentang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya kemanpuannya masih terbatas. Karena itu perlu mendidik dan mengangkat tenaga-tenaga yang professional aparat penegak hukum yang memiliki kemanpuan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan penegakan hukum sehingga diharapkan nantinya mereka akan manpu menangani kasuskasus tindak pidana khususnya di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 3.
Pelaksanaan koordinasi antar penegak hukum; koordinasi yang kurang antar sesama penegak hukum dan instansi teknis menyebabkan pelaksanaan penegakan hukum dilapangan tidak efektif hal ini karena ada perbedaan pemahaman antar sesama penegak hukum. Oleh karena itu pelaksanaan koordinasi antar sesama penegak hukum (Penyidik/PPNS, Penuntut umum dan Hakim) mutlak diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum khususnya di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
4.
Kewenangan aparat penegak hukum yang terbatas; sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan adalah garda terdepan to user dalam rangka commit penegakan hukum tindak pidana di bidang
178
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tetapi dalam hal kewenangan penegakan hukum sangat terbatas. Polisi Kehutanan walaupun memiliki tugas seperti penyelidik Polri tetapi tidak memiliki kewenanangan seperti penyelidik Polri, yang memiliki kewenangan menangkap atas perintah penyidik dan melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Polisi
Kehutanan
hanya
diberi
mandat/kewenanganan oleh undang-undang untuk menegakkan hukum khusus Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di Taman Nasional Wakatobi, tindak pidana yang terjadi yang berdampak pada kerusakan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, umumnya merupakan tindak pidana di bidang Perikanan dan Lingkungan Hidup, di sisi lain Polisi Kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum di bidang tersebut. Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PPNS Kehutanan diberikan kewenangan khusus untuk melakukan tugas penyidikan. Setiap memulai penyidikan PPNS Kehutanan wajib memberitahukan dimulainya penyidikan ke pada penyidik Polri dan hasil penyidikan di serahkan kepada penutut umum melalui pejabat penyidik Polri.197 Keberadaan penyidik pegawai negeri sipil dalam sistem peradilan pidana berada dalam satu komponen yang sama dengan penyidik Polisi Republik Indonesia (Polri). Ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. to user Undang-Undang No.5 Tahun commit 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 39 ayat (4) 197
179
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam undang-undang ini disebutkan Polri melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap PPNS. Didalam Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
1981
tentang
KUHAP,
keberadaan PPNS di atur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, pasal 7 ayat (2), pasal 107 dan pasal 109 KUHAP. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, PPNS bekerja sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang merupakan lingkup tugasnya.198 PPNS Kehutanan yang diberi kewenangan khusus melakukan tugas penyidikan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya , memiliki kewenangan yang sangat terbatas. PPNS kehutanan dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya memiliki kewenangan sangat terbatas tidak sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polri. PPNS Kehutanan tidak memiliki kewenangan menangkap, menahan pelaku tindak pidana atau melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab seperti penyidik Polri. PPNS Kehutanan didalam melaksanakan tugas penyidikan berada di bawah koordinasi dan pengawasan pejabat penyidik Polri termasuk dalam hal menangkap dan menahan pelaku tindak pidana harus meminta bantuan dari pejabat penyidik Polri karena PPNS Kehutanan tidak memiliki kewenangan. Di samping itu , PPNS Kehutanan juga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana pada bidang yang lain seperti tindak pidana perikanan atau lingkungan hidup. Kewenangan PPNS Kehutanan sesuai dengan undangundang hanya memiliki kewenangan menegakkan hukum khusus Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber commit to user 198
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat (2)
180
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jika di lihat lebih dalam kewenangan PPNS Kehutanan dalam 2 (dua) undang-undang tersebut di atas tidak mengadopsi ketentuan-ketentuan dasar kewenangan
penyidik
sesuai
KUHAP
yang
menyebabkan
ketidakmandirian PPNS dalam melaksanakan tugas penyidikan. Keterbatasan kewenangan PPNS Kehutanan dalam hal penyidikan tindak pidana khususnya di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan salah satu faktor kelemahan penegakan hukum tindak pidana di konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Untuk mengoptimalkan tugas dan fungsi Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya maka perlu adanya perubahan ketentuan undang-undang untuk memberikan kewenangan khusus bagi Polisi Kehutanan dan PPNS
sebagai
penyelidik dan penyidik khusus di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sama seperti kewenangan yang di miliki Pejabat penyidik Kepolisian RI atau seperti kewenangan yang dimiliki oleh pejabat PPNS Bea Cukai Kementerian Keuangan RI. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sudarto bahwa, dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut : 1.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana
bertujuan
untuk
menanggulangi
kejahatan
dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan commit to user dan pengayoman masyarakat; itu sendiri, demi kesejahteraan
181
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;
3.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle);
4.
Penggunaan hukum pidana harus pula memerhatikan kapasitas atau kemanpuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu
jangan
(overbelasting).
sampai
ada
kelampauan
beban
tugas
199
3) Faktor sarana prasarana/fasilitas pendukung Tanpa adanya sarana atau fasilitas pendukung tidak mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Faktor sarana prasarana atau fasilitas pendukung dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sangat dibutuhkan untuk pencapaian keberhasilan penegakan hukum. Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Taman Nasional Wakatobi merupakan kawasan perairan laut yang cukup luas sehingga sangat dibutuhkan dukungan sarana prasarana khususnya sarana prasarana di laut. Sarana prasarana yang dimaksud meliputi, Kapal laut, speed boat, senjata api, Global Position System (GPS), kompas, bahan bakar yang harus memadai, radio pantai, pos jaga, alat tulis kantor (ATK), dan lain-lain. Disamping itu proses penegakan hukum di laut memerlukan dukungan biaya yang tinggi, pengguasaan teknologi konservasi kelautan dan dukungan kemanpuan sumber daya manusia di bidang konservasi kelautan.
commit to user 199
Barda Nawawi Arief,Op.Cit. hlm. 31
182
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sarana atau fasilitas
pendukung
dilapangan
pelaksanaan
tugas
penegakan
hukum
juga menyebabkan faktor yang mempengaruhi
lemahnya pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi meliputi, kurang ketersediaan operasional kenderaan patroli, pembiayaan yang tinggi, kurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam pemeliharaan dan perbaikan kendraan operasional patroli dan manajemen pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik. Sarana prasarana merupakan elemen penting dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya, oleh karena itu penyiapan sarana prasarana yang memadai termasuk dukungan biaya operasional dilapangan serta ketersediaan kualitas sumber daya manusia yang menjalankannya sangat diperlukan guna pencapaian keberhasilan penegakan hukum khususnya di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi. Oleh karena itu terkait dengan permasalahn di atas
penulis
merumuskan
bahwa
untuk
mengoptimalkan
penggunaan sarana atau fasilitas pendukung tugas penegakan hukum maka pihak Balai Taman Nasional Wakatobi harus melakukan hal-hal sebagai berikut : a.
Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum harus dipisahkan dari penggunaan kepentingan lainnya dengan kondisi yang siap pakai; b. Penyiapan tenaga sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil untuk menggunakan dan perawatan sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; commit to user
183
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Penyedian
dana
operasional/bahan
bakar
sarana
yang
memadai atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN; d. Adanya standar prosedur operasional penggunaan sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN; e. Dibentuk unit pengelola sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di tingkat UPT Balai dan SPTN Soerjono Soekanto mengatakan bahwa terkait sarana atau fasilitas pendukung dalam penegakan hukum sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut : a. Yang tidak ada-diadakan yang baru betul; b. Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan; c. Yang kurang – ditambah; d. Yang macet-dilancarkan; e. Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.200 f. Faktor masyarakat Faktor
masyarakat
sebagai
salah
satu
faktor
yang
mengefektifkan suatu peraturan atau hukum adalah berhubungan dengan kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundangundangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan Masyarakat merupakan pihak yang secara langsung terkena dampak atas lahirnya suatu peraturan perundangan, karena itu faktor ketaatan/kepatuhan
masyarakat
sangat
menentukan
berhasil
tidaknya suatu peraturan/hukum diterapkan oleh aparat penegak hukum.
commit to user 200
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 44
184
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pelaksanaan hukum akan berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan apabila masyarakat memiliki tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Kesadaran tersebut dapat dimanisfestasikan dalam bentuk pemahaman, kepatuhan (sikap) dan perbuatan atau perilaku hukum dalam berbagai aktifitas kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang terkait dengan masyarakat terhadap lemahnya penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
di
Taman
Nasional
Wakatobi
terkait
unsur
masyarakat adalah disebabkan oleh beberapa hal meliputi : faktor kemiskinan,
pemahaman
dan
pengetahuan
yang
rendah,
keterbatasan sarana usaha bagi nelayan, kebiasaan turun temurun dalam hal kegiatan penangkapan ikan di perairan kepulauan Wakatobi tidak mengenal adanya sistem zonasi dan pengaruh godaan//pengaruh pengusaha dari luar wakatobi dengan pemberian fasilitas-fasilitas tertentu. Sesuai dengan data penelitian bahwa para pelaku tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi waktu 2000 s.d 2011, dari 34 kasus yang terjadi 15 kasus atau 44,11 persen berasal dari masyarakat/nelayan lokal wakatobi khususnya masyarakat suku bajau Mola dan 12 kasus atau 35,30 persen berasal dari nelayan luar Wakatobi. Ini tentunya menjadi permasalahan yang sangat serius yang harus diperhatikan oleh pihak pengelola taman nasional. Pertanyaannya adalah mengapa orang bajo sebagian masyarakatnya adalah pelaku atau mantan pelaku tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya . Menurut Hartiwiningsih, menyatakan: “Keterbatasan tingkat dan kualitas kesadaran hukum masyarakat antara lain disebabkan tidak/kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentangcommit sejauhmana pengaruh dan akibat aktivitas yang to user dilakukannya terhadap lingkungan. Misalnya ia tidak mengetahui 185
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa menangkap ikan dengan bom dapat menghancurkan tatanan ekosistem perairan pantai, yakni karena musnahnya biota laut/pantai dan terumbu karang.”201 Selanjutnya beliau menyatakan : Penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari upaya pembinaan ketaatan terhadap ketentuan hukum yang berlaku karena penegakan hukum mengandung pengertian juga terhadap kegiatan penyuluhan, pembinaan teknis, pemberian penghargaan dan berbagai bentuk insentif, pengawasan, pemantauan, penindakan sampai kepada penjatuhan sanksi-sanksi hukum baik administrasi dan atau pidana dan atau perdata.202 Hasil
studi
persepsi
yang
dilakukan
Vaclavikova,M,
Vaclavik, T. & Kostkan, V. di negara Republik Ceko tentang persepsi para pemangku kepentingan mengenai perlindungan satwa berang-berang (L.lutra) dengan kepentingan nelayan, yang ditulis dalam sebuah jurnal yang berjudul “Otters vs. fishermen: Stakeholders'
perceptions
of
otter
predation
and
damage
compensation in the Czech Republic.” mengindentifikasi bahwa: “ konflik yang terjadi disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara nelayan dan conservasionis/penggiat serta rendahnya pengetahuan nelayan yang berdampak pada ancaman bahaya kelestarian berangberang. Rekomendasi hasil studi mereka adalah upaya konservasi atau perlindungan berang-berang di Republik Ceko bahwa daerah dimana upaya perencanaan konservasi dilakukan harus mempertimbangkan kepentingan nelayan kecil, menyusun target kampanye kesadaran lingkungan, penyedian informasi tentang langkah-langkah yang efektif untuk mencegah kerusakan/kepunahan berang-berang. Selain itu dialog yang konstruktif antara kedua kelompok stakeholder (nelayan dan para penggiat konservasi) harus dimulai, dalam rangka meningkatkan saling percaya dan pertukaran informasi. Memahami persepsi stakeholder 'manusia-satwa liar isu dan keterlibatan pemangku kepentingan 201 202
Hartiwiningsih, Op.Cit, hlm. 77commit Ibid, hlm.79
to user
186
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam proses konservasi adalah penting untuk pembangunan masa depan dan perbaikan kebijakan difokuskan pada rekonsiliasi konflik antara kegiatan manusia dan spesies dilindungi” (We demonstrated how a social perspective can be applied to provide insights into stakeholders’ attitudes towards the overall strategy and effectiveness of otter–fishermen conflict mitigation. We identified serious deficiencies in (i) the communication between fishermen and conservationists, and (ii) the knowledge and utilisation of the current damage compensation scheme, which hinder the conflict reconciliation. Our results show prevailing gaps in the conservation of L. lutra in the Czech Republic and suggest the areas into which the efforts of conservation planning, public relations, and environmental awareness campaigns should be targeted. Both conservationists and fishermen (especially small fish farmers) must be provided with resources and detailed information about preventive measures to effectively avert otter damages. In addition, a constructive dialogue between both groups of stakeholders needs to be initiated, in order to increase mutual trust and information exchange. Understanding stakeholders’ perceptions of human–wildlife issues and involvement of stakeholders in the conservation process is essential to future development and improvement of reconciliation policies focused on conflicts between human activities and protected species).203 Dari penjelasan teori diatas penulis berkesimpulan bahwa upayakan peningkatan kesadaran hukum masyarakat melalui kampanye/sosialisasi
dan
membangun
dialog
dengan
para
pemangku kepentingan tentang pengelolaan Taman Nasional Wakatobi dalam rangka pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta upaya peningkatan ketaataan terhadap peraturan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, perlu terus-menerus ditingkatkan khusunya terhadap masyarakat, disamping itu pemberian sanksi yang tegas, baik itu pengusaha, 203
Vaclavikova, M., Vaclavik, T. & Kostkan, V. (2011): Otters vs. fishermen: Stakeholders' perceptions of otter predation and damage compensation in the Czech Republic. Journal for Nature Conservation 19(2): 95-102, hlm.100
commit to user
187
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pejabat, aparat penegak hukum maupun masyarakat harus benarbenar diterapkan
dalam kerangka membangun kepercayaan
masyarakat terhadap aparat penegak hukum dalam penegakan hukum atas Undang-Undang khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Di samping itu upaya pengentasan kemiskinan melalui program pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan di komunitas Bajo sehingga mereka mengelola usaha ekonomi dan memiliki pendapatan dari usaha yang legal. g. Faktor Kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilainilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Menurut Moh. Koesnoe : “Hukum adat merupakan hukum kebiasaan yang berlaku dikalangan rakyat terbanyak. Disamping itu, berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang timbul dari golongan tertentu dalam masyarakat yang menpunyai kekuasaan dan wewenang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus mencerminkan nilainilai yang menjadi dasar dari hukum adat supaya hukum perundangundangan tersebut dapat berlaku efektif.”204 Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kebudayan yang terkait dengan faktor yang mempengaruhi lemahnya penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam commit to user 204
Soerjono Soekanto,Op.Cit, hlm.65
188
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, meliputi nilai-nilai konservasi yang dianut atau prinsip yang berbeda antara masyarakat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, faktor rendahnya pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian sumber daya alam, kewenangan pengelolaan sumber daya perairan laut beralih dari masyarakat dengan hukum adat menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah, dan kemajuan teknologi. Nilai-nilai konservasi yang dianut oleh masyarakat Wakatobi dalam hal pemanfaatan perairan laut khususnya dalam penangkapan ikan sebenarnya sudah ada sejak jaman kesultanan Buton, yang dikenal dengan istilah pengelolaan sara kadie . Jika dirunut secara kronologis kurangnya kepatuhan hukum
masyarakat dalam hal
pemanfaatan sumberdaya diperairan laut khususnya Kepulauan Wakatobi,
merupakan
akibat
dari
perubahan
pengelolaan
sumbedaya laut dari sistem tradisional menjadi sistem formal ditandai berakhirnya sistem sara di tahun 1960 (bubarnya Kesultanan Buton) sampai berlakunya penyeragaman pemerintahan lokal menjadi desa melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1979. Dalam masa transisi dari kuasa adat ke desa (baca : negara), pemerintah menetapkan Kepulauan Wakatobi sebagai taman nasional laut, sebuah instrumen baru yang secara langsung bersentuhan
dengan
perihal
pengelolaan
sumberdaya
alam.
Pengelolaan sumberdaya laut melalui sistem formal menyulitkan proses adaptasi masyarakat yang sudah terbiasa mengelola sumberdaya
laut
berdasarkan
pengetahuan
tradisional
yang
dipelajari secara turun-temurun. Sistem baru berada di luar pengalaman, pengetahuan, kuasa dan sejarah hidup masyarakat Wakatobi.205
Saleh Hanan, Kajian Strategi Pengelolaan commit to userSumberdaya Laut oleh Masyarakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh 205
189
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam diperairan Wakatobi dengan sistem zonasi yang berimplikasi pada perbuatan pidana ketika ada pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi adalah merupakan hal baru bagi masyarakat. Masyarakat hanya mengenal perbuatan-perbuatan yang
tidak boleh antara lain:
melakukan penangkapan ikan dengan bom, bius atau racun sejenisnya. Bagi masyarakat Wakatobi usaha budidaya rumput laut, menangkap ikan boleh diseluruh perairan wakatobi kecuali dengan menggunakan bahan-bahan seperti tersebut diatas, konsep zonasi dalam prakteknya masih menyulitkan masyarakat setempat, di samping itu secara fisik dilapangan tanda-tanda tersebut tidak nampak sehingga membingungkan nelayan ketika melakukan kegiatan penangkapan ikan . Konsep pengelolaan kawasan konservasi khususnya Taman Nasional di Indonesia sebagian besar mengadopsi panduan IUCN ( the International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) tentang kawasan kawan yang dilindungi. Kategorisasi Kawasan Konservasi IUCN ini lalu diadopsi di dalam UndangUndang 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, walau tidak seutuhnya. Hanya sayangnya konsep IUCN dalam membangun Kawasan Konservasi lebih banyak mengadopsi situasi di negara maju sehingga tidak sepenuhnya cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia.206 Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi, penggalian gagasan ide-ide lokal, kebiasaan masyarakat dalam melakukan pemanfaatan wilayah laut yang mendukung upaya konservasi. Pengelolaan
kawasan
konservasi
laut
harus
dikaji
dengan
gelar Magister pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2010, hlm 2-3 206
commit to38user Pokja Kebijakan Konservasi,Op.Cit, hlm.
190
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendekatan berbagai aspek meliputi budaya masyarakat Indonesia, hasil-hasil kajian ilmiah atau penelitian ilmiah. Dan aspirasi masyarakat setempat 2.
Upaya Non Penal (Tanpa Pidana) yang seharusnya dilakukan dalam Menanggulangi Tindak Pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa upaya penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan/jalur non penal (pencegahan tanpa pidana) di Taman Nasional Wakatobi telah dilakukan oleh pihak pengelola atau Balai Taman Nasional Wakatobi meliputi : pelaksanaan patroli rutin pengamanan kawasan, kegiatan penyuluhan dan sosialisasi pengelolaan
,
pemberdayaan
masyarakat,
pembentukan
kader
konservasi dan kelompok pencinta alam , termasuk pembentukan forum nelayan di tingkat pulau sebagai salah satu model pendekatan dalam upaya pencegahan kejahatan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta upaya peningkatan peran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa upaya penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal tersebut sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1)
Frekuensi patroli rutin yang dilaksanakan oleh Polisi Kehutanan di setiap SPTN (Seksi Pengelolaan Taman Nasional) sangat kurang dikarenakan kurangnya ketersedian bahan bakar kenderaan kapal laut atau speed boat dan faktor kerusakan armada speed boat atau kapal patroli;
2)
Perencanaan kegiatan patroli rutin belum direncanakan dengan baik. Target patroli rutin pengamanan kawasan di masing-masing SPTN belum dirumuskan dengan jelas sehingga tujuan pencegahan commit to dilaksanakan; user tindak pidana belum optimal
191
perpustakaan.uns.ac.id
3)
digilib.uns.ac.id
Personil Polisi Kehutanan dimasing-masing SPTN sangat minim dibanding dengan luas kawasan yang harus dijaga tidak seimbang;
4)
Target pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan penyuluhan di masing-masing SPTN belum dirumuskan secara jelas sehingga kegiatan penyuluhan belum terarah dengan baik hanya merupakan kegiatan rutinitas belaka;
5)
Kegiatan penyuluhan masih sebatas membangun pemahaman masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta sosialisasi pengelolaan taman nasional belum mengarah pada menjawab permasalahan
yang muncul di
masyarakat; 6)
Sasaran kegiatan penyuluhan belum mengarah kepada para kelompok sasaran yang tepat;
7)
Kuantitas dan Kualitas tenaga penyuluh di Balai Taman Nasional sangat minim;
8)
Pelaksanaan
program
pemberdayaan
masyarakat
melalui
pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) belum berhasil dikarenakan oleh
rendahnya pemahaman
dan pengetahuan
masyarakat dalam mengembangkan usaha dan kualitas dan kuantitas staf pendamping/fasilitator lapangan yang kurang. 9)
Minimnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan usaha ekonomi menyebab program penguatan ekonomi masyarakat yang di dukung Balai Taman Nasional belum dapat
memberi
dampak
pada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat. 10) Dukungan para pihak terkait dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi belum sepenuhnya optimal 11) Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta alam di Taman Nasional Wakatobi belum terencana dengan baik sehingga dirasakan tidak memberikan manfaat yang berarti bagi peningkatan commit to user
192
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.serta 12)
Forum nelayan yang dibentuk di setiap pulau dalam rangka penyiapan masyarakat terhadap rencana pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi ke depan yang pernah di gagas oleh para pihak sampai saat ini tidak dilanjutkan prosesnya, forum ini belum dapat memberikan kontribusi yang berarti/positif dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Berdasarkan hasil analisa uraian kondisi diatas, diperlukan upaya-
upaya perbaikan atas pelaksanaan kegiatan non penal tersebut diatas sehingga dapat membawa dampak positif bagi pengelolaan Taman Nasional Wakatobi ke depan. Upaya penanggulangan tindak pidana lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya tindak pidana, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dalam kerangka kebijakan sosial ataupun program pembangunan. dikenal adanya Crime Prevention Through Enviromental Design, Yang dimaksudkan termasuk upaya perbaikan lingkungan untuk mengurangi kesempatan perilaku kejahatan, juga untuk menghapuskan rasa takut karena kejahatan dan persepsi resiko kejahatan. Ini dilakukan dengan peningkatan perbaikan kualitas lingkungan dengan pengurangan kondisi yang tidak baik, peningkatan kehidupan masyarakat yang patuh hukum, serta dilaksanakan penghapusan lingkungan fisik yang cenderung mendukung kejahatan. Hal ini tentu tidak lepas dari pengembangan masyarakat dengan upaya pembangunan dalam segala aspek.
Dengan
demikian,
tampaklah
commit to user
193
keterkaitan
yang
saling
perpustakaan.uns.ac.id
mendukung
digilib.uns.ac.id
atara
upaya
pembangunan nasional.
penanggulangan
kejahatan
dengan
207
Berdasarkan kajian teori diatas makan upaya non penal yang seharusnya dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional adalah perbaikan kondisi sosial melalui upaya perbaikan taraf hidup, peningkatan pendapatan dan perbaikan lingkungan sosial melalui penyuluhan kesadaran hukum khususnya pada kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi masih melakukan tindak pidana perlu dilakukan secara intensif. Data yang ada komunitas nelayan Bajo adalah sangat tepat untuk dilakukan program ini. Di samping itu kehadiran petugas atau polhut di lingkungan mereka termasuk di lokasi – lokasi yang rawan terjadinya tindak pidana terutama di perairan karang dan daerah pesisir sangat diperlukan dalam rangka mencegah atau membatasi peluang untuk terjadinya tindak pidana Menurut Sudarto, salah satu aspek kebijakan sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat, baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan/kesejahteraan keluarga ( termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya.208 Penggarapan kesehatan jiwa masyarakat dengan pendidikan agama merupakan upaya non penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.209 Peranan pendidikan agama dan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan dalam memperkuat kembali keyakinan dan kemanpuan manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan.210 Pelaksanaan kegiatan penyuluhan bagi masyarakat selama ini yang dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional masih terbatas pada sosialisasi undang-undang dan kebijakan pengelolaan Taman Nasional secara umum, sehingga terkesan merupakan rutinitas belaka yang mana 207
Supanto, Op.Cit, hlm.176 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm.46 209 commit Loc.Cit 210 Ibid, hlm. 47 208
to user
194
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terkadang masyarakat masih sulit untuk memahaminya. Menurut penulis apa yang ditulis oleh Sudarto di atas patut di pertimbangan. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan pendidikan keagamaann bagi masyarakat sangat penting mengingat semua ajaran agama pada prinsipnya mengajak orang untuk berbuat atau bertindak benar dalam menjalani kehidupan. Selanjutnya Sudarto mengatakan kegiatan razia/operasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan yang berorientansi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non penal yang perlu diefektifkan.211 Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara lain dinyatakan di dalam pertimbangan resolusi mengenai “ Crime tends and crime prevention strategis”: 1) Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang; 2) Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan; 3) Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) di antara golongan besar penduduk.212 Kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen. Disinyalir dalam berbagai Kongres PBB (mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu : 211 212
Ibid, hlm. 49 Ibid, hlm 43
commit to user
195
perpustakaan.uns.ac.id
a.
digilib.uns.ac.id
Tidak direncanakan secara rasional ( it was not rationally planned); atau direncanakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang (unbalanced/inadequately planned);
b.
Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural and moral values); dan
c.
Tidak
mencakup
strategi
perlindungan
masyarakat
yang
menyeluruh/integral (did not include integrated social defence strategies).213 Institut Kebijakan Sosial Caledon yang dikutip Lynn FournierRuggles dalam tulisannya yang berjudul “The Cost of Getting Tough on Crime: Isn’t Prevention the Policy Answer” menyatakan bahwa : “recognizes the success of the social development approach to crime prevention, which attempts to address the root causes of crime in society, recognizing that crime stems from a variety of critical experiences in people‘s lives: family violence; poor parenting; negative school experiences; poor housing; a lack of recreational, health and environmental facilities; inadequate social support; peer pressure; unemployment; and lack of opportunity and poverty (Jamieson and Hart 2003: 3). The crime prevention social development theory emphasizes investing in individuals, families and communities by providing social, recreational, educational and economic interventions and support programs for those individuals, mainly young people, who are most at risk of becoming involved in crime before they come into conflict with the law. It also includes investing in rehabilitative interventions for people who are already in conflict with the criminal justice system.”214 (Keberhasilan pendekatan pembangunan sosial untuk pencegahan kejahatan, dilaksanakan dengan mengatasi akar penyebab kejahatan dalam masyarakat, dinyatakan bahwa kejahatan berasal dari berbagai kritis pengalaman dalam kehidupan manusia: kekerasan dalam keluarga, orangtua miskin; pengalaman sekolah yang negatif; perumahan yang buruk, kurangnya fasilitas rekreasi, kesehatan dan lingkungan; dukungan sosial yang tidak memadai; tekanan teman 213
Ibid, hlm. 46 Lynn Fournier-Ruggles, “The Cost Getting Tough on Crime: isn’t Prevention the Policy to userand Law Volume 2, October 2011, hlm. Answer”, dalam Journal of Public Policy,commit Administration 25 214
196
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebaya, pengangguran, dan kurangnya kesempatan dan kemiskinan. Teori pembangunan sosial menjelaskan bahwa pencegahan kejahatan menekankan investasi pada individu, keluarga dan masyarakat dengan menyediakan sosial, rekreasi, intervensi pendidikan dan ekonomi dan program dukungan bagi orang-orang, terutama orang muda, yang paling berisiko menjadi terlibat dalam kejahatan sebelum mereka datang ke dalam konflik dengan hukum. Hal ini juga mencakup berinvestasi pada intervensi rehabilitatif untuk orang yang sudah dalam konflik dengan sistem peradilan pidana.) Dari beberapa kajian teori di atas penulis menyimpulkan bahwa upaya non penal yang seharus dilakukan oleh Balai Taman Nasioanal Wakatobi dalam rangka penanggulangan tindak pidan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah sebagai berikut : 1.
Upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan bagi komunitas Bajo harus dilaksanakan baik oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi maupun pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi
2.
Pelaksanaan program pendidikan konservasi bagi generasi muda atau remaja dan penyuluhan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap masyarakat harus di padukan dengan pendidikan/penyuluhan keagaman dan penyuluhan kesadaran
hukum
yang seharusnya
dilakukan
oleh
unsur
pemerintah terkait dalam hal ini pihak Balai Taman Nasional Wakatobi, instansi Pemda Wakatobi dan pihak Polres Wakatobi 3.
Pelaksanaan program pembangunan pengelolaan Taman Nasional Wakatobi juga harus mempertimbangkan segi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup, peningkatan sarana/fasilitas alat tangkap perikanan yang sesuai dengan prinsip konservasi dan kebiasan masyarakat dan tingkat adaptasi masyarakat terhadap penerapan zonasi Taman Nasional Wakatobi
commit to user
197
perpustakaan.uns.ac.id
4.
digilib.uns.ac.id
Perlunya dirumuskan dan disusun program bersama Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kab. Wakatobi tentang pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada masyarakat Bajo khusus komunitas Mola dan Mantigola
5.
Pembatasan pemberian izin penanmpungan ikan hidup bagi pengusaha luar Wakatobi. Di samping upaya-upaya tersebut diatas , pelaksanaan kegiatan non
penal yang sebelum telah dilaksanakan oleh pihak Balai Taman Nasional tetap harus dilanjutkan dengan melakukan perbaikanperbaikann dalam pelaksanaannya . diuraikan sebagai berikut : 1.
Patroli Rutin Pengamanan Kawasan Taman Nasional Pelaksanaan kegiatan patroli rutin kawasan Taman Nasional Wakatobi di masing-masing SPTN merupakan upaya pencegahan terhadap perbuatan pidana. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan upaya perbaikan yang seharusnya dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi di masing-masing SPTN adalah sebagai berikut : 1) Penjadwalan kegiatan patroli rutin bulanan dimasing-masing SPTN; 2) Perawatan secara berkala armada/kendaraan patroli sehingga setiap saat dapat digunakan secara maksimal; 3) Penyedian stok bahan bakar kendaraan/armada patroli di masing-masing SPTN; 4) Penyusunan peta rawan gangguan di masing-masing SPTN; 5) Penambahan jumlah personil Polisi Kehutanan di masingmasing SPTN sesuai dengan luas kawasan yang dijaga; 6) Peningkatan kapasitas personil Polisi Kehutanan tentang tehnik pengamanan pada wilayah perairan laut;
commit to user
198
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Pelaksanaan razia/operasi peredaran satwa yang dilindungi pada tempat-tempat penampungan biota/satwa laut di daerah pesisir dan karang; 8) Pemeriksaan secara rutin izin-izin usaha perikanan bersama instansi Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Wakatobi; 9) Membangun kerjasama pengamanan kawasan Taman Nasional dengan pihak Polsek dimasing-masing kecamatan; 10) Pembuatan dan pemasangan papan informasi peta zonasi Taman Nasional Wakatobi, pelarangan kegiatan yang tidak dibolehkan/perbuatan pidana di Taman Nasional Wakatobi; 2.
Kegiatan Penyuluhan dan Sosialisasi Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Peningkatan kesadaran masyarakat dan bina cinta alam dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Sehingga dapat lebih berperan aktif secara
langsung dalam kegiatan pelestarian dan pengamanan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan TNW. Untuk mewujudkan maksud tersebut, beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu : penyuluhan
dan
sosialisasi,
pembinaan
kelompok
masyarakat/generasi muda, pembentukan dan pembinaan Kader Konservasi (KK), pengembangan kerjasama penerapan kurikulum muatan lokal berbasis pengelolaan SDA, serta monitoring dan evaluasi.215 Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan kegiatan penyuluhan dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat akan pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi belum menunjukkan pencapaian hasil sesuai yang harapkan. Berdasarkan hasil commit to user 215
Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi 1998-2023, hlm. 95
199
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wawancara dilapangan upaya yang seharusnya dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan penyuluhan bagi masyarakat adalah sebagai berikut : 1) Sasaran penyuluhan sebaiknya lebih fokus pada masyarakat pesisir yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi khususnya masyarakat yang berasal dari komunitas Bajo Mola dan Mantigola. Sesuai data hasil penelitian hampir rata-rata pelaku tindak pidana di kawasan Taman Nasional Wakatobi berasal dari kedua komunitas masyarakat tersebut; 2) Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga penyuluh lapangan. Data yang ada di Balai Taman Nasional Wakatobi jumlah penyuluh hanya berjumlah 3 (tiga) orang, masing-masing SPTN hanya memiliki 1 (satu) tenaga penyuluh lapangan; 3) Perumusan
tujuan
penyuluhan
harus
sesuai
dengan
permasalahan/kebutuhan masyarakat dalam rangka peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat serta peningkatan taraf hidup bagi masyarakat dikawasan Taman Nasional Wakatobi. 3.
Program Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat, adalah segala upaya yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat, dengan atau tanpa dukungan pihak luar, agar mampu terus mengembangkan daya atau potensi yang dimiliki, demi perbaikan mutu-hidupnya, secara mandiri dan berkelanjutan.216 Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, bertujuan untuk:
216
Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa to user Lingkungan dan Wisata Alam, Pedomancommit Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2007, hlm. 4
200
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupun sosial budaya dan kelestarian kawasan konservasi. 2. Meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalampembangunan kehutanan melalui peningkatan ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan konservasi. 3. Mengaktualisasikan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.217 Karena itu, pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, harus ditujukan bukan sekedar untuk mengamankan kawasan konservasi dari kerusakan, melainkan bertujuan untuk terus menerus menumbuh-kembangkan kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat, agar berpartisipasi dalam pembangunan kawasan konservasi secara lestari. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan dinilai melalui beberapa indikator, antara lain : 1. Terbangunnya kesepahaman dengan para pihak (stakeholders) terkaitdengan kegiatan pemberdayaan masyarakat. 2. Telah terdapat fasilitator/pendamping yang efektif bagi kegiatan pemberdayaan masyarakat di lapangan. 3. Terbangun dan berkembangnya kelembagaan masyarakat di tingkat desa, dan berfungsi dengan baik. 4. Kapasitas SDM (Pengelola dan Masyarakat) meningkat. 5. Ketrampilan
dan
pengetahuan
SDM
(Pengelola
Masyarakat)meningkat. 6. Kegiatan usaha ekonomi masyarakat telah berkembang. 7. Terbangunnya jejaring kerja dengan pola kemitraan. 8. Terpeliharanya fungsi kawasan hutan konservasi. 9. Terbentuk dan berfungsinya PAMSWAKARSA.218 commit to user 217
Ibid, hlm. 8
201
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk mendorong peningkatan pendayagunaan potensi yang terdapat di masyarakat, untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan serta dukungannya terhadap kawasan dalam pelestarian Sumber Daya Alam melalui kegiatan-kegiatan : penguatan kapasitas masyarakat dan kelompok pengguna sumberdaya laut, pengembangan usaha ekonomi masyarakat pengguna sumber daya alam
di daerah penyangga, pengembangan usaha ekonomi
alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat dan kelompok pengguna sumber daya alam serta pengembangan Model Desa Konservasi (MDK) sebagai wahana pengembangan potensi lokal kearah harmonisasi interaksi manusia dengan alamnya219 Hasil
penelitian
menunjukan
bahwa
program
kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi melalui kegiatan-kegiatan seperti yang tersebut diatas belum menunjukkan pencapaian hasil yang maksimal. Dari hasil penelitian dilapangan faktor rendahnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam hal pelaksanakan kegiatan pemberdayaan di desa menyebabkan ketidakberhasilan pelaksanaan
program
dilapangan
disamping
itu
kualiatas
pendamping/fasilitator dari Balai Taman Nasional Wakatobi juga sangat menpengaruhi rendahnya pencapaian tujuan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan di masyarakat. Faktor lainnya adalah sasaran pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat khususnya program model desa konservasi kurang tepat sasaran dimana pelaksanaan program-program tersebut tidak/belum menyentuh pada kelompok-kelompok sasaran yang selama ini memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan Taman Nasional 218
Departemen Kehutanan, Dirjen PHKA, Direktorat Pemanfaatan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam, Pedoman Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat di commit to user Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, 2008, hlm. 19 219 , Ibid, hlm. 96
202
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wakatobi seperti di komunitas Bajo. Dari data yang ada pelaksanaan program model desa konservasi di Taman Nasional Wakatobi dilaksanakan di 5 (lima) desa dan hanya 1 (satu) desa pada komunitas bajo yaitu Desa Sama Bahari sementara desa yang menunjukkan tingkat asal pelaku tindak pidana yang cukup tinggi di kawasan Taman Nasional tidak masuk dalam target program pemberdayaan model desa konservasi. Faktor lainnya adalah pada pelaksanaan kegiatan penguatan ekonomi masyarakat proses pelaksanaannya belum memenuhi kriteria tahapan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sehingga program tersebut tidak lebih seperti sumbangan bagi masyarakat tidak terencana dengan baik sehingga hasilnya tidak dapat dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaannya. Tahapan merupakan
pelaksanaan dasar dalam
pemberdayaan penentuan
masyarakat
kriteria
dan
yang
indikator
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Membangun kesepahaman. 2. Membangun/mengembangkan kelembagaan tingkat desa. 3. Menyiapkan fasilitator/pendamping. 4. Pelatihan PRA. 5. Melaksanakan PRA. 6. Peningkatan kapasitas SDM 7. Pengembangan usaha ekonomi produktif. 8. Membangun kemitraan dan jejaring usaha. 9. Monev dan pembinaan pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat.220 Dari kondisi diatas upaya yang seharusnya dilakukan dalam rangka peningkatan pencapaian tujuan program pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut : commit to user 220
Ibid, hlm. 12
203
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat pada desa-desa sasaran program melalui kegiatan pelatihan, magang, atau studi banding ke daerah lain di Indonesia yang dianggap berhasil
dalam
pelaksanaan
program
pemberdayaan
masyarakat; 2) Perlunya pelaksanaan kegiatan pemberdayaan program model desa
konservasi
pada
komunitas
desa
di
Kampung
Mola/komunitas Bajo dan Desa Mantigola; 3) Peningkatan kuantitas dan kualitas staf Balai Taman Nasional Wakatobi khususnya pendamping program pemberdayaan masyarakat. 4.
Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam Pembentukan Kader Konservasi dan Kelompok Pencinta Alam Balai Taman Nasional Wakatobi dilaksanakan dalam rangka peningkatan
penyadaran
masyarakat
dan
bina cinta alam
khususnya bagi generasi muda, Sehingga dapat lebih berperan aktif secara langsung dalam kegiatan pelestarian dan pengamanan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan TNW. Dari hasil penelitian dilapangan menunjukan bahwa peran dan fungsi kader konservasi dan kelompok pencinta alam yang di bina oleh Balai Taman Nasional Wakatobi belum menunjukan peran yang efektif dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Agar tujuan kegiatan tersebut dapat tercapai maka upaya yang seharusnya dilakukan adalah : 1) Perlunya perumusan tujuan dan program kegiatan kader konservasi dan kelompok pencinta alam di Taman Nasional Wakatobi sehingga mereka memiliki peran dan fungsi yang jelas untuk berperan aktif dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi ; commit to user
204
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Penguatan kelembagaan kader dan kelompok pencinta alam Taman Nasional Wakatobi; 3) Peningkatan kapasitas anggota kader konservasi dan kelompok pencinta alam; 4) Dukungan pendanaan pelaksanaan kegiatan kader konservasi dan kelompok pencinta alam;. 5.
Pembentukan forum Nelayan Antar Pulau Seperti telah dijelaskan pada hasil penelitian diatas bahwa pembentukan
Forum
Nelayan
antar
Pulau
di
Wakatobi
dilaksanakan dalam rangka menyiapkan masyarakat sebagai bagian salah satu pihak dalam rencana pengelolaan kolaborasi Taman Nasional
Wakatobi
ke
depan,
namun
forum
ini
tidak
ditindaklanjuti secara serius oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi. Dalam Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Tahun 1998 s.d 2023 dijelaskan bahwa pengembangan kerjasama kemitraan pengelolaan TNW merupakan wujud dari paradigma pengelolaan kawasan konservasi sebagai bagian dari tanggung jawab banyak pihak dengan menjalin kerjasama-kerjasama dalam mendukung pengelolaan melalui pengembangan kerjasama dengan institusi/lembaga/pihak
lain
dalam
rangka
efektifitas
dan
peningkatan kapasitas pengelolaan (pemerintah, LSM, lembaga pendidikan, regional,
kelompok/lembaga
nasional
dan
masyarakat)
internasional
serta
lingkup
lokal,
pengembangan
mekanisme kerjasama pengelolaan (penyusunan nota kesepahaman kerjasama pengelolaan TNW, penyusunan rencana kerja bersama, pelaksanaan rencana kerja bersama dan monitoring & evaluasi bersama). Sejak tahun 2003 sampai sekarang Balai Taman Nasional Wakatobi telah membangun kerjasama pengelolaan Taman Nasional Wakatobicommit dengan terkait antara lain TNCto pihak-pihak user
205
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
WWF bersama pemerintah Kabupaten Wakatobi. Salah satu hasil yang telah dicapai adalah rekomendasi bersama para pihak hasil lokakarya tingkat Kabupaten Wakatobi tanggal 28 s.d 29 Desember 2004 adalah pembentukan forum nelayan antar pulau sebagai kerja awal penyiapan pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi ke depan, dimana unsur perwakilan masyarakat khususnya nelayan pengguna sumber daya merupakan salah satu pihak yang setara dalam forum kolaborasi Taman Nasional yang dimaksud. Berdasarkan kajian beberapa teori yang telah dibahas diatas, menurut penulis, pembentukan forum nelayan antar pulau seharusnya tetap menjadi kerangka dasar atau kebijakan yang harus tetap diambil oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi untuk menyiapkan masyarakat sehingga dapat berperan dalam forum pengelolaan
kolaborasi
Taman
Nasional
Wakatobi
dan
berpartisipasi secara langsung dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Hal ini juga merupakan wujud kepedulian pihak pengelola
Taman
Nasional
Wakatobi
terhadap
eksistensi
masyarakat lokal Wakatobi atas hak pemanfaatan dan kepemilikan sumber daya alam di Kepulauan Wakatobi. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya juga merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnnya, pada Pasal 37 ayat (1), dan ayat (2) Selain itu upaya yang seharus dilakukan dalam mempercepat dukungan
para
pihak
dan
pelaksanaan
terhadap
rencana
pengelolaan kolaborasi Taman Nasional Wakatobi adalah sebagai berikut : 1) Pihak Balai Taman Nasional Wakatobi bersama Pemerintah daerah perlunya membangun komunikasi dan negosiasi dengan pihak commit DPRD Kabupaten Wakatobi, agar zonasi Taman to user
206
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nasional Wakatobi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari RTRW Kabupaten Wakatobi, yang dikukuhkan melalui Peraturan Daerah sehingan pemanfaatan sumber daya alam di kawasan Taman Nasional Wakatobi mengacu pada tata ruang zonasi Taman Nasional wakatobi hasil revisi; 2) Pembagian peran dan tanggungjawab antara pemerintah daerah dan pihak Balai Taman Nasional Wakatobi terkait pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku; 3) Pengembangan
sistem
pengelolaan
kolaborasi/kerjasama
Taman Nasional Wakatobi yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan: 1) pembentukan mekanisme pengelolaan kolaboratif dengan membuat rancangan/model mekanisme pengelolaan bersama, penerapan model mekanisme pengelolaan bersama, pembentukan wadah/ruang konsultasi pengelolaan bersama TNW dan penetapan (kedudukan, fungsi & peran para pihak dalam pengelolaan kolaborasi); 2) Penguatan forum konsultasi para
pihak
dengan
memfasilitasi
pelatihan/kursus,
memfasilitasi pertemuan rutin di tingkat Desa 1 bulan sekali, Kecamatan 3 bulan sekali dan Kabupaten 6 bulan sekali; 3) Formulasi dan penerapan mekanisme keluhan (Grievance mechanism)
dengan
merancang
mekanisme
dan
impelementasinya. Hal ini telah tertuang dalam rencana pengelolaan Taman Nasional Wakatobi tahun 1998 s.d 2023
commit to user
207
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V. PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut diatas, maka simpulan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah : a.
Faktor Hukum sendiri (Undang-Undang) meliputi : perumusan yang abstrak ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya , unsur delik dalam undang-undang ini merupakan delik materiil, dalam praktek kesulitan dalam pembuktiannya, tidak dirumuskannya pertanggungjawaban korporasi atau badan hukum, dan rumusan ketentuan pidana undang-undang ini tidak mengatur ketentuan sanksi minimum khusus mengakibatkan vonis hukuman rata-rata ringan.
b.
Faktor Aparat Penegak Hukum meliputi : kualitas dan kuatitas aparat penegak hukum Polhut dan PPNS kehutanan sangat minim, Kewenangan yang terbatas yang dimiliki oleh Polhut dan PPNS dalam hal penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya , perbedaan persepsi antara sesama penegak hukum yang dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum dalam penerapan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta kordinasi yang masih kurang.
c.
Faktor
Sarana/Fasilitas
Pendukung
meliputi
:
kurang
ketersediaan/kesiapan operasional kendraan patroli, pembiayaan yang tinggi, kurangnya sumber commit to userdaya manusia yang terampil dalam
208
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemeliharaan dan perbaikan kendraan operasional patroli dan manajemen pengelolaan sarana prasarana yang kurang baik. d.
Faktor Masyarakat meliputi : faktor kemiskinan, pemahaman dan pengetahuan yang rendah, keterbatasan sarana usaha bagi nelayan, kebiasaan turun temurun dalam hal kegiatan penangkapan ikan di perairan kepulauan Wakatobi tidak mengenal adanya sistem zonasi dan pengaruh godaan/pengaruh pengusaha dari luar wakatobi dengan pemberian fasilitas-fasilitas tertentu.
e.
Faktor Kebudayaan meliputi : perbedaan nilai-nilai konservasi yang dianut atau prinsip yang antara masyarakat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rendahnya pemahaman dan pengetahuan tentang pelestarian sumber daya alam, kewenangan pengelolaan sumber daya perairan laut beralih dari masyarakat dengan hukum adat menjadi sepenuhnya kewenangan pemerintah. Sistem baru berada di luar pengalaman, pengetahuan, kuasa dan sejarah hidup masyarakat Wakatobi. Pengaturan pengelolaan sumberdaya alam diperairan Wakatobi dengan sistem zonasi yang berimplikasi pada perbuatan pidana ketika ada pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi adalah merupakan hal baru bagi masyarakat serta pengaruh kemajuan teknologi
2.
Upaya Non Penal yang seharusnya dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi adalah : a.
Melakukan upaya perbaikan dan peningkatan atas pelaksanaan kegiatan upaya non penal yang sebelumnya telah dilaksanakan oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi seperti yang telah dirumuskan penulis dalam pembahasan di atas
b.
Upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan bagi komunitas Bajo harus dilaksanakan baik oleh pihak Balai Taman Nasional Wakatobi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten commit to user Wakatobi
209
perpustakaan.uns.ac.id
c.
digilib.uns.ac.id
Pelaksanaan program pendidikan konservasi bagi generasi muda atau remaja dan penyuluhan di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terhadap masyarakat harus di padukan
dengan
pendidikan/penyuluhan
keagaman
dan
penyuluhan kesadaran hukum yang seharusnya dilakukan oleh unsur pemerintah terkait dalam hal ini pihak Balai Taman Nasional Wakatobi, instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dan pihak Polres Wakatobi d.
Pelaksanaan program pembangunan pengelolaan Taman Nasional Wakatobi juga harus mempertimbangkan segi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan hidup, peningkatan sarana/fasilitas alat tangkap perikanan yang sesuai dengan prinsip konservasi dan kebiasan masyarakat dan tingkat adaptasi masyarakat terhadap penerapan zonasi Taman Nasional Wakatobi
e.
Perlunya dirumuskan dan disusun program bersama Balai Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi tentang pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat pada masyarakat Bajo khusus komunitas Mola dan Mantigola
f.
Pembatasan pemberian izin penanmpungan ikan hidup bagi pengusaha luar Wakatobi.
B. Implikasi Konsekuensi logis dari fakta-fakta terhadap simpulan tersebut di atas maka implikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut : 1.
Adanya
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kelemahan
dalam
pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi yang disebabkan oleh faktor-faktor hukumnya sendiri (undangundang),
aparat
penegak hukum, sarana/fasilitas pendukung, commitmengakibatkan to user masyarakat dan kebudayaan tindakan pidana di bidang
210
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Taman Nasional Wakatobi tidak dapat dihentikan atau di cegah dengan maksimal . Beberapa tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sampai saat ini masih saja terjadi adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun (potassium cyianida), pemanfaatan yang tidak sesuai dengan fungsi zonasi taman nasional, penambangan batu karang dan pasir pantai . proses penanganan atau penegakan hukum masih terkesan lamban serta dukungan para pihak termasuk masyarakat dalam proses penegakan hukum tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak maksimal. Hal ini berdampak pada bahaya kerusakan dan kepunahan sumber daya alam dan keanekaragam hayati di Taman Nasional Wakatobi 2.
Belum optimalnya pelaksanaan penanggulangan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan pendekatan upaya non penal di Taman Nasional Wakatobi menyebabkan masalah-masalah dan faktor kondisi sosial yang merupakan faktor kondusif penyebab tumbuh kejahatan atau tindak pidana dalam pemanfaatan sumberdaya alam di Taman Nasional Wakatobi belum dapat dihilangkan atau ditangani dengan baik. Faktor kemiskinan, rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam pengelolaan sumber daya alam serta minimnya keterampilan masyarakat dalam mengembangkan usaha ekonomi produktif masih menjadi faktor kondusif penyebab terjadinya tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi
commit to user
211
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Saran Dari hasil penelitian,simpulan dan implikasi di atas, penulis memberikan masukan dan saran-saran sebagai berikut: 1.
Untuk mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan dalam pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, saran penulis dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang): 1)
Perumusan tindak pidana di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ke depan harus disusun dalam delik formil dan dalam formulasi yang mudah untuk diimplementasikan oleh aparat penegak hukum baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun proses peradilan.
2)
Perumusan ketentuan pidana dalam undang-undang di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus mengatur tentang ancaman hukuman minimum.
3)
Perumusan ketentuan pidana dalam undang-undang di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya harus mengatur tentang pertanggungjawababn pidana yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum
4)
Pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan khususnya dalam hal kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam Undang-undang di bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. serta kewenangan Polisi Kehutanan dalam tugas pengamanan commit to user kawasan dan penyelidikan tindak pidana di bidang konservasi
212
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,sebagai bahan studi perbandingan seperti kewenangan yang di miliki oleh pejabat pengawas Kelautan dan Perikanan atau pejabat Bea Cukai yang juga memiliki fungsi yang sama seperti Polhut yaitu fungsi pengembang tugas kepolisian khusus. b. Faktor Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang menerapkan hukum: 1)
Peningkatan kualitas dan kuantitas petugas Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan Balai Taman Nasional Wakatobi. Peningkatan
ini
dapat
dilakukan
dengan
mengajukan
penambahan jumlah formasi kebutuhan Polisi Kehutanan dan PPNS Kehutanan serta memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan. Di samping itu juga penerapan pola reward and punishment harus dilaksanakan dengan selektif dan transparan untuk memacu kompetensi kemampuan aparatur. 2)
Peningkatan kapasitas PPNS Kehutanan melalui diklat, magang atau studi banding ke UPT lain (Taman Nasional atau Balai
KSDA)
Diretorat
Jenderal
Perlindungan
Hutan
Konservasi Alam Kementerian Kehutanan di Indonesia yang dianggap berhasil dalam penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 3)
Meningkatkan koordinasi antara sesama aparat penegak hukum (Polhut, PPNS, Penyidik Polri, Kejaksaan dan Pengadilan (Hakim) termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dalam rangka membangun persepsi yang sama tentang strategi penegakan hukum tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Taman Nasional Wakatobi commit to user
213
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 1)
Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum harus dipisahkan dari penggunaan kepentingan lainnya dengan kondisi yang siap pakai.
2)
Penyiapan tenaga sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil untuk menggunakan dan perawatan sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
3)
Penyedian
dana
operasional/bahan
bakar
sarana
yang
memadai atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN 4)
Adanya standar prosedur operasional penggunaan sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di setiap SPTN
5)
Dibentuk unit pengelola sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum di tingkat UPT Balai dan SPTN
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan: 1)
Peningkatan penyuluhan, sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan kesadaran hukum.
2)
Peningkatan program pemberdayaan masyarakat pada desadesa pesisir yang teridentifikasi masyarakatnya masih melakukan
kegiatan
yang
merusak
atau
melakukan
pelanggaran tindak pidana dalam pemanfaatan sumber daya alam di Taman Nasional Wakatobi. e. Faktor kebudayaan, yakni nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).: yaitu mempertimbangkan atau mengadopsi nilai-nilai ekologis kearifan lokal masyarakat setempat dalam pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan sumber commit to user daya alam di kawasan Taman Nasional Wakatobi.
214
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Untuk meningkatan keberhasilan upaya non penal yang seharusnya di lakukan dalam menanggulangi tindak pidana di bidang konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya di Taman Nasional Wakatobi, Penulis menyarankan sebagai berikut : a.
Membangun peningkatan hubungan kerjasama dengan unsur instansi terkait Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dan Lembaga Swadaya masyarakat dalam pelaksanaan program Model Desa Konservasi di Taman Nasional Wakatobi sebagai bagian dari pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi;
b.
Pelaksanaan kampanye dan pendidikan konservasi untuk semua kalangan masyarakat umum;
c.
Untuk
menghindari/menghilangkan
pengaruh
negatif
dari
pengusaha luar wakatobi terhadap nelayan-nelayan lokal dalam melakukan penangkapan ikan yang merusak atau melanggar pidana maka upaya yang seharusnya dilakukan adalah pembatasan atau pelarangan izin untuk penampung ikan hidup/ikan karang bagi pengusaha luar Wakatobi; d.
Peningkatan program pemberdayaan masyarakat di komunitas masyarakat bajo melalui bantuan permodalan usaha;
e.
Perlunya program pendampingan/pembinaan dan penyadartahuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnyan secara intensif bagi masyarakat bajo;
commit to user
215